Laporan Kasus Radiologi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

“Seorang perempuan 13 tahun dengan Nyeri Perut Kanan Bawah”

Diajukan untuk memenuhi laporan kasus sebagaisyarat dalam menempuh


Program Pendidikan Kepaniteraan Klinik
Ilmu Radiologi

Disusun oleh :
Reyhansyah Rachmadhyan (H2A014016)

Pembimbing :
dr. Rofi Siswanto, M.Sc, Sp.Rad

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
SEMARANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks atau umbai cacing. Fungsi


apendiks hingga saat ini belum diketahui dengan pasti namun ternyata apendiks justru
sering menimbulkan masalah kesehatan. Acute appendicitis atau radang apendiks
akut merupakan kasus infeksi intraabdominal yang sering dijumpai di negara-negara
maju, sedangkan pada negara berkembang jumlah kasus yang dijumpai jauh lebih
sedikit. Hal ini mungkin berhubungan dengan diet yang rendah serat pada masyarakat
modern bila dibandingkan dengan masyarakat desa yang cukup banyak
mengkonsumsi serat. Apendisitis dapat menyerang orang dalam berbagai kelompok
umur. Umumnya apendisitis mengenai orang dengan usia dibawah 40 tahun,
khususnya antara 8 sampai 14 tahun, dan sangat jarang terjadi pada usia dibawah 2
tahun.

Diagnosis apendisitis akut sampai saat ini masih merupakan diagnosis klinis.
Pemeriksaan penunjang dan radiologis terutama diperlukan pada kasus yang
meragukan dan untuk membantu menyingkirkan diagnosis lain. Kesulitan diagnosis
umumnya dijumpai pada pasien dengan jenis kelamin wanita, anak kecil, atau orang
lanjut usia. Penanganan apendisitis akut berupa penanganan konservatif dan operatif
berupa apendektomi. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa
kasus apendisitis dapat diobati secara konservatif dengan antibiotik namun pada
akhirnya sebagian besar akan memerlukan tindakan operatif.

Pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya penanganan appendicitis akut


sampai saat ini masih sangat minim. Sehingga banyak kasus appendicitis akut yang
tidak dibawa ke rumah sakit atau adanya ketakutan dari pasien untuk menjalani
operasi akan menyebabkan apendisitis akut mengalami penyulit yang tentu saja
penanganannya lebih sulit. Oleh karena itu dibutuhkan kesadaran akan pentingnya
penanganan penyakit ini dan tingginya angka kejadian yang melibatkan semua umur.
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. N
Tanggal lahir : 27-04-2009
Umur :13 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Mloko 8/3
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Bangsal : BBA
No. RM : 259xxx
Tanggal Masuk RS : 15 November 2019
Tanggal Pemeriksaan : 15 November 2019

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan di bangsal BBA, tanggal 15 November 2019 pukul
16.00 WIB secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan ibu pasien.
1. Keluhan Utama : Nyeri Perut Kanan Bawah
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Enam hari SMRS pasien merasakan nyeri perut di sekitar ulu hati dan sekitar
pusar. Disertai mual, tidak ada muntah. Sifat nyeri tajam seperti ditusuk-
tusuk, terkadang terasa mulas dan kram-kram. Nyeri perut hilang timbul.
Tidak disertai demam. Buang air besar, buang air kecil, buang angin tidak ada
keluhan. Pasien sempat datang ke bidan diberikan obat antasid dan
domperidon. Sampai di rumah, pasien masih merasakan nyeri perut hilang
timbul. Lalu keesokan harinya timbul demam. Demam reda saat pasien
mengkonsumsi Paracetamol. Nyeri perut masih dirasakan seperti hari
sebelumnya. Merasa mual, tanpa muntah. Nyeri perut semakin hebat terutama
di perut kanan bawah. Buang air kecil, buang besar, buang angin tidak ada
keluhan. Makan dan minum seperti biasa. Riwayat menstruasi tidak ada
keluhan, saat ini pasien tidak sedang datang bulan.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat sakit serupa : disangkal
b. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat DM : disangkal
e. Riwayat kolesterol : disangkal
f. Riwayat penyakit jantung : disangkal
g. Riwayat sakit liver : disangkal
h. Riwayat alergi : disangkal
i. Riwayat kelainan darah : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat sakit serupa : disangkal
b. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat DM : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal

5. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat merokok :disangkal
b. Riwayat minum alkohol : disangkal
c. Riwayat minum kopi : disangkal
d. Riwayat konsumsi air putih : cukup
e. Riwayat konsumsi makanan asin : disangkal
f. Riwayat konsumsi makanan pedas : disangkal
g. Riwayat olahraga : jarang

6. Riwayat sosial ekonomi


Pasien merupakan seorang pelajar yang sekarang tinggal bersama
kedua orangtua, biaya pengobatan ditanggung BPJS non PBI.

