Sagita Kintani Lutjika - Desain Riset Kualitatif

Unduh sebagai xlsx, pdf, atau txt
Unduh sebagai xlsx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 30

Nama

NIM

Tema
Topik

Judul (Working Title)

Deskripsi Ide

Keywords

Causal Relation
( Variabels )

Hypothesis
Sagita Kintani Lutjika
1712541026

Elit Politik
Orang Kuat Lokal (Local Strongman)
Peran Komunikasi
Penelitian Politiktentang
ini membahas Orang Local
Kuat Lokal Dalammelalui
Strongman Pemilihan Kepala
Peranan Desa (Studi
Komunikasi Kasus:
Politik DesaPemilhan
Dalam Batubulan,
Kepala
Sukawati)
Desa sebagai bagian dari kekuatan politik lokal, untuk mengetahui lebih jauh tentang fenomena peranan Local
Strongman dalam Pemilihan Kepala Desa di Desa Batubulan yang sedang berlangsung maupun yang sudah terjad
dengan menggunakan kajian secara kualitatif. Dalam menganalisis interaksi kekuasaan antar elit politik,
setidaknya ada dua hal yang harus dianalisis. Pertama, aktivitas politik setiap elit atau kelompok elit dalam
memperebutkan sumber-sumber, posisi, dan jabatan yang langka dalam masyarakat. Kedua, dalam
memperebutkan kekuasaan politik, elit atau kelompok elit akan menghadapi dua kondisi, yakni konflik atau
konsensus. Joel S. Migdal (2004) melihat fenomena diatas sebagai akibat bertahannya pengaruh “orang kuat
lokal” di arena politik lokal. Kekuatan pengaruh dari “orang kuat lokal” bersumber dari terbentuknya segitiga
akomodasi yang dibangun oleh aliansi “orang kuat lokal” bersama aparat birokrasi negara di tingkat lokal dan
politisi di tingkat lokal. “Orang kuat lokal” berhasil menempatkan diri berada diantara rakyat dengan sumber daya
yang vital seperti tanah, kredit dan pekerjaan. “Orang kuat lokal” memiliki kemampuan memberikan jaminan
kestabilan politik di tingkat lokal dan melakukan kontrol sosial atas rakyat setempat. “Orang kuat lokal” juga
memiliki kemampuan dalam memobilisasi massa.
Untuk memperjelas apa saja yang menjadi peran dan faktor dari orang kuat lokal ini, maka penelitian ini akan
menggunakan metode kualitatif untuk mendapatkan data. Data akan diperoleh dengan cara mewawancarai
narasumber yang kemudian data tersebut akan diinterpretasikan. Pendekatan kualitatif yang akan digunakan oleh
peneliti adalah pendekatan Fenomenologi. Pendekatan Fenomenologi dipilih karena peneliti akan mewawancarai
beberapa individu sebagai narasumber yang mengalami langsung dampak dari orang kuat lokal tersebut. Objek
dari penelitian ini adalah satu atau lebih individu yang bertempat tinggal di Desa Batubulan.

Politics Communication, Local Strongman, Village Leader Election, Village Democracy

Money Politics, Kinship, Trust

Hipotesis dari penelitian ini adalah money politics, kinship, dan trust merupakan indikator utama dalam menangnya
pasangan calon dalam pemilihan kepala desa Desa Batubulan. Semakin tinggi angka money politics, semakin tinggi kinship
dan semaki tinggi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap local strongman ini, maka semakin tinggi kemungkinannya
untuk terpilih menjadi Kepala Desa di Desa Batubulan.
No Daftar Pustaka

Valina Singka Subekti (2016) : Jurnal Politik : Demokrasi


dalam Pemilihan Kepala Desa Studi Kasus Desa Dengan
1 Tipologi Tradisional, Transisional, dan Modern di
Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013, DOI:
https://doi.org/10.7454/jp.v1i2.21

Julio C. Teehankee and Mark A. Thompson (2016) :


Journal Of Democracy : Electing A Strongman, DOI:
2 https://doi.org/10.1353/jod.2016.0068
Suwignyo Widagdo (2016) : Dinamika Global :Peran
Ketokohan, Ikatan Emosional, Dan Program Kerja Dalam
3
Mempengaruhi Perilaku Pemilih ( Pendekatan Pemasaran
Politik Dalam Pemilhan Calon Kepala Desa )

Wenny Eka Septina (2017) : Politik Indonesia :


Komunikasi Politik Kepala Desa dalam Mendorong
4 Inovasi Pembangunan Desa: Studi Kasus Tiga Desa di
Lereng Gunung Ungaran, Jawa Tengah, DOI:
https://doi.org/10.15294/jpi.v2i1.8488
Siti Rohmatul Ainillah (2016) : Jurnal Politik Muda :
Elite Politik Dalam Kontenstasi di Desa dengan
5 menggunakan studi
Peran Blater dalam Pilkades di desa Banjar, Galis,
Bangkalan Madura

Ting Maung Maung Than (2004) : Journal of Current


6 Southeast Asian Affairs : Cambodia Strongman, Terrible
man, Invisible man, and Politics of Power Sharing
Hadiz, V. R. (2007) : Democratization : The Localization
7 of Power in Southeast Asia, DOI:
10.1080/13510340701635704

Zanker, F., Simons, C., & Mehler, A. (2014) : African


8 Affairs : Power, peace, and space in Africa: Revisiting
territorial power sharing, DOI: 10.1093/afraf/adu064
Kongkirati, P. (2016) : South East Asia Research :
9 Evolving power of provincial political families in
Thailand, DOI: 10.1177/0967828x16659570

McCoy, A. W. (2017) : Surveillance & Society :


Philippine Populism Local Violence and Global Context
10
in the Rise of a Filipino Strongman, DOI:
10.24908/ss.v15i3/4.6638

Dowley, K. M. (2006) : Local Government Studies :


