Obesitas

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 24

Obesitas : epidemiologi global dan patogenesis

Matthias Bluher

Abstrak
Prevalensi obesitas telah meningkat di seluruh dunia dalam 50 tahun terakhir,
mencapai tingkat pandemi. Obesitas merepresentasikan tantangan kesehatan mayor
karena meningkatkan risiko penyakit seperti diabetes mellitus tipe 2, penyakit
perlemakan hati, hipertensi, infark miokard, stroke, demensia, osteoartritis,
obstructive sleep apnoea, dan beberapa kanker, semuanya berkontribusi terhadap
penurunan kualitas hidup dan angka harapan hidup. Obesitas juga berhubungan
dengan pengangguran, gangguan sosial, dan penurunan produktivitas sosio-ekonomi,
menyebabkan peningkatan permasalahan ekonomi. Sejauh ini, strategi pencegahan
dan penanganan obesitas (keduanya pada tingkat individu dan masyarakat) belum
berhasil dalam jangka lama. Intervensi gaya hidup dan perilaku yang bertujuan untuk
menurunkan asupan kalori dan meningkatkan pengeluaran energi memiliki
keterbatasan keefektifan karena adaptasi hormonal, metabolik, dan neurokimia yang
rumit dan menetap menghambat penurunan berat badan dan memicu peningkatan
berat badan. Dalam menurunkan kekhawatiran terkait obesitas dibutuhkan
pendekatan yang mengkombinasikan intervensi individu dengan merubah lingkungan
dan kehidupan sosial. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih baik dari perbedaan
wilayah terkait prevalensi obesitas dan polanya dapat membantu untuk
mengidentifikasi penyebab sosial terhadap obesitas dan menjadi panduan strategi
intervensi mana yang paling menjanjikan.

Poin penting
 Prevalensi obesitas telah meningkat pada dimensi pandemi dalam 50 tahun
terakhir.
 Obesitas adalah penyakit yang dapat menyebabkan kecacatan dan kematian
prematur dengan meningkatnya risiko penyakit kardiometabolik, osteoartritis,
depresi, dan beberapa tipe kanker.
 Pencegahan dan penanganan obesitas sering gagal dalam jangka panjang
(contohnya, intervensi perilaku yang bertujuan untuk menurunkan asupan energi
dan meningkatkan pengeluaran energi) atau tidak dapat dilakukan atau tidak sesuai
(operasi bariatrik) untuk sebagian besar orang yang terkena.
 Meskipun prevalensi obesitas meningkat pada masing-masing negara di dunia,
perbedaan regional juga terdapat pada prevalensi dan pola obesitas; memahami
pemicu perbedaan regional ini dapat membantu untuk mendapatkan panduan
untuk strategi intervensi yang paling menjanjikan.
 Perubahan sistem makanan global bersamaan dengan peningkatan perilaku
sedentari adalah pemicu utama pandemi obesitas.
 Tantangan terbesar adalah untuk menerjemahkan pengetahuan kita dari penyebab
utama peningkatan prevalensi obesitas menjadi aksi yang efektif; seerti aksi yang
melibatkan perubahan kebijakan yang memfasilitasi individu dalam memilih
makanan yang rendah lemak, gula, dan garam.

Penyakit tidak menular (PTM), seperti penyakit kardiovaskular, kanker dan


diabetes mllitus, terhitung >70% kematian yang lebih awal di seluruh dunia, hal ini
merepresentasikan penyebab utama dari mortalitas dan kecacatan yang prematur.
Obesitas (faktor risiko mayor dari PTM) berhubungan dengan penurunan angka
harapan hidup hingga kehilangan 5-20 tahun bergantung pada keparahan kondisi dan
gangguan komorbid. WHO mendefinisikan obesitas sebagai penumpukan lemak yang
berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan dan didiagnosis ketika BMI >30kg/m2.
Obesitas meningkatkan risiko penyakit metabolk (sebagai contoh : diabetes
mellitus tipe 2 dan penyakit perlemakan hati), penyakit kardiovaskular (hipertensi,
infark miokard, dan stroke), penyakit muskuloskeletal (osteoartritis), penyakit
Alzheimer, depresi dan beberapa tipe kanker (sebagai contoh : payudara, ovarium,
prostat, hati, ginjal, dan kolon). Obesitas dapat menyebabkan penurunan kualitas
hidup, pengangguran, menurunkan produktivitas, dan gangguan sosial. Sebagai
contoh, osteoartritis (konsekuensi tersering dari obesitas) adalah salah satu penyebab
utama disabilitas dan pensiun dini. Federasi Obesitas Dunia dan organisasi lainnya,
termasuk Asosiasi Medis Amerika dan Kanada, mendeklarasikan obesitas sebagai
penyakit progresif kronik, bukan hanya sebagai faktor risiko untuk penyakit lain.
Menurunkan obesitas yang terkait dengan kekhawatiran kesehatan dan
masyarakat untuk mengatasi peningkatan prevalensi obesitas adalah prioritas utama
bagi WHO, yaitu dengan menargetkan prevalensi obesitas sama seperti tingkat
obesitas pada tahun 2010 sebagai target utama “Rencana Aksi Global untuk
Pencegahan dan Kontrol Penyakit Tidak Menular 2013-2020”. Pada deklarasi politik
pada pertemuan Majelis Umum terkait pencegahan dan kontrol PTM pada September
2011, yang paling utama adalah pentingnya mengurangi diet yang tidak sehat dan
meningkatkan aktivitas fisik.
Rekomendasi kesehatan terkini bergantung pada fakta bahwa penyebab utama
obesitas adalah ketidakseimbangan energi antara konsumsi kalori dan kalori yang
dikeluarkan. Namun, pada tingkat individu, intervensi penurunan berat badan yang
menargetkan penurunan asupan kalori dan meningkatkan pengeluaran energi sering
tidak berhasil dalam jangka panjang. Meskipun sekilas sebagai tanggung jawab
individu, perubahan perilaku (termasuk perubahan pola diet dan aktivitas) seringnya
merupakan hasil dari perubahan lingkungan dan masyarakat. Beberapa perubahan
perilaku mungkin tidak efektif dalam konteks kurangnya aturan yang mendukung
pada sektor seperti kesehatan, agrikultur, transportasi, perencanaan pengembagan,
lingkungan, pemrosesan dan pemasaran makanan, pendidikan, dan lain-lain. WHO
menyebutkan bahwa makan makanan yang sehat dan peningkatan aktivitas fisik pada
seluruh masyarakat sebaiknya dimasukkan ke dalam peraturan dan aksi yang
diimplementasikan pada masyarakat.
Saat ini, perbedaan dinamika prevalensi obesitas antar negara menunjukkan hal
yang penting terkait faktor biososial yang mana yang menyebabkan obesitas yang
paling menjanjikan sebagai target intervensi di masa depan untuk menurunkan
kekhawatiran obesitas. Pada tinjauan ini, penulis membahas perubahan insidensi
obesitas dan perbedaan antara negara dalam konteks patogenesis obesitas.

