Adat Selingkar Desa
Adat Selingkar Desa
Adat Selingkar Desa
EMERALDY CHATRA
BAB I PENDAHULUAN
eberapa tulisan mengenai masyarakat Minangkabau menyatakan bahwa peranan penghulu telah menurun dari waktu ke waktu karena kebijakan pemerintah, yang dimulai sejak pemerintah kolonial Belanda1. Birokrasi pemerintah kolonial Belanda maupun Indonesia terlalu kuat bagi kaum penghulu dan sistem yang diterapkan cenderung mengabaikan posisi tradisional mereka.
Sulit dipungkiri, memang, bahwa rekayasa budaya yang dilakukan Belanda dan model birokrasi yang dikembangkan setelah Indonesia merdeka telah menimbulkan perubahan yang sangat prinsip dalam sistem sosial masyarakat Minangkabau. Memudarnya peranan nyata dari penghulu hanya salah satu dari sekian banyak perubahan-perubahan yang terjadi kemudian akibat rekayasa tersebut. Namun, dalam pandangan saya, argumentasi yang hanya mengasumsikan kebijakan pemerintah sebagai faktor tunggal yang menurunkan pengaruh penghulu, tidak dapat memberikan penjelasan yang adil. Faktor lain yang juga perlu ditengarai sebagai kekuatan yang
1
mengaburkan identitas penghulu adalah kemampuan individu-individu penghulu mengaktualisasikan diri, interaksi sosial mereka dengan pemerintah dan anak kemenakan, dan sejumlah perkembangan gaya hidup modern (seperti konsumsi media massa dan turisme). Lemahnya kemampuan individual penghulu tampaknya sudah dimulai sejak proses seleksi pengangkatan penghulu di tingkat kaum kerabat. Dampak dari faktor-faktor tersebut, seperti dirasakan saat ini, penghulu semakin jauh dari prinsip-prinsip kepemimpinan tradisional Minangkabau yang bersandar kepada kekuatan musyawarah. Penghulu terkooptasi oleh kekuatan politik berskala nasional, dan harus selalu bersikap akomodatif terhadap pemerintah. Akibatnya, pelecehan diam-diam terhadap penghulu dari anakkemenakannya menjadi tindakan yang menyebar, dan penghulu cenderung tutup mata dan kuping saja menghadapi pelecehan tsb2. Perubahan sosial di Minangkabau mempengaruhi terjadinya pembentukan makna baru terhadap simbolsimbol dan pengaburan identitas kepenghuluan yang akhirnya memodifikasi berbagai harapan terhadap para penghulu. Paradoks yang muncul seiring dengan memudarnya identitas dan menurunnya peran tradisional
2
Ketika sekelompok penghulu yang mengatasnamakan seluruh penghulu di Minangkabau melakukan aksi kebulatan tekad untuk mendukung Golkar dalam pemilu 1992, cemooh-cemooh dialamatkan kepada para penghulu. Banyak kalangan menyayangkan penghulu bersedia saja diperalat oleh Golkar untuk meraih dukungan dari masyarakat Minangkabau. Akan tetapi cemooh dan kritik masyarakat tidak ada pengaruhnya kepada sikap para penghulu. Terbukti menjelang pemilu 1997 peristiwa lima tahun sebelumnya terulang kembali.
penghulu ialah kecenderungan sementara kalangan -biasanya terdidik dan berstatus ekonomi kuat -- untuk menyandangkan gelar penghulu kepada diri mereka sendiri, meskipun untuk itu mereka harus mengeluarkan jutaan rupiah dan menghadapi ekspresi keberatan dari sebagian kerabat pemegang sako (gelar pusaka). Dalam konteks ini kepenghuluan dimaknai dengan cara berbeda dan diberi identitas sebagai bagian dari gaya hidup dan dimanfaatkan untuk melepaskan kerinduan terhadap sesuatu yang langka dan berbeda dari perolehan masyarakat banyak. Pada kenyataannya, memang, di satu pihak penghulu belum sempat mengalami komoditisasi (oleh sebab itu pembelian gelar adalah kasuistik3), karena pemberian gelar penghulu kepada sembarang orang tetap mendapat tantangan dan tidak mudah diterima masyarakat Minangkabau. Di pihak lain, upaya-upaya mereaktualisasi peran-peran sosial dan memperkukuh identitas penghulu mengalami kemandegan yang serius. Sebagian kaum lebih suka
3
Setidaknya ada empat pemberian gelar penghulu yang bersifat kontroverisial dalam dekade 80 dan 90-an. Kasus pertama melibatkan seorang pejabat tinggi negara. Ia (sang pejabat) yang jelas-jelas berasal dari Kabupaten Solok dinobatkan jadi penghulu dengan gelar yang sengaja diciptakan untuknya di Kabupaten Tanah Datar. Kedua, di Pesisisr Selatan, melibatkan seorang pengusaha kondang asal Minang dari Jakarta. Peristiwa ketiga di Kabupaten 50 Kota, juga melibatkan seorang pengusaha kaya dari Jakarta, juga orang Minangkabau. Keempat, di Kabupaten Agam, melibatkan seorang tokoh pendidikan yang tidak berasal dari Minangkabau. Pada kasus pertama dan kedua penobatan sebagai penghulu tetap berlangsung, sekalipun di bawah percikan konflik antar anggota kaum. Sebaliknya, pada kasus ketiga transaksi gelar penghulu terpaksa dibatalkan karena pertentangan dalam kaum yang akan memberikan gelar penghulu itu tak dapat diselesaikan dengan baik.
malipek (melipat, meniadakan penghulu dalam kaum) penghulu bila kaum itu menemui kesukaran menentukan figur penghulu yang paling tepat daripada memberikannya kepada pihak lain di luar kaum. Atas dasar pandangan-pandangan seperti itulah saya memfokuskan penelitian kepada identitas dan kepemimpinan penghulu Minangkabau. Dari observasi yang sangat umum sifatnya, tampaknya sampai pada tingkat tertentu eksistensi penghulu dipertahankan oleh kebanyakan orang Minangkabau, termasuk oleh pemerintah. Namun demikian penghulu tidak lagi menempati lapisan atas dari struktur sosial masyarakat Minangkabau kontemporer. Oleh karena itu pertanyaan pokok yang saya ajukan dalam penelitian ini adalah: apa arti penghulu bagi orang Minangkabau sekarang ini? Apa kaitan antara identitas penghulu dengan perubahanperubahan yang terjadi pada arena sosial-politiknya? Tujuan Penelitian ini merupakan upaya yang lebih komprehensif untuk memahami identitas kaum penghulu di kalangan masyarakat Minangkabau dalam dua dasawarsa terakhir. Istilah masyarakat Minangkabau mengandung arti bahwa identitas penghulu akan dilihat dari sudut pandang warga yang tidak masuk ke dalam kategori penghulu maupun kalangan penghulu itu sendiri. Selanjutnya penelitian diarahkan untuk memetakan persamaan maupun perbedaan pandangan dan
pemahaman antara kedua golongan di atas tentang makna penghulu. Sangat terkait dengan metode yang digunakan, penelitian ini tidak bertujuan membuat generalisasi (nomothetic statement) sebagaimana lazimnya tujuan yang ingin dicapai oleh penganut paradigma positivistik. Saya sangat menyadari, data-data yang akan terkumpul melalui penelitian ini tidak mungkin digunakan untuk membuat pernyataan-pernyataan yang bebas waktu dan konteks (time and contex-free), antara lain karena perhatian kepada aspek lokalitas budayanya yang demikian kental. Jangankan untuk menghasilkan generalisasi yang dapat digunakan kapan saja dan dimana saja, untuk digunakan dalam wilayah Minangkabau sekalipun sebuah generalisasi belum tentu akan berguna. Komunitas lokal Minangkabau menyimpan begitu banyak perbedaan, baik dalam sejarah maupun dalam pola-pola gagasan. Untuk itu, tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk mencapai apa yang disebut oleh Cronbach sebagai working hypothesis (Lincoln dan Guba, 1985: 122-124), sebuah pernyataan idiografis yang terikat pada konteks dan waktu. Jadi apa yang bisa saya hasilkan dari studi ini mungkin transferable ke konteks lain yang tidak diteliti asalkan terdapat kemiripan dan kecocokan di antara konteks yang diteliti dengan yang tidak. Metode dan Proses Gagasan untuk melakukan penelitian ini sebenarnya telah muncul pada awal tahun 1996. Pelaksanannya
tertunda karena saya masih harus mengumpulkan sejumlah informasi penting, melakukan observasi sederhana terhadap pemanfaatan para penghulu dalam masa kampanye Pemilihan Umum 1997. Kegiatan prapenelitian itu mungkin tidak seluruhnya benar-benar berguna bagi penelitian ini, namun setidaknya masukkanmasukkan yang diperoleh dapat mempertebal keyakinan saya bahwa isyu identitas penghulu ini memang perlu dipelajari secara lebih komprehensif. Penelitian akhirnya dilakukan antara bulan Juli November 1997. Studi tentang makna dan identitas menuntut hubungan yang lebih dekat antara saya dengan subyek penelitian karena makna dan identitas tidak selalu bisa ditangkap melalui teknik-teknik penelitian yang sederhana dan sambil lalu. Makna bahkan sering terkubur dalam lautan prilaku, sehingga pelaku-pelaku sendiri dihadapkan kepada kesukaran dalam menjelaskan kaitan antara prilaku mereka dengan makna yang mereka pahami. Studi pustaka dilakukan sejak awal penelitian hingga proses penulisan laporan, sebagaimana biasa dilakukan oleh peneliti kualitatif atau para etnografer. Data primer dikumpulkan melalui wawancara informal, kadang-kadang merupakan panel, yang dilaksanakan berkali-kali dengan penghulu, kepala desa, aparat pemerintah, pemuda dan warga biasa yang dianggap layak menjadi sumber informasi. Sepanjang pengumpulan data primer dilakukan saya berusaha untuk menempatkan diri sebagai insider agar informan tidak banyak berbasa-basi dan berusaha menutup-nutupi apa yang mereka ketahui.
Rekording data sama sekali tidak menggunakan alat perekam elektronis. Saya memang menjauhi alat itu karena - belajar dari berbagai pengalaman sebelumnya - ia dengan mudahnya akan merubah situasi interaksi yang informal menjadi seolah-olah formal. Saya kuatir bila alat itu dihadirkan informan lalu mengambil ancang-ancang untuk menyeleksi informasi yang diberikannya, terutama ketika pembicaraan mulai menyentuh isyu yang dalam pikiran mereka adalah sensitif. Oleh sebab itu saya berusaha mencatat pada field notes dengan mengandalkan daya ingat setelah pertemuan selesai mengenai segala apa yang dibicarakan dengan informan. Informasi-informasi yang dianggap kabur, kacau dan bias kemudian ditandai untuk dikonfirmasikan lagi kepada sumber-sumber informasi. Disamping itu dilakukan juga observasi terhadap tindakan sosial penghulu untuk melengkapi data yang diperoleh melalui wawancara. Dalam aktivitas observasi ada dua setting peristiwa yang sering menjadi pengamatan saya. Pertama, pertemuan-pertemuan di Balai Desa dimana sejumlah penghulu hadir baik sebagai tokoh formal desa (karena menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan desa) maupun tokoh informal (tidak punya jabatan, tapi diundang sebagai tokoh masyarakat biasa). Kedua, pertemuan kaum yang secara khusus membahas masalah yang dihadapi oleh sebuah kaum, baik yang berkaitan dengan adat-istiadat maupun yang bukan, dan di sana penghulu hadir dalam kapasitasnya
sebagai pemimpin kaum. Sebenarnya saya juga ingin mengamati pertemuan-pertemuan di tingkat paruik, dan payuang untuk lebih memahami peranan penghulu di tingkat itu, tapi tidak berhasil karena tidak ada pertemuan seperti itu diselenggarakan sepanjang pengumpulan data dilaksanakan. Pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan di Balai Desa tidak ada yang bisa diklasifikasi sebagai pertemuan yang dimaksud, karena pertemuan paruik adalah yang dipimpin oleh penghulu paruik, dan pertemuan payuang juga dipimpin oleh penghulu payuang. Ketiga, peristiwa komunikasi yang tidak formal antara penghulu dengan kemenakannya. Peristiwa ini bisa diamati setiap hari, baik di jalan, di warung, di rumah atau di mesjid. Saya bisa melakukan pengamatan karena sebelumnya telah mengenali secara pribadi cukup banyak penghulu di lokasi penelitian. Saya menjadikan struktur komunikasi sebagai salah satu obyek pengamatan yang sangat penting. Melalui observasi terhadap ketiga bentuk pertemuan di atas. saya berusaha mencari jawaban untuk pertanyaan siapa yang memegang fungsi kontrol di ketiga setting pertemuan tersebut di atas? Jadi pengamatan terhadap peristiwa komunikasi tidaklah dimaksudkan untuk memperlajari arus pesan (message flows), gaya komunikasi atau dampak komunikasi sebagaimana yang sering dilakukan dan disukai ahli komunikasi. Pengamatan itu semata-mata sebagai jalan untuk mencapai tujuan yang mempunyai dimensi sosiologis dan kultural lebih luas dari sekedar tukar-menukar pesan.
Fungsi kontrol dioperasionalisasi sebagai tindakan komunikasi yang ditujukan untuk mengendalikan dan mengarahkan pikiran para peserta pertemuan. Orang yang memegang fungsi kontrol dianggap sebagai pemimpin dalam pertemuan tersebut. Konsep kepemimpinan yang saya gunakan bersumber dari hasilhasil penelitian Rober Bales yang menurunkan dua tipe kepemimpinan dalam komunikasi kelompok, yaitu taskleaders dan socio-emotional leaders (Miller, 1974)4. Sepanjang penelitian berlangsung, saya banyak terlibat dalam berbagai kejadian yang kelak dijadikan sebagai sumber data. Sehingga secara mentodologis penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang menggunakan metode observasi partisipatif (participant observation), meskipun dalam penerapannya tidak selalu konsisten.
Menurut Bales, task leaders bukanlah semata orang yang banyak bicara. Ia adalah orang yang sukses sebagai komunikator persuasif dan banyak mengemukakan ide-ide yang dapat diterima anggota kelompok. Dalam pandangannya, kelompok adalah kelompok kerja dan ia berusaha memaksimalkan ganjaran (rewards) bagi kelompok dengan melakukan pekerjaan. Disamping itu ia memiliki pengetahuan dan keahlian tentang tugas tertentu. Sementara socio-emotional leaders cenderung kurang aktif bicara dibandingkan task leaders. Ia bicara tentang sesuatu yang lain dibandingkan task leaders dan cenderung berusaha membuat anggota kelompok merasa nyaman. Dalam pandangannya kelompok adalah sebuah kelompok sosial dan ganjaran maksimal dapat diperoleh dengan menjalin kerjasama yang erat di antara anggota kelompok. Lihat M. Mark Miller dalam Jan Shubert, 1974, hal G-11 - 12. Saya merasa konsep Bales layak dipergunakan karena pertemuan-pertemuan yang diobservasi pada umumnya merupakan rapat: jadi diakhiri dengan pembuatan sejumlah keputusan dan pembagian wewenang dalam menyelesaikan persoalanpersoalan tertentu.
Oleh karena subyek penelitian telah sangat mengenal saya, kerepotan yang dapat dirasakan adalah munculnya bias-bias dalam melakukan interpretasi terhadap data. Saya sangat menyadari kedekatan hubungan dengan subyek dapat menimbulkan Hawthorn effect yang merusak kualitas penelitian secara keseluruhan. Oleh sebab itu, dengan segala daya upaya saya berusaha melakukan interpretasi dengan menempatkan diri dalam posisi outsider, meskipun dalam hal tertentu terasa berat dan saya dihantui kegagalan5. Saya kadang-kadang harus berperang dengan keinginan untuk mengatakan apa yang saya tahu secara apa adanya dengan keinginan untuk terhindar dari tuduhan menepuk air di dulang. Data penelitian ini umumnya bersifat kualitatif, sehingga merupakan kumpulan informasi-informasi yang telah terseleksi dan diyakini validitasnya. Validitas data tidak ditentukan oleh pengujian-pengujuan statistikal terhadap instrumen penelitian yang dilaksanakan secara terpisah dengan proses pengumpulan data, melainkan terintegrasi ke dalam proses tersebut Dengan kata lain, saya berupaya menjaga validitas data secara langsung di
5
Secara jujur perlu dijelaskan bahwa saya dilahirkan di desa tempat penelitian ini dilaksanakan, tapi telah meninggalkannya sejak usia dua tahun dan dibesarkan di kota. Oleh karena tidak dibesarkan di lingkungan mereka, sangat sedikit warga desa ini yang saya kenal secara pribadi. Tapi umumnya warga desa yang berusia lebih 40 tahun dapat mengenali saya setelah saya menyebutkan nama orang tua atau kakek dan nenek. Dari banyak kali pertemuan yang saya lakukan sepanjang penelitian ini, sikap mereka kadang-kadang terasa sangat membantu saya dalam memperoleh informasi yang lebih banyak, tapi di lain pihak juga agak mengganggu karena mereka berhati-hati sekali (mungkin dimaksudkan agar saya tidak tersinggung) menjelaskan prilaku negatif individu-individu yang masih ada hubungan kekerabatan dengan saya.
10
lapangan dengan teknik check and recheck dan triangulasi terhadap informasi-informasi yang diperoleh. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di sebuah desa dalam Nagari Kubang, Kecamatan Guguk, Kabupaten 50 Kota, lebih kurang 17 km ke sebelah utara Kota Payakumbuh. Nagari Kubang terletak di dataran tinggi Bukit Barisan yang membujur dari utara ke selatan pulau Sumatra, dengan luas daerah sekitra 49 km2. Topografinya 34% dataran dan 66% perbukitan subur dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai lahan pertanian (Kewalinagarian Kubang, 1979: 8). Jumlah penduduknya lebih kurang 9.651 orang pada tahun 1989 (Direktorat Bandes Sumatera Barat, 1989). Nagari Kubang mungkin tidak begitu terkenal di kalangan masyarakat Sumatera Barat, kecuali sebatas nama yang diperkenalkan melalui beberapa restoran di berbagai kota di Sumatera Barat. Hingga tahun 60-an Desa Kubang (ibunegeri Nagari Kubang) masih cukup luas dikenal sebagai salah satu sentra industri tenun di Sumatra Barat, berpasangan dengan Silungkang (Kabupaten Sawah Lunto Sijunjung). Pada abad ke-19 Kubang termasyhur karena menghasilkan sarung sutra yang bagus, dan mempekerjakan kira-kira 13.000 wanita dalam produksi puncaknya (Oki, 1986: 122-3). Kejayaan industri tenun Kubang memang sudah berlalu, dan kini pabrik-pabrik yang tersisa boleh dihitung dengan jari.
11
Pesentuhan yang berjalan lama antara masyarakat Desa Kubang dengan kehidupan industri dan pasar kemudian melahirkan komunitas perantau, pedagang, dan profesional yang mapan. Di bandingkan dengan warga desa-desa lain dalam Nagari Kubang, warga Desa Kubang paling banyak yang berhasil mencapai pendidikan tinggi, lalu jadi pekerja profesional seperti dokter, insinyur, pengacara, atau dosen. Tingkat perantauan juga tinggi. Sebagian perantau terlibat dalam aktivitas perdagangan, mulai dari skala kecil hingga menengah. Para pedagang kecilnya yang berjualan dengan gerobak dorong dan kioskios sederhana cukup dikenal dengan komoditas makanannya yang khas: martabak Kubang. Nagari Kubang terdiri atas 10 jorong, yaitu Kubang, Koto Baru, Koto Syarikat, Limo Koto, Tanjuang Barulak, Taratak, Siamang Bunyi, Boncah, Baliak, dan Lokuang. Sejak status nagari sebagai unit administratif terkecil di hapus dan digantikan oleh desa, ke sepuluh jorong di atas berubah statusnya menjadi desa. Oleh karena sejak awal penyebaran penduduk Nagari Kubang tidak begitu merata, perubahan status jorong sekaligus membentuk desa-desa yang lengang dan miskin sumber daya manusia. Desa Limo Koto, sebagai contoh, hanya berpenduduk 439 orang atau 102 KK (Direktorat Bandes Sumatera Barat, 1989: 65). Kondisi fisik antara Desa Kubang, sebagai ibunegeri Nagari Kubang, dengan kesembilan desa lainnya sangat berbeda. Bila jalan-jalan utama dalam Desa Kubang sudah terbuat dari aspal beton, rumah-rumah penduduk menggunakan listrik dan telepon, hingga penelitian ini
12
dilaksanakan desa yang lain malah masih belum menikmati jalan aspal, apalagi listrik dan telepon. Desa Siamang Bunyi, misalnya, masih terkesan sangat parah. Desa itu hanya ditempuh oleh kendaraan penompang reguler dua kali sehari: pagi dan sore. Di antara kedua waktu itu penduduk menggunakan fasilitas angkutan tidak resmi (cigak baruak) yang berfungsi rangkap sebagai pengangkut barang, orang dan ternak. Tapi bila hujan terlalu deras dan jalan tanah menuju desa itu berubah jadi jebakan lumpur, tak akan ada satupun kendaraan roda empat yang keluar maupun masuk. Dari sekian banyak desa yang ada di Nagari Kubang, saya hanya melakukan studi intensif di salah satu desa yang -- dengan berbagai pertimbangan etis -- diberi pseudoname (nama samaran) Desa Barantah6. Sistematika Penulisan Berdasarkan substansinya, tulisan ini dibagi ke dalam empat bagian. Bagian Pertama (BAB I) merupakan penjelasan mengenai gagasan dasar penelitian, tujuantujuan yang ingin dicapai, dan proses penelitian. Secara sadar dan sengaja saya tidak berpanjang lebar mengenai metode penelitian yang diterapkan karena pada dasarnya saya tidak menggunakan metode yang sama sekali baru,
6
Bagi sebuah penelitian kualitatif pemberian pseudoname ini cukup lazim dilakukan. Geertz (1986 (1965)) menamakan lokasi penelitiannya di Jawa sebagai Mojokuto, dan Koning menamakan desa penelitiannya Rikmokeri (Koning, 1997). Dalam tulisan ini, pseudoname juga diterapkan kepada segala nama orang dan nama tempat yang berkaitan langsung dengan Desa Barantah.
13
sekalipun metode penelitian kualitatif yang saya gunakan masih jarang diterapkan karena berbagai konstrain. Pada Bagian Kedua (BAB II) saya menyajikan hasil penelusuran terhadap sejumlah pikiran dan pandangan mengenai penghulu di Minangkabau yang diperoleh dari sejumlah referensi. Tujuan yang ingin dicapai melalui tulisan ini adalah mendudukan konsep penghulu dan kepemimpinan di Minangkabau serta sejumlah perubahan-perubahan yang terjadi akibat perjalanan waktu. Begitu luasnya wilayah yang harus dipelajari, tulisan dalam bagian ini merupakan hasil dari penerapan berbagai pendekatan, terutama sekali budaya politik, hukum dan sejarah. Dengan pendekatan budaya politik saya menghadapkan permasalahan penghulu kepada kearifan dan keunikan budaya Minangkabau dalam menentukan pola kepemimpinan masyarakatnya. Pembahasan kemudian berlanjut kepada intervensi pihak ekternal, mulai dari Majapahit hingga Orde Baru yang secara politis berkecenderungan merubah budaya politik yang telah berkembang selama ratusan tahun di Minangkabau. Dengan menggunakan pendekatan sejarah saya berusaha menafsirkan kembali mitos-mitos yang berkembang di sekitar kehidupan para penghulu, dan tentu saja dalam upaya itu tidak dapat dihindarkan munculnya pikiran yang melawan anggapan-anggapan umum, misalnya mengenai kebesaran Adityawarman yang disebut sebagai raja kerajaan Minangkabau dan konsep republik nagari.
14
Bagian Ketiga (BAB III dan IV) berisi deskripsi komprehensif mengenai desa dan masyarakat yang diteliti. Dalam uraian tersebut saya memulainya dengan fokus perhatian kepada kasus persengketaan antara kaum Samidah dan Kamisah yang kemudian dibahas secara melebar kepada kondisi lingkungan sosial politik yang mengitarinya. Kasus itu saya kaitkan dengan sejarah perkembangan sosial, budaya dan politik di Desa Barantah dan masuknya pengaruh budaya politik nasional beserta institusi dan aparat-aparatnya. Posisi penghulu di dalam masyarakat Desa Barantah dijelaskan dengan menghadirkan rangkaian berbagai fakta. Sekalipun pada Bagian Ketiga saya sebenarnya telah memberikan banyak interpretasi, pada Bagian Keempat (BAB V) saya menyajikan diskusi yang sifatnya lebih analitis. Pada bagian ini dilakukan olah pikir mengenai deskripsi yang dipaparkan pada Bagian Ketiga dengan memfokuskan perhatian kepada konstruksi sosial identitas penghulu. Apa yang ingin saya hadirkan adalah cara pandang, konsep, dan berbagai harapan orang Minangkabau -- dalam hal ini secara khusus orang Desa Barantah -- terhadap penghulu yang berkembang dalam periode 1980 hingga akhir 1990-an.
15
enelitian ini diilhami oleh ide-ide George Herbert Mead, Herbert Blumer, Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Karena itu, dua aliran pemikiran dipadukan dalam penelitian ini, yaitu interaksionisme simbolik dan kontstruktivisme (fenomenologi). Saya berhutang kepada Mead dan Blumer karena menggunakan konsep tentang makna, interaksi simbolik, pengambilan peran (role taking) dan diri (self)7, sementara kepada Berger dan Luckmann karena menggunakan konsep identitas dan konstruksi sosial dari realitas8.
Dengan perspektif tersebut dipahami bahwa makna, peran, dan identitas penghulu terbentuk dalam lingkungan masyarakat Minangkabau melalui serangkaian
7
Lihat tulisan G.H.Mead, The Self dalam Peter Worsley (ed.), Modern Sociology, Penguin, Harmondsworth, 1970. Dibicarakan secara mendalam oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam Tafsir Sosial atas Kenyataan (diterjemahkan dari The Social Construction of Reality. A Treatise in the Sociology of Knowledge oleh Hasan Basari), LP3ES, Jakarta, 1990.
16
proses interaksi intersubjektif. Identitas adalah produk sosial, diproduksi melalui proses negosiasi (McCall dan Simmons, 1971), kemudian disosialisasikan. Dalam masyarakat yang pembagian kerjanya sangat sederhana dan distribusi pengetahuan masih minim, sosialisasi menghasilkan identitas yang telah didefinisikan terlebih dahulu dan garis-garis besarnya telah ditetapkan dengan sangat seksama (Berger dan Luckmann, 1990: 234). Konsep identitas dapat dielaborasi menjadi identitas individual dan identitas kelompok atau kolektif (collective identitiy). Keduanya merujuk pada dua entitas sosial yang berbeda (yang pertama kepada individunya dan integrasi psikososial dari kepribadiannya, sedang yang kedua kepada suatu kelompok dan apa yang diasumsikan sebagai collective self-conception), tapi kedua konsep tersebut berkaitan erat satu sama lainnya (Heidt, 1987: 73). Oleh karena ia muncul dari collective self-conception, identitas kelompok merupakan hasil produksi internal sejumlah anggota yang telah menyamakan pengertian serta pandangan tentang diri sendiri maupun dunia luar, kemudian mensosialisasikan pengertian dan pandangan tersebut ke dalam jaringan intenal yang lebih luas. Pandangan itu diikat dan dipertahankan melalui serangkaian norma dan aturan yang harus dipatuhi oleh segenap anggota kelompok. Akan tetapi identitas sebuah kelompok juga bisa merupakan hasil produksi eksternal: sesuatu yang secara sengaja diciptakan oleh anasir-anasir di luar kelompok dengan segenap pandangan subyektif dan bias-bias.
17
Sebuah kelompok orang-orang bersenjata, misalnya, mungkin menamakan diri mereka pejuang, tapi anasir luar mengidentifikasi mereka sebagai teroris atau perusuh. Dalam konteks identitas yang merupakan hasil produksi internal, komunitas-komunitas dalam masyarakat Minangkabau secara relatif memiliki pandangan yang sama terhadap penghulu. Secara kolektif status dan peranan penghulu dirumuskan, selanjutnya setiap penghulu dituntut oleh komunitasnya agar bertindak dan berprilaku menurut makna yang dipahami anggota komunitas. Penghulu sendiri dituntut untuk tunduk dan bertindak mengikuti makna, peran dan norma yang disosialisasikan kepada mereka. Karena itu, di satu pihak perubahan makna dapat merubah harapan terhadap penghulu, dan dipihak lain tindakan sosial penghulu sehari-hari dapat membentuk makna baru. Bagi orang Minangkabau penghulu adalah salah satu simbol dari budaya politik lokal yang sangat mengutamakan kesetaraan hak dalam berpendapat dan mengambil keputusan (diperkirakan berakhir setelah Plakat Panjang, 1833). Penghulu memerintah dengan kekuasaan terbatas, dan dituntut untuk mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan. Sudah cukup banyak penulis mengetengahkan aspekaspek ideal dari gaya kepemimpinan penghulu, dan sebagian tampak yakin bahwa gaya tsb -- sekalipun kini telah mengalami banyak penyimpangan dalam prakteknya -- masih relevan dengan masyarakat Minangkabau sekarang. Bagi kebanyakan orang Minangkabau, keputusan yang diambil secara sepihak oleh pemerintah
18
masih diterima dengan rasa kecil hati, terutama di wilayah pedesaan, tapi pengambilan keputusan bercorak demikian cukup sering terjadi sekarang. Sebagaimana disebutkan George Herbert Mead dan tokoh-tokoh sosiologi yang satu aliran dengannya (symbolic interactionism), simbol-simbol itu terutama tersimpan dalam kata-kata, tapi juga bisa ditemukan dalam kial-kial (gestures), gambar-gambar, bunyi musik atau obyek natural seperti perhiasan (Geertz, 1973: 45). Simbol juga ditemukan dalam obyek sosial seperti pelajar, presiden, teman, ibu, dan obyek abstrak seperti prinsipprinsip moral, doktrin filosofis, atau ide-ide tentang keadilan, eksploitasi dan rasa kasihan (Blumer, 1969: 1011). Untuk memahami simbol-simbol itu musti bisa ditemukan rangkaian logis dari satu simbol kepada simbol yang lain, atau dalam suatu sistem simbol. Makna sebuah simbol mungkin tidak bisa diterangkan oleh simbol itu sendiri, tapi sistem-simbol lain akan mengungkapkannya. Dengan demikian, kekeliruan dalam menginterpretasikan sebuah simbol sulit diketahui kalau tidak ada usaha melihat kaitannya dengan sistem simbol yang ada dalam masyarakat. Dari simbol rumah gadang, misalnya, dapat diterangkan bagaimana makna dari simbol lain dalam masyarakat Minangkabau seperti laki (suami), bini (istri), anak padusi (anak perempuan), kamanakan (kemenakan atau keponakan), biliak (kamar) dan sebagainya. Sebaliknya simbol-simbol yang disebutkan terakhir juga bisa menerangkan makna rumah gadang bagi masyarakat
19
Minangkabau. Sedangkan dari simbol nagari dapat pula dijelaskan sejumlah makna sejumlah simbol yang mengacu kepada obyek-obyek fisik, sosial, dan abstrak seperti tanah, rumah gadang, tapian (tepian mandi), suku, penghulu, parentah (perintah), budi, aka (akal), dan sebagainya. Masing-masing simbol dimaknai dalam kedudukannya di antara simbol lainnya dalam sistem. Simbol mamak, misalnya, tidak bisa diterangkan bila tidak dikaitkan dengan simbol kemenakan dan kaum. Mamak tanpa kemenakan tidak ada artinya bagi orang Minangkabau, karena mamak menyandang kewajiban sosial yang berkenaan dengan kehidupan kemenakan dan kaumnya. Makna sebuah simbol kemudian jadi dasar bagi tindakan individu dan pengambilan peran (role taking). Kenapa orang harus bersikap ekstra-sopan berhadapan dengan pejabat? Tidak lain sebabnya karena makna simbol pejabat bagi kebanyakan orang terkait dengan simbol-simbol lain yang ada dalam suatu sistem seperti kekuasaan, wibawa, aparat keamanan, penjara, penyiksaan dan sebagainya. Kalau simbol-simbol yang terakhir itu tidak lagi ada maknanya, maka makna simbol pejabat juga akan berubah dan akibatnya orang tidak merasa perlu bersikap ekstra-sopan lagi ketika berhadapan dengan seorang pejabat. Proses yang sama terjadi pula ketika mamak9 bertindak terhadap kemenakan-kemenakannya10. Bila mamak
9
Dalam ikatan geneologis, penghulu adalah mamak dalam kaumnya. Oleh sebab itu penghulu kadang-kadang juga dipanggil mamak. Namun tidak setiap mamak menyandang gelar penghulu.
