Makalah Wadiah
Makalah Wadiah
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di antara masalah-masalah yang banyak melibatkan anggota masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari adalah masalah muamalah (akad,transaksi) dalam berbagai
bidang. Karena masalah muamalah ini langsung melibatkan manusia dalam
masyarakat, maka pedoman dan tatanannya perlu dipelajari dan diketahui dengan baik,
sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan
ekonomi dan hubungan sesama manusia.
Kesadaran bermuamalah hendaknya tertanam lebih dahulu dalam diri masing-
masing, sebelum orang terjun dalam kegiatan muamalah itu. Pemahaman agama,
pengendalian diri, pengalaman, akhlaqul karimah dan pengetahuan tentang seluk-
beluk muamalah hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri prilaku (pelaksana)
muamalah itu.
Dari sekian banyak transaksi atau akad yang ada, diantaranya adalah akad Al-
Wadi’ah. Pengertian Al-Wadi’ah secara singkat adalah penitipan, yaitu akad seseorang
kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak
(sebagaimana hal-hal kebiasaan).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
a. Apa pengertian dari wadi’ah?
b. Apa saja jenis-jenis wadi’ah?
c. Apa rukun dan syarat wadi’ah?
d. Apa landasan hukum wadi’ah?
e. Bagaiamana aplikasi wadi’ah dalam perbankan syariah?BAB
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wadiah
Wadiah dalam bahasa fiqih adalah barang titipan atau memberikan, juga
diartikan i’tha’u al-mal liyahfadzahu wa fi qabulihi yaitu memberikan harta untuk
dijaganya dan pada penerimaannya. Karena itu, istilah wadi’ah sering disebut sebagai
ma wudi’a ‘inda ghair malikihi liyahfadzuhu yang artinya sesuatu yang ditempatkan
bukan pada pemiliknya supaya dijaga. Seperti dikatakan qabiltu minhu dzalika al-
malliyakuna wadi’ah ‘indi yang berarti aku menerima harta tersebut darinya.
Sedangkan Al-Qur’an memberikan arti wadi’ah sebagai amanat bagi orang yang
menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik meminta
kembali.1
Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ahli fikih. Pertama, ulama
Mazhab Hanafi mendifinisikan wadi’ah dengan,“mengikutsertakan orang lain dalam
memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun
melalui isyarat.” Misalnya, seseorang berkata kepada orang lain, “Saya titipkan tas
saya ini kepada Anda,” lalu orang itu menjawab, “Saya terima.” Maka sempurnalah
akad wadi’ah. Atau seseorang menitipkan buku kepada orang lain dengan mengatakan,
“Saya titipkan buku saya ini kepada Anda,” lalu orang yang dititipi diam saja (tanda
setuju). Kedua, ulama Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’I dan Mazhab Hanbali (jumhur
ulama) mendefinisikan wadi’ah dengan “Mewakilkan orang lain untuk memelihara
harta tertentu dengan cara tertentu.”
Wadi’ah dipraktekkan pada bank-bank yang menggunakan sistem syariah,
seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI, Bank Islam). Bank Muamalat Indonesia
mengartikan wadi’ah sebagai titipan murni yang dengan seizin penitip boleh
digunakan oleh bank. Konsep wadi’ah yang dikembangkan oleh BMI adalah wadi’ah
yad ad dhamanah (titipan tentang resiko ganti rugi).
Oleh sebab itu, wadi’ah yang oleh para ahli fiqih disifati dengan yad Al-
Amanah (titipan murni tanpa ganti rugi) dimodifikasi dalam bentuk yad ad dhamanah
(dengan resiko ganti rugi). Konsekuensinya adalah jika uang itu dikelola pihak BMI
dan mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik bank. Di
samping itu,
2
atas kehendak BMI sendiri, tanpa ada persetujuan sebelumnya dengan pemilik uang,
dapat memberikan semacam bonus kepada para nasabah wadi’ah. Dalam hal ini
praktek wadi’ah di BMI sejalan dengan pendapat ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab
Maliki.2
Al-Wadi’ah dalam segi bahasa dapat diartikan sebagai meninggalkan atau
meletakkan, atau meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara dan dijaga. Dari
aspek teknis, wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak
lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan
saja si penitip kehendaki.
Menurut PSAK 59, Wadi’ah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan
dikembalikan setiap saat apabila nasabah yang bersangkutan menghendaki Bank
bertanggung jawab atas pengembalian titipan.
Secara komulatif, wadi’ah memiliki dua pengertian, yang pertama pernyataan
dari seseorang yang telah memberikan kuasa atau mewakilkan kepada pihak lain untuk
memelihara atau menjaga hartanya; kedua, sesuatu harta yang dititipkan seseorang
kepada pihak lain dipelihara atau dijaganya.3
B. Jenis-jenis Wadiah
Akad berpola titipan (wadi’ah) ada dua, yaitu Wadi’ah yad Amanah dan
Wadi’ah yad Dhamanah. Pada awalnya, Wadi’ah muncul dalam bentuk yad al-
amanah “tangan amanah”, yang kemudian dalam perkembangan memunculkan yadh-
dhamanah “tangan penanggung”. Akad Wadi’ah yad Dhamanah ini akhirnya banyak
dipergunakan dalam aplikasi perbankan syariah dalam produk-produk pendanaan.
Dalam Islam wadi’ah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1). Wadi’ah yad Amanah yaitu barang yang dititipkan sama sekali tidak boleh
digunakan oleh pihak yang menerima titipan, sehingga dengan demikian pihak yang
menerima titipan tidak bertanggung jawab terhadap risiko yang menimpa barang
yang dititipkan. Penerima titipan hanya punya kewajiban mengembalikan barang
yang dititipkan pada saat diminta oleh pihak yang menitipkan secara apa adanya.
3
2). Wadi’ah yad Dhamanah adalah titipan terhadap barang
Dalam pelaksanaan Wadi’ah harus memenuhi rukun dan syarat tertentu. Al- jaziri
mengungkapkan pendapat para imam madzhab adalah sebagai berikut.Menurut
Hanafiyah, rukun al-wadi’ah ada satu, yaitu ijab dan qabul. sedangkan yang lainnya
termasuk syarat dan tidak termasuk rukun. Menurut Hanafiyah, dalam shighah ijab
dianggap sah apabila ijab tersebut dilakukan dengan perkataan yang jelas (sharih)
maupun dengan perkataan samaran (kinayah). Hal ini berlaku juga untuk kabul,
disyaratkan bagi yang menitipkan dan yang dititipi barang dengan mukalaf. Tidak sah
apabila yang menitipkan dan yang menerima benda titipan adalah orang gila atau anak
yang belum dewasa (shabiy).
a. Barang yang dititpkan: syarat barang yang dititipkan adalah barang atau benda itu
merupakan sesuatu yang dapat dimiliki menurut syara’.
b. Orang yang meitipkan dan yang menerima titipan: disyaratkan bagi peniip dan
penerima titipan sudah balig, berakal, serta syarat-syarat lain yang sesuai dengan
4
syarat-syarat berwakil.
c. Pernyataan serah terima disyaratkan pada ijab qabul ini dimengerti oleh kedua
belah pihak, baik dengan jelas maupun samar.6
“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang
penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya(utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah,
Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa
menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa), Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan”.
b. Hadist
Sabda Nabi Saw:”Serahkanlah amanat kepada orang yang mempercayai anda
dan janganlah anda mengkhianati orang yang mengkhianati anda”
Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tunaikanlah amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan
janganlah membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.”
(H.R. ABU DAUD dan TIRMIDZI).
Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:
5
“Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada
shalat bagi yang tiada bersuci.” (H.R THABRANI).
Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau mempunyai (tanggung
jawab) titipan. Ketika beliau akan berangkat hijrah, beliau menyerahkannya
kepada Ummu `Aiman dan ia (Ummu `Aiman) menyuruh Ali bin Abi Thalib
untuk menyerahkannya kepada yang berhak.”
Dalam hadist Rasulallah SAW. disebutkan, “Serahkanlah amanat kepada
orang yang yang mempercayai anda dan janganlah anda mengkhianati anda.”
(H.R. ABU DAWUD, TIRMIDZI, Dan HAKIM).7
a. Giro
Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat
dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah bayar lainnya atau
dengan pemindah bukuan. Adapun yang dimaksud dengan giro syariah
adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No :
01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara
syariah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi'ah.
Giro wadi'ah adalah giro yang dijalankan berdasar akad wadi'ah, yaitu
titipan murni yang setiap saat dapat diambil bila pemiliknya menghendaki.
Dalam konsep wadi'ah yad dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh
menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Hal ini
berarti bahwa wadi’ah yad dhamanah mempunyai implikasi hukum yang
sama dengan qardh, yakni nasabah bertindak sebagai pihak yang
meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai pihak yang mengelola dana.
Dengan demikian, pemilik dana dan bank tidak boleh saling menjanjikan
untuk memberikan imbalan atas penggunaan atau pemanfaatan dana atau
barang titipan tersebut.
