LP DHF Fix
LP DHF Fix
LP DHF Fix
Oleh:
Puji Arini , S.Kep
NIM 192311101121
1.2 Etiologi
1. Virus dengue
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam
Arbovirus (Arthropodborn virus) group B, tetapi dari empat tipe yaitu
virus dengue tipe 1,2,3 dan 4 keempat tipe virus dengue tersebut terdapat
di Indonesia dan dapat dibedakan satu dari yang lainnya secara serologis
virus dengue yang termasuk dalam genus flavivirusini berdiameter 40
nonometer dapat berkembang biak dengan baik pada berbagaimacam
kultur jaringan baik yang berasal dari sel – sel mamalia misalnya sel BHK
(Babby Homster Kidney) maupun sel – sel Arthropoda misalnya sel aedes
Albopictus.
2. Vektor
Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui vektor yaitu
nyamuk aedes aegypti, nyamuk aedes albopictus, aedes polynesiensis dan
beberapa spesies lainmerupakan vektor yang kurang berperan.infeksi
dengan salah satu serotipe akanmenimbulkan antibodi seumur hidup
terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap
serotipe jenis yang lainnya (Arief Mansjoer &Suprohaita,2009).
3. Host
Jika seseorang mendapat infeksi dengue untuk pertama kalinya maka ia
akan mendapatkan imunisasi yang spesifik tetapi tidak sempurna, sehingga
ia masih mungkin untuk terinfeksi virus dengue yang sama tipenya
maupun virus dengue tipelainnya. Dengue Haemoragic Fever (DHF) akan
terjadi jika seseorang yang pernah mendapatkan infeksi virus dengue tipe
tertentu mendapatkan infeksi ulangan untukkedua kalinya atau lebih
dengan pula terjadi pada bayi yang mendapat infeksi virusdengue untuk
pertama kalinya jika ia telah mendapat imunitas terhadap dengue dari
ibunya melalui plasenta. (Soedarto, 1990).
Menurut Soedarto (2012), demam haemorrhagic fever (DHF)
disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam family flaviviridae genus
flavivirus. Virus dengue ditularkan dari seorang penderita ke orang lain
melalui gigitan nyamuk genus Aedes, yaitu nyamuk aedes aegypti betina.
Aedes aegypti tersebar di daerah tropis dan subtropis yang merupakan vektor
utama.
1.4 Klasifikasi
Menurut derajat ringannya penyakit, Dengue Haemoragic Fever (DHF) dibagi
menjadi 4 tingkat yaitu :
1. Derajat I
Panas 2 – 7 hari , gejala umum tidak khas, uji tourniquet hasilnya positif
2. Derajat II
Sama dengan derajat I di tambah dengan gejala – gejala pendarahan
spontan seperti petekia, ekimosa, epimosa, epistaksis, haematemesis,
melena, perdarahan gusi telinga dan sebagainya.
3. Derajat III
Penderita syok ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi
lemah dan cepat (> 120 / menit) tekanan nadi sempit (< 20 mmHg)
tekanan darah menurun (120 / 80 mmHg) sampai tekanan sistolik dibawah
80 mmHg.
4. Derajat IV
Nadi tidak teraba,tekanan darah tidak terukur (denyut jantung > - 140
mmHg) anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.
1.5 Patofisiologi
Virus dengue yang telah masuk ketubuh penderita akan menimbulkan
viremia. Hal tersebut menyebabkan pengaktifan komplemen sehingga terjadi
komplek imun Antibodi–virus pengaktifan tersebut akan membetuk dan
melepaskan zat (3a, C5a, bradikinin,serotinin, trombin, Histamin), yang akan
merangsang PGE2 di Hipotalamus sehingga terjadi termo regulasi instabil yaitu
hipertermia yang akan meningkatkan reabsorbsi Na+dan air sehingga terjadi
hipovolemi. Hipovolemi juga dapat disebabkan peningkatkan permeabilitas
dinding pembuluh darah yang menyebabkan kebocoran palsma. Adanya komplek
imun antibodi–virus juga menimbulkan Agregasi trombosit sehingga terjadi
gangguan fungsi trombosit, trombositopeni, coagulopati. Ketiga hal tersebut
menyebabkan perdarahan berlebihan yang jika berlanjut terjadi shock dan jika
shock tidak teratasi terjadi Hipoxia jaringan dan akhirnya terjadi Asidosis
metabolik. Asidosis metabolik juga disebabkan karena kebocoran plasma yang
akhirnya tejadi perlemahan sirkulasi sistemik sehingga perfusi jaringan menurun
jika tidak teratasi terjadi hipoxia jaringan, Hal pertama yang terjadi setelah virus
masuk ke dalam tubuh penderita adalah virernia yang menyebabkan penderita
mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal di seluruh tubuh,
ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekia), hipertermi dan hal lain yang
mungkin terjadi seperti pembesaran limfe (spleromegali), peningkatan
permiabilitas dinding kafiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadi
hipotensi, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia serta effuse plevro dan renjatan
syok.
Haemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit lebih dari 20 %
menunjukkan atau mengakibatkan adanya kebocoran plasma (perembesan) plasma
(plasma kakage) sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan
pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan
kebocoran plasma.
Tingginya nilai hematokrit penderita DHF disebabkan karena :
1. Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstraselular melalui kafiler yang
rusak dengan mengakibatkan menurunnya plasma dan meningkatnya nilai
hemotokrit bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotekal dinding
pembuluh darah.
2. Adanya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu dalam rongga
peritoneum pleura pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui
infuse.
Masa virus dengue inkubasi 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari. Virus hanya dapat
hidup dalam sel yang hidup, sehingga harus bersaing dengan sel manusia terutama
dalam kebutuhan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan
tubuh manusia. Sebagai reaksi terhadap infeksi terjadi (1) aktivasi sistem
komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilaktosin yang menyebabkan
peningkatan permiabilitas kapiler sehingga terjadi perembesan plasma dari ruang
intravaskular ke ekstravaskular, (2) agregasi trombosit menurun, apabila kelainan
ini berlanjut akan menyebabkan kelainan fungsi trombosit sebagai akibatnya akan
terjadi mobilisasi sel trombosit muda dari sumsum tulang dan (3) kerusakan sel
endotel pembuluh darah akan merangsang atau mengaktivasi faktor pembekuan.
Ketiga faktor tersebut akan menyebabkan (1) peningkatan permiabilitas kapiler;
(2) kelainan hemostasis, yang disebabkan oleh vaskulopati; trombositopenia; dan
kuagulopati (Arief Mansjoer dan Suprohaita, 2009).
Pathway
1.6 Pemeriksaan Khusus dan Penunjang
1. Darah
a. Pada kasus DHF yang dijadikann pemeriksaan penunjang yaitu
menggunakan darah atau disebut lab serial yang terdiri dari hemoglobin,
e. Protein rendah
h. Asidosis metabolic
2. Urine
Kadar albumin urine positif (albuminuria) (Vasanwala, 2012) Sumsum tulang
pada awal sakit biasanya hiposeluler, kemudian menjadi hiperseluler pada hari
ke 5 dengan gangguan maturasi dan pada hari ke 10 sudah kembali normal
untuk semua system
3. Foto Thorax
Pada pemeriksaan foto torax dapat ditemukan efusi pleura. Umumnya posisi
lateral dekubitus kanan (pasien tidur disisi kanan) lebih baik dalam
mendeteksi cairan dibandingkan dengan posisi berdiri apalagi berbaring.
4. USG
Pemeriksaan USG biasanya lebih disukai dan dijadikan pertimbangan karena
tidak menggunakan sistem pengion (sinar X) dan dapat diperiksa sekaligus
berbagai organ pada abdomen. Adanya acites dan cairan pleura pada
pemeriksaan USG dapat digunakan sebagai alat menentukan diagnosa
penyakit yang mungkin muncul lebih berat misalnya dengan melihat ketebalan
dinding kandung empedu dan penebalan pankreas
5. Diagnosis Serologis
a. Uji Hemaglutinasi (Uji HI)
Tes ini adalah gold standart pada pemeriksaan serologis, sifatnya sensitif
namun tidak spesifik. Artinya tidak dapat menunjukkan tipe virus yang
menginfeksi. Antibodi HI bertahan dalam tubuh lama sekali (<48 tahun)
sehingga uji ini baik digunakan pada studi serologi epidemiologi. Untuk
diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x lipat dari titer serum akut
atau tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvalesen dianggap
sebagai pesumtif (+) atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru
terjadi (Vasanwala dkk. 2012).
b. Uji komplemen Fiksasi (uji CF)
Jarang digunakan secara rutin karena prosedur pemeriksaannya rumit dan
butuh tenaga berpengalaman. Antibodi komplemen fiksasi bertahan
beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).
c. Uji Neutralisasi Uji ini paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue.