20
memimpin kemenakannya, tindakan itu sesuai dengan makna simbol tadi. Sebaliknya bila kemenakan melawan kepada mamak, muncullah tafsiran bahwa makna mamak bagi kemenakan telah berubah, atau mamak tidak lagi bertindak menurut makna yang dipahami kemenakan karena bagi mamak itu sendiri makna simbol mamak juga sudah berubah. Untuk mengetahui pergeseran makna dari setiap simbol tidak cukup dengan sekedar mengetahui pendapat individu. Pendapat seseorang dapat saja berbeda dengan tindakannya. Tidak ada keharusan bagi individu bertindak persis sama dengan makna simbol yang dia pahami karena seringkali individu dihadapkan pada faktor kesempatan yang tidak memungkinkannya bertindak. Kesempatan individu bertindak sesuai dengan pemahamannya semakin berkurang kalau orang-orang disekelilingnya ternyata memiliki pemahaman yang berbeda dan berusaha menghalang-halanginya. Seseorang bisa saja memahami makna sertifikat hak milik sebidang tanah sebagai bukti kepemilikan mutlak yang terlindungi oleh hukum, dan di atas tanah itu ia bisa membangun apa saja karena memang miliknya. Namun kenyataannya ia tidak bisa menggunakan tanah itu sesuai dengan apa yang dipahami secara subyektif karena aparat instansi perizinan membatasinya. Pembatasan itu merupakan tindakan sosial yang berpijak pada pemaknaan sertifikat hak milik di
10
Secara geneologis kemenakan adalah anak dari saudara perempuan seorang laki-laki. Dalam kaitannya dengan penghulu, kemenakan menjadi simbol dari rakyat atau orang-orang yang berada di bawah pimpinan penghulu.
21
kalangan aparat yang tidak sama dengan pemaknaan yang dilakukan pemilik tanah. Dalam upaya mengetahui pergeseran makna dan identitas penghulu, perubahan-perubahan tindakan sosial menjadi sangat penting. Seorang anak Minangkabau yang dibesarkan dalam lingkungan urban dapat saja mengatakan penghulu tidak lagi penting bagi masyarakat modern. Tapi bila ia kemudian ia berusaha membujuk orang kampungnya agar mengangkatnya menjadi penghulu, maka pendapatnya tadi tidak lagi penting bagi penelitian simbolik, karena makna yang sebenarnya tidaklah bercokol dalam pendapat semula, melainkan di belakang tindakannya yang terakhir. Tindakannya dapat diinterpretasikan tidak didasari oleh makna simbol tradisional, tapi oleh makna simbol yang sama sekali baru. Dengan kata lain, makna simbol tradisional sudah tidak utuh, bahkan mungkin sudah hilang di alam pikiran orang tadi. Lain halnya bila ia bersikukuh untuk tidak berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa apapun yang masih kuat warna adat-istiadatnya. Penghulu: Pemimpin tanpa Individualitas Salah satu keunikan dari sistem kepemimpinan tradisional Minangkabau adalah pemisahan secara sedemikian rupa antara identitas individual pemimpin (penghulu) dengan identitas kelompok. Identitas individual dihapus dan diganti dengan identitas kelompok ketika seseorang dinobatkan menjadi penghulu dalam kelompoknya.
22
Kelompok atau komunitasnya itu tidak terikat oleh waktu dan tidak memiliki aspek kesejarahan: ia sudah ada sejak dulu kala yang tidak lagi diketahui secara pasti dan terus ada pada masa kini. Oleh sebab itu bukanlah suatu kelaziman dalam budaya Minangkabau memberi tanda khusus kepada seorang penghulu untuk menunjukkan identitas pribadinya, misalnya nomor yang menunjukkan generasi (seperti Amangkurat IV, Ratu Elizabeth II, Louis IV, dsb.). Tanda khusus hanya diberikan kepada penghulu yang sukunya mengalami pembelahan atau pemekaran, tapi tanda itu tetap tidak menunjukkan identitas pribadi. Bila pada suku awal, misalnya, gelar penghulunya Datuk Rajo Malano, maka pada suku belahan penghulunya diberi gelar Datuk Rajo Malano Nan Kuniang, Nan Hitam, Nan Bakaruik, dsb. Tidak adanya hubungan gelar dengan identitas pribadi menyebabkan orang-orang yang pernah menyandang gelar Datuk Rajo Malano Nan Kuniang bisa saja berkulit hitam, sawo matang, atau memang kuning langsat. Dalam jabatannya sebagai pemimpin komunitas, seorang penghulu tidak lagi menjadi individu yang bebas dalam berprilaku, tetapi terikat penuh kepada normanorma kepenghuluan. Dengan demikian penghulu berpeluang sedikit sekali, bahkan boleh dikatakan tidak ada, untuk bersuara atas kepentingan dirinya sendiri atau menunjukkan sikap-sikap anarkis. Implikasi lebih luas dari sistem yang unik ini dibahas dalam sub-bab berikutnya. Dengan hilangnya identitas individual seorang penghulu, kepemimpinan di tingkat nagari maupun jorong, sekalipun dilaksanakan secara bersama-sama,
23
tidak dapat dikatakan sebagai kepemimpinan kolektif, melainkan kepemimpinan institusional. Dalam kepemimpinan kolektif identitas individual masih dapat dilacak, dan keputusan kolektif merupakan kesepakatan individu yang ada di dalamnya. Sementara dalam kepemimpinan institusional individu hanya sekedar menjadi motor agar institusi itu bergerak. Dengan model kepemimpinan seperti itu, penghulu yang meninggal atau tidak berfungsi lagi dalam institusi tidak membawa pergi aspirasi yang diperjuangkannya, karena aspirasi itu bukan miliknya pribadi. Bila ia meninggal, secara otomatis aspirasi tadi diwariskan kepada penghulu penggantinya. Jadi, dalam kepemimpinan model ini individu boleh datang dan boleh pergi, tapi institusi tetap berjalan karena tidak tergantung pada berfungsi atau tidaknya individu. Seorang penghulu - dengan meminjam istilah Ralf Dahrendorf -- tidak lebih dari a passing guest in history (Giddens, 1982: 39). Bagi seorang penghulu tidak selalu mudah berhadapan dengan keadaan demikian. Tidak begitu mudah menghilangkan aspirasi pribadi meskipun sudah diinisiasi menjadi bagian dari institusi. Namun sudah menjadi tuntutan dan resiko baginya untuk meninggalkan kepentingan pribadinya ketika menjabat sebagai seorang pemimpin, baik di tingkat paruik/jurai maupun payuang. Adat membuat kecenderungan seorang pemimpin menjadi wakil bagi dirinya sendiri, bukan wakil dari komunitasnya, mengalami hambatan serius. Sistem pemerintahan nagari menjadi rusak bila pakem ini dilanggar. Dengan memberikan gelar sebagai pengganti
24
nama bagi penghulu, nagari mempertahankan pola kepemimpinan institusionalnya. Meskipun demikian, sesuatu yang ideal tidak seluruhnya terjadi di tingkat realitas. Kemungkinan terjadinya pelanggaran pakem kepenghuluan ini tetap saja ada, tapi sangat sulit ditelusuri kembali. Posisi Penghulu dalam Nagari Kepemimpinan nagari11 bermula dari kepemimpinan geneologis yang berkembang menjadi kepemimpinan teritorial. Adanya pembagian wilayah dalam nagari berupa jorong, kampuang (kampung) dan taratak bukan berarti pola kepemimpinan geneologis tidak lagi digunakan. Jorong (dalam istilah lain: koto) dan kampuang (bagian dari jorong12) terbentuk atas dasar konsentrasi pemukiman penduduk yang didalamnya terdapat komunitas yang memiliki hubungan darah. Komunitas ini hidup bersama dengan komunitas lain di atas prinsip kesetaraan hak dan kewajiban politis. Masing-masing komunitas dipimpin oleh tungganai, penghulu andiko, penghulu payuang dan penghulu kaampek suku13. Didasari oleh adanya prinsip kesetaraan tadi, pada akhirnya setiap jorong memerlukan pemerintahan tersendiri di bawah sebuah dewan permufakatan tingkat
11
12
13
Luas wilayah sebuah nagari sangat variatif, bisa lebih sempit dari sebuah kecamatan, tapi bisa juga bisa meliputi dua kecamatan. Dalam konsep teritorial, kampuang adalah pemukiman yang lebih luas daripada jorong yang didalamnya tinggal lebih dari satu suku (superclan). Perhatikan dua tabel di halaman berikutnya.
25
jorong (Rapek Jorong) yang dipimpin oleh seorang kapalo (kepala) atau wali jorong yang tidak harus berstatus penghulu14. Tapi jorong, kampuang dan taratak tidak seluruhnya muncul setelah nagari ada. Justru kalau diurut dari proses awal pembentukan nagari, taratak, kampuang dan jorong adalah cikal bakal nagari. Setelah nagari terbentuk barulah jorong dan kampung-kampung lain dibentuk. Taratak yang baru itu muncul karena sebagian warga pusat nagari membentuk komunitas kecil di luar pusat nagari untuk dapat membuka hutan (manaruko) dan membuat lahan pertanian baru. Komunitas ini selanjutnya berkembang dan taratak berubah jadi koto atau jorong. Penduduk jorong ini suatu ketika mungkin pula pindah ke kawasan lain dan membentuk kawasan pemukiman baru yang kelak jadi jorong pula 15 bahkan tidak tertutup kemungkinan menjadi sebuah pusat nagari baru. Dengan demikian pertumbuhan jorong dalam sebuah nagari terjadi melalui suatu proses evolusi yang terutama sekali ditentukan oleh tingkat mobilitas penduduknya.
14
15
Wali Jorong terakhir di Desa Barantah bukanlah seorang penghulu. Keberadaan wali jorong ini kemungkinan tidak ada dalam struktur politik Minangkabau pra-kolonial dan baru dimulai sejak Belanda menunjuk penghulu kepala di tiap nagari. Di Desa Barantah wali jorong tidak pernah dipilih secara demokratis, melainkan ditunjuk langsung oleh kepala atau wali nagari. Di Nagari Baringin dan Sungai Puar (Kecamatan Palembayan) pecahan jorong ini disebut Data, seperti pecahan jorong Sungai Taleh (Nagari Baringin) disebut Data Sungai Taleh, pecahan jorong Sungai Puar (Nagari Sungai Puar) disebut Data Sungai Puar.
26
Dalam struktur pemerintahan nagari, para penghulu pucuak16 berfungsi sebagai pemimpin Rapek Nagari, sekaligus sebagai anggotanya. Kekuasaan tertinggi tidak terletak pada individu penghulu pucuak, dan tidak pula dibagi-bagi di antara individu penghulu payuang atau suku. Kekuasaan berada pada institusi Rapek Nagari yang didalamnya berhimpun para penghulu. Berarti setiap individu tanpa mengenal status harus tunduk pada setiap keputusan (mufakat) yang dihasilkan Rapek Nagari. Tak seorang penghulu pun dapat membuat peraturan atau undang-undang menurut kemauannya sendiri. Penghulu pucuak tidak menjadi personifikasi lembaga musyawarah tersebut, meskipun dalam prakteknya mungkin terjadi perbedaan-perbedaan antara satu nagari dengan nagari lain17. De Jong menjelaskan bahwa dalam tradisi kelarasan Koto Piliang istilah yang lazim digunakan untuk penghulu pucuak nagari adalah Datuak Kaampek Suku ( Jong, P.E. , 1980: 20). Penjelasan ini bukan saja kurang membantu dalam memahami posisi penghulu pucuak dalam nagari, tapi juga bisa menyesatkan. Pertama, karena de Jong hanya melihat keberadaaan penghulu dalam kerangka sistem pemerintahan monarki yang diciptakan Belanda. Ia bukan tidak memahami bahwa dalam nagari ada yang disebut sebagai dewan
16
17
Untuk menghindari kesimpangsiuran, dalam tulisan ini saya hanya menggunakan sebutan penghulu pucuak untuk penghulu yang memimpin sebuah nagari. Di daerah rantau yang tegas-tegas dijelaskan dipimpin oleh raja kemungkinan terjadi personifikasi dan tumpang tindih (overlap) kekuasaan antara institusi musyawarah dengan individu raja.
27
permufakatan atau rape (Jong, P.E, 1980: 53) yang memiliki peran besar, namun ia tidak menaruh cukup banyak perhatian kepada keberadaan dewan ini. Kedua, dalam sebuah nagari tidak hanya ada satu penghulu pucuak. Di Nagari Kubang yang adatnya cenderung berafiliasi kepada tradisi Koto-Piliang, sukusuku yang ada dikelompokkan ke dalam empat suduik (sudut) yang disebut Suduik Nan IX, Suduik Nan V, Suduik Nan VI, Suduik Nan IV. Setiap suduik memiliki tiga golongan penghulu. Penghulu paruik disebut sebagai penghulu andiko. Penghulu-penghulu andiko dikelompokkan di bawah pimpinan seorang penghulu kaampek suku. Dalam satu suduik kelompok penghulu andiko ini bisa sampai lima (seperti dalam Suduik Nan VI), sehingga suduik itu memiliki lima orang penghulu kaampek suku. Seterusnya penghulu kaampek suku disatukan di bawah pimpinan seorang pucuak kaampek suku. Namun tidak semua suduik di nagari tersebut memiliki pucuak kaampek suku karena ada satu suduik yang mempertahankan ciri khas kelarasannya yaitu Suduik Nan V. Dalam suduik ini bergabung suku-suku yang menganut filsafat adat Datuak Suri Nan Banego-nego atau Sikalab Dunie (jadi bukan dari kelarasan Bodi-Caniago dan bukan pula Koto-Piliang), seperti suku Jambak, Kutianyie dan Pitopang. Bila dalam tiga suduik lainnya yang dianggap pucuak adalah pucuak kaampek suku, maka dalam Suduik Nan V pucuknya adalah para penghulu kaampek suku. Dengan demikian, dalam tubuh Suduik Nan V terdapat beberapa orang pucuak yang jumlahnya tergantung
28
kepada berapa banyak kelompok kaum dalam suduik tersebut. Tabel I Stuktur Pemerintahan Nagari
Level Nagari Sebutan untuk Pemimpin Pucuak (Penghulu Pucuak) atau Tiang Panjang18, Sandi Padek, Rajo Adat19 Penghulu/ Datuak Nan Kaampek Suku20 Kapalo Payuang/Penghulu Payuang/ Penghulu Suku/ Penghulu Kampuang/ Gadang Tuah21 Penghulu Andiko22 Tungganai/Mamak Kapalo Warih
Payuang/suku/kampuang
Paruik/jurai Mande/kaum
18
19
20
21 22
Dt.Sangguno Dirajo, Curaian Adat Alam Minangkabau, Pustaka Indonesia, Bukittinggi, 1987 hal 122. Biro Bina Pemerintahan Desa Kantor Gubernur KDH Tk.I Sumatera Barat, Proses Lahirnya Perda No.13 tahun 1983 tentang Nagari sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat, Padang, Juni 1985 hal. 32. Jong, P.E. de Josselin de, Minangkabau and Negri Sembilan, Socio-Political Structure in Indonesia, Martinus Nijhoff, S-Gravenhage, 1980, hal 53. Ibid, hal 121 Lihat Dt.Sangguno Dirajo, ibid hal 120-123. Lihat juga Rusli Amran, Sumatera Barat Plakat Panjang, Sinar Harapan, Jakarta, 1985 hal. 192.
29
Tungganai
kemenakan perempuan.
dan
saudara
Ketiga, pucuak tidak ditentukan pada tingkat nagari, tapi pada tingkat jorong. Keempat suduik ditemukan pada setiap jorong (desa) dengan penghulu yang berbeda-beda. Struktur seperti ini makin mempertegas anggapan bahwa jorong memiliki otonomi dalam urusan adat: penghulupenghulu yang ada di pusat nagari bukanlah superordinat bagi penghulu-penghulu yang ada di jorong. Pemerintah kolonial Belanda kemudian membuat lapisan baru di atas nagari (lembaga supra nagari), yaitu laras (lareh) yang dipimpin oleh kepala lareh atau tuanku lareh. Lareh merupakan gabungan dua atau lebih nagari (Rusli Amran, 1981: 193). Sementara itu di tingkat nagari Belanda mengangkat pemimpin nagari baru dengan sebutan kepala nagari. Sebelumnya Belanda menciptakan jabatan khusus yang disebut penghulu kepala. Di samping itu Belanda juga membuat jabatan-jabatan baru seperti penghulu suku rodi, penghulu pasar dan demang23 (Rusli Amran, 1981: 189). Setiap pangulu angkatan Belanda ini memperoleh gaji dari Belanda di samping komisi penjualan kopi dan pajak. Penghulupenghulu ciptaan tersebut diharuskan bertindak seperti raja-raja di Jawa yang hidup dalam suasana aristokratis dan feodal. Penghulu-penghulu ciptaan Belanda jelas tidak memiliki basis kultural apa-apa karena dalam proses
23
Lihat Rusli Amran, ibid hal 189. Demang lebih tinggi kekuasaannya dari Kepala Nagari. Di bawah demang ada lagi yang disebut asisten demang yang kedudukannya juga lebih dari Kepala Nagari.
30
pengangkatannya kepentingan Belanda berada pada urutan teratas. Tujuan Belanda mengangkat mereka memang untuk perpanjangan tangan Belanda ke lapisan masyarakat paling bawah yang selama ini hanya memberikan kesetiaan kepada penghulu yang mereka angkat. Pengangkatan penghulu versi baru ini berakibat munculnya ketegangan dan reaksi menolak dari warga nagari, terutama pada awal-awal jabatan itu diperkenalkan. Namun karena jabatan penghulu basurek24 menjanjikan imbalan material yang lebih baik (karena digaji oleh Belanda) serta kehidupan seperti kehidupan para raja, penghulu yang mulanya menolak akhirnya berbalik menginginkan jabatan tersebut Akibat yang paling fatal dari intervensi Belanda terhadap kehidupan nagari ialah hancurnya makna lembaga Rapek Nagari25 sebagai bagian yang integral dari sistem sosial-politik nagari, sekaligus kebudayaan. Kepala nagari atau penghulu kepala bentukan Belanda dijadikan personifikasi lembaga Rapek Nagari, dan oleh sebab itu musyawarah para penghulu setelah itu lebih banyak diwarnai kepentingan kepala nagari (sekaligus Belanda sebagai sponsornya) daripada kepentingan warga nagari yang sebenarnya.
24
25
Makna hafiahnya, penghulu bersurat. Artinya, penghulu yang diangkat oleh Belanda dengan memberikan besluit (surat keputusan pengangkatan). Istilah lain yang digunakan untuk menunjuk lembaga yang sama ialah Kerapatan Adat Nagari. Lihat Hasbi, Intervensi Negara terhadap Komunitas Nagari di Minangkabau dalam Edy Utama (ed.), Nagari, Desa dan Pembangunan Pedesaan di Sumatera Barat, Yayasan Genta Budaya Sumatera Barat, Padang, 1990, hal 5-7.
31
Penghulu hidup dalam arena sosial-politik yang sangat spesifik dan keberadaan arena itu semakin mengalami degradasi pemahaman dari satu generasi ke generasi lain. Tampaknya, mengapa keunikan sistem sosial dan politik Minangkabau seringkali tidak dipahami secara utuh oleh banyak kalangan, bersumber dari frame kehidupan politik masyarakat Minangkabau masa lalu yang memang sukar dibandingkan dengan sistem politik masyarakat lain yang sezaman. Umumnya pada masa itu negara diperintah oleh raja dengan sistem pemerintahan monarki absolut. Negara yang diperintah oleh sebuah presidium atau kerapatan para penghulu, seperti halnya nagari-nagari di Minangkabau, merupakan penyimpangan dari pola umum. Sistem politik yang berkembang di Majapahit, atau di Jawa umumnya, sangat berbeda dengan apa yang berkembang di Minangkabau. Di Jawa para raja senantiasa eksis, dan setiap kerajaan yang pernah ada lebih menonjol dalam hal feodalisme dan penggunaan kekuasaan oleh raja secara tanpa batas. Kehidupan para raja Jawa -- seperti halnya juga raja-raja di kawasan dunia lain -- sedemikian rupa menciptakan suasana mistis bagi masyarakat di bawahnya. Para raja melakoni kehidupan seseorang yang amat istimewa dari strata sosial paling atas dan menguras banyak energi masyarakat biasa untuk senantiasa mematuhi perintah serta melayani kehendaknya. Dalam diri raja tersimpan spirit para dewa, dan sejak Islam masuk mereka dianggap wakil Allah (khalifatullah) di bumi. Dalam Babad Tanah Jawi, misalnya, dikemukakan oleh Pangeran Poeger yang
32
menyebut raja sebagai warananing Allah, wakil/penjelmaan Tuhan (Tamadaru Tjokrowerdoyo dalam M. Najib, 1996: 265). Akibatnya, pengkultusan raja menjadi corak khas hubungan kekuasaan antara raja dengan rakyatnya. Orang Minangkabau boleh heran mengetahui bahwa kekuasaan raja yang tanpa batas itu tidaklah bagian dari zaman nenek moyang mereka, atau setidak-tidaknya keadaan itu tidak mengakar meskipun pernah berdenyut dalam sejarahnya. Oleh sebab itu rekonstruksi kehidupan feodal monarkis raja Minangkabau yang mulai berkembang sejak tahun 70-an tak lebih dari sekedar mengkongritkan ilusi. Sehingga cukup beralasan bila tanpa dukungan bukti sejarah yang memadai sekalipun tetap diupayakan membangun kembali istana raja-raja itu, lengkap dengan tradisi dan seremoni feodalnya. Berlawanan dengan ilusi tentang kebesaran kerajaan Minangkabau, otonomi nagari pun tak luput dari ilusi yang lain arah dan tujuannya. Banyak penulis -- yang kemungkinan karena tidak percaya pada eksistensi sebuah kerajaan hegemonik -- kemudian menyebut nagari sebagai republik-republik kecil atau republik desa. Kata republik menggiring perhatian dan pikiran pada suatu konsep pemerintahan yang relatif demokratis dibandingkan pemerintahan kerajaan dan tidak dipimpin oleh seorang tokoh yang dikultuskan26.
26
Istilah ini antara lain dikemukakan oleh ilmuwan Belanda B. Schrieke. Lihat Akira Oki, Social Change in the West Sumatran Village 1908 - 1945, PhD Thesis, National University, Australia 1977, hal.2.
33
Pemberian label republik tampaknya dilatari kesengajaan untuk menguatkan ciri yang diajukan sebelumnya -- yaitu kehidupan demokratis -- meskipun konsep otonomi tidak musti berkonotasi adanya demokrasi serta tidak pula harus menjelma jadi negara berbentuk republik. Negara yang otonom juga bisa berbentuk kerajaan yang tidak diperintah secara demokratis, dan yang berbentuk republik juga mungkin memiliki ciri yang sama. Bila label republik digunakan kepada nagari sekedar untuk menunjukkan adanya kehidupan demokratis didalamnya, tentu boleh saja. Akan tetapi label itu juga bisa menimbulkan gambaran yang serba tidak jelas karena tidak mengungkapkan struktur kepemimpinan nagari dalam realitasnya yang utuh. Pemimpin dalam sebuah nagari tidak mugkin disetarakan dengan seorang presiden atau perdana mentri karena proses pengangkatannya yang sangat spesifik dan tidak tidak ditemukan dalam sistem negara republik. Nagari tidak mengenal pemilihan umum untuk menentukan partai yang akan berkuasa. Institusi kepartaian mungkin dapat dianalogikan sebagai suku-suku yang ada dalam sebuah nagari, namun dalam tata pemerintahan nagari semua partai ini diikat dalam norma duduak samo randah, tagak samo tinggi (duduk sama rendah, berdiri sama tinggi) atau norma kesetaraan absolut. Semua punya kekuasaan atau sebaliknya. Sehingga kalau dibandingkan dengan sebuah negara republik, maka nagari akan menjadi republik dengan banyak presiden (sebanyak partai yang ada)
34
yang satu dengan lainnya memiliki kekuasaan yang setara. Sedang kekuasaan tertinggi terletak pada institusi permufakatan yang dijelmakan dengan nama Rapek Nagari27. Kehidupan demokratis di nagari dapat menjadi sebab sekaligus akibat dari sistem pemerintahannya. Gagasan untuk melibatkan banyak orang dalam mengurusi nagari tampak jelas dari dua simbol: mamak dan kemenakan28 Meskipun makna keduanya mengacu kepada garis keturunan (hubungan geneologis), keduanya merupakan komponen dasar dari pemerintahan nagari. Makna yang tersimpan dalam simbol mamak kemudian diperkaya menurut perluasan fungsinya dengan menghadirkan simbol baru, yang sekaligus mengandung makna teritorial, yaitu pangulu (penghulu). Seseorang mustahil dapat menjadi penghulu kalau tidak ada yang dipimpinnya, yaitu kemenakan. Rakyat para penghulu tidak lain adalah kemenakan dan kerabat-kerabatnya sendiri. Individu tidak dapat mengangkat dirinya sendiri atau menyuruh orang di luar lingkungan kerabatnya untuk menobatkannya menjadi penghulu. Oleh karena mamak dan kemenakan adalah komponen dasar pemerintahan nagari, pola hubungan antara yang
27
28
Struktur kekuasaan dalam nagari tercermin dalam ungkapan adat: kemenakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, bana manuruik alua jo patuik (kemenakan beraja kepada mamak, mamak beraja kepada penghulu, penghulu beraja ke mufakat, mufakat beraja kepada yang benar, yang benar mengikuti alur dan patut). Mamak adalah paman dari pihak ibu atau saudara laki-laki ibu, sedang kemenakan adalah anak dari saudara perempuan (Ind. keponakan atau kemenakan).
35
memimpin dan yang dipimpin akhirnya jauh dari sekedar hubungan kekuasaan. Hubungan keduanya lebih menjurus kapada hubungan batin atau hubungan orang-orang yang sedarah. Setiap kemenakan laki-laki punya akses untuk menjadi mamak, karena kedudukan itu otomatis diperolehnya bila saudara perempuannya melahirkan anak. Dalam tradisi Bodi-Caniago, setiap mamak malah memiliki akses jadi penghulu sepanjang dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh adat. Dengan kata lain, dalam kelarasan ini setiap laki-laki yang memenuhi syarat berpeluang untuk menjadi pemimpin dalam nagari. Tradisi yang berlaku dalam kelarasan Koto Piliang memang berbeda karena ada garis pewarisan sako yang linear ke bawah. Namun pola pewarisan itu tidak berdampak kepada kepimpinan nagari. Sebab, tidak ada nagari yang seluruh penduduknya beradat Koto Piliang atau nagari yang seluruh mekanisme pemerintahannya bersemangat tradisi Koto Piliang. Yang ada hanyalah nagari yang mendapat pengaruh besar dari tradisi Koto Piliang, seperti banyak ditemukan di Kabupaten Limapuluh Kota, namun mekanisme pemerintahannya tetap berasal dari sintesa (percampuran) tradisi kelarasan Bodi Caniago dan Koto Piliang. Rapek Nagari, Kepemimpinan Institusional dan Eksistensi Individu dalam Nagari
36
Dalam pemerintahan nagari tidak dikenal pembagian kekuasaan yang tegas, kecuali sejak Belanda merubah sistem pemerintahan nagari menjadi mirip sistem monarki dengan menunjuk salah seorang penghulu menjadi raja kecil yang disebutnya penghulu kepala. Oleh Belanda seorang penghulu kepala mulanya diberi fungsi di luar kerapatan adat dan tidak boleh mengikuti rapat-rapat adat (Rusli Amran, 1985: 194). Namun kemudian fungsi ini berubah. Setelah Belanda mengeluarkan Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten (I.G.O.B) tanggal 3 September 1938 seorang penghulu kepala yang diangkat menjadi kepala nagari merupakan pemimpin tertinggi dari kerapatan atau dewan eksekutif sekaligus legislatif dan yudikatif dalam nagari. Ia menjadi penguasa tunggal yang bertanggung jawab kepada pemerintah Belanda, dan karena itu dalam setiap perannya dalam nagari seorang kepala nagari harus lebih dulu mengedepankan kepentingan Belanda. Seorang penghulu kepala atau kepala nagari mempunyai hak dan kewajiban berganda: sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan ia memimpin sidang yang berhubungan dengan pelaksanaan pemerintahan nagari. Sidang yang sama sebenarnya juga sidang dewan legislatif, pembuat undang-undang (peraturan) dalam nagari, dan sidang yudikatif yang membicarakan berbagai perkara perdata (penanganan perkara pidana menjadi kewenangan Belanda). Sehingga dalam satu sidang seorang penghulu kepala memainkan peran sebagai pemimpin legislatif dan yudikatif sekaligus. Dengan sendirinya anggota persidangan yang terdiri dari
37
penghulu-penghulu, malim, khatib, cadiak-pandai (cerdik pandai), manti, dan dubalang, juga memainkan peran di ketiga lembaga pemerintahan yang disatukan tersebut29 Dalam sistem pemerintahan pra-Belanda, sekalipun roda pemerintahan di tingkat nagari dijalankan30 oleh penghulu pucuak, kekuasaan sebenarnya tidak berada dalam genggaman mereka, melainkan dalam rapek (institusi). Rapek juga berfungsi sebagai lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif sekaligus, sehingga para penghulu memiliki tiga jabatan sekaligus. Namun dengan melihat jabatan rangkap yang diduduki penghulu sistem pemerintahan nagari pra-Belanda tidak dapat disamakan dengan sistem pemerintahan totalitarian. Secara real wewenang untuk mengambil keputusan telah terbagi-bagi di antara para penghulu, tapi tak seorangpun di antara mereka dapat menggunakannya dalam bentuk kekuasaan yang melingkupi seluruh anak nagari tanpa persetujuan dari penghulu lain. Hal ini disebabkan masing-masing penghulu memiliki wilayah kepemimpinannya sendiri. Seorang penghulu payuang memimpin beberapa paruik, dan kepemimpinannya tidak dapat dicampuri oleh penghulu payuang yang lain. Kalau
29
30
Keadaan yang sama berlangsung hingga akhir keberadaan nagari (lihat SK Gubernur Sumatera Barat No. 156/GSB/1974 Pasal 1 ayat 2 dan Pasal 2 ayat 1). Akan tetapi istilah cadiak pandai yang semula digunakan untuk sumando (semenda) yang dapat diajak berunding sekarang digantikan oleh orangorang yang berpendidikan atau kaum intelektual. Sehingga status cadiak pandai yang dulunya hanya berlaku bagi seseorang di kampung istrinya, kini sudah melewati batas-batas tersebut. Arti dijalankan di sini lebih tepatnya adalah dimusyawarahkan, ditetapkan, (hasil musyarah) disebarluaskan, dan diawasi pelaksanaannya.