11 Local government transparency in East Central Europe,
DOI:10.1080/03003930600896152
Ora John Reuter (2016) : Comparative Political Studies :
Local Elections in Authoritarian Regimes: An Elite-Based
12
Theory With Evidence From Russian Mayoral Elections,
DOI: 10.1177/0010414015626439

Krister Anderson (2007) : Comparative Political Studies:


13 From Local Strongman to Facilitator, DOI:
10.1177/0010414006288977
Abstrak

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh berbagai pemahaman kegiatan


politik di desa. Artikel tersebut berpendapat bahwa desa dianggap
sebagai embrio untuk pembentukan masyarakat politik dan
pemerintahan di Indonesia, yang juga merupakan dasar bagi negara
demokratis ini. Pertimbangan ini dapat dilihat dari kegiatan pemilihan
kepala desa. Pemilihan kepala desa adalah kegiatan politik yang
menunjukkan bagaimana proses demokrasi dapat terjadi di tingkat
desa. Oleh karena itu, pemilihan kepala desa tidak dapat dipisahkan
dari perkembangan dinamis situasi politik di desa. Ini bukan sekadar
perebutan kekuasaan dalam suksesi kepemimpinan di desa atau
strategi kampanye yang diterapkan untuk mendapatkan dukungan dari
masyarakat yang lebih luas, tetapi lebih dari itu, semua itu
menyangkut prestise, martabat, dan kehormatan. Jadi bagi penduduk
desa, pemilihan kepala desa lebih emosional dan rasional
dibandingkan dengan pemilihan lainnya seperti pemilihan kepala
daerah, bahkan pemilihan presiden. Penelitian ini meneliti Pilkada
dengan analisis langsung tiga desa dengan tipologi berbeda. Desa
mereka adalah Desa Neglasari di Salawu, Tasikmalaya (Desa
Tradisional); Desa Cimekar di Cileunyi, Bandung (Desa Transisi);
Desa Cipacing di Jatinangor, Sumedang (Desa Modern). Ketiga desa
tersebut berada di provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa praktik demokrasi di ketiga desa tersebut telah berfungsi
sebagian sesuai dengan beberapa kriteria demokrasi yang ideal, namun
demikian belum berfungsi dalam beberapa kriteria lainnya.

With a folksy style and tough-guy image, Philippine presidential


candidate Rodrigo “Digong” Duterte promised to restore peace and
order by any means necessary. Following his surprise victory in the
May 2016 elections, Duterte has kept his word, launching the
promised anti-drug campaign that saw nearly 1,800 extrajudicial
killings within Duterte’s first seven weeks in office. Thirty years after
the “people power” revolution against the Marcos dictatorship,
Duterte’s victory represents a rupture in the liberal-democratic regime,
and suggests that many Filipinos are willing to reject aspects of
democracy they consider inconvenient or ineffective in exchange for
Marcos-era “discipline” and stability.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh persona,
ikatan emosional dan program kerja terhadap perilaku pemilihan calon
kepala desa. Populasi dalam penelitian ini adalah orang yang memiliki
hak pilih pada objek penelitian, sedangkan sampel 120 orang.
Penelitian ini termasuk penelitian explanatoris (penelitian
explanatoris). Alat analisis yang digunakan adalah regresi linier
berganda, uji t dan hasil uji F penelitian ini menyimpulkan bahwa
kepribadian, ikatan emosional dan program kerja mempengaruhi
perilaku memilih. Program kerja adalah variabel dominan dalam
keputusan untuk memilih. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
telah terjadi pergeseran perilaku memilih, menyebabkan volatilitas
dalam pemilihan kandidat ke desa. Hasil penelitian memiliki implikasi
luas untuk strategi kemenangan yang harus dirumuskan sesuai dengan
karakter pemilih.

Komunikasi adalah strategi untuk menyampaikan informasi kepada


publik dan media untuk mengembangkan niat baik warga negara baik
pembangunan manusia maupun infrastruktur. Komunikasi yang baik
harus diperoleh oleh banyak pemangku kepentingan warga negara di
semua hierarki pemerintah; salah satunya adalah kepala desa. Kepala
desa sebagai pemangku kepentingan desa dituntut untuk dapat
berinteraksi dengan baik dalam hal komunikasi dan pembangunan
desa. Inovasi dan ide-ide tentang perkembangan terakhir tidak dapat
berjalan dengan baik tanpa komunikasi yang baik antara kepala desa,
tokoh masyarakat dan penduduk desa. Penelitian ini menyelidiki gaya
komunikasi yang dilakukan oleh kepala desa. Itu dilakukan di desa
Kalisidi, Gonoharjo dan Diwak. Hasilnya, ada beberapa gaya
komunikasi yang dilakukan di desa-desa ini di antara para pemegang
pasak dan warga. Mereka adalah: (1) Pendekatan langsung kepada
masyarakat (komunikasi informal dengan masyarakat desa); (2)
Pendekatan antar Lembaga Komunitas Desa (kelompok komunikasi
komunitas dan jaringan komunikasi); (3) Komunikasi Publik dengan
menggunakan Media Sosial, dan (4) Badan Informasi Publik sebagai
media untuk menginformasikan anggaran tahunan desa sebagai bentuk
transparansi dan sosialisasi resort desa dan gerakan pendidikan
pedesaan.
Penelitian ini mendeskripsikan elite politik dalam kontestasi di desa,
yang menekankan peran elite blater dalam pemilihan kepala desa
Banjar kecamatan Galis, Bangkalan Madura. Tujuannnya
mendeskripsikan bentuk struktur elite didesa Banjar, kemudian peran
yang dilakukan elite blater dalam kontestasi pemilihan Pilkades 2015,
dan tujuan serta kepentingan elite blater dalam kontestasi Pilkades.
Dengan adanya beberapa elite desa di desa Banjar ada kyai, blater dan
kepala desa dan elite-elite lokal tersebut memiliki ketererikatan satu
sama lain. Dalam struktur elite desa di desa Banjar kyai menjadi
tumpuan utama blater dalam kehidupan religi, kemudian blater utama
yang menjadi pengaruh besar atas masyarakat desa Banjar khususnya
dalam pemilihan kepala desa. Dengan segala strategi dan cara untuk
mendapatkan pengaruh yang besar dalam Pilkades ini dan
mendapatkan suara masyarakat, perselisihan antar blaterpun juga
terjadi saat dan sesudah Pilkades, karena selain menjadi agenda politik
pemilihan kepala desa menjadi agenda peneguhan status kultural bagi
elite blater dengan tujuan dan kepentingan atas prestige dan status
jagoanisme blater.

