Bab II
Bab II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Dialektologi
2004: 3). Menurut Fernandez (1993: 1) dialektologi berasal dari kata dialect dan
logi yang artinya ilmu yang mempelajari dialek. Dialektologi adalah sebuah cabang
kajian linguistik yang muncul karena adanya kajian linguistik komparatif atau
mempelajari salah satu bagian linguistik yang berfokus pada geografi dialek, di
cabang ilmu bahasa yang khusus mempelajari variasi-variasi bahasa dalam semua
dan semantik. Keraf (1996: 143) membagi sub dialektologi menjadi dua sub cabang
11
memperlakukannya sebagai struktur yang utuh. Sementara itu, Mahsun (1995: 11)
definisi di atas dapat disimpulkan jika dialektologi adalah ilmu yang mempelajari
(Zulaeha, 2010: 2). Istilah ini sama halnya seperti yang dikemukakan oleh Chamber
dan Trudgill (1998: 14) yang menyebut jika dialektologi dapat dikatakan juga
bidang kajian dialektologi yang kini menyempit menjadi telaah variasi bahasa
secara spasial. Menurut Nur, Abdul & Fernandez (2005: 118) mengungkapkan
bahwa perbedaan antar dialek pada suatu bahasa biasanya terjadi pada tataran
a. Fonologi
12
leksikon, mengingat pada penentuan isolek, dialek, subdialek atau bahasa
terjadi pada semua data yang disyarati oleh kaidah perubahan dan daerah
teratur dan bersifat sistematis. Perubahan bahasa yang bersifat sistematis dan
hukum Grimm. Contoh hukum Grimm yaitu pada perubahan bahasa Indo-Eropa
perubahan berlaku pada semua contoh yang disyarati linguistis, tetapi beberapa
13
Korespondensi kurang sempurna adalah korespondensi yang terjadi jika
perubahan bunyi tidak terjadi pada semua bentuk yang disyarati linguistis, tetapi
setidaknya ada dua contoh yang memiliki sebaran geografis yang sama
Variasi bunyi berupa variasi konsonan dan variasi vokal. Variasi konsonan
adalah variasi yang terjadi pada kosakata di satu titik berbeda satu konsonan
dengan kosakata pada titik pengamatan lain (Junawaroh, 2016: 5). Sementara
itu, variasi vokal adalah variasi yang terjadi pada kosakata di satu titik berbeda
satu vokal dengan kosakata pada titik pengamatan lain (Junawaroh, 2016: 6).
tersebut yaitu fonem /w/ di awal kata [watu] yang digunakan di Kecamatan
berikutnya yaitu variasi vokal pada fonem /a/ [o], misalnya pada kata: dawa
[dowo] ‘panjang’, mata [moto] ‘mata’, lara [loro] ‘sakit’, gula [gulo] ‘gula’.
‘mata’, [lara] ‘sakit’, dan [gula] ‘gula’. Hampir pada setiap bentuk kata dalam
14
bahasa Jawa yang mengandung fonem /a/ [o] suku terbuka dalam dialek
b. Morfologi
dalam aspek afiksasi misalnya perbedaan wujud afiks yang menyatakan makna
kausatif, benefaktif yang terjadi di antara penutur bahasa Jawa di Jawa Tengah
(bagian barat) dan Jawa Barat (Mahsun, 1995:51). Contoh kata ‘jempolan’
[jəmpolan] dari kata dasar jempol [jəmpol] mendapat akhiran –an dalam bahasa
Jawa standar memiliki arti ‘ibu jari’, tetapi dalam bahasa Sunda memiliki arti
‘jagoan’.
prakategorial yang terdapat dalam bahasa Sunda modern (Mahsun, 1995: 52).
kata yang merupakan hasil proses komposisi tersebut. Contohnya dalam bahasa
perpaduan antara leksem [panon] ‘mata’ dan [poɛ] ‘hari’. Pada bentuk ini
15
Perbedaan pada aspek morfofonemik berkaitan dengan perbedaan
dalam merealisasikan suatu afiks yang menyatakan makna yang sama (Mahsun,
1995: 53).