38
terjadi perselisihan dalam sebuah payuang, hak dari penghulu payuang lain hanya sebatas boleh mendengar, karena perselisihan itu dianggap masalah internal sebuah payuang belaka. Prinsip demikian terus berlanjut ke tingkat yang lebih rendah, yaitu paruik dan kaum. Pembagian wilayah kepemimpinan seperti ini menyebabkan setiap penghulu wajib menyuarakan kepentingan kemenakan atau sandi panungkek-nya sendiri dalam rapat-rapat penghulu sekalipun kepentingan itu tidak persis sama dengan kepentingan pribadinya. Dalam Rapek Nagari para penghulu payuang berperan layaknya pemimpin partai, pemimpin yang siap berdebat dengan penghulu lain bila substansi perundingan dianggap akan merugikan kepentingan kemenakannya. Secara otomatis dalam kondisi demikian setiap penghulu payuang adalah oposan bagi penghulu payuang yang lain. Rapek Nagari tidak hanya menjalankan fungsinya sebagai lembaga negara tertinggi dan satu-satunya lembaga pemerintahan bagi sebuah nagari, tapi sekaligus menjadi lembaga yang mengakomodasikan berbagai kepentingan dan konflik yang timbul akibat perbedaan kepentingan dalam masyarakat. Sebagai lembaga tertinggi tentu saja tidak semua konflik yang terjadi harus dihadirkan dalam sidang para penghulu di tingkat nagari. Konflik yang terjadi di kalangan orang semande (level samande atau sekaum) menjadi tanggung jawab tungganai untuk menyelesaikannya. Bila konflik melibatkan unsur luar lingkungan semande, seperti antara orang separuik atau sepayuang, maka tanggung jawab penyelesaian dibebankan kepada penghulu di tingkatan
39
itu (penghulu payuang atau penghulu suku) bersama pemimpin-pemimpin di lapisan bawahnya. Seseorang yang berstatus sebagai penghulu suku tidak dengan sendirinya dapat mencampuri urusan suatu kaum atau paruik meskipun kaum atau paruik itu berada di bawah kepemimpinannya, terkecuali bila perselisihan terjadi dalam kaumnya sendiri. Pada Rapek Nagari biasanya yang dibicarakan adalah masalah yang bersentuhan dengan kepentingan warga nagari secara umum, bukan masalah yang sesungguhnya dapat diselesaikan di tingkat paruik atau payuang. Pada tataran ideal, keputusan yang diambil dalam nagari menjalani proses sirkuler yang dimulai dari kemenakan. Perbedaan pandangan di tingkat kemenakan ditampung oleh penghulu dan dibawa ke Rapek Nagari. Rapek Nagari kemudian memutuskan solusinya. Seterusnya para penghulu bersama manti, malim, khatib dan dubalang menjalankan tugas sebagai pembawa (penyampai) keputusan kembali kepada kemenakan sekaligus sebagai pengawas pelaksanaan keputusan tersebut Penerimaan anak nagari terhadap Rapek Nagari yang sedemikian rupa, sehingga institusi tersebut sangat berwibawa, dilandasi oleh kerangka pemikiran bahwa: a.konflik tidak mungkin dielakan, b.konflik dapat mendinamisir masyarakat karena itu konflik, perlu dipelihara dan dikendalikan melalui perundingan c.akal lebih penting dalam upaya pemecahan masalah,
40
penting
dalam
Rapek Nagari sekaligus melambangkan kekurangsukaan masyarakat Minangkabau kepada penyelesaian masalah dengan mengandalkan kekuatan fisik. Makna yang tersembunyi dalam mitos adu kerbau32 yang hingga kini masih populer dalam masyarakat Minangkabau tidak lain adalah bahwa pada dasarnya orang Minangkabau lebih menyukai pengalihan konflik dari medan terbuka (yang berarti perang atau kekerasan fisik) kepada medium lain yang sifatnya adu kecerdikan, adu kekuatan akal. Dalam alam pikiran orang Minangkabau tradisional terhadap sesama orang Minangkabau, eksistensi individu hanya dapat diakui sepanjang ia masih terkait dengan komunitasnya, terutama paruik dan suku. Dengan kata lain, orang Minangkabau mustilah punya suku, dan konsekuensinya ia musti punya penghulu, nagari, mamak, bako dan sebagainya.
31
32
Pengakuan terhadap eksistensi konflik ini dalam masyarakat Minangkabau diekspresikan melalui pepatah dan mamangan adat seperti: basilang kayu dalam tungku mako api manyalo, api manyalo nasi masak (api baru bisa memasak nasi bila kayu diletakkan bersilang-silang dalam tungku. Maknanya, perbedaan pendapat akan menghasilkan energi yang berguna); bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mupakaik (kata sepakat akan tercapai bila di-gunakan perundingan); duduak surang basampik-sampik, duduak sorang balapang-lapang, kato surang dibulati, kato basamo dipaiyokan (artinya, berbagai masalah yang timbul akan mudah diselesaikan secara bersama-sama), dsb. Konon, menurut mitos itu bala tentara sebuah kerajaan dari Jawa ditaklukan orang Minangkabau setelah kerbau mereka yang besar dikalahkan oleh kerbau orang Minangkabau yang kecil bertanduk besi dalam sebuah arena pertandingan adu kerbau. Jadi, penaklukan berlangsung tanpa perang.
41
Orang Minangkabau yang terbuang sepanjang adat sebenarnya tidak lagi berhak menyandang identitas suku tertentu, karena tindakannya sudah sangat bertentangan dengan adat. Namun pengawasan terhadap tindakan orang ini setelah terusir dari nagari asalnya sangat sulit. Ia bisa pindah ke nagari lain dan mengaku mamak33 kepada penghulu sebuah suku di nagari tersebut Tapi, meskipun ia dapat memperoleh identitas suku baru, di dalam sukunya yang baru itu kedudukannya relatif marjinal karena tidak masuk ke dalam kategori kemenakan bertali darah34. Bagi laki-laki, pentingnya identitas suku ini lebih terasa lagi bila ia telah kawin dan telah boleh menjadi penghulu atau penyandang gelar pusaka (sako) dari suku tersebut Identitas individual dihapus dan diganti dengan identitas kelompok ketika ia sudah layak diterima sebagai anggota kelompok. Gelar yang diberikan kepada seorang penghulu baru bukan gelar yang sengaja dibuat pada saat ia dinobatkan, tapi gelar yang sudah disandang oleh penghulu-penghulu sebelumnya. Karena itulah gelar itu disebut sebagai gelar
33
34
Mangaku mamak (istilah lain yang juga digunakan ialah malakok dan inggok mancangkam) berarti mengakui orang lain yang bukan dari sukunya sebagai mamak. Setelah mangaku mamak seseorang akan diterima sebagai kemenakan, tapi bukan kemenakan bertali darah (lihat catatan berikutnya). Proses ini dilakukan menurut adat di mana mamak berada dan berlaku bagi setiap pendatang baru di sebuah nagari, tak peduli apakah ia orang Minangkabau atau bukan. Ada beberapa jenis kemenakan di luar yang berhubungan darah dengan mamak, yaitu kemenakan batali ameh, kemenakan batungkek budi, dan kemenakan di bawah lutuik. Pembagian ini menunjukkan bahwa faktor keturunan (hubungan geneologis) tetap penting bagi seseorang untuk bisa menyandang gelar penghulu.
42
pusaka. Meskipun mungkin sudah beratus orang yang menyandangnya, gelar tersebut tidak pernah ditambahtambah dengan nomor, sehingga nama kecil penyandangnya sulit diidentifikasi. Dengan demikian identitas individualnya hilang lenyap35. Adat dan sistem kekerabatan tradisional Minangkabau juga tidak memberi kekuasaan pada laki-laki atas anaknya sendiri, yang menyebabkan ia jadi hamba bagi kemenakannya36. Laki-laki dapat kawin seorang atau beberapa orang perempuan tanpa harus menanggung beban ekonomi keluarga istrinya, sehingga dorongan memanfaatkan kedudukan pentingnya di tingkat teritorial (nagari, jorong) atau di jalur geneologis (suku, paruik, kaum, dsb.) untuk memperoleh kekayaan secara ilegal guna membiayai rumah tangganya dapat ditekan. Dengan kata lain, tidak ada alasan yang kuat baginya melakukan korupsi. Ia tidak memerlukan kekayaan yang berlimpah
35
36
Pada tahun 60-an masih berlaku ketentuan denda satu ekor kerbau bagi siapa saja yang berani memanggil penghulu dengan nama kecilnya. Tradisi denda itu kini praktis telah hilang. Tapi tradisi memberi gelar kepada lakilaki yang sedang melangsungkan pernikahan masih berlanjut. Gelar penghulu selalu dimulai dengan kata Datuk, tapi gelar ketika menikah umumnya dimulai dengan kata Sutan, Sidi, Malin, Katik, dan sebagainya. Dalam pepatah adat Minangkabau dikatakan: kemenakan manyambah lahie, mamak manyambah batin (kemenakan menyembah secara lahiriah kepada mamak, mamak menyembah kepada kemenakan secara batiniah). Lihat Hamka,1984: 23. Versi lain yang dijumpai dalam masyarakat ialah kemenakan barajo ka mamak, mamak basutan ka kemenakan (kemenakan menganggap mamak sebagai raja, mamak menganggap kemenakan sebagai sultan).
43
untuk bisa punya istri lebih dari satu atau berganti-ganti istri37. Kebebasan ini diberikan sebagai kompensasi berbagai pengekangan yang dialaminya. Ia memang memperoleh ganjaran sosial (social reward) bila dapat menambah kekayaan keluarga asalnya (kaumnya), karena penguasaan harta benda (terutama tanah dan emas) menjadi salah satu ukuran martabat bagi setiap kaum di Minangkabau. Tapi peluang mengkorup kekayaan keluarga istrinya untuk memperkaya kaumnya sangat terbatas pula lantaran seluruh kerabat istrinya bertanggung jawab mempertahankan kekayaan tersebut. Meskipun ruang gerak penghulu cenderung serba tidak bebas, dalam adat Minangkabau tidak dikenal mekanisme pemecatan penghulu oleh kemenakan bila penghulu tidak lagi menjalankan fungsinya dengan baik (mungkin karena sakit atau tidak bisa mengikuti aturan kepenghuluan). Secara umum boleh dikatakan bahwa jabatan penghulu adalah jabatan seumur hidup. Namun bukan berarti masa kepenghuluan seseorang tidak bisa berakhir sebelum ia meninggal. Caranya bukan dengan memecat, tapi dengan mengharapkan kesediaan penghulu mengarifi keadaannya sendiri, kemudian menunjuk penggantinya, atau mengatur munculnya penghulu baru. Oleh karena lembaga adat tidak menawarkan keistimewaan berlebih-lebihan kepada seorang penghulu, kecenderungan terjadinya post-power
37
Fenomena penghulu beristri banyak ini sangat lazim pada masa silam. Seorang penghulu kadang disebut sebagai orang jemputan karena banyak yang menginginkannya sebagai menantu.
44
syndrom yang menyebabkan penghulu cenderung mempertahankan status quo juga bisa dihindarkan38.
Dari Kepemimpinan Institusional ke Kepemimpinan Individual Jejak pemerintahan nagari tempo doeloe yang masih bisa dilihat hingga kedatangan Belanda adalah sifatnya yang otonom atau berhak mengurus kepentingannya sendiri. Ketika Belanda datang, nagari bukan vassal dari sebuah kerajaan hegemonik tertentu. Apa yang disebut sebagai Kerajaan Minangkabau dengan ibukotanya Pagaruyung sangat diyakini pernah menjadi kerajaan kuat, tapi di balik kaca mata ilmiah ia mungkin tidak lebih dari sekedar fakta imajiner yang menjadi simbol pemersatu dari ratusan nagari yang ada, dan yang secara praktis tak memiliki kekuasaan atas nagari-nagari.
38
Memang dalam adat Minangkabau tidak ada mekanisme pemecatan penghulu. Tapi bila seorang penghulu tidak bisa lagi menjalankan fungsinya oleh karena berbagai sebab (dikiaskan sebagai bukik lah tinggi, lurah lah dalam, bukit telah tinggi, lurah telah dalam), ia boleh mengusulkan kepada kaumnya untuk mengangkat penghulu baru dengan gelar yang sama. Bila disetujui kaum itu akan mengangkat penghulu baru tanpa mencabut gelar yang telah diberikan pada penghulu sebelumnya. Untuk membedakan antara penghulu baru dengan yang lama biasanya yang tua diberi tambahan sebutan nan tuo di belakang gelarnya.
45
Bagi nagari fungsi nyata dari penguasa di Kerajaan Minangkabau adalah untuk menengahi pertikaian antar nagari (Rusli Amran, 1981: 54). Tapi sumber Belanda, seperti dikemukakan Gusti Asnan, menjelaskan ikatan yang unik antara daerah rantau dengan penguasa di Kerajaan Minangkabau (Gusti Asnan, 1996) Pembesar Basa Ampek Balai (Datuak Bandaro, Tuan Kadi, Makhudum dan Datuak Indomo) punya daerah rantau masing-masing dan setiap mereka memperoleh mas manah atau upeti dari rantau tersebut39 Secara agak spekulatif dapat dikatakan boleh jadi nagari pernah menyandang status vassal seperti halnya daerahdaerah rantau, hanya saja umurnya relatif pendek, tidak lebih sepanjang masa kekuasaan Adityawarman (lebih kurang 26 tahun)40. Dugaan Imran Manan (1995: 40) bahwa otonomi nagari kembali menguat setelah Adityawarman meninggal, bisa saja mendekati sebuah kenyataan. Setelah revitalisasi nagari terjadi, segala atribut politik yang berhubungan dengan kekuasaan Adityawarman segera kehilangan popularitasnya.
39
40
Rantau milik Datuak Bandaro adalah bagian selatan Padang atau Bandar X, untuk Tuan Kadi daerah sekitar Sawahlunto Sijunjung, Datuak Makhudum di sebelah timur Luhak Nan Tigo dan Semenanjung Malaysia, dan Datuak Indomo di utara Padang. Lihat Gusti Asnan, ibid. Masalah ini juga diuraikan oleh Rusli Amran, loc cit, hal 52, namun penerimaan pembesar Basa Ampek Balai tadi disebut sebagai sumbangan ala-kadarnya, istilah yang lebih lunak pengertiannya dibandingkan upeti. Adytiawarman adalah seorang pangeran dari Dharmasraya yang dididik di Jawa. Ia kemudian kembali ke Sumatera dan mendirikan kerajaannya sendiri di Minangkabau. Bukti bahwa ia pernah berkuasa didaerah ini terbaca dari inskripsi Padang Candi (1347), Bukit Gombak (1347 dan 1356), dan Saruaso (1375). Lihat Jong, PE, op cit., hal 8.
46
a. Majapahitisasi yang Gagal Barangkali di abad ke-14 Kerajaan Minangkabau memang pernah berusaha menaklukkan nagari-nagari dan menempatkannya di bawah suatu sistem pemerintahan monarki, karena rajanya, Adityawarman yang dibesarkan dalam lingkungan keraton Majapahit memiliki karakter sebagai penguasa penakluk. Semasa masih jadi pejabat penting di Majapahit ia adalah tokoh utama di samping Gajah Mada yang melancarkan beberapa agresi militer ke kerajaan lain. Akan tetapi, bagaimana persisnya langkah-langkah politik yang diambil Adityawarman dalam menundukkan nagari-nagari di Minangkabau, tenggelam dalam misteri sejarah. Peninggalan Adityawarman yang berupa prasasti dan sedikit arca sudah banyak digunakan sebagai sumber spekulasi kebesarannya, tapi sebenarnya peninggalanpeninggalan itu bukanlah bukti kebesaran yang utuh dan bisa dipercaya sepenuhnya. Satu hal yang menarik, Adityawarman tidak akan pernah dikenal dalam masyarakat Minangkabau kalau arkeolog dan sejarawan tidak menemukan prasastiprasasti dan patung peninggalannya. Ia tidak muncul dalam kaba, gurindam, pantun, dan tambo. Beberapa penulis berspekulasi, mungkin ia sengaja dilupakan oleh orang Minangkabau turun temurun karena dianggap kafir, tidak beragama Islam (Mansyur, 1970: 59). Namun pendapat ini sulit diterima karena tidak melihat pemahaman masyarakat terhadap agama secara
47
kontekstual. Apakah memang alasan agama yang membuat Adityawarman tidak populer bagi masyarakat Minangkabau? Bagaimana kita bisa mengerti bahwa pada masa itu Islam sudah begitu kuat dalam masyarakat, sehingga seorang raja yang tidak beragama Islam begitu dibenci? Jika Adityawarman sempat berkuasa selama 26 tahun, bahkan kemudian bisa mewariskan tahtanya di bawah kebencian masyarakat, setidaknya ada dua tafsiran yang bisa dikemukakan. Pertama, ia telah memerintah dengan tangan besi, dan bersandar pada kekuatan militer, tak peduli apakah masyarakat tidak suka kepadanya. Ia bisa mengontrol semua nagari dengan melancarkan tekanan politik dan militer secara konsisten. Untuk itu, sepanjang kekuasaannya berlangsung, ia memerlukan banyak tentara agar bisa meredam keinginan masyarakat melakukan pemberontakan. Namun tafsiran ini dengan mudah bisa dilumpuhkan karena tak satupun bukti sejarah maupun simbol-simbol yang bisa membenarkannya. Dalam sistem simbol Minangkabau satu-satunya simbol yang identik pengertiannya dengan militer adalah dubalang, sebuah simbol yang sangat lengket dengan simbol nagari. Dubalang adalah sebutan bagi orang yang bertugas mengamankan nagari dari perbuatan sumbang dan salah, percabulan, pencurian, dan pelanggaran garis 41 . Kesetiaan maupun orientasi tugas dubalang adalah
41
Lihat Idrus Hakimi Dt. Rajo Panghulu, 1984: 172. Kata garis yang digunakan di sini dapat bermakna teritorial, berhubungan dengan batas-batas nagari. Jadi salah satu tugas dubalang adalah mengamankan nagari dari ancaman pelanggar batas atau intervensi pihak luar. Garis mungkin juga bermakna aturan, norma, atau undang-undang. Dengan demikian dubalang berfungsi
48
pada keselamatan nagari dan kewibawaan pemimpin nagari, bukan kepada pihak luar. Dapat saja ditimbulkan spekulasi bahwa dubalang adalah warisan Adityawarman, tapi tidak mudah menemukan alasan logis untuk spekulasi seperti itu. Sebab, tanpa Aditywarmanpun kebutuhan nagari akan fungsi dubalang tetap ada. Bila dubalang memang warisan Adityawarman yang dibenci itu, tentu nasibnya juga tidak akan jauh berbeda dengan tuannya: keberadaannya akan segera dihapus begitu tuannya tidak ada lagi. Namun buktinya hingga berabad-abad kemudian dubalang tetap eksis dalam pemerintahan nagari. Meskipun demikian, penulis tidak mengenyampingkan begitu saja spekulasi adanya penggunaan simbol yang sama untuk makna yang sangat berbeda. Dalam perjalanan sejarah simbol lazim terjadi penjungkirbalikan makna terhadap sebuah simbol, sementara simbolnya dipertahankan. Makna simbol cadiak pandai (cerdik pandai), misalnya, sekarang ini cenderung mengacu pada status orang-orang yang berpendidikan, orang yang pernah menduduki pendidikan formal. Padahal ketika sistem pendidikan formal belum memasyarakat simbol ini juga sudah dikenal, dan maknanya tidak bersangkut-paut dengan status pendidikan seseorang. Beberapa sumber lisan mengungkapkan, mulanya yang dianggap cerdik pandai adalah urang sumando (semenda), individu yang secara geneologis tidak berhubungan dengan warga sebuah payuang, tapi karena kawin dengan
sebagai kekuatan pemaksa agar setiap anak nagari tetap mematuhi aturanaturan yang diberlakukan dalam nagari tersebut
49
perempuan dari payuang itu dan telah dianggap sebagai bagian dari keluarga istrinya, ia memperoleh kesempatan menyumbangkan keahlian dan pemikiran yang bermanfaat bagi kaum, suku dan nagari istrinya. Di tingkat kekerabatan (hubungan geneologis), ia disebut sebagai urang sumando saja, tapi di tingkat nagari, ia menerima julukan sebagai cadiak pandai42 . Dengan demikian, status cerdik pandai hanya berlaku dalam lingkungan kehidupan istrinya, tidak di lingkungan lain di mana ia tidak pernah punya istri. Oleh karena telah terjadi penjungkirbalikan makna, sekarang dikenal cerdik pandai yang wilayah pengakuannya seluas Sumatra Barat. Sementara urang sumando niniak mamak kehilangan sebutan sebagai cerdik pandai dan segera menjadi kelompok baru dalam masyarakat. Proses yang sama mungkin juga terjadi dalam simbol dubalang. Pendeknya, dubalang zaman Adityawarman tidak sama dengan dubalang sesudah ia berkuasa. Bila spekulasi ini diterima, maka tetap saja akhirnya kita berkesimpulan bahwa kehidupan militer yang dikembangkan Adityawarman (kalau memang ada) tidak ada jejaknya di Minangkabau.
42
Adat Minangkabau mengenal empat macam sumando: 1. urang sumando niniek mamak, yang dapat dibanggakan keluarga istrinya karena kepemimpinan, kecerdasan, kekayaan dan budi pekerti; 2. urang sumando lapiak buruak, yang suka menguras kekayaan keluarga istrinya; 3. urang sumando apak paja, yang hanya berfungsi sebagai pejantan dan tidak punya apa-apa untuk dibanggakan keluarga istrinya; 4. urang sumando kacang miang, yang suka membuat onar baik di lingkungan keluarga istrinya maupun di dalam nagari. Yang bisa disebut cerdik pandai hanyalah urang sumando niniek mamak. Sebutan ini sangat formal, diucapkan hanya dalam pertemuan formal, Dalam kehidupan sehari-hari hanya disebut urang sumando atau sumando, tanpa klarifikasi mengenai golongannya.
50
Kedua, Adityawarman mungkin mengalami isolasi sepanjang hidupnya dari masyarakat Minangkabau dan secara real hanya memerintah di sekitar Pagarruyung, di tempat mana peninggalan-peninggalannya banyak ditemukan. Orang Minangkabau tidak mengusiknya karena ia bukan ancaman secara politis maupun ideologis. Tapi tafsiran ini juga bermasalah kalau memang benar kerajaan Minangkabau (yang menurut buku-buku sejarah ia dirikan) dianggap sebagai simbol pemersatu bagi berbagai nagari di Minangkabau. Dalam keadaan terisolasi, kekuatan dan legitimasi politik apa yang membuatnya bisa menjadi simbol pemersatu? Apakah posisinya sebagai orang yang sangat dekat dengan penguasa Majapahit --- yang menimbulkan kengerian tertentu di hari masyarakat karena Majapahit adalah sebuah kerajaan besar -- bisa menjadi sumber legitimasi? Dalam logika kekuasaan yang berkembang semasa Orde Baru, adanya legitimasi akibat dukungan kekuasaan pusat memang tidak aneh. Siapa saja yang dekat dengan lingkaran kekuasaan pusat pasti diperlakukan secara istimewa di daerah, kendatipun sebenarnya masyarakat daerah tidak menyukai. Persoalannya, apakah logika demikian telah berkembang pada masa Adityawarman hidup? Patung Adityawarman yang ditemukan di Padang Roco mungkin termasuk patung terbesar yang pernah dibuat oleh raja-raja Hindu di Nusantara. Tentu saja berlebihlebihan jika ukuran patung dikorelasikan dengan besarnya kekuasaan seorang raja. Namun patung itu mengisyaratkan adanya sebuah ide tentang kekuasaan
51
individual, sekalipun realitasnya tidak musti sesuai dengan idenya. Setidaknya, di sana terbaca bahwa Adityawarman menganggap dirinya besar, figur sentral dalam sebuah negara, bahkan Bhairawa, dewa dalam sekte Hindu Tantrayana. Ia juga mengidentifikasikan dirinya seperti raja-raja Hindu Jawa yang gemar membangun simbol kekuasaannya melalui arca diri sendiri dan tulisan-tulisan di atas bahan yang diperkirakan akan bertahan lama seperti batu. Identifikasi diri demikian dapat berlanjut pada sejumlah tindakan politik, lepas dari berhasil atau tidaknya tindakan itu. Tampaknya Adityawarman berkeinginan mengimpor konsep pemerintahan monarki Majapahit yang sangat ia pahami ke Minangkabau. Namun kenyataannya nagari tetap bertahan untuk tidak menerima imbas model pemerintahan yang terpusat pada kekuasaan individual itu. Bukti yang paling bisa dipahami muncul dari tidak populernya pengabadian nama di atas batu di kalangan tokoh-tokoh masyarakat Minangkabau yang lahir kemudian43. Masalahnya tidak terletak pada rasa suka atau tidak suka menulis, tapi pengabadian itu tidak memiliki makna apa-apa dalam budaya politik Minangkabau yang tidak memusat pada individu, sehingga sia-sia saja dilakukan.
43
Saya menolak anggapan bahwa keengganan ini disebabkan oleh pengaruh Islam. Sultan Malik Al-Saleh yang memerintah di Aceh cicitnya Putri Pasai meninggalkan mejan yang sangat indah dimakamnya. Padahal Malik AlSaleh memerintah hampir satu abad lebih dulu daripada Adityawaman (meninggal tahun 1297). Penulisan nama di atas batu tampaknya lebih dekat pada tradisi politik daripada tradisi keagamaan.
52
Bertahannya sistem nagari yang unik itu bisa menjadi pertanda kegagalan Adityawarman melakukan majapahitisasi di Minangkabau. Sejalan dengan tafsiran kedua di atas, ia mungkin tidak memiliki perangkat politik dan militer untuk benar-benar mengendalikan nagari. Di sisi lain, resistensi nagari terhadap majapahitisasi yang dilakukannya dengan kekuatan militer -- bila tafsiran pertama benar -- menyiratkan adanya suatu mekanisme pertahanan diri (self defence) dari struktur pemerintahan nagari yang terus bertahan, bahkan sampai periode penjahan Belanda dan Jepang. Mekanisme yang menjadi akar keunikan sistem nagari itulah yang tidak pernah tuntas dibahas dalam banyak penelitian tentang nagarinagari di Minangkabau. Namun kita perlu menghindari adanya jebakan interpretasi yang datang dari kekeliruan asumsi dasar. Teka-teki kehidupan Adityawarman tetap sulit dijawab sepanjang kita masih memegang asumsi bahwa ia adalah pendiri kerajaan Minangkabau. Akan tetapi persoalannya segera jadi lain seandainya asumsi itu ditolak, dan keberadaan Adityawarman hanya dianggap sebagai penyimpangan sejarah yang terjadi secara terpaksa. Artinya, kerajaan Minangkabau yang kharismatis itu sudah berdiri sebelum Adityawarman datang, dan tetap lengket di hati masyarakat setelah ia mangkat. Adityawarman hanya sekedar mengisi perjalanan sejarah dari sebuah simbol pemersatu (kerajaan Minangkabau itu), dan secara real ia tidak memainkan peran apa-apa di dalamnya, sehingga begitu mudah dilupakan.
53
b. Berakhirnya Era Kepemimpinan Institusional Sejalan dengan isi Plakat Panjang (1833) Belanda membuat lapisan baru di atas nagari (lembaga supra nagari), yaitu laras (lareh) yang dipimpin oleh kepala lareh atau tuanku lareh. Lareh merupakan gabungan dua atau lebih nagari44. Sementara itu di tingkat nagari Belanda mengangkat pemimpin nagari baru dengan sebutan kepala nagari. Tampaknya dengan sistem pemerintahan nagari yang tidak terpusat kepada individu itu Belanda tidak melihat jalan yang mudah untuk berkomunikasi dan mempengaruhi institusi kepemimpinan nagari guna kepentingan mereka. Belanda lalu mengangkat penghulu dengan besluit (Surat Keputusan) karena ingin mengendalikan nagari melalui individu. Orang Minang menyebut penghulu buatan Belanda itu Angku Basurek atau Pangulu Basurek. Surat Keputusan itu menunjukkan terjadinya penguatan identitas individual dalam pemerintahan nagari, dan memperlemah kekuatan kepemimpinan institusional. Fenomena itu ini akhirnya diterima dan tidak mengalami banyak perubahan setelah masa kolonial. Implikasi dari hancurnya kepemimpinan institusional dan menguatnya kepemimpinan individual adalah
44
Rusli Amran, op cit, hal 193. Istilah lareh sendiri dalam kosakata Minangkabau digunakan untuk menunjukkan jenis adat, yakni Lareh Koto Piliang dan Lareh Bodi Caniago. Kedua lareh ini tidak dipimpin oleh individu atau lembaga tertentu.
54
munculnya iklim pemerintahan nagari yang sama sekali lain dari sebelumnya. Dalam kepemimpinan individual aspirasi individu cenderung mendominasi prilaku organisasi. Yang terjadi bukan lagi individu sebagai alat organisasi (nagari), tapi cenderung organisasi yang menjadi alat individu pimpinan untuk mencapai kehendak-kehendak pribadinya. Kehancuran institusi berarti juga lumpuhnya segala elemen sistem yang selama ini bertugas mengontrol dan mengendalikan prilaku individu. Ketika individu terlalu kuat, segala upaya akan dilakukan agar sistem kontrol tidak dapat berfungsi kembali. Sehingga tidak terlalu berlebihan bila korupsi dan penyalahgunaan wewenang muncul sebagai salah satu akibat yang bisa dirasakan dari menguatnya identitas individual tersebut Kedua, accoutability penghulu kini ditentukan oleh power, kedekatan dengan pemerintah kolonial, bukan karena kualitas kepemimpinan atau kepercayaan yang diberikan oleh kemenakan. Sejak Plakat Panjang, komitmen penghulu terbelah menjadi ke atas dan ke bawah: ke atas kepada pemerintah kolonial, ke bawah kepada kemenakan atau anak nagari. Dari surat-surat yang dilayangkan penghulu kepada pemerintah Belanda dapat dipahami, sebagian penghulu bahkan menempatkan dirinya tidak lebih dari hamba sahaya belaka dari pemerintah kolonial 45.