In Cambodia 2003 was an election year in which the results of the


ballot were apparently not accepted by those who lost the election.
The incumbent Prime Minister Hun Sen (the strongman), the
opposition leader Sam Rainsy (the terrible man), and the National
Assembly president Prince Ranariddh (the invisible man) could not
agree upon a satisfactory power-sharing formula, with the latter two
joining up in an attempt to deny the former of the country's
premiership despite a convincing victory by Hun Sen's Cambodian
Peoples' Party (CPP) in the July election. The outcome was the
dissolution of the ruling coalition, a hung (suspended) government,
and an uncertain political climate that prevailed throughout the second
half of the year
The article analyzes the localization of power in Southeast Asia,
particularly in Indonesia after 1998, when the institutional frameworks
of the authoritarian New Order of Soeharto quickly unravelled and
new ones were rapidly constructed, associated both with electoral
democracy and decentralization policy. Comparisons are made in the
process with the trajectories of the Philippines and Thailand, two other
major post-authoritarian societies in Southeast Asia (though the label
can only problematically be applied to Thailand after the coup of
September 2006), which have undergone democratization and varying
degrees of decentralization. It is argued that the collective experience
of these Southeast Asian societies displays some of the more tangible
limits to technocratic power. In Indonesia, there are two sets of
interests being marginalized under decentralized electoral democracy:
class-based interests in opposition to the brand of predatory capitalism
that has survived the demise of the New Order; and foreign and
domestic supporters of decentralization as ‘good governance’ that
threaten local coalitions of predatory power deploying money politics
and developing greater economic and political aspirations and
ambitions. While the rise of electoral democracy has meant broader
political participation, political contestation remains confined to
competing coalitions of local predatory interests.

Power-sharing agreements have become a blueprint for efforts to end


violent conflicts in many parts of the world, particularly in Africa.
Such agreements, however, rarely include territorial power sharing –
at least, not according to the formal, rather unhelpful narrow definition
that includes federalism and decentralization. This article argues that
the concept of territorial power sharing needs to be broadened in order
to account for the manifold informal or indirect manifestations of such
arrangements. Drawing on extensive fieldwork data from the DRC,
Liberia, and Kenya, the article analyses the history of spatiality and
power in Africa in order to explain why formal mechanisms of
territorial power sharing are rare and why more subtle types of
informal territorial power sharing are much more common. Based on
this analysis, we conclude that territorial power sharing is present in
many African states, but that typically it is overlooked because of its
informal nature.
The relative newness of political dynasties in Thai society is often
forgotten by scholars and observers. The majority of Thai political
clans entered politics only after the 1973 student uprising. Their time
in politics is also relatively short – only half of them managed to stay
in power for more than two legislative terms. Historically, their
instability was caused by frequent military coups, which interrupted
the parliamentary institutions and electoral process. By the time they
had succeeded in climbing to the top in the late 1990s, the political
and economic landscape had been transformed in a way that seriously
reduced their power. Tumultuous ideological conflict and the rise of
mass movement after the 2006 military coup have further diminished
the status and power of old political clans. This article traces the
historical developments and the patterns of accumulation of the wealth
and power of Thai political dynasties and explains how some families
have been able to maintain their power while many others have failed.

To explore the overlooked role of political violence in global


“populism,” the essay explores the rise of Rodrigo Duterte from
longserving mayor of a provincial city to an exceptionally powerful
Philippine president. Using an analytical frame that juxtaposes
localized violence with international influence, the essay examines not
only the political dynamics that elevated Duterte to power but the
tensions that are already circumscribing his authority after only a year
in office. Application of this model to comparable cases could both
highlight the parallel role of political violence in contemporary
populism and indicate the forces likely to lead to its decline.

Decentralisation and democratisation have proceeded simultaneously


in the post-communist space of East Central Europe. Decentralisation
to elected local governments was encouraged to facilitate
democratisation, combat corruption and provide better public services
and goods. To evaluate the success of such efforts, I examine recently
archived (2001, 2002) surveys of local government chief
administrative officers from Romania, Hungary, Poland, Slovakia,
Bulgaria, Estonia and Latvia. My analysis suggests variation in local
government transparency to be a function of the density of political
and civil society, and the institutions that mediate between them, as
opposed to socioeconomic development or locality size.
Why do authoritarian regimes permit elections in some settings but not
in others? Focusing on the decision to hold subnational elections, we
argue that autocrats can use local elections to assuage powerful
subnational elites. When subnational elites control significant political
resources, such as local political machines, leaders may need to co-opt
them to govern cost-effectively. Elections are an effective tool of co-
optation because they provide elites with autonomy and the
opportunity to cultivate their own power bases. We test this argument
by analyzing variation in the decision to hold mayoral elections in
Russia’s 207 largest cities between 2001 and 2012. Our findings
suggest that Russian mayoral elections were more likely to be retained
in cities where elected mayors sat atop strong political machines. Our
findings also illustrate how subnational elections may actually serve to
perpetuate authoritarianism by helping to ensure elite loyalty and
putting the resources of powerful elites to work for the regime.