Patogenesis obesitas
Gambar 1. Faktor yang mempengaruhi keseimbangan energi positif kronik,
yang menyebabkan obesitas. Penambahan berat badan merupakan hasil dari
kombinasi peningkatan asupan energi, aktivitas fisik yang rendah, dan penurunan
pengeluaran energi.

Penyebab mendasar dari obesitas adalah ketidakseimbangan energi jangka


panjang antara terlalu banyak konsumsi kalori dan terlalu sedikitnya pengeluaran
energi (Gambar 1). Secara evolusi, manusia dan pendahulunya telah berhasil
melewati periode kekurangan nutrisi, hal ini berkontribusi pada genotip yang
cenderung makan terlalu banyak, pengeluaran energi yang rendah dan tidak aktif
secara fisik. Manusia yang mampu bertahan lama dalam periode kelaparan dan yang
dapat menyimpan dan menggunakan energi lebih efisien memiliki keturunan yang
lebih banyak dibandingkan yang tanpa adaptasi ini, menyebabkan representasi yang
berlebihan dari varian genetik yang cenderung makan berlebihan, untuk menyimpan
kalori dalam tingkat yang lebih tinggi dan memperluas penyimpanan energi dalam
jaringan adiposa yang lebih efisen. Hanya pada beberapa tahun terakhir overnutrisi
menjadi ancaman kesehatan yang lebih besar dibandingkan konsekuensi kekurangan
nutrisi (saat ini lebih banyak orang terancam karena kelebihan berat badan dan
obesitas dibandingkan kekurangan berat badan).
Peneliti biomedis memeriksa mekanisme biologis yang menyebabkan obesitas
dengan tujuan mendesain intervensi untuk mencapai dan menjaga berat badan yang
sehat. Penelitian ini membuktikan pemahaman kita bahwa keinginan terkait makanan
mengacaukan otak individu dengan obesitas, bagaimana jaringan adiposa, hormon
pencernaan atau hati meregulasi nafsu makan dan rasa kenyang di hipotalamus, dan
bagaimana penurunan fungsi jaringan adiposa menyebabkan masalah kesehatan
sekunder. Peran utama dari bagian otak tertentu dalam regulasi berat badan menjadi
bukti dari penelitian bahwa hewan dengan lesi dan manusia dengan tumor
mempengaruhi hipotalamus dalam perilaku pencarian makanan yang tidak normal
dan obesitas. Dengan temuan bahwa mutasi pada gen ob (yang meng-enkode hormon
leptin jaringan lemak) yang menyebabkan obesitas berat pada ob/tikus ob,
menunjukkan bahwa sirkuit neural sentral yang mengontrol homeostasis energi
mengintegrasi sinyal dari jaringan perifer seperti jaringan adiposa.
Observasi pada penelitian serupa menunjukkan bahwa obesitas merupakan
gangguan yang diwariskan terkait homeostasis energi. Pewarisan BMI diperkirakan
sekitar 40-70%. Penemuan bahwa mutasi pada gen yang mengkoding leptin, reseptor
leptin, reseptor 4 melanokortin, pro-opiomelanokortin dan yang lainnya mungkin
menyebabkan obesitas berat pada manusia, menggarisbawahi pentingnya faktor
biologis pada patogenesis obesitas. Di sisi lain, monogenetik yang menyebabkan
obesitas jarang terjadi dan tidak dijelaskan hingga terkait dengan pandemi obesitas.
Genome-wide association studies (GWAS) menemukan bahwa hanya ~2% dari
variabilitas BMI yang dapat dijelaskan oleh polimorfisme nukleotida tunggal.
Perubahan pada genetik masyarakat tidak dapat menjelaskan peningkatan prevalensi
obesitas hanya dalam 40 tahun.

Apakah obesitas sebuah penyakit?


Rasionalisasi kunci untuk mendefinisikan obesitas sebagai penyakit kronik
(selain risiko kesehatan yang secara langsung berkaitan dengan berat badan yang
berlebihan) adalah perbedaan patofisiologi pada orang dngan obesitas yang
menghasilkan mekanisme homeostasis yang kuat dalam menghambat penurunan
berat badan dan memicu peningkatkan berat badan. Hal ini memicu mekanisme
biologis pada orang dengan obesitas, menjelaskan mengapa intervensi perilaku atau
medis jangka pendek tidak berpengaruh pada hasil penurunan berat badan jangka
panjang. Meskipun usaha untuk promosi makanan yang sehat dan aktivitas fisik yang
lebih merupakan hal yang penting untuk mencegah obesitas pada tingkat masyarakat,
rekomendasi ini tidak cukup kuat untuk menurunkan BMI pada individu yang sudah
terlanjur hidup dengan berat badan yang tinggi.
Kerumitan obesitas. Untuk para dokter yang menangani pasien dengan
obesitas, manajemen obesitas yang efektif membutuhkan penilaian sistematis dari
faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi asupan, metabolisme, dan pengeluaran
energi. Karena variabilitas yang tinggi dari BMI pada individu dalam lingkungan
yang sama, dapat diasumsikan bahwa regulasi berat badan individu memiliki
pengaruh paling penting pada penambahan berat badan dan sebaiknya ditargetkan
pada intervensi penurunan berat badan. Namun, penanganan obesitas melalui
perubahan perilaku yang berfokus pada penurunan asupan energi dan peningkatan
aktivitas fisik seringnya tidak berhasil, menunjukkan bahwa faktor etiologi dan
interaksi antar faktor tersebut belum sepenuhnya dipahami.
Strategi penurunan berat badan terkini yang menargetkan individu tidak
berfokus pada penyebab utama dari ketidakseimbangan energi. Apakah fakor yang
menyebabkan makan yang berlebihan, pengeluaran energi yang rendah, dan aktivitas
fisik yang rendah terlalu rumit untuk dijadikan target pada intervensi penurunan berat
badan terkini? Kerumitan yang besar dari faktor penyebab dan hubungan diantaranya
terhadap perkembangan obesitas telah divisualsasikan pada Peta Sistem Obesitas
yang dibua oleh UK Foresight Programme. Dengan pola yang rumit, menjadi lebih
jelas bahwa fisiologi dan perilaku individu dibentuk oleh faktor lingkungan sosial dan
lokal yang kuat (Gambar 2). Obesitas tidak disebabkan oleh pilihan personal atau
masyarakat namun oleh hubungan antara individu dengan lingkungannya.
Gambar 2. Kompeks faktor biologis, lingkungan, dan sosial yang berpengaruh
pada obesitas. Faktor individu (seperti latar belakang genetik atau aksis pencernaan-
otak-hormon mempengaruhi kerentanan obesitas, yang dapat berkembang pada
lingkungan obesogenik (contohnya, dipengaruhi budaya makan, transportasi, dan
komputerisasi).

