Modul 1 (Uu Pelayaran)
Modul 1 (Uu Pelayaran)
Modul 1 (Uu Pelayaran)
KATA PENGANTAR
Mata kuliah Peraturan Perundang-undangan Pelayaran dan Undang-undang Terkait ini
merupakan mata kuliah yang akan disajikan pada Program Diploma IV Jurusan
Ketatalaksanaan Angkutan Laut dan Kepelabuhan Semester 1 (satu) dan 2 (dua). Mata
kuliah ini merupakan modifikasi dari mata kuliah Regulasi Pelayaran (Hukum
Maritim). Artinya materi yang akan disajikan disesuaikan dengan kebutuhan Jurusan
KALK.
Mata kuliah ini terdiri dari 9 modul, dengan asumsi penyajian setiap kali tatap muka 3
x 50 menit = 150 menit, untuk jumlah pertemuan maksimal 15 kali selama 1 (satu)
semester.
Materi perundang-undangan sebagai acuan awal dari Undang-Undang No.17 Tahun
2008 tentang Pelayaran, namun sebelumnya di ajarkan lebih dahulu tentang UNCLOS
“82 dan 4 Pilar Konvensi Maritim. Barulah kemudian di sisipi dengan Undang-Udang
lainnya serta PP dan Permenhub terkait. Materi 4 Pilar Convensi . SOLAS
Conv,1973 / 1978, MARPOL Conv 1973/1978, STCW conv 1978/ 1982, ISM Code
1992/1996, ISPS Code 2002/2004. Namun pembahasannya sebatas pengenalan materi
yang diatur dalam konvensi tersebut.
Demikian, semoga pembaca maklum
Penulis Modul
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
PELAYARAN DAN UNDANG-UNDANG TERKAIT Tanggal Revisi :
Maret 2020
( 3 SKS )
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR :…………………………………………………………………..………1
DAFTAR ISI : ………………………………………………………………………….2
MODUL I : UNCLOS ’82 dan 4 pilar Convensi Maritim, SOLAS Conv 1973/ 1078,,
M M ARPOL Conv 1974/ 1978 , STCW con 1978/ 1982, MLC 2006 ………4
PENCAPAIAN PEMBELAJARAN :
Setelah selesai mengikuti mata kuliah ini, Taruna mengetahui dan memahami Peraturan
Perundang-Undangan Pelayaran dan Undang-Undang Terkait
MODUL - I : UNCLOS 1982/ 1985
1 x 100 menit
A. Pengertian UNCLOS
UNCLOS = United Nations Convention on the Law of the Sea 1982/ 1985
Konvensi PBB tentang Hukum Laut ke 3 th 1982 di Montego Bay Yamaica 10 Desember
1982 di ikuti 119 negara anggota. Pengesahan Indonesia dgn UU No.17/1985
Didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan, dalam semangat saling pengertian dan
kerjasama, semua masalah yang bertalian dengan hukum laut dan menyadari makna
historis Konvensi ini sebagai suatu sumbangan penting terhadap pemeliharaan
perdamaian, keadilan dan kemajuan bagi segenap rakyat dunia,
Mencatat bahwa perkembangan yang telah terjadi sejak Konverensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa yang diadakan di Jenewa tahun 1958 dan 1960 telah menekankan perlu adanya
suatu Konvensi tentang hukum laut yang baru dan yang dapat diterima secara umum,
Menyadari bahwa masalah-masalah ruang samudera adalah berkaitan erat satu sama lain
dan perlu dianggap sebagai suatu kebulatan,
Mengakui keinginan untuk membentuk, melalui Konvensi ini, dengan mengindahkan
secara layak kedaulatan semua Negara, suatu tertib hukum untuk laut dan samudera yang
dapat memudahkan komunikasi internasional dan memajukan penggunaan laut dan
samudera secara damai, pendayagunaan sumber kekayaan alamnya secara adil dan efisien,
konservasi sumber kekayaan hayati dan pengkajian, perlindungan dan pelestarian
lingkungan laut dan konservasi kekayaan alam hayatinya,
Memperhatikan bahwa pencapaian tujuan ini akan merupakan sumbangan bagi
perwujudan suatu orde ekonomi internasional yang adil dan merata yang memperhatikan
kepentingan dan kebutuhan umat manusia sebagai suatu keseluruhan dan, terutama,
kepentingan dan kebutuhan khusus negara-negara berkembang, baik berpantai maupun
tidak berpantai,
Berkeinginan dengan Konvensi ini untuk mengembangkan prinsip-prinsip yang termuat
