ProsidingTOILengkap1 PDF
ProsidingTOILengkap1 PDF
ProsidingTOILengkap1 PDF
Editor :
Dr. Emrizal, M.Si, Apt
Haiyul Fadhli, M.Si, Apt
Diterbitkan oleh :
ISBN : 978-602-50854-0-6
Penanggung jawab :
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau
(Prof. Dr. Bustari Hasan, M.Sc)
Reviewer :
Dr. Meiriza Djohari, M.Kes, Apt
Seftika Sari, M.Ph, Apt
Rahayu Utami, M.Sc, Apt
Musyirna Rahmah Nst, M.Si
Yuli Haryani, M.Sc, Apt
Dr. Yuana Nurlita, M.Si
Septi Muharni, M.Farm, Apt
Editor :
Dr. Emrizal, M.Si, Apt
Haiyul Fadhli, M.Si, Apt
Penyunting :
Seksi Penerbitan, Naskah dan Dokumentasi
Penerbit :
Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau
Jl. Kamboja Simpang Baru Pekanbaru
Telp. (0761) 588007
Fax. (0761) 588006
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL POKJANAS
TUMBUHAN OBAT INDONESIA KE-52
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU, 12-13 APRIL 2017
Topik :
Etnomedisin dan Etnofarmakologi
Budidaya dan Pelestarian Tanaman Obat
Teknologi Panen, Kontrol Kualitas dan Pemasaran Produk Herbal
Biologi Molekuler dan Bioteknologi Tanaman Obat
Fitokimia Tanaman Obat
Kajian Farmakologi dan Klinik Tanaman Obat dan Obat Tradisonal
Kajian Farmasi Klinis dan Komunitas
Teknologi Farmasi Bahan Alam
supported by :
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur kita sampaikan setinggi-tingginya kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, atas
rahmat-Nya Seminar Nasional Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia (POKJANAS
TOI) ke 52 tahun 2017 telah dilaksanakan di Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau. Seminar yang
bertema “Penggalian, Pelestarian, dan Pemanfaatan Berkelanjutan Tumbuhan Obat Indonesia: Kajian
Tumbuhan Pulai Basung (Alstonia Spatula) dan Gandarusa (Justicia Gendarussa)” ini, menghasilkan
buku kumpulan abstrak dan Proceeding dari seluruh makalah yang dipresentasikan.
Seminar POKJANAS TOI dilaksanakan secara periodik untuk mengkomunikasikan hasil-
hasil penelitian terkait penggalian, pengembangan, pembudidayaan dan pemanfaatan tanaman
obatInd onesia sehingga kekayaan alam di Indonesia khususnya Riau dapat dimanfaatkan dengan
benar. Seminar nasional dengan sub tema “Pemanfaatan Potensi Tumbuhan Indonesia Sebagai
Kandidat Obat Antidiabetes” ini diikuti oleh peneliti, mahasiswa S1, mahasiswa S2, mahasiswa S3,
dan praktisi. Seminar pemanfaatan tumbuhan obat tersebut memerlukan kajian guna melahirkan
paradigma yang berorientasi pada berfikir kritis, kreatif, kemanusiaan, kemajuan, kemandirian,
efektif dan efisien yang akan mendukung lahirnya sesuatu yang dapat dimanfaatkan dalam dunia
kesehatan.
Seminar Nasional POKJANAS Tumbuhan Obat Indonesia ke 52 tahun 2017 yang
diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau telah mewadahi ide, temuan, maupun solusi
dari berbagai hasil penelitian dalam bentuk buku kumpulan abstrak dan proceeding. Panitia berharap,
proceeding ini dapat menjadi instrument komunikasi ilmiah (science communication instrument) bagi
penulis, peneliti, dan pembaca.
Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kami sampaikan kepada Bapak
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau, Sekjen Pokjanas TOI, para pemateri, penyaji dan
pemakalah, penyunting serta redaksi pelaksana yang telah bekerja keras hingga proceeding ini dapat
diterbitkan, serta kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu semoga semua
semua kebaikan yang telah diberikan menjadi amal sholeh yang akan mendapat balasan kebaikan
yang berlimpah dari-Nya. Akhirnya, semoga proceeding ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan
apabila ada ketidak sempurnaannya, maka panitia berharap diberikannya saran dan masukan
untukperbaikan di masa mendatang.
Wassalamualaikum, Wr.Wb
Panitia
i
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
SEKAPUR SIRIH
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamualaikum Wr. Wb
Selamat pagi para pemakalah, peserta, dan undangan Puji syukur kehadirat Allah SWT,
karena pada hari ini Rabu, 12 April 2017 Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau dapat menyelenggarakan
Seminar Nasional Pokjanas Tanaman Obat Indonesia dengan tema “Penggalian, Pelestarian, dan
Pemanfaatan Berkelanjutan Tumbuhan Obat Indonesia: Kajian Tumbuhan Pulai Basung (Alstonia
spatulata) dan Gandarusa (Justicia gendarussa)”. Seminar ini merupakan seminar Pokjanas TOI yang
ke-52, namun seminar nasional periode pertama yang diadakan Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau
dan insyaallah akan berlanjut pada periode dan tahun berikutnya. Tujuan penyelenggaraan seminar
ini memberikan kesempatan kepada para pendidik, peneliti, pengamat kesehatan untuk
menyampaikan hasil penelitian dan atau studi literatur.
Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau menyampaikan terima kasih kepada keynote speaker yaitu
dr. Siswanto, MHP.DTM; Prof. Dr. Nor Hadiani Ismail; Dr. Hilwan Yuda Teruna, M.Si, Apt; Prof.
Dr. Bambang Prajogo, M.S, Apt; Prof. Dr. Adek Zamrud Adnan, Apt; Puji Iswari, S.Hut M.Si; dr.
Jazil Karimi, Sp.PD, KEMD dan para pemakalah yang berasal dari seluruh penjuru tanah air yang
telah berkenan memberikan sharing pengetahuan dan memberikan wawasan pengetahuan.
Penyelenggaraan seminar ini diharapkan memberikaan manfaat pada pengembangan ilmu
pengetahuan dan pendidikan dunia farmasi sehingga dapat berperan aktif dalam pengembangan ilmu
tersebut. Perkembangan ilmu farmasi yang berkualitas dengan di ikuti perkembangan pendidikan
farmasi sangat diharapkan oleh masyarakat baik secara keilmuwan maupun dalam kehidupan praktis.
Semoga seminar ini bermanfaat bagi semua pihak dan dapat mengembangkan pendidikan di
Indonesia.
Wassalamualaikum, Wr.Wb
Pekanbaru, April 2017
Ketua STIFAR
ii
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
SAMBUTAN
KETUA KELOMPOK KERJA NASIONAL TUMBUHAN OBAT
INDONESIA
DI SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
Assalamua’laikum Wr.Wb.
Salam sejahtera bagi kita semua
Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji syukur Alhamdulillah, atas segala rahmat dan
kuasaNya kita masih dapat bertemu untuk menghadiri Seminar Nasional Tumbuhan Obat yang ke-52
di Kampus Sekolah Tinggi Farmasi, di kota Pakanbaru. .
iii
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Saya percaya dari tanaman pule basung dan gendarusa, masih banyak potensi yang perlu digali
dan dikaji, seminar POKJANAS TOI tidak menutup juga atas eksplorasi tanaman obat lain, selain
yang telah ditetapkan.
Pada kesempatan ini, ijin menyampaikan terima kasih yang sebesar besarnya kepada panitia
penyelenggara yang telah mewujudkan Seminar Nasional ini. Terima kasih kepada peserta seminar
atas partisipasi aktifnya untuk menymbangkan hasil penelitian yang dipresentasikan. Mengingat
bahwa bahasan penelitian dalam setiap seminar POKJANAS TOI adalah dari sisi hulu hingga hilir,
maka di ajang inilah kita dapat bertemu dengan peneliti dari berbagai bidang ilmu yaitu farmasi,
biologi, kimia pertanian, kedokteran peminat tanaman obat.
Akhirnya kepada para peserta kami ucapkan selamat mengikuti seminar, semoga acara ini dapat
memberikan sumbangan pemanfaatan tumbuhan obat di Indonesia. Wahana Seminar POKJANAS
TOI yang telah kita lakukan selama 25 tahun ini hendaknya dapat memberikan masukkan kepada
kebijakan pemerintah atau menambah perolehan paten bagi negara kita.
Billahi taufik wal hidayah, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
iv
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
DAFTAR ISI
Uji Antibakteri Metabolit Sekunder Ekstrak Metanol Sarang Ratu Anai-Anai Macrotermes gilvus
Hagen
Yohannes Alen,Fitri Afnilia, Evi Guslianti, Vivi Ramadani, Mutia Oktami, Molinda Damris, Rezki
Amelia, Delisa Putri & Rustini .................................................................................................. 62
The Effect of Combination Infusion of Pimpinella pruatjan Molken, Centella asiatica and Curcuma
xanthorrhiza Against Male Rats Libido
1Nuning Rahmawati, Galuh Ratnawati and Yuli Widiyastuti ..................................................... 68
Profil KLT Fraksi Etil Asetat Metabolit Sekunder Isolat Jamur Aspergillus flavus dengan
Penambahan Tanah Sarang Ratu Termite Macrotermes gilvus Hagen., Pada Media SDA
Yohannes Alen, Rezki Amelia, Oktafiana Ambarrahmi, Evi Guslianti, Novi Bakri, Delisa Putri,
Molinda Damris, Vivi Ramadani, Mutia Oktami dan Akmal Djamaan ...................................... 74
Profil Fitokimia Dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Katemas (Euphorbia heterophylla L.)
Rahmiwati Hilma, Devid Rahmat Arafat, Haiyul Fadhli, M.Almurdani ..................................... 81
Penetapan Dan Identifikasi Fraksi Aktif Penghambat Enzim 92 ɑ-Glukosidase Dari Ekstrak Etanol
96% Daun Yakon(Smallanthus sonchifolius (Poepp.) H. Robinson)
Ratna Djamil, Zuhelmi Aziz, Jennifer Virginia.......................................................................... 92
Parameter Fisikokimia Dan Penetapan Kadar Scopoletin Pada Ekstrak Etanol 70 % Buah Mengkudu
(Morinda citrifolia L.) dengan Perbandingan Daerah Tempat Tumbuh
Rini Prastiwi, Siska, Nurul Oktavia ........................................................................................... 97
Uji Penghambatan α-Glukosidase Secara In-Vitro dari Campuran Ekstrak Etanol 70% Daun Iler
(Plectranthus scutellarioides L.) dan Biji Adas (Foeniculum vulgare Mill.)
Risma Marisi Tambunan, Greesty Finotory Swandiny, Eviyanti .............................................. 107
Kandungan Flavonoid Total Kulit Batang Beberapa Famili Sterculiaceae; Faloak (Sterculia
quadrifida R.Br.) Pterigota (Pterygota alata (Roxb.) R. Br.) dan Nitas (Sterculia foetida L.)
Siswadi, dan Grace S. Saragih ................................................................................................. 112
Skrining Antibakteri Ekstrak Metanol dari Kulit Batang Tristaniopsis merguensis Griff
Yohannes Alen, Vivi Ramadani, Mutia Oktami, Molinda Damris, Rezki Amelia, Delisa Putri, Evi
Guslianti, Deddi Prima Putra ................................................................................................... 119
Uji Aktivitas Fraksi Etilasetate Ektrak Metanol Aspergilus niger, Simbiotik Sarang Ratu Termite
Macrotermes gilvus Hagen., Dengan Pengayaan Media SDA
Yohannes Alen, Evi Guslianti, Mutia Oktami, Vivi Ramadani, Rezki Amelia, Delisa Putri, Molinda
Damris & Netty Suharti ........................................................................................................... 129
Pembuatan Filem Plastik Campuran Polistiren dengan Poli Caprolakton serta Uji Penguraiannya
dalam Tanah dan Lumpur
Melzi Octaviani, Akmal Djamaan, Erizal Zaini ....................................................................... 139
Riset Profil Kromatogram/Fingerprint Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Secara High
Performance Thin Layer Chromatography (HPTLC)
Sri Astuti , Tina Wikara, Sri Murhandini, Arustiyono .............................................................. 147
vi
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Analisis Komparasi Pengetahuan Tumbuhan Obat Pada Tiga Etnis Dominan Di Kabupaten
Bengkalis, Provinsi Riau
Fitmawati, Wulandari dan Nery Sofiyanti................................................................................ 153
Etnofarmakologi dan Potensi Tegakan Strychnos Lucida R.Br Di Pulau Timor, NTT
Grace S. Saragih dan Siswadi .................................................................................................. 161
Uji Antibakteri Fraksi Etil Asetat Kulit Batang Tumbuhan Endemik Bangka
Tristaniopsis merguensis Griff., (Pelawan Merah) Terhadap Vibrio cholera Inaba
Yohannes Alen Mutia Oktami, Vivi Ramadani,Evi guslianti, Molinda Damris, Delisa Putri, Rezki
Amelia dan Netty Suharti ........................................................................................................ 168
Pertumbuhan Dan Produksi 3 Aksesi Artemisia annua Pada 3 Ketinggian Tempat Tumbuh
Yuli Widiyastuti, Dyah Subositi dan Sari Haryanti .................................................................. 176
Efek Seduhan Formula Jamu Penurun Asam Urat Darah Terhadap Fungsi Hati
Agus Triyono, PR Widhi Astana ............................................................................................. 185
Model Analisis Terapi Jamu sebagai Komplementer terhadap Perbaikan Keluhan pada Pasien
Diabetes Mellitus Tipe II
Danang Ardiyanto, Saryanto, Tofan Aries Mana, Tyas Friska Dewi ........................................ 191
Gambaran Pemberian Jamu untuk Keluhan Insomnia di Rumah Riset Jamu “Hortus Medicus”
Enggar Wijayanti, Tofan Aries Mana, Ulfatun Nisa, Ulfa Fitriani ........................................... 197
Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Insulin Dan Kombinasi Insulin-Metformin Pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 RSI Ibnu Sina Pekanbaru
Fina Aryani, Wahyuni Satrianis, Nyimas Farastika Harsyah, Tiara Sri Sudarsih ...................... 202
Efek Kombinasi Ramuan Jamu Antihipertensi dan Antikolesterolemia Terhadap Kualitas Hidup
Pasien Rumah Riset Jamu Hortus Medicus
Widhi Astana, Agus Triyono ................................................................................................... 209
Efek Pemberian Ekstrak Bawang Merah (Allium ascalonicum) Terhadap Otot Polos Ileum-Terpisah
Marmut (Cavia porcellus) Yang Di Induksi Histamin
Arief Adi Saputro, Muhammad Fadhol Romdhoni .................................................................. 214
Pengaruh Pemberian Ramuan Jamu Alergi Terhadap Fungsi Hati
Fajar Novianto, Ulfatun Nisa, Zuraida Zulkarnaen .................................................................. 224
Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Gendola Merah (Basella alba L.) Terhadap Kadar Kreatinin dan
Ureum Tikus Putih Jantan Diabetes
Agustina Marcedes, Yusriadi, Ayu Wulandari ......................................................................... 229
Uji Efek Antidiabetes Ekstrak Etanol Daun Sukun (Artocarpus altilis (Parkinson Ex F.A.Zorn)
Fosberg) pada Tikus Putih Jantan Hiperkolesterolemia-Diabetes
Ayu Martina, Dermiati T, Moh Rizky...................................................................................... 238
Uji Antibakteri Freeze Drying Ratu Rayap Macrotermes gilvus Hagen
Yohannes Alen*, Delisa Putri, Molinda Damris, Stefany Faula R.P, Marhani Dwithania, Vivi
Ramadani, Evi Guslianti, Mutia Oktami, Rezki Ameliadan Netty Suharti. ............................... 246
vii
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Pengaruh Ekstrak Daun Kersen (Muntingia calabura l) Terhadap Lama Penyembuhan Luka Pada
Mencit (Mus muscullus) Diabetes
Hasan Bukhori, Dimas Pramita Nugraha ................................................................................. 253
Uji Efek Nefroterapi Ekstrak Etanol Daun Kersen Terhadap Kadar Kreatinin dan Ureum Tikus Jantan
yang Diinduksi Etilen Glikol
Joni Tandi, Inggrit Anggli S L, Niluh Puspita D ...................................................................... 262
Uji Prebiotik Dari Tiga Varietas Jamur (Jamur Merang (Volvariella volvacea), Jamur Grigit
(Schizophyllum commune), dan Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)) yang Ada di Provinsi Riau
Terhadap Bakteri “Lactobacillus casei”
Hasmalina Nasution, Elvika Ramayanti, Musyirna Rahmah .................................................... 270
Aktivitas Diuretik Dan Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Akar Kuning (Fibraurea chloroleuca
Miers) Pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar
Mauritz P.M, Yandi Mardiansah, Witri Wulandari ................................................................. 277
Studi In Silico Senyawa Analog Kalkon Turunan 2’-Metoksi Asetofenon dan 3’-Metoksi Asetofenon
Sebagai Antidiabetes
Neni Frimayanti, Adel Zamri, Besse Wahdatillah .................................................................... 286
Riset Sitotoksik Ekstrak Daun Sirsak(Annona muricata L) Pada Sel Vero dan AML 12
Tuty Erlina Mardja, Fitria Rahmi, Eka Rusmawati, Rina Adriany, Murtiningsih,Arustiyono ... 292
Regulasi Efek Hipoglikemik Ekstrak Daun Gaharu (Aquilaria malaccensis) Pada Tikus Wistar Jantan
model Hiperglikemik
Muhammad Totong Kamaluddin, Yeni Agustin, Fauziah ........................................................ 298
Kajian Farmakologi Tanaman Obat Sebagai Antidiabetes
Maratu Soleha ......................................................................................................................... 310
Kajian Praklinik Serta Potensi Freeze Drying Ratu Rayap Macrotermes gilvus Hagen., Sebagai
Kandidat Obat Herbal Dalam Sediaan Kapsul
Yohannes Alen ,Molinda Damris, Delisa Putri, Evi Guslianti, Mutia Oktami, Rezki Amelia, Vivi
Ramadani dan Almahdy A. ..................................................................................................... 319
Efektivitas Kombinasi Ekstrak Etanol Daun Andrographis Paniculata Dan Vernonia Amygdalina
Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Postprandial Tikus Diabetes
Nyayu Fitriani, Kamalia Layal, Kamila ................................................................................... 329
Ekstrak Daun Annona muricata L. Menurunkan Ekspresi Protein NRas pada Tikus Terinduksi
Dimetilbenzen (a)Antracena (DMBA)
Rosa Adelina, Putri Reno Intan dan Intan Sari Oktoberia ........................................................ 335
Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Herba Putri Malu (Mimosa pudica Linn.) pada Fungsi Hati dan
Ginjal Tikus Putih Galur Wistar
Sri Adi Sumiwi, Ellin Febrina, Linesh Kumar Segar,............................................................... 345
Mikroenkapsulasi Minyak Kayu Manis (Cinnamomum burmanii) Dengan Penyalut Kitosan
Dolih Gozali, Petrus Topaga, Nasrul Wathoni ......................................................................... 353
viii
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Uji Larvasida Ekstrak n-heksan Daun Zodia (Evodia suaveolens Scheff.) Terhadap Dua Vektor Larva
Nyamuk Aedes albopictus dan Culex spp
Ema Dewanti, Rini Prastiwi, Ummu Syarifah, Dede Lusianah ................................................. 362
Pengaruh Konsentrasi Lesitin terhadap Ukuran dan Stabilitas Etosom Ekstrak Daun Jeruk Purut
(Citrus hystrix D.C)
Thariq Kawirian, Dahlia Permatasari, Siti Jazimah Iswarin ..................................................... 368
Formulasi Sediaan Gel Antioksidan Dari Ekstrak Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)
Fahleni , Pipih Sopiah ............................................................................................................. 377
Preparasi Dan Karakterisasi Nanopartikel Ekstrak Rumput Laut Coklat (Sargassum polycystum)
Berbasis Kitosan – Natrium Tripolifosfat Sebagai Antioksidan
Kartiningsih, Rike Yulianingtyas Nauri Putri .......................................................................... 383
Penetapan Kadar Antosianin Ekstrak Etanol Dari Berbagai Varietas Ubi Jalar (Ipomoea batatas L)
Secara Spektrofotometri Visibel
Armon Fernando dan Kristina Tambunan ................................................................................ 390
Penghambatan Progresivitas Chronic Renal Failure Menggunakan Jamu Di Rumah Riset Jamu
Tawangmangu : A Case Report
Ulfatun Nisa, Zuraida Zulkarnain, dan Fajar Novianto ............................................................ 395
ix
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
x
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
xi
Metabolit Sekunder dari Alstonia spatulata Blume (Apocynaceae) dan
Kajian Potensi Aktivitasnya
Hilwan Yuda Teruna1*, Rudi Hendra1, Kamal Rullah2 dan Haiyul Fadhli2
1
Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Riau, Pekanbaru 28293, Indonesia
2Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau, Pekanbaru 28293, Indonesia
*Email korespondensi: [email protected]
ABSTRAK
Alstonia spatulata merupakan salah satu spesies dari genus Alstonia yang umum terdapat di pesisir timur Sumatera. Di Riau tumbuhan ini disebut pulai
basung dan di semanjung Malaysia dinamakan pulai paya. Dari tumbuhan ini telah dilaporkan metabolit sekunder yang pada umumnya ditemukan
berbagai jenis alkaloid indol dan juga beberapa tirterpen. Isolasi alkaloid tumbuhan ini adalah dengan metode ekstraksi asam-basa dari ekstrak metanol
atau etanol. Sedangkan triterpen diisolasi dari ekstrak atau fraksi n-heksana. Pemurnian senyawa ini umumnya dengan teknik kromatografi. Elusidasi
struktur dari metabolit sekunder dengan metode spektroskopi UV-vis, IR, MS/HR-MS dan NMR. Dari berbagai laporan telah diketahui 28 jenis alkaloid
indol dan 3 triterpen. Pemanfaatan tumbuhan ini secara traditional lebih ditentukan kedua golongan metabolit tersebut. Metabolit sekunder dan aktivitas
biologisnya akan didiskusikan lebih lanjut
ABSTRACT
Alstonia spatulata is a species of genus Alstonia in which commonly found in east coast of Sumatra. In Riau province this plant is called pulai basung,
while in Malayan Peninsular it is call pulai paya. Some secondary metabolites have been reported from this plants, including indole alkaloids and
triterpenes. Isolation of the alkaloids from the methanolic or ethanolic extracts was by acid-base extraction method. Meanwhile the triterpenes were
isolated from n-hexane extracts. Purification of the metabolites were done by chromatographic methods. Structure of isolated compounds were
elucidated by spectroscopy methods, including UV-vis, IR, MS/HR-MS and NMR. There were 28 indole alkaloids and 3 triterpenes reported from this
plant. The traditional usage of this plant depend of these groups of compounds. The secondary metabolites and their biological activities will be
discussed further.
ABSTRAK
Dari informasi etnomedisin (1985) diketahui Justicia gendarussa Burm.f (Acanthaceae) sebagai antifertilitas pria di pedalaman Papua. Dalam upaya
untuk membuktikan penggunaan empiris sejak saat itu dengan tanpa data informasi ilmiah mulai dilakukan berbagai studi atau penelitian ekperimental.
Penelitian dilakukan secara paralel meliputi aspek : farmakognosi, fitokimia, farmakologi, toksisitas, budidaya, bioaktivitas preklinik dan klinik,
formulasi dan proto type sediaan (skala pilot).
Autentika J.gendarussa sangat diperlukan diawal sebelum melangkah penelitian lebih lanjut. Isolat gendarusin A (6,8-di-C-α-L-arabinopiranosil-4’,5,7-
trihidroksi-flavon) ditetapkan sebagai senyawa marker pada kajian kualitas, keamanan dan manfaat dari calon produk fitofarmaka. Ekstrak etanol
terfraksinasi daun J.gendarussa menunjukkan hambatan aktivitas enzim hyaluronidase spermatozoa yang menyebabkan hambatan fertilisasi pada
mekanisme kontrasepsi pria. Hasil uji klinik fase I, tidak menunjukan efek yang merugikan sedang pada fase II memberikan keberhasilan 100% (tidak
ada kehamilan). Data keberhasilan 99,7% terjadi pada fase III dengan disain single blind dan multicenter.
Dukungan fasilitas sangat dibutuhkan, sehingga banyak melibatkan kolaberasi riset nasional dan internasional serta bersifat multidisiplin. Data yang
diperoleh belum tentu sekaligus bisa digunakan untuk pengajuan ijin edar kecuali bila sepenuhnya telah mengikuti aturan cara uji klinik yang baik.
Peran industri tidak nampak pada permulaan penelitian meskipun ada potensi kuat nilai komersial dan baru terlibat setelah ada hasil yang menjanjikan.
Efisensi dan efektifitas penelitian yang berprospek untuk kemanfaatan bagi masyarakat perlu ada skema keterlibatan industri sejak awal, sehingga dapat
mensinergikan rencana-rencana implementasi ke depan. Untuk menuju produk yang ideal tetap dijalankan sehingga penelitian tidak pernah berhenti
disamping ada sebagaian yang sudah dihilirisasi dan dilengkapi adanya perlindungan hak kekayaan intelektual.
PENDAHULUAN
Dewasa ini, di Indonesia sedang digalakkan program Keluarga Berencana (KB) untuk mencapai keluarga yang
sejahtera dan sehat. Berdasarkan dari data yang diperoleh pada tahun 2011, sebanyak 642.342 wanita telah mengikuti
program KB tersebut. Hanya 40.096 pria yang telah mengikuti program KB, atau sebesar 8,79% bila dibandingkan
dengan wanita yang mengikuti program KB. Data ini menunjukkan rendahnya partisipasi pria dalam program KB ini.
Terbatasnya pilihan metode kontrasepsi pada pria, serta ketakutan akan efek samping yang ditimbulkan merupakan salah
satu alasan rendahnya partisipasi pria dalam programKB (BKKBN, 2011).
Secara etnomedisin, tanaman Justicia gendarussa Burm.f. telah digunakan oleh sebagian masyarakat di Papua
sebagai antifertilitas pria dan merupakan salah satu tanaman yang banyak ditemukan di beberapa wilayah Indonesia
(Moeso & Agoes,1985). Mekanisme utamanya adalah hambatan enzim hialuronidase spermatozoa yangbersifat inhibitor
kompetitif dan reversibel. Aktivitas hambatan enzim hialuronidase tersebut terutama disebabkan oleh kandungan
senyawa glikosida flavonoid.
Pebagai upaya untuk membuktikan khasiat tersebut, telah dilakukan penelitian dasar sampai dengan rencana
penerapan pada masyarakat. produk fitofarmaka sebagai target capaian, sehingga dukungan penelitian yang
komprehensif dengan mengikuti aturan yang ditetapkan oleh bpom sebagai konsekuensi bila ditujukan untuk perolehan
ijin edar.
Potensi tanaman obat indonesia sebenarnya sangat menjanjikan untuk penemuan obat baru, hal ini didukung dengan
keanekaragaman hayati Indonesia, antara lain :
- 15,3% diantaranya terdapat di Indonesia
- Dalam hal tanaman, Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Afrika Selatan
- 30.000 jenis termasuk tanaman berbunga
- 7.000 jenis termasuk tanaman obat
- 940 jenis telah diidentifikasi mempunyai khasiat pengobatan
2
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Masih banyak potensi kekayaan yang perlu dieksplorasi dan dieksploitasi untuk kepentingan kesehatan,
kesejahteraan disamping untuk kemandirian bahan baku obat. Adapun koleksi tanaman obat dapat dilakukan dalam
beberapa cara, antara lain melalui pendekatan : etnomedisin, kemotaksonomi dan skrining acak.
PENGGUNAAN TRADISIONAL
Daun tanaman J.gendarussa pada umumnya digunakan sebagai obat penawar racun. Dalam bentuk ramuan
tradisional, daun-daun ditumbuk bersama cuka dan merica digunakan untuk sakit kepala akibat pilek dan dengan kapur
sirih dan merica untuk encok (rheumatik). Daun gandarusa, adas pulasari dan kapur yang digiling hingga menjadi bubur,
digunakan sebagai obat gosok jika merasa sakit atau pegal pada tulang-tulang dan pinggang (Heyne, 1987).
Bagi orang Melayu, daun gandarusa terkenal sebagai obat encok dan sakit pinggang, daun yang ditumbuk bersama
merica putih digunakan sebagai obat yang memperlancar datang bulan. Air rebusan daun gandarusa dapat mengeluarkan
keringat dan mencegah demam. Di Sulawesi daunnya digunakan sebagai obat cuci perut. (Heyne, 1987).
3
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
KLASIFIKASI TANAMAN
Suku : Acanthaceae
Marga : Justicia
Jenis : Justicia gendarussa Burm.f
Sinonim : Justicia dahona (Buch) Ham
J. vulgaris Lour
J. salicina Vahl
J. nigricans (Wiart, 2002)
Gendarusa vulgaris Nees (Banson, 1968; Backer and Van Dan
Brink,1965).
Jenis lain : J. petrocalis Jacq J. ghiebreghtiana J. secunda
J. neesii J. glauca
J. extensa J. insularis
J. procumbens J. hayati
AUTENTIKA TANAMAN
Tanaman perdu, tegak, tinggi lebih kurang 1,8 meter Batang berkayu, segi empat, bercabang, beruas, berwarna
cokelat keunguan. Daun tunggal oposita, bentuk lanset ujung dan pangkal runcing (acutus), panjang 3-6,2 cm, lebar 1,5-
3,5 cm, bertulang menyirip, warna ungu. Bunga majemuk, bentuk malai, panjang 3-12 cm, mahkota bentuk tabung,
berbibir dua, berwarna ungu. Buah bentuk gada, berbiji empat, licin, masih muda berwarna hijau setelah tua hitam. Daun
tunggal oposita, tangkai (0.5 – 2 cm), helai daun bentuk lanset panjang, warna hijau tua. Beringgit tapi tidak dalam, ujung
dan pangkal daun runcing (acutus), tulang daun warna ungu.
EFEK FARMAKOLOGIS
Berdasarkan studi aktifitas gandarusa diketahui infusa daun dapat menurunkan kadar testosteron dan mempengaruhi
spermatogenesis tikus (Prajogo dkk., 1994; Yugo dan Lukman, 1998), Ekstrak diklorometana dan metanol menurunkan
motilitas, viabilitas spermatozoa kelinci, mencit (Ani dkk., 1997) dan manusia in vitro (Reny dkk., 1997) serta
menurunkan daya dispersi cumulus oofurus manusia in vitro (Sri dkk., 1997). Selain itu, dilaporkan pula ekstrak metanol
menghambat penetrasi spermatozoa mencit, menurunkan aktivitas akrosin dan α-glukosidase kelinci (Prajogo dkk., 1998)
dan LD50 adalah 180mg / kb.BB mencit po. dan termasuk kategori praktis tidak toksik (Prajogo dkk., 1999).
Uji aktivitas enzim hialuronidase menunjukkan bahwa ekstrak etanol 60 % dan fraksi air daun J. gendarussa dapat
menghambat aktivitas enzim hialuronidase dari testis sapi secara in vitro. Penurunan aktivitas enzim hialuronidase setelah
pemberian fraksi air daun J. gendarussa melebihi ekstrak etanol. Tipe hambatan ekstrak etanol dan fraksi air daun J.
gendarussa sama dengan karakteristik kompetitif reversible (Prajogo, 2014).
Ekstrak etanol-60% daun J. gendarussa dengan konsentrasi 15294,34 µg/ml dapat menghambat 50 % aktivitas
enzim hialuronidase testis manusia in vitro. Tipe hambatan ekstrak etanol dan fraksi air daun J. gendarussa sama dengan
karakteristik kompetitif reversibel (Nisa, 2005).
4
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Deteksi reseptor radikal bebas Diphenil Pikril Hidrozil (DPPH) daun J. gendarussa dengan metode spektrofotometri
menunjukkan bahwa anti radikal bebas dari ekstrak methanol (EC50= 2284,76 ppm) > fraksi butanol (EC50= 18.086,86
ppm) > fraksi kloroform (EC50= 31.672,55 ppm) > fraksi air (EC50= 845,11 ppm) (Prajogo, 2014).Pengamatan pada menit
ke-60 ekstrak metanol, fraksi butanol, fraksi kloroform, dan fraksi air menunjukkan bahwa terdapat peningkatan aktivitas
reseptor radikal bebas DPPH sebesar 165,15-180,99% (Prajogo, 2014).
Pemberian ekstrak diklormetan dan ekstrak methanol daun J. gendarussa dengan dosis 1,5 %, 3 % dan 6 % dapat
menghambat fungsi epididimis kelinci jantan dengan parameter penurunan aktivitas enzim α-glukuronidase (Suckristiana,
1998).
Pada pemberian fraksi air daun J. gendarussa per oral selama 6 hari dengan dosis 15,69 mg/20g BB dan 27,85
mg/20g BB pada mencit jantan menunjukkan peningkatan jumlah megakariosit dengan penghambatan hialuronidase
(Sunarko, 2005).Ekstrak diklorometan, ekstrak metanol, dan infus daun J. gendarussa mempunyai efek analgesik pada
mencit dan efek antipiretik pada tikus. Efek analgesik ekstrak methanol dan infuse tidak terdapat perbedaan yang
signifikan tetapi lebih tinggi daripada ekstrak diklormetan pada dosis yang setara (Indah, 1997). Efek antipiretik ekstrak
diklormetan dan metanol lebih lemah daripada infuse dengan dosis yang setara (Yuda, 1997). Ekstrak metanol daun J.
gendarussa yang diberikan per oral dengan dosis 112,5 mg/kg BB, 90 mg/kg BB, dan 67,5 mg/kg BB mempunyai efek
antiinflamasi pada tikus pada jam ke-1 dan ke-2 (Prajogo, 2014).
UJI ANTIFERTILITAS
Ekstrak etil asetat dan n-butanol daun J. gendarussa dengan konsentrasi masing-masing 0,25g/ml dan 0,50g/ml
dapat menghambat motilitas dan viabilitas spermatozoa manusia secara in vitro. Efek inhibisi ekstrak etil asetat dan n-
butanol pada motilitas spermatozoa manusia lebih tinggi daripada efek pada viabilitasnya secara in vitro (Prajogo,
2014).Fraksi etanol daun J. gendarussa dengan dosis 8,44 mg/20g BB dan 4,22 mg/20g BB tidak mempengaruhi proses
spermatogenesis. Fraksi air daun J. gendarussa dengan dosis 20,06 mg/20g BB; 10,03 mg/20gBB; 5,02 mg/20g BB dan
2,51 mg/20g BB tidak menmpengaruhi proses spermatogenesis (Agustin, 2005).Ekstrak diklorometan dan methanol daun
J. gendarussa masing-masing dengan dosis setara dengan 2, 4, and 8 mg serbuk kering/g BB dapat menurunkan persentase
motilitas, viabilitas, bentuk normal, dan konsentrasi spermatozoa epididimis. Efek penurunan motilitas, viabilitas, bentuk
normal, dan konsentrasi spermatozoa dari ekstrak diklorometan adalah sama dengan ekstrak methanol (Hartati, 1997).
Ekstrak diklorometan dan ekstrak methanol daun J. gendarussa dengan dosis 0,2%; 0,3% dan 0,4% dapat menghambat
motilitas viabilitas spermatozoa manusia in vitro. Efek inhibisi ekstrak diklorometane dan ekstrak methanol terhadap
motilitilitas spermatozoa manusia lebih tinggi daripada efeh inhibisi pada viabilitasnya secara in vitro. Efek inhibisi
motilitas dan viabilitas meningkat sesuai dengan peningkatan dosis ekstrak diklorometan dan ekstrak methanol daun J.
gendarussa (Wahyudiyah, 1997).
Ekstrak diklorometan daun J. gendarussa pada konsentrasi 433 ppm dan 216,5 ppm dapat menghambat aktivitas
enzim hialuronidase dalam mendispersi cumulus oophorus manusia secara in vitro. Ekstrak methanol pada konsentrasi
1000 ppm dan 500 ppm tidak dapat menghambat aktivitas emzim hialuronidase dalam mendispersi cumulus oophorus
manusia secara in vitro (Lestari, 1997).Ekstrak diklorometane dan ekstrak methanol daun J. gendarussa pada dosis 6 %
dapat menurunkan aktivitas enzim akrosin spermatozoa kelinci. Hasil skrining TLC menunjukkan bahwa ekstrak
diklorometan daun J. gendarussa mengandung senyawa terpenoid dan alkaloid, sedangkan ekstrak methanol daun J.
gendarussa mengandung senyawa flavonoid dan alkaloid (Siregar, 1998). Pada uji fertilisasi in vivo diketahui bahwa
5
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
fraksi air daun J. gendarussa dengan dosis 20,06 mg/20g BB; 10,03 mg/20g BB; 5,02 mg/20g BB dan 2,51 mg/20g BB
dapat menghambat fertilisasi mencit secara in vitro. Pada penelitian ini, fraksi etanol daun J. gendarussa juga digunakan
dengan dosis 33,75 mg/20g BB; 16,88 mg/20g BB; 8,44 mg/20g BB dan 4,22 mg/20g BB. Hasil menunjukkan bahwa
fraksi etanol tersebut tidak dapat menghambat fertilisasi mencit secara in vitro (Alfi, 2003).
Fraksi air daun J. gendarussa dosis 26,06 mg/20 g BB; 18,39 mg/20g BB; 3,47 mg/20g BB dan 3,13 mg/20g BB
tidak mempengaruhi motilitas, viabilitas, dan konsentrasi spermatozoa mencit (Ratnaningrum, 2005) begitu pula pada
kelinci dengan dosis 579,48 mg/kg BB; 482,90 mg/kg BB; dan 340,87 mg/kg BB (Djisoko, 2006).
Pada uji fertilisasi in vitro diketahui bahwa fraksi air daun J. gendarussa dapat menghambat penetrasi spermatozoa
mencit. Pada penelitian ini, fraksi air daun J. gendarussa diberikan per oral dengan dosis 26,06 mg/20 g BB; 18,39 mg/20
g BB; 3,47 mg/20 g BB dan 3,13 mg/20 g BB satu kali sehari selama 1,5 kali siklus spermatogenesis (Prajogo, 2014).
Pemberian fraksi air daun J. gendarussa menyebabkan perubahan morfologi spermatozoa epididimis mencit (Iriana,
2005).
Osmotic Swelling Test membuktikan bahwa fraksi air daun J. gendarussa dapat mempertahankan integritas
membran spermatozoa. Pada penelitian ini, fraksi air diberikan per oral dengan dosis 15,6335 mg/20 g BB; 7,8168 mg/20
g BB; 3,9084 mg/20 g BB dan 1,9542 mg/20 g BB (Sugiyanto, 2005).Uji reversibilitas pada mencit jantan membuktikan
bahwa fertilitas mencit jantan dapat kembali normal 100 % setelah pemberian fraksi air daun J. gendarussa dihentikan
selama 1 kali siklus spermatozoa. Pada penelitian ini digunakan fraksi air daun J. gendarussa dengan dosis 26,06 mg/20
g BB dan 18,39 mg/20 g BB (Prajogo, 2014). Profil DNA spermatozoa epididimis mencit menunjukkan profil jarak
migrasi DNA yang lebih pendek daripada kontrol positif dan kontrol negatif (Wardani, 2005).
TOKSISITAS
Uji toksisitas akut menunjukkan bahwa LD50 pada pemberian oral fraksi etanol 60% dan fraksi air daun J.
gendarussa pada mencit adalah 17,82630 g/kg BB dan 15,63389 g/kg BB (Supriatin, 2003).Uji teratogenik menunjukkan
bahwa fraksi etanol 60 % dan fraksi air daun J. gendarussa tidak mempunyai efek teratogenik. Pada penelitian ini
digunakan mencit strain Balb/C. Fraksi etanol diberikan dengan dosis 0,59; 1,18; 3,54 dan 5,90 g/kg BB. Fraksi air
diberikan dengan dosis 0,35; 0,70; 2,10; dan 3,50 g/kg BB.
Daun J. gendarussa menyebabkan degenerasi pada sel hepatosit dan erupsi usus pada pemberian fraksi air per oral
dengan dosis 7,8168 dan 15,6335 mg/20 g BB, tetapi tidak menyebabkan perubahan histopatologi ginjal.Pemberian fraksi
air daun J. gendarussa per oral dengan dosis 579,48; 482,90; and 340,87 mg/kg BB pada kelinci jantan tidak
mempengaruhi kadar Na+, K+, Cl-, kalsium, glukosa (Prajogo, 2014), SGPT, SGOT, phosphate alkali, BUN, dan kreatinin
dalam darah (Prajogo, 2014).Uji karsinogenik menunjukkan bahwa fraksi air daun J. gendarussa tidak menyebabkan efek
karsinogenik pada testis, hati, ginjal, usus, dan paru-paru.
Tes PCR menunjukkan bahwa terdapat perbedaan profil 802 pasang basa dalam hialuronidase pada testis mencit
setelah pemberian fraksi air daun J. gendarussa menggunakan Primer Forward 5’-GCT TAG CTA TCA TTG ACT GG-
3’ and Primer Reverse 5’-GCA CAT TTT GGC TGC TAG GG-3’ dengan produk PCR (Marsusianti, 2006) namun perlu
konfirmasi.Analisis total RNA testis mencit setelah pemberian per oral fraksi air daun J. gendarussa dengan metode
Northern-Blot menunjukkan bahwa tidak ada perubahan susunan RNA. Pada penelitian ini digunakan fraksi air dengan
dosis 1/12 LD50; 1/17 LD50; 1/90 LD50 and 1/100 LD50 (Nidom R, 2005).
6
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
EFEK SAMPING
Ekstrak etanol-60% daun J. gendarussa dosis 3,38 g/kg BB dan 6,75 g/kg BB dan fraksi air daun J. gendarussa
dosis 2,84 g/kg BB memperpanjang waktu tidur barbiturat dan menurunkan aktivitas motorik spontan, sehingga
diasumsikan bahwa daun J. gendarussa mempunyai efek CNS depressant. Ekstrak etanol-60% daun J. gendarussa dosis
6,25 g/kg BB mempunyai efek diuretik, tetapi pada dosis 12,46 g/kg BB dan 3,12 g/kg BB tidak mempunyai efek diuretik.
Fraksi air daun J. gendarussa tidak mempunyai efek diuretik.Pada uji secara in vitro, fraksi air daun J. gendarussa
menyebabkan perubahan motilitas usus, yaitu peningkatan kontraksi usus halus (Verianto, 2003).
Uji emesis menunjukkan bahwa ekstrak etanol 60 % daun J. gendarussa dosis 0,23887 g/kg BB dan 0,47773 g/kg
BB tidak mempunyai efek emesis, sedangkan dosis 1,91094 g/kg BB mempunyai efek emesis dengan waktu muntah awal
rata-rata 10 mienit pada burung merpati (Columba livia). Fraksi air daun J. gendarussa dosis 0,9196 g/kg BB dan 1,3028
g/kg BB memberikan efek emesis dengan waktu muntah awal rata-rata 75 menit dan 122 menit pada burung merpati
(Prajogo, 2014).
KANDUNGAN SENYAWA
Kandungan kimia tanaman suku Acanthaceae adalah alkaloid, saponin, heterosida, tannin, glikosida, polifenol,
minyak astiri, dan mineral (Dwi et al, 2015, Indah et al, 2015. Putu et al, 2016). Kandungan kimia yang terdapat pada
tanaman ini antara lain alkaloid (Hegnauer, 1963; Prajogo dkk., 2001), amina arimatik, β-sitosterol, lupeol, friedelin
(Chakravarty, 1982; Wahi et al, 1974), triterpana, irinoid, kumarin dan kalium (Hegnauer, 1963), serta glikosida flavonoid
(Prajogo dkk., 1989). Selain itu juga terdapat kalium, tannin 0,4 %, minyak atsiri, kalsium oksalat, dan alkaloid (MMI,
1995 dan Dalimartha, 1999).
Isolasi flavonoid gandarusa mengandung flavanol-3-glukosida (Prajogo dan Suwijiwo, 1998) dan pada ekstrak
metanol diketahui mengandung 8 komponen flavonoid (Prajogo dkk., 1997). Hasil ekstraksi dihasilkan fraksi n-butanol
(1,2%) yang termasuk golongan polifenol dengan kadar flavonoid total 0,9% (Prajogo dkk., 1998).
7
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
H 2N
CH2
OCH3
NH H 2C
2-amino benzil alkohol 2-(2’-amino-benzylamino)-O-
metil-benzil alkohol
H2N H2
CH2 C OCH3
OH
NH H2C NH 2
2-(2’-amino-benzilamino) 2-amino-O-metil-benzil alkohol
benzil alkohol
Gambar 1. Struktur Alkaloid Justicia gendarussa Burm. f. (Chakravarty, et al.,1981).
Komponen 3
8
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Gambar 2. Struktur Alkaloid Justicia gendarussa Burm. f. (Prajogo dkk, 2011, Kiren et al., 2014)Gambar 3. Beberapa
senyawa gendarusin . (Prajogo, 2002 ;Prajogo dkk, 2011)
UJI KLINIK
Untuk rencana penerapan produk fitofarmaka, maka telah dilakukan uji klinik fase I, II dan III terhadap ekstrak
etanol 70 % terfraksinasi dari daun J. gendarusa. Uji klinik fase I dilakukan pada 36 pria sehat normospermatozoa, dosis
284,5mg, 213,4mg sekali sehari selama 108 hari.Hasil, tidakditemukan efek negatif padahati,ginjaldanjantung maupun
kualitas spermatozoa namun ada penurunankonsentrasidanaktifitasenzimhyaluronidase spermatozoa. Uji klinik fase II
pada 120 subyek pria pasangan usia subur (PUS) dosis 450 mg, 300mg dan placebo selama 72 hari. Hasil, 100 % istri
subyek tidak ada kehamilan. Uji klinik fase III pada 350 subyek pria PUS, dosis 450mg dan placebo selama 30 hari,
keberhasilan 99,7%. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa fraksi etanol J.gendarussa efektif, aman dan
refersibel sebagai obat kontrasepsi oral pada pria (Prajogo, dkk., 2008; Prajogo, dkk, 2009; Prajogo, dkk, 2011).
PENUTUP
Penelitian gendarusa tidak akan pernah selesai, karena tidak mudah menjadi yang ideal atau diharapkan dapat
memberi inspirasi penelitian lain. Studi formulasi sediaan fitofarmaka, budi daya, isolasi komponen lain yang dilanjut
9
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
studi insiliko masih berlangsung. Publikasi hasil penelitian terpilih bisa dilakukan disamping paten untuk menunjukkan
karya anak bangsa. Penelitian gendarusa banyak menyerap dana pemerintah yang bersifat kompetitif sangat kecil yang
berasal dari kontribusi swasta, dan diusulkan ada pendanaan sinergis keduanya dalam skema kontribusi penelitian.
Penelitian ini berlangsung lama justru terkendala dana serta dukungan pihak-pihak terkait. Penelitian yang mempunyai
dampak menyelesaikan permasalahan bangsa seharusnya mendapat fasilitas utama untuk percepatan capaian hasil
penelitian atau produk (hilirisasi). Upaya yang dapat dilakukan bahwa penelitian ini dapat diselesaikan dengan kolaberasi
yang melibatkan banyak institusi nasional dan internasional untuk meminimalisir kendala fasilitas. Selain itu pendangan
komprehensif dan multi disiplin serta dukungan dana sangat dibutuhkan. Mitra industry seyogyanya hadir sejak awal
penelitian, bila penelitian tersebut memiliki prospek tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Ani hartati, Sutarjadi, Bambang Prajogo e.W. dan Onny P., 1997. efek Pemberian ekstrak Diklorometan dan metanol daun Gendarussa vulgaris Nees
pada sprmatozoa epididimis mencit. Simposium PERHIPBA IX, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Backer A and Bakhuizen Van Den Brink, 1965. Flora of Java, Vol. ii, nVP. noordhoff gronongen, netherland, p. 589–590.
Chakravarty, A.k., Dastidar, P.P.g., 1982. Simple Aromatic Amines from Justicia gendarussa 13 C nmR Spectra of the Bases and their Analogues.
Tetrahedron, Vol. 38 no. 12, p. 1792–1797.
Chen C-C., hsin W-C., ko F-k., huang Y-L., Ou J-C., dan teng C-m, 1996.Anti Platelet Arylnaphthalide Lignans from Justricia procumbens, Journal of
Natural Product, 59, pp. 1149–1150.
Dalimartha S, 1999. Atlas Tumbuhan obat Indonesia, Jilid 1. Jakarta: trubusAgriwidya, hlm. 61–64.
Dwi Kusuma Wahyuni, Febri Vidianti, Hery Purnobasuki, Tri Muji Ermawanti, Bambang Prajogo and Edi Setiti Wida Utami.2015. Agrobacterium
Rhizogenees Mediated Hairy Root Induction in Justicia gendarussa Burm.f..J. Appl. Environ.Sci. 5(4)87-93
Heyne k, 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jilid III. Diterjemahkan olehBadan Litbang kehutanan, Jakarta.
Ibrahim, B., M’Batchi, B., mounzeo, H., Bourobou Bourobou, H.P., dan Posso, P. 2000. effect of tephrosia vogelii and Justicia extensa on tilapia nilotica
in vivo. Journal of Ethnopharmacology. 69, pp. 99–104.
Indah Yulia Ningsih, Diah Intan Purwati, Suwiji Wongso, Bambang EW Prajogo, Gunawan Indrayanto. 2015.Metabolite Profilingof Justicia
gendarussa Burm.f using HPLC-UHR-QTOF-MS. Sci.Pharm. 83.489-500.
Ismail, LD., Lorenz, P., dan Stermitz, F.R. 1998. isolation amd Synthesis of an α-malanic acid derivative from Justicia ghiesbreghtiana. Journal of
Natural Product, 61, pp. 1174–1176.
Lestari, S, Sutarjadi, Aucky H, dan Prajogo BEW. 1997. efek ekstrak Diklorometan dan ekstrak metanol Daun Gendarussa vulgaris nees. Pada Aktivitas
hyaluronidase Spermatozoa pada Cumulus Oophorus Ovum manusia In vitro. Simposium PERHIPBA IX, universitas gadjah mada, Yogyakarta.
Lorenz, P., Stermitz, F.R, dan ismail, LD. 1999. An Amide of L-threo-γ- hydroxyglutamic acid from Justicia ghiesbreghtiana. Phytochemistry, 52, pp.
63–66.
Martinez dan Chanfrau. 2000. Justicia pectoralis Jacq. Algunos aspectos sobre la composicion quimica, farmacologia y toxicologia. Revista Medicama
de Clinicas Farmaceuticas, Vol. 31, No. 2, April-Junie.
MM Mnatsakanyan, EF Queiroz, L Marcourt, B Prajogo, JL Wolfender, 2016 Chemical profile of Justicia gendarussa a medicinal plant used for male
contraception. Planta Med ; 82(S 01):S1-S381
Moeso, S. dan P, Agus. 1985. Laporan Perjalanan ke Jayapura Sentani (IrianJaya). Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM, p. 9.
Okigawa, m., Maeda T., dan Kawano N. 1970. the isolation and Structure of three new Lignans from Justicia procumbens Linn. Var. leucantha honda.