Efforts to engage citizens in democratic forms of governance in


developing societies are complicated by deeply rooted socioeconomic
and political inequalities. In this article, the authors analyze the
conditions under which local politicians in rural areas of Latin
America are likely to open up to citizen participation in governance
decisions. The analytical approach focuses on the incentive structures
of local politicians under both decentralized and centralized regimes.
The argument is that, regardless of regime type, participatory
governance institutions are more likely to emerge when the goals of
these institutions are compatible with the interests of the local
executive. The authors test the argument by analyzing patterns of
interaction between central and local governance actors in 390
municipal governments in Brazil, Chile, Mexico, and Peru. They find
that local politicians’incentive structures explain a great deal as to why
local governments decide to invite citizens to take part in governance
activities.
Nama Jurnal

Abstrak

Introduction
Methods/Materials

Result

Discussion
Valina Singka Subekti (2016) : Jurnal Politik : Demokrasi dalam Pemilihan Kepala Desa Studi Kasus Desa Dengan
Tipologi Tradisional, Transisional, dan Modern di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013, DOI:
https://doi.org/10.7454/jp.v1i2.21

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh berbagai pemahaman kegiatan politik di desa. Artikel tersebut berpendapat bahwa desa
dianggap sebagai embrio untuk pembentukan masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia, yang juga merupakan dasar
bagi negara demokratis ini. Pertimbangan ini dapat dilihat dari kegiatan pemilihan kepala desa. Pemilihan kepala desa adalah
kegiatan politik yang menunjukkan bagaimana proses demokrasi dapat terjadi di tingkat desa. Oleh karena itu, pemilihan
kepala desa tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dinamis situasi politik di desa. Ini bukan sekadar perebutan kekuasaan
dalam suksesi kepemimpinan di desa atau strategi kampanye yang diterapkan untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat
yang lebih luas, tetapi lebih dari itu, semua itu menyangkut prestise, martabat, dan kehormatan. Jadi bagi penduduk desa,
pemilihan kepala desa lebih emosional dan rasional dibandingkan dengan pemilihan lainnya seperti pemilihan kepala daerah,
bahkan pemilihan presiden. Penelitian ini meneliti Pilkada dengan analisis langsung tiga desa dengan tipologi berbeda. Desa
mereka adalah Desa Neglasari di Salawu, Tasikmalaya (Desa Tradisional); Desa Cimekar di Cileunyi, Bandung (Desa
Transisi); Desa Cipacing di Jatinangor, Sumedang (Desa Modern). Ketiga desa tersebut berada di provinsi Jawa Barat. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa praktik demokrasi di ketiga desa tersebut telah berfungsi sebagian sesuai dengan beberapa
kriteria demokrasi yang ideal, namun demikian belum berfungsi dalam beberapa kriteria lainnya.

Artikel ini mengkaji tentang Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di desa-desa dengan tipologi desa yaitu desa tradisional, desa
transisional dan desa modern. Tulisan ini tidak bermaksud untuk membandingkan ketiga tipologi desa tersebut, akan tetapi
lebih kepada mendeskripsikan proses Pilkades di desa-desa tersebut. Fokusnya untuk melihat apakah aktivitas Pilkades di tiga
desa itu merupakan fenomena yg sepenuhnya memenuhi kriteria ideal demokrasi atau tidak. Untuk itu tulisan ini tidak
menggunakan metode perbandingan.
Tulisan ini merupakan hasil penelitian tentang Dinamika Politik di Tingkat Desa yang berfokus pada Proses Pemilihan Kepala
Desa. Penelitian ini mengumpulkan data yang spesifik dan mengeksplorasi makna dari data yang diperoleh tentang suatu
peristiwa, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Karakteristik eksploratif ini sesuai dengan definisi
penelitian kualitatif yang dikemukakan oleh Creswell (2002). Pendekatan kualitatif yang akan digunakan oleh peneliti adalah
pendekatan Fenomenologi.

Penelitian ini menemukan bahwa fenomena praktek Pilkades di tiga desa itu sebagian telah memenuhi kriteria ideal dari
demokrasi, namun sebagian kriteria lainnya masih belum terpenuhi. Dua kriteria yang berlaku sepenuhnya di tiga desa itu
adalah kriteria partisipasi efektif dan kontrol terhadap agenda. Sedangkan tiga kriteria lain yaitu kesetaraan pilihan,
pemahaman yang memadai, dan inklusif masih belum sepenuhnya tercapai.

Jadi, desa telah diakui secara resmi sebagai sebuah entitas demokratis yang memiliki kekuatan otonom dalam
menyelenggarakan pemerintahannya secara mandiri sesuai dengan kehendak dan kebutuhan yang diformulasikan oleh
warganya sendiri. Di kalangan ilmuwan muncul dua kutub pendapat mengenai hal ini. Di satu pihak mengatakan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan desa termasuk di dalamnya proses seleksi kepemimpinannya melalui Pilkades bukanlah
bentuk demokrasi, sedangkan di pihak lain mengatakan bahwa pemerintahan desa dengan proses pemilihan
kepemimpinannya merupakan wujud nyata dari demokrasi langsung bahkan disebutkan sebagai demokrasi yang murni.
Suwignyo Widagdo (2016) : Dinamika Global :Peran Ketokohan, Ikatan Emosional, Dan Program
Kerja Dalam Mempengaruhi Perilaku Pemilih ( Pendekatan Pemasaran Politik Dalam Pemilhan Calon
Kepala Desa )

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh persona, ikatan emosional dan program kerja
terhadap perilaku pemilihan calon kepala desa. Populasi dalam penelitian ini adalah orang yang memiliki hak
pilih pada objek penelitian, sedangkan sampel 120 orang. Penelitian ini termasuk penelitian explanatoris
(penelitian explanatoris). Alat analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda, uji t dan hasil uji F
penelitian ini menyimpulkan bahwa kepribadian, ikatan emosional dan program kerja mempengaruhi perilaku
memilih. Program kerja adalah variabel dominan dalam keputusan untuk memilih. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran perilaku memilih, menyebabkan volatilitas dalam pemilihan
kandidat ke desa. Hasil penelitian memiliki implikasi luas untuk strategi kemenangan yang harus dirumuskan
sesuai dengan karakter pemilih.