Ketidakpastian dari rumitnya penyebab obesitas juga terdapat pada revisi


kesepuluh Kode Internasional Penyakit (ICD-10), dimana obesitas diklasifikasikan
dalam kategori “Endokrin, penyakit nutrisional dan metabolik”. Meskipun faktor
hormonal, nutrisional, dan metabolik memiliki peran yang jelas dan patofisiologi
obesitas, kategori ini mengabaikan kontributor lain, seperti pengeluaran energi, faktor
psikologi, dan perilaku sedentari. ICD-10 kode “E 66.0 : Obesitas karena kalori yang
berlebihan” memberikan stigma penyakit dan menekankan pada aspek nutrisi dari
mekanisme obesitas. Sedang kan pada ICD-11, Asosiasi Eropa terkait Penelitian
Obesitas (EASO) mengusulkan obesitas untuk dimasukkan ke dalam kategori orang
tua menyeluruh dan untuk meningkatkan kriteria diagnosis untuk obesitas
berdasarkan etiologi, tingkat adiposita, dan risiko kesehatan. Klasifikasi internasional
obesitas yang lebih konsisten dengan terminologi dan definisi terkini adalah prasayar
untuk memperbaiki diagnosis dan penanganan.
Sikap sistem pelayanan kesehatan. Peningkatan pada obesitas berat
merupakan refleksi dari kegagalan sistem pelayanan kesehatan untuk menangani
obesita pada stadium awal. Banyak istem medis tidak menganggap obesitas sebagai
penyakit kronik progresif. Pikiran ini sering menimbulkan terlambatnya penanganan
obesitas yang efektif, hingga akhirnya pasien membutuhkan operasi bariatrik. Operasi
bariatrik tidak bisa menjadi solusi pada meningkatnya prevalensi obesitas di dunia.
Pengabaian perjalanan kronik dan progresif obesitas sebagai penyakit oleh penyedia
layanan kesehatan dan perusahaan asuransi kesehatan juga berkontribusi terhadap
perkembangan penyakit. Dengan peningkatan berat badan, kapasitas aktivitas fisik
menjadi berkurang, pengaruh psikologis terkait stigma berat badan dan peningkatan
diskriminasi dan makanan lezat tinggi kalori sering digunakan untuk mengatasi
stress, hal ini menyebabkan siklus berulang dari peningkatan berat badan. Pada
beberapa individu, faktor psikologis, seperti stress dan stigma berat bedan, berperan
terhadap perilaku adiktif yang juga menimbulkan siklus peningkatan berat badan
yang berulang. Seperti kofaktor psikologis pada perkembangan obesitas, perilaku
adiksi untuk makan lebih sering dibandingkan “adiksi makanan”, mengimplikasikan
fenomena yang berkaitan dengan suatu zat.
Penyedia layanan keehatan dapat memiliki sikap negatif yang kuat dan klise
terhadap orang dengan obeitas, dimana dapat menurunkan kualitas pelayanan dan
menurunkan ketaatan pasien pada program terapi. Kegagalan sistem medis dimulai
dari pendidikan mahasiswa sarjana kedokteran. Contohnya, pada Uji Kompetensi
Kedokteran US (USMLE), konsep yang paling pentin dari pencegahan dan
penanganan obesitas tidak diujikan dalam ujian.
Tantangan terbesar dalam memberantas pandemi obesitas adalah untuk
mengubah pengetahuan terkait kerumitan obesitas menjadi solusi baik pada tingkat
individu dan masyarakat. Kerumitan obesitas butuh untuk disederhanakan menjadi
beberapa penyebab yang dapat dimodifikasi yang dapat dipahami dengan mudah oleh
pembuat kebijakan dan masyarakat. Kami dapat mempelajari pola insidensi obesitas
dari 50 tahun terakhir dan dengan mengidentifikasi pandemi global dan lokal.

Epidemiologi global obesitas

Gambar 3. Prevalensi obesitas di dunia. Prevalensi obesitas (BMI >30 kg/m2)


bervariasi antar negara (Organisasi Kooperasi dan Pengembangan Ekonomi (OECD),
2017; persentasi orang dewasa dengan obesitas dari data yang terukur). Pada tahun
2015, dalam negara OECD, rerata prevalensi obesitas pada orang dewasa adalah
19,5% (garis titik-titik) dan bervariasi dari <6% di Jepang hingga >30% di Amerika
Serikat.

Dalam ~50 tahun terakhir, prevalensi obesitas telah meningkat di dunia menjadi
pandemi. Investigator dari Kolaborasi Faktor Risiko PTM telah menyajikan data
terbaru terkait bagaimana prevalensi obesitas telah berubah di dunia dalam 40 tahun
terakhir.
Berdasarkan penelitian terbaru mengenai pola BMI dari seluruh negara di dunia
berdasarkan data berat badan dan tinggi badan yang terukur dari 128,9 juta aak,
remaja, dan orang dewasa, prevalensi obesitas meningkat pada masing-masing negara
dari tahun 1975 higga 2016. Investigator Kolaborasi Faktor Risiko PTF
mengidentifikasi perbedaan wilayah terkait perubahan BMI dari waktu ke waktu.
Percepatan peningkatan BMI ditandai di Asia Selatan (Bangladesh, Bhutan, India,
Nepal, dan Pakistan), Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Sri Lanka,
Thailand, dan Vietnam), Karibia (Belize, Kuba, Republik Dominika, Jamaika, dan
Puerto Rico), dan Amerika Latin bagian Selatan (Argentina, Brazil, Chili, Paraguay,
dan Uruguay). Standar usia rata-rata perubahan BMI selama 40 tahun bervariasi dari
hampir tidak ada peningkatan BMI pada regio Eropa Timur (Belarus, Latvia,
Lithuania, Federasi Rusia, dan Ukraina) hingga peningkatan signifikan (1 kg/m2
dalam 10 tahun) di Amerika Latin bagian Tengah (termasuk Kolombia, El Salvador,
Guatemala, Meksiko, Panama, dan Venezuela). Prevalensi BMI >30 kg/m2 berbeda-
beda pada masing-masing negara dan memiliki rentang dari 3,7% di Jepang hingga
38,2% di Amerika Serikat. Kecuali di Afrika bagian Sahara dan Asia, terdapat lebih
banyak orang dengan obesitas dibandingkan dengan kekurangan berat badan.
Prevalensi obeitas pada anak-anak adalah >30% di Cook Iland, Nauru dan
Palau, dengan peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Prevalensi
obesitas di dunia meningkat di angka waspada pada anak-anak dan remaja dari 0,7%
menjadi 5,6% pada anak laki-laki dan 0,9% menjadi 7,8% pada anak perempuan dari
tahun 1975 hingga 2016. Pola BMI pada anak-anak dan remaja adalah fokus
tersendiri terhadap prediksi bagaimana obesitas dapat mempengaruhi masyarakat di
masa depan. Pada analisis intra-individu menggunakan BMI kontinyu pada 51.505
anak yang memiliki data antropometri selama masa kanak-kanak dan remaja,
peningkatan berat badan yang paling cepat ditemukan diantara usia 2 dan 6 tahun,
dan 90% anak yang obesitas pada usia 3 tahun juga mengalami kelebihan berat badan
atau obesitas pada saat remaja nantinya.
Pada tahun 1975 hingga 2014, prevalensi obesitas (BMI >30 kg/m2) meningkat
dari 3,2% menjadi 10,8% pada dewasa pria dan dari 6,4% menjadi 14,9% pada
dewasa wanita. Pada tahun 2014, 0,64% pria dan 1,6% wanita mengalami obesitas
morbid (BMI >40 kg/m2). Pada orang dewasa, pola BMI dari tahun 1975-2014 tidak
ada perubahan di Korea Utara, beberapa negara di Afrika bagian Sahara dan Nauru
(yang sudah memiliki prevalensi obesitas >30% pada tahun 1975) mengalami
peningkatan >6% pada waktu yang sama di beberapa bagian lain di dunia. Dinamika
BMI dan prevalensi obesitas bermacam-macam antar negara, yang memiliki periode
peningkatan, penurunan, dan percepatan. Menariknya, angka peningkatan BMI
melambat dari tahun 2000 pada negara dengan pendapatan yang tinggi dan beberapa
negara berkembang dibandingkan angka di abad terakhir pada anak-anak dan orang
dewasa. Apakah pengaruh ini merefleksikan perubahan pada masyarakat yang
terkena atau merupakan respon aktif dari pertumbuhan kesehatan masih menjadi
pertanyaan. Perubahan intervensi dan kebijakan terkini belum dapat menurunkan
peningkatan rerata BMI pada sebagian besar negara.