Dalam kaitannya dengan produk giro, Bank syariah menerapkan prinsip
wadi’ah yad dhamanah, yakni nasabah bertindak sebagai prinsip yang
memberikan hak kepada bank syariah untuk menggunakan dan
memanfaatkan uang sebagai pihak yang dititipi yang disertai hak untuk
mengelola dana titipan dengan tanpa mempunyai kewajiban. Namun
demikian, bank syariah diperkenankan memberikan insentif berupa bonus
dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya. Dari pemaparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa giro wadi’ah mempunyai beberapa ketentuan sebagai
berikut :
1) Bersifat titipan
2) Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan
7
3) Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian
bonus yang bersifat sukarela dari pihak bank.11
b. Tabungan
Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan
menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan
cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Yang dimaksud tabungan syariah adalah tabungan yang dijalankan berdasar
prinsip-prinsip syariah. Berdasarkan fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000,
menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan yaitu tabungan yang
berdasarkan prinsip Mudharabah dan wadi’ah. Tabungan wadi’ah
merupakan tabungan yang dijalankan berdasar akad wadi’ah, yakni titipan
murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat jika pemiliknya
menghendaki. Berkaitan dengan produk tabungan wadi’ah, bank syariah
menggunakan akad wadi’ah yad dhamanah. Dalam hal ini, setiap nasabah
bertindak sebagai penitip menggunakan atau memanfaatkan uang atau
barang titipannya.
Bank syariah betindak sebagai pihak yang dititipi dana atau barang
yang disertai hak untuk menggunakan dan memanfaatkan dana atau barang
tersebut. Sebagai konsekuensinya, bank bertanggung jawab terhadap
keutuhan harta titipan tersebut seta mengembalikannya kapan saja
pemiliknya menghendaki. Di sisi lain bank juga berhak sepenuhnya atas
keuntungan dari hasil penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang
tersebut. Adapun nasabah penitip dari dan bank tidak boleh saling
menjanjikan untuk bagi hasil keuntungan harta tersebut. Namun demikian
bank diperkenankan memberi bonus kepada pemilik harta titipan sela tidak
disyaratkan di muka. Dengan kata lain, pemberian bonus merupakan
kebijakan bank syariah semaat dan bersifat sukarela.12
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Wadi’ah dalam segi bahasa dapat diartikan sebagai meninggalkan atau
meletakkan, atau meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara dan dijaga. Dari
aspek teknis, wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak
lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan
saja si penitip kehendaki.
Dalam Islam wadi’ah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu Wadi’ah yad
amanah dan Wadi’ah yad dhamanah.
Menurut Syafi’iyah, al-wadi’ah memiliki tiga rukun yaitu:
a. Barang yang dititpkan: syarat barang yang dititipkan adalah barang atau benda itu
merupakan sesuatu yang dapat dimiliki menurut syara’.
b. Orang yang meitipkan dan yang menerima titipan: disyaratkan bagi peniip dan
penerima titipan sudah balig, berakal, serta syarat-syarat lain yang sesuai dengan
syarat-syarat berwakil.
c. Pernyataan serah terima disyaratkan pada ijab qabul ini dimengerti oleh kedua
belah pihak, baik dengan jelas maupun samar.
Landasan hukum wadi’ah tertera pada Q.S. An-Nisa’ : 58 dan Q.S. Al-
Baqarah: 283 dan ada juga di dalam hadis dari Nabi. Adapun aplikasi dari masing-
masing wadi’ah yaitu :
1. Wadi’ah yad amanah berupa harta benda, dokumen, dan barang berharga lainnya
2. Wadi’ah yad dhamanah berupa giro wadi’ah dan tabungan wadi’ah
9
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hasan Ridwan, Bmt & Bank Islam Instrumen Lembaga Keuangan Syariah,
Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.
Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010.
Ismail Nawawi. fikih muamalah klasik dan kontemporer. Bogor: ghalia indnesia, 2012.
Juhaya. pengantar ilmu ekonomi dilengkapi dasar-dasar ekonomi islam, Bandung: pustaka
setia, 2014.
Mahmudatus Sa’diyah, Fiqih Muamalah II Teori dan Praktik, Jepara: UNISNU Press, ed.
1, cet. Pertama, September 2019.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani
Press, 2001.
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukan dalam Tata Hukum Perbankan
Inonesia, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2007.
Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005.
Adiwarman A karim, Bank Islam, Analisis Fiqih Dan Keuangan, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2006.
Karnaen, dan Syafi’I Antonio, Apa Dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bakti
Wakaf, 1992.
10