Penelitian ini membahas pendekatan pemasaran politik dalam kasus pemilihan calon kepala desa. Alasan
pemilihan tema ini karena karakteristiknya berbeda dengan pemilihan calon anggota legeslatif, pemilihan kepla
daerah maupun pilpres. Desa sebagai satuan pemerintahan terkecil yang melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan
kepada masyarakat juga merupakan wadah partisipasi rakyat dalam aktivitas politik dan pemerintahan. Desa
menjadi media interaksi politik yang simpel. Dengan demikian sangat potensial untuk dijadikan cerminan
kehidupan demokrasi dalam suatu masyarakat negara.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang kemudian dapat
dijadikan pedoman untuk melengkapi data kualitatif. Pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan
fenomenologi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial ketokohan dan ikatan emosional tidak memiliki
pengaruh secara parsial terhadap perilaku memilih calon kepala desa. Namun demikian ketokohan, ikatan
emosional dan program kerja memiliki pengaruh secara simultan terhadap keterpilihan calon kepala desa.
Program kerja memiliki pengaruh yang dominan dibandingkan dengan variabel ketokohan dan ikatan
emosional. Kondisi ini berbeda dengan hasil penelitian sejenis yang menunjukkan ketokohan dan ikatan
emosional memiliki pengaruh yang signifikan. Hasil survey dilapangan memang menunjukkan bahwa pemilih
(konsumen) tidak lagi menjadikan ketokohan dan ikatan emosional sebagai indikator utama dalam menentukan
pilihan (pembelian). Program kerja atau kemanfaatan dari produk yang akan dibeli dan dianggap sesuai dengan
kebutuhannya, maka produk tersebut akan dipilih. Hasil penelitian ini bisa jadi belum dapat dianggap mampu
mematahkan teori yang selama ini dijadikan sebagai rujukan utama, yaitu ketokohan dan ikatan emosional
memiliki pengaruh atas keputusan masyarakat dalam menentukan pilihannya.

Ketokohan ternyata tidak memengaruhi perilaku masyarakat dalam memilih calon kepala desa. Hasil temuan
ini bisa jadi telah membantah teori yang menjadikan ketokohan menjadi faktor penting dalam mempengaruhi
perilaku memilih. Temuan ini mungkin masih dapat diperdebatkan dan diuji lagi kebenarannya. Sehingga ini
akan membuka kesempatan kepada peneliti yang tertarik pada persoalan yang sama untuk melakukan
penelitian lanjutan. Demikian pula dengan ikatan emosional, ternyata pengaruhnya juga negatif. Bagi
penduduk desa yang plural tentu ini akan bernilai positip, terutama untuk menjaga kedamaian, kebersamaan,
toleransi dan mewujudkan pembangunan. Kalau sikap masyarakat yang demikian dapat dipertahankan dan
ditingkatkan semangat toleransinya, maka konflik yang selama ini berlatarbelakang agama dan etnis dapat
diminimalisir.
Julio C. Teehankee and Mark A. Thompson (2016) : Journal Of Democracy : Electing A Strongman,
DOI: https://doi.org/10.1353/jod.2016.0068

Dengan gaya yang sederhana dan citra pria yang tangguh, kandidat presiden Filipina Rodrigo “Digong”
Duterte berjanji untuk memulihkan perdamaian dan ketertiban dengan cara apa pun yang diperlukan.
Menyusul kemenangannya yang mengejutkan dalam pemilihan Mei 2016, Duterte menepati janjinya,
meluncurkan kampanye anti-narkoba yang dijanjikan yang menyebabkan hampir 1.800 pembunuhan di luar
proses hukum dalam tujuh minggu pertama di kantor Duterte. Tiga puluh tahun setelah revolusi "kekuatan
rakyat" melawan kediktatoran Marcos, kemenangan Duterte merupakan perpecahan dalam rezim liberal-
demokrasi, dan menunjukkan bahwa banyak orang Filipina bersedia menolak aspek-aspek demokrasi yang
mereka anggap tidak nyaman atau tidak efektif dengan imbalan era Marcos " disiplin "dan stabilitas.

Pemilihan presiden Filipina diadakan untuk memilih kepala eksekutif baru setiap enam tahun adalah acara
penuh warna, dengan aksi unjuk rasa yang besar, berorientasi pada hiburan dan banyak bintang film dan
dinasti politik di antara para kandidat terkemuka. Pemilihan itu sendiri biasanya diikuti oleh tuduhan
memilih penipuan setelah hasil dekat di bidang yang ramai. Namun terlepas dari brief kerusakan demokratis
pada tahun 2001, ketika militer menggulingkan presiden Joseph E. Estrada, seorang aktor berubah politisi
yang populer di kalangan orang miskin tetapi dibenci oleh elit, demokrasi Filipina telah bertahan dengan
cukup baik.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang kemudian dapat
dijadikan pedoman untuk melengkapi data kualitatif. Pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan
fenomenologi.

Pemilu Duterte ini bisa memiliki implikasi kebijakan luar negeri yang signifikan. Ia mengatakan bahwa ia
ingin mengubah kebijakan konfrontatif Filipina terhadap Cina, dan dia telah berjanji untuk melakukan upaya
besar untuk bernegosiasi bersaing klaim teritorial di Laut Cina Selatan (dijuluki Barat Laut Filipina oleh
Filipina nasionalis)