Gambar 4. Peingkatan prevalensi obesitas dari waktu ke waktu. Persentasi orang


dewasa dengan obesitas dari masing-masing negara pada tahun 1975 (bagian a) dan
2014 (bagian b). Jumlah orang dewasa dengan obesitas meningkat antara tahun 1975
dan 2014.

Apa yang menyebabkan pandemi obesitas?


Preferensi ukuran tubuh. Hingga dekade awal dari abad terakhir, obesitas
menjadi simbol kecantikan, kesehatan, dan kemakmuran. Pada periode kelaparan,
ketika banyak orang meninggal karena kelaparan, memiliki berat badan berlebih
menjadi faktor proteksi. Pada beberapa budaya, meningkatkan berat badan masih
menjadi ketertarikan personal untuk menikah. Pada taraf individu, norma tubuh atau
preferensi ukuran tubuh dapat membentuk pilihan individu. Pada masyarakat dimana
ukuran tubuh yagn besar dianggap cantik (seperti di beberapa kepulauan Pasifik),
obesitas dapat berkembang lebih cepat dibandingkan negara Jepang, dimana norma
sosial cenderung ke tubuh yang kecil. Di sisi lain, etnografis pada dua negara denga
prevalensi obesitas yang tinggi, Nauru dan Samoa, menunjukkan bahwa interveni
obesitas tidak efektif karena norma tubuh lokal mereka.
Peran status sosio-ekonomi. Peningkatan prevalensi obesitas dimulai dari
negara dengan pendapatan tinggi pada tahun 1970-an dan diikuti dengan sebagian
besar negara dengan pendapatan menengah dan baru-baru ini oleh beberapa negara
dengan pendapatan rendah. Pola ini menunjukkan bahw peningkatan tingkat obesitas
sesuai dengan peningkatan ekonomi dan kemakmuran, Contohnya dari Brazil dan
beberapa negra berkembang, prevalensi obesitas pertama meningkat pada orang
dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi di area perkotaan dibandingkan pada
kelompok status sosio-ekonomi yang lebih rendah di area pedesaan.
Sebaliknya, pada awal tahun 2000-an, kelebihan berat badan dan obesitas pada
anak-anak menurun atau setidaknya stagnan di beberapa negara denga pendapatan
tinggi, seperti Prancis, Norwegia, Denmark, Swedia, Amerika Serikat, Jepang, dan
Australia. Prevalensi obesitas anak-anak yang stabil pada negara-negara ini dapat
mengindikasikan bahwa insidensi kasus obesitas baru menetap pada tingkat yang
sama atau durasi obesitas telah memendek (dengan perbaikan terapi).
Namun, heterogenitas luas pada prevalensi obesitas antara da di dalam negara
mereleksikan tidak hanya ekonomi namun juga suka dan perbedaan lainnya.
Prevalensi obesitas berkisar dari <5% pada negara seperti Vietnam, Bangladesh,
Laos, dan Jepang hingga >50% pada kepulauan Polinesia dan Mikronesia (seperti
Nauru, Tonga, dan Samoa), menunjukkan interaksi kuat antar individu (termasuk
genetik) dan faktor lingkungan. Kesenjangan pada prevalensi obesitas antara negara
ya g bertetangga dapat dijelaskan dengan perbedaan sosio-ekonomi dan paparan
makanan obesogenik (contohnya di Yaman (pendapatan rendah) prevalensi obesitas
adalah 17,1% dibandingkan dengan 3,4% di Saudi Arabia (pendapatan tinggi)).
Kesenjangan regional pada prevalensi obesitas. Meskipun terdapat
perbedaan antar negara, pertanyaannya adalah mengapa kerentanan terhadap obesitas
bervariasi bahkan dalam kondisi ekonomi yang serupa dan bagaimana faktor-faktor
tertentu dapat mempengaruhi kelompok masyarakat tertentu secara berbeda.
Misalnya, perbedaan besar regional pada prevalensi obesitas ada di Jerman, berkisar
dari ~20% di kota-kota di Jerman bagian Barat Laut hingga >28% di Saxony Anhalt.
Perbedaan regional ini sebagian berkaitan dengan atau disebabkan oleh perbedaan
status sosial ekonomi, kesenjangan ekonomi yang tinggi antara kota dan daerah
pedesaan, dan perbedaan dalam beberapa perilaku sedentari dan perilaku makan.
Kesenjangan regional pada prevalensi obesitas juga dilaporkan di Amerika Serikat,
dengan angka terendah di negara-negara bagian Barat dan Timur Laut dan angka
tertinggi di bagian Selatan. Pada penelitian ini, faktor yang mendasari kesenjangan
regional pada prevalensi obesitas orang dewasa adalah karena perbedaan suku,
jumlah dokter, kemiskinan, pengangguran, indikator yang berkaitan dengan
lingkungan makanan (seperti restoran makanan cepat saju setiap 1.000 orang dan
akses ke supermarket), hidup di kota kecil, karakteristik masyarakat (seperti norma
budaya dan nilai yang berkaitan dengan diet), aktivitas fisik dan berat badan ideal dan
gambaran tubuh terkait wilayah tertentu atau kelompok demografis berhubungan
dengan obesitas.
Kesenjangan ekonomi dalam masyarakat berkontribusi terhadap heterogenitas
prevalensi obesitas dan beban yang berhubungan. Obesitas dianggap menjadi salah
satu ketidaksamarataan yang besar. Pada buku The Spirit Leveli, Wilkinson dan
Pickett mengatakan bahwa rentang pendapatan yang lebih luas menyebabkan lingkar
pinggang yang lebih lebar. Masyarakat dengan derajat ketidaksamarataan yang lebih
rendah (seperti Jepang atau negara-negara Skandinavia dengan perbedaan pendapatan
yang sempit) cenderung memiliki beban obesitas yang lebih rendah dibandingkan
masyarakat di negara lain (contohnya, United Kingdom dan Portugal).
Lingkungan lokal. Mekipun di dalam kota, perbedaan regional signifikan pada
angka obesitas dapat terjadi, di lingkungan kota Kiel di Jerman Utara. Dalam
Penelitian Pencegahan Obesitas Kiel (KOPS), obesitas lebih sering terjadi di
lingkungan yang orang tuanya memiliki berat badan berlebih dan obesitas, saudara