Tetrahedron, vol. 26. pp. 4301–4305.
Prajogo, B & Sujiwo, P., 1988, isolasi Flavonoid Daun Justicia gandarussaBurm.f, Simposium PERHIPBA VI universitas indonesia Jakarta.
Prajogo, B, emmy, k, Suhartono, imam, R, noor, i, dan igP Santa, 1994,Studi Bioaktivitas Dekok dan ekstrak Daun Justicia gendarussa Burm.
f.ASOMPS VIII. uneSCO, melaka, malaysia.
Prajogo, B., k hoiril A. igP Santa dan Soeharno, 1997, efek ekstrak Diklorometan dan ekstrak metanol Daun Gendarussa Vulgaris nees Pada
Spermatogenesis tikus, Simposium PERHIPBA IX, universitas gajah mada, Jogjakarta.
Prajogo, B., hery A, h., & Aucky, h. 1998. efek inhibitor Fraksi Diklorometan dan metanol dari Justicia gandarussa Burm. f. terhadap enzim
hialuronidase mencit. LaporanLembaga Penelitian unair .
Prajogo, B., Matty N, S., Onny, P S., dan IGP Santa. 1998. efek ekstrak Diklorometan dan metanol dari Gandarussa vulgaris nees pada enzim
Spermatozoa Kelinci. Simposium POKJANAS TOI 8 VIII. universitas Brawijaya, Malang.
10
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Prajogo, B., Widjiati, dan Epy M,L., 1999, uji toksisitas Daun Gendarussa vulgaris ness terhadap gamabaran Darah dan histopatologi hati, ginjal, dan
usus mencit Jantan, LaporanLembaga Penelitian unair.
Prajogo, B., Wiwied, Widjiati., hamdi, Aucky, mulja, dan noor, C., 2001, Potensi Gendarussa vulgaris nees Sebagai Bahan kontrasepsi
Pria.LaporanPenelitian Kerjasama Antara BKKBN Pusat dan Lab. Botani Farmasi– Farmakognosi Fakultas Farmasi Unair.
Prajogo, B.2002. Aktifitas antifertilitas flavonoid daun Gendarussa vulgaris Nees. Penelitian eksperimental pencegahan penetrasi spermatozoa mencit
dalam proses fertilisasi in vitro. Desertasi. Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
Prajogo, B, Supritin, Widjiati, ifadotunnikmah F, 2008. uji toksisitas Akut dan uji teratogenik Fraksi etanol 60 % dan Fraksi Air Daun Justicia
gendarussa Burm. f. sebagai Bahan Baku kontrasepsi Pria, Jurnal Ilmiah Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, Tahun II, no. 2,
hal. 1–6.
Prajogo, B.E.W, Noor C.Z, Hudi W, Aucky, Dian, mustaina, Flouresia, Anggraeni, Radjaram. 2009. Pengaruh ekstrak etanol 70% pada Pria Pasangan
usia Subur (PuS) (Uji Klinik Fase II). Fakultas Farmasi Unair-BKKBN Pusat.
Prajogo, B, Flourisa Juliaan, Aucky hinting, Budyandin D, maria Anggraeni, Ahcmad Radjaram, Sri musta’ina. 2011. Studi khasiat kontraseptik ekstrak
etanol terfraksinasi Daun Justicia gendarussa Burm. f. Pada Pria Pasangan usia Subur. Laporan Pelaksanaan Uji Klinik Fase III. Departemen
Farmakognosi dan Fitokimia Falkutas Farmasi unair Bersama BKKBN.
Prajogo, B. 2014. Autentika Tanaman Justicia gendarussa Burm.f sebagai bahan baku obat kontrasepsi pria. Airlangga University Press.
Prasmawari, S, 2001, Uji Aktivitas Anti inf lamasi ekstrak metanol Daun Gandarusa vulgaris nees pada tikus Putih, Skripsi, universitas Airlangga,
Surabaya.
Rajasekhar and Subbaraju, 1998. Justicia lignans V. three new β-Apolignan fro, Justicia neesii Ramamoorthy. Tetrahedron, 54, pp. 13227–13236.
Putu Indrayoni, Diah Intan Purwat, Suwiji Wongs, Bambang EW Prajogo, Gunawan Indrayanto. 2016 Metabolitr Profiles in various plant organs of
Justicia gendarussa Burm.f. and its invitro cultures. Sci.Pharm. 84.855-866.
Rajasekhar and Subbaraju. 2000. Jusmicranthin, a new arylnaphtha-lide lignan from Justicia neesii. Fitotherapia 71, pp. 598–599.
Reny Wahyudi, Sutarjadi, Bambang Prajogo e.W. dan Aucky h. 1997. efek ekstrak Diklormetan dan ekstrak metanol Daun Gendarussa vulgaris nees.
Pada motilitas dan Viabilitas Spermatozoa manusia in Vitro. Simposium PERHIPBA IX, universitas gadjah mada, Yogyakarta.
Yuko Kiren, Jun Deguchi, Yusuke Hirasawa, Hiroshi Morita, Bambang Prajogo. 2014. Justidrusamides A -D, New 2-aminobenzyl Alcohol Derivatives
from Justicia gendarussa. J. Nat. Med. :68(4):754-8.
11
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRACT
In Malaysia, Ficus deltoidea (mas cotek), is a popular herb possessing various medicinal attributes. Ethnobotanically, Ficus deltoidea has been
claimed to possess antidiabetic properties, the leaves decoction is commonly used for diabetes management. However, not much is known
about the chemical constituents of this plant, especially the ones responsible for its pharmacological properties. There are seven varieties
of F. deltoidea in Peninsula Malaysia, and confusion in the morphological identification among the varieties is quite common. In this project,
metabolite analysis was employed as alternative approach for the differentiation and discrimination among varieties of Ficus deltoidea.
Metabolite profiles and fingerprints of the seven varieties were established using NMR and LC-MS methodologies. Dereplication of the mass data
identified 23 compounds comprised of flavanols, proanthocyanidins, hydrocinnamic acids, furanocoumarins and flavone glycosides. However,
unambiguous identification necessitates isolation of the compounds for acquisition of NMR data. The complexity of the chromatographic profile
however, posts substantial challenge in the phytochemical isolation leading to the use of advanced and powerful separation techniques such as recycling-
HPLC which enabled separation of compounds with very close retention time.
Assessment of these varieties for in vitro α-glucosidase inhibition revealed different level of activity. Multivariate data analysis including discriminant
techniques were employed and correlation of the metabolite profiles to their in vitro a- glucosidase inhibitory activity through a regression model
provided insights towards the role of the whole metabolome present in the plant.
In vivo toxicity and antidiabetic effect of five of the varieties, var. trengganuensis, intermedia, kunstleri, deltoidea and angustifolia, on normal and type
2 diabetic animal models were also studied. Acute toxicity studies revealed non-toxic nature of the leaves extracts. While the extracts do not seem to
produce severe hypoglycemia, which should be avoided in diabetic patient, they improved glucose tolerance activity in normal rats and able to reduce
fasting and postprandial blood glucose level in diabetic type 2 rats. Pushing the limits a little further, metabolomics studies on urine of diabetic rats
treated with the varieties are being conducted. Preliminary results showed that var. trengganuensis and kunstleri are able to partially fix the altered
metabolism of diabetic rats by shifting of some metabolites profile such as glucose, succinate, citrate, lactate, creatine, creatinine, urea and
phenylacetylglycine back to its normal level.
In the effort to unravel the mystery of this interesting and potential antidiabetic plant, integrating the complex chemistry and systems biology is vital
and necessary in order to obtain the mechanistic evidences.
12
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
RINGKASAN
Telah dilakukan studi kandungan kimia Tinospora crispa Miers (Brotowali) dan aktivitas biologis ekstrak etanol batang Brotowali serta tinokrisposid,
senyawa furanoditerpen glikosida yang diisolasi dari serbuk kering batang Brotowali. Dari fraksi netral sari metanol batang Brotowali penulis telah
mengisolasi dan menentukan struktur 3 alkaloid aporfin, yakni N-formil-anonain, N-formil-nornuciferin dan N-asetil-nornuciferin. Karena hambatan
rotasi disepanjang ikatan > − = , maka di dalam larutan, masing2 senyawa ini akan berada dalam 2 bentuk konformer, yakni Z-konformer
(zusammen) dan E-konformer (entgegen). Hasil penelitian ini telah dipublikasi pada Jurnal Internasional Planta Medika (Pachaly, P and Adek Z Adnan,
1992). Dari sari metanol batang Brotowali kami telah berhasil mengisolasi satu senyawa pahit baru yang diberi nama tinokrisposid. Tinokrisposid
(C27H36O11) adalah suatu furanoditerpen glikosida baru yang berasa sangat pahit (Gambar 1). Hasil penelitian ini telah dipublikasi dalam jurnal ilmiah
internasional Arch. Pharm. (Weinheim) 325, 705-703 (Peter Pachaly and Adek Z. Adnan, 1992). Uji toksisitas akut dengan pemberian tinokrisposid
sampai dosis 200 mg/kg bb kepada mencit putih, ternyata tidak menunjukkan efek toksis. Hasil penelitian ini telah dipublikasi pada 43 rd Annual
Congress of The Society of Medicinal Plant Research, Halle – Germany (Adek Z Adnan, P. Pachaly, M. Husni, Almahdy, Adrianti 1995). Uji
teratogenik tinokrisposid juga telah dilakukan dengan menggunakan hewan percobaan mencit putih yang diberi secara oral tinokrisposid dengan dosis
50 dan 100 mg/kg. bb pada periode kritis kehamilan, yakni hari ke enam sampai hari ke 15. Hasil penelitian ternyata tidak menunjukkan kelainan
morfologi dan pertulangan fetus. Hasil penelitian ini telah dipresentasikan pada Kongres Nasional Obat Tradisional Indonesia, Surabaya (Adek Z
Adnan, M.Husni Mukhtar, Mira Febrina, 2000).
Pemberian ekstrak etanol kental Brotowali secara oral dengan dosis 125, 250, 500 dan 1000 mg/kg bb selama 7 hari berturut-turut kepada mencit
putih yang telah diinduksi dengan aloksan 150 mg/kg. bb secara intra peritoneal, ternyata pada hari ke 10 hewan uji menunjukkan kadar gula darah
170.7, 154.3, 119.3, and 107.0 mg/dL (Adek Z. Adnan, M. Husni Mukhtar, Feny Mutia, International Conference and Talk show on Medicinal Plants,
BPPT, Jakarta, 21st October 2010). Pemberian tinokrisposid secara oral dengan dosis 10, 20 dan 40 mg/kg.bb selama 7 hari kepada mencit yang telah
diinduksi dengan aloksan 200 mg/kg.bb teryata memberikan kadar gula darah berturut-turut 227,20; 97,80 dan 201,80 mg/dL (Adek Z. Adnan, Rustini
Ruslan, Sintia Indah Sari, International Seminar of Advancing the Life Sciences and Public Health Awareness, July 10-11, 2016, Nagoya, Japan). Pada
Uji toleransi glukosa (OGTT), pemberian tinokrisposid secara oral dengan dosis 5, 10 dan 20 mg/kg bb kepada mencit yang telah dipuasakan selama
18 jam, ternyata 150 menit setelah perlakuan memberikan kadar gula darah berturut-turut 96,4; 91,2 dan 109,2 mg/dL, sedangkan kelompok kontrol
memberikan kadar gula darah lebih tinggi pada lefel 194,8 mg/dL (Adek Z. Adnan, Rustini Ruslan, Sintia Indah Sari, Asean Microbial Biotechnology
Conference, 3-4 August 2016, Denpasar, Bali-Indonesia). Sitotoksisitas tinokrisposid dengan interfal konsentrasi 100; 50; 25; 12,5; 6,25 dan 3,125 µ
g/mL telah dilakukan terhadap H-1299 dan MCF-7 cell lines dan efeknya dikuantitasi secara spektrofotometri dengan 3-(4,5 dimethylthiazol-2-
yl)2,5-diphenyl tetrazolium bromide (MTT) assay pada panjang gelombang, λ 570 nm, ternyata terhadap H-1299 cell line menunjukkan viabilitas
berturut-turut 55,5; 67,70; 80,84; 81,09; 82,69 dan 87,06 %, dengan IC50 70.9 µg/mL, sedangkan terhadap MCF-7 cell line menunjukkan viabilitas
berturut-turut 80,71; 89,30; 92,76; 96,01; 96,58 dan 102.66%, dengan IC50 >100 µ g/mL (Adek Z. Adnan, Muhammad Taher, Tika Afriani, Dewi
Imelda Roesma, Andani Eka Putra, Cytotoxic Activity Assay of Tinocrisposide from Tinospora crispa on Human Cancer Cells, Der Pharmacia Lettre,
2016, 8 (18):102-106). Efek anti-hiperglikemik tinokrisposid secra in vitro juga telah diuji terhadap 3T3-L1 adiposit cell line, dimana kelompok
konsentrasi tinokrisposid akan menginduksi proses diferensiasi sel pra-adiposit menjadi sel adiposit yang ditandai dengan peningkatan terbentuknya
butiran minyak yang dikuantitasi dengan metoda spektrometri pada panjang gelombang, λ 520 nm setelah penambahan Oil-Red-O- Staining dalam
isopropanol (Adek Z Adnan, Muhammad Taher, Annisa Fauzana, dalam proses publikasi). Uji aktivutas anti-inflamasi tinokrisposid juga telah dilakukan
dengan metoda inhibisi pembentukan NO terhadap RAW-264.7 cell line yang diinduksi dengan lipopolisakarida 1 µg/mL, Jumlah NO yang terbentuk
dikuantitasi dengan spektrometer pada panjang gelombang, λ 560 nm setelah penambahan Pereaksi Griess. Penghitungan kadar NO yang terbentuk
dilakukan dengan Persamaan Regresi larutan NO baku (Adek Z Adnan, Muhammad Taher, Tika Afriani, dalam proses publikasi).
15
14
13
O
H
12 16
11
O
9 H
H 20
1 19
2 10 8 O
CH3
3 4 5 6 7 OH
H HO 2' 4' OH
18 O 3'
17 CH3 1' O 5'
6' OH
H 3 CO O
H
Gambar 1: Struktur Tinokrisposid
13
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Bukit Suligi ditetapkan Oleh Menteri Kehutanan melalui SK No : SK.729/Menhut-II/2009 Tentang
Penetapan Sebagai Kawan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Tanggal 17 Oktober 2009 yang luasnya 2.138 Ha dan mempunyai fungsi untuk
menunjang kegiatan Diklat bidang kehutanan. KHDTK ini dilengkapi dengan beberapa fasilitas antara lain: Ruang kantor 1 unit, Ruang Kelas 2 Unit,
Ruang aula 1 unit, ruang asrama 5 unit (dapat menampung 80-100 siswa), ruang makan dan dapur 1 unit, Mess (guest house) 1 unit, rumah dinas 3 unit,
arboretum, persemaian, mikrohidro (sumber tenaga listrik), Genset 2 unit, menara air 1 unit, mesjid 1 unit, mobil dinas 3 unit, sepeda motor 6 unit,
demplot Aren, Demplot Bambu, Demplot Agroforesty, berbagai perlengkapan outbond dan lain-lain, dan telah banyak digunakan bagi peserta Diklat
maupun para pelajar dan mahasiswa dalam kegiatan pendidikan dan penelitian. Disamping itu banyak potensi sumber daya alam yang terdapat di
KHDTK bukit Suligi ini diantara lain adalah : Tapak Sulaiman, Rija-rija, Mempelas, Mahang Bercak, Mahang damar, Herendong Bulu, Bidara,
Belimbing Hutan, Sitarak, Mikania, Sambung Rambat, Andilau, Longa-longa, Durian Tupai, Bunga Asok, Ki merak, rengkemi atau Meribu, Putihan,
Basau, Pasak Bumi, Tutup putih, Peipei, Girang, Meyong, Kalatea, dan meranti tembaga
14
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Sumatera sebagai pulau keempat terbesar di dunia sangat kaya akan berbagai jenis biota tumbuhan tropis. Biota ini umumnya dan tumbuhan Sumatera
ini khususnya telah dimanfaatkan oleh nenek moyang orang Sumatera untuk berbagai keperluan semenjak mulai adanya peradaban orang Sumatera itu
sendiri, seperti untuk obat-obatan, racun-racun, wewangian, upacara adat dan budaya serta tumbuhan yang mempunyai nilai ekonomi, dan lain-lain.
Sampai tahun 1970-an keberadaan tumbuhan Sumatera ini dapat dikatakan hampir belum tersentuh secara saintifik. Menyadari kondisi yang begini
pada tahun 1982 kami mulailah Inventory dan Survey Etnobotani Tumbuhan Sumatera ini di daerah Bukittinggi dan Padang dan kemudian dilanjutkan
di lebih dari 60 lokasi di berbagai pelosok pulau Sumatera. Berdasarkan hasil inventory ini telah diteliti kandungan kimia lebih dari 130 jenis tumbuhan
berbunga yang mempunyai nilai pengobatan secara tradisional dan ditemukan berbagai senyawa baru dan yang telah dikeanal.
Pada tahun-tahun terakhir ini telah dilakukan juga berbagai inventory dan survey etnobotani di berbagai lokasi di hutan-hutan Sumatera, dimana yang
dikoleksi tidak hanya tumbuhan berbunga tapi juga termasuk tumbuhan rendah seperti paku-pakuan, lichen, dan cendawan, dan menguji berbagai
bioaktifitas ekstrak dan senyawa hasil isolasi khususnya dengan menggunakan mikroba patogen manusia seperti; Bacillus subtilis ATCC 6633,
Enterococcus faecalis ATCC 29212, Staphylococcus epidermidis ATCC 12228 NTCC 1224, Salmonella typhosa NCTC 786, Streptococcus mutans
ATCC 25175, Micrococcus luteus ATCC 10240 and Vibrio cholerae Inaba, Staphylococcus aureus ATCC 25923, Escheriachia coli ATCC 25922
NTCC 1224, Salmonella thypimurium ATCC 14028 NTCC 12023, Pseudomonas aeruginosa, Vibrio cholerae Inaba dan methycilline resistant
Staphylococcus aureus (MRSA).
Beberapa tumbuhan hasil inventory yang mempunyai nilai pengobatan tradisional; tumbuhan berbunga Piper crocatum Ruiz & Pav ditemukan
mengandung senyawa baru yang mernarik, tumbuhan parasit Balanophora elongata Blume, paku-pakuan Sphaerostephanos polycarpus (Bl.) Copel),
Oleandra pistillaris (SW.) C. Chr. and Trichomanes javanicum L, ditemukan mengandung berbagai senyawa yang menghambat kuat pertumbuhan
berbagai mikroba patogen manusia.
Isolasi, identifikasi, skrining antimikroba dan berbagai uji bioaktifitas lainnya akan didiskusikan. Usaha untuk melakukan konservasi tumbuhan Sumatra
berguna ini juga akan disampaikan
Kata Kunci : Antimikroba, Piper crocatum, Balanophora elongata , Sphaerostephanos polycarpus, Oleandra pistillaris dan Trichomanes
javanicum L,
15
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Lumut merupakan kelompok tumbuhan yang tumbuh pada substrat berupa pohon, kayu mati, daun, tanah dan batuan dengan kondisi lingkungan yang
lembap serta penyinaran yang cukup. Lumut mengandung senyawa aktif metabolit sekunder. Senyawa ini diketahui dapat digunakan sebagai senyawa
antibakteri, antifungi, antioksidan, antitumor dan antikanker. Tujuan penelitian ini untuk menguji dan melihat potensi aktivitas antibakteri dari ekstrak
etanol lumut Pogonatum cirratum, Polytrichum commune dan Sphagnum squarrosummenggunakan metode difusi (Diffusion Test) dengan mengukur
diameter zona hambat dari ketiga ekstrak lumut terhadap bakteri uji Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Shigella sonei, dan Escherichia coli. Hasil
dari metode difusi ekstrak etanol lumutPogonatum cirratum tidak menghambat bakteri uji,Polytrichum commune dan Sphagnum
squarrosummenghambat semua bakteri pada konsentrasi 50% dan 40% masuk dalam kategori sedang dengan zona hambat Polytrichum commune pada
bakteri Bacillus cereus (13,90mm dan 11,70mm) dan zona hambat Sphagnum squarrosum bakteri Escherichia coli (13,78mm dan 11,74mm).Lumut
Pogonatum cirratum tidak bepotensi sebagai antibakteri, sedangkan lumut Polytrichum commune dan Sphagnum squarrosumberpotensi sebagai
antibakteri.
Kata Kunci: aktivitas antibakteri, ekstrak etanol, Pogonatum cirratum, Polytrichum commune, Sphagnum squarrosum
ABSTRACT
Moss is a group of plants that grow on the substrate in the form of trees, bark, weathered wood, leaves, soil and rocks with a humid environmental
conditions and sufficient illumination. Lichens secondary metabolites containing the active compound. These compounds are known compounds can
be used as antibacterial, antifungal, antioxidant, antitumor and anticancer. The purpose of this study to test and see the potential antibacterial activity of
ethanol extract moss Pogonatum cirratum, Polytrichum commune and Sphagnum squarrosum diffusion method (Diffusion Test) to measure the diameter
of inhibition zone of the third extract algae to test bacteria Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Shigella sonei, and Escherichia coli. Results from
diffusion method extracts Polytrichum commune and Sphagnum squarrosum moss inhibiting bacterial barrier test with the most well at concentrations
of 50% and 40% with inhibition zone Polytrichum commune in the bacteria Bacillus cereus (13,90mm and 11,70mm) and inhibition zone Sphagnum
squarrosum in the bacteria Escherichia coli (13,78mm and 11,74mm). Moss Pogonatum cirratum not bepotensi as antibacterial, whereas moss
Polytrichum commune and Sphagnum squarrosum potential as an antibacterial.
Keywords: antibacterial activity, ethanol extract, Pogonatumcirratum, Polytrichum commune, Sphagnum squarrosum
PENDAHULUAN
Dewasa ini, penggunaan antibiotik sangat pesat terutama dalam pengobatan infeksi, namun kenyataan masalah
infeksi terus berlanjut. Antibiotik merupakan suatu produk atau bahan metabolit yang dihasilkan oleh satu jenis
mikroorganisme yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme penyebab infeksi bakteri (Tortora et al., 2001).
Hal ini disebabkan karena pengobatan dengan antibiotik yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dapat menyebabkan
resistensi sehingga diperlukan pencarian senyawa yang memiliki potensi sebagai antibakteri yang dapat mengatasi
masalah infeksi (Volk & Wheeler, 1993).
Salah satu tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat adalah lumut. Lumut merupakan kelompok tumbuhan
yang tumbuh pada substrat berupa pohon, kayu mati, kayu lapuk, daun, tanah dan batuan dengan kondisi lingkungan yang
lembap serta penyinaran yang cukup. Lumut mengandung senyawa aktif metabolit sekunder. Senyawa ini diketahui dapat
digunakan sebagai senyawa antibakteri, antifungi, antioksidan, antitumor dan antikanker Krisnayana et al., (2010).
Kemampuan antibakteri pada lumut ditentukan oleh keberadaan senyawa bioaktif yang ada di dalamnya seperti alkaloid,
flavonoid, polifenol, saponin dan terpenoid (Fadhillaa et al., 2012).
Dalam penelitian (Karim et al., 2014), Pogonatum cirratum ini memiliki kemampuan sebagai antioksidan yang
sangat tinggi, aktivitas antiproliferatif yang kuat terhadap CaOV3 (Ovarium Carcinoma) serta memiliki potensi sebagai
agen antikanker. Sedangkan lumut Polytrichum commune dengan kandungan kimianya kemungkinan memiliki aktivitas
antibakteri (Klavina et al., 2015). Lumut Sphagnum squarrosum memiliki kandungan Asam Uronat yang berada dalam
16
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
dinding sel mampu menghambat pertumbuhan bakteri (Stalheim et al., 2009). Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat
aktivitas antibakteri ekstrak etanollumut daun (Pogonatum cirratum, Polytrichum commune, dan Sphagnum squarrosum)
dengan metoda difusi.
17
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Tabel 1.Hasil uji fitokimia ekstrak lumut daun pogonatum cirratum, polytrichum commune, dan sphagnum squarrosum
Uji P. P. S.
Fitokimia cirratum commune squarrosum
Alkaloid - - -
Saponin - - -
Flavonoid + + +
Fenolik - + +
Terpenoid - + +
Steroid - - _
Tabel 2. Hasil uji antibakteri ekstrak etanol lumut daun pogonatum cirratum terhadap bakteri uji
Daerah Hambat (mm)
Konsentrasi Bakteri Gram positif Bakteri Gram negative
S.aureus B.cereus S.sonnei E.coli
50% - - - -
40% - - - -
30% - - - -
20% - - - -
10% - - - -
20,81 20,69 22,99 18,67
Kontrol +
20,86 20,86 20,64 20,66 22,89 22,93 18,65 18,67
(Kloramfenikol)
20,91 20,65 22,91 18,79
Kontrol –
- - - -
(Etanol)
Tabel 3. Hasil uji antibakteri ekstrak etanol lumut daun polytrichum communeterhadap bakteri uji
18
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
15
Diameter Hambat (mm)
10 S.aureus
B.cereus
5
S.sonei
0 E.coli
10 20 30 40 50
Konsentrasi Ekstrak (%)
Gambar 1. Diagram hubungan antara konsentrasi ekstrak etanol lumut daun Polytrichum communeterhadap daerah
hambat pada pertumbuhan bakteri uji (S.aureus, B. cereus, S. sonei dan E. coli).
Tabel 4. Hasil uji antibakteri ekstrak etanol lumut daun Sphagnum squarrosum terhadap bakteri uji
19
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
15
B.cereus
5
S.sonei
0 E.coli
10 20 30 40 50
Gambar 2.Diagram hubungan antara konsentrasi ekstrak etanol lumut daun Sphagnum communeterhadap daerah hambat
pada pertumbuhan bakteri uji (S.aureus, B. cereus, S. sonei, dan E. coli).
a. b. c.
Gambar 3.Zona hambat yang terbentuk pada uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol lumut daun Pogonatum cirratum (a),
Polytrichum commune(b) dan Sphagnum squarrosum (c) terhadap bakteri Staphylococcus aureus
a. b. c.
Gambar 4. Zona hambat yang terbentuk pada uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol lumut daun Pogonatum cirratum
(a), Polytrichum commune(b) dan Sphagnum squarrosum (c) terhadap bakteri Bacillus cereus
a. b. c.
Gambar 5. Zona hambat yang terbentuk pada uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol lumut daun Pogonatum cirratum(a),
Polytrichum commune(b) dan Sphagnum squarrosum (c) terhadap bakteri Shigella sonei
a. b. c.
Gambar 6. Zona hambat yang terbentuk pada uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol lumut daun Pogonatum cirratum
(a), Polytrichum commune(b) dan Sphagnum squarrosum (c) terhadap bakteri Escherichia coli
Pada penelitian ini dilakukan uji aktivitas antibakteri dengan menggunakan ekstrak kental etanol lumut daun
Pogonatum cirratum, Polytrichum commune dan Sphagnum squarrosum sehingga diperoleh perbedaan aktivitas dari
setiap ekstrak ketiga lumut daun tersebut..Ekstrak kental yang sudah diperoleh ditimbang dan dibandingkan bobotnya
dengan simplisia awal yang digunakan. Perbandingan dalam persen menyatakan nilai rendemen dari ekstrak tersebut.
20
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Nilai rendemen ekstrak adalah 30%. Dari hasil perhitungan persen rendemen ekstrak etanol Pogonatumcirratum 1,32%,
Polytrichum commune 4,11%, dan Sphagnum squarrosum 5,70%.
Pada hasil uji fitokimia Pogonatum cirratum didapatkan adanya flavonoid ditandai dengan terbentuknya warna
kuning dengan penambahan logam Mg + HCl pekat. Pada hasil uji fitokimia Polytrichum communedidapatkan adanya
flavonoid dengan ditandai warna oranye dengan penambahan logam Mg + HCl pekat, fenolik dengan ditandai warna biru
kehitaman dengan penambahan FeCl3, dan terpenoid dengan ditandai warna merah kecoklatan dengan penambahan Asam
asetat anhidrat + Asam sulfat pekat. Kemudian pada hasil uji fitokimia Sphagnum squarrosumdidapatkan adanya
flavonoid dengan ditandai warna oranye dengan penambahan logam Mg + HCl pekat, fenolik ditandai dengan warna biru
kehitaman dengan penambahan FeCl3, dan terpenoid dengan ditandai warna merah kehitaman dengan penambahan Asam
asetat anhidrat + Asam sulfat pekat.
Uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap ekstrak etanol lumut. Bakteri uji yang digunakan pada penelitian ini
adalah Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Shigella sonnei dan Escherichia coli. Alasan menggunakan bakteri
Staphylococcus aureusdan Bacillus cereus karena bakteri ini merupakan bakteri patogen Gram positif yang dapat
menyebabkan infeksi saluran cerna spesifik penyebab diare. Bakteri Shigella sonnei dan Escherichia coli digunakan
sebagai bakteri uji karena bakteri ini merupakan Gram negatif yang menyebabkan infeksi saluran cerna spesifik penyebab
diare (Jawetz et al., 2012).Pengujian antibakteri ini menggunakan konsentrasi ekstrak etanol Pogonatum cirratum,
Polytrichum commune, dan Sphagnum squarrosum sebesar 50%, 40%, 30%, 20%, dan 10% untuk melihat berapa
hambatan yang terbentuk pada masing-masing konsentrasi terhadap bakteri uji. Pada setiap bakteri uji dilakukan sebanyak
tiga kali pengulangan sehingga diharapkan pengujian ini akan mendapatkan hasil yang akurat. Sebagai kontrol positif
digunakan antibiotik kloramfenikol 30 µg/disk yang merupakan antibiotik spektrum luas yaitu dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Gram positif dan Gram negatif penyebab diare serta bersifat stabil yang dapat berdifusi dengan baik
pada media pembenihan. Karena alasan-alasan ini kloramfenikol cenderung memiliki zona hambat yang besar. Kontrol
bertujuan untuk membuktikan bahwa pengujian yang dilakukan sudah tepat dan menghasilkan perubahan yang ditandai
dengan terbentuknya zona bening(Ardhuha, 2010).
Jika dilihat dari ekstrak etanol Pogonatum cirratum data rata-rata bakteri uji Gram positif seperti Staphylococcus
aureus dan Bacilus cereus dari kelima konsentrasi secara berturut-turut tidak adanya zona hambatan bening sehingga
termasuk kategori tidak ada. Pada pengujian bakteri Gram negatif seperti bakteri Shigella sonei dan Escherichia coli dari
kelima konsentrasi secara berturut-turut tidak adanya zona hambatan bening.
Pada ekstrak etanol Polytrichum commune data rata-rata aktivitas Gram positif seperti bakteri Staphylococcus
aureus dari kelima konsentrasi 50%, 40%, 30%, 20%, dan 10% berturut-turut 9,30 mm, 8,90 mm, 8,36 mm, 7,6 mm dan
6,6 mm termasuk kategori sedang dan lemah. Bacilus cereus dari kelima konsentrasi secara berturut-turut 13,9 mm, 11,7
mm, 10,9 mm, 10 mm, dan 8,7 mm termasuk kategori sedang. Pada pengujian bakteri uji Gram negatif seperti bakteri
Shigella sonei dari kelima konsentrasi secara berturut-turut 11,03 mm, 10,10 mm, 9 mm, 7,96 mm, dan 6,7 mm termasuk
kategori sedang dan lemah. Bakteri Escherichia coli dari kelima konsentrasi secara berturut-turut 11,96 mm, 10,76 mm,
9,23 mm, 8,43 mm, dan 7,66 mm termasuk kategori sedang dan lemah.
Pada ekstrak etanol Sphagnum squarrosum data rata-rata bakteri uji Gram positif seperti bakteri uji Staphylococcus
aureus dari kelima konsentrasi 50%, 40%, 30%, 20%, dan 10% berturut-turut 11,33 mm, 10,03 mm, 7,9 mm, 6,93 mm,
dan 5,93 mm termasuk kategori sedang dan lemah. Bacilus cereus dari kelima konsentrasi secara berturut-turut 13,05
mm, 12,13 mm, 11,23 mm, 10,30 mm, dan 9,40 mm termasuk kategori sedang. Pada pengujian bakteri Gram negatif
21
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
seperti bakteri Shigella sonei dari kelima konsentrasi secara berturut-turut 12,50 mm, 10,23 mm, 9,06 mm, 8,23 mm, dan
7,56 mm termasuk kategori sedang. Bakteri Escherichia coli dari kelima konsentrasi secara berturut-turut 13,78 mm,
11,74 mm, 10,78 mm, 9,73 mm, dan 8,37 mm termasuk kategori sedang. Daya hambat yang dihasilkan berbeda-beda
pada setiap konsentrasi dan bakteri uji yang digunakan karena dipengaruhi oleh kandungan zat yang terdapat dalam
ekstrak etanol Pogonatum cirratum, Polytricum commune, dan Sphagnum squarrosum.
Sudah diketahui bahwa pada uji fitokimia ekstrak Pogonatum cirratum, mengandung flavonoid yang merupakan
kelompok utama bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Tetapi pada pengujian kali ini lumut tersebut
tidak menunjukkan hambatan pada bakteri uji. Hal ini kemungkinan kadar senyawa flavonoid yang dikandung sangat
sedikit diketahui dari uji fitokimianya dapat dilihat pada Gambar 20. Sehingga tidak mampu untuk menghambat bakteri
uji.Pada Polytricum commune dan Sphagnum squarrosum mengandung terpenoid, fenolik dan flavonoid yang merupakan
kelompok utama bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
Senyawa golongan fenol memiliki mekanisme kerja dalam menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara
inaktivasi protein (enzim) pada membran sel. Fenol berikatan dengan protein melalui ikatan hidrogen sehingga
mengakibatkan struktur protein menjadi rusak. Dimana sebagian besar struktur dinding sel dan membran sitoplasma
bakteri mengandung protein dan lemak. Ketidakstabilan pada dinding sel dan membrane sitoplasma bakeri menyebabkan
fungsi permeabiliitas selektif, fungsi pengangkutan aktif, pengendalian susunan protein dari sel bakteri menjadi
terganggu, yang akan berakibat pada lolosnya makromolekul, dan ion dari sel. Sehingga sel bakteri menjadi kehilangan
bentuknya, dan terjadilah lisis (Singh, 2005).
Dari data Tabel 2 menunjukkan bahwa ekstrak etanol Pogonatum cirratum pada tiap konsentrasi tidak
memberikan hambatan terhadap laju pertumbuhan semua bakteri uji. Kemungkinan dikarenakan perbedaan tempat
tumbuh lumut Pogonatum cirratum yang terdapat di Sabah, Malaysia dengan yang terdapat di Sumatera Barat, Indonesia
maka kandungan kimia yang terdapat dalam lumut juga berbeda.Sehingga kandungan kimia yang dibutuhkan untuk
aktivitas antibakteri hanya ditemukan dalam kadar yang sedikit pada lumut Pogonatum cirratum yang ada di Sumatera
Barat, Indonesia.
Sedangkan pada ekstrak lumut Polytrichum commune pada tiap konsentrasi pada metode difusi menunjukkan zona
hambat terhadap laju pertumbuhan semua bakteri dan memberikan hambatan yang baik terhadap bakteri Gram positif
dengan zona hambat bakteri Bacillus cereus 50% dan 40% (13,90mm dan 11,70mm). Kemudian pada ekstrak lumut
Sphagnum squarrosum pada tiap konsentrasi juga memberikan zona hambatan terhadap laju pertumbuhan semua bakteri
dan memberikan hambatan yang baik terhadap bakteri Gram negatif dengan zona hambat bakteri Escherichia coli 50%
dan 40% (13,78mm dan 11,74mm). Hal ini mungkin disebabkan setiap golongan senyawa memberikan efek yang berbeda
dalam menghambat pertumbuhan bakteri.
KESIMPULAN
Lumut Pogonatum cirratum tidak mampu menghambat bakteri uji. Lumut Polytrichum commune memberikan
hambatan dengan interpretasi kategori sedang pada konsentrasi 50% (13,90mm) dan 40% (11,70mm) terhadap bakteri
uji.Sphagnum squarrosum memberikan hambatan dengan interpretasi kategori sedang pada konsentrasi 50% (13,78mm)
dan 40% (11,74mm) terhadap bakteri uji. Hasil data Tabel menunjukkan perbedaan nyata kelima seri konsentrasi terhadap
semua bakteri uji dari ekstrak lumut Polytrichum commune dan Sphagnum squarrosum.Lumut Polytrichum commune dan
lumut Sphagnum squarrosum berpotensi sebagai antibakteri.
22
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
DAFTAR PUSTAKA
Ardhuha, F. 2010.Uji aktivitas antimikroba ekstrak metanol daun Sygyzium cordatumterhadap Escherichia coli dan Staphylococus aureus menggunakan
metode kirby-bauer.J.IMKI.Vol 1(1).
Fadhillaa. R, Eka. A.P.I, & Harsi, D.K.2012. Aktivitas antimikroba ekstrak metanol lumut hati (Marchantia palaceae) terhadap bakteri patogen dan
perusak pangan.J.Teknol dan Industri Pangan, XXIII(2).
Karim, A.F., Monica. S, Asmah. R, &Mohd. F. A. B. 2014. Phytochemicals, antioxidant and antiproliferative properties of five moss species fromSabah,
Malaysia. Int J.Pharm Sci, 6 (10): 292-297.
Klavina, L., Gunta.S, Vizma.N, Illa.M, Ilva.N, Diana.D,& Iveta.S. 2015. Chemical composition screening of moss extracts (Moss Phytochemistry).
Journal Molecules. 20: 17221-17243.
Krisnayana, M. P., Putra, I. P., Putra,& Rahayu, A. T., 2010. Potensi lumut sebagai zat antimikroba. J.Teknol dan Industri Pangan. XXII(2).
Lay B. W. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium.Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
Singh,I.P.S.B. &Bharate. 2005. Anti-HIV Natural Products. Journal Current Science,89(2): 269-290.
Stalheim, T.S., Balance, B.E., Christensen, & Granum P.E. 2009. Sphagnan-a pectin-like polymer isolated from Sphagnum moss can inhibit the growth
of some typical food spoilage and food poisoning bacteria by lowering the pH.Journal of Applied Microbiology. 106(3): 967-976.
Tortora. 2001.Microbiology in Introduction.International Edition. Banjamin Cummings, Inc.
Volk, W. A.& Wheeler. 1993. Mikrobiologi Dasar Jilid I Edisi kelima.Diterjemahkan oleh Markham. Jakarta: Erlangga.
23
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Daun papaya (Carica papaya L.), familia Caricaceae banyak mengandung senyawa metabolit sekunder yang dapat digunakan untuk pengobatan, salah
satunya adalah flavonoid. Telah dilakukan isolasi dan identifikasi senyawa flavonoid dalam fase n-butanol dari ekstrak etanol 70% daun pepaya. Hasil
identifikasi awal dari fase n-butanol dengan reaksi Pew dan Shinoda menunjukkan adanya senyawa flavonoid. Hasil isolasi dengan kromatografi kolom
menggunakan fase diam sephadex LH 20 dan fase gerak metanol diperoleh 20 fraksi, dimana fraksi ke 19 dan 20 diidentifikasi dengan pereaksi geser
dan FTIR. Hasil identifikasi dengan pereaksi geser menunjukkan bahwa fase n-butanol dari ekstrak etanol daun papaya diduga mengandung senyawa
flavonol.
Kata Kunci: Isolasi, senyawa flavonoid, Daun papaya (Carica papaya L.), pereaksi geser
ABSTRACT
Papaya leaves (Carica papaya L.), familia Caricaceae contains many secondary metabolites that can be used for treatment, one of which is a flavonoids.
Fraksiion and identification of flavonoid compounds in n- butanol phase of 70% ethanol extract of papaya leaves was done carefully. The identification
result of n-butanol phase with Pew and Shinoda reactions indicated the presence of flavonoid compounds. The fraksiion result of n-butanol phase by
column chromatography using sephadex LH 20 stationary phase and a mobile phase of methanol, were obtained 20 fractions , fractions 19 and 20 were
identified with shift reagents and FTIR. The identification result by shift reagents shows that the n-butanol phase of the ethanol extract of papaya leaves
is suspected to contain flavonoids.
Keywords: Isolation, flavonoid compounds, papaya leaves (Carica papaya L.), shift reagent
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman tumbuh-tumbuhan. Masing-masing
tumbuhan memiliki kandungan dan fungsi yang berbeda yang dapat dimanfaatkan di bidang kesehatan. Bagi sebagian
masyarakat Indonesia lebih senang menggunakan obat-obatan sintesis karena dianggap lebih cepat dalam hal
menyembuhkan penyakit, namun obat sintesis memiliki efek samping untuk pemakaian jangka panjang, oleh karena itu
banyak dikembangkan obat-obat yang menggunakan bahan-bahan alami yang berasal baik dari tumbuhan maupun
hewani. Obat-obat tersebut tidak hanya dalam bentuk simplisia maupun dalam bentuk sediaan jadi yang siap dipasarkan
(Syamsuhidayat & Hutapea, 1991).
Simplisia yang digunakan untuk pengobatan sebelumnya telah mengalami proses dan penelitian tentang khasiat
dan kegunaan dalam bidang farmasi. Dalam satu jenis tanaman terdapat banyak senyawa metabolit sekunder yang masing-
masing memiliki kegunaan berbeda-beda untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Macam-macam metabolit sekunder
yang memiliki khasiat atau kegunaan tertentu dalam suatu tanaman adalah alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, kuinon,
steroid dan triterpenoid, minyak atsiri, kumarin.Flavonoid umunya terdapat dalam tanaman, terikat pada gula sebagai
glikosida dan aglikon flavonoid yang mungkin saja terdapat dalam bentuk kombinasi glikosida. Flavonoid sendiri dapat
diidentifikasi dengan beberapa metode diantaranya adalah metode spektofotometri yang sebelumnya telah dilakukkan
pemisahan terlebih dahulu dengan kromatografi lapis tipis, kromatrografi kertas atau dengan kromatografi kolom.
Carica papaya L., familia Caricaceae banyak mengandung senyawa metabolit sekunder yang dapat digunakan
untuk pengobatan. Daun pepaya mengandung enzim papain, kemopapain, caricain, alkaloid, karpinin, pseudo karpain,
flavonoid, kaempferol, glikosida, saponin, karotenoiddan berbagai macam asam amino. Secara empiris, daun pepaya
24
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
digunakan sebagai antimalaria dan tanaman ini juga memiliki khasiat antara lain sebagai antelmintika, antiinflamasi dan
diuretika (Farooq et al., 2009; Krishna et al., 2010). Berdasarkan penelitian dinyatakan bahwa ekstrak petroleum eter biji
pepaya dapat memberikan perlawanan signifikan terhadap kanker payudara (Rashed & Fauche, 2013). Pada penelitian
dilakukan isolasi dan identifikasi senyawa flavonoid di dalam daun papaya menggunakan pereaksi geser. Flavonoid
merupakan senyawa polar umumnya larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton, dimetil sulfoksida,
air dan lain-lain. Namun terdapat juga beberapa senyawa yang kurang polar seperti isoflavon, flavonon, flavon dan
flavonol yang mudah larut dalam eter dan kloroform (Markham, 1988).
Pereaksi geser adalah pereaksi yang dapat digunakan untuk menentukan kedudukan gugus hidroksi fenol bebas pada
inti flavonoid dengan mengamati pergeseran puncak serapan yang terjadi. Dengan demikian, secara tidak langsung cara
ini berguna untuk menentukan kedudukan glikosida yang terikat pada salah satu gugus hidroksi fenol. Dalam menafsirkan
flavonoid terdapat beberapa tahap, salah satunya yaitu menambahkan pereaksi geser. Pereaksi geser ditambahkan
kedalam cuplikan untuk menafsirkan flavonoid dengan mempertimbangkan perubahan spektrum yang disebabkan oleh
berbagai pereaksi geser. Pereaksi geser yang umum digunakan adalah natrum hidroksida (NaOH), alumunium kloida
(AlCl3), asam klorida (HCl), natrium asetat (NaOAc), dan asam borat (Markham, 1988; Gritter et al., ;Farnsworth et al.,
1996).
26
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ekstrak yang nantinya akan digunakan dalam pengujian senyawa flavonoid dalam ekstrak etanol daun papaya. Bobot hasil
partisi yang diperoleh adalah n-heksana 0,5734 g, etil asetat 5,6715 g dan n-butanol 3,1509 g.
Berdasarkan Tabel 1.Panjang gelombang serapan maksimum fraksi yang diduga merupakan senyawa golongan
flavonoid adalah fraksi nomor 13, 14, 19, dan 20. Selanjutnya fraksi19 dan 20 diidentifikasi dengan menggunakan
pereaksi geser dengan alat spektrofotometer uv-vis, dan identifikasi dengan menggunakan spektrofotometri FTIR.
27
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Identifikasi Fraksi
1. Spektrofotometri Ultraviolet-Cahaya Tampak (UV-VIS)
Identifikasi fraksi 19 dan 20 dilakukan dengan mengamati pergeseran panjang gelombang serapan maksimum
sebelum dan sesudah penambahan pereaksi geser (Natrium hidroksida, alumunium klorida, asam klorida, natrium
asetat, dan asam borat). Spektrum diukur pada panjang gelombang 200-600 nm, hasil yang diperoleh sebagai
berikut:
273 258
371 364
Identifikasi fraksi 19 secara spektrofotometri dalam pelarut metanol, memberikan serapan maksimum pada
panjang gelombang 371 nm (pita I) dan 273 nm (pita II). Identifikasi fraksi 20 memberikan serapan maksimum pada
panjang gelombang 364 nm (pita I) dan 258 nm (pita II). Berdasarkan literatur (5) pita I dengan rentang 350-385 nm dan
pita II 250-280 nm diduga jenis senyawa flavonol.
48 nm 40 nm
Fraksi 19 dengan penambahan natrium hidroksida puncak serapan maksimum 419 nm (pita I) berarti terjadi
pergeseran batokromik sebesar 48 nm dan tidak mengalami penurunan pada kekuatan setelah 5 menit, diduga senyawa
flavonol dimana terdapat gugus OH pada posisi 4. Fraksi 20 puncak serapan maksimum 404 nm (pita I) berarti terjadi
pergeseran batokromik sebesar 40 nm dan tidak mengalami penurunan pada kekuatan setelah 5 menit, diduga senyawa
flavonol tetapi tidak adanya –OH pada posisi 4.
28
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
3
9 59
Fraksi 19 dengan penambahan alumunium klorida memberikan serapan pada panjang gelombang 410 nm (pita
I) dan 277 nm (pita II). Menyebabkan pergeseran panjang gelombang batokromik sebanyak 39 nm. Menunjukkan adanya
gugus orto-dihidroksi pada cincin beta. Fraksi 20 pada penambahan alumunium klorida memberikan serapan pada panjang
gelombang 423 nm (pita I). Menyebabkan pergeseran batokromik dengan panjang gelombang sebanyak 59 nm.
Menunjukkan kemungkinan adanya gugus –OH pada posisi 3(dengan atau tanpa gugus –OH pada posisi 5.
18
37
19
Fraksi 19 pada penambahan alumunium klorida dan asam klorida memberikan serapan maksimum pada 390 nm
(pita I) dan terjadi pergeseran batokromik sebanyak 19 nm , hal ini menunjukkan adanya gugus –OH pada posisi 5 dan
oksigenasi pada 6. Fraksi 20 pada penambahan alumunium klorida dan asam klorida memberikan serapan maksimum
pada 402 nm (pita I) dan 276 nm (pita II) dan terjadi pergeseran batokromik sebanyak 37 nm, karena hal tersebut diduga
terdapat –OH pada posisi 5
29
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
4
-5
Fraksi 19 pada penambahan natrium asetat memberikan serapan maksimal 375 nm (pita I) menunjukkan adanya
pergeseran batokromik sebesar 4 nm menunjukkan tidak adanya gugus –OH pada posisi 7. Fraksi 20 pada penambahan
natrium asetat memberikan serapan maksimal 359 nm (pita I) menunjukkan adanya pergeseran hipsokromik sebesar -5
nm menunjukkan dugaan tidak adanya gugus –OH pada posisi 7.
26
35
30
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Berdasarkan data hasil pemeriksaan pendahuluan dengan reaksi warna (adanya senyawa flavonoid), data spektrum
UV-VIS (hasil penafsiran dengan pereaksi geser menunjukkan senyawa flavonol dengan gugus –OH pada atom C-4 dan
C-5),data spektrum FTIR (terdapat gugus –OH, C-H, HC=O, C=C (aromatik). Diduga bahwa senyawa fraksi 19 dan
20termasuk ke dalam jenis flavonol.
KESIMPULAN
Hasil penelitan yang telah dilakukan terhadap daun pepaya (Carica papaya L.) dalam fase n-butanol dari ekstrak
etanol 70% maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pemeriksaan pendahuluan kandungan senyawa flavonoid menggunakan pereaksi warna menunjukkan adanya senyawa
flavonoid (glikosida-3-flavonol), flavon, khalkon, auron.
2. Hasil identifikasi terhadap fraksi dari fase n-butanol dari ekstrak etanol 70% daun pepaya (Carica papaya L.) dengan
spektrofotometri UV-VIS, penambahan pereaksi geser, spektrofotometri fourier transforms infra red (FTIR)
menunjukkan senyawa fraksi nomor 19 dan 20 termasuk kedalam golongan flavonol.
DAFTAR PUSTAKA
Syamsuhidayat, S.S.& Hutapea, J.R. 1991 Inventaris Tanaman Obat Indonesia (I). Jakarta: Departemen Kesehatan RI Badan Penelitian dan Kesehatan RI.
116-117.
Farooq, T. 2009. Phytochemical and pharmacological investigation of the leaves of Carica papaya linn. East West University.156: 26–37.
Krishna, K.L, Paridhavi, M,& Patel, J.A.2010. Reviewon Nutritional, Medicinal and pharmacological properties of papaya (Carica papaya L.). NAMA
JURNAL, 2: 1-30.
Rashed, K, &Fouche, G. 2013. Anticancer activity of Carica papaya extracts in vitro and phytochemical analysis. Greener J Pharm Pharmacol;1(1):1–5.
Markham, K.R. 1988. Cara Mengindentifikasi Flavonoid. Penerjemah Padmawinata K dan Sofi Niksolihin, Bandung: Penerbit ITB. 100-103.
Gritter, R.J., Bobbit, J.M., &Schwarting, A.E. Pengantar Kromatografi. Diterjemahkan oleh Padmawinata K. Bandung:Penerbit ITB. 180-198.
Farnsworth, N.R., Fong, H.H.S., Tin, M., &Wa. 1996. Phytochemical Screening. Chicago:Departemen of Pharmacognosy and Pharmacology College of
PharmacyUniversity of Minoly.16-64.
Hostettmann, K., Hostettman, M., & Marston, A. 1985. Cara Kromatografi Preparatif Penggunaan padaIsolasi Senyawa Alam. Bandung:Penerbit ITB. 10-
11.
Mursito, B. 2004. Analisis Spektrofotometri UV/Vis. Jakarta: Fakultas Farmasi Universitas Pancasila. 24-66.
Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan.Terbitan ke-2. Diterjemahkan oleh Padmawinata K dan Sudiro I.
Bandung: Penerbit ITB. 6-7.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. ParameterStandar Umum Ekstrak. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 13-38.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Buku Panduan Teknologi Ekstrak. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 19-60.
Mahatryani, N.N..Skrining fitokimia ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya L.) yang diperoleh dari daerah Ubud, kabupaten Gianyar Bali. Denpasar:
Universitas Udayana.
32
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Bayam berduri (Amaranthusspinosus) adalah salah satu tanaman yang digunakan oleh suku Talang Mamak sebagai obat bisul dan demam. Penelitian
ini bertujuan untuk menentukan kandungan metabolit sekunder serta aktivitas antimikrobaekstrakakar bayam berduri. Untuk menentukan Konsentrasi
Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM)digunakan metode difusi cakram dan metode dilusi. Hasil skrining fitokimia
menunjukkan bahwa akar bayam berduri mengandung flavonoid, fenolik, steroid, terpenoid dan saponin. Ekstrak n-heksana pada konsentrasi 300 µg/mL
aktif terhadap fungi Candida albicans dengan diameter hambat 19,65±0,92 mmdan tidak aktif terhadap Eschericia coli dan Staphylococcus aureus.
Ekstrak etil asetat pada konsentrasi 300 µg/mL mampu menghambat pertumbuhan fungi C. albicansdengan diameter hambat 25,01±0,50 mm dan
mampu membunuh bakteri S. aureus dengan diameter hambat:11.72±1,21 mmdan mempunyai aktivitas menghambat terhdap bakteri E. coli dengan
diameter hambat:10,29±0,40 mm, sedangkan ekstrak metanol tidak aktif terhadap mikroba uji. Aktivitas senyawa pembanding antifungi ketokenazol
pada konsentrasi 300 µg/mLdengan diameter hambat20,67±0,05 mm dan antibakteri Amoxsan pada konsentrasi 300 µg/mL dengan diameter hambat
terhadap terhadap E. coli dan S. aureus9,71±0,95 mm dan 14,57±0,19 mm. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak etil asetat
berpotensi sebagai antimikroba dan ekstrak n-heksana berpotensi sebagai antifungi. KHM dan KBM akan dijelaskan lebih lanjut.
ABSTRACT
Bayam berduri (Amaranthusspinosus) is one of medicinal plants used by indigenous people Talang Mamak to treat skin infection and fever. This study
was to identify the secondary metabolites and screen the antimicrobial activities of the root extract of this plant. Disc diffusion and dilution were
employed to determine minimum inhibitory concentration (MIC) and minimum bactericidal/fungicidal concentration. The results of phytochemical
screening showed that the root contained flavonoids, phenolic compounds, steroids, terpenoids and saponins. The n-hexane extract at concentration of
300 µg/mLwas active against fungus Candida albicans with inhibition zone 19.65±0.92 mm. However it was not active against bacteria Eschericia coli
andStaphylococcus aureus. The ethyl acetate extract at the same concentration was able to inhibit the growth of fungus C. albicans with the inhibition
zone 25.01±0.50 mm and could kill S. aureus with inhibition zone 11.72±1.21 mm and inhibit E. coli with diameter of 10.29±0.40 mm, meanwhile the
methanol extract did not show any activity. Activity of ketokenazol as standard antifungal drug showed an inhibition zone of 20.67±0.05 mm and
antibacterial Amoxsan (amoxicillin) at the same concentration could inhibit E. coli andS. aureuswith diameter of 9.71±0.95 mm and 14.57±0.19 mm,
respectively. The minimum inhibitory concentration (MIC) and minimum bactericidal/fungicidal concentration will be discussed further.
PENDAHULUAN
Bayam berduri (Amaranthus spinosus) adalah salah satu tanaman obat yang tersebar di Amerika, India dan Asia
Tenggara. Tanaman ini biasanya tumbuh secara liar di semak-semak, dipingir jalan, tempat pembuangan sampah,
dihalaman rumah dengan ketinggian 50-100 cm.Bayam berduri digunakan sebagai obat tradisional oleh suku Talang
Mamak Riau untuk mengobati berbagai macam penyakit secara turun temurun. Menurut Kasim, (2013), salah satu warga
Talang Mamak yang berprofesi sebagai dukun kampung di Desa Durian Cacar memberikan informasi bahwa daun dan
akar bayam berduri dapat dijadikan obat batuk, asma, peluruh haid, penurun panas, bisul, penghilang bengkak, kudis,
meningkatkan ASI, antiracun hewan berbisa seperti ular, lebah, kalajengking, lipan dan hewan berbisa lainnya. Batang
A. spinosus digunakan sebagai obat demam rimbah yang disebabkan oleh nyamuk rimbah.
Studi literatur menunjukkan daundan akar A. spinosus dapatdigunakan sebagai obat tapalmemar,luka bakar,
lukaperadangan, kencing nanah, eksim (Hussain et al., 2009), antiinflamasi, antimalaria, antibakteri, antidiuretik dan
antivirus (Hussain et al., 2008). Ekstrak metanol akar A. spinosus mempunyai aktivitas antifungiDermatophyte sp. dengan
zona hambat 21-32 mm dengan konsentrasi hambat minimum 2,5-10 mg/mL (Sharma et al., 2012). Ekstrak kloroform,
n-heksana dan etil asetat daun A. spinosus menunjukkan aktivitas antibakteri yang baik terhadap bakteri S. lutea, S.
33
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
aureus, B. subtilis, B. megaterium (Gram positif),V. mimicus, S. paratyphi, V. parahemolyticus, S. typhi, S. dysenteriae,
S. boydii dan P. aeruginosa (Gram negatif) dengan rata-rata zona penghambatan 8-15 mm (Ishrat et al., 2009).
A. spinosus memiliki beberapa konstituen aktif seperti alkaloid, flavonoid, glikosida,asam fenolik, steroid, asam
amino, terpenoid,lipid, saponin, betalain, -sitosterol,asam linoleat, rutin, tanin dan karotenoid (Hussain et al., 2009),
amaranthosida, lignanglikosida, amarisin, kumarol, adenosin, stigmasterol glikosida dan betain (Blunden et al., 1999).
Senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid, alkaloid, fenolik, terpenoid, steroid, dan saponin juga mampu menghambat
pertumbuhan mikroorganisme seperti jamur dan bakteri yang disebut sebagai senyawa antimikrobial. Senyawa yang
memiliki gugus fungsi seperti hidroksil, karbonil, dan lakton telah banyak dilaporkan bersifat antimikrobial, antiprotozoa,
dan antialergi (Bakri & Afifi, 2006).Akar A. spinosus juga digunakan sebagai obat tradisional oleh suku Talang Mamak
Riauuntuk mengobati berbagai macam penyakit seperti penurun panas, bisul, penghilang bengkak, kudis dan demam,
oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder dan aktivitas antimikroba
pada akar tanaman tersebut.
steril diinokulasikan fungi C. albicanskemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 48 jam. Suspensi bakteri dan
jamur diatur hingga kekeruhan pada OD600 nm antara 0,8 sampai 1.0 (Capuccino & Suherman, 2011).
c. Penentuan Diameter Zona Hambat
Media uji ditambahkan masing – masing 1 mL biakan bakteri E. Coli, S. aureus dan C. albicans (OD600 nm
0,1) (Herna´ndez et al., 2000) ke dalam tabung, kemudian dihomogenkan dan dituang ke dalam cawan petri.
Setelah media memadat, kertas cakram dengan konsentrasi masing – masing: 500, 300 dan 100 μg/mL diletakkan
di atas media agar. Standar yang digunkan yaitu Amoxsan untuk bakteri dan Ketokenazoluntuk fungi dengan
konsentrasi masing - masing 300 µg/mL serta DMSO sebagai kontrol negatif yang digunakan untuk melarutkan
sampel. Cawan petri diinkubasi dalam inkubator pada suhu 370C selama 24 jam untuk bakteri dan pada suhu kamar
selama 48 jam untuk fungi kemudian diameter zona hambat pertumbuhan diukur. Semua perlakuan dilakukan secara
aseptik dan diulang sebanyak tiga kali.
d. Penentuan konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM)
Penentuan konsentrasi hambat minimum (KHM) atauMinimum Inhibitory Concentration (MIC) dan
konsentrasi bunuh minimum (KBM)) atau Minimum Bactericidal/Fungicidal Concentration (MBC/MFC) dilakukan
dengan metode dilusi terhadap bakteri E. coli, S. aureus dan fungi C. albicans menggunakan spektrofotometer.
Konsentrasi sampel uji diturunkan ½ dari konsentrasi awal (dikisatkan) yaitu: 500, 250, 125, 62.5, 31.25, 15.625,
7.812 dan 3.90 μg/mL. Delapan tabung reaksi yang berisi 4800 μL media steril (media MHB untuk baketri dan
media SDB untuk fungi) ditambahkan 200 μL dari 8 seri konsentrasi sampel dan ditambahkan 200 μL kultur mikrob
uji (OD600 nm 0,1) kemudian dihomogenkan dan diukur Optical Density (OD) dengan menggunakan
spektrofotometer (λ 600 nm) sebagai pembanding sebelum perlakuan atau kontrol. Masing – masing tabung ujii
diinkubasi selama 24 jam untuk bakteri pada suhu 37°C dalam inkubator dan 48 jam untuk fungi pada suhukamar.
Pengukuran OD dilakukan setelah inkubasi sebagai pembanding sesudah perlakuan inkubasi. KHM ditentukan
dengan membandingkan OD setelah perlakuan inkubasi dikurangi OD sebelum inkubasi. Apabila terdapat selisi
konsentrasi terendah yang menghambat pertumbuhan mikroba uji, ditunjukkan dengan tidak adanya kekeruhan
(∆OD) bakteri adalah ≤ 0), maka didapatkan nilai KHM. Sedangkan untuk menentukan KBM, dilakukan uji lanjutan
dengan cara mengambil 200 μL dari konsentrasi yang menunjukkan KHM, ditambahkan ke dalam tabung reaksi
berisi 5 mL media sterill tanpa sampel. Tabung uji diinkubasi selama 24 jam untuk bakteri pada suhu 37°C dalam
inkubator dan 48 jam untuk fungi pada suhu 37°C, selanjutnya dilakukan pengukuran OD kembali dengan
spektrofotometer (λ 600 nm). Apabila hasil pengukuran menunjukkan konsentrasi terendah sampel mempunyai OD
adalah 0 (tidak adanya kekeruhan), maka didapatkan KBM.
35
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Gambar 1. Diameter zona hambat ekstrak n-heksana terhadap E. coli, S. aureus dan C. albicans
36
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Uji aktivitas antimikrobial dari ekstrak etil asetat menunjukkan aktivitas antifungi pada konsentrasi 300 dan 500
µg/mL sedangkan pada konsentrasi 100 µg/mL tidak aktif. Ekstrak total etil asetat juga mempunyai aktivitas antibakteri
pada konsentrasi 300 dan 500 µg/mL sedangkan pada konsentrasi 100 µg/mL tidak aktif terhadap bakteri S. aureus.
Ekstrak total etil asetat mempunyaii aktivitas antibakteri pada semua konsentrasi sampel uji, dimana konsentrasi
300 dan 500 µg/mL mempunyai diameter zona hambat lebih besar dari kontrol positif dengan konsentrasi 300 µg/mL
(Tabel 3 dan Gambar 2). Ekstrak metanol tidak menunjukkan diameter zona hambat terhadap semua mikroba uji.
Gambar 2. Diameter zona hambat ekstraketil asetat terhadapE. coli, S. aureus dan C. Albicans
Tabel 4. Nilai KHM dan KBM ekstrak n-heksana terhadap Fungi C. albicans
15,63 -
1,378 4,678 3,30 - -
7,813 -
1,355 4,564 3,21 - -
3,906 -
1,332 4,219 2,89 - -
Ket: Tanda (-) berarti tidak dilakukan uji lanjut
Tabel 5. Nilai KHM dan KBM ekstrak etil asetat terhadap fungi C.albican
Konsentrasi Absorbansi Uji Lanjut Aktivitas KHM/
(μg/mL) Sebelum Sesudah ∆OD OD KBM
Inkubasi Inkubasi (μg/mL)
500 2,188 1,325 -0,863 0,467 Fungiostatik -
250 1,888 1,287 -0,601 0,469 Fungiostatik -
125 1,788 1,597 -0,191 0,550 Fungiostatik -
62,5 1,765 1,698 -0,067 0,633 Fungiostatik 62,5
31,25 1,498 3,699 2,201 - - -
15,63 1,478 4,678 3,200 - - -
7,813 1,455 4,622 3,167 - - -
3,906 1,387 4,277 2,890 - - -
Ket: Tanda (-) berarti tidak dilakukan uji lanjut
Ekstrak total etil asetat menunjukkan aktivitas penghambatan (Bakteriostatik) dimulai pada konsentrasi 125 μg/mL
sampai 500 μg/mL, dengan demikian dapat disimpulkan KHM ekstrak total etil asetat sebesar 125 μg/mL dan aktivitas
membunuh (Bakterisidal) dimulai pada konsentrasi 250 μg/mL sampai dengan 500 μg/mL. Hal ini dapat dilihat dari nilai
OD uji lanjut yang bernilai 0, dengan demikian dapat disimpulkan nilai KBM sebesar 250 μg/mL terhadap bakteri S.
aureus (Tabel 6).
Ekstrak total etil asetat hanya menunjukkan aktivitas penghambatan (Bakteriostatik) dengan KHM sebesar 125 μg/mL
terhadap bakteri E. coli (Tabel 7).Nilai KHM dan KBM Amoxsan dan ketokenazol yang digunakan sebagai kontrol positif
terhadap mikrob uji (Tabel 8).
Tabel 6. Nilai KHM dan KBM ekstrak etil asetat terhadap bakteri S. aureus
KHM/
Konsentrasi Absorbansi Uji Lanjut Aktivitas
(μg/mL) KBM
Sebelum Sesudah ∆OD OD
Inkubasi Inkubasi (μg/mL)
500 2,087 1,035 -1,052 0,00 Bakterisidal 500
250 1,287 1,165 -0,122 0,00 Bakterisidal 250
125 1,237 1,117 -0,120 0,59 Bakteriostatik 125
62,5 1,214 1,066 0,148 - - -
31,25 0,947 3,566 2,619 - - -
15,63 0,927 4,678 3,751 - - -
7,813 0,904 4,113 3,209 - - -
3,906 0,881 3,768 2,887 - - -
Ket : Tanda (-) berarti tidak dilakukan uji lanjut
38
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Tabel 7.Nilai KHM dan KBM ekstrak etil asetat terhadap bakteri E. coli
Konsentrasi Absorbansi Uji Lanjut Aktivitas KHM/
(μg/mL) Sebelum Sesudah ∆OD OD KBM
Inkubasi Inkubasi (μg/mL)
500 2,372 1,725 -0,65 0,46 Bakteriostatik -
250 2,072 1,877 -0,20 0,47 Bakteriostatik -
Ket : 1,972 1,897 -0,08 0,69 Bakteriostatik 125 Tanda
125 (-)
62,5 1,949 2,097 0,15 - - - berarti
31,25 1,682 3,790 2,11 - - - tidak
15,63 1,662 4,679 3,02 - - -
7,813 1,639 4,848 3,21 - - -
1,616 4,503 2,89 - - -
3,906
dilakukan uji lanjut
Analisis fitokimia merupakan salah satu cara untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder dalam suatu
tanaman. Analisis ini berguna untuk menentukan golongan utama dari senyawa-senyawa aktif dari ekstrak akar bayam
berduri. Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk mempertahankan diri dari serangan serangga
dan hama.
Aktivitas antimikrobial dari ekstrak n-heksana menunjukkan diameter zona hambat terhadap fungi C.albican. Zona
hambat terbesar terdapat pada konsentrasi 500 μg/mL dengan nilai diameter hampir sama dengan kontrol positif. Hal ini
disebabkan oleh senyawa minyak atsiri, lemak jenuh dan tak jenuh yang terkandung dalam ekstrak n-heksana mampu
mencegah sintesis ergosterol yang digunakan untuk pembentukan membran pada jamur (Tortora. 2001).
Ekstrak etil asetat memiliki aktivitas antibakteri lebih besar daripada Amoxsan terhadap E. coli pada konsentrasi
500 µg/mL dan C.albican pada konsentrasi 300 µg/mL. (Tabel 3). Hal ini disebabkan pelarut etil asetat mampu
melarutkan senyawa-senyawa semi polar yang ada dalam akar A. spinosussehingga dapat diasumsikan bahwa senyawa
semi polar ini mampu merusak membran permeabilitas dinding sel dengan cara memutus ikatan peptida dan glikosida
penyusun yang menyusun membran serta komponen-komponen yang ada di luar dinding sel, sehingga menyebabkan
partikel asing bebas keluar masuk dari dalam sel (Hernandezet al., 2000). Kerusakan pada membran ini
akanmengakibatkan terhambatnya pertumbuhan patogen atau kematian pada patogen yang diujikan.Ekstrak metanol tidak
dapat menghambat pertumbuhan semua patogen uji. Metanol merupakan pelarut universal yang dapat melarutkan hampir
sebagian besar komponen senyawa yang terdapat dalam akar A. spinosus sehingga konsentrasi senyawa antimikrobial
terlalu kecil. Akibatnya aktivitas terhadap semua patogen yang diujikan tidak terlihat.
Bakteri Gram negatif memiliki dinding sel yang mengandung peptidoglikan yang tipis (satu atau beberapa lapis
saja), sedangkan untuk bakteri Gram positif yang memilki dinding sel yang cukup tebal dibandingkan dengan bakteri
Gram negatif, terdiri dari 60-100% peptidoglikan(Pratiwi, 2008). Namun demikian, pada bakteri Gram negatif selain
terdapat membran dalam juga terdapat membran luar yang bersifat hidrofilik, tidak seperti bakteri Gram positif yang
hanya memiliki membran dalam saja. Ekstrak etil asetat memiliki aktivitas sedang terhadap bakteri Gram negatif (E. coli)
dan bakteri Gram positif (S. aureus)pada konsentrasi 500 µg/mL. Hal tersebut dapat dilihat pada zona bening berkisar
39
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
antara 10,70-12.00 mm. Jika diameter zona bening atau zona hambat lebih besar dari 20 mm berarti sampel uji memiliki
aktivitas kuat, diameter hambat 16-10 mm memiliki aktivitas sedang, diameter hambat 10 mm memiliki aktivitas lemah
dan diameter hambat kecil dari 10 memiliki aktivitas sangat lemah (Saxena & Gomber, 2008).
Nilai KHM dan KBM suatu antimikrobial berbanding terbalik dengan sensitivitas mikroba yang diuji, hal ini berarti
bahwa suatu mikroba dikatakan memiliki sensitif yang tinggi terhadap suatu senyawa antimikrobial apabila memiliki nilai
KHM dan KBM yang rendah. Nilai KHM dan KBM berbeda-beda untuk setiap mikroba dan antimikroba yang digunakan
(Rahmawati, 2008). Pertumbuhan bakteri dapat diketahui dengan mengukur selisih antara absorbansi sebelum dan
sesudah inkubasi. Jumlah sel bakteri dapat diukur dengan cara mengetahui kekeruhan (turbiditas) kultur. Semakin keruh
suatu kultur, semakin banyak jumlah selnya. Cahaya yang dipancarkan pada spektrofotometer akan mengenai sel sehingga
sebagian cahaya akan diserap dan sebagian diteruskan. Banyaknya cahaya yang diabsorbsi sebanding dengan banyaknya
sel bakteri pada batas-batas tertentu (Pratiwi, 2008). Nilai KHM ditentukan dari konsentrasi terendah dimana terdapat
nilai ΔOD yang negatif. Nilai ΔOD yang negatif menunjukkan adanya penurunan nilai absorbansi yang berarti terjadi
penurunan jumlah sel setelah inkubasi. Nilai ΔOD yang positif menunjukkan adanya peningkatan nilai absorbansi yang
berarti masih terdapat pertumbuhan mikrob. Masih adanya pertumbuhan mikrob menunjukkan bahwa pada konsentrasi
ekstrak tersebut belum dapat menghambat pertumbuhan mikroba.
Hasil uji KHM dan KBM menunjukkan bahwa ekstrak n-heksana memiliki aktivitas fungiostatik dan fungisidal
terhadap C. albicans dengan nilai KHM: 125 μg/mL dan KBM: 500 μg/mL. Hal in berarti ada senyawa yang mampu
menghambat sintesis protein dalam sel sehingga C. albicansmati. Hasil uji ini membuktikan bahwa akar A. spinosus yang
digunakan sebagai obat penyakit kulit (Kurap) oleh suku Talang Mamak memang benar mampu membunuh fungi
penyebab penyakit kulit.
Ekstrak etil asetat hanya memiliki aktivitas menghambat dengan KHM: 62,5 μg/mL dan tidak memilik aktivitas
membunuh (Fungisidal). Hal ini berarti senyawa yang ada didalam etil asetat hanya mampu mencegah sintesis ergosterol
yang digunakan untuk pembentukan membran pada jamur namun tidak mampu menghambat sintesis protein didalam
selsehingga C. albicans dapat bertahan hidup. Ekstrak etil asetat juga memiliki aktivitas bakteriostatik dan bakterisidal
terhadap bakteri S. aureus dengan nilai KHM: 125 μg/mL dan KBM: 250 μg/mL. Hal ini berarti senyawa antibakteri pada
ektrak etil asetat mampu menembus membran dalam bakteri Gram positif dan menghambat sintetis asam nukleat sehingga
bakteri tidak dapat bertahan hidup. Ekstrak etil asetat akar A. spinosusmemiliki aktivitas antibakteri lebih kuat dari ekstrak
etil asetat daun A. spinosus yang hanya memiliki KBM: 500 μg/mL (Ishrat et al., 2012). Ekstrak etil asetat hanya mampu
menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dengan nilai KHM: 125 μg/mL dan tidak memiliki aktivitas membunuh. Hal
ini berarti bahwa senyawa antibakteri ekstrak etil asetat hanya mampu menembus membran terluar namun tidak dapat
mampu memecah peptidoglikan sel bakteri Gram negatif.
KESIMPULAN
Ekstrak n-heksana mampu membunuh fungi C. albican dengan KBM sebesar 500 μg/mL, sedangkan ekstrak etil
asetat hanya mampu menghambat pertumbuhan fungi C.albican dengan KHM masing-masing: 62,5 μg/mL. Ekstrak etil
asetat mampu membunuh bakteri S. aureus dengan KBM sebesar 500 μg/mL dan mempunyai aktivitas menghambat
terhdap bakteri E. coli dengan KHM sebesar 125 μg/mL.
40
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
DAFTAR PUSTAKA
Bakri, A. .G, & Afifi, A. U. 2006. Evaluation of antimikrobial activity of selected plant extracts by rapid XTT colorimetry and bacterial anumeration.
Journal of Microbiological Method, 68: 19-25.
Blunden, G., Yang, M., Janicsak, M. I., & Carabot, A. 1999. Betaine distribution in the amaranthaceae. Journal ofBiochemical Systematics and Ecology,
27: 87-92.
Cappuccino &Suherman. 2011. Microbiology A Laboratory Manual. 9 Edition. SUNY Rocckland Community College. Canada.
Harborne, R. T. 1995. Metoda Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan (Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro, Trans.). Bandung:
Penerbit ITB.
Hernandez, N. E., Tereschuk, M. L., & Abdala, L. R. 2000. Antimicrobial activity Of flavonoids in medicinal plants from Tafı´ del Valle (Tucuma´n,
Argentina). Journal of Ethnopharmacology, 73: 317-322.
Hussain, Z., Amresh, G., Rao, C. V., & Satyawan, S. 2009. Antinociceptive activity of Amaranthusspinosus in experimental animals. Journal of
Ethnopharmacology, 8: 21-26.
Hussain, Z., Amresh, G., Rao, C.V, & Satyawan, S. 2009. Hepatroprotective activity of Amaranthusspinosus in experimental animals. Journal of
Ethnopharmacology, 46(11): 3417-3421.
Ishrat, J., Laizuman, N., Farhana, A. P., & Obaydul, H. 2012. Antibacterial, cytotoxic and antioxidant activity of chloroform, N-hexane and ethyl acetate
extract of plant Amaranthus spinosus. International Journal of PharmTech Research, 3(3): 1675-1680.
Kasim. 2013. Kegunaan Bayam Berduri (Amarantus spinosus). Personal komunikasi. Indragiri Hulu Riau. 12 Februasri 2013.
Pratiwi, S. T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Yogyakarta: Erlangga.
Rahmawati, F. 2008. Isolasi Dan Karakterisasi Senyawa Antibakteri Ekstrak Daun miana (Coleus scutellariodes [L] Benth.). Tesis, Institut pertanian
Bogor, Bogor.
Sharma, K., Kotoky, J., Kaustav, K., & Jibon K. 2012. Antifungal activity of Amaranthus spinosusagainst dermatophytes.Asian Pacific Journal of
Tropical Biomedicine. 2: 1-5.
Saxena, S., & Gomber, C. 2008. Comparative in vitro antimicrobial Ppocedural efficacy for susceptibility of Staphylococcus aureus, E.scherichia coli
and P.seudomonas species to chloramphenicol, ciprofloxacin and cefaclor. British Journal of Biochemical Science, 65: 178-183.
Tortora. 2001. Microbiology An Intruduction (Fifth ed.). California: Cumming Publishing.
41
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian penentuan profil kromatografi ekstrak dan fraksi tumbuhan pegagan (Centella asiatica (L.) urban) secara kromatografi lapis
tipis (KLT) dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) .Profil metabolit sekunder ekstrak metanol, fraksi n-heksan, fraksi etil asetat, fraksi n-butanol
ditentukan dengan metode KLT dan KCKT. Analisis KLT menggunakan fase gerak n-heksan: Etil asetat dengan perbandingan (7:3) dan fase diam
silica gel GF254 dengan reagen penampak noda. Analisis KCKT secara elusi gradient dengan fase gerak asetronitril: asam fospat 0,1% dan fase diam
kolom C18 (4,6 x 250mm) dengan detector PDA. Hasil analisa dengan KLT menunjukan ekstrak dan fraksi memiliki profil yang mirip dan diketahui
mengandung terpenoid. Hasil analisa KCKT pada ekstrak metanol menunjukan 13 puncak pada λ254 nm, 7 puncak pada λ 366 nm. fraksin-heksan
menunjukan 8 puncak pada λ 254 dan 5 puncak pada λ 366 nm. fraksi etil asetat 10 puncak pada λ 254 nm dan 2 puncak pada λ 366. fraksin-butanol
terdapat 10 puncak pada λ 254 nm dan 11 puncak pada λ 366 nm . Dalam ekstrak dan fraksi menunjukan adanya gugus kromofor yang merupakan
senyawa triterpenoid dengan λmax 263 pada senyawa mayor dengan waktu retensi 8 menit.
ABSTRACT
The research of chromatographic profile determination plant extracts and fractions Pegagan (Centella asiatica (L.)Urban) by thin-layer chromatography
(TLC) and high performance liquid chromatography (HPLC). Their profile of methanol extract, n-hexane, ethyl acetate, n-butanol fraction,where
determined by TLC and HPLC methods. TLC analysis have done by using n-hexane : ethyl acetate have comparison (7:3) as mobile phase and silica
gel GF254 as stationary phase stain reagent. HPLC Analysis used mobile phase acetonitrile: acid phosphate 0,1% with gradient elution and stationary
phase C18 column (4,6 x 250mm) with detector PDA. Analysis by TLC conveniently indicated that extract and fractions have similar profiles and
known to contain terpenoid. Base on HPLC result, the methanol extract of pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) showed 13 peaks at λ 254 and 7 peaks
at λ 366. n- hexane fraction showed 8 peaks at λ 254 and 5 peaks at λ 366. Ethyl acetate fraction showed 9 peaks at λ 254 and 2 peaks at λ 366. n-
butanol fraction showed 10 peaks at λ 254 nm and 11 peaks at λ 366 nm. In extract and fraction showed cluster chromophore is compound triterpenoid
with λmax263 in the major compound with a retention time 8 minutes.
PENDAHULUAN
Salah satu tumbuhan yang berpotensi sebagai obat tradisonal adalah pegagan (Centella asiatica (L.)Urban) yaitu
suatu jenis tumbuhan yang banyak digunakan untuk pengobatan tradisonal oleh masyarakat luas. Tumbuhan pegagan
(Centella asiatica (L.)Urban) merupakan tumbuhan liar yang banyak tumbuh di ladang, perkebunan, tepi jalan maupun
di pekarangan.Pegagan berasal dari Asia tropik, menyukai tanah yang agak lembab, cukup sinar matahari atau agak
terlindung serta dapat ditemukan di dataran rendah sampai dengan ketinggian 2500 mdpl (Heyne, 1987; Dalimartha,
2000).
Pemakaian secara tradisional herbal pegagan digunakan secara topikal atau oral dalam bentuk air rebusan atau
serbuk. Sedangkan sediaan yang beredar telah banyak dipakai dalam pengobatan modern seperti Lanakeloid® (Landson),
Madecassol® (Corsa), Tekasol® (Surya Dermato) yang berkhasiat dalam pengobatan keloid (Anonim, 2010).
Parameter standarisasi simplisia meliputi parameter non spesifik dan spesifik, parameter non spesifik lebih terkait
dengan faktor lingkungan dalam pembuatan simplisia, sedangkan parameter spesifik terkait langsung dengan senyawa
yang ada didalam tanaman.Pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi
lapis tipis preparatif dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) (Harborne, 1987).
Pegagan berkhasiat untuk obat batuk, tuberkulosa, peluruh air seni, sariawan, luka kulit, pembengkakan hati,
campak, bisul, amandel, radang tenggorokan, bronkhitis, tekanan darah tinggi, wasir, keracunan, cacingan, Epilepsi, luka
bakar, keputihan, anti bakteri, anti tumor (Mursito, 2004; Nooryati, 2007).
42
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Metode KLT memiliki keunggulan sederhana, kecepatan tinggi, efektivitas biaya. KLT masih banyak digunakan
untuk menentukan karakteristik sidik jari dari obat herbal dan merupakan metode yang mudah dalam pemeriksaan awal
semi kuantitatif. Metode KCKT memiliki keunggulan karena lebih selektif, sensitif, tidak terbatas pada stabilitas, dan
volatilitas senyawa (Liang et al, 2004).
Profil kromatografi dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa dalam ekstrak dan dalam beberapa tahun
terakhir profil kromatografi digunakan sebagai salah satu metode kontrol kualitas ekstrak. Sejauh penulusuran peneliti,
penelitian mengenai penentuan profil kromatografi ekstrak dan fraksi dari pegagan belum dilaporkan. Profil kromatografi
pegagan dianalisis menggunakan KLT dan KCKT.
Berdasarkan informasi di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penentuan profil ekstrak dan fraksi dari tumbuhan
herba Pegagan (Centella asiatica (L.) urban) dengan metode KLT dan KCKT. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui profil kromatografi ekstrak dan fraksi Tumbuhan pegagan yang meliputi jumlah dan komposisi senyawa yang
terkandung didalamnya.Profil kromatogram ekstrak dan fraksi tumbuhan Pegagan (Centella asiatica (L.) urban) dianalisis
menggunakan KLT dan KCKT.Diharapkan dari penelitian ini didapatkan informasi yang bermanfaat khususnya dibidang
farmasi.
penambahan 25 ml n-heksana dan 25 ml air, kemudian dikocok dan didiamkan hingga terbentuk dua lapisan yang terdiri
dari fraksi n-heksana dan fraksi air, kemudian selanjutnya dipisahkan.
Fraksinasi dilakukan berulang-ulang sampai ekstrak terfraksi sempurna. Kemudian lapisan air ditambah pelarut etil
asetat sama banyak dengan pelarut sebelumnya kemudian dikocok dan didiamkan hingga terbentuk dua lapisan yang
terdiri dari fraksi etil asetat dan fraksi air, selanjutnya dipisahkan. Fraksinasi dilakukan berulang-ulang sampai ekstrak
terfraksi sempurna. Kemudian lapisan air ditambah pelarut n-butanol sama banyak dengan pelarut sebelumnya lalu kocok
dan didiamkan dan selanjutnya dipisahkan. Hasil dari masing-masing fraksinasi kemudian dipekatkan dengan rotary
evaporator sehingga didapatkan fraksi n-heksana, etil asetat, dan n-butanol.
Pengujian Hasil Ekstrak dan fraksi dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Sebanyak 100 mg ekstrak dan fraksi pegagan (Centella asiatica (L.) urban) dilarutkan dalam1ml metanol. Larutan
tersebut ditotolkan sebanyak 0,5 μL pada lempeng KLT. Plat dielusi pada bejana yang telah jenuh dengan berbagai macam
komposisifase gerak n-heksan : etil asetat dengan jarak pengembangan 5 cm. bercak diamati pada UV254nm dan
UV366nm.Setelah didapatkan pemisahan yang baik pada ekstrak metanol tumbuhan pegagan dan masing-masing fraksi
dilakukan identifikasi golongan senyawa dengan menggunakan pereaksi penampak noda. Reaksi positif ditunjukkan
dengan warna.Pereaksi SitroboratPereaksi penmpak noda sitroborat digunkan untuk mendeteksi keberadaan senyawa
golongan flavonoid yang dapat ditunjukkan dengan warna atau fluoresensi kuning kehijauan dibawah lampu UV.Pereaksi
Lieberman-Burcharddigunakan untuk mendeteksi senyawa golongan steroid dan terpenoid yang ditunjukkan dengan
bercak warna hijau atau biru jika mengandung steroid dan warna merah sampai coklat jika mengandung
terpenoid.Pereaksi Besi (III) Klorida 1%digunakan untuk mendeteksi keberadaan senyawa golongan fenol yang dapat
ditunjukkan dengan bercak warna biru kehitaman, hijau atau biru kehijauan.Pereaksi Dragendorf hasil positif ditunjukkan
dengan adanya warna orange pekat sampai merah.
Analisa dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Optimasi fase gerak dengan melarutkan ekstrak metanol tumbuhan pegagan (Centella asiatica (L.) urban) sebanyak
0,5 mg dalam 20 ml metanol, kemudian disaring menggunakan membran filter ukuran 0,2 nm. Sebanyak 20 μL sampel
diinjeksi dalam fase terbalik KCKT dengan fase diam silica C18 dan fase gerak campuran asetonitril : air secara elusi
gradien dengan kecepatan alir 1,0 ml/menit selama 60 menit dengan berbagai perbandingan fase gerak hingga didapat
pemisahan yang baik. Puncak dibaca pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm.
Analisa ekstrak metanol tumbuhan pegagan dengan melarutkan 0,5 mg ekstrak dalam 20 ml metanol, kemudian
disaring menggunakan membran filter ukuran 0,2 nm. Sebanyak 20 μL sampel diinjeksi dalam fase terbalik KCKT
dengan campuran fase gerak asetonitril : asam fosfat 0,1 % secara elusi gradien dengan perbandingan komposisi fase
gerak 0-1 (5:95), 1-2 (30:70), 2-10 (30:70), 10-11 (50:50), 11-13 (50:50), 13-14 (95:5), 14-19 (95:5), 19-20 (5:95) 20-60
(5:95) menggunakan kecepatan alir 1,0 ml/menit selama 60 menit. Puncak dibaca pada panjang gelombang 254 nm dan
366 nm.
44
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
langsung, untuk mengurangi kerusakan atau terurainya senyawa-senyawa termolabil serta menghindari rusaknya
simplisia akibat pemanasan. Proses pengeringan ini bertujuan untuk mengurangi kadar air sampel, sehingga dapat
menghambat proses enzimatis dan mencegah pertumbuhan jamur. Dalam kondisi kering, pengolahan sampel menjadi
lebih mudah karena lebih mudah disimpan, ditimbang, serta lebih tahan lama (Gunawan & Mulyani, 2004).
Maserat metanol yang diperoleh dari hasil proses maserasi dipekatkan dengan rotary evaporator dengan bantuan
alat pompa vakum. Penggunaan rotary evaporator bertujuan untuk memisahkan pelarut yang terdapat pada ekstrak
sehingga didapatkan ekstrak kental. Penggunaan vakum bertujuan untuk menurunkan tekanan yang ada pada kondensor
dan menurunkan titik didih pada labu alas bulat, sehingga proses penguapan pada labu alas bulat dan proses kondensasi
pada kondensor berlangsung lebih cepat, karena cairan penyari dapat menguap 5-10º C di bawah titik didih pelarutnya.
Ekstrak metanol yang didapat sebanyak 15 g.
Tahap selanjutnya dari penelitian ini adalah fraksinasi. Fraksinasi disini adalah proses pemisahan senyawa aktif
dalam corong pisah berdasarkan tingkat kepolarannya masing-masing. Pada penelitian ini dilakukan fraksinasi bertingkat,
dimana prosesnya dimulai dengan pelarut n-heksan sebagai pelarut non polar, etil asetat sebagai pelarut semi polar, dan
n-butanol sebagai pelarut polar.Fraksinasi dilakukan dengan cara mengencerkan ekstrak metanol sebanyak 5 g dengan air
sebanyak 25 ml, diaduk terus hingga encer dan homogen, kemudian dimasukkan kedalam corong pisah, difraksinasi
berturut-turut secara ekstraksi cair-cair dengan pelarut n-heksan, etil asetat, n-butanol. Mula-mula difraksinasi dengan
pelarut n-heksan sebanyak 25 ml, diperoleh fraksi n-heksan dan fraksi air.Fraksi n-heksan dipisahkan, kemudian fraksi
air difraksinasi dengan etil asetat sebanyak 25 ml, diproleh fraksi etil asetat dan fraksi air.Fraksi etil asetat
dipisahkan.Kemudian fraksi air difraksinasi dengan n-butanol sebanyak 25 ml, diproleh fraksi n-butanol dan fraksi air,
fraksi n-butanol dipisahkan.
Setelah diproleh hasil dalam fraksinasi cair-cair, maka proses yang selanjutnya dilakukan adalah mengentalkan
fraksi-fraksi tersebut dengan menggunakan rotary evaporator. Diproleh berat fraksi heksan, etil asetat, n-butanol masing-
masing sebanyak 0,23 g ; 0,86 g ; 0,44 g. Dengan nilai rendemen masing-masing adalah 4,6%, 17,2%, 8,8%. Dari berat
masing-masing fraksi yang diperoleh fraksi etil asetat merupakan fraksi yang paling banyak dihasilkan.
Uji fitokimia ini dilakukan untuk identifikasi awal golongan metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak
metanol tumbuhan pegagan (Centella asiatica (L.)Urban) uji fitokimia terhadap ekstrak metanol pegagan menghasilkan
senyawa metabolit sekunder berupa alkaloid, flavonoid dan terpenoid.Uji fitokimia juga dilakukan pada fraksi n-heksan,
etil asetat, dan n-butanol. Pada fraksi n-heksan diketahui metabolit sekunder berupa terpenoid.Fraksi etil asetat diketahui
senyawa metabolit sekunder terpenoid dan alkaloid.Pada fraksi n-butanol diketahui senyawa metabolit sekunder
terpenoid, dan flavonoid.Penapisan fitokimia dilakukan sebagai uji pendahuluan untuk mengidentifikasi golongan
senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam sampel tersebut (Djamal, 1998).
Analisis kualitatif selanjutnya dilakukan dengan menentukan profil kandungan senyawa kimia dari ekstrak metanol
tumbuhan Pegagan (Centella asiatica (L.)Urban) secara kromatografi yaitu kromatografi lapis tipis (KLT), dan
Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).Pemilihan kedua metode analisis tersebut didasarkan pada perbedaan dan
persamaan prinsip dari masing-masing metode tersebut.
45
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Pemisahan dengan menggunakan fase gerak n-heksan : Etil asetat dengan perbandingan (7:3) menunjukkan 2 noda
pada deteksi UV λ 254 nm dengan nilai Rfmasing-masing yaitu 0,45; 0,57 dan menunjukkan 5 noda pada deteksi UV λ
366 nm dengan nilai Rf masing-masing yaitu 0,3;0,37;0,45;0,57; dan 0,65 .
Pada fraksi n-heksana didapatkan pemisahan yang baik dengan menggunakan pelarut n-heksan : Etil asetat dengan
perbandingan (7:3) yang menunjukkan 2 noda pada deteksi UV λ 254 nm dengan nilai masing-masing Rf yaitu: 0,45;0,5
dan 4 noda pada deteksi UV λ 366 nm dengan nilai Rf masing-masing yaitu : 0,3; 0,45; 0,5; dan 0,62.
Pada fraksi etil asetat didapatkan pemisahan yang baik dengan menggunakan pelarut n-heksan : etil astat dengan
perbandingan (7:3) yang menunjukkan 2 noda pada deteksi UV λ 254 nm dengan nilai masing-masing Rf yaitu: 0,3; 0,65
dan 4 noda pada deteksi UV λ 366 nm dengan nilai Rf masing-masing yaitu : 0,3; 0,5; 0,65; 0,72. Pada fraksi n-butanol
juga didapatkan pemisahan yang baik dengan menggunakan pelarut n-heksan : Etil asetat dengan perbandingan (7:3) yang
menunjukkan 1 noda pada deteksi UV λ 254 nm dengan nilai masing-masing Rf yaitu: 0,65 dan 1 noda pada deteksi UV
λ 366 nm dengan nilai Rf masing-masing yaitu : 0,62. Kisaran harga Rf yang paling baik pada KLT terdistribusi antara
0,2-0,8 (Harmita, 2006).
Untuk mempertegas golongan senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak metanol tumbuhan
pegagan dan masing-masing fraksi dilakukan penyemprotan dengan pereaksi penampak noda.Pada ekstrak metanol
tumbuhan pegagan terdeteksi adanya senyawa flavonoid dengan nilai Rf 0,37, terpenoid dengan nilai Rf 0,37, dan alkaloid
dengan nilai Rf 0,37, ini sesuai dengan hasil yang didapatkan pada uji fitokimia. Pada fraksi n-heksana diketahui hanya
ada senyawa terpenoid dengan nilai Rf 0,5. Pada fraksi etil asetat diketahui adanya senyawa flavonoid dengan nilai Rf
0,3, terpenoid dengan nilai Rf 0,5 dan alkaloid dengan nilai Rf 0,65. Sedangkan pada fraksi n-butanol diketahui terdapat
senyawa flavonoid dengan nilai Rf 0,62 dan terpenoid dengan nilai Rf 0,62.
Hasil KLT yang didapat menjadi acuan untuk melakukan analisis selanjutnya dengan menggunakan instrument
KCKT elusi gradien pada λ254 nm dan 366 nm, pemilihan panjang gelombang analisis ditentukan berdasarkan nilai Rf
dari pola KLT yang menjadi parameter senyawa dapat terpisah dengan baik. KCKT merupakan sistem kromatografi fase
terbalik, dimana fase gerak bersifat polar sedangkan fase diam bersifat non polar.Elusi gradien didefinisikan sebagai
penambahan kekuatan fase gerak selama analisis kromatografi berlangsung, yang dapat mempersingkat waktu retensi dari
senyawa-senyawa yang tertahan kuat pada kolom.(Putra dan Effendy. 2004).
Pada KCKT menggunakan campuran fase gerak asetonitril dan asam fosfat 0,1 % dalam air selama 60 menit,
kecepatan alir 1,0 ml / menit dengan variasi menit ke dengan menggunakan fase gerak asetonitril dan asam fosfat 0,1%
dalam air dari menit ke 0-1 dengan perbandingan (5:95), menit ke 1-2 (30:70), menit ke 2-10 dengan perbandingan
46
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
(30:70), menit ke 10-11 (50:50), menit ke 11-13 (50:50), menit ke 13-14 (95:5), menit ke 14-19 (95:5) ,menit ke 19-20
(5:95), menit ke 20-60 (5:95).Di analisis dengan panjang gelombang 254 dan 366 nm.
Gambar 2.Profil Kromatogram Ekstrak Metanol Tumbuhan Pegagan (Centella asiatica (L.) UrbanDeteksi pada λ 366
nm
Gambar 3.Profil Kromatogram Ekstrak Metanol Tumbuhan Pegagan (Centella asiatica (L.) UrbanDeteksi pada λ 254
nm
Setelah mendapatkan hasil pemisahan dan nilai resolusi yang baik pada ekstrak metanol tumbuhan pegagan,
dilanjutkan pada fraksi n-heksana, etil asetat, n-butanol menggunakan elusi bergradien terpilih, untuk melihat pola
kromatogram dan nilai resolusi pada masing-masing fraksi. Analisis ekstrak pada panjang gelombang 254 nm, terdapat
13 puncak yang menandakan 13 komponen senyawa dan 1 puncak tertinggi yang merupakan senyawa mayor pada ekstrak
metanol pegagan. Pada panjang gelombang 366 nm, terdapat 7 puncak yang menandakan 7 komponen senyawa. Analisis
fraksi n-heksana pada panjang gelombang 254 nm, terdapat 8 puncak yang menandakan 8 komponen senyawa dan 1
puncak tertinggi yang merupakan senyawa mayor pada fraksi tersebut. Pada panjang gelombang 366 nm, terdapat 5
puncak yang menandakan 5 komponen senyawa.
Analisis fraksi etil asetat pada panjang gelombang 254 nm, terdapat 10 puncak yang menandakan 10 komponen
senyawa dan 1 puncak tertinggi yang merupakan senyawa mayor pada fraksi tersebut. Pada panjang gelombang 366 nm,
terdapat 2 puncak yang menandakan 2 komponen senyawa dan 2 puncak tertinggi yang merupakan senyawa mayor pada
fraksi tersebut. Analisis fraksi n-butanol pada panjang gelombang 254 nm, terdapat 10 puncak yang menandakan 10
komponen senyawa dan 1 puncak tertinggi yang merupakan senyawa mayor pada fraksi tersebut. Pada panjang
gelombang 366 nm, terdapat 11 puncak yang menandakan 11 komponen senyawa.
Detector KCKT yang umum digunakan adalah detektor UV 254 nm. Pada penelitian ini detektor yang digunakan
adalah Photo Diode-Array (PDA). Detektor ini merupakan jenis detektor yang paling sering digunakan dalam KCKT
dengan berbagai keistimewaan.Ekstrak metanol tumbuhan pegagan yang dianalisis diketahui terdapat 1 senyawa mayor
sedangkan untuk senyawa minor terdapat 12 puncak seperti Tabel 1.
47
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Tabel 1.Pengelompokan senyawa mayor berdasarkan waktu retensi yang sama pada panjang gelombang 254 nm
Fraksi 263
9 1 8,746 24113113 64,839
Etil
asetat
Tabel 2.Pengelompokan senyawa mayor berdasarkan waktu rerensi yang sama pada panjang gelombang 366 nm.
Fraksi 5 1 263
8,788 5588600 94,498
Heksan
Fraksi 2 1 263
Etil 8,750 5833037 63,890
asetat
Dari hasil penelitian yang di dapat ditemukan λmax 263 pada waktu retensi 8 menit. Muzakar 2010, melaporkan
senyawa yang memiliki absorbansi maksimum pada λmax 262 nm menunjukkan adanya gugus kromofor yang merupakan
senyawa golongan steroid atau triterpenoid, dimana λmax yang didapat tidak jauh berbeda dan kemungkinan senyawa
dengan λmax 263 yang didapat adalah senyawa triterpenoid. Dari hasil yang di peroleh melalui uji fitokimia dan KLT dari
ekstrak dan fraksi pegagan (Centella asiatica (L) Urban) menunjukan adanya senyawa triterpenoid yang di tandai dari
terbentuknya warna merah sampai coklat pada uji fitokimia menggunakan reagen Lieberman bouchard, sedangkan pada
KLT dengan menggunakan reagen penampak noda mengahasilkan bercak noda warna merah kecoklatan pada plat KLT.
KESIMPULAN
Profil KLT ekstrak Metanol tumbuhan pegagan dan fraksi masing-masing dengan menggunakan pereaksi penampak
noda menunjukkan senyawa metabolit sekunder yang teridentifikasi pada semuanya adalah senyawa golongan terpenoid.
Berdasarkan hasil analisis profil metabolit sekunder dengan KCKT ekstrak pegagan yang di ambil dari Desa Buluh
Cina, Kecamatan siak hulu, Kabupaten Kampar secara elusi gradien yang di analisis selama 60 menit. Dari ekstrak
pegagan pada λ 254 nm dan λ 366 nm menunjukan 13 puncak dan 7 puncak. Dari fraksi n-heksan pada λ 254 nm dan λ
366 nm menunjukan 8puncak dan 5 puncak. Sedangkan pada fraksi etil asetat pada λ 254 nm dan λ 366 nm menunjukan
9 puncak dan 2 puncak. Serta fraksin-butanol pada λ 254 nm dan λ 366 nm menunjukan 10 puncak dan 11 puncak. Pada
ekstrak dan fraksi menunjukan adanya gugus kromofor yang merupakan senyawa triterpenoid dengan λmax 263 pada
senyawa mayor dengan waktu retensi 8 menit.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2010, Informasi Spesialit Obat Indonesia, Jakarta, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.
48
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Dalimartha, S., 2000, Atlas Tumbuhan Obat Indonesia 2, Trubus Agriwidya, Jakarta.
Djamal, R., 1998, Prinsip-Prinsip Dasar Isolasi dan Identifikasi, Universitas Baiturrahmah, Padang.
Harbone, J. B., 1987, Phytochemical Methods (Metoda Fitokimia), Terbitan II, Diterjemahkan Oleh K. Padmawinata dan I. Soediro, ITB, Bandung.
Heyne, K., 1987, Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III, Terjemahan Badan Litban Kehutanan, Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta.
Liang, Y, Z., Xie, P., dan Chan, K., 2004, Quality control of herbal medicines, Journal of Chromtography B, 53-70.
Mursito, B., 2004, Tampil Percaya Diri dengan Ramuan Tradisional Jilid I, Penebar swadaya, Jakarta.
Muzakar, 2010, Karekterisasi Simplisia dan Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid dan Ekstrak n-Heksana Daun Sirsak (Annona Muricata Linn),
Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sumatra Utara, Medan.
Nooryati., 2007, Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia, Sunda Kelapa Pustaka, Jakarta.
Putra, D.L. dan Effendy., 2004, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dalam Bidang Farmasi, USU Digital Library diakses pada 26 Januari 2010.
Silverstein, R.M., Bessler, G.C. & Moril, T.C. 1989. Penyidikan Spektroskopi Senyawa Organik, diterjemahkan oleh A.J. Hartono dan A.V. Purba.
Jakarta: Erlangga.
49
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Telah dilakukan isolasi jamur endofit dari tumbuhan inang nagasari (Mesua ferrea L.), dan salah satunya adalah MFR-01.Tujuan penelitian ini adalah
melakukan isolasi, identifikasi, dan pengujian aktivitas antibakteri jamur endofit MFR-01 yang diisolasi dari nagasari. Isolasi jamur endofit dilakukan
dengan kultivasi dan subkultivasi jamur yang tumbuh dari bagian dalam ranting nagasari yang telah disterilkan permukaannya pada media agar.
Identifikasi primer jamur dilakukan berdasarkan Gambaran makroskopis dan mikroskopis morfologinya.Pengujian aktivitas antibakteri menggunakan
metode dilusi.Jamur endofit MFR-01 belum bisa diidentifikasi berdasarkan Gambaran morfologisnya saja.Ekstrak etil asetat jamur endofit MFR-01
aktif menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus, tetapi tidak aktif terhadap Escherichia coli. Aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat jamur endofit
MFR-01 pada konsentrasi minimum 62,5 ppm setara dengan kontrol positif Ciprofloxacin.
ABSTRACT
This research aimed to isolate, identify, and determine antibacterial activity of MFR-01, an endophytic fungi derived from ironwood (Mesua ferrea, L.)
Isolation of endophytic fungi was performed by subsequent cultivation of the fungi grown from the inner part of surface sterilized stems of ironwood
on the solid media. Primary identification of isolated endophytic fungi was conducted based on the morphology characterization of the fungi.
Determination of antibacterial activity of ethyl acetate extract of endophytic fungi MFR-01 used dilution method. The endophytic fungi MFR-01 could
not be identified based on its incomplete observed morphology. Ethyl acetate extract of endophytic fungi MFR-01 showed a strong inhibitory activity
against Staphylococcus aureus, but it was not active against Escherichia coli. At minimum concentration of 62.5 ppm, its activity against S. aureus was
comparable to that of Ciprofloxacin.
PENDAHULUAN
Jamur endofit, yang didefinisikan sebagai jamur yang menghuni intradan/atau interseluler
tanaman tingkat tinggi tanpa menimbulkan efek negatif terhadap tanaman inangnya, telah banyak dipelajari selama dua
dekade terakhir (dos Banhos et al., 2014). Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa jamur endofit mampu menghasilkan
metabolit bioaktif dengan berbagai aktivitas, salah satunya adalah sebagai antibakteri (Liang et al., 2012; dos Banhos et
al., 2014; Hussain et al., 2014; Katoch et al., 2014; Zuo et al., 2014; Jadson et al., 2015; Duan et al., 2016; Hartanti,
Supriyanto and Sugijanto, 2016; Luo et al., 2016). Beberapa metabolit yang dihasilkan oleh jamur endofit memiliki
struktur yang mirip dengan metabolit yang dihasilkan oleh tumbuhan inang dimana jamur tersebut tinggal (Kusari,
Hertweck and Spiteller, 2012; Zuo et al., 2014; Nicoletti and Fiorentino, 2015). Pemilihan tumbuhan inang yang tepat
penting bagi proses pencarian metabolit antibakteri baru dari jamur endofit. Dalam konteks ini, tumbuhan inang yang
secara etnomedisin telah digunakan sebagai antiseptik alami dan/atau diketahui menghasilkan metabolit-metabolit yang
aktif sebagai antibakteri diprioritaskan untuk dipelajari kekayaan simbion endofitnya (Selim et al., 2012).
Nagasari (Messua ferrea, L) secara tradisional digunakan sebagai obat luka di Jawa (Suparman et al., 2012).
Tumbuhan ini telah dilaporkan menghasilkan beberapa metabolit yang aktif sebagai antibakteri (Dennis, Kumar and
Srimannarayana, 1988; Verotta et al., 2004; Chanda, Rakholiya and Parekh, 2013; Roy et al., 2013). Studi pendahuluan
yang kami lakukan telah berhasil mengisolasi enam jamur endofit dari ranting dan daun nagasari yang tumbuh di
Banyumas, Jawa Tengah (Hartanti, 2015). Dalam artikel ini, kami melaporkan proses isolasi, identifikasi, dan aktivitas
antimikroba dari ekstrak etil asetat jamur endofit MFR-01, salah satu jamur endofit yang diisolasi dari ranting nagasari.
50
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
51
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
campuran media NA dan bakteri uji yang telah memadat tersebut.Sepuluh µl Sampel uji (ekstrak etil asetat jamur endofit
MFR-01 pada konsentrasi 1000, 500; 250; 125; 62,5; 31,25;dan 15,625 ppm, DMSO 10% sebagai kontrol negatif, dan
Ciprofloxacin 2000 ppm sebagai kontrol positif) masing-masing diteteskan pada kertas cakram, dan diinkubasi selama 24
jam. Aktivitas antibakteri dari sampel uji ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap diameter dari zona hambat
pertumbuhan bakteri uji.Pengujian dilakukan dengan tiga kali replikasi.
Pengujian Statistika
Diameter zona hambat dari sampel uji terhadap S. aureus dan E. coli dianalisis secara statistik menggunakan
metode analisis varian satu arah. Perbandingan rata-rata antar kelompok sampel uji dibandingkan dengan menggunakan
uji post hocbeda nyata terkecil (BNT). Kedua analisis tersebut menggunakan program SPSS ver 16.0 pada taraf
kepercayaan 95%.
Gambar 1. Gambaran morfologis jamur endofit MFR-01 (A) makroskopis jamur berumur 7 hari, (B) mikroskopis pada
pembesaran 20x, (C) mikroskopis pada pembesaran 40x
Informasi yang didapatkan dari Gambaran mikroskopis pada jamur endofit MFR-01 masih sangat kurang.
Jamur tidak menunjukkan morfologi spesifik yang bisa digunakan sebagai dasar identifikasi dengan menggunakan
panduan dari “Pictorical atlas of soil and seeds fungi: Morphologies of cultured fungi and key to species” (Wattanabe,
2002). Untuk pemastian identitas MFR-01, perlu dilakukan isolasi dan sequencing ITS-DNA dari jamur tersebut (Qadri
et al., 2013).
Kultivasi jamur endofit MFR-01 dilakukan untuk mendapatkan biomassa dalam jumlah yang lebih besar
sehingga cukup untuk dilakukan pengujian aktivitas. Dari total 10lkultur media PDB, didapatkan 287g massa basah dan
52
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
122g massa kering jamur. Ekstraksi massa kering jamur dilakukan dengan maserasi menggunakan etil asetat, dengan
rendemen sebanyak 8,46%.
Hasil pengujian aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat jamur endofit MFR-01 terhadap S. aureus danE. colidapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat jamur endofit MFR-01 pada semua konsentrasi (15,625; 31,25;
62,5; 125; 250; 500; dan 1000 ppm) menghasilkan zona hambat terhadapS. aureus.Analisis statistik dengan Anava satu
arah menunjukkan bahwa sampel uji yang digunakan mempengaruhi diameter zona hambat kulturS. aureus (sig = 0,00).
Perbandingan rata-rata diameter antar kelompok sampel uji dengan uji LSD menunjukkan bahwa kelompok ekstrak etil
asetat jamur endofit MFR-01 yang memiliki diameter zona hambat berbeda signifikan terhadap kelompok kontrol negatif
(DMSO 10%) adalah konsentrasi 62,5; 125; 250; 500; dan 1000 ppm (α≤0,05). Dengan demikian, ekstrak etil asetat jamur
endofit MFR-01 mulai konsentrasi minimum 62,5 ppm memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan S. aureus.Dari
kelima kelompok sampel uji tersebut, ekstrak etil asetat jamur endofit MFR0-01 pada konsentrasi 62,5; 125; dan 250 ppm
memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. aureus yang setara dengan Ciprofloxacin 2000 ppm (α≤0,05). Dengan demikian,
ekstrak etil asetat jamur endofit MFR-01 pada konsentrasi yang lebih tinggi (500 dan 1000 ppm) memiliki aktivitas
penghambatan pertumbuhan S. aureus yang lebih baik dibandingkan kelompok kontrol positif tersebut.
Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat jamur endofit MFR-01 terhadap E. coli (Tabel 1) menunjukkan
hasil negatif, karena pada semua konsentrasi yang diujikan tidak terbentuk zona hambat pertumbuhan bakteri. Kontrol
positif Ciprofloxacin menunjukkan penghambatan kuat terhadap E. coli (diameter zona hambat = 32,8 mm). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa ekstrak etil asetat jamur endofit MFR-01 tidak memiliki aktivitas antibakteri terhadap
E.coli.
Tabel 1. Diameter zona hambat ekstrak etil asetat pekat jamur endofit MFR-01 terhadap bakteri uji
Sampel uji Diameter zona hambat (mm) terhadap
S. aureus E. coli
Ekstrak etil asetat MFR-01 15,625 ppm 1,7 ± 1,04 0
Ekstrak etil asetat MFR-01 31,25 ppm 2,3 ± 1,35 0
Ekstrak etil asetat MFR-01 62,5 ppm 5,1 ± 3,53* 0
Ekstrak etil asetat MFR-01 125 ppm 8,2 ± 1,84* 0
Ekstrak etil asetat MFR-01 250 ppm 10,8 ±3,27* 0
Ekstrak etil asetat MFR-01 500 ppm 21,7 ± 5,42*▪ 0
Ekstrak etil asetat MFR-01 1000 ppm 27,7± 1,19*▪ 0
Ciprofloxacin 2000 ppm 7,5 ± 1,55* 32,8 ± 2,57
DMSO 10% 0 0
Ket: tanda (*) menunjukkan rata-rata diameter zona hambat kelompok berbeda signifikan terhadap DMSO;
tanda (▪) menunjukkan rata-rata diameter zona hambat kelompok berbeda signifikan terhadap Ciprofloxacin;
analisis dilakukan pada α = 0,05
Hasil pengujian aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat jamur endofit MFR-01 memiliki
aktivitas yang berbeda terhadap kedua bakteri uji.Ekstrak etil asetat jamur endofit MFR-01 aktif terhadap S. aureus (suatu
bakteri Gram positif), tetapi tidak aktif terhadap E. coli (suatu bakteri Gram negatif). Perbedaan antara bakteri Gram
positif dan Gram negatif terutama pada struktur dinding selnya (Takeuchi et al., 2012). Kandungan metabolit dalam
53
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ekstrak etil asetat MFR-01 memiliki spektrum sempit yang hanya aktif terhadap S. aureus saja.Metabolit tersebut mungkin
bekerja dengan mekanisme aksi yang secara selektif mempengaruhi dinding sel S. aureus.
Jamur endofit telah terbukti mampu menghasilkan metabolit sekunder yang mirip atau sama dengan yang
dihasilkan tumbuhan inangnya. Metabolit yang mirip tersebut memunculkan bioaktivitas yang sama pula. Terkait dengan
aktivitas antibakteri terhadap S. aureus yang ditunjukkan oleh ekstrak etil asetat jamur endofit MFR-01, diketahui bahwa
ekstrak nagasari memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri S. aureus dan E. coli(Ali et al., 2004), juga terhadap
Plasmodium falciparum(Verotta et al., 2004). Diperlukan studi lebih lanjut untuk membuktikan ada tidaknya hubungan
antara metabolit yang dihasilkan oleh nagasari dan metabolit yang dihasilkan oleh jamur endofit MFR-01 yang diisolasi
dari nagasari tersebut.
KESIMPULAN
Jamur endofit MFR-01 yang diisolasi dari ranting nagasari belum bisa diidentifikasi berdasarkan Gambaran
morfologisnya saja. Ekstrak etil asetat jamur tersebut aktif memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan S. aureus yang
kuat (mulai konsentrasi minimum 62,5 ppm setara dengan kontrol positif Ciprofloxacin 2000 ppm), tetapi tidak aktif
terhadap E. coli.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. A., Sayeed, M. A., Bhuiyan, M. S. A., Sohel, F. I. &Yaesmin, M. S. (2004) Antimicrobial screening of Cassia fistula and Mesua ferrea, J. Med.
Sci., 4(1): 24–29.
dos Banhos, E. F., de Souza, A. Q. L., de Andrade, J. C., de Souza, A. D. L., Koolen, H. H. F. & Albuquerque, P. M. (2014) Endophytic fungi from
Myrcia guianensis at the Brazilian Amazon: Distribution and bioactivity, Brazilian Journal of Microbiology, 45(1): 153–161.
Chanda, S., Rakholiya, K. & Parekh, J. (2013) Indian medicinal herb: Antimicrobial efficacy of Mesua ferrea L. seed extracted in different solvents
against infection causing pathogenic strains, Journal of Acute Disease. Elsevier, 2(4): 277–281.
Dennis, T. J., Kumar, K. A. & Srimannarayana, G. (1988) A new cyclo hexadione from Mesua ferrea, Phytochemistry. 27(7): 2325–2327.
Duan, R., Zhou, H., Yang, Y., Li, H., Dong, J., Li, X., Chen, G., Zhao, L. & Ding, Z. (2016) Antimicrobial meroterpenoids from the endophytic fungus
Penicillium sp. T2-8 associated with Gastrodia elata, Phytochemistry Letters.
Hartanti, D. (2015) Isolation and primary identification of endophytic fungi from Ironwood (Mesua ferrea), Pharmacy, 12(1): 21–24.
Hartanti, D., Supriyanto, J. & Sugijanto, N. E. N. (2016) Antimicrobial activity of fractions of ethyl acetate extract of Cladosporium oxysporum, an
endophytic fungus derived from Alyxia reinwardtii, Jurnal Kefarmasian Indonesia, 6(1): 1–7.
Hussain, H., Kliche-Spory, C., Al-Harrasi, A., Al-Rawahi, A., Abbas, G., Green, I. R., Schulz, B., Krohn, K. & Shah, A. (2014) Antimicrobial
constituents from three endophytic fungi, Asian Pacific Journal of Tropical Medicine. 7: S224–S227.
Jadson, D. P. B., Carlos, C. F. N., Renando, N. B., Dianny, C. V. da S., Virgínia, M. S., Eliane, B. S.-N., Bruno, S. G., Laura, M. P. & Cristina, M. S.M.
(2015) Endophytic fungi from medicinal plant Bauhinia forficata: Diversity and biotechnological potential’, Brazilian Journal of Microbiology,
57: 49–57.
Janssen, P. H., Yates, P. S., Grinton, B. E., Taylor, P. M. & Sait, M. (2002) Improved culturability of soil bacteria and isolation in pure culture of novel
members of the divisions Acidobacteria, Actinobacteria, Applied and Environmental Microbiology, 68(5): 2391–2396.
Katoch, M., Singh, G., Sharma, S., Gupta, N., Sangwan, P. L. & Saxena, A. K. (2014) Cytotoxic and antimicrobial activities of endophytic fungi isolated
from Bacopa monnieri(L.) Pennell (Scrophulariaceae),BMC Complementary and Alternative medicine. 14(1): 52-57
54
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Kuete, V., Ango, P. Y., Fotso, G. W., Kapche, G. D. W. F., Dzoyem, J. P. & Wouking, A. G. (2011) Antimicrobial activities of the methanol extract
and compounds from Artocarpus communis (Moraceae), BMC Complementary and Alternative Medicine, 11(42): 1–5.
Kusari, S., Hertweck, C. & Spiteller, M. (2012) Chemical ecology of endophytic fungi: Origins of secondary metabolites, Chemistry & Biology, 19(7):
792–798.
Liang, H., Xing, Y., Chen, J., Zhang, D., Guo, S. & Wang, C. (2012) Antimicrobial activities of endophytic fungi isolated from Ophiopogon japonicus
(Liliaceae)’, BMC Complementary and Alternative medicine, 12(1): 238-243.
Luo, Y.-F., Zhang, M., Dai, J.-G., Pedpradab, P., Wang, W.-J. & Wu, J. (2016) Cytochalasins from mangrove endophytic fungi Phomopsis spp. xy21
and xy22’, Phytochemistry Letters, 17: 162–166.
Nicoletti, R. & Fiorentino, A. (2015) Plant bioactive metabolites and drugs produced by endophytic fungi of Spermatophyta, Agriculture, 5: 918–970.
Qadri, M., Johri, S., Shah, B. A., Khajuria, A., Sidiq, T. & Lattoo, S. K. (2013) Identification and bioactive potential of endophytic fungi isolated from
selected plants of the Western Himalayas, Springer Plus, 2(8): 1–14.
Roy, S. K., Kumari, N., Pahwa, S., Agrahari, U. C., Bhutani, K. K., Jachak, S. M. & Nandanwar, H. (2013) NorA efflux pump inhibitory activity of
coumarins from Mesua ferrea, Fitoterapia, 90: 140–150.
Selim, K. A., El-Beih, A. A., Abdel-Rahman, T. & El-Diwany, A. I. (2012) Biology of endophytic fungi’, Current Research in Environmental and
Applied Mycology, 2(1): 31–82.
Sugijanto, N. E., Diesel, A., Rateb, M., Pretsch, A., Gogalic, S., Zaini, N. C., Ebel, R. & Indryanto, G. (2011) Lectythomycin, a new macrolactone
glycoside from endophytic fungus Lecythopora sp., Natural Product Communications, 6: 677–678.
Suparman, Diniatik, Kusumaningrum, D. & Yulianto (2012) Studi Etnobotani tumbuhan sub kelas Rosidae,Pharmacy, 8(2): 1–8.
Takeuchi, O., Hoshino, K., Kawai, T., Sanjo, H., Takada, H., Ogawa, T., Takeda, K. & Akira, S. (2012) Differential roles of TLR2 and TLR4 in
recognition of Gram-negative and Gram-positive bacterial cell wall components, Immunity, 4: 443–451.
Verotta, L., Lovaglio, E., Vidari, G., Finzi, P. V., Neri, M. G., Raimondi, A., Parapini, S., Taramelli, D., Riva, A. & Bombardelli, E. (2004) 4-Alkyl-
and 4-phenylcoumarins from Mesua ferrea as promising multidrug resistant antibacterials’, Phytochemistry, 65(21): 2867–2879.
Wattanabe, T. (2002) Pictorial atlas of soil and seed fungi: Morphologies of cultured fungi and key of species. 3rd edn. Boca Raton: CRC Press.
Zuo, W.-J., Jin, P.-F., Dong, W.-H., Dai, H.-F. & Mei, W.-L. (2014) Metabolites from the endophytic fungus HP-1 of Chinese eaglewood, Chinese
Journal of Natural Medicines, 12(2): 151–153.
55
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Menurut The Centers for Disease Control and Preventiontahun 2014 sekitar 70-97% individu diabetes mengalamidislipidemia. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui aktivitas ekstrak etanol 70% daun sukun (Artocarpusaltilis) dalam menurunkan glukosa darah pada kondisi hiperglikemia dan
hiperlipidemia. Hewan uji tikus jantan dibagi 6 kelompok perlakuan, masing- masing terdiri dari 4 ekor tikus. Kelompok kontrol normal, kelompok
kontrol positif (metformin HCL), dan kelompok kontrol negatif, kelompok uji diberi ekstrak etanol 70% daun sukun dosis 200 mg/kg BB, 400 mg/kg
BB, 600 mg/kg BB secara peroral. Hewan uji diberi pakan hiperlipidemia selama 28 hari, dan hari ke-25 diinduksi aloksan, kemudian diberi zat uji
selama 14 hari. Pengambilan darah dilakukan pada hari ke-29 dan 44. Hasil uji ANOVA satu arah menunjukkan dosis I, II, dan III berbeda bermakna
terhadap kontrol negatif (p<0,05). Persentase penurunan kadar glukosa darah menunjukkan kelompok III memberikan efek sebanding dengan kontrol
positif dengan penurunan sebesar 48,01%. Dapat disimpulkan daun sukun ekstrak etanol 70% dosis 600 mg/kg BB memiliki aktivitas menurunkan
kadar glukosa darah pada kondisi hiperglikemia dan hiperlipidemia yang sebanding dengan kontrol positif.
LATAR BELAKANG
Hiperglikemia adalah suatu kondisi dimana kadar glukosa dalam plasma darah melebihi batas normal. Diabetes
mellitus merupakan suatu sindrom kelainan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang ditandai hiperglikemia
disebabkan oleh kekurangan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas reseptor terhadap insulin atau keduanya (Guyton,
2006).
International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2005 memperkirakan jumlah penderita DM usia 20-79
pada tahun 2010 sebesar 285 juta jiwa (6,6%) dan akan meningkat menjadi 438 juta jiwa (7,8%) pada tahun 2030.
Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 terjadi peningkatan prevalensi pada penderita
diabetes mellitus yaitu dari 1,1% pada tahun 2007 menjadi 1,5 % pada tahun 2013 dan prevalensi dari penderita DM
cenderung meningkat pada perempuan dibandingkan laki-laki.
Sebagian besar penderita DM disertai gangguan terhadap lemak dan kolesterol. Hal ini menyebabkan pasien DM
tipe 2 mempunyai beberapa abnormalitas lipid, meliputi peningkatan trigliserida plasma (karena peningkatan VLDL dan
lipoprotein remnant), peningkatan kadar LDL dan penurunan kadar HDL kolesterol (Rader dkk, 2006). The Centers for
Disease Control and Prevention Tahun 2014 melaporkan 70-97% individudengan diabetes mengalamidislipidemia.
Meningkatnya penderita diabetes mellitus dari tahun ke tahun yang disertai hiperglikemia dan hiperlipidemia
memerlukan suatu langkah untuk mengatasinya. Pengobatan obat-obat sintetis untuk menurunkan kadar glukosa darah
pada kondisi hiperglikemia dan hiperlipidemia memiliki efek samping antara lain, gangguan hepar dan ginjal. Penggunaan
bahan alami menjadi pilihan untuk mengatasi masalah efek samping yang ditimbulkan dari obat-obatan sintetik dalam
pemakaian jangka panjang. Salah satu tanaman berkhasiat obat yang dapat digunakan sebagai obat diabetes yang disertai
hiperglikemia dan hiperlipidemia adalah daun sukun (Artocarpus altilis).
Daun sukun mengandung zat berkhasiat seperti quercetin, quecetin adalah kelompok senyawa dari flavonoid
(Shabella, 2012). Daun Sukun merupakan tanaman yang belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dalam pengobatan
tradisional. Penggunaannya dalam potensi penurunan glukosa darah yang disertai hiperglikemia dan hiperlipidemia dapat
menjadi alternatif pilihan obat tradisional.
56
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Berdasarkan penelitian ekstrak etanol 96% daun sukun dengan dosis 400 mg/kg BB pada mencit dapat menurunkan
kadar glukosa darah sebesar 77,07% (Lestiani, 2015). Kemudian pada penelitian lainnya ekstrak metanol daun sukun
dosis 200mg/kg BB mampu menurunkan kadar trigliserida pada tikus jantan sebesar 30,91%, pada kolesterol total
menurunkan sebesar 31.83%, dan pada kadar LDL dapat menurunkan sebesar 31,64% (Oluwatosin et al, 2014). Maka
dalam penelitian ini akan dilanjutkan penelitian daun sukun terhadap penurunan glukosa darah pada tikus kondisi
hiperglikemia dan hiperlipidemia.
METODE
Sebelum diberi perlakuan percobaan, hewan uji diaklimatisasi terlebih dahulu selama 7 hari dengan tujuan hewan
uji bisa beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Masing-masing tikus yang akan digunakan dalam penelitian
ditimbang. Dalam menentukan pemberian ekstrak daun sukun pada percobaan ini tikus dibagi 6 kelompok, setiap
kelompok terdiri dari 4 ekor tikus.
Semua kelompok tikus diberi pakan dengan pakan hiperlipidemia selama 43 hari, kecuali kelompok normal.
Penginduksian aloksan dilakukan pada hari ke-25. Hanya sekali induksi aloksan. Setelah diinduksi aloksan semua tikus
dipelihara selama 4 hari agar terjadi hiperglikemik dan hiperlipidemia, tetapi tetap diberi pakan hiperlipidemia. Setelah
diinduksi aloksan dan diberi pakan hiperlipidemia, pada hari ke-29 dilakukan pengukuran kadar glukosa darah. Sebelum
percobaan dimulai semua hewan percobaan dipuasakan selama 12 jam, lalu diambil darah pada bagian ekor tikus. Setelah
itu kelompok dosis I, II, III diberi larutan bahan uji (ekstrak daun sukun) dan kelompok positif diberi larutan pembanding
(metformin HCL), perlakuan tersebut dilakukan selama 14 hari yaitu pada hari ke -29 sampai 43. Pada hari ke-44 setelah
pemberian bahan uji, dilakukan pengambilan darah akhir pada bagian tikus terhadap semua tikus, kemudian ditentukan
kadar glukosa darah. Setiap kali pengambilan darah tikus, sebelumnya dipuasakan selama 12 jam. Data yang digunakan
untuk analisis statistik adalah data persentase penurunan dari kadar awal dan akhir glukosa darah, kadar awal adalah kadar
setelah induksi aloksan sedangkan kadar akhir adalah kadar setelah perlakuan. Pada analisis data ini dilakukan terlebih
dahulu uji homogenitas dan normalitas. Selanjutnya dilakukan uji ANOVA satu arah dengan taraf signifikansi 95%.
Untuk mengetahui lebih lanjut adanya perbedaan antar kelompok dilakukan uji Tukey.
57
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Pada penelitian ini digunakan 6 kelompok hewan uji yaitu kelompok normal, kontrol negatif, kontrol positif, uji
dosis I, uji dosis II, dan uji dosis III. Kelompok normal diperlukan untuk mengetahui kadar normal glukosa darah. Kontrol
negatif diperlukan untuk mengetahui peningkatan kadar glukosa darah. Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu metformin HCL diperlukan untuk mengetahui pengaruh obat antidiabetik oral. Berdasarkan mekanisme,
metformin HCL dapat menurunkan produksi glukosa hati, menurunkan absorbsi glukosa usus, dan memperbaiki beta
pankreas dengan peningkatan ambilan dan penggunaan glukosa perifer (John, 2007).
Setelah dikelompokkan, maka dilakukan perlakuan terhadap tikus jantan yaitu dengan diberi pakan hiperlipidemia
dan diinduksi aloksan monohidrat. Pemberian pakan hiperlipidemia dilakukan selama 43 hari. Menurut Giri (2008)
hiperlipidemia dapat dibuat pada beberapa hewan dengan menambahkan lemak dan kolesterol dalam makanan (induksi
eksogen). Diet tinggi lemak dan kelebihan triasilgliserol menyebabkan jaringan adipose patogenik (Adiposopathy)
menstimulasi peningkatan TNF-α. Adanya peningkatan TNF-α menyebabkan meningkatnya oksidasi asam lemak pada
hepar sehingga terjadi hipertrigliseridemia, peningkatan sintesis kolesterol sehingga terjadi hiperkolesterolimia dan
terjadinya resistensi insulin (Barzilia dan Rudin, 2005)
Pada hari ke-25 tikus diinduksi aloksan monohidrat untuk meningkatkan kadar glukosa darah. Mekanisme kerja
aloksan monohidrat dapat merusak pankreas tikus dengan merusak sel β dari pulau langerhans pankreas yang mensekresi
58
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
hormon insulin. Pembentukan radikal bebas pada aloksan dan produk reduksinya (asam dialurat) membentuk siklus
redoks dengan radikal superoksida. Radikal ini mengalami dismutasi menjadi hidrogen peroksida, kemudian hidrogen
peroksida berikatan dengan reaksi fenton membentuk radikal hidroksil yang sangat reaktif yang dapat menyebabkan
meningkatnya kadar kalsium di sitosol sehingga terjadi kerusakan sel β pankreas yang menyebabkan pankreas tidak bisa
memproduksi insulin sehingga terjadi kerusakan insulin yang mengakibatkan glukosa tidak bisa masuk ke dalam sel tubuh
sehingga glukosa menumpuk di dalam darah (Yuriska, 2009). Tikus diinduksi secara intraperitonial dengan dosis 150
mg/kg BB.
Pada hari ke-29 dilakukan pengukuran pada semua kelompok terhadap kadar glukosa darah, trigliserida,
kolesterol total dan LDL. Pada penelitian ini didapatkan data setelah pemberian diet tinggi lemak selama 28 hari dan
pemberian induksi aloksan monohidrat setelah 4 hari kepada semua kelompok kecuali kelompok normal, yaitu kadar
glukosa darah 284,45 ± 50,46 mg/dl, (normal<200 mg/dl), trigliserida 308,45 ± 51,59 mg/dl (normal<150 mg/dl),
kolesterol total 334,5 ± 70,25 mg/dl (normal<200 mg/dl), dan LDL 229,25 ± 29,15 mg/dl (normal<100 mg/dl) (WHO
2006). Hasil uji homogenitas (p<0,05) menunjukkan data tersebar homogen. Hal ini diharapkan dengan hasil induksi yang
merata pada masing-masing hewan uji akan mendapatkan kondisi yang sama.
Setelah tikus mengalami hiperglikemia dan hiperlipidemia, tikus diberikan ekstrak etanol 70% daun sukun pada
kelompok uji dosis dan metformin HCL pada kelompok kontrol positif. Dosis ekstrak etanol 70% dibagi dalam tiga varian
yang berbedayaitu 200 mg/kg BB, 400 mg/kg BB, dan 600kg/kg BB. Pemberian ekstrak dan metformin HCL diberikan
secara oral yang dilakukan selama 14 hari. Kemudian pengukuran kadar gula darah dilakukan pada hari ke-44.
Data akhir pemeriksaan kadar glukosa darah pada hari ke-44 di uji secara statistik. Hasil uji homogenitas diperoleh
nilai sig. 0.71>α (0.05) sehingga data dinyatakan homogen. Kemudian dilanjutkan dengan analisa ANOVA satu arah,
darihasil Tabel ANOVA terhadap data kadar akhir glukosa darah diperoleh nilai sig. 0.000 < 0.05, hasil tersebut
menunjukan adanya perbedaan yang bermakna pada setiap kelompok perlakuan, sehingga dilanjutkan dengan uji tukey
untuk melihat perbedaan yang bermakna antar kelompok. Hasil uji statistic persentase penurunan glukosa darah pada hari
ke-44.
Tabel 1. Persentase penurunan kadar glukosa darah hari ke-44
Kelompok (%) Persentase Penurunan
59
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
70
60
Kadar Glukosa Darah
50 * *
40
* *
30
20 *
10
0
Dosis I Dosis II Dosis III Positif Negatif
Kelompok Perlakuan
Data kadar glukosa darah pada Gambar 1 menunjukkan bahwa dosis I, II, dan III memiliki perbedaan yang
bermakna (p<0,05) terhadap kontrol negatif. Hal ini menunjukan bahwa daun sukun memiliki aktivitas dalam
menurunkan kadar glukosa darah walaupun penurunan tersebut belum mencapai kadar normal. Pada TabelTabel 1
persentase kelompok dosis III yaitu 48,01% mampu menurunkan glukosa darah sebanding dengan kelompok kontrol
positif yaitu 50,1% dan berbeda bermakna dengan kelompok dosis I yaitu 21,2% dan kelompok dosis II yaitu 31,9%.
Dapat dilihat bahwa peningkatan dosis ekstrak daun sukun menghasilkan peningkatan aktivitas penurunan glukosa darah.
Kemampuan dalam penurunan glukosa darah berkaitan dengan aktivitas biologis senyawa dalam tanaman daun
sukun. Senyawa yang terkandung yaitu flavonoid, tanin, steroid, terpenoid dan alkaloid. Kandungan flavonoid dapat
menurunkan kadar glukosa darah dengan kemampuan sebagai zat antioksidan (Panjuantiningrum 2009). Menurut Sandhar
(2011) kandungan quarcetin yang terdapat dalam flavonoid memiliki kemampuan dalam memperbaiki morfologi
pankreas, proses regenerasi sel beta pankreas dan meningkatkan pengeluaran insulin. Insulin ini kemudian akan bekerja
meningkatkan transport glukosa dari darah ke dalam sel dengan cara meningkatkan permeabilitas dari membran sel
terhadap glukosa. Setelah masuk ke dalam sel, glukosa kemudian akan digunakan untuk menghasilkan energi. Pada hati
dan otot juga akan mengubah glukosa menjadi glikogen yang kemudian akan disimpan. Dengan adanya proses tersebut
akan menyebabkan kadar glukosa darah dalam tubuh dapat menurun secara perlahan. Mekanisme kerja lain yang
berpotensi dalam daun sukun terhadap penurunan glukosa darah yaitu sebagai inhibitor α glukosidase yang dapat
menghambat penyerapan glukosa di usus halus (Gustina, 2012).
Dari hasil penelitian, menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun sukun terhadap penurunan kadar glukosa
darah dalam kondisi hiperglikemia dan hiperlipidemia membutuhkan dosis lebih tinggi jika dibandingkan terhadap
penurunan glukosa darah hanya dengan kondisi hiperglikemia. Menurut Lestiani (2015) ekstrak daun sukun dengan dosis
400 mg/kg BB pada mencit memiliki penurunan glukosa darah sebesar 77,07%, sedangkan pada penelitian ini dosis yang
paling efektif terhadap penurunan glukosa darah pada tikus yaitu 600 mg/kg BB dengan persentase penurunan glukosa
darah sebesar 48,01%. Hal tersebut terjadi karena kondisi hiperlipidemia juga dapat berkontribusi terhadap peningkatan
kadar glukosa darah.
60
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Menurut Bintari (2012) asupan lemak yang berlebihan menyebabkan penurunan sensitivitas insulin.
Hiperglikemia dan hiperlipidemia yang terjadi dalam waktu lama dapat menambah pemicu disfungsi sel beta pankreas
yang dicerminkan melalui resistensi insulin, gangguan sekresi insulin, penurunan ekspresi gen yang terlibat dalam
produksi insulin, dan penurunan massa sel beta pankreas yang disebabkan induksi apotosis. Pada resisten insulin akan
terjadi peningkatan pemecahan asam lemak bebas (lipolisis) di jaringan adiposa. Pemaparan asam lemak bebas yang
terjadi dalam waktu lama akan menyebabkan sejumlah gangguan pada beberapa organ, antara lain penurunan ambilan
glukosa oleh jaringan otot, peningkatan glukogenesis di hati, peningkatan apoptosis dan hambatan terhadap sekresi insulin
pada sel beta pankreas (Chang-Chen, 2008). Hal ini menyebabkan penurunan glukosa darah pada kondisi hiperglikemia
dan hiperlipidemia membutuhkan dosis terapi yang lebih tinggi. Meskipun demikian ekstrak etanol 70% daun sukun
mampu menurunkan kadar glukosa darah pada kondisi hiperglikemia dan hiperlipidemia sebanding dengan metformin
HCL pada dosis 600 mg/kg BB.
KESIMPULAN
Pemberian ekstrak etanol 70% daun sukun (Artocarpus altilis) selama 14 hari, dapat menurunkan kadar glukosa
darah pada tikus putih jantan pada kondisi hiperglikemia dan hiperlipidemia. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya
perbedaan yang bermakna dengan kontrol negatif antara dosis 200 mg/kg BB (21,2%), dosis 400 mg/kg BB (31,9%) dan
dosis 600 mg/kg BB (48,1%). Pada uji dosis 600 mg/kg BB mempunyai aktivitas penurunan kadar glukosa darah yang
paling baik dan sebanding dengan kontrol positif .
DAFTAR PUSTAKA
Adaramoye, Oluwatosin Adekunle and Olubukola OyebimpeAkanni. 2014. Effects of Methanol Extract of Breadfruit (Artocarpusaltilis) on Atherogenic
Indices and Redox Status of Cellular System of Hypercholesterolemic Male Rats. Kota; Hindawi Publishing Corporation.
Barzilia, N., Rudin E., 2005. Inflamatory Peptides Derived From Adipose Tissue. Imunity and Ageing, 21. Available from
:http://www.immunityageing.com /content/2/1/1. Accessed 19-4-2014.
Chang-Chen KJ, Mullur R, Bernal –Mizrachi E. Beta –cell failure as a complication of diabetes. Rev Endocr Metab Disord;2008. 9: 329-43.
Guyton, A. C. And Hall, J. E. 2006. Textbook of Medical Physiology, 11th edition.Elsevier. Philiadelphia
Giri, Liga Nenggala. (2008). Potensi Antioksidan Daun Salam : Kajian In Vivo Pada Tikus Hiperkolesterolemia dan Hiperglikemia. Skripsi. Program
Studi Biokimia. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor
Gustina, N.M.R. (2012). Aktivitas Ekstrak, Fraksi Pelarut dan Senyawa Flavonoid Daun Sukun (Artocarpus altilis) Terhadap Enzim α-Glukosidasi
sebagai Antidiabetes. (Skripsi) . Bogor. InstitutPertanian Bogor.
Hardiningsih R, Nurhidayat N. 2006. PengaruhPemberianPakanHiperkoles-terolemiaterhadapBobotBadanTikusPutihWistar yang
DiberiBakteriAsamLaktat.Biodiversitas Volume 7, Halaman: 127-130
Lestiani A, dkk. 2015. UjiAktivitasAntihiperglikemiaEkstrakEtanolDaunSukun Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg) pada Mencit Swiss Webster
Jantan dengan Metode Uji Toleransi Glukosa. Dalam: Jurnal Farmasi Indonesia Universitas Islam Bandung
PERKENI.Konsensus Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia. Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI
Panjuantiningrum F. 2009. Pengaruh Pemberian Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus) Terhadap Glukosa Darah Tikus Putih Yang Diinduksi
loksan. Dalam; Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Hlm. 48
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Ksehatan RI. Jakarta. Hlm. V.
Sandhar, Harleen K., Dkk 2011. A Review of Phytochemistry and Pharmacology of Flavonoids Internationale Pharmaceuticasciencia, (online), I (1):
25
SH, Bintari, Dkk 2012. Penurunan Glukosa Darah Akibat Pemberian Ekstrak Virgin Olive Oil (Studi Pada Tikus Galur Spraguey Dawley yang diinduksi
Pakan Tinggi Lemak. Dalam :Jurrnal MIPA. FMIPA UNNES,Indonesia
World Health Organization. 2006. Definition and Diagnosis Of Diabetes and Intermediate Hiperglycemia. Dalam: Report of WHO/ IDF Consultation.
Yuriska A. 2009. Efek Aloksan Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar. Dalam: Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Semarang. Hlm 14.
61
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui golongan senyawa metabolit sekunder ekstrak metanol sarang ratu anai-anai M. gilvus Hagen., dan
aktivitasnya sebagai antibakteri terhadap duabelas bakteri uji. Dari 2 kg sarang ratu anai-anai Macrotermes gilvus Hagen., didapatkan ekstrak kental
metanol 1,3769 gram (0,068%). Berdasarkan analisis profil kromatografi lapis tipis (KLT) dari ekstrak metanol sarang ratu anai-anai ini terlihat empat
noda yang terpisah dibawah lampu UV 256 nm (Rf 0,75; 0,65; 0,48; 0,32) dan satu noda dibawah lampu UV 366 nm (Rf 0,75) dengan eluen n-heksan
: etil asetat (3 : 7) serta dengan penggunaan eluen n-heksan : etil asetat (1: 9) terpisah dua noda dengan (Rf 0,88 dan 0,80). Berdasarkan hasil pengujian
golongan senyawa, ekstrak metanol sarang ratu anai-anai Macrotermes gilvus Hagen., diketahui mengandung senyawa fenolik (Rf 0,75 dan 0,65) dan
triterpenoid (Rf 0,75 dan 0,65). Pengujian antibakteri dilakukan dengan menggunakan metode difusi. Konsentrasi larutan uji yang digunakan adalah
3% dan 1,5%. Sebagai kontrol positif digunakan kloramfenikol 0,3%. Dari hasil penelitian didapatkan aktivitas ekstrak dengan konsentrasi 3% terhadap
bakteri uji Micrococcus luteus ATCC 10240 dan Streptococcus mutans ATCC 25175 dan konsentrasi 1,5% terhadap bakteri uji Bacillus
subtilis,Salmonella typhi, Salmonella typhimurium ATCC 14028, Salmonella typhosa NCTC 786 dan Vibrio cholerae Inaba dengan diameter hambat
masing-masing 6 mm.
Kata Kunci : Sarang ratu anai-anai, Macrotermes gilvus Hagen., KLT, Metode difusi, Antibakteri.
ABSTRACT
The aims of this study were to determine the class of secondary metabolites of methanol extract of the queen termite nest Macrotermes gilvus Hagen.,
and its activity as antibacterial against twelve bacterias. From 2 kg of queen termite nest was obtained methanol viscous extract 1.3769 grams (0,068%).
Based on thin layer chromatography (TLC) analysis, the methanol extract had shown four separate stains under UV 256 nm (Rf 0.75; 0.65; 0.48; 0.32)
and a stain below UV 366 nm (Rf 0.75) using the eluent n-hexane: ethyl acetate (3: 7), while using eluent n-hexane : ethyl acetate (1 : 9) had shown
two stains with Rf 0.88 and 0.80. Based on the results of the group compounds test, the methanol extract of queen termite nest Macrotermes gilvus
Hagen., contains phenolic (Rf 0.75 and 0.65) and triterpenoids (Rf 0.75 and 0.65). Antibacterial testing was performed by diffusion method. The
concentrations of the test solution were used 3% and 1.5%. As a positive control, chloramphenicol 0.3% was used. Based on the results, methanol
extract had antibacterial activity at concentration of 3% against Micrococcus luteus ATCC 10240 and Streptococcus mutans ATCC 25175 while at
concentration of 1.5% against Bacillus subtilis, Salmonella typhi, Salmonella typhimurium ATCC 14028, Salmonella typhosa NCTC 786 and Vibrio
cholerae Inaba with each Diameter of Inhibitory Zone (DIZ) was 6 mm.
Keywords : Queen termite nest, Macrotermes gilvus Hagen., TLC, Diffusion method, Antibacterial.
PENDAHULUAN
Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling serius pada dekade terakhir adalah adanya pengembangan
resistensi mikroba terhadap antibiotika dan antimikroba sintetik. Dengan demikian, penemuan antibakteri baru merupakan
kebutuhan yang sangat mendesak (Alen et al., 2015a). Penyakit infeksi masih merupakan penyumbang tertinggi angka
kesakitan dan angka kematian di negara berkembang termasuk di Indonesia. Sesuai kebijakan kesehatan dari Departemen
Kesehatan, arah kebijakan umum riset dengan bidang fokus pembangunan kesehatan dan obat tahun 2010-2014 adalah
peningkatan ketersediaan obat dan agenda Riset Nasional memfokuskan pada pencarian senyawa baru yang berkhasiat
sebagai obat (Dasilva et al., 2003).
Rayap merupakan serangga kecil (ordo Isoptera) berwarna putih pemakan selulosa yang sangat berbahaya bagi
bangunan yang dibangun dengan bahan-bahan yang mengandung selulosa seperti kayu dan produk turunan kayu (papan
partikel, papan serat, plywood, blockboard dan laminated board) (Djamal, R. 1990). Nama lain dari rayap adalah anai-
anai, semut putih, rangas dan laron khusus individu bersayap, alates (Tarumingkeng, R. C. 2004).
Di Sumatera Barat diyakini dengan mengonsumsi ratu anai-anai M. gilvus Hagen dapat mengobati reumatik dan
mempercepat penyembuhan pasca stroke. Di India Selatan, Odontotermes formosanus Shiraki digunakan secara
62
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
tradisional untuk mengobati asma, suatu penyakit yang berasosiasi dengan mikroba Streptococcus pneumoniae,
haemophius influenza dan virus lainnya (Solavanet al., 2004) dan Nasutermes corniger digunakan untuk pengobatan
asma, batuk, flu dan sakit tenggorokan (Departemen Riset dan Teknologi. 2010).
Ratu anai-anai M. gilvus Hagen., memiliki total protein 43,54%, karbohidrat total 29,19%, lemak total 23,31%
(Alen et al.,2016c). Ratu anai-anai M. gilvus Hagen., memiliki aktivitas farmakologis sebagai obat luka bakar,
antihiperlipidemia dan imunomodulator serta tidak meyebabkan toksik terhadap organ hati (Alen et al,. 2015a).
Anai-anai membangun sarangnya sebagai tempat untuk hidup, mencari makanan dan berkembang biak. Bahan
yang digunakan untuk membangun sarang sangat tergantung pada makanan dan bahan yang tersedia di habitatnya
(Cowan, M. 1999).
Ditemukan aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol sarang anai-anai O. formosanus Shiraki (25 µg/cakram),
Macrotermes estherae (Desneux) (25 µg /cakram) dan Microtermes obesi Holmgren (10 µg /cakram) terhadap
Escherichia coli BL21 (Solavan et al, 2004). Ekstrak etanol dari campuran anai-anai N. corniger dan sarangnya memiliki
aktivitas sebagai agen antimikroba dan modulator bakteri resisten terhadap strain multidrug (Escherichia coli dan
Staphylococcus aureus) (Chaves et al., 2014). Alen et al, 2015c, melaporkan bahwa ekstrak jamur Cladosprorium sp.
yang bersimbiosis pada sarang anai-anai M. gilvusHagen., memperlihatkan aktivitas antijamur terhadap Candida
albicans. Dua antimikroba peptida baru telah diisolasi dari fungus-growingPseudacanthotermes spiniger yaitu termisin
yang memiliki aktivitas antifungi dan spinigerin yang memiliki aktivitas antibakteri dan antifungi (Da et al. Silva, 2003
& Lamberty et al., 2001).
Sarang anai-anai M. gilvus Hagen., mengandung protein 1,565%; kadar lemak 1,77%; kadar kalsium (Ca)
0,411%; kadar Fosfor (P) 0,147% dan kadar abu 87,09% (Alen et al,. 2015a). Alen et al, (2016b), berhasil mengisolasi
dua senyawa antibiotika dari fraksi etil asetat ekstrak metanol jamur Aspergillus niger simbiotik sarang ratu anai-anai M.
gilvus Hagen., yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri P. aeruginosa ATCC 27853 dan E. faecalis ATCC 29212.
Dari fraksi etil asetat jamur Mucor sp., simbiotik sarang ratu anai-anai M. gilvus Hagen., berhasil diisolasi dua senyawa
yang memiliki aktivitas terhadap E. coli ATCC 25922, B. subtilis,P.aeruginosa ATCC 27835 , M. luteus ATCC 10240,
S. typhimurium ATCC 14028 dan E. faecalis ATCC 29212 (Alen, Y. 2016a).
63
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
64
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
dikarenakan pada pemeriksaan golongan didapatkan golongan yang fenolik dan triterpenoid pada nilai Rf yang sama
(0,75 dan 0,65) sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
(a) (b)
Gambar 1: Pola KLT ekstrak metanol sarang ratu anai-anai M. gilvus Hagen. (a) Eluen n-heksan : etil asetat (3 : 7), UV
256; kanan, UV 366 nm; kiri. (b) Eluen n-heksan : etil asetat (1 : 9) pada UV 256.
Tabel 1. Hasil uji golongan senyawa metabolit sekunder ekstrak metanol sarang ratu anai-anai M. gilvus Hagen.
No. Golongan Pereaksi Hasil
1. Alkaloid Dragendorf -
2. Fenolik FeCl3 +
3. Flavonoid Sitroborat -
Mekanisme senyawa fenol sebagai antibakteri pada konsentrasi rendah adalah dengan merusak membran
sitoplasma dan dapat menyebabkan kebocoran inti sel, sedangkan pada konsentrasi tinggi senyawa fenol berkoagulasi
dengan protein seluler (Volk, W. A dan F. Wheeler. 1990). Mekanisme terpenoid sebagai antibakteri adalah bereaksi
dengan porin (protein transmembran) pada membran luar dinding sel bakteri, membentuk ikatan polimer yang kuat
sehingga mengakibatkan rusaknya porin. Rusaknya porin yang merupakan pintu keluar masuknya senyawa akan
mengurangi permeabilitas dinding sel bakteri yang akan mengakibatkan sel bakteri akan kekurangan nutrisi, sehingga
pertumbuhan bakteri terhambat atau mati (Cowan, M. 1999).
65
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Dari peneltian yang dilakukan Chaves (Chaves, et al., 2014) campuran anai-anai dan sarang dari N. corniger
mengandung metabolit sekunder golongan polifenol dan flavonoid. Pada penelitian Chaves (Chaves, et al., 2014) ini tidak
ditemukan senyawa golongan terpenoid sedangkan pada sarang M. gilvus Hagen., terdapat senyawa golongan terpenoid
dan tidak terdapat senyawa golongan flavonoid. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan lingkungan. Metabolit sekunder
dari sarang anai-anai diduga berasal dari tanaman inangnya. Senyawa yang terdapat pada tanaman yang dimakan diduga
masih tersimpan pada sistem pencernaan anai-anai atau eksremen yang digunakan untuk membuat sarang (Thorne, B. L.,
dan M.I Haverty. 2000).
Hasil pengujian aktivitas antibakteri dari ekstrak kental metanol sarang ratu anai-anai M. gilvus Hagen., dengan
metode difusi menunjukkan bahwa ekstrak kental metanol pada pada konsentrasi 3% (0,3 mg/cakram) dapat menghambat
pertumbuhan bakteri M. luteus ATCC 10240 dan S. mutans ATCC 25175 serta pada konsentrasi 1,5% (0,15 mg/cakram)
dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji B. subtilis, S. typhi, S. typhimurium ATCC 14028, S. typhosa NCTC 786 dan
V. cholerae Inaba serta dengan diameter hambat masing-masing 6 mm (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil uji aktivitas antibakteri
Diameter Hambat (mm)
Nama Bakteri
3% 1,5% Kontrol + Kontrol -
B. subtilis 6 6 36,5 ± 4,94 0
E. faecalis ATCC 29212 0 0 33,0 ± 2,82 0
M. luteus ATCC 10240 6 0 33,0 ± 2,82 0
S.aureus ATCC 6538 0 0 26,5 ± 2,12 0
S. epidermidis ATCC 12228 0 0 34,5 ± 6,36 0
S. mutans ATCC 25175 6 0 43,0 ± 1,41 0
E. coli ATCC 25922 0 0 28,5 ± 2,12 0
P. aeruginosa ATCC 27835 0 0 31,0 ± 1,41 0
S. typhi 6 6 35,5 ± 0,70 0
S. typhimurium ATCC 14028 6 6 33,0 ± 0,00 0
S. typhosa NCTC 786 6 6 42,0 ± 1,41 0
V.cholerae Inaba 6 6 30,0 ± 0,00 0
KESIMPULAN
Ekstrak metanol sarang ratu anai-anai M. gilvus Hagen., mengandung senyawa golongan fenolik dan
triterpenoid. Ekstrak metanol dari sarang ratu anai-anai M. gilvus Hagen., memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri
uji M. luteus ATCC 10240 dan S. mutans ATCC 25175 pada konsentrasi 3% (0,3 mg/cakram) serta dapat menghambat
pertumbuhan bakteri uji B. subtilis, 10240, S. typhi, S. typhimurium ATCC 14028, S. typhosa NCTC 786 dan V.cholerae
Inaba pada konsentrasi 1,5% (0,15 mg/cakram)dengan diameter hambat masing-masing 6 mm.
DAFTAR PUSTAKA
Alen, Y., Okta, F. N., Rusdian, R., Agresa, F. L., Marcelina, S. dan Fitri, A. M., 2015a. Analisis Metabolit Primer Sarang Ratu Anai-anai Macrotermes
Gilvus Hagen., dari Kebun Sawit Muko-Muko Bengkulu. Abstrak Paper hal : 123 dan Abstrak Prosiding Seminar Nasional dan Workshop
Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinis V. Padang. 6-7 November 2015.
66
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Alen, Y., Suci, L.,Suarmin, N. O., Suparman,A., Larasati, A., Yeni, Y. F. dan Febriyenti. 2015b. Isolasi (Penetapan Kadar) Metabolit Primer Ratu Anai-
anai (Macrotermes gilvus)Hagen., dan Potensi sebagai Obat Luka Bakar.Abstrak Paper hal : 107 dan Abstrak Prosiding Seminar Nasional dan
Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinis V. Padang. 6-7 November 2015.
Alen, Y., Sari, M. P. dan Putra, D.P. 2015c. Penapisan Jamur dari Sarang Ratu Anai-anai Macrotermes gilvus Hagen., Uji Aktivitas Ekstrak Terhadap
Candida albicans, dan Analisis KLT. Abstrak Paper hal : 64 dan Abstrak Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini
Sains Farmasi dan Klinis V. Padang. 6-7 November 2015.
Alen, Y. 2016a. Ratu Termite Macrotermes gilvusHagen., Kajian Awal Saintifik Dalam Pandangan Farmasi. Abstrak Paper hal : 33-34 dan Abstrak
Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinis VI. Padang. 23-24 September 2016.
Alen, Y., Melati, A. dan Djamaan, A. 2016b. Isolasi Senyawa Antibiotika Jamur Aspergillus niger Simbiotik Sarang Ratu Anai-anai Macrotermes
gilvus Hagen. Abstrak Paper hal : 41dan Abstrak Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinis
VI. Padang. 23-24 September 2016.
Alen, Y., Suci, L. N., Suarmin, O., Suharti, S., Larasati, A., Suparman, A. & Yeni, Y. F. 2016c. Primary Metabolites Analysis of Termite Queen
(Macrotermes gilvus Hagen.) and Burn Healing Assay. Abstract Paper of The Conference on Advancing the Life Science and Public Health
Awrence. Nagoya, Japan. 10-11 July.
Alen, Y., Suarmin, O., Suci, L. N., Kurniawan, R., Yasardi, F. & Ramadhani,V. 2016d. Analysis Levels of Fatty Acids from Freeze-dried Termite
Queen Macrotermes gilvusHagen., using GC-MS and Anti-hyperlipidemia Test. Abstract Paper of The Conference on Advancing the Life Science
and Public Health Awrence. Nagoya, Japan. 10-11 July.
Alen, Y., Indraini, R. A. dan Y. Yuliandra. 2016e. Toksisitas Akut dan Sub-akut Freeze Drying Ratu Anai-anai (Macrotermes gilvus Hagen.) terhadap
Fungsi Hati Mencit. Abstrak Paper hal : 43 dan Abstrak Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan
Klinis VI. Padang. 23-24 September 2016.
Alen, Y., Rahmawati, R., Aldi, Y., Nitoda, T., Baba, N. & Nakajima. 2016f. Immunomodulatory Activity of Freeze Dried Termite Queen Macrotermes
gilvus Hagen. Abstract Paper of The Conference on Advancing the Life Science and Public Health Awrence. Nagoya, Japan. 10-11 July.
Amer. F.A., El-Behedy. E.M., & Mohtady, H. A. 2008. New Target for Antibacterial Agents. Biotechnology and Molecular Biology Reviews.
JunVol.3(3): 46-57.
Chaves, T. P., Clementino, E. L. C., D. C. Felismino, Alves, R. R. N., Vasconcellos, A., Coutinho, H. D. M. & A. C. D. Medeiros. 2014. Antibiotic
Resistance Modulation by Natural Products Obtained from Nasutitermes corniger (Motschulsky, 1885) and Its Nest. Saudi Journal of Biological
Sciences.
Cowan, M. 1999. Plant Product as Antimicrobial Agent. Clinical Microbiology Reviews. 12 (4): 564-582.
Dangerfield, J.M., McCarthy, T.S., & Ellery W.N. 1988. The Mound-Building Termite Macrotermes michaelsemi as an Ecosystem Engineer. Journal
of Tropical Ecology: 507-520.
Da Silva, P., Jouvensal, L., Lamberty, M., Bullet, P., Caille A., & F. Vovelle. 2003. Solution Structures of Termicin, An Antimicrobial Peptide from
The Termite Pseudacanthoterme spiniger. Protein Sci. 12: 438-446.
Departemen Riset dan Teknologi. 2010. Agenda Riset Nasional 2010-2014. Lampiran Keputusan Menteri Riset dan Teknologi.
Djamal, R. 1990. Prinsip-Prinsip Dasar Bekerja dalam Bidang Kimia Bahan Alam. Padang: Universitas Andalas Ferreira, F.S., U.P. Albuquerque,
H.D.M. Coutinho, W.O. Almeida, R.R.N. Alves. 2012. The Trade in Medicinal Animals in Northeastern Brazil. Evid. Based Complement.
Alternat. Med :1-20.
Hasan,T.1984.RayapdanPemberantasannya.Jakarta : YayasanPembinaanWatakdanBangsa.
Lamberty, M. D., Zachary, R., Lanot, Bordereaur, C., Robert, A., Hoffinann, J. & Bulet,P. 2001. Insect Immunity, Constitutive Expression of A
Cysteine-Rich Antifungal and A Linear Antibacterial Peptide in A Termite Insect. J. Biol. Chem. 276: 4085-4092.
Solavan, A., Paulmurugan, R., Wilsanand, V. & Ranjith Sing, A.J.A. 2004. Traditional Therapeutic Use of Animals Among Tribal Population of Tamil
Nadu, India. Indian J. Traditional Knowledge. 3: 198-205.
Solavan, A., Paulmurugan, R. & Wilsanand, V. 2007. Antibacterial Activity of Subterranean Termites Used in South Indian Folk Medicine. Indian
Journal of Traditional Knowledge. 6(4): 559-562.
Thorne, B. L., Haverty, M.I. 2000. Nast Growth and Survivorship in Three Species of Neotropical Nasutitermes (Isoptera : Termitidae). Environ. Ecol.
29 : 256-264.
Tarumingkeng, R. C. 2004. Biologi dan Pengendalian Rayap Hama Bangunan di Indonesia. Manajemen Deteriorasi Hasil Hutan. (online).
http://www.rudyct.com/dethh/5_termite_biology_and_control.htm. Diakses 15 September 2016.
Volk, W. A dan Wheeler, F. 1990. Mikrobiologi Dasar. Edisi V. Jilid 2. Diterjemahkan oleh Sumarto Aisumertono. Jakarta: Airlangga.
67
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molken) merupakan salah satu tanaman obat yang secara empiris terbukti meningkatkan libido dan stamina. Beberapa
hasil penilitian terkait aktivitas afrodisiaka purwoceng dalam bentuk tunggal telah tersedia, namun tidak dalam bentuk kombinasi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui efek afrodisiaka purwoceng dalam bentuk kombinasi dengan pegagan dan temulawak. Sebanyak 24 ekor tikus SD dibagi
menjadi 2 kelompok (kontrol dan perlakuan). Setiap kelompok terdiri dari 1 ekor tikus jantan dan 3 betina dengan replikasi 3 kali. Infusa ramuan
diberikan p.o setiap hari jam enam sore selama 7 hari berturut turut pada tikus jantan kelompok perlakuan. Pada hari ke-7, dua puluh menit setelah
pemberian infusa ramuan, sebanyak 3 ekor tikus betina estrus dimasukkan ke kandang tikus jantan kelompok perlakuan dan dilakukan observasi
frekuensi introduction climbing dan coitus selama 2 jam. Sebelum dan sesudah perlakuan ditetapkan kadar testosteron tikus jantan menggunakan rat
testosteron elisa kit. Hasil uji menunjukkan infusa kombinasi purwoceng(375 mg/200 g bw) dalam bentuk kombinasi dengan pegagan (109 mg/200 g
bw) dan temulawak(182 mg/200 g bw) menunjukkan perbedaan signifikan frekuensi introduction, climbing dan coitus kelompok perlakuan dibanding
kontrol sebesar 74,02 ; 66,36dan 100,0 % dan meningkatkan kadar hormon testosteron sebesar 43,8 %. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
infusa kombinasi purwoceng (375 mg/200 g bw), pegagan (109 mg/200 g bw) dan temulawak (182 mg/200 g bw) memiliki efek afrodisiaka terhadap
tikus jantan SD.
ABSTRACT
Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molken) is one of plants contain compounds derived saponins, alkaloids, flavonoids and other compounds are
efficacious as reinforcement of the body and improving blood circulation, which empirically widely used to enhance male libido and stamina. There
were many previous studies on single form of purwoceng, but information of aphrodisiac effect in combination infusion not available yet. The study
aimed to determine the aphrodisiac effect of purwoceng infusion combined with Centella asiatica(pegagan) andCurcuma xanthorrhiza(temulawak)
against male rats libido in order to support the ‘Jamu Saintification’ program. As of 24 rats divided into two groups (control and treatment). Each group
consisted of a male and three female rats with three replication for each. The combination infusion be orally administered to male treatment group once
daily for 7 consecutives day at 6 p.m. On 7th day, twenty minutes after infusion given, female rat be entered to male cage and be observed for next 2
hours. The aphrodisiac effectparametres be determinedwere the introduction, climbing and coitus frequency of treatment male rat groupscompared to
control groupas well aspre and post-treatment testosterone hormone levels which tested using rat testosteron elisa kit. The results showed that infusion
of purwoceng (375 mg/200 g bw) in combination with pegagan (109 mg/200 g bw) and temulawak (182 mg/200 g bw) showed significant differences
on the percentage of introduction, climbing and coitus of male ratscompared to control group as much as 74.02 %; 66.36 %; and 100.0 % respectively
and increased levels of testosterone hormone up to 43.8 %. In conclusion, the combination infusion of purwoceng (375 mg/200 g bw), pegagan (109
mg/200 g bw) and temulawak (182 mg/200 g bw) had aphrodisiac effect on male rats libido.
PENDAHULUAN
Afrodisiaka adalah semacam zat perangsang yang konon dapat meningkatkan gairah seks (Tjokronegoro, 2003).
Afrodisiaka juga dapat diartikan sebagai makanan, obat, adegan atau perlengkapan yang dapat menimbulkan atau
meningkatkan gairah seksual atau libido (Singh et al, 2006). Afrodisiaka diambil dari ”Aphrodite”, dewi cinta, kecantikan
dan kesetiaan bagi bangsa Yunani. Dalam mitologi Romawi “Aphrodite” disebut Dewi Venus, yang merupakan putri dari
Zeus dan Dione. “Aphros” dalam bahasa Yunani berarti busa atau buih. Afrodisiaka dapat diGambarkan sebagai
beberapa zat yang dapat meningkatkan rangsangan seks dan atau kesenangan seksual.
Gangguan seksual lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita. Prevalensinya 10% terjadi pada
semua usia; lebih dari 50% terjadi pada pria dengan usia antara 50 dan 70 tahun; 40% dengan penurunan sel Leydig dan
penurunan Leutinizing Hormones (LH) (Yakubu et al., 2007). National Health and Social Life Survey (NHSLS) dan
Massachusetts Male Aging Study (MMAS) Amerika pada tahun 1992 meneliti bahwa pertambahan usia pada pria secara
positif berhubungan dengan penurunan libido. Pria dengan usia 50-59 tahun prevalensinya tiga kali lebih tinggi dari pria
dengan usia lebih muda (Laumann et al., 1999). Disfungsi seksual dapat ditangani dengan berbagai macam cara, salah
68
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
satunya adalah dengan menggunakan obat-obat kimia. Tetapi penggunaannya menimbulkan beberapa masalah, antara
lain dapat menimbulkan efek samping yang serius, ketidaktersediaan obat dengan segera, dan harganya mahal. Oleh
karena itu banyak orang lebih tertarik menggunakan obat-obat tradisional karena efek sampingnya lebih rendah dan
harganya yang relatif lebih murah (Yakubu et al., 2007).
Beberapa penelitian awal menunjukkan bahwa tumbuhan berkhasiat afrodisiaka seperti purwoceng (Pimpinella
purwatjan Molkenb) mengandung senyawa-senyawa seperti saponin, alkaloid, tanin dan senyawa-senyawa lain yang
secara fisiologis dapat melancarkan peredaran darah pada sistem saraf pusat (cerebral) atau sirkulasi darah tepi (perifer).
Efek meningkatkan sirkulasi darah ini terjadi juga pada genital pria. Peningkatan sirkulasi darah akan memperbaiki fungsi
organ (Hidayat, 2005).
Purwoceng dapat meningkatkan kadar hormon testosteron dan luteinizing hormone (LH) yaitu hormon yang
diproduksi hipofisis anterior di otak yang berfungsi merangsang sel-sel dalam testis untuk memproduksi testosteron.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Taufiqqurrachman (1999) dilaporkan bahwa ekstrak akar purwoceng
sebanyak 50 mg (setara dengan 375 mg serbuknya) mampu meningkatkan kadar hormon LH (Luteinizing hormone) dan
testosteron dibandingkan dengan kontrol (tanpa pemberian ekstrak) pada tikus Sprague Dawley.
Penelitian mengenai efek afrodisiaka purwoceng dalam bentuk tunggal sudah banyak dilakukan, akan tetapi
penelitian dalam bentuk ramuan belum dilakukan sehingga perlu dilakukan penelitian ini.
69
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Uji Aktivitas
Sebelum penelitian dimulai tikus diaklimatisasi selama 7 hari, dipelihara di laboratorium farmakologi
eksperimental Laboratorium Terpadu B2P2TOOT Tawangmangu pada ruangan berukuran 3x3 m pada
temperatur 21-24oC dan kelembaban± 70%. Tikus ditempatkan dalam kandang berbahan plastik, berukuran
40x25x15 cm, beralaskan sekam, setiap kandang diisi 3 ekor dengan jenis kelamin yang sama. Tikus diberikan
minum secara ad libitum dan diberikan makan berupa pellet sebanyak 35 g/ hari. Sekam diganti setiap hari
senin dan kamis.
Sebanyak 24 ekor tikus jantan dan betina (dibagi menjadi 2 kelompok), masing-masing ditimbang dan
dimasukkan ke dalam kandang. Tiap kandang berisi 3 ekor tikus betina. Tikus jantan kelompok perlakuan
diberikan infusa p.o menggunakan oral spuit pada pukul 18.00 wib setiap hari selama 7 hari berturut- turut.
Kelompok kontrol diberikan aquades p.o, sda.Pada hari ke-5 (48 jam sebelum pengamatan), tikus betina
diinjeksi s.c dengan estradiol valerat (50mg/ekor) untuk membuat artificial estrus. Pada hari ke-7, 15 menit
setelah pemberian infusa, tikus jantan dimasukkan ke dalam kandang yang berisi 3 ekor tikus betina estrus,
selanjutnya selama 2 jam (18.30-20.30 wib) diamati dan dihitung frekuensi introduction, climbing dan coitus
menggunakan kamera dan pengamatan langsung dari tempat yang tersembunyi. Frekuensi introduction,
climbing dan coitus tiap replikasi dicatat, dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif.
Pengukuran kadar hormon testosteron tikus jantan dilakukan sebelum dan sesudah pemberian perlakuan
selama 7 hari. Penentuan kadar hormon testosteron dilakukan menggunakan rat testosteron ELISA kit.
70
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Prosedur yang dilakukan sesuai dengan prosedur yang tercantum dalam rat testosteron ELISA kit.Darah
diambil dari vena retro orbitalis mata tikus jantan dengan mikrohematokrit, selanjutnya sebanyak 3 ml darah
yang diperoleh disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit, serum yang yang diperoleh disimpan
di freezer suhu -20°C digunakan untuk menetapkan kadar testosteron dengan ELISA.
Pengamatan ketiga parameter aktivitas afrodisiaka tersebut dilakukan selama 2 jam, yaitu pada pukul 18.30 s/d
20.30, karena berdasarkan hasil orientasi diketahui bahwa tikus jantan menunjukkan aktivitas seksual secara aktif pada
rentang waktu dua jam tersebut.
Hasil pengamatan menunjukkan rata-rata frekuensi introduction pada kelompok perlakuan lebih besar jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif yang hanya diberi akuades. Hal ini dapat disebabkan karena pengaruh
kondisi tikus putih betina yang sedang dalam fase estrus artifisial, siap melakukan aktivitas seksual terhadap tikus putih
jantan. Selain itu, pada penelitian terjadi kondisi dimana tikus putih jantan tidak banyak melakukan introduction atau
tidak memerlukan pendekatan terlalu lama tetapi langsung melakukan climbing yang juga merupakan salah satu perilaku
seksual. Pengamatan selanjutnya yaitu climbing dimana tikus jantan mulai menunggangi tikus. Rata-rata jumlah climbing
pada kelompok perlakuan lebih besar jika dibandingkan kelompok kontrol. Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata
jumlah coitus, diperoleh hasil yaitu kelompok perlakuan memiliki persentase rata-rata frekuensi coitus lebih besar
dibandingkan dengan kontrol.Hasil yang berbeda bisa saja terjadi disebabkan karena beberapa faktor diantaranyabeberapa
tikus putih betina yang melakukan penolakan terhadap tikus putih jantan yang ingin melakukan coitus, sehingga tikus
putih jantan hanya berhasil melakukan introduction dan climbing saja. Adanya penolakan tikus putih betina dapat
disebabkan karena kondisi tikus betina yang tidak estrus pada saat pengujian. Meskipun 48 jam sebelum pengujian tikus
betina sudah diberikan estradiol valerat (2 mg/200 g BB) untuk membuat estrus artificial tikus betina saat pengamatan,
namun setelah dilakukan pemeriksaan estrus, ditemukan tidak semua tikus betina berada dalam kondisi estrus saat
pengamatan, sehingga faktor mood dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap jumlah introduction, climbing dan coitus
tikus jantan dan betina.Hasil persentase perilaku seksual terhadap kontrol negatif menunjukkan bahwa persentase
introduction, climbing dan coitus memiliki nilai yang lebih besar daripada kontrol negatif.
71
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
3 0,602 0,718
Kontrol 1 0,896 0,945
2 0,516 0,486 0,460
3 0,605 0,661
Parameter lain yang diamati pada penelitian ini adalah kadar hormon testosteron tikus putih jantan sebelum dan
sesudah perlakuan. Dari uji t berpasangan diketahui bahwa pemberian infusa formula purwoceng, pegagan dan temulawak
selama 7 hari berurutan tidak menyebabkan perubahan signifikan kadar testosteron sesudah dan sebelum perlakuan
(p>0,05). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rahmawati et al (2012) dimana pemberian infusa Piper
retrofractum dalam ramuan juga tidak menyebabkan peningkatan signifikan kadar testosteron sebelum dan sesudah
perlakuan namun demikian menyebabkan efek afrodisiaka ditunjukkan oleh frekuensi introduction, climbing dan coitus
(p>0,05). Meskipun secara statistik menunjukkan perubahan tidak signifikan kadar testosteron tikus sebelum dan sesudah
uji, namun secara matematis pemberian infusa menyebabkan peningkatan hormon testosteron sebesar 43,8% dihitung
berdasarkan prosentase selisih rata-rata kadar testosteron sesudah dan sebelum perlakuan. Hal ini mengindikasikan bahwa
efek afrodisiaka yang dimiliki formula kemungkinan disebabkan adanya peningkatan testosteron. Beberapa referensi
menyebutkan bahwa level libido/gairah seksual tikus sangat dipengaruhi oleh kadar hormon testosteron. Tikus dengan
kadar testosteron yang rendah akan akan kembali menunjukkan perilaku seksual setelah pemberian testosteron
konsentrasi tertentu (Harding, 2011). Testosteron juga memicu peningkatan libido pada primata. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa apabila testosteron dihilangkan dari jantan dewasa maka motivasi seksualnya akan menurun, namun
demikian tidak berkorelasi dengan kemampuan dan kualitas perilaku seksualnya (Wallen, 2001).
Penimbangan bobot tikus dilakukan setiap hari selama perlakuan. Penimbangan dilakukan untuk monitoring
perkembangan hewan uji. Dari hasil paired t test diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan bobot tikus sebelum
dan sesudah perlakuan baik kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan. Tidak terdapatnya perubahan berat badan
72
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
yang signifikan dipengaruhi oleh komposisi bahan formula uji, periode/waktu penelitian yang relatif singkat dan
pemberian diet yang terkontrol.
KESIMPULAN
Infusa ramuan Pimpinella pruatjan Molkenb.(375 mg/200 g bw), Centella asiatica(109 mg/200 g bw)dan
Curcuma xanthorrhiza(182 mg/200 g bw) menunjukkan aktivitas afrodisiaka terhadap tikus jantan SD ditunjukkan oleh
terjadinya peningkatan hormon testosteron sebesar 43,8% dan persentase rata-rata frekuensi introduction. climbing dan
coituskelompok perlakuan berurutan sebesar 74,02%; 66,36%; dan 100%.
DAFTAR PUSTAKA
Edward O. Laumann, Anthony Paik and Raymond C. Rosen. 1999. Sexual Dysfunction in the United States:Prevalence and Predictors. JAMA, Vol 281,
No. 6.
Harding SM, Velotta JP. 2011. Comparing the relative amount of testosterone required to restore sexual arousal, motivation, and performance in male
rats. Hormones and Behavior. 59 (5): 666–73.
Hidayat, S. 2005. Ginseng, Multivitamin Alami Berkhasiat. Penebar Swadaya, Jakarta.
Ramandeep Singh, Sarabjeet Singh, G. Jeyabalan and Ashraf Ali. 2012. An Overview on Traditional Medicinal Plants as Aphrodisiac Agent. Journal
of Pharmacognosy and Phytochemistry. Vol. 1 No. 4.
Taufiqqurrachman. 1999. Pengaruh ekstrak Pimpinella alpina Molk. (purwoceng) dan akar Eurycoma longifolia Jack. (pasak bumi) terhadap
peningkatan kadar testosteron, LH, dan FSH serta perbedaan peningkatannya pada tikus jantan Sprague Dawley. Tesis. Universitas
Diponegoro,Semarang.
Tjokronegoro A dan Utama H., 2003. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Penerbit FK UI, Jakarta.
Wallen K. 2001. Sex and context: hormones and primate sexual motivation". Hormones and Behavior. 40 (2): 339–57.
Yakubu MT, Akanji MA, Oladiji AT. 2007. Evaluation of antiandrogenic potential of aqueous extract of Chromolaena odoratum (L.) K. R. leaves in
male rats. Andrologia.;39:235–243.
73
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Peneliti terdahulu telah berhasil menapis empat jenis jamur yang bersimbiotik disarang ratu “Anai-anai” salah satunya jamur Aspergillus flavus.
Sebagaimana yang telah dilaporkan terdahulu, pada media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) jamur ini menghasilkan senyawa fenol hanya ada pada
ekstrak biakan generasi pertama dan kedua dan berangsur-angsur hilang pada biakan berikutnya. Hal ini diduga terjadi karena perbedaan habitat tumbuh.
Oleh karena itu disini dilakukan penambahan tanah sarang ratu “Anai-anai” pada media SDA dengan tujuan untuk mengetahui apakah senyawa
metabolit awal dapat kembali terbentuk atau justru membentuk senyawa metabolit baru. Adapun metoda yang dilakukan adalah subkultur jamur dengan
pengayaan 20 gr tanah per komposisi media SDA hingga 6 generasi. Metoda isolasi dilakukan dengan maserasi dan fraksinasi. Setelah biakan berumur
3 minggu, jamur diekstraksi menggunakan pelarut metanol kemudian difraksinasi dengan etil asetat dan dilakukan uji KLT menggunakan eluen
kloroform:metanol (9:1). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat senyawa golongan triterpenoid pada fraksi etil asetat isolat jamur
Aspergillus flavus. Profil KLT menunjukkan bahwa pada jamur subkultur biakan pertama sampai biakan keenam dibawah sinar UV 254 nm terdapat
masing-masing 4 bercak noda baru. Disisi lain dengan eluen yang sama terdapat 1 bercak noda pada jamur subkultur biakan kelima dan keenam dengan
Rf 0.74, yang tidak terdapat pada jamur subkultur biakan pertama sampai biakan keempat. Dapat disimpulkan bahwa pengayaan tanah sarang ratu
“Anai-anai” pada media SDA, isolat jamur Aspergillus flavus membentuk senyawa metabolit sekunder baru. Secara mendetail profil analisis
kromatografi lapis tipis (klt) akan didiskusikan pada seminar.
Kata Kunci : Aspergillus flavus, Macrotermes gilvus Hagen , Profil KLT, Sabouraud Dextrose Agar (SDA), Tanah sarang ratu termite.
ABSTRACT
Previous research was successful to screened four kinds of fungus that a symbiotic in termites queen’s nest, one of them was Aspergillus flavus. Has
been reported earlier, on the Sabouraud Dextrose Agar (SDA), the fungus was produce phenolic compounds and only on the first and second sub-
culture extract while gradually disappear on the next sub-cultures. It was presumed happen caused it was a different habitat to grow. Therefore here the
addition of soil termite queen’s nest in the SDA in order to determine whether the compound can be reformed the initial metabolite or establish new
metabolites. The method performed is a subculture fungus with addition 20 g soil per compositions of SDA up to 6 generations. After 3 weeks the
culture to be extracted using methanol and then fractionated with ethyl acetate and TLC test conducted using the eluent chloroform: methanol (9: 1).
The results showed that there are triterpenoid compounds on the ethyl acetate fraction. The TLC profiles exhibited that from the first until sixth sub-
culture (254 nm UV light) are 4 new spots. On the same eluent there was arrised 1 spot on fifth and sixth sub-culture (Rf 0.74). It was concluded that
probably Aspergillus flavus formed a new secondary metabolites. Detailed categories and analysis of thin-layer chromatography (TLC) will be discussed
on the seminar.
Keywords: Aspergillus flavus, Macrotermes gilvus Hagen, TLC Profile, Sabouraud Dextrose Agar (SDA), queen’s nest termite soil.
PENDAHULUAN
Jamur merupakan salah satu mikroorganisme yang menghasilkan senyawa metabolit sekunder. Senyawa
metabolit sekunder merupakan sumber bahan kimia alami yang dapat ditemukan di alam untuk dijadikan sebagai
pengembangan obat-obatan khususnya obat baru atau untuk menunjang berbagai kepentingan industri. Salah satu sumber
jamur yang paling menarik adalah jamur pada sarang ratu anai-anai Macrotermes gilvus Hagen. Anai-anai merupakan
salah satu nama lain dari rayap, selain semut putih, rangas dan laron (jawa). Anai-anai sangat mudah ditemukan diberbagai
ekosistem hutan, pertanian, perkebunan, dan juga ditemukan pada ekosistem pemukiman atau perkotaan. Kondisi iklim,
tanah, dan beragamnya jenis tumbuhan di Indonesia sangat mendukung tumbuh kembang Anai-anai (Astuti, 2013).
Ratu Anai-anai hidup didalam sebuah sarang yang keras dan kokoh. Sarang dibuat oleh pekerja dari campuran
tanah liat, pasir, dan humus yang direkatkan oleh air liur. Saliva Anai-anai berbentuk cairan jernih yang agak kental,
mengandung 99,42% air dan 0,58% padatan. Dua per tiga padatan tersebut adalah zat lendir dan ptyalin, selebihnya adalah
mineral Ca2+, Mg2+, Na+, K+, PO4-, HCO3 dan SO42- (Subekti, 2012). Sarang ratu Anai-anai mengandung protein
74
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
total 1,565% (ekstrak aquabidest 0,175% dan sampel kering 1,39%), kadar lemak sebesar 1,77%, kadar abu sebesar
87,09%, kadar Ca sebesar 0,411 % dan kadar Posfor sebesar 0,147 %. Kandungan protein dari sarang ratu Anai-anai
berasal dari saliva Anai-anai pekerja yang tertinggal saat membangun sarang (Alen et al. 2016c).
Peneliti terdahulu telah berhasil menapis empat jenis jamur yang bersimbiotik disarang ratu Anai-anai salah
satunya jamur Aspergillus flavus (Alen et al.,2015b). Aspergillus flavus adalah jenis jamur multiseluler yang bersifat
opportunistik sebagai jamur saprofit yang menghasilkan mikotoksin yang berbahaya bagi manusia dan menyebabkan
penyakit Aspergillosis. Jamur ini tersebar luas di alam dan kebanyakan spesies (Aspergillus flavus, Aspergillus niger,
Aspergillus orizae, Aspergillus terreus, Aspergillus fumigatus) ini sering menyebabkan kerusakan makanan karena
menghasilkan zat-zat racun yang dikenal sebagai aflatoxin (Maryam, 2002)
Sebagaimana yang telah dilaporkan terdahulu, pada media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) jamur Aspergillus
flavus menghasilkan senyawa golongan fenol hanya ada pada ekstrak biakan generasi pertama dan kedua dan berangsur-
angsur hilang pada biakan berikutnya. Hal ini diduga terjadi karena perbedaan habitat tumbuh (Alen et al.,2016b). Oleh
karena itu disini dilakukan penambahan tanah sarang ratu Anai-anai pada media SDA dengan tujuan untuk mengetahui
apakah senyawa metabolit awal dapat kembali terbentuk atau justru membentuk senyawa metabolit baru.
Metoda :
Pengambilan Sampel Sarang Ratu “Anai-anai” Macrotermes gilvus Hagen.
Sampel sarang ratu Anai-anai Macrotermes gilvus diambil di perkebunan sawit daerah Silaut, Pesisir Selatan,
Sumatera Barat.
Penentuan jumlah penambahan tanah
Isolat jamur Aspergilus flavus hasil sub-kultur tahap tiga dari peneliti terdahulu dibiakkan pada media SDA
dengan pengayaan berbagai komposisi tanah, yaitu 5, 10, 15, dan 20 gr tanah per komposisi media. Diinkubasi pada suhu
25°-35°C dan diamati pertumbuhannya. Sebagai kontrol, dibiakkan jamur dengan menggunakan media SDA saja.
Masing-masing komposisi tanah dibuat sebanyak 3 cawan petri. Komposisi tanah yang menghasilkan pertumbuhan jamur
paling baik dijadikan sebagai media pembiakan jamur. Isolat jamur Aspergillus flavus sub-kultur ketiga pertumbuhannya
optimal pada media SDA dengan pengayaan 20 gr tanah.
75
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Pembiakan jamur
Isolat jamur Aspergilus flavus hasil sub-kultur tahap tiga dari peneliti terdahulu dibiakkan pada media SDA
dengan pengayaan 20 gr tanah per komposisi media. Jamur diambil dengan jarum Ose kemudian digoreskan pada media
dalam keadaan steril, pengerjaan dilakukan didalam Laminar Air Flow (LAF) dan kemudian diinkubasi pada suhu 25°-
35°C selama 3 minggu. Pembiakan jamur dilakukan hingga 6 generasi .
Ekstraksi
Biakan diekstraksi dengan cara memasukkan pelarut Metanol kedalam cawan Petri, diaduk perlahan sedemikian
rupa supaya medium campuran agar dan tanah tidak terbawa, masukkan kedalam lumpang dan gerus, lalu dipindahkan
kedalam botol. Hasil gabungan suspensi metanol jamur dimaserasi dalam ruang gelap selama tiga hari sambil dikocok.
Selanjutnya,ekstrak suspensi metanol jamur disaring sehingga maserat terpisah dengan ampas. Maserat Metanol jamur
dibiarkan di udara terbuka agar metanolnya menguap sehingga didapatkan ekstrak kental metanol jamur.
Fraksinasi
Dilakukan fraksinasi dengan menggunakan pelarut etil asetat pada masing-masing biakan jamur Aspergillus
flavus sehingga didapatkan fraksi etil asetat, dan fraksi sisa. Fraksi etil asetat siap dilakukan uji kromatografi lapis tipis
(KLT).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Pemeriksaan KLT fraksi dilakukan dengan berbagai jenis kombinasi eluen sebagai fase gerak. Bercak atau noda
pada plat KLT dimonitor di bawah lampu UV dengan panjang gelombang 254 dan 366 nm. Penentuan golongan atau
kelompok senyawa yang diamati dilakukan dengan menggunakan beberapa reagen penampak noda yaitu FeCl3, vanillin
asam sulfat, Dragendorf, dan sitroborat.
Analisis KLT dan Penentuan Golongan Senyawa
Analisis KLT dilakukan dengan menghitung spot noda serta menghitung nilai Rf hasil Kromatografi Lapis Tipis
dari fraksi setiap biakan jamur Aspergillus flavus, dan dibandingkan dengan Rf yang didapatkan dari ekstrak sub-kultur
biakan pertama dari peneliti terdahulu. Golongan senyawa dari fraksi setiap biakan jamur Aspergillus flavus ditentukan
dengan melihat hasil reaksi warna dari beberapa reagen penampak noda.
Harga Rf =
76
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Gambar 1. Profil pertumbuhan isolat jamur Aspergillus flavus pada berbagai komposisi media
Jamur dibiakkan selama 3 minggu kemudian diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut metanol.
Metode maserasi dipilih karena maserasi merupakan metode ekstraksi yang secara teknis pengerjaan sederhana dan alat-
alat yang digunakan lebih sederhana serta tidak memerlukan panas sehingga baik untuk simplisia dengan zat aktif yang
tidak tahan terhadap pemanasan. Metanol dipilih karena merupakan pelarut universal yang dapat menarik senyawa
nonpolar hingga polar sehingga diharapkan dapat menarik berbagai senyawa dalam sampel uji. Dilakukan fraksinasi
menggunakan pelarut etil asetat dan dilakukan uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT) pada fraksi etil asetat masing-masing
subkultur menggunakan berbagai perbandingan eluen .
Prinsip KLT adalah pemisahan komponen kimia berdasarkan prinsip adsorbsi dan partisi, yang ditentukan oleh
fase diam (adsorben) dan fase gerak (eluen). Komponen kimia bergerak naik mengikuti fase gerak karena daya serap
adsorben terhadap komponen-komponen kimia tidak sama sehingga komponen kimia dapat bergerak dengan kecepatan
yang berbeda berdasarkan tingkat kepolarannya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pemisahan. Perbandingan eluen
yang memberikan pemisahan yang baik adalah Kloroform : Metanol (9:1).
Bercak pada plat KLT dimonitor di bawah sinar UV 254 nm dan 365 nm, dibawah sinar UV 254 nm terdapat masing-
masing 4 bercak noda baru (1),(3),(4),(5) dengan nilai Rf 0.94, 0.70, 0.46, dan 0.40. Disisi lain dengan eluen yang sama
terdapat 1 bercak noda yaitu (2) pada jamur subkultur biakan kelima dan keenam dengan Rf 0.74 yang tidak terdapat pada
jamur subkultur biakan pertama sampai biakan keempat. Dibawah sinar UV 365 nm terlihat masing-masing 2 bercak noda
(1),(4) yang berfluoresensi dengan nilai Rf 0.94 dan 0.46, dan juga terlihat 1 bercak noda yaitu (2) yang berfluoresensi
dengan Rf 0.74 pada jamur subkultur biakan kelima dan keenam yang tidak terdapat pada jamur subkultur biakan pertama
sampai biakan keempat (Tabel 1 Gambar 2).
Gambar 2. Pola KLT fraksi etil asetat isolat jamur Aspergillus flavus dengan eluen kloroform : metanol (9:1)
Tabel 1. Jumlah spot noda dan nilai Rf dari masing-masing subkultur isolat jamur Aspergillus flavus dengan eluen
kloroform : metanol (9:1)
Biakan Jumlah Spot Nilai RF
Noda
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Subkultur 1 4 0.94 - 0.70 0.46 0.40 -
Subkultur 2 4 0.94 - 0.70 0.46 0.40 -
Subkultur 3 4 0.94 - 0.70 0.46 0.40 -
Subkultur 4 4 0.94 - 0.70 0.46 0.40 -
Subkultur 5 5 0.94 0.74 0.70 0.46 0.40 -
Subkultur 6 5 0.94 0.74 0.70 0.46 0.40 -
Pembanding 1 - - - - - 0.24
77
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Kontrol - - - - - -
Nilai Rf yang didapatkan berbeda dengan nilai Rf pada senyawa pembanding (6) yaitu 0.24 (Gambar 2). Hal ini
menandakan bahwa isolat jamur Aspergillus flavus membentuk senyawa yang berbeda dengan senyawa metabolit awal.
Isolat jamur Aspergillus flavus tidak lagi membentuk senyawa golongan fenol. Pemeriksaan kandungan senyawa
dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa yang terdapat dalam fraksi etil asetat setiap biakan jamur Aspergillus
flavus. Golongan senyawa ditentukan dengan melihat hasil reaksi warna dari beberapa reagen penampak noda diantaranya
FeCl3, vanillin asam sulfat, Dragendorf, dan sitroborat.
Penggunaan penampak noda FeCl3 untuk identifikasi senyawa golongan fenol memberikan hasil yang negatif,
dimana tidak terjadi perubahan warna menjadi biru kehitaman pada spot noda (1),(2),(3),(4), dan (5) , ekstrak inokulasi
subkultur pertama dari peneliti terdahulu (sampel pembanding) menunjukkan hasil positif terhadap keberadaan senyawa
golongan fenol (Gambar 3).
Penampak noda dragendorf yang digunakan untuk identifikasi senyawa golongan alkaloid juga memberikan hasil
yang negatif, tidak terjadi perubahan warna menjadi jingga-merah pada semua bercak dari 6 subkultur jamur. Identifikasi
golongan senyawa flavonoid juga memberikan hasil yang negatif menggunakan penampak noda sitroborat, tidak terdapat
fluoresensi hijau kebiruan pada semua bercak dari 6 subkultur jamur saat dilihat dibawah sinar UV 365 nm (Gambar 3).
Sementara itu, bercak noda (1),(2),(3),(4), dan (5) menunjukkan hasil positif terhadap penampak noda vanilin
asam sulfat, terjadi perubahan warna menjadi biru violet dan merah kecoklatan. Pereaksi ini digunakan untuk identifikasi
senyawa triterpenoid dan steroid. Bercak yang mengandung golongan triterpenoid akan tampak secara visual berwarna
biru-violet merah atau kuning-coklat setelah disemprot dengan pereaksi vanillin-asam sulfat dan dipanaskan (Wagner, et
al., 1984).
Gambar 3. Identifikasi golongan senyawa metabolit sekunder isolat jamur Aspergillus flavus
Tabel 2. Identifikasi golongan senyawa metabolit sekunder isolat jamur Aspergillus flavus
Pereaksi Golongan Hasil
(1) (2) (3) (4) (5) Pembanding
Rf=0.94 Rf=0.74 Rf=0.70 Rf=0.46 Rf=0.40 Rf=0.24
Fecl3 Fenol - - - - - +
Dragendorf Alkaloid - - - - - -
Vanilin Triterpenoid + + + + + -
Asam sulfat
Sitroborat Flavonoid - - - - - -
78
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Penambahan tanah sarang ratu Anai-anai Macrotermes gilvus Hagen pada media Sabouraud Dextrose Agar
(SDA) dapat membentuk senyawa simbiotik golongan triterpenoid pada isolat jamur Aspergillus flavus. Hal ini terjadi
karena pada sarang ratu Anai-anai juga terdapat kandungan senyawa triterpenoid. Ekstrak metanol sarang ratu anai-anai
M. gilvus Hagen., mengandung senyawa golongan fenolik dan triterpenoid (Afnilia, 2017). Nutrisi dan kondisi lingkungan
mempengaruhi biosintesa senyawa metabolit sekunder. Metabolit sekunder dari sarang ratu Anai-anai diduga berasal dari
tanaman inangnya. Senyawa yang terdapat pada tanaman yang dimakan diduga masih tersimpan pada sistem pencernaan
anai-anai atau eksremen yang digunakan untuk membuat sarang.
KESIMPULAN
Penambahan tanah sarang ratu Anai-anai Macrotermes gilvus Hagen pada media Sabouraud Dextrose Agar
(SDA) membentuk 5 spot noda baru pada profil Kromatografi Lapis Tipis fraksi etil asetat isolat jamur Aspergillus flavus
yang dilihat dibawah sinar UV 254 nm dengan nilai Rf 0.94, 0.74, 0.70, 0.46, dan 0.40 dan 3 spot noda (Rf 0.94 , 0.74 dan
0.46) berfluoresensi dibawah sinar UV 365 nm. Senyawa simbiotik golongan fenol tidak terbentuk kembali dengan
penambahan tanah sarang ratu Anai-anai Macrotermes gilvus Hagen pada media Sabouraud Dextrose Agar (SDA). Disisi
lain terbentuk senyawa simbiotik golongan triterpenoid pada isolat jamur Aspergillus flavus.
DAFTAR PUSTAKA
Afnilia, F.2017. uji antibakteri metabolit sekunder ekstrak metanol sarang ratu anai-anai macrotermes gilvus hagen.. Skripsi. Universitas Andalas :
padang.
Alen, Y., A. Melati dan A. Djamaan. 2016a. Isolasi Senyawa Antibiotika Jamur Aspergillus niger Simbiotik Sarang Ratu Anai-anai Macrotermes gilvus
Hagen.. Abstrak Paper Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik VI. Padang. 23-24 September.
Alen, Y., F. N. Okta, F. L. Agresa, S. M. Juniasty, R. Rusdian dan A. Marcella. 2015a. Analisis Metabolit Primer Sarang Ratu Anai-anai Macrotermes
Gilvus Hagen., dari Kebun Sawit Muko-Muko Bengkulu. Abstrak Paper dan Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan
Terkini Sains Farmasi dan Klinik V. Padang. 6-7 November.
Alen, Y., G. Sarina dan A. Djamaan. 2016b. Isolasi Senyawa Mayor Metabolit Sekunder Jamur Aspergillus flavus Simbiotik Sarang Ratu Anai-anai
Macrotermes gilvus Hagen..Abstrak Paper Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik VI. Padang.
23-24 September.
Alen. Y., L. N. Suci.,O. Suarmin., S. Suharti., A. Larasati., A. Suparman., Y.F. Yeni. 2016c. Primary Metabolites Analysis of Termite Queen
(Macrotermes gilvus Hagen.) and Burn Healing Assay. Abstrak Paper of The Conference on Advancing the Life Science and Public Health
Awareness. Nagoya, Japan. 10-11 July.
Alen, Y., M. P. Sari dan D. P. Putra. 2015b. Penapisan Jamur dari Sarang Ratu Anai-anai Macrotermes gilvus Hagen., Uji Aktivitas Ekstrak Terhadap
Candida albicans, dan Analisis KLT. Abstrak Paper dan Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi
dan Klinik V. Padang. 6-7 November.
Alen. Y., O. Suarmin., L. N. Suci., R. Kurniawan., F. Yasardi., V. Ramadhani. 2016d. Analysis Levels of Fatty Acids from Freeze-dried Termite Queen
Macrotermes gilvusHagen., using GC-MS and Anti-hyperlipidemia Test. Abstrak Paperof The Conference on Advancing the Life Science
and Public Health Awareness. Nagoya, Japan. 10-11 July.
Alen, Y., R. A. Indraini dan Y. Yuliandra. 2016e. Toksisitas Akut dan Sub-akut Freeze Drying Ratu Anai-anai (Macrotermes gilvus Hagen.) terhadap
Fungsi hati Mencit. Abstrak Paper Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik VI. Padang. 23-24
September.
Alen. Y., R. Rahmawati.,Y. Aldi., T. Nitoda., N. Baba., S. Nakajima. 2016f. Immunomodulatory Activity of Freeze Dried Termite Queen Macrotermes
gilvus Hagen. Abstrak Paper of The Conference onAdvancing the Life Science and Public Health Awareness. Nagoya, Japan. 10-11 July.
Alen, Y. 2016g. Ratu Termite Macrotermes gilvus Hagen., Kajian Awal Saintifik Dalam Pandangan Farmasi. Abstrak Paper Seminar Nasional dan
Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik VI. Padang. 23-24 September.
Astuti. 2013. Identifikasi, Sebaran dan Derajat Kerusakan Kayu oleh Serangan Rayap Coptotermes (Isoptera: Rhinotermitidae) di Sulawesi Selatan.
Disertasi. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Handayani, N. I. 2015. Identifikasi Fungi pada Unit Lumpur Aktif Pengolah Limbah Cair di Industri Tekstil. PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON.
1(5). 992-997.
79
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Subekti, N. 2012.Kandungan Bahan Organik dan Akumulasi Mineral Tanah pada Bangunan Sarang Rayap Tanah Macrotermes Gilvus Hagen
(Blattodea: Termitidae). Biosantifika Berkala Ilmiah Biologi 4(1):11-16.
Wagner, H., S. Bladt, dan E.M. Zgainski. (1984). Plant Drug Analysis. Berlin: Springer. P.294.
80
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Tanaman katemas (Euphorbia heterophylla L.) merupakan tanaman gulma yang tumbuh pada daerah lembab. Secara tradisional katemas (Euphorbia
heterophylla L) digunakan untuk mengobati sembelit, bronchitis, antiinflamasi dan asma. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui profil
fitokimia dan senyawa bioaktif yang terkandung di dalam ekstrak daun katemas, karakterisasi masing-masing ekstrak dengan Kromatografi Lapis Tipis
(KLT), Spektroskopi UV-Vis dan FTIR, juga untuk mengetahui aktivitas antioksidan masing-masing ekstrak daun tersebut menggunakan metoda
DPPH. Ekstraksi dilakukan dengan empat pelarut yang berbeda kepolarannya, yaitu dengan pelarut n-heksan, etil asetat, metanol dan etanol total. Hasil
pengujian fitokimia terhadap keempat ekstrak, menunjukan hasil positif untuk golongan senyawa alkaloid, fenolik, steroid dan tanin. Dari hasil uji KLT
menggunakan campuran pelarut n-heksan dan etil asetat (7 : 3), didapatkan noda yang terpisah pada masing-masing ekstrak. Noda yang muncul
menandakan adanya beberapa senyawa pada keempat ekstrak. Pada uji spektroskopi UV-Vis menunjukan adanya senyawa alkaloid indol yang ditandai
dengan nilai panjang gelombang maksimum yang saling berdekatan yaitu 286 nm dan 292 nm pada masing-masing ekstrak. Hal ini juga diperkuat dari
data spektrum inframerah (IR) dengan munculnya serapan pada daerah sidik jari yang menandakan adanya gugus C-N dan NH. Gugus fungsi lainnya
juga ditemukan pada keempat ekstrak seperti gugus O-H (alkohol), C-C (alkana), C=C (alkena), C≡C (alkuna), dan cincin aromatik. Hasil uji aktivitas
antioksidan terhadap penangkapan radikal bebas DPPH didapatkan hasil bahwa Hasil uji aktivitas antioksidan terhadap penangkapan radikal bebas
DPPH menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat Euphorbia heterophylla L. paling aktif dalam menginhibisi pembentukan radikal bebas DPPH yaitu
dengan nilai IC50 sebesar 129,79 ppm, kemudian diikuti oleh ekstrak metanol (IC50=150,06 ppm), ekstrak total etanol (IC50 = 790,44 ppm) dan ekstrak
n-heksan. (IC50 >1000 ppm).
Kata Kunci : ekstrak Euphorbia heterophylla L., fitokimia, karakterisasi, antioksidan, DPPH
ABSTRACT
Katemas (Euphorbia heterophylla L.) is a crop of weeds that grow on moist areas. Traditionally, Katemas (Euphorbia heterophylla L) is used to treat
constipation, bronchitis, anti-inflammation and asthma. The purpose of this study is to determine the profile of phytochemicals and bioactive compounds
contained in extracts of Katemas leaves, characterization of each extract with Thin Layer Chromatography (TLC), Spectroscopy UV-Vis and FTIR, as
well as to determine the antioxidant activity of each extract of the leaves used DPPH method. Extraction was done by four different solvent polarity, ie
n-hexane, ethyl acetate, methanol and ethanol in total solvents. The test results of the fourth phytochemical extracts, showed positive results for the
class of alkaloids, phenolic, steroids and tannins. From the test results of TLC using a solvent mixture of n-hexane and ethyl acetate (7: 3), obtained a
separate stain on each extract. Stains that appear on the compound indicates some four extracts. In the UV-Vis spectroscopy test showed the presence
of indole alkaloid compounds characterized by the value of the maximum wavelength adjacent to each other were 286 nm and 292 nm on each extract.
It was also confirmed from the spectrum data of infrared (IR) with the advent of uptake in the fingerprint region, which indicates the group C-N and
NH. Other functional groups were also found in four extracts such as O-H groups (alcohol), C-C (alkanes), C = C (alkenes), C≡C (alkyne), and the
aromatic rings. The test results of antioxidant activity against DPPH free radical scavenging showed that the test results of antioxidant activity against
DPPH free radical scavenging showed that the ethyl acetate extract of Euphorbia heterophylla L. most active in DPPH inhibit free radical formation
which was the IC50 value of 129.79 ppm, followed by methanol extract (IC50 = 150.06 ppm), total ethanol extract (IC50 = 790.44 ppm) and n-hexane
extract. (IC50 > 1000 ppm).
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari, kita banyak sekali bersentuhan dengan radikal bebas. Asap rokok, makanan yang
digoreng, dibakar, paparan sinar matahari berlebih, asap kendaraan bermotor, obat-obatan tertentu, racun dan polusi udara
merupakan sumber pembentuk senyawa radikal bebas. Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan. Elektron-elektron yang tidak berpasangan ini menyebabkan radikal bebas menjadi
senyawa yang lebih reaktif terhadap sel-sel tubuh dengan cara mengikat elektron molekul sel (Pietta, 1999). Reaksi ini
sering disebut sebagai oksidasi.
Tubuh kita memerlukan suatu substansi penting yang dikenal dengan antioksidan yang dapat membantu
melindungi tubuh dari serangan radikal bebas dengan cara meredam dampak negatif dari senyawa ini. Antioksidan
berfungsi mengatasi atau menetralisir radikal bebas sehingga diharapkan dengan pemberian antioksidan tersebut proses
81
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
penuaan diperlambat, atau paling tidak “tidak dipercepat” serta dapat mencegah terjadinya kerusakan tubuh dari
timbulnya penyakit degenerative (Kosasih, at all.,2006)
Tanaman katemas (Euphorbia heterophylla L.) merupakan tanaman gulma yang tumbuh pada daerah lembab.
Secara tradisional katemas (Euphorbia heterophylla L) digunakan untuk mengobati sembelit, bronchitis, antiinflamasi
dan asma (Falodun, at al,. 2006). Selain itu, menurut beberapa penelitian seperti Meenakshi, at al., 2010, mengatakan
bahwa ekstrak etanol katemas mempunyai aktivitas antimikroba terhadap bakteri Proteusvulgaris dan S. aureus. Ekstrak
air dan etanol menunjukan aktivitas penyembuhan luka yang signifikan ketika ekstrak diberikan pada tikus (James, at al.,
2010). Menurut Moshi at al. (2007) beberapa jenis tanaman yang digunakan sebagai obat tradisional di Tanzania dapat
digunakan sebagai antimikroba dan antifungi, salah satu tanamannya yaitu katemas (Euphorbia heterophylla L).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada daun katemas sebagai
agen aktivitas antioksidan. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan uji aktivitas DPPH dari ekstrak n-heksan, etil
asetat, metanol dan ekstrak etanol total daun katemas (Euphorbia heterophylla L.)
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu rotary evaporator (Heidolph VV 2000), Chamber, peralatan
destilasi, lampuUV λ254 nm model UVL-56, Spektrofotometer UV-Visible (Hitachi U2000), Spektrofotometer IR
(Shimadzu type IR Prestige-21), neraca analitik, microplate reader 96 well, plat KLT, peralatan gelas dan alat pendukung
lainnya.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun katemas, pelarut n-heksan, etil asetat, metanol dan etanol,
dragendrof, asam sulfat, NaOH, logam Mg, HCl pekat, DMSO, kloramfenikol, asam asetat, dan FeCl3 3%, DPPH dan
asam askorbat
Penanganan Sampel
Daun katemas diambil di Jalan Kartama Pekanbaru Riau. Daun katemas dibersihkan, selanjutnya dikering
anginkan sampai beratnya konstan, setelah kering daun katemas dipotong kecil-kecil, dirajang dan dihaluskan hingga
diperoleh serbuk kering.
Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode maserasi bertingkat untuk pelarut n-heksan, etil asetat, dan
metanol, sedangkan pada pelarut etanol, dilakukan proses maserasi dengan pelarut total. Sebanyak 0.8 kg serbuk
keringdaun katemas direndam dengan pelarutn-heksan dalam wadah gelap sampai terendam sempurna. Simplisia
dimaserasi selama 2 hari dengan pengulangan sebanyak 3 kali dan terlindung dari cahaya matahari. Kemudian maserat
disaring menggunakan kertas saring dan didapatkan filtrat n-heksan beserta residu. Filtrat tersebut kemudian dipekatkan
menggunakan alat rotary evaporator pada suhu 40-50°C hingga didapatkan ekstrak kental n-heksan.
Residu berupa ampas dari maserasi pertama, diremaserasi kembali dengan pelarut etil asetat selama 3 hari dengan
pengulangan sebanyak 3 kali. Kemudian maserat etil asetat disaring dan didapatkan filtrat etil asetat beserta residu.
Selanjutnya maserat dipekatkan menggunakan alat rotary evaporator sampai didapatkan ekstrak kental etil asetat. Residu
yang didapat dari maserasi etil asetat, dimaserasi kembali dengan pelarut metanol selama 3 hari dengan pengulangan
sebanyak 4 kali. Maserat yang didapat dari proses maserasi disaring dan didapatkan filtrat metanol beserta residu. Filtrat
tersebut dipekatkan dengan alat rotary evaporator. Untuk pelarut etanol, direndam sebanyak 0.5 kg serbuk kering daun
82
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
katemas selama 4 hari dengan pengulangan sebanyak 3 kali. Maserat disaring dengan kertas saring dan filtratnya
dipekatkan dengan alat rotary evaporator. Jika maserat dari masing-masing pelarut didapatkan masih berwarna, maka
dilanjutkan kembali proses maserasi dengan pelarut yang sama sampai maserat tidak berwarna (bening).
Uji Fitokimia
Uji Alkaloid
Sebanyak 0.5 gram ekstrak n-heksan, etil asetat, metanol dan etanol total, masing-masing dimasukkan dalam
tabung reaksi dan ditambahkan5 tetes amonia pekat. Setelah itu, disaring kemudian ditambah 2 mL asam sulfat 2 N dan
dikocok hingga memberi lapisan atas dan bawah. Larutan dibagi menjadi 2 bagian, pada tabung pertama ditambahkan 1
tetes mayer, adanya alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan. Pada tabung kedua ditambah 1 tetes pereaksi
Dragendorf dan terbentuknya endapan menandakan adanya alkaloid (Harborne, 1987).
Uji Flavonoid
Sebanyak 0.5gram ekstrak n-heksan, etil asetat, metanol dan etanol total, masing-masing dimasukkan dalam
tabung reaksi. Kemudian ditambah dengan 5 tetes etanol, lalu dikocok sampai homogen. Setelah itu ditambahkan dengan
pita Mg dan 5 tetes HCl pekat. Jika menghasilkan warna kuning, orange, dan merah menandakan adanya flavonoid
(Harborne, 1987).
Uji Fenolik
Sebanyak 0.5 gram ekstrak n-heksan, etil asetat, metanol dan etanol total, masing-masing diletakkan pada pelet
porselen. Kemudian ditambah dengan metanol, lalu diaduk sampai homogen. Setelah itu, ditambahkan FeCl3. Adanya
fenolik ditandai dengan terbentuknya warna hijau, kuning, orange, atau merah (Harborne, 1987).
Uji Saponin
Sebanyak 0.5gram ekstrak n-heksan, etil asetat, metanol dan etanol total, masing-masing dimasukkan dalam
tabung reaksi. Kemudian ditambah 2 ml aquades, lalu dikocok sampai homogen. Setelah itu, dipanaskan selama 2-3 menit
dan didinginkan.Setelah dingin dikocok dengan kuat. Adanya busa yang stabil selama 30 detik menunjukkan sampel
mengandung saponin (Harborne, 1987).
Uji Terpenoid dan Steroid
Sebanyak 0.5gram ekstrak n-heksan, etil asetat, metanol dan etanol total, masing-masing dimasukkan dalam
tabung reaksi. Kemudian ditambah dengan asam asetat anhidrat dan asam sulfat pekat. Jika terbentuk warna biru atau
hijau menandakan adanya steroid. Jika terbantuk warna ungu atau jingga menandakan adanya triterpenoid (Harborne,
1987).
Uji Tanin
Sebanyak 0.5 gram ekstrak n-heksan, etil asetat, metanol dan etanol total, masing-masing dimasukkan dalam
tabung reaksi. Kemudian ditambahkan air panas dan diteteskan larutan Besi (III) klorida. Jika terbentuk warna hijau
kehitaman menandakan terdapat senyawa tanin (Harborne, 1987).
Uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Penentuan nilai Rf pada ekstrak daun katemas dilakukan dengan uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Masing-
masing ekstrak ditotolkan pada lempeng alumunium dengan fase diam berupa silika gel. Selanjutnya lempeng dielusi
dengan campuran pelarut yang cocok berdasarkan gradien yaitu dimulai dengan pelarut yang kepolarannya rendah, lalu
kepolaran ditingkatkan jika noda yang muncul masih berada di daerah totolan. Eluen yang digunakan pada uji ini yaitu
83
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
n-heksan dan etil asetat dengan perbandingan 7 : 3. Selanjutnya lempeng KLT direndam di dalam chamber yang telah
berisi eluen. Kemudian diamati hingga noda mencapai batas yang telah ditentukan. Untuk melihat dengan jelas bentuk
dan pola noda pada lempeng KLT dilakukan pengamatan dengan menggunakan sinar Ultra Violet (UV) dengan panjang
gelombang 254 nm dan 366 nm.
84
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Dari hasil uji KLT ekstrak n.heksan, etil asetat, metanol dan etanol total daun katemas diperoleh nilai Rf masing-
masing noda yang menunjukkan kemungkinan didapatnya senyawa yang berbeda kepolarannya pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengujian KLT pada ekstrak daun katemas (n-heksan : etil asetat; 7 : 3)
No Sampel Jumlah Nilai Rf No Sampel Jumlah noda Nilai Rf
noda
1 Ekstrak n-heksan 4 0.45 3 Ekstrak metanol 4 0.05
0.52 0.62
0.65 0.85
0.85 0.87
2 Ekstrak etil asetat 3 0.07 4 Ekstrak etanol 5 0.07
0.80 total 0.45
0.92 0.47
0.62
0.70
Analisis FTIR
Hasil analisis spektroskopi IR ekstrak n.heksan, etil asetat, metanol dan etanol total daun katemas didapat prediksi
beberapa senyawa seperti disajikan pada Tabel 5.
86
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Tabel 6. Hasil pengujian aktivitas antioksidan dengan metode DPPH ekstrak daun katemas
No Sampel Nilai IC50
>1000
1 Ekstrak n-heksan
2 Ekstrak etil asetat 129,79
3 Ekstrak metanol 150,06
4 Ekstrak etanol total 790.44
Pembahasan
Uji Fitokimia
Analisis fitokimia dilakukan untuk mengetahui senyawa bioaktif yang terkandung dalam tumbuhan (Sangi at al.,
2013). Hasil positif alkaloid pada ekstrak daun katemas menggunakan reagent Mayer ditandai dengan terbentuknya
endapan. Endapan tersebut merupakan kompleks kalium alkaloid. Alkaloid mengandung atom nitrogen yang mempunyai
pasangan elektron bebas sehingga dapat digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan ion logam
(McMurry dan Fay, 2004). Pada uji alkaloid dengan pereaksi Mayer, diperkirakan nitrogen pada alkaloid akan bereaksi
dengan ion logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat (II) membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap.
Hasil positif alkaloid pada uji Dragendorff juga ditandai dengan terbentuknya endapan coklat muda sampai kuning
pada masing-masing ekstrak daun katemas. Endapan tersebut adalah kalium alkaloid. Pada uji alkaloid dengan pereaksi
Dragendorff, nitrogen digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan K+ yang merupakan ion logam.
Semua ekstrak dari Daun katemas menunjukkan hasil yang positif.
Pengujian steroid/triterpenoid didasarkan pada kemampuan senyawa untuk membentuk warna H2SO4 pekat dalam
pelarut asam asetat anhidrida (Sangi at al., 2013) warna merah jingga atau ungu untuk terpenoid dan biru untuk steroid.
Hasil yang diperoleh pada pengujian ekstrak n-heksan, etil asetat, metanol dan etanol total menunjukkan hasil positif
dengan terbentuknya warna biru yang menunjukkan adanya kandungan steroid.
87
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Pereaksi besi (III) klorida digunakan secara luas untuk mengidentifikasi senyawa fenol, polifenol dan tanin.
Pengujian polifenol dan tanin dilakukan dengan menambahkan FeCl3 10% diperkirakan akan menimbulkan warna biru
tua, biru kehitaman atau hitam kehijauan. Perubahan warna terjadi dengan penambahan FeCl3 dimana terbentuk warna
hijau tua karena adanya gugus hidroksil yang ada pada senyawa tanin/fenol (Artini at al., 2013). Dari hasil pengujian
terlihat umumnya ekstrak mengandung senyawa polifenol, kecuali ekstrak n-heksan, dikarenakan senyawa yang terdapat
didalam ekstrak n-heksan bersifat non polar yang kecil kemungkinannya mengikat gugus hidroksil.
Saponin merupakan senyawa yang mempunyai gugus hidrofilik dan hidrofobik. Saponin pada saat dikocok
terbentuk buih karena adanya gugus hidrofil yang berikatan dengan air sedangkan hidrofob akan berikatan dengan udara.
Pada struktur, gugus polar menghadap ke luar sedangkan gugus non-polar menghadap ke dalam. Keadaan ini yang
membentuk busa, dalam analisis ini sampel mengandung saponin karena memiliki kemampuan untuk membentuk busa.
Tapi pada semua pengujian ekstrak menunjukkan hasil yang negative terhadap uji saponin.
Penambahan serbuk magnesium dan asam klorida pada pengujian flavonoid akan menyebabkan tereduksinya
senyawa flavonoid yang ada sehingga menimbulkan reaksi warna merah yang merupakan ciri adanya flavonoid
(Robinson, 1995). Pada pengujian flavonoid umumnya positif mengandung flavonoid, kecuali ekstrak n-heksan
didapatkan hasil negative pada ekstrak n-heksan. disebabkan karena serbuk magnesium tidak memberikan reaksi reduksi
senyawa flavonoid sehingga larutan uji tidak memberikan perubahan warna.
Uji KLT
Uji KLT dilakukan untuk mendapatkan hasil pemisahan senyawa-senyawa yang terdapat pada ekstrak tersebut
sehingga dapat dianalisis lebih lanjut menggunakan spektrofotometer UV dan FTIR. Proses pemisahan komponen
penyusun suatu senyawa pada KLT berdasarkan distribusinya pada fase diam dan fase gerak. Komponen yang memiliki
interaksi lebih besar terhadap fase diam akan tertahan lebih lama. Sebaliknya komponen yang memiliki interaksi lebih
besar terhadap fase gerak akan bergerak lebih cepat (Gandjar dan Rohman, 2007).
Pengujian dengan KLT menggunakan pelarut n-heksan dan etil asetatdengan perbandingan eluen 7 : 3 sebagai fase
gerak. Pada ekstrak n-heksan, didapatkan sebanyak 4 noda dengan nilai Rf 0.45, 0.52, 0.65 dan 0.85. Noda yang terlihat
mengindikasikan bahwa kemungkinan terdapat 4 senyawa yang berbeda pada ekstrak tersebut. Senyawa yang dimaksud
bisa dilihat dari hasil uji fitokimia yang tersaji pada Tabel 4.1 dimana hasil positif didapatkan pada uji alkaloid, fenolik,
terpenoid dan steroid. Hal ini juga diperkuat saat plat KLT diletakkan di bawah sinar UV 366 nm dan terlihat warna
kecoklatan. Menurut Bawa (2009), golongan senyawa terpenoid di bawah sinar UV 366 nm menunjukkan adanya bercak
noda berwarna ungu tua.
Pada ekstrak etil asetat didapatkan sebanyak 3 noda dengan Rf 0.07, 0.80 dan 0.92. Pemisahan noda pada ekstrak
ini belum maksimal sehingga masih ada noda yang menempel di daerah totolan. Hal tersebut dapat dikarenakan sistem
pelarut yang digunakan kurang sempurna untuk menarik noda awal. Menurut Silverstain (1967), faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi harga Rf yaitu struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan, sifat dari penyerap dan derajat aktivitasnya,
pelarut dan derajat kemurniannya fase bergerak.
Hasil pengujian pada ekstrak metanol didapatkan sebanyak 4 noda, dengan nilai Rf 0.05, 0.62, 0.85 dan 0.87.
Diantara senyawa yang terdeteksi, kemungkinan senyawa tanin terdapat di dalam ekstrak ini, karena tanin merupakan
senyawa yang bersifat polar sehingga senyawa ini tersari di dalam pelarut metanol yang bersifat semipolar (Septiana dan
Asnani, 2012).
88
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Noda yang tampak pada plat KLT oleh ekstrak etanol total sebanyak 5 noda dengan nilai Rf 0.07, 0.45, 0.47, 0.62
dan 0.70. Kemungkinan senyawa yang terdapat di dalam ekstrak adalah senyawa yang bersifat polar yaitu flavonoid,
alkaloid, terpenoid, saponin dan fenolik. Pelarut etanol merupakan pelarut yang bersifat polar dimana pelarut polar
memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melarutkan senyawa organik dari bahan alam terutama senyawa fenol dan
flavonoid (Harborne, 1987).
Uji Spektroskopi UV-Vis
Hasil analisis keempat ekstrak menggunakan spektrofotometer UV-Vis, diketahui bahwa ekstrak tersebut
mempunyai panjang gelombang maksimum (λmax) yang berdekatan sebesar 286 nm dan 292nm. Hal ini mengindikasikan
bahwa senyawa tersebut termasuk dalam golongan alkaloid indol. Menurut Nassel (2008), terbentuknya dua buah serapan
yang berdekatan menunjukkan ciri khas dari senyawa alkaloid indol.
Pada ekstrak n-heksan dan etil asetat, muncul serapan pada panjang gelombang maksimum 216 nm dan 212 nm,
diduga karena adanya transisi elektron π→π* pada ikatan C=C terkonjugasi yang terjadi pada panjang gelombang 210-
285 nm (Sastrohamidjojo, 2001). Transisi ini dapat terjadi jika suatu molekul organik mempunyai gugus fungsional yang
tidak jenuh sehingga ikatan rangkap dalam gugus tersebut memberikan orbital π yang diperlukan
(Gandjar dan Rohman, 2007). Sedangkan pada ekstrak metanol dan etanol, muncul serapan dengan panjang gelombang
maksimum 408 nm, 409 nm dan 410 nm. Hal ini disebakan karena adanya senyawa aromatik yang terdiri dari banyaknya
cincin benzena sehingga akan menggeser panjang gelombang ke arah yang lebih panjang (Fessenden dan Fessenden,
1986).
Uji Spektroskopi FTIR
Hasil analisis menggunakan FTIR menunjukan bahwa di dalam masing-masing ekstrak memiliki serapan beberapa
gugus fungsi. Serapan yang muncul pada masing-masing ekstrak menandakan adanya senyawa alkaloid indol dan gugus
OH yang kemungkinan terikat pada flavonoid ataupun polifenol. Hal ini dibuktikan dengan hasil positif pada uji fitokimia
untuk uji alkaloid serta dengan data panjang gelombang maksimum pada uji spektroskopi UV-Vis dimana panjang
gelombang maksimum yang didapatkan saling berdekatan. Prediksi ini juga diperkuat dari data spektrum infra merah
dimana muncul serapan pada bilangan gelombang 1245.10 cm-1, 1243.18 cm-1, 1245.10 cm-1, dan 1243.18 cm-1 untuk
ekstrak n-heksan, etil asetat, metanol dan etanol total yang menandakan adanya senyawa amina dengan gugus C-N (1360-
1180 cm-1).
Pada ekstrak n-heksan dan etanol total juga muncul bilangan gelombang terdapat gugus C-H dari senyawa alkana
(2970-2850 cm-1)(1470-1340 cm-1), gugus C-H dari senyawa alkena (995-675 cm-1) dan gugus C-H dari senyawa aromatik
(900-690 cm-1) yang muncul pada masing-masing ekstrak. Gugus fungsi karbonil C=O (1760-1690 cm-1) juga muncul
serapan pada masing-masing ekstrak dengan bilangan gelombang berturut-turut 1724.44 cm-1, 1728.29 cm-1, 1736.97 cm-
1
, dan 1737.94 cm-1. Sedangkan untuk gugus hidroksil O-H (3600-3200 cm-1) muncul serapan pada panjang gelombang
3253.09 cm-1 dan 3232.83 cm-1 untuk ekstrak metanol dan ekstrak etanol total.3144,10 Cm-1 untuk ekstrak etil asetat.
Uji Aktivitas Antioksidan
Pada penelitian ini digunakan metode uji aktivitas antioksidan yang meliputi metode DPPH (2,2’-diphenyl-1-
picrylhydrazyl). Metode DPPH berdasarkan pada aktivitas antioksidan dalam menghambat radikal bebas melalui
Hydrogen Atom Transfer. Mekanisme ini berdasarkan pada kemampuan antioksidan menetralkan radikal bebas dengan
cara mendonorkan atom Hidrogen (Apak et al, 2007), sehingga warna ungu pada DPPH berubah menjadi warna kuning.
Gulcin (2006) mengatakan bahwa terjadi absorbansi yang rendah ketika radikal DPPH dihambat oleh senyawa
89
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
antioksidan melalui proses donor hidrogen, untuk membentuk radikal yang stabil, sehingga terjadilah perubahan warna
kuning yang sebelumnya berwarna ungu. Pada uji radikal DPPH ini dilakukan dengan mengukur absorbansi dengan
panjang gelombang 520 nm.
Pada penelitian uji DPPH terhadap ekstrak etil asetat, metanol dan etanol total memperlihatkan aktivitas sebagai
penangkap radikal yang baik, dimana ekstrak etil asetat memperlihatkan aktivitas tertinggi dengan nilai IC50 nya sebesar
129,79 ppm, diikuti ekstrak metanol (IC50=150,06 ppm) dan ekstrak total etanol (IC50 = 790,44 ppm). Pada ketiga ekstrak
ini diyakini karena kandungan flavonoid dan polifenolnya yang memberikan aktivitas. Tapi ekstrak n-heksan tidak
memperlihatkan aktivitas dimana dari pengujian didapat nilai IC50 >1000 ppm (Tabel 6). Sedangkan untuk standar
digunakan asam askorbat dengan nilai IC50 52,67 ppm. Hal ini disebabkan karena ekstrak n-heksan bersifat non polar
yang juga mengekstrak senyawa non polar yang tidak mengandung gugus hidroksil. Dengan semakin banyaknya gugus
fungsi pada sebuah senyawa kimia (lebih baik untuk fenolik), maka akan semakin besar juga kemampuan suatu
antioksidan untuk menetralisir radikal DPPH. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi aktivitas antioksidan
(Molyneux, 2004; Andayani et al, 2008). Pada persen hambatan radikal DPPH yang tinggi, senyawa pada sampel lebih
bersifat sebagai pendonor elektron dan dapat menetralisir radikal bebas (Lindsey et al, 2002; Molyneux, 2004).
Metode DPPH merupakan uji secara langsung terhadap senyawa yang bersifat radikal (Gulcin, 2006). Senyawa
yang berpotensi sebagai antioksidan alami yaitu senyawa-senyawa fenolik, salah satu golongannya adalah senyawa
flavonoid. Semakin banyak senyawa flavonoid dan fenolik di dalam suatu sampel, maka semakin tinggi pula aktivitas
antioksidannya (Chang and Xu, 2007).
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan hasil penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Hasil skrining fitokimia pada ekstrak n-heksan, etil asetat, metanol dan ekstrak etanol total menunjukan beberapa hasil
positif seperti alkaloid, fenolik, steroid tannin, terpenoid dan tanin flavonoid. sedangkan untuk hasil negatif ditunjukan
pada uji saponin,.
2. Hasil analisis KLT dengan menggunakan perbandingan eluen n-heksan : etil asetat = 7 : 3 pada ekstrak n-heksan
terdapat 4 noda, ekstrak etil asetat 3 noda, ekstrak metanol 4 noda, dan ekstrak etanol total terdapat 5 noda
3. Hasil pengujian menggunakan spektrofotometer UV-Vis menunjukan adanya senyawa alkaloid indol yang
ditunjukkan dengan adanya panjang gelombang maksimum yang berdekatan yaitu 286 nm dan 292 nm pada masing-
maing ekstrak. Hasil ini juga diperkuat dari data spectrum inframerah (IR) yaitu pada bilangan gelombang 1245.10
cm-1, 1243.18 cm-1, 1245.10 cm-1, dan 1243.18 cm-1.
4. Keempat ekstrak yang paling aktif dalam menginhibisi pembentukan radikal bebas DPPH yaitu ekstrak n-heksan (IC50
= 129,79 ppm), kemudian ekstrak metanol (IC50=150,06 ppm), dan ekstrak total etanol (IC50 = 790,44 ppm),sedangkan
ekstrak n-heksan. Tidak menunjukkan aktivitas (IC50 >1000 ppm).
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengisolasi senyawa murni di dalam ekstrak yang didapatkan pada
penelitian ini dan mengidentifikasi menggunakan spektroskopi NMR, GC-MS untuk menentukan strukturnya.
90
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
DAFTAR PUSTAKA
Apak, R., Güçlü, K., Demirata, B., Ozyurek, M., Çelik, S.E., Beçtasoĝlu, B., Berker, K. I. dan Özyurt, D. 2007. Comparative evaluation of various total
antioxidant capacity assays applied to phenolic compounds with the CUPRAC assay. Molecules. 12: 1496-1547
Andayani, R., Lisawati, Y., dan Maimunah. 2008. Penentuan Aktivitas Antioksidan, Kadar Fenolat Total, dan Likopen pada Buah Tomat (Solanum
Lycopersicum L). Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, 13(1).
Artini, P.E.U.D., Astuti, K.W., Warditiani, N.K., 2013. Ujifitokimia ekstrak etil asetatrimpang bangle (Zingi berpurpureum Roxb). Jurnal Farmasi
Udayana.
Bawa, I.G.A.G. 2009. Isolasi dan Identifikasi Golongan Senyawa Toksik dari Daging Buah pare (Momordica charatial). Bukit Jimbaran: Jurnal Kimia
Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Udayana. Jurnal Kimia 3(2). 1117-124.
Chang, S.K.C., Xu B.J., dan Yuan S.H. 2007. Comparative Analyses of Phenolic Composition, Antioxidant Capacity, and Color of Cool Season
Legumes and Other Selected Food Legumes. J. Food Sci 72(2): S167.
Falodun A, Okunrobo L. O and Uzoamakan, 2006, Phytochemical Screening And Anti-Inflammatory Evaluation Of Methanolic And Aqueuos Extracts
of Euphorbia heterophylla Linn (Euphorbiaceae), African Journal of Biotechnology, 6, 5, 529.
Fessenden, R. J., dan Fessenden, J. S., 1986. Kimia Organik Jilid 2 Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Gandjar, I. G., dan Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Cetakan II. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Gulcin, I., 2006, Antioxidant and Antiradical Activities of L-Carnitine, Life Sciences, 78: 803-811.
Harborne, J. B. 1987. Phytochemical Methods: Chapman and Hall, Ltd., London, pp. 49-188.
Kosasih, E.N., Tony S. Hendro H., 2006. Peran Antioksidan pada Lanjut Usia. Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia, Jakarta
Lindsey, L.K., Motsel L.M., dan Janger K.A. 2002. Screening of south african food plants for antioxidant activity. J.Food Sci. 67: 2139-2130.
McMurry, J. and R.C. Fay. 2004. Mc Murry Fay Chemistry. 4th edition. Belmont, CA.: Pearson Education International.
Molyneux, P. 2004. The Use Of The Stable Free Radical Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) For Estimating Antioxidant Activity. J. Sci. Tech. 26 (2):
211-219.
Nassel, F.M., 2008. Isolasi Alkaloid Utama dari Tumbuhan Lerchea interrupta Korth, Tenaga Fungsional BPOM, Jambi.
Pietta P.,G.,1999. Flavonoids as Antioxidant Reviews, J. Nat. Prod., 63, 1035-1042
Robinson, T., 1995. Kandungan organik tumbuhan tingkat tinggi. Bandung: Penerbit ITB.
Sangi, M.S., Momuat, L.I. dan Kumaunang, M., 2013. Uji toksisitas dan skrining fitokimia tepung gabah pelepah aren (Arange pinnata). Jurnal Ilmu
Sains. Vol 12. (2). Universitas Sam Ratulangi. Manado
Sastrohamidjojo, H. 2001. Spektroskopi. Yogyakarta: Liberty.
Septiana, A.T. dan Asnani, A., 2012. Kajian Sifat Fisikokimia Ekstrak Rumput Laut Coklat Sargassum duplicatum Menggunakan Berbagai Pelarut dan
Metode Ekstraksi, Agrointek 6 (1), 22-28.
Silverstain, R. M. 1967. Spectrometric Identification of Organic Compounds, Second Edition. John Wiley and Sons Inc., New York.
Zang, Y.,Shi, S.,wang,Y., dan Huang, K. 2011. Target-guided isolation and purification of antioxidants from Selaginella sinensis by oflline coupling
of DPPH-HPLC and HSCCC experiments. Journal of Cromatography B. 879: 191-196.
91
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Aktivitas antidiabetes ekstrak etanol 70% daun Yakon (Smallanthus sonchifolius (Poepp.) H. Robinson) sebagai penghambat aktivitas ɑ-glukosidase
telah dilaporkan oleh peneliti sebelumnya. Pada penelitian ini dilakukan penetapan dan identifikasi fraksi aktif ekstrak etanol 96% daun yakon yang
dapat menghambat aktivitas enzim α-glukosidase. Tahapan penelitian dimulai dengan: ekstraksi bertingkat dengan pelarut n-heksan, etil asetat dan
etanol 96%, selanjutnya penapisan fitokimia, kromatografi cair vakum (KCV) untuk fraksinasi, kromatografi lapis tipis (KLT) untuk pengelompokan
fraksi dan uji penghambatan ekstrak dan fraksi terhadap aktivitas enzim α-glukosidase secara in-vitro dengan kontrol positif akarbose. Hasil penapisan
fitokimia serbuk simplisia dan tiga ekstrak daun yakon, menunjukkan adanya golongan senyawa flavonoid, saponin, steroid, triterpenoid dan minyak
atsiri. Hasil uji penghambatan aktivitas α-glukosidase terhadap tiga ekstrak tersebut menunjukkan bahwa ekstrak etanol 96% memiliki persen inhibisi
tertinggi sebesar 75,53%. Hasil uji penghambatan aktivitas enzim α-glukosidase terhadap fraksi-fraksi hasil KLT dengan eluen etil asetat – etanol 96%
(6:4), menunjukkan bahwa fraksi II ekstrak etanol 96% memiliki persen inhibisi tertinggi sebesar 98,60% dengan nilai IC50 74,59 bpj. Fraksi II ekstrak
etanol 96% mengandung senyawa golongan flavonoid, steroid, dan triterpenoid.
Kata Kunci: Smallanthus sonchifolius (Poepp.) H. Robinson, antidiabetes, ɑ-glukosidase, daun yakon
ABSTRACT
Antidiabetic activity of ethanol 70% extract of yacon leaf (Smallanthus sonchifolius (Poepp.) H. Robinson) as an ɑ-glucosidase inhibitor has been
reported by previous researchers. This study was conducted to determine and identify the active fraction of ethanol 96% extract of yacon leaf by α-
glucosidase methode. In this research, the extracting made by macerated sample with n-hexane, ethyl acetate and ethanol 96%, followed phytochemical
screening, vaccum liquid chromatography for fractination, thin layer chromatography (TLC) to separating component and antidiabetic test by α-
glucosidase methode with acarbose as a positive control. Results of phytochemical screening of powder and three extract of yacon leaf, showed their
positive has a group compound of flavonoids, saponins, steroids, triterpenoids and volatile oil. The result of α-glucosidase inhibition test against the
three of extract showed that ethanol 96% extract has the highest percent inhibition of 75.53%. Thin layer chromatographi result of ethanol 96% extract
with aethyl acetate – ethanol 96% (6:4) as eluent showed that fraction II has highest antidiabetic activity with percent inhibition of 98.60% , IC50 value
74.59 ppm. It is found that fraction II has the group compound of flavonoid, steroids and triterpenoids.
PENDAHULUAN
Yakon (Smallanthus sonchifolius (Poepp.) H. Robinson) adalah salah satu tanaman yang berkhasiat sebagai
antidiabetes. Bagian tanaman yang sering digunakan adalah daunnya yang dijadikan teh. Khasiat sebagai antidiabetes
secara empiris dapat menurunkan kadar glukosa darah. Uji aktivitas antidiabetes telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya
terhadap ekstrak etanol 70% daun yakon dengan hasil yang menunjukkan bahwa ekstrak tersebut memiliki aktivitas
penghambatan ɑ-glukosidase.(4)
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan fraksi aktif daun yakon sebagai penghambat enzim ɑ-glukosidase.
Penetapan fraksi aktif dilakukan dengan ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut dengan polaritas yang berbeda. Tiap
ekstrak yang di dapat dilakukan skrining fitokimia dan diuji aktivitas penghambatannya. Ekstrak yang memiliki persen
penghambatan tinggi di fraksinasi dengan kromatografi cair vakum. Selanjutnya fraksi-frakasi tersebut diuji
penghambatan enzim ɑ-glukosidase dan di identifikasi dengan skrining fitokimia.
92
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
sulfoksida (DMSO), akarbose, natrium karbonat, kalium dihidrogenfosfat, n-heksana, etil asetat, etanol 96%, akuades,
Pereaksi-pereaksi untuk skrining fitokimia, kuersetin, silika gel H60.
Alat yang digunakan adalah Absorbance Microplate Reader Elx 800, kolom kromatografi, rotary vacuum evaporator,
alat giling, pengayak No. 4 dan 18, Micro balance Mettler M75, timbangan analitik, oven, pH meter Hanna HI-2211,
chamber, lempeng silika gel GF254, mikropipet, pompa vakum, microplate, alat-alat gelas.
Metode
Simplisia daun yakon (Smallanthus sonchifolius) diekstraksi berturut-turut dengan pelarut n-heksana, etil asetat, dan
etanol 96%. Masing-masing ekstrak diuji aktivitas penghambatan terhadap enzim ɑ-glukosidase secara in vitro dengan
menggunakan p-nitrofenil-α-D- kromatografi cair vakum. Fraksi-fraksi hasil kromatografi cair vakum lalu dikelompokan
dengan kromatografi lapis tipis. Masing-masing fraksi kemudian diuji aktivitas penghambatan terhadap enzim ɑ-
glukosidase secara in vitro. Fraksi teraktif ditentukan nilai IC50 dan diidentifikasi golongan senyawanya dengan skrining
fitokimia.
1. Skrining Fitokimia serbuk, eksrak n-heksan, etil asetat dan etanol 96% daun yakon
Hasil skrining fitokimia ketiga ekstrak dapat dilihat pada Tabel.1.
Tabel V.1. Hasil Skrining Fitokimia Serbuk Daun Yakon, Ekstrak n-heksan,Etil Asetat, dan Etanol 96% Daun Yakon
No. Senyawa Serbuk Ekstrak n- Ekstrak etil Ekstrak
daun heksan daun asetat daun etanol 96%
yakon yakon yakon daun yakon
1. Alkaloid - - - -
2. Flavonoid +++ - ++ +++
3. Saponin +++ - - ++
4. Kuinon - - - -
5. Tanin - - - -
6. Steroid/Triterpenoid +++/+++ +++/+++ ++/++ +/+
7. Minyak Atsiri +++ ++ + -
8. Kumarin - - - -
Keterangan: (+) memberikan hasil reaksi positif dan (-) memberikan hasil reaksi negatif
Hasil skrining fitokimia menunjukan bahwa serbuk dan ekstrak daun yakon mengandung metabolit sekunder
flavonoid, saponin, steroid, triterpenoid, dan minyak atsiri. Flavonoid tidak terdapat pada ekstrak n-heksan karena
kepolarannya yang berbeda sehingga hanya ada pada ekstrak etil asetat yang bersifat semi polar dan ekstrak etanol 96%
yang polar. Saponin yang juga bersifat polar hanya terdapat pada serbuk dan ekstrak etanol 96%.
2. Uji Penghambatan Aktivitas Enzim ɑ-glukosidase Ekstrak
Hasil uji penghambatan aktivitas enzim ɑ-glukosidase terhadap ekstrak n-heksan, etil asetat dan etanol 96%
menunjukkan bahwa ekstrak etanol 96% yang paling aktif dengan persen inhibisi sebesar 73,53%. Hasil uji ini dapat
dilihat pada Tabel.2. dan Gambar.1.
93
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Sampel % Inhibisi
Ekstrak n-heksan 21.18
Ekstrak etil asetat 48.24
Ekstrak Etanol 96% 73.53
80
60 Ekstrak n-
heksan
% Inhibisi
40 Ekstrak etil
asetat
20
Ekstrak
Etanol 96%
0
Sampel Uji
Gambar 1. Grafik % Inhibisi Ekstrak n-heksan, Ekstrak Etil Asetat,
dan Ekstrak Etanol 96%
Tabel 3. Hasil Uji Penghambatan Aktivitas Enzim ɑ-glukosidase terhadap Kelompok Fraksi
Sampel % Inhibisi
Kel. Fraksi I 97.41
Kel. Fraksi II 98.60
Kel. Fraksi III 92.03
Kel. Fraksi IV 50.77
Kel. Fraksi V 96.92
Kel. Fraksi VI 96.43
94
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
80
60
40 Akarbose
Fraksi II
20
0
Sampel Uji
Gambar 3. Grafik IC50 Akarbose dan Fraksi II
KESIMPULAN
Fraksi yang paling aktif dalam menghambat enzim ɑ-glukosidase adalah kelompok fraksi II ekstrak etanol 96% dengan
persen inhibisi sebesar 98.60%, dan dengan nilai IC50 74.95 bpj. Fraksi II tersebut mengandung senyawa golongan
flavonoid, steroid, dan triterpenoid
DAFTAR PUSTAKA
Hermann M, Heller J. Andean roots and tubers : Ahipa , arracacha , maca and yacon. Italy: International Plant Genetic Resources Institute. 1997. p.
200-42.
95
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Valentová K, Frček J, Ulrichová J. Yacon (Smallanthus sonchifolius) and Maca (Lepidium meyenii), traditional Andean crops as new functional foods
on the European market. Chem List. 2001;95:594–601.
Bösenberg LH, Van Zyl DG. The mechanism of action of oral antidiabetic drugs: A review of recent literature. J Endocrinol Metab Diabetes South
Africa. 2008;13(3):80–9.
Djamil R, Winarti W, Simanjuntak P. Standardization and ɑ-glycosidase inhibition of extracts of Vatica pauciflora Blume stem barks and Smallanthus
sonchifolius leaves. 2014;3(4):42–6.
Nurlita T. Penapisan Fitokimia dan Formulasi Sediaan Kapsul dari Ekstrak Etanol 70% Daun Leunca (Solanum nigrum L.) sebagai Penghambat Enzim
Alfa-glukosidase. 2016;46–50.
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2000.
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Teknologi Ekstrak. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2000.
Agoes G. Teknologi Bahan Alam (ed. revisi dan perluasan). Bandung: Penerbit ITB; 2009.
Zakhartsev M, Pörtner H, Blust R. Environmentally low-temperature kinetic and thermodynamic study of lactate dehydrogenase from Atlantic cod (G.
morhua) using a 96-well microplate technique. 2004;10–20.
Rosak C, Mertes G. Critical evaluation of the role of acarbose in the treatment of diabetes : patient considerations. 2012;357–67.
RPS Publishing. Martindale, The Complete Drug Reference. 36th ed. Sweetman SC, editor. London: Pharmaceutical Press; 2009. 436 p.
96
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Ekstrak buah mengkudu (Morinda Citrifolia L.) memilki banyak kandungan kimia salah satunya Scopoletin. Namun perbedaan letak geografis suatu
tanaman dapat mengakibatkan terjadinya variasi kandungan metabolit dari suatu tanaman. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui parameter fisikokimia
pada ekstrak etanol 70% buah mengkudu (Morinda Citrifolia L.) dan untuk mengetahui apakah perbedaan daerah tumbuh dapat berpengaruh pada kadar
scopoletin pada ekstrak etanol 70% buah mengkudu. Hasil pengujian didapat ekstrak yang berasal dari purwakarta, sari larut air 26,0793 % , sari larut
etanol 11,6825 %, kadar abu 1,6517%, kadar abu tidak larut asam 0,3075%, kadar air 11,3014% sedangkan yang berasal dari bogor, sari larut air
42,4098%, sari larut etanol 22,2071%, kadar abu 1,0536%, kadar abu tidak larut asam 0,1001%, kadar air 8,0825%.Pengujian Kadar scopoletin
dilakukan dengan metode KLT-Densitometri. KLT menggunakan Fase diam silika gel GF254 dan fase gerak eter: toluen: asam asetat 10% (58:45:0,8).
Kadar scopoletin rata-rata daerah Purwakarta adalah 1,4895% dan untuk daerah Bogor adalah 2,4505%. Berdasarkan hasil penelitian mutu ekstrak yang
lebih baik adalah buah mengkudu yang berasal dari daerah Bogor dengan nilai parameter non spesifik lebih rendah dan nilai parameter spesifik lebih
tinggi.
ABSTRACT
Noni Fruits extract (Morinda citrifolia L.) has many chemical content of one of them is scopoletin.However, differences in geographical location can
lead to variation result of a metabolite content of a plants. The purpose of this study to determine the physicochemical parameters of noni fruit extract
ethanol 70% (Morinda citrifolia L.) and and to determine the differences in growing areas may affect the levels of scopoletin in noni fruit extract ethanol
70%. The test results acquired extracts that come from purwakarta, Water-soluble extract 26,0793 %, Ethanol-soluble extract 11,6825 %, Total Ash
1,6517%, Acid-insoluble ash 0,3075%, Water content 11,3014%. While another extract from Bogor . Water-soluble extract 42,4098%Ethanol-soluble
extract 22,2071%, Total Ash 1,0536%, Acid-insoluble ash 0,1001%, Water content 8,0825%. Quantitative analyses of scopoletin using TLC-
Densitometry. TLC was held on silica gel plates as stationary phase and ether : toluene : acetic acid (58:45:0,8). Scopoletin level from purwakarta is
1,4895% and from Bogor area is 2,4505%.Based on the batter quality of research results is a noni fruit extract that come from Bogor with non-specific
parameter value less and higher value of a specific parameter.
PENDAHULUAN
Buah mengkudu telah digunakan secara luas oleh masyarakat indonesia untuk obat tradisional sejak lama.
Dengan baunya yang khas,banyak penyakit yang dapat diobati dengan buah mengkudu seperti : bentuk, diare, radang
tenggorokan, asma, tekanan darah tinggi dan diabetes (Sjabana dan Bahalwan 2002).
Salah satu kandungan buah mengkudu adalah skopoletin atau 7-hidroksi-6-metoksikumarin(Wang dkk. 2002).
Senyawa ini merupakan golongan hidroksi kumarin yang memiliki efek anti hipertensi, antiinflamasi dan antialergi.
Menurut hasil penelitian pada buah Libanotis dolichostyla , kandungan senyawa hidroksi kumarin tergantung pada tingkat
kematangan buah (Zgorka dan Gowniak 1999).
Skopoletin dalam tanaman dapat diukur dengan berbagai macam metode. Dalam penelitian ini, metode yang
dipilih adalah KLT-Densitometri. Metode ini banyak dipakai dalam identifikasi dan pengukuran senyawa kimia dalam
ekstrak tanaman (Pecsok, et all, 2001). Baik dari bagian akar, batang, biji dan buah. Metode ini lebih ekonomis, cepat,
mudah dioperasikan dan reprodusibel (Fried and sherma 1994).
97
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah ayakan mesh 40, timbangan analitik, perangkat sokletasi, rotary
evaporator, tanur, indikator pH universal,kertas saring, mikropipet, plat KLT silika gel 60 GF254, chamber, perangkat alat
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)-Densitometri dan alat-alat gelas lain
Bahan
Ekstrak etanol 70% buah mengkudu dari daerah bogor dan puwekerto yang telah dideterminasi, aquadest,
metanol, toluen, chloroform, aseton, n-heksan, , alkohol (etanol 70 %), FeCl3 1%, HCl 1%, HCl pekat,amoniak 25%,
HNO3 pekat, NaOH, H2SO4, asam asetat, , lieberman-burchard, pereaksi dragendroff, standard skopoletin.
Cara kerja
Pengumpulan Bahan
Buah Mengkududiperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO), Bogor Dan
perkebunan Mengkudu Di Purwakarta.
Determinasi Tanaman
Buah Mengkudu diidentifikasi di Herbarium Bogoriensis, LIPI Pusat Biologi, Bidang Botani, Cibinong, Bogor.
Pembuatan Serbuk Simplisia
Serbuk simplisia buah Mengkudu dibuat dari simplisia utuh yang diperoleh dari BALITTRO dengan cara
mengeringkan tanpa terkena sinar matahari langsung dan diayak dengan menggunakan ayakan mesh 40.
Pemeriksaan Karakteristik Buah Mengkudu
Uji Makroskopik.
Uji makroskopik bertujuan untuk menentukan ciri khas simplisia dengan pengamatan secara langsung berdasarkan
bentuk simplisia dan ciri organoleptik buah mengkudu menurut literature secara umum
Uji Mikroskopik.
Uji mikroskopik mencangkup pengamatan terhadap bagian simplisia dan fragmen pengenal dalam bentuk sel,
isi sel atau jaringan tanaman buah mengkudu secara umum .simplisia halus buah mengkudu diletakkan pada plat kaca
kemudian ditetesi kloralhidrat dan floroglusin lalu tutup dengan cover glass dan diamati melalui mikroskop.
Penyiapan Ekstrak.
Simplisia halus buah mengkudu diletakkan didalam wadah kaca kemudian dimasukkan pelarut etanol 70%. Buah
Mengkudu direndam selama 3 hari sambil diaduk 3 kali untuk 6 jam diamkanselama 18 jam pertama untuk membantu
proses penyarian dan disaring. Ampas tersebut kemudian dimaserasi kembali dengan etanol 70% untuk menyempurnakan
ekstraksi. Ekstrak tersebut kemudian dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator. Dihitung hasil rendemen
ekstrak etanol buah Mengkudu dengan rumus sebagai berikut:
98
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
2 ml filtrate hinggga kering dalam cawan penguap, residu dipanaskan pada suhu 1050 C hingga bobot tetap. Dihitung
kadar dalam persen senyawa yang larut dalam air terhadap berat ekstrak awal(depkes RI,2008).
Penentuan kadar sari larut etanol.
Sejumlah 0,5 g ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 10 ml etanol 95% menggunakan labu bersumbat sambil
berkali-kali dikoocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam . disaring cepat dengan menghindari
penguapan etanol, kemudian diuapkan 2 ml filtrate hingga kering dalam cawan penguap yang telah ditara, residu
dipanaskan pada suhu 1050C hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam etanol terhadap
berat ekkstrak awal(depkes RI,2008).
Tabel 1. Uji penapisan fitokimia dengan reaksi warna
Identifikasi Prosedur Hasil Pustaka
Alkaloid Ekstrak 500mg + HCL 2N 1 ml + 9 ml aquadest, Endapan Coklat Depkes RI 1995
panaskan 2 menit, dinginkan lalu tambahkan
bourchardat
Flavonoid Ekstrak 500 mg + metanol 2 ml lalu dipanaskan Warna merah, Depkes RI 1995
selama 10 menit pada suhu 100C. Ambil filtrat dan kuning atau jingga
tambahkan HCl pekat dan logam Mg
Tanin Ekstrak 500 mg + 10 ml aquadest lalu dipanaskan dan Warna hijau, biru Depkes RI 1995
dinginkan. Saring lalu filtrat tambahkan aquadest atau kehitaman
sampai tidak berwarna dan ambil sebanyak 2 ml
teteskan pereaksi besi (II) klorida 1%
Saponin Ekstak 500 mg + 10 ml aquadest panas dan dinginkan Buih tidah hilang Depkes RI 1995
kemudian kocok kuat selama 10 menit maka akan
terbentuk buih, diamkan selama 2 menit + 3-4 tetes
HCL 2N
Triterpenoid and Steroid Ekstrak 500 mg + 2 ml etanol, panaskan dan Warna merah positif Harbone.J 1987
dinginkan kemudian disaring. Filtrat diuapkan triterpenoid dan
kemudian + 2-3 tetes eter, 3 tetes asam asetat anhidrat warna hijau positif
dan 1 tetes H2SO4 steroid
alkaloid Fase diam : plat silika gel G60 GT 254 Sinar tampak 254 nm kuning , 366
Fase gerak : etil asetat-metanol-air (6:4:2) nm hijau muda , biru ungu
Pereaksi semprot : pereaksi dragendorff
Amati pada cahaya tampak , UV 254 nm dan
366 nm
Flavonoid Fase diam : plat silika gel G60 GT 254 Sinar tampak 254 nm kuning muda,
Fase gerak : butanol-asam asetat glasial - air 366 biru, kuning atau hijau
(3:1:1)
Pereaksi semprot : amonia
Amati pada cahaya tampak , UV 254 nm dan 366 nm
99
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Saponin Fase diam : plat silika gel G60 GT 254 Sinar tampak merah jambu sampai
Fase gerak : kloroform-aseton (4:1) ungu 254 nm, 366 nm kuning
Pereaksi semprot : SbCl3
Amati pada cahaya tampak , UV 254 nm dan 366 nm
Tanin Fase diam : plat silika gel G60 GT 254 timbul warna lembayung
Fase gerak butanol-asam asetat-air (14:1:5)
Pereaksi semprot : amonia
Amati pada cahaya tampak , UV 254 nm dan 366 nm
Triterpenoid/ steroid Fase diam : plat silika gel G60 GT 254 Timbul warna ungu merah atau
Fase gerak :n-heksan-etil asetat (4:1) ungu
Pereaksi semprot : anisaldehid asam sulfat
Amati pada cahaya tampak , UV 254 nm dan 366 nm
Karakterisasi fluoresensi.
Serbuk simplisia dan ekstrak kental etanol 70% masing-masing diteteskan pada plat tetes digunakan adalah
aquadest, asam klorida, asam sulfat, asam nitrit, dan natrium hidroksida menggunakan sinar tampak dan menggunakan
sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Pereaksi yang dan diteteskan larutan pereaksi kemudian dilihat
perubahan warna yang terjadi.
Penetapan kadar scopoletin dengan klt-densitometri.
Penetapan kadar scopoletin ekstrak buah Mengkudu menggunakan KLT-Densitometri meliputi:
a. Pembuatan Larutan Induk Standar Skopoletin.
b. Pembuatan Deret Standar Skopoletin 200 ppm, 400 ppm, 600 ppm, 800 ppm, 1000 ppm, 1200 ppm
c. Pembuatan Larutan Uji. Ditimbang seksama100 mg ekstrak buah mengkudu kemudian ditambahkan metanol sampai
tanda batas 5 ml.
d. Pengukuran Kadar Skopoletin. Ditotolkan masing-masing 5 µl larutan standar yang telah diencerkan dan larutan uji
pada plat KLT silika gel 60 GF254. Kemudian dielusi dengan fase gerak eter : toluen : asam asetat 10% dengan
perbandingan 55 : 45 : 0,8 , dan diukur dengan densitometer pada panjang gelombang 366 nm.
Parameter non spesifik
Penentuan kadar abu total.
Sejumlah 2 gram ekstrak yang telah digerus dan ditimbang seksamadimasukkan kedalam krus silikat yang telah
dipijarkan dan ditara, ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga habis, dinginkan , timbang. Jika cara ini arang tidak dapat
dihilangkan, tambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa kertas dan kertas saring dalam
krus yang sama .masukkan filtrate kedalam krus , uapkan , pijarkan hingga bobot tetap . Hitung kadar abu terhadap bahan
yang telah dikeringkan diudara (depkes RI,2002).
Penentuan kadar abu tidak larut asam.
Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu , didihkan dengan 25 ml sam klorida encer P selama 5 menit, lalu
kumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam, saring melalui krus kaca masir atau kertas saring bebas abu, cuci dengan
air panas pijarkan hingga bobot tetap , lalu timbang. Hitung kadar abu yang tidak larut dalam asam terhadap bahan yang
telah dikeringkan di udara (depkes RI,2008)
100
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Pengujian parameter fisikokimia yang dilakukan meliputi beberapa parameter spesifik dan non spesifik.
Parameter spesifik yaitu kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, penapisan fitokimia dan kadar scopoletin dalam ekstrak
sedangkan parameter non spesifik yaitu kadar abu total, kadarabu tidak larut asam dan kadar air.
Tabel 4. Parameter spesifik
Parameter Sampel 1 Sampel 2
(Bogor) (Purwakarta)
Kadar Sari larut 42,4098% ± 26,0793%±
air (%) 0,9828 4,0655
Kadar sari larut 22,2071% ± 11,6825% ±
etanol (%)b/b 0,6570 3,0143
101
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Pada pengujian senyawa yang larut dalam pelarut tertentu yaitu menggunakan etanol dan air,hasil pengujian
kedua ekstrak menunjukan bahwa ekstrak larut dalam air yaitu untuk ekstak dari bogor (sampel 1) 42,4098% dan dari
purwakarta (sampel 2) 26,0793% sedangkan untuk larut dalam etanol yaitu ekstrak dari bogor sebesar 22,2071% dan dari
purwakarta 11,6825%.
Tabel 5. Uji Skrining fitokimia Ekstrak
Golongan Sampel 1 Sampel 2
senyawa (Bogor) (Purwakarta)
Alkaloid + +
Flavonoid + +
Saponin + +
Tanin - -
Triterpenoid dan + +
steroid
Tahap skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan golongan metabolit sekunder dalam ekstrak
etanol 70% buah mengkudu serta menjadi Gambaran kandungan ekstrak secara kualitatif. Berdasarkan reaksi warna
hasil menunjukan bahwa ekstrak etanol buah mengkud yang berasal dari kedua tempat tersebut positif mengandung
senyawa alkaloid, flavonoid, saponin dan terpenoid.