Ketokohan ternyata tidak memengaruhi perilaku masyarakat dalam memilih calon kepala desa. Hasil temuan
ini bisa jadi telah membantah teori yang menjadikan ketokohan menjadi faktor penting dalam mempengaruhi
perilaku memilih. Temuan ini mungkin masih dapat diperdebatkan dan diuji lagi kebenarannya. Sehingga ini
akan membuka kesempatan kepada peneliti yang tertarik pada persoalan yang sama untuk melakukan
penelitian lanjutan. Demikian pula dengan ikatan emosional, ternyata pengaruhnya juga negatif. Bagi
penduduk desa yang plural tentu ini akan bernilai positip, terutama untuk menjaga kedamaian, kebersamaan,
toleransi dan mewujudkan pembangunan. Kalau sikap masyarakat yang demikian dapat dipertahankan dan
ditingkatkan semangat toleransinya, maka konflik yang selama ini berlatarbelakang agama dan etnis dapat
diminimalisir.
Wenny Eka Septina (2017) : Politik Indonesia : Komunikasi Politik Kepala Desa dalam Mendorong Inovasi
Pembangunan Desa: Studi Kasus Tiga Desa di Lereng Gunung Ungaran, Jawa Tengah, DOI:
https://doi.org/10.15294/jpi.v2i1.8488

Komunikasi adalah strategi untuk menyampaikan informasi kepada publik dan media untuk mengembangkan niat
baik warga negara baik pembangunan manusia maupun infrastruktur. Komunikasi yang baik harus diperoleh oleh
banyak pemangku kepentingan warga negara di semua hierarki pemerintah; salah satunya adalah kepala desa.
Kepala desa sebagai pemangku kepentingan desa dituntut untuk dapat berinteraksi dengan baik dalam hal
komunikasi dan pembangunan desa. Inovasi dan ide-ide tentang perkembangan terakhir tidak dapat berjalan
dengan baik tanpa komunikasi yang baik antara kepala desa, tokoh masyarakat dan penduduk desa. Penelitian ini
menyelidiki gaya komunikasi yang dilakukan oleh kepala desa. Itu dilakukan di desa Kalisidi, Gonoharjo dan
Diwak. Hasilnya, ada beberapa gaya komunikasi yang dilakukan di desa-desa ini di antara para pemegang pasak
dan warga. Mereka adalah: (1) Pendekatan langsung kepada masyarakat (komunikasi informal dengan masyarakat
desa); (2) Pendekatan antar Lembaga Komunitas Desa (kelompok komunikasi komunitas dan jaringan
komunikasi); (3) Komunikasi Publik dengan menggunakan Media Sosial, dan (4) Badan Informasi Publik sebagai
media untuk menginformasikan anggaran tahunan desa sebagai bentuk transparansi dan sosialisasi resort desa dan
gerakan pendidikan pedesaan.

Dalam praktiknya, seorang kepala desa dapat mendayagunakan secara simultan saluran-saluran komunikasi
tersebut untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Adanya batasan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki ini
pada hakikatnya tidak semata karena adanya lembaga legislatif di tingkat desa, melainkan juga disebabkan oleh
warga desa mengenal pemimpinnya dengan baik. Dengan mengenal, pemimpin merasa selalu diawasi dan dipaksa
untuk menjalin komunikasi yang baik, sekaligus memiliki karakteristik yang pro dengan masyarakat. Dengan
demikian, transparansi kinerja pemerintah desa secara kelembagaan maupun komunikasi personal kepala desa
menjadi
syarat utama dalam mewujudkan sinergitas
yang baik di antara warga dan pemerintah
desa, serta aktor lokal yang lain.
Metode penelitian yang dilakukan untuk menganalisis hubungan antara komunikasi politik dengan pembangunan
desa adalah dengan memakai pendekatan indepth interview dan juga kajian literatur. Untuk wawancara sendiri,
dilakukan wawancara mendalam kepada beberapa aparat desa dan juga pengurus organisasi desa dan sesepuh desa.
Termasuk juga menjalankan focus group discussion. Di sisi lain, untuk menganalisis temuan-temuan tersebut
diperkuat analisis literatur dari berbagai dokumen maupun referensi sekunder.

Komunikasi politik yang dilakukan oleh kepala desa sebagai sarana menunjang inovasi pembangunan yang ada di
desa dirasa sangat penting. Komunikasi interpersonal menjadi pilihan yang paling sering digunakan oleh kepala
desa dalam berkomunikasi sehari hari, selain itu media sosial juga di rasa menjadi wahana komunikasi yang cukup
efektif di era sekarang ini. Komunikasi juga dirasa sebagai tolak ukur kesuksesan inovasi pembangunan yang ada
di desa.

Kepala desa dituntut untuk bisa menyampaikan informasi dengan baik ke seluruh masyarakatnya. gaya komunikasi
yang baik secara langsung bisa membuat situasi kegiatan pemerintahan maupun pembangunan di desa lebih pasat,
baik secara langsung berbentuk infrastruktur maupunmmodal sosial yang dimiliki individu kepala desa maupun
masyarakat secara keseluruhan. Komunikasi politik yang dilakukan kepala desa selain sebagai sarana interaksi
juga sebagai tolak ukur keberhasilan pembangungan yang ada di desa, karena setiap interaksi yang dilakukan oleh
kepala desa disitulah juga membuat masyarakat juga ikut bergerak dalam proses pembangunnan, dan itu terjadi
sebaliknya apabila kepala desa tidak memiliki komunikasi politik yang tidak baik bisa saja terjadi penelolakan dari
masyarakat.
Siti Rohmatul Ainillah (2016) : Jurnal Politik Muda : Elite Politik Dalam Kontenstasi di Desa dengan
menggunakan studi
Peran Blater dalam Pilkades di desa Banjar, Galis, Bangkalan Madura

Penelitian ini mendeskripsikan elite politik dalam kontestasi di desa, yang menekankan peran elite blater dalam
pemilihan kepala desa Banjar kecamatan Galis, Bangkalan Madura. Tujuannnya mendeskripsikan bentuk
struktur elite didesa Banjar, kemudian peran yang dilakukan elite blater dalam kontestasi pemilihan Pilkades
2015, dan tujuan serta kepentingan elite blater dalam kontestasi Pilkades. Dengan adanya beberapa elite desa di
desa Banjar ada kyai, blater dan kepala desa dan elite-elite lokal tersebut memiliki ketererikatan satu sama lain.
Dalam struktur elite desa di desa Banjar kyai menjadi tumpuan utama blater dalam kehidupan religi, kemudian
blater utama yang menjadi pengaruh besar atas masyarakat desa Banjar khususnya dalam pemilihan kepala
desa. Dengan segala strategi dan cara untuk mendapatkan pengaruh yang besar dalam Pilkades ini dan
mendapatkan suara masyarakat, perselisihan antar blaterpun juga terjadi saat dan sesudah Pilkades, karena
selain menjadi agenda politik pemilihan kepala desa menjadi agenda peneguhan status kultural bagi elite blater
dengan tujuan dan kepentingan atas prestige dan status jagoanisme blater.