7. Anamnesis Sistemik:
a. Keluhan utama : Nyeri perut kanan bawah
b. Kepala : Sakit kepala (-), leher kaku (-)
c. Mata : Penglihatan kabur (-), pandangan ganda (-),
pandangan berputar (-), berkunang-kunang
(-).
d. Hidung : Pilek (-), mimisan (-), tersumbat (-)
e. Telinga : Pendengaran berkurang (-), berdenging (-),
keluar cairan (-), darah (-).
f. Mulut : Sariawan (-), luka pada sudut bibir (-), gusi
berdarah (-), mulut kering (-).
g. Tenggorokan : Sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-).
h. Sistem respirasi : Sesak nafas (-), batuk (-), tidur
mendengkur (-)
i. Sistem kardiovaskuler :Sesak nafas saat beraktivitas (-), nyeri
dada (-), berdebar-debar (-)
j. Sistem gastrointestinal: Perut cembung (-), Mual (+),muntah (-),
perut mules (+), diare (-), nyeri ulu hati (+),
nyeri perut kanan bawah (+)
nafsu makan menurun (-)
k. Sistem muskuloskeletal: Nyeri otot (-), nyeri sendi (-)
l. Sistem genitourinaria : Sering kencing (-), nyeri saat kencing (-),
disertai darah (-), berpasir (-), kencing
nanah (-), sulit memulai kencing (-),
anyang- anyangan (-), warna seperti teh (-)
m. Ekstremitas:
1) Atas : bengkak (-), Luka (-), gemetar (-), kesemutan(-),sakit
sendi (-), panas (-), berkeringat (-)
2) Bawah: bengkak (-),Nyeri (-), Luka (-), gemetar (-), jari dingin
(-), kesemutan di kaki (-), sakit sendi (-)
n. Sistem neuropsikiatri : Kejang (-), gelisah (-), kesemutan (-),
mengigau (-), emosi tidak stabil (-)
o. Sistem Integumentum : Kulit ikterik (-), pucat (-), gatal (-)

III.PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 04 juli 2019 Pukul16.00 di BBA:
a. Keadaan Umum : Tampak lemah
b. Kesadaran : Compos mentis, GCS 15
c. Vital sign : TD : 110/70 mmHg
Nadi: 71x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
RR : 22 x/menit, regular
T : 36,5C (axiler)
d. Tinggi badan : Tidak dilakukan pengukuran
e. Berat badan : Tidak dilakukan pengukuran
f. Status Gizi : Tidak dilakukan penghitungan
g. Kepala : mesocephal
h. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor diameter 3mm/3mm, reflek cahaya
direk (+/+), reflek cahaya indirek (+/+)
i. Hidung : deformitas (-),napas cuping hidung(-), sekret (-)
j. Telinga : discharge (-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid
(-/-), gangguan fungsi pendengaran (-/-).
k. Mulut : mukosa kering (-), pernapasan mulut (-),
sianosis (-), lidah kotor (-)
l. Kulit : hipopigmentasi(-), hiperpigmentasi (-)
m. Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), deviasi
trakea (-), penggunaan otot bantu pernafasan
strenocleidomastoideus (-)
n. Thoraks
Jantung
 Inspeksi : ictus codis tak nampak
 Palpasi : ictus cordis kuat angkat, pulsus parasternal
(-), pulsus epigastrium (-), thrill (-)
 Perkusi
Atas jantung :ICS 2 linea parasternal sinistra
Pinggang jantung :ICS 3 linea parasternalis sinistra
Kiri bawah jantung :ICS 5, linea midclavikula sinistra
Kanan bawah jantung :ICS 5 linea parasternalis dextra
 Auskultasi : Katup aorta BJ I<II, katup pulmonal BJI<II, katup
trikuspidalis BJ I>II, katup mitral BJ I>II murmur (-),
gallop (-)
Pulmo
PULMO DEXTRA SINISTRA