dengan berat badan berlebih, orang tua yang merokok, orang tua tunggal, status sosio-
ekenomi rendah, aktivitas fisik yang rendah pada anak laki-laki dan konsumsi media
yang tinggi pada anak perempuan.
Lingkungan lokal dapat memicu risiko individu untuk mengalami obesitas.
Diantara faktor obesogenik yang pnting, pengembangan lingkungan, kepadatan rantai
makanan cepat saji, budaya makanan, sistem transportasi, kebiasaan berjalan kaki di
sekitar rumah, kesempatan rekreasi aktif, dan yang lainnya dapat menjadi pengaruh
yang luar biasa terhadap obesitas dalam konteks lokal dan negara. Di Cina, perubahan
cepat dari bentuk pedesaan ke perkotaan meningkatkan jumlah masyarakat yang
menggunakan kendaraan bermotor, hal ini menjadi salah satu penyebab utama
epidemi obesitas.
Peran lingkungan sekitar terhadap perkembangan obesitas telah diteliti dalam
eksperimen sosial. Prevalensi obesitas ekstrim dapat diturunkan dengan berpindah
dari lingkungan yang tadinya dengan angka obesitas tinggi dan tingkat kemiskinan
yang tinggi ke area dengan tingkat kemakmuran yang tinggi, oleh karena itu faktor
lingkungan lokal masih belum sepenuhnya dipahami terkait risiko obesitas individu.
Kelompok faktor risiko. Obesitas adalah hasil dari peran antara faktor
heterogenik, perilaku makan, aktivitas fisik, dan pengeluaran energi individu.
Berdasarkan asumsi ini, UK Foresight Programme melakukan proyek “Penanganan
Obesitas” dengan mengidentifikasi tujuh kelompok utama (terdiri dari faktor konteks
individu, sosial, dan lingkungan yang relevan dan keterkaitannya satu sama lain) yang
mendeterminasi obesitas pada individu atau kelompok. Kelompok-kelompok ini
termasuk : fisiologi, psikologi individu, aktivitas fisik individu, konsumsi makanan,
produksi makanan, psikologi sosial, dan lingkungan aktivitas fisik.
Apakah perubahan pada kelompok atau faktor individu ini sama pentingnya
dengan penyebab yang mendasari pandemi obesitas? Dalam Wawancara Kesehatan
Jerman dan Survei Pemeriksaan pada Anak-anak dan Remaja, faktor risiko yan paling
kuat pada anak dengan berat badan lebih adalah obesitas pada orang tua, status sosio-
ekonomi yang rendah, latar belakang migrasi, dan berat badan saat lahir yang tinggi.
Pada penelitian kohort kelahiran pada >8.000 anak di United Kingdom, faktor-
faktor ini diidentifikasi sebagai faktor yang paling berhubungan dengan risiko
obesitas : obesitas orang tua, adipositas yang sangat awal (skor standar deviasi pada 8
dan 18 bulan; peningkatan berat badan yang cepat pada tahun pertama), penggunaan
televisi yang lama, peningkatan pertumbuhan, peningkatan berat badan, dan durasi
tidur yang pendek pada usia 3 tahun.
Meskipun obesitas orang tua memiliki kesesuaian dengan faktor genetik, sejauh
ini obesitas yang berhubungan dengan varian genetik hanya memiliki proporsi kecil
varian BMI. Oleh karena itu, telah disarankan bahwa varian genetik obesitas tidak
secara langsung menyebabkan obesitas namun dapat dipicu dengan peningkatan
risiko obesitas terutama dengan kondisi lingkungan obesogenik. Contohnya,
penelitian serupa menunjukkan bahwa paparan terhadap keseimbungan energi positif
dan negatif menghasilkan dinamika berat badan dengan kemiripan yang lebih besar
dibandingkan pada pasangan kembar.
Kerentanan pemasaran makanan. Pemasaran makanan yang
mempromosikan makanan atau minuman yang tinggi lemak dan gula juga dianggap
sebagai obesogenik yang mempengaruhi perilaku anak-anak. Pada anak-anak, asupan
makanan dan preferensi makanan dan minuman padat energi meningkat saat atau
setelah paparan iklan. Menariknya, peningkatan asupan makanan sebagai respun
paparan iklan makanan dapat memengaruhi fungsi genotip anak-anak. Karier risiko
tinggi polimorfisme nukleotida tunggal pada massa lemak dan gen yang berhubungan
dengna obesitas (FTO) lebih responsif terhadap pemasaran makanan dibandingkan
karier allel tipe lain. Pada gen yang diidentifikasi oleh GWAS terkait variabilitas
BMI, gen FTO adalah faktor genetik yang paling kuat berhubungan dengan obesitas.
Namun, peran mekanisme dari FTO dan kontribusinya terhadap patofisiologi obesitas
masih butuh untuk diteliti terkait konteksnya terhadap gen lain yang berhubungan
dengan obesitas.
Modulasi asupan makanan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa karier
dari allel yang berisiko FTO dapat menurunkan responsivitas rasa kenyang dan
meningkatkan konsumsi energi, menghasilkan bukti tambahan terkait hipotesis gen
yang dicurigai. Data ini juga mendukung perang sentral dari otak (dimana FTO
diekspresikan berpebihan) pada modulasi asupan makanan. Modulasi dari pilihan
individu oleh latar belakang genetik membuatnya menjadi lebih sulit untuk mencari
solusi untuk menurunkan obesitas pada tingkat individu. Faktanya, beberapa individu
tidak dapat mengontrol secara otomatis atau sadar terkait makanan yang memodulasi
beberapa jalur neurofisiologi. Jejaring otak (temasuk sirkuit dopamin mesolimbik dan
opioid, sistem endokannabinoid dan melanokortin) tidak hanya mengontrol nafsu
makan dan rasa lapar namun juga termogenesis dan aktivitas spontan dan dapat
secara efektif menjaga berat badan. Wawasan penting terkait regulasi otomatis dan
sadar dari homeostasis energi menimbulkan pertanyaan terkait konsep yang