Pemilihan kepala desa atau klebun sebutan dalam masyarakat Madura ini merupakan termasuk peristiwa
politik dan termasuk peristiwa kultural oleh masyarakat Madura, dan pemilihan klebun ini bukan hanya upaya
seseorang mendapatkan kekuasaan akan tetapi khususnya di Madura pemilihan kepala desa merupakan
pengukuhan status sosial yang sangat dekat dengan kehormatan, harga diri, keluarga karena tidak semua dan
sembarang orang mencalonkan diri untuk pemilihan kepala desa. Karena diantaranya harus memiliki
kemampuan personal, memiliki ikatan kekerabatan Blater, kekayaan serta memiliki dan berhubungan langsung
dengan jaringan keblateran.yang mana tidak jauh dengan adat Madura remoh dan Sandor. Dalam kontestasi
Pemilihan Kepala Desa di Banjar Galis Madura ini yang melibatkan peran dan kebijakan elite blater ini
disetiap pilkades, Blater yang mana merupakan elite desa Madura memberikan pengaruh dalam setiap
kebijakan, penyelesaian permasalahan ataupun kontestasi pemilihan kepala desa. Dalam daerah ini peran dan
kebijakan elite sangatlah menjadi pedoman utama. Karena faktor kebudayaan dan sejarah elite blater sampai
saat ini daerah Banjar Madura masih menggunakan kebijakan dan keputusan blater dalam setiap agenda di
Madura.
Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan teori elite penentu Suzanne Keller dengan
melalui pendekatan kualitatif yang didukung oleh teknik pengumpulan data berupa wawancara dan
dokumentasi, maka penelitian ini berusaha menampilkan data yang bersihat deskriptif. Sedangkan teknik
pengambilan informan dilakukan secara purposive.

Dan akhirnya dalam periode 2015-2020 pemilihan kepala desa dimenangkan telak oleh salah satu calon kepala
desa. Dengan kemenangan telak ini tidak lepas dari peran Elite blater banjar, salah satu toko masyarakat Banjar
yang memihak secara penuh untuk menjabat kembali kepala desa, masyarakat awalnya hanya melihat kepada
Blater atas tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh besar sehingga banyak dari masyarakat setempat
memilihnya. Masyarakat berpendapat dan meilihat sosok Blater atas dasar keberadaan dan tanggung jawab
beberapa Blater, mereka berpandapat mungkin adanya perubahan jika Blater yang memegang penuh dan
bertanggung jawab atas calon kepala desa akan berbeda dengan pemerintahannya terdahulu.

Peran elite Blater dalam pemilihan kepala desa di desa Banjar yang awalnya mereka mencari massa mulai dari
wilayah kekuasaannya sampai desa Banjar sendiri dan melibatkan Blater kampung dusun yang merupakan
anggotanya, pengumpulan dana untuk keperluan kampanye dan lainnya, kemudian setelah Pilkades
membackup sekarang dan melakukan rencana taktik dan strategi sebelum dan setelah Pilkades dan setelah
Pilkades blater masih bertanggungjawab moral atas desanya baik segi keamanan, penyelsaian masalah samapai
pembangunan desa. Ketiga, kepentingan blater memiliki tanggung jawab moral, dan Persaingan antar blater Di
desa banjar dalam mencalonkan calon Kepala desa Banjar dapat dikatakan tanda bahwasanya blater melakukan
fungsi sosial dalam kelas sosialnya, dan akan tetap menjaga eksistensi dirinya akan pengaruhnya di desa.
Blater menggunakan strategi untuk mendapatkan suara rakyat dengan berbagai cara untuk mendapat
pengakuan dari masayarakat atau dapat dikatakan sebagai peneguhan kultural.
Sri Praptianingsih (2017) : International Conference on Law, Governance and Globalization 2017
(ICLGG 2017) : Principles The Rule Of Law In The Settlement Of The Election Of Head Village,
DOI: https://doi.org/10.2991/iclgg-17.2018.14

Jumlah desa di Indonesia Indonesia mencapai 72 ribu tempat desa melakukan perubahan relai
kepemimpinan di masing-masing wilayah. Pemilihan kepala desa diatur dalam UU 6 tahun 2014 di mana
jika ada perselisihan tentang Hasil Pemilihan Kepala Desa diatur dalam UU No. Pasal 37 UU 6 tahun 2014
menyatakan bahwa UU No. penyelesaian perselisihan pemilihan kepala desa akan diselesaikan oleh bupati
dalam waktu 30 hari. Baik pemerintahan dalam menyelesaikan sengketa desa pemilihan kepala sebelum UU
6 tahun 2014 diselesaikan melalui sistem peradilan, tetapi setelah UU ke-6 tahun 2014 telah diselesaikan
oleh bupati di Indonesia masing-masing kabupaten berdasarkan UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah, tempat perselisihan resolusi pemilihan kepala desa disesuaikan Dengan kearifan lokal (peraturan
daerah) yang tidak bertentangan dengan prinsip umum yang baik pemerintah.