Dan biasanya memakai cara Plaque Reduction Neutralization Test (PNRT)
(Vasanwala dkk. 2012)
d. IgM Elisa (Mac Elisa, IgM captured ELISA)
Banyak sekali dipakai, uji ini dilakukan pada hari ke 4-5 infeksi virus
dengue karena IgM sudah timbul kemudian akan diikuti IgG. Bila IgM
negatif maka uji harus diulang. Apabila sakit ke-6 IgM masih negatif maka
dilaporkan sebagai negatif. IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2-3
bulan setelah adanya infeksi (Vasanwala dkk. 2012)
e. Identifikasi Virus
Cara diagnostik baru dengan reverse transcriptase polymerasechain
reaction (RTPCR) sifatnya sangat sensitif dan spesifik terhadap serotype
tertentu, hasil cepat dan dapat diulang dengan mudah. Cara ini dapat
mendeteksi virus RNA dari specimenyang berasal dari darah, jaringan
tubuh manusia, dan nyamuk (Vasanwala dkk. 2012).
1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada DHF adalah sebagai berikut:
1. Medik
a. DHF tanpa Renjatan
1) Beri minum banyak ( 1 ½ - 2 Liter / hari )
2) Obat antipiretik, untuk menurunkan panas, dapat juga dilakukan
kompres
3) Jika kejang maka dapat diberi luminal ( anticonvulsan ) untuk
anak <1 th dosis 50 mg IM dan untuk anak >1th 75 mg IM. Jika
15 menit kejang belum teratasi , beri lagi luminal dengan dosis 3
mg / Kg BB anak <1 th dan pada anak >1th diberikan 5 mg/ Kg
BB.
4) Berikan infus jika terus muntah dan hematokrit meningkat
b. DHF dengan Renjatan
1) Pasang infus RL
2) Jika dengan infus tidak ada respon maka berikan plasma expander
( 20 – 30 ml/ kg BB )
3) Tranfusi jika Hb dan Ht turun
2. Keperawatan
a. Derajat I
Pasien istirahat, observasi tanda-tanda vital setiap 3 jam, periksa Ht,
Hb dan trombosit tiap 4 jam sekali. Berikan minum 1,5 – 2 liter dalam
24 jam dan kompres hangat.
b. Derajat II
Segera dipasang infus, bila keadaan pasien sangat lemah sering
dipasang pada 2 tempat karena dalam keadaan renjatan walaupun klem
dibuka tetesan infus tetap tidak lancar maka jika 2 tempat akan
membantu memperlancar. Kadang-kadang 1 infus untuk memberikan
plasma darah dan yang lain cairan biasa.
c. Derajat III dan IV
1) Penggantian plasma yang keluar dan memberikan cairan elektrolit
(RL) dengan cara diguyur kecepatan 20 ml/kgBB/jam.
2) Dibaringkan dengan posisi semi fowler dan diberikan O2.
3) Pengawasan tanda – tanda vital dilakukan setiap 15 menit.
4) Pemeriksaan Ht, Hb dan Trombosit dilakukan secara periodik.
5) Bila pasien muntah bercampur darah perlu diukur untuk tindakan
secepatnya baik obat – obatan maupun darah yang diperlukan.
Makanan dan minuman dihentikan, bila mengalami perdarahan
gastrointestinal biasanya dipasang NGT untuk membantu pengeluaran
darah dari lambung. NGT bisa dicabut apabila perdarahan telah
berhenti. Jika kesadaran telah membaik sudah boleh diberikan
makanan cair
a. Resiko Perdarahan
1) Obsevasi perdarahan : Peteckie, Epistaksis, Hematomesis dan
melena
2) Catat banyak, warna dari perdarahan
3) Pasang NGT pada pasien dengan perdarahan Tractus Gastro
Intestinal
b. Peningkatan suhu tubuh
1) Observasi / Ukur suhu tubuh secara periodik
2) Beri minum banyak
3) Berikan kompres
B. Primary Survey
a. Airway
Memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk
memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas atau kepatenan jalan
napas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas
pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin
memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tanda-tanda terjadinya
obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain: adanya snoring atau gurgling,
stridor atau suara napas tidak normal, agitasi (hipoksia), penggunaan otot
bantu pernafasan / paradoxical chest movements, dan sianosis. Bukti
adanya gangguan pada saluran pernapasan atas dan ptensial dalam peyebab
obstruksi adalah adanya muntahan, perdarahan, gigi lepas atau hilang,
trauma wajah.