dalam resolusi 2749 (XXV) 17 Desember 1970 dimana Majelis Umum dengan khidmat
menyatakan inter alia bahwa baik kawasan dasar laut dan dasar samudera dan tanah
dibawahnya, di luar batas yurisdiksi nasional, maupun sumber kekayaannya, adalah
warisan bersama umat manusia, yang eksplorasi dan eksploitasinya harus dilaksanakan
bagi kemanfaatan umat manusia sebagai suatu keseluruhan, tanpa memandang lokasi
geografis negara-negara,
Berkeyakinan bahwa pengkodifikasian dan pengembangan secara progresif hukum laut
yang dicapai dalam Konvensi ini akan merupakan sumbangan untuk memperkokoh
perdamaian, keamanan, kerjasama dan hubungan bersahabat antara semua bangsa sesuai
dengan asas keadilan dan persamaan hak dan akan memajukan peningkatan ekonomi dan
sosial segenap rakyat dunia, sesuai dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa-Bangsa
sebagaimana ditetapkan. Menegaskan masalah-masalah yang tidak diatur dalam Konvensi
ini tetap tunduk pada ketentuan dan asas hukum internasional umum.
Kedaulatan suatu Negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya, dan
dalam hal suatu Negara kepulauan dengan perairan kepulauannya, meliputi pula suatu
jalur laut yang berbatasan dengannya yang dinamakan laut teritorial.
Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut serta dasar laut dan lapisan tanah
dibawahnya.
Kedaulatan atas laut teritorial dilaksanakan dengan tunduk pada Konvensi ini dan
peraturan-peraturan lainnya dari hukum internasional
Teritorial Indonesia
Setiap Negara mempunyai hak untuk menetapkan lebar laut teritorialnya sampai suatu
batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai
dengan Konvensi ini
. Batas terluar laut teritorial adalah garis yang jarak setiap titiknya dari titik yang terdekat
garis pangkal, sama dengan lebar laut territorial
Kecuali ditentukan lain dalam Konvensi ini, garis pangkal biasa untuk mengukur lebar
laut teritorial adalah garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana yang ditandai pada
peta skala besar yang secara resmi diakui oleh Negara pantai tersebut.
Dalam hal pulau yang terletak pada atol atau pulau yang mempunyai karang-karang di
sekitarnya, maka garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air
rendah pada sisi karang ke arah laut sebagaimana ditunjukkan oleh tanda yang jelas untuk
itu pada peta yang diakui resmi oleh Negara pantai yang bersangkutan.
Deklarasi Djuanda ini diperjungkan dalam sidang PBB di Yamaica, dan berhasil diterima
dalam sidang PBB
UNCLOS - 1982 Pasal 3 Lebar laut teritorial
Setiap Negara mempunyai hak untuk menetapkan lebar laut teritorialnya sampai suatu
batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai
dengan Konvensi ini.
(c) setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan
bagi pertahanan atau keamanan Negara pantai;
(d) setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan atau
keamanan Negara pantai;
(e) peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di atas kapal;
(f) peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan perlengkapan militer;
(g) bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan
dengan peraturan perundangundangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter
Negara Pantai;
(h) setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan parah yang bertentangan dengan
ketentuan Konvensi ini;
(i) setiap kegiatan perikanan;
(j) kegiatan riset atau survey;
(k) setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi atau setiap
fasilitas atau instalasi lainnya Negara pantai;
(l) setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan lintas.
suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal
pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut.