Tata pemerintahan yang baik adalah konsepsi yang bersih, pemerintahan yang demokratis dan efektif dalam
konteks pembentukan masyarakat sipil, dengan gagasan utama mengatur hubungan antara pemerintah, bisnis
dan masyarakat. PBB Program Pengembangan telah merumuskan 9 (sembilan) karakteristik pemerintahan
yang baik, salah satunya adalah prinsip supremasi hukum. Prinsip ini mengamanatkan bahwa kerangka
hukum harus dibuat secara adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. Terkait dengan pelaksanaan pemilihan
kepala desa, khususnya dalam penyelesaian sengketa pemilihan kepala desa, prinsipnya terkait dengan satu
dari dua dasar utama Hukum Konstitusi, yaitu prinsip hukum negara dan demokrasi. Dalam prinsip negara
hukum, maka satu karakteristik semua kebijakan dan tindakan harus berdasarkan hukum.
Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan penilaian prinsip aturan hukum dalam menyelesaikan
perselisihan pemilihan kepala desa, dengan tujuan untuk menghasilkan argumentasi, konsep, dan hukum
baru teori sebagai resep yang terkait dengan pengembangan hukum desa. Penelitian hukum ini menggunakan
beberapa pendekatan dengan niat mendapatkan informasi dari berbagai hukum masalah yang dimaksud
untuk menemukan jawabannya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan statuta
(statute pendekatan), pendekatan konseptual (konseptual pendekatan), dan pendekatan kasus (pendekatan
kasus).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada dasarnya pemerintah kabupaten sadar betul akan hal itu ada
kemungkinan bahwa akan ada perselisihan dalam seri ini dan / atau setelah pemilihan kepala desa,
karenanya peraturan dan / atau peraturan yang mengaturnya harus dibuat, pengaturan mana tidak ditemukan
di undang-undang di atas.

Prinsip supremasi hukum dalam perselisihan resolusi pemilihan kepala desa sebelum UU 6/2014 melalui
lembaga pengadilan (litigasi), ini terjadi di Kabupaten Jember, sedangkan di Lumajang dan Kabupaten
Bondowoso oleh non litigasi. Kemudian penyelesaian perselisihan atas kepala desa pos pemilu UU 6/2014
diselesaikan oleh Bupati / Walikota. Implementasi Permendagri 112 tahun 2014 yang diperselisihkan oleh
Pilkades tentang "proses pemilihan" diselesaikan secara independen oleh Komite Pemilihan, di mana sifat
pemilihan pemilihan final Komite bersifat final dan mengikat. Sementara perselisihan atas pemilihan kepala
desa tentang penghitungan hasil pemungutan suara diselesaikan oleh bupati / walikota dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak proposal ratifikasi diterima oleh bupati / walikota.
Krister Anderson (2007) : Comparative Political Studies: From Local Strongman to Facilitator, DOI:
10.1177/0010414006288977

Upaya untuk melibatkan masyarakat dalam bentuk pemerintahan yang demokratis dalam mengembangkan
masyarakat yang rumit oleh berakar ketidaksetaraan sosial ekonomi dan politik. Pada artikel ini, penulis
menganalisis kondisi di mana politisi lokal di daerah pedesaan di Amerika Latin cenderung terbuka untuk
partisipasi warga dalam keputusan pemerintahan. Pendekatan analitis berfokus pada struktur insentif dari
politisi lokal di bawah kedua rezim desentralisasi dan sentralisasi. Argumennya adalah bahwa, terlepas dari
jenis rezim, lembaga pemerintahan partisipatif lebih cenderung muncul ketika tujuan lembaga ini kompatibel
dengan kepentingan eksekutif lokal. Para penulis menguji argumen dengan menganalisis pola interaksi antara
aktor-aktor pemerintahan pusat dan daerah dalam 390 pemerintah kota di Brazil, Chili, Meksiko, dan Peru.

Pemilu 2014 menandai pembaharuan besar personil politik lokal, menunjukkan berhenti di pemilih penurunan
dan con fi rmed pentingnya bentuk-bentuk baru politik. Pada saat yang sama, fenomena terkait dengan
malaise politik, seperti antipartisanship parah, terjadi dan tampaknya kemungkinan akan ditransfer ke
panggung politik pusat. Secara umum, fakta bahwa struktur suara, kekuatan elektoral relatif dan antar-pemilu
korelasi begitu berbeda di seluruh pihak dan berbagai jenis pemilu menunjukkan bahwa sistem politik Yunani
telah memasuki tahap kedua transisi, setelah pengambilan jarak lengkap 2012. Ini adalah mungkin fase
akuisisi bentuk, yang dapat menyebabkan baik untuk sistem dengan sub-sistem lokal yang jelas atau satu
dengan karakteristik nasional lebih koheren, agak mengingatkan pada bipolarisation yang ditandai politik
Yunani selama beberapa dekade,
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang kemudian dapat
dijadikan pedoman untuk melengkapi data kualitatif.

Beberapa peneliti kontemporer mempertanyakan gagasan bahwa lembaga-lembaga yang diselenggarakan


secara lokal untuk coprovision dan produksi bersama pelayanan publik dapat menyebabkan peningkatan
transparansi dalam urusan publik, meningkatkan legitimasi pemerintah, akuntabilitas ke bawah ditingkatkan,
dan kualitas bahkan meningkatkan pelayanan publik. Literatur tentang pemerintahan daerah telah
mengumpulkan koleksi mengesankan studi kasus yang mendokumentasikan banyak manfaat dari
pemerintahan partisipatif.

Dalam penelitian ini, struktur pemerintahan terpusat membuat politisi lokal cenderung menjadi partisipatif.
Jika ini benar, orang akan berharap dua hal terjadi dalam kasus Peru. Pertama, baik Ormas dan pemerintah
pusat di Peru akan berinteraksi kurang dengan pemerintah kota di sektor pengelolaan sumber daya alam
relatif terhadap negara-negara lain, karena pemerintah daerah tidak pemain kunci di sana. Kedua, efek dari
interaksi ini pada kemungkinan partisipasi harus lemah di Peru, di mana walikota tidak ada kewajiban formal
untuk mengatur kegiatan apapun dalam sektor ini.

Anda mungkin juga menyukai