45
Mengenai surat-surat ini, harap periksa beberapa arsip surat petinggi Minangkabau kepada aparat kolonial yang tersimpan di perpustakaan Yayasan Genta Budaya. Perhatikan penggunaan kata-kata sembahnya.
55
c. Nagari dan Penghulu Sejak Tahun 1980-an Sejalan dengan diterapkannya Perda No. 13 Th. 1983 berakhirlah riwayat nagari sebagai sebuah kesatuan administratif dan unit pemerintahan terendah di Sumatera Barat. Sebanyak 543 nagari dipecah menjadi 3000-an desa yang secara administratif langsung berada di bawah pemerintah kecamatan. Eksistensi nagari tetap diakui, tapi hanya sebagai sebuah kesatuan masyarakat adat yang berfungsi sebagai penyangga dan pemelihara tradisi serta nilai-nilai budaya Minangkabau. Sebagai kompensasi dari hilangnya fungsi administratif nagari, pemerintah membentuk Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang bertugas memelihara kekayaan nagari seperti hutan, tanah, batang air, pasar, dan sebagainya46. Pemecahan nagari ini sejak mula sudah mengandung kontroversi karena menyangkut banyak aspek kehidupan masyarakat Minangkabau, seperti tanah ulayat, sistem pemerintahan, kekuatan desa untuk mandiri, sentimen kenagarian, pelestarian adat, dan sebagainya. Sentimen kenagarian sebenarnya sudah dalam keadaan menurun ketika terjadi pemecahan nagari. Proses integrasi masyarakat nagari ke masyarakat nasional sedang berlangsung, ditandai dengan makin memasyarakatnya institusi nasional seperti sekolah negeri yang sekuler, media massa, pengadilan negri, dsb. Penerapan Perda 13/83 tanpa terduga sebelumnya
46
56
menyebabkan terjadinya penguatan romantisme kehidupan bernagari yang dipelopori oleh tokoh-tokoh adat yang melihat makin suramnya peran mereka di masa depan. Tapi sentimen kenagarian ini tidak pula bangkit secara merata. Sebagian desa yang mulanya daerah periferi dari sebuah nagari justru merasa diuntungkan oleh pemecahan nagari tersebut(E. Chatra, 1996). Kalau nagari tidak lagi eksis seperti semula, istilah adat salingka (selingkar) nagari semakin sulit dipertahankan. Konsekuensi hilangnya nagari sebagai wilayah administratif adalah hilangnya landasan yuridis dari semua aturan-aturan yang pernah dibuat nagari. Aturan itu hanya bermakna secara moral, dan nagari tidak lagi memiliki kekuatan memaksa ke segenap anak nagari. Peraturan pemerintah tersebut sebenarnya tidak bermaksud mengusik kedudukan penghulu di tingkat geneologis (kaum). Akan tetapi karena peraturan itu membuka pintu yang cukup lebar bagi intervensi tata cara kehidupan bermasyarakat yang tidak berlandaskan kepada prinsip adat Minangkabau, guncangan yang dihadapi kaum penghulu semakin keras. Penghulu semakin repot memastikan kedudukan mereka di antara anggota kaumnya sendiri. Namun ternyata sistem pemerintahan desa tidak langsung memberikan jawaban terhadap masalah yang dihadapi warga karena kurangnya kemampuan sistem itu mengakumulasikan kekuatan untuk mengembangkan diri sendiri. Cukup banyak desa yang tidak memiliki resources, terutama sumber daya manusia, seperti dialami
57
kebanyakan desa yang mulanya merupakan daerah atau jorong periferi dalam wilayah nagari. Di samping itu, partisipasi warga desa ternyata tidak menggembirakan karena status kepemimpinan desa dirasakan asing dalam waktu yang relatif panjang. Menanggapi masalah ini, pemerintah kemudian mengevaluasi keberadaan desa yang berakhir dengan kebijakan regrouping (penggabungan) beberapa desa, sehingga tahun 1993 jumlah desa menyusut menjadi 929. Sebanyak 1.395 desa hilang dari peta Sumatra Barat47 . Kebanyakan pemimpin desa terbukti tidak mampu merangsang minat warganya berpartisipasi dalam konteks desa karena sentimen kenagarian masih dapat menggeliat dan digeliatkan. Tapi tidak berarti secara serta merta tokoh-tokoh adat memperoleh kembali kewibawaan mereka yang sejak sebelum pemecahan nagari telah terus menerus mengalami kemerosotan. Masyarakat masih terobsesi oleh kehadiran pemimpin panutan, sementara tokoh-tokoh adat tidak mampu mengaktualisasikan peran mereka sesuai dengan perkembangan masyarakat dan akibatnya seolah-olah menciptakan kekosongan. Namun ketika peranan tokoh adat benar-benar tersudut akibat regulasi baru dan kekosongan diisi oleh
47
Mestika dkk. menguraikan bahwa tujuan regrouping desa ini antara lain untuk menciptakan desa yang mandiri dan mampu mengelola rumah tangganya sendiri; desa yang penduduknya 2.500 jiwa dengan luas wilayah yang memadai; desa dengan partisipasi masyararakat yang tinggi; dan pemerintahan desa dengan pelayanan baik. Lihat Mestika Zed, Edi Utama, dan Hasril Chaniago, Sumatera Barat di Panggung Sejarah 19451995, Bidang Penerbitan Khusus Panitia Peringatan 50 Tahun RI Sumatera Barat, Padang, 1995, hal. 235-6.
58
kehadiran kepala desa, masyarakat tak mampu pula menerimanya dengan pikiran jernih dan ikhlas. Institusi kepemimpinan desa disambut dengan kebingungan dan ketidakmengertian. Banyak sekali kepala desa mengeluh karena masyarakat menyepelekan keberadaan mereka, dan menolak berpartisipasi membangun desa dengan berbagai cara. Di pihak lain, beberapa desa mengalami kesulitan mencari orang yang mau menduduki jabatan kepala desa. Mulai tahun 1991, berdasarkan instruksi Gubernur Sumatra Barat No.11/1991, konsep pembangunan Sumatera Barat dikembalikan pada konstelasi adat dan nagari meskipun secara administratif nagari tetap tidak dikembalikan pada kedudukan sebelum tahun 1983. Dengan konsep baru yang disebut Pembangunan yang Berwawasan Nagari ini pemerintah mendorong masyarakat melakukan musyawarah atas nama nagari yang disebut Musyawarah Nagari. Tampaknya pemerintah menginginkan tokoh-tokoh masyarakat yang menyandang atribut kepenghuluan kembali dilibatkan membangun daerah dalam porsi yang lebih dari sekedar menjaga dan melestarikan adat. Tokohtokoh adat diasumsikan masih memiliki kewibawaan tradisional untuk menjembatani gap antara pemerintah dengan masyarakat pedesaan, mengontrol pelaksanaan pemerintahan desa, dan pada akhirnya untuk menggalang partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam pembangunan daerah. Di satu sisi kebijakan ini seakanakan mengekspresikan sikap respek penguasa terhadap kekayaan budaya Minangkabau, tapi di sisi lain
59
menampakkan sikap frustrasi karena kebijakan memecahbelah nagari ternyata tidak membantu penguasa menjalankan program pembangunan. Musyawarah Pembangunan Nagari mungkin mengguratkan semacam romantisme terhadap kehidupan masa lalu. Juga semacam koreksi terhadap peraturan yang terlanjur diterapkan dan kemudian menemui jalan buntu. Akhirnya, apapun hasil dari Musyawarah Pembangunan Nagari yang telah dilakukan di berbagai kenagarian menjadi kurang penting bila dibandingkan dengan motif-motif yang bersembunyi di belakang pelaksanaan musyawarah itu. Ruh nagari rupanya senantiasa menampakkan sebuah potensi yang tidak tergantikan oleh sistem lain, sekalipun dalam kurun waktu tertentu ia harus mengalah oleh berbagai tekanan dan upaya marginalisasi dari luar. Musyawarah Pembangunan Nagari memang bukan sebuah usaha mengembalikan otoritas nagari yang telah tercerabut, tetapi memberi peluang bagi pemuka masyarakat Minangkabau melakukan reaktualisasi terhadap keunggulan nilai-nilai yang terkandung dalam sistem nagari. Reaktualisasi tidak perlu ditafsirkan sebagai sebuah upaya untuk membalik sejarah yang harus bermuara pada pemulihan otoritas nagari. Yang mendesak untuk dibangkitkan adalah berbagai prinsip kepemimpinan nagari yang berakar kuat ke bawah, berwibawa, sekaligus bersih dari kemungkinan terjadinya praktek politik nonetis dari tokoh-tokoh pemimpin masyarakat. Prinsip demikian mungkin tidak bisa ditemukan dalam sosok nagari sebelum Perda 13/1983 dilaksanakan. Sebab,
60
berbagai corak intervensi negara yang berlangsung sejak zaman kolonial Belanda sudah membuat prinsip kepemimpinan nagari tidak bekerja secara utuh dan diwarnai berbagai penyimpangan. Belanda telah memulai terjadinya perubahan yang sangat prinsip dalam kepemimpinan nagari, tapi dengan demikian cerdik mereka menutupinya dengan mempertahankan bentuk luar yang kasat mata dari kepemimpinan tersebut Penghulu Basurek rekaan Belanda adalah wujud pengenalan sekaligus pemaksaan aspek formalitas birokrasi Barat ke dalam masyarakat Minangkabau, tapi sebenarnya itu adalah titik perubahan yang paling penting dari prinsip dan praktek kepemimpinan nagari.
61
ua puluh tahun silam Desa Barantah masih harus dicapai dengan berjalan kaki. Setiap yang berminat datang ke desa itu harus menghentikan perjalanan dengan mobil di Desa Kubang, lalu berjalan sejauh lebih kurang delapan kilometer, melintasi tanjakan yang menyesakkan nafas. Meskipun demikian, perjalanan ke Desa Barantah mungkin bisa menjadi nikmat karena pemandangan yang indah, apalagi setelah berada di ketinggian. Sejak awal tahun 1980-an Desa Barantah sudah boleh dicapai dengan kendaraan roda empat, sekalipun jenis kenderaan tertentu -- terutama sedan --- masih saja harus bersusah payah mencapai desa itu. Perantau yang berniat pulang ke desanya dengan sedan biasanya akan beroleh nasehat dari penduduk desa tetangga agar mengemudi hati-hati, lebih mengasihi mobilnya yang bagus, atau disarankan untuk meninggalkan saja kendaraan itu dan meneruskan perjalanan dengan kendaraan lain.
62
Sampai akhir 1998 ada satu bus reguler, milik penduduk setempat, yang melayani penduduk bepergian. Bus ini berangkat dari Barantah sekitar pukul 8.00 pagi menuju Payakumbuh dan kembali sekitar pukul 17.00. Pemiliknya, seorang pedagang hasil bumi yang relatif makmur di Desa Barantah, menjual bus miliknya dengan niat mengganti dengan mobil baru sebelum Indonesia dilanda krisi moneter di akhir tahun 1997. Malangnya, begitu mobilnya terjual nilai rupiah terpuruk sampai mencapai Rp 10.000 per US dollar, kemudian disusul oleh kenaikan harga barang secara gila-gilaan. Pedagang hasil bumi itu tak mampu lagi membeli mobil baru. Sejak itu, angkutan reguler ke Desa Barantah kembali terhenti. Sulitnya hubungan ke Desa Barantah dengan mudah memulangkan ingatan kepada suasana sebelum tahun 1980-an, ketika penduduk Desa Barantah harus keluar masuk desanya dengan jalan kaki, mobil pick-up atau sepeda motor. Desa Barantah berada di lereng bukit langsung berhadapan dengan Bukit Barisan. Sebuah jalan tanah menghubungkan tiga lokasi pemukiman yang terletak di lereng atas, tengah dan kaki bukit. Agar tidak terlalu curam, jalan dibuat seolah-olah membeliti punggung bukit. Namun demikian masih juga terdapat tiga ruas jalan yang sangat curam dan sangat sulit dilewati mobil, apalagi setelah turun hujan. Biasanya, bila jalan curam itu diguyur hujan cukup lama tak satu mobil pun berani melintasinya karena lumpur jalan bisa berubah menjadi jebakan yang sangat merepotkan.
63
Lebih kurang dua kilometer menjelang Desa Barantah, di puncak sebuah bukit yang dulu hanya dipenuhi semak belukar kini berjejer beberapa bangunan yang terdiri dari huller, gudang dan kedai. Gugusan bangunan yang terentang sepanjang lebih kurang 50 meter itu dimiliki oleh seorang pengusaha berusia sekitar 35 tahun bernama Buyung Geren. Laki-laki yang hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar selama beberapa tahun itu muncul sebagai tokoh pengusaha sejak awal tahun 80-an, memulai usahanya dari sebuah kedai kecil di tempat kini ia memperlihatkan kejayaannya kepada siapa saja yang melintas dari Desa Kunyalo menuju Barantah. Sejak awal 1990an Desa Barantah memiliki dua mesjid. Mesjid pertama, yang disebut Mesjid Raya, di bangun di kaki bukit, dekat sebuah sungai. Tak ada yang tahu persis kapan mesjid tua ini dibangun, tapi yang pasti sudah ada sejak Indonesia merdeka. Sebelumnya masyarakat juga menggunakan sebuah surau yang terletak tak jauh dari mesjid itu untuk melaksanakan ibadah bersama. Nama surau itu merujuk kepada seorang tokoh masyarakat Barantah yang meninggal tahun 1995 dalam usia persis 100 tahun karena disanalah dulu ia mengajarkan agama Islam dan memiliki banyak murid. Surau yang dibangun sejak zaman Belanda itu masih ada, tapi tidak lagi digunakan masyarakat mengingat kondisi fisiknya yang sangat rapuh. Ketika Desa Barantah menjadi salah satu sasaran penembakan pesawat tentara pusat yang menggempur basis-basis pertahanan pemberontak PRRI (tahun 1959), surau ini ikut jadi korban. Garin surau yang sedang tidur di loteng tewas
64
dihantam peluru pesawat yang menembus atapnya. Sampai sekarang lobang-lobang peluru itu masih dapat dilihat. Mesjid kedua dibangun di lereng atas bukit. Mesjid Baru, sebutlah demikian, didirikan oleh penduduk Barantah yang bermukim di lereng atas dan tengah. Sebagian penggagas Mesjid Baru beralasan, Mesjid Raya terlalu jauh bagi penduduk lereng atas yang sudah tua. Karena itu perlu dibangun mesjid baru yang lebih dekat dengan rumah mereka. Tapi apapun alasannya, pendirian mesjid itu sempat memicu kontroversi dalam masyarakat. Sementara warga menganggap Mesjid Baru sengaja didirikan untuk memecah belah kesatuan warga karena di antara penggagas terdapat seorang sumando yang dikenal sering mengadu domba masyarakat48. Tudingan ini tampaknya bukan tanpa alasan, sebab sejak Mesjid Baru berdiri, shalat Jumat tidak lagi terkonsentrasi di Mesjid Raya. Mesjid Raya semakin lengang dan hanya dikunjungi penduduk kaki bukit. Kini, dalam shalat Jumat sekalipun Mesjid Raya hanya terisi tiga empat shaf, tidak penuh seperti sebelum Mesjid Baru didirikan. Desa ini tidak punya pasar sendiri. Penduduknya memperoleh kebutuhan harian dari pasar-pasar yang terdapat di desa tetangga dengan menempuh perjalanan yang cukup panjang dan seringkali berjalan kaki. Pasar terdekat berjarak lebih kurang lima kilometer dari Desa
48
Sesuai dengan polahnya, sumando ini dikatakan oleh sebagian warga sebagai sumando kacang miang, yang membuat rasa gatal dalam diri masyarakat. Lihat catatan kaki no. 29.
65
Barantah. Warung-warung yang ada di Desa Barantah umumnya berupa warung kopi, tempat para laki-laki berkumpul, dan tidak menjual kebutuhan dapur kecuali gula, garam, kopi atau teh. Selain kemampuan ekonomi masyarakatnya memang serba pas-pasan, jauhnya pasar mempersulit akses mereka kepada sumber-sumber protein hewani segar seperti daging dan ikan laut. Dengan kata lain, mereka mungkin mengkonsumsi daging hanya bila sempat ke pasar, atau pada hari-hari besar Islam dan pesta perkawinan orang sekampung. Namun mereka dapat mengkonsumsi ikan laut kering seperti teri, maco, atau baguak yang dapat disimpan dalam waktu relatif lama. Sementara kebutuhan terhadap sayur mayur bisa dengan mudah mereka peroleh dari ladang atau kebun di sekitar rumah. Keluhan warga Desa Barantah terhadap kualitas jalan desa mereka dapat didengar di mana saja. Petani-petani dengan mudah mengaitkan buruknya jalan dengan kemacetan usaha mereka. Untuk mengantarkan hasil pertanian ke pasar para petani harus mengeluarkan biaya transportasi yang relatif tinggi. Bagi para pedagang pengumpul kualitas jalan itu juga jadi alasan untuk menjatuhkan harga beli dari petani. Tapi sejak munculnya Buyung Geren sebagai pengusaha hasil-hasil bumi yang dikenal jujur, sedikit banyaknya petani di Desa Barantah cukup tertolong dari permainan menghisap dari para pedagang pengumpul. Keuntungan lain yang diperoleh petani dari hubungannya dengan Buyung Geren adalah sistem bayar tunai. Buyung Geren
66
memiliki kebiasaan membayar setiap hasil pertanian yang dibelinya pada saat transaksi, sebuah kebiasaan yang hampir tidak pernah dimiliki oleh para pedagang pengumpul lain. Fasilitas pendidikan di Desa Barantah sangat terbatas: hanya ada sebuah Sekolah Dasar dan sebuah Taman Kanak-kanak (TK). Tamatan SD Desa Barantah yang ingin melanjutkan pendidikan biasanya masuk ke SMP Dangung-dangung, Madrasah Tsanawiyah Kubang atau Guguk. Masa pasca-SD bagi pelajar muda Desa Barantah merupakan awal perantauan karena dengan meneruskan pendidikan mereka terpaksa berpisah dari orang tua. Jadilah remaja-remaja belasan tahun itu anak-anak kost yang pulang sekali seminggu ke rumah orang tuanya untuk mengambil uang belanja. Bagi para orang tua, sudah dapat diperkirakan, melanjutkan sekolah anak ke tingkat SLTP berarti keharusan memikul beban ganda. Mereka harus menyediakan biaya untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan institusi sekolah, ditambah biaya akomodasi yang lumayan besar. Beban berat seperti ini seringkali menjadi alasan bagi orang tua yang miskin untuk tidak meneruskan pendidikan anaknya. Sebuah surat kabar lokal memberitakan pada awal Agustus 1997 tentang SD Desa Barantah karena dalam masa penerimaan siswa baru hanya satu orang orang murid yang mendaftar. Padahal pada tahun ajaran yang sama TK yang ada di desa itu melepas sebelas orang muridnya. Menurut berita surat kabar, sepuluh orang murid lagi didaftarkan oleh orang tuanya ke SD yang
67
terdapat di desa tetangga. Para orang tua sangat prihatin dengan kondisi pendidikan SD di desa mereka: guru-guru sangat tidak disiplin, dan proses belajar sering menjadi korban kemalasan para guru. Akibat berita itu pada hari berikutnya tidak kurang 18 orang pegawai dinas Dikbud (Pendidikan dan Kebudayaan) datang dari Guguk ke Desa Barantah untuk menyelidiki masalah yang menghinggapi SD tersebut. Namun penyelidikan itu tidak berhasil menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi karena pihak penyelenggara sekolah maupun pegawai dinas Dikbud saling berusaha menutupi kelemahan. Mundurnya pamor SD Desa Barantah merupakan bagian dari kemunduran-kemunduran lain yang terjadi di desa itu. Tahun 70-an SD Desa Barantah termasuk institusi pendidikan dasar yang berkualitas di Kecamatan Guguk. Di sekolah ini pernah belajar belasan putra Desa Barantah yang sekarang berhasil jadi sarjana, bahkan satu orang diantaranya berhasil menggondol gelar doktor dari Perancis, satu orang meraih MBA dari Swiss, dan satu orang meraih MA dari Kanada. Dibandingkan dengan yang ada di desa tetangganya, jumlah putra Desa Barantah yang berhasil jadi sarjana memang paling banyak. Bagi orang Desa Barantah, perantau-perantau yang sudah jadi sarjana merupakan kebanggaan, meskipun seringkali hanya kebanggaan kosong. Pada Monografi Desa yang terpampang di kantor Kepala Desa terdapat angka statistik yang rada aneh, karena disana disebutkan belasan orang penduduk desa itu yang berpendidikan setingkat universitas. Kenyataannya, tak seorang pun dari
68
mereka yang terhitung tinggal di Desa Barantah. Semua berada di perantauan dan seharusnya tidak lagi dihitung secara statistik sebagai warga Desa Barantah. Selain mereka memang tidak berdomisili di sana, ada pula di antara mereka yang tidak pernah lagi menjejakkan kaki di Desa Barantah sejak setelah pergolakkan PRRI (sekitar tahun 1960) berakhir. Di balik adanya kebanggaan warga desa terhadap perantaunya yang berhasil, di kalangan perantau hanya sedikit saja keinginan untuk berperan serta dalam pembangunan desa. Sentimen kedesaan mungkin ada, tapi tidak begitu menonjol. Di akhir-akhir tahun 80-an ada usaha sebagian perantau mengkonsolidasikan diri melalui organisasi sosial yang dinamakan Ikatan Keluarga Barantah (IKB). IKB pertama didirikan di Padang atas prakarsa beberapa perantau yang bekerja sebagai pegawai negeri dan mahasiswa. Setelah itu pengurus IKB Padang memprakarsai terbentuknya IKB Payakumbuh. Kedua organisasi ini berkedudukan setara, tidak menginduk satu sama lain. Hingga pertengahan tahun 90-an aktivitas IKB Padang masih kelihatan. Anggota organisasi berkumpul sekali sebulan di rumah-rumah anggota yang menyediakan tempat, kemudian mengadakan arisan dan mendiskusikan langkah-langkah yang mungkin diambil untuk membantu pembangunan Desa Barantah. Di antara program yang dibuat, tapi kini tidak berjalan lancar, adalah pengumpulan dana untuk membantu pelajar yang cerdas, namun orang tuanya tidak mampu mendanai pendidikannya.
69
Oleh karena anggota IKB menilai didesanya terjadi pengikisan akidah dan moral, mereka sepakat menumbuhkan kader-kader pemimpin agama (ulama) dan membantu pengadaan gaji tambahan bagi para guru mengaji. Kegiatan IKB berjalan cukup baik selama dua tahun, tapi kemudian memudar karena kesibukan masingmasing anggotanya. Program penumbuhan kader ulama kini menggantung tak jelas ujung pangkalnya. Kondisi fisik Desa Barantah yang hampir senantiasa lengang, seolah-olah tak tersentuh oleh pesatnya pembangunan Indonesia. Desa tetangganya Kunyalo telah menikmati listrik sejak tahun 1996, tapi penduduk Desa Barantah masih menggunakan petromak atau lampu togok49 sebagai alat penerangan. Satu-satunya sumber energi penerangan modern yang dijumpai di sana adalah solar cell yang terpasang di atap kantor Kepala Desa. Dengan pembangkit energi listrik ini perangkat desa dapat menghidupkan beberapa lampu neon untuk digunakan dalam pertemuan-pertemuan malam hari, dan dapat pula menyalakan pesawat televisi umum yang ditempatkan di halaman kantor. Dengan menyandarkan kehidupan kepada hasil pertanian sawah yang sempit dan kebanyakan tadah hujan, dan sedikit kebun palawija, pendapatan penduduk desa tersebut umumnya rendah. Namun tidak ada angka statistik yang bisa jadi pegangan berapa sebenarnya inkam perkapita masyarakatnya.
49
Lampu yang dibuat dari bahan kaleng, diberi sumbu dan berbahan bakar minyak tanah.
70
Kondisi ekonomi yang ada sekarang dapat dikatakan lebih buruk dibandingkan kondisi tahun 70-an ketika cengkeh dan tembakau masih punya harga yang cukup tinggi. Pada masa itu penduduk Desa Barantah memperoleh pendapatan dari sawah dan ladang sekaligus. Sejak tahun 50-an penduduk Desa Barantah sudah menanam tembakau berkualitas baik, di samping cengkeh, kopi dan kulit manis. Tembakau Barantah sempat punya nama tersendiri di kalangan pedagang tembakau karena keunggulan rasanya. Dengan hasil tembakau, ditambah cengkeh dan kopi itulah banyak orang tua bisa menyekolahkan anak-anaknya. Tapi sekarang keadaanya sudah terbalik: pohon-pohon cengkeh musnah, sementara tembakau Barantah kehilangan rasa karena penggunaan insektisida yang tak beraturan. Pedagang tembakau kini hanya mampu membeli paling tinggi Rp 8.000 per kilogram untuk tembakau yang terkena insektisida, dan jenis inilah yang terbanyak. Sementara tembakau yang tidak disemprot racun hama masih laku sampai Rp 15.000 per kilogram. Maran, seorang bekas wali jorong dan pedagang hasil bumi yang terbilang kaya di Desa Barantah mengatakan: Harga tembakau jatuh karena rasanya sudah tidak mengena. Peladang tembakau tidak bisa dinasehati agar tidak menggunakan racun tembakau. Racun itu memang bisa mengurangi jumlah daun yang kuning (rusak), tapi tembakau jadi tidak enak. Pedagang akhirnya tidak mau lagi membeli dengan harga tinggi. Kejatuhan harga tembakau dan sebelumnya kematian banyak pohon cengkeh di awal tahun 80-an menyebabkan
71
banyak peladang menghentikan aktivitasnya atau beralih ke tanaman muda seperti cabe dan bawang. Komoditas pertanian baru ini tidak banyak berhasil mengembalikan kondisi ekonomi kepada corak semula. Banyak petani mengeluh karena biaya produksi tidak sebanding dengan hasil penjualan yang mereka peroleh. Mereka juga mengeluh karena hama babi sangat merusak tanaman, dan merasa sudah tidak berdaya memberantasnya. Perburuan babi yang masih cukup sering dilaksanakan tidak membawa banyak hasil karena senjata mereka hanya lembing dan senjata tajam genggaman. Mereka hanya bisa berandai-andai: sekiranya pemakaian bedil kembali dibolehkan, perburuan akan jadi lebih efektif. Tapi pengandaian itu muskil karena pemerintah melarang perburuan dengan senjata api. Meskipun kemiskinan sudah mengepung penduduk Desa Barantah, ada juga pemandangan yang bisa mengurangi kemuraman. Jumlah anak muda bersepeda motor meningkat dari waktu ke waktu. Sepeda motor tidak digunakan sebagai ojek atau sumber pendapatan di luar sektor pertanian, melainkan semata-mata sebagai barang mainan yang ditunggangi saban sore mengelilingi desa. Beberapa tokoh masyarakat mengeluh karena menganggap anak-anak muda yang umumnya masih lajang itu seperti orang tidak punya kesadaran. Kata mereka, sebagian anak muda memperoleh sepeda motor dengan menggadaikan sawah orang tuanya, atau berhutang kepada saudara-saudaranya yang ada di rantau. Sedangkan untuk pembeli bahan bakar mereka
72
peroleh dari hasil sebagai buruh tani. Umumnya mereka putus sekolah, baik karena ketiadaan biaya maupun karena kehilangan motivasi. Terpilihnya Desa Barantah sebagai salah satu desa penerima dana Inpres Desa Tertinggal (IDT)50 tahun 1994 memperjelas kondisi ekonomi yang tengah berlangsung di desa tersebut. Penduduk menyambut IDT dengan sukacita dan penuh harapan. Tapi sebagian perantau memandangnya sebagai bentuk lain dari penghinaan. Di mata perantau yang tak setuju menerima dana IDT, yang umumnya pernah menikmati kemakmuran ekonomi Desa Barantah di masa lalu, terpilihnya Desa Barantah sebagai salah satu desa tertinggal harus dilihat sebagai kritik pemerintah terhadap kegagalan warga membangun diri sendiri. Mereka menganggap Desa Barantah mundur karena tokoh-tokoh masyarakatnya tidak lagi punya komitmen terhadap pembangunan desa, sehingga membiarkan penduduk hidup dalam kebodohan. Bahkan, menurut para pengecam, sebagian tokoh justru terlibat pula dalam tindakan-tindakan bodoh seperti penyelewengan dana pembangunan yang diberikan pemerintah sampai pada penyelewengan seksual yang sebelumnya dianggap tabu.
50
Proyek IDT merupakan upaya Pemerintah Indonesia mengentaskan kemiskinan di daerah pedesaan berdasarkan Instruksi Presiden RI No. 5 tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan. Pelaksanaanya dimulai tahun 1994. Pemerintah menyediakan dana bantuan khusus bagi keluarga miskin di desa atau kelurahan yang penggunaannya diatur bersama melalui kelompok-kelompok masyarakat (pokmas). Lihat Departemen Dalam Negeri, Panduan Program Inspres Desa Tertinggal, Bappenas, Jakarta Maret 1994, hal. v - xii.
73
Dengan alasan itu muncullah penilaian kritis terhadap program IDT: para pengecam menganggap dana IDT hanya akan memberikan kontribusi sedikit saja kepada pembangunan Desa Barantah karena persoalan yang paling serius dihadapi desa tersebut adalah masalah kelembagaan. Lebih spesifik lagi ialah masalah ketiadaan figur pemimpin dan berpengaruhnya para penghasut yang berusaha mencari keuntungan pribadi dari kebodohan masyarakat seperti Sutan Baro, Jasan dan Habib yang semuanya pendatang dan berstatus sebagai sumando. Betapapun para perantau berusaha mengeritik, program IDT diterima juga oleh masyarakat51. Warga yang jadi anggota pokmas (kelompok masyarakat) IDT baru mengeluh setelah tahu sapi-sapi Bali yang mereka terima tidak sesuai dengan yang dikehendaki. Kepada mereka sapi itu dijual seharga satu juta rupiah, padahal sapi lokal dengan bobot badan sama harganya paling tinggi Rp 600 ribu rupiah saja52. Setelah dipelihara satu tahun bobot sapi nyaris tidak bertambah. Aparat desa menilai anggota pokmas tidak mau memelihara sapi dengan baik. Dalam pandangan mereka,
51
52
Peranan Kepala Desa sangat besar dalam penerimaan proyek ini, karena terbukti kemudian kebanyakan penerima bantuan proyek IDT masih ada hubungan famili dengan Kades. Sebagian dari mereka bahkan sebenarnya tidak memenuhi kualifikasi penerima yang ditentukan Pemerintah. Kasus seperti ini tidak hanya terjadi di Sumatra Barat, tapi juga di daerah Jawa. Anak-anak pejabat terlibat dalam pengadaan sapi dan mengeruk keuntungan cukup banyak dari proyek tersebut. Lihat Globalisasi dan Pengaruhnya terhadap Perubahan Sosial Ekonomi, Jurnal Kebudayaan Genta Budaya No. 2, Nopember 1995-Janari 1996, hal. 22-23. Lihat juga Alfitri, dkk., Evaluasi Pelaksanaan Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) di Sumatera Barat, Universitas Andalas-Bappeda Sumbar, Padang, 1996.