1. Inspeksi
Bentuk dada Datar Datar
Hemitorak Simetris statis dinamis Simetris statis dinamis
Warna Sama dengan kulit Sama dengan kulit
sekitar sekitar
2. Palpasi
Nyeri tekan (-) (-)
Stem fremitus (+) normal,Kanan = kiri (+) normal, Kanan = kiri
3. Perkusi sonor seluruh lapang sonor seluruh lapang
paru paru
4. Auskultasi
Suara dasar Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan
 Wheezing - -
 Ronki kering - -
 Ronki basah - -
 Stridor - -

o. Abdomen
1) Inspeksi : Datar,warna sama dengan sekitar, massa (-),
sikatrik (-), spider nevi (-), caput medusa (-)
2) Auskultasi : bising usus (+) 20x/menit
3) Perkusi : redup, pekak sisi (-), Pekak alih (-)
4) Palpasi : nyeri tekan (+) terutama regio kanan bawah
(Mc Burney sign +). Nyeri lepas regio kanan bawah
(+), Rovsing sign (+), Blumberg sign (+), Psoas sign
(+), Obtutator sign (+) defans muscular (-) Hepar dan
Lien : sulit dinilai,undulasi (-), succusion splash (-),
nyeri ketok ginjal (-).

p. Ekstremitas
Superior Inferior
Akral dingin (-/-) (-/-)
Udem (-/-) (-/-)
Sianosis (-/-) (-/-)
Capillary refill <2”/<2” <2”/<2”

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG (15 November 2019)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Leukosit 21.0 10^3/ul 4,0 – 12,0
Eritrosit 4,37 10^3/ul 4–5
Trombosit 301 10^3/ul 150 – 400
Hemoglobin 13,1 g/dl 12,0– 16,0
Hematokrit 40,0 % 37 – 43
MCV 91,5 Fl 78,6 – 102,2
MCH 30,0 Pg 25,2 – 34,7
MCHC 35.6 g/dl 31,3 – 35,4
Basofil 0 % 0-3
Eosinofil 0 % 0-3
Limfosit 24,8 % 20,5 – 51,1
Neutrofil 84 % 42-75
Monosit 4 % 2– 9
Ureum 36 mg/dL 10– 50
Kreatinin 0,78 mg/dL 0,50– 0,90
SGOT 14 U/L 0 – 40
SGPT 8 U/L 0 –40
HBsAg Non reaktif Non reaktif
Albumin 3,1 g/ dL 3,8–5,1

Pemeriksaan USG
Telah dilakukan USG Abdomen dengan hasil sebagai berikut :
Hepar :Ukuran Normal , echostruktur normal, tepi licin sistema billier dan vascular
tak prominent, tak tampak massa.
VF : Dinding licin, tak tampak batu maupun massa
Lien : ukuran dan echostruktur normal, tak tampak massa. Hillus lienalis tak
prominen.
Ren dextra : ukuran dan echo normal, korteks tak menebal dengan batas korteks-
medula tegas dan pyramid renalis tak prominen tak tampak pelebaran sistema
pelvicocalyx tak tampak batu maupun massa.
Ren sinistra : ukuran dan echo normal, korteks tak menebal dengan batas korteks-
medula tegas dan pyramid renalis tak prominen tak tampak pelebaran sistema
pelvicocalyx tak tampak batu maupun massa.
Vesica urinaria : dinding licin tak tampak batu divertikula maupun massa
Uterus : ukuran dan echostruktur normal tak tampak massa
Regio iliaca dextra : nyeri tekan, appendix menebal (diameter 0,86cm ) tak
tampak peristaltic tak tampak abses
Kesan:
1. Appendicitis Akut

2. Tak tampak kelainan hepar,lien , VF, Pancreas, kedua ren, VU dan Uterus
Skor Alvarado

Gejala Klinik Value

Adanya migrasi nyeri 0

Anoreksia 0

Mual/muntah 1

Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1

Febris 1

Leukositosis 2

Shift to the left 1

JUMLAH 8
DAFTAR ABNORMALITAS
Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang
1. Nyeri perut 4. nyeri tekan 10. Lekosit : 21.0
kanan bawah perut 11. MCHC : 35.6
2. mual 5. Nyeri lepas 12. Neutrofil : 84
3. demam regio kanan 13. Usg : kesan appendicitis akut
bawah (+),
6. Rovsing sign
(+),
7. Blumberg sign
(+),
8. Psoas sign (+),
9. Obtutator sign
(+)

V. ANALISIS MASALAH
1. Appendicitis akut : 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10.13
2. Kehamilan ektopik : 2,3,4,10,

VI. INITIAL PLAN


a. Diagnosis:
Appendicitis akut
b. Terapi
 O2 nasal kanul 3lt/menit
 infus RL 20 tetes / menit
 rencana appendiktomi
c. Monitoring
 KU
 Vital signs
 Darah lengkap
 Komplikasi
d. Edukasi
 Menjelaskankepada penderita dan keluarga tentang penyakit
yangdideritanya dan komplikasi yang mungkin terjadi.
 Menjelaskan langkah-langkah terapi yang akan dilakukan dan
meyakinkan penderita untuk menjalankan operasi, berikut resiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi seperti perdarahan, efek samping
anestesi, dll.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI, FISIOLOGI, DAN EMBRIOLOGI APPENDIX

Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum
dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix
terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya
Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih
medial dekat dengan Plica ileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus
mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan bawah perut. Appendix
selalu berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh karena itu, lokasi akhir Appendix
ditentukan oleh lokasi Caecum.1,2,3

Gambar 1. Appendix vermicularis4

Vaskularisasi Appendix berasal dari percabangan A. ileocolica. Gambaran


histologis Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada
submukosanya. Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul limfoid.
Lumen Appendix biasanya mengalami obliterasi pada orang dewasa. 1,3

Gambar 2. Potongan transversa Appendix 5

Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-rata
panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia caealis pada
dasar Caecum, ujung Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat pada
gambar di bawah ini. Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut
yang terjadi apabila Appendix mengalami peradangan. 1,2
Gambar 3. Variasi lokasi Appendix vermicularis1

Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,


Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan
Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Walaupun Appendix merupakan
komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), fungsinya
tidak penting dan Appendectomy tidak akan menjadi suatu predisposisi sepsis atau
penyakit imunodefisiensi lainnya.2

2.2 INSIDENSI

Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun jarang pada anak kurang
dari satu tahun.2

2.3 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith


merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan
Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix. Penyebab yang
lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium
yang mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus
terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun
generalisata, dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau
akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis,
Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus
enterik atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi
Appendicitis juga meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi
karena perubahan pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga
dapat terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal.
Selama lebih dari 200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry
dilibatkan dalam terjadinya Appendicitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya
Appendicitis adalah trauma, stress psikologis, dan herediter.6
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi.
Fecalith ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65% pada
kasus Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus Appendicitis
acuta gangrenosa dengan perforasi. 1,2,6,7

Gambar 3.1. Appendicitis (dengan fecalith) 8


Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi
normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada
Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan
tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf
aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut
tengah atau di bawah epigastrium. 2

Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan
bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi
tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular.
Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks
mual, muntah, dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa
Appendix dan peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri
yang khas ke RLQ. 2,6,7

Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap kekurangan


suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah
dengan suplai darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah.
Dengan adanya distensi, invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi
perforasi biasanya pada salah satu daerah infark di batas antemesenterik. 1,2,6,7

Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala


gangguan gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan
kebiasaan BAB, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada
diagnosis Appendicitis, khususnya pada anak-anak.6
Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri
tumpul di dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual
dan muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul
mendahului nyeri perut, dapat dipikirkan diagnosis lain.6
Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut
semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan
ini menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan
iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri
melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis
akibat pelepasan mediator inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika eksudat
inflamasi yang berasal dari dinding Appendix berhubungan dengan peritoneum
parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada
lokasi Appendix, khususnya di titik Mc Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada
kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix
yang berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena
eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi
Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal
dapat timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang
terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan
frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria
akibat penyebaran infeksi Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau
nyeri seperti terjadi retensi urine.
Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau
peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi
dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi
Appendix mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan
gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi
perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus
lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum,
sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi.
Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih tua atau remaja, lebih memungkinkan
untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat diketahui dari adanya massa pada
palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik.6
Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering
dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat iritasi
Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess
pelvis.6
2.4 MANIFESTASI KLINIS

2.4.1 Gejala Klinis

Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai


dengan nyeri perut yang didahului anoreksia.12,13 Gejala utama Appendicitis acuta
adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu
menetap, kadang disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12
jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di
RLQ. Variasi dari lokasi anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri,
sebagai contoh; Appendix yang panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ
menyebabkan nyeri di daerah tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan nyeri
1,2,3,7,8
suprapubis, retroileal Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular.

Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix,


biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh
meningkat hingga > 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada
75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja.
Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Umumnya, urutan munculnya
gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah
mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendicitis diragukan. Muntah yang timbul
sebelum nyeri abdomen mengarah pada diagnosis gastroenteritis. 2
Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak
pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada
beberapa pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah terjadinya perforasi
Appendix. 2,3

Skor Alvarado

Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya
ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan
pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2
kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.5

Tabel 2. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.2

Gejala Klinik Value

Gejala Adanya migrasi nyeri 1

Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1

Febris 1

Lab Leukositosis 2

Shift to the left 1

Total poin 10
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan
bedah sebaiknya dilakukan.2

Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan tingkat
inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri lokal di titik
Mc Burney’s. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal menunjukkan gejala lokal
yang minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan Rovsing’s sign bersifat
konfirmasi dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal toucher juga bersifat konfirmasi
dibanding diagnostik, khususnya pada pasien dengan pelvis abscess karena ruptur
Appendix.6

Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau terlalu
tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat sehingga
Appendicitisnya telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan penyakit pada bayi,
hanya dijumpai gejala letargi, irritabilitas, dan anoreksia. Selanjutnya, muncul gejala
muntah, demam, dan nyeri.7

2.4.2 Tanda Klinis

Anak-anak dengan Appendicitis biasanya lebih tenang jika berbaring dengan


gerakan yang minimal. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak, pada akhirnya
jarang didiagnosis sebagai Appendicitis, kecuali pada anak dengan Appendicitis letak
retrocaecal. Pada Appendicitis letak retrocaecal, terjadi perangsangan ureter sehingga
nyeri yang timbul menyerupai nyeri pada kolik renal.6

Penderita Appendicitis umumnya lebih menyukai sikap jongkok pada paha kanan,
karena pada sikap itu Caecum tertekan sehingga isi Caecum berkurang. Hal tersebut
akan mengurangi tekanan ke arah Appendix sehingga nyeri perut berkurang. 6
Gambar 4. Posisi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri perut7

Appendix umumnya terletak di sekitar McBurney. Namun perlu diingat bahwa


letak anatomis Appendix sebenarnya dapat pada semua titik, 360o mengelilingi
pangkal Caecum. Appendicitis letak retrocaecal dapat diketahui dari adanya nyeri di
antara costa 12 dan spina iliaca posterior superior. Appendicitis letak pelvis dapat
menyebabkan nyeri rectal.6

Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan adanya nyeri pada
pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik untuk
Appendicitis. Jika tanda-tanda Appendicitis lain telah positif, maka pemeriksaan
rectal toucher tidak diperlukan lagi.6

Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:

 Rovsing’s sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi
peritoneum. Sering positif pada Appendicitis namun tidak spesifik.

 Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien
dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien
digerakkan dalam arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menggambarkan
kekakuan musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal
dari peradangan Appendix. Manuver ini tidak bermanfaat bila telah terjadi
rigiditas abdomen.

Gambar 5. Dasar anatomis terjadinya Psoas sign 7

 Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan
pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa
memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam
posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di
hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya
perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi M. Obturatorius oleh Appendicitis letak
retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.

Gambar 6. Cara melakukan Obturator sign7


Gambar 7. Dasar anatomis Obturator sign7

 Blumberg’s sign (nyeri lepas kontralateral)


Pemeriksa menekan di LLQ kemudian melepaskannya. Manuver ini dikatakan
positif bila pada saat dilepaskan, pasien merasakan nyeri di RLQ.

 Wahl’s sign
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada saat dilakukan
perkusi di RLQ, dan terdapat penurunan peristaltik di segitiga Scherren pada
auskultasi.

 Baldwin’s test
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat tungkai
kanannya ditekuk.

 Defence musculare
Defence musculare bersifat lokal sesuai letak Appendix.
 Nyeri pada daerah cavum Douglasi
Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada abscess di cavum
Douglasi atau Appendicitis letak pelvis.

 Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher pada saat penekanan di sisi lateral
 Dunphy’s sign (nyeri ketika batuk)

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

2.5.1 Laboratorium2,3,6,7

Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm3, biasanya didapatkan


pada keadaan akut, Appendicitis tanpa komplikasi dan sering disertai predominan
polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah putih normal tidak ditemukan
shift to the left pergeseran ke kiri, diagnosis Appendicitis acuta harus
dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari 18.000/ mm3 pada
Appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah putih di atas jumlah tersebut
meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi Appendix dengan atau tanpa
abscess.

CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh hati
sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai meningkat antara
6-12 jam inflamasi jaringan.

Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP ≥ 8 mcg/mL, hitung leukosit ≥


11000, dan persentase neutrofil ≥ 75% memiliki sensitivitas 86%, dan spesifisitas
90.7%.

Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari saluran


kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari iritasi Urethra
atau Vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi Appendix, pada
Appendicitis acuta dalam sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.

2.5.2.Ultrasonografi1,2,6,7

Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis Appendicitis.


Appendix diidentifikasi/ dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian usus yang
nonperistaltik yang berasal dari Caecum. Dengan penekanan yang maksimal,
Appendix diukur dalam diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan positif bila
tanpa kompresi ukuran anterior-posterior Appendix 6 mm atau lebih. Ditemukannya
appendicolith akan mendukung diagnosis. Gambaran USG dari Appendix normal,
yang dengan tekanan ringan merupakan struktur akhiran tubuler yang kabur
berukuran 5 mm atau kurang, akan menyingkirkan diagnosis Appendicitis acuta.
Penilaian dikatakan negatif bila Appendix tidak terlihat dan tidak tampak adanya
cairan atau massa pericaecal. Sewaktu diagnosis Appendicitis acuta tersingkir dengan
USG, pengamatan singkat dari organ lain dalam rongga abdomen harus dilakukan
untuk mencari diagnosis lain. Pada wanita-wanita usia reproduktif, organ-organ
panggul harus dilihat baik dengan pemeriksaan transabdominal maupun endovagina
agar dapat menyingkirkan penyakit ginekologi yang mungkin menyebabkan nyeri
akut abdomen. Diagnosis Appendicitis acuta dengan USG telah dilaporkan
sensitifitasnya sebesar 78%-96% dan spesifitasnya sebesar 85%-98%. USG sama
efektifnya pada anak-anak dan wanita hamil, walaupun penerapannya terbatas pada
kehamilan lanjut.

USG memiliki batasan-batasan tertentu dan hasilnya tergantung pada pemakai.


Penilaian positif palsu dapat terjadi dengan ditemukannya periappendicitis dari
peradangan sekitarnya, dilatasi Tuba fallopi, benda asing (inspissated stool) yang
dapat menyerupai appendicolith, dan pasien obesitas Appendix mungkin tidak
tertekan karena proses inflamasi Appendix yang akut melainkan karena terlalu
banyak lemak. USG negatif palsu dapat terjadi bila Appendicitis terbatas hanya pada
ujung Appendix, letak retrocaecal, Appendix dinilai membesar dan dikelirukan oleh
usus kecil, atau bila Appendix mengalami perforasi oleh karena tekanan.

Gambar 3.7.Ultrasonogram pada potongan longitudinal Appendicitis 6

2.5.3. Pemeriksaan radiologi1,2,6,7

Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendicitis acuta, tetapi dapat
sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien Appendicitis
acuta, kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara dalam usus, hal ini merupakan
temuan yang tidak spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila
ditemukan sangat mendukung diagnosis. Foto thorax kadang disarankan untuk
menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses pneumoni lobus kanan bawah.

Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan radioisotop


leukosit. Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada USG,
tapi jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT Scan diperiksa
terutama saat dicurigai adanya Abscess appendix untuk melakukan percutaneous
drainage secara tepat.
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada penemuan
yang tidak spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada Caecum dan Appendix yang
kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar antara 50-48 %.
Pemeriksaan radiografi dari pasien suspek Appendicitis harus dipersiapkan untuk
pasien yang diagnosisnya diragukan dan tidak boleh ditunda atau diganti,
memerlukan operasi segera saat ada indikasi klinis.

Gambar 3.8. Gambaran CT Scan abdomen: Appendicitis perforata

dengan abscess dan kumpulan cairan di pelvis1

Gambar 3.9. Gambaran CT Scan abdomen: Penebalan Appendix

(panah) dengan appendicolith1


Tabel 3. Perbandingan USG dan CT Scan Appendix pada Appendicitis5

USG CT Scan Appendix

Sensitivitas 85% 90-100%

Spesifitas 92% 95-97%

Penggunaan Evaluasi pasien pada Evaluasi pasien pada


pasien Appendicitis pasien Appendicitis

Keuntungan Aman Lebih akurat

Relatif murah Lebih baik dalam


mengidentifikasi
Dapat menyingkirkan Appendix normal,
penyakit pelvis pada phlegmon dan abscess
wanita

Lebih baik pada anak-anak

Kerugian Tergantung operator Mahal

Secara teknik tidak Radiasi ionisasi


adekuat dalam menilai gas
Kontras
Nyeri
2.6 DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari Appendicitis acuta pada dasarnya adalah diagnosis dari
akut abdomen. Hal ini karena manifestasi klinik yang tidak spesifik untuk suatu
penyakit tetapi spesifik untuk suatu gangguan fisiologi atau gangguan fungsi. Jadi
pada dasarnya gambaran klinis yang identik dapat diperoleh dari berbagai proses akut
di dalam atau di sekitar cavum peritoneum yang mengakibatkan perubahan yang
sama seperti Appendicitis acuta. 2,6

Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi operasi, namun pada


umumnya proses-proses penyakit yang diagnosisnya sering dikacaukan oleh
Appendicitis sebagian besar juga merupakan masalah pembedahan atau tidak akan
menjadi lebih buruk dengan pembedahan. Diagnosis banding Appendicitis tergantung
dari 3 faktor utama: lokasi anatomi dari inflamasi Appendix, tingkatan dari proses
dari yang simple sampai yang perforasi, serta umur dan jenis kelamin pasien. 2,6

1. Gastroenteritis akut

Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi biasanya mudah dibedakan
dengan Appendicitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah satu infeksi
akut self limited dari berbagai macam sebab, yang ditandai dengan adanya diare,
mual, dan muntah. Nyeri hiperperistaltik abdomen mendahului terjadinya diare.
Hasil pemeriksaan laboratorium biasanya normal.

2. Diverticulitis Meckel

Penyakit ini menimbulkan gambaran klinis yang sangat mirip Appendicitis


acuta. Perbedaan preoperatif hanyalah secara teoritis dan tidak penting karena
Diverticulitis Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang sama seperti
Appendicitis dan memerlukan terapi yang sama yaitu operasi segera.
3. Intususseption

Sangat berlawanan dengan Diverticulitis Meckel, sangat penting untuk


membedakan Intususseption dari Appendicitis acuta karena terapinya sangat
berbeda. Umur pasien sangat penting, Appendicitis sangat jarang dibawah umur 2
tahun, sedangkan Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di bawah
umur 2 tahun. Pasien biasanya mengeluarkan tinja yang berdarah dan berlendir.
Massa berbentuk sosis dapat teraba di RLQ. Terapi yang dipilih pada
intususseption bila tidak ada tanda-tanda peritonitis adalah barium enema,
sedangkan terapi pemberian barium enema pada pasien Appendicitis acuta sangat
berbahaya.

4. Infeksi saluran kencing

Pyelonephritis acuta, terutama yang terletak di sisi kanan dapat menyerupai


Appendicitis acuta letak retroileal. Rasa dingin, nyeri costo vertebra kanan, dan
terutama pemeriksaan urine biasanya cukup untuk membedakan keduanya.

2.7 KOMPLIKASI

2.7.1. Perforasi

2.7.2. Peritonitis

2.7.3. Appendicular infiltrat

2.8 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pasien Appendicitis acuta yaitu 1,2,3,6,7

1. Pemasangan infus dan pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis
dehidrasi atau septikemia.

2. Puasakan pasien, jangan berikan apapun per oral


3. Pemberian obat-obatan analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah.

4. Pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani laparotomi.

5. Pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur dan


didapatkan beta-hCG positif secara kualitatif.

Bila dilakukan pembedahan, terapi pada pembedahan meliputi; antibiotika


profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai pada kasus akut, digunakan
single dose dipilih antibiotika yang bisa melawan bakteri anaerob.

2.9 KOMPLIKASI POST OPERASI 1

1. Fistel berfaeces Appendicitis gangrenosa, maupun fistel tak berfaeces; karena


benda asing, tuberculosis, Aktinomikosis.

2. Hernia cicatricalis.

3. Ileus

4. Perdarahan dari traktus digestivus: kebanyakan terjadi 24–27 jam setelah


Appendectomy, kadang–kadang setelah 10–14 hari. Sumbernya adalah
echymosis dan erosi kecil pada gaster dan jejunum, mungkin karena emboli
retrograd dari sistem porta ke dalam vena di gaster/ duodenum.

