MAKALAH Hiwalah
MAKALAH Hiwalah
MAKALAH Hiwalah
HIWALAH
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH FIKIH MUAMALAH II
DISUSUN OLEH :
HARDYANTI
NIM.
LIA AZHARINA
NIM.
MUHAMMAD LUKMAN HAKIM
NIM.0505161007
Setinggi Puja Sedalam Syukur, Marilah Kita Panjatkan Kehadirat Allah SWT. Karena
limpahan rahmat dan karunianya dapatlah kami menyelesaikan sebuah makalah yang
berjudul “Hiwalah”.
Shalawat dan salam semoga tetap tersampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW. Karena
beliaulah yang telah membawa kita dari zaman ketidaktahuan menuju zaman yang penuh
pengetahuan. Semoga dengan memperbanyak shalawat kepada beliau , kita tergolong umat
yang akan mendapat Syafaat di yaumil akhir kelak.
Selanjutkan kami ucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu mata kuliah Fikih
Muamalah II , Ibu Tuti Anggraini, MA , yang telah memberikan bimbingan dan arahan demi
terselesaikannya makalah ini.
Kami akui makalah ini belumlah sempurna, maka dari itu kami sangat mengharapkan
masukan baik itu kritik maupun saran yang bersifat membangun demi sempurnanya makalah
ini.
Akhirnya dengan berserah diri kepada Allah , Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat
untuk kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Pemakalah
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hiwalah
Di antara bentuk muamalah yang diatur dalam ajaran Islam adalah masalah
(pengalihan utang), atau dalam istilah syariah dinamakan dengan al-hiwalah. Pengalihan
utang ini telah dibenarkan oleh syariat dan telah dipraktikan sejak zaman nabi Muhammad
SAW sampai sekarang.
Al-hiwalah secara bahasa artinya al-Intiqal (pindah), diucapkan, Hāla „anil „ahdi,
(berpindah, berpaling,berbalik dari janji), Sedangkan secara istilah, definisi al-Hiwalah
menurut ulama Hanafiyyah adalah memindah (al-Naqlu) penuntutan atau penagihan dari
tanggungan pihak yang berutang (al-Madin) kepada tanggungan pihak al-Multazim (yang
harus membayar utang, dalam hal ini adalah al-Muhal alaihi). Berbeda dengan al-Kafalah
yang artinya adalah al- Dham-mu (menggabungkan tanggungan) di dalam penuntutan atau
penagihan, bukan al-Naqlu (memindah). Maka oleh karena itu, dengan adanya al-hiwalah,
menurut kesepakatan ulama, pihak yang berutang (dalam hal ini maksudnya adalah al-Muhil)
tidak di tagih lagi.1
Menurut Zainul Arifin hiwalah adalah akad pemindahan utang/piutang suatu pihak
kepada pihak lain. Dengan demikian di dalamnya terdapat tiga pihak, yaitu pihak yang
berutang (muhil atau madin), pihak yang memberi utang (muhal atau da‟in), dan pihak yang
menerima pemindahan (muhal ‟alaih).2
1
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu 6, Penerjemah : Abdul Hayyie al-katani,dkk.
(Jakarta :Gema Insani,2011) h.84-85
2
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di indonesia,(Yogyakarta : Gajah Mada UniversityPress,
2009) h. 153
3
Sutan Remi Syahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam tata hukum perbankan indonesia,
(Jakarta : Pustaka UtamaGrafiti, 2007) h.93-94
1) Tolong-menolong
2) Tidak boleh menimbulkan riba
3) Tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat.
Hiwalah ini disyari’atkan oleh Islam dan dibolehkan olehnya karena adanya
masalahat, butuhnya manusia kepadanya serta adanya kemudahan dalam bermuamalah.
Dalam hiwalah juga terdapat bukti sayang kepada sesama, mempermudah muamalah
mereka, memaafkan, membantu memenuhi kebutuhan mereka, membayarkan utangnya dan
menenangkan hati mereka.
Surat Al-Baqarah ayat 282 diatas menerangkan bahwa dalam utang-piutang atau
transaksi yang tidak kontan hendaklah dituliskan sehingga ketika ada perselisihan dapat
dibuktikan. Dalam kegiatan ini pula diwajibkan untuk ada dua orang saksi yang adil dan tidak
merugikan pihak manapun, saksi ini adalah orang yang menyaksikan proses utang-piutang
secara langsung dari awal.