74
pemelihara sapi tidak punya motivasi kuat dan hanya ingin senang. Sebaliknya anggota pokmas beralasan sapi-sapi itu sangat merepotkan mereka karena makanannya macammacam dan mahal. Tiap hari seekor sapi harus diberi dua karung rumput gajah seharga Rp 1.000. Peternak juga harus membeli makanan tambahan seperti dedak, bungkil dan mineral. Sehingga untuk mencapai kadar gizi makanan ternak yang memenuhi syarat seorang peternak setidaknya harus mengeluarkan biaya Rp 3.500 (berdasarkan standar harga tahun 1994). Karena mahalnya, kebanyakan peternak tidak mampu memenuhi standar gizi ternak yang dianjurkan. Lagi pula sebagian penerima sapi proyek IDT berpendapat, sapi Bali cikalnya kerdil. Jadi, walaupun diberi makanan mewah sapi itu tidak mungkin bisa jadi sebesar sapi lokal. Setelah memelihara sapi satu tahun, seorang peternak menghabiskan uang lebih kurang Rp 750.000 sampai satu juta rupiah. Artinya, selama satu tahun mereka mengeluarkan biaya produksi setidaknya Rp 1.750.000. Tapi perhitungan seperti ini tidak terpahami oleh anggotaanggota pokmas tersebut Itulah sebabnya ketika sapi-sapi itu dijual dengan harga antara Rp 1.200.000 dan Rp 1.300.000 mereka masih tetap berpikir telah memperoleh laba. Strategi untuk Memulai
75
Desa Barantah dapat diibaratkan sebagai gudang permasalahan karena menyimpan begitu banyak topik diskusi yang menarik. Secara fisik ia berhadapan dengan bias pembangunan yang masih cenderung urban sentris, tidak tersentuh oleh gencarnya pembangunan jalan, gedung, transportasi umum, sarana penerangan, air bersih, dan telekomunikasi. Tidak terlalu keliru kalau seorang warga Desa Barantah menganggap desanya masih berada di tahun 50-an, sementara desa lain sudah berada di tahun 80-an. Artinya, perubahan yang terjadi di desa ini sejak zaman kolonial Belanda tidak begitu banyak Pada tataran ekonomi desa ini bukannya bergerak maju, melainkan sebaliknya. Ukuran yang paling jelas dari kemunduran ekonominya adalah kehancuran komoditas tembakau dan ketergantungan warga pada padi sebagai satu-satunya sumber pendapatan yang masih bisa diandalkan. Sumber-sumber pendapatan di luar pertanian boleh dikatakan tidak mengalami perkembangan. Warga Desa Kunyalo, tetangganya, yang dulu tertinggal dari Desa Barantah karena tidak memiliki komoditas unggulan di luar padi kini justru berkembang menjadi desa kerajinan anyaman, terutama anyaman mensiang. Sejak beberapa tahun terakhir di Desa Barantah ada juga beberapa orang perempuan yang mengusahakan kerajinan bordir, tapi bidang usaha ini hanya hidup dalam kondisi kembangkempis. Masalah kepemimpinan tak kalah seriusnya dibanding dengan masalah-masalah lain yang tumbuh di desa tersebut. Kini warga Desa Barantah nyaris seperti anak ayam kehilangan induk karena telah cukup lama tidak
76
punya pemimpin yang benar-benar mumpuni. Kepemimpinan para penghulu mengalami penurunan kualitas hingga ke tingkat yang amat memprihatinkan. Dari sekian banyak persoalan yang tampak, saya harus memikirkan strategi yang tepat untuk memulai sebuah kajian yang komprehensif tapi sekaligus terorganisir baik. Untuk itu saya harus mencari sebuah tema permulaan yang bisa jadi fokus perhatian. Dengan berpikir dalam suatu kerangka sistem dapat diasumsikan setiap masalah yang ada di sana pasti memiliki kaitan dengan masalahmasalah lainnya, kendati tidak gampang menjelaskan hubungan tersebut. Tema yang menjadi fokus perhatian haruslah yang pada akhirnya bisa menjelaskan secara gamblang bagaimana masyarakat memberikan identitas kepada penghulu, dan bagaimana pula penghulu mengapresiasi identitas yang telah ditetapkan untuk mereka. Tema itu juga harus bisa menjelaskan keterkaitan antara perubahan-perubahan sosial yang terjadi dengan pergeseran-pergeseran identitas penghulu. Dengan pertimbangan demikian, saya memilih kasus sengketa antara dua kaum, yaitu kaum Samidah dengan kaum Kamisah sebagai fokus perhatian awal. Dari titik ini saya berusaha mengembangkan wilayah penelitian sampai ke ceruk-ceruk yang menyimpan pikiran masyarakat tentang penghulu. Segenap wawancara, baik yang dilakukan secara formal maupun informal, observasi atas prilaku, dan studi dokumen diarahkan untuk memahami sebaran dan kandungan dari ceruk-ceruk
77
tersebut. Dengan demikian saya berharap tujuan penelitian yang telah digariskan sejak semula bisa dicapai. Samidah Menggugat Kamisah Samidah dan Kamisah adalah dua perempuan dari Desa Barantah. Samidah berusia lebih kurang 65 tahun ketika penelitian ini dilaksanakan, dan Kamisah sudah berumur lebih 70 tahun. Semula warga Desa Barantah menganggap mereka berada dalam satu kaum, lantaran sama-sama mengaku kemenakan Datuk Rajo Mimbang. Tapi sejak Samidah membuat berbagai pengaduan kepada Kepala Desa Barantah, KAN Kubang, dan terakhir ke Pengadilan Negeri Kabupaten 50 Kota di Tanjung Pati, warga Desa Barantah jadi ragu, mana di antara keduanya yang benarbenar kemenakan Datuk Rajo Mimbang. Dalam surat-surat pengaduannya ke berbagai pihak Samidah selalu mengatakan bahwa ia dan saudarasaudaranya satu nenek tidak ada hubungannya darah dengan Kamisah53. Samidah menuduh kaum Kamisah telah menerima pinjaman sako (gelar penghulu) Datuk Rajo Mimbang dari salah seorang penghulu kaumnya sekitar empat generasi yang lalu, karena itu Kamisah harus mengembalikannya. Pemangku gelar Datuk Rajo Mimbang terakhir, Mansyurdin, meninggal tahun 1993 di Pakanbaru dan
53
Samidah membuktikannya dengan sebuah ranji (silsilah) yang dibuat dengan komputer di selembar kertas biasa (bukan kertas segel), dan hanya ditandatangai oleh mamak kepada waris.
78
belum ada penggantinya yang sah menurut adat hingga sekarang. Ia memiliki hubungan darah yang jelas dengan Kamisah. Samidah tidak menginginkan lagi gelar Datuk Rajo Mimbang jatuh ke tangan kaum Kamisah, karena Samidah dan kerabat-kerabatnya yang turut menggugat Kamisah ke pengadilan telah mempersiapkan Tamburin (lebih kurang 60 tahun) sebagai Datuk Rajo Mimbang yang baru. Tuntutan Samidah ditampik sama sekali oleh Kamisah dan kerabat-kerabatnya. Kaum Kamisah berusaha pula membuktikan bahwa sako Datuk Rajo Mimbang telah berada dalam kaum mereka sejak lima generasi sebelumnya (karena itu sudah lima orang pemangku sako tersebut). Mereka juga membantah adanya perjanjian silih sako54 karena tidak masuk akal dan tidak ada rujukannya dalam adat Minangkabau. Menurut kaum Kamisah yang dibenarkan oleh beberapa penghulu di Nagari Kubang, istilah silih sako tidak pernah ada, sebab prinsip pewarisan sako di Minangkabau adalah patah tumbuah hilang baganti, pusako lamo disinan juo (patah tumbuh hilang berganti, pusaka lama disana juga). Persengketaan antara kaum Samidah dan Kamisah sebenarnya sudah dimulai tahun 1972, ketika Samsudin gelar Datuk Rajo Mimbang baru saja meninggal. Samsudin adalah saudara sepupu Kamisah, orang yang memberi hak
54
Artinya berganti-gantian dalam menggunakan sako. Menurut Samidah, dulu (tidak jelas tahun berapa) ada perjanjian di antara nenek moyang mereka bahwa sako dipangku sekali oleh kaum Kamisah, sekali oleh kaum Samidah. Selanjutnya Samidah menuduh kaum Kamisah melanggar perjanjian itu dan menurunkan terus menerus sako Datuk Rajo Mimbang dalam garis kaumnya.
79
kepada Kamisah beserta anak-anaknya menggarap sawah dan tanah pusaka kaum mereka di kawasan Lurah Tunyo, di pinggiran Desa Barantah. Sengketa dimulai dari soal siapa yang akan menggantikan Samsudin sebagai Datuk Rajo Mimbang. Setelah Samsudin meninggal, kaum Samidah ingin penggantinya berasal dari Orang Hilir, sebutan Samidah untuk kaumnya, karena Samsudin adalah Orang Mudik. Kaum Kamisah atau Orang Mudik menolak meskipun alasannya tidak begitu jelas. Kaum Kamisah menginginkan Mansyurdin sebagai pemangku sako Datuk Rajo Mimbang yang baru, dan kemauan kaum Kamisah akhirnya diterima kaum Samidah. Alasan penolakan kaum Kamisah baru terungkap dalam sengketa babak kedua yang dimulai sejak meninggalnya Mansyurdin tahun 1993. Dalam ranji yang dimiliki kaum Kamisah ternyata tidak terdapat nama-nama anggota kaum Samidah. Ranji itu membuat asal-usul kaum Samidah jadi serba gelap dan menimbulkan spekulasi bahwa mereka asalnya adalah orang malakok, bahkan mungkin dulunya berstatus kemenakan di bawah lutut. Sampai Mansyurdin diangkat jadi Datuk Rajo Mimbang tahun 1973 pertikaian ternyata belum juga berakhir. Kaum Samidah merubah isyu permusuhannya dengan kaum Kamisah dari sako ke pusako (pusaka). Kaum Samidah menuntut agar sawah pusaka kaum Datuk Rajo Mimbang di lurah Tunyo yang sedang dikuasai Kamisah dibagi dua sebagai kompensasi kekalahan mereka menentukan siapa yang akan menjadi Datuk Rajo Mimbang baru.
80
Untuk tuntutan ini, giliran kaum Kamisah yang terpaksa mengalah. Tahun 1974 satu dari dua petak sawah di lurah Tunyo dibagi atas kesepakatan para penghulu payuang. Oleh Samidah beserta kerabat-kerabatnya sawah itu langsung digadaikan kepada pihak ketiga, dan tak tertebusi hingga penelitian ini berlangsung. Namun pembagian sawah itu sanggup menenangkan gejolak kaum Samidah selama 20 tahun atau selama Mansyurdin masih hidup dan jadi penghulu. Samidah dan kerabatkerabatnya cukup segan dan menghargai Mansyurdin yang terkenal jujur, sederhana, taat beragama dan tidak membeda-bedakan perlakuan atas kaum Samidah dan kaum Kamisah. Dua hari setelah Mansyurdin meninggal, kaum Samidah melakukan puntiang di tanah tasirah (pengesahan seseorang jadi penghulu di dekat pusara penghulu yang meninggal) atas Tamburin. Kampuih, adik laki-laki Samidah meletakkan peci hitam di kepala Tamburin. Tapi pemuntingan itu langsung diprotes oleh kerabat Kamisah karena tidak dilakukan atas kesepakatan kaum. Tamburin sebelumnya memang jadi dubalang Datuk Rajo Mimbang, namun jabatan dubalang bukanlah jembatan bagi seseorang untuk memangku kedudukan sebagai penghulu. Apalagi sebelum meninggal Mansyurdin telah menitipkan sako kepada Datuk Singok Tinggi, penghulu payuang dalam pesukuan Datuk Rajo Mimbang. Sehingga ketika sako dalam keadaan tataruah (tertitip) pengalihan pemangku gelar penghulu secara puntiang di tanah tasirah merupakan proses yang tidak lazim. Keberatan lain dari kaum Kamisah ialah pemuntingan
81
yang dilakukan atas Tamburin tidak dilakukan pada saat jenazah Mansyurdin hendak dimakamkan, melainkan dua hari setelah itu. Sanggahan kaum Kamisah dikesampingkan begitu saja oleh kaum Samidah. Mereka tetap beranggapan bahwa Tamburin sah sebagai Datuk Rajo Mimbang55. Dalam amar keputusan hakim Pengadilan Negeri Tanjung Pati yang dibacakan tanggal 23 Agustus 1997 Tamburin akhirnya disahkan sebagai Datuk Rajo Mimbang. Reaksi keberatan dari kaum Kamisah sudah bisa diduga sebelumnya, dengan alasan bahwa Pengadilan Negeri tidak punya hak menetapkan apakah seseorang sah sebagai penghulu atau tidak56. Perseteruan Kamisah dan Samidah menjadi fokus dalam penelitian ini karena secara langsung mengandung persoalan-persoalan kepenghuluan. Di pihak lain, sengketa ini tidak berdiri sendiri, tidak lepas dari kondisi sosial yang tengah berlangsung di Desa Barantah. Pada akhirnya sengketa Samidah dan Kamisah keluar dari ruang lingkup perkauman, dan melebar menjadi persoalan real yang dihadapi desa, bahkan nagari.
55
56
Naskah Gugatan Perdata yang sampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Pati oleh kaum Samidah, 4 Maret 1997, hal. 3 Ketua KAN Kubang yang telah memunting penghulu dalam Nagari Kubang sejak tahun 1921 mengatakan bahwa peristiwa penetapan sako oleh pengadilan adalah kejadian aneh bin ajaib. Peristiwa ini tidak pernah terjadi di zaman penjajahan Belanda sekalipun. Sebab, dasar penetapan seseorang jadi penghulu adalah kesepakatan kaum, dan sako diturunkan pada kaum yang sama. Dalam kasus Samidah, sako diturunkan kepada kaum yang berbeda. Seorang penghulu payuang pun tidak berhak menentukan siapa yang akan memangku sako dalam sebuah kaum, apalagi hakim Pengadilan Negeri. Wawancara dengan Ketua KAN Kubang tanggal 31 Agustus 1997.
82
Kekalahan Kamisah di Pengadilan Tanjung Pati tidak hanya meresahkan kaum Kamisah, tapi juga hampir segenap warga Desa Barantah yang sejak lama mengkuatirkan tingkah laku Samidah dan suaminya, Sutan Baro. Setelah Pengadilan memutuskan bahwa Samidah memenangkan perkara, desas-desus bahwa Sutan Baro akan merampas pula sawah dan tanah lain di Desa Barantah dengan memperalat para hakim-hakim sudah beredar luar di tengah masyarakat.
Pengaruh Sumando Samidah memang figur terpenting dalam perseteruan antara kedua kaum. Tapi umumnya warga Desa Barantah memahami bahwa Samidah sangat terpengaruh oleh suaminya, Sutan Baro. Kuatnya keyakinan warga bahwa sutradara dari persengketaan itu adalah Sutan Baro menimbulkan anggapan bahwa Samidah tak lebih dari boneka bodoh yang hanya tahu mengikuti kemauan suami. Anggapan itu mungkin bias karena kenyataannya Samidah bisa berperan sebagai aktivis PKK yang cukup artikulatif di Desa Barantah. Dibandingkan dengan Kamisah, ia lebih terpelajar dan mampu menjelaskan keinginan-keinginannya secara lisan maupun tulisan. Surat-suratnya kepada Kamisah, kendatipun penuh caci maki, menunjukkan struktur berpikir yang relatif runtut dan argumentatif. Dalam sepucuk suratnya yang
83
dilayangkan kepada Kamisah bulan Juli 1996 Samidah menulis, Nah ! sekarang secara lansung kami mohon kepada kamu dengan baik2, Apakah Rajo Mimbang sebagai sako asli kami kau kembalikan dulu kepada kami sesusai janji orang tua2 kita sebelum Samsudin dipuntiang tahun 1933 atau lurah Tunyo keseluruhannya? seperti janji Samsudin sebelum matinya di tahun 1972. Menurut kami Samsudin tidak ada menanggung dosa mengenai kesera(ka)han kau menguasai lurah Tunyo dan kesengajaan kau memutarbalikkan fakta dg mengibuli anak cucu kesemuanya dg warisan yg palsu dg menyatakan sako dan pusako Dt. R. Mimbang adalah kau yang punya57. Sutan Baro (lebih kurang 65 tahun) bukan suami pertama Samidah. Suami Samidah yang pertama seorang penghulu yang tak memberinya anak, meninggal pertengahan tahun 80-an. Samidah bercerai dari suami pertamanya sebelum pemberontakan PRRI, selagi suaminya yang penghulu itu masuk penjara atas dakwaan kriminal (pencurian). Samidah lalu kawin lagi dengan Sutan Baro yang waktu itu jadi tentara. Mereka kemudian menetap di Tanjung Karang (Lampung) dalam waktu belasan tahun dan kembali lagi ke Desa Barantah di awal tahun 1970-an, setelah Sutan Baro pensiun58.
57
58
Surat ini aslinya lima setengah halaman folio, ditulis dengan tulisan tangan yang cukup rapi. Dibagian akhir surat terdapat tanda tangan enam orang, diantaranya Samidah, Kampuh (adik laki-laki Samidah), dan Iyah (ibu Samidah). Tanda tangan Iyah mungkin dipalsukan karena perempuan berusia 85 tahun ini sejak bertahun-tahun lalu buta total. Kutipan ini diambil dari halaman 5. Kepada masyarakat Desa Barantah Sutan Baro selalu mengaku sebagai pensiunan tentara. Tapi ada sumber lain yang menyebutkan bahwa ia
84
Dari perkawinannya yang kedua Samidah memperoleh empat orang anak, satu diantaranya perempuan. Dua anak laki-lakinya bekerja sebagai operator di Caltex (Riau), dan yang bungsu pada sebuah perusahaan Jepang di Jakarta. Samidah dan Sutan Baro selalu membanggakan ketiga anak laki-lakinya kepada warga Desa Barantah, terutama yang bekerja di Caltex, meskipun di perusahaan minyak milik Amerika Serikat itu keduanya hanya berkedudukan rendah. Kepada warga desa yang tidak tahu kedudukan kedua anaknya baik Sutan Baro maupun Samidah selalu mengatakan bahwa kedua anaknya bergaji besar. Sejak anak bungsunya bekerja pada perusahaan Jepang kebanggaan Samidah dan Sutan Baro semakin menjadijadi. Tapi karena keduanya terlalu sering memuji anak di depan orang lain, cerita tentang ketiga anaknya itu tidak lagi jadi topik yang terlalu menarik bagi kebanyakan warga Desa Barantah. Warga yang muak dengan bualan-bualan Sutan Baro mengatakan laki-laki itu gadang ota. Dominasi Sutan Baro atas Samidah terlihat jelas ketika Sutan Baro tertangkap basah oleh penduduk tahun 1994 sedang berzina dengan Rukmini di sebuah dangau di ladang milik Samidah. Ladang itu sejak lama digadai kan oleh Samidah kepada Rukmini dan suaminya. Menurut saksi mata, suami Rukmini ikut dalam penangkapan itu. Tapi ia tak pernah melakukan
tidak pernah jadi ABRI, tapi memang pernah dinas sebagai mantri kesehatan tentara (sipil ABRI). Soal status pensiunnya juga meragukan karena ada informan yang mengatakan bahwa Sutan Baro dipecat garagara perbuatan kriminal salah seorang anaknya.
85
penuntutan hukum kepada Sutan Baro. Sebaliknya, Samidah berusaha mengatakan kepada masyarakat bahwa sebenarnya Rukmini yang gatal, bukan suaminya. Pengakuan Samidah sangat berbeda dengan pengakuan warga. Menurut mereka, Sutan Baro yang sering datang mengunjungi Rukmini selagi suaminya tidak ada. Penduduk sudah tahu perselingkuhan itu terjadi jauh sebelum keduanya tertangkap basah, dan penangkapan itu tidak lebih dari reaksi muak yang juga mungkin bercampur iri dari masyarakat sekitarnya. Bagi warga Desa Barantah yang hanya sedikit lebih banyak dari 1.000 orang, peristiwa itu sebuah peristiwa besar yang menggemparkan dan gemanya sampai ke kuping warga Desa Barantah di perantauan. Bahwa sebenarnya Samidah cukup terganggu oleh peristiwa itu terbukti ketika Samidah tanpa sepengetahuan suaminya berusaha menebus ladang itu dengan maksud menyuruh Rukmini dan suaminya pergi dari sana. Keinginan Samidah mulanya terhambat oleh sikap keras suami Rukmini yang tidak mau mengembalikan ladang dengan berbagai alasan. Anehnya, Samidah kemudian minta tolong kepada Tarmizi, anak laki-laki Kamisah, satu dari empat anggota kaum Kamisah yang sedang diperkarakannya di pengadilan dalam kasus perebutan sako Datuk Rajo Mimbang. Tarmizi tidak menolak permintaan Samidah dan berhasil melunakkan hati suami Rukmini sehingga Samidah bisa memperoleh ladangnya kembali.
86
Bagi Sutan Baro melakukan tindakan yang menjurus kepada keonaran di Desa Barantah merupakan sumber kenikmatan tersediri, karena dengan demikian ia memperlihatkan kelebihan-kelebihannya kepada warga desa. Sebagai seorang bekas tentara ia cukup berhasil meyakinkan warga bahwa ia punya banyak kawan di dinas ketentaraan, sebagian besar perwira. Bagi warga yang punya masalah dengan Sutan Baro bualan itu jadi pertimbangan untuk tidak menjadikan sebuah perselisihan sampai berlarut-larut. Sutan Baro dapat saja mengancam akan mendatangkan kawan tentaranya untuk melakukan penangkapan. Rendahnya pemahaman masyarakat Desa Barantah tentang hukum membuat Sutan Baro leluasa sekali melancarkan gertakangertakan. Di sisi lain ia menjadi penganjur tindakan hukum parikelir dan tindakannya memperkokoh citra lembaga hukum di mata masyarakat. Ia menunjukkan minat yang sangat kuat kepada peristiwa-peristiwa yang menghadapkan warga secara langsung kepada aparat penegak hukum seperti polisi, hakim, pengacara dan jaksa. Bagi sementara warga Desa Barantah, terutama yang pernah terlibat perkara dengan Sutan Baro sampai ke pengadilan, bukan hanya kosakata yang berkaitan dengan perangkat-perangkat hukum saja yang memperkaya khasanah pengetahuan mereka tentang hukum di Indonesia. Sebagian dari mereka kini juga mengerti beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Pidana serta ancaman hukumannya. Misalnya
87
mengenai berapa lama seseorang dikenai hukuman maksimal untuk pemalsuan, penghinaan, atau pencemaran nama baik. Mereka juga mengerti bahwa kalah berperkara di Pengadilan Negeri bukanlah sebuah kekalahan telak, melainkan baru kalah satikam (setikam) karena masih ada Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan banding. Oleh karena kepercayaannya kepada hukum nasional cenderung overdoses, kepercayaan Sutan Baro kepada institusi lain di luar badan penyidik (kepolisian) dan peradilan (pengadilan) sangat rendah. Bagi Sutan Baro, aparat pemerintahan desa dan pengurus KAN hanya pantas menjadi sasaran cemooh, dan ejekan-ejekannya di ekspresikan terbuka sekali. Ia dapat saja menunjukkan perasaan tidak respek kepada lembaga-lembaga itu dalam menyelesaikan pertikaian warga di hadapan banyak orang, misalnya di warung atau di mobil dalam perjalanan ke dan dari Payakumbuh. Dengan sikap demikian ia begitu mudah membuat laporan langsung kepada polisi meski untuk perselisihanperselisihan yang masih mungkin diselesaikan secara kekeluargaan seperti pencabutan pagar pembatas tanah pekarangannya oleh tetangga. Tindakan itu tidak terlihat semata-mata dalam kerangka pikir yang ingin membela kepentingan pribadi secara hukum terus menerus karena ia juga bisa menjadi sponsor pengaduan kepada polisi untuk kasus-kasus yang sama sekali tidak menyangkut hak-haknya. Misalnya ketika seorang pengendara sepeda motor menyenggol seorang pejalan kaki sehingga terjatuh dan lututnya sedikit lecet, Sutan Baro berusaha keras
88
membawa si pejalan kaki melapor kepada polisi sekalipun pengendara sepeda motor telah mengeluarkan biaya pengobatan dan minta maaf atas kejadian tersebut. Dalam pengaduan itu Sutan Baro sengaja membalut luka lecet di kaki si pejalan kaki dengan banyak perban untuk membuat kesan luka parah, dan membawa si pejalan kaki dengan becak ke kantor polisi. Namun upaya Sutan Baro mengadu-domba si pengendara sepeda motor dengan polisi ternyata gagal karena polisi menolak memproses pengaduan tersebut. Kesan bahwa ia dekat dengan aparat kepolisian juga berhasil diciptakan Sutan Baro. Beberapa warga yang pernah berurusan dengan polisi, di antaranya karena dituduh menipu, punya pengalaman ditolong Sutan Baro. Sutan Baro menawarkan jasanya agar warga tersebut lepas dari tahanan polisi, lalu minta uang antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta rupiah, katanya, untuk diberikan kepada polisi. Ketika perkara Samidah melawan Kamisah sampai ke Pengadilan Negeri Tanjung Pati peranan Sutan Baro tidak sedikit. Ia menempatkan dirinya sebagai pendamping setia Samidah yang bolak-balik menghubungi seorang pengacara di Payakumbuh, Darius SH. Ia juga hampir tidak pernah absen menghadiri sidang pengadilan setiap hari Sabtu yang digelar sejak bulan Maret hingga Agustus 1997. Seorang informan menyaksikan sendiri Sutan Baro mengusir dan memaki-maki seorang saksi untuk Samidah yang sudah diajari menjawab pertanyaan hakim, tapi kemudian berbalik mendukung Kamisah.
89
Manuver Sutan Baro belum berhenti sampai di sana. Pengacara Kamisah mengaku bahwa ia beberapa kali diganggu Sutan Baro dengan ucapan-ucapan menyindir yang memerahkan telinga. Sejak perkara itu digelar, Sutan Baro tidak pernah menegur dengan menyebut nama pengacara Kamisah yang sebenarnya. Ia menggantinya dengan anak si Darimin. Darimin memang ayah dari pengacara Kamisah, tapi penyebutan yang seperti itu tampaknya disengaja untuk menimbulkan kesan bahwa pengacara itu masih kanak-kanak (masih belum berpengalaman).
90
91
92
dalam kaum. Pemilihan kepala desa justru menghadapkan masyarakat kepada sejumlah friksi karena munculnya kepentingan-kepentingan baru. Tapi satu hal yang membuat masyarakat jadi senang ialah karena perubahan jorong jadi desa membuat mereka merasa merdeka dari posisi periferi dalam sebuah nagari. Ketika masih jadi bagian dari Nagari Kubang banyak warga Barantah yang merasa tidak dihiraukan oleh pemerintah nagari. Sebagian warga menganggap mereka didiskriminasi karena kampung mereka terisolir, misalnya dalam hal kesempatan menjadi wali nagari. Sejak zaman Belanda sampai nagari dihabisi perannya sebagai kesatuan administratif terkecil di Sumatera Barat, tak seorang pun warga Barantah yang diangkat jadi wali atau kepala nagari. Akibatnya pembangunan fisik di (jorong) Barantah sangat tertinggal di bandingkan pusat nagari yang kini juga menjadi sebuah desa59. Mereka berharap perubahan status dari jorong ke desa ini bisa memperbaiki kondisi fisik maupun ekonomi Barantah. Ansyar yang hingga penelitian dilakukan masih menjabat sebagai kepala desa asalnya seorang pedagang pengumpul hasil bumi yang tidak begitu berhasil. Jabatan sebagai kepala desa membuat hubungannya dengan toketoke Cina di Payakumbuh jadi renggang karena tidak bisa
59
Kenyataan ini menunjukkan bahwa pola pembangunan yang memusat juga terjadi dalam kehidupan nagari. Hubungan pusat nagari dengan jorong menjadi hubungan center-periphery, dimana center selalu memperoleh manfaat terbesar dari struktur kekuasaan yang ada. Makin jauh sebuah jorong dari pusat nagari, makin sulit bagi warganya memperoleh kesempatan menikmati kue pembangunan.
93
lagi memenuhi pesanan para toke seperti sebelumnya60. Kesibukan sebagai kepala desa, menurut pengakuan Ansyar, menghilangkan sebagian besar rezekinya. Namun demikian ia toh tetap bertahan menjadi kepala desa, bahkan untuk periode kedua. Sehingga bila masa jabatannya habis, Ansyar menjadi Kepala Desa Barantah selama enam belas tahun. Setelah sepuluh tahun Barantah menjadi desa, tidak banyak kemajuan yang berarti di daerah tersebut. Setidaktidaknya banyak dari harapan yang pernah ditanam warga masih belum terlihat realisasinya. Malahan desa kehilangan pemimpin yang mampu mendinamisir kehidupan masyarakatnya. Sejumlah penghulu kehilangan jati diri, bahkan jadi pembunuh adat karena prilakuprilaku yang bertentangan dengan adat dan Islam. Ansyar, si kepala desa, terus terang mengatakan bahwa didesanya tidak sedikit penghulu yang sebangsa dengan kalaloso (bunglon) yang berubah-rubah warana berdasarkan tempatnya berdiri. Kepemimpinan desa diwarnai skandal moral yang berhubungan dengan dana pembangunan desa. Tokoh
60
Sebagimana lazimnya terjadi di desa-desa lain di Sumatera Barat, kebanyakan pedagang pengumpul hasil bumi berperan sebagai kaki tangan toke-toke Cina. Pedagang Cina tidak masuk secara langsung ke desa-desa karena lebih efisien menggunakan pedagang pribumi. Tahun 1959 Pemerintah RI mengeluarkan peraturan (PP 10) yang melarang orang Tionghoa asing berdagang di tingkat di bawah Kabupaten, tapi peraturan itu berlaku di Jawa. Lihat Mely G.Tan, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, LEKNAS-LIPI dan Yayasan Obor, Jakarta, 1981, hal. xiv. Di Sumatera Barat peraturan tentang pembatasan ruang gerak pedagang Cina tidak begitu jelas, namun umumnya dengan kesadaran sendiri pedagang Cina lebih memilih bekerja sama dengan pribumi daripada meluaskan jaringan sesama Cina sampai ke pelosok desa.