c. Sintaksis
yang digunakan untuk menyatakan kepemilikan, “baju itu milik saya”. Jika di
menunjukkan frasa [nggonku] dan [nggone inyong], kedua frasa tersebut sama-
d. Semantik
bentuk yang sama (Mahsun, 1995: 54). Contoh kata [pawon] di Kecamatan
yaitu satu kata yang memiliki lafal atau ejaan yang sama tetapi memiliki makna
16
e. Leksikal
digunakan untuk merealisasikan suatu makna yang sama tidak berasal dari satu
etimon prabahasa (Mahsun, 1995: 54). Perbedaan leksikal menurut Nadra &
Reniwati (2009: 28) adalah variasi atau perbedaan bahasa yang terdapat dalam
Contoh lain seperti untuk menyebutkan kata ‘tidur’ memiliki 6 variasi, yaitu
[turu], [bubu], [sarɛ], [tiləm], [bobo], dan [pinəuh]. Penggunaan kata [turu],
merupakan contoh perbedaan leksikon yang berasal dari bahasa atau dialek lain.
2. Dialek
Dialek adalah variasi linguistik yang berbeda pada tingkat kosa kata, tata
bahasa, dan pelafalannya (Holmes, 2013: 140). Dialek menurut Chambers dan
Trudgill (1998: 5) mengacu pada variasi secara gramatikal dan mungkin leksikon
serta secara fonologis yang berbeda. Contohnya seperti ketika dua orang berkata, I
done it last night dan I did it last night, dari kedua ujaran tersebut dapat dikatakan
Menurut Keraf (1996: 144) dialek adalah semua wujud pelafalan yang
memiliki ciri-ciri yang sama dalam tata bunyi, kosa kata, morfologi, dan sintaksis
atau leksikon yang digunakan pada salah satu kelompok. Sementara itu Panitia
17
Atlas basa-basa Eropa dalam Ayatrohaedi (1983:1) mendefinisikan dialek sebagai
sistem kebahasaan yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk membedakan dari
walaupun hubungannya erat. Nur, Abdul & Fernandez (2005: 118) berpendapat
bahwa dialek adalah variasi bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang berbeda
dengan ciri-ciri yang digunakan oleh masyarakat yang lain dari bahasa yang sama,
tetapi diantara para penuturnya masih dapat saling memahami bahasa tersebut. Ciri
utama dialek yaitu perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan
(Sahayu, 2003: 338). Ciri lainnya adalah adanya kemiripan bentuk tuturan antara
satu daerah dengan daerah lainnya (Chambers dan Trudgill, 1998: 5).
atau golongan tertentu (dialek sosial), atau pada waktu tertentu (dialek temporal).
Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa dialek adalah
masyarakat.
dialek geografi (regional) dan dialek sosial (Holmes, 2013: 139). Dialek sosial
sedangkan dialek geografi yaitu membahas variasi bahasa yang digunakan oleh
18
a. Dialek Sosial
(2007: 514) penggunaan bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Jawa
sangat bervariasi, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu jenis kelamin,
Dialek sosial mengacu pada dialek atau tuturan yang diucapkan oleh
kelas sosial penuturnya. Dialek di suatu daerah yang sama dapat dimungkinkan
mengalami perbedaan, hal ini disebabkan karena perbedaan kelas sosial penutur
tertentu dengan kelas sosial lainnya. Contoh pemilihan kosa kata yang
Dialek dapat menunjukkan kelas sosial atau kasta tertentu dan latar
perbedaannya dapat dilihat dari pemilihan kosa kata, gramatikal, dan ujaran
menjadi empat kelas secara vertikal, yaitu wong cilik, wong saudagar, priyayi,
dan ndara. Selain itu, secara horizontal dibedakan menjadi wong abangan dan
santri. Berdasarkan kelas sosial tersebut, maka terdapat variasi bahasa yang
digunakan antar kelas sosial. Bahasa yang digunakan oleh kalangan wong cilik
19
tentunya berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh kalangan ndara. Bahasa
menggunakan bahasa Jawa ragam krama dan lebih halus bila dibandingkan
dengan orang yang berpendidikan lebih rendah. Contoh lainnya seperti yang
dikemukakan oleh Goebel (2007: 514) orang Jawa dengan kelas sosial lebih
rendah biasanya menggunakan bahasa Jawa ragam krama kepada orang yang
berstatus sosial lebih tinggi, lebih tinggi disini yang dimaksud adalah dilihat
b. Dialek geografi
perbedaan lokal dalam suatu wilayah bahasa. Pernyataan ini sejalan dengan
yang dikemukakan oleh Nadra dan Reniwati (2009: 20) geografi dialek adalah
istilah lain dari dialektologi atau dapat disebut juga dialek regional. Menurut
Yanuar (2014: 9) dialek regional yaitu mengkaji perbedaan dialek suatu bahasa
yang digunakan di regional atau wilayah tertentu. Jadi dari beberapa pendapat
20
Studi dialek geografi bertujuan mengkaji semua gejala kebahasaan dari
semua data yang diperoleh dari wilayah penilitian yang disajikan dalam bentuk
peta bahasa atau dapat dikatakan bahwa tujuan geografi dialek adalah usaha
untuk memetakan dialek (Patriantoro, 2012: 103). Tujuan umum lainnya dari
1993: 22). Menurut Nothofer (1987: 128) dalam Nadra dan Reniwati (2009: 22)
3) Penentuan status isolek sebagai dialek, subdialek, atau bahasa yang berpijak
dipetakan tersebut.