2.10 PROGNOSIS 2

Mortalitas dari Appendicitis di USA menurun terus dari 9,9% per 100.000 pada
tahun 1939 sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor- faktor yang
menyebabkan penurunan secara signifikan insidensi Appendicitis adalah sarana
diagnosis dan terapi, antibiotika, cairan i.v., yang semakin baik, ketersediaan darah
dan plasma, serta meningkatnya persentase pasien yang mendapat terapi tepat
sebelum terjadi perforasi.
BAB III
KESIMPULAN

Appendicitis adalah peradangan pada Appendix vermicularis. Appendix


merupakan derivat bagian dari midgut, yang lokasi anatomisnya dapat berbeda tiap
individu. Appendicitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering
ditemukan. Faktor-faktor yang menjadi etiologi dan predisposisi terjadinya
Appendicitis meliputi faktor obstruksi, bakteriologi, dan diet. Obstruksi lumen
adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta.
Gejala klinis Appendicitis meliputi nyeri perut, anorexia, mual, muntah, nyeri
berpindah, dan gejala sisa klasik berupa nyeri periumbilikal kemudian
anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang
tidak terlalu tinggi. Tanda klinis yang dapat dijumpai dan manuver diagnostik pada
kasus Appendicitis adalah Rovsing’s sign, Psoas sign, Obturator sign, Blumberg’s
sign, Wahl’s sign, Baldwin test, Dunphy’s sign, Defence musculare, nyeri pada
daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen atau Appendix letak
pelvis, nyeri pada pemeriksaan rectal toucher.

Pemeriksaan penunjang dalam diagnosis Appendicitis adalah pemeriksaan


laboratorium, Skor Alvarado, ultrasonografi, dan radiologi. Diagnosis banding
Appendicitis antara lain; Adenitis Mesenterica Acuta, Gastroenteritis akut, penyakit
urogenital pada laki-laki, Diverticulitis Meckel, Intususseption, Chron’s enteritis,
perforasi ulkus peptikum, Epiploic appendagitis, infeksi saluran kencing, batu
urethra, peritonitis primer, Purpura Henoch–Schonlein, Yersiniosis, serta kelainan–
kelainan ginekologi.

Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh Appendicitis adalah perforasi,


peritonitis, Appendicular infiltrat, Appendicular abscess, shock Septic, mesenterial
pyemia dengan Abscess hepar, dan perdarahan GIT. Penatalaksanaan pasien
Appendicitis acuta meliputi; pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis
dehidrasi atau septikemia, puasakan pasien, analgetika harus dengan konsultasi ahli
bedah, pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani laparotomi.

Appendicular infiltrat merupakan komplikasi dari Appendicitis acuta.


Appendicular infiltrat adalah proses radang Appendix yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga
membentuk massa (Appendiceal mass) yang lebih sering dijumpai pada pasien
berumur 5 tahun atau lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik
dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.

Etiologi dan patofisiologi Appendicular infiltrat diawali oleh adanya Appendicitis


acuta. Dimulai dari acute focal Appendicitis  acute suppurative Appendicitis 
gangrenous Appendicitis (tahap pertama dari Appendicitis yang mengalami
komplikasi)  dapat terjadi 3 kemungkinan:
o perforated Appendicitis, terjadi penyebaran kontaminasi didalam ruang atau
rongga peritoneum akan menimbulkan peritonitis generalisata.
o terjadi Appendicular infiltrat jika pertahanan tubuh baik (massa lama
kelamaan akan mengecil dan menghilang)
o Appendicitis kronis, merupakan serangan ulang Appendicitis yang telah
sembuh.
Appendicular infiltrat dapat didiagnosis dengan didasari anamnesis adanya
riwayat Appendicitis acuta, pemeriksaan fisik berupa teraba massa yang nyeri tekan
di RLQ. Diagnosis Appendicular infiltrat dapat didiagnosis banding dengan tumor
Caecum, limfoma maligna intra abdomen, Appendicitis tuberkulosa, amoeboma,
Crohn’s disease, dan juga kelainan ginekolog seperti KET, adneksitis ataupun torsi
kista ovarium.
Terapi Appendicular infiltrat yang terbaik adalah terapi non-operatif (konservatif)
yang diikuti dengan Appendectomy elektif (6-8 minggu kemudian), tetapi apabila
massa tetap dan nyeri perut pasien bertambah berarti sudah terjadi abses dan massa
harus segera dibuka dan dilakukan drainase.
DAFTAR PUSTAKA

1. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery.
17th edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2004: 1381-93

2. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery
Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL,
Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34

3. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition.
Ed:Way LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72

4. Human Anatomy 205. Retrieved at October 20th 2011 From: http://www


.talkorigins.org/faqs/vestiges/vermiform_Appendix.jpg.

5.
http://www.med.unifi.it/didonline/annoV/clinchirI/Casiclinici/Caso10/Appendicit
is1x.jpg

6. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal


Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222

7 Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed:
Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI,
Thompson RW. New York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62

Anda mungkin juga menyukai