menargetkan pembuatan keputusan individu yang berkaitan denan pilihan makanan
dan olahraga sebagai pencegahan atau penanganan obesitas.
Menjadi jelas bahwa regulasi lingkungan makanan (contohnya, besar porsi dan
adanya iklan makanan yang tidak sehat) adalah tugas politik untuk menargetkan
masyarakat untuk berusaha melawan obesitas.
Pendorong utama peningkatan berat badan
Gaya hidup “kebarat-baratan”. Potensi pendorong utama dari pandemi
obesitas adalah peningkatan simultan prevalensi obesitas dari semua negara. Kita
hidup di lingkungan obesogenik yang tinggi yang berpengaruh terhadap pilihan
perilaku dan gaya hidup. Peningkatan prevalensi obesitas selama lebih dari 50 tahun
terakhir sesuai dengan penurunan memasak di rumah, bergantung pada makanan
restoran, peningkatan penggunaan pendingin ruangan (menyebabkan penurunan
pengeluaran energi untuk menjaga suhu tubuh), penurunan aktivitas fisik, dominasi
bekerja berbasis komputer di sebagian besar pekerjaan, waktu luang diisi dengan
teknologi, tumbuhnya kebiasaan konsumsi makanan ringan, pemasaran makanan
yang persuasif dan berbagai perubahan lainnya. Industri makanan bertujun untuk
memaksimalkan profit dan mempromosikan porsi yang besar, konsumsi makanan
ringan yang lebih sering, dan makanan yang manis, minuman kalng, dan makanan
cepat saji dalam kehidupan sehari-hari kita.
Gaya hidup “kebarat-baratan” dapat memicu peningkatan obesitas secara cepat
dan populasi yang lebih luas yang tidak memiliki waktu untuk beradaptasi dengan
perubahan ini. Contohnya, prevalensi obesitas lebih rendah pada orang India Pima
yang tinggal di Meksiko dibandingkan yang tinggal di Amerika Serikat (Arizona),
mengindikasikan bahkan populasi yang berhubungan secara genetik mengalami
perkembangan obesitas yang paling besar berdasarkan faktor lingkungan. Orang dari
Nigeria yang tinggal di Amerika Serikat memiliki BMI ~20-25% lebih tinggi
dibandingkan rerata BMI pria dan wanita Nigeria yang tinggal di Nigeria.
Menariknya, peningkatan prevalensi obesitas meningkat di negara dengan pendapatan
menengah dimana perubahan lingkungan dan perilaku terjadi secara cepat.
Contohnya, prevalensi obesitas di Jamaika (negara dengan pendapatan menengah)
meningkat cepat dari 1995 hingga 2005 dibandingkan Amerika Serikat (negara
dengan pendapatan tinggi) dan Nigeria (negara dengan pendapatan rendah).
Perbedaan signifikan pada prevalensi obesitas antar negara ini menunjukkan
pengaruh kuat lingkungan lokal dalam mendorong pandemi obesitas yang
mempengaruhi masyarakat yang berbeda-beda. Namun, terdapat konsensus luas yang
merubah sistem makanan global yang dikombinasikan dengan perilaku sedentari
menjadi penyebab utama peningkatan prevalensi obesitas di seluruh dunia selama 50
tahun terakhir.
Peran sistem makanan global. Dengan peningkatan yang lebih cepat lebih
dari empat kali lipat pada angka obesitas dibandingkan rerata dunia, negara-negara di
kepulauan Pasifik (termasuk Nauru dan Cool Islands) sekarang memiliki prevalensi
obesitas tertinggi di dunia. Apa yang dapat kita pelajari dari peningkatan obesitas
ekstrim di Mikronesia dan Polinesia terkait mekanisme yang mendorong pandemi
obesitas global? Obesitas muncul sangat cepat di Nauru dan Cook Islands dalam
separuh abad terakhir ini. Beberapa faktor telah dihipotesiskan sebagai penyebab
kemungkinan peningkatan berat badan yang cepat di negara-negara ini, yaitu
predisposisi genetik, isolasi geografis (dengan kerentanan untuk menyimpan
makanan) dan kurangnya kapasitas untuk memprouksi makanan yang cukup dalam
pasar mereka sendiri. Faktor yang terakhir berkaitan denga suplai makanan dari
penduduk kepulauan Pasifik yan dihadapkan dengan sistem makanan global dan
pemasaran makanan dibandingkan negara dengan suplai mandiri karena sangat
bergantung pada makanan impor (mudah didapatkan namun melalui proses yang
rumit dan padat energi). Pada jejaring komunitas kepulauan yang kecil, sangat
mungkin terjadi perubahan sosial, pemasaran global, dan pemasaran makanan, yang
memfasilitasi perubahan sosial yang cepat yang didokumentasi di kepulauan Pasifik.
Contoh dari pertumbuhan prevalensi yang cepat di Nauru dan Cook Islands
menunjukkan bahwa obesitas dapat terjadi ketika perubahan sosial cepat (melalui
kolonisasi) diperkenalkan pada populasi dengan tingkat ketergantungan dan
keterkaitan yang tinggi. Contoh ini, bersamaan dengan observasi bahwa prevalensi
obesitas di Kuba menurun selama krisis ekonomi pada awal 1990-an, menunjukkan
bahwa obesitas bukan merupakan hasil utama dari pilihan utama dan kemerdekaan.
Gambar 5. Titik balik energi. Asupan makanan (merah) dan pengeluaran
energi (biru) di Amerika Serikat antara tahun 1910 dan 2000. Dari 1910 hingga
~1960, pengeluaran energi menurun karena perubahan teknis dalam pekerjaan dan
adanya pertumbuhan motorisasi. Penurunan pada pengeluara energi ini sesuai dengan
penurunan paralel pada asupan energi dan menghasilkan fase berat badan stabil.
Karena peningkatan produksi makanan padat energi, kaya karbohidrat, dan kaya
lemak di Amerika Serikat, sekitar awal tahun 1970-an terjadi “titik balk” yang
merupakan awal dari fase peningkatan berat badan, dimana peningkatan asupan
energi tidak sesuai dengan pengeluaran energi yang mendatar atau menurun (tidak
didapatkan pengukuran akurat dari pengeluaran energi).