94
masyarakat yang masih bersih tidak mampu lagi menaikkan citra kepemimpinan dan menjadi terpinggirkan oleh situasi yang berkembang di sekitarnya. Namun demikian tidak ada satu pun metode sederhana yang bisa menjelaskan secara bertanggung jawab keterkaitan antara kemunduran yang terjadi dengan perubahan status Barantah dari jorong ke desa. Artinya, perubahan status itu mungkin berpengaruh, tapi tak terlalu banyak karena tidak merubah secara radikal struktur kekuasaan formal yang sudah ada sebelumnya. Bila pada tahun-tahun sebelum dekade 70-an warga Desa Barantah menikmati kehidupan yang cukup baik, persoalannya bukan pada kondisi lembaga administratif jorong semata. Dibandingkan tata kerja birokrasi jorong, tata kerja birokrasi desa malah sedikit lebih kompleks dan terstruktur, meskipun belum tentu lebih efisien. Akan tetapi periode jorong dan periode desa berhadapan dengan kondisi lingkungan sosial yang sangat berlainan. Pemerintahan jorong menghadapi perubahan sosial yang relatif lamban karena kurangnya stimulasi eksternal yang mengalir ke Desa Barantah melalui televisi61, sementara pemerintahan desa berhadapan langsung dengan keinginan masyarakat yang relatif menggejolak untuk mencapai kemakmuran material seraya
61
Warga yang mampu memiliki televisi memang tidak banyak, tapi setiap orang dapat menonton televisi yang dilengkapi antene parabola di depan Balai Desa. Hampir tiap malam, hanya terkecuali jika hujan, orang tua dan anak-anak berselimut kain sarung menonton berbagai program televisi. Tidak ada yang membatasi anak-anak menonton film-film kekerasan maupun percintaan yang sewajarnya dikonsumsi orang dewasa.
95
mengabaikan ketaatan kepada sendi-sendi normatif yang sudah dibangun jauh sebelumnya, yaitu adat dan Islam. Penangguk di Air Keruh Perebutan sako dan pusako Datuk Rajo Mimbang oleh kaum Samidah dan Kamisah merupakan bagian penting dari perubahan yang terjadi di luar lembaga administrasi pemerintahan Desa Barantah. Berbagai kondisi sosial yang tercipta sejak awal tahun 80-an memberi peluang sangat banyak kepada kaum Samidah, juga sumando pendatang seperti Sutan Baro, untuk tidak mempedulikan spirit kerukunan dan mementingkan keuntungan-keuntungan relatif yang mungkin didapat oleh kaumnya dengan memenangkan perebutan sako dan pusako tersebut. Peluang yang paling besar bagi kaum Samidah ialah tidak adanya kekuatan masyarakat, termasuk para penghulu dan aparat pemerintahan desa, menghadang gerak-gerik kaum Samidah dalam mencapai kemauannya. Kegagalan kaum Samidah memunting Tamburin menjadi Datuk Rajo Mimbang tahun 1993 di pusara Mansyurdin tidak membat mereka surut. Tak kurang dari empat kali musyawarah yang digelar bersama kaum Kamisah dari tahun 1993 hingga pertengahan 1994 digagalkan pihak Samidah karena kaum Kamisah tetap menolak pengangkatan Tamburin. Sebagian anggota kaum Kamisah menganggap Tamburin sudah terlalu tua untuk jadi penghulu (usianya saat itu sudah lebih 60 tahun), lagi
96
pula orangnya tidak berpendidikan dan berada di bawah kendali Samidah bersama suaminya, Sutan Baro. Sementara itu secara diam-diam kaum Kamisah menyebarkan berita bahwa Samidah dan Tamburin tidak satu ranji dengan mereka. Oleh sebab itu gelar Datuk Rajo Mimbang tidak boleh lepas ke tangan kaum Samidah. Kaum Kamisah berpendapat bahwa maksud kaum Samidah merebut sako tidak lebih dari upaya mencari jalan adat untuk merebut seluruh sawah dan ladang pusaka tinggi Datuk Rajo Mimbang yang terdapat di lurah Tanyo. Desas-desus tentang rencana Samidah dan Sutan Baro menjual seluruh pusaka di lurah Tanyo itu bila keluar sebagai pemenang menjalar sampai ke telinga kaum Kamisah yang ada di perantauan. Dari pertengahan hingga akhir 1994 kaum Kamisah melakukan aksi diam dan membiarkan gelar Datuk Rajo Mimbang tetap tataruah pada Datuk Singok Tinggi. Bagi mereka, ini pilihan terbaik daripada sako jatuh ke pihak Samidah. Selain itu, kaum Kamisah masih belum pula sepakat mengenai calon Datuk Rajo Mimbang dari pihak mereka. Secara kuantitas kaum Kamisah merupakan sebuah keluarga yang cukup besar: semuanya 83 orang. Anggota laki-laki yang memenuhi syarat sebagai pemangku sako Datuk Rajo Mimbang tak kurang dari delapan orang. Semuanya berada di bawah usia 40 tahun dan relatif berpendidikan cukup baik, bahkan diantaranya ada yang sarjana. Masalahnya, tak seorang pun dari ke delapan orang itu yang berdomisili di Desa Barantah dan tak pula semuanya menunjukkan kepedulian kepada persoalan
97
kaumnya di Barantah. Mereka tersebar di tiga kota: Padang, Payakumbuh dan Batam. Sejak akhir tahun 70-an satu persatu anggota kaum Kamisah beremigrasi ke Batam, sehingga sekarang populasi mereka di pulau itu hampir tiga kali lebih banyak dibandingkan populasi yang tinggal di Desa Barantah. Kaum Samidah mengartikan sikap diam kaum Kamisah sebagai pertanda mengalah. Secara sepihak kaum Samidah melaksanakan upacara naiak ka ampek suku62 bulan Januari 1995. Mereka tetap berusaha menobatkan Tamburin sebagai Datuk Rajo Mimbang yang baru. Upacara ini dikatakan sepihak karena kaum Samidah tidak memberitahu kaum Kamisah sebelumnya, bahkan tak mengundang untuk hadir dalam upacara. Meskipun tak diundang, beberapa orang anggota kaum Kamisah tetap datang untuk memprotes. Keberatan anggota kaum Kamisah ditanggapi dengan kemarahan oleh anggota kaum Samidah. Pengeroyokan terhadap para pemprotes hampir saja terjadi. Upacara berakhir dengan kegagalan karena sebagian penghulu dari suku-suku lain di
62
Upacara ini digunakan untuk penobatan seseorang yang telah disepakati anggota sebuah kaum untuk memangku sako atau menyandang gelar penghulu. Seluruh penghulu yang ada dalam desa diundang hadir. Kepenghuluan seseorang baru sah kalau seluruh penghulu yang hadir sepakat menerima. Proses penerimaan ini biasanya memakan waktu sampai satu hari karena tidak semua penghulu menerima begitu saja kehadiran seseorang untuk duduk sama rendah, tegak sama tinggi dengan mereka. Penolakan sebagian penghulu menyebabkan upacara menjadi ajang perdebatan formal. Hidangan yang tersedia tidak akan disentuh sebelum perdebatan berhenti dengan tercapainya mufakat. Ketika kaum Samidah melakukan acara ini semua penghulu menolak menyantap makanan maupun minuman hingga upacara berakhir. Makan dan minum adalah simbolisasi dari kegembiraan menyambut datangnya penghulu baru.
98
Desa Barantah tidak bersedia mensahkan kepenghuluan Tamburin dengan alasan belum adanya kesepakatan di antara anak kemenakan Datuk Rajo Mimbang tentang siapa yang akan memangku sako berikutnya. Di antara penghulu yang bersedia menerima terdapat nama Datuk Singok Tinggi. Kaum Kamisah sejak sebelumnya sudah menduga bahwa Datuk Singok Tinggi kuniang dek kunyik63. Bahkan dalam sebuah rapat musyawarah antara kaum Samidah dengan kaum Kamisah di awal tahun 1994 salah seorang cucu Kamisah secara terbuka melontarkan tuduhannya kepada Datuk Singok Tinggi lantaran kesal melihat penghulu payuang itu selalu berpihak kepada kaum Samidah. Gagalnya upacara naiak ka ampek suku itu sangat menyakitkan hati Samidah. Ia terkena serangan jantung dan pingsan, namun nyawanya masih bisa diselamatkan. Anggota kaum Samidah kemudian menyodorkan kertas kosong kepada para penghulu untuk ditandatangani pada bagian bawahnya. Menurut mereka, kertas itu nanti dijadikan surat usulan kepada KAN agar bisa mendamaikan kaum Samidah dengan kaum Kamisah. Lima orang penghulu tanpa rasa curiga menandatangani kertas kosong tersebut. Ternyata kemudian kelimanya dipecundangi: kaum Samidah bukan membuat surat seperti yang pernah dijelaskan, melainkan surat keputusan bahwa para penghulu di Desa Barantah
63
Perumpamaan untuk seseorang yang berubah sikap akibat disogok dengan uang atau diiming-iming dengan jabatan tertentu.
99
sepakat mendudukkan Tamburin sebagai Datuk Rajo Mimbang64. Keberadaan sebuah surat keputusan dalam pengangkatan penghulu masih dianggap aneh bagi para penghulu di Nagari Kubang karena tidak berada dalam kawasan tradisi yang dianut. Tradisi oral yang dipersandingkan dengan prinsip percaya-mempercayai (mutual trust) masih dipegang sebagai bagian penting tradisi kepenghuluan. Dengan demikian nilai kesaksian dan kejujuran harus ditempatkan pada bagian inti dari tradisi tersebut. Seluruh sistem tradisi akan porak poranda bila kata-kata yang disampaikan secara lisan tidak lagi dapat dipercayai. Pendukung tradisi oral memegang asumsi bahwa orang tidak akan mengingkari apa yang ia katakan meskipun tanpa bukti yang kasat mata65. Namun penghargaan yang lebih tinggi terhadap tradisi oral di kalangan para penghulu menciptakan benturan dengan keharusan untuk
64
65
Dalam pemeriksaan saksi-saksi di hadapan hakim Pengadilan Negeri Tanjung Pati bulan Juli 1997 salah seorang penandatangan surat keputusan itu, Datuk Putiah Nan Baserong, menjelaskan bahwa yang mereka tandatangani benar-benar kertas kosong. Kertas itu dilipat dua dengan ukuran persis sama. Lalu semua penghulu menandatangani di kertas bagian bawah. Ketika hakim menanyakan mengapa Datuk Putiah percaya saja, padahal kertas bagian atas belum ada tulisannya, Datuak Putiah menjawab bahwa sebagai sesama orang Islam mereka wajib saling percaya -- alasan yang tidak mudah diterima para hakim. Namun kaum Samidah menyalahgunakan kepercayaan tersebut. Dalam masyarakat Minangkabau keharusan untuk bersikap jujur terbaca dalam pepatah: sakali lancuang kaujian saumue iduek urang indak picayo (sekali orang ketahuan tidak jujur, seumur hidup orang tidak akan percaya). Dari pepatah ini dapat diinterpretasikan bahwa kejujuran dianggap memiliki derajat dan sifat yang lebih kurang sama dengan kepercayaan karena bila kejujuran hilang maka kepercayaan juga sirna.
100
membuat pernyataan tertulis. Sebab, dari perspektif tradisi oral, pernyataan tertulis, apalagi bila dibuat di atas kertas segel, menyiratkan adanya situasi yang tidak mendukung bagi terpeliharanya bagian inti dari tradisi oral tersebut. Surat keputusan juga menciptakan paradoks dengan prinsip dasar pengangkatan seseorang jadi penghulu. Jabatan penghulu tidak dapat dipadankan begitu saja dengan jabatan birokratis yang pengangkatannya bertolak dari pembuktian-pembuktian terhadap sejumlah kecakapan, seperti kecakapan memimpin atau berunding. Nilai kepercayaan anggota kaum diletakkan pada bagian terpenting dari proses pengangkatan, sementara surat keputusan secara implisit mengandung kadar ketidakpercayaan tertentu (orang diasumsikan akan mengingkari kata-katanya). Kepercayaan dibangun oleh anggota kaum secara subyektif dengan melihat kepada kematangan pribadi dan ekspresi moralnya. Oleh sebab itu, adalah sesuatu yang wajar bila seseorang yang ditunjuk jadi penghulu masih mentah pengetahuannya tentang adat atau kepemimpinan secara formal. Pengangkatan sebagai penghulu menandai mulainya masa belajar yang tak habishabisnya bagi seorang, baik dalam masalah adat-istiadat maupun masalah lain yang berkaitan dengan fungsinya. Bagi penghulu baru, posisi anggota kaum yang lebih senior tidak semata-mata sebagai kemenakan yang dipimpin, melainkan juga guru dan penasehat dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan nasib anggota kaum.
101
Kemungkinan bahwa basis kepercayaan dapat menghilang dari proses pengangkatan seseorang jadi penghulu, sangat kecil. Beberapa kaum di Nagari Kubang lebih rela malipek (melipat) sako66 daripada harus mengakui seseorang yang tidak dipercaya menjadi penghulu mereka. Tapi bahwa sumber kepercayaan bisa bergeser dari kematangan pribadi dan moralitas kepada unsur-unsur material (seperti kekayaan, tingkat pendidikan dan jabatan) bisa saja terjadi, dan memang sudah tampak buktinya pada beberapa kaum. Surat keputusan yang dibuat oleh kaum Samidah secara langsung menghadapkan para penghulu kepada dominasi tradisi tulis yang belum sepenuhnya terpahami oleh para penghulu di Desa Barantah. Beberapa penghulu yang terlibat dalam penandatanganan surat itu bahkan kurang lancar membaca huruf Latin. Manipulasi yang dilakukan kaum Samidah baru mereka sadari setelah ada di antara penandatangan surat itu yang dibawa ke pengadilan sebagai saksi. Nira Setitik Merusak Santan Sebelanga
66
Malipek sako berarti membubarkan lembaga kepemimpinan adat dalam sebuah kaum. Biasanya anggota-anggota kaum yang sudah tak punya pemimpin (penghulu) ini malakok (mengintegrasikan diri) ke kaum lain dengan konsekuensi yang tidak ringan: mereka mungkin akan dianggap sebagai kemenakan di bawah lutut atau kemenakan batali budi yang tidak punya hak dalam menentukan siapa akan jadi penghulu. Hak menentukan penghulu sepenuhnya berada di tangan kemenakan bertali darah, atau anggota kaum yang asli.
102
Bagian ini menjelaskan situasi kepemimpinan di Desa Barantah yang memberi peluang bagi orang-orang seperti Samidah dan Sutan Baro melakukan kekacauan. Prilaku sebagian pemimpin yang korup, bodoh dan scandalous membuat para pemimpin tidak berdaya menghadapi suami istri tersebut, sekalipun sebagian besar dari mereka tetap menyadari bahwa mengamankan kampung adalah tugas dan tanggung jawab mereka. Ibarat nira setitik merusak santan sebelanga, kelakuan immoral dari sebagian pemimpin menyebabkan struktur kekuatan pemimpin masyarakat jadi rapuh. Drama Barantah membuktikan teori bahwa pemimpin yang tidak bersih adalah pemimpin yang lemah. Adanya sebagian pemimpin yang lemah membuat yang lain ikut lemah. Peluang yang dimanfaatkan Samidah dan Sutan Baro ialah ketidakmenentuan Desa Barantah secara politis. Bahwa pemecahan nagari menjadi desa-desa sejak tahun 1983 menciptakan atmosfir kepemimpinan yang serba asing memang terasa di desa ini bukanlah sesuatu yang terlalu aneh. Tapi pemecahan nagari itu tidak dapat secara serta merta dikatakan sebagai satu-satunya biang keladi kekisruhan kepemimpinan yang hingga kini meronai kehidupan Desa Barantah. Dari wawancara dengan tokoh masyarakat Desa Barantah dapat dilihat bahwa tanda-tanda keruntuhan kaum penghulu sudah terlihat sejak tahun 70-an. Seorang penghulu terkemuka yang sudah meninggal di akhir tahun 1980-an, sebutlah Datuk Tampang, pernah membuat geger desa (dusun) Barantah pada tahun 1980 karena
103
melarikan seorang gadis ke Dumai. Gadis itu anak dari saudara istri Datuk Tampang sendiri. Dalam masa pelariannya di Dumai si gadis melahirkan anak yang kemudian meninggal. Sebenarnya orang Desa Barantah bisa memahami tindakan Datuk Tampang karena sejak muda ia memang dikenal doyan perempuan. Namun dalam kasus pelariannya itu ia memperoleh reaksi negatif dari masyarakat, terutama dari kaum istrinya. Perkara ini baru dihabisi setelah Datuk Tampang kembali ke Desa Barantah dengan mengaku salah dan menebus kesalahan melalui sebuah pesta. Penghulu yang sama membuat sejarah pula tiga tahun kemudian. Secara ilegal ia membentuk lembaga peradilan adat di Desa Barantah. Entah atas dasar apa ia menjadi ketua dewan peradilan itu. Kekacauan muncul karena peradilan ini mengadili sebuah perkara perdata yang akhirnya menimbulkan protes dari pihak yang dinyatakan kalah. Pihak yang dirugikan lalu mempertanyakan keabsahan lembaga itu ke kepolisian dan kejaksaan. Akibatnya polisi menahan 28 dari 33 orang penghulu Desa Barantah, walaupun hanya selama beberapa hari, untuk tujuan pengusutan. Sementara Datuk Tampang harus menghuni sel penjara selama beberapa bulan karena dianggap melanggar hukum dengan membuat pengadilan tandingan. Kasus susila antara penghulu dan gadis terjadi lagi tahun 1995. Datuk Gadang Salero, sebut saja demikian, berusia sekitar 30 tahun, ditangkap polisi karena melarikan gadis belasan tahun. Kejadian ini sempat diberitakan dalam sebuah surat kabar lokal yang terbit di
104
Padang. Karena sang penghulu didakwa melarikan gadis di bawah umur, ia dihukum tiga tahun penjara. Waktu saya berada di Desa Barantah ia masih mendekam di penjara Suliki. Gadis yang larikan Datuk Gadang Salero ternyata memang bukan gadis baik-baik. Setelah lebaran tahun 1997 ia digiring ke Balai Desa Barantah karena hamil di luar nikah. Tuduhan tentu tidak dapat lagi dilayangkan kepada Datuk Gadang Salero karena sang penghulu masih mendekam di penjara. Di hadapan perangkat-perangkat desa gadis belia itu mengakui bahwa kehamilannya adalah akibat persenggamaan suka sama suka dengan beberapa orang pemuda pada malam pertama bulan Ramadhan. Ketika penelitian ini dilaksanakan sebuah kasus susila baru tengah mencuatkan nama seorang penghulu. Katakanlah nama penghulu itu Datuk Kapayap. Orangorang desa mengolok-olok kelakuan Datuk Kapayap dengan menggunakan kata-kata kunci rajuik tingga. Kata-kata ini tidak mudah dipahami tanpa mengetahui latar belakangnya. Beberapa orang warga menceritakan, dua minggu sebelum saya datang ke Barantah Datuk Kapayap pergi ke sawah bersama istrinya. Sesampai di sawah Datuk Kapayap kembali pulang dengan alasan rajuiknya67 tertinggal di rumah. Ia meminta istrinya untuk menunggu di sawah. Tapi setelah beberapa waktu ia tetap tidak kembali, sehingga istrinya memutuskan untuk menyusul. Menurut cerita warga, Datuk Kapayap ternyata bukan
67
105
menjemput rajuik, tapi pulang untuk menggauli adik istrinya. Skandal ini menyebar ke tengah masyarakat karena si istri meradang setelah menemukan suaminya sedang melakukan hubungan seksual. Sejak itulah pameo rajuik tingga beredar dari mulut ke mulut. Kalau Datuk Kapayap, Datuk Gadang Salero dan Datuk Tampang mencuat namanya karena urusan sahwat, Datuk Deta Kuniang mencuat karena menipu menantunya sendiri, seorang kontraktor pembangunan jalan desa. Dalam kasus ini Datuk Deta Kuniang diisyukan masyarakat berkolusi dengan Kades Ansyar. Tahun 1996 Desa Barantah mendapat bantuan dana pembangunan jalan sebanyak lebih kurang Rp 183 juta. Tanpa proses tender, Kepala Desa dan LKMD yang dipimpin Datuk Deta Kuniang menunjuk Gafar yang notabene adalah menantu Datuk Deta Kuniang sebagai pemborong. Gafar sebenarnya adalah seorang pegawai negeri di dinas PU yang diam-diam mengoperasikan sebuah perusahaan jasa konstruksi, tapi didirikan atas nama orang lain. Pengerjaan proyek itu dapat selesai pada waktunya, tapi meninggalkan sejumlah masalah finansial. Gafar melalaikan pembayaran upah sejumlah pekerja, termasuk konsultan dan seorang operator eskavator yang berasal dari Aceh. Informan penelitian menjelaskan bahwa ketidakmampuan Gafar membayar adalah karena Datuk Deta Kuniang telah meludeskan uang proyek lebih kurang Rp 10 juta bersama Kades Ansyar !
106
Kades Ansyar sendiri dalam kesehariannya tampak bersih, tapi mungkin juga tidak lebih dari penipu yang piawai. Warga Desa Barantah mengoleksi sejumlah cerita yang berkaitan dengan kelakuan korupnya, tapi yang benar-benar dapat dibuktikan nyaris tidak ada. Kasus kolusinya dengan Datuk Deta Kuniang mungkin paling mungkin dibuktikan dengan pemeriksaan intensif, tapi hal itu tidak pernah pula dilakukan. Cerita lain yang dilontarkan masyarakat ialah tentang profesi sampingannya sebagai penadah kayu curian. Seorang perangkat desa yang menjadi informan penelitian ini bercerita tentang tiga batang pohon suriannya yang kedapatan hilang. Setelah diusut, ternyata pohon surian itu ditebang oleh seorang pekerja sinso (chainsaw) dari desa lain, dan kayunya dijual murah ke Kades Ansyar. Versi penebang itu, ia sudah mendapat order dari Kades Ansyar sebelum melakukan penebangan. Kades Ansyar juga diisyukan menerima suap dari Sutan Baro soal pembangunan Mesjid Baru. Kecurigaan masyarakat muncul karena mulanya Kades Ansyar sangat menentang perubahan status tempat ibadah itu dari mushala menjadi mesjid dengan alasan akan merusak persatuan warga Desa Barantah yang sejak lama menjadikan Mesjid Raya sebagai simbol persatuan dan kerukunan. Tapi kemudian sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat: ia berbalik mendukung perubahan status bangunan itu. Kemudian warga juga menceritakan persekongkolan Kades Ansyar dengan Sutan Baro menggali barang terpendam di sebuah kawasan dalam Desa Barantah.
107
Konon barang terpendam itu bernilai jutaan rupiah. Bersama dengan seorang dukun dari Riau, komplotan Sutan Baro melakukan penggalian mulai tengah malam sampai pagi. Setelah penggalian berhasil Sutan Baro menghilang ke Dumai bersama komplotannya. Cerita ini tinggal menjadi buah bibir warga Desa Barantah karena tak pernah dilacak secara serius baik oleh wartawan, petugas suaka purbakala maupun pihak kepolisian. Terlepas dari berbagai sisi negatif yang melekat pada dirinya, Kades Ansyar diakui oleh banyak warga sebagai aparat yang cerdas dan kaya gagasan. Dalam beberapa pertemuan di Balai Desa Barantah yang sempat saya amati, ia tidak saja bisa memperlihatkan diri sebagai taskleader, tapi juga sebagai socio-emotional leader. Namun dalam beberapa kesempatan ia mengeluhkan sikap warganya yang tidak konsisten, yang diungkapkan dengan menggunakan kiasan Minang: rumah sudah, tokok babunyi 68. Sikap itu, dalam versi Kades Ansyar, menyebabkan pembangunan desa sulit dilaksanakan. Keluhannya Kades Ansyar mungkin benar, tapi sebagian informan menganggap inkonsistensi itu harus dilihat dari konsistensi sikap Kades Ansyar sendiri. Mereka mengakui, Kades Ansyar pintar berbicara dalam rapat-rapat, jeli dan tajam dalam melihat permasalahan, namun juga pintar mencari-cari alasan manakala ia mengingkari sendiri apa yang pernah disampaikannya kepada warga desa.
68
rumah sudah tokok babunyi (ketokan palu baru terdengar setelah rumah selesai dikerjakan), artinya, kritik dan ketidaksetujuan baru diungkapkan setelah persetujuan atau perjanjian dibuat.
108
Gambaran kasus-kasus di atas sudah tentu tidak menyentuh para penghulu secara keseluruhan. Di antara 33 orang penghulu Desa Barantah masih ditemukan penghulu yang masih berusaha memainkan peranannya secara benar, tapi mereka minoritas yang dilanda frustrasi. Sebagian kecil lainnya menyadari bahwa para penghulu Desa Barantah ibarat melakukan bunuh diri: mereka sendiri yang membuat anak kemenakan kehilangan kepercayaan. Tapi kelompok ini kondisi psikologisnya lebih kurang sama dengan penghulu minoritas lain. Diantaranya ada yang memutuskan pergi dari Desa Barantah dan tinggal bersama anaknya di luar Barantah. Prilaku penghulu lain yang mengelilingi mereka, suka atau tidak suka, telah menyeret mereka ke dalam lingkaran yang dipandang anak kemenakan dalam satu warna. Dalam situasi moral yang serba kacau, para penghulu maupun pemimpin formal Desa Barantah benar-benar kehilangan argumentasi menghadapi kelakuan Sutan Baro dan istrinya. Bahkan tampaknya argumentasi itu kian tidak perlu setelah pengaruh Sutan Baro merasuk sedemikian rupa ke dalam kehidupan tokoh-tokoh tersebut. Sebagian tokoh, yang seharusnya lebih dominan dalam menata kehidupan masyarakat, justru masuk ke dalam arena permainan yang diciptakan Sutan Baro dengan kesadaran penuh, lalu ikut mengambil keuntungan. Peminggiran Institusi Adat dan Penghulu
109
Sebagai representasi sistem pemerintahan tradisional, instutusi adat berada di kawasan yang berseberangan dengan instutusi pemerintahan desa yang merupakan representasi sistem pemerintahan modern. Pada tingkat penafsiran yang sangat berpihak pada modernisme, terminologi berseberangan menunjukkan pandangan yang sangat dikotomistik, seolah-olah institusi adat merupakan lawan dari institusi pemerintahan modern. Tapi interpretasi yang lebih berhati-hati terhadap terminologi berseberangan tidak mengharuskan keduanya berdiri sebagai dua model institusi yang saling menghancurkan, setidak-tidaknya dalam periode waktu tertentu. Dengan kata lain, pada titik itu institusi pemerintahan modern masih terbuka untuk menyerap berbagai kekuatan yang dipancarkan oleh institusi adat untuk dipergunakan sebagai penutup kesenjangan budaya yang akan terjadi bila institusi pemerintahan modern digunakan untuk mengatur masyarakat. Oleh karena itu kemutlakan modernisme di tingkat lokal tidak terlihat akibat adanya kaharusan membawa serta berbagai simbol tradisi ke dalam institusi pemerintahan modern. Di Barantah, seperti yang terjadi di desa-desa lain di Sumatera Barat, aturan formal institusi pemerintahan desa sama sekali tidak menyingkirkan institusi adat. Penghulu tetap dipandang sebagai tokoh masyarakat yang harus dilibatkan dalam aktivitas desa sesuai dengan prinsip tigo tungku sajarangan, tigo tali sapilin 69; mereka
69
Tigo tungku sajarangan (tiga tungku sejerangan) dan tigo tali sapilin (tiga tali sepilin) merupakan simbol kerjasama antara aparat pemerintah, para ulama dan penghulu dalam melaksanakan pemerintahan di Sumatera Barat.
110
diudang menghadiri rapat-rapat LKMD, diangkat sebagai Kaur (Kepala Urusan) tertentu di Kantor Desa, dsb. Meskipun demikian para penghulu tidak berpeluang menjalankan peran yang spesifik dan terlembaga dalam struktur pemerintahan desa. Kehadiran penghulu dalam struktur tersebut adalah dalam kapasitas mereka sebagai individu, bukan sebagai kepala kaum atau sebagai representasi dari sebuah institusi adat. Jadi lebih kurang mencerminkan sikap yang ingin berbasa-basi, suatu upaya yang ternyata cukup efektif dari pemerintah dalam menjalani masa transisi dari model pemerintahan tradisional ke birokrasi pemerintahan modern dimana ujungnya adalah pengikisan terhadap institusi adat. Prilaku yang ditunjukkan Sutan Baro dan Samidah merupakan bagian tersendiri dari proses peminggiran institusi adat dan para penghulu yang sedang berlangsung di Barantah. Deskripsi mengenai apa yang telah diperbuat pasangan suami isteri tersebut terhadap masyarakat Desa Barantah mengindikasikan posisi keduanya. Sutan Baro dan Samidah, termasuk juga orang-orang Desa Barantah yang mendukungnya adalah representasi anggota masyarakat yang kehilangan kepercayaan kepada para penghulu dan institusi adat. Tapi dengan penjelasan seperti itu tidak langsung dapat dikatakan mereka sebagai pendukung birokrasi pemerintahan modern. Perilakunya yang menunjukkan ketidakpercayaan pada institusi pemerintahan desa serta usaha-usaha Sutan Baro membawa serta Kades Ansyar melakukan penggalian harta terpendam di kawasan
111
Barantah membutuhkan penjelasan khusus karena sifat tindakannya yang serba inkonsisten. Setidaknya dalam pandangan Sutan Baro, antara institusi pemerintahan Desa Barantah dengan Kadesnya terdapat jarak serta ruang yang cukup leluasa untuk melakukan permainan. Ruang itu tersedia karena Kades Ansyar sendiri tidak pernah punya kesempatan meyakinkan diri sendiri bahwa secara politis statusnya paling tinggi dari siapapun di Desa Barantah. Perlakuan aparat kecamatan yang diterimanya selama bertahuntahun, ketidakpatuhan warga terhadap perintahperintahnya, ditambah dengan kebangkrutan ekonominya selama menjadi Kades sudah cukup untuk membuatnya tidak begitu yakin akan identitas politis-formal yang ia miliki. Dalam kondisi yang nyaris tanpa kepastian itu Kades Ansyar tidak terlalu berminat melakukan pemaksaan kepada Sutan Baro agar institusi yang dipimpinnya serta dirinya sendiri diperlakukan secara terhormat. Dari beberapa kali wawancara saya dengan Kades Ansyar sudah dapat diinterpretasikan bahwa ia tahu persis segala tindakan Sutan Baro berikut keresahan sebagian besar warga Barantah, tapi ia tidak dapat menggunakan kedudukannya untuk langkah pencegahan. Keterlibatan Kades Ansyar dalam arena permainan yang diciptakan Sutan Baro tak lain hanya menegaskan kerapuhan institusi pemerintahan Desa Barantah. Namun kerapuhan ini tidak serta-merta dapat dimanfaatkan oleh institusi adat karena secara yuridis formal institusi adat tidak mungkin lagi memperoleh pengakuan sebagai
112
pemegang kekuasaan politik yang sah di desa. Pengalihan peran secara informal pun telah tidak mungkin akibat merosotnya pamor penghulu, baik dari segi moralitas maupun kapasitas sumber daya manusianya.
113
114
itu sendiri. Pasalnya, kaum Kamisah merasa sudah mengerahkan segenap tenaga untuk mengumpulkan dan mengajukan bukti-bukti hak mereka atas sako dan pusako Datuk Rajo Mimbang, tapi toh harus tetap menerima kenyataan pahit. Dukungan untuk kaum Kamisah datang dari KAN Kubang dengan mengeluarkan surat pernyataan bahwa sako Samidah bukanlah Datuk Rajo Mimbang, melainkan Datuk Mimbang saja. Pernyataan itu sangat sesuai dengan surat-surat yang dikeluarkan Samidah bahwa mereka berasal dari Kubang, sementara di Kubang tidak pernah ada kaum yang penghulunya bergelar Datuk Rajo Mimbang. Yang ada hanya Datuk Mimbang, tapi sejak beberapa tahun silam sako itu sudah dilipek (dibekukan) karena terjadi bentrokan di antara ahli warisnya. Menurut surat pernyataan KAN tersebut, sako Datuk Rajo Mimbang hanya ada di Barantah, dan yang berhak atas sako tersebut adalah kaum Kamisah. Dokumen lain yang dianggap oleh kaum Kamisah sebagai sumber kekuatan ialah ranji (silsilah) keturunan Datuk Rajo Mimbang yang mereka punyai. Ranji di atas kertas segel itu disahkan secara bertingkat mulai dari mamak kapalo warih (mamak kepala waris), mamak kapalo kaum (mamak kepala kaum), Kepala Desa Barantah, dan ketua KAN. Dengan pengesahan seperti itu, ranji kaum Kamisah telah memenuhi kriteria legal sebuah silsilah yang dapat diterima sebagai bukti di pengadilan. Di pihak lain, ranji yang dimiliki kaum Samidah, yang juga disebutnya sebagai ranji keturunan Datuk Rajo Mimbang, hanya disahkan oleh mamak kepala waris.
115
Artinya, ranji kaum Samidah tidak memenuhi kriteria legal dan menurut aturan resminya tidak bisa dijadikan barang bukti di hadapan hakim. Akan tetapi yang terjadi kemudian justru sangat mengejutkan kaum Kamisah. Ranji mereka dikesampingkan dan tidak dipertimbangkan oleh hakim Pengadilan Negeri Tanjung Pati dalam mengambil keputusan. Melengkapi Risalah Banding yang diajukannya ke Pengadilan Tinggi Padang bulan September 1997 kaum Kamisah melampirkan surat bantahan dari empat Datuak Ampek Suku (penghulu payuang) yang ada di Desa Barantah terhadap keabsahan Tamburin sebagai Datuk Rajo Mimbang. Para penghulu payuang tersebut menganggap penobatan Tamburin pada tahun 1995. Ikut pula dilampirkan surat bantahan dari Maruti atas kesaksian anak kandungnya Datuk Tambarajuik di Pengadilan Negeri Tanjung Pati yang berpihak kepada kaum Samidah70.
70
Menurut pengacara kaum Kamisah, Datuk Tambarajuik mau menjadi saksi untuk kaum Samidah karena diberi uang Rp 5000 tiap kali sidang. Datuak Tambarajuik sendiri pernah ditawari pengacara kaum Kamisah untuk jadi saksi bagi mereka (setelah Datuk Tambarajuik jadi saksi dua minggu sebelumnya bagi kaum Samidah), dan Datuk Tambarajuik menerima tawaran itu dengan antusias. Ia meminta pengacara kaum Samidah membuat naskah yang harus dihapal dan diucapkannya di pengadilan. Tapi tawaran itu dibatalkan sendiri oleh pengacara kaum Kamisah karena kuatir Datuk Tambarajuik akan dipenjarakan dengan tuduhan sebagai saksi palsu. Dalam surat pernyataannya, Maruti mengatakan bahwa Datuk Tambarajuik telah memberikan keterangan dusta. Keterangan Maruti dikuatkan pula oleh Datuak Ampek Suku dari kaum Maruti. Kepada kaum Kamisah Maruti menjelaskan bahwa anaknya memang sangat biasa berbohong, sehingga (dalam istilah Maruti) dengan dustanya itu Datuk
116
Tapi agaknya surat pernyataan yang paling unik adalah yang dibuat oleh Kepala Desa Barantah. Dalam surat itu dinyatakan bahwa sebuah jalan desa membelah tanah pusako Datuk Rajo Mimbang yang diputuskan Pengadilan Negeri Tanjung Pati untuk dieksekusi. Keputusan Pengadilan Negeri Tanjung Pati tidak menyebut-nyebut soal jalan desa itu, dan menganggap pusako Datuk Rajo Mimbang adalah sebidang tanah utuh, sehingga bila eksekusi dilakukan, jalan desa itu dengan sendirinya akan ikut dieksekusi. Padahal, jalan itu tidak termasuk ke dalam salah satu obyek perkara, karena memang bukan bagian dari pusako Datuk Rajo Mimbang. Kekaburan terhadap obyek perkara antara kaum Kamisah dengan kaum Samidah, yang seharusnya menyebabkan perkara itu gugur, dikuatirkan Kades Barantah akan menyebabkan jalan desa yang menghubungkan Desa Barantah dengan desa tetangganya harus ditutup. Jalan itu baru saja (artinya tahun 1997) diperlebar dan diperbaiki dengan dana bantuan pemerintah senilai puluhan juta rupiah. Dalam Risalah Bandingnya kaum Kamisah juga mengingatkan kembali bahwa pengakuan kaum Samidah bahwa dulu sako Datuk Rajo Mangguang dipinjamkan oleh kaum Samidah kepada kaum Kamisah, tidak ada dasarnya
Tambarajuik sudah layak basokat (berzakat). Artinya, ibarat setumpuk kekayaan, dusta Datuk Tambarajuik selama ini sudah begitu banyak dan layak dikeluarkan zakatnya. Kesaksian Datuk Tambarajuik dianggap sangat penting oleh kaum Kamisah untuk ditanggapi karena kesaksian Datuk Tambarajuik inilah yang paling dipedomani hakim Pengadilan Negeri Tanjung Pati dalam menurunkan amar keputusannya.
117
menurut adat yang berlaku di Minangkabau. Kaum Kamisah berargumentasi, berdasarkan adat Minangkabau sako tidak pernah bisa dipinjamkan kepada orang lain71. Apapun yang dikatakan kaum Kamisah, Pengadilan Tinggi Padang tidak melihatnya sebagai sebuah alasan yang tepat untuk melihat bahwa Pengadilan Negeri Tanjung Pati telah keliru menerapkan hukum. Hal itu berarti Pengadilan Tinggi memberi lampu hijau untuk pelaksanaan eksekusi yang akhirnya tidak hanya akan menghilangkan hak kaum Kamisah atas pusako Datuk Rajo Mimbang, tapi juga menjadikan jalan desa sebagai milik kaum Samidah, dan akhirnya menghilangkan hak semua warga Desa Barantah menggunakan jalan itu guna mencapai desa di sebelahnya. Sengketa antara kaum Kamisah dan kaum Samidah ini agaknya tidak akan begitu menarik bila saja nilai tanah pusako Datuk Rajo Mimbang yang diperebutkan bernilai ratusan juta atau miliaran rupiah. Bila nilai jual obyek perkara itu sangat tinggi kasus serupa dapat terjadi dimana saja, dan perebutan yang terjadi atas obyek itu sangat mudah dipahami logikanya. Tapi tanah pusako Datuk Rajo Mimbang bukanlah sesuatu yang bernilai jual sangat tinggi. Tanah yang diperkarakan boleh dikatakan sama sekali tidak produktif, terdapat di lereng bukit yang ditumbuhi rumput-rumput perdu. Lebih kurang sepuluh tahun lalu tanah itu pernah digunakan sebagai ladang tembakau, dan peladangan berhenti sejak harga tembakau Barantah
71
Keterangan ini persis sama dengan yang dikemukan Ketua KAN Kubang kepada penulis.
118
rontok di pasar. Satu-satunya yang boleh dikatakan cukup menghasilkan dari pusako Datuk Rajo Mimbang ini, dan juga bagian dari obyek perkara, adalah sepiring sawah, namun hasilnya juga tidak sampai 20 beban72 padi tiap kali panen. Di samping itu letak obyek perkara itu pun sangat jauh di pinggiran Desa Barantah. Kalau ditaksir dengan tingkat harga setempat, total pusako Datuk Rajo Mimbang itu tidak akan berharga lebih dari Rp 5 juta, hampir sama dengan biaya yang telah dikeluarkan kaum Kamisah menghadapi gugatan kaum Samidah, atau lebih kurang seperlima dari pengeluaran kaum Samidah73. Dengan demikian interpretasi dengan menggunakan teori dan logika ekonomi tidak mungkin dilakukan guna memahami kasus sengketa ini, karena jelas biaya perkara yang telah dikeluarkan (terutama kaum Samidah) untuk mendapatkan pusako Datuk Rajo Mimbang jauh melebihi nilai jual obyek perkaranya sendiri. Artinya, rasionalitas ekonomi sudah pasti akan menolak kelanjutan perkara ini karena ketinggian cost-nya dibanding hasil yang mungkin diperoleh. Akan tetapi ketika tulisan ini dirampungkan, persengketaan tampaknya belum akan berhenti karena kaum Kamisah sedang memohon kasasi ke Mahkamah Agung. Konsep atau teori yang dianggap paling mungkin menjelaskan persengketaan kaum Kamisah dengan kaum
72
73
1 beban = 20 gantang atau 80 liter kecil. Dengan patokan harga beras Rp 1.800,- per gantang (harga Maret 1998), hasil bruto sawah itu lebih kurang Rp 720.000,- sekali panen atau Rp 1.440.000,- setahun. Berdasarkan taksiran pengacara kaum Kamisah.
119
Samidah adalah teori-teori identitas dan konsep tentang makna subyektif yang dilansir oleh kubu interaksionisme simbolik. Dengan demikian, mula-mula diasumsikan bahwa baik perjuangan kaum Kamisah mempertahankan haknya dari gempuran kaum Samidah, maupun perjuangan keras kaum Samidah untuk memperoleh sako dan pusako Datuk Rajo Mimbang harus dilihat dalam sebuah kerangka upaya mempertahankan dan membentuk identitas atau ciri khusus untuk membedakan diri mereka dengan kaum lain di Desa Barantah. Perspektif teoritis yang sama sangat membantu memahami secara lebih mendasar mengapa warga Desa Barantah dengan karakter khusus seperti Sutan Baro dan Samidah dapat melenggang begitu bebasnya di depan para penghulu yang ada di desa tersebut. Pertanyaannya, mengapa para penghulu di Desa Barantah tidak berdaya sama sekali mengamankan desanya dari kisruh yang dibuat Sutan Baro dan Samidah? Selanjutnya, segenap prilaku yang ditunjukkan oleh para aktor dalam penelitian ini diasumsikan sebagai refleksi dari sejumlah makna-makna subyektif tentang realitas, termasuk realitas tentang diri sendiri (self). Dengan asumsi seperti itu, saya berpeluang untuk melihat para penghulu dan aktor-aktor lain mendefisinisikan diri sendiri melalui cara mereka menyikapi dan menjalankan peran-peran sosialnya. Konstruksi Sosial Identitas Penghulu dan Kaum
120
Sebagaimana telah dikemukakan, identitas adalah produk sosial, sesuatu yang disosialisasikan setelah didefinisikan terlebih dahulu. Pada tataran idealformalnya di Minangkabau identitas penghulu yang utama sekali dalam kapasitasnya sebagai individu adalah pemimpin, mulai dari tingkat kaum, paruik sampai payuang. Seorang penghulu memperoleh penghargaan dari anak kemenakannya karena ia dituakan dalam suatu kesatuan geneologis. Identitas formal seperti itu seragam di wilayah Minangkabau, baik di darek maupun di rantau. Sehingga aturan-aturan adat Minangkabau yang baku dapat diterapkan di mana saja dalam wilayah Minangkabau. Akan tetapi identitas formal itu telah mengalami, katakanlah, semacam dekonstruksi dari waktu ke waktu. Keutuhan identitas penghulu yang semula menjadi satusatunya simbol pemimpin mulai mengalami pergeseran sejalan dengan berkembangnya Islam di Minangkabau karena munculnya para buya, beliau dan ongku74 yang berbasis di surau-surau. Pengaruh ulama Islam dengan relatif mudah menyebar karena dapat melewati batasbatas geneologis dan dengan kharismanya para ulama dapat menghimpun penganut Islam dari berbagai kaum di bawah satu identitas baru, terutama identitas sebagai orang-orang yang anti penjajah Belanda.
74
Buya (dari abuya), beliau dan ongku adalah sebutan khas bagi pemuka agama Islam (ulama) di daerah Kabupaten 50 Kota. Untuk menyebut beberapa nama pemuka agama Islam masyarakat sekitar ulama itu bermukim biasanya menyebut buya pada Buya Zul (Suliki), beliau untuk Beliau Piobang (Piobang), atau ongku untuk Ongku Lokuang (Lokuang).
121
Dekonstruksi berikutnya terjadi pada zaman Belanda, sebagaimana telah dijelaskan pada Bab II tulisan ini. Pada masa itu identitas penghulu diimbuhi dengan sebutan yang bernada mengejek dan menggeser citranya ke tingkat yang lebih buruk, seperti penghulu basurek, penghulu rodi, kaki tangan Balando/Ulando (Belanda), dsb. Tapi jabatan-jabatan buatan Belanda yang diintroduksikan ke masyarakat nagari seperti penghulu kepala, kepala lareh, dsb. akhirnya mendorong terjadinya perubahan mendasar terhadap akuntabilitas (accountability) penghulu kepada anak kemenakan; akuntabilitas beralih dari vertikal ke bawah menjadi vertikal ke atas. Keadaan demikian tidak hanya dialami oleh penghulu yang telah ditetapkan keberadaannya oleh Belanda, yang diberi hak memperoleh koffie-procenten (komisi kopi) dan belasting (pajak), melainkan juga terjadi di kalangan penghulu yang berharap pada suatu saat kelak mereka juga akan memperoleh legitimasi pula dari Belanda75. Harapan itu tidak kosong karena berdasarkan Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten (I.G.O.B) tanggal 3 September 1938 Belanda juga membentuk Dewan Nagari yang anggotanya adalah para penghulu. Berdasarkan ordonansi itu diangkatlah seseorang menjadi pemimpin tertinggi di nagari dengan sebutan Kepala Nagari, yang juga duduk dalam Dewan Nagari sebagai anggota. Bagi pemerintah Belanda, penunjukkan penghulu kepala dan pembentukan Dewan Nagari terbukti bukan hanya sebagai langkah politis untuk menguasai nagari
75
122
dengan memanfaatkan elemen kepemimpinan pribumi, melainkan kombinasi antara strategi politik dengan strategi kebudayaan. Para penghulu tidak menyadari bahwa jabatan-jabatan buatan Belanda itu menyebabkan kepemimpinan institusional segera kehilangan kredibilitas, dikacaukan oleh menguatnya individualitas, bahkan dalam tingkat tertentu semata-mata egoisme -- para penghulu itu sendiri. Para penghulu berkolaborasi dengan Belanda, mengharapkan besluit, dan komisi kopi dan pajak bukan untuk kemaslahatan anak kemenakan, melainkan untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar serta kesempatan menikmati kehidupan mewah. Sejak terjadinya perubahan itulah seorang penghulu tidak lagi relevan diungkapkan sebagai orang yang bababan barek basingguluang batu (berbeban berat, bersinggulung batu)76. Jabatan penghulu kehilangan maknanya sebagai bagian dari ekspresi tanggung jawab dan pengorbanan individu terhadap kaumnya, dan berubah menjadi sumber kenikmatan serta kekuasaan yang harus diburu sekalipun dengan mengorbankan kepentingan azasi anggota kaum. Sisi positif dari kebijakan Belanda adalah sikap yang berusaha mempertahankan posisi penghulu sebagai pemimpin di nagari, sekalipun kebijakan seperti ini muncul belakangan. Akan tetapi pemanfaatan penghulu oleh
76
Ini adalah kiasan yang menunjukkan bahwa tidak ada kenikmatan bagi seseorang di balik jabatannya sebagai penghulu. Hidupnya telah diabdikan untuk memikul tanggung jawab yang berat sebagai pemimpin bagi kaumnya. Singgulung adalah gulungan kain yang diletakkan di kepala agar beban berat yang dijujungnya tidak menyebabkan timbulnya rasa sakit.
123
Belanda lebih tapat dikatakan sebagai upaya penghancuran sistem sosial-budaya Minangkabau dari dalam karena peran penghulu digariskan dan ditetapkan lagi secara sangat berbeda dengan konsep kepemimpinan tradisional Minangkabau. Identitas sebagai anasir penjajah tidak dapat tidak harus disandang oleh para penghulu. Identitas seperti ini terus berlanjut sampai masuknya Jepang menggantikan penguasa Belanda. Kecenderungan penghulu menyandar kepada kekuasaan ini tidak berhenti hingga masa pemerintahan Orde Baru. Setelah revolusi kemerdekaan, posisi penghulu dalam pemerintahan nagari cenderung menjadi tidak jelas. Identitas sebagai kaki tangan penjajah mempersulit peranan penghulu dalam masa pasca-revolusi, meskipun tidak pernah secara eksplisit dinyatakan bahwa penghulu harus disingkirkan dari pemerintahan nagari. Namun dengan adanya konsep kepemimpinan nagari pascarevolusi, pimpinan sebuah nagari tidak lagi musti berasal dari golongan penghulu. Jabatan ini dapat dipikul oleh siapa saja yang bisa bekerja sama dengan pemerintah republik. Di Nagari Kubang, dari awal abad ke 19 sampai 1947 jabatan Kepala Nagari masih dipegang oleh penghulu. Kepala Nagari pertama (Asyid) sampai Kepala Nagari ke-6 (Khatib Ali, menduduki jabatan antara 1856-1905) bergelar Datuk Putih Dipucuak dari pesukuan Payobadar. Setelah itu jabatan Kepala Nagari dipegang penghulupenghulu dari pesukuan Piliang (dua kali), Kutianyie (satu kali), dan Pitopang (dua kali). Tahun 1947 jabatan tersebut (dengan sebutan baru: Wali Nagari) dipegang oleh Abu
124
Hanafiah (1947-1949) yang bukan penghulu, diteruskan oleh Zainuddin Wahid (1949-1958) yang juga bukan penghulu. Sejak tahun 1947 sampai akhir pemerintahan nagari tahun 1982 praktis kepemimpinan Nagari Kubang dijabat oleh kalangan non-penghulu, kecuali satu kali yaitu antara tahun 1958-1959 oleh Muchtar Dt. Putih Dipucuak77. Sejak itu pula dominasi aktivis organisasi keagamaan (Muhammadiyah) tampak dalam kepemimpinan nagari ini. Di Desa Barantah, masuknya pengaruh kekuatan eksternal seperti Islam dan Belanda tidak serta merta menyebabkan terjadinya keruntuhan pamor penghulu karena kemudian terbentuk identitas baru yaitu penghuluulama (pangulu urang surau). Penghulu menyiasati keterjepitan posisinya dengan melakukan adaptasi terhadap perkembangan Islam, dan sebagian bersikap mendua terhadap kekuasaan Belanda, sehingga tetap memperoleh simpati masyarakat. Datuk Gading Nan Putih, misalnya, menjadi aktivis Syarekat Islam pada masa mudanya (sekitar tahun 1930-an) dan sangat sukses memberantas habis tradisi tahlil untuk memperingati hari ketiga, keseratus, dan keseribu dari kematian seseorang di Desa Barantah. Sebagai seorang ulama ia memiliki surau sendiri yang hingga kini masih berdiri di Barantah. Tapi di sisi lain ia juga populer karena karirnya sebagai guru Sekolah Rakyat (volkschool) dan menerima pensiun dari pemerintah sampai akhir hayatnya tahun 1995. Selama menjadi guru ia pernah mengajar di 13 tempat
77
Catatan lengkap mengenai pejabat Kepala dan Wali Nagari Kubang ini dimuat dalam Buku Monografi Nagari Kubang, 1979
125
yang berbeda, termasuk di sekolah rakyat di Rawang, Sungai Penuh (Kerinci), Talang Anau, Mahat, dan Padang Jopang. Salah satu alasan kepindahannya antara lain adalah sikapnya yang tidak begitu bersahabat terhadap Belanda. Ketika ia menjadi guru di Rawang beberapa orang polisi Belanda mengobrak-abrik kediamannya untuk mencari pertinggal tulisannya yang dimuat di sebuah surat kabar di Padang. Dalam tulisan yang menggunakan nama samaran itu ia mengeritik kebijakan Belanda mengenai pendidikan. Datuk Pandak Kali, ayah Samidah juga guru sekolah rakyat pada masa Belanda. Meskipun kalibernya keulamaannya tidak setinggi Datuk Gading Nan Putih, ia pun termasuk orang yang disegani dalam kapasitasnya sebagai pemuka agama. Mansyurdin yang menjadi Datuk Rajo Mimbang terakhir sejak kecil dididik di sekolah agama. Setelah dewasa ia menjadi pengajar di madrasah-madrasah Muhammadiyah, antara lain di Simpang Haru (Padang), Surau Gadang (Kecamatan Koto Tangah, Padang), dan Kubang. Sebelum meninggal ia masih sempat menerima pensiun selama beberapa tahun sebagai mantan pegawai Departemen Agama. Datuk Nan Babangso, suami pertama Samidah pada awalnya dipersiapkan oleh keluarganya menjadi ulama. Ia masuk ke sebuah sekolah agama di Kecamatan Guguk, dan karena kepintarannya ia selalu bisa meraih predikat terbaik. Namun kemudian ia menghancurkan sendiri jalannya untuk menjadi ulama karena terlibat pencurianpencurian disamping sangat gemar pada perempuan.
126
Tingginya pamor ulama menyebabkan Desa Barantah pernah menjadi salah satu kantong kekuatan partai Masyumi dan tempat berlindungnya para pemberontak PRRI. Begitu Masyumi dilarang oleh pemerintah, Desa Barantah menjadi salah satu daerah pengaruh Muhammadiyah sampai sekarang. Di desa itu masih berdiri sebuah madrasah Muhammadiyah meskipun proses belajar mengajarnya berjalan tersendat-sendat dan tak lagi banyak diminati. Era penghulu-ulama sudah berlalu. Sekarang boleh dikatakan nyaris tidak ada lagi penghulu di desa Barantah yang benar-benar memainkan fungsi sebagai penghulu dan ulama sekaligus. Penjelasan sebelumnya telah cukup memberikan gambaran yang serba bertolak belakang dengan realitas yang ada di Desa Barantah dua atau tiga dekade lampau. Lalu, bagaimana identitas penghulu bagi warga desa ini sejak hilangnya penghulu-ulama? Seorang informan mencoba memberikan gambaran, Seburuk-buruknya kelakuan Sutan Baro, dalam hal menilai penghulu ia tidak sepenuhnya salah. Penghulu di sini sekarang memang patut disebut niniak-ngangak. Mereka sendiri tidak bisa menunjuki diri sendiri. Bagaimana pula menunjuki anak kemenakan? Selanjutnya si informan menceritakan tentang tragedi Datuk Singok Tinggi yang terjadi bulan September 1997. Salah seorang kemenakan Datuk Rajo Mimbang (dari kaum Kamisah), katakanlah namanya Fauzan, datang malam hari bersama pengacaranya menemui Datuk Singok Tinggi untuk membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan keabsahan Tamburin sebagai Datuk Rajo
127
Mimbang yang baru. Tapi pertemuan itu gagal karena keluarga Datuk Singok Tinggi mengatakan sang penghulu sedang tidak ada di rumah. Setelah kegagalan itu, Fauzan datang lagi pagi-pagi sekali. Ternyata Datuk Singok Tinggi sudah lebih dulu meninggalkan rumah, seolah-olah menghindar dari Fauzan yang sebenarnya juga kemenakannya sendiri (dalam satu payuang). Didorong oleh rasa penasaran, Fauzan mencari Datuk Singok Tinggi. Ia lalu berteriak memanggil ketika Datuk Singok Tinggi terlihat mengendap-endap di balik pokok kayu. Mendengar teriakan itu, Datuk Singok Tinggi malah bersembunyi. Karena makin penasaran, kemenakan Datuk Rajo Mimbang mengejarnya. Datuk Singok Tinggi langsung mengambil sendalnya dan lari menyusuri pematang sawah. Kejar-kejaran antara mamak dan kemenakan segera terjadi pagi itu. Namun usaha Fauzan masih gagal karena lari Datuk Singok Tinggi ternyata lebih cepat. Sejak peristiwa itu, Fauzan menyampaikan kepada anggota kaumnya bahwa gelar Datuk Singok Tinggi kini sudah bertambah menjadi Datuk Singok Tinggi Nan Lari ! Olok-olok Fauzan ditanggapi dengan nada setuju oleh anggota kaumnya. Ketika cerita itu kembali digelar oleh Fauzan dalam sebuah pertemuan kaum di Payakumbuh (Desember 1997), seluruh anggota kaum itu tampaknya sepakat menyesali pengangkatan Datuk Singok Tinggi sebagai penghulu. Mereka tidak habis mengerti mengapa kaum Datuk Singok Tinggi tidak menunjuk anggotanya yang lain yang lebih cerdas dan terpelajar.
128
Jaswir (berusia lebih kurang 40 tahun) yang kini memangku gelar Datuk Singok Tinggi hanya sempat menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar dan tidak begitu lancar membaca huruf Latin. Anggota kaumnya sendiri berani mengakui, Jaswir juga tidak cukup piawai dalam menyelesaikan masalah dalam kaumnya sendiri karena selalu mengalami kesulitan dalam memahami substansi permasalahan. Kelemahan ini seringkali dimanfaatkan oleh Kades Ansyar, yang dalam adat adalah kemenakan Datuk Singok Tinggi sendiri78, untuk kepentingankepentingan pribadinya79. Sekalipun sulit dibuktikan, di kalangan warga Desa Barantah muncul anggapan bahwa Kades Ansyar berada di antara konspirasi antara Datuk Singok Tinggi dengan kaum Samidah dalam memperkarakan kaum Kamisah. Kasus-kasus susila yang makin banyak terjadi di Desa Barantah sejak tahun 1980-an mencerminkan adanya goncangan yang serius terhadap tatanan normatif yang pada tahun-tahun sebelumnya relatif masih terpelihara. Kasus susila yang terjadi di kalangan penghulu memang tidak terlalu banyak dibandingkan dengan yang terjadi di luar lingkaran elit tradisional tersebut Namun karena perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang yang menurut fungsinya justru harus menegakkan norma-norma susila, dampaknya sangat besar. Prilaku mereka menjadi
78
79
Karena Kades Ansyar lebih tua dari Jaswir, Jaswir selalu memanggilnya uda, sedangkan Kades Ansyar kadang-kadang memanggil Jaswir ngulu (singkatan dari pangulu atau penghulu), kadang-kadang Singok saja. Tentang hubungan ini, kaum Kamisah mencemooh Kades Ansyar sebagai dukunnya Datuk Singok Tinggi, karena setiap kali harus mengambil keputusan dalam kaum maupun payuang-nya Datuk Singok Tinggi musti mendatangi Kades Ansyar untuk minta dinasehati.
129
preseden dan jastifikasi bagi warga di luar lingkaran penghulu untuk ikut meremehkan nilai-nilai kesusilaan80. Bagi warga biasa, peranan penghulu dalam menangani masalah kesusilaan tampaknya tidak lagi menjadi sesuatu yang masih diharapkan. Tak ada penghulu maupun yang bukan penghulu yang memprotes ketika bekas pacar Datuk Gadang Salero disidangkan oleh perangkat desa karena hamil di luar nikah atas dasar hak dan wewenang kaum yang digariskan menurut adat. Padahal, proses penyidangan itu melewati begitu saja kewenangan kaum dalam menyelesaikan masalah anggota mereka sendiri (sesuai dengan prinsip babiliak ketek babiliak gadang81). Perkara itu baru diserahkan kepada kaum setelah aparat desa ternyata gagal mencari jalan keluar yang terbaik lantaran tak seorangpun dari beberapa laki-laki yang pernah melakukan kontak seksual dengan perempuan muda itu mau memikul tanggung jawab. Tapi menyalahkan aparat desa dalam kasus ini juga menjadi sebuah kekeliruan, karena cukup banyak bukti yang meyakinkan bahwa di desa ini umumnya kaum tidak lagi
80
81
Orang Minangkabau mengumpamakan keadaan ini sebagai tungkek nan mambaok rabah (tongkat yang membawa rebah). Secara harfiah babiliak ketek babiliak gadang artinya memiliki bilik kecil dan bilik besar. Bilik atau kamar digunakan sebagai simbol dari sebuah kewenangan dan hak individu untuk terlibat dalam menyelesaikan sebuah masalah. Dalam bilik kecil tidak semua orang boleh terlibat, tapi tidak demikian dalam bilik besar. Ukuran besar dan kecil itu sendiri sifatnya relatif dan kontekstual. Dalam sebuah kaum, kaum itu sendiri jadi bilik besar bagi rumah tangga batih (suami istri). Tapi dalam payuang, kaum menjadi bilik kecil dari payuang. Operasionalisasi dari prinsip ini, masalah yang dihadapi oleh sebuah kaum harus diselesaikan dalam kaum lebih dulu. Kalau tidak dapat diselesaikan oleh kaum, masalahnya baru boleh di bawa ke tingkat payuang (bilik besar).
130
memiliki kemampuan memecahkan masalah mereka sendiri. Membiarkan kewenangannya diambil alih oleh aparat desa hanya salah satu bentuk implikasi dari ketidakberdayaan kaum. Makin rapuhnya ikatan antara anggota kaum mempermudah munculnya konflik internal yang bisa saja tidak kunjung selesai atau memang dibiarkan begitu saja. Ambil contoh apa yang terjadi dalam kaum Samidah. Kendati dalam menghadapi kaum Kamisah mereka tampaknya bersatu, ikatan didalamnya tidaklah sekuat itu. Samidah hanya bersatu dengan adik lakilakinya Kampuih dan ibunya untuk menghadapi Kamisah. Begitu juga dengan Tamburin. Cukup banyak orang yang tahu bahwa sejak lama Kampuih tidak menyukai Samidah karena Samidah memakan sendiri uang pensiunan ayah mereka yang seharusnya jadi hak ibu mereka. Sudah jadi pengetahuan umum pula bahwa Samidah tidak menunjukkan sikap santunnya kepada ibunya yang sudah sangat tua (lebih kurang 85 tahun) dan buta. Sikap Sutan Baro terhadap mertuanya bahkan lebih kasar lagi. Samidah juga tidak begitu menyukai Kampuih lantaran laki-laki yang sudah bercucu itu tidak pernah penya pekerjaan yang jelas dan sering mengusik-usik masalah uang pensiunan ayahnya. Sikap Samidah terhadap ibunya juga menjadi salah satu simpul konflik internal. Ketika kaum ini bertarung melawan kaum Kamisah di Pengadilan Negeri Tanjung Pati, Kampuih memindahkan ibunya dari rumah Samidah ke rumah istri mudanya yang bekerja sebagai bidan desa di desa tetangga dengan alasan agar ibunya lebih dapat perhatian.