Landas kontinen suatu negara pantai tidak boleh melebihi batas-batas 350 mil
Tepian kontinen meliputi kelanjutan bagian daratan negara pantai yang berada dibawah
permukaan air, dan terdiri dari dasar laut dan tanah dibawahnya dari dataran kontinen,
lereng (slope) dan tanjakan (rise). Tepian kontinen ini tidak mencakup dasar samudera
dalam dengan bukti-bukti samudera atau tanah di bawahnya
Status hukum perairan dan ruang udara diatas landas kontinen serta hak dan
kebebasan Negara lain
Hak Negara pantai atas landas kontinen tidak mempengaruhi status hukum perairan di
atasnya atau ruang udara di atas perairan tersebut.
Pelaksanaan hak Negara pantai atas landas kontinen tidak boleh mengurangi, atau
mengakibatkan gangguan apapun yang tak beralasan terhadap pelayaran dan hak serta
kebebasan lain yang dimiliki Negara lain sebagaimana ditentukan dalam ketentuan
Konvensi ini.
C. ZEE Indonesia
Pengumuman Pemerintah RI 21-3-1980 bahwa ZEE Indonesia yaitu jalur diluar wilayah
Indonesia (12 mil laut) yg lebarnya 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah
Indonesia kemudian pengumuman ini dimuat dalam UU No. 5/1983 ttg ZEEI Pasal 2
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
PELAYARAN DAN UNDANG-UNDANG TERKAIT Tanggal Revisi :
Maret 2020
( 3 SKS )
Hal ini terjadi sebelum UNCLOS di ratifikasi Indonesia dengan UU No.17/1985. maka
sebelumnya dimana ZEE ini telah dimasukan kedalam UNCLOS Pasal 57. Lebar ZEE
ZEE tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial
diukur.
Pengertian ZEE
ZEE adalah Suatu zona selebar tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal teritorial
diukur, di zona ini Negara pantai memiliki hak-hak berdaulat yang eksklusif untuk
keperluan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam serta yuridiksi tertentu
terhadap:
- Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan.
- Riset ilmiah kelautan.
- Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
D. Laut Lepas
Laut lepas terbuka untuk semua Negara, baik Negara pantai atau tidak berpantai.
Kebebasan laut lepas, dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan dalam
Konvensi ini dan ketentuan lain hukum internasional. Kebebasan laut lepas itu meliputi,
inter alia, baik untuk Negara pantai atau Negara tidak berpantai :
a. untuk memasang kabel dan pipa bawah laut, dengan tunduk pada Bab VI;
b. kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya yang diperbolehkan
berdasarkan hukum internasional, dengan tunduk pada Bab VI;
c. kebebasan kebebasan berlayar;
d. kebebasan penerbangan;
e. kebebasan menangkap ikan, dengan tunduk pada persyaratan yang tercantum dalam
bagian 2;
f. kebebasan riset ilmiah, dengan tunduk pada Bab VI dan XIII.
Kapal harus berlayar di bawah bendera suatu Negara saja dan kecuali dalam hal-hal luar
biasa yang dengan jelas ditentukan dalam perjanjian internasional atau dalam Konvensi
ini, harus tunduk pada yurisdiksi eksklusif Negara itu di laut lepas. Suatu kapal tidak
boleh merobah bendera kebangsaannya sewaktu dalam pelayaran atau sewaktu berada di
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
PELAYARAN DAN UNDANG-UNDANG TERKAIT Tanggal Revisi :
Maret 2020
( 3 SKS )
suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam hal adanya suatu perpindahan
pemilikan yang nyata atau perubahan pendaftaran.
Sebuah kapal yang berlayar di bawah bendera dua Negara atau lebih, dan
menggunakannya berdasarkan kemudahan, tidak boleh menuntut salah satu dari
kebangsaan itu terhadap Negara lain manapun, dan dapat dianggap sebagi suatu kapal
tanpa kebangsaan.
Setiap Negara harus melaksanakan secara efektif yurisdiksi dan pengawasannya dalam
bidang administratif, teknis dan sosial atas kapal yang mengibarkan benderanya.
Khususnya setiap Negara harus :
(a) memelihara suatu daftar (register) kapal-kapal yang memuat nama dan keterangan-
keterangan lainnya tentang kapal yang mengibarkan benderanya, kecuali kapal yang
dikecualikan dari peraturan-peraturan internasional yang diterima secara umum
karena ukurannya yang kecil, dan
(b) menjalankan yurisdiksi di bawah perundang-undangan nasionalnya atas setiap kapal
yang mengibarkan benderanya dan nakhoda, perwira serta awak kapalnya bertalian
dengan masalah administratif, teknis dan sosial mengenai kapal itu.