Dalam prinsip muamalah pun menganjurkan agar saling percaya dan menjaga
kepercayaan semua pihak. Untuk menghilangkan keraguan maka hendaklah diadakan
perjanjian secara tertulis atau jaminan.
Kemudian dalam Ijma’ telah tercapai kesepakatan ulama tentang kebolehan hiwalah
ini. Hal ini sejalan dengan kaidah dasar di bidang muamalah, bahwa semua bentuk muamalah
di perbolehkan kecuali ada dalil yang tegas melarangnya. Selain itu ulama sepakat
membolehkan hiwalah. Hiwalah dibolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang/benda
karena hawalah adalah perpindahan utang. Oleh sebab itu, harus pada uang atau kewajiban
finansial.4
a. Rukun Hiwalah
Menurut madzhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan yang melakukan
hiwalah) dari muhil (pihak pertama) dan qabul (pernyataan menerima hiwalah) dari muhal
(pihak kedua) kepada muhal’alaih (pihak ketiga).
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, rukun hiwalah ada 6 yaitu :
b. Syarat Hiwalah
a) Syarat-syarat Shighah
Akad al-hiwalah terbentuk dengan terpenuhinya ijab dan qabul atau sesuatu yang
semakna dengan ijab qabul, seperti dengan pembubuhan tanda tangan diatas nota al- hiwalah,
dengan tulisan dan isyarat. Ijab adalah pihak al- muhil berkata ,”aku alihkan kamu kepada si
Fulan.” Qabul adalah seperti pihak al-muhal berkata,: saya terima atau saya setuju.” Ijab dan
qabul diisyaratkan harus dilakukan di majlis dan akad yang ada disyaratkan harus final,
sehingga didalamnya tidak berlaku khiyar majlis ataupun khiyar syarat
4
M.Syafi’i Antonio, Bank Syariah, (Jakarta : Gema Insani,2001) h. 126-127
5
Wahbah Azzuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 2, (Jakarta : Almahira,2010) h.150-151
b) Syarat-syarat al-Muhil
1. Ia harus orang yang memiliki kelayakan dan kompetensi untuk mengadakan akad yaitu ia
adalah orang yang berakal dan baligh. Berdasarkan hal ini berarti baligh adalah syarat al-
nafadz (berlaku efektifnya akad al-hiwalah), bukan syarat al-in‟iqad (syarat terbentuknya
akad).
2. Ridha dan persetujuan al-muhil, maksudnya atas kemauan sendiri tidak dalam keadaan
dipaksa. Jadi, apabila pihak al-mihil dalam kondisi dipaksa untuk mengadakan akad al-
hiwalah, maka akad al-hiwalah tersebut tidak sah. Karena al-hiwalah adalah bentuk al-ibra‟
(pembebasan) yang mengandung arti al-tamlik (pemilikan). Oleh karena itu tidak sah jika
dilakukan dengan adanya unsur paksaan seperti bentuk-bentuk akad yang mengandung
makna al- tamlik lainnya. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah sependapat dengan ulama
Hanafiyyah dalam syarat satu ini.
Sementara itu Ibnu Kamal dalam kitab Al-Lidhah, menuturkan bahwa Ridho pihak al-
Muhil adalah sebagai syarat supaya nanti al-Muhal „alaih boleh meminta ganti kepadanya.
c) Syarat-syarat Al-Muhal
Ada tiga syarat yang harus terpenuhi dalam kaitannya dengan pihak al-muhal, yaitu :
1. Ia harus punya kelayakkan dan kompetensi mengadakan akad, sama dengan syarat pertama
pihak al-muhil yaitu ia harus berakal karena qabul dari pihak al-muhal adalah termasuk rukun
hiwalah. Ia harus juga baligh sebagai syarat akad al-hiwalah yang ada bisa berlaku efektif.
Apabila pihak al-muhal belum baligh maka butuh kepada persetujuan dan pengesahan dari
walinya.
2. Ridho dan persetujuan al-muhal. Oleh karena itu tidak sah apabila al-muhal dalam
keadaan dipaksa berdasarkan alasan yang telah disinggung diatas. Ulama Malikiyah,
Syafi’iyah sependapat denangan ulama Hanafiyah.
3. Qabul yang diberikan oleh pihak al-muhal harus dilakukan di majlis akad. Ini adalah syarat
terbentuknya akad hiwalah menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Jika seandainya
pihak al-muhal tidak hadir di majlis akad lalu sampai kepadanya berita tentang diadakannya
akad hiwalah tersebut lalu ia menerimanya maka menurut Imam Abu Hanifah dan
Muhammad akad hiwalah tersebut tetap tidak dapat dilaksanakan dan tidak berlaku efektif.
Sementara itu menurut Abu Yusuf, syarat ketiga ini hanya syarat al-nafs. Al-Kasani
mengatakan bahwa yang benar adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad, karena
qabul pihak al- muhal adalah salah satu rukun hiwalah.
1. Ia harus memiliki kelayakan dan kompetensi dalam mengadakan akad yaitu harus berakal
dan baligh.
3. Qabulnya al-muhal ‘alaih harus dilakukan di majlis akad, ini adalah syarat al-in‟iqad
menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, bukan hanya sebatas syarat al-nafs.
1. Al-muhal bīh harus berupa al-damain (harta yang berupa utang), maksudnya pihak al-
muhil memang memiliki tanggungan utang kepada pihak al-muhal. Apabila tidak, maka akad
tersebut adalah akad al-wakalah (perwakilan) sehingga selanjutnya secara otomatis hukum
dan peraturan akad al-wakalah, bukan akad al- hiwalah. Berdasarkan syarat ini maka tidak
sah mengadakan akad al-hiwalah dengan al-muhal bih berupa harta al-‘ain yang barangnya
masih ada, belum rusak atau binasa. Karena al-‘ain tersebut bukan merupakan suatu yang
berada dalam tanggungan.
2. Tanggungan utang yang ada sudah positif dan bersifat mengikat seperti utang dalam akad
pinjaman utang (al-qardh). Oleh karena itu tidak sah pada masa lalu akad al-hiwalah dengan
al- muhal bih adalah harga al-mukhotobah (sejumlah uang yang dibayarkan si budak kepada
majikannya sebagai syarat kemerdekaannya) sedangkan si budak adalah sebagai al-muhal ‘
alaih. Secara garis besar bisa dikatakan bahwa setiap tanggungan utang yang tidak sah
dijadikan sebagai al-makfuul bihi, maka juga tidak sah dijadikan sebagai al-muhal bih yaitu
harus berupa utang yang hakiki, sudah nyata dan positif tidak bersifat spekulatif dan masih
mengandung kemungkinan antara ada dan tidak. Yaitu utang yang biasanya para fuqoha’
menyebutnya dengan utang yang shohih. Disyaratkannya utang yang ada harus berstatus
positif dan mengikat adalah pendapat jumhur selain ulama Hanabilah. Sementara itu, ulama
Hanabilah memperbolehkan hiwalah terhadap utang berupa harga akad mukhatabah dan
utang berupa harga pembelian selama masa khiyar. Ulama Syafi’iyah memperbolehkan
utang tersebut belum positif dan mengikat dengan sendirinya, seperti utang berupa harga
pembelian yang dibarengi dengan khiyaar di dalam akad.
Sementara itu ulama Malikiyyah mensyaratkan tiga hal untuk muhal bih yaitu:
1) Tanggungan utang yang dijadikan Al-muhal bih memang telah jatuh tempo
pembayarannya
2) 2. Tanggungan utang yang dijadikan Al-muhal bih (utang yang dialihkan, maksudnya
utang pihak al-muhil kepada pihak al-muhal) sama spesifikasinya (sifat dan
jumlahnya) dengan tanggungan utang pihak al-muhāl alaih kepada pihak al-muhil.
Oleh karena itu tidak boleh jika salah satunya lebih banyak atau lebih sedikit atau
jika salah satunya lebih baik kualitasnya atau lebih jelek. Karena jika tidak sama maka
hal itu berarti telah keluar dari al-hiwalah dan termasuk dalam kategori al- bai‟ (jual
beli) yaitu jual beli utang dengan utang.
3) Kedua tanggungan utang yang ada (tanggungan utang pihak al-muhil kepada pihak al-
muhal dan tanggungan utang pihak al-muhāl alaih kepada pihak al-muhil) atau salah
satunya bukan dalam bentuk makanan yang dipesan (salam). Karena jika dalam
bentuk makanan yang dipesan maka itu termasuk menjual makanan tersebut sebelum
pihak yang memesan menerimanya,dan itu tidak boleh. Apabila salah satu utang yang
ada muncul dari akad jual beli sedangkan utang yang satunya lagi muncul dari akad
Al-qardh maka boleh apabila utang yang dialihkan telah jatuh tempo.
4. Jenis-jenis Hiwalah
Madzhab Hanafi membagi hiwalah dalam beberapa bagian. Ditinjau dari segi objek
akad, maka hiwalah dapat dibagi dua, apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut
utang, maka pemindahan itu disebut hiwalah al-haqq ( pemindahan hak). Sedangkan jika
yang dipindahkan itu berkewajiban untuk membayar utang, maka pemindahan itu disebut
hiwalah ad-dain (pemindahan utang).
Ditinjau dari sisi lain, hiwalah terbagi dua pula, yaitu :
6
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada,2008) h. 108
Skema hiwalah di atas dapat di jelaskan bahwa A (muhal) sebagai pihak pertama
yang memberi utang kepada B (muhil), sedangkan pihak kedua B (Muhil) yang berhutang
kepada A (muhal) dan yang mengajukan pengalihan utang, kemudian pihak ketiga yaitu
C(muhal’alaih) yang menerima pengalihan utang. Dan utang itu sendiri disebut al-Muhal bih.
1) Kerelaan Muhal
Alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajiban muhal (orang yang memberi
utang) untuk menerima hiwalah adalah karena muhal’alaih kondisinya berbeda-beda ada
yang mudah membayar dan ada yang menunda-nunda pembayaran. Dengan demikian, jika
muhal alaih mudah dan cepat membayar utangnya, dapat dikatakan bahwa muhal wajib
menerima hiwalah. Namun jika muhal’alaih termasuk orang yang sulit dan suka menunda-
nunda memayar utangnya, semua ulama berpendapat muhāl tidak wajib menerima hiwalah.
2. Kerelaan Muhal’Alaih
Mayoritas ulama Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak ada
syarat kerelaan muhal „alaih, ini berdasarkan hadist yang artinya: jika salah seorang diantara
kamu sekalian dipindahkan utangnya kepada orang kaya, ikutilah (terimalah). (HR.Bukhari
dan Muslim). Di samping itu, hak ada pada muhīl dan ia boleh menerimanya sendiri atau
mewakilkan kepada orang lain. Hanafiah berpendapat bahwa diisyaratkan adanya kerelaan
muhal’alaih karena setiap orang mempunyai sikap yang berbeda dalam menyelesaikan
urusan utang piutangnya, maka ia tidak wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi
kewajibannya. Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal
„alaih. Dan muhal’alaih akan membayar utangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa
saja dari keduanya.
6. Berakhirnya Hiwalah
1) Apabila kontrak hiwalah telah terjadi, maka tanggungan muhil menjadi gugur.
2) Jika muhal’alaih bangkrut (pailit) atau meninggal dunia, maka menurut pendapat
Jumhur Ulama, muhal tidak boleh lagi kembali menagih Utang itu kepada muhīl.
Menurut Imam Maliki jika muhil “menipu” muhal, di mana ia menghiwalahkan
kepada orang yang tidak memiliki apa-apa (fakir), maka muhal boleh kembali lagi
menagih hutang kepada muhil.
3) Jika Muhāl alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad
hiwalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4) Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hiwalah karena
pewarisan merupakan salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hiwalah
muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad hiwalah itu menurut madzhab Hanafi.
5) Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah kepada Muhal Alaih
dan ia menerima hibah tersebut.
6) Jika Muhal menghapus bukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.
a. Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak
ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank
menagihnya dari pihak ketiga itu.
b. Post-dated check,di mana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu
piutang tersebut.
c. Bill discounting, secara prinsip, bill discounting serupa dengan hiwalah. Hanya saja,
dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan fee tidak didapati dalam
kontrak hiwalah.
Salah satu contoh dari aplikasi modern hiwalah atau take over (pengalihan utang)
dalam perbankan yaitu adanya sistem Anjungan Tunai Mandiri yang biasa kita kenal dengan
sebutan ATM dan sistem yang lainnya.