131
Dalam kaum Kamisah pun bibit-bibit konflik ini tak urung terjadi. Simpulnya antara lain adalah hak penguasaan Kamisah atas lahan pusaka kaum di Lurah Tanyo yang sudah berlangsung sejak tahun 50-an. Beberapa anggota kaum Kamisah menolak berpartisipasi membiayai perkara dengan kaum Samidah karena merasa tidak pernah menikmati hasil dari obyek perkara itu. Menurut mereka, selama ini hanya Kamisah dan anakanaknya yang menikmati, oleh karena itu wajar saja kalau biaya perkara ditanggung seluruhnya oleh Kamisah dan anak-anaknya. Tapi mereka tidak tahu kalau hasil lahan pusaka itu memang tidak mungkin dibagi secara merata kepada seluruh anggota kaum karena hasilnya yang sangat sedikit. Bahkan untuk kebutuhan hidup Kamisah dan anakanaknya pun hasil lahan itu tidak pernah mencukupi82. Ketidaktahuan itu antara lain karena mereka belum pernah datang dan melihat secara langsung sosok sebenarnya lahan itu. Membesarnya potensi konflik internal merupakan pendorong yang penting bagi munculnya sikap kurang peduli di antara sesama anggota kaum. Keengganan untuk terlibat memecahkan masalah kaum yang mencirikan kekurangpedulian tersebut banyak dilatarbelakangi kekuatiran akan mencuatnya konflik ke permukaan. Dalam tataran budaya, konflik itu sendiri, dalam batasbatas tertentu, masih dapat diterima sebagai sebuah
82
Dengan hasil bruto Rp 1.440.000 per tahun (harga Maret 1998), Kamisah hanya memperoleh hasil lebih kurang Rp 100.000 per bulan dari sawah tersebut
132
kewajaran atau bagian tak terpisahkan dari mekanisme pemecahan masalah. Namun dalam kondisi kaum yang sama-sama diyakini telah sebagaimana layaknya kapal berlayar tanpa nakhoda, konflik mungkin bukan lagi bagian dari upaya pemecahan masalah, melainkan bagian dari masalah itu sendiri. Keyakinan anggota kaum terhadap kemampuan penghulu atau orang yang memimpin mereka dalam mengakomodasi konflik sudah turun sampai ke titik yang paling rendah. Akibatnya, persoalan yang dihadapi individu anggota kaum cenderung dilihat sebagai urusan individual dan terlepas dari kepentingan anggota kaum lainnya. Masing-masing berusaha menghindar agar tidak terjadi gesekan-gesekan. Dalam keadaan tanpa ikatan seperti itu, jalan yang makin banyak ditempuh warga bila muncul masalah adalah mengadu kepada perangkat desa atau dusun, bukannya kepada penghulu. Implikasi dari kekurangpedulian itu adalah berkembangnya sikap permisif terhadap prilaku anggota kaum. Anggota kaum seolah-olah tidak merasa ikut malu, misalnya bila ada kerabat sekaumnya terlibat perselingkuhan yang menimbulkan gunjing dan olok-olok di seantero desa. Mencela kelakuan kerabat sekaum di depan orang lain mudah terjadi, tanpa ganjalan apa-apa. Bahkan perasaan malu juga tidak dapat terusik dengan mudah ketika sebuah kaum gagal mencapai kesepakatan menunjuk penghulu baru sehingga terjadi kevakuman yang panjang, dan akibatnya kaum lain melemparkan seloroh yang mungkin sangat menyakitkan dalam ukuran
133
masa-masa silam83. Perkembangan individualitas yang sedemikian rupa juga mempersulit seseorang menerima pandangan orang lain, sekalipun dari anggota kaumnya sendiri. Ikatan yang melonggar antara sesama anggota kaum memungkinkan pula terjadinya kekaburan hubungan dalam tatanan geneologis. Sapaan terhadap seseorang yang telah ditetapkan berdasarkan struktur ikatan geneologis, dan berfungsi untuk mempertahankan ikatan itu secara emosional, sudah banyak bergeser kendatipun belum begitu parah. Sebutan mamak kepada seorang laki-laki oleh kemenakannya masih lazim, tapi sebagian menggantinya dengan om, sebutan yang lebih bernuasa kekinian, tapi tak memiliki ikatan kultural dengan pemakainya. Sementara sapaan nakan dari seorang mamak kepada kemenakan yang masih lazim digunakan di tahun 60-an, sekarang hanya dipraktekan sebagian kecil warga. Sapaan ang (untuk laki-laki) dan kau (untuk perempuan) yang dulunya digunakan di kalangan seusia, dan cenderung berkonotasi kasar dan meremehkan, sekarang juga dipergunakan oleh yang lebih tua kepada yang lebih muda, bahkan dari mamak ke kemanakan. Pada tingkat yang paling kacau, anggota kaum dapat saja memanggil ang kepada saudara laki-laki ibunya (mamaknya) karena usia si mamak lebih muda atau usia
83
Ketika sebuah kaum gagal menunjuk penghulunya sendiri, dan selama beberapa tahun kaum itu tak punya penghulu sama sekali, beberapa warga desa Barantah dari kaum lain mengatakan secara bergurau, Kalau kalian tidak ada di antara kalian yang bisa jadi penghulu, pinjam saja orang kami. Seloroh ini sesungguhnya sudah setengah menghina, tapi tidak cukup kuat mempersatukan kaum itu.
134
keduanya sepantaran. Terhadap penyimpanganpenyimpangan seperti itu, reaksi anggota kaum tidaklah begitu keras. Melemahnya kekuatan kaum tampak berkaitan erat dan memiliki hubungan reciprocal dengan memudarnya ikatan emosional84 di antara sesama anggotanya. Aturanaturan normatif yang bersandar pada adat tidak lagi dapat berperan sebagai pengatur prilaku sesama anggota. Setiap anggota memilih sendiri jalan yang dianggap baik dan paling dekat kepada kepentingan individual mereka. Pada saat yang sama, fungsi simbolik penghulu sebagai yang memelihara perasaan bersaudara antara anggota kaum dan mengingatkan orang akan ikatan darah di antara mereka, makin sulit pula dipertahankan. Harapan yang Tersisa Bahwa eksistensi penghulu sebenarnya masih mendapat pengakuan dari warga Desa Barantah ditunjukkan dengan jelas oleh meruyaknya sengketa antara kaum Kamisah dengan kaum Samidah. Bila saja kaum Kamisah tidak mengkuatirkan sako Datuk Rajo Mimbang jatuh ke pihak kaum Samidah, mereka tidak akan bersikeras mempertahankan pusako yang tak seberapa berharga itu dari caplokan kaum Samidah. Kalau mereka merelakan sawah dan tanah di Lurah Tanyo
84
Ikatan emosional ini secara spesifik diungkapkan sebagai saraso samalu (seperasaan-semalu): bila yang satu merasakan, yang lain juga merasakan. Bila yang satu merasa malu, yang lain juga demikian.
135
berpindah tangan, sama saja artinya dengan menyerahkan sako Datuk Rajo Mimbang sekalian karena sako dan pusako dipandang sebagai suatu kesatuan, tidak bisa dipisahkan. Jadi, tidak mungkin pusako Datuk Rajo Mimbang berada di tangan kaum Samidah, sementara sako masih di tangan kaum Kamisah. Dalam menghadapi gugatan kaum Samidah di pengadilan, kaum Kamisah yang berdomisili di Padang, Payakumbuh dan Desa Barantah membuat kesepakatan untuk main bersih, tapi terkesan kurang melek situasi karena terlalu yakin akan munculnya keadilan dari balik lembaga peradilan. Secara finansial sebenarnya kebanyakan anggota kaum Kamisah cukup mampu melakukan pendekatan-pendekatan di luar sidang kepada aparat lembaga peradilan untuk mencapai kemenangan, tapi suara anggota kaum yang dianggap paling berpengaruh menolak melakukan hal itu. Padahal, mereka sudah memperoleh informasi bahwa kaum Samidah memang melakukan pendekatan di luar sidang kepada para hakim85. Salah seorang anggota kaum Kamidah berargumentasi,
85
Seorang pengurus KAN Kubang memberi penilaian atas kemenangan kaum Samidah di Pengadilan Tanjung Pati dengan perumpamaan: kalau tak ada berada, tak mungkin tempua bersarang rendah. Ia merasa sangat pasti bahwa kaum Kamisahlah yang seharusnya memenangkan perkara. Informasi tentang adanya unsur kolusi di balik peradilan itu muncul ketika Miti, salah seorang anggota kaum Kamisah datang ke Rengat dalam November 1997 (ketika berkas perkara sedang dibahas di PT Padang). Di Rengat Miti berjumpa dengan seorang perantau asal Kubang yang juga sedang berperkara dengan sesama orang Kubang dan memakai pengacara yang sama dengan kaum Samidah. Perantau itu memperoleh informasi dari pengacaranya bahwa Miti (kaum Kamisah) telah kalah di PT karena Samidah sudah mengantarkan uang ke Padang.
136
Yang kita perjuangkan sekarang ini kan harga diri. Gelar penghulu apalah artinya bila dinilai dengan uang. Tapi ia penting untuk menegakkan harga diri. Masa kita harus menegakkan harga diri dengan menyogok? Namun alasan harga diri yang dikemukakan anggota kaum itu tidak bisa sepenuhnya dapat diterima dalam konteks keengganan kaum Kamisah menempuh jalan belakang. Beberapa anggota kaum Kamisah yang tinggal di Batam menutup kantong mereka karena ketidakpahaman terhadap substansi dan riwayat perkara, sehingga sikap mereka menjadi membingungkan. Tegas-tegas mereka menyatakan tidak akan mengeluarkan uang untuk membiayai perkara karena tidak suka berurusan dengan pengadilan yang pasti akibatnya akan menghamburhamburkan uang. Tapi mereka telah mempersiapkan uang senilai jutaan rupiah untuk melangsungkan upacara baralek gadang batagak pangulu ! Kaum Kamisah yang berada di wilayah Sumatera Barat tampaknya berusaha konsisten dengan konsep harga dirinya, sekalipun sesungguhnya mereka tidak begitu yakin akan meraih kemenangan. Sementara beberapa anggota kaum Kamisah yang tinggal di Batam lebih mengaitkan perlawanan terhadap kaum Samidah dengan identitas sebagai anak kemenakan Datuk Rajo Mimbang dari Desa Barantah. Mereka membayangkan tidak akan pernah lagi menjejakkan kaki di Desa Barantah bila pusako dan sako Datuk Rajo Mimbang jatuh ke tangan kaum
137
Samidah 86. Diantaranya menganggap, bila kemungkinan terburuk itu terjadi, mereka telah diusir dari tanah asal. Setelah dikalahkan di Pengadilan Tinggi Padang mereka memutuskan untuk melanjutkan perkara ke Mahkamah Agung dengan konsep yang sama: main bersih. Pendapat seorang anggota kaum itu, Kalau Samidah mau mengantarkan uang ke Jakarta, silahkan. Tapi saya kira ia tidak akan mampu. Kalau ia mau memaksakan diri, silahkan. Setelah itu ia pasti bangkrut. Kalau ia sudah bangkrut, ambillah sawah dan tanah itu. Bagi kami tidak apa-apa. Tidak menang di pengadilan dunia dengan cara seperti itu, tak apa-apa. Masih ada pengadilan akhirat yang lebih adil. Kemenangan yang teraih dari dua lembaga peradilan sudah barang tentu sangat menggembirakan kaum Samidah. Kemenangan itu menumbuhkan sejumlah harapan untuk mewujudkan suasana- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
FILE RUSAK
86
Setelah kekalahan di Pengadilan Tinggi, salah seorang kemenakan Datuk Rajo Mimbang yang tergolong sukses sebagai pengusaha di Batam berupaya memindahkan Kamisah beserta anak dan menantunya ke Batam, dan menawarkan pekerjaan untuk mereka. Pengusaha ini tampaknya tidak lagi menyimpan harapan akan kelangsungan hidup kaumnya di Desa Barantah. Ketika tulisan ini dirampungkan, rencana itu belum dapat respon yang kuat dari Kamisah maupun anak dan menantunya.
138
- - - - Sebagaimana -
-
139
87
87
Ketika Mansyurdin Datuk Rajo Mimbang masih hidup ia menerima sejumlah orang yang berasal darai Kamang sebagai kemenakannya. Sebagaimana lazimnya di Minangkabau, sekalipun pendatang-pendatang ini telah diakui sebagai kemenakan, mereka tidak punya hak mewarisi sako yang bersandar kepada prinsip tali darah, tapi berhak menerima bagian dari pusako bila dikehendaki. Konsekuensi dari status mereka sebagai orang yang hinggok mancangkam atau malakok, nama mereka tidak pernah masuk ke dalam ranji keturunan Datuk Rajo Mimbang. Ketika Mansyurdin Datuk Rajo Mimbang masih hidup ia menerima sejumlah orang yang berasal darai Kamang sebagai kemenakannya. Sebagaimana lazimnya di Minangkabau, sekalipun pendatang-pendatang ini telah diakui sebagai kemenakan, mereka tidak punya hak mewarisi sako yang bersandar kepada prinsip tali darah, tapi berhak menerima bagian dari pusako bila dikehendaki. Konsekuensi dari status mereka sebagai orang yang hinggok mancangkam atau malakok, nama mereka tidak pernah masuk ke dalam ranji keturunan Datuk Rajo Mimbang.
139
Ma mungkin si Kamisah bansaik tu ka manang. Urang banyak pitih ka dilawan (Mana mungkin si Kamisah miskin itu bisa menang. Orang banyak uang mau dilawan).88 Meskipun demikian, sebenarnya kaum Samidah menyembunyikan ketakutan sendiri, antara lain karena kaum Kamisah ternyata tidak mau menyerah begitu saja setelah kalah di Pengadilan Negeri Tanjung Pati. Menjelang pengacara kaum Kamisah mengajukan memori banding ke Pengadilan, hampir tiap hari Sutan Baro melakukan pengecekan ke kantor tersebut. Seorang saksi mata melihat kegembiraan Sutan Baro yang sebelumnya meledak-ledak mendadak hilang begitu ia tahu kaum Kamisah mengajukan memori banding. Bagi Tamburin ketakutan itu diekspresikan dengan cara menjauhkan diri dari kerabat Kamisah yang telah sejak dulu punya hubungan baik dengannya. Sejak lebih kurang
88
Sutan Baro mengira bahwa yang dilawan istrinya benar-benar hanya Kamisah dengan dua orang anaknya ditambah seorang menantu, sebagaimana tercantum dalam Risalah Gugatan yang disampaikan ke pengadilan. Tapi terminologi mengira yang dipakai disini boleh jadi bukan sesuatu yang muncul secara kebetulan, melainkan bagian dari taktik kaum Samidah untuk memecah-belah keutuhan kaum Kamisah. Dengan menggugat Kamisah secara pribadi kaum Samidah seolah-olah berharap bisa mengisolasi Kamisah dari keterlibatan anak kemenakan Datuk Rajo Mimbang lainnya. Harapan itu ternyata tak sepenuhnya berhasil. Kemungkinan lain, kaum Samidah memang telah keliru menempatkan posisi Kamisah dan anak-anaknya dalam setting perkara, sehingga kekaburan gugatan tidak bisa lagi dielakkan. Dalam Risalah Gugatannya kaum Samidah yang menuntut agar pusako dan sako Datuk Rajo Mimbang diberikan kepada pihaknya seharusnya kedudukan Kamisah serta anak dan menantunya tidak dipandang sebagai bagian terpisah dari anak kemenakan Datuk Rajo Mimbang yang bertali darah dengan Kamisah. Kaum Samidah tampaknya kurang menyadari bahwa dalam konteks hak atas pusako dan sako menggugat Kamisah berarti juga menggugat seluruh kerabat bertali darah dari Kamisah.
140
dua puluh lima tahun lalu Tamburin diberi hak menggarap beberapa petak sawah milik salah seorang anak saudara sekaum dari Kamisah yang tinggal di Padang, sebutlah namanya Mainar. Biasanya setiap kali panen Tamburin langsung datang ke Padang menemui Mainar untuk menyerahkan hasil sawah. Tapi sejak perkara kaum Kamisah melawan kaum Samidah digelar di pengadilan, dan Tamburin berada di pihak kaum Samidah, Tamburin tidak pernah lagi menemui Mainar. Sebagai pengganti dirinya, Tamburin mengutus salah seorang anaknya dan mengemukakan berbagai alasan untuk ketidakhadirannya itu 89. Petunjuk berikutnya, setiap kali upacara naiak ka ampek suku diselenggarakan di desa ini, animo masyarakat untuk datang menyaksikan masih sangat tinggi. Ketika Tamburin akan dinobatkan jadi Datuk Rajo Mimbang tahun 1995, ribuan orang datang ke rumah upacara sehingga suasananya hampir seperti pasar. Imam Jalelo, saksi mata, bercerita, Ketika saya mau pergi (setelah memprotes pengangkatan Tamburin), orang-orang berteriak, Lapangkan jalan.. lapangkan jalan... Di pintu rumah, di
89
Mainar bukannya tidak mendukung Kamisah. Namun karena sawahnya yang digarap Tamburin adalah sawah hibah dari ayahnya (jadi bukan berasal dari harta kaum Kamisah), ia tidak ingin mencampuradukkan bisnis pribadinya dengan perkara yang dihadapi Kamisah (urusan kaum). Konsistensi sikap Mainar terlihat dalam caranya menyikapi kewenangan Tamburin menempati rumahnya di Barantah. Sejak pertengahan tahun 1970-an Tamburin menempati rumah Mainar bersama anak dan istrinya. Mainar tetap tidak berniat mencabut hak yang pernah diberikannya kepada Tamburin sekalipun ia menyesali sikap Tamburin kepada kaumnya.
141
tangga orang banyak bukan main. Halaman penuh sesak, sampai ke batu hampar (hamparan batu seluas lebih kurang 25m x 50m yang terdapat di depan rumah upacara-pen). Keramaian yang kira-kira sama juga terjadi pada kaum lain di Desa Barantah yang menyelenggarakan upacara serupa ketika penelitian ini sedang dilaksanakan. Terhadap keadaan ini ada beberapa interpretasi dan penjelasan yang mungkin diturunkan. Pertama, rangkaian keramaian-demi keramaian yang terjadi saat upacara naiak ka ampek suku merupakan ekspresi pengharapan yang besar sebagian besar warga Desa Barantah terhadap keberlangsungan (continutiy) tradisi. Momen ini penting untuk menegaskan kembali identitas sebagai orang Minangkabau yang masih melekat erat dalam diri warga. Produk dari upacara itu sendiri, yaitu kelahiran seorang penghulu, tidak terlalu penting karena toh seorang penghulu yang sangat baik pun hanya punya wewenang dan tanggungjawab dalam lingkaran kaumnya. Dengan kata lain, kehebatannya tidak akan dinikmati secara langsung oleh kaum lain dalam desa yang sama. Kedua, keramaian tidak mencerminkan dukungan terhadap calon penghulu yang akan dinobatkan. Menurut adat Minangkabau, seseorang dapat dianggap sah sebagai penghulu dalam kaumnya bila anggota kaum telah benarbenar sepakat menjadikannya penghulu. Campur tangan pihak lain di luar kaum, baik berupa dukungan maupun sanggahan tidak ada artinya bagi penobatan itu.
142
Dalam kasus penobatan Tamburin, kunjungan begitu banyak or- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - asih punya taring sebagai socio-emotional leaders. Kewibawaannya secara individual dalam kaumnya sendiri memang merosot sampai sedemikian rupa, tapi dalam formasi kolektif mereka masih cukup kuat menegakkan prinsip dasar kepemimpinan kaum, yaitu kesepakatan90. Penolakan para penghulu Desa Barantah terhadap Tamburin tidak saja menyebabkan kerugian material yang lumayan banyak (lebih kurang Rp 10 juta), tapi juga menyebabkan hidup Samidah hampir saja berakhir karena serangan jantung.
FILE RUSAK
Kesepakatan ini biasanya diungkapkan sebagai bulek buliah digolongkan, pipiah buliah dilayangkan (bulat boleh digelindingkan, pipih boleh dilayangkan). Kalau masih ada pertikaian dalam kaum berarti bentuk yang bundar atau pipih beluim tercipta, sehingga belum ada yang bisa digelindingkan atau dilayangkan (direalisasikan).
143
socio-emotional leaders. Kewibawaannya secara individual dalam kaumnya sendiri memang merosot sampai sedemikian rupa, tapi dalam formasi kolektif mereka masih cukup kuat menegakkan prinsip dasar kepemimpinan kaum, yaitu kesepakatan90. Penolakan para penghulu Desa Barantah terhadap Tamburin tidak saja menyebabkan kerugian material yang lumayan banyak (lebih kurang Rp 10 juta), tapi juga menyebabkan hidup Samidah hampir saja berakhir karena serangan jantung. Penolakan para penghulu itu terbukti sebagai sesuatu yang dianggap sah oleh warga Desa Barantah. Tak seorangpun warga desa ini yang menyebut dan menyapa Tamburin sebagai Datuk Rajo Mimbang setelah upacara yang gagal itu, kendatipun kaum Samidah tetap bersikeras menganggap Tamburin sebagai penghulu kaum mereka91. Penolakan warga itu tetap berlanjut bahkan setelah Pengadilan Negeri Tanjung Pati maupun Pengadilan Tinggi Padang mengeluarkan amar keputusan yang mengesahkan posisi Tamburin sebagai Datuk Rajo Mimbang.
90
91
Kesepakatan ini biasanya diungkapkan sebagai bulek buliah digolongkan, pipiah buliah dilayangkan (bulat boleh digelindingkan, pipih boleh dilayangkan). Kalau masih ada pertikaian dalam kaum berarti bentuk yang bundar atau pipih beluim tercipta, sehingga belum ada yang bisa digelindingkan atau dilayangkan (direalisasikan). Lebih kurang satu tahun setelah peristiwa itu kaum Samidah mengirim surat kepada Kepala Desa Barantah yang isinya permohonan agar gelar Tamburin disahkan melalui pengumuman di mesjid selepas shalat Jumat. Permohonan ini dapat kritik pedas dari para penghulu karena dianggap sebagai keinginan orang tidak beradat, sehingga Kepala Desa Barantah tidak bersedia mengabulkan permohonan tersebut.
144
BAB VI KESIMPULAN
Peminggiran peran penghulu dalam masyarakat Minangkabau sudah menjadi isyu yang dikenal umum dan berlangsung sejak lama. Para penghulu mau tidak mau harus bersaing dengan masuknya berbagai institusi eksternal yang memiliki konsep kepemimpinan sangat berbeda. Dari persaingan itu penghulu terpaksa menerima kekalahan yang datang perlahan-lahan. Institusi eksternal pada umumnya memperkenalkan corak kepemimpinan individual, sementara konsep kepemimpinan yang dianut oleh orang Minangkabau adalah kepemimpinan institusional. Di dalam konsep kepemimpinan Minangkabau kedudukan penghulu cenderung bersifat simbolis dan impersonal, sehingga unsur-unsur kedirian (individualitas) para penghulu harus dieliminir. Di hadapan kemenakannya penghulu tidak dapat memainkan peran sebagai raja yang serba menentukan, melainkan hanya mesin penggerak bagi sebuah institusi sosial politik yang sesungguhnya dikendalikan oleh para kemenakan. Dengan konsep tersebut sistem sosial Minangkabau menyediakan penghalang bagi munculnya tokoh masyarakat yang ingin gadang surang (besar sendiri).
145
Konsep kepemimpinan institusional itu telah mengalami dekonstruksi dan pendefinisian ulang sejalan dengan perjalanan waktu. Perubahan sosial politik yang terjadi secara perlahan menggeser peranan institusi dan memperkokoh kedirian para penghulu. Akibatnya, penghulu beralih jadi pengendali, dan kemenakan menjadi mesin penggerak. Dalam keadaan demikian perjalanan institusi sosial Minangkabau lebih banyak bertumpu pada kapasitas individual para penghulu. Apa yang telah digambarkan dalam tulisan ini sudah tentu tidak mungkin menguak kembali sejarah dan perubahan posisi para penghulu di Minangkabau secara keseluruhan. Tulisan ini pun jauh dari maksud ingin membuat generalisasi: jadi apa yang terjadi di Desa Barantah tidak musti terjadi pula di desa-desa lain di Minangkabau. Namun tidak tertutup kemungkinan polapola perubahan yang serupa memang ada. Memudarnya pamor penghulu di Desa Barantah sudah melewati proses yang panjang. Kebijakan Pemerintah yang melebur nagari menjadi desa tidak dapat dikatakan sebagai faktor penyebab utama proses peminggiran penghulu. Peleburan itu hanya bagian dari proses yang telah dimulai sejak zaman kolonial, bahkan mungkin jauh sebelum itu. Memang, dalam upaya-upaya peminggiran itu para penghulu tetap menampakkan usaha yang berguna untuk memperlambat kematian, tapi upayaupaya itu cenderung sporadis dan tidak berbasis institusi. Dengan kata lain, individu-individu penghululah yang berusaha tampil memainkan peran pemimpin dengan memupuk kemampuan diri mereka. Hal itu terbukti
146
dengan mundurnya peran institusi adat begitu penghulupenghulu yang berkapasitas tinggi itu meninggal dunia. Apalagi kemudian para penggantinya mengalami kerepotan serius untuk memimpin diri mereka sendiri. Kasus persengketaan antara kaum Kamisah dan Samidah yang digambarkan dalam tulisan ini setidaknya dapat menunjukkan gelepar dua kaum yang tetap ingin memperlihatkan identitasnya di tengah situasi sosial politik yang serba tidak memungkinkan. Simbol-simbol institusi kaum seperti sako dan pusako ternyata masih dikaitkan dengan identitas, dan untuk mempertegas identitas itu bisa saja dilakukan upaya-upaya yang tidak menggunakan kalkulasi ekonomis sama sekali. Pada kesempatan yang sama simbol-simbol institusi itu juga dikaitkan dengan harga diri anggota sebuah kaum. Di samping itu, tulisan ini juga menguak kondisi ekternal yang dihadapi kedua kaum yang bersengketa. Ketidakberdayaan para pemimpin di Desa Barantah, baik yang formal (pemerintahan desa) maupun informal (para penghulu adat) merupakan ladang yang subur bagi munculnya anasir-anasir perusak dan kaum oportunis yang ingin mengambil keuntungan pribadi. Kehadiran mereka tidak bisa begitu saja dilepaskan dari persengketaan kaum Kamisah dengan kaum Samidah, antara lain karena aktor-aktornya terlibat langsung maupun tidak langsung dengan sengketa tersebut.
147
KEPUSTAKAAN
Alfitri, dkk.(1996), Evaluasi Pelaksanaan Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) di Sumatera Barat, Universitas Andalas-Bappeda Sumbar, Padang Anonimous (1996), Globalisasi dan Pengaruhnya terhadap Perubahan Sosial Ekonomi, Jurnal Kebudayaan Genta Budaya No. 2 Berger, Peter L. and T. Luckmann (1990), Tafsir Sosial atas Realitas, Terjemahan Hasan Basari, LP3ES, Jakarta. Biro Bina Pemerintahan Desa Kantor Gubernur KDH Tk.I Sumatera Barat (1985), Proses Lahirnya Perda No.13 tahun 1983 tentang Nagari sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat, Padang, Juni Blumer, Herbert (1969), Symbolic Interactionism, Perspective and Method, Prentice-Hall/Englewood Cliff, New Jersey Datuk Sangguno Dirajo (1987), Curaian Adat Alam Minangkabau, Pustaka Indonesia, Bukittinggi de Jong, P.E. de Josselin (1980), Minangkabau and Negri Sembilan, Socio-Political Structure in Indonesia, Martinus Nijhoff, S-Gravenhage
92
Kesepakatan ini biasanya diungkapkan sebagai bulek buliah digolongkan, pipiah buliah dilayangkan (bulat boleh digelindingkan, pipih boleh dilayangkan). Kalau masih ada pertikaian dalam kaum berarti bentuk yang bundar atau pipih beluim tercipta, sehingga belum ada yang bisa digelindingkan atau dilayangkan (direalisasikan).
148
Direktorat Bandesa Sumatera Barat (1989), Monitoring, Tipologi dan Klasifikasi Tingkat Perkembangan Desa Propinsi Sumatera Barat Tahun 1988/1989, Padang E. Chatra (1996) Musyawarah dan Pembangunan Pedesaan di Minang-kabau, Jurnal Kebudayaan Genta Budaya, No.3 Geertz, Clifford (1973), The Interpretation of Cultures, Basic Book, Inc. New York ---------(1986 (1965)), Mojokuto: Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa, Grafiti Press, Jakarta Giddens, A. (1982), Sociology, A Brief but Critical Introduction, Harcourt Brace Jovanovich, Inc, New York - Toronto. Gusti Asnan (1996) Rantau Minangkabau Abad 15 dan 18, Jurnal Kebudayaan Genta Budaya, No.2 November-Januari Hamka (1984), Islam dan Adat Minangkabau, Pustaka Panjimas, Jakarta Heidt, Erhard U. (1987), Mass Media, Culture Tradition, and National Identity, Verlag breitenbach Publishers, Saarbrcken - Fort Lauderdale Idrus Hakimi Dt. Rajo Panghulu (1984), Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, Remaja Karya, Bandung Imran Manan (1995), Birokrasi Modern dan Otoritas Tradisional di Minangkabau, Yayasan Pengkajian Kebudayaan Minangkabau, Padang
149
(1979),
Monografi
Nagari
Koning, Juliette (1997), Generation of Change: A Javanese Village in the 1990s, Disertasi, University of Amsterdam, Amsterdam Lincoln, Yvonna S. dan Egon G. Guba (1985), Naturalistic Inquiry, Sage Publication, Beverly Hills-London-New Delhi M. Hasbi (1990), Intervensi Negara terhadap Komunitas Nagari di Minangkabau dalam Edy Utama (ed.), Nagari, Desa dan Pembangunan Pedesaan di Sumatera Barat, Yayasan Genta Budaya Sumatera Barat, Padang M. Najib dkk. (ed.) (1996), Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, LKPSM, Yogyakarta McCall, George J. dan J.L. Simmons (1971), The Dynamic of Interaction dalam Kenneth Thomson dan Jeremy Tunstall (ed.) Sociological Perspectives, Penguin, Harmondsworth MD Mansyur, dkk.(1970) Sejarah Minangkabau, Bhratara, Jakarta Mead, G.H. (1970), The Self dalam Peter Worsley (ed.), Modern Sociology, Penguin Education, Harmonsworth Mely G.Tan (1981), Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, LEKNAS-LIPI dan Yayasan Obor, Jakarta Mestika Zed, A. Miko., E. Chatra (ed.) (1992), Perubahan Sosial di Minangkabau, Pusat Studi Pembangunan dan Perubahan Sosial Budaya Unand, Padang
150
Mestika Zed, Edi Utama, dan Hasril Chaniago (1995), Sumatera Barat di Panggung Sejarah 1945-1995, Bidang Penerbitan Khusus Panitia Peringatan 50 Tahun RI Sumatera Barat, Padang Miller, M. Mark (1974), Communicating in Group: Task, Values and Interaction, dalam Jan Shubert (ed.), Human Communication: Concept, Principle and Skills, Department of Communication, Michigan State University, East Lansing, Michigan Oki, A. (1977) Social Change in the West Sumatran Village 1908 - 1945, PhD Thesis, National University, Australia --------(1986), Catatan Mengenai Sejarah Industri Tekstil di Sumatra Barat dalam Akira Nagazumi (ed.), Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang: Perubahan Sosial Ekonomi Abad 19 dan 20 dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia, Yayasan Obor, Jakarta Rusli Amran (1981), Sumatera Barat Plakat Panjang, Sinar Harapan, Jakarta
151