Setiap Negara harus mengambil tindakan yang diperlukan bagi kapal yang memakai
benderanya, untuk menjamin keselamatan di laut, berkenaan, inter alia, dengan :
(a) konstruksi, peralatan dan kelayakan laut kapal;
(b) pengawakan kapal, persyaratan perburuhan dan latihan awak kapal, dengan
memperhatikan ketentuan internasional yang berlaku;
(c) pemakaian tanda-tanda, memelihara dan pencegahan tubrukan.
Dalam mengambil tindakan yang diharuskan dalam ayat 3 dan 4 setiap Negara
diharuskan untuk mengikuti peraturan-peraturan, prosedur dan praktek internasional
yang umum diterima dan untuk mengambil setiap langkah yang mungkin diperlukan
untuk pentaatannya.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
PELAYARAN DAN UNDANG-UNDANG TERKAIT Tanggal Revisi :
Maret 2020
( 3 SKS )
Suatu Negara yang mempunyai alasan yang kuat untuk mengira bahwa yurisdiksi dan
pengendalian yang layak bertalian dengan suatu kapal telah tidak terlaksana, dapat
melaporkan fakta itu kepada Negara bendera. Setelah menerima laporan demikian,
Negara bendera harus menyelidiki masalah itu dan, apabila diperlukan, harus mengambil
tindakan yang diperlukan untuk memperbaiki keadaan.
Setiap Negara harus mengadakan pemeriksaan yang dilakukan oleh atau dihadapan
seorang atau orang-orang yang berwenang, atas setiap kecelakaan kapal atau insiden
pelayaran di laut lepas yang menyangkut kapal yang mengibarkan benderanya dan yang
mengakibatkan hilangnya nyawa atau luka berat pada warganegara dari Negara lain atau
kerusakan berat pada kapal-kapal atau instalasi instalasi Negara lain atau pada
lingkungan laut. Negara bendera dan Negara yang lain itu harus bekerjasama dalam
penyelenggaraan suatu pemeriksaan yang diadakan oleh Negara yang lain itu terhadap
setiap kecelakaan laut atau insiden pelayaran yang demikian itu.
Dalam hal terjadinya suatu tubrukan atau insiden pelayaran lain apapun yang
menyangkut suatu kapal laut lepas, berkaitan dengan tanggung jawab pidana atau
disiplin nakhoda atau setiap orang lainnya dalam dinas kapal, tidak boleh diadakan
penuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang yang demikian kecuali di hadapan
peradilan atau pejabat administratif dari atau Negara bendera atau Negara yang orang
demikian itu menjadi warganegaranya.
Dalam perkara disiplin, hanya Negara yang telah mengeluarkan ijazah nakhoda atau
sertifikat kemampuan atau ijin yang harus merupakan pihak yang berwenang, setelah
dipenuhinya proses hukum sebagaimana mestinya, untuk menyatakan penarikan
sertifikat demikian, sekalipun pemegangnya bukan warganegara dari Negara yang
mengeluarkannya.
Tidak boleh penangkapan atau penahanan terhadap kapal, sekalipun sebagai suatu
tindakan pemeriksaan, diperintahkan oleh pejabat manapun kecuali oleh pejabat pejabat
dari Negara bendera.
Pengejaran seketika suatu kapal asing dapat dilakukan apabila pihak yang berwenang
dari Negara pantai mempunyai alasan cukup untuk mengira bahwa kapal tersebut telah
melanggar peraturan perundang-undangan Negara itu. Pengejaran demikian harus
dimulai pada saat kapal asing atau salah satu dari sekocinya ada dalam perairan
pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial atau zona tambahan negara pengejar, dan
hanya boleh diteruskan di luar laut teritorial atau zona tambahan apabila pengejaran itu
tidak terputus. Adalah tidak perlu bahwa pada saat kapal asing yang berada dalam laut
teritorial atau zona tambahan itu menerima perintah untuk berhenti, kapal yang memberi
perintah itu juga berada dalam laut teritorial atau zona tambahan. Apabila kapal asing
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
PELAYARAN DAN UNDANG-UNDANG TERKAIT Tanggal Revisi :
Maret 2020
( 3 SKS )
tersebut berada dalam zona tambahan, sebagaimana diartikan dalam pasal 33,
pengejaran hanya dapat dilakukan apabila telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak
untuk perlindungan mana zona itu telah diadakan.
Hak pengejaran seketika harus berlaku, mutatis mutandis bagi pelanggaran-pelanggaran
di zona ekonomi eksklusif atau di landas kontinen, termasuk zona-zona keselamatan
disekitar instalasi-instalasi di landas kontinen, terhadap peraturan perundang-undangan
Negara pantai yang berlaku sesuai dengan Konvensi ini bagi zona ekonomi eksklusif
atau landas kontinen, termasuk zona keselamatan demikian.
Hak pengejaran seketika berhenti segera setelah kapal yang dikejar memasuki laut
teritorial Negaranya sendiri atau Negara ketiga.
Pengejaran seketika belum dianggap telah dimulai kecuali jika kapal yang mengejar
telah meyakinkan diri dengan cara-cara praktis yang demikian yang mungkin tersedia,
bahwa kapal yang dikejar atau salah satu sekocinya atau kapal lain yang bekerjasama
sebagai suatu team dan menggunakan kapal yang dikejar sebagai kapal induk berada
dalam batas-batas laut teritorial atau sesuai dengan keadaannya di dalam zona tambahan
atau zona ekonomi eksklusif atau di atas landas kontinen. Pengejaran hanya dapat mulai
setelah diberikan suatu tanda visual atau bunyi untuk berhenti pada suatu jarak yang
memungkinkan tanda itu dilihat atau didengar oleh kapal asing itu.
Hak pengejaran seketika dapat dilakukan hanya oleh kapal-kapal perang atau pesawat
udara militer atau kapal-kapal atau pesawat udara lainnya yang diberi tanda yang jelas
dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara dalam dinas pemerintah dan
berwenang untuk melakukan tugas itu.
Dalam hal pengejaran seketika dilakukan oleh suatu pesawat udara :
(a) ketentuan-ketentuan dalam ayat 1 dan 4 harus berlaku mutatis mutandis;
(b) pesawat udara yang memberikan perintah untuk berhenti harus melakukan
pengejaran kapal itu secara aktif sampai kapal atau pesawat udara Negara pantai
yang dipanggil oleh pesawat udara pengejar itu tiba untuk mengambil alih
pengejaran itu, kecuali apabila pesawat udara itu sendiri dapat melakukan
penangkapan kapal tersebut. Adalah tidak cukup untuk membenarkan suatu
penangkapan di luar laut teritorial bahwa kapal itu hanya terlihat oleh pesawat
udara sebagai suatu pelanggar atau pelanggar yang dicurigai, jika kapal itu tidak
diperintahkan untuk berhenti dan dikejar oleh pesawat udara itu sendiri atau
oleh pesawat udara atau kapal lain yang melanjutkan pengejaran itu tanpa
terputus.
Pelepasan suatu kapal yang ditahan dalam yurisdiksi suatu Negara dan dikawal ke
pelabuhan Negara itu untuk keperluan pemeriksaan di hadapan pejabat-pejabat yang
berwenang tidak boleh dituntut semata-mata atas alasan bahwa kapal itu dalam
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
PELAYARAN DAN UNDANG-UNDANG TERKAIT Tanggal Revisi :
Maret 2020
( 3 SKS )
melakukan perjalanannya, dikawal melalui sebagian dari zona ekonomi eksklusif atau
laut lepas jika keadaan menghendakinya.
Dalam hal suatu kapal telah dihentikan atau ditahan di luar laut teritorial dalam keadaan
yang tidak membenarkan dilaksanakannya hak pengejaran seketika, maka kapal itu
harus diberi ganti kerugian untuk setiap kerugian dan kerusakan yang telah diderita
karenanya.
TUGAS /LATIHAN
Jelaskan batas-batas laut menurut UNCLOS 1982