Salah satu hasil dari penelitian geografi dialek adalah peta bahasa. Di
wilayah satu dengan wilayah lainnya yang disebut dengan garis isoglos. Isoglos
memberikan gambaran antara area yang memiliki kosakata yang berbeda, tata
21
isoglos dapat menginventarisasi bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia,
salah satunya yaitu bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat yang
Jawa Barat.
Morris Swadesh menyusun daftar kosa kata dasar yang terdiri dari 200 kata
yang dianggap bersifat universal, artinya terdapat di semua bahasa di dunia (Keraf:
1996: 139). Kosa kata dasar Swadesh merupakan kata-kata dasar yang secara umum
digunakan oleh setiap kelompok masyarakat tutur atau kata-kata dasar yang secara
umum dan luas digunakan oleh hampir semua masyarakat bahasa (Patriantoro,
2012: 106). Daftar kosa kata inilah yang menjadi instrumen dalam penelitian
dialektologi yang diajukan kepada informan. Daftar kosa kata Morris Swadesh
dikembangkan oleh Nothofer dan dimodifikasi oleh Kisyani menjadi 390 kosakata
budaya setempat. Daftar pertanyaan yang berisi kosa kata budaya tempat penelitian
penelitian (Nadra & Reniwati, 2009: 52), sehingga informan dapat menjawab
secara langsung dan spontan pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Kosa kata
budaya setempat yang dikembangkan oleh Nothofer dan dimodifikasi oleh Kisyani
menjadi 390 kosakata tersebar dalam 19 medan makna, rinciannya sebagai berikut:
a. Bilangan
b. Ukuran
22
e. Tutur sapaan dan acuan
f. Istilah kekerabatan
h. Pekerjaan
i. Binatang
k. Alam
m. Alat
p. Aktivitas
q. Sifat
s. Rasa
kongkrit yang lengkap dengan teknik pencatatan dan perekaman (Zulaeha, 2010:
60).
4. Isoglos
23
memudahkan penelitian bahasa atau dialek, para linguis membuat instrumen untuk
dari Latvia pada tahun 1892. Secara harfiah istilah isoglos berasal dari bahasa
Yunani yaitu iso dan gloss (Chambers dan Trudgill, 1998: 89). Isoglos adalah garis
yang membatasi area pada peta dengan fenomena linguistik tertentu (Klemencic,
2010: 249).
Kurath (1972) dalam Nadra & Reniwati (2009: 80) memperkenalkan istilah
lain dari isogloss, yaitu heteroglos. Isoglos adalah garis yang terdapat dalam peta
bahasa yang membatasi penggunaan bahasa atau dialek yang berbeda, tata bahasa
yang digunakan atau cara pengucapan yang berbeda-beda pada wilayah satu dengan
wilayah lainnya (Holmes, 2013: 136). Menurut Dubois (1973: 270) dalam
Ayatrohaedi (1983: 5) isoglos atau garis watas kata yaitu garis yang memisahkan
dua lingkungan dialek atau bahasa berdasarkan wujud atau sistem kedua
Hal ini agak sedikit berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Lauder (2002: 39) yang menyatakan bahwa isoglos merupakan garis imajiner yang
diterakan di atas sebuah peta bahasa. Dari beberapa definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa isoglos adalah garis. Garis yang menjadi batas penggunaan
dialek atau bahasa antara wilayah satu dengan wilayah lainnya yang berkaitan
(2017: 69) kegunaan peta berkas isogloss dapat dipakai untuk menentukan batas
variasi bahasa. Pendapat tersebut sama halnya seperti yang dikemukakan oleh
24
(Chambers dan Trudgill, 1998: 94) bahwa istilah ‘isoglos’ adalah garis yang
dialek yang berbeda pada peta bahasa. Gambaran isoglos dapat menginventarisasi
bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia, salah satunya yaitu bahasa Jawa yang
5. Isolek
Isolek adalah istilah yang digunakan secara netral untuk menyebutkan alat
komunikasi yang dipakai suatu masyarakat tetapi belum ditetapkan sebagai bahasa,
dialek atau subdialek (Fernandez, 1993: 19). Menurut Kridalaksana (2009: 97)
isolek yaitu isoglos pada peta bahasa yang digambarkan melingkari satu kata
tertentu. Isolek merupakan isoglos yang berhubungan dengan leksikon. Wujud dari
isoglos adalah garis, garis yang menjadi batas penggunaan dialek atau bahasa
metode dialektometri.
25
6. Dialektometri
antara lain dilakukan oleh Ayatrohaedi (1978), Nothofer (1980), Medan (1986),
Lauder (1990), Danie (1991) dan Nadra (1997) Nadra & Reniwati (2009: 91).
statistik yang digunakan untuk melihat seberapa jauh perbedaan dan persamaan
unsur yang terkumpul dari tempat tersebut. Pendapat Mahsun sejalan dengan yang
diungkapkan oleh Grieve (2011: 195) yaitu dialektomertri merupakan adalah salah
(S x 100)
________ = d %
n
Hasil yang diperoleh dari perhitungan ini berupa prosentase jarak unsur-
menentukan daerah bahasa ke dalam daerah wicara, dialek, subdialek, atau bahasa
26
Perbedaan pada bidang leksikon:
7. Peta Bahasa
Peta adalah representasi melalui gambar dari suatu daerah yang menyatakan
batas daerah, sifat, permukaan, garis lintang, struktur tanah, dan kondisi alam
pengertian peta di atas, peta bahasa berarti memindahkan data yang dikumpulkan
di daerah penelitian ke dalam peta (Nadra & Reniwati, 2009:71). Peta bahasa adalah
hasil dari penelitian geografi dialek. Peta yang memberikan gambaran gejala
kebahasaan.
27
Ayatrohaedi (1983: 31) berpendapat bahwa peta bahasa atau peta dialek
pengggunaan bahasa atau dialek di suatu tempat dapat terlihat dengan jelas
(Trudgill, 2000: 148). Peranan peta bahasa dalam penelitian dialektologi sangatlah
penting. Menurut Chambers dan Trudgill (1998: 25) peta bahasa dibagi menjadi 2
jenis, yaitu peta peragaan (display maps) dan peta tafsiran (interpretive maps).
a. Peta peragaan (display maps) yaitu peta bahasa yang berisi tabulasi data dari
tempat penelitian dengan tujuan supaya data tersebut dapat digambarkan secara
geografis.
b. Peta tafsiran (interpretive maps) yaitu peta bahasa yang mencoba membuat
penyataan yang lebih umum dengan menunjukkan distribusi variasi dari satu
wilayah ke wilayah lain. Perbedaan antara peta peragaan dan peta tafsiran yaitu
bahasa atau dialek, sedangkan peta peragaan tidak terdapat garis isoglos.
Cara membuat peta bahasa menurut Ayatrohaedi (1983: 53) dapat dilakukan
a. Sistem langsung
Sistem langsung adalah cara membuat peta dengan cara memindahkan secara
langsung unsur bahasa yang memiliki variasi ke dalam sebuah peta. Cara ini
dipandang lebih mudah dan efektif, tetapi kadangkala sulit untuk dilakukan.
28
Kesulitan dalam hal ini jika lokasi penelitian sangat luas atau setiap leksikonnya
b. Sistem lambang
Sistem lambang yaitu cara membuat peta dengan cara mengganti poin-poin
poin-poin yang berbeda harus diberi keterangan di sisi sebelah kanan peta lokasi
penelitian.
