Pib Pghnai Xiv 2023
Pib Pghnai Xiv 2023
Pib Pghnai Xiv 2023
PROSIDING
PERTEMUAN ILMIAH BERKALA PGHNAI XIV
Prosiding
PERTEMUAN ILMIAH BERKALA PGHNAI XIV
Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan
Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi
Anak dalam Deteksi dan Pencegahan
Stunting di Indonesia
SUSUNAN PANITIA
Pelindung Ketua Pengurus Pusat PGHNAI
Penasehat dan Pengarah Prof. Dr. dr. Pramita Gayatri, Sp.A(K)
dr. Hadjat Digdowirogo, Sp.A
Prof. dr. Badriul Hegar Syarief, PhD, Sp.A(K)
DR. dr. Eva Jeumpa Soelaeman, Sp.A(K)
Panitia Pelaksana
Ketua dr. Yuli Yafri Razak, Sp.A
Wakil ketua dr. Budi Purnomo, Sp.A(K)
Sekretaris dr. Syahminar Rahmani, SpA, Heni Pratiwi, SE
Bendahara DR. dr. Nuraini Irma Susanti, Sp.A(K)
Sie Dana • Prof. Dr. dr. Pramita Gayatri, Sp.A(K)
• DR. dr. Eva Jeumpa Soelaeman, Sp.A(K)
• dr. Budi Purnomo, SpA(K)
• dr. Fatima Safira Alatas, SpA(K), Ph.D
Sie Acara • dr. Barry Army Bakry, Sp.A(K)
• dr. Ade D Pasaribu, Sp.A
Sie Ilmiah • Dr. dr. Ariani Widodo, Sp.A(K)
• dr. Frieda Handayani, Sp.A(K)
• dr. Ezy Barnita, Sp.A(K)
• dr. Himawan Aulia Rahman, Sp.A
Sie Registrasi • dr. Erwin Lukas Hendrata, Sp.A(K)
Akomodasi, Teknologi • Dr. dr. Dedi Rahmat, Sp.A
Informatika dan Perlengkapan
Sie Dokumentasi/Buletin • Dr. dr. Andy Darma, Sp.A(K)
• dr. Barry Army Bakry, Sp.A(K)
• dr. Erwin Lukas Hendrata, Sp.A(K)
Sie Konsumsi • dr. Endang Poerwati, Sp.A(K)
• dr. Hartaniah Sadikin, Sp.A
Bismilahirohmanirronirohim Assalamualaikum ww
Salam Sejahtera
vi Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Strategi Layanan Gastrohepatologi Anak di
Layanan Primer Sampai dengan Tersier*
Pramita Gayatri
Tujuan:
1. Permasalahan gastrohepatologi anak di Indonesia
2. Selayang pandang kasus-kasus gastrohepatologi anak dilayanan tersier
3. Mengenal berbagai kasus gastrohepatologi anak yang perlu dirujuk
4. Peran layanan primer pada penanganan gastrohepatologi anak di Indonesia
T
ujuan pembangunan hanya dapat tercapai jika menjangkau semua
anak, di mana pun mereka berada. Investasi dalam intervensi dini
akan memanfaatkan tahap-tahap penting dalam perkembangan otak
dan membantu untuk memastikan bahwa semua anak dapat berkembang
mencapai potensi penuh mereka, serta mendukung pertumbuhan masyarakat
yang sejahtera.
Indonesia telah memperlihatkan kemajuan yang mengesankan
menuju SDG. Sebagai negara berpenghasilan menengah dan pelopor
SDG, Pemerintah Indonesia dan UNICEF telah bekerja sama untuk
mengidentifikasi target dan indikator SDG yang paling penting bagi anak-
anak di Indonesia. Sebagian besar target prioritas ini telah dituangkan dalam
perencanaan dan pemantauan SDG Pemerintah.1
Di seluruh dunia, 155 juta anak mengalami stunting, yaitu bila tinggi
atau panjang badan kurang dari dua SD dari median nilai yang diharapkan
berdasarkan usia dan gender.2 Stunting pada masa kanak-kanak adalah hal
yang penting dicermati karena berhubungan dengan peningkatan angka
kematian anak, gangguan kognitif, dan risiko penyakit kronis yang lebih
tinggi di kemudian hari3 sehingga hal tersebut merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang serius.
1
dicapai. Berbagai faktor berperan pada kondisi tersebut, di antaranya adalah
fungsi saluran cerna yang tidak optimal sehingga tubuh tidak mendapatkan
nutrisi yang adekuat. Tentunya hal ini akan memengaruhi dua tahun
pertama kehidupan anak yang merupakan tahapan penting pada kurun
waktu tersebut, yang ditandai dengan akselerasi percepatan tumbuh dan
perkembangan.4-6
Pada pertumbuhan linier yang suboptimal sebagian dapat dijelaskan
akibat pola makan yang tidak memadai secara kronis. Hal ini didukung oleh
data bahwa sebagian besar individu mengalam1i stunting berasal dari rumah
tangga yang rawan pangan.7 Bila intervensi hanya berfokus pada perbaikan
gizi saja maka hal tersebut akan gagal mencapai kejar tumbuh yang normal.8
Penyebab terjadinya hal tersebut karena adanya inflamasi kronis seperti yang
ditemukan pada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak
yang mengalami stunting mengalami peningkatan petanda peradangan
dalam darah.9-12 Penyebab timbulnya inflamasi tersebut akibat adanya aktivasi
yang menyimpang dan berkelanjutan dari sistem imunologik mukosa saluran
cerna. Telah dibuktikan adanya hubungan antara stunting dan kelainan usus
akibat pengaruh lingkungan (environmental enteric disorder, EED).
Manifestasi kelainan saluran cerna secara klinis dapat dibagi dua yaitu
gejala klinis terkait kelainan saluran cerna atas, contohnya muntah dengan
atau tanpa darah, mual, nyeri perut, kembung; dan kelainan saluran cerna
bawah, contohnya diare dengan atau tanpa darah, konstipasi, BAB hitam
(melena), BAB darah (hematoskezia). Permasalahan muntah kronik maupun
diare kronik tersebut (dengan atau tanpa perdarahan maupun muntah atau
tinja berwarna hijau) pada seorang anak yang disertai gangguan tumbuh
ataupun gagal tumbuh, merupakan tanda bahaya yang menunjukkan
adanya kelainan organik, bukan hanya gangguan fungsional semata, yang
memerlukan evaluasi lebih lanjut.13,14
Penyakit diare pada anak di Indonesia masih merupakan penyebab angka
kesakitan pada anak.14 Beberapa faktor memengaruhi terjadinya diare kronik,
di antaranya bacterial overgrowth yang berdampak lanjut pada dekonyugasi
asam empedu, gangguan motilitas, menurunnya sekresi pankreas dan bilier,
dan sistem imunitas saluran cerna yang abnormal menyebabkan berkurangnya
produksi sIgA maupun terjadinya defisiensi mikronutrien. Kerusakan mukosa
usus dan peningkatan integritas permeabilitas usus menyebabkan malabsorpsi
nutrien dan asam empedu, hilangnya cairan dan elektrolit, maupun translokasi
endotoksin dan alergen makanan. Hal ini dapat terjadi pada diare kronik
ataupun akibat reaksi alergi terhadap makanan,15-19 Kondisi hilangnya protein
(protein-losing enteropathy) akibat kerusakan mukosa usus tersebut (dengan
atau tanpa erosi mukosa) akan menyebabkan kondisi malnutrisi pada anak.
Kondisi tersebut juga dapat terjadi pada keluhan esofagitis maupun gastritis
kronik dengan manifestasi gastropati luas.14,16,18
2 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Penelitian di Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) FKUI – RSCM19
menunjukkan bahwa anak yang dirawat dengan diare kronik sebagian besar
(57%) dengan gizi kurang dan 43% dengan gizi buruk. Kadar selenium plasma
secara signifikan rendah (p<0,0001), padahal selenium merupakan salah satu
mikronutrien dasar yang penting untuk kesehatan karena berfungsi sebagai
antioksidan dan aktivator sistem imunitas tubuh serta fungsinya sebagai
antiinflamasi dan antiviral. Kadar alfa-1-antitripsin (AAT) tinja pada anak
dengan diare kronik 7 kali lebih tinggi dibandingkan anak normal seusianya
(p=0,010) yang menunjukkan adanya kebocoran protein dari saluran
cerna yang mengalami kerusakan, sebelum terjadinya hipoalbuminemia.19
Kasus diare kronik yang ditemukan sehari-hari oleh seorang dokter anak
memerlukan pemeriksaan lanjutan yang dapat membantu tata laksana
definitif agar lingkaran “infeksi – malabsorpsi – malnutrisi – infeksi” yang
berakibat lanjut terjadinya stunting dapat dihentikan.19
Sejak 5 tahun terakhir, di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM
mulai bermunculan kasus-kasus diare kronik yang merupakan bagian entitas
penyakit inflamasi usus (IBD) yang bermanifestasi sebagai Crohn’s Disease, Kolitis
Ulseratif, atau Indefinite Colitis.20 Ketiganya dapat dikenali dan dibedakan setelah
dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran cerna dan gambaran patologi anatomi
jaringan yang diambil pada saat endoskopi.20,21 Faktor infeksi dan penggunaan
antibiotik yang lama (lebih dari 3 bulan, terutama pada masa bayi dan balita
awal) atau penggunaan antibiotik berulang merupakan salah satu faktor eksternal
lingkungan yang diduga berperan pada penyakit ini.21 Pada tata laksana kelainan
saluran cerna dibutuhkan pemeriksaan yang dapat menampilkan kelainan
makroskopik maupun mikroskopik agar tata laksana definitif dapat optimal.
Gambar 1. (a) Anak lelaki, 4 tahun 3 bulan, 11 kg, dengan diare kronik berdarah pasca-rawat dengan demam
tifoid. (b) Gambaran kolonoskopi terdapat banyak ulserasi sepanjang rektum sampai kolon asendens dengan
poliposis dan mukosa normal di antaranya. Dilakukan polipektomi. (c) Tindak lanjut 1 bulan BB 12,4kg. (d)
Kolonoskopi perbaikan pasca terapi dengan metronidazole, steroid, koreksi albumin, transfusi PRC, dan
rehabilitasi nutrisi.20
4 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
anatomi, ataupun akibat kelainan metabolik, ataupun genetik. Pastikan
warna tinja (3 porsi, pagi-siang-malam) apakah dempul atau kuning agar
penapisan akan kecurigaan atresia bilier yang memerlukan prosedur Kasai
dapat dilakukan perujukan segera bila usia < 90 hari (ideal <60 hari); sehingga
penapisan menggunakan prosedur intra-operatif cholangiography dapat
dilakukan sesegera mungkin sebelum keputusan tindakan Kasai.
Gangguan saluran cerna atas maupun bawah yang telah berdampak
pada status nutrisi perlu dirujuk segera ke RSUD. Penanganan faltering
growth disesuaikan dengan berat-ringannya kelainan dan harus dikaitkan
apakah terdapat feeding problem. Bila terdapat malnutrisi berat maka
sebaiknya dirujuk ke RSUP yang memiliki konsultan gastrohepatologi.
Diagnostik non-invasif (laboratorium) dapat dilakukan oleh seorang Sp.A,
sedangkan diagnostik invasif (endoskopi diagnostik ataupun terapeutik)
dilakukan oleh konsultan gastrohepatologi di RSUP Tipe A (provinsi), dan
dapat bekerja sama dengan Konsultan lainnya (Sp.A(K)) maupun dengan
Konsultan lintas Bidang Keahlian lainnya. Kasus kelainan saluran cerna berat
yang melibatkan asesorisnya (hati, empedu, pancreas) yang berat disertai
malnutrisi berat dengan stunting dan memerlukan pendekatan multidisiplin,
sebaiknya dirujuk ke RSUP rujukan nasional; antara lain RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo.
Daftar pustaka
1. Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional. Roadmap of SDGs Indonesia:
A Highlight. 2016.
2. WHO, World Bank, UNICEF, 2017. Joint Child Malnutrition Estimates New
York, NY: United Nations Children’s Fund, the World Health Organization, the
World Bank Group.
3. Prendergast AJ, Humphrey JH. The stunting syndrome in developing countries.
Paediatr Int Child Health. 2014;34: 250–265.
4. Wopereis H, Oozeer R, Knipping K, Belzer C, Knol J. The first thousand days
– intestinal microbiology of early life: establishing a symbiosis. Pediatr Allergy
Immunol. 2014;25:428-38.
5. Koletzko B, Brands B, Chourdakis M, Cramer S, Grote V,Hellmuth C, dkk. The
power of programming and the Early Nutrition Project: opportunities for health
promotion by nutri-tion during the first thousand days of life and beyond. Ann
Nutr Metab. 2014;64:187-96.
6. Vandenplas Y, Gutierrez-Castrellon P, Velasco-Benitez C,Palacios J, Jaen D,
Ribeiro H, dkk. Practical algorithms for managing common gastrointestinal
symptoms in infants. Nutrition.2013;29:184-94.
7. Misselhorn A, Hendriks SL. A systematic review of subnational food insecurity
research in South Africa: missed opportunities for policy insights. PLoS One.
2017;12: e0182399.
8. Dewey KG, Adu-Afarwuah S. Systematic review of the efficacy and effectiveness
of complementary feeding interventions in developing countries. Matern Child
Nutr. 2008;4: 24–85.
6 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Penanganan Pertama pada Perdarahan
Saluran Cerna pada Anak
Fatima Safira Alatas
P
erdarahan saluran cerna merupakan suatu kondisi yang tidak sedikit
ditemui pada anak dan memiliki manifestasi yang sangat beragam.
Meskipun jarang, perdarahan saluran cerna masif pada anak dapat
berakibat fatal dan berujung pada kematian apabila tidak ditangani dengan
tepat. Angka insiden perdarahan saluran cerna sendiri diperkirakan sebesar
6.4%, dengan angka mortalitas sebesar 3.5-14%.1-3 Berdasarkan lokasinya,
perdarahan saluran cerna atas diketahui memiliki insidensi 3 kali lipat
lebih tinggi jika dibandingkan dengan pendarahan saluran cerna bawah.2
Tingginya angka kematian anak akibat perdarahan saluran cerna menjadi
landasan pentingnya penguasaan tatalaksana perdarahan saluran cerna
khususnya pada populasi pediatri. Untuk itu, makalah ini akan membahas
secara mendalam terkait penanganan pertama perdarahan saluran cerna
pada anak.
Diagnosis
Pendekatan Diagnosis Perdarahan Saluran Cerna pada Anak
Pendekatan diagnosis perdarahan saluran cerna pada anak didahului
7
dengan mengonfirmasi apakah benar gejala yang dialami oleh pasien
merupakan perdarahan saluran cerna atau akibat hal lain, seperti konsumsi
buah naga merah. Langkah selanjutnya adalah menentukan ada tidaknya
kegawatdaruratan pada pasien akibat perdarahan saluran cerna. Setelah
seluruh kondisi kegawatdaruratan pada pasien telah diatasi, baru kemudian
dapat dicari sumber perdarahan saluran cerna serta menegakkan diagnosis
dan diagnosis banding. Alur pendekatan diagnosis perdarahan saluran
cerna dapat dilihat pada Gambar 1. Pada kasus perdarahan saluran cerna
pada anak, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang untuk membantu mencari penyebab perdarahan dan menegakkan
diagnosis.1, 4
Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan mengenai berbagai kondisi yang dapat
menyerupai perdarahan saluran cerna seperti konsumsi makanan tertentu
(buah naga merah, beet, pewarna merah, karbon aktif, zat besi) atau adanya
perdarahan pada saluran nafas yang tertelan. Setelah menyingkirkan berbagai
kondisi yang menyerupai perdarahan saluran cerna, kemudian perlu digali
mengenai frekuensi dan jumlah perdarahan serta apakah perdarahan sedang
berlangsung atau tidak agar dapat mengestimasi volume darah yang telah
hilang. Selain itu, perlu juga ditanyakan mengenai kondisi pasien yang
mengarah ke tanda kegawatdaruratan seperti pucat, akral dingin, letargi atau
penurunan kesadaran. Anamnesis juga dapat memberi petunjuk mengenai
lokasi perdarahan. Perdarahan pada saluran cerna bagian atas gejala yang
umumnya muncul yaitu hematemesis dan melena. Namun pada perdarahan
dengan jumlah yang banyak pada saluran cerna bagian atas, bisa juga
ditemukan gejala hematochezia. Sedangkan pada perdarahan saluran cerna
bagian bawah, gejala yang muncul adalah hematochezia.4 Baik perdarahan
saluran cerna bagian atas maupun bawah, memiliki etiologi yang berbeda-
8 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
beda menurut usia sehingga diperlukan diagnosis banding yang berbeda
pula (Tabel 1).3
Pemeriksaan penunjang
Salah satu pemeriksaan penunjang yang penting dilakukan untuk kasus
perdarahan saluran cerna adalah pemeriksaan darah tepi lengkap. Pada
pemeriksaan ini didapatkan nilai hemoglobin dan hematokrit yang dapat
menggambarkan seberapa banyak volume darah yang telah hilang serta
menentukan kebutuhan transfusi darah. Selanjutnya nilai trombosit serta
prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (APTT)
juga dapat digunakan untuk menyingkirkan penyebab perdarahan akibat
kelainan sistemik. Selain itu, keadaan trombositopenia juga dapat ditemukan
pada kondisi sepsis, infeksi virus, immune thrombocytopenic purpura
(ITP), hipersplenisme dan enterokolitis nekrotikans. Disamping darah
perifer lengkap, perlu juga dilakukan pemeriksaan fungsi hati terutama
apabila terdapat tanda sirosis pada pemeriksaan fisik. Peningkatan kadar
transaminase, penurunan kadar albumin dan pemanjangan waktu PT dan
APTT merupakan suatu pertanda sirosis hati yang dapat menyebabkan
hipertensi porta dan pecahnya varises esofagus. Selain itu, pemeriksaan
kadar urea dan kreatinin serum juga dapat membantu menentukan apakah
perdarahan terjadi pada saluran cerna bagian atas atau bawah. Perbandingan
peningkatan kadar blood urea nitrogen (BUN) dengan kadar kreatinin ≥30
merupakan suatu pertanda perdarahan saluran cerna bagian atas dengan
sensitivitas sebesar 98% dan spesifisitas sebesar 69%.1, 4, 5
10 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Pada kasus perdarahan saluran cerna, umumnya pemeriksaan
radiologi tidak dapat memberikan banyak manfaat jika dibandingkan
dengan pemeriksaan endoskopi. Namun, pada beberapa kasus tertentu
seperti enterokolitis nekrotikans, pemeriksaan foto polos abdomen dapat
memberikan gambaran dilatasi usus dan pneumatosis intestinalis.6
Pemeriksaan endoskopi merupakan pemeriksaan terbaik yang dapat
digunakan untuk mencari sumber perdarahan sekaligus menentukan etiologi
penyebab perdarahan saluran cerna.4 Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat
memberikan gambaran mukosa usus dengan jelas serta dapat digunakan
sebagai tindakan terapeutik seperti ligasi, skleroterapi, ekstraksi polip dan
lainnya.1, 4
12 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
portal dan menurunkan frekuensi perdarahan varises, namun studi terhadap
efektivitas serta keamanan penggunaannya pada anak masih perlu diteliti
lebih lanjut.3 Pedoman pemberian pengobatan farmakologi pada anak
dengan perdarahan saluran cerna atas dapat dilihat pada Tabel 1.
Terapi Dosis
Proton Pump Inhibitor
Omeprazole Oral:
1 mg/kgBB/hari per oral (PO), dalam 1-2 dosis terbagi
Parenteral:
0.2 – 3.5 mg/kgBB/hari intravena (IV) 1 kali sehari
Antagonis Reseptor H2
Ranitidin Oral:
2-4 mg/kgBB/hari, diberikan dua kali sehari
Parenteral:
2-4 mg/kgBB/hari, dalam dosis terbagi per 6-8 jam
Agen Vasoaktif
Octreotide 1 µg/kgBB bolus IV, dilanjutkan dengan 1- 2 µg/kg/jam infus
NSBB
Propanolol 0.5 – 2 mg/kgBB/hari dalam 2-4 dosis terbagi, dengan target penurunan
denyut jantung sebanyak 25% dari nilai awal
Adhesive protection
Sucralfate 40 – 80 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis terbagi (dosis maksimum 1000 mg/
dosis dalam 4 dosis terbagi)
14 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Tatalaksana perdarahan saluran cerna bawah
Berbeda dengan pengobatan pada perdarahan saluran cerna atas, perdarahan
pada saluran cerna bawah lebih jarang menyebabkan perdarahan hebat
seperti pada perdarahan saluran cerna. Terapi pada perdarahan saluran
cerna bawah biasanya diberikan berdasarkan etiologi terjadinya perdarahan
(Tabel 2).
Etiologi Terapi
Kolitis Infektif
• Campylobacter dan Yersinia, E. coli, Antibiotik spesifik sesuai guideline
Salmonella, Shigella
• Clostridium difficile Metronidazol, oral vancomycin
• Giardia lamblia Metronidazol
• Amebiasis Metronidazol
Necrotizing enterocolitis (NEC) Antibiotik, apabila diperlukan operasi
Fisura Ani Modifikasi diet, pelunak feses, toilet training, gel
anestesi lokal
Hemoroid Ligasi, injeksi sklerosan, operasi
Polip Polipektomi
Divertikulum Merkel Eksisi bedah
Intususepsi Reduksi radiologis atau operasi
Alergi Susu Sapi Menghentikan konsumsi susu sapi dan penggantian
susu
Penyakit Hirschsprung dengan Antibiotik dan operasi
enterokolitis
Henoch Schönlein purpura Terapi suportif, steroid
Inflammatory Bowel Disease (IBD) Steroid dan imunosupresan
Hiperplasia limfonoduler Terapi suportif
Malformasi arteriovenosa Endoskopi / terapi angiografi, operasi
1. Tanda colitis – Analisa feses dan Penekan asam lambung (antagonis reseptor
kultur H2 atau PPI)
2. Curiga NEC, obstruksi, atau
intususepsi – Radiologi dan USG Pemasangan pipa nasogaster untuk
abdomen menyingkirkan Perdarahan saluran cerna atas
3. Perdarahan berulang dan
persisten – pertimbangkan Transfusi darah / FF plasma – jika terindikasi
Sigmoidoskopi / kolonoskopi
Pemantauan tanda vital secara berkala
Proktosigmoidoskopi
Sumber perdarahan
tidak ditemukan
Sumber Perdarahan
ditemukan
CT-scan
Tc 99m RBC scan
Tatalaksana sesuai kondisi
Sumber Angiografi
Perdarahan Enteroskopi
ditemukan
Sumber perdarahan
tidak ditemukan
Enteroskopi intraoperatif
Kesimpulan
Perdarahan saluran cerna pada anak dapat bermanifestasi dalam bentuk yang
beragam. Tingginya angka mortalitas menunjukkan pentingnya penguasaan
tatalaksana perdarahan saluran cerna. Pendekatan penanganan yang cepat
dan akurat dalam penanganan perdarahan saluran cerna dapat dilakukan
dengan mengkonfirmasi terjadinya perdarahan, mengatasi kegawatdaruratan
hemodinamik, menentukan lokasi perdarahan serta menetapkan diagnosis
penyebab perdarahan.
Daftar pustaka
1. Kadim M. Gastroinstestinal Bleeding in Pediatrics. Archives of Pediatric
Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition. 2022;1(2):28-36.
2. Novak I, Bass LM. Gastrointestinal Bleeding in Children: Current Management,
Controversies, and Advances. Gastrointest Endosc Clin N Am. 2023;33(2):401-
21.
3. Romano C, Oliva S, Martellossi S, Miele E, Arrigo S, Graziani MG, et al. Pediatric
gastrointestinal bleeding: Perspectives from the Italian Society of Pediatric
Gastroenterology. World J Gastroenterol. 2017;23(8):1328-37.
4. Owensby S, Taylor K, Wilkins T. Diagnosis and management of upper
gastrointestinal bleeding in children. J Am Board Fam Med. 2015;28(1):134-45.
16 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
5. Witting MD, Magder L, Heins AE, Mattu A, Granja CA, Baumgarten M.
ED predictors of upper gastrointestinal tract bleeding in patients without
hematemesis. The American journal of emergency medicine. 2006;24(3):280-5.
6. Tierradentro-Garcia LO, Freeman CW, Vuma M, Didier RA, Kaplan SL, Sze R,
et al. Neonatal gastrointestinal emergencies: a radiological review. Archives de
Pédiatrie. 2022;29(3):159-70.
7. Sur LM, Armat I, Sur G, Tisa IB, Bordea MA, Lupan I, et al. Practical Aspects
of Upper Gastrointestinal Bleeding in Children. J Clin Med. 2023;12(8).
8. Pai AK, Fox VL. Gastrointestinal Bleeding and Management. Pediatr Clin North
Am. 2017;64(3):543-61.
9. Davis AL, Carcillo JA, Aneja RK, Deymann AJ, Lin JC, Nguyen TC, et al.
American College of Critical Care Medicine Clinical Practice Parameters for
Hemodynamic Support of Pediatric and Neonatal Septic Shock. Crit Care Med.
2017;45(6):1061-93.
10. Singhi S, Jain P, Jayashree M, Lal S. Approach to a child with upper gastrointestinal
bleeding. Indian J Pediatr. 2013;80(4):326-33.
11. Boyle JT. Gastrointestinal bleeding in infants and children. Pediatr Rev.
2008;29(2):39-52.
12. Balachandran B, Singhi S. Emergency management of lower gastrointestinal
bleed in children. Indian J Pediatr. 2013;80(3):219-25.
13. Sahn B, Bitton S. Lower Gastrointestinal Bleeding in Children. Gastrointest
Endosc Clin N Am. 2016;26(1):75-98.
W
orld Health Organization (WHO) memperkirakan 22,3% atau
148,1 juta anak di bawah 5 tahun mengalami stunting pada
tahun 2022. Wilayah Asia memiliki angka stunting tertinggi yaitu
sebanyak 79 juta anak (52,9%), terutama di Asia Tenggara (54,3 juta anak),
diikuti oleh Afrika 61,4 juta anak (41,1%) dan Amerika Latin 5,8 juta anak
(3,8%).1 Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan
prevalensi baduta dan balita dengan status pendek dan sangat pendek di
Indonesia mengalami penurunan dibandingkan Riskesdas sebelumnya.2
Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 di 34 provinsi menunjukkan angka
stunting nasional juga menurun dibandingkan tahun 2019.3 Pemerintah
menargetkan penurunkan angka stunting pada anak di bawah usia sebesar
14% pada tahun 2024.4
Etiologi stunting beraneka ragam, namun secara garis besar dapat
disebabkan karena asupan kalori yang tidak adekuat, absorsi yang tidak
adekuat dan peningkatan metabolism. Penyebab asupan kalori tidak adekuat
antara lain gastroesofageal refluks, pasokan ASI tidak adekuat atau perlekatan
tidak efektif, penyiapan susu formula yang salah, gangguan mekanik dalam
menyusu (misal celah bibir/ langit-langit), penelantaran atau kekerasan anak
dan kebiasaan makan yang buruk. Selanjut penyebab absorsi yang tidak
adekuat adalah anemia, defisiensi beli, atresia bilier, penyakit celiac, gangguan
gastrointestinal kronis (misal irritable bowel syndrome), infeksi, fibrosis kistik,
kelainan metabolisme bawaan, alergi susu sapi, kolestasis, dan penyakit hati.
Sedangkan penyebab stunting akibat peningkatan metabolism antara lain-
Infeksi kronik (HIV-AIDS, tuberkulosis), kelainan jantung bawaan, penyakit
paru kronik (pada bayi dengan riwayat prematur), keganasan, gagal ginjal,
hipertiroid dan kondisi inflamasi (misal asma, inflammatory bowel disease).5
Dampak stunting
Secara umum stunting dapat berdampak negatif bagi tumbuh kembang
anak, dampak ini dapat terjadi dalam waktu dekat atau di masa depan.
Dalam jangka pendek stunting dapat menyebabkan pertumbuhan anak
18
terhambat, pertumbuhan otak terganggu, gangguan kognitif dan motorik
anak, gangguan metabolisme, dan ukuran fisik tubuh anak tidak berkembang
optimal sesuai usianya. Sedangkan akibat jangka panjang, stunting dapat
menyebabkan kapasitas intelektual anak yang berdampak pada menurunnya
konsentrasi belajar dan kesulitan memahami materi yang disampaikan di
sekolah, sehingga dapat mempengaruhi prestasi dan produktivitas belajar
saat dewasa, menurunnya imunitas/kekebalan tubuh, dan risiko mengalami
penyakit degeneratif.6
WEIGHT FALTERING
DEFINISI
Weight faltering lebih menggambarkan pola penurunan berat badan
dibandingkan sebagai diagnosis. Kondisi ini untuk melukiskan varian
normal pada anak-anak yang mempunyai masalah serius dalam kenaikan
berat badan. Dalam praktik klinis weight faltering direkognisi sebagai berat
badan yang memotong 2 persentil mayor di bawahnya.7
DETEKSI
Weight faltering dikonfirmasi melalui pengukuran yang akurat dan
interpretasi dari hasil pengukuran tersebut. Penting untuk dicatat bahwa
identifikasi weight faltering bergantung pada pengukuran pertumbuhan
yang akurat, diambil dari waktu ke waktu, bukan hanya satu kali pengukuran
saja.
20 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Weight faltering biasanya terdeteksi karena adanya kekhawatiran dari
orangtua maupun anggota keluarga lainnya mengenai pertumbuhan anak.
Biasanya, orangtua akan mengatakan bahwa anaknya lebih kecil atau lebih
pendek dari teman-teman seusianya. Selain itu, weight faltering juga dapat
ditemukan saat kunjungan berkala oleh tenaga kesehatan. Weight faltering
juga dapat dilihat di layanan kesehatan primer saat pemeriksaan fisik
walaupun keluhan utama pasien bukan mengenai pertumbuhan pasien.
Mengingat hal tersebut, merupakan hal yang penting untuk mengukur berat
badan dan tinggi badan secara akurat, serta menge-plot secara tepat. Tidak
hanya pengukuran saat itu, pengukuran sebelumnya juga penting untuk
identifikasi weight faltering.7,9
1. Penyakit Organik
Dua studi berbasis populasi di Inggris menemukan penyakit organik
yang substansial hanya pada 5-10% anak dengan pertambahan berat
badan yang lambat. Pada beberapa anak bisa saja tanpa gejala, sehingga
diagnosis yang menjadi penyebab weight faltering sulit ditegakkan.
Beberapa penyakit organik yang dapat menjadi penyebab weight faltering
antara lain leukemia, defisiensi besi, gagal ginjal, ketidakseimbangan
elektrolit, gangguan tiroid, TB paru, dan infeksi saluran kemih.10
22 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
B. Pencegahan stunting
Pencegahan stunting di fasilitas kesehatan primer merupakan pencegahan
sekunder yang dilakukan oleh dokter di fasilitas kesehatan tingkat
primer. Tugas dokter di fasilitas kesehatan primer adalah memastikan
(mengonfirmasi) hasil pengukuran antropometrik sebelumnya dilakukan
oleh kader di posyandu. Disamping itu dokter pelayanan primer juga
melakukan identifikasi apa yang merupakan penyebab potensial terjadinya
stunting.
Bila ditemukan anak yang mempunyai berat badan kurang/rendah ,
weight faltering atau gizi kurang namun dari pemeriksaan antropometri tidak
mengalami stunting (PB/U atau TB/U ≥-2 SD), maka pada anak seperti ini
dapat diberikan nutrisi yang tergolong Pangan untuk Keperluan Diet Khusus
(PDK) sesuai indikasi. Dapat pula dikombinasi atau diberikan pangan padat
energi yang mempunyai komposisi gizi yang memenuhi persyaratan PDK
dan terbukti secara ilmiah. Tujuan pemberian pangan di atas adalah dalam
rangka mengoreksi gangguan gizi yang terjadi sedini mungkin sehingga
gangguan gizi tidak berlanjut menjadi gangguan gizi berat yang dapat
berdampak terjadinya stunting. Di dalam PDK ini terdapat kelompok pangan
olahan yang disebut dengan Pangan Olahan untuk Keperluan Gizi Khusus
(PKGK). Formula yang termasuk kelompok ini adalah susu formula standar
untuk bayi usia 0-12 bulan dan susu pertumbuhan untuk anak usia 1-3 tahun.
Perlu diperhatikan bahwa pemberian PDK ini harus dengan resep dokter
dan penggunaannya di bawah pengawasan dokter di FKTP.7
Seperti diketahui kebutuhan energi pada anak-anak dengan gizi kurang
meningkat sesuai dengan laju pertambahan berat badan selama masa kejar
tumbuh (catch-up growth). Dengan demikian harus dipastikan asupan
nutrisi (nutrition intake) minimal mengandung 30% lemak dan 10-15%
protein. Disamping itu 4.5% dari total kebutuhan energi anak gizi kurang
harus mengandung n-6 polyunsaturated fatty acids (PUFAs) dan 0.5% dari
n-3 PUFAs, dengan rasio asam linoleic/alpha-linolenic berkisar antara 5-15.
Untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab stunting perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang dasar seperti pemeriksaan darah rutin, urinalisis,
feses rutin dan uji Mantoux untuk mengelaborasi kemungkinan infeksi
tuberkulosis. Jika teridentifikasi ada penyebab medis atau komplikasi yang
mendasari misalnya penyakit maka perlu dilakukan rujukan ke FKRTL
setelah dilakukan edukasi kepada keluarga tentang penilaian pertumbuhan
anak dan alasan mengapa anak harus dirujuk.
Mengingat FKTP juga melakukan pelayanan kesehatan maka
pencegahan stunting juga dilakukan dengan mengidentifikasi sedini
mungkin terjadinya weight faltering dengan secara berkala memantau
parameter pertumbuhan utama anak yaitu berat badan, panjang badan/
tinggi badan, dan lingkaran kepala. Namun, oleh karena parameter pertama
Penilaian klinis
Dokter yang bekerja di FKTP diharapkan dapat menegakkan diagnosis
penyebab weight faltering dengan akurat melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Diagnosis yang akurat akan menentukan pilihan tata laksana tepat
untuk pasien. Anamnesis pasien meliputi status nutrisi, tanda-tanda anemia,
serta diikuti dengan pemeriksaan sistematis menyeluruh, terutama untuk
mencari tanda kelainan di sistem gastrointestinal, respirasi, kardiovaskular,
dan endokrin.
Dalam anamnesis pasien, harus diperhatikan usia pasien dan tipe
makanan atau diet yang saat itu sedang dikonsumsi. Untuk bayi yang masih
minum ASI eksklusif, riwayat makannya akan fokus pada frekuensi menyusui
dalam sehari, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sekali menyusui,
dan apakah ada susu formula yang dikonsumsi anak. Tidak hanya itu, gejala
gastrointestinal, seperti refluks dan kembung juga harus ditanyakan untuk
anak usia tersebut.11
24 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Tabel 2. Faktor risiko neurotoksisitas akibat hiperbilirubinemia.17
Faktor risiko
Usia gestasi <38 minggu dan risiko meningkat sejalan dengan derajat prematuritas
Albumin <3 g/dL
Penyakit hemolitik atau defisiensi G6PD
Sepsis
Instabilitas yang signifikan dalam 24 jam terakhir
Ringkasan
Stunting merupakan masalah kesehatan nasional yang dapat berdampak
jangka pendek dan jangka panjang terhadap pertumbuhan anak. Koreksi
stunting mempunyai prognosis paling baik bila dilakukan sebelum anak
berusia 2 tahun. Mengingat tata laksana stunting tidak selalu berhasil
mengoreksi tinggi badan anak sesuai potensi tinggi genetiknya, maka upaya
pencegahan menjadi aspek yang sangat penting. Upaya pencegahan stunting
di FKTP meliputi deteksi dini stunting dengan merekognisi adanya weight
faltering dan melakukan koreksi weight faltering menggunakan Pangan
olahan untuk Keperluan Diet Khusus(PDK) dan atau Pangan olahan untuk
Keperluan Gizi khusus (PKGK). Untuk mengidentifikasi weight faltering
sedini mungkin berat badan anak harus ditimbang secara berkala yang
kekerapannya berdasarkan pada panduan yang berlaku.
Daftar pustaka
1. UNICEF/WHO/World Bank Group – Joint Child Malnutrition Estimates 2023
edition
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar tahun 2018.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Studi Status Gizi Indonesia Tingkat
Nasional,Propinsi dan Kabupaten/Kota Tahun 2021.
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 72 Tahun 2021 Tentang Perecepatan
Penurunan Stunting.
5. WHO. Childhood Stunting: Context, Causes and Consequences, 2013.
6. Soliman A , De Sanctis V , Alaaraj N , Ahmed S , Alyafei F , Hamed N , Soliman
N. Early and Long-term Consequences of Nutritional Stunting: From Childhood
to Adulthood. Acta Biomed 2021;92:1-11.
26 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Waspada Kegawatdaruratan Saluran Cerna
dari Pencitraan
Evita karianni Bermanshah Ifran
K
egawatdaruratan saluran cerna pada anak dapat bermanifestasi
sebagai gejala abdomen akut. Adanya muntah bilious (berwarna
hijau) atau non-bilious pada minggu pertama kehidupan neonatus
perlu dicurigai terdapat obstruksi pada saluran cerna atas. Penting
ditanyakan warna muntah, karena dari warna muntah dapat diperkirakan
lokasi obstruksi berada di atas ampulla vater, muntah yang terjadi akan non-
bilous; atau obstruksi berada di bawah ampulla vater, muntah akan bilious
atau berwarna hijau, karena bercampur dengan cairan empedu. Apabila
obstruksi terletak di saluran cerna bawah gejala yang timbul dapat berupa
terlambat keluarnya mekonium, kembung, atau ganguan defekasi. Bila telah
berlangsung lama gejala tersebut dapat disertai dengan muntah.
Pada neonatus khsusunya bayi prematur, sering terjadi muntah yang
disebabkan gastroesofageal refluks (GER) akibat masih lemahnya katup
esofagus distal, atau timbul muntah sebagai salah satu gejala alergi susu sapi.
Keadaan ini tidak memerlukan tindakan bedah. Selain itu mekonium yang
terlambat keluar dapat menyebabkan gejala kembung akibat mekonium
plak, yang juga tidak memerlukan tindakan bedah. Keadaan tersebut
harus ditentukan apakah merupakan kasus medis yang hanya memerlukan
pengobatan medikamentosa atau merupakan kasus bedah yang memerlukan
tindakan operasi segera.
Penyebab bedah gangguan saluran cerna akut pada neonatus dapat
disebabkan obstruksi saluran cerna atas, seperti atresia esofagus, atresia/
stenosis duodeni, volvulus lambung, malrotasi usus, atau disebabkan
obstruksi saluran cerna bawah, seperti atresia ileum, mikrokolon, penyakit
Hirschsprung. Pada anak kurang dari 2 tahun penyebab tersering adalah
intususepsi, stenosis pilorik hipertropi, hernia inkarserata, malrotasi dan
midgut volvulus. Apendisitis kadang dapat terjadi pada kelompok usia ini.
Beberapa keadaan lain juga dapat menimbukan gejala abdomen akut (tabel
1).
Pada anak lebih besar, abdomen akut biasanya datang dengan keluhan
nyeri perut, dan merupakan keluhan yang menyebabkan orangtua membawa
anaknya ke doker. Diferensial diagnosis nyeri perut akut pada anak
27
tergantung usianya. Perlu dilakukan anamnesis yang lengkap, pemeriksaan
fisis yang detail, demikina pula pemeriksaan pencitraan abdomen untuk
mempersempit dianosisn diferensial agar diagnosis dapat sagera ditegakkan
dan tindakan dilakukan pada waktunya.(tabel 2)1
Nyeri perut akut dapat disebabkan oleh kasus bedah atau non-bedah.
Nyeri perut akut umumnya ringan dan akan menghilang sendiri. Pada
kasus non-bedah biasanya disebabkan diare, konstipasi atau infeksi virus.
Walaupun demikian, nyeri perut akut dalam jumlah kecil dapat disebabkan
kelainan yang memerlukan tindakan bedah segera dan dapat mengancam
jiwa. Sayangnya, pada fase awal sering kali gejalanya masih ringan dan
tidak spesifik. Diperlukan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik yang
cermat. Adanya muntah bilious mengarah pada obstruksi saluran cerna
atas, adanya current jelly stool mengarah pada kelainan pada saluran cerna
bawah, dikenal dengan intususepsi.2
28 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Merupakan tantangan bagi dokter untuk dapat mengidentifikasi kasus
mana yang memerlukan tindakan badah dan berpotensi menyebabkan
kematian bila tidak segera ditangani dengan tepat pada waktunya. Berbeda
dengan dewasa, pada anak, khususnya anak kecil atau bayi, merupakan
dilema, karena sering anak belum dapat menjelaskan dengan baik nyeri perut
yang dirasakannya. Diperlukan anamnesis yang lengkap, pemeriksaan fisik
yang teliti, kadang diperlukan pemeriksaan darah, untuk dapat menentukan
apakah nyeri perut pada anak tersebut merupakan kasus non-bedah
atau bedah, yang memerlukan operasi segera. Penyebab nyeri perut akut
bergantung dari usia anak dan gejala klinisnya. Pada kelompok ini anamnesis
sangat berperan. Antara lain menanyakan kapan timbulnya gejala, sudah
berapa lama gejala tersebut timbul, keadaan apa yang menimbulkannya,
adakah muntah, atau didahului dengan keluhan kembung, konstipasi, atau
diare, adakah darah pada feses. dan apakah disertai demam. 1,2
Pada anak yang lebih besar dapat ditanyakan dimana lokasi
nyerinya di perut. Bila mungkin anak diminta menunjukkan lokasinya
sendiri, nyeri menetap atau berpindah tempat. Bagaima sifat nyeri
itu, apakah seperti menusuk-nusuk, nyeri tumpul, kolik. Berapa berat
nyeri yang dirasakannya. Apakah nyeri timbul pertama kali atau sudah
pernah terjadi sebelumnga. Timbul mendadak atau bergelombang.
Apakah disertai gejala lain selain nyeri perut seperti muntah, diare
atau konstipasi, atau terdapat riwayat trauma sebelumnya.
Modalitas pencitraan
Pemeriksaan pencitran berperan dalam menegakkan diagnosis kelainan
pada kegawatdarautan. Tujuan pemeriksaan pencitraan adalah untuk
mempersempit diagnsosis banding. Menentukan apakah merupakan kasus
bedah atau non-bedah.
Pemeriksaan pencitran merupakan penunjang diagnostik yang tidak
dapat terpisah dari masalah pada saluran cerna. Ada beberapa pemeriksaan
pencitran yang dapat dilakukan untuk membantu menyingkirkan atau
mengakkan diagnosis kelainan pada saluran cerna. Pemeriksaan pencitraan
yang dapat digunakan :
3. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) tidak melibatkan radiasi pengion dan, tidak seperti
pencitraan magnetic resonance imaging (MRI), harganya relatif murah,
tersedia secara luas, dan tidak memerlukan sedasi. Keuntungan utama lain
dari USG dalam pencitraan perut adalah memungkinkan penilaian dinamis
peristaltik usus dan kompresibilitas.
Pemeriksaan USG belakangan ini sering dilakukan menggantikan
pemeriksaan khusus dengan zat kontras. Perlu diingat bila pada USG tidak
ditemukan kelainan, namun bila secara klinis anak tidak membaik, terdapat
dugaan kuat adanya obstruksi saluran cerna, anak tetap muntah, dan berat
badan tidak naik, pemeriksaan khusus dengan zat kontras harus dilakukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Hajalioghli dkk. (2020)4 menunjukkan pada
kecurigaan adanya obstruksi saluran cerna,penggunaan kombinasi foto
polos abdomen dan ultrasonografi meningkatkan sensitivitas dan negative
predicvtive value diagnostik. Sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value
dan negative predictive value pada foto abdomen masing-masing 87,5%, 75%,
30 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
94,6% dan 54,6%, bila dengan USG masing-masing 95%, 100%, 100%, and
80%. Bila kombinasi foto abdomen dan USG menjadi 97.5%, 100%, 100%
and 88.9%.. Dengan meningkatnya pengalaman ultrasonografi, semakin
membaiknya resolusi gambar alat USG, modalitas ini harus dipertimbangkan
sebagai prosedur samping tempat tidur pertama ketika mencurigai adanya
obstruksi saluran cerna bagian atas, dan kemudian dikonfirmasi dengan
radiogram.
Gambar 1. Atresia Esofagus (AE) tanpa dan dengan fistel: Tipe A (8-9%) AE sejati tanpa fistel proksimal
maupun distal, Tipe B (2%): AE dengan fistel dari kantung esofagus proksimal ke trakea, Tipe C (82-86 %): AE
dengan fistel dari trakea ke bagian esofagus distal. Tipe D (2%): AE dengan fistel dari bagian proksimal dan
distal esofagus ke trakea, Tipe E (6%): Fistula esofagus ke trakea tanpa adanya AE.5,6
32 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
2. Volvulus lambung
Neonatus dengan gejala muntah pada hari-hari pertama kehidupan harus
dicurigai terdapat obstruksi saluran cerna bagian atas. Bila muntahnya non-
bilious, diperkirakan obstruksi pada jalan keluar lambung (gastric outlet)
atau onbstruksi terletak di atas ampulla vater. Bila muntahnya bilious ,
obstrujsi tarletak di bawah amputa vater.
Neonatus dengan muntah non-bilious dapat disebabkan volvulus
lambung, yaitu terpuntirnya lambung. Biasanya, lambung relatif terfiksasi
di rongga peritoneum pada persimpangan esofagogastrik, dengan empat
ligamen tambahan: (1) gastrohepatik, (2) gastrosplenik, (3) gastrokolik, dan
(4) gastrofrenia. Pada volvulus terjadi rotasi lambung lebih dari 180 derajat,
bila mengikuti sumbu panjang lambung disebut volvulus organoaksial, bila
mengikuti sumbu melintang disebut volvulus mesenteroaksial. (Gambar
2). Volvulus dapat menyertai malrotasi midgut dan dapat juga ditemukan
pada anak (didapat).
Gambar 2. A. Volvulus organo-aksial, lambung berputar pada sumbu panjang, B. Volvulus mesenteroaksial,
lambung berputar pada sumbu yang tegak lurus dengan sumbu panjang.7
34 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Gambar 3A. Skema gambaran SPH yang dilihat dengan fluoroskopi. B. USG potongan longitudinal terlihat
otot pilorus yang tebal (5,4 mm) dengan panjang pilorus kanal 18,6 mm sesuai dengan SPH.
T
AA y
p
B
Gambar 4. Foto abdomen AP: A. Lambung (L) dan duodenum (D) yang melebar terlihat sebagai double
bubble.Tidak tampak gambaran udara usus di distal duodenum menunjukkan adanya obstruksi total pada
atresia duodenum. B. Juga terlihat dua buah bubble yang merupakan gambaran lambung (L) dan duodenum
(D) yang melebar, masih terlihatnya gambaran udara usus di distalnya (panah) menunjukkan obstruksi
incomplete (parsial).
36 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
y Pemeriksaan Khusus: Pada obstruksi total saluran cerna atas, diagnosis
dapat ditegakkan cukup dengan melihat gambaran pada foto polos
abdomen. Tidak diperlukan pemeriksaan khusus fluoroskopi dengan
kontras atau pencitraan lebih lanjut, kecuali pada atresia ileum. Pada
kecurigaan atresia ileum perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan khusus
fluoroskopi enema dengan zat kontras untuk konfirmasi dan melihat
kondisi kolon apakah terdapat mikrokolon/disused colon atau kelainan
lain.
Kanan Kanan
a b
Gambar 5. a. Letak arteri mesenterika superior (AMS) normalnya berada di sisi kiri abdomen dan vena
mesenterika superior (VMS )di didi kanan abdomen. b. AMS berada di sisi kanan abdomen sedangkan VMS
berada di sisi kiri, mencurigakan terdapat malrotasi midgut. Gambaran ini dapat dijumpai pada malrotasi
midgut.
38 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
y CT Scan Abdomen: Penting untuk memahami gambaran karakteristik
malrotasi dengan obstruksi usus pada pemeriksaan CT scan.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tidak adanya sepertiga bagian
retroperitoneal dari duodenum mungkin merupakan temuan pencitraan
yang paling spesifik dan sensitif untuk malrotasi pada CT, sedangkan
temuan pencitraan lain yang umum dijelaskan, seperti hubungan
abnormal antara vena mesenterika superior dan arteri atau gambaran
wheerpool, kurang dapat diandalkan.3
6. Penyakir Hirschsprung
Penyakit Hirschsprung (PH) atau dikenal juga sebagai congenital aganglionic
megacolon adalah kelainan bawaan yang ditandai dengan tidak adanya
sel ganglion pada pleksus Meissner (submukosa) dan pleksus Auerbach
(muscularis) rektum terminal yang memanjang dalam jarak yang bervariasi
secara proksimal. Berdasarkan panjangnya kolon yang agangglion dibagi
atas long segment dan short segment (80%).
R S
Gambar 6. Foto emnema tengan kontras. Rasio rektum dan sigmoid. A. Normal. Kaliber rektum lebih besar
Gambar 6. Foto emnema tengan kontras. Rasio rektum dan sigmoid. A. Normal.
sigmoid. B. Rektum lebih kecil dari sigmoid dengan rasio <1. Sesuai dengan penyakit Hirschsprung.
Kaliber rektum lebih besar sigmoid. B. Rektum lebih kecil dari sigmoid dengan rasio
<1. Sesuai dengan penyakit Hirschsprung.
• Hirschprung,
y Pada pemeriksaan
yaitu long segment danfluoroskopi
short segment.yang
Pada perlu diperhatikan
pemeriksaan adalah
dengan kontras kaliber
enema
terlihat zona kolon sertabagian
transisi antara perubahan
kolon yangrasio rekto-sigmoid.
aganglion Dengan
(kaliber lebih kecil) denganpemberian
bagian
proksimalnyakontras
yang lebihdapat dilihat 3adanya
besar. Terdapat perubahan
bentuk zona transisi: ( a kaliber kolon
) mendadak dari
(kaliber dari rektum
ke
kolon
proksimalnya. Normalnya rektum yang merupakan reservoir memiliki
anganglion dengan kolon normal terlihat medadak jauh berbeda, (perubahan terjadi mendadak).(
kaliber yang lebih besar dari sigmoid. Bila ditemukan rasio rektum dan
b ) berbentuk kerucut, dan ( c ) berbentuk corong.
sigmoid terbalik,atau adanya zona transisi kolon bagian distal yang
• Pada
kecil dengan bagian proksimal yang melebar kemungkinan penyakit
Hirschsprung sangat besar (Gambar 6). Daerah perubahan kaliber kolon
ini disebut zona transisi yang perdu diketahui untuk menentukan tipe
penyakit Hirschsprung dan sejauh mana tindakan bedah harus dilakukan,
Bila gambaran zona transisi tidak terlihat jelas, sebaiknya dilakukan
biopsi. Alernatif lain, bila dugaan kuat penyakit Hirschsprung namun
gambaran zona transisi pada enema belum terlihat jelas, pemeriksaan
dapat diulang kembali 1 bulan kemudian. Biasanya akan memberikan
gambaran yang lebih jelas.
7. Atresia Ani
Anus imperforata atau atresia ani adalah malformasi anorektal (MAR)
kongenital di mana tidak ada lubang anus pada saat bayi lahir. Malformasi
anorektal terdiri dari berbagai kelainan mulai dari malformasi ringan
(misalnya tertutup membran) hingga malformasi kloaka kompleks yang
juga melibatkan saluran kemih dan genital. Malformasi anorektal sering
dijumpai pada neonatus.21 Bila tidak ditemukan anus, perlu dilihat apakah
terdapat fistel dan lokasinya. Perhatikan letak fistel dengan melihat darimana
keluarnya mekonium, apakah melalui saluran kemih/urine menjadi kotor,
melalui vagina, atau perineal, apakah terdapat kloaka. Penjelasdan keadan
ini diperlukan untuk menentukan tatalaksana bedah malformasi anorektal
sesuai kelainan yang ditemukan.21-22
40 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Pemeriksaan Pencitraan dan Gambaram yang Terlihat:
y Foto Polos Abdomen AP: pemeriksaan foto polos abdomen AP pada
kecurigaan atresia ani bertujuan untuk melihat gambaran usus secara
keseluruhan dan melihat beratnya gambaran obstruksi usus. Pada atresia
ani tanpa fistel akan terlihat dilatasi usus yang semakin lama semakin
hebat, sedangkan bila atresia ani tanpa fistel, biasanya dilatssi tidak terlalu
hebat, atau bahkan gambaran usus terlihat normal, karena udara usus
masih dapat keluar melalui fistel.
y Foto Posisi Knee Chest: Bayi diposisikan seperti bersujud dan
pengambilan gambar dari samping. Tujuannya untuk melihat jarak antara
udara usus terendah dengan marker (lokasi anal dimpel). Pengambilan
foto posisi ini dilakukan setelah bayi berusia > 12-18 jam, agar udara usus
normalnya sudah mencapai rektum, sehingga pengukuan jarak udara
terendah di rektum terhadap anal dimpel tidak salah. Bila jarak antara
udara rektum terendah dengan marker pada anal dimpel menunjukkan >
2 cm, maka atresia ani dikatakan letak tinggi, bila terletak < 2cm, maka
• dikatakan atresia ani letak rendah (gambar 7)
Gambar 7.A. Foto diambil saat bayi berusia 8 jam. Jarak dari marker (diletakkan pada anal dimpel) ke udara
Gambar 7.A. Foto diambil saat bayi berusia 8 jam. Jarak dari marker (diletakkan pada anal
usus terendah > 2 cm. B. Foto diambil kembali saat bayi berusia 18 jam. Tampak jarak marker ke udara rektum
dimpel) ke udara usus terendah > 2 cm.terendah B. Foto diambil kembali saat bayi berusia 18 jam.
< 2 cm.
Tampak jarak marker ke udara rektum terendah < 2 cm.
1. Intususepsi
Intususepsi adalah suatu kondisi serius di mana bagian usus masuk ke bagian
usus yang berdekatan. Tindakan teleskopik ini sering kali menghalangi
makanan atau cairan untuk lewat. Intususepsi juga memutus suplai darah
ke bagian usus yang terkena. Hal ini dapat menyebabkan infeksi, kematian
jaringan usus, atau robekan pada usus yang disebut perforasi. Ada beberapa
tipe, yaitu ilreokolika, kolo-kolika dan ileo-kolo-kolika.5 Tersering adalah
42 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
intususepsi pada masa kanak-kanak bersifat idiopatik, tanpa kelainan
anatomi kecuali jaringan limfoid yang mengalami hipertrofi. Hanya
5% pasien yang memiliki massa di bawahnya (misalnya divertikulum
Meckel, kista duplikasi, polip, atau tumor) yang menjadi titik awal
terjadinya intususepsi.23 Pilihan pengobatan awal untuk intususepsi
adalah reduksi non-bedah dengan enema udara atau hidrostatik. Bila
ditemukan lead point tindakan bedah merupakan pilihan. Bila aliran
darah usus menurun yang menunjukkan viabilitas usus menurun atau
menghilang artinya sudah terjadi nekrotik pada usus, maka merupakan
kontraindikasi melakukan pelepasan invaginasi dengean enema, karena
risiko perforasi pada usus yang sudah mengalami nekrotik tersebut.
Berdasarkan temuan tersebut pada USG dapat diputuskan apakah operasi
merupakan pilihan atau pelepasan invaginasi dapat dilakukan dengan
menggunakan barium enema.
y Pemeriksan CT abdomen dilakukan atas indikasi, pada kasus yang
meragukan, untuk mencari lead pont atau komplikasi yang terjadi.
2. Apendisitis
Apendisitis dapat terjadi pada semua kelompok umur tetapi insidennya lebih
tinggi pada anak-anak antara usia 5 dan 15 tahun. Secara umum disepakati
bahwa kondisi ini disebabkan oleh obstruksi lumen apendiks. Lumen yang
tersumbat menjadi melebar, tekanan pada dindingnya meningkat, dan
selanjutnya terjadi penurunan perfusi mural.
Gambaran klasiknya adalah timbulnya nyeri periumbilikal yang
berpindah ke kuadran kanan bawah (RLQ) pada titik McBurney selama 12-24
jam, disertai anoreksia, leukositosis, dan, seringkali demam ringan. Anak-
anak yang lebih kecil tidak dapat menggambarkan gejala yang mereka alami,
dan sepertiganya mempunyai temuan klinis apendisitis yang tidak lazim.
Apendisitis harus dicurigai pada setiap nyeri perut di abdomen kanan
bawah pada daerah McBurney, demam, dan jumlah sel leukosit yang tinggi.
Apendisitis akut mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan klinis awal pada
28% –57% anak berusia 12 tahun ke bawah dan pada hampir 100% anak
di bawah usia 2 tahun.27. Pemberian antibiotika akan meghilangkan gejala
apendisitis dan merancukan dalam membuat diagnosis. Pastikan dahulu
anak tidak menderita apendisitis sebelum memberikan antibiotika agar
tidak menutupi gejala dan menyulitkan menegakkan diagnosis. Tindakan
bedah yang tertunda akan menyebabkan kematian.
44 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
bawah, serta kemungkinan adanya periapendiseal abses.3 CT scan secara
dramatis telah meningkatkan kemampuan untuk mendeteksi radang usus
buntu dan komplikasinya. Hal ini telah meningkatkan hasil pada pasien
dan mengurangi jumlah operasi yang tidak diperlukan. Namun, perannya
sebagai alat diagnostik masih belum jelas, dan masih banyak pertanyaan
penting yang belum terjawab yang memerlukasn penelitian lebih lanjut.27
3. Penutup
y Pengetahuan gejala klinis serta kelainan fisik yang ditemukan merupakan
dasar dalam menentukan penyebab nyeri perut atau adanya obstruksi
pada saluran cerna yang dapat merpakan kegawat daruratan pada anak
y Foto polos abdomen tetap mash merupakan pilihan pertama pada kasus
kecurigaan adanya obstruksi usus pada neonatus
y Usia saat pengambilan foto dan posisi foto akan mempengaruhi penilaian
foto polos abdomen pada obstruksi saluran cerna
y Dengan semakin berkambangnya alat ultrasonografi yang memberikan
resolusi gambar yang lebih baik, lebih tersedia, penggunaannya pada
kasus obstruksi saluran cerna semakin meningkat dan merupakan pilihan
pertama pada anak dengan keluhan nyeri perut
y Perlu ditingkatkan kemampuan diagnostik USG untuk mendeteksi
adanya beberapa kasus obstruksi saluran cerna, khusunya pada anak,
agar tidak memberikan radiasi yang besar seperti pada pemeriksaan
dengan fluoroskopi, lebih cepat, disamping biaya yang lebih murah dan
sarana yang lebih tersedia.
y Pemeriksaan khusus fluoroskopi dengan zat kontras diperlukan pada
dugaan kuat adanya obstruksi usus, namun tidak terlihat pada pemriksaan
dengan USG, berujuan mengkonfirmasi dan mencari penyebab lainnya.
y Pemeeriksaan CT scan dan MRI hanya dilakukan atas indikasi kuat
kelainan pada saluran cerna, untuk mencari luasnya serta komplikasi yang
terjadi, Walaupun kedua pemeriksaan canggih ini dapat memberikan
gambaran yang lebih detail, namun CT scan memberikan radiasi yang
sangat besar pada anak, sedangkan MRI tidak praktis dalam penggunaaan
sehari-hari disamping mahal juga memerlukan sedasi.
Daftar pustaka
1. Yang WC, Chen CY, Wu HP. Etiology of non-traumatic acute abdomen in
pediatric emergency departments. World J Clin Cases. 2013 Dec;1(9):276-84.
https://doi.org/10.12998/wjcc.v1.i9.276
3. Kuppermann N, O’Dea T, Pinckney L, Hoecker C. Predictors of intussusception
in young children. Arch Pediatr Adolesc Med. 2000;154(3):250-5. PMID:
10710022
46 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
20. Nguyen HN, Kulkarni M, Jose J, et al. Ultrasound for the diagnosis of malrotation
and volvulus in children and adolescents: a systematic review and meta-analysis.
Arch Dis Child. 2021; 106:1171-8
21. Gans SL. Classification of anorectal anomalies: a critical analysis. J Pediatr Surg
1970; 5:511–22. Singh M, Mehra K. Imperforate Anus. [Updated 2022 Sep 8].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK549784/
23. Cogley JR, O’Connor SC, Houshyar R, Dulaimy KA. Emergent pediatric US:
what every radiologist should know. Radiographics 2012;32(3):651-5. PMID:
22582352
24. Kimia AA , Peter N Hadar 2, Scotty Williams 1, Assaf Landschaft 1, Michael
C Monuteaux 1, Richard G Bachur 1. Variation in the Presentation of
Intussusception by Age. Pediatr Emerg Care 2020;36(8):372-7. DOI: 10.1097/
PEC.0000000000002179
25. Hryhorczuk AL, Strouse PJ: Validation of US as a first-line diagnostic test for
assessment of pediatric ileocolic intussusception. Pediatr Radiol. 2009;39:1075-9
26. Bucher BT, Hall BL, Warner BW, et al: Intussusception in children: Cost-
effectiveness of ultrasound vs diagnostic contrast enema. J Pediatr Surg. 2011;
46:1099-105
27. Callahan, Michael J.; Rodriguez, Diana P.; Taylor, George A. (2002). CT of
Appendicitis in Children1. Radiology 2002: 224(2): 325–32. doi:10.1148/
radiol.2242010998.
S
akit perut atau nyeri abdomen akut pada anak sering dijumpai
dalam praktek sehari-hari, dengan jumlah kasus sekitar 9% pada
fasilitas kesehatan primer.1 Sakit perut akut pada anak sering menjadi
tantangan bagi dokter yang menanganinya, karena pasien datang mulai
dari keluhan ringan hingga adanya kegawatan. Walaupun hanya sedikit
persentasinya, yaitu sekitar 1%, kasus sakit perut akut memerlukan
intervensi medis dan tindakan bedah segera untuk mencegah terjadinya
disabilitas dan kematian. Namun, tantangan bagi dokter adalah untuk
mengidentifikasi anak-anak yang memiliki kondisi yang jarang terjadi dan
berpotensi mengancam jiwa yang memerlukan evaluasi dan pengobatan
segera, seperti apendisitis, intususepsi, volvulus, atau adhesi. Frekuensi
intervensi bedah pada pasien yang datang dengan nyeri abdomen akut adalah
sekitar 1%, tetapi kemungkinan mengabaikan etiologi organik yang serius
adalah perhatian utama bagi para dokter.1 Namun, dalam beberapa kasus,
anak-anak dengan konstipasi juga dapat mengalami nyeri perut akut yang
hebat dengan penyebab yang tidak terkait adanya kelainan organik.2 Pada
kebanyakan anak, rasa sakit adalah fungsional , yaitu tidak terdapat kelainan
patologis atau organik, seperti anatomi, metabolisme, infeksi, inflamasi atau
gangguan neoplastik yang mendasari. Karena itu pengambilan keputusan
medis berdasarkan riwayat penyakit yang komprehensif, pemeriksaan fisik
yang teliti, dan memperhatikan konteks dari rasa sakit secara tepat sangat
dibutuhkan.3
Patofisiologi
Nyeri abdominal akut dapat diklasifikasikan sebagai nyeri visceral,
somatoparietal, dan nyeri rujukan, tergantung pada jenis reseptor nyeri yang
terlibat. Sebagian besar nyeri perut terkait dengan reseptor nyeri visceral.
Reseptor nyeri visceral terletak pada permukaan serosa, di mesenterium,
dalam otot usus, dan mukosa organ berongga. Reseptor nyeri ini merespons
rangsangan mekanis dan kimia, seperti peregangan, ketegangan, dan iskemia.
Karena serat nyeri visceral tidak bermyelinasi (C-fiber) dan memasuki
sumsum tulang belakang secara bilateral pada beberapa tingkat, nyeri visceral
biasanya terasa tumpul, sulit dilokalisasi, dan dirasakan secara tersebar
di abdomen. Selain itu, ada tiga area nyeri luas dengan asosiasi anatomi.
48
Nyeri yang berasal dari struktur foregut (misalnya, bagian bawah esofagus,
lambung) terasa di daerah epigastrik, nyeri dari struktur midgut (misalnya,
usus kecil) terasa di daerah periumbilikal, dan nyeri dari struktur hindgut
(misalnya, kolon) terasa di bagian bawah perut.4
Reseptor nyeri somatoparietal terletak di peritoneum parietal, otot,
dan kulit. Nyeri umumnya disebabkan oleh peradangan, peregangan,
atau robekan peritoneum parietal, dengan rasa nyeri dikirimkan oleh
serat A-δ yang bermyelinasi ke ganglion akar saraf dorsal tertentu. Nyeri
somatoparietal ditandai oleh sensasi yang tajam, lebih intens, dan lebih
terlokalisasi. Gerakan dapat memperparah nyeri; oleh karena itu, anak akan
cenderung untuk mengurangi gerakan.4
Nyeri rujukan terlokalisasi dengan baik tetapi terasa di area jauh dari
dermatom kulit yang sama dengan organ yang terpengaruh. Ini disebabkan
oleh tingkat sumsum tulang belakang bersama untuk neuron afferen dari
situs yang berbeda. Sebagai contoh, kondisi inflamasi yang memengaruhi
diafragma dapat dirasakan sebagai nyeri di daerah bahu atau leher bagian
bawah.4
Etiologi
Berbagai kondisi bedah dan non-bedah dapat menyebabkan sakit perut akut
pada anak-anak. Penyebab sakit perut yang mengancam jiwa sering kali
Semua usia Usia 0-4 tahun Usia 5-11 tahun Usia 12-18 tahun
• Appendisitis • Penyakit • Migrain • Kehamilan ektopik
• Obstruksi usus Hirschsprung Abdomen • Nyeri fungsional
• Kekerasan terhadap • Kolik pada Bayi • Nyeri Fungsional • Penyakit radang
anak (Kolik Infantil) • Purpura Henoch- usus
• Konstipasi • Hernia Inguinal Schönlein • Sindrom usus
• Ketidakpatuhan • Intususepsi • Intususepsi iritabel
dalam pola makan • Intoleransi • Keracunan • Kondisi terkait
• Penyakit kantong Laktosa Timbal menstruasi
empedu • Keracunan • Mononukleosis • Mononukleosis
• Gastroenteritis Timbal • Volvulus • Infarktus omentum
• Sindrom uremia • Malrotasi Usus • Masalah kehamilan
hemolitik Tengah lainnya
• Adenitis mesenterik • Divertikulum • Torsi ovarium atau
• Pankreatitis Meckel testis
• Krisis sel sabit • Volvulus • Penyakit radang
• Trauma panggul
• Infeksi saluran • Infeksi menular
pernapasan atas seksual
• Infeksi saluran
kemih
50 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
2. Kolesistitis, Kolelitiasis, Koledokolitiasis
Ketiganya memiliki faktor predisposisi yang sama, yaitu nutrisi parenteral
total, gangguan hemolitik, infeksi sistemik, antibiotik tertentu, dan anomali
anatomi. Kolelitiasis pada anak memiliki komposisi yang mencakup
kolesterol, glikoprotein, dan garam kalsium. Manifestasi klinis pada anak
seringkali lebih tidak terlihat dibandingkan pada orang dewasa, dengan gejala
dan tanda kolesistitis yang tidak spesifik. Diagnosis melibatkan serangkaian
tes, termasuk hitung sel darah putih, penanda inflamasi, evaluasi fungsi hati,
dan analisis enzima. Ultrasonografi abdomen merupakan alat yang sangat
andal untuk mendiagnosis kolelitiasis, dan akan mendapatkan gambaran
bayangan batu empedu (gallstone shadow) yang khas. Penatalaksanaan
bergantung pada jenis dan severitas penyakit, mulai dari observasi dengan
perawatan simtomatik untuk neonatus, hingga kolesistektomi, terutama
penting untuk kondisi seperti siklemia dan sferositosis pada anak-anak yang
lebih besar. Pada kasus kolesistitis akut, rawat inap, puasa, pemberian cairan
intravena, manajemen nyeri, dan pemberian antibiotik pada beberapa kasus
sangat penting, dengan kolesistektomi laparoskopi dilakukan setelah stabil.
Kolesistisis membutuhkan penanganan medis segera. 8,9
3. Pankreatitis
Pankreatitis memiliki banyak etiologi, mencakup beberapa penyakit sistemik,
penyakit bilier, penggunaan beberapa obat-obatan, trauma, dan dugaan
infeksi. Patofisiologi pankreatitis melibatkan aktivasi sinyal kalsium dalam
sel acinar pankreas, yang menyebabkan konversi tripsinogen menjadi
tripsin aktif, memulai peradangan, edema, dan mengakibatkan kerusakan
seluler. Diagnosis bergantung pada evaluasi klinis, biokimia, dan pencitraan.
Gejala mungkin bersifat tidak terlihat dan bergantung pada usia; meskipun
nyeri epigastrik mendominasi, nyeri perut luas dapat muncul, terutama
pada anak-anak. Bayi dan anak-anak yang lebih kecil lebih sulit untuk
dapat mendeskripsikan lokasi sumber nyeri perut, akan tetapi mungkin
datang dengan keluhan demam dan rasa tegang pada perut. Ultrasonografi
umumnya digunakan sebagai pemeriksaan awal karena tersebar secara luas,
tidak menggunakan radiasi, dan kemampuannya untuk mengidentifikasi
batu. Namun, obesitas dan keberadaan gas pada usus dapat mengurangi
efektivitasnya. Computed Tomography (CT) mulai meningkat relevansinya
dalam evaluasi pankreatitis, karena dapat mengevaluasi komplikasi
seperti perdarahan, nekrosis, dan pembentukan pseudokista, adapun CT
umumnya dilakukan ketika dicurigai adanya komplikasi beberapa hari
setelah perawatan. Pengobatan meliputi manajemen nyeri, rehidrasi cairan,
dan nutrisi. Analgesik yang utamanya digunakan adalah morfin, walaupun
ada induksi spasme sfingter Oddi. Terapi cairan agresif, dengan pemberian
cairan rumatan 2 hingga 3 kali lipat dalam 24 jam pertama. Penggunaan
4. Trauma abdominal
Trauma abdominal dapat menyebabkan pendarahan atau robekan pada organ
padat, perforasi usus, iskemia organ dari cedera vaskular, dan hematoma
intramural. Trauma tumpul lebih banyak terjadi dibandingkan cedera
tembus. Mekanisme paling banyak dari terjadinya trauma kecelakaan, di
antaranya adalah akibat kendaraan bermotor, jatuh dari tempat tinggi, dan
kekerasan terhadap anak. Tatalaksana trauma abdomen sangat bervariatif
tergantung masing-masing kasus. Studi oleh Shimizu et al, misalkan
menemukan bahwa sebagian besar kasus cedera pada limpa dan liver dapat
ditatalaksana tanpa menggunakan operasi, sedangkan kasus cedera pancreas
dan usus halus lebih sering membutuhkan intervensi operatif.8,10,11
5. Obstruksi usus
Obstruksi usus dapat menyebabkan nyeri kram perut yang khas. Ciri
klinis ini biasanya dihubungkan dengan gangguan intra-abdominal serius
yang memerlukan diagnosis dan penatalaksanaan segera. Obstruksi usus,
di antaranya, dapat disebabkan oleh atau merupakan manifestasi dari
intususepsi, malrotasi dengan volvulus midgut, enterokolitis nekrotik, hernia
inguinal incarcerata, dan adhesi post-operasi. 8,12
6. Intususepsi
Intususepsi adalah perlipatan salah satu segmen usus dan menyusup ke
bagian usus yang lain, mengakibatkan obstruksi aliran darah, nyeri perut
berat, massa yang dapat dipalpasi, dan penampilan tinja khas (“currant
jelly stool”). Intususepsi umumnya muncul pada anak-anak berusia 6
hingga 36 bulan, biasanya di daerah ileum dan cecum. Intususepsi sering
kali disebabkan oleh infeksi virus pada plak Peyer yang dapat menjadi titik
awal terjadinya penyakit, namun kelainan lain seperti divertikulum Meckel,
polip, dan limfoma juga dapat menjadi titik awal, terutama di luar kisaran
usia biasa. 8
Kemajuan dalam radiologi, terutama melalui penggunaan ultrasonografi,
telah mengurangi kejadian gejala klasik. Spesifitas tinggi dan citra khas
berupa “target sign” membuat penggunaan ultrasonografi menjadi efektif
dan digunakan sebagi alat diagnostik utama. CT dan MRI dapat juga
digunakan, walaupun biasanya hanya pada kasus-kasus sulit. Intususepsi
52 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
usus halus yang asimtomatik cukup umum terjadi dan sering kali membaik
tanpa intervensi. 2,7
Penatalaksanaan non-bedah, menggunakan enema (kontras, saline,
atau udara) yang dikombinasikan dengan visualisasi (fluoroskopi atau
ultrasonografi), digunakan untuk mereduksi intususepsi. Enema saline
hangat dan ultrasonografi, tanpa radiasi ion, menawarkan visibilitas tinggi.
Pada pasien yang tidak stabil, penatalaksanaan dengan pembedahan
memiliki tingkat keberhasilan 80% dan risiko perforasi kurang dari 1%.8,13
7. Volvulus midgut
Volvulus Midgut adalah kegawatdaruratan pembedahan yang ditandai
dengan adanya torsio pada midgut (bagian tengah usus halus), menyebabkan
iskemia berat dan berisiko menimbulkan nekrosis. Intervensi harus
dilakukan secara cepat, seringkali dalam hitungan jam, terutama pada kasus
berat yang memerlukan reseksi usus halus yang luas, mulai dari sambungan
duodenojejunal hingga pertengahan kolon transversus, termasuk katup
ileosekal dan sekum. Hal ini dapat mengakibatkan sindrom usus pendek
ekstrem, mengganggu sirkulasi enterohepatik, yang kemungkinan dapat
menyebabkan ketergantungan terhadap nutrisi parenteral dan kemungkinan
transplantasi usus halus. Volvulus midgut seringkali terkait dengan malrotasi
usus, terjadi pada 45% kasus, di mana lipatan cecum di kuadran kanan atas
dapat menyebabkan obstruksi intermiten dan menimbulkan rasa nyeri.
Volvulus midgut juga dapat disebabkan oleh berbagai gangguan lain, meliputi
adhesi, pita pengikat usus lain (30% dari kasus), divertikulum Meckel, atau
secara idiopatik. Diagnosis membutuhkan kewaspadaan, dengan gejala-
gejala seperti muntah hijau, distensi perut yang bervariasi, dan nyeri perut
yang tidak konsisten. Pemeriksaan laboratorium nonspesifik. Pemeriksaan
diagnostik yang direkomendasikan adalah penggunaan CT kontras pada
system GI atas, dengan sensitivitas sebesar 96%, yang dapat mengungkapkan
malrotasi dan tanda khas “corkscrew” pada volvulus midgut. Ultrasonografi,
meskipun kurang konsisten, juga dapat mendeteksi volvulus midgut.
Tatalaksana dengan tindakan bedah korektif yang cepat, didahului dengan
rehidrasi cairan, pemasangan nasogastric tube, dan antibiotik spektrum
luas.8,14
8. Gastroenteritis
Gastroenteritis (GEA) akut ditandai dengan diare akut yang sering disertai
demam atau muntah. Infeksi Virus yang umumnya menyebabkan GEA,
di antaranya adalah rotavirus dan norovirus, dengan norovirus kini
mendominasi karena resistensinya terhadap disinfektan. Meskipun biasanya
dianggap self-limiting, GEA dapat menyebabkan pasien harus di rawat inap
9. Konstipasi
Konstipasi fungsional pada anak ditandai dengan konstipasi tanpa penyebab
organik. Pedoman Rome IV menyediakan kriteria diagnostik berdasarkan
usia, dengan penyebab organik biasanya diidentifikasi pada periode neonatal.
Berbagai faktor, seperti perubahan diet, masalah psikososial, obat-obatan,
maupun kondisi medis yang dapat menjadi dasar penyakit, seperti fibrosis
kistik, hiperkalsemia, dan intoleransi laktosa, dapat mempengaruhi severitas
konstipasi. Melakukan anamnesis yang komprehensif sangat penting dalam
kasus konstipasi, karena stres atau perubahan gaya hidup apa pun dapat
memicu konstipasi. Konstipasi pada anak-anak ditandai oleh setidaknya
dua dari beberapa karakteristik berikut: kurang dari tiga kali buang air besar
per minggu, inkontinensia feses, tinja besar yang dapat diraba di rektum
atau melalui dinding perut, sikap retentive (menahan defekasi dengan
mengontraksikan otot lantai pelvis), atau defekasi yang menyakitkan.
Pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan perut dan inspeksi daerah perianal
dan lumbosakral, bersama dengan pemeriksaan neurologis, mungkin
diperlukan. Biasanya, diagnosis konstipasi bersifat klinis, dengan tes radiologi
atau laboratorium jarang diperlukan. Pedoman Rome IV penting dalam
membantu menentukan arah diagnosis. Pengobatan melibatkan edukasi
pasien mengenai patofisiologi konstipasi dan inkontinensia feses, serta
modifikasi gaya hidup seperti diet tinggi serat dan peningkatan asupan air.
Disimpaksi direkomendasikan jika massa feses dapat diraba. Penggunaan
laksatif osmotik, seperti polietilen glikol, adalah pilihan utama untuk
disimpaksi kimiawi dan terapi rumatan. Jika tidak efektif, laksatif stimulan
seperti bisakodil atau senna dapat ditambahkan sebagai terapi lini kedua.
Laksatif harus terus digunakan selama setidaknya 2 bulan, dengan satu bulan
buang air besar normal sebelum penghentian. Manajemen jangka panjang
54 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
meliputi edukasi lanjutan, penyesuaian diet, dan modifikasi gaya hidup untuk
mencegah kekambuhan. 3,6
Gejala Tanda
■ Demam berulang atau tidak dapat dijelaskan ■ Pucat yang tidak dapat dijelaskan
■ Nyeri yang tidak terletak di daerah ■ Defans muskular (perut)
periumbilikal (sekitar pusar) ■ Pembengkakan abdomen (perut)
■ Nyeri malam dan terbangun di malam hari ■ Gangguan pertumbuhan
■ Kehilangan berat badan yang tidak disengaja ■ Kelambatan awal pubertas
■ Pertumbuhan yang lambat ■ Laju Endap Darah yang meningkat (ESR)
■ Nyeri sendi yang persisten ■ Luka di mulut
■ Darah dalam tinja ■ Clubbing (penebalan ujung jari)
■ Diare dan muntah yang berlanjut atau parah ■ Hipertensi/takikardia (denyut jantung cepat)
■ Riwayat keluarga penyakit radang usus/
penyakit seliak
■ Stres, kecemasan
Diagnosis
1. Anamnesis
Evaluasi awal harus difokuskan pada severitas penyakit dan potensi
kebutuhan pembedahan. Insiden kasus bedah pada anak dengan nyeri perut
akut di unit gawat darurat bervariasi dari 10% hingga 30%. Anamnesis
yang komprehensif melibatkan evaluasi penampilan anak, asupan makanan
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus lengkap dari kepala sampai ujung kaki walaupun
titik beratnya pada abdomen. Pemeriksaan tanda vital sangat perlu dilakukan.
Adanya demam mengindikasikan adanya infeksi atau inflamasi. Demam
tinggi disertai menggigil , tipikal adanya pielonefritis dan pneumonia.
Takikardi dan hipotensi, bisa karena hipovolemia. Hipertensi mungkin
dapat dihubungkan dengan Henoch-Schonlein purpura atau Hemolytic
uremic syndrome.
Perhatikan keadaan umum anak, posisi anak waktu berjalan, apakah
masih dapat berlompat- lompat atau berjalan sambil membungkuk. Waktu
anak tidur di meja periksa, apakah terbaring diam dan kesakitan bila diubah
posisinya, hal ini mungkin adalah tanda akut abdomen.
Pemeriksaan abdomen pada anak yang kesakitan dan menangis bisa
sulit dilakukan.. Pemeriksaan abdomen harus dilakukan pada posisi anak
yang santai. Meminta anak untuk menunjuk bagian abdomen yang paling
sakit, lalu menghindari area tersebut pada awalnya, juga dapat memudahkan
pemeriksaan. Pada inspeksi dilihat adakah asimetri perut, bentuk perut
( buncit, skapoid), gambaran usus. Palpasi lebih dalam dimulai di atas
SIAS diperlukan untuk mendeteksi pembesaran organ atau massa. Defans
muskuler pada palpasi dan perkusi yang menyebabkan nyeri lepas dapat
menjadi indikasi peritonitis.. Jika terdapat temuan dinding abdomen yang
kaku, defans muskular , nyeri tekan dan nyeri lepas dapat merupakan tanda
peritonitis.
56 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Auskultasi usus dapat membantu mengindentifikasi area yang sensitif.
Tidak adanya bising usus dapat menandakan ileus atau peritonitis, sementara
bunyi usus yang berlebih dapat menunjukkan obstruksi.6,13,14
Pemeriksaan rektal mungkin diperlukan untuk mengidentifikasi
abses panggul atau darah tersembunyi dalam tinja. Pemeriksaan panggul
diperlukan pada gadis remaja untuk mengevaluasi adanya kehamilan
dan potensi infeksi menular seksual; sementara anak laki-laki mungkin
memerlukan pemeriksaan alat kelamin eksternal.1,2,13 Pada pemeriksaan di
luar abdomen, dicari kemungkinan adanya hernia inginalis strangulata atau
inkarserata, pneumonia, ruam dikulit kaki dan bokong (Henoch Schonlein
purpura).1,2,13
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium preliminer untuk menilai nyeri perut pada anak
harus mencakup hitung darah lengkap, laju endapan eritrosit atau protein
C-reaktif, pengujian kehamilan jika relevan, dan urinalisis. Sampel urin yang
dikumpulkan harus sesuai dengan tata cara ekstraksi, karena hasil dipstick
positif untuk leukosit, esterase, dan nitrit menunjukkan kemungkinan
infeksi saluran kemih. Penyelidikan lain mungkin mencakup tes fungsi hati,
amilase, lipase, dan studi tinja untuk berbagai patogen. Kadar hemoglobin
yang rendah dapat menandakan kondisi seperti kehilangan darah atau
gangguan hematologi mendasar, seperti penyakit sel sabit. Keberadaan
leukositosis, terutama bila ditemukan bersamaan dengan adanya shift to the
left dan granulasi toksik dalam sediaan tepi, sangat menunjukkan infeksi
mendasar. Selain itu, urinalisis sangat berharga untuk mendeteksi kelainan
saluran kemih seperti infeksi atau keberadaan batu. 1,2,7
Risiko paparan radiasi adalah faktor yang penting untuk diperhatikan
pada radiografi, terutama pada anak-anak. CT Scan memaparkan anak pada
radiasi dengan jumlah yang signifikan, dengan potensi efek jangka panjang.
Ultrasonografi adalah metode pencitraan awal lebih direkomendasikan
karena efektivitas biaya dan tidak adanya risiko radiasi. Ultrasonografi
sangat banyak digunakan dalam berbagai macam kondisi, seperti penyakit
radang usus, Henoch-Schönlein Purpura, intususepsi, stenosis pilorus,
kolesistitis, pankreatitis, dan lainnya. Ultrasonografi adalah alat utama
untuk mengevaluasi apendisitis, baru setelahnya menggunakan CT Scans
atau MRI dalam kasus dengan temuan-temuan yang meragukan. Di unit
gawat darurat, ultrasonografi mungkin paling berguna dalam mendiagnosis
patologi ginekologis seperti kista ovarium, torsio ovarium, atau peradangan
periapendiksia lanjutan. Radiografi perut lebih mungkin memberikan
informasi diagnostik dalam kasus-kasus khusus, seperti riwayat bedah
perut atau tanda-tanda abdominal yang jelas. CT mungkin diperlukan
Tatalaksana
Tatalaksana nyeri perut akut membutuhkan evaluasi cepat, dengan
mengutamakan hidrasi dan pengendalian nyeri. Opioid dapat diberikan
untuk pasien dengan nyeri berat tanpa mengurangi akurasi diagnostik.
Konsultasi bedah mendesak sebaiknya dilakukan secepat mungkin sambil
menunggu hasil diagnostik. Untuk kasus yang tidak memiliki penyebab
bedah akut yang teridentifikasi, pemeriksaan ulang dalam 24 hingga 48
jam direkomendasikan, karena hingga 30% anak-anak masih mungkin
mengalami perubahan diagnosis. Apendisitis adalah salah satu kecurigaan
terbesar, terutama selama masa remaja, dan penggunaan skor seperti Skor
Apendisitis Pediatrik dan skor Alvarado dapat digunakan untuk membantu
evaluasi pasien. Perbedaan diagnosis mungkin dialami bayi dan balita
yang berbeda seperti invaginasi dan kelainan kongenital, sementara remaja
mungkin mengalami patologi terkait gonad atau ginekologik seperti torsio
ovarium atau kehamilan ektopik. 1,7,15-16
Penutup
Sakit perut akut adalah keluhan umum pada anak-anak, dan dapat
disebabkan oleh berbagai kondisi bedah dan non-bedah yang mendasarinya.
Kondisi non-bedah yang paling umum adalah konstipasi, gastroenteritis,
sedangkan kondisi bedah yang paling umum adalah apendisitis. Sakit
perut pada anak bervariasi berdasarkan usia, gejala yang terkait, dan lokasi
nyeri. Meskipun sakit perut akut biasanya bersifat jinak dan bersifat swa-
batas, terdapat kondisi yang jarang tapi mengancam jiwa yang memerlukan
perawatan segera. Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk
menentukan penyebab sakit perut akut dan mengidentifikasi anak-anak
dengan kondisi bedah seperti apendisitis.
Daftar pustaka
1. Reust CE. Acute Abdominal Pain in Children. 2016;93(10).
2. Montgomery DF, Hormann MD. Acute abdominal pain: a challenge for the
practitioner. J Pediatr Health Care. 1998;12(3):157-159
3. Raymond M, Marsicovetere P, DeShaney K. Diagnosing and managing acute
abdominal pain in children. 2022;35(1).
4. Kim JS. Acute Abdominal Pain in Children. Pediatr Gastroenterol Hepatol Nutr.
2013;16(4):219.
58 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
5. Bundy DG, Byerley JS, Liles EA, Perrin EM, Katznelson J, Rice HE. Does this
child have appendicitis? JAMA. 2007; 298(4):438-451.
6. Toorenvliet B, Vellekoop A, Bakker R, et al. Clinical differentiation between acute
appendicitis and acute mesenteric lymphadenitis in children. Eur J Pediatr Surg.
2011; 21(2):120-123
7. Leung AKC. Acute Abdominal Pain in Children. 2003;67(11).
8. P Blackwood B, Grabowski J. Chronic cholecystitis in the pediatric population:
an underappreciated disease process. Gastroenterol Hepatol Bed Bench. 2017
Spring;10(2):125-130. PMID: 28702136; PMCID: PMC5495900.
9. Baker RD. Acute Abdominal Pain. Pediatrics In Review. 2018 Mar 1;39(3):130–9.
10. Shimizu T, Umemura T, Fujiwara N, Nakama T. Review of pediatric abdominal
trauma: operative and non-operative treatment in combined adult and pediatric
trauma center. Acute Med Surg. 2019 Apr 7;6(4):358-364. doi: 10.1002/ams2.421.
PMID: 31592319; PMCID: PMC6773634.
11. Notrica, D. M., Eubanks, J. W., Tuggle, D. W., Maxson, R. T., Letton, R. W., Garcia,
N. M., et al. (2015). Nonoperative management of blunt liver and spleen injury
in children. Journal of Trauma and Acute Care Surgery, 79(4), 683–693
12. Carty HM. Paediatric emergencies: non-traumatic abdominal emergencies. Eur
Radiol 2002;12:2835-48.
13. Millar AJ, Rode H, Cywes S. Malrotation and volvulus in infancy and childhood.
Semin Pediatr Surg. 2003 Nov;12(4):229-36.
14. Lucassen P. Colic in infants. BMJ Clin Evid. 2015 Aug 11;2015:0309. PMID:
26581647; PMCID: PMC4531337.
15. Kim JS. Acute Abdominal Pain in Children. Pediatr Gastroenterol Hepatol Nutr.
2013;16(4):219.
16. Sharwood LN, Babl FE. The efficacy and effect of opioid analgesia in
undifferentiated abdominal pain in children: a review of four studies. Paediatr
Anaesth. 2009;19(5): 445-451.
B
erat badan (BB) tidak naik merupakan suatu keadaan yang sering
ditemukan pada anak karena berbagai sebab dan bisa menyebabkan
pertumbuhannya terganggu. Penyebab terbanyak BB tidak naik
adalah asupan kalori yang kurang,1 asupan makanan tidak cukup (akibat
pengetahuan pemberi makanan kurang),2 infeksi kronis (penyakit TBC/
HIV),3 gangguan mengunyah dan kelainan di mulut,4 kelainan medis seperti
palsi serebral palsi atau kelainan oromotor,4 kelainan gastroenterologi seperti
Gastroesophageal reflux disease (GERD)5 atau malabsorbsi, 6 konstipasi,7 sukar
menelan,4 kelainan pancreas,8 kelainan pencernaan (penyakit Crohn/celiac),9
kelainan metabolik,8 kelainan hormon tiroid,/paratiroid,8 kelainan jantung/
ginjal (sindrom nefrotik,9 kelainan ginjal kronik atau masalah genetik.9
Dalam makalah ini hanya akan membahas topik mengenai penyakit
gastroenterologi yang sering menjadi penyebab BB tidak naik seperti GERD,
malabsorbsi usus dan konstipasi kronis
60
makan akibat gejala2 GERD atau kompilkasi yang terjadi.11
Diagnosis
Cara diagnosis yang termasuk baku emas adalah dengan pemeriksaan
pH metri12, tapi bisa dibantu dengan pemeriksaan Barium meal atau
gastroskopi.13
Tata laksana
Bila GER fisiologis tidak perlu pengobatan tetapi kalau mulai ditemukan
gejala GER yang patologis (GERD) seperti muntah sering yang terjadi
diluar waktu makan maka perlu diberikan pengobatan dengan Proton pump
inhibitor ( PPI),13 atau prokinetik seperti domperidone atau cisapride.14
Komplikasi
Komplikasi yang sering ditemukan adalah esofagitis, striktur esofagus/ Barret
dan yang berat bisa sampai keganasan di esophagus. 15
Malabsorbsi
Yang dimaksud dengan malabsorbsi adalah keadaan yang menyebabkan
usus halus sukar untuk mencerna dan menyerap zat gizi yang ada dalam
makanan sehingga tubuh kita akan kekurangan asupan gizi dan berat
badannya tidak naik.16
Malabsorbsi bisa dibedakan atas malabsorbsi makronutrien ( protein,
karbohidrat dan lemak) dan malabsorbsi mikronutrien (vitamin dan
mineral) atau gabungan keduanya.17
Malabsorbsi protein
Malabsorbsi protein terjadi karena mukosa usus kekurangan enzim protease
yang dipakai untuk mencerna protein. Bisa juga BB tidak naik karena asupan
yang kurang terutama terjadi akibat asupan golongan asam amino esensial
yang kurang.18
Gejala yang ditemukan biasanya berupa berat badan tidak naik, kaki
bengkak akibat hipoalbuminemia dan kulit kering. Pada keadaan berat
tampak gambaran kwashiorkor: perut membuncit karena asites dan kaki
edema17
Malabsorbsi Karbohidrat
Malabsorbsi karbohidrat terjadi akibat asupan karbohidrat yang kurang
Malabsorbsi lemak
Malabsorbsi lemak terjadi akibat kita kekurangan enzim lipase yang
diproduksi di pankreas dan di mukosa usus halus.6
Gejalanya adalah BAB tampak berminyak, bau menyengat dan agak
lembek.2.
Faktor risiko
Faktor risiko terjadinya malabsorbsi termasuk konsumsi pencahar yang
berlebihan, riwayat malabsorbsi dalam keluarga, dan pasca operasi usus
halus.23
Diagnosis
Diagnosis malabsorbsi bisa diketahui dengan melakukan pemeriksaan darah
kadar vitamin B12 vitamin D, asam folat, zat besi, kalsium, karoten, fosfor,
albumin, protein, elektrolit, dan tes tinja untuk mencari malabsorbsi lemak,
karbohidrat atau protein.24
62 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Uji hidrogen napas dilakukan pada pasien yang diduga menderita
intoleransi laktosa.24
Tatalaksana malabsorbsi
Pertama yang dilakukan adalah mengatasi kegawatannya kalau ada seperti
diare, lemas, dehidrasi. Selanjutnya adalah mengatasi penyakit dasar,
baru kemudian dilakukan rancangan diet yang sesuai dengan keadaan
penyakitnya.
Suplementasi enzim bisa membantu mukosa usus mendigesti dan
menabsorbsi makanan. Selain itu, perlu diberi suplemen vitamin karena
absorbsi vitamin juga berkurang.24
Perubahan diet. Biasanya jangan makan yang bisa menimbulkan
diare. Pada intoleransi laktosa bisa diberi enzim laktase atau pemberian
susu rendah laktosa.24
Pada kelainan hati seperti sirosis hati diberikan multivitamin A, D,E,
K dan makanan tinggi protein.25
Pada yang pola makannya salah bisa dilakukan perubahan pola makan
bertahap untuk mengurangi gejala dan mengembalikan kemampuan mukosa
usus sebagai organ utama yang fungsinya sebagai tempat absorbsi zat gizi.
Konstipasi
Konstipasi pada anak termasuk penyakit gastroenterologi yang sering
ditemukan. Penyakit ini merupakan 25% dari pasien Poliklinik
Gastroenterologi.7
Yang dimaksud dengan konstipasi adalah BAB dengan frekuensi 2 kali
perminggu atau kurang yang berlangsung paling sedikit 2 minggu.7 Gejala
yang ditemukan adalah bab jarang, volumenya besar dan konsistesinya keras,
rasa sakit saat Bab, kembung dan nafsu makan berkurang.7 Pada penderita
konstipasi bisa disertai bab encer akibat pembusukan feses yang keras di
dalam kolon yang disebut soiling.27
Penyebab konstipasi 95% fungsional antara lain diet rendah serat,
dehidrasi, asupan makanan yg kurang dan sering menahan BAB, sedangkan
yang 5% organik.7
Tatalaksana konstipasi
Pada pasien konstipasi perlu diberi edukasi yang adekuat dan dosis pencahar
yang cukup agar tidak terjadi konstipasi berulang atau konstipasi kronis.
Selain itu juga perlu juga dicari penyebab konstipasinya seperti diet rendah
serat, kegagalan toilet training atau trauma saat BAB.
Pencahar yang sering dipakai pada konstipasi adalah macrogol dan
lactulose,29 selain itu juga bisa diberikan sinbiotik. 29
Penutup
Berat badan tidak naik dari aspek gastroentrologi merupakan gejala yang
perlu diwaspadai terutama kalau penyebabnya tidak jelas dan kronis sehingga
sering luput dari perhatian. Penyebab tersering adalah GERD, malabsorbsi
dan konstipasi.
Pada GERD, pasien sering menolak makan karena sudah mulai muncul
gejala esofagitis sedangkan pada malaborbsi, pasien mengeluh makan
banyak, BAB banyak tetapi berat badan tidak naik.
Pada konstipasi, bab keras dan tertumpuk di kolon yang mengakibatkan
BB anak tidak naik karena nafsu makannya juga menurun.
Daftar pustaka
1. Danaei G, Andrews KG, Sudfeld CR, Fink G, McCoy DC, Peet E, et al. Risk
factors for childhood stunting in 137 developing countries: a comparative
risk assessment analysis at global, regional, and country levels. PLoS Med.
2016;13(11):e1002164.
2. Attia S, Feenstra M, Swain N, Cuesta M, Bandsma RHJ. Starved guts: morphologic
and functional intestinal changes in malnutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2017; 65(5): 491–5.
3. Penda CI, Maukoo ECE, Nolla NP, Eundi NOA, Ndombo PK. Malnutrition
among HIV infected children under 5 years of age at the Laquintinie Hospital,
Doula, Cameroon. Pan Afr J 2018; 30 (1): 91-8.
4. Johnson A, Gambrah-Sampaney C, Khurana E, Baier J, Baranov E, Manokwane
B, et al. Risk factors for malnutrition among children with Cerebral Palsy in
Botswana. Ped Neur.2017;70:50-5.
5. Clarret DM, Haschem C. Gastroesophageal reflux disease. J Miss Med Ass 2018;
115 (3): 214-8.
64 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
6. Babonji MS, Asiri LS, Alamri SM , Ajwa GI, Alsoliman RK, Ismail LN, et al.
Common malabsorption syndromes in different pediatrics age. Int J Community
Med Public Health. 2021 Jun;8(6):3146-50.
7. Tran DJ, Sintusek P. Functional constipation in children: what physcians should
know. World J. Gastroenetrol. 2023; 29 (8): 1261-88.
8. Othman MO, Harb D, Barkin JA. Introduction and practical approach to exocrine
pancreatic insufficiency for the practicing clinician. Int J Clin Pract. 2018;72(2):
30-5
9. Dispasqualle V, Cucinata L, romano C. Acute malnutrition in children:
pathophysiology, clinical effects and treatment. Nutrients 2020; 12(8): 2413-18
10. Rosen R, Vandenplas Y, Singendonk M, et al: Pediatric Gastroesophageal Reflux
Clinical Practice Guidelines: Joint Recommendations of the North American
Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition and the
European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition. J
Pediatr Gastroenterol Nutr 2018; 66(3): 516-554.
11. Khan S, Matta SKR. Gastroesophageal reflux disease. In: Kliegman RM, St.
Geme JW, Blum NJ, Shah SS, Tasker RC, Wilson KM, eds. Nelson Textbook of
Pediatrics. 21st ed. Philadelphia, PA: Elsevier; 2020:chap 349.
12. Vandenplas Y. Gastroesophageal reflux. In: Wyllie R, Hyams JS, Kay M,
eds. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. 6th ed. Philadelphia, PA:
Elsevier; 2021:chap 21.
13. Richards MK, Goldin AB. Neonatal gastroesophageal reflux. In: Gleason CA, Juul
SE, eds. Avery’s Diseases of the Newborn. 10th ed. Philadelphia, PA: Elsevier;
2018:chap 74.
14. Tillman EM, Smetana KS, Bantu L, Buckley MG: Pharmacologic Treatment
for Pediatric Gastroparesis: A Review of the Literature. J Pediatr Pharmacol
Ther 2016; 21(2):120-32.
15. Berg EA, Khlevner J. Treatment of Gastroesophageal reflux in children. Pediatr
Rev 2021; 42(1): 51-3
16. Babonji MS, Asiri LS, Alamri SM , Ajwa GI, Alsoliman RK, Ismail LN, et al.
Common malabsorption syndromes in different pediatrics age. Int J Community
Med Public Health. 2021 Jun;8(6):3146-50.
17. Clark R, Johnson R. Malabsorption Syndromes. Nurs Clin North Am. 2018
Sep;53(3):361-374.
18. El Baba M. Approach to a child with malabsorption. Textbook of Clinical
Pediatrics Editors, ElZuki AY, Harfi HA, Nazer HM, Stapleton FB, Oh W, Whitley
RJ pp 1823-28
19. Canani RB, Pezzela V, Amoroso a, Cozzolino t, Di Scala c, Pasariello A. Diagnosing
and treating intolerance to carbohydrate in children. Nutrients 2016;8(3): 157-67
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4808885/
20. Martini L, Pecoraro, L, Salvottini C, Piacentini G, Atkinson R, Pietrobelli A.
Appro[riate and appropriate vitamin supplementation in children. J. Nutr Sci
2020; 9: e20-35
21. Saboor M, Zehra A, Qamar K, Maiuddin: Disorders associated with
malabsorption of iron: Amalabsoption critical review; Pak J med sci 2015;31(6):
1549-53.
66 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Mengenal Obstruksi Saluran Cerna
pada Anak
Alexandra
S
aluran Pencernaan adalah salah satu sistem dalam tubuh manusia.
Anatomi dan ukuran saluran pencernaan pada anak dan dewasa
tentunya berbeda. Pasase yang lancar dari saluran Cerna akan
membantu anak untuk tumbuh dan berkembang karena penyerapan
makan berjalan lancar. Obstruksi atau sumbatan pada Saluran Cerna dapat
merupakan kejadian yang serius bahkan bisa mengancam kehidupan.
Obstruksi saluran cerna dapat muncul di segala usia. Bisa saat
usia neonatus, balita , bahkan usia remaja. Tentunya dengan gejala dan
karakteristik yang berbeda. Pada usia neonatus lebih banyak karena kelainan
kongenital , sedangkan pada anak usia diluar neonatus bisa disebabkan oleh
penyebab kelainan bawaan ataupun didapat. Contoh : Hirschsprung disease
yang gejala nya baru muncul di usia > 1 bulan.
Gejala pada anak/pasien dengan obstruksi saluran cerna paling sering
adalah muntah, nyeri perut, distensi abdomen, kadang disertai dengan
demam, sesak nafas. Gejala yang muncul disetiap kelompok usia kadang
berbeda.
Muntah
Muntah adalah kondisi ketika isi lambung keluar secara paksa melalui mulut.
Berbeda dari regurgitasi atau keluarnya isi lambung tanpa kontraksi, muntah
disertai kontraksi pada lambung dan otot perut. Muntah sendiri bukan suatu
67
penyakit, melainkan gejala. Dengan melihat pola muntah, isi dan warna dari
muntahan tersebut kita bisa memperkirakan lokasi sumbatan tersebut.
Bila muntah proyektil, maka lokasi sumbatan didaerah Pylorus.
Bila muntah keluar banyak tapi tidak menyemprot, kemungkinan lokasi
sumbatan lebih distal dari Pylorus
Warna muntahan bisa juga memperirakan lokasi obstruksi nya. Bila
berwarna kuning atau jernih, kemungkinan sumbatannya didaerah Pylorus
atau gastric outlet. Bila muntahan berwarna hijau, maka sumbatanya
kemungkinan didaerah duodenum. Bila berwarna menyerupai feces maka
obstruksi diperkirakan daerah usus halus atau lebih rendah.
Nyeri perut
Nyeri perut (nyeri adomen/abdominal pain) merupakan sensasi tidak
nyaman yang dirasakan pada area dibawah tepi tulang rusuk/iga (right and
left costal margin) sampai sekitar lipat paha (inguinal fold). Secara skematis
kadang daerah perut dibagi menjadi 4 bagian dengan pusatnya adalah
umbilikus. Nyeri pada 4 daerah tersebut bisa memperkirakan organ apa
yang mengalami masalah. Kanan atas daerah hepatobilier dan duodenum,
kiri atas daerah lambung dan pancreas, kanan bawah daerah Appendix dan
Caecum, kiri bawah daerah Colon Sygmoid. Sedangkan bila mengeluh nyeri
daerah sekitar pusar lebih ke organ usus halus.
Nyeri perut bisa berupa kolik ataupun terus menerus. Kolik abdomen
timbul biasanya berhubungan oragan yang ber peristaltik, seperti usus ,
sedangkan nyeri yang terus menerus berhubungan dengan infeksi ataupun
terhjadinya perforasi pada organ saluran cerna. Nyeri yang dirasakan pada
68 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
keadaan obstruksi saluran cerna lebih bersifat kolik yang berhubungan
dengan peristaltik usus
Distensi abdomen
Distensi abdomen terjadi ketika isi dari saluran cerna, seperti udara (gas) atau
cairan, menumpuk di dalam usus yang disebabkan tidak bisa mengalir ke
distal sehingga menyebabkan penumpukan atau melebarnya organ tersebut.
Ini biasanya merupakan gejala dari penyakit yang mendasari atau disfungsi
atau gangguan pasase saluran cerna dalam tubuh. Pasien dengan kondisi ini
sering menggambarkannya sebagai “merasa kembung”. Orang yang terkena
sering mengalami sensasi kenyang, tekanan perut yang lebih tinggi, dan
kadang-kadang mual, nyeri, atau kram. Dalam kasus yang paling ekstrim,
tekanan ke atas pada diafragma dan paru-paru juga dapat menyebabkan
sesak napas. Melalui berbagai penyebab, kembung paling sering disebabkan
oleh penumpukan gas di perut, usus kecil, atau usus besar. Sensasi tekanan
sering terasa lega, atau setidaknya berkurang, dengan bersendawa atau
kentut ( flatus )
Distensi abdomen tidak terlalu terlihat bila sumbatan berada di daerah
gaster dan duodenum, hanya terlihat seperti distensi di daerah epigastrium
saja. Sedangkan bila sumbatan di usus halus akan lebih terlihat distensi
abdomen nya. Bila sumbatan di daerah colon, maka abdomen lebih terlihat
melebar ke samping.
Pada pemeriksaan fisik abdomen bila terjadi distensi abdomen kadang
terlihat kontur dari usus halus ataupun pergerakan dari usus halus. Hal
ini menunjukan adanya obstruksi pada usus halus. Sedangkan bila hanya
cembung saja tanpa terlihat kontur dan pergerakan usus halus , lebih
kemungkinan gangguan pasase atau paralitik dari saluran cerna tersebut.
Pada keadaan infeksi ataupun perforasi usus selain terlihat cembung, juga
teraba tegang dan gambaran kemerahan pada dinding abdomen.
Gambar
Pemeriksaan penunjang
Yang diperlukan untuk membantu diagnosa dari obstruksi saluran cerna
tersebut. Pemeriksaan Laboratorium untuk membantu penilaiaan diagnostik
dari kemungkinan adanya obstruksi saluran cerna dan infeksi
Pemeriksaa Radiologi dibutuhkan juga untuk membantu menegakkan
diagnosa. USG sangat membantu untuk menilai adakah cairan bebas di
intra abdomen atau tidak, apakah kelainan tersebut disertai ascites ataukah
sudah terjadi perforasi karena adanya akumulasi cairan di intra abdominal.
Pemeriksaan foto polos abdomen AP dan Lateral Sinar Horizontal ( Cross
table) bisa membantu menilai apakah terjadi obstruksi saluran cerna ataukah
parlaitik dari saluran cerna. Juga bisa menilai apakah sudah terjadi perforasi
usus atau tidak
70 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Obstruksi saluran cerna pada neonatus lebih banyak disebabkan
karena kelainan kongenital , seperti Atresia pada duodenum, usus halus,
ataupun Malrotasi dan Hirschsprung. Sedangkan pada anak lebih besar
bisa disebabkan oleh kelainan bawaan ataupun didapat. Seperti misalnya
Hirschsprung Disease, Hernia Incarcerata, Adhesi pasca operasi, ataupun
obstruksi saluran verna karena penekanan tumor.
Pylorus
Kelainan yang sering terlihat pada lokasi ini adalah Hypertropic Pyloric
Stenosis. Kelainan ini adalah kongenital yang disebabkan karena menebalnya
otot pada daerah Pylorus yang menyebabkan lumen Pylorus jadi menyempit.
Sehingga cairan dari lambung tidak bisa melewati daerah tersebut. Serirng
ditemukan pada usia neonatus
Gejala yang terlihat adalah muntah yang proyektil yang biasanya
terlihat beberapa saat setelah minum ASI. Karena berada di proksimal dari
duodenum makan muntahan hanya berisi ASI saja
Pemeriksaan fisik yang terlihat adalah gambaran kontur gaster di daerah
epigastrium saja. Kadang teraba adanya benjolan didaerah epigastrium.
Duodenum
Kelainan pada daerah Duodenum banyak disebabkan karena kelainan
kongenital, dengan gejala yang khas yaitu muntah hijau ( Bilious vommiting
), hal ini disebabkan karena aliran ke distal di daerah duodenum yang
terganggu.
Pemeriksaan fisik ditemukan gambaran kontur dan pergerakan usus
di daerah epigastrium saja, tidak ditemukan perut kembung
72 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Atresia Duodenum dan Anulare Pancreas
Malrotasi
Gejala dan pemeriksaan fisik hampir sama dengan Atresia Duodenum –
gangguan pada saat perputaran usus dalam perkembangan janin
Pemeriksaan radiologi
74 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Operasi Ladds Procedure (eksisi Ladd band, cranialisasi duodenojejunal,derotasi
volvulus)
Usus Halus
Obstruksi saluran cerna pada usus halus ada yang muncul pada saat neonatus
ataupun pada anak lebih besar. Yang bmuncul pada masa neonatus adalah
Atresia Usus Halus, Volvulus, Meconium Ileus. Sedangkan yang muncul
pada anak yang lebih besar adalah Volvulus, Adhesi pasca operasi, Adhesif
band, Hernia incarccerata.
Gejala yang muncul pada obstruksi saluran cerna daerah ini adalah
muntah yang warnanya kehijauan atau kadang coklat menyerupai feces,
perut kembung dan kadang disertai nyeri perut yang kolik
Pemeriksaan fisik yang terlihat adalah perut cembung disertai dengan
gambaran kontur usus dan pergerakan usus halus yang terlihat di dinding
abdomen
Pemeriksaan Penunjang
Foto polos abdomen dan Kontras Enema
Tatalaksana operasi
Anastomose Usus Ileostomy Bishoop Koop dan Santuli
(bila ditemukan perbedaan diameter usus)
76 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Meconium Ileus
Mekonium kadang-kadang menjadi menebal dan padat di ileum, suatu
kondisi yang dikenal sebagai ileus mekonium. Di dalam usus tersebut
mekonium berwarna lebih pucat dan mungkin ada beberapa pelet globular
abu-abu-putih yang terpisah. Di bagian distal nya usus akan terlihat kecil dan
kosong. Di proksimal dari obstruksi, ada beberapa loop usus yang melebar
dan berisi cairan. Gambaran klinis mirip seperti Atresia usus halus
Usus besar
Obstruksi saluran cerna pada daerah usus besar sebagian karena kongenital
dan sebgaian lain karena didapat. Kelainan kongenital antara lain : Meconium
Plug Syndrome, Hirschsprung disease. Kelainan yang didapat volvulus
sygmoid ataupun faktor etrinsik yang menekan usus besar seperti tumor
Gejala biasanya terlihat perut cembung, muntah ke coklatan menyerupai
feces , dan nyeri perut kolik pada kasus volvulus. BAB jarang atau BAB darah
pada kasus invaginasi
Pada pemeriksaan fisik kadang terlihat abdomen melebar ke samping
dan tidak terlalu kesakitan bila dibandingkan dengan kelainan pada daerah
usus halus. Pada kasus invaginasi akan teraba massa pada daerah abdomen
yang merupakan bagian usus invaginat nya.
Pemeriksaan Radiologi yang dilakukan untuk membantu penegakkan
diagnosa adalah Kontras Enema
Hirschsprung disease
Penderita biasanya dengan keluhan sulit BAB disertai dengan perut yang
menjadi cembung. Hirschsprung disease disebabkan karena tidak adanya
ganglion saraf pada bagian usus besar, sehingga bagian usus yang tidak ada
ganglion saraf tersebut akan menjadi spastik dan megecil
78 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Pemeriksaan Penunjang diagnostik dengan menggunakan biopsi
rectum untuk memastiksan tidak adanya gangglion saraf dan Kontras enema
untuk melihat daerah transitional zone nya.
Pemeriksaan Biopsi Rectum bisa menggunakan Suction biopsi ataupun
Full Thickness biopsi rectum.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan Penunjang
USG Abdomen (gambaran target sign) Kontras Enema
Tatalaksana
Bila terjadinya masih < 24 jam dan tidak kembung, maka bisa dilakukan
reduksi dengan Enema Reduksi, bisa menggunakan kontras, cvairan normal
saline, udara dengan menggunakan guiding USG ataupun Fluoroscopy. Bila
> 24 jam atau perutnya kembung maka sebaiknya dilakukan Lparotomy
explorasi dan reduksi manual
Volvulus sygmoid
Adalah terputarnya usus di daerah Colon Sygmoid, dikarenakan Colon
sygmoid yang panjang dan aksisi pembuluh daerah di Mesocolon yang
pendek
80 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Penderita biasanya datang dengan keluhan nyeri perut kolik dan bagian
perut bawah terlihat lebih kembung.
Tatalaksana:
Laparotomy Explorasi + derotasi colon sygmoid. Kadang perlu dilakukan
reseksi sygmoid ataupun Colostomy
Apa yang bisa kita lakukan bila menemukan kasus kecurigaan Obstruksi
Saluran Cerna
Tatalaksana awal bila ditemukan kecurigaan kearah obstruksi saluran
cerna adalah :
y Pasang infus untuk rehidrasi
y Pasaang NGT untuk dekompresi dan melihat warna cairan yang keluar
Penutup
Obstruksi saluran cerna pada anak biasanya ditandai dengan keluhan
muntah, nyeri perut dan distensi abdomen. Dengan mengamati ke 3 gejala
diatas kita bisa membedakan ataupun menduga organ apa yang mungkin
mengalami sumbatana tersebut.
Pemeriksaan penunjang seperti Radiologi sangat dibutuhkan untuk
menentukan diagnosa obstruksi saluran cerna tersebut dan bisa menentukan
apakah memerlukan tindakan Bedah segera ataukah tidak
Beberapa kasus obstruksi saluran cerna memerlukan tindakan Bedah
segera, sedangkan sebagian lain bisa dilakukan sebagai tindakan semi cito.
Tatalaksana awal pada kasus obstruksi saluran cerna sangat membantu
penanganan lanjutan dari kasus tersebut.
82 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Berbagai Alternatif Upaya Rehabilitasi
Nutrisi pada Anak dengan Kelainan
Gastrohepatologi
Ariani Dewi Widodo, Juliana Susantio
P
enyakit gastrohepatologi mencakup berbagai gangguan saluran
pencernaan dan hati dan merupakan tantangan signifikan pada
pasien anak-anak.1 Kondisi-kondisi ini dapat memengaruhi sistem
pencernaan, hati, dan organ-organ terkait, seringkali menyebabkan
malnutrisi, gangguan pertumbuhan, dan penurunan kualitas hidup pada
anak-anak yang terkena dampak.2 Gangguan gastrohepatologi adalah
sekelompok penyakit kompleks yang memerlukan strategi manajemen
komprehensif dengan nutrisi yang memainkan peran sentral dalam
pengobatan dan rehabilitasi.
Penyakit gastrohepatologi pada anak-anak meliputi kondisi seperti
inflammatory bowel disease (IBD), penyakit hati kronis, atresia bilier,
dan berbagai gangguan saluran pencernaan.3 Penyakit-penyakit ini dapat
memiliki dampak yang mendalam pada pertumbuhan, perkembangan,
dan kesejahteraan anak. Memahami sifat dan prevalensi kondisi-kondisi ini
sangat penting bagi para profesional kesehatan, karena hal ini menjadi dasar
untuk mengatasi aspek-aspek nutrisi dalam pengelolaannya.
Dalam konteks gastrohepatologi pediatrik, metode rehabilitasi nutrisi
alternatif, terutama nutrisi enteral, merupakan hal yang signifikan karena
kemampuannya untuk memberikan nutrisi dan mendukung pertumbuhan
ketika asupan makanan biasa tidak mencukupi atau bermasalah. Dengan
demikian, makalah ini dibuat untuk membahas rehabilitasi nutrisi alternatif
dan potensinya dalam mengatasi tantangan khusus yang ditimbulkan oleh
penyakit gastrohepatologi pada pasien anak-anak.
83
peneliti, dan pengasuh yang bekerja dengan pasien anak-anak yang terkena
dampaknya.
Inflammatory Bowel Diseases (IBD) utamanya mencakup penyakit
Crohn dan kolitis ulserativa, yang merupakan kondisi peradangan kronis
pada saluran pencernaan.5 Kondisi-kondisi ini ditandai dengan gejala seperti
nyeri perut, diare, dan penurunan berat badan, dan seringkali menyebabkan
malnutrisi dan gangguan pertumbuhan pada anak-anak yang terkena
dampak. Selain itu, penyakit hati kronis pada anak-anak dapat disebabkan
oleh faktor genetik, infeksi virus, gangguan autoimun, atau gangguan
metabolisme.6 Penyakit hati kronis dapat berkembang menjadi sirosis, yang
menyebabkan disfungsi hati. Anak-anak dengan penyakit hati kronis dapat
mengalami gejala seperti kuning pada kulit dan mata (jaundice), kelelahan,
dan pembengkakan perut.
Atresia bilier adalah suatu kondisi bawaan di mana saluran empedu
yang mengalirkan empedu dari hati ke usus tidak terbentuk.7 Ini adalah
salah satu penyebab utama kolestasis neonatal dan dapat menyebabkan
sirosis jika tidak diobati. Gastrohepatologi pediatrik juga mencakup berbagai
gangguan saluran pencernaan, seperti penyakit celiac, esofagitis eosinofilik,
dan alergi makanan, yang dapat memengaruhi kemampuan seorang anak
untuk menyerap nutrisi dan dapat menyebabkan malnutrisi dan gejala
saluran pencernaan.
Kondisi-kondisi ini menjadi lebih menantang pada anak-anak karena
potensi mereka untuk mengganggu pertumbuhan dan perkembangan.
Sifat kronis dari banyak penyakit gastrohepatologi dapat mengganggu
perkembangan anak yang normal, menyebabkan gagal tumbuh, pubertas
yang tertunda, dan masalah perkembangan lainnya. Selain gejala fisik,
penyakit-penyakit ini dapat secara signifikan memengaruhi kualitas hidup
secara keseluruhan pada seorang anak.8 Anak-anak dapat mengalami
peningkatan frekuensi dirawat di rumah sakit, nyeri, pembatasan diet, dan
tantangan dalam sekolah dan interaksi sosial, yang dapat memiliki dampak
psikologis dan emosional.
Memahami setiap penyakit ini, termasuk fitur-fitur klinisnya, kriteria
diagnostik, dan perkembangannya, sangat penting bagi para penyedia
layanan kesehatan dan pengasuh untuk memberikan manajemen dan
perawatan yang efektif. Perlu diperhatikan bahwa banyak penyakit
gastrohepatologi pediatrik bersifat kronis, memerlukan manajemen jangka
panjang dan perawatan multidisiplin yang melibatkan gastrohepatologi,
ahli gizi, dan spesialis lainnya untuk mengatasi aspek medis dan nutrisi
dari kondisi tersebut. Selain itu, penyakit-penyakit ini sering memerlukan
rencana perawatan yang dipersonalisasi yang disesuaikan dengan kebutuhan
dan situasi khusus dari masing-masing anak
84 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Pendekatan manajemen nutrisi saat ini dan batasan-
batasannya
Manajemen nutrisi pada pasien anak dengan penyakit gastrohepatologi
adalah komponen penting dalam perawatan mereka secara keseluruhan.
Berbagai pendekatan saat ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
anak-anak ini, namun mereka datang dengan serangkaian batasan dan
tantangan mereka sendiri.
Salah satu strategi mendasar dalam pengelolaan penyakit
gastrohepatologi melibatkan modifikasi diet. 9 Ini dapat mencakup
pembatasan makanan tertentu yang memicu gejala atau memperburuk
kondisi. Meskipun penyesuaian diet dapat efektif dalam beberapa kasus,
mereka dapat sulit untuk dilaksanakan, terutama pada anak-anak yang
mungkin menolak pembatasan tersebut. Selain itu, modifikasi diet mungkin
tidak memberikan nutrisi yang memadai, dan sulit untuk memastikan
kepatuhan.
Dalam kasus di mana modifikasi diet tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi anak, seringkali digunakan suplemen oral.10 Suplemen ini
dapat memberikan vitamin, mineral, dan kalori penting. Namun, efektivitas
mereka dapat bervariasi, dan anak-anak mungkin mengalami kesulitan
dalam menoleransi atau mematuhi suplemen oral karena masalah rasa dan
tekstur.
Nutrisi parenteral melibatkan penyampaian nutrisi langsung ke dalam
aliran darah, melewati sistem pencernaan.11 Biasanya digunakan untuk
anak-anak dengan malnutrisi parah atau yang tidak dapat mentoleransi
nutrisi enteral. Meskipun dapat menyelamatkan nyawa, nutrisi parenteral
tidaklah tanpa batasan. Ini membawa risiko komplikasi, termasuk infeksi
dan masalah hati, dan mungkin tidak mendukung fungsi usus normal,
yang sangat penting untuk kesehatan jangka panjang. Dalam beberapa
kasus, upaya untuk mencapai nutrisi yang memadai dapat mengakibatkan
overnutrisi, yang dapat memperburuk kondisi atau menyebabkan obesitas.
Menemukan keseimbangan yang tepat antara memenuhi kebutuhan nutrisi
dan menghindari overnutrisi dapat menjadi tugas yang rumit dan kompleks.
Setiap kondisi anak adalah unik, memerlukan pendekatan individual
dalam manajemen nutrisi. Apa yang berhasil untuk satu pasien mungkin
tidak cocok untuk yang lain, dan penyedia layanan kesehatan harus
menyesuaikan strategi nutrisi mereka dengan kebutuhan, gejala, dan tingkat
toleransi yang spesifik dari setiap anak.
Keterbatasan pendekatan manajemen nutrisi saat ini dalam
gastrohepatologi pediatrik menegaskan perlunya metode alternatif, seperti
nutrisi enteral, yang dapat menjadi cara yang lebih terarah dan efektif
untuk menyediakan nutrisi penting. Dengan mengakui keterbatasan-
86 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
membantu mencegah komplikasi yang terkait dengan nutrisi parenteral yang
berkepanjangan, seperti masalah hati dan infeksi.
Nutrisi enteral efektif dalam mengelola aspek nutrisi dari penyakit
gastrohepatologi.19 Nutrisi enteral dapat mengurangi peradangan dan gejala
pada kondisi seperti penyakit Crohn, mendorong pemulihan hati dalam
penyakit hati, dan meminimalkan risiko komplikasi akibat obstruksi bilier
pada atresia bilier.
Nutrisi enteral dapat meningkatkan kualitas hidup pasien pediatrik
dengan mengurangi pembatasan diet dan beban psikologis dari manajemen
diet.20 Anak-anak dapat menerima nutrisi melalui pemberian enteral sambil
melakukan aktivitas normal, seperti sekolah dan bermain. Nutrisi enteral
sangat fleksibel dan dapat disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan dan
toleransi unik masing-masing anak. Ini memungkinkan presisi dalam
memenuhi kebutuhan nutrisi khusus anak dan mengatasi tantangan yang
terkait dengan kondisi gastrohepatologi mereka.
88 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
di tempat penempatan selang, terutama pada penggunaan selang jangka
panjang, adalah kekhawatiran yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan
lokal dan, dalam kasus yang parah, memerlukan perhatian medis. Gejala
gastrointestinal, seperti refluks dan ketidaknyamanan perut, dapat
memengaruhi toleransi terhadap pemberian makanan enteral. Pasien dan
pengasuh juga mungkin mengalami ketidaknyamanan, kecemasan, atau stres
terkait dengan proses pemberian makanan enteral, termasuk penempatan
selang dan manajemen harian. Memastikan kecukupan nutrisi dari rencana
nutrisi enteral, terutama dalam kehadiran penyakit gastrohepatologi yang
kompleks yang memengaruhi penyerapan nutrisi dan metabolisme, dapat
menjadi tantangan.
Mengatasi komplikasi dan tantangan ini melibatkan pendekatan
multifaktorial. Teknik pengamanan selang yang tepat sangat penting untuk
mengurangi risiko pergeseran selang, dan pengasuh harus diberikan edukasi
tentang praktik pengamanan yang benar.27 Tindakan pencegahan infeksi,
termasuk kebersihan yang baik, pembersihan rutin tempat penempatan
selang, dan pemantauan yang cermat terhadap tanda-tanda infeksi,
membantu mengurangi risiko infeksi. Gejala gastrointestinal dapat dikelola
dengan berkolaborasi dengan spesialis untuk menyesuaikan parameter
pemberian makanan, jenis formula, dan mempertimbangkan obat atau
intervensi jika diperlukan. Mengakui dampak psikososial pada pasien
dan pengasuh sangat penting, dan memberikan dukungan psikologis dan
edukasi dapat mengurangi kekhawatiran dan tekanan. Evaluasi nutrisi
secara teratur dan penyesuaian rencana nutrisi enteral memastikan bahwa
kebutuhan yang berkembang terpenuhi, dan kolaborasi dengan tim
multidisiplin, termasuk penyedia layanan kesehatan, ahli gizi, psikolog, dan
staf keperawatan, dapat menghasilkan strategi efektif dalam mengelola dan
mengatasi komplikasi dan tantangan ini. Pendekatan holistik ini membantu
mengoptimalkan penggunaan nutrisi enteral pada pasien pediatrik dengan
penyakit gastrohepatologi sambil meminimalkan potensi komplikasi dan
ketidaknyamanan.
Kesimpulan
Rehabilitasi nutrisi yang efektif sangat penting dalam gastrohepatologi
pediatrik untuk mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan anak-anak
dengan gangguan gastrointestinal dan hati. Makalah ini menekankan
pentingnya rehabilitasi nutrisi alternatif, khususnya rute enteral, untuk
mengatasi tantangan ini. Ini membahas nutrisi enteral dalam gastrohepatologi
pediatrik, termasuk jenis formula, kebutuhan nutrisi, dan pemantauan.
Nutrisi enteral menawarkan keuntungan seperti mempertahankan
fungsi usus, mengurangi komplikasi, dan menyesuaikan nutrisi. Namun,
kerjasama dengan penyedia layanan kesehatan, ahli gizi, dan pasien atau
pengasuh sangat penting. Pemantauan dan penyesuaian secara teratur
penting untuk memastikan rencana nutrisi mengikuti perkembangan
kebutuhan pasien, sementara memperhatikan aspek psikososial, penempatan
selang, dan gejala gastrointestinal meminimalkan tantangan.
Dalam konteks pendekatan nutrisi, makalah ini menekankan nilai
nutrisi enteral, seimbang dengan manfaat seperti mempertahankan fungsi
usus dengan tantangan seperti penempatan selang dan gejala gastrointestinal.
Ini menegaskan pendekatan kolaboratif untuk mengoptimalkan rehabilitasi
nutrisi dalam gastrohepatologi pediatrik.
90 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Daftar pustaka
1. Mouzaki M, Bronsky J, Gupte G, Hojsak I, Jahnel J, Pai N, et al. Nutrition support
of children with chronic liver diseases: a joint position paper of the North
American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition and
the European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition.
Journal of pediatric gastroenterology and nutrition. 2019 Oct 1;69(4):498-511.
2. Tessitore M, Sorrentino E, Schiano Di Cola G, Colucci A, Vajro P, et al.
Malnutrition in pediatric chronic cholestatic disease: an up-to-date overview.
Nutrients. 2021 Aug 13;13(8):2785.
3. Vo HD, Xu J, Rabinowitz SS, Fisher SE, Schwarz SM. The liver in pediatric
gastrointestinal disease. Journal of pediatric gastroenterology and nutrition.
2014 Sep 1;59(3):288-99.
4. Furuta, G.T., Liacouras, C.A., Collins, M.H., Gupta, S.K., Justinich, C., et al. and
First International Gastrointestinal Eosinophil Research Symposium (FIGERS)
Subcommittees, 2007. Eosinophilic esophagitis in children and adults: a
systematic review and consensus recommendations for diagnosis and treatment:
sponsored by the American Gastroenterological Association (AGA) Institute
and North American Society of Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
Nutrition. Gastroenterology, 133(4), pp.1342-1363.
5. Wehkamp J, Götz M, Herrlinger K, Steurer W, Stange EF. Inflammatory bowel
disease: Crohn’s disease and ulcerative colitis. Deutsches Ärzteblatt International.
2016 Feb;113(5):72.
6. Pinto RB, Schneider AC, da Silveira TR. Cirrhosis in children and adolescents:
An overview. World journal of hepatology. 2015 Mar 3;7(3):392.
7. Verkade HJ, Bezerra JA, Davenport M, Schreiber RA, Mieli-Vergani G, Hulscher
JB, et al. Biliary atresia and other cholestatic childhood diseases: advances and
future challenges. Journal of hepatology. 2016 Sep 1;65(3):631-42.
8. Guerrant RL, DeBoer MD, Moore SR, Scharf RJ, Lima AA. The impoverished
gut—a triple burden of diarrhoea, stunting and chronic disease. Nature reviews
Gastroenterology & hepatology. 2013 Apr;10(4):220-9.
9. Guarino A, Ashkenazi S, Gendrel D, Vecchio AL, Shamir R, Szajewska H.
European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition/
European Society for Pediatric Infectious Diseases evidence-based guidelines
for the management of acute gastroenteritis in children in Europe: update 2014.
Journal of pediatric gastroenterology and nutrition. 2014 Jul 1;59(1):132-52.
10. Turck D, Braegger CP, Colombo C, Declercq D, Morton A, Pancheva R, et al.
ESPEN-ESPGHAN-ECFS guidelines on nutrition care for infants, children, and
adults with cystic fibrosis. Clinical nutrition. 2016 Jun 1;35(3):557-77.
11. Worthington P, Balint J, Bechtold M, Bingham A, Chan LN, Durfee S, et al. When
is parenteral nutrition appropriate?. Journal of Parenteral and Enteral Nutrition.
2017 Mar;41(3):324-77.
12. Squires JE, Alonso EM, Ibrahim SH, Kasper V, Kehar M, et al. North American
Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition position
paper on the diagnosis and management of pediatric acute liver failure. Journal
of pediatric gastroenterology and nutrition. 2022 Jan 9;74(1):138-58.
13. Johnson T. Enteral nutrition. Clinical Paediatric Dietetics. 2020 Jul 14:52-63.
92 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Kuning pada Bayi: Mana Normal dan
Mana Tidak?
Himawan Aulia Rahman
S
ebagian besar bayi baru lahir mengalami gejala kuning (ikterus) pasca-
lahir. Penyebab dari gejala kuning bayi baru lahir adalah peningkatan
bilirubin atau disebut juga hiperbilirubinemia. Gambaran klinis kuning
pada bayi dapat dilihat dari perubahan warna kulit, sklera, atau mukosa.
Sebagian besar ikterus terjadi dalam kondisi yang ringan dan dapat membaik
tanpa terapi, yang sering disebut juga ikterus fisiologis. Namun, ikterus juga
dapat disebabkan karena kondisi patologis. Oleh karena itu, penting bagi
tenaga kesehatan untuk mengetahui mana ikterus fisiologis dan mana kondisi
yang membutuhkan pemeriksaan dan terapi lanjutan. Makalah ini akan
membahas karakteristik ikterus pada bayi serta bagaimana membedakan
antara kondisi ikterus yang tidak berbahaya dan kondisi yang patologis.
Metabolisme bilirubin
Bilirubin dihasilkan sebagian besar dari produk pemecahan hemoglobin.
Pemecahan ini dilakukan pertama kali oleh enzim heme oksigenase
(HO) yang memecah heme menjadi karbon monoksida (CO), zat besi,
dan biliverdin.1 Biliverdin kemudian diubah segera oleh enzim biliverdin
reduktase menjadi bilirubin. Bilirubin kemudian beredar di dalam plasma
dengan berikatan pada albumin. Ikatan bilirubin-albumin biasanya bersifat
reversibel, namun pada kondisi hiperbilirubinemia yang terkonjugasi
(conjugated hyperbilirubinemia) ikatan ini bisa irreversibel (ikatan kovalen)
yang disebut dengan bilirubin delta. Bilirubin delta bereaksi secara langsung
(direk) dengan reagen diazo, sehingga bilirubin direk dapat menjadi penanda
adanya obstruksi bilier.2
Di sinusoid hati, ikatan bilirubin dan albumin ini lepas dan kemudian
diambil (uptake) oleh sel hati (hepatosit), untuk selanjutnya menjalani
proses ekskresi. Pengambilan ini dilakukan di pintu masuk sinusoid, dengan
sebagian kecil bilirubin ditranspor kembali ke dalam kanalikuli. Fraksi kecil
bilirubin ini dilakukan pengambilan kembali (re-uptake) oleh hepatosit yang
lebih distal. Gangguan re-uptake ini dapat terjadi pada kondisi sindrom
Rotor.3
93
Gambar 1. Struktur sinusoid dan kanalikuli hati.4
94 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Gambar 2. Metabolisme bilirubin.6
96 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Penyebab lain dari hiperbilirubinemia akibat kondisi patologis
adalah hipotiroid kongenital, obstruksi usus, dan sepsis. Hipotiroid dapat
menyebabkan penurunan metabolisme bilirubin, berkurangnya aktivitas
UGT, dan motilitas usus yang lambat. Obstruksi usus dapat meningkatkan
sirkulasi enterohepatik sehingga bilirubin yang tidak terkonjugasi jumlahnya
meningkat. Sepsis dapat menyebabkan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi
dengan menyebabkan stres oksidatif pada eritrosit sehingga terjadi
hemolisis.12
Selain kondisi patologis peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi
di atas, terdapat juga kondisi peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi
(conjugated hyperbilirubinemia), yang sering disebut juga kolestasis neonatal.
Kolestasis didefinisikan dengan peningkatan bilirubin direk >1 mg/dL.
Semua kasus peningkatan bilirubin terkonjugasi selalu bersifat patologis.
Kondisi ini disebabkan adanya gangguan fungsi hepatobilier.13
98 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Gambar 4. Nomogram untuk stratifikasi risiko bayi usia gestasi ≥36 minggu berat lahir ≥2000 g atau usia
gestasi ≥35 minggu berat lahir ≥2500 g.8
terpapar. Ambang batas fototerapi pada kondisi tanpa dan dengan faktor
risiko neurotoksisitas dipaparkan pada Gambar 5 dan Gambar 6.
Gambar 5. Ambang batas fototerapi pada bayi usia gestasi ≥35 minggu tanpa faktor risiko neurotoksisitas.17
Gambar 6. Ambang batas fototerapi pada bayi usia gestasi ≥35 minggu dengan faktor risiko
neurotoksisitas.17
100 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Bayi yang menjalani fototerapi sebaiknya dilakukan pemeriksaan
TSB 12 jam pasca fototerapi dimulai. Frekuensi pemantauan TSB harus
mempertimbangkan usia gestasi bayi, adanya faktor risiko neurotoksisitas,
kadar TSB, dan tren perubahan TSB. Keputusan untuk mengakhiri TSB
dapat dipertimbangkan bila kadar TSB sudah <2 mg/dL di bawah ambang
fototerapi. Durasi fototerapi yang lebih lama dapat dipertimbangkan bila ada
faktor risiko rebound hiperbilirubinemia (usia gestasi <38 minggu, usia saat
awal fototerapi <48 jam, adanya hemolisis).17 Pada kondisi terbatas, fototerapi
menggunakan cahaya matahari secara tidak langsung (menggunakan filter)
dapat menjadi alternatif fototerapi konvensional.21
Terapi eskalasi diperlukan pada kondisi peningkatan TSB secara cepat
untuk mencegah transfusi tukar dan kernikterus. Terapi eskalasi dimulai
bila kadar TSB berada pada 2 mg/dL di bawah ambang batas transfusi tukar
(lihat Gambar 7 dan Gambar 8).17 Kondisi ini adalah kondisi emergensi
yang membutuhkan perawatan di NICU dan tata laksana oleh dokter anak
neonatologi. Pemeriksaan TSB harus dilakukan tiap 2 jam sejak awal hingga
akhir terapi eskalasi ini. Tata laksana dalam terapi eskalasi meliputi:17
y Pemeriksaan laboratorium lengkap (bilirubin total, direk, indirek;
darah perifer lengkap, retikulosit; albumin; elektrolit; ureum, kreatinin;
crossmatch; G6PD; direct antiglobulin test).
y Fototerapi intensif.
y Hidrasi intravena.
y Pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG) dapat dipertimbangkan
pada kasus hemolisis karena imun.
y Pemasangan askes vena sentral bila transfusi tukar akan dilakukan.
Transfusi tukar harus segera dilakukan bila kadar TSB mencapai ambang
batas transfusi tukar atau apabila terdapat tanda ensefalopati akut
(hipertonia, opistotonus, retrokolis, menangis frekuensi tinggi, apnea
rekuren).
Gambar 7. Ambang batas transfusi tukar pada bayi usia gestasi ≥35 minggu tanpa faktor risiko
neurotoksisitas.17
Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 101
Gambar 8. Ambang batas transfusi tukar pada bayi usia gestasi ≥35 minggu dengan faktor risiko
neurotoksisitas.17
Kesimpulan
Kuning (ikterus) merupakan gejala yang umum ditemukan pada bayi baru
lahir. Sebagian besar gejala kuning disebabkan karena ikterus fisiologis yang
ditandai dengan onsetnya yang terjadi setelah 24 jam pasca lahir, kadar
bilirubin total memuncak pada usia 48 – 96 jam pasca lahir, dan selesai
dalam 2 – 3 minggu pada bayi aterm. Selain karena proses fisiologis, ikterus
juga dapat diakibatkan kondisi patologis. Fototerapi dan terapi eskalasi
adalah pilihan terapi pada kondisi patologis akibat hiperbilirubinemia
yang tidak terkonjugasi. Pada kondisi kuning yang memanjang (usia >2
minggu), pemeriksaan bilirubin total, direk, dan indirek perlu dilakukan
untuk membedakan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi dengan kolestasis
neonatal.
Daftar pustaka
1. Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. N Engl
J Med. 2001;344(8):581-90.
2. Kozaki N, Shimizu S, Higashijima H, Kuroki S, Yamashita H, Yamaguchi K, et
al. Significance of serum delta-bilirubin in patients with obstructive jaundice.
J Surg Res. 1998;79(1):61-5.
102 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
3. Memon N, Weinberger BI, Hegyi T, Aleksunes LM. Inherited disorders of
bilirubin clearance. Pediatr Res. 2016;79(3):378-86.
4. Panwar A, Das P, Tan LP. 3D hepatic organoid-based advancements in LIVER
tissue engineering. Bioengineering (Basel). 2021;8(11).
5. Ansong-Assoku B, Shah SD, Adnan M, Ankola PA. Neonatal jaundice.
StatPearls. Treasure Island2023.
6. Hansen TWR, Bratlid D. Physiology of neonatal unconjugated hyperbilirubinemia.
In: Stevenson DK, Maisels MJ, Watchko JF, editors. Care of the jaundiced
neonate. New York: McGraw Hill; 2012.
7. Mitra S, Rennie J. Neonatal jaundice: aetiology, diagnosis and treatment. Br J
Hosp Med (Lond). 2017;78(12):699-704.
8. American Academy of Pediatrics Subcommittee on Hyperbilirubinemia.
Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks
of gestation. Pediatrics. 2004;114(1):297-316.
9. Preer GL, Philipp BL. Understanding and managing breast milk jaundice. Arch
Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2011;96(6):F461-6.
10. Christensen RD, Baer VL, MacQueen BC, O’Brien EA, Ilstrup SJ. ABO hemolytic
disease of the fetus and newborn: thirteen years of data after implementing
a universal bilirubin screening and management program. J Perinatol.
2018;38(5):517-25.
11. Luzzatto L, Ally M, Notaro R. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency.
Blood. 2020;136(11):1225-40.
12. Maisels MJ, Kring E. Risk of sepsis in newborns with severe hyperbilirubinemia.
Pediatrics. 1992;90(5):741-3.
13. Fawaz R, Baumann U, Ekong U, Fischler B, Hadzic N, Mack CL, et al. Guideline
for the evaluation of cholestatic jaundice in infants: joint recommendations of
the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
Nutrition and the European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology,
and Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2017;64(1):154-68.
14. Bhutani VK, Vilms RJ, Hamerman-Johnson L. Universal bilirubin screening for
severe neonatal hyperbilirubinemia. J Perinatol. 2010;30 Suppl:S6-15.
15. Rohsiswatmo R, Amandito R. Hiperbilirubinemia pada neonatus >35 minggu
di Indonesia: pemeriksaan dan tatalaksana terkini. Sari Pediatri. 2018;20(2):115-
22.
16. Maisels MJ, Bhutani VK, Bogen D, Newman TB, Stark AR, Watchko JF.
Hyperbilirubinemia in the newborn infant > or =35 weeks’ gestation: an update
with clarifications. Pediatrics. 2009;124(4):1193-8.
17. Kemper AR, Newman TB, Slaughter JL, Maisels MJ, Watchko JF, Downs SM,
et al. Clinical practice guideline revision: management of hyperbilirubinemia
in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics. 2022;150(3).
18. Bhutani VK, Gourley GR, Adler S, Kreamer B, Dalin C, Johnson LH.
Noninvasive measurement of total serum bilirubin in a multiracial predischarge
newborn population to assess the risk of severe hyperbilirubinemia. Pediatrics.
2000;106(2):E17.
19. Wainer S, Rabi Y, Parmar SM, Allegro D, Lyon M. Impact of skin tone
on the performance of a transcutaneous jaundice meter. Acta Paediatr.
2009;98(12):1909-15.
104 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Diare Akut, Virus vs Bakteri
Barry Army Bakry
P
enyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
di negara berkembang seperti Indonesia, karena morbiditas dan
mortalitasnya yang masih cukup tinggi. Hal ini sayangnya masih
berlanjut sampai saat ini. Berdasarkan survey morbiditas yang dilakukan oleh
Departemen kesehatan RI yang dilakukan dari tahun 2000 – 2010 terlihat
kecenderungan kenaikan insiden. Pada tahun 2000 IR penyakit Diare adalah
301/1000 penduduk. Tahun 2003 naik menjadi 374/1000 penduduk, tahun
2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000
penduduk.
Salah satu langkah dalam pencapaian target MDG’s adalah menurunkan
kematian anak menjadi 2/3 bagian dari tahun 1990 sampai pada 2015. Namun
demikian, berdasarkan Survey Kesehatan Rumah tangga (SKRT), diketahui
bahwa diare masih menjadi penyebab utama kematian balita di Indonesia.
Penyebab utama kematian akibat diare adalah karena tatalaksana yang tidak
tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan. Untuk itu salah satu upaya
penting dalam menurunkan kematian karena diare adalah diperlukannya
tatalaksana yang cepat dan tepat.
Epidemiologi
Meskipun angka kematian diare akut menurun dari 4,5 juta kematian pada
tahun 1979 menjadi 1,6 juta pada tahun 2002 di negara berkembang, tetapi
angka kejadian diare akut masih masuk urutan 5 besar dari penyakit yang
sering menyerang anak. Di Indonesia, angka kejadian diare akut diperkirakan
masih sekitar 60 juta episode setiap tahunnya, dan 1-5% diantaranya
berkembang menjadi diare kronis.
Definisi
Yang dimaksud dengan diare adalah buang air besar dengan peningkatan
frekuensi buang air besar dengan perubahan konsistensi tinja lebih lunak
atau cair dan dapat disertai gejala lain seperti mual, muntah, demam, atau
nyeri perut.
105
Etiologi
Diare dapat disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya infeksi, gangguan
absorpsi (malabsorpsi), alergi makanan, keracunan makanan, imunodefisiensi.
Infeksi saluran cerna merupakan penyebab tersering. Diare dapat disebabkan
oleh berbagai patogen seperti bakteri, virus dan parasit. Tetapi penelitian
epidemiologis menunjukkan bahwa penyebab utama (>80%) diare akut cair
adalah rotavirus.
Etiologi
Pada saat ini, dengan kemajuan di bidang teknik laboratorium kuman-
kuman patogen telah dapat diidentifikasikan dari penderita diare sekitar 80
% pada kasus yang datang disarana kesehatan dan sekitar 50 % kasus ringan
di masyarakat. Pada saat ini telah dapat diidentifikasi tidak kurang dari 25
jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare pada anak dan bayi.
Penyebab infeksi utama timbulnya diare umumnya adalah golongan virus,
bakteri dan parasit.
Beberapa penyebab diare akut yang dapat menyebabkan diare pada
manusia adalah sebagai berikut :
a) Infeksi bakteri: Vibrio’ E coli, Salmonella, Shigella,
Campylobacter, Yersinia, aeromonas, dan sebagainya.
b) Infeksi virus: Enterovirus (virus ECHO, Coxsacki, Poliomyelitis) Adeno-
virus, Rotavirus, astrovirus, dan lain-lain.
c) Infeksi parasit: cacing (Ascaris, Trichuris, Oxcyuris, Strongyloides)
protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas
hominis), jamur (Candida albicans)
Faktor Resiko
Menurut jufiri dan Soenarto (2012), ada beberapa faktor resiko diare yaitu :
y Faktor umur yaitu dare terjadi pada kelompok umur 6-11 bulan pada
saat diberikan makanan pendamping ASI. Pola in menggambarkan
106 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
kombinasi efek penurunan kadar antibody ibu, kurangnya kekebalan aktif
bayi, pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri tinja.
y Faktor musim : variasi pola musim dire dapat terJADI menurut letak
geografis. Di Indonesia diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat terjadi
sepanjang tahun dengan peningkatan sepanjang musim kemarau, dan
dare karena bakteri cenderung meningkat pada musim hujan.
y Faktor lingkungan meliputi kepadatan perumahan, kesediaan sarana air
bersih (SAB), pemanfaatan SAB, kualitas air bersih.
Patogenesis diare
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare
Gangguan osmotik
Pada gangguan osmotik (makanan yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga
terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus, isi rongga
usus berlebihan sehingga timbul diare). Selain itu, diare juga bisa
menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga
sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian menjadi diare. Gangguan
motilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik. Akibat dari
diare itu sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang
mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolik dan
hypokalemia), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia,
dan gangguan sirkulasi darah. Hal ini umum terjadi pada kondisi infeksi
karena virus. Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan virus yaitu virus
yang menyebabkan diare pada manusia secara selektif menginfeksi dan
menghancurkan sel-sel ujung-ujung villus padausus halus. Biopsi usus halus
menunjukkan berbagai tingkat penumpulan villus dan infiltrasi sel bundar
pada lamina propria. Perubahan-perubahan patologis yang diamati tidak
berkorelasi dengan keparahan gejala-gejala klinis dan biasanya sembuh
sebelum penyembuhan diare. Virus akan menginfeksi lapisan epithelium di
usus halus dan menyerang villus di usus halus. Hal ini menyebabkan fungsi
absorbsi usus halus terganggu. Sel-sel epitel usus halus yang rusak diganti
oleh enterosit yang baru, berbentuk kuboid yang belum matang sehingga
fungsinya belum baik. Villus mengalami atrofi dan tidak dapat mengabsorbsi
cairan dan makanan dengan baik. Selanjutnya, cairan dan makanan yang
tidak terserap/tercerna akan meningkatkan tekanan koloid osmotik usus
dan terjadi hiperperistaltik usus sehingga cairan beserta makanan yang tidak
terserap terdorong keluar usus melalui anus, menimbulkan diare osmotik
dari penyerapan air dan nutrien yang tidak sempurna.
108 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
juga sangat diperlukan, terutama dalam mengevaluasi adanya kondisi
dehidrasi serta tanda bahaya pada pasien diare.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut umumnya tidak
diperlukan. Pada keadaan tertentu mungkin diperlukan. Pada keadaan
tertentumungkin diperlukan,misalnya penyebab dasarnha tidak diketahui
atau ada sebab sebab lain selain diare akut atau pada penderita dengan
dehidrasi berat.
Terapi rehidrasi
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mencegah atau mengatasi
dehidrasi pada anak yang mengalami diare, yaitu (1) mengganti kehilangan
cairan yang telah terjadi, (2) mengganti kehilangan cairan yang sedang
berlangsung, dan (3) pemberian cairan rumatan.
Dehidrasi ringan-sedang
Anak terlihat haus dan buang air kecil mulai berkurang. Mata terlihat agak
cekung, kekenyalan kulit menurun, dan bibir kering. Pada keadaan ini,
anak harus diberikan cairan rehidrasi dibawah pengawsan tenaga medis,
sehingga anak perlu dibawah ke rumah sakit. CRO diberikan sebanyak
15-20 ml/kgBB/jam. Setelah tercapai rehidrasi, anak segera diberi makan
dan minum. ASI diteruskan. Pemberian minuman seperti cola, gingerale,
aple juice, dan minuman olah raga (sports drink) umumnya mengandung
kadar karbohidrat dan osmolaritas yang tinggi. Minuman tersebut dapat
menyebabkan diare osmotik yang lebih berat disamping mengandung kadar
Na yang rendah sehingga sering menyebabkan hiponatremia. Teh sebaiknya
tidak digunakan sebagai cairan rehidrasi karena juga mengandung kadar Na
yang rendah. Makanan tidak perlu dibatasi karena pemberian makanan akan
mempercepat penyembuhan. Pemberian terapi CRO cukup dilaksanakan
pada ruang observasi di UGD atau Ruang Rawat Sehari.
Muntah bukan larangan untuk pemberian CRO. CRO harus diberikan
secara perlahan-lahan dan konstan untuk mengurangi muntah. Keadaan
anak harus sesering mungkin direevaluasi
Dehidrasi Berat
Selain gejala klinis yang terlihat pada dehidrasi ringan-sedang, pada keadaan
ini juga terlihat napas yang cepat dan dalam, sangat lemas, keasadaran
menurun, denyut nadi cepat, dan kekenayalan kulit sangat menurun. Anak
harus dibawa segera ke Rumah Sakit untuk mendapat cairan rehidrasi
melalui infus.
Dietetik
Memuasakan anak yang menderita diare akut hanya akan memperpanjang
durasi diarenya. Air susu ibu harus diteruskan pemberiannya. Pada bayi yang
telah mendapat susu formula, susu formula bebas laktosa hanya diberikan
kepada bayi yang mengalami dehidrasi berat dan bayi yang secara klinis
memperlihatkan intoleransi laktosa berat dan diarenya bertambah pada saat
diberikan susu. Susu tersebut dapat diberikan selama 1 minggu. Intoleransi
laktosa umumnya bersifat sementara akibat adanya kerusakkan mukosa
usus. Aktivitas laktase akan kembali normal begitu epitel mukosa usus
110 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
mengalami regenerasi. Gejala intoleransi laktosa mencakup diare cair
profus, kembung, sering flatus, sakit perut, kemerahan di sekitar anus dan
tinja berbau asam.
Antibiotika
Antibiotika tidak diberikan secara rutin pada diare akut, meskipun dicurigai
adanya bakteri sebagai penyebab keadaan tersebut, karena sebagian besar
kasus diare akut merupakan kondisi Self Limiting. Pemberian antibiotika
yang tidak tepat akan memperpanjang keadaan diare akibat disregulasi
mikroflora usus.
Daftar pustaka
1. EFSA Panel on Dietetic Products Nutrition and Allergies (NDA). Scientific
option on dieterary reference values for water. EFSA J. 2010;8:1459.
2. Grandjean AC, Reimers KJ, Buyckx ME. Hydration: Issues for the 21st century.
Nutr Rev. 2003;61:261-71.
3. Popkin BM, D’Anci KE, Rosenberg IH. Water, hydration, and health. Nutr Rev.
2010;68:439-58.
4. Institute of Medicine, Food and Nutrition Board. Dietary reference intakes
for water, potassium, sodium, chloride and slufate. National Academies Press.
Washington DC; 2004.
5. Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. Situasi Diare di Indonesia. Buletin
Jendela Duta dan Informasi Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. 2011;2:1-19.
6. Subagyo B, Budi Santoso N. Diare akut. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi
Jilid 1. 2009:90-125
7. Konsensus. Kebutuhan Air pada Anak Sehat. Ikatan Dokter Anak
Indonesia,2016:1-6
112 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Kuning pada Bayi: Atresia Bilier atau
Hepatitis?
Himawan Aulia Rahman, Hanifah Oswari
K
uning adalah gejala yang umum ditemukan pada seorang bayi.
Penyebab dari gejala kuning adalah hiperbilirubinemia yang
ditandai dengan perubahan warna kulit, sklera, atau mukosa.
Sebagian besar kondisi kuning yang terjadi di usia awal (<2 minggu)
adalah kondisi hiperbilirubinemia yang tidak terkonjugasi (unconjugated
hyperbilirubinemia). Pada kondisi gejala kuning yang menetap (>2 minggu),
perlu diwaspadai adanya hiperbilirubinemia terkonjugasi (conjugated
hyperbilirubinemia) atau disebut juga kolestasis neonatal yang ditandai
dengan peningkatan bilirubin direk >1 mg/dL.1 Kondisi ini selalu bersifat
patologis dan disebabkan karena adanya gangguan fungsi hepatobilier.
Makalah ini akan membahas pendekatan dan tata laksana pada kondisi
kolestasis neonatal.
113
berdasarkan reaksi direk dengan reagen diazo, yang mencakup bilirubin
terkonjugasi dan bilirubin delta (lihat bab Kuning pada Bayi: Mana Normal
dan Mana Tidak?).
Gambar 1. Transporter intrahepatik pada pembentukan empedu dan mekanisme adaptasi pada kolestasis.2
114 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
kolestasis masih belum ditemukan, konsultasi ke ahli gastrohepatologi anak
perlu dilakukan.
116 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
arteri hepatika dan rasio arteri hepatika-vena porta. Pada pemeriksaan USG
2 fase (fase puasa dan pasca-minum susu) dapat tampak penurunan indeks
kontraktilitas kandung empedu.15 Namun, pemeriksaan USG memiliki
keterbatasan karena sangat tergantung dengan kemampuan dan pengalaman
operator dalam mendeteksi kelainan-kelainan tersebut.
- Pemeriksaan laboratorium
Kadar gamma-glutamil-transferase (GGT) yang tinggi dapat mengarahkan
ke diagnosis atresia bilier. Protokol di RSCM menggunakan batas cut-off
250 mg/dL sebagai penanda kecurigaan atresia bilier. Selain atresia bilier,
kadar GGT juga dapat meningkat pada sindrom Alagille dan PFIC tipe
3. Pemeriksaan lain yang menjanjikan untuk atresia bilier adalah matriks
metaloproteinase-7 (MMP-7).16
Temuan lain yang biasanya ditemukan pada kolestasis neonatal namun
tidak spesifik untuk atresia bilier adalah warna urin yang berwarna pekat,
hepatomegali, splenomegali, dan polisplenia.
Diagnosis pasti atresia bilier adalah dengan kolangiografi intraoperatif
(intraoperative cholangiogram, IOC). Bila pada pemeriksaan IOC ditemukan
obstruksi bilier, dokter bedah sebaiknya langsung melakukan operasi KPE
di waktu yang sama. Pemeriksaan lain yang bisa digunakan untuk diagnosis
atresia bilier adalah biopsi hati, skintigrafi hepatobilier, magnetic resonance
cholangiopancreaticography (MRCP). Banyak senter di seluruh dunia yang
melakukan biopsi hati sebelum dilakukan IOC di dalam protokolnya.1
Namun, di Indonesia, pemeriksaan biopsi hati dan MRCP mengalami
kendala karena daftar antrean tindakan yang sangat panjang. Oleh karena
itu, untuk mempersingkat pelayanan pasien atresia bilier, di RSCM tidak
melakukan biopsi hati dalam protokol skrining awal atresia bilier.
Operasi hepatoportoenterostomi Kasai (KPE) sebaiknya dilakukan
sedini mungkin begitu diagnosis atresia bilier ditegakkan. Semakin dini
operasi dilakukan, maka prognosis kesintasan native liver juga semakin
baik.17, 18
118 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Kuning 2 minggu
Pemberian UDCA
Suplementasi vitamin larut lemak
Kesimpulan
Sebagian pasien bayi dengan kuning disebabkan oleh proses patologis. Pada
bayi kuning yang memanjang (>2 minggu) perlu dievaluasi ke arah kolestasis
neonatal, yang ditandai peningkatan kadar bilirubin direk >1 mg/dL. Atresia
bilier harus dievaluasi pada keadaan kolestasis neonatal. Diagnosis yang dini,
rujukan yang tepat, dan prosedur KPE sesegera mungkin perlu dilakukan
pada kasus atresia bilier untuk mencegah transplantasi hati dan kematian.
Kolestasis neonatal selain atresia bilier membutuhkan penelusuran lebih
lanjut tergantung sumber daya fasilitas kesehatan.
Daftar pustaka
1. Fawaz R, Baumann U, Ekong U, Fischler B, Hadzic N, Mack CL, et al. Guideline
for the evaluation of cholestatic jaundice in infants: joint recommendations of
the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
120 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
18. Wickramasekara N, Ignatius J, Lamahewage A. Prognostic factors and outcomes
of Kasai portoenterostomy (KPE): nine-year experience from a lower-middle
income country. Pediatr Surg Int. 2023;39(1):142.
19. Hertel PM, Hawthorne K, Kim S, Finegold MJ, Shneider BL, Squires JE, et al.
Presentation and outcomes of infants with idiopathic cholestasis: a multicenter
prospective study. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2021;73(4):478-84.
20. Mouzaki M, Bronsky J, Gupte G, Hojsak I, Jahnel J, Pai N, et al. Nutrition support
of children with chronic liver diseases: a joint position paper of the North
American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition
and the European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2019;69(4):498-511.
Objektif:
1. Memahami perbedaan diare kronis dan diare persisten
2. Mengetahui gejala klinis tuberkulosis usus
3. Mengetahui kapan mencurigai tuberkulosis usus pada klinis diare kronis
4. Memahami cara penegakkan diagnosis tuberkulosis usus
D
iare merupakan penyebab mortalitas terbanyak pada populasi anak
dibawah 5 tahun (balita) diseluruh dunia. Data UNICEF tahun
2019 menunjukkan 9% kematian pada balita disebabkan karena
diare, setara dengan 484.000 anak per tahun. Angka kematian tertinggi
terutama berasal dari negara di area Asia selatan, termasuk Indonesia
dengan mortalitas 5%.1 Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia 2018
menunjukkan prevalensi diare pada bayi sebesar 10,6% dan pada balita
12,3%. Data Profil Kesehatan Indonesia 2020 diketahui diare merupakan
penyebab kematian tertinggi kedua baik pada kelompok umur 1-11 bulan
(9,8%) atau kelompok usia 1-5 tahun (4,55%).2
Tuberkulosis (TB) merupakan 10 penyebab kematian terbanyak
didunia, dengan atau tanpa HIV, 82% diantaranya terjadi di Afrika dan
Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Setelah virus COVID-19, mortalitas
TB menduduki peringkat pertama kategori kematian penyakit infeksi oleh
agen tunggal. Diperkirakan 25% populasi dunia terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis (MTB), namun sebagian besar tidak berlanjut menjadi sakit
TB. Insidens TB setiap tahunnya, sebesar 10% terjadi pada anak, dengan
mortalitas global 14% pada anak <15 tahun tanpa HIV, dan 11% pada anak
dengan HIV. Tanpa terapi yang adekuat, angka kematian TB untuk seluruh
usia diperkirakan mencapai 50%.3
Isi
Diare kronis
Berdasarkan durasi terjadinya, diare dibedakan atas diare akut dan diare
kronis. Diare akut umumnya berlangsung dalam waktu kurang dari 7 hari,
dan tidak melebihi 14 hari. Beberapa sentral menggunakan istilah diare
memanjang (prolonged diarrhea) untuk diare yang berlangsung >7 dan
122
<14 hari. Diare yang berlangsung >14 hari secara umum disebut sebagai
diare kronis. Diare kronis yang disebabkan oleh infeksi dirujuk sebagai
diare persisten. Diare persisten pada infeksi enterik dapat berlangsung
simultan atau sekuensial, sehingga mengakibatkan terjadi perlukaan
mukosa usus, hingga berlanjut menjadi diare kronis, malnutrisi dan infeksi
berkepanjangan. Istilah diare kronis sebenarnya digunakan untuk diare yang
diduga tidak berkaitan dengan infeksi, umumnya berlangsung >4 minggu,
berkaitan dengan masalah malabsorpsi dan gagal tumbuh.4
Tuberkulosis abdominal
Penegakkan diagnosis TB pada anak masih merupakan tantangan yang
cukup besar bagi dunia kesehatan. Diperkirakan terdapat 20% kasus TB
pada anak yang underdiagnosed, pada kelompok umur 0-4 tahun persentase
ini diperkirakan lebih tinggi lagi, mencapai 40%. Hal ini berkontribusi
menyebabkan tingginya angka kematian dan disabilitas jangka panjang
untuk survivornya. Hambatan dalam penegakkan diagnosis TB pada anak
antara lain disebabkan:5-7
1. Sulit mendapatkan sampel sputum yang representatif dari anak untuk
penegakkan diagnosis TB, terutama untuk pemeriksaan sederhana
berupa apus bakteri tahan asam (BTA)
2. Pauci-bacillary pulmonal TB, yaitu konsentrasi bakteri MTB yang rendah
di sputum sehingga pemeriksaan sputum sering tidak menemukan basil
TB pada penderita.
3. Rendahnya sensitifitas apus BTA, yaitu sebesar 1% pada kelompok umur
0-4 dan 14% pada kelompok umur 5-14 tahun.
4. Rendahnya kemampuan petugas kesehatan mendiagnosis TB pada anak
5. Tidak efektifnya pelacakan kontak yang berpusat pada keluarga
6. Belum meratanya pelatihan skrining dan diagnosis TB pada anak
7. Kurangnya alat bantu edukasi tentang TB pada anak untuk masyarakat
umum
8. Rendahnya kecurigaan klinisi terhadap infeksi TB pada anak dengan
presentasi klinis batuk dan demam persisten, terutama di negara dengan
prevalensi tuberkulosis anak yang rendah
124 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Tabel 1. Klasifikasi TBA berdasarkan tampilan klinis dan penyebaran.
demam (76%) dan penurunan berat badan (74%). Nyeri perut, demam dan
penurunan berat badan ditemukan pada 54% subjek penelitian, sehingga
peneliti menyebutnya sebagai trias gejala.11
Area tersering terinfeksi TB intestinal adalah ileosekal (85%), kemudian
jejunum dan kolon. Lesi TB pada duodenum sangat jarang, <3% dari seluruh
kasus TB intestinal.13 Penegakkan diagnosis TB intestinal dengan lesi pada
area jejunum dan ileum proksimal secara histopatologis akan memerlukan
enteroskopi atau endoskopi-kapsul yang hingga saat ini pemeriksaannya
pada anak di negara berkembang masih sangat jarang.
Beragamnya manifestasi klinis TB intestinal berdasarkan area yang
terinfeksi mengakibatkan penundaan dalam penegakkan diagnosis penyakit
ini. Endoskopi saluran cerna disertai biopsi merupakan prosedur diagnostik
utama, dimana operator akan mempunyai visualisasi langsung terhadap
lesi.13 Terdapat 3 fenotip TB intestinal, yaitu ulseratif, hipertrofik, dan
ulserohipertrofik. Tipe ulseratif ditandai dengan berkembangnya ulkus
transversal multipel dengan konglomerasi epiteloid dan granuloma disertai
nekrosis kaseosa, diselingi dengan mukosa normal, sehingga menyerupai
penyakit Crohn. Bentuk hipertrofik ditandai dengan respons inflamasi
yang cepat sehingga terjadi penebalan dan penyempitan dinding usus,
yang memberikan klinis obstruksi saluran cerna. Sesuai dengan namanya,
ulserohipertrofik adalah gabungan dari kedua tipe diatas.11 Klinis diare kronis
pada TBA paling sering adalah pada TB intestinalis tipe ulseratif.
Kecurigaan TB usus pada klinis diare kronis dipikirkan apabila
ditemukan adanya darah pada fekal, penurunan berat badan dan nyeri perut.
Untuk konfirmasi diagnosis perlu dilakukan kolonoskopi untuk penilaian
makroskopik saluran cerna, disertai dengan pemeriksaan miroskopik
Penutup
Diare kronis secara umum adalah diare yang berlangsung >14 hari. Pada
diare kronis yang disertai dengan trias gejala berupa nyeri perut, demam dan
penurunan berat badan, perlu dicurigai merupakan kasus TB usus. Berbagai
penelitian menunjukkan potensi keterlambatan klinisi mendiagnosis TB usus
karena tampilan klinisnya yang tidak spesifik, hilang timbul, progresifitas
intensitas nyeri yang lambat; akan berujung pada kondisi pasien yang
menjadi berat dan meningkatkan mortalitas serta morbiditas.
Daftar pustaka
1. https://data.unicef.org/topic/child-health/diarrhoeal-disease/. Desember 2022.
Diakses pada 25 Oktober 2023.
2. Profil Kesehatan Indonesia 2020. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
2021
3. Global Tuberculosis Report 2022. World Health Organization.
4. Shankar S., Rosenbaum J., Chronic diarrhoea in children: A practical algotithm-
based approach. J of Ped and Child Health. 2020;56:1029-38.
5. Yerramsetti S., Cohen T., Atun R., Menzies N.A. Global estimates of paediatric
tuberculosis incidence in 2013-19: a mathematical modelling analysis. Lancet
126 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Glob Health 2022;10: e2017-15.
6. Saraswati LD., Ginandjar P., Widjanarko B., Puspitasari RA. Epidemiology
of child tuberculosis (A cross-sectional study at Pulmonary Health Center
Semarang City, Indonesia. 3rd International Conference on Tropical and Coastal
Region Eco Development 2017.
7. Oshi DC., Chukwu JN., Nwafor CC., Meka AO., Madichie NO., Ogbudebe
CL., et al. Does intensified case finding increase tuberculosis case notification
among children in resource-poor settings? A report from Nigeria. Int J of
Mycobacteriology. 2016;5: 44-50.
8. Global Tuberculosis Report 2022. World Health Organization.
9. Chu P., Chang Y., Zhang X., Han S., Jin Y., et al. Epidemiology of extrapulmonary
tuberculosis among pediatric inpatients in mainland China: a descriptive,
multicenter study. Emerg Microbes & Inf. 2022;11:1090-1102.
10. Sartoris G., Seddon J.A., Rabie H., Nel E.D., Schaaf H.S. Abdominal tuberculosis
in children: Challenge, uncertainty, and confusion. JPIDS. 2020;9:218-27.
11. Lal S.B., Bolia R., Menon J.V., Venkatesh V., Bhatia A., Vaiphei K., et al. Abdominal
tuberculosis in children: A real-world experience of 218 cases from an endemic
region. JGHF. 2019;4:215-20.
12. Basu S., Ganguly S., Chandra P.K. Clinical profile and outcome of abdominal
tuberculosis in Indian children. Sing Med J. 2007;48:900-5.
13. Vlad R.M., Smadeanu E.R., Becheanu G., Darie R., Pacurar D. The diagnostic
challenge in a child with intestinal tuberculosis. Rom J Morphol Embryol.
2021;62:1057-61.
128
Tabel 1. Penyebab dan faktor predisposisi terjadinya infeksi jamur10
Penyebab Faktor (contoh)
Kondisi fisiologis yang Bayi prematur
sangat rentan terhadap Neonatus
jamur Lanjut usia
Dalam fase perubahan hormon (kehamilan, menopause
Penyakit, kondisi patologis, Penyakit hormon (diabetes mellitus, disfungsi adrenal)
pembedahan Defisiensi imun
Infeksi
Chronic inflammatory bowel disease
Penyakit hematologi onkologi
Tumor ganas
Operasi viseral
Transplantasi organ
Alkohol
Bedridden patients
Dalam pengobatan atau Antibiotik
terapi Kortikosteroid
Imunosupresan
Perawatan intensif
Sitostatik
Radiasi
Kateter
Kandidiasis Intestinal
Kandidiasis intestinal sering ditemukan baik pada orang dewasa maupun
pada bayi dengan gejala perut sering kembung dengan disertai diare.11
Candida sebagai penyebab diare sampai saat ini masih menimbulkan
kontroversi. Menurut Forbes, candida tidak menyebabkan diare pada anak
dengan gizi baik.12 Namun, Levine mendapatkan bahwa candida hanya
menyebabkan diare pada keadaan tertentu saja seperti adanya defisiensi
imun.13
Publikasi melaporkan bahwa C. albicans menyebabkan diare dan gejala
berkurang setelah terapi. Tingginya konsentrasi candida telah diidentifikasi
pada feses anak malnutrisi, dan berhubungan dengan diare. Beberapa laporan
menunjukkan bahwa candida menyebabkan diare pada dewasa dan anak.
Penghentian antibiotik dan pemberian nistatin pada orang dewasa yang
mengalami diare persisten disertai pertumbuhan ragi pada feses dapat
menyembuhkan gejalanya dalam beberapa hari. 14 Gupta dan Ehrinpreis
mengidentifikasi tingginya pertumbuhan candida pada feses pasien lansia,
malnutrisi, dan pasien dengan penyakit kritis yang mengalami diare tetapi
tidak diketahui penyebab mikrobiologi, inflamasi, atau kimia lainnya. Gejala
tersebut perbaikan dengan diberikan terapi anti-candida.15 Penelitian oleh
Danna dkk menunjukkan bahwa diare terkait antibiotik pada pasien lanjut
usia mengalami perbaikan dengan pemberian nistatin.16 Penelitian di Nigeria
130 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
dari keadaan setempat. Hal ini mencerminkan adanya faktor ekologi dan
imunologi.24,25 Walaupun imunitas protektif kelihatannya tidak mempunyai
peran yang menonjol, namun mungkin dalam batas-batas tertentu berperan
dalam mengurangi jumlah parasit dan beratnya penyakit pada anak besar dan
orang dewasa yang pernah mengalami infeksi parasit ini pada awal usianya.
Protozoa mempunyai kemampuan untuk hidup dan berkembang di
dalam usus seperti halnya bakteri usus. Bentuk yang ditemukan di dalam
usus adalah bentuk trofozoit, sedangkan yang dikeluarkan melalui tinja
adalah dalam bentuk kista yang lebih dapat bertahan menghadapi tekanan
dari lingkungan sekitarnya sehingga memudahkan penyebaran kepada
orang lain. Apabila suatu protozoa ditemukan di dalam tinja, kita harus
mengidentifikasi apakah parasit tersebut suatu komensal atau patogen. Jika
parasit merupakan patogen yang potensial, perlu ditentukan apakah parasit
tersebut condong menyebabkan penyakit. Hal ini hanya dapat dilakukan
dengan memperhatikan manifestasi klinisnya. Jika parasit tersebut adalah
patogen, perlu dilakukan eradikasi karena organisme yang tertinggal hidup
setelah pengobatan mempunyai kemampuan untuk berkembang dan dapat
menyebabkan kekambuhan.
Amoeba merupakan protozoa yang tidak memiliki morfologi tetap.
Amoeba diklasifikasikan menjadi amoeba intestinal atau amoeba yang hidup
bebas (tabel 2)
Entamoeba histolytica
Entamoeba histolytica pertama kali ditemukan oleh Lösch pada tahun
1875, yang menemukan parasit pada feses pasien disentri di St. Petersburg,
Rusia. Entamoeba histolytica merupakan satu-satunya patogen diantara
spesies lainnya (kecuali dientamoeba fragilis) yang terbukti dapat menghuni
kolon. Entamoeba histolytica memiliki 3 bentuk/tahapan, yaitu: trofozoit,
pre-kista, dan kista.24,26 Kista yang termakan/terminum dari air yang
tercemar, makanan segar, atau dari tangan akan pecah dalam usus kecil dan
132 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
didiagnosis sebagai “phagocytosed red cell”, tidak ditemukan pada amoeba
intestinal komensal lainnya. Trofozoit bertahan selama 5 jam pada suhu
37oC dan bisa mati karena pengeringan, pemanasan, dan sterilisasi kimia.
Oleh karena itu, infeksi tidak dapat ditransmisikan oleh trofozoit. Walaupun
trofozoit dari tinja tertelan, mereka akan dengan cepat dihancurkan di
lambung.24-29
Adapun faktor yang memengaruhi virulensi E.histolytica, antara lain:24
y Amoebic cystine proteinase, yang menginaktivasi faktor komplemen C3.
Proteinase ini merupakan faktor virulensi yang penting
y Lectin dan protein ionophore amoeba
y Faktor host (pejamu) : stres, malnutrisi, terapi kortikosteroid, dan
imunodesiensi
y Glikoprotein di mukosa kolon dapat menghambat perlekatan trofozoit
di sel epitel, sehingga
y
Amebiasis usus
Amebiasis usus adalah bentuk paling umum bentuk paling umum dari
infeksi dan mungkin tanpa gejala. Amoeba yang tinggal di lumen usus
tidak menyebabkan penyakit. Mereka menyebabkan penyakit hanya ketika
mereka menginvasi jaringan usus. Hal ini hanya terjadi pada sekitar 10%
kasus infeksi, 90% sisanya tidak menunjukkan gejala.24 Menurut WHO,
amebiasis usus dapat tidak bergejala hingga bergejala. Gejala dapat berupa
disentri dan kolitis non-disentri.
a) pengeluaran kista tanpa gejala
Infeksi E. histolytica tidak selalu menyebabkan penyakit. Jenis non
patogen lebih sering dijumpai daripada jenis patogen, juga di daerah
endemik. Pengeluar kista asimtomatik mempunyai respons antibodi
antiamubik serum, antigen amuba serum, dan dapat mengalami invasi
kolon patologik.
b) diare yang dapat berupa diare berbentuk air, disentri amubik, kolitis non
disenteri, kolitis amubik nekrotik fulminan
Pada diare berair dapat terjadi secara ringan sampai yang dapat
menyebabkan dehidrasi. Pada disentri amuba, gejala biasanya terjadi
secara bertahap dengan nyeri perut kolik, diare yang biasanya berdarah
(dengan lendir), dan tenesmus. Pada umumnya tak tampak gejala sistemik
dan panas tidak selalu ada. Disentri amuba akut dapat berlangsung
beberapa hari sampai beberapa minggu dan sering menjadi kronik atau
intermiten sehingga sulit dibedakan dengan penyakit inflammatory
134 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
bowel disease (IBD). Hal yang perlu diperhatikan adalah pemberian
kortikosteroid (seperti pada IBD) akan memperberat penyakit disentri
seperti kolitis fulminan dan megakolon toksik. Tabel 3 menunjukkan
perbedaan disentri amoba dengan disentri basiler.24
136 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
tangan dengan sabun atau menggunakan sanitizer dengan bahan dasar
alkohol setelah dari kamar mansi, sebelum menyiapkan makanan, sebelum
makan, dan setelah mengganti popok mampu mengendalikan amebiasis.
Menggunakan air matang, air kemasan, makanan atau minuman yang telah
di pasteurisasi juga mampu mencegah infeksi amebiasis. Prognosis amebiasis
usus baik bila tidak ada penyulit. Data statistik mnunjukkan kematian
amebiasis usus tanpa abses hati hanya 1-2%.30
Penutup
Jamur dan amoeba merupakan organisme yang dapat menyebabkan diare
pada anak. Infeksi jamur perlu dipertimbangkan pada populasi yang rentan
mengalami infeksi ini, seperti kondisi imunosupresi, riwayat penggunaan
obat-obatan, dan riwayat operasi. Manifestasi infeksi amoeba pada saluran
cerna dapat berupa tanpa gejala hingga gejala berat. Pengobatan yang efektif
dapat menghindari komplikasi berat. Pencegahan harus dilakukan untuk
memutus penyebaran amebiasis.
Daftar pustaka
1. Hallen-Adams HE, Suhr JM. Fungi in the healthy human gastrointestinal tract.
Virulence. 2017;8: 352-8)
2. Moran G, Coleman D, Sullivan D. An introduction to the medically important
Candida species. Dalam: Calderone RA, Clancy CJ, penyunting. Candida and
candidiasis. ed 2. .Washington DC: ASM Press; 2012.. h. 11-25; http://dx. doi.
org/10.1128/9781555817176.ch2
3. Gouba N, Raoult D, Drancourt M. Plant and fungal diversity in gut microbiota
as revealed by molecular and culture investigations. PLoS One. 2013; 8:e59474;
PMID:23555039; http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0059474.
4. Hameed AL, Ahmed L, Ali SM. The prevalence of Candida spp. among children
with diarrhea in Baqubah-Iraq. Int.J.adv.eng. technol. 2018;3:34-43.
5. Lamps LW, Lai KKT, Milner Jr DA. Fungal infections of the gastrointestinal tract
in the immunocompromised host-an update. Adv Anat Pathol. 2014:21;217–27.
doi:10.1097/PAP.0000000000000016.
6. Dave M, Purohit T, Razonable R, Loftus EV Jr. Opportunistic infections due to
inflammatory bowel disease therapy. Inflamm Bowel Dis. 2014;20:196-212.
7. Parize P, Rammaert B, Lortholary O. Emerging invasive fungal diseases in
transplantation. Curr Infect Dis Rep. 2012; 14:668–75.
8. Schwesinger G, Junghans D, Schroder G, Bernhardt H, Knoke M. Candidosis
and aspergillosis as autopsy findings from 1994-2003. Mycoses. 2005; 48:176–80.
9. Bitar D, Van Cauteren D, Lanternier F, Dannaoui E, Che D, dkk. Increasing
incidence of zygomycosis (mucormycosis), France, 1997-2006. Emerg Infect
Dis. 2009; 15:1395–401.
10. Schulze J, Sonnenborn U. Yeast in the gut: from commensals to infectious agents.
138 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Gangguan Saluran Cerna Fungsional
pada Anak
Erwin Lukas Hendrata
G
angguan saluran cerna fungsional adalah pengelompokan gejala
saluran cerna yang memiliki patofisiologi berhubungan dengan
gangguan motilitas, sensitivitas viseral, mekanisme pertahanan
epitel, fungsi imun mukosa, mikrobiota, atau proses syaraf sistim syaraf
pusat – saluran cerna. Salah satu syarat utama gangguan fungsional adalah
tidak ditemukan kelainan struktur saluran cerna yang dapat menjelaskan
timbulnya gejala tersebut.1
Sudah lebih dari 30 tahun, para ahli mengembangkan kriteria kelainan
fungsional karena kebutuhan untuk mendiagnosis pasien-pasien yang
memiliki gejala saluran cerna namun tidak ditemukan penjelasan mekanis
sebagai penyebabnya. Kriteria diagnostik ini juga dipergunakan untuk
kepentingan penelitian klinis untuk gejala-gejala saluran cerna fungsional
yang tidak memiliki biomarker atau kriteria standar. Sebagai contoh
penelitian tentang irritable bowel syndrome (IBS) yang akan sulit dikerjakan
akibat tidak ada kriteria eksklusi stardar yang dapat dipakai.2
Selama periode tersebut, para ahli dari seluruh dunia melakukan
penelitian epidemiologi dan analitik untuk membedakan kebiasaan saluran
cerna populasi normal dengan populasi abnormal. Tahun 1994 kumpulan
hasil penelitian-penelitian tersebut dipublikasikan dengan mencantumkan
“the Rome Foundation” sebagai penulisnya (yang saat ini lebih dikenal
sebagai Roma I). Pengelompokan diagnosis gejala saluran cerna fungsional
ini didasarkan pada organ yang terlibat (esofageal, gastroduodenal, ileum
dan kolon, sistim bilier, dan anorektal.3
Proses pengelompokan dan diagnosis ini terus berlanjut sampai
menghasilkan publikasi Roma II (2000), Roma III (2006) dan Roma IV
(2016). Sebagian besar pusat pendidikan dan badan kesehatan dunia
mengakui kriteria ini dan mempergunakannya dalam penelitian-penelitian
klinis. Sebagai klinisi, kriteria Roma ini mempermudah penegakan diagnosis
pasien-pasien dengan menggunakan proses yang positif, dibanding
melakukan proses diagnosis eksklusi. Hal ini sejalan dengan tujuan para
penggagas kriteria Roma agar pengguna kriteria ini dapat lebih percaya diri
dalam menegakkan diagnosis fungsional yang pada akhirnya meningkatkan
penerimaan pasien, serta mengurangi pemeriksaan penunjang yang
berlebihan.4
139
Saat ini kriteria Roma IV mencakup 33 diagnosis gangguan
gastrointestinal fungsional pada dewasa, dan 17 diagnosis pada anak. Dari
17 diagnosis pada anak dibagi lagi menjadi 7 diagnosis pada usia bayi/balita
(regurgitasi infantil, sindrom ruminasi, cyclic vomiting syndrome, kolik
infantil, diare fungsional, diskesia infantil, dan konstipasi fungsional) dan 10
diagnosis pada usia anak/ remaja (cyclic vomiting syndrome, muntah/ mual
fungsional, sindrom ruminasi, aerofagi, dispepsia fungsional, irritable bowel
syndrome, migrain abdominal, nyeri perut fungsional, konstipasi fungsional
serta inkontinensia fekal non retentif).5 Pada makalah ini akan membahas
beberapa kelainan fungsional yang paling sering terjadi pada anak dengan
gejala utama nyeri perut, yaitu dispepsia fungsional, konstipasi fungsional,
irritable bowel syndrome dan migrain abdomen
Dispepsia fungsional
Pada sebuah penelitian berbasis populasi yang dipublikasikan pada tahun
2018, prevalens dispepsia fungsional adalah sebesar 3%.6 Dispepsia memiliki
karakteristik nyeri di regio epigastrium. Berbeda dengan kriteria Roma III
yang menekankan rasa sakit di perut sebagai gejala utama, pada kriteria
Roma IV nyeri perut dapat bermanifestasi sebagai kembung, mudah kenyang,
mual, muntah, atau rasa penuh di abdomen. Berikut diagnosis dispepsia
fungsional berdasarkan kriteria Roma IV:
Harus termasuk 1 atau lebih gejala yang mengganggu dibawah ini,
sekurangnya 4 hari perbulan, dan telah dirasakan minimal 2 bulan
y Rasa kenyang berlebihan saat makan
y Rasa kenyang dini
y Nyeri atau rasa terbakar di epigastrium, tidak berhubungan dengan defekasi
y Setelah dilakukan pemeriksaan adekuat, tidak dapat dijelaskan penyebab
kondisi medis tertentu.7
Beberapa alarm signs yang perlu dideteksi pada kasus dispepsia sebelum
diangnosis fungsional ditegakkan adalah:8
140 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Dengan defisini tersebut, dispepsia fungsional dapat dibagi menjadi
sindrom nyeri epigastrium dan sindrom distres postpandrial. Sindrom
nyeri epigastrium mencakup semua nyeri/ rasa tidak nyaman yang tidak
diakibatkan oleh motilitas lambung. Diagnosis sindrom distres postpandrial
ditujukan pada anak dengan rasa kenyang lebih awal atau tidak nyaman
saat makan yang sering kali menyebabkan anak tidak menyelesaikan porsi
makannya.9,10
Sampai saat ini patofisiologi dispepsia fungsional belum diketahui
dengan jelas. Beberapa abnormalitas saluran cerna dicurigai mempengaruhi
timbulnya nyeri dispepsia, diantaranya gangguan peristaltik lambung,
keterlambatan pengosongan lambung, gangguan pengembangan kapasitas
lambung, dan dismotilitas antrum. Pada anak yang lebih besar, beberapa
faktor risiko yang memperberat gejala diantaranya abnormalitas motorik
saluran cerna, sensitivitas viseral serta faktor psikososial.11
Sampai saat ini, tidak ada satupun panduan terapi untuk dispepsia
fungsional pada anak. Komite Rome IV hanya memberikan rekomendasi
terapi berdasarkan pendapat ahli dan data penelitian dengan sampel pasien
dewasa. Untuk pasien dengan sindrom nyeri epigastrium, komite Roma IV
merekomendasikan inhibitor pompa proton sebagai terapi lini pertama,
sedangkan pada sebagian kasus nyeri berat diberikan obat antidepresan
trisiklik.12 Terapi rekomendasi untuk sindrom distres postpandrial adalah
obat-obatan fundal relaxant (contoh siproheptadin) dan obat-obatan
prokinetik.12,13 Penelitian oleh Rodriguez L, dkk melaporkan pemberian
siproheptadin dapat memperbaiki gejala dispepsia fungsional pada anak
dengan sedikit efek samping (yaitu somnolen, peningkatan nafsu makan,
dan kenaikan berat badan).14 Dibutuhkan penelitian multisenter lebih
lanjut untuk menetukan patofisiologi utama, faktor-faktor risiko dispepsia
fungsional, sehingga dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efikasi
dari bermacam terapi yang ada.
Beberapa terapi nonmedikamentosa yang direkomendasikan pada
anak dengan dispepsia fungsional adalah konsumsi makanan lebih sering
dengan porsi kecil, serta penghindaran makanan/ minuman yang dapat
memicu timbulnya gejala (makanan berlemak tinggi, minuman berkafein,
dan obat-obatan antiinflamasi nonsteroid).15
Konstipasi fungsional
Konstipasi diperkirakan terjadi pada hampir 30% anak dan sebagian besar
termasuk kategori fungsional.16 Berdasarkan kriteria Roma IV, diagnosis
konstipasi fungsional ditegakkan berdasarkan temuan berikut ini:
142 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
(inkontinensia fekalis) yang sering menyertai konstipasi, seringkali membuat
anak makin stres, kepercayaan diri rendah, maupun isolasi sosial yang akan
mempengaruhi kualitas hidup.19
Pendekatan terapi konstipasi fungsional tergantung dari usia anak,
adanya kelainan perilaku/ pola makan, dan lamanya onset gejala. Konsep
dasar terapi konstipasi adalah durasi kronik dari kondisi ini mengakibatkan
kolon tidak responsif terhadap adanya feses, sehingga terapi sangat
bergantung dari konsistensi dan pengosongan kolon yang sempurna.
Tahapan terapi konstipasi adalah disimpaksi, terapi laksatif jangka panjang
dan perubahan perilaku, perubahan diet, serta pengurangan dosis terapi
laksatif secara bertahap.20
Sebelum terapi laksatif dimulai, beberapa hal yang harus diterangkan
kepada orangtua atau pengasuh adalah:
y Hindari atribut negatif akibat anak sering mengalami inkontinensia
fekalis
y Pemahaman proses terjadinya konstipasi yang sebagian besar telah
berlangsung lama
y Terapi laksatif, perubahan perilaku dan diet harus dikejakan bersamaan
y Perbaikan klinis akan bertahap, dapat berlangsung bulanan bahkan
tahunan.21
Tahap pertama terapi konstipasi adalah disimpaksi, terutama pada
anak yang teraba massa fekal pada pemeriksaan abdomen, juga pada anak
dengan gejala penyerta inkontinensia fekalis, serta pada anak dengan
riwayat evakuasi feses tidak tuntas/teratur. Regimen obat disimpaksi adalah
polyethylene glycol (PEG) peroral dengan dosis 1-1,5 gr/kg/hari selama
beberapa hari sampai 1 minggu. Penelitian oleh Youssef, dkk melaporkan
tingkat keberhasilan 95% dengan dosis PEG seperti diatas.22 Obat pencahar
oral lain yang dapat digunakan sebagai terapi disimpkasi diataranya mineral
oil, magnesium hidroksida, magnesium sitrat, laktulosa, sorbitol, senna, dan
bisacodyl. Pada anak yang tidak berespon dengan terapi disimpaksi oral,
dapat dikombinasikan dengan terapi disimpaksi rektal, contoh bisacodyl
enema (usia 2-10 tahun = 5 mg/hari, usia diatas 10 tahun = 5-10 mg/hari.23
Setelah terapi disimpaksi berhasil, dilanjutkan ke terapi rumatan dengan
menggunakan PEG 0,5-0,8 gr/kgbb/hari, dalam 2 dosis , atau laktulosa 1-3
ml/kgbb/hari dalam 2 dosis. Lamanya terapi rumatan tergantun respon
klinis yang terjadi. Kedua obat laksatif tersebut terbukti efektif dan aman
untuk pemakaian jangka Panjang. Jenis obat laksatif yang digunakan tidak
berpengaruh kepada keberhasilan terapi, selama dosis benar dan komplians
baik.23,24
Terapi perilaku yang umumnya dikerjakan pada kasus konstipasi
fungsional adalah
y Defekasi di toilet dengan posisi yang benar, rutin 2-3 kali perhari, jadwal
144 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
ditemukan pada populasi anak adalah IBS-K. Tidak jarang seorang anak
IBS berganti subtipe sesuai dengan perubahan gejala yang terjadi. Komite
Roma IV juga merekomendasikan pasien dengan gejala konstipasi dan nyeri
perut, lebih dahulu ditatalaksana untuk konstipasinya. Bila nyeri perut tetap
ada dengan terapi konstipasi yang adekuat, maka diagnosis IBS-K dapat
ditegakkan.28
Sampai saat ini belum ada satupun kemungkinan patofisiologi yang
dapat menerangkan terjadinya IBS. Diperkirakan gangguan pada brain-
gut axis (kontak 2 arah antara saluran cerna dengan sistim syaraf pusat)
menyebabkan perubahan sensorik, motorik dan kemungkinan sistim imun
saluran cerna. Hal-hal yang dapat mengganggu brain-gut axis diantaranya
hipersensitivias mukosa saluran cerna, serta profil mikrobiota dan metabolit
yang dihasilkannya.29
Rekomendasi terapi utama adalah edukasi atau reassurance kepada
pasien dan keluarga tentang konsep fungsional pada tata laksana IBS yang
umumnya non farmakologis. Semakin banyak penelitian tentang pendekatan
terapi IBS dari segi non farmakologis, diantaranya terapi modifikasi
biopsikososial (konseling, penanganan stres) dan terapi intervensi diet (tinggi
serat untuk IBS-C, rendah serat untuk IBS-D, maupun diet rendah/bebas
laktosa). Pemberian probiotik patut dipertimbangkan dan aman digunakan,
meskipun masih membutuhkan bukti efikasi ilmiah lebih banyak.30
Pada pasien yang memilih pengobatan medikamentosa, komite Roma
IV merekomendasikan obat-obatan antispasmodik sebagai lini pertama
dan antidepressant trisiklik pada pasien dengan komplians kurang baik.
Penelitian pada pasien dewasa, obat-obatan loperamid, kolestiramin,
lubiproston, prucalopride, rifaximin, dan alosetron memperlihatkan
efek positif dibanding placebo. Masih perlu penelitian lebih lanjut untuk
menentukan terapi medikamentosa untuk kasus IBS pada anak.10
Migrain abdomen
Sebagai kelainan fungsional, sampai saat ini tidak ada pemeriksaan
penunjang yang dapat menegakkan diagnosis migrain abdomen. Diagnosis
klinis migrain abdomen menurut kriteria Roma IV adalah sebagai berikut,
harus mencakup semua gejala dibawah sekurangnya 2 kali, dan telah
dirasakan lebih dari 6 bulan:
y Episode serangan sakit perut yang berat, periumbilikal atau difus atau
disekitar midline, berlangsung lebih dari 1 jam
y Antar episode berjarak beberapa minggu sampai bulan
y Nyeri tidak dapat dicegah atau dihilangkan dengan aktivitas normal
y Pola yang stereotipikal tiap pasien atau paroksismal (sering, berlangsung
singkat)
Daftar pustaka
1. Drossman D A. Fuctional gastrointestinal disorders: history, pathophysiology,
clinical features and Rome IV. Gastroenterology. 2016;150:1262-79.
2. Klein K B. Controlled treatment trials in the irritable bowel syndrome: a critique.
Gastroenterology. 1988;95:232-41.
3. Drossman D A, Tack J. Rome Foundation clinical diagnostic criteria for disorder
of gut-brain interaction. Gastroenterology. 2021;162:675-9.
4. Drossman DA, Richter JE, Talley NJ. The fuctional gastrointestinal disorders:
diagnosis, pathophysiology and treatment. Boston: Little, Brown and
Company;1994.
5. Stanghellini V, Chan FK, Hasler WL. Gastroduodenal disorders. Gastroenterology.
2016;150:1380-92.
6. Saps M, Velasco-Benitez CA, Langshaw AW, Ramirez-Hernandez CR. Prevalence
of functional gastrointestinal disorders in children and adolescents: comparison
between Rome III and Rome IV criteria. J Pediatr. 2018;199: 212-6.
7. Koppen IJN, Nurko S, Saps M, Di Lorenzo C, Benninga MA. The pediatric Rome
IV criteria: what’s new?. Expert Rev Gastroenterol Hepatol. 2017;11: 193-201.
146 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
8. Noe JD, Li BU. Navigating reccurent abdominal pain through clinical cue, red
flags, and initial testing. Pediatr Ann. 2009;38:259-70.
9. Hyams JS, Di Lorenzo C, Saps M, Shulman RJ, Staiano A, van Tilburg M.
Gastroenterology. 2016; suppl 00116:181-5.
10. Baaleman DF, Carlo Di Lorenzo, Benninga MA, Saps M. The effects of the
Rome IV criteria on pediatric gastrointestinal practice. Curr Gastroenterol Rep.
2020;22:21.
11. Chitkara DK, Delgado-Aros S, Bredenoord AJ, Cremonini F, El-Youssef M, Freese
D, dkk. Functional dyspepsia, upper gastrointestinal symptoms, and transit in
children. J Pediatr. 2003;143:609-13.
12. Browne PD, Nagelkerke SCJ, van Etten-Jamaludin FS, Benninga MA, Tabbers
MM. Pharmacological treatments for functional nausea and functional dyspepsia
in children: a systematic review. Expert Rev Clin Pharmacol. 2018;11: 1195-208.
13. Rodriguez L, Diaz J, Nurko S. Safety and efficacy of cyproheptadine for treating
dyspeptic symptoms in children. J Pediatr. 2013;163:261-7.
14. Madani S, Cortes O, Thomson R. Cyproheptadine use in children with functional
gastrointestinal disorders. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2016;62:409-13.
15. Boyle JT. Recurrent abdominal pain: an update. Pediatr Rev. 1997;18:310-20.
16. van den Berg MM, Benninga MA, Di Lorenzo C. Epidemiology of childhood
constipation: a systemic review. Am J Gastroenterol. 2006;101: 2401-9.
17. Sood MR. Functional constipation in infants, children, and adolescents: clinical
features and diagnosis. Didapat dari www.uptodate.com
18. Di Lorenzo C. Pediatric anorectal disorder. Gastroenterol Clin North
Am.2001;30: 269-87.
19. Vriesman MH, Rajindrajith S, Koppen IJN, Van Etten-Jamaludin FS, van Dijk M,
Devanarayana NM, et al. Quality of life in children with fuctional constipation:
a systematic review and meta-analysis. J pediatr. 2019;214:141-50.
20. Tabbers MM, Di Lorenzo C, Berger MY, Faure C, Langendam MW, Nurko S, et
al. Evaluation and treatment of functional constipation in infants and children:
evidence-based recommendations from ESPGHAN and NASPGHAN. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2014;58:258-74.
21. Abi-Hanna A, Lake AM. Constipation and encopresis in childhood. Pediatr
Rev.1998;19:23-30.
22. Yousses NN, Peters JM, Henderson W, Shultz-Peters S, Lockhart DK, Di Lorenzo
C. Dose response of PEG 3350 for the treatment of childhood fecal impaction.
J Pediatr. 2002;141:410-4.
23. Hegar B, Kadim M, Prasetyo D, Karyana IPG, Damayanti W, Jurnalis YD,
dkk. Pedoman tata laksana regurgitasi dan refluks gastro-esofagus, konstipasi
fungsional, kolik infantil, diare cair akut. Edisi pertama. Unit Kerja Koordinasi
Gastrohepatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2023.
24. Gordon M, MacDonald JK, Parker CE, Akobeng AK, Thomas AG. Osmotic and
stimulant laxative for the management of childhood constipation. Cochrane
Database Syst Rev. 2016.
25. Schonwald A, Rappaport L. Consultation with the specialist: encopresis:
assessment and management. Pediatr Rev. 2004;25:278-83.
26. Tabbers M, Boluyt N, Berger MY, Benninga MA. Nonpharmacologic treatments
ofr children constipation: systemic review. Pediatrics.2011;128:753-61.
148 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Konstipasi pada Anak
Frieda Handayani
K
onstipasi merupakan masalah kesehatan pencernaan yang umum
terjadi pada anak, dengan estimasi prevalensi mencapai 3% di
seluruh dunia. Konstipasi seringkali dianggap sebagai variasi
normal yang akan teratasi seiring dengan bertambahnya usia, menyebabkan
hilangnya kesempatan untuk intervensi dini dan terjadi komplikasi seperti
fisura ani, retensi tinja dan inkontinensia/ encopresis. Pada 17−40% anak
dengan konstipasi umumnya dimulai pada dua tahun pertama kehidupan.
Konstipasi dapat disebabkan oleh berbagai penyebab yang mendasarinya,
tetapi sebagian besar anak mengalami gejala konstipasi tanpa dasar etiologi
penyakit tertentu.1 Tatalaksana konstipasi bergantung dari usia anak dan
durasi gejala, meliputi kombinasi dari edukasi, perubahan pola makan,
perubahan perilaku, dan farmakoterapi. Pencegahan konstipasi terfokus
pada pengaturan waktu yang tepat terkait waktu makan, toilet training, dan
perilaku kebiasaan buang air yang benar.2 Dalam praktik klinis, penting untuk
membedakan konstipasi yang terjadi secara dini/akut (gejala berlangsung
kurang dari 8 minggu) dan konstipasi kronik dengan gejala konstipasi yang
persisten atau sering berulang.3
149
nyeri), menyebabkan anak secara volunteer menahan buang air besar untuk
menghindari perasaan nyeri yang tidak menyenangkan tersebut, yang pada
akhirnya menyebabkan siklus lingkaran adanya retensi feses yang kemudian
meningkatkan absorpsi air pada feses, sehingga feses semakin keras dan
buang air besar semakin sulit dan semakin nyeri, menyebabkan kembali
gejala menahan buang air besar yang volunter dan retensi yang memburuk.2
Kriteria diagnosis untuk konstipasi fungsional berdasarkan Rome IV
untuk bayi dan balita ≤4 tahun dan anak ≥4 tahun dapat dilihat pada Tabel
1. Roma IV membedakan antara anak yang sudah terlatih untuk buang air
besar di toilet/ toilet training dan yang belum terlatih.2
Tabel 1. Kriteria Rome IV untuk diagnosis konstipasi fungsional pada anak 4,5
Bayi dan balita ≤ 4 tahun Anak (usia >4 tahun) dan remaja
Setidaknya 2 dari gejala berikut, terjadi selama 1 Setidaknya 2 dari gejala berikut, terjadi selama 1
bulan atau lebih: bulan atau lebih:
• Frekuensi buang air besar ≤ 2 kali/minggu • Frekuensi buang air besar ≤ 2 kali/minggu
• Riwayat retensi feses • Inkontinensia feses setidaknya 1 kali/minggu
• Riwayat nyeri saat buang air besar • Riwayat perilaku menahan buang air besar/
• Riwayat buang air besar dengan ukuran yang retensi belebihan
besar • Riwayat nyeri saat buang air besar
• Teraba masa feses yang besar di rectum • Teraba masa feses yang besar di rectum
• Riwayat buang air besar dengan ukuran besar
Beberapa kriteria tambahan untu anak yang yang menyumbat toilet
sudah berhasil toilet training: Gejala tersebut tidak terjadi akibat kondisi medis
• Inkontinensia feses setidaknya 1 kali/minggu lainnya.
setelah berhasil toilet training Gejala tersebut tidak mencukupi kriteria
• Riwayat buang air besar dengan ukuran besar diagnosis untuk irritable bowel syndrome.
yang menyumbat toilet
150 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
diantaranya:1,5
y Pengeluaran meconium pertama pada bayi cukup bulan >48 jam
y Konstipasi dengan onset pada bulan pertama kehidupan
y Riwayat keluarga dengan penyakit Hirschsprung
y Tinja berbentuk pita (ribbon stools)
y Gagal tumbuh/failure to thrive
y Muntah hijau
y Distensi abdomen berat
y Fungsi tiroid abdnormal
y Posisi anus yang abnormal
y Tidak ada refleks anus atau kremaster
y Penurunan kekuatan otot/tonus/refleks ekstremitas bawah
y Adanya sacral dimple
y Tumbuh rambut pada area tulang belakang
y Deviasi celah gluteus
y Bekas luka pada anus
Pencegahan
Pencegahan konstipasi meliputi edukasi dan diskusi terkait pola makan dan
Pijakan kaki
152 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Asupan serat penting untuk diperhatikan pada seluruh kelompok usia
pada keadaan konstipasi. Berdasarkan rekomendasi konsensus gizi terkait
pemberian serat, bayi dan balita dibawah 2 tahun membutuhkan asupan serat
sekitar 5 gram/hari. Dan untuk anak atatas 2 tahun, kebutuhan serat harian
dapat dihitung dengan rumus usia anak ditambah 5−10 gram/hari, sehingga
untuk anak berusia 1−3 tahun kebutuhan serat harian berkisar antara 19
gram/hari dan untuk anak 4−8 tahun ditargetkan 25 gram/hari, berdasarkan
konsensus yang dikeluarkan oleh Institute of Medicine, Amerika Serikat.6
Bila diberikan edukasi yang tepat, diharapkan intervensi yang dini
dapat mencegah episode konstipasi sederhana berlanjut. Keadaan buang
air besar yang nyeri dapat menyebabkan perilaku menahan buang air besar,
yang kemudian dapat memperberat konstipasi, menyebabkan impaksi dan
inkontinensia.1
Tatalaksana
Intervensi pada keadaan adanya gejala konstipasi penting untuk segera
dilakukan bahkan pada awal mula gejala konstipasi, misalnya pada dua
minggu pertama. Intervensi dilakukan untuk mencegah terjadinya siklus
menahan buang air besar yang dapat menyebabkan perburukan konstipasi,
Intervensi meliputi rencana tindak lanjut untuk memastikan gejala konstipasi
teratasi secara penuh dan anak memiliki pola buang air besar yang baik.5
Pada populasi bayi, karena umumnya konstipasi dipicu oleh perubahan
pola makan misalnya saat pengenalan makanan padat atau pada pemberian
susu sapi, maka umumnya konstipasi pada periode ini akan memberi
respons pada intervensi diet/nutrisi, dan umumnya hanya membutuhkan
waktu yang singkat. Pada bayi yang mengalami konstipasi yang berat dan
berulang, terutama yang memberi gejala sejak lahir harus dievaluasi untuk
kemungkinan penyebab organik. Selain itu, penting untuk membedakan
diskezia pada bayi dengan konstipasi. Pada diskezia, terjadi buang air besar
yang tidak efektif, dengan gejala mengejan atau menangis minimal selama
10 menit (dapat diikuti dengan berhasil atau tidaknya pengeluaran tinja yang
lunak), tanpa adanya kosntipasi. Apabila konstipasi sudah ditegakkan, maka
tatalaksana untuk populasi bayi meliputi:3
y Pada bayi yang belum mulai makanan padat, konstipasi dapat diintervensi
dengan memberikan tambahan karbohidrat aktif osmotik yang tidak
dicerna ke dalam formula. Misalnya dengan menambahkan jus yang
mengandung sorbitol. Untuk bayi dengan usia 4 bulan keatas dapat
diberikan jus buah yang diencerkan.7 Alternatif lain yaitu dengan
menambahkan laktulosa 1 ml/kg dalam formula. Kontrol rutin dan
konseling lanjut diperlukan untuk menghindari asupan jus berlebihan
setelah periode konstipasi teratasi, karena berpotensi untuk memberikan
154 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Begitupula sebaliknya, konstipasi dilaporkan menjadi salah satu gejala pada
4,6% anak dengan alergi susu sapi. Studi lain menunjukkan bahwa pada 78%
anak dengan konstipasi dan alergi susu sapi, gejala konstipasi perbaikan
setelah dilakukan eliminasi susu sapi. Namun demikian hasil yang konsisten
tidak ditemukan pada populasi anak dengan konstipasi kronik. Studi lainnya
mengemukakan adanya keterkaitan antara riwayat alergi susu sapi pada usia
pertama kehidupan dengan kemungkinan terjadinya konstipasi fungsional
di kemudian hari. Sehingga dapat disarankan untuk melakukan uji coba
pemberian formula hipoalergenik selama 2−4 minggu pada bayi dan balita
yang tidak mengalami perbaikan dengan pemberian terapi laksatif.4,8–11
Selanjutnya, untuk populasi balita dan anak, tatalaksana tahap awal
untuk anak usia diatas satu tahun dengan gejala konstipasi yang baru yaitu
memberikan edukasi pada orangtua dan pengasuh, diantaranya terkait
informasi dan saran perilaku buang air tepat. Pemberian laksatif dapat
juga diberikan bergantung dari beratnya gejala. Pada anak dengan buang
air besar yang keras, perlu mengejan namun tidak ada perilaku menahan
buang air besar dan tidak ada lecet atau darah pada anus, perubahan diet saja
dapat cukup. Pemberian makan tinggi serat (≥3 gram/hari) dan pemberian
cairan yang adekuat (1000-2000 ml/hari) dapat direkomendasikan. Namun
demikian, pada anak dengan perilaku menahan buang air besar atau bila
ditemukan luka/lecet atau perdarahan dari rektum atau fisura ani, maka
disarankan penggunaan PEG tanpa mineral dengan dosis 0,4 gram/kg/
hari. Pada keadaan impaksi feses, dapat diberikan PEG dengan dosis yang
lebih tinggi, yakni 1−1,5 gram/kg/hari paling lama 6 hari berturut-turut.
Bila PEG tidak tersedia, dapat juga digunakan laktulosa. Fisura ani dapat
diobati dengan pemberian minyak ter/petroleum jelly. Pada balita dan anak
yang tidak memberi respons adekuat setelah intervensi awal, maka perlu
diidentifikasi adanya masalah diet dan atau pencetus yang mendasari.
Pencetus dapat berupa trauma akibat episode berulang buang air besar
yang nyeri sebelumnya, keengganan menggunakan toilet di sekolah, atau
tidak dialokasikan cukup waktu untuk buang air besar setelah makan di
rumah/di sekolah. Intervensi tambahan yang dapat dilakukan diantaranya
memastikan asupan serat yang adekuat sesuai rekomendasi, penggunaan
laksatif, atau melakukan disimpaksi feses. Asupan serat harian yang adekuat
sesuai rekomendasi yaitu usia ditambah 5−10 gram/hari. Bila asupan tidak
mencukupi, dapat diberikan serat tambahan dalam bentuk suplementasi.
Laksatif juga sesekali diperlukan pada setiap onset konstipasi untuk
mengeluarkan tinja yang keras dan menstimulasi keinginan buang air besar.
Pemberian laksatif yang rutin dapat dipertimbangkan apabila buang air
besar tetap keras atau besar dan menyebabkan nyeri. Pada keadaan adanya
impaksi fekal akibat tidak buang air besar selama beberapa hari, anak dapat
diterapi dengan pemberian laksatif dosis lebih tinggi hingga satu minggu,
atau diberikan enema natrium fosfat dan selanjutnya laksatif. Pemberian
Lanjut rencana tatalaksana perilaku toileting Lanjut rencana tatalaksana perilaku toileting
Turunkan dosis laksa�f Turunkan dosis laksa�f
Pantau rekurensi Pantau rekurensi
156 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
sebaiknya ditingkatkan, walaupun sebenarnya tidak wajib untuk buang air
besar setiap hari. Intervensi dini dapat mencegah retensi tinja yang kemudian
dapat berlanjut menjadi konstipasi kronik dan enkopresis.3
Tinjauan sistematik menunjukkan bahwa hanya 50% anak yang
dipantau selama 6-12 bulan mengalami pemulihan total dari gejala konstipasi
dan sukses berhenti dari terapi laksatif. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, edukasi, konseling, dan perubahan perilaku menahan buang air
besar dengan defekasi yang rutin merupakan terapi medis yang terpenting
dalam penatalaksanaan konstipasi.5 Terkait dengan pilihan laksatif, studi
metaanalisis menunjukkan bahwa PEG lebih superior dibanding laktulosa,
mineral oil atau magnesium dalam memperbaiki gejala konstipasi dan
keberhasilan terapi. Namun demikian, keduanya tidak memberikan efek
samping serius. Beberapa efek samping yang mungkin terjadi diantaranya
diare, nyeri perut, mual, muntah, dan gatal pada area anus.12there has been
a long standing paucity of high quality evidence to support this practice.
Objectives: We set out to evaluate the efficacy and safety of osmotic and
stimulant laxatives used to treat functional childhood constipation. Search
methods: The search (inception to May 7, 2012
Penutup
Tatalaksana komprehensif konstipasi pada anak meliputi pencegahan dan
intervensi dini pada episode konstipasi yang baru atau berulang, sehingga
dapat mencegah komplikasi seperti fisura ani, perilaku menahan buang air
besar, konstipasi kronik, dan enkopresis. Identifikasi pencetus yang umum
sesuai dengan kelompok usia penting untuk dilakukan, diantaranya yang
tersering yaitu pada periode transisi menuju makanan padat, pada saat toilet
training, dan saat mulai masuk sekolah. Tatalaksana meliputi penilaian akan
tanda bahaya dari konstipasi, tatalaksana akut dan pencegahan rekurensi,
yang bergantung pada masing-masing kelompok usia.
Daftar pustaka
1. Tabbers MM, Dilorenzo C, Berger MY, Faure C, Langendam MW, Nurko S, dkk.
Evaluation and treatment of functional constipation in infants and children:
evidence-based recommendations from espghan and naspghan. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2014;58:258–74.
2. Zeevenhooven J, Koppen IJN, Benninga MA. The new rome iv criteria
for functional gastrointestinal disorders in infants and toddlers. Pediatr
Gastroenterol Hepatol Nutr. 2017;20:1–13.
3. Sood MR. Recent-onset constipation in infants and children (serial online).
2023 (cited Nov 1, 2023); 23 screen. Didapat dari: URL:Https://Www.Uptodate.
Com/Contents/Recent-Onset-Constipation-in-Infants-and-Children.
158 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Makanan Pendamping ASI Tepat dan
Berkualitas
Novitria Dwinanda
M
akanan pendamping air susu ibu (MPASI) merupakan makanan
yang diberikan pada saat ASI atau pun susu formula saja sudah
tidak mencukupi kebutuhan nutrisi anak. Waktu pemberian
MPASI umumnya dimulai saat anak berusia 6 bulan, namun dapat dipercepat
dengan syarat tertentu.1 Pada saat MPASI diberikan ASI ataupun susu
formula tetap dilanjutkan. Periode memulai MPASI merupakan periode kritis
yang menentukan penerimaan anak terhadap proses makan, pola makan,
dan jenis makanan jangka panjang, serta periode ini adalah periode risiko
terjadinya weight faltering.2,3
Weight faltering adalah awal dari perjalanan malnutrisi, bila tidak
diidentifikasi dan tidak dilakukan intervensi maka menyebabkan kondisi
berat badan kurang, gizi kurang, gizi buruk, bahkan stunting. Malnutrisi
yang terjadi pada 1000 hari pertama kehidupan berdampak jangka pendek
yaitu menurunnya imunitas tubuh anak sehingga morbiditas dan mortalitas
anak meningkat, pertumbuhan dan perkembangan otak terhambat berakibat
pada keterlambatan perkembangan.3,4 Dampak malnutiris jangka panjang
adalah meningkatnya risiko penyakit tidak menular seperti hipertensi,
diabetes melitus tipe 2, obesitas, serta berdampak pada penurunan kognitif,
gangguan sosial dan emosi yang menyebabkan penurunan kapasitas kerja
serta penghasilan.5
Berdasarkan Pendoman Nasional Pelayanan Kedokteran mengenai
Tatalaksana Stunting, salah satu penyebab stunting dan malnutrisi adalah
pemberian MPASI yang tidak adekuat, yaitu kualitas makanan rendah,
praktik pemberian makan tidak adekuat, keamanan dan kerawanan pangan,
sanitasi dan air tidak sesuai, alokasi makanan dalam rumah tidak sesuai, pola
pengasuhan yang buruk, tingkat pendidikan pengasuh rendah, dan tingkat
kemakmuran rumah tangga.6
Isi
Syarat pemberian MPASI berdasarkan World Health Organization (WHO),
adalah tepat waktu, adekuat, aman, dan diberikan secara responsive feeding.
159
World Health Organization merekomendasikan pemberian ASI eksklusif
hingga usia 6 bulan dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian MPASI.7,8
European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition
merekomendasikan pemberian MPASI bisa dimulai sejak usia 17 hingga 26
minggu, sedangkan The American Academy Pediatrics merekomendasikan
pemberian MPASI pada anak mengkonsumsi ASI eksklusif yaitu diusia 6
bulan, dan pemberian pada anak mengkonsumsi susu formula dimulai sejak
usia 4 hingga 6 bulan.9,10 Unit Kelompok Kerja Nutrisi Penyakit Metabolik
Ikatan Dokter Anak Indonesia merekomendasikan pemberian MPASI saat
pemberian ASI atau susu formula saja sudah tidak mencukupi kebutuhan
nutrisi untuk mencapai pertumbuhan optimal. Pertumbuhan optimal
dinilai dari laju pertambahan berat badan perbulannya. Pemberian MPASI
bisa dapat dimulai sejak usia 4 bulan dengan syarat tanda kesiapan makan
pada anak sudah ada, yaitu anak sudah dapat mengontrol kepala, reflek
menjulurkan lidah dan reflek muntah sudah berkurang, terlihat ketertarikan
terhadap makanan, dan anak tampak lebih sering lapar.11 Pemberian MPASI
mulai diberikan diatas usia 6 bulan tidak dianjurkan dikarenakan kebutuhan
nutrisi anak yang meningkat dan tidak dapat dipenuhi dari pemberian ASI
saja. Zat-zat nutrisi berikut yang harus dipenuhi dari MPASI adalah energi,
protein, zat besi, zeng dan vitamin D.12
Syarat kedua MPASI adalah adekuat, baik komposisi dan porsi.
Pemberian MPASI adekuat akan melengkapi kekurangan energi, protein dan
zat mikronutrien yang didapat dari ASI saja. Kebutuhan energi seorang anak
dapat dihitung dengan mengalikan berat badan ideal dengan recommended
dietary allowance (RDA) seusai usia tinggi. Berat badan ideal dapat dinilai
dari kurva pertumbuhan berat badan berdasarkan tinggi badan sesuai jenis
kelamin dengan melihat median. Recommended dietary allowance (RDA)
sesuai usia dapat dilihat pada tabei 1.11
Porsi MPASI dinaikan bertahap berdasarakan usia anak, yaitu usia 6
hingga 9 bulan diberikan 30%, 9 hingga 12 bulan diberikan 50%, dan diatas
12 tahun diberikan 70% dari total energi kebutuhan. Komposisi yang harus
terdapat dalam MPASI adalah karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan
mineral. Pemberian protein 2,8 sampai dengan 4,8 g/kg/hari atau setara
dengan protein energi ratio 8,9 sampai dengan 11,5% dapat meningkatkan
laju pertumbuhan berat badan 10-20 gram/kg/hari.12 Penelitian pada 313
anak usia 12 hingga 59 bulan di Malawi menunjukaan anak dengan stunting
memiliki kadar 9 asam amino esensial yang rendah, yaitu tryptophan,
isoleucine, leucine, valine, methionine, threonine, histidine, phenylalanine,
dan lysine. Asam amino esensial terdapat pada produk protein hewani
terutama produk susu dan telur.13 Penelitian lain pada 130.432 anak berusia
6 hingga 23 bulan pada 49 negara menunjukkan korelasi antara kondisi
stunting dengan jumlah asupan protein hewani seperti telur, daging,
160 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
ikan, produk susu sapi sangat sedikit.14 Pemberian telur 1 butir perhari
menunjukkan dapat menurunkan angka stunting 47% dan angka berat badan
kurang 74%.15 Selain itu memenuhi kebutuhan asama amino esensial, protein
hewan juga mengandung zat besi yang mudah diserap karena mengandung
heme-iron yang dapat memenuhi kekurangan zat besi. Serat dalam MPASI
dapat bersifat sebagai anti nutrient karena mengantung asam fitat, tanin,
dan saponin. Anti nutrient dapat mengikat dan menghambat penyerapan
beberapa mineral penting seperti kalsium, zat besi, magnesium, fosfat,
zinc.16 Pemberian serat pada bayi hanya sebagai pengenalan, hal ini sejalan
dengan Permenkes nomor 28 tahun 2019 mengenai angka kecukupan gizi
di Indonesia.17
Penutup
Pemantauan pertumbuhan anak dilakukan secara berkala untuk menilai
status nutrisi dan laju pertumbuhan. Weight faltering adalah kondisi awal
dari perjalanan malnutrisi, sehingga harus dapat diidentifikasi segera dan
dilakukan intervensi. Dampak dari malnutrisi dapat terjadi dalam waktu
jangak pendek dan jangka panjang, dan bila hal tersebut terjadi pada anak
usia 1000 hari pertama kehidupan maka dampak bersifat irreversible.
Pencegahan tentunya menjadi cara terbaik dibandingkan dengan mengobati.
Pencegahan dengan cara memberikan edukasi kepada orangtua mengenai
pemberian MPASI yang tepat waktu, adekuat, aman dan secara responsive
feeding dengan memperhatikan kaidah feeding rules.
Daftar pustaka
1. WHO Handbook for Guideline Development, 2nd Edition. Geneva:
World Health Organization; 2014. Didapat dari : https://apps.who.int/iris/
handle/10665/145714.
2. Lutter CK, Grummer-Strawn L, Rogers L. Complementary feeding of infants
and young children 6 to 23 months of age. Nutr Rev. 2021; 79(8):825–846.
3. Birch LL, Doub AE. Learning to eat: birth to age 2 years. Am J Clin Nutr.
2014;99:723S-7285.
162 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
4. Black MM, Walker SP, Fernald LC, Andersen CT, DiGirolamo AM, Lu C et al.
Early childhood development coming of age: science through the life course.
Lancet 2017;389:77–90.
5. Report of the Commission on Ending Childhood Obesity. Geneva, Switzerland:
World Health Organization; 2016. Didapat dari: https://www.who.int/
publications/i/item/9789241510066.
6. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/1928/2022. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tatalaksana Stunting. 2022
7. Guiding Principles for Complementary Feeding of the Breastfed Child.
Washington DC: Pan American Health Organization/World Health Organization;
2003. Didapat dari: https://iris.paho.org/handle/10665.2/752?locale-attribute=en.
8. Guiding Principles for Feeding Non-breastfed Children 6–24 Months of Age.
Geneva: World Health Organization; 2005. Didapat dari: https://www.who.int/
publications/i/item/9241593431.
9. Fewtrell M, Bronsky J, Campoy C, Domellof M, Embleton N, Mis NF et al.
Complementary Feeding: A Position Paper by the European Society for Paediatric
Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN) Committee on
Nutrition. J Pediatric Gastroenterology and Nutrition 2017;64:119–32.
10. Padhani ZA, Das JK, Siddiqui FA, Salam RA, Lassi ZS, Khan DSA et al. Optimal
timing of introduction of complementary feeding: a systematic review and meta-
analysis. Nutr Rev. 2023.
11. UKK Nutrisi Penyakit Metabolik. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Asuhan Nutrisi Pediatrik. 2011
12. Dewey, K. G. Nutrition, Growth, and Complementary Feeding of The Brestfed
Infant. Pediatric Clinics of North America, 48(1), 87–104.2001
13. Semba RD, Shardell M, Ashour FAS,Moadedel R, Trehan I, et al. Child stunting is
associated with low circulating essential amino acids. J. EBioMedicine 2016:246-
252.
14. Headey D, Hirvonen K, Hoddinott. Animal sourced foods and child stunting.
Am J Agric Econ. 2018; 100(5): 1302–1319.
15. Lannotti LL, Lutter CK, Stewart CP, Gallegos Riofrío CA, Malo C, et al . Egg in
early complementary feeding and child growth: A randomized controlled trial.
Pediatrics. 2017 Jul;140(1).
16. Mennella JA, Reiter AR, Daniels LM. Vegetable and fruit acceptance during
infancy: Impact of ontogeny, genetics, and early experiences. Adv Nutr Health
2016;7:211S-9S.
17. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesai nomor 28. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk masyarakat
Indonesia. 2019
18. American Academy of Pediatrics, Committee on Nutrition., Complementary
feeding.Pediatric nutrition. 7th ed Kleinman RE, Greer F, eds. , editors. Elk Grove
Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2013.
19. Pérez-Escamilla R, Jimenez EY, Dewey KG. Responsive Feeding Recommendations:
Harmonizing Integration into Dietary Guidelines for Infants and Young
Children. Curr Dev Nutr. 2021;30:1–5..
164 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Interpretasi Pemeriksaan Feses pada Anak
Diana Aulia
P
emeriksaan feses merupakan pemeriksaan sederhana namun dapat
memberikan banyak informasi penting dalam penegakan diagnosis
dan pemantauan kelainan saluran cerna pada anak. Feses normal
dikeluarkan sebanyak 100-200 gram setiap harinya. Waktu yang diperlukan
untuk proses pencernaan hingga feses dikeluarkan adalah sekitar 18-24 jam.
Feses normal dapat mengandung bakteri, selulosa, sisa-sisa makanan yang
tak tercerna, sekresi gastrointestinal, pigmen empedu, sel-sel dinding usus,
elektrolit, dan air.1,2
Pemeriksaan feses bermanfaat untuk membantu penegakan diagnosis
perdarahan saluran gastrointestinal, kelainan hati dan duktus biliaris, sindrom
malabsorbsi dan maldigesti, serta identifikasi penyebab diare dan steatorrhea.
Yang perlu diperhatikan sebelum melakukan interpretasi adalah memastikan
specimen feses dikumpulkan dengan cara yang tepat. Spesimen feses harus
dikumpulkan di wadah yang bersih dan tidak boleh terkontaminasi dengan
urin, air kakus, atau popok sekali pakai pada bayi/anak. Wadah umumnya
terbuat dari plastik atau bahan gelas dengan tutup ulir. 1,2
Secara umum, pemeriksaan paling sering dilakukan adalah
pemeriksaan kimia untuk darah samar tinja, untuk mendeteksi perdarahan
saluran cerna lebih awal. Analisis feses juga bermanfaat untuk menentukan
adanya peningkatan kandungan lemak (lipid) pada feses, serta membantu
menentukan diagnosis banding diare. Pada makalah ini akan dibahas
mengenai pemeriksaan umum, khusus, pemeriksaan feses yang berkembang
saat ini.
Pemeriksaan umum
A. Pemeriksaan makroskopik
Secara makroskopik, spesimen feses akan dinilai warna, konsistensi, jumlah,
bau, serta adanya darah dan lendir. Feses normal dapat mengandung sedikit
lendir. Namun, adanya lendir yang banyak atau lendir berdarah merupakan
kondisi abnormal. 1,2
Warna
Feses normal berwarna coklat karena oksidasi sterkobilinogen menjadi
165
urobilin. Sterkobilinogen berasal dari bilirubin terkonjugasi yang dibawa ke
usus halus melalui duktus biliaris. Feses yang berwarna pucat kemungkinan
disebabkan obstruksi duktus biliaris atau akibat prosedur diagnostik dengan
barium sulfat. 1,2 Pada studi Lien dkk. didapatkan bahwa penggunaan kartu
evaluasi warna feses pada neonatus dapat meningkatkan kewaspadaan
atresia bilier, mempercepat dilakukannya prosedur terapeutik Kasai, dan
memberikan luaran pasien yang lebih baik. 3
166 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Konsistensi
Selain warna, abnormalitas juga dapat dilihat dari bentuk dan konsistensi
feses. Pada kasus diare akan diperoleh feses yang cair, sedangkan pada
konstipasi akan didapatkan feses yang kecil dan keras. Feses yang memanjang
dan tipis seperti pita disebabkan obstruksi saluran cerna. Feses yang
pucat disebabkan obstruksi bilier, feses pada kasus steatorhea memiliki
volume yang banyak, berbusa, dan sering berbau busuk. Feses bisa tampak
berminyak dan mengambang pada kondisi malabsorpsi lemak. Lendir pada
feses menunjukkan inflamasi saluran cerna atau iritasi akibat penyebab
patologik atau aktivitas berat. Jika pada lendir terdapat darah (blood-streaked
mucus), perlu dipikirkan adanya kerusakan dinding usus, akibat disentri
bakterial, amuba, atau keganasan.1,2 Penggunaan kartu skala Bristol untuk
mengevaluasi konsistensi feses juga diketahui bermakna dalam memantau
efikasi tatalaksana pada anak dengan konstipasi fungsional.
B. Pemeriksan Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik merupakan bagian penting dalam mendeteksi
kelainan feses dan masalah pada saluran cerna. Dari pemeriksaan
mikroskopik dapat dideteksi adanya protozoa (seperti Entamoeba coli),
cacing (Strongyloides stercoralis), serta leukosit dan eritrosit fekal.
Leukosit Fekal
Eritrosit dan leukosit umumnya tidak ditemukan pada feses normal.
Pemeriksaan leukosit dilakukan pada bagian feses yang mengandung mukus.
Peningkatan leukosit ditemukan pada infeksi bakterial, tidak pada infeksi
virus atau parasite. Leukosit, terutama neutrofil, juga didapatkan pada
pada kondisi kerusakan mukosa usus, seperti pada kolitis ulseratif. Pada
168 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
C. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan darah samar feses
Pemeriksaan darah samar feses berfungsi untuk mengidentifikasi darah yang
tidak selalu terlihat secara makroskopik. Perdarahan sebanyak 2,5 mL/150
gram feses sudah dianggap patologis meskipun belum terlihat oleh mata.
Prinsip pemeriksaan darah samar feses umumnya menggunakan aktivitas
pseudoperoksidase hemoglobin. Pada spesimen ditambahkan hidrogen
peroksida, yang apabila bereaksi dengan hemoglobin pada sampel akan
terjadi oksidasi kromogen menghasilkan warna biru. Jenis kromogen yang
sering digunakan meliputi benzidine, ortho-tolidine, dan gum guaiac.
Mengingat feses normal dapat mengandung sampai 2,5 mL darah, kromogen
yang paling disarankan untuk pemeriksaan rutin adalah guaiac karena
sensitivitasnya tidak terlalu rendah. Aktivitas pseudoperoksidase juga dapat
dihasilkan oleh hemoglobin dan mioglobin yang berasal dari asupan daging,
sayuran dan buah tertentu, serta beberapa bakteri usus sehingga dapat
menyebabkan hasil positif palsu. Oleh karena itu, pasien harus diinstruksikan
untuk menghindari daging merah, melon, brokoli, kol, dan lobak selama
tiga hari sebelum pengambilan sampel. 1,2
Terdapat beberapa kit komersial untuk pemeriksaan darah samar
feses yang tersedia. Biasanya pada kit terdapat dua sampai tiga kertas saring
berisi guaiac untuk diberikan feses dari area yang berbeda. Terdapat juga
kontrol positif dan negatif. Untuk menghindari hasil positif palsu karena
kontaminasi, digunakan sampel dari tengah feses. Spesimen harus diperiksa
dalam enam hari sesudah pengambilan. Aspirin dan obat anti inflamasi non
steroid (OAINS) selain acetaminophen juga harus dihindari selama tujuh
hari sebelum pengambilan sampel untuk mencegah iritasi saluran cerna.
Vitamin C dan suplemen yang mengandung besi dihindari selama tiga hari
sebelum pengambilan sampel karena merupakan reduktor kuat.1,2
Selain itu, terdapat juga pemeriksaan yang menggunakan metode
imunokimia yang mendeteksi hemoglobin manusia menggunakan antibodi
spesfifik sehingga tidak diperlukan restriksi diet. Pemeriksaan dengan
metode imunokimia memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam
mendeteksi perdarahan saluran cerna bagian bawah. Pada perdarahan
saluran cerna bagian atas, terjadi disintegrasi rantai globin oleh protease
yang dapat menurunkan sensitivitas pemeriksaan.8
1
Gambar 2. Globul lemak pada pewarnaan feses dengan Sudan III
170 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
72 jam. Pasien juga harus mempertahankan asupan lemak dalam jumlah
yang ditetapkan yaitu sebesar 100 gram/hari selama periode pengumpulan
spesimen. Spesimen yang dikumpulkan disimpan di kulkas untuk mencegah
degradasi bakteri. 1,2
Metode yang rutin digunakan adalah titrasi Van de Kamer, metode
lain menggunakan prinsip gravimetrik. Metode titrasi Van de Kamer yang
merupakan pemeriksaan baku emas Pada pemeriksaan, lemak feses diubah
menjadi asam lemak dan dititrasi sampai ke titik netral menggunakan NaOH.
Konten lemak dilaporkan sebagai gram lemak/hari atau koefisien retensi
lemak per 24 jam. Nilai normal berdasarkan asupan 100 gram/hari adalah
1-6 gram/hari atau koefisien retensi lemak minimal 95%. Rumus perhitungan
untuk koefisien retensi lemak per 24 jam adalah
Koefisien retensi lemak: Lemak diet – lemak feses x 100% Lemak diet.
172 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
AT dapat disintegrasi jika kadar pH gaster < 3.5 sehingga menyebabkan
negatif palsu.4
Pada studi Aulia dkk, didapatkan bahwa kadar alpha-1 AT dapat
bermanfaat untuk mendeketksi protein-losing enteropathy (PLE) pada anak
dengan diare akut. Pada studi ini didapatkan bahwa 75% anak mengalami
PLE, dengan organisme tersering adalah Rotavirus Rerata kadar Alpha-1
AT pada kelompok anak dengan diare akut akibat Rotavirus lebih tinggi
dibandingkan dengan infeksi oleh patogen lain. Rotavirus merupakan
penyebab PLE pada anak. 10 Pada studi Fitriana dkk, didapatkan bahwa
peningkatan ekskresi alpha-1 AT berhubungan bermakna dengan tingkat
keparahan diare pada anak. 11
Tes Kimotripsin
Kimotripsin fekal merupakan produk enzimatik dari sekresi pankreas yang
digunakan untuk mendeteksi insufisiensi pankreas. Namun, kimotripsin
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih rendah dibandingkan
elastase-1. Sensitivitas kimotripsin fekal untuk kasus insufisiensi pankreas
174 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Pemeriksaan antigen Rotavirus
Pemeriksaan antigen Rotavirus menggunakan metode berbasis reaksi imun,
seperti enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), aglutinasi lateks, serta
tes molekular seperti polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan yang
paling banyak digunakan adalah pemeriksaan dengan metode ELISA and
aglutinasi lateks, meskipun pemeriksaan dengan PCR adalah yang paling
sensitif. Virus dapat dideteksi 1-2 hari sebelum onset manifestasi klinis.
Sensitivitas pemeriksaan antigen Rotavirus dipengaruhi kapan pemeriksaan
dilakukan. Pemeriksaan yang dilakukan pada hari pertama hingga keempat
setelah onset penyakit memiliki sensitivitas 94% hingga, tetapi sensitivitas
menurun hingga 76% pada hari keempat-kedelapan setelah onset. 20
Pemeriksaan Adenovirus
Adenovirus enteric (tipe 40-41) dapat menyebabkan diare yang lebih lama
dibandingkan Rotavirus. Pemeriksaan antigen adenovirus dengan metode
ELISA memiliki sensitivitas 78 % dan spesifisitas 100%.13
Pemeriksaan Giardia
Pemeriksaan antigen Giardia dapat dilakukan dengan metode imunoserologi
menggunakan antibodi terhadap tropozoit atau kista. Metode ini lebih
sensitive dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik. 13
176 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Pemeriksaan biakan tinja
Pemeriksaan biakan tinja bertujuan untuk mencari bakteri patogen
seperti Salmonella, Shigella, Vibrio, Escherichia coli, dan berbagai patogen
lainya dengan menggunakan berbagai jenis media. 21 Pemeriksaan kultur
direkomendasikan pada kasus disentri diare sedang-berat, atau jika gejala
diare berlanjut >7 hari. Bakteri enteric patogen yang sering didapatkan
pada kultur adalah Salmonella, Shigella, Campylobacter, serta E. coli.
Pemeriksaan biakan tinja bermanfaat untuk membantu penegakan diagnosis
gastroenteritis infeksi dan menemukan pathogen penyebab. Meskipun
merupakan baku emas, studi menunjukkan sensitivitas kultur yang rendah
kultur rendah (6%).22 Pada studi Lee dkk., didapatkan hasil kultur untuk
patogen enterik hanya positif pada 1,47% pasien, dengan organisme patogen
terbanyak Salmonella spp. (75.0%) diikuti dengan Vibrio (19.4%). Beberapa
faktor yang berhubungan dengan positivitas kultur pada uji multivariat
adalah demam, muntah, durasi diare ≥5, dan kadar C-reactive protein (CRP)
>50 mg/L. 2A total of 13,327 patients who underwent stool cultures due to
diarrheal illness were reviewed. Stool cultures were performed for enteric
pathogens, including Salmonella, Shigella, Vibrio, Klebsiella oxytoca, and
Yersinia. The culture-positive group was compared with the culture-negative
group who were randomly selected from culture negative patients., A total
of 196 patients (1.47%3
Sampel diambil segera setelah diare dan sebelum pemberian terapi
antibiotik. Jumlah minimal sampel yang diperlukan adalah ± 5 gram (sebesar
kaca polong) untuk feses padat dan 0.5 mL untuk feses cair. Feses yang
diambil sebaiknya pada bagian yang tedapat kelainan seperti lendir, darah
atau pus. Jika ditemukan cacing, cacing dipisahkan pada wadah terpisah
dengan ditambahkan cairan garam fisiologis. Wadah penampung yang
digunakan harus bersih, tidak perlu steril, bermulut lebar dan dapat tertutup
rapat (tutup ulir). Penampung untuk pemeriksaan kultur harus bebas
pengawet, kecuali untuk pemeriksaan parasit. Penampung juga harus bebas
deterjen dan ion logam. Pada saat menampung sampel hindari kontaminasi
urin, tisu toilet atau air toilet. Sampel dikirim ke laboratorium dalam waktu
< 2 jam untuk segera diperiksa.21
Jika tidak memungkinkan untuk menampung feses secara langsung,
pengambilan sampel dapat dilakukan menggunakan rectal swab dan
dimasukkan ke media transport seperti Cary Blair, Stuart, atau Amies dan media
alkaline peptone water khusus untuk Vibrio spp. Pengambilan sampel dengan
rectal swab biasanya dilakukan pada neonatus, dengan cara pengambilan
memasukkan kapas swab yang telah dilembabkan melewati sfingter ani, diputar
dan dikeluarkan. Periksa warna feses pada swab. Tempatkan swab pada tabung
steril dengan penutup kapas atau penutup ulir jika diproses dalam 1-2 jam.
Jika >2 jam gunakan media transpor (Cary-Blair).24
Penutup
Pemeriksaan feses dapat memberikan banyak informasi dalam diagnosis
dan pemantauan penyakit gastrointestinal. Pemeriksaan feses terdiri dari
pemeriksaan sederhana berupa pemeriksaan mikroskopik dan makroskopik,
serta pemeriksaan khusus yang bermanfaat untuk mendeteksi gula pereduksi,
178 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
lemak, atau pemeriksaan yang lebih dalam seperti enzim pankreatik,
alpha-1 antitrypsin, serta kalprotectin. Pada pemeriksaan mikrobiologi,
dapat dilakukan biakan untuk mengidentifikasi adanya bakteri patogen.
Pemeriksaan biakan tinja memiliki sensitivitas yang rendah, meskipun
merupakan baku emas.
Daftar pustaka
1. Brunzel NA. Fecal Analysis. In: Brunzel NA. Fundamentals of urine and body
fluids. 3th Ed. Missouri: Elsevier. 2013. p.271-86. In.
2. Mundt LA, Shanahan K. Graff ’s Textbook of Urinalysis and Body Fluids. 2nd
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p. 277-82. In.
3. Lien T-H, Chang M-H, Wu J-F, Chen H-L, Lee H-C, Chen A-C, et al. Effects
of the infant stool color card screening program on 5-year outcome of biliary
atresia in Taiwan. Hepatology. 2011 Jan;53(1):202–8.
4. Kasırga E. The importance of stool tests in diagnosis and follow-up of
gastrointestinal disorders in children. Turk Pediatri Ars. 2019 Sep 25;54(3):141–8.
5. Nuraini IN, Reynaldo, Kekalih A, Karuniawati A, Hegar B. Microscopic
examination of fecal leucocytes as a simple method to detect infective colitis
in children. Indones J Gastroenterol Hepatol Dig Endosc 2017;18:73-9.
6. World Health Organization. Diarrhoeal Treatment Guidelines. Geneva: World
Health Organization 2009.p.1-46.
7. Vandenberg O, Van Laethem Y, Souayah H, Kutane WT, van Gool T, Dediste
A. Improvement of routine diagnosis of intestinal parasites with multiple
sampling and SAF-fixative in the triple-faeces-test. Acta Gastroenterol Belg.
2006 Dec;69(4):361–6.
8. Robertson DJ, Lee JK, Boland CR, Dominitz JA, Giardiello FM, Johnson DA, et
al. Recommendations on Fecal Immunochemical Testing to Screen for Colorectal
Neoplasia: A Consensus Statement by the US Multi-Society Task Force on
Colorectal Cancer. Gastroenterology. 2017 Apr;152(5):1217-1237.e3.
9. Strasinger SK, Lorenzo MSD. Urinalysis and Body Fluids. 6th ed. Philadelphia:
FA Davis Company; 2014. p. 255-65. In.
10. Aulia D, Timan IS, Firmansyah A. Fecal alpha-1 antitrypsin concentration in
protein-losing enteropathies caused by Rotavirus and enteropathogenic bacteria
infection. PI [Internet]. 31Dec.2009 [cited 2Apr.2022];49(6):315-. Available from:
https://paediatricaindonesiana.org/index.php/paediatrica-indonesiana/article/
view/590.
11. Fitriyana, Fitriyana & Jurnalis, Yusri & Yerizel, Eti. (2018). Perbedaan Kadar
Alpha 1 Antitrypsin Feses Berdasarkan Tingkat Keparahan Diare Akut pada
Anak. Sari Pediatri. 19. 267. 10.14238/sp19.5.2018.267-72.
12. Leeds JS, Oppong K, Sanders DS. The role of fecal elastase-1 in detecting exocrine
pancreatic disease. Nat Rev Gastroenterol Hepatol. 2011;8:405–15.
13. Kasırga E. The importance of stool tests in diagnosis and follow-up of
gastrointestinal disorders in children. Turk Pediatri Ars. 2019 Sep 25;54(3):141–8.
14. Degraeuwe PL, Beld MP, Ashorn M, et al. Faecal calprotectin in suspected
180 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia