Pedoman Pelayanan Farmasi New Fan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 146

PEMERINTAH KOTA MAGELANG

RUMAH S AKI T UMUM DAE RAH T I DAR


Alamat : Jl. Tidar No. 30 A Magelang Telp. (0293) 362260, 362463 Fax. 368354
Website : rsudtidar.magelangkota.go.id Email : [email protected]

KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR


NOMOR :
TENTANG
PEDOMAN PELAYANAN INSTALASI FARMASI

DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR


KOTA MAGELANG,
Menimbang : a. bahwa pelayanan kefarmasian adalah bagian
yang tak terpisahkan dari sistem pelayanan di
Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Kota
Magelang, maka diperlukan pedoman
pelayanan farmasi;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam a, perlu
ditetapkan dengan Surat Keputusan Direktur
RSUD Tidar Kota Magelang.

Mengingat : 1. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor


36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 1441 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063);
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor
44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia 5072);
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 472
tahun 1996 tentang Pengamanan Bahan
Berbahaya Bagi Kesehatan;
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 72 tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah
Sakit;
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11
Tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien;
6. Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 3
Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Rumah Sakit Umum Daerah Tidar;
7. Keputusan Direktur RSUD Tidar Nomor
……………………tentang Pedoman
Pengorganisasian Instalasi Farmasi;
8. Keputusan Direktur RSUD Tidar Nomor
……………….. tentang Kebijakan Pelayanan
Farmasi Rumah Sakit.

MEMUTUSKAN :
Menetapka :
n
KESATU : Keputusan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah
Tidar Tentang Pedoman Pelayanan Farmasi

KEDUA : Pedoman Pelayanan Farmasi sebagaimana


dimaksud dalam Diktum Kesatu sebagaimana
terlampir dalam lampiran keputusan ini

KETIGA : Pedoman Pelayanan Farmasi sebagaimana


dimaksud dalam Diktum Kedua digunakan
sebagai acuan dalam melaksanakan tugas,
kewenangan dan tanggung jawab oleh seluruh
pegawai di lingkungan Instalasi Farmasi RSUD
Tidar
KEEMPAT : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan

Ditetapkan di Tidar
pada tanggal

DIREKTUR RSUD TIDAR


KOTA MAGELANG,

SRI HARSO
Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN................................................................1

A. Latar Belakang.....................................................................1

B. Tujuan.................................................................................2

C. Ruang Lingkup....................................................................3

D. Batasan Operasional............................................................3

E. Landasan Hukum................................................................3

BAB II STANDAR KETENAGAAN..................................................5

A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia.......................................5

B. Distribusi Ketenagaan..........................................................7

C. Pengaturan Jaga..................................................................9

BAB III STANDAR FASILITAS....................................................11

A. Denah Ruang.....................................................................11

B. Standar Fasilitas................................................................12

BAB IV TATA LAKSANA PELAYANAN ........................................23

A. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP. 23

B. Manajemen Risiko Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat


Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai..............................68

C. Pelayanan Farmasi Klinik...................................................70

D. Manajemen Risiko Pelayanan Farmasi Klinik.....................93

BAB V LOGISTIK.......................................................................95

BAB VI KESELAMATAN PASIEN..............................................100

BAB VII KESELAMATAN KERJA……………………………………..127

BAB VIII PENGENDALIAN MUTU.............................................131

A. MONITORING MUTU........................................................136

B. PENGENDALIAN MUTU....................................................136
BAB IX PENUTUP....................................................................140

DAFTAR PUSTAKA..................................................................141
LAMPIRAN
KEPUTUSAN
DIREKTUR RSUD TIDAR NOMOR

TENTANG PEDOMAN PELAYANAN


INSTALASI FARMASI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian


yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit
yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk
pelayanan farmasi klinik.

Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan


untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah
terkait obat. Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan
mutu Pelayanan Kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari
paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented)
menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient
oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical
care).

Apoteker khususnya yang bekerja di Rumah Sakit dituntut


untuk merealisasikan perluasan paradigma Pelayanan Kefarmasian
dari orientasi produk menjadi orientasi pasien. Untuk itu kompetensi
Apoteker perlu ditingkatkan secara terus menerus agar perubahan
paradigma tersebut dapat diimplementasikan. Apoteker harus dapat
memenuhi hak pasien agar terhindar dari hal-hal yang tidak
diinginkan termasuk tuntutan hukum. Dengan demikian, para
Apoteker Indonesia dapat berkompetisi dan menjadi tuan rumah di
negara sendiri.
1
Perkembangan di atas dapat menjadi peluang sekaligus
merupakan tantangan bagi Apoteker untuk maju meningkatkan
kompetensinya sehingga dapat memberikan Pelayanan Kefarmasian
secara komprehensif dan simultan baik yang bersifat manajerial
maupun farmasi klinik.

Strategi optimalisasi harus ditegakkan dengan cara


memanfaatkan Sistem Informasi Rumah Sakit secara maksimal pada
fungsi manajemen kefarmasian, sehingga diharapkan dengan model
ini akan terjadi efisiensi tenaga dan waktu. Efisiensi yang diperoleh
kemudian dimanfaatkan untuk melaksanakan fungsi pelayanan
farmasi klinik secara intensif.

Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah


Sakit dinyatakan bahwa Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan
lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian,
dan peralatan. Persyaratan kefarmasian harus menjamin
ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang bermutu, bermanfaat, aman, dan terjangkau.
Selanjutnya dinyatakan bahwa pelayanan sediaan farmasi di Rumah
Sakit harus mengikuti.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang


Pekerjaan Kefarmasian juga dinyatakan bahwa dalam menjalankan
praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker
harus menerapkan Standar Pelayanan Kefarmasian yang
diamanahkan untuk diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan


tersebut dan perkembangan konsep Pelayanan Kefarmasian, perlu
ditetapkan suatu Standar Pelayanan Kefarmasian Rumah Sakit
Umum Daerah Tidar.

B. Tujuan

Penggunaan Pedoman Pelayanan Kefarmasian Di RSUD Tidar,


bertujuan untuk :

1. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian,


2. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian,
3. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang
tidak rasional dalam
2 rangka keselamatan pasien (patient safety),
4. Menjamin sistem pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat
yang lebih aman (medication safety).
C. Ruang Lingkup

Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar


meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial
berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan
tersebut didukung oleh sumber daya manusia, sarana, dan peralatan.

Apoteker dalam melaksanakan kegiatan Pelayanan Kefarmasian


tersebut juga mempertimbangkan faktor risiko yang terjadi yang
disebut dengan manajemen risiko

D. Batasan Operasional

Hal-hal yang diatur dalam Pedoman Pelayanan Kefarmasian di


Rumah Sakit Umum Daerah Tidar ini meliputi :

1. Pedoman Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan


Medis Habis Pakai (BMHP) dan Pelayananan Farmasi Klinik,
2. Standar Prosedur Operasional (SPO) Pelayanan Kefarmasian di RSUD
Tidar.

E. LANDASAN HUKUM

Beberapa dasar hukum yang melandasi status Rumah Sakit


Umum Daerah Tidar dan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
Umum Daerah Tidar sebagai berikut :

1. Undang Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


2. Undang Undang RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
3. Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 72 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2017 tentang
Keselamatan Pasien;
6. Peraturan Kepala Badan POM Nomor 4 Tahun 2018 tentang
Pengawasan Pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika,
dan prekursor farmasi di fasilitas pelayanan kefarmasian
7. Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 3 Tahun 2011 tentang
3
Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Umum Daerah Tidar;
8. Keputusan Direktur RSUD Tidar Nomor …………..tentang Kebijakan
Pelayanan Farmasi Rumah Sakit.
9. Keputusan Direktur RSUD Tidar Nomor ………………….tentang
Pedoman Pengorganisasian Instalasi Farmasi;

4
BAB II

STANDAR KETENAGAAN

A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia

Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Tidar memiliki


Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian sesuai dengan beban kerja
dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan tujuan
Instalasi Farmasi Rumah Sakit.

Uraian tugas tertulis dari masing-masing staf Instalasi Farmasi


dan dilakukan peninjauan kembali paling sedikit setiap tiga tahun
sesuai kebijakan dan prosedur di Instalasi Farmasi Rumah Sakit.

Berdasarkan pekerjaan yang dilakukan, kualifikasi SDM


Instalasi Farmasi diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Untuk pekerjaan kefarmasian terdiri dari:

1) Apoteker

2) Tenaga Teknis Kefarmasian

b. Untuk pekerjaan penunjang terdiri dari

1) Tenaga Administrasi

2) Pekarya/Pembantu pelaksana

Pelayanan Kefarmasian dilakukan oleh Apoteker dan Tenaga


Teknis Kefarmasian. Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan
Pelayanan Kefarmasian di bawah supervisi Apoteker.

1). Apoteker

a. Apoteker memenuhi persyaratan administrasi:


1) Memiliki ljazah dari institusi pendidikan farmasi yang
terakreditasi
2) Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker
3) Memiliki Sertifikat Kompetensi yang masih berlaku
4) Memiliki Surat lzin Praktik Apoteker
5) Memiliki Surat Penugasan Klinik (SPK) dengan Rincian
5
Kewenangan Klinik (RKK).
b. Memiliki kesehatan fisik dan mental
c. Berpenampilan profesional, sehat, bersih, rapih
d. Menggunakan atribut praktik/ tanda pengenal

Instalasi Farmasi Rumah Sakit dikepalai oleh seorang Apoteker


yang merupakan Apoteker penanggung jawab seluruh Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit. Kompetensi Apoteker dijabarkan di
bawah ini.

Sebagai Pimpinan :

a. Mempunyai kemampuan untuk memimpin

b. Mempunyai kemampuan dan kemauan mengelola dan


mengembangkan pelayanan farmasi

c. Mempunyai kemampuan mengembangkan diri

d. Mempunyai kemampuan bekerjasama dengan pihak lain

e. Mempunyai kemampuan untuk melihat masalah, menganalisa


dan memecahkan masalah

f. Mempunyai pengalaman bekerja di instalasi farmasi minimal 3


(tiga) tahun

Sebagai Tenaga Fungsional :

a. Mampu memberikan pelayanan kefarmasian, baik klinik dan


non klinik

b. Mampu mengelola sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan


medis habis pakai.

c. Mampu berkomunikasi tentang kefarmasian

d. Mampu melaksanakan diklat dan pengembangan pelayanan


farmasi

e. Mampu melaksanakan penelitian dan pengembangan farmasi


klinik

2). Tenaga Teknis Kefarmasian

Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu


Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri
atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan
tenaga menengah farmasi/asisten apoteker;
6
Kualifikasi pendidikan berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia nomor 51 Tahun 2009 dikelompokan sebagai
berikut :
a. Diploma III Farmasi : Lulusan Akademi Farmasi
b. Diploma III Analisa Farmasi dan Makanan : Lulusan Akademi
Analisa Farmasi dan Makanan
c. Sarjana Farmasi

Tenaga Teknis Kefarmasian yang membantu apoteker dalam


menjalankan pekerjaan kefarmasian yang terdiri atas Sarjana
Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga
Menengah Farmasi/ Asisten Apoteker yang telah memiliki Surat
Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian.

B. Distribusi Ketenagaan

a. Beban Kerja

Dalam perhitungan beban kerja perlu diperhatikan faktor-faktor


yang berpengaruh pada kegiatan yang dilakukan, yaitu:

1) Kapasitas tempat tidur dan Bed Occupancy Rate (BOR);

2) Jumlah dan jenis kegiatan farmasi yang dilakukan


(manajemen, klinik dan produksi);

3) Jumlah Resep atau formulir permintaan Obat (floor stock) per


hari; dan

4) Volume Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis


Habis Pakai.

b. Penghitungan Beban Kerja

Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja


pada Pelayanan Kefarmasian di rawat inap yang meliputi
pelayanan farmasi manajerial dan pelayanan farmasi klinik
dengan aktivitas pengkajian resep, penelusuran riwayat
penggunaan Obat, rekonsiliasi Obat, pemantauan terapi Obat,
pemberian informasi Obat, konseling, edukasi dan visite,
idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio 1 Apoteker
untuk 30 pasien.
7
Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja
pada Pelayanan Kefarmasian di rawat jalan yang meliputi
pelayanan farmasi menajerial dan pelayanan farmasi klinik
dengan aktivitas pengkajian Resep, penyerahan Obat, Pencatatan
Penggunaan Obat (PPP) dan konseling, idealnya dibutuhkan
tenaga Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 50 pasien.

Pendistribusian Tenaga Apoteker di Instalasi Farmasi sebagai


berikut :

1) Instalasi farmasi di kepalai oleh Seorang Apoteker yang telah


memiliki Surat Ijin Praktik Apoteker.
2) Pada unit perbekalan farmasi/distribusi ditunjuk seorang
apoteker sebagai ketua tim dan dapat dibantu oleh sejumlah
tenaga teknis kefarmasian dan tenaga non kefarmasian.
3) Pada Satelit Farmasi Rawat Inap ditunjuk seorang apoteker
sebagai ketua tim dan dapat dibantu oleh apoteker dan
sejumlah tenaga teknis kefarmasian dan tenaga non
kefarmasian.
4) Pada Farmasi Rawat Jalan ditunjuk seorang apoteker sebagai
ketua tim dan dapat dibantu oleh apoteker dan sejumlah
tenaga teknis kefarmasian dan tenaga non kefarmasian.
5) Pada Satelit Farmasi Instalasi Gawat Darurat ditunjuk
seorang apoteker sebagai ketua tim dan dapat dibantu oleh
apoteker dan sejumlah tenaga teknis kefarmasian.
6) Pada Satelit Farmasi Instalasi Bedah Sentral ditunjuk
seorang apoteker sebagai ketua tim dan dapat dibantu oleh
apoteker atau tenaga teknis kefarmasian.

c. Pengembangan Staf dan Program Pendidikan

Setiap staf di Rumah Sakit harus diberi kesempatan untuk


meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Peran Kepala
Instalasi Farmasi dalam pengembangan staf dan program
pendidikan meliputi:

1) Menyusun program orientasi staf baru, pendidikan dan


pelatihan berdasarkan kebutuhan pengembangan
kompetensi SDM.

2) Menentukan dan mengirim staf sesuai dengan spesifikasi


8
pekerjaan (tugas dan tanggung jawabnya) untuk
meningkatkan kompetensi yang diperlukan.
3) Menentukan staf sebagai narasumber/ pelatih/ fasilitator
sesuai dengan kompetensinya.

d. Penelitian dan Pengembangan

Apoteker harus didorong untuk melakukan penelitian mandiri


atau berkontribusi dalam tim penelitian mengembangkan praktik
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Apoteker yang terlibat
dalam penelitian harus mentaati prinsip dan prosedur yang
ditetapkan dan sesuai dengan kaidah-kaidah penelitian yang
berlaku.

Instalasi Farmasi harus melakukan pengembangan Pelayanan


Kefarmasian sesuai dengan situasi perkembangan kefarmasian
terkini. Apoteker juga dapat berperan dalam Uji Klinik Obat yang
dilakukan di Rumah Sakit dengan mengelola Obat-Obat yang
diteliti sampai dipergunakan oleh subyek penelitian dan
mencatat Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD) yang
terjadi selama penelitian.

C. Pengaturan Jaga

Pengaturan jaga (shift) di instalasi farmasi diatur berdasarkan


unit pelayanan maupun satelit. Instalasi farmasi RSUD Tidar tidak
mengenal pelayanan farmasi tutup.

Staf di gudang farmasi terdiri dari apoteker pengelola


perbekalan farmasi, tenaga teknis kefarmasian (TTK), dan tenaga
penunjang/non kefarmasian, masuk pagi (jam 07.00-14.00 WIB).
Unit pelayanan, yang terdiri dari 4 (empat) unit pendistribusian, yaitu
satelit farmasi rawat jalan, satelit farmasi rawat inap , satelit farmasi
IGD, satelit farmasi aster dan satelit farmasi IBS. Farmasi rawat jalan
dan satelit farmasi IBS hanya melayani untuk shift pagi, satelit
farmasi rawat inap melayani kebutuhan obat selama 24 jam,
sedangkan satelit farmasi IGD melayani kebutuhan obat selama 24
jam yang terbagi dalam 3 shift. Shift pagi (jam 07.00-14.00 WIB), shift
siang (jam 14.00-20.00 WIB) dan shift malam (jam 20.00-07.00 WIB).
Jenis ketenagaan di unit pelayanan adalah apoteker, TTK dan tenaga
penunjang/non kefarmasian.
9
Unit farmasi klinik, yang semuanya adalah tenaga apoteker
sebagai ward pharmacist, masuk pagi (jam 07.00-14.00 WIB). Unit
Pelayanan Informasi Obat (PIO) masuk pagi (jam 07.00-14.00 WIB).

10
BAB III
STANDAR FASILITAS

A. Denah Ruang

Denah ruang instalasi farmasi terdiri dari beberapa unit. Yaitu


gudang farmasi, farmasi rawat jalan dan satelit farmasi rawat inap,
satelit farmasi IGD, dan satelit farmasi IBS. Denah instalasi farmasi
dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 1. Denah Gudang Farmasi

11
Gambar 2. Denah Pelayanan Farmasi

B. Standar Fasilitas

Fasilitas bangunan, ruangan dan peralatan harus memenuhi


ketentuan dan perundangan-undangan kefarmasian yang berlaku :

a) Lokasi harus menyatu dengan sistem pelayanan rumah sakit.


b) Terpenuhinya luas yang cukup untuk penyelenggaraan asuhan
kefarmasian di rumah sakit.
c) Dipisahkan antara fasilitas untuk penyelenggaraan manajemen,
pelayanan langsung pada pasien, dispensing serta ada penanganan
limbah.
d) Dipisahkan juga antara jalur steril, bersih dan daerah abu-abu, bebas
kontaminasi
e) Persyaratan ruang tentang suhu, pencahayaan, kelembaban, tekanan
dan keamanan baik dari pencuri maupun binatang pengerat.
Fasilitas peralatan memenuhi persyaratan yang ditetapkan terutama
untuk perlengkapan dispensing baik untuk sediaan steril, non steril
maupun cair untuk obat luar atau dalam.

Harus tersedia ruangan, peralatan dan fasilitas yang dapat


mendukung administrasi, profesionalisme dan fungsi teknik
pelayanan farmasi, sehingga menjamin terselenggaranya pelayanan
farmasi yang fungsional, profesional dan etis.

- Tersedianya fasilitas penyimpanan barang farmasi yang menjamin


semua barang farmasi tetap dalam kondisi yang baik dan dapat
dipertanggung jawabkan sesuai dengan spesifikasi masing-masing
barang farmasi dan sesuai dengan peraturan.
- Tersedianya fasilitas produksi obat yang memenuhi standar.
- Tersedianya fasilitas untuk pendistribusian obat.
- Tersedianya fasilitas pemberian informasi dan edukasi.
- Tersedianya fasilitas untuk penyimpanan arsip resep.
- Ruangan perawatan harus memiliki tempat penyimpanan obat yang
baik sesuai dengan peraturan dan tata cara penyimpanan yang baik.
- Obat yang bersifat adiksi disimpan sedemikian rupa demi menjamin
keamanan setiap staf.
12
1. Bangunan
Sarana bangunan gedung yang digunakan untuk pelayanan
kefarmasian di RSUD Tidar adalah sebagai berikut :

 Gudang Farmasi
 Satelit Farmasi Rawat Jalan
 Satelit Farmasi Rawat Inap
 Satelit Farmasi Aster
 Satelit Farmasi IGD
 Satelit Farmasi IBS
 Ruang PIO
 Ruang Tunggu Pasien

2. Pembagian Ruangan

- Ruang kantor :

o Ruang pimpinan

o Ruang staf

o Ruang administrasi

- Ruang produksi non steril :

Ruang produksi harus bersih, rapi, tertib, efisien untuk


meminimalkan terjadinya kontaminasi sediaan.

- Ruang produksi steril :

Ruangan digunakan untuk kegiatan aseptic dispesing, yaitu


penanganan sediaan repacking dan iv-admixture.

- Ruang penyimpanan :

Ruang penyimpanan/gudang harus memperhatikan kondisi,


sanitasi, suhu, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan pemisahan
untuk menjamin mutu produk dan keamanan petugas.

- Ruang pelayanan/distribusi :

Ruang pelayanan yang cukup untuk seluruh kegiatan kefarmasian


di rumah sakit :

o Ruang distribusi untuk pelayanan rawat jalan (farmasi rawat


13
jalan). Terdapat ruang terpisah untuk penerimaan resep dan
persiapan obat.
o Ruang distribusi untuk pelayanan rawat inap (satelit farmasi
rawat inap).

o Ruang distribusi untuk pelayanan IGD (satelit farmasi IGD)

o Ruang distribusi untuk pelayanan IGD kamar operasi (satelit


farmasi IBS).

- Ruang konsultasi/konseling :

Terdapat ruang khusus untuk apoteker dalam memberikan


konsultasi pada pasien dalam rangka meningkatkan pengetahuan
dan kepatuhan pasien akan terapinya (farmasi rawat jalan).

- Ruang pelayanan informasi obat (PIO) :

Tersedia ruangan sumber informasi dan teknologi komunikasi


yang memadai untuk mempermudah PIO.

- Ruang arsip-dokumen :

Harus ada ruangan khusus yang memadai dan aman untuk


memelihara dan menyimpan dokumen/resep dalam rangka
menjamin agar penyimpanan sesuai hukum, aturan, persyaratan
yang baik.

3. Sarana Dan Peralatan Pelayanan Kefarmasian


Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit harus
didukung oleh sarana dan peralatan yang memenuhi ketentuan dan
perundang-undangan kefarmasian yang berlaku. Lokasi harus
menyatu dengan sistem pelayanan Rumah Sakit, dipisahkan antara
fasilitas untuk penyelenggaraan manajemen, pelayanan langsung
kepada pasien, peracikan, produksi dan laboratorium mutu yang
dilengkapi penanganan limbah.
Peralatan yang memerlukan ketepatan pengukuran harus
dilakukan kalibrasi alat dan peneraan secara berkala oleh balai
pengujian kesehatan dan/atau institusi yang berwenang. Peralatan
harus dilakukan pemeliharaan, didokumentasi, serta dievaluasi
secara berkala dan berkesinambungan.
3.1. Sarana Pelayanan Kefarmasian

Fasilitas ruang harus memadai dalam hal kualitas dan


14
kuantitas agar dapat menunjang fungsi dan proses Pelayanan
Kefarmasian, menjamin lingkungan kerja yang aman untuk
petugas, dan memudahkan sistem komunikasi Rumah Sakit.

a. Fasilitas utama dalam kegiatan pelayanan di Instalasi


Farmasi, terdiri dari:
1) Ruang Kantor/Administrasi.
Ruang Kantor/Administrasi terdiri dari : ruang pimpinan,
ruang staf, ruang kerja/administrasi tata usaha, ruang
pertemuan.
2) Ruang penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai.
Rumah Sakit harus mempunyai ruang penyimpanan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan,
serta harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur,
sinar/cahaya, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk
menjamin mutu produk dan keamanan petugas, terdiri
dari :
- Kondisi umum untuk ruang penyimpanan : Obat jadi,
Obat produksi, bahan baku Obat, Alat Kesehatan.
- Kondisi khusus untuk ruang penyimpanan : Obat
termolabil, bahan laboratorium dan reagensia, sediaan
farmasi yang mudah terbakar, obat high alert, atau
bahan beracun berbahaya (B3).
3) Ruang distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai terdiri dari distribusi Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
rawat jalan (farmasi rawat jalan) dan rawat inap (satelit
farmasi).
Ruang distribusi harus cukup untuk melayani seluruh
kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai Rumah Sakit. Ruang distribusi terdiri
dari :
- Ruang distribusi untuk pelayanan rawat jalan, di mana
ada ruang khusus/terpisah untuk penerimaan resep
dan peracikan.
15
- Ruang distribusi untuk pelayanan rawat inap, dapat
secara sentralisasi maupun desentralisasi di masing-
masing ruang rawat inap.
4) Ruang konsultasi / konseling Obat
Ruang konsultasi/konseling Obat harus ada sebagai
sarana untuk Apoteker memberikan konsultasi/konseling
pada pasien dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan
kepatuhan pasien. Ruang konsultasi/konseling harus jauh
dari hiruk pikuk kebisingan lingkungan Rumah Sakit dan
nyaman sehingga pasien maupun konselor dapat
berinteraksi dengan baik. Ruang konsultasi atau konseling
dapat berada di Instalasi Farmasi rawat jalan maupun
rawat inap.

5) Ruang Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat dilakukan di ruang tersendiri


dengan dilengkapi sumber informasi dan teknologi
komunikasi, berupa bahan pustaka dan telepon.

6) Ruang produksi

Persyaratan bangunan untuk ruangan produksi memenuhi


kriteria :
- Lokasi :
Lokasi jauh dari pencemaran lingkungan (udara, tanah
dan air tanah).
- Konstruksi :
Terdapat sarana perlindungan terhadap : cuaca, banjir
rembesan air, binatang/serangga.
- Rancang bangun dan penataan gedung di ruang
produksi, harus memenuhi kriteria :
o Disesuaikan dengan alur barang, alur kerja/proses,
alur orang/pekerja.
o Pengendalian lingkungan terhadap : udara,
permukaan langit-langit, dinding, lantai dan
peralatan/sarana lain; barang masuk; petugas yang
di dalam.
16
o Luas ruangan minimal 2 (dua) kali daerah kerja +
peralatan, dengan jarak setiap peralatan minimal 2,5
m.
o Di luar ruang produksi ada fasilitas untuk lalu lintas
petugas dan barang.

- Pembagian ruangan :
o Ruang terpisah antara Obat jadi dan bahan baku;
o Ruang terpisah untuk setiap proses produksi;
o Ruang terpisah untuk produksi Obat luar dan Obat dalam;
o Gudang terpisah untuk produksi antibiotik (bila ada);
o Tersedia saringan udara, efisiensi minimal 98%;
o Permukaan lantai, dinding, langit-langit dan pintu
harus : kedap air; tidak terdapat sambungan; tidak
merupakan media pertumbuhan untuk mikroba;
mudah dibersihkan dan tahan terhadap bahan
pembersih/desinfektan.
- Daerah pengolahan dan pengemasan :
o Hindari bahan dari kayu, kecuali dilapisi cat
epoxy/enamel;
o Persyaratan ruangan steril dan nonsteril harus
memenuhi kriteria Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB) untuk: ventilasi ruangan; suhu; kelembaban;
intensitas cahaya.
o Pemasangan instalasi harus sesuai kriteria CPOB
untuk : pipa saluran udara; lampu; kabel dan
peralatan listrik.
7) Ruang Aseptic Dispensing
Ruang aseptic dispensing harus memenuhi persyaratan:
- Ruang bersih : kelas 10.000 (dalam Laminar Air Flow =
kelas 100)
- Ruang/tempat penyiapan : kelas 100.000
- Ruang antara : kelas 100.000
- Ruang17
ganti pakaian : kelas 100.000
- Ruang/tempat penyimpanan untuk sediaan telah
disiapkan:
Tata ruang harus menciptakan alur kerja yang baik
sedangkan luas ruangan disesuaikan dengan macam
dan volume kegiatan.
Ruang aseptic dispensing harus memenuhi spesifikasi:
- Lantai
Permukaan datar dan halus, tanpa sambungan, keras,
resisten terhadap zat kimia dan fungi, serta tidak
mudah rusak.
- Dinding
o Permukaan rata dan halus, terbuat dari bahan yang
keras, tanpa sambungan, resisten terhadap zat kimia
dan fungi, serta tidak mudah rusak.
o Sudut-sudut pertemuan lantai dengan dinding dan
langit-langit dengan dinding dibuat melengkung
dengan radius 20 – 30 mm.
o Colokan listrik datar dengan permukaan dan kedap
air dan dapat dibersihkan
- Plafon
Penerangan, saluran dan kabel dibuat di atas plafon,
dan lampu rata dengan langit-langit/plafon dan diberi
lapisan untuk mencegah kebocoran udara.
- Pintu
Rangka terbuat dari stainles steel. Pintu membuka ke
arah ruangan yang bertekanan lebih tinggi.
- Aliran udara
Aliran udara menuju ruang bersih, ruang penyiapan,
ruang ganti pakaian dan ruang antara harus melalui
HEPA filter dan memenuhi persyaratan kelas 10.000.
Pertukaran udara minimal 120 kali per jam.
- Tekanan udara
Tekanan udara di dalam ruang bersih adalah 15 Pascal
lebih rendah dari ruang lainnya sedangkan tekanan
udara dalam ruang penyiapan, ganti pakaian dan
antara harus 45 Pascal lebih tinggi dari tekanan udara
luar. 18
- Temperatur
Suhu udara diruang bersih dan ruang steril, dipelihara
pada suhu 16 – 25° C.
- Kelembaban
o Kelembaban relatif 45 – 55%.
o Ruang bersih, ruang penyangga, ruang ganti pakaian
steril dan ruang ganti pakaian kerja hendaknya
mempunyai perbedaan tekanan udara 10-15 pascal.
o Tekanan udara dalam ruangan yang mengandung
risiko lebih tinggi terhadap produk hendaknya selalu
lebih tinggi dibandingkan ruang sekitarnya.
Sedangkan ruang bersih penanganan sitostatika
harus bertekanan lebih rendah dibandingkan ruang
sekitarnya.

8) Ruang penyimpanan produk nutrisi

b. Fasilitas penunjang dalam kegiatan pelayanan di IFRS, terdiri


dari :
1) Ruang tunggu pasien;
2) Ruang penyimpanan dokumen/arsip Resep dan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang rusak;
3) Tempat penyimpanan Obat di ruang perawatan;
4) Fasilitas toilet, kamar mandi untuk staf.
5) Tempat beribadah

3.2. Fasilitas Peralatan Pelayanan Kefarmasian


Fasilitas peralatan harus memenuhi syarat terutama untuk
perlengkapan peracikan dan penyiapan baik untuk sediaan
steril, non steril, maupun cair untuk obat luar atau dalam.
Fasilitas peralatan harus dijamin sensitif pada pengukuran
dan memenuhi persyaratan, peneraan dan kalibrasi untuk
peralatan tertentu setiap tahun.
Peralatan pelayanan kefarmasian yang paling sedikit harus
tersedia :
a. Peralatan untuk
19 penyimpanan, peracikan dan pembuatan
obat baik steril dan nonsteril maupun aseptik/steril;
b. Peralatan kantor untuk administrasi dan arsip;
c. Kepustakaan yang memadai untuk Pelayanan Informasi Obat;
d. Lemari penyimpanan khusus untuk narkotika dan
psikotropika;
e. Lemari pendingin dan pendingin ruangan untuk obat yang
termolabil;
f. Penerangan, sarana air, ventilasi sistem pembuangan limbah
baik;
g. Alarm.
Macam-macam Peralatan :
a. Peralatan Kantor :
- Mebeulair (meja, kursi, lemari buku/rak, filling cabinet
dan lain-lain);
- Komputer dan printer;
- Alat tulis kantor;
- Telepon dan faksimili.
b. Peralatan sistem komputerisasi
Sistem komputerisasi harus diadakan dan difungsikan secara
optimal untuk kegiatan sekretariat, pengelolaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan
pelayanan farmasi klinik. Sistem informasi farmasi ini harus
terintegrasi dengan sistem informasi Rumah Sakit untuk
meningkatkan efisiensi fungsi manajerial dan agar data klinik
pasien mudah diperoleh untuk monitoring terapi pengobatan
dan fungsi klinik lainnya.
Sistem komputerisasi meliputi : Jaringan, Perangkat keras,
Perangkat lunak (program aplikasi).
c. Peralatan Produksi
- Peralatan farmasi untuk persediaan, peracikan dan
pembuatan Obat, baik nonsteril maupun steril/aseptik.
- Peralatan harus dapat menunjang persyaratan keamanan
cara pembuatan Obat yang baik.
d. Peralatan Aseptic Dispensing :
- Bio safety cabinet;
- Pass-box dengan pintu berganda (air-lock);
- Barometer;
20
- Termometer;
- Wireless intercom.
e. Peralatan Penyimpanan
- Peralatan Penyimpanan Kondisi Umum
o lemari/rak yang rapi dan terlindung dari debu,
kelembaban dan cahaya yang berlebihan;
o lantai dilengkapi dengan palet.
- Peralatan Penyimpanan Kondisi Khusus :
o Lemari pendingin dan AC untuk Obat yang termolabil;
o Fasilitas peralatan penyimpanan dingin harus divalidasi
secara berkala;
o Lemari penyimpanan khusus untuk narkotika dan Obat
psikotropika;
o Peralatan untuk penyimpanan Obat, penanganan dan
pembuangan limbah sitotoksik dan Obat berbahaya
harus dibuat secara khusus untuk menjamin
keamanan petugas, pasien dan pengunjung.
- Peralatan Pendistribusian/Pelayanan : pelayanan rawat
jalan, pelayanan rawat inap (satelit farmasi); dan
kebutuhan ruang perawatan/unit lain.
- Peralatan Konsultasi
o Buku kepustakaan bahan-bahan leaflet,dan brosur dan
lain-lain;
o Meja, kursi untuk Apoteker dan 2 orang pelanggan,
lemari untuk menyimpan profil pengobatan pasien;
o Komputer;
o Telpon;
o Lemari arsip;
o Kartu arsip.
- Peralatan Ruang Informasi Obat
o Kepustakaan yang memadai untuk Pelayanan Informasi
Obat;
o Peralatan meja, kursi, rak buku, kotak;
o Komputer;
o Telpon;
o Lemari arsip;
21
o Kartu arsip;
- Peralatan Ruang Arsip
o Kartu Arsip;
o Lemari/Rak Arsip

22
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

A. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP

Biaya yang diserap untuk penyediaan obat merupakan


komponen terbesar dari pengeluaran rumah sakit. Pada banyak negara
berkembang, belanja obat di rumah sakit dapat menyerap sekitar 40-
50% biaya keseluruhan rumah sakit. Belanja sediaan farmasi, alkes
dan BMHP yang besar, tentunya harus dikelola dengan efektif dan
efisien, karena hal tersebut diperlukan mengingat dana kebutuhan obat
di rumah sakit tidak selalu sesuai kebutuhan.

Perbekalan farmasi adalah sediaan farmasi yang terdiri dari


obat, bahan obat, obat tradisional, alat kesehatan, reagensia bahan
kimia, kosmetik dan bahan gas medis, serta semua bahan dan
peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.

Pengelolaan perbekalan farmasi atau sistem manajemen


perbekalan farmasi merupakan suatu siklus kegiatan yang dimulai dari
perencanaan sampai evaluasi yang saling terkait antara satu dengan
yang lain. Kegiatannya mencakup perencanaan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan
dan pelaporan, penghapusan, monitoring dan evaluasi.

Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah bagian yang


bertanggungjawab terhadap pengelolaan perbekalan farmasi,
sedangkan Panitia Farmasi dan Terapi adalah bagian yang
bertanggungjawab dalam penetapan formularium. Agar pengelolaan
perbekalan farmasi dan penyusunan formularium di rumah sakit dapat
sesuai dengan aturan yang berlaku, maka diperlukan tenaga-tenaga
profesional di bidang tersebut. Untuk menyiapkan ketenagaan tersebut,
diperlukan berbagai masukan diantaranya adalah tersedianya pedoman
yang digunakan dalam pengelolaan perbekalan farmasi di Instalasi
Farmasi RSUD Tidar.

Tujuan :
23
1) Terlaksananya pengelolaan sediaan farmasi, alkes dan BMHP yang
bermutu, efektif dan efisien
2) Terlaksananya penerapan farmakoekonomi dalam pelayanan
farmasi
3) Terwujudnya sistem informasi pengelolaan sediaan farmasi, alkes
dan BMHP, yang dapat digunakan sebagai dasar perencanaan
kebutuhan
4) Terlaksananya pengelolaan sediaan farmasi, alkes dan BMHP
sistem satu pintu
5) Terlaksananya pengendalian mutu sediaan farmasi, alkes dan
BMHP

Fungsi :

1) Memilih sediaan farmasi, alkes dan BMHP sesuai kebutuhan


pelayanan rumah sakit
2) Merencanakan kebutuhan sediaan farmasi, alkes dan BMHP
secara optimal
3) Mengadakan sediaan farmasi, alkes dan BMHP berpedoman pada
perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku
4) Memproduksi sediaan farmasi untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan di rumah sakit
5) Menerima sediaan farmasi, alkes dan BMHP sesuai dengan
spesifikasi dan ketentuan yang berlaku
6) Menyimpan sediaan farmasi, alkes dan BMHP sesuai dengan
spesifikasi dan persyaratan kefarmasian
7) Mendistribusikan sediaan farmasi, alkes dan BMHP ke unit-unit
pelayanan di rumah sakit

1. Pemilihan/Seleksi Sediaan Farmasi, Alkes dan BMHP

Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan


farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan
kebutuhan. Pemilihan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai ini berdasarkan :

a. formularium dan standar pengobatan atau panduan praktik klinik


(PPK),
b. standar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai yang telah 24
ditetapkan,
c. pola penyakit/epidemiologi,
d. efektifitas (efficacy) dan keamanan (safety),
e. pengobatan berbasis bukti (evidence based medicine),
f. mutu,
g. harga (e-catalogue),
h. ketersediaan di pasaran.

Formularium Rumah Sakit disusun mengacu kepada


Formularium Nasional. Formularium Rumah Sakit merupakan daftar
Obat yang disepakati staf medis, disusun oleh Panitia Farmasi dan
Terapi (PFT) yang ditetapkan oleh Pimpinan Rumah Sakit.

Formularium Rumah Sakit harus tersedia untuk semua penulis


Resep, pemberi Obat, dan penyedia Obat di Rumah Sakit. Evaluasi
terhadap Formularium Rumah Sakit harus secara rutin dan
dilakukan revisi sesuai kebijakan dan kebutuhan Rumah Sakit.

Penyusunan dan revisi Formularium Rumah Sakit


dikembangkan berdasarkan pertimbangan terapetik dan ekonomi dari
penggunaan Obat agar dihasilkan Formularium Rumah Sakit yang
selalu mutakhir dan dapat memenuhi kebutuhan pengobatan yang
rasional.

Kriteria pemilihan obat untuk masuk Formularium Rumah Sakit :

a. termasuk dalam rencana/tata laksana terapi pada Panduan


Praktik Klinik (PPK);
b. termasuk dalam kelas terapi formularium nasional (fornas);
c. mengutamakan penggunaan obat generik;
d. memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling
menguntungkan penderita;
e. mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas;
f. menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh
pasien;
g. memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi
berdasarkan biaya langsung dan tidak langsung; dan
h. Obat lain yang terbukti paling efektif secara ilmiah dan aman
(evidence based medicines) yang paling dibutuhkan untuk
pelayanan dengan harga yang terjangkau.

Dalam rangka meningkatkan kepatuhan terhadap formularium


25
Rumah Sakit, maka Rumah Sakit harus mempunyai kebijakan terkait
dengan penambahan atau pengurangan Obat dalam Formularium
Rumah Sakit dengan mempertimbangkan indikasi penggunaaan,
efektivitas, risiko, dan biaya.

Panitia Farmasi dan Terapi (PFT)

Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili


hubungan komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi,
sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi
yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari Farmasi Rumah
Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya.

Tujuan :

a. Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat,


penggunaan obat serta evaluasinya
b. Melengkapi staf profesional di bidang kesehatan dengan
pengetahuan terbaru yang berhubungan dengan obat dan
penggunaan obat sesuai dengan kebutuhan.

Organisasi dan Kegiatan :

Susunan keanggotaan Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) serta


kegiatan yang dilakukan bagi tiap rumah sakit dapat bervariasi
sesuai dengan kondisi rumah sakit setempat :

- Panitia Farmasi dan Terapi harus sekurang-kurangnya terdiri dari


3 (tiga) Dokter, Apoteker dan Perawat. Untuk Rumah Sakit yang
besar tenaga dokter bisa lebih dari 3 (tiga) orang yang mewakili
semua kelompok staf medis yang ada.
- Ketua Panitia Farmasi dan Terapi dipilih dari dokter yang ada di
dalam panitia dan jika rumah sakit tersebut mempunyai ahli
farmakologi klinik, maka sebagai ketua adalah Farmakologi.
Sekretarisnya adalah Apoteker dari instalasi farmasi atau apoteker
yang ditunjuk.
- Panitia Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara
teratur, sedikitnya 3 (tiga) bulan sekali dan untuk rumah sakit
besar rapatnya diadakan sebulan sekali. Rapat Panitia Farmasi
dan Terapi dapat mengundang pakar-pakar dari dalam maupun
dari luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi
pengelolaan PFT
26
- Segala sesuatu yang berhubungan dengan rapat PFT (Panitia
Farmasi dan Terapi) diatur oleh sekretaris, termasuk persiapan
dari hasil-hasil rapat.
- Membina hubungan kerja dengan panitia di dalam rumah sakit
yang sasarannya berhubungan dengan penggunaan obat.

Fungsi dan Ruang Lingkup :

a. Mengembangkan formularium di Rumah Sakit dan merevisinya.


Pemilihan obat untuk dimasukan dalam formularium harus
didasarkan pada evaluasi secara obyektif terhadap efek terapi,
keamanan serta harga obat dan juga harus meminimalkan
duplikasi dalam tipe obat, kelompok dan produk obat yang sama.
b. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengevaluasi untuk menyetujui
atau menolak produk obat baru atau dosis obat yang diusulkan
oleh anggota staf medis.
c. Menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di rumah sakit dan
yang termasuk dalam kategori khusus.
d. Membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan
terhadap kebijakan-kebijakan dan peraturan peraturan mengenai
penggunaan obat di rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku
secara lokal maupun nasional.
e. Melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit
dengan mengkaji rekam medik dibandingkan dengan standar
diagnosa dan terapi. Tinjauan ini dimaksudkan untuk
meningkatkan secara terus menerus penggunaan obat secara
rasional.
f. Mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping
obat.
g. Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat
kepada staf medis dan perawat.

Kewajiban Panitia Farmasi dan Terapi :

a. Memberikan rekomendasi pada Pimpinan rumah sakit untuk


mencapai budaya pengelolaan dan penggunaan obat secara
rasional
b. Mengkoordinir pembuatan
27 panduan praktik klinik, formularium
rumah sakit, pedoman penggunaan antibiotika (bersama Panitia
PPRA) dan lain-lain
c. Melaksanakan pendidikan dalam bidang pengelolaan dan
penggunaan obat terhadap pihak-pihak yang terkait
d. Melaksanakan pengkajian pengelolaan dan penggunaan obat dan
memberikan umpan balik atas hasil pengkajian tersebut

Formularium Rumah Sakit :

Formularium adalah himpunan obat yang diterima/disetujui


oleh Panitia Farmasi dan Terapi untuk digunakan di rumah sakit dan
dapat direvisi pada setiap batas waktu yang ditentukan. Formularium
didasarkan atas misi rumah sakit, kebutuhan pasien, dan jenis
pelayanan yang diberikan.

Komposisi Formularium :

- Halaman judul
- Surat Keputusan Formularium
- Daftar Isi
- Informasi mengenai kebijakan dan prosedur di bidang obat
- Produk obat yang diterima untuk digunakan
- Lampiran

Sistem yang dipakai adalah suatu sistem dimana prosesnya


tetap berjalan terus, dalam arti kata bahwa sementara Formularium
itu digunakan oleh staf medis, di lain pihak Panitia Farmasi dan
Terapi mengadakan evaluasi dan menentukan pilihan terhadap
produk obat yang ada di pasaran, dengan lebih mempertimbangkan
kesejahteraan pasien.

Tahapan Proses Penyusunan Formularium :

a. Panitia Farmasi Dan Terapi mengadakan pertemuan dengan


Panitia Medis membahas rencana adanya formularium baru, yang
harus di update berdasarkan perkembangan terkini dan
kebutuhan pengadaan obat
b. Proses penyusunan obat/alkes dimulai dari usulan setiap
Kelompok Staf Medis (KSM), berupa form lembar Usulan
Formularium KSM atau berdasarkan kesepakatan setiap KSM
c. Usulan setiap KSM diserahkan kepada PFT
d. Usulan usulan KSM oleh PFT, dibuatkan rekapitulasi berdasarkan
28
form penyusunan yang sudah disetujui oleh PFT
e. Sekretaris PFT bertugas menyusun usulan setiap KSM sesuai
format
f. Hasil rekapitulasi dibahas dan dievaluasi oleh seluruh anggota
PFT, dengan memperhatikan masukan dari Instalasi farmasi
g. Dilakukan evaluasi lagi bila dipandang perlu oleh PFT
h. PFT melakukan sosialisasi formularium kepada Komite Medis.
i. Jika terdapat masukan atau saran dari Komite Medis, maka
dilakukan finalisasi formularium oleh PFT sebelum diusulkan
kepada Direktur untuk diberlakukan
j. Direktur membuat Surat Keputusan tentang pemberlakuan
formularium yang baru di lingkungan RSUD Tidar

Proses penyusunan dan evaluasi formularium, disertai kriteria yang


jelas:

a. Merupakan proses kolaboratif diantara staf medis, staf


keperawatan, instalasi farmasi dan manajemen.
b. Menindaklanjuti Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Kinerja
Efektifitas Pengelolaan Pelayanan Farmasi
c. Mengutamakan penggunaan obat generik
d. Menggunakan perbandingan = obat generik : original = 1 : 1 ,
sehingga terdapat pembatasan sediaan farmasi
e. Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling
menguntungkan penderita.
f. Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi
berdasarkan biaya langsung dan tidak langsung.
g. Obat lain yang terbukti paling efektif secara ilmiah dan aman
(evidence based medicines) yang paling dibutuhkan untuk
pelayanan.
h. Mempertimbangkan kebutuhan dan keselamatan pasien (patient
safety) serta kondisi ekonomisnya.
Kriteria Penambahan/Penggantian Formularium :
a. Obat-obat yang jarang digunakan (slow moving) akan dievaluasi.
b. Obat-obat yang tidak digunakan (death stock) setelah waktu 3
(tiga) bulan maka akan diberikan informasi kepada dokter-dokter
terkait yang menggunakan obat tersebut oleh Instalasi Farmasi.
c. Apabila pada 29
3 (tiga) bulan berikutnya tetap tidak dan/atau
kurang digunakan, maka obat tersebut diusulkan dikeluarkan
dari buku formularium.
d. Obat-obat yang dalam proses penarikan oleh Pemerintah atau
BPOM atau dari pabrikan.
Proses Usulan Penggantian/Penambahan Formularium :
a. Proses usulan penambahan atau penggantian formularium
dipandu dengan kriteria seperti diatas
b. Review pengawasan dan evaluasi terhadap
penggunaan/penyerapan obat yang telah lalu, dilakukan setiap
bulan pada waktu stock opname
c. Parameter yang digunakan adalah TOR, yang berakibat dapat
diketahuinya jenis obat tersebut termasuk kategori fast, slow
atau death moving.
d. Secara periodik, IFRS melaporkan kegiatan review penggunaan
obat kepada PFT dan bidang pelayanan penunjang
e. PFT akan menindak lanjuti laporan tersebut, bila dipandang perlu
dan mendesak penanganannya, termasuk melakukan usulan
pengeluaran obat yang dimaksud dalam formularium.

Pedoman Penggunaan Formularium :

Pedoman penggunaan yang digunakan akan memberikan


petunjuk kepada dokter, apoteker, perawat serta petugas administrasi
di rumah sakit dalam menerapkan sistem formularium.

Meliputi :

a. Membuat kesepakatan antara staf medis dari berbagai disiplin


ilmu dengan Panitia Farmasi dan Terapi dalam menentukan
kerangka mengenai tujuan, organisasi, fungsi dan ruang lingkup.
b. Staf medis harus mendukung Sistem Formularium yang
diusulkan oleh Panitia Farmasi dan Terapi.
c. Staf medis harus dapat menyesuaikan sistem yang berlaku
dengan kebutuhan tiap-tiap institusi.
d. Staf medis harus menerima kebijakan-kebijakan dan prosedur
yang ditulis oleh Panitia Farmasi dan Terapi untuk menguasai
sistem Formularium yang dikembangkan oleh Panitia Farmasi
dan Terapi.
e. Nama obat yang tercantum dalam Formularium adalah nama
generik dan/paten
30
f. Membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia
di Instalasi Farmasi.
g. Membuat prosedur yang mengatur pendistribusian obat generik
yang efek terapinya sama, seperti :
o Dokter yang mempunyai pilihan terhadap obat paten tertentu
harus didasarkan pada pertimbangan farmakologi dan terapi.
o Apoteker bertanggung jawab untuk menentukan jenis obat
generik yang sama untuk disalurkan kepada dokter sesuai
produk asli yang diminta.
o Apoteker bertanggung jawab terhadap kualitas, kuantitas, dan
sumber obat dari sediaan kimia, biologi dan sediaan farmasi
yang digunakan oleh dokter untuk mendiagnosa dan mengobati
pasien.
h. Terdapat aturan pelaksanaan formularium RSUD Tidar yang
berupa SK Direktur, yang memuat jika terdapat penulisan resep
diluar formularium, maka petugas IFRS dapat mengganti obat
yang sepadan dalam formularium, dengan sepengetahuan dokter.

2. Perencanaan Pengadaan

Perencanaan pengadaan merupakan kegiatan untuk


menentukan jumlah dan periode pengadaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan hasil
kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis,
tepat jumlah, tepat waktu dan efisien.

Perencanaan dilakukan oleh gudang instalasi farmasi untuk


menyusun kebutuhan obat yang tepat dan sesuai kebutuhan untuk
mencegah terjadinya kekurangan atau kelebihan persediaan sediaan
farmasi dan perbekalan kesehatan serta meningkatkan penggunaan
secara efektif dan efisien serta menghindari kekosongan obat dengan
menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-
dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi,
epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan
disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.

Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan :

- anggaran yang tersedia;


- penetapan prioritas;
31
- sisa persediaan;
- data pemakaian periode yang lalu;
- waktu tunggu pemesanan sampai pengiriman; dan
- rencana pengembangan.
Kompilasi Penggunaan

Kompilasi penggunaan perbekalan farmasi berfungsi untuk


mengetahui penggunaan bulanan masing-masing jenis perbekalan
farmasi di unit pelayanan selama 1 (satu) tahun dan sebagai data
pembanding bagi stok optimum. Informasi yang didapat dari
kompilasi penggunaan perbekalan farmasi adalah :

- Jumlah penggunaan tiap jenis perbekalan farmasi pada masing-


masing unit pelayanan
- Prosentase penggunaan tiap jenis perbekalan farmasi terhadap
penggunaan 1 (satu) tahun seluruh unit pelayanan
- Penggunaan rata-rata untuk tiap jenis perbekalan farmasi.
Perhitungan Kebutuhan.

Menentukan kebutuhan perbekalan farmasi di rumah sakit


merupakan tantangan bagi tenaga farmasi. Seringkali masalah
kekosongan obat ataupun kelebihan perbekalan farmasi menjadi
masalah tersendiri bagi kelangsungan pelayanan kefarmasian. Oleh
karena itu perhitungan kebutuhan perbekalan farmasi menjadi
pekerjaan penting. Pelaksanaan perencanaan secara terpadu dan
terkoordinasi, diharapkan perencanaan pengadaan menjadi tepat
jenis, jumlah dan waktu serta tersedia pada saat dibutuhkan.

Prinsip perencanaan ada 2 (dua) cara yang digunakan dalam


menetapkan kebutuhan yaitu, berdasarkan :

- Data statistik kebutuhan dan penggunaan obat, dari data statistik


berbagai kasus penderita dengan dasar formularium rumah sakit,
kebutuhan disusun menurut data tersebut
- Data kebutuhan obat disusun berdasarkan data pengelolaan
sistem administrasi atau akuntansi IFRS. Data kebutuhan
tersebut kemudian dituangkan dalam rencana operasional yang
digunakan dalam anggaran setelah berkonsultasi dengan Panitia
Farmasi dan Terapi.

Tahap perencanaan kebutuhan sediaan farmasi dan perbekalan


32
kesehatan meliputi :

a. Tahap Persiapan
Perencanaan dan pengadaan obat merupakan suatu kegiatan
dalam rangka menetapkan jenis dan jumlah sediaan farmasi dan
perbekalan kesehatan sesuai dengan pola penyakit serta
kebutuhan pelayanan kesehatan, hal ini dapat dilakukan dengan
membentuk tim perencanaan pengadaan sediaan farmasi dan
perbekalan kesehatan yang bertujuan meningkatkan efisiensi dan
efektivitas penggunaan dana obat melalui kerja sama antar
instansi yang terkait dengan masalah perbekalan farmasi.

b. Tahap Perencanaan

1) Tahap pemilihan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan

Tahap ini untuk menentukan sediaan farmasi dan perbekalan


kesehatan yang sangat diperlukan sesuai dengan kebutuhan,
dengan prinsip dasar menentukan jenis sediaan farmasi dan
perbekalan kesehatan yang akan digunakan atau dibeli.

2) Tahap perhitungan kebutuhan perbekalan farmasi

Tahap ini untuk menghindari masalah kekosongan obat atau


kelebihan obat. Dengan koordinasi dari proses perencanaan
dan pengadaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan
diharapkan perbekalan farmasi yang dapat tepat jenis, tepat
jumlah dan tepat waktu. Metode yang biasa digunakan dalam
perhitungan kebutuhan obat, yaitu:

a) Metode konsumsi

Secara umum metode konsumsi menggunakan konsumsi


sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan individual dalam
memproyeksikan kebutuhan yang akan datang berdasarkan
analisa data konsumsi obat tahun sebelumnya.

Pendekatan yang dilakukan sebelum merencanakan dengan


metode konsumsi adalah:

a. Lakukan evaluasi
- Evaluasi rasionalitas pola pengobatan periode lalu.
- Evaluasi suplai perbekalan farmasi periode lalu.
- Evaluasi data stock, distribusi dan penggunaan
33
perbekalan farmasi periode lalu. Pengamatan
kecelakaan dan kehilangan perbekalan farmasi
b. Estimasi jumlah kebutuhan perbekalan farmasi periode
mendatang dengan memperhatikan:
- Perubahan populasi cakupan pelayanan.
- Perubahan pola morbiditas.
- Perubahan fasilitas pelayanan.

c. Penerapan perhitungan

- Penetapan periode konsumsi.


- Perhitungan penggunaan tiap jenis sediaan farmasi
dan perbekalan kesehatan periode lalu.
- Lakukan koreksi terhadap kecelakaan dan kehilangan.
- Lakukan koreksi terhadap stock-out.
- Hitung lead time untuk menentukan safety stock.

Keunggulan metode konsumsi:

Data yang dihasilkan akurat, tidak memerlukan data


penyakit dan standar pengobatan, kekurangan dan
kelebihan obat kecil.

Kelemahan metode konsumsi:

Tidak dapat diandalkan sebagai dasar penggunaan obat dan


perbaikan preskripsi, tidak memberikan gambaran
morbiditas.

b) Metode ABC ( Analisis ABC (Always, Better, Control)/Pareto


Analysis)

Untuk menentukan jumlah item obat dari yang akan


direncanakan pengadaannya berdasarkan prioritas. Metode
tersebut sangat erat kaitannya dengan biaya dan pemakaian
perbekalan farmasi dalam setahun, sehingga diperlukan
tingkatan prioritas dengan asumsi berapa jumlah pesanan
dan kapan dipesan. Analisis ABC mengelompokkan item
barang dalam 3 jenis klasifikasi berdasarkan volume
tahunan dalam jumlah persediaan uang. Untuk
menentukan nilai dari suatu volume item tertentu, maka
analisis ABC dilakukan dengan cara mengukur permintaan
(Deman) dari
34 setiap butir persediaan dikalikan dengan biaya
perunit.
Cara pengelompokkannya adalah :

- Kelompok A: Persediaan yang jumlah unit uang


pertahunnya tinggi (60-90%), tetapi biasanya volumenya
(5-10%)
- Kelompok B : Persediaan yang jumlah nilai uang
pertahunnya sedang (20-30%), tetapi biasanya volumenya
sedang (20-30%)
- Kelompok C: Persediaan yang jumlah nilai uang
pertahunnya rendah (10-20%), tetapi biasanya volumenya
besar (60-70%).

c) Metode VEN (Vital, Essensial, Non Essensial)

Analisis perencanaan menggunakan semua jenis perbekalan


farmasi yang tercantum dalam daftar yang dikelompokkan
ke dalam 3 bagian sebagai berikut.

- Kelompok Vital adalah kelompok obat yang sangat utama


(pokok/vital) antara lain : obat penyelamat jiwa, obat
untuk pelayanan kesehatan pokok, obat untuk mengatasi
penyakit penyebab kematian terbesar, dibutuhkan sangat
cepat, tidak dapat digantikan obat lain.
- Kelompok Essensial, adalah kelompok obat yang bekerja
kausal yaitu obat yang bekerja pada sumber penyebab
penyakit, tidak untuk mencegah kematian secara
langsung/kecacatan.
- Kelompok Non Essensial, merupakan obat penunjang
yaitu obat yang kerjanya ringan dan biasa digunakan
untuk menimbulkan kenyamanan atau untuk mengatasi
keluhan ringan.

Penggolongan obat sistem VEN dapat digunakan:


penyesuaian rencana kebutuhan obat dengan alokasi dana
yang tersedia. Dalam penyusunan rencana kebutuhan obat
yang masuk kelompok vital agar diusahakan tidak terjadi
kekosongan obat. Untuk menyusun daftar VEN perlu
ditentukan terlebih dahulu kriteria penentuan VEN. Dalam
penentuan35kriteria perlu mempertimbangkan kebutuhan
masing-masing spesialisasi. Kriteria yang disusun dapat
mencakup berbagai aspek antara lain: Klinis, konsumsi,
target kondisi dan biaya.

Langkah-langkah menentukan VEN :

o Menyusun kriteria menentukan VEN.


o Menyediakan data pola penyakit.
o Standar pengobatan.

d) Metode morbiditas (epidemiologi)

Memperkirakan kebutuhan obat berdasarkan jumlah


kehadiran pasien, kejadian penyakit yang umum, dan pola
perawatan standar dari penyakit yang ada.

Pendekatan yang dilakukan sebelum merencanakan adalah :

- Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani.


- Menentukan jumlah kunjungan berdasarkan frekuensi
penyakit.
- Penyiapan standar pengobatan yang diperlukan.
- Menghitung perkiraan kebutuhan.
Perhitungan kebutuhan menggunakan metode Reorder Point,
yaitu suatu titik atau batas dari jumlah persediaan yang ada
pada suatu saat, dimana pemesanan harus diadakan kembali.
Dalam menentukan titik ini, diperhatikan besarnya
penggunaan selama perbekalan farmasi yang dipesan belum
datang dan persediaan minimal. Besarnya penggunaan selama
perbekalan farmasi yang dipesan belum diterima ditentukan
oleh lead time (P ) dan tingkat penggunaan rata-rata (F ) serta
mempertimbangkan safety stock (W ).
Reorder Point = ( P x F ) + W

3. Pengadaan Perbekalan Farmasi

Teknis pengadaaan merupakan penentu utama dari


ketersediaan obat dan total biaya kesehatan. Merupakan kegiatan
untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan
disetujui, melalui :

- Pembelian secara elektronik (e-purchasing) dengan harga e-


36
catalogue
- Pembelian konvensional ke PBF resmi dan utama
- Produksi/pembuatan sediaan farmasi
- Sumbangan/hibah/droping.

Sedangkan tujuan pengadaan di RSUD Tidar adalah untuk


mendapatkan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP dengan
harga yang layak, dengan mutu yang baik, pengiriman barang
terjamin dan tepat waktu, dan proses berjalan lancar. Pengadaan
perbekalan farmasi dilaksanakan setiap 1 (satu) bulan sekali sesuai
kebutuhan.

Jenis pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan


medis habis pakai (BMHP) di rumah sakit, dibagi menjadi :

a. Berdasarkan dari pengadaan barang, yaitu :


- Pengadaan perbekalan farmasi umum
- Pengadaan perbekalan farmasi BPJS
b. Berdasarkan sifat penggunaannya :
- Bahan baku, misalnya bahan pembuatan salep
- Bahan pembantu, misalnya laktosa untuk pembuatan racikan
puyer
- Komponen jadi, misalnya kapsul gelatin
- Bahan jadi, misalnya cairan infus, injeksi, alkohol, povidon
iodine
c. Berdasarkan waktu pengadaan, yaitu :
- Pembelian tahunan (annual purchasing)
Merupakan pembelian dengan selang waktu 1 tahun
- Pembelian terjadwal (schedule purchasing)
Merupakan pembelian dengan selang waktu tertentu, misalnya
1 bulan, 3 bulan, ataupun tiap 6 bulan
- Pembelian tiap bulan
- Pembelian setiap waktu tertentu (just in time)
Merupakan pembelian setiap saat dimana pada saat obat
mengalami kekurangan persediaan di penyimpanan.
d. Berdasarkan sistem pengadaan secara elektronik, yaitu :
- Pengadaan e- purchasing
Merupakan pengadaan secara elektronik (e-procurement)
dengan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan, berdasarkan sistem
37
katalog elektronik (e-catalogue).
- Pengadaan manual purchasing
Merupakan pengadaan obat ketika tidak tersedia dalam e-
catalogue dan ketika e-purchasing mengalami kendala
operasional (offline), yaitu dilakukan secara manual, e-mail,
surat langsung kepada industri farmasi penyedia.

Pada proses pengadaan perbekalan farmasi terdapat 3 (tiga) elemen


penting yang harus diperhatikan :

a) Pengadaan yang dipilih harus diteliti untuk menghindari biaya


tinggi
b) Penyusunan dan persyaratan kontrak kerja untuk menjaga
pelaksanaan pengadaan terjamin mutunya, yaitu :
- Bahan baku obat harus disertai Sertifikat Analisa
- Mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS) untuk bahan
beracun dan berbahaya/B3
- Mempunyai nomor ijin edar untuk sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai
- Waktu dan kelancaran pengiriman barang
- Waktu kadaluarsa minimal 2 tahun kecuali untuk sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai tententu
(vaksin, reagensia, dan lain-lain), atau pada kondisi tertentu
yang dapat dipertanggungjawabkan.
c) Order pemesanan agar barang sesuai jumlah, jenis, waktu dan
tempat.
Sistem pengadaan perbekalan farmasi adalah penentu utama
ketersediaan obat dan biaya total kesehatan.

Proses pengadaan yang efektif seharusnya :

- Membeli obat-obatan yang tepat dengan jumlah yang tepat


- Memperoleh harga pembelian serendah mungkin
- Mempunyai standar kualitas obat yang sudah diketahui
- Mengatur pengiriman obat dari PBF secara berkala (dalam
waktu tertentu), untuk menghindari kelebihan persediaan
maupun kekurangan persediaan
- Memilih PBF yang kredibel dalam penyaluran dan dapat
menjaga kualitas barang
- Mengatur jadwal
38 pembelian obat dan tingkat penyimpanan
yang aman.
Teknik pengadaan yang efektif harus menjamin
ketersediaan dalam jenis dan jumlah yang tepat dengan harga
yang ekonomis dan memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan
kemanfaatan.

Teknis pengadaan dapat melalui pembelian, pembuatan dan


sumbangan. Teknis pengadaaan merupakan kegiatan yang
berkesinambungan yang dimulai dari pengkajian seleksi obat,
penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan
dan dana, pemilihan metode teknis pengadaan, pemilihan waktu
pengadaan, pemilihan pemasok yang baik, penentuan spesifikasi
kontrak, pemantauan proses pengadaan dan pembayaran.

Pelaksana pengadaan untuk sediaan farmasi, alat kesehatan


dan bahan medis habis pakai (BMHP) di RSUD Tidar tidak dilakukan
oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit, tetapi dilaksanakan oleh Tim
Pengadaan Rumah Sakit (TPRS).

1) Pembelian

Pembelian adalah rangkaian proses pengadaan untuk


mendapatkan perbekalan farmasi. Proses pembelian mempunyai
beberapa langkah yang baku dan merupakan siklus yang berjalan
terus menerus sesuai dengan kegiatan RSUD Tidar.

Langkah proses pengadaan :

- Mereview daftar sediaan farmasi, alkes dan BMHP yang akan


diadakan,
- Menentukan jumlah masing-masing item yang akan dibeli,
- Menyesuaikan dengan situasi keuangan,
- Memilih metode pengadaan, yakni e purchasing, pengadaan
langsung, atau pembelian langsung,
- Memilih pedagang besar farmasi resmi untuk pembelian langsung,
- Membuat syarat kontrak kerja,
- Memantau pengiriman barang,
- Menerima barang sesuai surat pesanan,
- Melakukan pembayaran tagihan (dilakukan oleh bagian keuangan)

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelian adalah:


39
- Kriteria Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai, yang meliputi kriteria umum dan kriteria mutu Obat.
- Persyaratan pemasok.

a) Akte pendirian perusahaan dan pengesahan dari


Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia;

b) Surat Izin Usaha Perusahaan (SIUP);

c) NPWP;

d) Izin Pedagang Besar Farmasi–Penyalur Alat Kesehatan (PBF–


PAK);

e) Perjanjian Kerja Sama antara distributor dan prinsipal serta


rumah sakit;

f) Nama dan Surat izin Kerja Apoteker untuk apoteker


penanggung jawab PBF;

g) Alamat dan denah kantor PBF;

h) Surat garansi jaminan keaslian produk yang didistribusikan


(dari prinsipal).

- Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan Sediaan Farmasi,


Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
- Pemantauan rencana pengadaan sesuai jenis, jumlah dan waktu.
- Pemasok harus menjamin bahwa sediaan farmasi, alat kesehatan
dan bahan medis habis pakai yang aman, bermutu, bermanfaat,
serta berkhasiat sesuai dengan peraturan peraturan perundang-
undangan.
- Pemasok harus dapat memastikan bahwa mutu produk dan integri
tas rantai penyaluran dan distribusi harus dipertahankan selama
proses penyaluran atau distribusi, prinsip-prinsip Cara Distribusi  
Obat yang Baik (CDOB) berlaku untuk aspek pengadaan, penyimp
anan, penyaluran dan termasuk penarikan kembali produk.

2) Produksi

Produksi perbekalan farmasi di rumah sakit merupakan


kegiatan membuat, merubah bentuk, dan pengemasan kembali
sediaan farmasi non steril dan steril untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan
40di rumah sakit.
Produksi dilakukan oleh IFRS jika memenuhi kriteria : obat
lebih murah jika diproduksi sendiri, obat tidak terdapat di pasaran
atau formula khusus rumah sakit.

Jenis sediaan farmasi yang di produksi :

- Produksi steril (pencampuran obat suntik/iv-admixture,


pengemasan kembali/repacking).
Pelayanan dispensing steril elektrolit konsentrat dilakukan oleh
apoteker dan TTK yang terlatih dan dilengkapi oleh laminar air
flow cabinet (LAF).
- Produksi non steril (pengemasan kembali dan pengenceran).
Contoh : pengemasan kembali (aquadest), pengenceran (formalin).

Sediaan yang dibuat di Rumah Sakit harus memenuhi


persyaratan mutu dan terbatas hanya memenuhi kebutuhan
pelayanan di Rumah Sakit.

3) Sumbangan/Hibah/Droping

Instalasi Farmasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan


terhadap penerimaan dan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sumbangan/dropping/hibah.

Seluruh kegiatan penerimaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,


dan Bahan Medis Habis Pakai dengan cara
sumbangan/dropping/hibah harus disertai dokumen administrasi
yang lengkap dan jelas. Agar penyediaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dapat membantu
pelayanan kesehatan, maka jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai harus sesuai dengan kebutuhan pasien
di Rumah Sakit.

Instalasi Farmasi dapat memberikan rekomendasi kepada


pimpinan Rumah Sakit untuk mengembalikan/menolak
sumbangan/dropping/hibah Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai yang tidak bermanfaat bagi kepentingan
pasien Rumah Sakit. Obat sumbangan/dropping/hibah yang ada di
RSUD Tidar adalah obat Antiretroviral, obat Tuberkulosis, Obat
41
Malaria, dan vaksin hepatitis bayi.

Prinsip Praktik Pengadaan:


Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan yang baik dan merupakan
standar universal mencakup aspek :

a) Pengadaan obat merujuk kepada obat generik


b) Pengadaan obat mengacu kepada formularium nasional (fornas)
atau formularium rumah sakit
c) Pengadaan obat secara terpusat dan dengan jenis terbatas akan
menurunkan harga
d) Pengadaan dilakukan secara kompetitif
e) Adanya komitmen pengadaan.
PBF harus menjamin pasokan obat yang kontraknya telah
ditandatangani
f) Jumlah obat yang diadakan harus sesuai dengan perkiraan
kebutuhan pasien.
o Gunakan penghitungan berdasarkan konsumsi kebutuhan,
cross cek dengan pola penyakit dan jumlah kunjungan
o Lakukan penyesuaian terhadap stock over, stock out, obat
expired
o Lakukan penyesuaian dan perhitungan terhadap kebutuhan
program dan perubahan pola penyakit
g) Lakukan manajemen keuangan yang baik dan pembayaran yang
pasti
o Kembangkan kepastian pembayaran
o Mekanisme pembayaran yang pasti akan dapat menurunkan
harga
h) Prosedur tertulis dan transparan
i) Pembagian fungsi
o Memerlukan keahlian tertentu
o Melibatkan beberapa tim, unit individu dalam aspek
perencanaan kebutuhan, pemilihan jenis obat, ataupun
pemilihan PBF
j) Program jaminan mutu produk
o Pastikan ada keharusan melakukan jaminan mutu produk
dalam setiap dokumen
o Jaminan mutu produk, meliputi sertifikasi, test lab, mekanisme
42
laporan terhadap obat yang diduga tidak memenuhi syarat
k) Melakukan audit tahunan
o Untuk menguji kepatuhan terhadap prosedur pengadaan,
kepastian pembayaran dan faktor lain yang berhubungan
o Sampaikan hasilnya kepada pengawas internal atau eksternal
l) Buat laporan periodik terhadap kinerja pengadaan
o Buat laporan untuk indikator kinerja dibandingkan dengan
target setidaknya setahun sekali
o Gunakan indikator kunci seperti rasio harga terhadap harga di
pasar, rencana pengadaan dan realisasi
m) Terdapat proses yang disusun untuk menghadapi bilamana obat
tidak tersedia, pemberitahuan kepada pembuat resep serta saran
substitusinya.
n) Menggunakan harga e-catalog dalam pengadaan obat generik
(sebagai HPS)
o) Untuk obat-obatan yang kosong dan tidak ada penggantinya dapat
dilakukan peminjaman obat ke Apotek dan Rumah Sakit lain yang
sudah kerjasama, yaitu Apotek Kawatan, RST dan Gudang
Farmasi Dinas Kesehatan Kota Magelang.

4. Penerimaan Perbekalan Farmasi

Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang


telah diadakan sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui
pembelian langsung, tender, konsinyasi atau sumbangan.
Penerimaan adalah kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis,
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera
dalam kontrak atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang
diterima. Semua dokumen terkait penerimaan barang harus
tersimpan dengan baik.

Penerimaan obat sebaiknya dilakukan dengan teliti hal ini


disebabkan karena pengantaran obat dapat mengakibatkan
kerusakan pada sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan.
Penerimaan merupakan kegiatan verifikasi penerimaan/penolakan,
dokumentasi sudah disiapkan untuk masing-masing jenis produk
yang berisi antara lain :

- kebenaran jumlah kemasan;


43
- kebenaran kondisi kemasan seperti yang disyaratkan
- kebenaran jumlah satuan dalam tiap kemasan;
- kebenaran jenis produk yang diterima;
- tidak terlihat tanda-tanda kerusakan;
- kebenaran identitas produk;
- penerapan penandaan yang jelas pada label, bungkus dan brosur;
- tidak terlihat kelainan warna, bentuk, kerusakan pada isi produk,
- jangka waktu kadaluarsa yang memadai
- Waktu penyerahan dan harga
- Nomor BPOM untuk obat dan Ijin edar untuk alat kesehatan

Penerimaan barang farmasi dilakukan oleh Tim Teknis Panitia


Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) RSUD Tidar, yang disertai dengan
Berita Acara Serah Terima Pekerjaan. Penerimaan perbekalan farmasi
harus dilakukan oleh petugas yang bertanggungjawab dan terlatih
serta mengerti sifat penting dari sediaan farmasi, alat kesehatan dan
BMHP. Dalam tim teknis PPHP harus ada tenaga kefarmasian. Jenis
dan jumlah sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP yang diterima
akan dientry di SIM RS. Dilakukan juga pengadministrasian faktur
barang sesuai PBF. Setelah diterima berikut pengadministrasiannya,
barang dan faktur diserahterimakan dan disimpan di gudang farmasi.

5. Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alkes dan BMHP

Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan


memelihara dengan cara menempatkan sediaan farmasi, alkes dan
BMHP yang diterima pada tempat yang sesuai persyaratan sehingga
dapat menjamin mutu obat.

Tujuan penyimpanan adalah :

- Memelihara mutu sediaan farmasi


- Menghindari penggunaan yang tidak bertanggungjawab
- Menjaga ketersediaan
- Memudahkan pencarian dan pengawasan.

Metode penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan dan


bahan medis habis pakai yang dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah
Sakit Tidar adalah :

1) Alur penyimpanan barang dengan sistem first in first out ( FIFO )


44
dan fisrt expired first out ( FEFO).
2) Penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai di kelompokan antara obat jadi , bahan baku obat,
sediaan nutrisi parenteral dan enteral, alat kesehatan dan
regensia, B3, dan obat high alert.

3) Untuk obat jadi dikelompokan kembali menjadi sediaan padat


(tablet/kaplet/kapsul), sediaan salep, sediaan tetes, sediaan
injeksi (serbuk/cairan ) dan sediaan infus (cairan besar) dan
disusun secara alfabetis.

4) Untuk sediaan farmasi yang termolabil di simpan dalam lemari


pendingin dengan suhu antara 2 - 8º C, dan suhu selalu
dipantau setiap hari.

5) Untuk sediaan farmasi yang termostabil disimpan dalam suhu


ruangan ( suhu< 25º C ) dan suhu selalu dipantau setiap hari.

6) Kelembaban ruangan penyimpanan sediaan farmasi berkisar


antara 50 - 60 % dan kelembaban selalu dipantau setiap hari.

7) Untuk sediian farmasi yang mudah terbakar di simpan dalam


ruaangan B3

8) Untuk sedian nutrisi penyimpanan ditempat tersendiri dan diberi


tanda produk nutrisi dan disesuaikan dengan ketentuan
penyimpanan yang tertera dalam produk.

9) Labelisasi untuk mengetahui batas masa kadaluarsa.

Sedangkan hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyimpanan


sediaan farmasi, alkes dan BMHP antara lain :

- Sesuai untuk stabilitas produk


- Bahan yang terkontrol (controlled substances) dilaporkan secara
akurat sesuai undang undang dan peraturan yang berlaku
- Obat-obatan dan bahan kimia yang digunakan untuk
mempersiapkan obat diberi label secara akurat, menyebutkan isi,
tanggal kadaluarsa dan peringatan
- Elektrolit pekat tidak disimpan di unit asuhan (rawat inap)
- Seluruh tempat penyimpanan obat diinspeksi secara periodik
45
- Kebijakan rumah sakit menjabarkan cara identifikasi dan
penyimpanan obat yang dibawa pasien (medication reconciliation).
a. Penyimpanan High Alert Medication :
- Obat-obat dengan kewaspadaan tinggi (high alert medication) yang
dapat menimbulkan cedera jika terjadi kesalahan pengambilan,
disimpan di tempat khusus.
- Obat high alert (termasuk narkotika, elektrolit pekat) disimpan di
gudang farmasi, pelayanan farmasi rawat jalan, satelit farmasi
rawat inap, satelit farmasi Instalasi Bedah Sentral, satelit farmasi
Instalasi Gawat Darurat.
- Obat high alert diberi stiker dengan warna dasar merah
bertuliskan high alert, obat dengan nama obat rupa ucapan mirip
(NORUM) diberi stiker LASA dengan warna dasar kuning, dan
elektrolit pekat diberi stiker warna merah. Setiap unit pelayanan
mempunyai daftar obat high alert (termasuk obat LASA dan
elektrolit pekat) serta SPO penatalaksanaan high alert medications.
- Pemberian obat high alert kepada pasien, dilakukan dengan double
check.

Contoh obat-obatan yang termasuk dalam high alert medication dan


labelnya adalah :

o Obat risiko tinggi, seperti heparin, warfarin, insulin, narkotik


injeksi (fentanil, morfin, dan pethidin), neuromuscular blocking
agents, thrombolitik, dan agonis adrenergik.
Labelnya adalah segidelapan warna dasar merah, dengan tulisan
“high alert”, untuk insulin ditambah tulisan “Perhatian!obat
mengandung INSULIN”.
o Elektrolit pekat tidak boleh disimpan di ruang perawatan : KCl
≥2mEq/ml, MgSO4 20% dan 40%, sodium bikarbonat 8,4%, NaCl
3%.
Labelnya adalah segidelapan warna dasar merah, dengan tulisan
high alert dan diberi stiker tambahan berwarna dasar kuning yang
bertuliskan “elektrolit pekat harus diencerkan”
o LASA (look alike sound alike) atau NORUM (nama obat rupa
ucapan mirip), yaitu obat-obatan yang terlihat dan kedengarannya
mirip.
46
Labelnya adalah warna dasar kuning, dengan tulisan “LASA
periksa kembali”.
b. Penyimpanan narkotika dan psikotropika :
- Tujuan penyimpanan untuk menjamin mutu, keamanan dan
memudahkan pelayanan serta pengawasan.
- Penyimpanan narkotika dan psikotropika, pada lemari
penyimpanan di farmasi rawat jalan dan satelit farmasi, yang
aman dan terkunci.
- Tata cara penyimpanan :
o penyimpanan atas dasar FIFO dan FEFO
o dilengkapi dengan kartu stok,
o disimpan di tempat khusus sesuai persyaratan
o Tempat penyimpanan tidak terlihat umum
o ruang penyimpanan mempunyai sirkulasi udara yang baik,
sehingga suhu dan kelembaban sesuai
o kunci lemari penyimpanan terdiri dari 2 kunci yang berbeda
(double locked), satu kunci dipegang oleh Apoteker Penanggung
Jawab dan satu kunci lainnya dipegang oleh pegawai lain yang
dikuasakan.
o pada pergantian shift, kunci lemari penyimpanan akan
diserahkan kepada TTK yang bertugas dengan mengisi buku
serah terima narkotika psikotropika.
- Persyaratan tempat menyimpan narkotika :
o Dibuat dari kayu atau bahan lain yang kuat
o Harus mempunyai kunci yang kuat
o Lemari penyimpanan terdiri dari 2 kunci yang berbeda (double
locked)
o Bila tempat khusus berupa almari berukuran kurang dari
40x80x100 cm, maka harus dibaut pada tembok atau lantai
agar tak mudah dipindahkan
- Persyaratan tempat menyimpan psikotropika di lemari terkunci 2
pintu dan kunci tidak boleh dibiarkan tergantung di lemari.

c. Penyimpanan cold chain (rantai dingin) :


- Penempatan lemari es
o jarak minimal antara lemari es dengan dinding belakang adalah
47
± 10 - 15 cm atau sampai pintu lemari es dapat dibuka
o jarak minimal antara lemari es lainnya adalah ± 15 cm
o lemari es tidak terkena matahari langsung
o ruangan mempunyai sirkulasi udara yang cukup (dapat
menggunakan exchaust fan)
o setiap 1 unit lemari es/freezer menggunakan hanya 1 stop
kontak listrik
- Penempatan vaksin di lemari es
o suhu dalam antara 20 – 80 C
o semua vaksin disimpan pada suhu 20 – 80 C
o bagian bawah lemari es diletakkan cool pack sebagai penahan
dingin dan kestabilan suhu
o tata letak dus vaksin mempunyai jarak minimal 1-2 cm atau
satu jari tangan
- Alat pemantau suhu
o setiap lemari es dipantau dengan 1 buah thermometer
o sebuah fridge tag atau freeze tag atau log tag
o sebuah lembar grafik pencatatan suhu dan kelembaban
o bila suhu sudah stabil, vaccine carrier thermostat jangan
dirubah-rubah
o beri selotip pada thermostat
o pencatatan suhu dua kali dalam sehari, ada grafik suhu

d. Penyimpanan bahan radioaktif dan obat sampel :

- Bahan radioaktif dan obat sampel tidak ada dalam penyimpanan


di RSUD Tidar

e. Penyimpanan Film di Radiologi (Ketentuan penyimpanan film yang


belum diexpose adalah sebagai berikut (Depkes, 1999):
- Temperatur : 20 - 25°C (Pakai AC selama 24 jam).

- Kelembaban : 50 - 60 %

- Ventilasi : Sirkulasi udara harus baik.

- Jarak antara rak atas dengan rak dibawahnya cukup lapang.

- Tata letak kotak film tidak ditumpuk satu sama lain (berdiri tegak
dan berjejer kesamping).
48
- Tidak terkena cahaya matahari.

- Tidak bercampur dengan penyimpanan bahan kimia.


- Aman dari radiasi sinar-X.

- Pemakaian didahulukan pada film yang mempunyai waktu


kadaluarsa yang hampir habis.

f. Penyimpanan produk nutrisi susu :

- Simpan dalam tempat yang sejuk, kering, bersih dan jauhkan dari
cahaya matahari langsung, jangan disimpan dalam lemari
pendingin

- Jika dibuka, segera tutup atau lipat kembali wadah


(kaleng/sachet) dengan rapat, supaya tidak ada udara masuk ke
dalam kemasan.

g. Penyimpanan nutrisi parenteral :

- Tidak boleh disimpan di freezer

- Penyimpanan nutrisi parenteral dilakukan di dalam tempat sejuk


(suhu < 25°C), dilindungi dari cahaya matahari langsung

- Jangan digunakan jika tidak bersih atau segel rusak.

- Hanya dapat digunakan sekali saja, jangan menyimpan sebagian


isinya dan buang sisanya setelah digunakan.

h. Penyimpanan reagensia :

- Tutuplah botol waktu penyimpanan

- Tidak boleh terkena sinar matahari langsung

- Reagen yang mudah rusak bila terkena paparan sinar matahari


langsung harus disimpan dalam botol berwarna gelap

- Bahan-bahan yang berbahaya diletakkan dibagian bawah dengan


label tanda bahaya

- Buat kartu stock yang memuat tanggal penerimaan, tanggal


kadaluarsa, tanggal wadah reagen dibuka, jumlah reagen yang
diambil dan jumlah reagen sisa serta paraf tenaga pemeriksa yang
menggunakan.

- Pemantauan penyimpanan reagensia dan rekapitulasi


penyimpanan reagensia (bulanan atau tahunan) serta penerapan
49
SPO penyimpanan reagensia.

i. Penyimpanan bahan beracun dan berbahaya (B3):


- Simpan dalam tempat terpisah

- Tersedia apar/pemadam api

- Diberi label dan disesuaikan dengan klasifikasi B3

- Ada eyewash

- Tempat penyimpanan tidak untuk aktifitas


- Dekat dengan hydrant
- Ruangan cukup luas dapat melindungi mutu produk
- Menjamin keamanan produk
- Menjamin keamanan petugas
- Terdapat rambu/tanda, denah lokasi atau jalur evakuasi
- Bahan tidak diletakkan di lantai (letakkan diatas pallet, rak,
lemari)
- Jauh dari sumber listrik
- Terdapat alat pengukur suhu dan kelembaban
- Terdapat apar/alat pemadam kebakaran
- Terdapat APD
- Bahan mudah terbakar (alkohol 70% dan alkohol 96%) dan bahan
bersifat korosif dan oksidator (formalin 37% dan H2O2 3%) harus
disimpan dalam ruangan khusus, dan sebaiknya disimpan di
bangunan khusus terpisah dari gudang induk.

j. Penyimpanan gas medis :


- Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi
penandaaan untuk menghindari kesalahan pengambilan jenis gas
medis.
- Penyimpanan tabung gas medis kosong terpisah dari tabung gas
medis yang ada isinya.
- Penyimpanan tabung gas medis di ruangan harus menggunakan
tutup demi keselamatan.

k. Penyimpanan obat emergency :


- Rumah Sakit menyediakan lokasi penyimpanan Obat emergensi
untuk kondisi kegawatdaruratan.
- Tempat penyimpanan
50 mudah diakses dan terhindar dari
penyalahgunaan dan pencurian.
- Penyimpanan obat emergensi harus dapat menjamin kualitas dan
keamanan sesuai dengan persyaratan kefarmasiaan.
- Stok obat emergency disimpan disemua ruang perawatan/bangsal
dengan isi sesuai standar yang telah disepakati oleh masing–
masing unit.
- Tidak boleh bercampur dengan persediaan Obat untuk kebutuhan
lain.
- Bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti
maksimal dalam 24 jam.
- Dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa, jika
ditemukan akan kadaluarsa dalam 3 bulan kedepan maka Obat
harus segera diganti dengan kadaluarsa yang lebih panjang.
- Stock emergensi dilarang dipinjam untuk kebutuhan lain.
- Lokasi penyimpanan troli/boks mudah di akses secara cepat
untuk kondisi kegawatdaruratan dan terhindar dari
penyalahgunaan dan pencurian.
- Monitoring obat emergensi dilakukan minimal setiap 1 bulan
sekali guna memastikan kesesuaian sediaan farmasi dengan
daftar, ketepatan penyimpanan dan tanggal kadaluarsa dan atau
rusak.

l. Obat yang dibawa pasien dari rumah


- Obat yang dibawa pasien dari rumah harus dicatat dalam formulir
rekonsiliasi obat.
- Obat disimpan di box rekonsiliasi obat pasien di bangsal.
- Obat diserahkan kembali ke pasien saat pasien pulang.

m. Obat program atau bantuan pemerintah


- Obat Program Kesehatan adalah obat yang disediakan untuk
keperluan program kesehatan baik yang berskala nasional dan
global.
- Obat dimaksud digunakan untuk keperluan program kesehatan
tertentu seperti program penanggulangan : HIV/AIDS, TB,
Hepatitis, dan Malaria.
- Rumah sakit dapat mengakses obat program kesehatan yang ada
51
di dinas kesehatan, dengan cara mengajukan permohonan kepada
dinas kesehatan dan selanjutnya membuat laporan penggunaan
obat tersebut secara periodik kepada dinas kesehatan dimana obat
tersebut diperoleh.
- Syarat lain yang harus dipenuhi adalah obat tersebut hanya
dipergunakan bagi pasien tertentu yang sesuai dengan kriteria,
target dan sasaran program tersebut. Selain itu obat tersebut tidak
boleh diperjualbelikan kepada penderita.
- Obat program disimpan terpisah dari obat lain dan dilakukan
kontrol penggunaannya.

Pelabelan pada tempat penyimpanan :


Tempat penyimpanan perbekalan farmasi (di gudang maupun di
satelit farmasi) harus diberi label atau tanda untuk mempermudah
pengambilan dan pencatatan

Indikator penyimpanan obat :

a. Kesesuaian jumlah antara barang dan kartu stock


Indikator ini digunakan untuk mengetahui ketelitian petugas
gudang dan mempermudah dalam pengecekan obat, membantu
dalam perencanaan dan pengadaan obat, sehingga tidak
menyebabkan terjadinya akumulasi dan kekosongan obat.
b. Turn Over Ratio (TOR)
Indikator ini digunakan untuk mengetahui kecepatan perputaran
obat, yaitu seberapa cepat obat dibeli, didistribusi, sampai dipesan
kembali. Nilai TOR akan berpengaruh pada ketersediaan obat. TOR
yang tinggi berarti mempunyai pengendalian persediaan yang baik,
demikian pula sebaliknya, sehingga beaya penyimpanan akan
menjadi minimal.
c. Days Sales Order (DSO)

Indikator untuk mengetahui berapa lama persediaan berada di


gudang sebelum dilakukan pemesanan kembali.

Perhituingan DSO = jumlah hari dalam 1 tahun : TOR

Misal, jika DSO X adalah 27 hari, artinya rata-rata persediaan X


berada di gudang selama 27 hari, sebelum akhirnya
didistribusikan dan dilakukan pemesanan kembali.
52 sampai kadaluarsa dan/rusak
d. Prosentase obat yang

Indikator ini digunakan untuk menilai kerugian rumah sakit


e. Sistem penataan gudang
Indikator ini digunakan untuk menilai sistem penataan gudang
standar adalah FIFO dan FEFO
f. Prosentase death stock
Indikator ini digunakan untuk menunjukkan item persediaan obat
di gudang yang tidak mengalami transaksi dalam waktu minimal 3
bulan
g. Prosentase nilai stok akhir
Indikator ini digunakan untuk menunjukkan berapa besar
prosentase jumlah barang yang tersisa pada periode tertentu, nilai
prosentase stok akhir berbanding terbalik dengan nilai TOR

Untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan, penyusunan,


pencarian dan pengawasan perbekalan farmasi, diperlukan tata
ruang gudang dengan baik.

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam merancang


bangunan gudang adalah sebagai berikut :

a. Kemudahan bergerak

Untuk kemudahan bergerak, gudang perlu ditata sebagai berikut :

- Gudang menggunakan satu lantai, jangan menggunakan sekat-


sekat karena membatasi pengaturan ruangan (jika
menggunakan sekat diperhatikan posisi dinding dan pintu
untuk mempermudah gerakan)
- Berdasarkan arah arus penerimaan dan pengeluaran
perbekalan farmasi, ruang gudang dapat ditata berdasarkan
sistem arus garis lurus, arus U atau arus L.
b. Sirkulasi udara yang baik

Sirkulasi yang baik akan memaksimalkan kondisi dari perbekalan


farmasi sekaligus bermanfaat dalam memperpanjang dan
memperbaiki kondisi kerja. Idealnya dalam gudang dan semua
tempat penyimpanan obat terdapat AC.

c. Rak dan pallet

Penempatan rak yang tepat dan penggunaan pallet akan dapat


meningkatkan sirkulasi
53 udara dan perputaran stok perbekalan
farmasi.

Keuntungan penggunaan pallet :


- Sirkulasi udara dari bawah dan perlindungan terhadap banjir
- Peningkatan efisiensi penanganan stok
- Dapat menampung perbekalan farmasi lebih banyak
d. Kondisi penyimpanan khusus
- Narkotika dan bahan berbahaya harus disimpan dalam lemari
khusus dan selalu terkunci
- Bahan mudah terbakar (alkohol 70% dan alkohol 96%) dan
bahan bersifat korosif dan oksidator (formalin 37% dan H 2O2
3%) harus disimpan dalam ruangan khusus, dan sebaiknya
disimpan di bangunan khusus terpisah dari gudang induk.
e. Pencegahan kebakaran

Dihindari penumpukan bahan-bahan yang mudah terbakar seperti


dus, karton. Alat pemadam kebakaran harus dipasang pada
tempat yang mudah dijangkau dan dalam jumlah cukup. Tabung
pemadam kebakaran diperiksa secara berkala untuk memastikan
masih berfungsi atau tidak

f. Penyusunan Stok Perbekalan


Farmasi
Perbekalan farmasi disusun menurut bentuk sediaan dan
alfabetis. Untuk memudahkan pengendalian stok, IFRS Tidar
melakukan langkah-langkah :
- Menggunakan prinsip FEFO (First Expired First Out) dan FIFO
(First In First Out)
- Menggunakan lemari khusus menyimpan narkotika
- Menyusun perbekalan farmasi dalam kemasan besar (infus-
infus) di atas pallet secara rapi dan teratur
- Menyimpan perbekalan farmasi yang dipengaruhi oleh suhu,
udara, cahaya pada tempat yang sesuai (vaksin/albumin pada
lemari es)
- Menyimpan perbekalan farmasi dengan rapi sesuai bentuk
sediaan dan ditempatkan kartu stok.
Bila persediaan perbekalan farmasi cukup banyak, dibiarkan
tetap pada boks masing-masing, tidak perlu dibuka untuk
dikeluarkan.
54
- Perbekalan farmasi yang mempunyai batas waktu penggunaan
perlu dilakukan rotasi stok agar perbekalan farmasi tidak
selalu berada di belakang, sehingga dapat dilihat masa
kadaluarsanya.
- Jenis perbekalan farmasi yang sama ditempatkan sesuai
sumber anggaran yang berbeda.
g. Persyaratan Ruang
Penyimpanan
- Memenuhi syarat utilities
Ruang penyimpanan memiliki sumber listrik, air, AC dsb
- Memenuhi syarat communication
Ruang penyimpanan harus memiliki alat komunikasi, misalnya
telepon
- Memenuhi syarat drainage
Ruang penyimpanan harus berada di lingkungan yang baik
dengan sistem sirkulasi yang baik
- Memenuhi syarat size
Ruang penyimpanan harus memiliki ukuran yang cukup untuk
menampung barang yang ada
- Memenuhi syarat accessibility
Ruang penyimpanan harus mudah dan cepat diakses
- Memenuhi syarat suhu
o Suhu kamar (15°C – 25°C)
Sebagian perbekalan farmasi disimpan pada suhu kamar
(cairan, tablet, kapsul, injeksi, alkes, dsb)
o Untuk mencapai suhu dan diatas diperlukan AC, sebagai
alat monitoring suhu diperlukan termometer dan blanko
monitoring suhu
o Suhu dingin pada perbekalan farmasi seperti supositoria,
vaksin, serum, albumin dan obat-obatan injeksi tertentu
harus disimpan dalam lemari pendingin (2°C – 8°C). Sebagai
alat monitoring diperlukan termometer dan kartu atau form
monitoring suhu.
- Memenuhi syarat kelembaban
Ruang penyimpanan harus cukup kering dengan tingkat
kelembaban 50-60%, disertai higrometer dan blanko
pencatatan monitoring
55 kelembaban
- Memenuhi syarat pencahayaan
Ruang penyimpanan harus cukup oleh pencahayaan lampu
dan harus terhindar dari cahaya matahari langsung.
- Memenuhi syarat keamanan (security)
Ruang penyimpanan harus aman dari resiko pencurian dan
penyalahgunaan serta hewan pengganggu

6. Sistem Distribusi Perbekalan Farmasi


Distribusi adalah kegiatan menyalurkan perbekalan farmasi di rumah
sakit untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat
inap dan rawat jalan serta menunjang pelayanan medis.

Tujuan pendistribusian adalah tersedianya perbekalan farmasi di


unit-unit pelayanan secara tepat waktu, tepat jenis dan tepat jumlah.

a. Pendistribusian Perbekalan Farmasi Untuk Pasien Rawat Inap.

Kegiatan untuk memenuhi kebutuhan pasien rawat inap di RSUD


Tidar, diselenggarakan secara sentralisasi dengan sistem unit
dose dispensing (UDD), melalui Resep di satelit farmasi rawat inap,
IGD, dan ICU.

b. Pendistribusian Perbekalan Farmasi Untuk Pasien Rawat Jalan.


Kegiatan untuk memenuhi kebutuhan pasien rawat jalan di RSUD
Tidar, diselenggarakan secara sentralisasi di farmasi rawat jalan
dengan sistem resep perorangan.
c. Pendistribusian Perbekalan Farmasi di IBS
Kegiatan untuk memenuhi kebutuhan di kamar operasi melalui
Permintaan Obat berupa paket operasi.
d. Pendistribusian Perbekalan Farmasi Di Luar Jam Kerja.
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk
memenuhi kebutuhan pasien di luar jam kerja diselenggarakan
oleh satelit farmasi IGD dan satelit farmasi rawat inap

Sistem pelayanan distribusi perbekalan farmasi di RSUD Tidar:

a. Sistem persediaan terbatas di ruangan (minimal floor stock)

- Pendistribusian perbekalan farmasi untuk persediaan di ruang


56
rawat merupakan tanggungjawab manajer ruangan.
- Perbekalan farmasi yang masuk kategori ini adalah bahan

medis habis pakai dengan jenis dan jumlah terbatas.

- Pada sistem tersebut, pada setiap ruang rawat harus

mempunyai penanggungjawab bahan medis habis pakai.

- Perbekalan yang disimpan tidak dalam jumlah besar &

dikontrol rutin oleh petugas farmasi.

b. Sistem resep perorangan (individual prescription).


Sistem pendistribusian resep perorangan bagi pasien rawat jalan
c. Sistem UDD (unit dose dispensing)
Sistem ini dikembangkan terus oleh IFRS dan disesuaikan dengan
kondisi rumah sakit. Yaitu sistem distribusi dosis unit sentralisasi,
yang dilakukan oleh satelit farmasi rawat inap.
Keuntungan sistem distribusi dosis unit :
- Pasien hanya membayar perbekalan farmasi yang dikonsumsi
saja
- Semua dosis yang diperlukan oleh unit keperawatan telah
disiapkan oleh IFRS
- Menghindari duplikasi order perbekalan farmasi
- Mengurangi resiko kesalahan pemberian perbekalan farmasi
- Memperkuat cakupan dan pengendalian dan pemantauan
penggunaan perbekalan farmasi oleh IFRS, sejak dokter
menulis resep/order sampai pasien menerima dosis unit
- Sistem komunikasi pengorderan dan distribusi perbekalan
farmasi bertambah baik
- Apoteker dapat memberikan konsultasi perbekalan farmasi
kepada tim sebagai upaya perawatan pasien yang lebih baik
- Memberikan peluang untuk prosedur komputerisasi
Kerugian sistem distribusi dosis unit :
- Membutuhkan tenaga farmasi yang lebih banyak
- Meningkatnya biaya operasional

7. Permintaan Obat
Resep yang memenuhi syarat
57
Resep adalah permintaan tertulis seorang dokter, dokter gigi dan
dokter hewan yang diberi izin berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku kepada apoteker untuk menyediakan dan
menyerahkan obat-obatan bagi penderita.
Sesuai dengan Permenkes RI No. 26/Menkes/Per/I/1984
menyebutkan resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap.
Sedangkan sesuai Kepmenkes RI No. 280/Menkes/SK/V/1984
menyebutkan bahwa pada resep (secara administratif) harus
dicantumkan :
a. Nama dan alamat penulis resep, serta nomor izin praktek
b. Tanggal penulisan resep
c. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep
d. Dibelakang lambang R/ harus dituilis nama setiap obat
/komposisi obat
e. Tanda tangan atau paraf penulis resep
f. Nama pasien, jenis kelamin, alamat dan umur/BB
Sedangkan secara farmasetik dan secara klinik, resep juga harus
memenuhi persyaratan sebelum ditindaklanjuti oleh apoteker. Secara
farmasetik, resep dinyatakan memenuhi syarat jika tidak ada
permasalahan dalam : bentuk dan kekuatan/potensi sediaan, dosis
dan jumlah obat, potensi, stabilitas, ketersediaan, aturan pakai-cara
penggunaan dan lama pemberian.

Persyaratan secara klinik antara lain memuat : ketepatan indikasi,


dosis dan waktu penggunaan, ada atau tidaknya duplikasi
pengobatan, ada atau tidaknya riwayat alergi-interaksi-efek samping
obat, adanya kontra indikasi, ada atau tidaknya interaksi obat, dan
ada atau tidaknya efek adiktif.

Singkatan yang dilarang digunakan (do not use)


Singkatan yang dilarang digunakan dalam penulisan resep dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Singkatan yang dilarang digunakan

Do Not Use Use Instead

U, u (unit) Ditulis “unit”

IU (international unit) Ditulis “international


unit”

58
Q.D., QD, q.d., qd (daily) Ditulis “daily”

Q.O.D., QOD, q.o.d, qod (every other day) Ditulis “every other day”
Trailing zero (X.0 mg) Ditulis “X mg”

Lack of leading zero (.X mg) Ditulis “0,X mg”

MS Ditulis “morfin sulfat”

MSO4 dan MgSO4 Ditulis “magnesium


sulfat”

Penulisan resep yang jelas (illegible hand writing)


Persyaratan atau elemen kelengkapan resep atau permintaan obat
dan instruksi pengobatan, paling sedikit meliputi :
a. data identitas pasien secara akurat (dengan stiker);
b. elemen pokok di semua resep atau permintaan obat atau instruksi
pengobatan;
c. kapan diharuskan menggunakan nama dagang atau generik;
d. kapan diperlukan penggunaan indikasi seperti pada PRN (pro re
nata atau “jika perlu”) atau instruksi pengobatan lain;
e. jenis instruksi pengobatan yang berdasar atas berat badan seperti
untuk anak-anak, lansia yang rapuh, dan populasi khusus sejenis
lainnya;
f. kecepatan pemberian (jika berupa infus);
g. instruksi khusus, sebagai contoh: titrasi, tapering, rentang dosis.
Ketentuan penulisan resep dan instruksi pengobatan :
- Resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap
- Apabila resep tidak dapat dibaca dengan jelas atau tidak lengkap,
apoteker wajib menanyakan kepada penulis resep secara
langsung, atau dengan menggunakan mekanisme read back pada
resep.
- Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat
kekeliruan atau penulisan resep yang tidak benar (dari prinsip 5
Benar), apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis
resep
- Apabila dokter penulis resep tetap pada pendiriannya,
tanggungjawab sepenuhnya dipikul oleh dokter yang bersangkutan
(dokter wajib menyatakan secara tertulis atau membutuhkan
tanda tangan yang
59lazim diatas resep)
- Apabila apoteker menganggap pada resep terdapat kekeliruan yang
berbahaya dan tidak dapat menghubungi dokter penulis resep,
penyerahan obat dapat ditunda
- Untuk penderita yang memerlukan pengobatan segera, dokter
dapat memberikan tanda “Cito/statim/urgent (segera), PIM
(periculum in mora) = berbahaya bila ditunda” pada bagian kanan
resep, dan harus didahulukan dalam pelayanannya.
- Untuk permintaan obat emergency di unit red zone IGD, harus
segera didahulukan pelayanannya dan tidak dilakukan pengkajian
resep dan pengkajian obat.
- Pada resep asli diberi tanda “n.i/ne iteratur” (tidak boleh diulang),
maka apotek tidak boleh mengulangi penyerahan obat atas resep
yang sama.
- Jika terdapat instruksi pengobatan secara lisan atau melalui
telepon, atau PPA melakukan konsultasi pengobatan dengan
DPJP, maka dilakukan mekanisme read back (tulis lengkap, baca
ulang, dan konfirmasi/TBK) pada resep.
- Resep yang mengandung narkotika :
o Harus ditulis tersendiri
o Tidak boleh ada iterasi (ulangan)
o Dituliskan nama pasien, tidak boleh m.i/mihi ipsi atau
u.p/usus propius (untuk pemakaian sendiri)
o Alamat pasien ditulis dengan lengkap dan jelas
o Aturan pakai (signa) ditulis dengan jelas, tidak boleh ditulis
s.u.c/signa usus cognitus (sudah tahu aturan pakai)
Pengkajian resep
- Sebelum obat diracik, harus dilakukan pemeriksaan dan
identifikasi atau skrining terhadap kesesuaian antara obat-alkes
yang ditulis dalam resep dengan obat-alkes yang akan disiapkan.
- Proses skrining resep atau pengkajian resep, dilakukan oleh
apoteker dan tenaga teknis kefarmasian
- Pengkajian resep meliputi : pengkajian administratif (oleh
apoteker/tenaga teknis kefarmasian), secara farmasetis (oleh
apoteker/tenaga teknis kefarmasian), dan secara klinis (oleh
apoteker). 60
- Pengkajian resep menggunakan Prinsip 5 (lima) Benar.
Meliputi : prinsip benar identitas pasien, obat, dosis, waktu
pemberian, dan cara pemberian.

Pengkajian Obat
- Pengkajian obat dilakukan oleh Apoteker dan Tenaga Teknis
Kefarmasian jika apoteker tidak ditempat.
- Pengkajian obat meliputi :
o kesesuaian identitas pasien,
o kesesuaian obat dengan pesanan,
o jumlah atau dosis dengan pesanan,
o rute pemberian dengan pesanan,
o kesesuaian waktu/frekuensi pemberian dengan pesanan.

8. Penyiapan Obat
Untuk menjamin keamanan, mutu, manfaat, dan khasiat obat
disiapkan dan diserahkan pada lingkungan yang aman bagi pasien,
petugas, dan lingkungan serta untuk mencegah kontaminasi tempat
penyiapan obat harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan praktik profesi, yaitu :
- Pencampuran obat intravena, epidural, dan nutrisi parenteral
serta pengemasan kembali obat suntik dilakukan dalam ruang
bersih (clean room) yang dilengkapi dengan laminary airflow
cabinet
- Pencampuran obat suntik dilakukan dengan teknik aseptik serta
menggunakan alat pelindung diri yang sesuai
- Pencampuran obat suntik yang termasuk elektrolit konsentrat
pekat dan nutrisi parenteral dilakukan oleh apoteker atau tenaga
teknis kefarmasian
- Pencampuran obat intravena dan epidural didelegasikan kepada
perawat yang berkompeten dan telah memiliki sertifikat pelatihan
penyiapan obat dengan teknik aseptik. Kegiatan dilaksanakan di
ruang obat di ruang rawat inap, pada meja bersih
Pemantauan Dispensing/CPOB.
- Dispensing obat adalah proses yang mencakup berbagai kegiatan
yang dilakukan apoteker,
61 mulai : penerimaan dan validasi resep,
menginterpretasi maksud dokter penulis resep, menyediakan/
meracik dengan teliti, memastikan penyerahan obat yang tepat
bagi pasien, serta memastikan pasien mengkonsumsi sendiri obat
dengan baik.
- Praktek dispensing yang baik adalah suatu proses praktek yang
memastikan bahwa suatu bentuk yang efektif dari obat dengan,
menggunakan prinsip 5 (lima) Benar.
Penyiapan identitas pasien.
- Penyiapan identitas pasien dalam konteks penyiapan obat dapat
dilaksanakan jika tidak ada lagi permasalahan dalam hal
identifikasi pasien di catatan rekam medis pasien bersangkutan.
Dalam rekam medis pasien, identifikasi pasien dilakukan dengan
cara : memuat nama pasien, tanggal lahir dan nomor rekam
medis.
- Penyiapan identitas pasien dilaksanakan juga pada waktu
memberi etiket/labelling sediaan farmasi secara jelas, sebelum
diserahkan kepada pasien. Pelabelan kemasan obat yang tidak
jelas sehingga berisiko dibaca keliru oleh pasien, dan merupakan
pemicu medication error. Etiket antara lain memuat nama pasien,
aturan pakai, nomor resep, tanggal resep, nama obat, peruntukan
obat luar atau tidak.

9. Pemberian Obat
- Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan
pemeriksaan akhir dan identifikasi terhadap kesesuaian antara
obat dengan resep.
- Pemberian obat rawat jalan, pasien pulang, pasien IGD, dan IBS
dilakukan oleh Apoteker atau tenaga teknis kefarmasian jika
apoteker tidak ditempat.
- Pemberian obat oral dan suppositoria pada pasien rawat inap
dilakukan oleh perawat.
- Pemberian obat intravena, intramuskular, subkutan dan nutrisi
parenteral pasien rawat inap dilakukan oleh perawat PK II dan PK
III, jika dilakukan oleh perawat PK I harus dengan supervisi.
- Pemberian obat khusus narkotika, psikotropika, dan elektrolit
konsentrat pada pasien rawat inap dilakukan oleh perawat
minimal PK II.
62
- Pemberian obat anestesi, intra lumbal/spinal dan epidural oleh
dokter Spesialis Anestesi.
- Pemberian obat intraartikular oleh dokter Spesialis Orthopedi.
- Sebelum obat diserahkan pada pasien dilakukan pemeriksaan
akhir dengan menggunakan prinsip 5 benar :

1. Benar pasien

2. Benar Obat

3. Benar Dosis

4. Benar rute pemberian

5. Benar waktu pemberian

- Pemberian obat high alert dilakukan pengecekan ganda (double


check).
- Informasi yang diberikan pada saat pemberian obat sekurang-
kurangnya cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka
waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang
harus dihindari.
- Pemberian obat kepada pasien disertai waktu pemberian obat.
- Obat yang dibawa pasien dari rumah dapat digunakan sendiri
sesuai petunjuk dokter, meliputi obat tetes atau salep mata, tetes
telinga, inhaler/turbuhaler, salep, krim, semprot hidung,
suppositoria dan sirup. Penggunaan obat sendiri oleh pasien harus
dilakukan monitoring oleh Apoteker.
- Jadwal pemberian obat untuk pasien rawat inap
Pemberian obat peroral
Aturan pakai waktu pemberian obat (Jam, WIB)
Pagi (1x1) 07.00
Malam(1x1) 21.00
2x1 07.00 19.00
3x1 07.00 14.00 21.00
4x1 07.00 13.00 19.00 01.00
5x1 07.00 12.00 17.00 22.00 03.00
Pemberian obat injeksi
Aturan pakai waktu pemberian obat (jam,WIB)
Pagi (1x1) 08.00-09.00
Sore (1x1) 16.00-17.00
63
Malam (1x1) 22.00-23.00
2x1 04.00-05.00 16.00-17.00
3x1 08.00-09.00 16.00-17.00 24.00-01.00
4x1 04.00-05.00 10.00-11.00 16.00-17.00 22.00-23.00

10. Pemusnahan dan Penarikan (Recall) Sediaan Farmasi, Alat


Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
Pemusnahan dan penarikan (recall) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak dapat digunakan harus
dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Recall dilakukan 3 bulan
sebelum habis masa kadaluarsanya.

Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan


Bahan Medis Habis Pakai bila :

a. produk tidak memenuhi persyaratan mutu;


b. telah kadaluarsa;
c. tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan
kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan; dan
d. dicabut izin edarnya.

Tahapan pemusnahan obat terdiri dari:

a. membuat daftar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan


Medis Habis Pakai yang akan dimusnahkan;
b. menyiapkan Berita Acara Pemusnahan;
c. mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan
kepada pihak terkait;
d. menyiapkan tempat pemusnahan; dan
e. melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk
sediaan serta peraturan yang berlaku.
Penarikan (recall) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya
dicabut oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Penarikan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
dilakukan oleh BPOM atau pabrikan asal. Rumah Sakit harus
mempunyai sistem pencatatan terhadap kegiatan penarikan.

11. Pengendalian Persediaan


Pengendalian dilakukan
64 terhadap jenis dan jumlah persediaan dan
penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai. Pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dapat dilakukan oleh
Instalasi Farmasi bersama dengan Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) di
Rumah Sakit.
Tujuan pengendalian persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai adalah untuk :
a. penggunaan Obat sesuai dengan Formularium Rumah Sakit;
b. penggunaan Obat sesuai dengan diagnosis dan terapi;
c. memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi
kelebihan dan kekurangan/kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa,
dan kehilangan serta pengembalian pesanan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
Yang dimaksud dengan persediaan perbekalan farmasi (stok) kosong
adalah ketidaktersedianya perbekalan farmasi yang sesuai
formularium rumah sakit di unit pelayanan, yang disebabkan
ketiadaan persediaan di unit logistik, ketiadaan persediaan antar
depo farmasi, ketiadaan stok di PBF (stock out) atau disebabkan
permintaan ke PBF dalam kondisi terkunci (locked atau top off
payment)
Perbekalan farmasi dapat dikembalikan/diretur, apabila obat/alkes
masih dalam kemasan asli, bisa menunjukkan kwitansi pembelian
dan/ nota pembelian (untuk pembelian tunai), obat
racikan/syrup/obat luar/alat medis yang sudah dibuka, tidak bisa
diretur, dan tidak dikenakan potongan tagihan.

Cara untuk mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat


Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai adalah :

a. melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow


moving);
b. melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam
waktu tiga bulan berturut-turut (death stock);
c. Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala.

Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis


pakai yang hampir kadaluarsa :

a. Sistem penarikan/recal
65 untuk obat kadaluarsa setiap satelit
melaporkan obat obat yang akan kadaluarsa untuk 6 bulan yang
akan datang. Petugas gudang akan menginformasikan obat
tersebut kepada dokter untuk diresepkan terlebih dahulu.
b. Jika memungkinkan diretur ke distributor maka dilakukan retur
distributor.
c. Obat yang kadaluarsa dikarantina ditempat khusus, dilakukan
pencatatan yang kemudian untuk dimusnahkan.

12. Administrasi
Administrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan
untuk memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu.
Proses pengadministrasian pelayanan kefarmasian di rumah sakit
dilakukan dengan menggunakan aplikasi SIM rumah sakit
terintegrasi dan secara manual.
Kegiatan administrasi terdiri dari :
a. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan,
pendistribusian, pengendalian persediaan, pengembalian,
pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai. Pelaporan dibuat secara periodik yang
dilakukan Instalasi Farmasi dalam periode waktu tertentu
(bulanan, triwulanan, semester atau pertahun).
Jenis-jenis pelaporan dibuat menyesuaikan dengan peraturan
yang berlaku.
1) Laporan Pelayanan Kefarmasian bulanan
2) Laporan Penggunaan Obat Generik bulanan
3) Laporan Obat Narkotika dan Psikotropika bulanan
4) Laporan Stock Opname Obat dan BMHP bulanan, triwulan, dan
tahunan
Pencatatan dilakukan untuk:
 persyaratan Kementerian Kesehatan/BPOM;
 dasar akreditasi Rumah Sakit;
 dasar audit Rumah Sakit; dan
66
 dokumentasi farmasi.
Pencatatan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk monitoring
transaksi perbekalan farmasi yang keluar dan masuk di
lingkungan instalasi farmasi RSUD Tidar. Adanya pencatatan akan
memudahkan petugas untuk melakukan penelusuran bila terjadi
adanya mutu obat yang sub standar dan harus ditarik dari
peredaran. Pencatatan dilakukan dengan menggunakan manual
dan komputerisasi.

Fungsi pencatatan perbekalan farmasi :

- Kartu stok digunakan untuk mencatat mutasi perbekalan


farmasi (penerimaan, pengeluaran, rusak atau kadaluarsa)
- Tiap lembar kartu stok hanya diperuntukkan mencatat data
mutasi 1 jenis perbekalan farmasi yang berasal dari 1 sumber
anggaran
- Data kartu stok digunakan untuk menyusun laporan,
perencanaan pengadaan dan pembanding terhadap keadaan
fisik dalam tempat penyimpanannya

Hal-hal yang diperhatikan dalam pencatatan perbekalan farmasi


adalah:

- Kartu stok diletakkan bersamaan/berdekatan dengan


perbekalan farmasi bersangkutan
- Pencatatan dilakukan secara rutin tiap hari
- Setiap terjadi mutasi perbekalan farmasi (penerimaan,
pengeluaran, rusak/kadaluarsa) langsung dicatat dalam kartu
stok

Informasi yang di dapat adalah :

- Jumlah perbekalan farmasi yang tersedia/sisa stok


- Jumlah perbekalan farmasi yang diterima
- Jumlah perbekalan farmasi yang keluar
- Jumlah perbekalan farmasi yang hilang/rusak/kadaluarsa
- Jangka waktu kekosongan perbekalan farmasi

Manfaat informasi yang didapat adalah :

- 67
Untuk mengetahui dengan cepat jumlah persediaan perbekalan
farmasi
- Penyusunan laporan
- Perencanaan pengadaan dan distribusi
- Pengendalian persediaan
- Untuk pertanggungjawaban petugas penyimpanan dan
pendistribusian
- Sebagai alat bantu kontrol bagi Kepala Instalasi Farmasi
Pelaporan dilakukan sebagai :
- komunikasi antara level manajemen;
- penyiapan laporan tahunan yang komprehensif kegiatan IFRS
Pelaporan adalah kumpulan catatan dan pendataan kegiatan
administrasi perbekalan farmasi, tenaga dan perlengkapan
kesehatan yang disajikan kepada pihak yang berkepentingan.
Tujuan pelaporan adalah tersedianya data yang akurat sebagai
bahan evaluasi dan membuat perencanaan, tersedianya informasi
yang akurat dan arsip untuk laporan.

b. Administrasi Penghapusan
Administrasi penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian
terhadap Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang tidak terpakai karena kadaluwarsa, rusak, mutu
tidak memenuhi standar dengan cara membuat usulan
penghapusan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP kepada
pihak terkait sesuai prosedur yang berlaku.

B. Manajemen Risiko Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan


Bahan Medis Habis Pakai

Manajemen risiko merupakan aktivitas Pelayanan Kefarmasian yang


dilakukan untuk identifikasi, evaluasi, dan menurunkan risiko
terjadinya kecelakaan pada pasien, tenaga kesehatan dan keluarga
pasien, serta risiko kehilangan dalam suatu organisasi.
Manajemen risiko pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai dilakukan melalui beberapa langkah yaitu:

1) Menentukan konteks manajemen risiko pada proses pengelolaan


Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.

2) Mengidentifikasi68
Risiko
Beberapa risiko yang berpotensi terjadi dalam pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
antara lain:

a. Ketidaktepatan perencanaan kebutuhan Sediaan Farmasi,


Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai selama periode
tertentu;

b. Pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan


Medis Habis Pakai tidak melalui jalur resmi;

c. Pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan


Medis Habis Pakai yang belum/tidak teregistrasi;

d. Keterlambatan pemenuhan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat


Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;

e. Kesalahan pemesanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan


Bahan Medis Habis Pakai seperti spesifikasi (merek, dosis,
bentuk sediaan) dan kuantitas;

f. Ketidaktepatan pengalokasian dana yang berdampak


terhadap pemenuhan/ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;

g. Ketidaktepatan penyimpanan yang berpotensi terjadinya


kerusakan dan kesalahan dalam pemberian;

h. Kehilangan fisik yang tidak mampu telusur;

i. Pemberian label yang tidak jelas atau tidak lengkap; dan

j. Kesalahan dalam pendistribusian.

3) Menganalisa Risiko

Analisa risiko dilakukan kualitatif, semi kuantitatif, dan


kuantitatif.Pendekatan kualitatif dilakukan dengan memberikan
deskripsi dari risiko yang terjadi.Pendekatan kuantitatif
memberikan paparan secara statistik berdasarkan data
sesungguhnya.

4) Mengevaluasi Risiko

Membandingkan risiko yang telah dianalisis dengan kebijakan


69
pimpinan Rumah Sakit serta menentukan prioritas masalah yang
harus segera diatasi. Evaluasi dilakukan dengan pengukuran
berdasarkan target yang telah disepakati.

5) Mengatasi Risiko

Mengatasi risiko dilakukan dengan cara:

a. Melakukan sosialisasi terhadap kebijakan pimpinan Rumah


Sakit;
b. Mengidentifikasi pilihan tindakan untuk mengatasi risiko;
c. Menetapkan kemungkinan pilihan (cost benefit analysis);
d. Menganalisa risiko yang mungkin masih ada; dan
e. Mengimplementasikan rencana tindakan, meliputi menghindari
risiko, mengurangi risiko, memindahkan risiko, menahan
risiko, dan mengendalikan risiko.

C. Pelayanan Farmasi Klinik

Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang


diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome
terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat,
untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas
hidup pasien (quality of life) terjamin.

Tujuan pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan


alkes/farmasi klinik adalah :

a. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan pelayanan farmasi


b. Memberikan pelayanan farmasi yang dapat menjamin efektifitas,
keamanan dan efisiensi penggunaan obat
c. Meningkatkan kerjasama dengan pasien dan profesi kesehatan
lainnya yang terkait dalam pelayanan farmasi
d. Melaksanakan kebijakan obat di rumah sakit dalam rangka
meningkatkan penggunaan obat secara rasional
Pelayanan farmasi klinik di rumah sakit yang dilakukan meliputi :
1. Pengkajian dan pelayanan Resep;
2. Penelusuran riwayat penggunaan Obat;
3. Rekonsiliasi Obat;
4. Pelayanan Informasi70
Obat (PIO);
5. Konseling;
6. Visite;
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
10.Dispensing sediaan steril; dan
11.Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);
Pelayanan farmasi klinik di rawat inap, membutuhkan Apoteker
berdasarkan beban kerja pada Pelayanan Kefarmasian, yang meliputi
pelayanan farmasi manajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan
aktivitas : pengkajian resep, penelusuran riwayat penggunaan Obat,
rekonsiliasi Obat, pemantauan terapi Obat, pelayanan informasi Obat,
konseling edukasi, dan visite, idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker
dengan rasio 1 Apoteker untuk 30 pasien. Atau dengan kata lain, untuk
pemenuhan paling tidak 7 jenis kegiatan pelayanan farmasi klinik
seperti tersebut diatas, untuk 1 ruang rawat inap (berisi 30 tempat
tidur), akan membutuhkan 1 orang apoteker pelaksana.

1. Pengkajian Dan Pelayanan Resep


Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan
ketersediaan, pengkajian Resep, penyiapan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai termasuk peracikan Obat,
pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap
tahap alur pelayanan Resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya
kesalahan pemberian Obat (medication error).
Kegiatan ini untuk menganalisa adanya masalah terkait Obat, bila
ditemukan masalah terkait Obat harus dikonsultasikan kepada
dokter penulis Resep. Apoteker harus melakukan pengkajian Resep
sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan
persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.
Persyaratan administrasi meliputi :
o nama, umur, jenis kelamin, berat badan pasien;
o nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter;
o tanggal Resep; dan
o ruangan/unit asal Resep.

Persyaratan farmasetik meliputi :


71
o nama Obat, bentuk dan kekuatan sediaan;
o dosis dan Jumlah Obat;
o stabilitas; dan
o aturan dan cara penggunaan.

Persyaratan klinis meliputi :

o ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan Obat;


o duplikasi pengobatan;
o alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
o kontraindikasi; dan
o interaksi Obat.

Apoteker dapat berperan nyata dalam pencegahan terjadinya


medication error melalui kolaborasi dengan dokter dan pasien.

- Identifikasi pasien minimal dengan dua identitas, misalnya nama,


tanggal lahir dan nomor rekam medik
- Apoteker tidak boleh membuat asumsi pada saat melakukan
interpretasi resep dokter. Untuk mengklarifikasi ketidaktepatan
atau ketidakjelasan resep, singkatan, hubungi dokter penulis
resep.
- Dapatkan informasi mengenai pasien sebagai petunjuk penting
dalam pengambilan keputusan pemberian obat, seperti :
o Data demografi (umur, berat badan, jenis kelamin) dan data
klinis (alergi, diagnosis dan hamil/menyusui). Contohnya,
Apoteker perlu mengetahui tinggi dan berat badan pasien yang
menerima obat-obat dengan indeks terapi sempit untuk
keperluan perhitungan dosis.
o Hasil pemeriksaan pasien (fungsi organ, hasil laboratorium,
tanda-tanda vital dan parameter lainnya). Contohnya, Apoteker
harus mengetahui data laboratorium yang penting, terutama
obat-obat yang memerlukan penyesuaian dosis dosis (seperti
pada penurunan fungsi ginjal).
- Apoteker harus membuat riwayat/catatan pengobatan pasien.
- Strategi lain untuk mencegah kesalahan obat dapat dilakukan
dengan penghentian otomatis (automatic stop order), sistem
komputerisasi (e-prescribing) dan pencatatan pengobatan pasien.
- Permintaan obat secara lisan hanya dapat dilayani dalam keadaan
emergensi dan 72harus dilakukan konfirmasi ulang untuk
memastikan obat yang diminta benar, dengan mengeja nama obat
serta memastikan dosisnya. Informasi obat yang penting harus
diberikan kepada petugas yang meminta/menerima obat tersebut.
Petugas yang menerima permintaan harus menulis dengan jelas
instruksi lisan setelah mendapat konfirmasi (Prinsip : tulis
lengkap, baca ulang dan konsirmasi).

Dispensing

Dispensing merupakan tindakan atau proses yang memastikan


ketepatan order/resep obat, ketepatan seleksi zat aktif yang memadai
dan memastikan bahwa pasien atau perawat mengerti penggunaan
dan pemberian yang tepat. Atau dengan definisi yang lain merupakan
kegiatan pelayanan di IFRS yang dimulai dari tahap validasi,
interpretasi, meracik obat, memberikan label/etiket, penyerahan obat
dengan disertai pemberian informasi obat yang memadai disertai
sistem dokumentasi yang baik.

Tujuan dilakukan dispensing adalah :

- Mendapatkan dosis yang aman dan tepat


- Menyediakan nutrisi bagi penderita yang tidak dapat menerima
makanan secara oral atau parenteral
- Menyediakan sediaan farmasi sesuai permintaan dokter
- Menurunkan total beaya obat

Prinsip Dispensing dalam upaya medication safety :

o Peracikan obat dilakukan dengan tepat sesuai dengan SPO


o Pemberian etiket yang tepat (nama obat, dosis, tanggal penyiapan,
tanggal kadaluarsa dan peringatan).
o Dilakukan pemeriksaan ulang oleh orang berbeda.
o Pemeriksaan meliputi kelengkapan permintaan, ketepatan etiket,
aturan pakai, pemeriksaan kesesuaian resep terhadap obat,
kesesuaian resep terhadap isi etiket.

2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat


Penelusuran riwayat penggunaan Obat merupakan proses untuk
mendapatkan informasi mengenai seluruh Obat/Sediaan Farmasi lain
yang pernah dan 73sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat
diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan
penggunaan Obat pasien.
Tahapan penelusuran riwayat penggunaan Obat :
a. membandingkan riwayat penggunaan Obat dengan data rekam
medik/pencatatan penggunaan Obat untuk mengetahui perbedaan
informasi penggunaan Obat;
b. melakukan verifikasi riwayat penggunaan Obat yang diberikan
oleh tenaga kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan
jika diperlukan;
c. mendokumentasikan adanya alergi danReaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD);
d. mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi Obat;
e. melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam
menggunakan Obat;
f. melakukan penilaian rasionalitas Obat yang diresepkan;
g. melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap Obat
yang digunakan;
h. melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan Obat;
i. melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan Obat;
j. memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap Obat
k. mendokumentasikan Obat yang digunakan pasien sendiri tanpa
sepengetahuan dokter; dan
l. mengidentifikasi terapi lain, misalnya suplemen dan pengobatan
alternatif yang mungkin digunakan oleh pasien.
Kegiatan :
a. penelusuran riwayat penggunaan Obat kepada
pasien/keluarganya; dan
b. melakukan penilaian terhadap pengaturan penggunaan Obat
pasien.
Informasi yang harus didapatkan :
o nama Obat (termasuk Obat non Resep), dosis, bentuk sediaan,
frekuensi penggunaan, indikasi dan lama penggunaan Obat;
o reaksi Obat yang tidak dikehendaki termasuk riwayat alergi; dan
o kepatuhan terhadap regimen penggunaan Obat (jumlah Obat yang
tersisa).

3. Rekonsiliasi Obat 74
Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan daftar obat
yang dipergunakan oleh pasien sebelum dirawat inap dengan
peresepan/permintaan obat dan instruksi pengobatan yang dibuat
pertama kali sejak pasien masuk, saat pemindahan pasien antar unit
pelayanan (transfer), dan sebelum pasien pulang. Rekonsiliasi
dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan Obat (medication
error) seperti Obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau
interaksi Obat. Kesalahan Obat (medication error) rentan terjadi pada
pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain,
antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari Rumah
Sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya.
Tujuan dilakukannya rekonsiliasi Obat adalah:
o memastikan informasi yang akurat tentang Obat yang digunakan
pasien;
o mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya
instruksi dokter; dan
o mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi
dokter.

Tahap proses rekonsiliasi Obat yaitu :

a. Pengumpulan data

Mencatat data dan memverifikasi Obat yang sedang dan akan


digunakan pasien, meliputi nama Obat, dosis, frekuensi, rute,
Obat mulai diberikan, diganti, dilanjutkan dan dihentikan, riwayat
alergi pasien serta efek samping Obat yang pernah terjadi. Khusus
untuk data alergi dan efek samping Obat, dicatat tanggal kejadian,
Obat yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi dan efek samping,
efek yang terjadi, dan tingkat keparahan.

Data riwayat penggunaan Obat didapatkan dari pasien, keluarga


pasien, daftar Obat pasien, Obat yang ada pada pasien, dan rekam
medik/medication chart. Data Obat yang dapat digunakan tidak
lebih dari 3 (tiga) bulan sebelumnya.

Semua Obat yang digunakan oleh pasien baik Resep maupun Obat
bebas termasuk herbal harus dilakukan proses rekonsiliasi.

b. Komparasi

Petugas kesehatan
75 membandingkan data Obat yang pernah,
sedang dan akan digunakan. Discrepancy atau ketidakcocokan
adalah bilamana ditemukan ketidakcocokan/perbedaan diantara
data-data tersebut. Ketidakcocokan dapat pula terjadi bila ada
Obat yang hilang, berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada
penjelasan yang didokumentasikan pada rekam medik pasien.
Ketidakcocokan ini dapat bersifat disengaja (intentional) oleh
dokter pada saat penulisan Resep maupun tidak disengaja
(unintentional) dimana dokter tidak tahu adanya perbedaan pada
saat menuliskan Resep.

c. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan


ketidaksesuaian dokumentasi.
Bila ada ketidaksesuaian, maka dokter harus dihubungi kurang
dari 24 jam. Hal lain yang harus dilakukan oleh Apoteker adalah :
- menentukan bahwa adanya perbedaan tersebut disengaja atau
tidak disengaja;
- mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan, atau
pengganti;
- memberikan tanda tangan, tanggal, waktu rekonsilliasi obat.
d. Komunikasi.
Melakukan komunikasi dengan pasien dan/atau keluarga pasien
atau perawat mengenai perubahan terapi yang terjadi. Apoteker
bertanggung jawab terhadap informasi Obat yang diberikan.

Perbekalan Farmasi Yang Dibawa Pasien


Penggunaan obat milik pasien yang dibawa dari rumah ke dalam
rumah sakit (medication reconcialition) dapat dipergunakan jika :
- Disetujui dokter yang merawat penderita tersebut di rumah sakit
- Tidak mempengaruhi keamanan dan efektifitas obat yang
diberikan dokter di rumah sakit
- Obat tidak dapat diperoleh di instalasi farmasi
Jika boleh digunakan, dokter harus menulis suatu resep yang sesuai
dan dicatat dalam rekam medis. Obat yang dibawa pasien disimpan di
bangsal, sedangkan pasien diberikan obat dengan kandungan yang
sama yang diambilkan dari stok instalasi farmasi.
Proses pelaksanaan rekonsiliasi obat dilakukan oleh apoteker atau
proses kolaboratif dengan dokter atau perawat dan dicatat pada
rekam medis. 76

4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker
yang dilatih khusus (farmasi klinik) untuk memberikan informasi
secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter, apoteker,
perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.

PIO bertujuan untuk :


a. menyediakan informasi mengenai Obat kepada pasien dan tenaga
kesehatan di lingkungan Rumah Sakit dan pihak lain di luar
Rumah Sakit;
b. menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang
berhubungan dengan Obat/Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Habis Pakai, terutama bagi Panitia Farmasi dan Terapi;
c. Menunjang penggunaan Obat yang rasional.

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan adalah :

- Memberikan, menyebarkan informasi ke konsumen secara aktif


dan pasif
- Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan
melalui telepon, surat atau tatap muka
- Membuat leaflet atau buletin
- Menyediakan informasi bagi PFT sehubungan dengan penyusunan
formularium RSUD Tidar
- Bersama dengan tim PKMRS melakukan kegiatan penyuluhan bagi
pasien rawat inap/jalan
- Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga farmasi dan
tenaga kesehatan lainnya
- Mengkoordinasi penelitian tentang obat dan kegiatan pelayanan
kefarmasian
- Memberikan pendidikan kepada mahasiswa

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam PIO adalah :

a. Tempat

Tidak ada suatu ketentuan untuk menentukan tempat. Hal ini


tergantung pada keadaan rumah sakit yang bersangkutan.

b. Ketenagaan

Ketenagaan dalam
77 pelayanan informasi obat (PIO) di RSUD Tidar
dengan melihat jumlah apoteker yang ada di IFRS sebanyak 13
orang. Metode yang dipakai untuk menentukan tenaga pelaksana
adalah “terdapat 1 orang apoteker koordinator (masuk ke dalam
koordinator rawat jalan), tidak ada apoteker khusus PIO, dan
dapat dilayani oleh semua apoteker IFRS pada jam kerja dan tidak
ada PIO di luar jam kerja”.

c. Perlengkapan

Jenis dan jumlah perlengkapan bervariasi tergantung ketersediaan


dan perkiraan kebutuhan akan perlengkapan tersebut.
Perlengkapan yang disarankan sebagai berikut :

- Rak buku, majalah, dokumen


- Lemari arsip
- Meja dan kursi
- Komputer dan printer
- Telepon

5. Konseling
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau
saran terkait terapi Obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien
dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun
rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas
inisitatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau
keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan
kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker.
Pemberian konseling Obat bertujuan untuk mengoptimalkan
hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi Obat yang tidak dikehendaki
(ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya
meningkatkan keamanan penggunaan Obat bagi pasien (patient
safety).
Secara khusus konseling Obat ditujukan untuk :
a. meningkatkan hubungan kepercayaan antara Apoteker dan
pasien;
b. menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien;
c. membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan Obat;
d. membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan
penggunaan Obat dengan penyakitnya;
78
e. meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan;
f. mencegah atau meminimalkan masalah terkait Obat;
g. meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya
dalam hal terapi;
h. mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan; dan
i. membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan Obat
sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan
mutu pengobatan pasien.
Kegiatan dalam konseling Obat meliputi :
- membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien;
- mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan
Obat melalui Three Prime Questions;
1) Apa yang telah dokter katakan tentang obat anda?
2) Bagaimana penjelasan dokter tentang cara minum obat ini?
3) Apa yang dokter jelaskan tentang harapan setelah anda
minum obat ini?
- menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan
kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat;
- memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan
masalah pengunaan Obat;
- melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek pemahaman
pasien; dan
- dokumentasi.
Faktor yang perlu diperhatikan dalam konseling Obat:
a. Kriteria Pasien:
- pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi
ginjal, ibu hamil dan menyusui);
- pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM,
epilepsi, dan lain-lain);
- pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi
khusus (penggunaan kortiksteroid dengan tappering down/off);
- pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit
(digoksin, phenytoin);
- pasien yang menggunakan banyak Obat (polifarmasi); dan
- pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah.
b. Sarana dan Peralatan:
- ruangan atau tempat konseling; dan
79
- alat bantu konseling (kartu pasien/catatan konseling).
6. Visite
Ronde/Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat
inap yang dilakukan apoteker secara mandiri atau bersama tim
tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara
langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi
obat, memantau kemungkinan munculnya efek samping obat dan
reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang
rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien, serta
profesional kesehatan lainnya untuk memastikan bahwa pengobatan
berlangsung sesuai dengan perencanaan terapi dan menjamin
keselamatan pasien.
Sebelum melakukan kegiatan visite apoteker harus
mempersiapkan diri dengan mengumpulkan informasi mengenai
kondisi pasien dan memeriksa terapi obat dari rekam medis atau
sumber lain.

Ruang lingkup visite oleh apoteker berupa kunjungan apoteker ke


pasien rawat inap, meliputi :

- Identifikasi masalah terkait penggunaan obat


- Rekomendasi penyelesaian/pencegahan masalah terkait
penggunaan obat dan/atau informasi obat
- Pemantauan implementasi rekomendasi dan hasil terapi pasien

Tujuan kegiatan ronde/visite pasien ini adalah :

- Untuk pemilihan obat pasien


- Menerapkan secara langsung pengetahuan farmakologi terapetik
- Menilai kemajuan pasien
- Bekerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya

Pelaksanaan Visite

a. Visite Mandiri
- Memperkenalkan diri kepada pasien
- Melakukan pengecekan sisa obat pasien sekaligus mengetahui
potensi permasalahan dalam penggunaan obat
- Mendengarkan respons yang disampaikan oleh pasien dan
identifikasi masalah
80
- Melakukan pemantauan efektivitas, keamanan terkait
penggunaan obat
b. Visite Tim
- Memperkenalkan diri kepada pasien dan/atau tim
- Mengikuti dengan seksama presentasi kasus yang disampaikan
- Memberikan rekomendasi berbasis bukti berkaitan dengan
masalah terkait penggunaan obat
- Melakukan pemantauan implementasi rekomendasi
- Melakukan pemantauan efektivitas, keamanan terkait
penggunaan obat

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam ronde/visite antara


lain :

- Apoteker harus memperkenalkan diri dan menerangkan tujuan


dari kunjungan tersebut kepada pasien
- Untuk pasien baru dirawat, apoteker harus menanyakan terapi
obat terdahulu dan memperkirakan masalah yang mungkin terjadi
- Apoteker memberi keterangan pada formulir resep untuk
menjamin penggunaan obat dengan benar
- Melakukan pengkajian terhadap catatan perawat yang akan
berguna untuk pemberian obat
- Setelah kunjungan, membuat catatan mengenai permasalahan
dan penyelesaian masalah dalam satu buku dan buku ini
digunakan oleh setiap apoteker yang berkunjung ke ruang pasien
untuk menghindari pengulangan kunjungan

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah :

- Pengetahuan cara berkomunikasi


- Memahami teknik edukasi
- Mencatat perkembangan pasien

7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)


Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang
mencakup kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif
dan rasional bagi pasien.
Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan
meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
Kegiatan dalam PTO meliputi :
a. pengkajian pemilihan
81 Obat, dosis, cara pemberian Obat, respons
terapi, Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
b. pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat; dan
c. pemantauan efektivitas dan efek samping terapi Obat.

Tahapan PTO :

- seleksi pasien;
- pengumpulan data pasien;
- identifikasi masalah terkait Obat;
- rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat;
- pemantauan; dan
- tindak lanjut.
Pasien yang mendapatkan terapi obat mempunyai risiko
mengalami masalah terkait obat. Kompleksitas penyakit dan
penggunaan obat, serta respons pasien yang sangat individual
meningkatkan munculnya masalah terkait obat. Hal tersebut
menyebabkan perlunya dilakukan PTO dalam praktek profesi untuk
mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak
dikehendaki.
1. Seleksi Pasien

Pemantauan terapi obat (PTO) seharusnya dilaksanakan untuk


seluruh pasien. Mengingat terbatasnya jumlah apoteker
dibandingkan dengan jumlah pasien, maka perlu ditentukan
prioritas pasien yang akan dipantau. Seleksi dapat dilakukan
berdasarkan:

a. Kondisi Pasien.
- Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit
sehingga menerima polifarmasi.
- Pasien kanker yang menerima terapi sitostatika.
- Pasien dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan
ginjal.
- Pasien geriatri dan pediatri.
- Pasien hamil dan menyusui.
- Pasien dengan perawatan intensif.
b. Obat.
- Jenis Obat

Pasien yang menerima obat dengan risiko tinggi seperti :


82
o obat dengan indeks terapi sempit (contoh :
digoksin,fenitoin),
o obat yang bersifat nefrotoksik (contoh: gentamisin) dan
hepatotoksik (contoh : OAT),
o sitostatika (contoh: metotreksat),
o antikoagulan (contoh: warfarin, heparin),
o obat yang sering menimbulkan ROTD (contoh:
metoklopramid, AINS),
o obat kardiovaskular (contoh: nitrogliserin).
- Kompleksitas regimen,
o Polifarmasi
o Variasi rute pemberian
o Variasi aturan pakai
o Cara pemberian khusus (contoh: inhalasi)
2. Pengumpulan Data Pasien.

Data dasar pasien merupakan komponen penting dalam proses


PTO. Data tersebut dapat diperoleh dari :

- rekam medik,
- profil pengobatan pasien/pencatatan penggunaan obat
- wawancara dengan pasien, anggota keluarga dan tenaga
kesehatan lain.

Rekam medik merupakan kumpulan data medik seorang pasien


mengenai pemeriksaan, pengobatan dan perawatannya di rumah
sakit. Data yang dapat diperoleh dari rekam medik, antara lain:
data demografi pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit terdahulu, riwayat penggunaan obat, riwayat
keluarga, riwayat sosial, pemeriksaan fisik, laboratorium,
diagnostik, diagnosis dan terapi.

Data tersebut di pelayanan komunitas dapat diperoleh melalui


wawancara dengan pasien, meskipun data yang diperoleh terbatas.

Profil pengobatan pasien di rumah sakit dapat diperoleh dari


catatan pemberian obat oleh perawat dan kartu/formulir
penggunaan obat oleh tenaga farmasi. Profil tersebut mencakup
data penggunaan obat rutin, obat p.r.n (obat jika perlu), obat
dengan instruksi khusus (contoh: insulin).
83
Semua data yang sudah diterima, dikumpulkan dan kemudian
dikaji. Data yang berhubungan dengan PTO diringkas dan
diorganisasikan ke dalam suatu format yang sesuai (contoh pada
lampiran 1). Sering kali data yang diperoleh dari rekam medis dan
profil pengobatan pasien belum cukup untuk melakukan PTO,
oleh karena itu perlu dilengkapi dengan data yang diperoleh dari
wawancara pasien, anggota keluarga, dan tenaga kesehatan lain.

3. Identifikasi Masalah Terkait Obat.

Setelah data terkumpul, perlu dilakukan analisis untuk


identifikasi adanya masalah terkait obat.

Masalah terkait obat menurut Hepler dan Strand dapat


dikategorikan sebagai berikut :

a. Ada indikasi tetapi tidak di terapi.

Pasien yang diagnosisnya telah ditegakkan dan membutuhkan


terapi obat tetapi tidak diresepkan. Perlu diperhatikan bahwa
tidak semua keluhan/gejala klinik harus diterapi dengan obat.

b. Pemberian obat tanpa indikasi.

Pasien mendapatkan obat yang tidak diperlukan.

c. Pemilihan obat yang tidak tepat.

Pasien mendapatkan obat yang bukan pilihan terbaik untuk


kondisinya (bukan merupakan pilihan pertama, obat yang tidak
cost effective, kontra indikasi)

d. Dosis terlalu tinggi


e. Dosis terlalu rendah
f. Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)
g. Interaksi obat
h. Pasien tidak menggunakan obat karena suatu sebab.

Beberapa penyebab pasien tidak menggunakan obat antara


lain: masalah ekonomi, obat tidak tersedia, ketidakpatuhan
pasien, kelalaian petugas. Apoteker perlu membuat prioritas
masalah sesuai dengan kondisi pasien, dan menentukan
masalah tersebut sudah terjadi atau berpotensi akan terjadi.
Masalah yang perlu penyelesaian segera harus diprioritaskan

84
4. Rekomendasi Terapi

Tujuan utama pemberian terapi obat adalah peningkatan kualitas


hidup pasien, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
- Menyembuhkan penyakit (contoh: infeksi)
- Menghilangkan atau mengurangi gejala klinis pasien (contoh:
nyeri)
- Menghambat progresivitas penyakit (contoh: gangguan fungsi
ginjal)
- Mencegah kondisi yang tidak diinginkan (contoh: stroke).

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penetapan tujuan


terapi antara lain: derajat keparahan penyakit dan sifat
penyakit (akut atau kronis). Pilihan terapi dari berbagai
alternatif yang ada ditetapkan berdasarkan: efikasi, keamanan,
biaya, regimen yang mudah dipatuhi.

5. Rencana Pemantauan

Setelah ditetapkan pilihan terapi maka selanjutnya perlu


dilakukan perencanaan pemantauan, dengan tujuan memastikan
pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak
dikehendaki.

Apoteker dalam membuat rencana pemantauan perlu menetapkan


langkah-langkah:

1) Menetapkan parameter farmakoterapi.

Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih parameter


pemantauan, antara lain:

- Karakteristik obat (contoh: sifat nefrotoksik dari allopurinol,


aminoglikosida). Obat dengan indeks terapi sempit yang
harus diukur kadarnya dalam darah (contoh: digoksin)
- Efikasi terapi dan efek merugikan dari regimen
- Perubahan fisiologik pasien (contoh: penurunan fungsi ginjal
pada pasien geriatri mencapai 40%)
- Efisiensi pemeriksaan laboratorium
o Kepraktisan pemantauan (contoh: pemeriksaan kadar
kalium dalam darah untuk penggunaan furosemide dan
digoxin secara bersamaan
o Ketersediaan (pilih parameter pemeriksaan yang tersedia),
o Biaya pemantauan.
85
2) Menetapkan sasaran terapi (end point)
Penetapan sasaran akhir didasarkan pada nilai/gambaran
normal atau yang disesuaikan dengan pedoman terapi.

Apabila menentukan sasaran terapi yang diinginkan, apoteker


harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

- Faktor khusus pasien seperti umur dan penyakit yang


bersamaan diderita pasien (contoh: perbedaan kadar teofilin
pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis/PPOK dan
asma)
- Karakteristik obat

Bentuk sediaan, rute pemberian, dan cara pemberian akan


mempengaruhi sasaran terapi yang diinginkan (contoh:
perbedaan penurunan kadar gula darah pada pemberian
insulin dan anti diabetes oral)

- Efikasi dan toksisitas

3) Menetapkan frekuensi pemantauan

Frekuensi pemantauan tergantung pada tingkat keparahan


penyakit dan risiko yang berkaitan dengan terapi obat. Sebagai
contoh pasien yang menerima obat kanker harus dipantau lebih
sering dan berkala dibanding pasien yang menerima aspirin.
Pasien dengan kondisi relatif stabil tidak memerlukan
pemantauan yang sering.

Berbagai faktor yang mempengaruhi frekuensi pemantauan


antara lain:

- Kebutuhan khusus dari pasien

Contoh: penggunaan obat nefrotoksik pada pasien gangguan


fungsi ginjal.

- Karakteristik obat pasien

Contoh: pasien yang menerima warfarin

- Biaya dan kepraktisan pemantauan


- Permintaan tenaga kesehatan lain

86 yang lengkap mutlak dibutuhkan dalam PTO,


Data pasien
tetapi pada kenyataannya data penting terukur sering tidak
ditemukan sehingga PTO tidak dapat dilakukan dengan baik.
Hal tersebut menyebabkan penggunaan data subyektif sebagai
dasar PTO. Jika parameter pemantauan tidak dapat digantikan
dengan data subyektif maka harus diupayakan adanya data
tambahan.

Proses selanjutnya adalah menilai keberhasilan atau


kegagalan mencapai sasaran terapi. Keberhasilan dicapai ketika
hasil pengukuran parameter klinis sesuai dengan sasaran
terapi yang telah ditetapkan. Apabila hal tersebut tidak
tercapai, maka dapat dikatakan mengalami kegagalan
mencapai sasaran terapi. Penyebab kegagalan tersebut antara
lain: kegagalan menerima terapi, perubahan fisiologis/kondisi
pasien, perubahan terapi pasien, dan gagal terapi.

Salah satu metode sistematis yang dapat digunakan dalam PTO


adalah Subjective Objective Assessment Planning (SOAP).

S = Subjective

Data subyektif adalah data yang bersumber dari pasien


atau keluarga pasien yang tidak dapat dikonfirmasi
secara independen

Contoh : pusing, mual, nyeri, sesak nafas.

O = Objective

Data obyektif adalah data yang bersumber dari hasil


observasi, pengukuran dilakukan oleh profesi kesehatan
lain (tekanan darah, suhu tubuh, denyut nadi, kecepatan
pernafasan), hasil pemeriksaan laboratorium dan
diagnostik.

A = Assessment

Berdasarkan data subyektif dan obyektif dilakukan


analisis untuk menilai keberhasilan terapi,
meminimalkan efek yang tidak dikehendaki dan
kemungkinan adanya masalah baru terkait obat (Drug
Related Problem/DRP)

P = Plan
87
Setelah dilakukan SOA maka langkah berikutnya adalah
menyusun rencana yang dapat dilakukan untuk
menyelesaikan masalah. Plan memuat hal-hal berikut :

1. Rekomendasi terapi obat untuk setiap DRP lengkap


dengan dosisnya

2. Rencana monitoring terapi obat

3. Rencana konseling

6. Tindak Lanjut

Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang


telah dibuat oleh apoteker harus dikomunikasikan kepada tenaga
kesehatan terkait. Kerjasama dengan tenaga kesehatan lain
diperlukan untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan terapi.
Informasi dari dokter tentang kondisi pasien yang menyeluruh
diperlukan untuk menetapkan target terapi yang optimal.
Komunikasi yang efektif dengan tenaga kesehatan lain harus
selalu dilakukan untuk mencegah kemungkinan timbulnya
masalah baru.

Kegagalan terapi dapat disebabkan karena ketidakpatuhan


pasien dan kurangnya informasi obat. Sebagai tindak lanjut pasien
harus mendapatkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
secara tepat.

Informasi yang tepat sebaiknya:

- tidak bertentangan/berbeda dengan informasi dari tenaga


kesehatan lain
- tidak menimbulkan keraguan pasien dalam menggunakan obat,
- dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat

Faktor yang harus diperhatikan dalam Pemantauan Terapi


Obat (PTO):

- kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kritis


terhadap bukti terkini dan terpercaya (Evidence Best Medicine);
- kerahasiaan informasi; dan
- kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat).
88
Monitoring efektivitas terapi dinilai berdasarkan tercapai
tidaknya tujuan terapi. Parameter monitoring dipengaruhi oleh
tujuan terapi. Cara yang dilakukan dalam melaksanakan
monitoring terapi obat adalah :

- Pengamatan kondisi klinik pasien, seperti keadaan umum,


penampilan pasien, kondisi luka, tingkat kesadaran pasien,
kemampuan pasien untuk komunikasi, disesuaikan dengan
obat yang digunakan dalam terapi.
- Pengamatan tanda-tanda vital terkait efektivitas obat maupun
ESO seperti temperatur, nadi, tekanan darah, BB, volumen
urin.
- Pengamatan hasil pemeriksaan laboratorium.
- Pengamatan kadar obat dalam plasma.

8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan
pemantauan setiap respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki,
yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk
tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek Samping Obat adalah
reaksi Obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja
farmakologi.
MESO bertujuan:
a. menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama
yang berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang;
b. menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan
yang baru saja ditemukan;
c. mengenal semua faktor yang mungkin dapat
menimbulkan/mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya ESO;
d. meminimalkan risiko kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki;
dan
e. mencegah terulangnya kejadian reaksi Obat yang tidak
dikehendaki.
Kegiatan pemantauan dan pelaporan Efek Samping Obat :
a. mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki
(ESO);
b. kolaborasi antara
89 dokter, perawat, apoteker dalam
mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko
tinggi mengalami ESO;
c. mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme Naranjo,
mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di PFT, dan
melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional
serta memberikan umpan balik di RS.
d. Hasil evaluasi laporan efek samping obat dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan untuk mengeluarkan obat dari formularium
e. memantau obat prioritas yaitu obat baru atau obat yang baru
masuk formularium RS atau obat yang terbukti dalam literatur
menimbulkan efek samping serius.
Faktor yang perlu diperhatikan:
- kerjasama dengan Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) dan ruang
rawat; dan
- ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.

9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)


Evaluasi Penggunaan Obat merupakan program evaluasi
penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara
kualitatif dan kuantitatif.
Tujuan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) yaitu :
a. mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan
Obat;
b. membandingkan pola penggunaan Obat pada periode waktu
tertentu;
c. memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan Obat; dan
d. menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan Obat.
Kegiatan praktek EPO (dapat dilakukan oleh unit PIO dan PKMRS) :
- mengevaluasi pengggunaan Obat secara kualitatif; dan
- mengevaluasi pengggunaan Obat secara kuantitatif.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan, yaitu indikator peresepan,


indikator pelayanan, dan indikator fasilitas.

10. Dispensing Sediaan Steril


Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi
dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas, stabilitas produk
90
dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta
menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.
Dispensing sediaan steril bertujuan :
a. menjamin agar pasien menerima obat sesuai dengan dosis yang
dibutuhkan;
b. menjamin sterilitas dan stabilitas produk;
c. melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan
d. menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.

Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi :

a. Pencampuran Obat Suntik (iv-admxture)

Melakukan pencampuran Obat steril sesuai kebutuhan pasien


yang menjamin kompatibilitas dan stabilitas Obat maupun wadah
sesuai dengan dosis yang ditetapkan.

Kegiatan:

1) mencampur sediaan intravena ke dalam cairan infus;


2) melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan
pelarut yang sesuai; dan
3) mengemas menjadi sediaan siap pakai.

Faktor yang perlu diperhatikan:

- ruangan khusus;
- lemari pencampuran Biological Safety Cabinet atau Laminary
Airflow; dan
- HEPA Filter.
b. Penyiapan Nutrisi Parenteral

Merupakan kegiatan pencampuran nutrisi parenteral yang


dilakukan oleh tenaga yang terlatih secara aseptis sesuai
kebutuhan pasien dengan menjaga stabilitas sediaan, formula
standar dan kepatuhan terhadap prosedur yang menyertai.

Kegiatan dalam dispensing sediaan khusus:

1) Mencampur sediaan karbohidrat, protein, lipid, vitamin,


mineral untuk kebutuhan perorangan; dan
2) mengemas ke dalam kantong khusus untuk nutrisi.

Faktor yang perlu diperhatikan:

- 91dari dokter, Apoteker, perawat, ahli gizi;


tim yang terdiri
- sarana dan peralatan;
- ruangan khusus;
- lemari pencampuran Biological Safety Cabinet atau Laminary
Airflow; dan
- kantong khusus untuk nutrisi parenteral.
c. Penanganan Sediaan Sitostatik
Penanganan sediaan sitostatik merupakan penanganan Obat
kanker secara aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai
kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi yang terlatih dengan
pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan, petugas
maupun sediaan obatnya dari efek toksik dan kontaminasi,
dengan menggunakan alat pelindung diri, mengamankan pada
saat pencampuran, distribusi, maupun proses pemberian kepada
pasien sampai pembuangan limbahnya.

Secara operasional dalam mempersiapkan dan melakukan harus


sesuai prosedur yang ditetapkan dengan alat pelindung diri yang
memadai.

Kegiatan dalam penanganan sediaan sitostatik meliputi:

1) melakukan perhitungan dosis secara akurat;


2) melarutkan sediaan Obat kanker dengan pelarut yang sesuai;
3) mencampur sediaan Obat kanker sesuai dengan protokol
pengobatan;
4) mengemas dalam kemasan tertentu; dan
5) membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku.

Faktor yang perlu diperhatikan :

- ruangan khusus yang dirancang dengan kondisi yang sesuai;


- lemari pencampuran Biological Safety Cabinet;
- HEPA filter;
- Alat Pelindung Diri (APD);
- sumber daya manusia yang terlatih; dan
- cara pemberian Obat kanker.
Sitostatika termasuk dalam golongan obat berbahaya, karena
sifatnya yang karsinogenik, teratogenik dan mutagenik, sehingga
obat ini memerlukan penanganan khusus.

11. Pemantauan Kadar92


Obat Dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan
interpretasi hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan
dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas
usulan dari Apoteker kepada dokter.
PKOD bertujuan :
a. mengetahui Kadar Obat dalam Darah; dan
b. memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat.
Kegiatan PKOD meliputi :
a. melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan
Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);
b. mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan
Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); dan
c. menganalisis hasil Pemeriksaan

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan :

- Alat atau instrumen untuk mengukur kadar obat (Therapeutic


Drug Monitoring)
- Reagen sesuai obat yang diperiksa.

D. Manajemen Risiko Pelayanan Farmasi Klinik

Beberapa risiko yang berpotensi terjadi dalam melaksanakan pelayanan


farmasi klinik adalah:

1. Faktor risiko yang terkait karakteristik kondisi klinik pasien

Faktor risiko yang terkait karakteristik kondisi klinik pasien akan


berakibat terhadap kemungkinan kesalahan dalam terapi. Faktor
risiko tersebut adalah umur, gender, etnik, ras, status kehamilan,
status nutrisi, status sistem imun, fungsi ginjal, fungsi hati.

2. Faktor risiko yang terkait terkait penyakit pasien

Faktor risiko yang terkait penyakit pasien terdiri dari 3 faktor yaitu:
tingkat keparahan, persepsi pasien terhadap tingkat keparahan,
tingkat cidera yang ditimbulkan oleh keparahan penyakit.

3. Faktor risiko yang terkait farmakoterapi pasien

Faktor risiko yang berkaitan dengan farmakoterapi pasien meliputi:


toksisitas, profil reaksi Obat tidak dikehendaki, rute dan teknik
pemberian, persepsi pasien terhadap toksisitas, rute dan teknik
93
pemberian, dan ketepatan terapi.
Setelah melakukan identifikasi terhadap risiko yang potensial terjadi
dalam melaksanakan pelayanan farmasi klinik, Apoteker mampu
melakukan:

1. Analisa risiko baik secara kualitatif, semi kualitatif, kuantitatif dan


semi kuantitatif.

2. Melakukan evaluasi risiko; dan

3. Mengatasi risiko melalui:

a. Melakukan sosialisasi terhadap kebijakan pimpinan Rumah


Sakit;

b. Mengidentifikasi pilihan tindakan untuk mengatasi risiko;

c. Menetapkan kemungkinan pilihan (cost benefit analysis);

d. Menganalisa risiko yang mungkin masih ada; dan

e. Mengimplementasikan rencana tindakan, meliputi menghindari


risiko, mengurangi risiko, memindahkan risiko, menahan risiko,
dan mengendalikan risiko.

Pembinaan dan edukasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlibat


dalam setiap tahap manajemen risiko menjadi salah satu prioritas
perhatian. Semakin besar risiko dalam suatu pemberian layanan
dibutuhkan SDM yang semakin kompeten dan kerjasama tim (baik
antar tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lain/multidisiplin) yang
solid. Beberapa unit/area di Rumah Sakit yang memiliki risiko tinggi,
antara lain Intensive Care Unit (ICU), Instalasi Gawat Darurat (IGD), dan
Instalasi Bedah Sentral ( IBS ).

94
BAB V
LOGISTIK

Manajemen logistik rumah sakit merupakan salah satu aspek


penting di rumah sakit. Ketersediaan obat saat ini menjadi tuntutan dan
kebutuhan pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kefarmasian.
Manajemen logistik obat di rumah sakit yang meliputi tahap-tahap yaitu:
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
penghapusan, evaluasi dan monitoring yang saling terkait satu sama
lain, sehingga harus terkoordinasi dengan baik agar masing-masing
dapat berfungsi secara optimal. Ketidakterkaitan antara masing-masing
tahap akan mengakibatkan tidak efisiennya sistem suplai obat yang ada.
Akibatnya memberikan dampat negatif terhadap rumah sakit, baik
secara medis maupun ekonomis.

Pengelolaan obat di instalasi farmasi rumah sakit dalam mencapai


pelayanan kesehatan yang optimal, maka proses pengelolaan perlu
diawasi untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan dalam pelaksanaan
operasionalnya, sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikan dengan
segera.

Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), pengelolaan


obat yang efektif dan efisien diharapkan dapat menjamin :

1. Tersedianya rencana kebutuhan jenis dan jumlah obat sesuai


dengan kebutuhan pasien,
2. Tersedianya anggaran pengadaan obat yang dibutuhkan sesuai
dengan waktunya,
3. Terlaksananya pengadaan
95 obat yang efektif dan efisien,
4. Terjaminnya penyimpanan obat dengan mutu yang baik,
5. Terjaminnya pendistribusian obat efektif dengan waktu tunggu
(lead time) yang pendek,
6. Terpenuhinya kebutuhan obat sesuai dengan jenis, jumlah dan
waktu,
7. Tersedianya SDM dengan jumlah dan kualifikasi yang dibutuhkan,
8. Penggunaan obat secara rasional sesuai pedoman,
9. Terdapatnya sumber informasi pengelolaan dan penggunaan obat
yang akurat.

Manajemen logistik, mengutamakan pengelolaan, termasuk arus


sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP dalam rumah sakit. Orientasi
manajemen logistik adalah pada perencanaan dan kerangka kerja yang
menghasilkan rencana tunggal arus barang dan informasi di rumah
sakit.

Sedangkan manajemen rantai pengadaan (supply chain


management/SCM), mengutamakan arus barang dan mekanisme
informasi berlangsung secara transparan antar perusahaan/instansi,
mulai dari awal kegiatan sampai akhir. Sedangkan orientasinya atas
dasar kerja sama dan mengusahakan hubungan serta koordinasi antar
proses dari perusahaan dan mitra, guna menunjang kegiatan proses
awal sampai proses akhir ke tangan konsumen/pasien.

Supply chain management merupakan suatu konsep menyangkut pola


pendistribusian produk secara optimal, dan menyangkut aktivitas
pendistribusian, jadwal produksi dan logistik.

Syarat utama penerapan supply chain management adalah dukungan


manajemen rumah sakit dan komitmen internal yang tinggi. Manajemen
semua level dari strategis/struktural sampai operasional/fungsional
harus memberikan dukungan, mulai dari proses perencanaan,
pengorganisasian, koordinasi, pelaksanaan sampai pengendalian. Selain
dukungan manajemen, syarat lain merupakan syarat eksternal yaitu
pemasok (industri farmasi) dan distributor (PBF) harus diperhatikan.

Kunci penting dalam mengelola saluran distribusi adalah


menentukan berapa banyak saluran distribusi yang dikembangkan serta
membentuk pola kemitraan yang menunjang distribusi barang tersebut.
Penggunaan 96
distributor yang terlalu sedikit dapat membatasi
penyebaran jenis sediaan farmasi, sedangkan penggunaan distributor
yang terlalu banyak dapat mengganggu brand image berkompetisi.
Pemberian akses informasi yang transparan dari sistem ini,
memungkinkan rumah sakit untuk memiliki akses meninjau proses
penyimpanan dan transportasi sediaan farmasi, alkes dan BMHP kepada
pihak eksternal, yaitu industri farmasi dan distributor. Hal ini,
bertujuan untuk memberikan kepastian informasi kepada pihak rumah
sakit, tentang kepastian penyimpanan dan distribusinya apakah sesuai
standar CDOB atau tidak.

Setelah dilakukan proses pengadaan sediaan farmasi, alkes, dan


BMHP yang aman, bermutu, bermanfaat, dan berkhasiat, melalui
prosedur dan sesuai regulasi yang ada, barang diterima oleh tim teknis
Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP). Setelah proses
pengadministrasian selesai, barang dikirimkan ke gudang farmasi,
untuk dilakukan penyimpanan sesuai syarat penyimpanan yang baik
sebelum dilakukan pendistribusian.

Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan Sediaan


Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan
persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud
meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya,
kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.

Komponen yang harus diperhatikan antara lain:

a) Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan Obat


diberi label yang secara jelas terbaca memuat nama, tanggal pertama
kemasan dibuka, tanggal kadaluwarsa dan peringatan khusus;
b) Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan;
c) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
dibawa oleh pasien harus disimpan secara khusus dan dapat
diidentifikasi.

Instalasi Farmasi harus dapat memastikan bahwa Obat disimpan


secara benar dan diinspeksi secara periodik.

Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
harus disimpan terpisah yaitu:

a. bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan
97
diberi tanda khusus bahan berbahaya,
b. gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi
penandaan untuk menghindari kesalahan pengambilan jenis gas
medis. Penyimpanan tabung gas medis kosong terpisah dari tabung
gas medis yang ada isinya. Penyimpanan tabung gas medis di
ruangan harus menggunakan tutup demi keselamatan.

Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi,


bentuk sediaan dan jenis sediaan farmasi, alkes dan BMHP dan disusun
secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired First Out
(FEFO) dan First In First Out (FIFO) disertai sistem informasi manajemen.
Penyimpanan sediaan farmasi, alkes dan BMHP yang penampilan dan
penamaan yang mirip (LASA, Look Alike Sound Alike) tidak ditempatkan
berdekatan dan harus diberi penandaan khusus untuk mencegah
terjadinya kesalahan pengambilan obat.

Ada beberapa jenis obat yang karena risikonya tinggi (obat-obatan


radioaktif), lingkungan yang tidak biasa (dibawa oleh pasien),
kemungkinan untuk penyalahgunaan (abuse, misuse), misal obat sampel
dan obat emergency atau sifat yang khusus (produk nutrisi), perlu
didukung oleh kebijakan sebagai pedoman untuk penyimpanan dan
pengendalian dalam penggunaannya. Kebijakan mengatur proses
penerimaan, identifikasi pengobatan bila perlu, cara penyimpanan dan
setiap distribusi.

Obat-obatan emergensi tersedia, dimonitor dan aman bilamana


disimpan di luar farmasi. Bila terjadi kegawatdaruratan pasien, akses
cepat terhadap obat emergensi yang tepat adalah sangat penting/ kritis.
Setiap rumah sakit merencanakan lokasi obat emergensi dan obat yang
harus disuplai ke lokasi tersebut. Contoh, bahan untuk pemulihan
anestesi berada di kamar operasi. Lemari, meja troli, tas atau kotak
emergensi dapat digunakan untuk keperluan ini.

Untuk memastikan akses ke obat emergensi bilamana diperlukan,


rumah sakIt menyusun suatu prosedur untuk mencegah
penyalahgunaan, pencurian atau kehilangan terhadap obat dimaksud.
Prosedur ini memastikan bahwa obat diganti bilamana digunakan, rusak
atau kadaluwarsa. Jadi rumah sakit memahami keseimbangan antara
akses kesiapan dan 98keamanan dari tempat penyimpanan obat
emergensi.
Rumah sakit harus dapat menyediakan lokasi penyimpanan obat
emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan harus
mudah diakses dan terhindar dari penyalahgunaan dan pencurian.

Pengelolaan Obat emergensi harus menjamin :

 jumlah dan jenis Obat sesuai dengan daftar Obat emergensi yang
telah ditetapkan;
 tidak boleh bercampur dengan persediaan Obat untuk kebutuhan
lain;
 bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti;
 dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa; dan
 dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain

Rumah sakit mempunyai proses untuk mengidentifikasi, menarik


kembali (recall) dan mengembalikan atau memusnahkan dengan cara
yang aman dan benar obat-obatan yang ditarik kembali oleh pabrik atau
supplier. Ada kebijakan atau prosedur yang mengatur setiap
penggunaan atau pemusnahan dari obat yang diketahui kadaluwarsa
atau ketinggalan jaman (outdated).

Obat bisa disimpan dalam tempat penyimpanan, di dalam pelayanan


farmasi atau kefarmasian, atau di unit asuhan pasien pada unit-unit
farmasi atau di nurse station dalam unit klinis.

Berikut ini adalah mekanisme pengawasan bagi semua lokasi dimana


obat disimpan dengan jelas :

a) Obat disimpan dalam kondisi yang sesuai untuk stabilitas produk;


b) Bahan yang terkontrol (controlled substances) dilaporkan secara
akurat sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku
c) Obat-obatan dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan
obat diberi label secara akurat menyebutkan isi, tanggal kadaluwarsa
dan peringatan;
d) Elektrolit pekat konsentrat tidak disimpan di unit asuhan kecuali
merupakan kebutuhan klinis yang penting, merupakan resep atau
permintaan dokter, dan bila disimpan dalam unit asuhan dilengkapi
dengan pengaman untuk mencegah penatalaksanaan yang kurang
hati-hati
99
e) Seluruh tempat penyimpanan obat diinspeksi secara periodik sesuai
kebijakan rumah sakit untuk memastikan obat disimpan secara
benar
f) Kebijakan rumah sakit menjabarkan cara identifikasi dan
penyimpanan obat

100
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

A. PENGERTIAN
1. Konsep Umum

Manajemen risiko adalah suatu metode yang sistematis untuk


mengidentifikasi, menganalisis, mengendalikan, memantau,
mengevaluasi dan mengkomunikasikan risiko yang ada pada suatu
kegiatan. Untuk mengetahui gambaran kegiatan pada suatu unit
kerja (misalnya pada pelayanan kefarmasian), terlebih dahulu
dilakukan inventarisasi kegiatan di unit kerja tersebut.

Inventarisasi dapat dilakukan dengan cara :

- mempelajari diagram kegiatan yang ada


- melakukan inspeksi dengan menggunakan daftar tilik (checklist)
- melakukan konsultasi dengan petugas

Inventarisasi kegiatan diarahkan kepada perolehan informasi


untuk menentukan potensi bahaya (hazard) yang ada. Bahaya
(hazard) adalah sesuatu atau kondisi pada suatu tempat kerja yang
dapat berpotensi menyebabkan kematian, cedera atau kerugian lain.
Pengendalian risiko melalui sistem manajemen dapat dilakukan
oleh pihak manajemen pembuat komitmen dan kebijakan, organisasi,
program pengendalian, prosedur pengendalian, tanggung jawab,
pelaksanaan dan evaluasi. Kegiatan-kegiatan tersebut secara terpadu
dapat mendukung terlaksananya pengendalian secara teknis.

Manajemen risiko dalam pelayanan kefarmasian terutama


medication error meliputi kegiatan :
o koreksi bila ada kesalahan sesegera mungkin
o pelaporan medication error
o dokumentasi medication error
o pelaporan medication error yang berdampak cedera
o supervisi setelah
101terjadinya laporan medication error
o sistem pencegahan
o pemantauan kesalahan secara periodik
o tindakan preventif
o pelaporan ke tim keselamatan pasien tingkat nasional

Keselamatan pasien (Patient safety) secara sederhana di


definisikan sebagai suatu upaya untuk mencegah bahaya yang terjadi
pada pasien. Walaupun mempunyai definisi yang sangat sederhana,
tetapi upaya untuk menjamin keselamatan pasien di fasilitas
kesehatan sangatlah kompleks dan banyak hambatan. Konsep
keselamatan pasien harus dijalankan secara menyeluruh dan
terpadu.

Strategi untuk meningkatkan keselamatan pasien :

- Menggunakan obat dan peralatan yang aman


- Melakukan praktek klinik yang aman dalam lingkungan aman
- Melaksanakan manajemen risiko, contoh : pengendalian infeksi
- Membuat dan meningkatkan sistem yang dapat menurunkan
risiko yang berorientasi kepada pasien.
- Meningkatkan keselamatan pasien dengan :

- mencegah terjadinya kejadian tidak diharapkan (adverse


event)
- membuat sistem identifikasi dan pelaporan adverse event
- mengurangi efek akibat adverse event

Pada tanggal 18 Januari 2002, WHO telah mengeluarkan suatu


resolusi untuk membentuk program manajemen risiko untuk
keselamatan pasien yang terdiri dari 4 aspek utama:

a. Penentuan tentang norma-norma global, standar dan pedoman


untuk definisi, pengukuran dan pelaporan dalam mengambil
tindakan pencegahan, dan menerapkan ukuran untuk mengurangi
resiko
b. Penyusunan kebijakan berdasarkan bukti (evidence-based) dalam
standar global yang akan meningkatkan pelayanan kepada pasien
dengan penekanan tertentu pada beberapa aspek seperti
keamanan produk, praktek klinik yang aman sesuai dengan
pedoman, penggunaan produk obat dan alat kesehatan yang aman
102
dan menciptakan suatu budaya keselamatan pada petugas
kesehatan dan institusi pendidikan.
c. Pengembangan mekanisme melalui akreditasi dan instrumen lain,
untuk mengenali karakteristik penyedia pelayanan kesehatan
dalam keselamatan pasien secara internasional
d. Mendorong penelitian tentang keselamatan pasien

2. Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Penerapan Keselamatan


Pasien

Dalam penerapannya, keselamatan pasien harus dikelola dengan


pendekatan sistemik. Sistem ini dapat dilihat sebagai suatu sistem
terbuka dimana sistem terkecil akan dipengaruhi, bahkan tergantung
pada sistem yang lebih besar. Sistem terkecil disebut Mikrosistem,
terdiri dari petugas kesehatan dan pasien itu sendiri, serta proses-
proses pemberian pelayanan di ujung tombak, termasuk elemen-
elemen pelayanan di dalamnya. Mikrosistem dipengaruhi oleh
Makrosistem, yang merupakan unit yang lebih besar, misalnya rumah
sakit dan apotek. Mikrosistem dan Makrosistem dipengaruhi oleh
system yang lebih besar lagi yang disebut Megasistem.

Seorang Apoteker yang berperan di dalam mikrosistem (instalasi


farmasi rumah sakit dalam membangun keselamatan pasien harus
mampu mengelola dengan baik elemen dalam mikrosistem tersebut,
yaitu sistem pelayanan, sumber daya, sistem inventori, keuangan dan
teknologi informasi.

Teori kesalahan manusia dapat dilihat dalam diagram di bawah ini.

103
Kegagalan tersembunyi (Latent failures):

- Penyebabnya jauh dari insiden,


- Merupakan refleksi dari kegagalan manajemen,
- Terjadi bila dikombinasikan dengan faktor lain,
- Kegagalan tersembunyi dapat dikelola dengan memperbaiki proses
pelayanan (redesign).

Contoh: peninjauan kembali beban kerja, jumlah SDM, dan lain-


lain.

Kegagalan aktif (Active failures) :

- Terjadi oleh pelaku yang berhubungan langsung dengan pasien,


- Beberapa bentuk active failures adalah: kurang perhatian (slips),
kegagalan memori, lupa (lapses), serta pelanggaran prosedur
(mistake and violation ),
- Kegagalan aktif dapat dikelola dengan memperbaiki alur kerja,
SPO, deskripsi kerja yang jelas, training, pengawasan terhadap
pelanggaran SPO, mengurangi interupsi dan stress, dan membina
104
komunikasi yang lebih baik antar staf dan dengan pasien.
Makrosistem merupakan sistem di atas Mikrosistem yang
menyediakan sumber daya, proses pendukung, struktur dan
kebijakan-kebijakan yang berlaku di rumah sakit atau sarana
kesehatan lain yang secara tidak langsung akan mempengaruhi
pelaksanaan program-program yang menyangkut keselamatan
pasien. Kebijakan-kebijakan itu antara lain sistem penulisan resep,
standarisasi bahan medis habis pakai (BMHP), rekam medis dan lain
sebagainya. Selain itu, kultur atau budaya yang dibangun dan
diterapkan di lingkungan rumah sakit juga akan sangat
mempengaruhi kinerja unit-unit yang bertanggung jawab terhadap
keselamatan pasien. Budaya tidak saling menyalahkan (no blame
culture), sistem informasi manajemen/information technology (SIM/IT)
rumah sakit, kerjasama tim, kepemimpinan, alur koordinasi, Panitia
Farmasi dan Terapi (PFT) RS, Formularium RS, dan Panitia panitia
serta Program Rumah Sakit lainnya, merupakan faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi kegiatan keselamatan pasien yang berasal dari
makrosistem.

Di atas mikrosistem dan makrosistem, ada satu sistem yang akan


mempengaruhi keselamatan pasien, yaitu megasistem. Yang
dimaksud Megasistem adalah kebijakan kesehatan nasional yang
berlaku, misalnya kebijakan-kebijakan menyangkut obat dan
kesehatan yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan (Kebijakan
tentang akreditasi, Obat Rasional, Infeksi Nosokomial, dan lain
sebagainya), termasuk juga sistem pendidikan dan pendidikan
berkelanjutan yang berlaku. Hal lain yang juga mempengaruhi
keselamatan pasien yang memerlukan intervensi dari megasistem
adalah pembenahan fenomena kemiripan Look a like (obat-obat
dengan rupa atau kemasan mirip) atau Look a like Sound a like –
LASA (obat-obat dengan rupa dan nama mirip), misalnya :

- Ephedrin dengan epinefrin


- Cefotaxim dengan ceftriaxon

Dalam mengelola keselamatan pasien di level Mikrosistem, seorang


Apoteker harus melakukannya dengan pendekatan sistemik. Masalah
Keselamatan pasien105
merupakan kesalahan manusia (human error)
yang terutama terjadi karena kesalahan pada level manajemen atau
organisasi yang lebih tinggi.
B. KESELAMATAN PASIEN DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN

Dalam membangun keselamatan pasien banyak istilah yang perlu


difahami dan disepakati bersama. Istilah-istilah tersebut diantaranya
adalah:

- Kejadian Tidak Diharapkan/KTD (Adverse Event)


- Kejadian Nyaris Cedera/KNC (Near Miss)
- Kejadan Sentinel
- Adverse Drug Event
- Adverse Drug Reaction
- Medication Error
- Efek samping obat

Menurut Nebeker JR dkk. dalam tulisannya Clarifying Adverse Drug


Events: A Clinician’s Guide to terminology, Documentation, and Reporting,
serta dari Glossary AHRQ (Agency for Healthcare Research and Quality)
dapat disimpulkan definisi beberapa istilah yang berhubungan dengan
cedera akibat obat sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Ringkasan definisi yang berhubungan dengan cedera akibat


obat
Istilah Definisi Contoh
Terjadi cedera
Kejadian yang Kejadian cedera pada pasien Iritasi pada kulit
tidak diharapkan selama proses karenapenggunaan
(Adverse Event) terapi/penatalaksanaan medis. perban.
Penatalaksanaan medis Jatuh dari tempat
mencakup seluruh aspek tidur.
pelayanan, termasuk diagnosa,
terapi, kegagalan
diagnosa/terapi, sistem,
peralatan untuk pelayanan.
Adverse event dapat dicegah
atau tidak dapat dicegah.
Reaksi obat yang Kejadian cedera pada pasien Steven-Johnson
tidak diharapkan selama proses terapi akibat Syndrom : Sulfa, Obat
(Adverse penggunaan obat. epilepsi dll
Drug Reaction)
Kejadian tentang Respons yang tidak diharapkan  Shok anafilaksis
obat yang tidak terhadap terapi obat dan pada penggunaan
diharapkan mengganggu atau menimbulkan antbiotik
(Adverse Drug cedera pada penggunaan obat golonganpenisilin
Event) dosis normal. Reaksi Obat Yang  Mengantuk pada
Tidak Diharapkan (ROTD) ada penggunaan CTM
yang berkaitan dengan efek
106
farmakologi/mekanisme kerja
(efek samping) ada yang tidak
berkaitan dengan efek
farmakologi (reaksi
hipersensitivitas).
Efek obat yang `  Shok anafilaksis
tidak diharapkan pada penggunaan
(Adverse drug antbiotik golongan
effect) penisilin.
 Mengantuk pada
penggunaan CTM

Cedera dapat
terjadi / tidak
terjadi
Medication Error Kejadian yang dapat dicegah Peresepan obat yang
akibat penggunaan obat, yang tidak rasional.
menyebabkan cedera. Kesalahan
perhitungan dosis
pada peracikan.
Ketidakpatuhan
pasien sehingga terjadi
dosis berlebih.
Efek Samping Efek yang dapat diprediksi, (sebaiknya istilah ini
tergantung pada dosis, yang dihindarkan)
bukan efek tujuan obat. Efek
samping dapat dikehendaki,
tidak dikehendaki, atau tidak
ada kaitannya.

Apoteker harus mampu mengenali istilah-istilah di atas beserta


contohnya sehingga dapat membedakan dan mengidentifikasi kejadian-
kejadian yang berkaitan dengan cedera akibat penggunaan obat dalam
melaksanakan program Keselamatan pasien. Berdasarkan laporan IOM
(Institute of Medicine) tentang adverse event yang dialami pasien,
disebutkan bahwa insiden berhubungan dengan pengobatan menempati
urutan utama. Disimak dari aspek biaya, kejadian 459 adverse drug
event dari 14732 bernilai sebesar $348 juta, senilai $159 juta yang dapat
dicegah (265 dari 459 kejadian). Sebagian besar tidak menimbulkan
cedera namun tetap menimbulkan konsekuensi biaya.

Atas kejadian tersebut, IOM merekomendasikan untuk :

a. Menetapkan suatu fokus nasional terhadap isu tersebut


b. Mengembangkan suatu sistem pelaporan kesalahan secara nasional
c. Meningkatkan standar organisasi
d. Menciptakan sistem keselamatan dalam organisasi kesehatan.

Penelitian terbaru (Allin Hospital) menunjukkan 2% dari pasien


107
masuk rumah sakit mengalami adverse drug event yang berdampak
meningkatnya Length Of Stay (LOS) 4.6 hari dan meningkatkan biaya
kesehatan $ 4.7000 dari setiap pasien yang masuk rumah sakit. Temuan
ini merubah tujuan pelayanan farmasi rumah sakit tersebut : a fail-safe
system that is free of errors. Studi yang dilakukan Bagian Farmakologi
Universitas Gajah Mada (UGM) antara 2001-2003 menunjukkan bahwa
medication error terjadi pada 97% pasien Intensive Care Unit (ICU) antara
lain dalam bentuk dosis berlebihan atau kurang, frekuensi pemberian
keliru dan cara pemberian yang tidak tepat.

Lingkup perpindahan/perjalanan obat (meliputi obat, alat kesehatan,


obat untuk diagnostik, gas medis, anastesi) : obat dibawa pasien di
komunitas, di rumah sakit, pindah antar ruang, antar rumah sakit,
rujukan, pulang, apotek, praktek dokter.

Multidisiplin problem, dipetakan dalam proses penggunaan obat :


pasien/care giver, dokter, apoteker, perawat, tenaga asisten apoteker,
mahasiswa, teknik, administrasi, pabrik obat. Kejadian medication error
dimungkinkan tidak mudah untuk dikenali, diperlukan kompetensi dan
pengalaman, kerjasama-tahap proses.

Tujuan utama farmakoterapi adalah mencapai kepastian keluaran


klinik sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien dan meminimalkan
risiko baik yang tampak maupun yang potensial meliputi obat (bebas
maupun dengan resep), alat kesehatan pendukung proses pengobatan
(drug administration devices). Timbulnya kejadian yang tidak sesuai
dengan tujuan (incidence/hazard) dikatakan sebagai drug mis-
adventuring, terdiri dari medication errors dan adverse drug reaction.

Ada beberapa pengelompokan dalam medication error sesuai dengan


dampak dan proses (tabel 2 dan 3). Konsistensi pengelompokan ini
penting sebagai dasar analisa dan intervensi yang tepat.

Tabel 2. Indeks medication errors untuk kategorisasi errors (berdasarkan


dampak)

Errors Kategori Hasil


Kejadian atau yang berpotensi untuk terjadinya
No error A
kesalahan
B Terjadi kesalahan sebelum obat mencapai pasien
Terjadi kesalahan dan obat sudah
Error, no C diminum/digunakan pasien tetapi tidak
harm membahayakan pasien
Terjadinya kesalahan, sehingga monitoring ketat
D harus dilakukan tetapi tidak membahayakan
108pasien
Error, harm E Terjadi kesalahan, hingga terapi dan intervensi
lanjut
diperlukan dan kesalahan ini memberikan efek
yang buruk
yang sifatnya sementara
Terjadi kesalahan dan mengakibatkan pasien
F harus dirawat lebih lama di rumah sakit serta
memberikan efek buruk yang sifatnya sementara
Terjadi kesalahan yang mengakibatkan efek
G
buruk yang bersifat permanen
Terjadi kesalahan dan hampir merenggut nyawa
H pasien,
contoh syok anafilaktik
Error,
I Terjadi kesalahan dan pasien meninggal dunia
death

Tabel 3. Jenis-jenis medication errors (berdasarkan alur proses


pengobatan)
Tipe medication
Keterangan
errors
Unauthorized drug Obat yang terlanjur diserahkan kepada pasien
padahal diresepkan oleh bukan dokter yang
berwenang
Improper Dosis, strength atau jumlah obat yang tidak sesuai
dose/quantity dengan yang dimaksud dalam resep
Wrong dose Penyiapan/ formulasi atau pencampuran obat yang
preparation tidak sesuai
method
Wrong dose form Obat yang diserahkan dalam dosis dan cara
pemberian yang tidak sesuai dengan yang
diperintahkan di dalam resep
Wrong patient Obat diserahkan atau diberikan pada pasien yang
keliru yang tidak sesuai dengan yang tertera di resep
Omission error Gagal dalam memberikan dosis sesuai permintaan,
mengabaikan penolakan pasien atau keputusan
klinik yang mengisyaratkan untuk tidak diberikan
obat yang bersangkutan
Extra dose Memberikan duplikasi obat pada waktu yang berbeda
Prescribing error Obat diresepkan secara keliru atau perintah
diberikan secara lisan atau diresepkan oleh dokter
yang tidak berkompeten
Wrong Menggunakan cara pemberian yang keliru termasuk
administration misalnya menyiapkan obat dengan teknik yang tidak
technique dibenarkan (misalkan obat im diberikan iv)
Wrong time Obat diberikan tidak sesuai dengan jadwal
109
pemberian atau diluar jadwal yang ditetapkan
JCAHO (2007) menetapkan tentang keamanan terhadap titik kritis
dalam proses manajemen obat : sistem seleksi (selection), sistem
penyimpanan sampai distribusi (storage, distribution), sistem permintaan
obat, interpretasi dan verifikasi (ordering and transcribing), sistem
penyiapan, labelisasi/etiket, peracikan, dokumentasi, penyerahan ke
pasien disertai kecukupan informasi (preparing dan dispensing), teknik
penggunaan obat pasien (administration), pemantauan efektifitas
penggunaan (monitoring). Di dalamnya termasuk sistem kerjasama
dengan tenaga kesehatan, terkait baik kompetensi maupun
kewenangannya, sistem pelaporan masalah obat dengan upaya
perbaikan, informasi obat yang selalu tersedia, keberadaan apoteker
dalam pelayanan, adanya prosedur khusus obat dan alat yang
memerlukan perhatian khusus karena dampak yang membahayakan.

WHO dalam developing pharmacy practice-a focus on patient care


membedakan tentang praktek farmasi (berhubungan dengan pasien
langsung) dan pelayanan farmasi (berhubungan dengan kualitas obat
dan sistem proses pelayanan farmasi)

 Praktek pekerjaan kefarmasian meliputi obat-obatan, pengadaan


produk farmasi dan pelayanan kefarmasian yang diberikan oleh
apoteker dalam sistem pelayanan kesehatan.
 Pelayanan kefarmasian meliputi semua pelayanan yang diberikan
oleh tenaga farmasi dalam mendukung pelayanan kefarmasian. Di
luar suplai obat-obatan, jasa kefarmasian meliputi informasi,
pendidikan dan komunikasi untuk mempromosikan kesehatan
masyarakat, pemberian informasi obat dan konseling, pendidikan dan
pelatihan staf.
 Pekerjaan kefarmasian meliputi penyediaan obat dan pelayanan lain
untuk membantu masyarakat dalam mendapatkan manfaat yang
terbaik.

Klasifikasi aktivitas apoteker (American Pharmacists


Association/APha)

a) Memastikan terapi dan hasil yang sesuai


110
o Memastikan farmakoterapi yang sesuai
o Memastikan kepahaman atau kepatuhan pasien terhadap
rencana pengobatannya
o Monitoring dan pelaporan hasil

b) Dispensing obat dan alat kesehatan

o Memproses resep atau pesanan obat


o Menyiapkan produk farmasi
o Mengantarkan obat atau alat kesehatan

c) Promosi kesehatan dan penanggulangan penyakit

o Pengantaran jasa penanggulangan klinis


o Pengawasan dan pelaporan issue kesehatan masyarakat
o Promosi penggunaan obat yang aman dalam masyarakat

d) Manajemen sistem kesehatan

o Pengelolaan praktek
o Pengelolaan pengobatan dalam sistem kesehatan
o Pengelolaan penggunaan obat dalam sistem kesehatan
o Partisipasi dalam aktivitas penelitian
o Kerjasama antardisiplin

Pada tahun 1998, FIP menerbitkan suatu statemen tentang


Standard profesional mengenai kesalahan pengobatan yang
berhubungan dengan peresepan obat dengan tujuan mendefinisikan
istilah "kesalahan pengobatan" dan untuk menyarankan suatu
tatanama standard untuk mengkategorikan hal-hal seperti kesalahan
dan disain sistemnya untuk meningkatkan keselamatan dalam
pabrikasi, pemesanan, pelabelan, penyiapan, administrasi dan
penggunaan obat.

Dalam relasi antara dokter sebagai penulis resep dan apoteker


sebagi penyedia obat (pelayanan tradisional farmasi), dokter dipercaya
terhadap hasil dari farmakoterapi. Dengan berubahnya situasi secara
cepat di sistem kesehatan, praktek asuhan kefarmasian diasumsikan
111
apoteker bertanggung jawab terhadap pasien dan masyarakat tidak
hanya menerima asumsi tersebut. Dengan demikian apoteker
bertanggung jawab langsung pada pasien tentang biaya, kualitas,
hasil pelayanan kefarmasian.

Dalam aplikasi praktek pelayanan kefarmasian untuk keselamatan


pasien terutama medication error adalah : menurunkan risiko dan
promosi penggunaan obat yang aman.

Berbagai metode pendekatan organisasi sebagai upaya


menurunkan medication error yang jika dipaparkan menurut urutan
dampak efektifitas terbesar adalah :

a. Mendorong fungsi dan pembatasan (forcing function & constraints)


suatu upaya mendesain sistem yang mendorong seseorang
melakukan hal yang baik, contoh : sediaan potasium klorida siap
pakai dalam konsentrasi 10% NaCl 0.9%, karena sediaan di pasar
dalam konsentrasi 20% (>10%) yang mengakibatkan fatal (henti
jantung dan nekrosis pada tempat injeksi)
b. Otomasi dan komputer (Computerized Prescribing Order Entry) :
membuat statis /robotisasi pekerjaan berulang yang sudah pasti
dengan dukungan teknologi, contoh : komputerisasi proses
penulisan resep oleh dokter diikuti dengan ”/tanda peringatan”
jika di luar standar (ada penanda otomatis ketika digoxin ditulis
0.5g)
c. Standard dan protokol, standarisasi prosedur : menetapkan
standar berdasarkan bukti ilmiah dan standarisasi prosedur
(menetapkan standar pelaporan insiden dengan prosedur baku).
Kontribusi apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi serta
pemenuhan sertifikasi/akreditasi pelayanan memegang peranan
penting.
d. Sistem daftar tilik dan cek ulang : alat kontrol berupa daftar tilik
dan penetapan cek ulang setiap langkah kritis dalam pelayanan.
Untuk mendukung efektifitas sistem ini diperlukan pemetaan
analisis titik kritis dalam sistem.
e. Peraturan dan Kebijakan : untuk mendukung keamanan proses
manajemen obat pasien. contoh : semua resep rawat inap harus
melalui supervisi apoteker
f. Pendidikan dan 112
Informasi : penyediaan informasi setiap saat
tentang obat, pengobatan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan
tentang prosedur untuk meningkatkan kompetensi dan
mendukung kesulitan pengambilan keputusan saat memerlukan
informasi
g. Lebih hati-hati dan waspada : membangun lingkungan kondusif
untuk mencegah kesalahan, contoh : baca sekali lagi nama pasien
sebelum menyerahkan.

C. PERAN APOTEKER DALAM MEWUJUDKAN KESELAMATAN PASIEN

Penggunaan obat rasional merupakan hal utama dari pelayanan


kefarmasian. Dalam mewujudkan pengobatan rasional, keselamatan
pasien menjadi masalah yang perlu di perhatikan. Dari data-data yang
termuat dalam bab terdahulu disebutkan sejumlah pasien mengalami
cedera atau mengalami insiden pada saat memperoleh layanan
kesehatan, khususnya terkait penggunaan obat yang dikenal dengan
medication error. Di rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan
lainnya, kejadian medication error dapat dicegah jika melibatkan
pelayanan farmasi klinik dari apoteker yang sudah terlatih.

Saat ini di negara-negara maju sudah ada apoteker dengan spesialisasi


khusus menangani medication safety.

Peran Apoteker pada Keselamatan Pengobatan (Medication Safety


Pharmacist) meliputi :

1) Mengelola laporan medication error

- Membuat kajian terhadap laporan insiden yang masuk


- Mencari akar permasalahan dari error yang terjadi

2) Mengidentifikasi pelaksanaan praktek profesi terbaik untuk


menjamin medication safety

- Menganalisis pelaksanaan praktek yang menyebabkan medication


error
- Mengambil langkah proaktif untuk pencegahan
- Memfasilitasi perubahan proses dan sistem untuk menurunkan
insiden yang sering terjadi atau berulangnya insiden sejenis

3) Mendidik staf dan edukasi


113 sosialisasi terhadap klinisi terkait, untuk
menggalakkan praktek pengobatan yang aman
- Mengembangkan program pendidikan untuk meningkatkan
medication safety dan kepatuhan terhadap aturan/SPO yang ada

4) Berpartisipasi dalam komite yang berhubungan dengan medication


safety

- Komite Keselamatan Pasien RS


- Dan komite terkait lainnya

5) Terlibat dalam pengembangan dan pengkajian kebijakan penggunaan


obat
6) Monitor kepatuhan terhadap standar pelaksanaan keselamatan
pasien yang ada

Peran apoteker dalam mewujudkan keselamatan pasien meliputi dua


aspek yaitu aspek manajemen dan aspek klinik. Aspek manajemen
meliputi pemilihan perbekalan farmasi, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan dan distribusi, alur pelayanan, sistem pengendalian
(misalnya memanfaatkan IT). Sedangkan aspek klinik meliputi skrining
permintaan obat (resep atau bebas), penyiapan obat dan obat khusus,
penyerahan dan pemberian informasi obat, konseling, monitoring dan
evaluasi. Kegiatan farmasi klinik sangat diperlukan terutama pada
pasien yang menerima pengobatan dengan risiko tinggi. Keterlibatan
apoteker dalam tim pelayanan kesehatan perlu didukung mengingat
keberadaannya melalui kegiatan farmasi klinik terbukti memiliki
konstribusi besar dalam menurunkan insiden/kesalahan.

Apoteker harus berperan di semua tahapan proses yang meliputi :

1) Pemilihan

Pada tahap pemilihan perbekalan farmasi, risiko insiden/error dapat


diturunkan dengan pengendalian jumlah item obat dan penggunaan
obat-obat sesuai formularium.

2) Pengadaan

Pengadaan harus menjamin ketersediaan obat yang aman efektif dan


sesuai peraturan114
yang berlaku (legalitas) dan diperoleh dari
distributor resmi.
3) Penyimpanan

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan untuk


menurunkan kesalahan pengambilan obat dan menjamin mutu obat :

- Simpan obat dengan nama, tampilan dan ucapan mirip (look-alike,


sound-alike medication names) secara terpisah dengan penandaan
LASA
- Obat-obat dengan peringatan khusus (high alert drugs) yang dapat
menimbulkan cedera jika terjadi kesalahan pengambilan, simpan
di tempat khusus dengan penandaan. Misalnya :

o menyimpan cairan elektrolit pekat seperti KCl inj, heparin,


warfarin, insulin, kemoterapi, narkotik opiat, neuromuscular
blocking agents, thrombolitik, dan agonis adrenergik.
o kelompok obat antidiabetes jangan disimpan tercampur dengan
obat lain secara alfabetis, tetapi tempatkan secara terpisah

- Simpan obat sesuai dengan persyaratan penyimpanan.

4) Skrining Resep

Apoteker dapat berperan nyata dalam pencegahan terjadinya


medication error melalui kolaborasi dengan dokter dan pasien.

- Identifikasi pasien minimal dengan dua identitas, misalnya nama


dan tanggal lahir/nomor rekam medik/ nomor resep,
- Apoteker tidak boleh membuat asumsi pada saat melakukan
interpretasi resep dokter. Untuk mengklarifikasi ketidaktepatan
atau ketidakjelasan resep, singkatan, hubungi dokter penulis
resep.
- Dapatkan informasi mengenai pasien sebagai petunjuk penting
dalam pengambilan keputusan pemberian obat, seperti :

o Data demografi (umur, berat badan, jenis kelamin) dan data


klinis (alergi, diagnosis dan hamil/menyusui). Contohnya,
Apoteker perlu mengetahui tinggi dan berat badan pasien yang
menerima 115
obat-obat dengan indeks terapi sempit untuk
keperluan perhitungan dosis.
o Hasil pemeriksaan pasien (fungsi organ, hasil laboratorium,
tanda-tanda vital dan parameter lainnya). Contohnya, Apoteker
harus mengetahui data laboratorium yang penting, terutama
untuk obat-obat yang memerlukan penyesuaian dosis dosis
(seperti pada penurunan fungsi ginjal).

- Apoteker harus membuat riwayat/catatan pengobatan pasien.


- Strategi lain untuk mencegah kesalahan obat dapat dilakukan
dengan penghentian otomatis (automatic stop order), sistem
komputerisasi (e-prescribing) dan pencatatan pengobatan pasien
seperti sudah disebutkan diatas.
- Permintaan obat secara lisan hanya dapat dilayani dalam keadaan
emergensi dan itupun harus dilakukan konfirmasi ulang untuk
memastikan obat yang diminta benar, dengan mengeja nama obat
serta memastikan dosisnya. Informasi obat yang penting harus
diberikan kepada petugas yang meminta/menerima obat tersebut.
Petugas yang menerima permintaan harus menulis dengan jelas
instruksi lisan setelah mendapat konfirmasi.

5) Dispensing

- Peracikan obat dilakukan dengan tepat sesuai dengan SPO.


- Pemberian etiket yang tepat. Etiket harus dibaca minimum tiga
kali : pada saat pengambilan obat dari rak, pada saat mengambil
obat dari wadah, pada saat mengembalikan obat ke rak.
- Dilakukan pemeriksaan ulang oleh orang berbeda (assembly line
process)
- Pemeriksaan meliputi kelengkapan permintaan, ketepatan etiket,
aturan pakai, pemeriksaan kesesuaian resep terhadap obat,
kesesuaian resep terhadap isi etiket.

6) Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)

Edukasi dan konseling kepada pasien harus diberikan mengenai hal-


hal yang penting tentang obat dan pengobatannya.

Hal-hal yang harus diinformasikan dan didiskusikan pada pasien


116
adalah :
- Pemahaman yang jelas mengenai indikasi penggunaan dan
bagaimana menggunakan obat dengan benar, harapan setelah
menggunakan obat, lama pengobatan, kapan kembali ke dokter
- Peringatan yang berkaitan dengan proses pengobatan
- Potensi kejadian Tidak Diharapkan (KTD), interaksi obat dengan
obat lain dan makanan harus dijelaskan kepada pasien
- Reaksi obat yang tidak diinginkan (Adverse Drug Reaction – ADR)
yang mengakibatkan cedera pasien, pasien harus mendapat
edukasi mengenai bagaimana cara mengatasi kemungkinan
terjadinya ADR tersebut
- Penyimpanan dan penanganan obat di rumah termasuk mengenali
obat yang sudah rusak atau kadaluarsa. Ketika melakukan
konseling kepada pasien, apoteker mempunyai kesempatan untuk
menemukan potensi kesalahan yang terlewatkan pada proses
sebelumnya.

7) Penggunaan Obat

Apoteker harus berperan dalam proses penggunaan obat oleh pasien


rawat inap di rumah sakit dan sarana pelayanaan kesehatan lainnya,
bekerja sama dengan petugas kesehatan lain.
Hal yang perlu diperhatikan adalah prinsip 5 (Lima) Benar :

 Benar pasien
 Benar obat
 Benar dosis
 Benar waktu pemberian
 Benar cara (rute) pemberian

8) Monitoring dan Evaluasi

Apoteker harus melakukan monitoring dan evaluasi untuk


mengetahui efek terapi, mewaspadai efek samping obat, memastikan
kepatuhan pasien. Hasil monitoring dan evaluasi didokumentasikan
dan ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan dan mencegah
pengulangan kesalahan.
117 ada di tempat pelayanan kefarmasian harus
Seluruh personel yang
terlibat didalam program keselamatan pasien khususnya medication
safety dan harus secara terus menerus mengidentifikasi masalah dan
mengimplementasikan strategi untuk meningkatkan keselamatan
pasien.

Faktor-faktor lain yang berkonstribusi pada medication error antara


lain :

a) Komunikasi (mis-komunikasi, kegagalan dalam berkomunikasi)

Kegagalan dalam berkomunikasi merupakan sumber utama


terjadinya kesalahan. Institusi pelayanan kesehatan harus
menghilangkan hambatan komunikasi antar petugas kesehatan
dan membuat SOP bagaimana resep/permintaan obat dan
informasi obat lainnya dikomunikasikan.
Komunikasi baik antar apoteker maupun dengan petugas
kesehatan lainnya perlu dilakukan dengan jelas untuk
menghindari penafsiran ganda atau ketidak lengkapan informasi
dengan berbicara perlahan dan jelas. Perlu dibuat daftar singkatan
dan penulisan dosis yang berisiko menimbulkan kesalahan untuk
diwaspadai

b) Kondisi lingkungan

Untuk menghindari kesalahan yang berkaitan dengan kondisi


lingkungan, area dispensing harus didesain dengan tepat dan
sesuai dengan alur kerja, untuk menurunkan kelelahan dengan
pencahayaan yang cukup dan temperatur yang nyaman. Selain itu
area kerja harus bersih dan teratur untuk mencegah terjadinya
kesalahan. Obat untuk setiap pasien perlu disiapkan dalam
nampan terpisah.

- Gangguan/interupsi pada saat bekerja

Gangguan/interupsi harus diminimalisir seminimum mungkin


dengan mengurangi interupsi baik langsung maupun melalui
telepon.

- Beban kerja

118
Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup penting untuk
mengurangi stres dan beban kerja berlebihan sehingga dapat
menurunkan kesalahan.
- Meskipun edukasi staf merupakan cara yang tidak cukup kuat
dalam menurunkan insiden/kesalahan, tetapi mereka dapat
memainkan peran penting ketika dilibatkan dalam sistem
menurunkan insiden/kesalahan.

Apoteker di rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan lainnya


dapat menerapkan 7 (Tujuh) Langkah Menuju Keselamatan Pasien Pada
Pelayanan Kefarmasian yang mengacu pada buku Panduan Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety):

1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien

Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil.

- Adanya kebijakan Instalasi Farmasi RS/Sarana Pelayanan


Kesehatan lainnya tentang Keselamatan Pasien yang meliputi
kejadian yang tidak diharapkan (KTD), kejadian nyaris cedera
(KNC), Kejadian Sentinel, dan langkah-langkah yang harus
dilakukan oleh apoteker dan tenaga farmasi, pasien dan keluarga
jika terjadi insiden.
- Buat, sosialisasikan dan terapkan SPO sebagai tindak lanjut setiap
kebijakan
- Buat buku catatan tentang KTD, KNC dan Kejadian Sentinel
kemudian laporkan ke atasan langsung

2. Pimpin dan Dukung Staf Anda

Bangun komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang


keselamatan pasien di tempat pelayanan (depo farmasi, unit logistik,
unit farmasi klinik dan PIO)

- Adanya suatu tim di Instalasi Farmasi/Apotek yang bertanggung


jawab terhadap keselamatan pasien
- Tunjuk staf Instalasi Farmasi yang bisa menjadi penggerak dan
mampu mensosialisasikan program (leader)
- Adakan pelatihan untuk staf dan pastikan pelatihan ini diikuti
oleh seluruh staf dan tempatkan staf sesuai kompetensi. Staf
119
farmasi harus mendapat edukasi tentang kebijakan dan SPO yang
berkaitan dengan proses dispensing yang akurat, mengenai nama
dan bentuk obat-obat yang membingungkan, obat-obat
formularium/non formularium, obat-obat yang ditanggung
asuransi/non-asuransi, obat-obat baru dan obat-obat yang
memerlukan perhatian khusus. Disamping itu petugas farmasi
harus mewaspadai dan mencegah medication error yang dapat
terjadi.
- Tumbuhkan budaya tidak menyalahkan (no blaming culture) agar
staf berani melaporkan setiap insiden yang terjadi

3. Integrasikan Aktivitas Pengelolaan Risiko

Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko serta lakukan


identifikasi dan asesmen hal yang bisa menyebabkan masalah.

- Buat kajian setiap adanya laporan KTD, KNC dan Kejadian


Sentinel
- Buat solusi dari insiden tersebut supaya tidak berulang dengan
mengevaluasi SPO yang ada atau mengembangkan SPO jika perlu

4. Kembangkan Sistem Pelaporan

- Pastikan semua staf Instalasi Farmasi dengan mudah dapat


melaporkan insiden kepada atasan langsung tanpa rasa takut
- Beri penghargaan pada staf yang melaporkan

5. Libatkan dan Komunikasi Dengan Pasien

Kembangkan cara komunikasi yang terbuka dan mendengarkan


pasien

- Pastikan setiap penyerahan obat diikuti dengan pemberian


Informasi yang jelas dan tepat
- Dorong pasien untuk berani bertanya dan mendiskusikan dengan
apoteker tentang obat yang diterima
- Lakukan komunikasi kepada pasien dan keluarga bila ada insiden
serta berikan solusi tentang insiden yang dilaporkan

6. Belajar dan Berbagi 120


Pengalaman Tentang Keselamatan Pasien

Dorong staf untuk melakukan analisis penyebab masalah


- Lakukan kajian insiden dan sampaikan kepada staf lainnya untuk
menghindari berulangnya insiden

7. Cegah KTD, KNC dan Kejadian Sentinel dengan cara :

- Gunakan informasi dengan benar dan jelas yang diperoleh dari


sistem pelaporan, asesmen risiko, kajian insiden dan audit serta
analisis untuk menentukan solusi
- Buat solusi yang mencakup penjabaran ulang sistem (re-design
system), penyesuaian SPO yang menjamin keselamatan pasien
- Sosialisasikan solusi kepada seluruh staf Instalasi Farmasi.

D. TATA LAKSANA KESELAMATAN PASIEN

1. Pelaporan Insiden Dan Prosedur Pelaporan Insiden

Di Indonesia data tentang Kejadian Tidak Diharapkan (KTD),


Kejadian Nyaris Cedera (KNC) dan Kejadian Sentinel masih sangat
langka. Setiap kegiatan pelayanan kefarmasian baik di rumah sakit
maupun di komunitas diharapkan melakukan pencatatan dan
pelaporan semua kejadian terkait dengan keselamatan pasien
meliputi KTD, KNC, dan Kejadian Sentinel. Pelaporan di rumah sakit
dilakukan sesuai dengan Panduan Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (Patient Safety) dan Pedoman Pelaporan Insiden
Keselamatan Pasien (IKP) yang dikeluarkan oleh Komite Keselamatan
Pasien Rumah Sakit - Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
(PERSI). Kejadian terkait dengan keselamatan pasien dalam
pelayanan farmasi komunitas di Indonesia belum mempunyai
panduan pelaporan, sehingga kegiatan yang dilakukan adalah
pencatatan untuk monitoring dan evaluasi. Tujuan dilakukan
pelaporan Insiden Keselamatan Pasien adalah untuk menurunkan
Insiden Keselamatan Pasien yang terkait dengan KTD, KNC dan
Kejadian Sentinel serta meningkatkan mutu pelayanan dan
keselamatan pasien.

Sistem pelaporan mengharuskan semua orang dalam organisasi


untuk peduli terhadap bahaya/potensi bahaya yang dapat terjadi
121
pada pasien. Pelaporan juga penting digunakan untuk memonitor
upaya pencegahan terjadinya kesalahan sehingga diharapkan dapat
mendorong dilakukannya investigasi lebih lanjut. Pelaporan akan
menjadi awal proses pembelajaran untuk mencegah kejadian yang
sama terulang kembali. Setiap kejadian dilaporkan kepada Tim
Keselamatan Pasien Rumah Sakit menggunakan formulir yang sudah
disediakan di rumah sakit untuk diinvestigasi.

Prosedur pelaporan insiden, sebagai berikut :

- Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah terjadi,


potensial terjadi ataupun yang nyaris terjadi.
- Laporan insiden dapat dibuat oleh siapa saja atau staf farmasi
yang pertama kali menemukan kejadian atau terlibat dalam
kejadian.
- Pelaporan dilakukan dengan mengisi “Formulir Laporan Insiden”
yang bersifat rahasia

2. Alur Pelaporan Insiden Ke Tim Keselamatan Pasien (KP) Di RS


(Internal)

a) Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD/Kejadian Sentinel) terkait


dengan pelayanan kefarmasian, wajib segera ditindaklanjuti
(dicegah/ditangani) untuk mengurangi dampak/ akibat yang tidak
diharapkan.
b) Setelah ditindaklanjuti, segera buat laporan insidennya dengan
mengisi Formulir Laporan Insiden pada akhir jam kerja/shift
kepada Apoteker penanggung jawab, jangan menunda laporan
(paling lambat 2 x 24 jam)
c) Laporan segera diserahkan kepada Apoteker penanggung jawab
d) Apoteker penanggung jawab memeriksa laporan dan melakukan
grading risiko terhadap insiden yang dilaporkan.
e) Hasil grading akan menentukan bentuk investigasi dan analisis
yang akan dilakukan :

- Grade biru : Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung


jawab, waktu maksimal 1 minggu
- Grade hijau : Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung
jawab, waktu maksimal 2 minggu
- Grade kuning : Investigasi komprehensif/Root Cause Analysis
122
(RCA) oleh Tim KP di RS, waktu maksimal 45 hari
- Grade merah : Investigasi komprehensif/Root Cause Analysis
(RCA) oleh Tim KP di RS, waktu maksimal 45 hari

f) Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil


investigasi dan laporan insiden dilaporkan ke Tim KP di RS.
g) Tim KP di RS akan menganalis kembali hasil investigasi dan
Laporan insiden untuk menentukan apakah perlu dilakukan
investigasi lanjutan Root Cause Analysis (RCA) dengan melakukan
Regrading Untuk Grade kuning/merah, Tim KP di RS akan
melakukan Root Cause Analysis (RCA)
h) Setelah melakukan Root Cause Analysis (RCA), Tim KP di RS akan
membuat laporan dan Rekomendasi untuk perbaikan serta
“pembelajaran” berupa : Petunjuk/Safety alert untuk mencegah
kejadian yang sama terulang.
i) Hasil Root Cause Analysis (RCA), rekomendasi dan rencana kerja
dilaporkan kepada Direksi
j) Rekomendasi untuk “Perbaikan dan Pembelajaran” diberikan
umpan balik kepada instalasi farmasi.
k) Apoteker penanggung jawab akan membuat analisis dan tren
kejadian di satuan kerjanya
l) Monitoring dan Evaluasi Perbaikan oleh Tim KP di RS.Analisa
Matriks Grading Risiko

Penilaian matriks risiko bertujuan untuk menentukan derajat risiko


suatu insiden berdasarkan dampak dan probabilitasnya.

a. Dampak

Penilaian dampak adalah seberapa berat akibat yang dialami


pasien mulai dari tidak ada cedera sampai meninggal, seperti tabel
berikut.

Tabel 4. Penilaian Dampak Klinis/Konsekuensi/Severity


Tingkat
Deskripsi Dampak
resiko
1 Tidak Tidak ada cedera
signifikan
2 Minor - Cedera ringan mis. Luka lecet
- Dapat diatasi dengan pertolongan
123 pertama
3 Moderat - Cedera sedang mis. Luka robek
- Berkurangnya fungsi motorik/sensorik/
psikologis atau intelektual (reversibel),
tak berhubungan dengan penyakit
- Setiap kasus yang memperpanjang
waktu perawatan
4 Mayor - Cedera luas/berat mis. cacat, lumpuh
- Kehilangan fungsi motorik / sensorik/
psikologis atau intelektual (irreversibel),
tidak berhubungan dengan penyakit
5 Katastropik Kematian yang tidak berhubungan dengan
perjalanan penyakit
(Sumber : Pedoman Pelaporan IKP PERSI)

b. Probabilitas
Penilaian tingkat probabilitas adalah seberapa seringnya insiden
tersebut terjadi, seperti tabel berikut.
Tabel 5. Penilaian Probabilitas/Frekuensi
Tingkat
Deskripsi
Resiko
1 Sangat jarang / Rare (>5 thn/kali)
2 Jarang / Unlikely (2-5 thn/kali)
3 Mungkin / Possible (1-2 thn/kali)
4 Sering / Likely (beberapa kali/thn)
Sangat sering / Almost certain (tiap
5
minggu/bulan)
(Sumber : Pedoman Pelaporan IKP PERSI)

Setelah nilai dampak dan probabilitas diketahui, masukkan dalam


Tabel Matriks Grading Risiko untuk menghitung skor risiko dan
mencari warna bands risiko.
2.1. Skor Risiko
Untuk menentukan skor risiko, digunakan matriks grading risiko
seperti tabel berikut.
- Tetapkan frekuensi pada kolom kiri
- Tetapkan dampak pada baris ke arah kanan
- Tetapkan warna bands, berdasarkan pertemuan frekuensi dan
dampak
Tabel 6. Matriks Grading Risiko

Tidak
Minor Moderat Mayor Katastropik
Probabilitas signifikan
2 3 4 5
1
Sangat sering
terjadi
(tiap Moderat Moderat Tinggi Ekstrem Ekstrem
minggu/bulan)
5
Sering terjadi
(beberapa
Moderat
124 Moderat Tinggi Ekstrem Ekstrem
kali/thn)
4
Mungkin Rendah Moderat Tinggi Ekstrem Ekstrem
terjadi
(1-2 thn/kali)
3
Jarang terjadi
(2-5 thn/kali) Rendah Rendah Moderat Tinggi Ekstrem
2
Sangat jarang
terjadi
Rendah Rendah Moderat Tinggi Ekstrem
(> 5 thn/kali)
1
(Sumber : Pedoman Pelaporan IKP PERSI)

Skor risiko akan menentukan prioritas risiko. Jika pada penilaian


risiko ditemukan dua insiden dengan hasil skor risiko yang
nilainya sama, maka untuk memilih prioritasnya, dapat
menggunakan warna bands risiko.
Skala prioritas bands risiko adalah :
o Bands Biru : Rendah / Low
o Bands Hijau : Sedang / Moderat
o Bands Kuning : Tinggi / High
o Bands Merah : Sangat Tinggi / Ekstreme
2.2. Bands Risiko
Bands risiko adalah derajat risiko yang digambarkan dalam empat
warna yaitu : Biru, Hijau, Kuning dan Merah, dimana warna akan
menentukan investigasi yang akan dilakukan.
- Bands Biru dan Hijau : Investigasi sederhana
- Bands Kuning dan Merah : Investigasi Komprehensif / RCA

Tabel 7. Tindakan sesuai Tingkat dan Bands risiko

Levels/Bands Tindakan
Ekstrim (sangat Risiko ekstrim, dilakukan RCA paling lama 45
tinggi) hari
Membutuhkan tindakan segera, perhatian
sampai ke Direktur
High (tinggi) Risiko tinggi, dilakukan RCA paling lama 45
hari
Kaji dengan detil & perlu tindakan segera serta
membutuhkan perhatian top manajemen
Moderat (sedang) Risiko sedang, dilakukan investigasi sederhana
paling lama
2 minggu.
Manajer/Pimpinan klinis sebaiknya menilai
dampak terhadap biaya dan kelola risiko
Low (rendah) Risiko rendah, dilakukan investigasi sederhana,
125 paling lama 1 minggu, diselesaikan dengan
prosedur rutin.
(Sumber : Pedoman Pelaporan IKP PERSI)
3. Peran Apoteker Dalam Penyusunan Laporan

Idealnya setiap KTD/KNC/Kejadian Sentinel yang terkait dengan


penggunaan obat harus dikaji terlebih dahulu oleh apoteker yang
berpengalaman sebelum diserahkan kepada Tim Keselamatan Pasien
Rumah Sakit. Tujuan pengkajian untuk memastikan bahwa laporan
tersebut sudah sesuai, nama obat yang dilaporkan benar, dan
memasukkan dalam kategori insiden yang benar.

Kategori kesalahan dalam pemberian obat adalah :

- Pasien mengalami reaksi alergi

- Kontraindikasi

- Obat kadaluwarsa

- Bentuk sediaan yang salah

- Frekuensi pemberian yang salah

- Label obat salah / tidak ada / tidak jelas

- Informasi obat kepada pasien yang salah / tidak jelas

- Obat diberikan pada pasien yang salah

- Cara menyiapkan (meracik) obat yang salah

- Jumlah obat yang tidak sesuai ADR ( jika digunakan berulang )

- Rute pemberian yang salah

- Cara penyimpanan yang salah

- Penjelasan petunjuk penggunaan kepada pasien yang salah

5. Permasalahan Dalam Pencatatan dan Pelaporan

Yang bertangggungjawab dalam pencatatan laporan adalah :

- Staf IFRS/Sarana Pelayanan Kesehatan Lainnya yang pertama


menemukan kejadian atau supervisornya

- Staf IFRS/ Sarana Pelayanan Kesehatan Lainnya yang terlibat


dengan kejadian atau supervisornya

- Staf IFRS/ Sarana Pelayanan Kesehatan Lainnya yang perlu


126
melaporkan kejadian

Masalah yang dihadapi dalam pencatatan dan pelaporan kejadian :


- Laporan dipersepsikan sebagai ”pekerjaan perawat”

- Laporan sering tidak diuraikan secara rinci karena takut


disalahkan

- Laporan terlambat

- Laporan kurang lengkap (cara mengisi form salah, data kurang


lengkap)

Hal-hal yang perlu dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan :

a. JANGAN melaporkan insiden lebih dari 24 jam

b. JANGAN menunda laporan insiden dengan alasan belum


ditindaklanjuti atau ditandatangani

c. JANGAN menambah catatan medis pasien bila telah tercatat


dalam laporan insiden

d. JANGAN meletakan laporan insiden sebagai bagian dari rekam


medik

e. JANGAN membuat salinan laporan insiden untuk alasan apapun

f. CATATLAH keadaan yang tidak diantisipasi

Hambatan dalam pencatatan dan pelaporan :

- Pandangan bahwa kesalahan adalah suatu kegagalan dan


kesalahan dibebankan pada satu orang saja.

- Takut disalahkan karena dengan melaporkan KTD, KNC, dan


Kejadian sentinel akan membeberkan keburukan dari personal
atau tim yang ada dalam rumah sakit/sarana pelayanan
kesehatan lain.

- Terkena risiko tuntutan hukum terhadap kesalahan yang dibuat.

- Laporan disebarluaskan untuk tujuan yang merugikan

- Pelaporan tidak memberi manfaat langsung kepada pelapor

- Kurangnya sumber daya manusia

- Kurang jelas batasan apa dan kapan pelaporan harus dibuat

- Sulitnya membuat
127laporan dan menghabiskan waktu

6. Dokumentasi
Semua laporan yang telah dibuat, didokumentasikan di Instalasi
Farmasi/ sarana pelayanan kesehatan lain untuk bahan monitoring,
evaluasi dan tindak lanjut.

1. Monitoring dan Evaluasi

Sebagai tindak lanjut terhadap Program Keselamatan Pasien,


Apoteker perlu melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi di unit
kerjanya secara berkala. Monitoring merupakan kegiatan
pemantauan terhadap pelaksanaan pelayanan kefarmasian terkait
Program Keselamatan Pasien. Evaluasi merupakan proses penilaian
kinerja pelayanan kefarmasian terkait Program Keselamatan Pasien.

Tujuan dilakukan monitoring dan evaluasi agar pelayanan


kefarmasian yang dilakukan sesuai dengan kaidah keselamatan
pasien dan mencegah terjadinya kejadian yang tidak diinginkan dan
berulang dimasa yang akan datang.

Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap :

- Sumber daya manusia (SDM)

- Pengelolaan perbekalan farmasi (seleksi, perencanaan, pengadaan,


penerimaan, penyimpanan dan distribusi/penggunaan)

- Pelayanan farmasi klinik (pengkajian resep, penyerahan obat,


pemberian informasi obat, konseling obat, rekonstitusi obat
kanker, iv.admixture, total parenteral nutrition, therapeutic drug
monitoring)

- Laporan yang didokumentasikan.

Dari hasil monitoring dan evaluasi dilakukan intervensi berupa


rekomendasi dan tindak lanjut terhadap hal-hal yang perlu diperbaiki
seperti perbaikan kebijakan, prosedur, peningkatan kinerja SDM,
sarana dan prasarana ataupun organisasi. Hasil dari rekomendasi
dan tindak lanjut ini harus diumpan balikkan ke semua pihak yang
terkait dengan program keselamatan pasien rumah sakit.

Untuk mengukur keberhasilan program kegiatan yang telah


ditetapkandiperlukan indikator, suatu alat/tolok ukur yang
128
menunjuk pada ukuran kepatuhan terhadap prosedur yang telah
ditetapkan.
Indikator keberhasilan program dapat dilihat dari :

a) Menurunnya angka kejadian tidak diinginkan (KTD), kejadian


nyaris cedera (KNC) dan kejadian sentinel.

b) Menurunnya KTD, KNC dan Kejadian Sentinel yang berulang.

BAB VII
KESELAMATAN KERJA

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan suatu upaya


untuk menekan dan mengurangi resiko kecelakaan dan penyakit akibat
kerja yang pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan antara keselamatan
dan kesehatan. Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berkaitan
alat kerja, bahan, dan proses pengolahannya, tempat kerja dan
lingkungannya serta cara melakukan pekerjaan. Resiko keselamatan
kerja adalah besarnya kemungkinan yang dimiliki oleh suatu bahan,
proses atau kondisi untuk menimbulkan terjadinya insiden, injury,
129
terhentinya proses dan kerusakan alat.
Tujuan umum kesehatan keselamatan kerja adalah meningkatnya
kemampuan hidup sehat masyarakat pekerja di rumah sakit guna
mencapai derajat kesehatan yang optimal dalam rangka meningkatkan
SDM untuk meningkatkan produktivitas kerja.

Tujuan khusus kesehatan keselamatan kerja adalah :

a. Terbentuk dan terbukanya unit organisasi pembina dan pelaksana K3


di rumah sakit melalui kerja sama lintas program dan lintas unit atau
instansi.
b. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kerja paripurna untuk
masyarakat pekerja rumah sakit.
c. Terpenuhinya syarat-syarat K3 di berbagai jenis pekerjaan di rumah
sakit.
d. Meningkatnya kemampuan masyarakat pekerja di rumah sakit dalam
menolong diri sendiri dari ancaman gangguan dan resiko K3
e. Meningkatnya profesionalisme di bidang K3 bagi para pembina,
pelaksana, penggerak, dan pendukung program K3 dirumah sakit
f. Terlaksananya sistem informasi K3 dan jaringan pelayanan kesehatan
kerja di rumah sakit.

Keselamatan kerja sangat dipengaruhi oleh :

a. Karakteristik pekerjaan
o kompleksitas pekerjaan
o lamanya kegiatan dilakukan
o level kegiatan
b. Pengorganisasian dan managemen perusahaan
c. Bahan dan alat yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan
d. Karakteristik manusia yang melaksanakan kegiatan

Upaya keselamatan kerja :

a. Kontak dengan bahan korosif harus ditiadakan atau ditukar sekecil


mungkin
b. Semua wadah, pipa, peralatan, instalasi, dan bangunan yang
dipergunakan harus tahan terhadap korosi dengan suatu pelapis
bahan yang tahan kotor.
Pemberian label dan tanda harus dilakukan kebersihannya dan data
130
kerja yang baik harus diselenggarakan.
c. Ventilasi umum dan setempat harus memadai
d. Bahan korosif, apabila bersentuhan dengan bahan organik akan
menimbulkan kebakaran dan penanggulangan kebakaran harus
diadakan dengan sebaik baiknya
e. Setiap proses produksi baru yang menghasilkan produk yang bersifat
korosif agar dilakukan pencegahan yang tepat
f. Pencegahan kontak dengan bahan korosif, tenaga kerja dapat
menggunakan alat proteksi diri secara lengkap terdiri dari pakaian
keseluruhan pelindung kaki, tangan, dan lengan, kepala, mata, dan
muka.
g. Kontak ringan dengan krim pelindung
h. Keseluruhan tenaga kerja harus memperoleh perjalanan yang cukup
dan terlatih dalam menghadapi resiko.
i. Untuk pertolongan pertama, air untuk mandi, cuci, dan air untuk
membersihkan mata perlu disediakan, dan penggunaan air untuk
penetral sebaiknya tidak digunakan.

131
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

Pengendalian Mutu adalah mekanisme kegiatan pemantauan dan


penilaian terhadap pelayanan yang diberikan, secara terencana dan
sistematis, sehingga dapat diidentifikasi peluang untuk peningkatan mutu
serta menyediakan mekanisme tindakan yang diambil. Melalui
pengendalian mutu diharapkan dapat terbentuk proses peningkatan mutu
Pelayanan Kefarmasian yang berkesinambungan.

Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang


dapat dilakukan terhadap kegiatan yang sedang berjalan maupun yang
sudah berlalu.Kegiatan ini dapat dilakukan melalui monitoring dan
evaluasi. Tujuan kegiatan ini untuk menjamin Pelayanan Kefarmasian yang
sudah dilaksanakan sesuai dengan rencana dan upaya perbaikan kegiatan
yang akan datang. Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian harus
terintegrasi dengan program pengendalian mutu pelayanan kesehatan
Rumah Sakit yang dilaksanakan secara berkesinambungan.

Kegiatan pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian meliputi:

a. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan


evaluasi untuk peningkatan mutu sesuai target yang ditetapkan.

b. Pelaksanaan, yaitu:

1. Monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana kerja


(membandingkan antara capaian dengan rencana kerja);

2. Memberikan umpan balik terhadap hasil capaian.

c. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu:

1. Melakukan perbaikan kualitas pelayanan sesuai target yang


ditetapkan;

2. Meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan.

Tahapan program pengendalian mutu:


132
a. Mendefinisikan kualitas Pelayanan Kefarmasian yang diinginkan dalam
bentuk kriteria;
b. Penilaian kualitas Pelayanan Kefarmasian yang sedang berjalan
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan;

c. Pendidikan personel dan peningkatan fasilitas pelayanan bila


diperlukan;

d. Penilaian ulang kualitas Pelayanan Kefarmasian;

e. Up date kriteria.

Langkah–langkah dalam aplikasi program pengendalian mutu, meliputi:

a. Memilih subyek dari program;

b. Tentukan jenis Pelayanan Kefarmasian yang akan dipilih berdasarkan


prioritas;

c. Mendefinisikan kriteria suatu Pelayanan Kefarmasian sesuai dengan


kualitas pelayanan yang diinginkan;

d. Mensosialisasikan kriteria Pelayanan Kefarmasian yang dikehendaki;

e. Dilakukan sebelum program dimulai dan disosialisasikan pada semua


personil serta menjalin konsensus dan komitmen bersama untuk
mencapainya;

f. Melakukan evaluasi terhadap mutu pelayanan yang sedang berjalan


menggunakan kriteria;

g. Apabila ditemukan kekurangan memastikan penyebab dari kekurangan


tersebut;

h. Merencanakan formula untuk menghilangkan kekurangan;

i. Mengimplementasikan formula yang telah direncanakan;

j. Reevaluasi dari mutu pelayanan.

Untuk mengukur pencapaian standar yang telah ditetapkan diperlukan


indikator, suatu alat/tolok ukur yang hasil menunjuk pada ukuran
kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan. Indikator dibedakan
menjadi:

a. Indikator persyaratan minimal yaitu indikator yang digunakan untuk


mengukur terpenuhi tidaknya standar masukan, proses, dan
lingkungan.
133
b. Indikator penampilan minimal yaitu indikator yang ditetapkan untuk
mengukur tercapai tidaknya standar penampilan minimal pelayanan
yang diselenggarakan.

Indikator atau kriteria yang baik sebagai berikut:

a. Sesuai dengan tujuan;


b. Informasinya mudah didapat;
c. Singkat, jelas, lengkap dan tak menimbulkan berbagai interpretasi;
d. Rasional.

Dalam pelaksanaan pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian


dilakukan melalui kegiatan monitoring dan evaluasi yang harus dapat
dilaksanakan oleh Instalasi Farmasi sendiri atau dilakukan oleh tim audit
internal.

Monitoring dan evaluasi merupakan suatu pengamatan dan penilaian


secara terencana, sistematis dan terorganisir sebagai umpan balik
perbaikan sistem dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan. Monitoring
dan evaluasi harus dilaksanakan terhadap seluruh proses tata kelola
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai
ketentuan yang berlaku.

Berdasarkan waktu pelaksanaan evaluasi, dibagi menjadi 3 (tiga) jenis


program evaluasi, yaitu:

a. Prospektif adalah program dijalankan sebelum pelayanan dilaksanakan,


contoh: standar prosedur operasional, dan pedoman.

b. Konkuren adalah program dijalankan bersamaan dengan pelayanan


dilaksanakan, contoh: memantau kegiatan konseling Apoteker,
peracikan Resep oleh Asisten Apoteker.

c. Retrospektif adalah program pengendalian yang dijalankan setelah


pelayanan dilaksanakan, contoh: survei konsumen, laporan mutasi
barang, audit internal.

Evaluasi Mutu Pelayanan merupakan proses pengukuran, penilaian


atas semua kegiatan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit secara
berkala. Kualitas pelayanan meliputi: teknis pelayanan, proses pelayanan,
tata cara/standar prosedur operasional, waktu tunggu untuk mendapatkan
pelayanan. 134
Metoda evaluasi yang digunakan, terdiri dari:

a. Audit (pengawasan)

Dilakukan terhadap proses hasil kegiatan apakah sudah sesuai standar.

b. Review (penilaian)

Terhadap pelayanan yang telah diberikan, penggunaan sumber daya,


penulisan Resep.

c. Survei

Untuk mengukur kepuasan pasien, dilakukan dengan angket atau


wawancara langsung.

d. Observasi

Terhadap kecepatan pelayanan misalnya lama antrian, ketepatan


penyerahan Obat.

Pengendalian Mutu adalah mekanisme kegiatan pemantauan dan


penilaian terhadap pelayanan yang diberikan, secara terencana dan
sistematis, sehingga dapat diidentifikasi peluang untuk peningkatan
mutu serta menyediakan mekanisme tindakan yang diambil. Melalui
pengendalian mutu diharapkan dapat terbentuk proses peningkatan
mutu Pelayanan Kefarmasian yang berkesinambungan.

Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang


dapat dilakukan terhadap kegiatan yang sedang berjalan maupun yang
sudah berlalu. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui monitoring dan
evaluasi. Tujuan kegiatan ini untuk menjamin Pelayanan Kefarmasian
yang sudah dilaksanakan sesuai dengan rencana dan upaya perbaikan
kegiatan yang akan datang. Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian
harus terintegrasi dengan program pengendalian mutu pelayanan
kesehatan Rumah Sakit yang dilaksanakan secara berkesinambungan.

Kegiatan pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian meliputi :

a. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan


evaluasi untuk peningkatan mutu sesuai target yang ditetapkan.
b. Pelaksanaan, yaitu :
135
- melaksanakan monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan
rencana kerja (membandingkan antara capaian dengan rencana
kerja);
- memberikan umpan balik terhadap hasil capaian.
c. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu :
- melakukan perbaikan kualitas pelayanan sesuai target yang
ditetapkan;
- meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan.

Tahapan program pengendalian mutu

a. Mendefinisikan kualitas Pelayanan Kefarmasian dalam bentuk


kriteria;
b. Penilaian kualitas Pelayanan Kefarmasian yang sedang berjalan
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan;
c. Pendidikan personel dan peningkatan fasilitas pelayanan bila
diperlukan;
d. Penilaian ulang kualitas Pelayanan Kefarmasian;
e. Up date kriteria.

Langkah–langkah dalam aplikasi program pengendalian mutu, meliputi :

a. memilih subyek dari program


b. tentukan jenis Pelayanan Kefarmasian yang akan dipilih berdasarkan
prioritas;
c. mendefinisikan kriteria suatu Pelayanan Kefarmasian sesuai dengan
kualitas pelayanan yang diinginkan;
d. mensosialisasikan kriteria Pelayanan Kefarmasian yang dikehendaki;
e. dilakukan sebelum program dimulai dan disosialisasikan pada semua
personil serta menjalin konsensus dan komitmen bersama untuk
mencapainya;
f. melakukan evaluasi terhadap mutu pelayanan yang sedang berjalan
menggunakan kriteria;
g. apabila ditemukan kekurangan memastikan penyebab dari
kekurangan tersebut;
h. merencanakan formula untuk menghilangkan kekurangan;
i. mengimplementasikan formula yang telah direncanakan;
j. re-evaluasi dari mutu pelayanan
Untuk mengukur pencapaian standar yang telah ditetapkan
diperlukan indikator, suatu alat/tolok ukur yang hasil menunjuk pada
ukuran kepatuhan terhadap
136 standar yang telah ditetapkan.
Dalam pelaksanaan pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian
dilakukan melalui kegiatan monitoring dan evaluasi yang harus dapat
dilaksanakan oleh Instalasi Farmasi sendiri atau dilakukan oleh tim
audit internal.
Monitoring dan evaluasi merupakan suatu pengamatan dan penilaian
secara terencana, sistematis dan terorganisir sebagai umpan balik
perbaikan sistem dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan.
Monitoring dan evaluasi harus dilaksanakan terhadap seluruh proses
tata kelola Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai sesuai ketentuan yang berlaku.

A. MONITORING MUTU

Salah satu upaya untuk mempertahankan mutu pengelolaan


perbekalan farmasi di RSUD Tidar adalah melakukan monitoring dan
evaluasi (monev) mutu. Kegiatan ini bermanfaat sebagai masukan
penyusunan perencanaan dan pengambilan keputusan. Monitoring
mutu berupa pengukuran indikator mutu instalasi farmasi yang sudah
ditetapkan.

B. PENGENDALIAN MUTU

Mutu perbekalan farmasi yang rendah dapat mempengaruhi mutu


pelayanan kesehatan, diantaranya dapat menyebabkan rendahnya efek
terapi/ efek terapi sub standar dan dapat menimbulkan efek samping
maupun efek toksik obat. Kedua hal tersebut dapat berpengaruh
terhadap keselamatan penderita serta pemborosan sumber daya.

Pengelolaan sediaan farmasi, alkes dan BMHP yang efisien di RSUD


Tidar akan dapat meningkatkan ketersediaan obat dengan mutu yang
memadai sebagai bentuk penghematan. Apoteker di IFRS mempunyai
peran penting dalam menjamin mutu obat yang baik serta pengelolaan
perbekalan farmasi yang efektif.

Tujuan dalam pengendalian mutu perbekalan farmasi adalah untuk


menjamin mutu obat yang ada di rumah sakit sesuai dengan standar
yang berlaku. 137

Ada beberapa kegiatan pengendalian mutu yang dapat dilakukan oleh


Instalasi Farmasi RSUD Tidar antara lain :
a. Pengendalian Secara Organoleptis

Mutu obat yang disimpan di gudang dapat mengalami perubahan


baik karena faktor fisik maupun kimiawi. Perubahan mutu obat
dapat diamati secara visual dan jika dari pengamatan visual diduga
ada kerusakan yang tidak dapat ditetapkan dengan cara organoleptis,
maka harus dilakukan sampling untuk pengujian laboratorium.

Program pengendalian mutu obat secara organoleptis tidak


membutuhkan beaya dan dapat dilakukan secara periodik oleh IFRS.

1. Tanda-tanda perubahan mutu obat :

a. Tablet

- Terjadinya perubahan warna, bau dan rasa

- Kerusakan berupa noda, berbintik-bintik, berlubang, pecah,


retak, terdapat benda asing, jadi bubuk atau lembab

- Kaleng atau botol rusak, sehingga dapat mempengaruhi


mutu obat

b. Kapsul

- Perubahan warna kapsul

- Kapsul terbuka, kosong rusak atau cangkang kapsul


melekat

c. Tablet salut

- Pecah-pecah, terjadi perubahan warna

- Basah dan lengket satu sama lain

- Kaleng/botol rusak sehingga menimbulkan kelainan fisik

d. Cairan

- Menjadi keruh dan terjadi endapan

- Konsistensi berubah

- Warna atau rasa berubah

- Botol-botol plastik rusak atau bocor

e. Salep
138
- Warna berubah

- Konsistensi berubah
- Pot atau tube rusak

- Bau berubah

f. Injeksi

- Kebocoran wadah (ampul, vial)

- Terdapat partikel asing pada serbuk injeksi

- Larutan yang seharusnya jernih tampak keruh atau ada


endapan

- Warna larutan berubah

Tindak lanjut terhadap obat yang terbukti rusak adalah :

o Dikumpulkan dan disimpan terpisah

o Dikembalikan/diklaim sesuai aturan yang berlaku

o Dihapuskan sesuai aturan yang berlaku

2. Pengamatan mutu untuk alat-alat kesehatan :

Beberapa aspek yang dapat dijadikan dasar pengamatan mutu alat


kesehatan antara lain :

- Masa kadaluarsa, diperhatikan apakah masa kadaluarsanya


sudah terlampaui atau belum. Jika sudah lewat masa
kadaluarsa jangan mengambil resiko untuk menggunakannya.

- Waktu produksi, dicermati kapan produksi alkes tersebut


apakah melebihi waktu kadaluarsa atau belum.

- Kemasan, jika kemasan rusak sekalipun masa kadaluarsanya


belum terlampaui sebaiknya jangan digunakan.

- Penampilan fisik, kondisi penampilan fisik yang nampak masih


sama dengan produk alkes baru dapat dijadikan pertimbangan
apakah produk alkes masih dapat digunakan.

- Dapat dilakukan konsultasi dengan user.

b. Pengendalian Secara Laboratoris

Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari pengendalian mutu obat


dengan cara organoleptis. Terdapat 2 (dua) hal yang perlu mendapat
139
perhatian dalam pelaksanaan kegiatan ini adalah :
- kriteria perbekalan farmasi yang perlu diuji merupakan sediaan
farmasi steril yang diproduksi di rumah sakit, atau produk yang
diragukan mutunya.

- mekanisme pengujian dapat dilakukan oleh laboratorium


kesehatan, Balai Besar POM, Sucofindo, Fakultas Farmasi, dan
laboratorium yang telah terakreditasi, jika hasil pengujian masih
meragukan.

- hal-hal yang perlu diuji secara : kualitatif, kuantitatif, sterilitas,


efektifitas.

Pengendalian mutu obat secara laboratoris ini belum dilakukan oleh


IFRS Tidar karena belum adanya sarana, prasarana, fasilitas dan
anggaran pengujian untuk itu.

140
BAB IX
PENUTUP

Adanya penetapan Pedoman Pelayanan Instalasi Farmasi di RSUD


Tidar ini, diharapkan sistem pelayanan kesehatan khususnya pelayanan
kefarmasian di rumah sakit akan menjadi lebih baik dan dapat
menjamin keselamatan pasien (patient safety). Apoteker yang bekerja di
Rumah Sakit dituntut untuk merealisasikan perluasan paradigma
pelayanan kefarmasian dari orientasi produk menjadi orientasi pasien.
Sehingga dalam rangka mencapai keberhasilan pelaksanaan Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit diperlukan komunikasi efektif, komitmen,
kerjasama dan koordinasi yang lebih baik antara tenaga kefarmasian
dengan profesional pemberi asuhan (PPA), manajemen, dan pihak terkait
dalam rangka pelayanan kesehatan paripurna di rumah sakit.

Dengan demikian, diharapkan pada akhirnya pelayanan kefarmasian


dan penggunaan obat di RSUD Tidar akan dirasakan langsung
manfaatnya oleh pasien/masyarakat yang pada gilirannya dapat
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan RSUD Tidar.

141
DAFTAR PUSTAKA

Undang Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


Undang Undang RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 72 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2017 tentang
Keselamatan Pasien;
Peraturan Kepala Badan POM Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengawasan
Pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, dan prekursor
farmasi di fasilitas pelayanan kefarmasian.

142

Anda mungkin juga menyukai