“Titik balik” energi. Di dunia, terutama di negara dengan pendapatan tinggi,


revolusi teknik di abad terkahir ini dengan mekanisasi, bentuk baru transportasi, dan
komputerisasi menyebabkan penurunan pengeluaran energi manusia. Namun,
perubahan ini telah dimulai di awal tahun 1990-an, imana peningkatan prevalensi
obesitas terjadi hanya dari tahun 1970-an hingga sekarang. Oleh karena itu,
disebutkan bahwa pada negara dengan pendapatan paling tinggi, keseimbangan
energi pada tingkat masyarakat digolongkan dengan “titik balik” energi. Di Amerika
Serikat (dan negara lain dengan pendapatan tinggi), titik balik ini terjadi pada waktu
dimana suplai makanan karbohidrat dan lemak meningkat (1960-an dan 1970-an).
Pada 50 tahun pertama abad terakhir, penurunan pengeluaran energi sejalan dengan
penurunan asupan energi hingga tahun 1960-an, diikuti dengan fase peningkatan
asupan energi dengan pengeluaran energi yang stabil atau menurun. Peningkatan
ketersediaan makanan dengan produksi yang murah juga direfleksikan oleh
peningkatan progresif makanan sisa (saat ini diperkirakan ~1.400 kcal per orang per
hari di Amerika Serikat). Namun, data suplai makanan dan makanan sisa merupakan
bukti yang tidak langsung untuk hipotesis bahwa sistem makanan global adalah
pendorong utama pandemi obesitas.
Secara teori, mekanisme lingkungan dan sosial berkontribusi terhadap
penurunan pengeluaran energi yang mengakibatkan gangguan keseimbangan energi
masyarakat. Perubahan berat badan pada anak-anak dari peningkatan suplai energi
makanan US antara tahun 1997-an dan 2000-an serupa pada pengukuran peningkatan
berat badan individu pada periode tersebut. Penelitian dari United Kingdom
menunjukkan bahwa penigkatan asupan makanan secara garis besar menjelaskan
bahwa peningkatan berat badan setidaknya terjadi pada wanit. Data ini mendukung
hipotesis bahwa peningkatan suplai makanan cukup untuk menjelaskan peningkatan
rerata BMI dan peningkatan prevalensi obesitas, setidaknya pada beberapa negara/
Menariknya, survei makanan nasional di United Kingdom mengatakan bahwa
peningkatan rerata berat badan pada pria antara 1986 dan 2000 mungkin merupakan
hasil dari peningkatan asupan energi dan penurunan aktivitas fisik. Sebuah penelitian
yang mengamati perubahan pada fluktuasi energi pada 1.399 orang dewasa
menunjukkan bahwa peningkatan asupan makanan adalah pendorong utama BMI
yang lebih tinggi dan faktor utama peningkatan obesitas pada masyarakat.
Awal dari “fase peningkatan berat badan” pada tahun 1970-an dapat dilihat
sebagai respon dari kebijakan yang meningkatkan suplai makanan, Contohnya,
Konferensi Gedung Putih terkait Makanan, Nutrisi dan Kesehatan tahun 1969 fokus
pada masalah kepalaran dan malnutrisi dan membuat kebijakan yang membantu
melawan kekurangan nutrisi tersebut. Respon terkait pandemi obesitas, banyak
negara, termasuk Amerika Serikat, saat ini menghadapi tantangan perubahan
kebijakan, regulasi agrikultural, industri makanan, dan sektor lain yang dapat
memperbaiki suplai makanan berdasarkan rekomendasi nutrisi dan membuat pilihan
sehat yang lebih mudah.
Sebagai bagian dari keseimbangan energi positif pada tingkat masyarakat,
kosumsi minuman manis di seluruh dunia meningkat seiring dengan pandemi
obesitas. Konsumsi minuman manis berhubungan dengan peningkatan risiko obesitas.
Contohnya, peran interaksi gen-lingkungan pada patogenesis obesitas, disebutkan
bahwa genetik memicu obesitas pada individu yang berhubungan dengan konsumsi
minuman manis yang lebih banyak.
Kenapa tidak semua orang mengalami obesitas?
Berkembangnya “makanan kebarat-baratan” (mengandung gula dan lemak yang
tinggi, padat energi, dan rendah serat), dimungkinkan semua orang dapat mengalami
obesitas karena kondisi ini. Perubahan pada sistem makanan ini merupakan pendoron
penting terhadap pandemi obesitas. Namun, terkait lingkungan (yang dapat bervariasi
dari masing-masing negara, kota, lingkungan sekitar, dan bahkan keluarga), maka
berat badan juga dapat berbeda-beda. Pengaruh genetik dan/atau epigenetik, begitu
juga dengan faktor perilaku dianggap sebagai faktor penting terhadap keseimbangan
energi. Beberapa hal yang mendasar heterogenitas respon biologis terhadap
lingkungan yang sama tidak khas pada manusia. Contohnya, substrain tertentu dari
C57BL/6 strain tikus (yang sering digunakan sebagai tikus kontrol), resisten terhadap
obesitas yang diinduksi dengan diet tinggi lemak. Varasi genetik pada beberapa lokus
geneik dapat menjelaskan variasi respon terhadap obesitas yang dipicu dengan
makanan pada model tikus ini. Tentu saja, pada manusia faktor yang dapat
mempengaruhi yaitu ritme makan dengan makanan ringan, pola makan (seperti
hadiah dengan yang manis-manis), kecenderungan olahraga atau game komputer dan
faktor lainnya. Berdasarkan perilaku yang berbeda, faktor biologis (termasuk kualitas
tidur yang buruk atau rendah, faktor psikologi, stigma berat badan, dan diskriminasi)
dapat menjadi pengaruh penting terhadap peningkatan berat badan. Faktor sosio-
budaya juga dapat memodifikasi epigenetik pada patogenesis obesitas, termasuk
wanita dengan usia yang lebih tua yang melahirkan pertama kali, paparan yang lebih
lama pada wanita usia subur terhadap lingkungan obesogenik dan tekanan sosial juga
dapat memicu epigenetik terkait kerentanan terhadap obesitas.
Faktor genetik yang mendasari heterogenitas BMI juga dapat dilihat dari
beberapa alasan : penyebab obesitas monogenetik sulit dijelaskan terkait pandemi
obesitas, kontribusi sedikit individu terhadap berbagai lokus genetik risiko obesitas
dapat menyebabkan obesitas; GWAS tidak memiliki cukup kekuatan untuk
mendeteksi hal yang jarang terjadi, namun relevan secara biologis, varian genetik,
dan kontribusi modifikasi epigenetik belum sepenuhnya diketahui.
Sebagian besar variabilitas BMI berkaitan dengan gen-lingkungan atau gen-
perilaku, termasuk lingkungan intrauterin. Menariknya, diet maternal selama hamil
dapat memengaruhi pola metilasi DNA yang menetap selama beberapa dekade dan
keturunan dan dapat diwariskan ke generasi di masa depan. Senyawa kimia pada
lingkungan (termasuk komposisi obat nyamuk seperti N,N-dietil-meta-toluamid
(DEET), phthalate dan dioksin) dapat mempengaruhi modifikasi epigenetik yang
lebih akut dan berkontribusi dalam menjlaskan variasi kerentanan obesitas.
Mekanisme epigenetik yang diwariskan berkontribusi terhadap peningkatan
obesitas di dunia. Obesitas dianggap sebagi penyakit bimodal dimana jejaring yang
bergantung pada TRIM28 (dikenal sebagai TIF1β) mampu untuk memicu obesitas
pada non-Mendelian, dengan “on/off”. Bukan mengenai ide bahwa pandemi obesitas
saat ini merupakan hasil dari perpindahan kurva distribusi BMI ke kanan, dan model
pnyakit bimodal yang menunjukkan bahwa mekanisme epigenetik dapat “memicu”
obesitas hanya pada bebera orang dan orang yang lain terlindungi. Konsep lain untuk
menjelaskan heterogenitas BMI pada manusia adalah genetik menentukan perbedaan
kerentanan pada kontrol sentral asupan makanan yang memediasi respon keinginan
makan yang berlebihan. Mendukung konsep ini, regulator gen G protein sinyal 4
(RGS4) meregulasi asupan makanan dan respon diet yang memicu obesitas. Lokus
gen RGS4 manusia berhubungan dengan berat badan yang lebih tinggi dan obesitas
terkait kerentanan fenotip, dan peningkatan kadar protein striatal RGS4 yang
dideteksi pada orang dengan berat badan lebih (BMI >25 kg/m2). Kesimpulannya,
kami masih dalam tahap awal memahami mekanisme kerentanan obesitas dibawah
pengaruh lingkungan obesogenik, namun menjadi jelas bahwa faktor genetik dan
mekanisme epigenetik memiliki peran penting (sepenuhnya diketahui).

Membalikkan pandemi obesitas


Meskipun ada upaya khusus negara, sejauh ini tidak ada negara yang berhasil
membalikkan pandemi obesitas saat ini. WHO menjelaskan pengukuran untuk
mencegah obesitas, termasuk membentuk lingkungan dan komunitas dimana individu
memilih makanan sehat dan aktvitas fisik reguler, hal ini yang paling mudah, paling
bisa diakses, dan terjangkau. Tentu saja, setidaknya satu contoh dari Kuba
menunjukkan bahwa kembali ke kemiskinan nasional dapat menurunkan prevalensi
obesitas. Disebabkan oleh krisis ekonomi di pertengahan 1990-an di Kuba, rerata
penurunan berat badan ~5 kg menyebabkan penurunan cepat pada angka diabetes
mellitus dan penyakit jantung, dengan pengembalian yang cepat setelah rerata berat
badan kembali seperti jumlah sebelum krisis.
Bagaimana bisa tanggung jawab individu untuk membatasi asupan makanan
dari makanan padat energi, menjadi meningkatkan konsumsi makanan sehat (seperti
buah, sayur, dan kacang-kacangan) dan memiliki aktivitas fisik reguler (60 menit per
hari untuk anak-anak; 150 menit per minggu untuk orang dewasa) dapat terfasilitasi?
Prinsipnya, interventi bertujuan untuk memotivasi perubahan perilaku (seperti
edukasi, promosi kesehatan, pemasaran sosial, dan insentif untuk hidup sehat)
dan/atau menegakkan aksi yang menurunkan pengaruh utama yang menyebabkan
obesitas (contohnya perubahan undang-undang, regulasi dan kebijakan) dapat
membantu. Pendekatan terbaru termasuk intervensi kebijakan seperti pajak minuman
manis, standar wajib makanan di taman kanak-kanak dan sekolah atau melarang iklan
makanan yang tidak sehat yang ditujukan untuk anak-anak. Di Chili dan Meksiko,
pengenalan pajak minuman manis pada tahun 2014 berhubungan dengan penurunan
pembelian minuman kaleng manis, namun pengaruh tehadap kesehatan seperti
penurunan obesitas belum dapat dievaluasi. Perubahan kebijakan juga menargetkan
industri makanan dengan memfasilitasi pengembangan pemrosesan makanan yang
menurunkan konten lemak, gula, dan garam, dan membatasi pemasaran makanan
obesogenk terutama yang ditujukan pada anak-anak.
Sejauh ini, hanya beberapa pemerintahan di dunia yang berhasil mengenalkan
solusi kebijakan untuk mengurangi penyebab obesitas karena pejabat pemerintah
sering enggan untuk membahas undang-undang yang membatasi kebebasan untuk
memilih. Indusi makanan, dan industri lain yang terkait, secara aktif melobi regulasi
pemerintah terkait pasar makanan. Kita masih jauh dari mencapai target WHO untuk
mencapai penurunan 25% mortalita prematur dari PTM pada tahun 2025. Epidemi
obsitas tidak akan teratasi tanpa adanya peran pemerintah. Pendekatan sistem
dibutuhkan dengan kerjasama beberapa sektor dan dengan data berat badan
masyarakat awal dan hasil intervensi yang dimonitor dan dievaluasi secara akurat.
Namun, jumlah kebijakan makanan sehat yang diimplementasikan oleh
pemerintah, organisasi komunitas, dan pengecer makanan telah meningkat pada
beberapa tahun terakhir. Database pusat memungkinkan untuk memonitor
implementasi, penjagaan jangka lama, dan kemungkinan kebijakan makanan sehat,
database ini termasuk situs World Cancer Research Fund’s NOURISHING dan
Global database on the Implementation of Nutrition Action (GINA).
Beberapa hambatan penting yang mencegah proses pembalikkan epidemi
obesitas, yang paling penting adalah tekanan yang hampir tidak ada dari masyarakat
untuk tindakan politik. Sumber daya dan dana terbatas, lemahnya koordinai, dan
kurangnya organisasi yang berdedikasi juga berkontribusi terhadap lambatnya
kemajuan perubahan politik.

Kesimpulan
Prevalensi obesitas di dunia meningkat tiga kali lipat sejak 1975 dan terus
tumbuh dalam kecepatan pandemi. Perbedaan regional terdapat pada prevalensi dan
pola obesitas, yang dapat membantu mengidentifikasi penyebab sosial dari obesitas
dan memberikan panduan untuk strategi intervensi yang paling menjanjikan.
Obesitas telah menggantikan konsumsi tembakau sebagai gaya hidup nomor satu
yang berhubunga dengan faktor risiko kematian prematur; sebaiknya berfokus pada
kebijakan kesehatan publik yang intensif. Dimana pengukuran kebijakan yang
melawan konsumsi tembakau telah dilakukan di berbagai negara dan beberapa telah
berhasil, pengukuran analog lebih rumit pada kasus obesitas. Meskipun pengaruh
perusakan dari merokok telah stabil, banyak rekomendasi terkait nutrisi dan obesitas
yang berhubungan dengan perilaku mengalami kontroversi sains dan seringnya tidak
dapat diterjemahkan ke dalam undang-undang yang melarang “perilaku obesogenik”.
Rencana Aksi Global untuk Mencegah dan Mengontrol Penyakit Tidak
Menular oleh WHO dari tahun 2013 hingga 2020 memiliki strategi yang dilakukan
untuk mencegah peningkatan prevalensi obesitas di dunia. Sejauh ini, kemajuan
dalam penanganan obesitas terlalu lambat dan target WHO mungkin tidak dapat
tercapai dalam waktu dekat. Namun, penyebab utama obesitas dan faktor yang
memicu telah digolongkan – tantangannya masih menerjemahkannya ke aksi yang
efektif.

Dipublikasi online : 27 Februari 2019.

Anda mungkin juga menyukai