c. Sistem petak
Sistem petak yaitu cara membuat peta dengan cara mengelompokkan titik-titik
penelitian yang memiliki bahasa atau dialek yang sama digambarkan dalam satu
garis atau arsiran yang sama, jika penggunaan bahasa atau dialek yang berbeda
maka arsirannya juga berbeda. Terdapat tiga cara membuat peta dengan sistem
petak, yaitu petak langsung, petak warna dan petak garis. Petak langsung seperti
peta biasa. Petak warna yaitu setiap petak diberi warna tertentu yang sudah
8. Dialek Banyumasan
Yogyakarta dan Jawa Timur. Dari keempat dialek ini dibagi lagi menjadi 13
subdialek yaitu sub dialek Purwokerto, Kebumen, Pemalang, Banten Utara, Tegal,
Banyuwangi dan Cirebon. Dialek Yogyakarta dan Solo dianggap sebagai bahasa
29
Jawa standar atau baku. Dialek Banyumas atau sering disebut sebagai bahasa
“ngapak” yaitu salah satu dialek dalam bahasa Jawa yang digunakan di wilayah
sepanjang sungai Serayu (Koentjaraningrat dalam Hadiati, 2019: 700). Dialek ini
bunyi bersuara dan tidak bersuara (Wijana, 2005: 156), contohnya: endog, angop,
abab, sendok, dll. Jika diucapkan dalam bahasa Jawa standar yaitu endok, sendok,
sebap, abap.
sehari-hari. Selain itu ada juga yang menggunakan bahasa Sunda. Oleh karena itu,
keadaan ini yang melatar belakangi variasi leksikon yang terdapat di Kecamatan-
leksikon dalam bahasa Sunda. Keadaan seperti ini yang menjadi latar belakang
30
dilakukannya penelitian terkait variasi bahasa dan variasi leksikon yang terdapat di
dilakukan Kartikasari, Kisyani, dkk (2018) yang berjudul “Studi Dialektologi pada
Hasil penelitian tersebut adalah perbedaan leksikal bahasa Jawa ragam ngoko di
Banyuwangi, Surabaya, Magetan, dan Solo yaitu menghasilkan satu wicara, dua
dialek dan empat subdialek, temuan selanjutnya adalah perbedaan fonologi bahasa
empat wicara.
yang berjudul “Enklave bahasa Jawa di Pesisir Utara Daerah Periferal Barat dan
Selatan, dan Pesisir Selatan Provinsi Banten”. Hasil penelitiannya adalah dari
yaitu dialek Warung Jaud (DWJ), dialek Sobang (DS), dialek Ranca Senang (DRS),
berupa fonem vokal dan konsonan pada keempat dialek bahasa Jawa-Banten dapat
diklasifikasi menjadi tiga pola dialek, yaitu dialek (I) untuk DWJ, dialek (a) untuk
DS dan DRS, an dialek (o) untuk DS. Selain itu, berdasarkan analisis diakronis
disimpulkan bahwa keempat dialek di enklave yang diteliti berasal dari prabahasa
31
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Okta Viana Nurromah (2016) yang
antara bahasa Jawa Indramayu dengan bahasa Jawa Banyumas. Hasil analisisnya
bahasa Jawa Indramayu dengan bahasa Jawa dialek Banyumas, dan metode
(2010) yang berjudul “Pola Variasi Bahasa Jawa (Kajian Sosiodialektologi pada
Masyarakat Tutur di Jawa Tengah). Hasil penelitiannya adalah variasi bahasa Jawa
tersebut yaitu faktor pendidikan, usia, dan pekerjaan. Faktor-faktor tersebut yang
Semarang.
C. Kerangka Berfikir
permasalahan yang akan diteliti, maka kerangka berfikir dalam penelitian ini akan
Dialek adalah variasi bahasa yang digunakan di masyarakat. Dialek dalam bahasa
Jawa berjumlah 4 dialek dan 13 subdialek. Salah satunya yaitu dialek Banyumas.
32
Dialek Banyumas digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Cilacap, Purwokerto,
hari. Selain itu ada juga yang menggunakan bahasa Jawa standar dan bahasa Sunda.
Hasil penelitian ini berupa peta bahasa yang di dalamnya terdapat garis
isoglos. Garis isoglos adalah garis di dalam peta bahasa yang memisahkan dialek
atau bahasa berdasarkan wujud atau sistem. Peta bahasa di dalam penelitian ini
harus dibuat, karena penelitian ini termasuk penelitian geografi dialek. Selain itu
untuk menentukan status isolek dalam penelitian ini yaitu dihitung menggunakan
metode dialektometri.
D. Pertanyaan Penelitian
Jawa Barat?
33
2. Bagaimana variasi leksikon dan letak penggunaan variasi leksikon yang
Jawa Barat?
Jawa Barat?
34