Pada pasien dengan DHF biasanya tidak terjadi gangguan pada jalan napas
karena keadaan pada hernia tidak mengganggu saluran pernapasan.
b. Breathing
Pengkajian pada pernapasan dilakukann untuk menilai keadekuatan
pernapasan pada pasien. Pernapasan normal bila frekuensi napas 18 -24
kali permenit disertai dengan ekspansi dada maksimal, dan pengembangan
dada simetris antara kanan dan kiri. Pemeriksaan yang dilakukan adalah
inspeksi adanya sianosis, penetrating injury, flail chest, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan
pneumothorax, auskultasi dilakukan untuk memeriksa adanya suara
abnormal pada dada seperti rochi ataupun wheezing.
Pada pasien dengan DHF biasanya terjadi gangguan pada pernapasan,
pasien akan mengalami sesak nafas .
c. Circulation
Pada status sirkulasi perlu diperhatikan tanda dan gejala syok. Diagnosis
syok didasarkan pada temuan klinis seperti : hipotensi, takikardia,
takipnea, hipotermia, pucat, ektremitas dingin, penurunan capillary refil
dan penurunan produksi urin. Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan nadi, pemeriksaan perdarahan, palpasi nadi radial
dengan menilai kualitas denyutan, mengidentifikasi rate, dan regularity.
Pada pemeriksaan sirkulasi, status sirkulasi dikatakan normal bila tekanan
darah sistol antara 100 – 120 mmHg dan tekanan darah diastol antara 60-
80 mmHg. Selain itu, didapatkan pemeriksaan CRT < 3 detik, denyut nadi
teratur dan tekanan nadi kuat, serta tidak terdapat pucat serta akral hangat.
Pada pemeriksaan circulation pasien DHF didapatkan sianosis, kulit
lembab dan dingin, tekanan darah menurun, gelisah, capillary refill lebih
dari dua detik, nadi cepat dan lemah
d. Disability
Primary survey pada disability dikaji menggunakan skala AVPU:
A : Alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah
yang diberikan
V : Vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak
bisa dimengerti
P : Respon to Pain olny (dinilai pada semua keempat tungkai jika
ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
U : Unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
Selain itu, disability dapat juga dinilai melalui penilaian status kesadaran
pasien menggunakan GCS, dimana nilai GCS normal adalah 15-14.
Pada pasien dengan DHF, biasanya pasien mengeluhkan nyeri pada
persendian. Biasanya pasien dapat merespon stimulus nyeri dan masih bisa
berbicara dengan jelas hanya saja biasanya suara yang dikeluarkan berupa
rintihan.
C. Secondary Survey
a. Data subyektif
Merupakan data yang dikumpulkan berdasarkan keluhan pasien atau
keluarga pada pasien DHF, data subyektif yang sering ditemukan antara lain :
1. Panas atau demam
2. Sakit kepala
3. Anoreksia, mual, haus, sakit saat menelan.
4. Lemah
5. Nyeri ulu hati, otot dan sendi
6. Konstipasi
b. Data obyektif
Merupakan data yang diperoleh berdasarkan pengamatan perawat pada
keadaan pasien. Data obyektif yang sering ditemukan pada penderita DHF antara
lain:
1. Mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor
2. Tampak bintik merah pada kulit (petekia), uji torniquet (+), epistaksis,
ekimosis,hematoma, hematemesis, melena
3. Hiperemia pada tenggorokan
4. Nyeri tekan pada epigastrik
5. Pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limpa
6. Pada renjatan (derajat IV) nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas
dingin, gelisah, sianosisperifer, nafas dangkal.
7. Suhu tubuh tinggi, menggigil, wajah tampak kemerahan
Cahyono, J.B. 2010. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi. Yogyakarta:
Kanisius.
Susilaningrum, R. 2013. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak untuk Perawat dan
Bidan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika