Farmakokinetika Aspirin
Farmakokinetika Aspirin
Farmakokinetika Aspirin
Farmakokinetik
Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi
tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam dan masa paruh plasma antara 1-3
jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh.5Pengikatan obat ini pada protein plasma
beragam, hanya 20%-50% yang mungkin terikat pada konsentrasi yang ditemukan selama
intoksikasi akut. Setelah dosis terapeutik, 90%-100% obat ini ditemukan dalam urin selama
hari pertama, terutama setelah konjugasi hepatik dengan asam glukoronat (sekitar 60%),
asam sulfat (sekitar 35%), atau sistein (sekitar 3%), sejumlah kecil metabolit hasilhidroksilasi
dan deaseilasi juga telah terdeteksi. Sebagian kecil parasetamol mengalami proses N-
hidroksilasi yang diperantarai sitokrom P450 yang membentuk N-asetil-benzokuinoneimin,
yang merupakan suatu senyawa antara yang sangat reaktif.Metabolit ini bereaksi dengan
gugus sulfhidril pada glutation.Namun, setelah ingesti parasetamoldosis besar, metabolit ini
terbentuk dalam jumlah yang cukup untuk menghilangkan glutation hepatic.
Farmakokinetika Aspirin
Absorpsi
Aspirin cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan dan segera dihidrolisis menjadi asam
salisilat, dengan kadar puncak asam salisilat dalam plasma tercapai dalam 1‐2 jam (Beckman
Coulter, 2003). Sediaan tablet salut selaput menunjukkan kecepatan absorpsi yang bervariasi,
dimana konsentrasi puncak dalam plasma tercapai dalam 4‐6 jam setelah pemberian, namun
onset ini dapat tertunda sampai 8‐12 jam pada dosis tinggi. Kecepatan absorpsi ini
dipengaruhi oleh bentuk sediaan, ada tidaknya makanan dalam lambung, tingkat keasaman
lambung, dan faktor fisiologis lainnya.
Distribusi
Di dalam sirkulasi, sebanyak 80‐90% salisilat terikat dengan protein plasma, terutama
albumin. Salisilat ini dapat didistribusikan ke hampir seluruh cairan tubuh dan jaringan, serta
mudah melalui sawar darah plasenta sehingga dapat masuk ke dalam sirkulasi darah janin.
Pada dosis rendah (konsentrasi dalam plasma < 10 mg/ dL), 90% salisilat terikat oleh
albumin, sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi (> 40 mg/dl), hanya 75% salisilat
yang terikat oleh albumin.
Metabolisme
Aspirin dihidrolisis menjadi asam salisilat di dalam sistem gastrointestinal dan
sirkulasi darah (dengan waktu paruh aspirin 15 menit). Dalam bentuk asam salisilat, waktu
paruh dalam plasma dalam dosis terapetik menjadi 2‐4,5 jam, namun dalam dosis yang
berlebihan (overdosis) waktu ini dapat lebih panjang, antara 18 sampai 36 jam. Jadi dapat
dikatakan bahwa waktu paruh asam salisilat ini terkait dengan dosis. Semakin tinggi dosis
aspirin yang diminum, maka waktu paruh asam salisilat juga semakin panjang. Pada
pemberian aspirin dosis tinggi, jalur metabolisme asam salisilat menjadi jenuh; akibatnya
kadar asam salisilat dalam plasma meningkat tidak sebanding dengan dosis aspirin yang
diberikan. Karena aspirin segera dihidrolisis sebagai salisilat di dalam tubuh, maka salisilat
inilah yang bertanggungjawab terhadap terjadinya intoksikasi.
Kira‐kira 80% asam salisilat dosis kecil akan dimetabolisir di hepar, dikonjugasikan
dengan glisin membentuk asam salisil urat, dan dengan asam glukoronat membentuk asam
salisil glukoronat, dan salisil fenolat glukoronat. Sebagian kecil dihidroksilasi menjadi asam
gentisat. Metabolisme salisilat ini dapat mengalami saturasi (kejenuhan). Pada orang dewasa
normal, saturasi kinetika salisilat terjadi pada pemberian aspirin dosis 1‐2 g. Apabila
kapasitas metabolisme ini terlampaui, maka akan menyebabkan waktu paruh asam salisilat
dalam plasma semakin tinggi dan meningkatkan risiko timbulnya efek samping. Kinetika
saturasi salisilat inilah yang berperan besar dalam kasus‐kasus intoksikasi salisilat.
Ekskresi
Ekskresi asam salisilat melalui ginjal sebesar 5,6% sampai 35,6%. Terdapat korelasi positif
antara pH urin dengan klirens asam salisilat, dimana alkalinisasi (peningkatan Ph urin) akan
meningkatkan klirens asam salisilat yang selanjutnya meningkatkan ekskresi asam salisilat
melalui urin. Akibatnya waktu paruh asam salisilat dapat diperpanjang oleh pH urin yang
rendah (asam) dan pada fungsi ginjal yang terganggu . Selain itu pada urin asam, salisilat
berada dalam bentuk tidak terion sehingga direabsorpsi kembali sehingga menyebabkan
konsentrasi salisilat dalam darah lebih tinggi. Oleh karena itu dinyatakan bahwa ekskresi
salisilat selain dipengaruhi filtrasi glomeruler juga dipengaruhi oleh reabsorpsi dalam
tubulus. Klirens melalui ginjal ini bisa berbeda nilainya dari nilai standar, tergantung pada
pengaruh lokal daerah. Bahkan variasi kinetika ini berbeda antaralaki‐laki dan perempuan
dalam daerah yang sama, dan berbeda pula dengan penduduk
dari daerah yang berbeda.
Salisilat diekskresi ke dalam urin melalui proses filtrasi glomeruler dan sekresi aktif
tubulus. Ekskresi salisilat dalam urin adalah dalam bentuk asam salisilat bebas (10%),
asam salisilurat (75%), fenolat salisilat (10%), asilglukoronat (5%), dan asam gentisat (1%).
Farmakodinamika Aspirin
Penggunaan aspirin sebagai antiinflamasi terutama adalah untuk pengobatan rheumatoid
arthritis, yaitu suatu penyakit kronis sistemik yang melibatkan banyak organ, dan dianggap
sebagai penyakit autoimun. Aspirin mampu mereduksi proses inflamasi di dalam sendi dan
jaringan sehingga mengurangi gejala dan memperbaiki mobilitas penderita. Meskipun
demikian, obat ini tidak mampu menghambat progresivitas cidera jaringan patologis. Jika
dengan aspirin saja belum efektif, maka dapat diganti dengan AINS lain, kortikosteroid, atau
obat yang bersifat disease modifying drug. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa jika
akan menggunakan kombinasi AINS dengan obat lain untuk rheumatoid arthritis (misalnya
AINS dengan methotrexate), maka sebaiknya digunakan AINS selain aspirin.
Mekanisme Aksi
Efektivitas penggunaan aspirin adalah berdasarkan kemampuannya menghambat
enzim siklooksigenase (cyclooxygenase/COX), yang mengkatalisis perubahan asam
arakidonat menjadi prostaglandin H2, prostaglandin E2, dan tromboksan A2. Aspirin hanya
bekerja pada enzim siklooksigenase, tidak pada enzim lipooksigenase, sehingga tidak
menghambat pembentukan lekotrien.
Mekanisme kerja aspirin terutama adalah penghambatan sintesis prostaglandin
E2 dan tromboksan A2. Akibat penghambatan ini, maka ada tiga aksi utama dari aspirin,
yaitu: (1) antiinflamasi, karena penurunan sintesis prostaglandin proinflamasi, (2) analgesik,
karena penurunan prostaglandin E2 akan menyebabkan penurunan sensitisasi akhiran saraf
nosiseptif terhadap mediator pro inflamasi, dan (3) antipiretik, karena penurunan
prostaglandin E2 yang bertanggungjawab terhadap peningkatan set point pengaturan suhu
di hipotalamus.
Aspirin menghambat sintesis platelet melalui asetilasi enzim COX dalam platelet
secara ireversibel. Karena platelet tidak mempunyai nukleus, maka selama hidupnya
platelet tidak mampu membentuk enzim COX ini. Akibatnya sintesis tromboksan A2 (TXA2)
yang berperan besar dalam agregasi trombosit terhambat. Penggunaan aspirin dosis
rendah regular (81 mg/hari) mampu menghambat lebih dari 95% sintesis TXA2 sehingga
penggunaan rutin tidak memerlukan monitoring. Molekul prostaglandin
I2 (PGI2) yang bersifat sebagai anti agregasi trombosit diproduksi oleh endothelium
pembuluh darah sistemik. Sel‐sel endotel ini mempunyai nukleus sehingga mampu
mensintesis ulang enzim COX. Hal inilah yang dapat menjelaskan mengapa aspirin dosis
rendah dalam jangka panjang mampu mencegah serangan infark miokard melalui
penghambatan terhadap TXA2 namun tidak terlalu berpengaruh terhadap PGI2.
Selain melalui penghambatan terhadap COX, aspirin juga mampu mengasetilasi
enzim Nitric Oxide Synthase‐3 (NOS‐3) yang akan meningkatkan produksi Nitric Oxide
(NO). Nitric Oxide diketahui bersifat sebagai inhibitor aktivasi platelet, dengan demikian hal
ini menambah informasi mengenai manfaat aspirin sebagai antiplatelet.