Tabel 6. Hasil Fluoresensi serbuk buah mengkudu
Pereaksi Sinar Tampak 254 nm 366 nm
Sampel 1 Sampel 2 Sampel 1 Sampel 2 Sampel 1 Sampel 2
NaOH Cokelat tua Cokelat tua Cokelat tua Cokelat tua Hitam Hitam
H2SO4 Cokelat Cokelat Hitam Hitam Hitam Hitam
kehitaman kehitaman
HCL Hijau tua Hijau tua Hitam Hitam Hitam Hitam
HNO3 Jingga Jingga Cokelat Cokelat Cokelat Cokelat
Aquadest Cokelat muda Cokelat muda Hitam Hitam Hitam Hitam
102
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Pengujian karakteristik fluoresensi yang dilakukan terhadap serbuk dan ekstrak buah mengkdu termasuk uji
pendahuluan untuk melihat beda antara serbuk dan ekstrak buah mengkudu. Didapatkan hasil uji fluoresensi serbuk dan
ekstrak pda sinar tampak antara kedua sampel menunjukan warna yang tidak jauh berbeda.Penetapan kadar scopoletin
pada ekstrak etanol 70% buah mengkudu mengunakan metode KLT densitometri. Densitometri merupakan suatu analisis
kuantitatif berdasarkan pada interaksi radiasi elekromagnetik dengan analit yang merupakan bercak KLT (gandjar dan
rohman 2007).
3000
Luas Area
2000
y = 1,7535x + 1003,2
1000 r=0,9996
0
200 400 600 800 1000 1200
Konsentrasi (µg/ml)
Hasil yang diperoleh dari analisis menggunakan TLC-scanner dapat dilihat pada Gambar diperoleh persamaan
garis linear a= 1003,2 ; b = 1,7535 : r=0,9996 . Hasil kurva kalibrasi tersebut menunjukan hubungan linier antara
konsentrasi dengan luas area scopoletin yang terdeteksi pada alat densitometer dimana semakin tinggi konsentrasi
scopoletin semakin tinggi luas areanya.
Tabel 9. Hasil pengukuran Ekstrak etanol 70% buah menggunakan metode KLT-Desitometri
Kadar
Bobot
Konsentrasi Scopoletin
Replikasi Sampel Nilai Rf Luas Area Ekstrak Rata-rata
(µg/ml) dalam
(mg)
ekstrak (%)
Ekstrak etanol 70%
2,4501%
1 buah mengkudu 2000 0,37 2767,8 200,0 2,5158
± 0,0640
(Sampel 1)
103
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Hasil pengukuran scopoletin dalam ekstrak buah mengkudu didapat Rf yang tidak jauh beda dengan standar
scopoletin dan juga luas area yang selanjutnya dapat digunakan untuk menghitung kadar scopoletin dalam ekstrak. Hasil
dapat dilihat pada Tabel 9 . Didapatkan persen kadar rata-rata untuk sampel 1 (bogor) sebesar 2,4501% dan untuk sampel
2 (purwakarta) sebesar 1,4895%. setelah dianalisisa dengan uji t dependent didaptkan hasil sig. (2-tailed) sebesar
0,006<0,05 maka terdapat perbedaaan bermakna antara kedua sampel tersebut. Didaptkan hasil pada buah mengkudu
yang berasal dari Bogor memiliki presentase yang lebih tinggi dibandingkan buah mengkudu yang berasal dari
purwakarta. Hal ini dapat karena kondisi topografi yang berbeda dan dipengaruhi juga oleh faktor iklim dan curah hujan
didaerah tersebut sehingga mempengaruhi kandungan kimia yang terkandung didalamnya.
104
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Pada pengujian parameter non spesifik hasil dapat dilihat pada Tabel .Hasil kadar abu ekstrak etanol 70% buah
mengkudu yang berasal dari bogor menunjukan sisa anorganik yang terdapat dalam ekstrak adalah 1,0536% sedangkan
yang berasal dari purwakarta adalah 1,6517%. Penetapan kadr abu tidak larut asam dimasksud untuk menevaluasi ekstrak
terhadapt kontaminasi bahan yang mengandung silika seperti tanah dan pasir. Hasil kadar abu tidak laurt asam pada
ekstrak buah mengkudu yang berasal dari bogor adalah 0,1001% sedangkan untuk yang berasal dari purwakarta0,2941%.
Hasil penentuan kadar air ekstrak diperoleh untuk yang berasal bogor 8,0825% dan untuk yang berasal dari purwakarta
11,3014%.
KESIMPULAN
Pada pengujian parameter fisikokimia ekstrak etanol 70% buah mengkudu yang berasal dari bogor didapat sari
larut air 42,4098%, sari larut etanol22,2071%, kadar abu 1,0536%, abu tidak larut asam 0,1001%, kadar air 8,0825%
sedangkan ekstrak etanol 70% buah mengkudu yang berasal dari purwakarta didapat sairi larut air 26,0793% , sari larut
etanol 11,6825%, kadar abu 1,6517%, abu tidak larut asam 0,3075%, kadar air 11,3014%. Hasil yang didaptkan
menunjukan bahwa ekstrak buah mengkudu yang berasal dari bogor memiliki nilai yang lebih bagus berdasarkan uji
parameter fisikokimia maupun dari kadar scopoletin dibandingkan dengan ekstrak buah mengkudu yang berasal dari
purwakarta, karena mempunyai nilai parameter non spesifik lebih rendah dan parameter spesifik lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Agoes G. 2007. Teknologi bahan alam. Penerbit ITB, Bandung. Hlm. 32-35.
Blanco,Y.C., Vaillant, F., Perez, A.M., Brillouet, J.M., dan Brat, P. 2005. The Noni Fruit (Morinda citrifolia L.) : A riview of
agricultural reserch, nurtitional and therapeutic properties, Journal of Food Composition and Analysis, in Press.
Depkes dan Kesejahteraan Sosial RI. 2001. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (I) Jilid 2. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
Depkes RI. 1980. Materia Medika Indonesia. Jilid 4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.
Depkes RI. 2008. Farmakope Herbal Indonesia. Edisi I. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia Hlm. 93-97.
Diana. 2010. Pengukuran Kandungan Skopoletin Pada Beberapa Tingkat Kematangan Buah Mengkudu (Morinda citrifolia Linn)
Dengan Metode KLT Densitometri. Fakultas Pertanian. Universitas Trunojoyo, Madura.
Djoronga MI, Pandiangan D, Kandou FEF, Tangapo AM. 2014. Penetapan Kadar Pada Tumbuhan Paku dari Halmahera Utara. Dalam:
Jurnal MIPA UNSRAT Online. Vol. 3 (2). Hlm. 102-107.
Hanani E. 2016. Analisis Fitokimia. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hlm. 161-162.
Harborne J. B. 1996. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. Terjemahan: Dr. Kosasih Padmawinata dan
Dr. Iwang Soediro. Penerbit ITB, Bandung.
Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya. Dalam: Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol. I (3). Hlm.
117-135.
Harmita. 2015. Analisis Fisikokimia: Kromatografi. Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hlm. 208-210.
Istiqomah. 2013. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi dan Sokletasi Terhadap Kadar Piperin Buah Cabe Jawa (Piperis retfofracti
fructus). Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Kahkonen, M.P., Hopia, A.I., Vourela, H.J., Rauha, J.P., Pihlaja, K., Kujaka, T.S., dan Heinonen, M. 1999. Antioxidant activity of
extracts containing phenolic compounds,J.Agric. Food Chem, 47 : 3954-3962
Kar A. 2014. Farmakognosi dan Farmakobioteknologi. Edisi 2. Volume 2. Terjemahan: July Manurung dkk. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta. Hlm. 503-504.
105
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Murrukmihadi M, Wahyuono S, Marchaban, Martono S. 2013. Penetapan Kadar Alkaloid dari Ekstrak Etanolik Bunga Kembang
Sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.). Dalam: Traditional Medicine Journal. Vol. 18 (2). Hlm. 118-120.
Saifudin A, Rahayu V, Teruna HY. 2011. Standarisasi Bahan Obat Alam. Graha Ilmu, Yogyakarta. Hlm. 4.
Syabana, D. Dan Bahalwan, R.R. 2002. Seri Referensi Herbal : Pesona Tradisional dan Ilmiah Buah Mengkudu (Morinda citrifolia
L.). Salemba Medika, Jakarta. Hlm. 4-11.
Wang, M.Y., West, B.J., C.J., Nowicki, D., Chen, S., Palu, A.K., dan Anderson, G. 2002. Morinda citrifolia (Noni): A literature review
and recent adveances in Noni reserch, Acta Pharmacologica Sinica, 23. Hlm. 1127-11
106
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Campuran daun iler (Plectranthus scutellarioides L.) dan biji adas (Foeniculum vulgare Mill.) secara empiris digunakan oleh masyarakat sebagai
antidiabetes. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mutu ekstrak etanol 70% campuran daun iler dan biji adas selanjutnya dilakukan
pemeriksaan parameter mutu ekstrak, penapisan fitokimia, dan uji penghambatan ekstrak terhadap aktivitas enzim α-glukosidase secara in-vitro dengan
menggunakan p-nitrofenil- α-D-glukopiranosida sebagai substrat. Hasil pemeriksaan mutu ekstrak menunjukkan ekstrak dengan konsistensi kental,
berwarna coklat kehitaman dan berbau khas aromatis. Hasil penapisan fitokimia ekstrak menunjukkan adanya senyawa flavonoid, saponin, tanin,
kuinon, steroid, triterpenoid, kumarin dan minyak atsiri. Kadar sari larut air 53,36%, kadar sari larut etanol 42,98%, kadar air 9,06%, susut pengeringan
9,46%, kadar abu total 15,04%, kadar abu tidak larut asam 0,90%, sisa pelarut etanol 0,69%, cemaran mikroba dengan angka lempeng total maksimum
0,21 x 104 koloni/g dan angka kapang khamir maksimum 0,38 x 103 koloni/g serta cemaran logam Pb 3,17x10-3 mg/kg dan Cd 1,34x10-5 mg/kg. Hasil
uji penghambatan terhadap aktivitas α-glukosidase pada konsentrasi 450 µg/mL menunjukkan ekstrak memiliki persen inhibisi sebesar 86,41% dan
akarbose sebesar 89,01%. Dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol 70% campuran daun iler dan biji adas mempunyai mutu baik dan memiliki aktivitas
penghambatan terhadap enzim α-glukosidase sehingga dapat diindikasikan sebagai antidiabetes.
Kata Kunci :Plectranthus scutellarioides, Foeniculum vulgare, daun iler, biji adas, Antidiabetes, α-glukosidase.
ABSTRACT
Medicinal plants traditionally used by the people of Indonesia to overcome various diseases. Painted nettle leaf (Plectranthus Scutellarioides) and fennel
seed (Foeniculum Vulgare) empirically used as an antidiabetic. This research aims to obtain quality information on 70% ethanol extract mixture of
painted nettle leaf and fennel seed, phytochemical screening and in-vitro inhibition test on α-glukosidase enzyme with p-nitrofenil-α-D-glucopiranoside
as a substrate and acarbose as positive control. The results of the phytochemical screening of the extract showed presence of flavonoids, saponins,
tannins, quinones, steroids, triterpenoids, coumarin and volatile oil. The result of the quality of the extract showed the consistency of thick extract,
blackish brown and aromatic characteristic odor. The water soluble compounds 53.36%, ethanol soluble compounds 42.98%, water content 9.06%, loss
on drying 9.46%, total ash content 15.04%, acid insoluble ash content 0.90%, ethanol residual content 0.69%, microbial contamination of total plate
number showed 0.21 x 104 coloni/g, molds and yeasts number 0.38 x 103 coloni/g, Pb dan Cd content 3.17x10-3 mg/kg and 1.34x10-5 mg/kg. The result
of in-vitro inhibition test has the highest inhibition activity with inhibition percentage at 450 ppm of extract which is 86.41% and acarbose which is
89.01%. From the results of this study, it is concluded that 70% ethanol extract mixture of the painted nettle leaf (Plectranthus scutellarioides L.) and
fennel seed (Foeniculum vulgare Mill.) have good quality and have inhibitory activity on α-glucosidase enzyme indicating that the extract had potency
as antidiabetic.
Keywords: Plectranthus scutellarioides, Foeniculum vulgare, Painted nettle leaf, fennel seed, Antidiabetic, α-glucosidase
PENDAHULUAN
Di Indonesia telah tumbuh lebih dari 1.000 tanaman obat, sebagian besar belum teridentifikasi secara ilmiah.
Beberapa di antara mereka sudah diteliti hingga tahap uji klinis, tingkatan tertinggi pembuktian obat di mata medis.
Namun lebih banyak yang masih berupa pengetahuan turun temurun. Keberadaan mereka layak untuk diperhitungkan
lantaran bukti empiris sudah banya tersedia. Bukti empiris meliputi jenis-jenis penyakit yang bisa disembuhkan dan dosis
yang biasa diberikan. Mayoritas tanaman-tanaman berkhasiat ini dipakai secara ramuan. Ini dimaksudkan agar khasiatnya
saling melengkapi (Ismawan, 2009).
Secara empiris daun iler (Plectranthus scutellarioides L.) biasa dimanfaatkan untuk mengobati diabetes, diare,
demam, ambeien, wasir, anticacing gelang, keputihan, dan haid tidak lancar. Daun iler (Plectranthus scutellarioides L.)
memiliki senyawa aktif karvakrol, diterpenoid, timol, metil eugenol, etil salisilat, dan mineral (Ismawan, 2009).
Adas (Foeniculum vulgare Mill.) telah diteliti dalam percobaan klinis untuk penyakit dysmenorrhea, konstipasi
dan antihirsutism, tetapi penelitian tambahan menunjukkan keefektifannya dalam diabetes dengan memberikan efek
107
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
hipoglikemik dan kemungkinan adanya aksi antidiabetes. Konsumsi minyak atsiri dari biji adas (Foeniculum vulgare
Mill.) dapat memperbaiki hiperglikemia pada tikus yang diabetes. Dari (162.5 ± 3.19 mg/dl) menjadi (81.97 ± 1.97 mg/dl)
dengan p<0.05 juga meningkatan perubahan pada ginjal dan pankreas (El-Soud NA et al, 2011).
Diabetes mellitus adalah penyakit kelainan metabolisme lemak, karbohidrat dan protein, metabolisme yang
dipengaruhi oleh hasil sekresi insulin, sensitivitas insulin atau keduanya (Dipiro JT, 2005). Aktivitas antidiabetes dapat
terjadi berdasarkan beberapa mekanisme, yaitu dengan menghambat aktivitas enzim α-glukosidase, menstimulasi sel β-
langerhans untuk menghasilkan insulin, dan dengan menunda absorbsi glukosa dalam perut. Pengujian dengan
mekanisme daya hambat terhadap enzim α-glukosidase lebih sering digunakan dibandingkan mekanisme lainnya.
Mekanisme ini dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro (Sutanto F, 2008).
Dalam penelitian ini akan dilakukan penapisan fitokimia ekstrak dan standarisasi ekstrak etanol 70% dari
campuran daun iler (Plectranthus scutellarioides L.) dan biji adas (Foeniculum vulgare Mill.) meliputi penetapan
parameter spesifik (pemeriksaan organoleptik dan senyawa terlarut dalam pelarut tertentu) dan parameter non spesifik
(pemeriksaan susut pengeringan, kadar abu secara gravimetri, sisa pelarut dengan kromatografi gas, cemaran logam berat
dengan spektrofotometri serapan atom, cemaran mikroba). Serta dilakukan uji aktivitas antidiabetes dengan metode
penghambatan ekstrak terhadap aktivitas enzim α-glukosidase secara ELISA.
Ekstrak yang diperoleh di pekatkan dengan rotavapor dan dikentalkan di atas penangas air serta dihitung DER-native dan
rendemen ekstrak.(Depkes, 1995)
Uji penghambatan aktivitas enzim α-glukosidase secara in-vitro
Larutan enzim dibuat dengan melarutkan 1.0 mg enzim α-glukosidase dalam larutan buffer fosfar (pH 7) yang
mengandung 200 mg serum bovine albumin, sebelumnya digunakan, enzim diencerkan 10 kalidengan buffer fosfat (pH
7). Campuran pereaksi terdiri atas 250 µL p-nitrofenil α-D-glukopiranosida (p-NPG) 2 mM sebagai substat, 400 µL
larutan buffer fosfat (pH 7) dan 100 µL larutan contoh dalam DMSO. Kemudian campuran tersebut diinkubasi pada suhu
37oC selam 5 menit, setelah itu ditambahkan larutan enzim sebanyak 250µL dan diinkubasi kembali selama 15 menit.
Reaksi enzim dihentikan dengan menambah Na2CO3 200mM sebanyak 1000µL. Kemudian larutan diukur pada panjang
gelombang 405nm. Akarbose digunakan sebagai baku pembanding dengan perlakuan yang sama seperti sampel.
Percobaan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. (Triana R,2010)
Tabel 1. Uji penghambatan ekstrak terhadap α-glukosidase
Keterangan :
S = Seri larutanekstrak (50,150,250,350,450 µg/mL)
A= Seri larutan acarbose (50,150,250,350,450 µg/mL)
% inhibisi =
Keterangan :
C = Absorbansi kontrol tanpa penambahan zat uji;
S = absorbansi sampel (S1 – S0);
S1=Absorbansi sampel dengan penambahan enzim;
S0=Absorbansisampel tanpa penambahan enzim;
IC50= Dihitung berdasarkan regresi linear hubungan antara konsentrasi terhadap % inhibisi
109
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Campuran Ekstrak
Penapisan Daun Biji daun iler campuran
No.
fitokimia iler adas dan biji daun iler dan
adas biji adas
1. Alkaloid - - - -
2. Flavonoid + + + +
3. Kuinon + - + +
4. Saponin + - + +
5. Tanin + + + +
6. Kumarin + + + +
7. Steroid/t +/- -/+ +/+ +/+
riterpenoid
8. Minyak + + + +
atsiri
110
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro JT. Pharmacotherapy a patophysiologic approach. 6th edition. New York. McGrawHill; 2005. p.1333-53.
El-Soud NA, El-Laithy N, El-Saeed G, Wahby MS, Khalil M, Morsy F, et al. Antidiabetic activities of foeniculum vulgare mill. essential oil in
streptozotocin-induced diabetic rats. Journal of medical sciences, 2011; 4(2): 139-146.
Farnsworth NR. Biological and Phytochemical Screening of Plant.Journal of pharmaceutical sciences. 1996; 55(3): 28-67.
Ismawan B. Herbal Indonesia berkhasiat (bukti ilmiah dan cara racik). Jakarta: PT Trubus Swadaya, 2009: 08: 11-154.
Sutanto F. Daya hambat ekstrak metanol undur-undur terhadap aktivitas enzim α-glukosidase sebagai antidiabetes. Bogor: Departemen kimia fakultas
matematika dan ilmu pengetahuan alam Institut Pertanian Bogor; 2008. h.10-16.
111
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Spesies dari famili Sterculiaceae banyak yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat. Faloak (Sterculia quadrifida R.Br.), Pterigota (Pterygota alata
(Roxb.) R. Br.) dan Nitas (Sterculia foetida L.) adalah tumbuhan dari famili Sterculiaceae yang dikenal memiliki khasiat obat. Sebaran alami ketiga
tumbuhan ini berbeda-beda. Faloak tersebar di wilayah Nusa Tenggara dan Nitas tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia. Sedangkan Pterigota
banyak tumbuh di Asia Selatan (Myanmar hingga India) namun juga ditanam di Indonesia. Kandungan utama genus Sterculia pada umumnya adalah
senyawa flavonoid. Informasi mengenai kandungan flavonoid ketiga spesies ini dapat menjadi awal untuk studi lebih lanjut pengembangan obat baru.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Flavonoid Total kulit batang Faloak (Sterculia quadrifida R.Br.), Nitas (Sterculia foetida L.) dan
Pterigota (Pterygota alata (Roxb.) R. Br.) Metode yang digunakan untuk mengetahui kandungan flavonoid ketiga spesies ini adalah metode kolorimetri
menggunakan aluminum chloride (AlCl3) dan kuersetin sebagai pembanding. Bagian tumbuhan (simplisia) yang digunakan adalah kulit batang dari
pohon dengan ukuran diameter yang hampir sama (35-40cm). Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan flavonoid ketiga tumbuhan tersebut
berbeda. Kandungan flavonoid pada faloak menunjukkan nilai yang paling besar dibandingkan nitas dan pterigota dengan nilai secara berturut-turut;
0,21, 0,07 dan 0,03 %b/b ekuifalensi kuersetin (%).
ABSTRACT
Some of the members of family Sterculiaceae are known for their medicinal properties. Faloak (Sterculia quadrifida R.Br.), Pterigota (Pterygota alata
(Roxb.) R. Br.) and Nitas (Sterculia foetida L.) of the family Sterculiaceae are identified as medicinal plants. These species grow naturally in different
regions. Faloak is found in Nusa Tenggara, and Nitas is spread almost throughout Indonesia. Pterigota can be found in South Asia (Myanmar, India)
but also grown in Indonesia. The genus Sterculia is mainly contains flavonoid. Information on the flavonoid content of these species can be a base for
further study of the development of new drugs. The purpose of this study was to determine the Total Flavonoid of Faloak (Sterculia quadrifida R.Br.),
Nitas (Sterculia foetida L.) and Pterigota (Pterygota alata (Roxb.) R. Br.) bark. The method used to determine the flavonoid content of the three species
is Colorimetric method using aluminum chloride (AlCl3) and quercetin as a comparison. Simplisia (dried form) that is used for the analysis was the bark
of Faloak, Ptergota and Nitas trees with the same average diameter at breast height (DBH) (35-40cm). The analysis showed that the flavonoid content
of the three species was varied. The flavonoid content of faloak showed the largest value compared to Nitas and Pterigota, respectively; 0.21, 0.07 and
0.03% w / w ekuifalensi quercetin (%).
PENDAHULUAN
Nilai tumbuhan berkhasiat obat terletak pada kandungan bahan aktif atau metabolit sekundernya. (Nurcholis
dalam Hadi, 2013) menyebutkan bahan aktif yang diproduksi tumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara ; lain
genetik, nutrisi, enzim, umur tumbuhan dan interaksi dengan lingkungannya. Di antara faktor luar yang berpengaruh
antara lain: iklim dan sinar matahari, luas dan ketinggian tempat, nutrisi, mineral, air, oksigen, umur tumbuhan, parasit
dan alelopati, sedangkan faktor dalam yang berpengaruh adalah: genetik/keturunan, mutasi, hibridasi, mikroba dan
poliploidi (Sumartono, 1985).
(Harborne, 1987; Nurmillah, 2009), menyatakan bahwa flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa
fenol, disamping fenol monosiklik sederhana, fenil propanoid dan kuinon fenolik. Senyawa fenol cenderung mudah sekali
larut dalam air karena sering berikatan dengan gula sebagai glikosida, dan biasanya terdapat dalam vakuola sel. (Raharjo,
2012) flavonoid dapat berfungsi sebagai anti kanker/tumor, anti mikrobial, antioksidan, antiinflamasi, antiviral dan
berpengaruh pada syaraf pusat.
112
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Bagi tumbuhan itu sendiri sebenarnya flavonoid berfungsi sebagai pengatur tumbuh, pemberi warna, pelindung
tanaman dari ultra violet, pengatur fotosintesis antimikroba dan virus. Dalam dunia kesehatan herbal, flavonoid
dikembangkan untuk mencegah atau sebagai terapi terhadap penyakit-penyakit yang diasosiasikan dengan radikal bebas.
Di samping itu flavonoid dapat digunakan sebagai antibiotik terhadap kanker dan ginjal, mengambat pendarahan,
antioksidan, pengendali radikal bebas, mengurangi pembekuan dan memperlancar darah, serta pemulihan bagi sel-sel
pada liver yang mati/rusak (Birt et al., 2001).
Sebagaimana diketahui, sekitar 1.260 jenis tumbuhan obat berasal dari hutan tropika Indonesia (Zuhud et al.,
1994). Dari sekian banyak jenis tumbuhan yang telah dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat,
pemanfaatan jenis tersebut didominasi oleh famili Fabaceae sebanyak 110 spesies, Euphorbiaceae 94 spesies dan
Lauraceae 77 spesies. Spesies dari famili Sterculiaceae juga dikenal memiliki banyak manfaat, di mana yang telah
dilaporkan mencapai sebanyak 21 species (Zuhud, 2008). Beberapa jenis tumbuhan dari famili Sterculiaceae yang telah
dilaporkan manfaatnya oleh masyarakat adalah Faloak (Sterculia quadrifida R.Br.), Nitas (Sterculia foetida L.) dan
Pterigota (Pterygota alata (Roxb.) R. Br.).
S. quadrifida yang memiliki penyebaran di beberapa pulau di NTT seperti P. Timor, P. Flores, P. Alor, P. Sumba,
P. Adonara, P.Solor dan P. Rote. Tumbuhan ini juga mempunyai beberapa nama lokal: ‘Faloak’ (Kota dan Kabupaten
Kupang), ‘Nitaen’ atau ‘Mitaen’ (Atambua, Kab. Belu), ‘Flolo’ (Kefamenanu, Kab. TTU), ‘Kawarid’ (Kab. Sumba
Tengah), ‘Penil’ (Kab. Alor), ‘Ago’ (Desa Doromeli, Flores), dan ‘Klengis’ atau ‘Slengit’ (Kab. Flores Timur). Faloak
secara turun-temurun dipercaya dapat digunakan untuk pengobatan berbagai gangguan kesehatan dan dimanfaatkan
dalam pengobatan liver, hepatitis, ginjal, reumatik, sakit pinggang, anemia, pembersih darah setelah melahirkan dan
memulihkan stamina (Siswadi dkk, 2015b).
S. foetida tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia dengan nama lokal yang berbeda-beda diantaranya kabu-
kabu (Batak), kepuh, kepoh, atau jangkang (Jawa), Madura dikenal dengan kelumpang (Heyne, 1987). Pemanfaatan kulit
batang S. foetida antara lain ; obat sakit perut, obat abortivum (obat penggugur), dan obat lumpuh dengan mengambil
bagian dari kulit S. foetida. Menurut Sastromidjojo (1997) akar S. foetida dapat digunakan sebagai obat rajasinga dan
kencing nanah. Kemudian Heyne (1987) menyatakan bahwa daun S. foetida dapat digunakan untuk obat luka, demam,
TBC, radang selaput lendir mata, dan kepala pusing. S. foetida di Kupang dikenal dengan nama Nitas.
P. alata banyak tumbuh di Asia Selatan (Myanmar hingga India) namun juga ditanam di Indonesia. Menurut
(Jahn et al., 2014) kulit batang P.alata bisa berfungsi sebagai antioksidan. Serat kulit batang digunakan sebagai tali untuk
mengikat bambu pada poses pembuatan tenun (Khatoon, 2014). Batang dan daun Pterygota alata dikumpulkan dari hutan
hujan tropis Jianfengling di Pulau Hainan Cina. Penelitian ini melaporkan isolasi 4 phenylpropanoids, 1 steroid, triterpen
4, 1 antrakuinon, 2 lignan dan 1 flavonoid untuk pertama kalinya dari spesies ini (Lijing, 2010). S. alata digunakan secara
tradisional untuk mengobati penyakit kulit di India (Prasad, 2008).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan Flavonoid Total kulit batang Faloak (Sterculia
quadrifida R.Br.), Nitas (Sterculia foetida L.) dan Pterigota (Pterygota alata (Roxb.) R. Br.).
BAHAN DAN METODE
A. Pegumpulan Bahan
Bahan yang digunakan adalah berupa simplisia kulit batang dengan ukuran diameter antar (35-40cm) dari tiga
jenis famili Sterculiaceae diambil dari wilayah daerah yang berbeda. Ketiga jenis tersebut adalah Faloak (Sterculia
quadrifida R.Br.) yang diambil dari Kecamatan Maulafa Kota Kupang, Pterigota (Pterygota alata (Roxb.) R. Br.) dan
113
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Nitas (Sterculia foetida L.) diambil dari Arboretum kampus UGM Yogyakarta. Bahan analisis dan larutan kimia meliputi;
etanol 96% (teknis), metanol pereaksi), etanol (perekasi), aquades, quersetin, AlCl3, Na Asetat,
Alat yang digunakan di lapangan adalah: GPS, pita diameter, parang, clip bag dan kamera. Alat yang digunakan
di laboratorium antara lain: oven timbangan digital, labu takar, erlenmeyer, kompor listrik, panci penguapan, cawan
porselin, pengaduk kaca, pengaduk stenlish, botol maserasi, gelas ukur, backer glass, tabung reaksi, centrifus, desikator,
sonikator, vacum, milipore, corong, pipet tetes, micro pipet, labu erlenmeyer, kertas saring, tissue, penjepit tabung, vortex
mixer maxi mix II, Spektrofotometer UV-Vis sp-3000 Nano Gama, spektrofotometer UV-Vis Hitachi U-2900.
B. Persiapan Bahan dan Pembuatan Ekstrak
Kulit batang yang masih segar dibersihkan dari kotoran, dicacah, dan dikering anginkan dan di bolak-balik setiap
hari sampai kadar air pada kisaran 10%. Bahan yang telah kering kemudian digiling (40 mesh) sehingga menjadi serbuk
kering simplisia. Selanjutnya serbuk kering dari masing-masing sampel diekstraksi dengan etanol 96% dalam kondisi
dingin (maserasi) selama 48 jam, diaduk setiap 6 jam, kemudian disaring menggunakan vacum. Kegiatan penyaringan
diulang hingga filtrat menjadi jernih. Filtrat hasil maserasi kemudian diuapkan menggunakan cawan porselin yang
diletakkan di atas panci berisikan air dan dipanaskan menggunakan kompor listrik. Dari proses inilah kemudian dihasilkan
ekstrak etanol kering. Ekstrak kering hasil fraksinasi etanol dikeringkan dalam oven pada suhu ± 50oC selama 0,5 jam.
B.1. Kurva baku
Langkah kerja pembuatan kurva baku dengan kuersetin sebagai pembanding dilakukan sebagai berikut .
a) Membuat seri larutan kuersetin dalam etanol 80% dari larutan induk (1mg/mL) dengan konsentrasi 25, 50, 75,
100, 125 dan 150 μg/mL.
b) Mengambil sebanyak 0,5 mL dari masing-masing larutan, dicampur dengan 1,5 mL etanol 95%, 0,1 mL AlCl3,
0,1 mL Na asetat 1M dan 2,8 mL aquadest.
c) Blangko yang digunakan adalah sebanyak 0,5 mL dari masing-masing larutan, dicampur dengan 1,5 mL etanol
95%, 0,1 mL Na asetat 1M, dan 2,9 mL aquadest (tanpa AlCl3).
d) Diinkubasikan pada suhu kamar selama 30 menit
e) Diukur serapannya dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang maksimum yaitu 426 nm (nano
meter).
B.2. Pembuatan Larutan Uji
Setelah diperoleh ekstrak kering simpisia faloak, pterigota dan nitas kemudian masing-masing ekstrak
diambil sebanyak 200 mg atau 0,2 g dan di tambah dengan 2 mL (etanol 80%). Dari proses ini kemudian diperoleh
larutan induk uji sampel 100 mg/mL. Mengingat serapan yang diharapkan dari sampel ini adalah 0,2-0,8 nm maka
setiap sampel kemudian diambil dengan konsentrasi dan pengenceran yang berbeda-beda sehingga tetap
menghasilkan serapan 0,2-0,8nm. Diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
maksimum yaitu 426 nm.
114
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
pohon yang tumbuh ternaungi (Siswadi, 2015a). Setiap jenis tumbuhan memiliki karakter yang berbeda-beda walaupun
jenis tersebut masih dalam satu famili. Di antara perbedaan tersebut juga terlihat dari ekstrak yang dihasilkan sebagaimana
pada Gambar 1.
Ekstrak yang dihasilkan S. quadrifida terlihat berwarna merah kehitaman yang lebih pekat jika dibandingkan
dengan P. alata dan S. foetida. Pada saat proses pengeringan ekstrak S. quadrifida memperlihatkan bentuk lapisan kering
yang kompak, S foetida menghasilkan ekstrak berbentuk butiran yang mirip dengan kristal sedangkan P. alata
menghasilkan ekstrak dalam bentuk pekat yang sulit sekali dikeringkan seperti berminyak.
Prolehan ekstrak yang dihasilkan dari proses maserasi S. quadrifida menghasilkan rendemen ekstrak yang lebih
banyak (5,51%) dibadingkan dengan nitas (4,24) dan pterigota (3,86). Selanjutnya Tabel 1 menyajikan proses penyiapan
simplisia dan ekstrak yang dihasilkan dari ketiga jenis tumbuhan dan flavonoid total.
Flavonoid merupakan salah satu dari sekian banyak senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh suatu
tanaman, yang bisa dijumpai pada bagian daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga dan biji. Secara kimia, flavonoid
mengandung cincin aromatik tersusun dari 15 atom karbon dengan inti dasar tersusun dalam konjugasi C6-C3-C6 (dua
inti aromatik terhubung dengan 3 atom karbon) Keberadaan cincin aromatik menyebabkan pitanya terserap kuat pada
daerah panjang UV-Vis (Sriningsih, 2002). Pada penentuan panjang gelombang maksimal (λ) dilakukan dengan kuersetin
50 ppm dengan operating time 30 menit yang menghasilkan gelombang maksimal (lambda max) 426 nm dengan
absorbansi 0,438 nm. Dari panjang gelombang maksimal inilah kemudian dibuat kurva baku kuersetin dengan
mengencerkan larutan induk kuersetin (1 mg/mL) yang masuk dalam rentang 0,2-0,8 nm. Blangko merupakan faktor yang
sangat menentukan dalam perhitungan flavonoid total karena berperan sebagai koreksi, dimana pengukuran yang
dilakukan adalah menggunakan blangko berupa larutan uji tanpa penambahan alumunium klorida (FHI Suplemen II,
2011; Siswadi, 2015a). Adapun persamaan yang dihasilkan pada pembuatan kurva baku sebagaimana pada Gambar 2.
115
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
1
0.9 y = 0.6088x + 0.019
0.8 R² = 0.9995
0.7
Absorbansi
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.25 0.5 0.75 1 1.25 1.5 1.75
Konsentrasi Kuersetin mg/100mL
Gambar 2 diperoleh persamaan Y= 0,608x + 0,019 dengan nilai R2=0,999. Persamaan regresi ini digunakan
dalam perhitungan menentukan flavonoid total yang terkandung dalam ekstrak kulit batang faloak fraksi etanol.
Sebagaimana penentuan konsentrasi kuersetin, pada perhitungan flavonoid total yang terdapat dalam ekstrak dilakukan
juga pembuatan larutan induk ekstrak dengan konsentrasi 100 mg/mL.
Flavonoid total pada ketiga jenis tanaman diperoleh dengan memasukkan nilai pengukuran absorbansi sampel
pada persamaan Gambar 2. Hasil perhitungan flavonoid total pada sampel menunjukkan bahwa S. quadrifida memiliki
kandungan flavonid total yang paling besar (0,21), diikuti oleh S. foetida (0,07) dan P. alata (0,03). Flavonoid merupakan
antioksidan yang kuat dan dapat meredam radikal bebas, termasuk O2, H2O2, OH, dan singlet oksigen (O2) (Sakihama, et
al., 2002). Flavonoid juga dapat menghambat enzim xantin oksidase dan merusak aktivitas superoksida terutama apigenin,
eriodictyol, kaemferol dan luteolin (Cos et al., 1998).
Perbedaan rendemen ekstrak dan flavonoid total diduga disamping karena perbedaan jenis, akan tetapi kondisi
lingkungan tempat tumbuh juga memiliki peran yang sangat besar. Suhu rata-rata di kota kupang adalah 27,38oC,
kelembaban 77,64%, curah hujan 1.532mm/tahun (Badan Meteorologi kelas II Lasiana, 2014). Sedangkan di Yogyakarta
tercatat suhu rata-rata 26.4°C dengan curah hujan rata-rata 2.760 mm/tahun dan kelembaban udara 86% (BPS PROV
DIY, 2014). Menurut (Atmanto dan Faridah, 2008), faktor lingkungan seperti suhu, cahaya dan air akan berpengaruh
pada berbagai proses fisiologi termasuk metabolisme primer maupun sekunder. Kondisi lingkungan dan iklim di
Yogyakarta yang sangat baik bagi tanaman dalam melakukan pertumbuhan. Tanah di Arboretum UGM yang relatif lebih
subur jika dibandingkan dengan tapak yang ada di Kupang, ditambah suplai pupuk dari kotoran burung yang bersarang
di pohon S. foetida dan P. alata diduga juga menjadi penyebab hasil rendemen ekstrak dan flovonoid total pada kedua
jenis tersebut lebih sedikit jika dibandingkan dengan S. quadrifida yang tumbuh di kupang.
Menurut (Hoft et al., dalam Sulandjari, 2009) pembentukan bahan aktif sebagai hasil utama tanaman biofarmaka
memerlukan tekanan lingkungan, sedangkan untuk mendapatkan simplisia dengan bobot kering yang tinggi diperlukan
faktor lingkungan yang mendukung dan fotosintesis yang maksimal. Pada tanaman yang kekurangan air terjadi reaksi
positif terhadap kandungan metabolit sekunder dan alkaloid tidak muncul di bawah kondisi kelembaban udara tinggi.
Pemanenan kayu atau kulit kayu idealnya dilakukan setelah terbentuk senyawa metabolit sekunder secara maksimal dalam
simplisia tersebut (Http://balittro.litbang.deptan.go.id). Sementara itu menurut (Sawitti et al., 2013) mutu ekstrak yang
116
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
dihasilkan dari simplisia juga dipengaruhi oleh faktor biologi seperti umur tanaman, lokasi pengambilan simplisia dan
bagian yang digunakan. Umur panen tanaman akan berbeda-beda tergantung jenis tanaman dan kecepatan pembentukan
metabolit sekundernya, sehingga jika pemanenan dilakukan ketika tanaman masih muda maka kandungan zat aktifnya
relatif masih sedikit (Http://balittro.litbang.deptan.go.id).
KESIMPULAN
Flavonoid total yang ditemukan pada kulit batang pohon Faloak (Sterculia quadrifida R.Br.), menunjukkan nilai
yang paling besar dibandingkan Nitas (Sterculia foetida L.) dan Pterigota (Pterygota alata (Roxb.) R. Br dengan nilai
secara berturut-turut; 0,21, 0,07 dan 0,03 %b/b ekuifalensi kuersetin (%).).
DAFTAR PUSTAKA
Atmanto W. D. dan Faridah, E. 2008. Buku Ajar Matakuliah Fisiologi Pohon. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Badan Meteorologi kelas II Lasiana. 2014. Iklim Kota Kupang. Badan Meteorologi kelas II Lasiana. Kupang
Badan Pusat Statistik Porv DIY. 2014. Staistik Daerah Istimewa Yogyakarta. Badan Pusat Statistik Porv DIY. Yogyakarta.
Birt, D. F., Hendrich, S. Wang, W. 2001. Dietary Agents in Cencer Prevention : Flavonoids and Isoflavonoids. Pharmacol.
Cos, P., L. Ying, M. Calomme, J.P. Hu, K. Cimanga, B.V. Poel, L. Pieters, A.J. Vlietinck, and D.V. Berghe. 1998. Structure- Activity Relationship and
Classification of Flavonoids as Inhibitors of Xanthine Oxidase and superoxide Scavengers. Journ. of Natural Prod. 61:71-76.
Ditjen POM, Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta,
Departemen Kesehatan RI. 2009 Farmakope Herbal Indonesia Edisi I. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Efendi, C. 2000. Pengaruh Diameter, Tinggi Pohon dan Panjang Tajuk Terhadap Produksi Getah Pinus (Pinus merkusii) dan Pendapatan di PT. Inhutani
I Satwil Tator-Palopo Sulawesi Selatan. Fakultas Kehutanan IPB (Tidak di Publikasikan). Bogor.
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan Terbitan kedua. Penerjemah: Padmawinata, K. dan I. Sudiro
Penerbit ITB, Bandung.
Hadi, E. E.W. 2013. Tumbuhan Bawah Dominan Penghasil Bahan Obat Herbal Pada Sisitem Agroforestri. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Heyne. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan.
Http://balittro.litbang.deptan.go.id. Teknologi Penyiapan Simplisia Terstandar Tanaman Obat. (diakses tanggal Febrari 2017).
Jahn N, Parvin MS, Khan A, Das N, Islam MS, Islam ME. 2014. Evaluation of free radical scavenging and polyphenolic contents of bark of Pterygota
alata Roxb. J Sci Res; 6 (3): 543-52.
Khatoon, R., AK Das, BK Duta and PK Singh. 2014. The genus Pterygota (Sterculiaceae) consists of about 20 species, which occur in tropical Asia
and Africa. Pterygota alata (Roxb.) R. Brown distributes naturally in China, Vietnam, India and Philippines (Flora-Republicae-Popularis-
Sinicae, 1984).
Nurmillah, O.Y. 2009. Kajian Aktifitas Antioksidan dan Antimikroba Ekstrak Biji, Kulit, Buah, Batang Dan Daun Tanaman Jarak Pagar (Jatropa
curcas L.). Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.
Prasad, 2008. The plant is used traditionally to treat skin diseases in India. Indian journal of traditional knowledge Vol. 13(3), July 2014, pp. 596-599.
Lijing Lin, Zhijun Song, Hanhong Xu. 2010. A new phenylpropanoid galactoside and other constituents from Pterygota alata (Roxb.) R. Brown.
Biochemical Systematics and Ecology 38 (2010) 1238–1241
Sastroamidjojo, S. 1997. Obat Asli Indonesia. Dian Rakyat, Jakarta.
Rendemen Ekstrak Dan Flavonoid Total Kulit Batang
Raharjo, T. J. 2012. Kimia Hasil Alam. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Sawitti, M. Y., Hapsari M., I. Nengah K. B. 2013. Daya Hambat Perasan Daun Sambiloto Terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli. E Journal Indonesia Medicus Veterinus.
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Denpasar.
Siswadi. 2015(a). Pohon Faloak (Sterculia quadrifida R.Br.) Pada Beberapa Kelas Diameter Dan Strata Ketinggian Tempat Tumbuh. Tesis. Pascasarjana
Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Siswadi, Raharjo, A.S. Pujiono,E. Saragih, G.S. dan Rianawati, H. 2015(b). Pemanfaatan Kulit Batang Pohon Faloak (Sterculia quadrifida R.Br.)
Sebagai Bahan Baku Obat Herbal Di Pulau Timor. Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kupang. Kupang.
Sakihama, Y., M.F. Cohen, S.C. Grace and H. Yamasaki. 2002. Plant Phenolic Antioxidant and Prooxidant Activities: Phenolics-Induced Oxidative
Damage Mediated by Metals in Plants. Toxicology 177: 67-80.
117
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Sulanjari. 2009. Pendekatan Bioregion dalam Pengambangan Budidaya Tanaman Biofarmaka. Pidato Pengukuhan Guru Besar Agroekologi Tanggal 6
Agustus 2009. UNS. Surakarta.
Zuhud, E.A.M., Ekarelawan dan S. Riswan. 1994. Hutan Tropik Indonesia sebagai Sumber Keanekaragaman plasma Nutfah Tumbuhan Obat. Prosid.
Seminar Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. Kerjasama Jurusan Konservasi Sumber Daya
Hutan, Fahutan IPB dengan Lembaga Alam Tropik Indonesia. Bogor.
118
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Tumbuhan Tristaniopsis merguensis Griff., merupakan salah satu flora endemik di kepulauan Bangka Belitung dengan nama daerah “Pelawan merah”
yang memiliki ciri batang bewarna merah dengan bagian kulit luar mengelupas secara berkala terkumpul dibawah pohon dan terbuang percuma. Pada
penelitian ini telah dilakukan uji aktivitas antibakteri dari ekstrak metanol dan fraksi kulit batang pelawan merah terhadap bakteri patogen yaitu
Staphylococcus aureus ATCC 25922, Staphylococcus epidermidis ATCC 12228, Salmonella typhimurium ATCC 14028, Salmonella typhosa NCTC
786, Salmonella thyphi, Bacillus subtilis ATCC 6633, Pseudomonas aeruginosa ATCC27853, Escherichia coli ATCC 11775, Micrococcus luteus
ATCC 10240, Enterococcus faecalis ATCC 10541, Streptococcus mutans ATCC 25175 dengan menggunakan dengan cara maserasi dan dilanjutkan
dengan metode partisi sesuai dengan tingkat kepolaran. Ekstrak metanol dan masing-masing fraksi memperlihatkan aktifitas terhadap seluruh bakteri
uji, sebagaimana terlihat pada Tabel 1, 2, 3 dan 4. Potensi aktifitas (µg/disk) serta golongan senyawa berdasarkan analisis kromatografi lapis tipis
(KLT) akan didiskusikan.
ABSTRACT
Tristaniopsis merguensis Griff., is one of endemic flora in Bangka Belitung islands with local name "Pelawan merah" which has a characteristic red
color stem bark with the outer parts naturally exfoliates under trees and wasted. In the present study, methanolic extract and fraction of stem bark were
examined for antibacterial human pathogenic bacteria potency (Staphylococcus aureus ATCC 25922, Staphylococcus epidermidis ATCC 12228,
Salmonella typhimurium ATCC 14028, Salmonella typhosa NCTC 786, Salmonella thyphi, Bacillus subtilis ATCC 6633, Pseudomonas aeruginosa
ATCC27853, Escherichia coli ATCC 11775, Micrococcus luteus ATCC 10240, Enterococcus faecalis ATCC 10541 and Streptococcus mutans ATCC
25175), extract and fraction was tasted by agar well diffusion assay againts.The extraction process was done by maseration followwed by fractionation
partitioning method in accordance with the degree of polarity. The methanolic extract and each fractions showed antibacterial potentiality against the
human pathogenic bacteria tasted as shown in table 1, 2, 3 and 4. The potential activity (µg/disc) and class of compounds based on the analysis of thin
layer chromatography (TLC) will be discussed.
PENDAHULUAN
Badan World Health Organization pada tahun 2011 memperingatkan bahwa kasus resistensi antibiotik telah
menjadi ancaman kesehatan serius di dunia (WHO, 2011; Michael, 2014; Spellberg, 2014). Kasus resistensi antibiotik
pada tahun 2010 telah menyebabkan sekitar 15 juta kematian di dunia (WHO, 2013) dan bertanggung jawab terhadap
lebih dari dua juta kasus infeksi serta 23.000 kematian tiap tahunnya di Amerika Serikat (CDC, 2013). Kondisi ini
menyebabkan perlunya penanganan khusus terhadap berbagai kasus infeksi, salah satunya melalui pengembangan
penemuan antibiotika baru. (Bartlett, 2013; Oluremi et al., 2010).
Tumbuhan dapat dijadikan sumber potensial untuk ditemukannya senyawa antiinfeksi, dimana memiliki variasi
dan keragaman metabolit sekunder yang berpotensi untuk pengembangan obat baru (Cowan, 1999; Elaine et al., 2002;
Iwu et al., 1999; Ndhlala et al., 2013).
Tristaniopsis merguensis Griff., merupakan salah satu flora endemik di Kepulauan Bangka Belitung dengan
nama daerah “Pelawan merah”. Tumbuhan ini banyak tersebar di hutan Kepulauan Bangka Belitung yang memiliki ciri
batang bewarna merah dengan bagian kulit luar mengelupas secara berkala, hidup pada tanah dengan pH, 5,9-6 (Yarli,
2011). Pohon Pelawan merah merupakan tumbuhan yang memiliki peranan penting sebagai sumber ekonomi bagi
masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung. Hal ini didukung oleh adanya jamur (Boletus sp) yang hidup bersimbiosis
119
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
pada tumbuhan pelawan merah. Jamur (Boletus sp) memiliki nilai jual yang tinggi di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung, dengan harga 1 kg jamur Pelawan merah segar bernilai 800 ribu rupiah. (Akbarini,2016).
Kulit batang tumbuhan Tristaniopsis merguensis Griff., secara alamiah mengelupas dengan sendirinya sehingga
terkumpul dibawah pohon dan terbuang percuma. Tumbuhan Tristaniopsis merguensis Griff., sampai saat ini baru diteliti
mengenai perbedaan morfologinya dengan tumbuhan lain dalam satu famili (Mirtaceae).Berdasarkan uraian di atas,
sebagai usaha dalam menggali kekayaan alam untuk mendapatkan bahan antibakteri baru, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian yaitu uji aktivitas terhadap ekstrak dan fraksi dengan metoda difusi dan diujikan pada sebelas
bakteri patogen yaitu Staphylococcus aureus ATCC 25922, Staphylococcus epidermidis ATCC 12228, Salmonella
typhimurium ATCC 14028, Salmonella typhosa NCTC 786, Salmonella thyphi, Bacillus subtilis ATCC 6633,
Pseudomonas aeruginosa ATCC27853, Escherichia coli ATCC 11775, Micrococcus luteus ATCC 10240, Enterococcus
faecalis ATCC 10541, Streptococcus mutans ATCC 25175.
Gambar 1. Tumbuhan Tristaniopsis merguensis Griff. Gambar 2. Kulit batang Tristaniopsis merguensis Griff.
http:visitbangkabelitung.com/content/desa-namang-dan-hutan-pelawan
120
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
121
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
122
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
45
40
35
Diameter zona
30
konsentrasi 300
hambat
25
20 µg/disk
15 konsentrasi 150
10 µg/disk
5 Kloramfenikol 30
0 µg/disk
Bakteri uji
Gambar 1: Aktifitas antibakteri pada ekstrak metanol kulit batang Tristaniopsis merguensis Griff.
Hasil pada Tabel 1, Aktivitas antibakteri ekstrak metanol kulit batang pelawan merah relatif lebih sedikit pada
bakteri Staphylococcus aureus, Salmonella typhimurium, Vibrio chlorae, Bacillus subtilis, Salmonella thyphi dengan zona
hambat yaitu 7 mm pada konsentrasi 300 µg/disk (3%), dan Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aeruginosa,
Escherichia coli, Salmonella typhosa, Enterococcus faecalis hanya memiliki diameter zona hambat yaitu 6 mm.
Sedangkan, pada konsentrasi 150 µg/disk tidak ada menunjukkan diameter zona hambat kecuali pada bakteri Salmonella
typhosa, Salmonella thyphi, Micrococcus luteus, Enterococcus faecalis dengan diameter zona hambat yaitu 6 mm.
Tabel 2: Aktifitas antibakteri pada fraksi etil asetat kulit batang Tristaniopsis merguensis Griff
123
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
45
40
35
30
25
Diameter zona
20
konsentrasi 300
15 µg/disk
hambat
10 konsentrasi 150
µg/disk
5
0
Bakteri uji
Gambar 2: Aktifitas antibakteri pada fraksi etil asetat kulit batang Tristaniopsis merguensis Griff.
Hasil pada Tabel 2, fraksi etil asetat memiliki aktifitas antibakteri yang tinggi dibandingkan dengan ekstrak
metanol dan fraksi yang lainnya yaitu mampu menghambat aktivitas bakteri Staphylococcus epidermidis dengan diameter
zona hambat yaitu 13 mm, sedangkan bakteri Vibrio chlorae, Pseudomonas aeruginosa diameter zona hambat yaitu 10
mm, dan bakteri Staphylococcus aureus,Bacillus subtilis, Escherichia coli, Enterococcus faecalis diameter zona
hambatnya yaitu 9 mm,tapi aktivitas terhadap bakteri Salmonella thyphi relative lebih rendah yaitu diameter zona hambat
yaitu 6 mm, pada konsentrasi 300 µg/disk (3%). Sedangkan konsentrasi 150 µg/disk aktivitas antibakteri terhadap
staphylococcus epidermidis, vibrio chlorae, pseudomonas aeruginosa, escherichia coli, diameter zona hambat yaitu 7
mm dan untuk bakteri bacillus subtilis, micrococcus luteus diameter zona hambatnya adalah 6 mm.
Tabel 3: Aktifitas antibakteri pada fraksi n-heksan kulit batang Tristaniopsis merguensis Griff
Bakteri uji Diameter zona hambat (mm)
Konsentrasi Konsentrasi Kloramfenikol
300 µg/disk 150 µg/disk 30 µg/disk
Staphylococcus aureus ATCC 25922 9 ± 0,309 - 34,25 ± 1,78
Streptococcus mutans ATCC 25175 - - 33 ± 1,41
Staphylococcus epidermidis ATCC 12228 13 ± 1,22 7±0,81 40,5 ± 2,06
Salmonella typhimurium ATCC 14028 - - 33,7 ± 0,95
Salmonella typhosa NCTC 786 - - 33,25 ± 0,5
Salmonella thyphi 6 ± 0,14 - 34,5 ± 1,80
Bacillus subtilis ATCC 6633, 9 ± 0,20 6±0,16 33 ± 0,81
Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 10 ± 1,8 7±0,89 12,25 ± 0,82
Escherichia coli ATCC 11775 9 ± 0,70 7±0,40 25,75 ± 0,95
Micrococcus luteus ATCC 10240, 8±0 6±0,21 32 ± 1,22
Enterococcus faecalis ATCC 10541 9 ± 0,81 - 32 ± 0,70
124
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
45
40
Diameter zona hambat 35
30
25
20
Konsentrasi 100 µg/disk
15
Konsentrasi 70 µg/disk
10
Kloramfenikol 30 µg/disk
5
0
Bakteri uji
Gambar 2. Aktifitas antibakteri pada fraksi n-heksan kulit batang Tristaniopsis merguensis Griff.
Hasil pada table 3. Aktivitas antibakteri pada fraksi n-heksan hanya mampu menghambat pertumbuhan bakteri
Escherichia coli yang memiliki aktivitas yang rendah dengan diameter zona hambat yaitu 6 mm pada konsentrasi 100
µg/disk dan 70 µg/disk.
Tabel 4: Aktifitas antibakteri pada fraksi sisa kulit batang Tristaniopsis merguensis Griff
Bakteri uji Diameter zona hambat (mm)
Konsentrasi Konsentrasi Kloramfenikol
150 µg/disk 100 mg/ml 30 µg/disk
Staphylococcus aureus ATCC 25922 6,5 ± 0,7 6 ± 0,71 33,75 ±1,08
Streptococcus mutans ATCC 25175 - - 33,5 ± 1,73
Staphylococcus epidermidis ATCC 12228 6 ± 0,7 - 22,5 ± 1,11
Salmonella typhimurium ATCC 14028 7±0 - 27 ± 1,15
125
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
40
35
30
Diameter zona hambat
konsentrasi
25 150 µg/disk
20 konsentrasi
100 µg/disk
15
Kloramfenikol
10 30 µg/disk
Bakteri uji
Gambar 4. Aktifitas antibakteri pada fraksi sisa kulit batang Tristaniopsis merguensis Griff
Hasil pada Tabel 4, fraksi sisa pada kulit batang pelawan merah memiliki aktivitas antibakteri dengan diameter
zona hambat yaitu 6 mm terhadap bakteri uji yaitu (Staphylococcus epidermidis, Vibrio chlorae), 6,5 mm (Staphylococcus
aureus, Micrococcus luteus), 7 mm (Salmonella typhimurium , Salmonella typhosa, Bacillus subtilis, Escherichia coli,
Enterococcus faecalis),7,25 mm (Pseudomonas aeruginosa),7,5 mm (Salmonella thyphi), pada konsentrasi 300 µg/disk.
Untuk bakteri uji Bacillus subtilis diameter zona hambatnya yaitu 5,5 mm, 6 mm (Staphylococcus aureus), 6,5 mm (Vibrio
chlorae) 7 mm (Pseudomonas aeruginosa) 7,5 mm (Salmonella thyphi) pada konsentrasi 150 µg/disk.
Gambar 3. Diameter zona hambat dari fraksi etil asetat kulit batang Tristaniopsis merguensis Griff., pada bakteri
Staphylococcus epidermidis ATCC 12228
126
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Golongan Senyawa Metabolit Sekunder Ekstrak Metanol dan Fraksi etil asetat dari
Tristaniopsis merguensis Griff.
Tabel 5. Hasil uji golongan senyawa metabolit sekunder ekstrak metanol dan Fraksi etil asetat dari Tristaniopsis
merguensis Griff.
Hasil
No. Golongan Pereaksi Ekstrak Fraksi etil
metanol asetat
1. Alkaloid Dragendorff + +
2. Fenolik FeCl3 + +
3. Terpenoid Vanilin Asam Sulfat + +
Mekanisme terpenoid sebagai antibakteri adalah bereaksi dengan porin (protein transmembran) pada membran luar
dinding sel bakteri, membentuk ikatan polimer yang kuat sehingga mengakibatkan rusaknya porin. Rusaknya porin yang
127
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
merupakan pintu keluar masuknya senyawa akan mengurangi permeabilitas dinding sel bakteri yang akan mengakibatkan
sel bakteri akan kekurangan nutrisi , sehingga pertumbuhan bakteri terhambat atau mati (Cowan, M. 1999). Mekanisme
senyawa fenol sebagai antibakteri pada konsentrasi rendah adalah dengan merusak membran sitoplasma dan dapat
menyebabkan kebocoran inti sel, sedangkan pada konsentrasi tinggi senyawa fenol berkoagulasi dengan protein seluler
(Volk, W. A dan F. Wheeler. 1990).
KESIMPULAN
Hasil skrining aktivitas antibakteri pada ektrak metanol kulit batang Tristaniopsis merguensis Grif., dan fraksi sisa mampu
menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25922, Staphylococcus epidermidis ATCC 12228,
Salmonella typhimurium ATCC 14028, Salmonella typhosa NCTC 786, Salmonella thyphi, Vibrio chlorae Inaba, Bacillus
subtilis ATCC 6633, Pseudomonas aeruginosa ATCC27853, Escherichia coli ATCC 11775, Micrococcus luteus ATCC
10240, Enterococcus faecalis ATCC 10541 pada konsentrasi 300 µg/disk untuk ekstrak metanol dan konsentrasi 150
µg/disk untuk fraksi sisa tapi tidak menunjukkan aktifitas antibakteri pada pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans
ATCC 25175. Fraksi n-heksan memiliki aktifitas antibakteri hanya pada bakteri Escherichia coli. Fraksi etil asetat pada
kulit batang Tristaniopsis merguensis Grif., mampu mengambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis dengan
ativitas antibakteri yang tinggi dibandingkan ekstrak metanol, fraksi n-heksan dan fraksi sisa. Uji golongan senyawa
metabolit sekunder ekstrak metanol dan fraksi etil asetat kulit batang Tristaniopsis merguensis Grif., mengandung
alkaloid, fenolik dan triterpenoid, dimana senyawa fenolik dan terpenoid memiliki aktifitas sebagai antibakteri.
DAFTAR PUSTAKA
Akbarini, D. 2016. Naskah Review Pohon Pelawan (Tristaniopsis merguensis., Griff) : spesies kunci keberlanjutan taman
keanekaragaman hayati namangbangka tengah, 9,66–73.
Bartlett J.G., Gilbert D.N., &Spellberg. B. 2013. Seven ways to preserve the miracle of antibiotics. Clin Infect Dis, 56 (10), 1445-1450.
CDC. 2013. Antibiotic resistance threats in the United States. Diakses pada 10 April 2017 dari
http://www.cdc.gov/drugresistance/threat-report-2013.
Cowan, M.M., 1999. Plant products as antimicrobial agents, 12, 564-582.
Elaine, M.S., Ana, B.Q,., Olindo, A.M., Giovanni, G., Rodrigo, C., Tania, M.A., Carlos, L.Z. (2002).Screening and fractionation of
plant extract with antiproliferative activity on human peripheral blood mononuclear cells. Memorias do Instituto Oswald Cruz
97(8); 1207-1212.
Iwu, M.W., Duncan, A.R., Okunji, C.O. 1999. New antimicrobials of plant origin,Perspectives on new crops and new uses, 89, 457-
462.
Michael C.A., Dominey-Howes D., Labbate, M., 2014. The antibiotic resistance crisis: cause, consequences, and management. Front
Public Health, 2, 145.
Ndhalala, A.R., Amoo, S.O., Ncube, B., Moyo, M., Nair., J.J., Van Studen, J.
(2013).Antibacterial, antifungal and antiviral, 103, 16
Spellberg, B., Gilbert D.N. 2014. The future of antibiotics and resistance: a tribute to a career of leadership by John Bartlett.
Clin Infect Dis, 59 ,71-75.
World Health Organization (WHO). 2011. Declaration on Antimicrobial Resistance. Jaipur.
World Health Organization (WHO).2013. World Health Statistic 2013.Ganewa.
Volk, W. A dan Wheeler, F. 1990. Mikrobiologi Dasar. Edisi V. Jilid 2. Diterjemahkan oleh Sumarto Aisumertono. Jakarta: Airlangga.
128
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Pada penelitian sebelumnya telah berhasil dilakukan skrining jamur pada sarang ratu termite Macrotermes gilvus Hagen., dan didapatkan empat jamur
simbiotik salah satunya adalah Aspergillus niger. Penelitian ini dilanjutkan dengan isolasi senyawa metabolit sekunder dari jamur Aspergillus niger.
Senyawa metabolit yang diperoleh dapat menghambat pertumbuhan Pseudomodas aeriginosa ATCC27853 (MIC 1000 ppm) dan Enterococcus faecalis
ATCC10541 (MIC 125 ppm). Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan hanya terdapat pada biakan pertama, kedua dan hilang secara bertahap pada
biakan selanjutnya. Hal ini diduga disebabkan karena perbedaan media tumbuh. Oleh karena itu disini jamur dibiakan pada media Saboraud Dextrose
Agar (SDA) dengan pengayaan tanah sarang ratu. Pertumbuhan koloni jamur yang terbaik adalah pada pengayaan 20 gr tanah/komposisi media. Jamur
diinkubasi selama 3 minggu dan diekstrak dengan metanol, didapatkan ekstrak kental seberat 5,97 gr (55,27%). Fraksinasi dilakukan dengan etil asetat
didapatkan 160 mg (2,7%). Uji aktifitas bakteri dilakukan terhadap Pseudomodas aeriginosa ATCC27853 dan Enterococcus faecalis ATCC10541
dengan metode difusi pada konsentrasi 10, 20, 30 µg/disk.Hasil kromatografi kolom didapatkan 6 sub-fraksi dan 1 senyawa murni dengan notasi EG-
13-1-21, EG-13-4-21, EG-13-5-21, EG-13-6-21, EG-13-7-21, EG-13-1-26, EG-13-2-26. Nilai potensi antibiotik dan golongan senyawa berdasarkan
analisis kromatografi lapis tipis (KLT) akan didiskusikan pada seminar.
Kata Kunci: Aspergillus niger, Macrotermes gilvus Hagen., Saboraud Dextrose Agar (SDA), Sub-fraksi.
ABSTRACT
Based on previous research has successfully was obtained symbiotic fungi Aspergillus niger on the queen termite nest of Macrotermes gilvus Hagen.
The research was continued with isolating and assay activity from that secondary metabolites compound, and active against Pseudomodas aeriginosa
ATCC27853 (MIC 1000 ppm) and Enterococcus faecalis ATCC10541 (MIC 125 ppm). The secondary metabolites compounds are produced only on
first and second culture and disappear gradually in the next culture. Therefore the fungus is grown on Saboraud Dextrose Agar (SDA) with Queen nest
enrichment. The best fungus colony growth is the enrichment of 20 grams of soil/media composition. The fungus incubated for 3 weeks and extracted
with methanol, the weight of the extract obtained was 55,27 grams (5.97%). Fractionation was done with ethyl acetate obtained 160 mg (2,7%). The
assay activity is performed against the Pseudomodas aeriginosa ATCC27853 and Enterococcus faecalis ATCC10541 by diffusion method at
concentrations of 10, 20, 30 µg/disk. Column chromatography results obtained 6 sub-faction and pure compounds with the notation EG-13-1-21, EG-
13-4-21, EG-13-5-21, EG-13-6-21, EG-13-7-21, EG-13-1-26, EG-13-2-26. The potential value of antibiotics and the compound based on thin layer
chromatography (TLC) analysis will be discussed.
Keywords: Aspergillus niger, Macrotermes gilvus Hagen., Saboraud Dextrose Agar (SDA), Sub-fraction
PENDAHULUAN
Antibiotika merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh mikroba, terutama jamur, yang dapat menghambat
pertumbuhan atau membunuh mikroba lain (Setyaningsih, 2004). Jamur yang terkenal dalam menghasilkan antibiotik
yaitu: Cephalosporium dalam antibiotik sefalosporin, Penicillium pada penisilin dan griseofulvin,dan juga jamur lain
seperti Aspergillus pada fumigasin, Chaetomium dalam chetomin, Fusarium dalam javanisin, Trichoderma dalam
gliotoxin dan lain-lain. Dalam habitatnya jamur-jamur penghasil antibiotik ini sama halnya dengan jamur-jamur lain,
mereka bisa hidup pada tanah, air laut, lumpur, limbah domestik, bahan makanan busuk dan lain-lain (Suwandi, 1989).
Antibiotik berperan penting dalam menangani penyakit akibat infeksi (Rahayu, 2013), tetapi penggunaan
antibiotik yang tidak terkontrol dan berlebihan atau terus-menerus dapat menyebabkan resistensi. Beberapa bakteri yang
mengalami resistan terhadap antibiotik diantaranya: Enterococcus dengan vancomycin, Staphylococcus aureus dengan
methicillin (Southwick & Freserick, 2007). Citrobacter freundii terhadap sefadroksil, sefuroksim, sefaleksin, klindamisin,
doksisiklin, eritromisin, linkomisin, oksasilin, kolistin sulfat, sulfonamid dan metronidazol. Pseudomonas aeruginosa
terhadap amoksisilin/ asam klavulanat, sefadroksil, sefuroksim, sefaleksin, klindamisin, eritromisin, kanamisin,
linkomisin, neomisin, nitrofuratoin, oksasilin, pefloksasin, asam pipemedik, tetrasiklin, tikarsilin, sefepim, furazolidon,
129
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
130
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
tumbuhnya. Dan hal yang sama diduga juga terjadi pada jamur-jamur simbiotik lainnya termasuk Aspergillus niger,
sehigga dilakukanlah pengayaan tanah sarang ratu pada media SDA. Hal ini dilakukan untuk memberi perlakuan kepada
jamur dengan sedemikian rupa mirip dengan habitat aslinya.
131
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Selanjutnya dilakukan isolasi senyawa metabolit sekunder dengan menggunakan kromatografi kolom. Senyawa
dalam kolom dielusi dengan fase gerak dengan perbandingan kpolaran yang selalu ditingkatkan secara bertahap (Step
Gradient Polarity / SGP), dengan komposisi eluen sebagai berikut :
Heksan jenuh metanol : etil asetat 3:7
Heksan jenuh metanol : etil asetat 1:9
Etil asetat 100%
2 % metanol dalam etil asetat
100 % metanol
Hasil kromatografi kolom ditampung dalam vial @ 5 ml dan masing-masing eluat ini dimonitor dengan KLT
menggunakan penampak noda lampu UV254nm. Fraksi dengan pola noda yang sama digabung dan diuapkan pelarutnya.
Berdasarkan hasil pemisahan, didapatkan tujuh fraksi yang belum murni. Terhadap fraksi AM-12-23-01 dilakukan
cek KLT untuk mencari eluen yang akan digunakan untuk kromatografi kolom lanjutan terhadap fraksi tersebut. Fraksi
di KLT sehingga mendapat eluen kolom yang sesuai, yaitu 2 % metanol dalam etil asetat. Hasil kromatografi kolom
ditampung dalam vial @ 5 ml dan masing-masing eluat ini dimonitor dengan KLT menggunakan penampak noda lampu
UV254nm. Fraksi dengan pola noda yang sama digabung dan diuapkan pelarutnya.
6. Kromatografi Lapis Tipis
Komponen yang terdapat di dalam sub-fraksi dimonitorpenyebaran noda dengan metoda KLT. Menggunakan
eluen heksan jenuh metanol : etil (3:7). Bercak atau noda pada plat KLT dimonitor di bawah lampu UV dengan panjang
gelombang 254. Penentuan golongan atau kelompok senyawa yang diamati dilakukan dengan menggunakan reagen
penampak noda FeCl3 dan Vanilin asam sulfat.
7. Pengujian Aktivitas Antibiotika
1. Pembuatan Media Pembenihan
Nutrien Agar (NA)
Sebanyak 28 gram serbuk Nutrien Agar (NA) dilarutkan dalam 1 liter air suling, dipanaskan diatas hotplate sambil
diaduk menggunakan stirrer magnetic sampai terbentuk larutan jernih. Kemudian disterilisasi dalam autoclaf pada suhu
121oC, tekanan 15 Ibs, selama 15 menit.
2. Peremajaan Bakteri Uji
Mikroba uji dari stok kultur murni diinokulasikan pada medium agar miring NA, lalu diinkubasi selama 18-24 jam
pada suhu 37 ˚C dan diremajakan setiap 2 minggu sekali.
3. Penyiapan Sampel Uji
Suspensi senyawa murni dibuat dengan konsentrasi 1000 ppm sebagai larutan induk. Sampel dilarutkan dengan
etil asetat
4. Pembuatan Suspensi Bakteri Uji
Satu ose koloni bakteri uji diambil dari biakan murni dan disuspensikan dalam 5 mL NaCl fisiologis steril,
kemudian dihomogenkan dengan vorteks. Kekeruhannya diseragamkan dengan menggunakan standar 0,5 Mc-Farland
pada latar belakang hitam dan cahaya terang. Standar kekeruhan 0,5 Mc-Farland dibuat dengan cara 0,5 mL larutan BaCl2
1,175% ditambah dengan 99,5 mL H2SO4 1%.
132
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Selanjutnya dilakukan analisis kromatografi lapis tipis (KLT) senyawa yang terdapat pada jamur yang dibiakkan pada
media dengan pengaan tanah dan dibandingkan dengan senyawa jamur pada SDA saja dan senyawa pada peneliti
sebelumnya. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa 3 senyawa yang ada pada ekstrak peneliti sebelumnya hilang
pada ektrak jamur pada media SDA dan kembali muncul pada ekstrak jamur dengan pengayaan tanah sarang ratu (Gambar
2). Hal ini terjadi karena pengaruh media tumbuh yang berbeda. Aspergillus niger ini tumbuh pada sarang ratu anai-anai
dan tentu senyawa yang dihasilkannya akan berbeda ketika media tubuhnya diganti dengan media buatan atau media lain.
Sesuai yang dikatan Zhao (2010), bahwa mikroba endofit menghasilkan semyawa yang sama dengan senyawa yang
terdapat pada inangnya.
133
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Dari 34 cawan petri kecil (d= 7 cm) yang di inkubasi selama 3 minggu dengan suhu 30C didapatkan 5.9 gram
(55,27%) ekstrak kental. Proses ektraksi dilakukan secara maserasi dengan metanol, metanol dipilih karena metanol
merupakan senyawa yang bersifat polar yang bisa melarutkan semua jenis senyawa yang ada pada sampel baik polar,
semi polar ataupun non polar. Ektrak metanol yang didapatkan dilakukan fraksinasi dengan tujuan memisahkan senyawa
berdasarkan perbedaan kepolarannya. Hasil fraksinasi dedapatkan fraksi kental sebanyak 160 mg (2,7%).
Hasil analisis kromatografai lapis tipis fraksi ini dengan eluen heksan jenuh metanol : etil (3:7) memperlihatkan 8
noda terpisah dengan Rf masing-masing 0.92, 0.83, 0.58, 0.47, 0.37, 0.30, 0.22, 0.16 (Gambar 3). Dan eluen ini
selanjutnya digunakan untuk memisahkan masing-masing senyawa menggunakan kromatografi kolom.
1 2 3 4 5 6 6 77
(a) (b)
Gambar 4. Profil KLT hasil isolasi (a) Sub-fraksi isolasi pertama dengan notasi 1. EG-13-1-21, 2. EG-13-4-21, 3. EG 13-
5-21, 4.EG-13-6-21, 5. EG-13-7-21. (b) Senyawa murni dengan notasi 6. EG-13-1-26 dan senyawa murni 7.
EG-13-2-26
Isolasi senyawa metabolit sekunder menggunakan kromatografi kolom, silika dimasukkan dengan metode silika
basah yaitudengan membuat terlebih dahulu suspensi atau bubur silika gel dengan melarutkannya dengan heksan jenuh
metanol : etil (3:7)sampai fase diam terbentuk seperti bubur kemudian dimasukkan kedalam kolom melalui dinding kolom
secara kontinyu sedikit demi sedikit sampai semua bubur silika masuk sambil kran kolom dibuka. Fraksi etil asetat dielusi
dengan fase gerak heksan jenuh metanol : etil asetat (3:7), heksan jenuh metanol : etil asetat (1:9), etil asetat 100%, 2 %
134
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
metanol dalam etil asetat dan 100 % metanoldengan perbandingan yang selalu ditingkatkan secara bertahap (Step
Gradient Polarity / SGP). Hasil kromatografi kolom ditampung dalam vial @ 5 ml dan masing-masing eluat ini dimonitor
dengan KLT menggunakan penampak noda lampu UV254nm. Fraksi dengan pola noda yang sama digabung dan diuapkan
pelarutnya.
Dari kromatografi kolom kedua ini didapatkan satu senyawa murni dan satu sub fraksi. Sehingga total hasil isolasi adalah
6 sub-fraksi dan 1 senyawa murni. Analisis kromatografi dengan eluen heksan jenuh metanol : etil (3:7) memperlihatkan
sub-fraksi dengan notasi EG-13-1-21 memiliki 2 senyawa dengan Rf 0.76 dan 0.87, EG-13-4-21 memiliki 5 senyawa
dengan Rf 0.32, 0.40, 0.58, 0.63, 0.94, EG-13-5-21 memiliki 3 senyawa dengan Rf 0.21, 0.56, 0.94, EG-13-6-21 memiliki
2 senyawa dengan Rf 0.14, 0.94, EG-13-7-21 memiliki 2 senyawa dengan Rf 0.09, 0.94, EG-13-1-26 merupakan senyawa
murni dengan Rf 0.87 dan EG-13-2-26 memiliki 3 senyawa dengan Rf 0.72, 0.70 dan 0.69 (Gambar 4, Tabel 1)
Tabel 1. Nilai Rf masing-masing sub-fraksi dan senyawa murni dengan eluen heksan jenuh metanol : etil (3:7)
No Notasi senyawa Nilai Rf
1 2 3 4 5
1 EG-13-1-21 0,87 0,76 - - -
2 EG-13-4-21 0,94 0,63 0,58 0.40 0,32
3 EG-13-5-21 0,94 0,56 0,21 - -
4 EG-13-6-21 0,94 0,14 - - -
5 EG-13-7-21 0,94 0,09 - - -
6 EG-13-1-26 0,87 - - - -
7 EG-13-2-26 0,72 0,70 0,69 - -
.
Masing-masing sub-fraksi dan senyawa murni diuji golongan senyawanya dengan penampak noda, untuk golongan
fenolik dengan penampak noda FeCl3, golongan terpenoid dengan vanilin asam sulfat dan alkaloid dengan dragendorf.
Senyawa dengan struktur fenolik terdapat pada sub-fraksi EG-13-1-21 senyawa 1, 2 & 3, sub-fraksi EG-13-4-21 senyawa
3, sub-fraksi EG-13-5-21 senyawa 2, 4, senyawa murni EG-13-1-26 senyawa 1 dan sub-fraksi EG-13-2-26 senyawa 1, 2
& 3 (Gambar 5, Tabel 2).
Tabel 2: Senyawa yang memiliki golongan fenolik Tabel 3 : Senyawa yang memiliki golongan triterpenoid
Notasi Senyawa fenol Notasi Triterpenoid
senyawa 1 2 3 4 5 senyawa 1 2 3 4
EG-13-1-21 + + + - - EG-13-1-21 - - - -
EG-13-4-21 - - + - - EG-13-4-21 + + - -
EG-13-5-21 - + - + - EG-13-5-21 - + + -
EG-13-6-21 - - - - - EG-13-6-21 - + + -
EG-13-7-21 - - - -
EG-13-7-21 - - - - -
EG-13-1-26 + - - -
EG-13-1-26 + - - - -
EG-13-2-26 - - - -
EG-13-2-26 + + + - -
135
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Senyawa dengan struktur triterpenoid terdapat pada sub-fraksi EG-13-4-21 senyawa 1 dan 2, sub-fraksi EG-13-
5-21 senyawa 2 dan 3, sub-fraksi EG-13-6-21 senyawa 2 dan 3 dan EG-13-26 senyawa 1 (Gambar 6, tabel 3). Sedangkan
untuk golongan alkaloid hanya terdapat pada sub-fraksi EG-13-1-21 (Gambar 7).
1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7
Gambar 5: Golongan senyawa fenolik Gambar 6: Golongan triterpenoid Gambar 7: Golongan alkaloid
Selanjutnya masing-masing sub-fraksi dilakukan uji aktivitas antibiotika. Senyawa yang mimiliki diameter zona hambat
pertumbuhan bakteri dinyatakan mimiliki aktifitas antibiotik. Dari uji yang dilakukan didapatkan bahwa beberapa sub-
fraksi memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan Pseudomonas aeriginosa ATCC27853 dan Enterococcus faecalis ATCC10541.
Sub-fraksi (EG-13-4-21) aktif terhadap kedua bakteri uji (10,20,30 µg/disk) (Gambar 8), Sub-fraksi (EG-13-5-21) aktif
terhadap Pseudomonas aeriginosaATCC27853(20,30 µg/disk), Sub-fraksi (EG-13-7-21) aktif terhadap Enterococcus
faecalis ATCC10541(10,20,30 µg/disk) Pseudomonas aeriginosaATCC27853(20,30 µg/disk), Sub-fraksi (EG-13-2-26) aktif
terhadap Enterococcus faecalis ATCC10541(10,20,30 µg/disk) Pseudomonas aeriginosaATCC27853(30 µg/disk).
Tabel 4. Aktivitas Sub-fraksi terhadap bakteri Pseudomonas aeriginosaATCC27853 dan Enterococcus faecalisATCC10541
No Notasi Pseudomonas aeriginosaATCC27853 Enterococcus faecalisATCC10541
senyawa
10 µg/disk 20 µg/disk 30 µg/disk 10 µg/disk 20 µg/disk 30 µg/disk
6
1 EG-13-1-21 - - - - - -
2 EG-13-4-21 7 ± 0,244 mm 7 ± 0,206 mm 8 ± 0,173 mm 7 ± 0,050 mm 8 ± 0,221 mm 8,5 ± 0,125 mm
3 EG-13-5-21 - 6 ± 0,081 mm 7 ± 0,125 mm - - -
4 EG-13-6-21 - - - - - -
5 EG-13-7-21 - 7 ± 0,05 mm 7 ± 0,081 mm 7 ± 0,957 mm 8 ± 0,577 mm 8 ± 0,221 mm
6 EG-13-1-26 - - - - - -
7 EG-13-2-26 - - 9 ± 0,173 mm 7 ± 0,206 mm 7 ± 0,05 mm 8 ± 0,081 mm
(10)
(30) (20)
(30)
136
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
KESIMPULAN
Pengayaan tanah 20 gram tanah/media pada media pertumbuhan jamur Aspergilus niger simbiotik sarang ratu
termite ini memberikan pertumbuhan jamur yang lebih baik dibandingkan dengan media SDA. Selain itu juga membentuk
kembali senyawa metabolit yang hilang. Dari masing-masing sub-fraksi terdapat senyawa yang memiliki gugus fenol,
triterpenoid dan alkaloid. Sub-fraksi (EG-13-4-21) aktif terhadap kedua bakteri uji (10,20,30 µg/disk), Sub-fraksi (EG-
13-5-21) aktif terhadap Pseudomonas aeriginosaATCC27853(20,30 µg/disk), Sub-fraksi (EG-13-7-21) aktif terhadap
Enterococcus faecalis ATCC10541(10,20,30 µg/disk) Pseudomonas aeriginosaATCC27853(20,30 µg/disk), Sub-fraksi (EG-
13-2-26) aktif terhadap Enterococcus faecalis ATCC10541(10,20,30 µg/disk) Pseudomonas aeriginosaATCC27853(30
µg/disk). Dan untuk sub-fraksi yang lain tidak aktif terhadap kedua bakteri uji ini, hal ini diduga karena konsentrasi yang
digunakan terlalu kecil. Oleh karena itu sangat disarankan untuk melakukan uji aktivitas dengan konsentrasi yang lebih
tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Alen,Y. 2016. Ratu Termite Macrotermes gilvus Hagen., Kajian Awal Saintifik Dalam Pandangan Farmasi. Abstrak Seminar Nasional dan Workshop
PerkembanganTerkini Sains Farmasi dan Klinik 6. Padang. 23 - 24 September 2016
Alen, Y., Melati, A. dan Djamaan, A. 2016a. Isolasi Senyawa Antibiotika Jamur Aspergillus niger Simbiotik Sarang Ratu Anai-anai Macrotermes gilvus
Hagen. Abstrak Paper hal : 41dan Abstrak Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinis VI.
Padang. 23-24 September 2016.
Alen, Y., Okta, F. N., Rusdian, R., Agresa, F. L., Marcelina, S. dan Fitri, A. M., 2015a. Analisis Metabolit Primer Sarang Ratu Anai-anai Macrotermes
Gilvus Hagen., dari Kebun Sawit Muko-Muko Bengkulu. Abstrak Paper hal : 123 dan Abstrak Prosiding Seminar Nasional dan Workshop
Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinis V. Padang. 6-7 November 2015.
Alen,Y., SarinaG, dan Djamaa,A. 2016c. Isolasi Senyawa Mayor Metabolit Sekunder Jamur Aspergilus flavus Simbiotik Sarang Ratu Anai – Anai
(Macrotermes gilvus Hagen.). Abstrak Seminar Nasional dan Workshop PerkembanganTerkini Sains Farmasi dan Klinik 6. Padang. 23 - 24
September 2016.
Alen, Y., Suci, L.,Suarmin, N. O., Suparman,A., Larasati, A., Yeni, Y. F. dan Febriyenti. 2015c. Isolasi (Penetapan Kadar) Metabolit Primer Ratu Anai-
anai (Macrotermes gilvus)Hagen., dan Potensi sebagai Obat Luka Bakar.Abstrak Paper hal : 107 dan Abstrak Prosiding Seminar Nasional dan
Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinis V. Padang. 6-7 November 2015.
Alen, Y., Sari, M. P. dan Putra, D.P. 2015b. Penapisan Jamur dari Sarang Ratu Anai-anai Macrotermes gilvus Hagen., Uji Aktivitas Ekstrak Terhadap
Candida albicans, dan Analisis KLT. Abstrak Paper hal : 64 dan Abstrak Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini
Sains Farmasi dan Klinis V. Padang. 6-7 November 2015.
Alen, Y., Indraini, R. A. dan Y. Yuliandra. 2016b. Toksisitas Akut dan Sub-akut Freeze Drying Ratu Anai-anai (Macrotermes gilvus Hagen.) terhadap
Fungsi Hati Mencit. Abstrak Paper hal : 43 dan Abstrak Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi
dan Klinis VI. Padang. 23-24 September 2016.
Alen, Y., Rahmawati, R., Aldi, Y., Nitoda, T., Baba, N. & Nakajima. 2016f. Immunomodulatory Activity of Freeze Dried Termite Queen Macrotermes
gilvus Hagen. Abstract Paper of The Conference on Advancing the Life Science and Public Health Awrence. Nagoya, Japan. 10-11 July.
Alen, Y., Suarmin, O., Suci, L. N., Kurniawan, R., Yasardi, F. & Ramadhani,V. 2016d. Analysis Levels of Fatty Acids from Freeze-dried Termite
Queen Macrotermes gilvus Hagen., using GC-MS and Anti-hyperlipidemia Test. Abstract Paper of The Conference on Advancing the Life
Science and Public Health Awrence. Nagoya, Japan. 10-11 July.
Nielsen, K.G., Mogensen,,J., Johansen,M. M., LarsenT.O., dan FrisvadJ.C.. 2009. Review of Secondary Metabolites and Mycotoxins from Aspergillus
nigergroup. Anal Bioanal Chem. 395: 1225-1242.
Nurmala, I.G.N. Virgiandhy, Andriani, D.F. Liana. 2015. Resistensi dan Sensitivitas Bakteri Terhadap Antibiotik di RSU dr. Soedarso Pontianak Tahun
2011-2013. eJKI. Vol. 3, No 1.
137
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Rahayu, T. 2013. Potensi Antibiotik Isolat Rare Actinomycetes dari Material Vulkanik Gunung Merapi Erupsi Tahun 2010. Surakarta: Seminar Nasional
X Pendidikan Biologi FKIP UNS.
Schuster, E., N.D. Coleman, dan J.C. Frisvad. 2002. On the Safety of Aspergillus niger– A Review. Appl Microbiol Biotechnol. 59: 426-435.
Setyaningsih, I. 2004. Resestensi Bakteri dan Antibiotik Alami dari Laut. Makalah Pribadi Falsafah Sains.
Southwick, Frederick S.2006. Infectious Diseases A Clinical Short Course Second Edition. McGraw-Hill Medical Publishing Divison.
Subekti, Niken., dkk. 2008. Distribution and Morphology Characteristic of Macrotermes gilvus Hagen., in The Natural Habitat. Jurnal Ilmu
DanTeknologihasil Hutan 1(1): 27-33.
Sugiawan, W. 2006. Peningkatan Efektifitas Media Isolasi Khamir Contoh Kecap dengan Penambahan Kecap. Pusat Penelitian dan
PengenbanganPeternakan
Sunaryo, R., B. Marwoto, T. T. Irawadi, Z. A. Mas’ud and L. Hartoto. 2009. Isolasi dan Penapisan Aktinomisetes Laut Penghasil Antimikroba. Ilmu
Kelautan. 14(2): 98-101.
Suwandi, U. 1989. Mikroorganisme Penghasil Antibiotik. Cermin Dunia Kedokteran, No. 58 : 37-40.
Tarumingkeng, RC, 2001, Biologi Dan Perilaku Rayap, PSIH IPB, Bandung
Tho, Y.P. 1992. Termites of Peninsular Malaysia In : Kirton, L.G (Eds). Malayan Forest Record. Forest Reasearch Institute, Malaysia, Kepong,
Kualalumpur.
Zao, J.,et al.2010.Endophytic fungi for producing bioactive compounds originally from their host plants.Current Research, Technology and Education
Topics in Applied Microbiology and Microbial Biotechnology.
138
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Polycaprolactone (PCL) merupakan polimer yang dapat terurai (biodegradable polymer) yang diperoleh dari polimerisasi cincin terbuka dari ɛ-
caprolactone. PCL telah digunakan sebagai material sintetik dalam berbagai aplikasi biomedik karena sifat biodegradability dan biocompatibility. Filem
plastik campuran PS dan PCL dibuat dengan berbagai variasi perbandingan dengan teknik blending, kemudian dilakukan uji penguraiannya dengan
metode soil burial test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan komponen PCL dalam filem plastik campuran PS dan PCL berpengaruh
terhadap kecepatan penguraian filem plastik. Penguraian filem plastik semakin cepat dengan bertambahnya persentase komponen PCL dalam campuran
filem plastik tersebut. Laju biodegradasi dihitung menggunakan persamaan regresi linear dengan parameter yang meliputi konstanta laju penguraian
(k), waktu penguraian 50% (t 50%), dan waktu penguraian 95% (t 95%). Penguraian film plastik yang terjadi dalam tanah dengan perbandingan PS/PCL
85:15 dengan nilai k = 1,09 %/minggu, t 50% = 45,95 minggu dan t 95% = 87,38 minggu. Penguraian film plastik yang terjadi dalam lumpur dengan
perbandingan PS/PCL 85:15 dengan nilai k = 1,74 %/minggu, t 50% = 28,47 minggu dan t 95% = 54,35 minggu. Hasil pengujian SEM juga
menunjukkan bahwa terjadi kerusakan dan pengikisan pada permukaan filem plastik selama waktu pengujian.
ABSTRACT
Polycaprolactone (PCL) is a biodegradable polymer obtained from an open ring polymerization of ɛ-caprolactone. PCL has been used as a synthetic
material in a variety of biomedical applications for biodegradability and biocompatibility properties. Plastic film containing PS and PCL was made in
the various composition with the blending techniques, furthermore the testing was conducted based on soil burial test in soil and sludge. The results
were shown that the amount of PCL in plastic film containing PS and PCL influenced the degradation rate of plastic film. Degradation of the plastic
film is faster with the increasing of the PCL percentages component in the mixture of the plastic film. The rate degradation was measured by using
linear regression equality and the parameter is indicated by the slope (k), degradation time 50% (t 50%), and degradation time 95% (t 95%). Degradation
plastic film which occurred in soil with ratio PS/PCL of 85:15 with k, t 50% and t 95% of 1,09 %/week, 45,95 weeks and 87,38 weeks, respectively.
Degradation plastic film which occurred in sludge with ratio PS/PCL of 85:15 with k, t 50% and t 95 % of 1,74 %/week, 28,37 weeks and 54,35 weeks,
respectively. The SEM results test was shown that the damage of occurred and erosion on the surface of plastic film during the observation time.
PENDAHULUAN
Plastik merupakan salah satu bahan yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk bahan
kemasan, peralatan rumah tangga, dan lain-lain. Semakin meningkatnya kebutuhan akan bahan plastik mendorong
industri untuk memproduksi plastik yang lebih banyak. Limbah plastik tergolong sampah yang tidak mudah didegradasi
atau dihancurkan oleh mikroorganisme, sehingga dengan semakin meningkatnya penggunaan plastik maka limbah plastik
yang dihasilkan juga semakin bertambah. Limbah sampah plastik menjadi masalah serius yang dihadapi dunia, tidak
hanya pada negara-negara maju tetapi juga negara berkembang seperti Indonesia (Yanti, 2010).
Pemakaian plastik yang dapat diuraikan (biodegradable plastic) atau ramah lingkungan adalah salah satu jalan
keluarnya. Polycaprolactone (PCL) merupakan polimer yang dapat terurai (biodegradable polymer) yang diperoleh dari
polimerisasi cincin terbuka dari ɛ-caprolactone. PCL ini telah digunakan sebagai material sintetik dalam berbagai aplikasi
biomedik seperti alat-alat kesehatan, bahan pengemas yang dapat terurai dan matriks pelepasan obat terkontrol. PCL
banyak digunakan karena sifat biodegradability dan biocompatibility (Biresaw & Carriere, 2001).
Penggunaan biopolimer secara luas masih terbatas, hal ini disebabkan biopolimer memiliki sifat mudah pecah dan
rapuh sehingga menjadi kendala dalam penggunaannya secara konvensional untuk menggantikan plastik sintetik
(Djamaan, 2011). Untuk mengatasi permasalahan ini telah dilakukan penelitian secara luas untuk memperbaiki sifat fisika
139
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
biopolimer. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan jalan membuat bentuk campuran PCL dengan polimer sintetik
lain, sekaligus dapat dihasilkan filem plastik yang kuat dan elastis tetapi terurai di lingkungan.
Polistiren (PS) merupakan salah satu jenis polimer yang banyak digunakan masyarakat, bersifat kaku, keras,
berwarna putih bersih dan sulit terbiodegradasi oleh mikroorganisme (nonbiodegradable). Polistiren foam dikenal luas
dengan istilah styrofoam, banyak digunakan sebagai bahan tempat makan, tempat minum sekali pakai, bahan pelindung
dan penahan getaran barang yang fragile, seperti elektronik (Peterson et al., 2001). Kemasan plastik jenis polistiren sering
menimbulkan masalah pada lingkungan karena bahan ini sulit mengalami biodegradasi dan sulit didaur ulang (BPOMRI,
2008).
Uji penguraian filem plastik campuran polistiren dengan PCL dalam tanah dan lumpur dilakukan agar dapat
diketahui kecepatan penguraian plastik dalam media pengujian tersebut. Tujuan ini dapat diaplikasikan untuk mengatasi
masalah pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh sampah-sampah plastik yang tidak dapat terurai di lingkungan.
Penguraian yang terjadi ditentukan dengan menghitung persentase kehilangan berat dari filem plastik yang diuji dalam
selang interval waktu tertentu.
tumbuh dan dikalikan dengan faktor pengencerannya. Hasilnya dinyatakan sebagai Angka Lempeng Total (ALT) dalam
tiap gram atau tiap mL sampel.
Analisis Data
Dari data yang diperoleh dibuat profil penguraian pada selang waktu pengambilan sampel (minggu) terhadap persen
penguraian plastik dari media tanah dan lumpur. Dilihat pengaruh dari pencampuran polistiren dengan PCL terhadap
lamanya penguraian pada media tanah dan lumpur dibandingkan dengan filem polistiren murni. Dihitung laju
penguraiannya dengan menggunakan persamaan regresi linear dan parameternya yang meliputi konstanta laju penguraian
(k), waktu penguraian 50% (t 50%) dan waktu penguraian mendekati 100% (t 95%) dari filem plastik campuran polistiren
dengan PCL dibandingkan dengan polistiren murni.
141
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Gambar 1. Filem plastik yang dihasilkan dari campuran PS/PCL dengan berbagai perbandingan
Gambar 2. Proses pengujian biodegradasi filem plastik campuran PS dan PCL dalam media uji
tanah dan lumpur
Dari pengujian biodegradasi ini dapat ditentukan konstanta laju biodegradasi, waktu penguraian 50% (t 50%), waktu
penguraian 95% (t 95%) dari masing-masing filem tersebut. Data ini dapat digunakan untuk menghitung secara teoritis
berapa lama filem-filem plastik dengan formula yang berbeda tersebut hancur separuhnya (t 50% b/b) dan mendekati
penguraian total (t 95% b/b). Dalam penghitungan ini tidak digunakan parameter habis sama sekali (t 100% b/b), karena
secara teoritis filem plastik tersebut tidak akan pernah habis seratus persen, karena plastik tersebut akan tetap ada
walaupun dalam bentuk fragmen-fragmen kecil (Tscuhii & Tokiwa, 2006; Webb et al., 2013). Profil laju penguraian filem
plastik dalam tanah dan lumpur dapat dilihat pada Gambar 3.
142
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Dari Gambar tersebut terlihat bahwa berdasarkan waktu penguraian 50% (t 50%) dan waktu penguraian mendekati
penguraian total (t 95%) dari sampel dengan perbandingan yang sama dalam media pengujian yang berbeda akan
memberikan nilai yang berbeda pula. Pada setiap perbandingan dari filem plastik campuran PS dan PCL dalam lumpur
lebih cepat mencapai waktu penguraiannya dibandingkan media pengujian tahah. Sementara itu, pada perbandingan PS
dan PCL yang digunakan, menunjukkan bahwa pada perbandingan 85:15 akan lebih cepat mencapai waktu penguraian
50% (t 50%) dibandingkan dengan perbandingan lainnya, dimana perbandingan 85:15 < 90:10 < 95:5 < 100:0. Hal ini
disebabkan karena pada perbandingan 85:15 mengandung komponen biopolimer PCL yang paling banyak dari filem
plastik lain. Sebaliknya pada polistiren murni mengalami penguraian yang paling lambat.
Data lengkap perbandingan konstanta laju penguraian (k), waktu penguraian 50 % (t 50%) dan waktu penguraian 95 %
(t 95 %) pada berbagai media pengujian ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan konstanta laju penguraian, waktu penguraian 50% dan waktu penguraian 95% filem plastik
campuran PS dengan PCL dalam media pengujian tanah dan lumpur
Parameter Media Pengujian
Penguraian Tanah Lumpur
PS murni
k (%/minggu) 0,27 0,31
t 50 % (minggu) 187,59 163,99
t 95 % (minggu) 356,19 311,48
PS dan PCL 95:5
k (%/minggu) 0,66 0,65
t 50 % (minggu) 75,78 77,01
t 95 % (minggu) 143,87 146,18
PS dan PCL 90:10
k (%/minggu) 0,84 1,01
t 50 % (minggu) 59,57 49,18
t 95 % (minggu) 113,39 93,80
PS dan PCL 85:15
k (%/minggu) 1,09 1,74
t 50 % (minggu) 45,96 28,47
t 95 % (minggu) 87,38 54,35
Pada perbandingan biopolimer yang lebih besar (85:15) dalam campuran filem plastik di dalam media pengujian
tanah dan lumpur akan mengalami penguraian t 50% dan t 95% yang lebih cepat dibandingkan dengan perbandingan
143
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
lainnya. Hal ini disebabkan karena mengandung komponen biopolimer PCL yang paling banyak dibandingkan dengan
perbandingan lain. PCL merupakan biopolimer yang mengalami penguraian seratus persen apabila dibuang ke lingkungan
(Madjid et al., 1999; Swift, 1994), sehingga dengan adanya komponen tersebut dalam filem plastik yang diuji akan
menyebabkan penguraian yang lebih cepat, dibandingkan dengan polistiren murni.
Kecepatan penguraian filem plastik juga dapat diketahui dari pengujian angka lempeng total, sehingga dapat
diketahui jumlah koloni bakteri yang terdapat di dalam media pengujian. Data kerapatan populasi bakteri ini mempunyai
korelasi positif dengan terjadinya pengurangan berat dari sampel filem plastik yang diuji (Wool, 1994). Ditemui bahwa
semakin banyak populasi bakteri di dalam media uji, maka akan semakin cepat penguraian terjadi. Pada penelitian ini
jumlah populasi mikroba dalam media pengujian tanah 2,57 x 106 dan lumpur 2,31 x 107 koloni/g. Hasil yang hampir
sama juga dilaporkan oleh peneliti sebelumnya yang melakukan pengujian biodegradasi dari sampel filem plastik P(3HB)
dan kopolimernya P(3HB-ko-HV) (Djamaan et al., 2003).
Penguraian filem plastik tersebut dapat diketahui dari berkurangnya berat awal filem plastik. Pada gambar foto filem
plastik campuran PS/PCL yang diambil dengan kamera digital, dapat terlihat adanya perubahan filem yang belum
diuraikan dengan yang telah diuraikan dalam waktu tertentu yang ditandai dengan perubahan warna, timbulnya bintik-
bintik putih pada permukaan filem dan lebih tipis akibat penguraian seperti pada Gambar 4.
Keterangan : a = PS murni
b = perbandingan PS/PCL 95:5
c = perbandingan PS/PCL 90:10
d = perbandingan PS/PCL 85:15
0 = filem plastik sebelum uji penguraian
1 = filem plastik setelah penguraian minggu ke-1
2 = filem plastik setelah penguraian minggu ke-2
3 = filem plastik setelah penguraian minggu ke-3
4 = filem plastik setelah penguraian minggu ke-4
5 = filem plastik setelah penguraian minggu ke-5
Gambar 4. Profil filem plastik campuran PS dan PCL dengan berbagai perbandingan (A) dalam tanah (B) dalam lumpur
Untuk melihat lebih jelas bentuk pengikisan permukaan filem plastik dapat diamati dengan menggunakan Scanning
Electron Microscope (SEM). Dari gambar SEM dapat terlihat jelas perbandingan antara filem plastik sebelum pengujian
dengan setelah pengujian. Dengan bertambahnya komponen PCL dari filem plastik yang diuji terlihat kerusakan dari serat
polimer bertambah banyak, ditandai dengan munculnya lobang-lobang yang terbuka diantara serat-serat. Ini terjadi akibat
144
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
pengaruh enzim depolimerase yang dihasilkan oleh bakteri yang menguraikan komponen PCL dari filem tersebut (Webb
et al., 2013), seperti yang dipaparkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Profil SEM dari permukaan filem plastik PS/PCL 90:10 sebelum dan setelah pengujian dalam media air laut
selama 5 minggu
Dibandingkan dengan plastik sintetis, filem plastik campuran PS dan PCL ini memperlihatkan sifat penguraian yang
lebih baik dibandingkan dengan polistiren murni. Jadi hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk mengurangi
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh plastik sintetis. Plastik campuran plastik sintetis dan bioplastik yang diteliti
ini mempunyai prospek yang cerah untuk dikembangkan sebagai bahan kemasan produk-produk kemasan farmasi, seperti
obat, makanan, minuman dan kosmetika serta produk lainnya yang lebih ramah lingkungan.
KESIMPULAN
Filem plastik campuran plastik sintetik dan biopolimer yang dihasilkan dari penelitian ini menunjukkan bahwa
perbandingan komponen PCL berpengaruh terhadap kecepatan penguraian filem plastik. Semakin besar perbandingan
PCL dalam filem plastik, maka penguraiannya semakin cepat. Perbandingan antara polistiren dan PCL yang paling cepat
mengalami penguraian adalah perbandingan 85:15. Penguraian filem plastik campuran PS dan PCL dalam media
pengujian lumpur mengalami penguraian lebih cepat dibandingan dengan media pengujian tanah. Penguraian film plastik
yang terjadi dalam tanah dengan perbandingan PS/PCL 85:15 dengan nilai k = 1,09 %/minggu, t 50% = 45,96 minggu
dan t 95% = 87,38 minggu. Penguraian film plastik yang terjadi dalam lumpur dengan perbandingan PS/PCL 85:15
dengan nilai k = 1,74 %/minggu, t 50% = 28,47 minggu dan t 95% = 54,35 minggu. Hasil pengujian SEM juga
menunjukkan bahwa terjadi kerusakan dan pengikisan pada permukaan filem plastik selama waktu pengujian dalam
media pengujian tanah dan lumpur.
DAFTAR PUSTAKA
Biresaw, G. & C.J. Carriere. 2002. Interfacial Tension of Polycaprolactone/Polystyrene Blends by The Imbedded Fiber Retraction Method. J. App.
Polym. Sci, 83(14): 3145-3151.
BPOMRI. 2008. Kemasan Polistirena Foam (Styrofoam). Info POM, 9, 5, ISSN 1829-9334.
Djamaan, A., M.N. Azizan & M.I.A. Majid. 2003. Biodegradation of Microbial Polyesters P(3HB) and P(3HB-co-3HV) under The Tropical Climate
Environment. Int. J. Polym. Dedrad. Stab, 80(3): 513-518.
Djamaan, A. 2011. Konsep Produksi Biopolimer P(3HB) dan P(3HB-ko-3HV) secara Fermentasi. Padang: Andalas University Press.
Madjid, M.I.A., Djamaan, A., Few L.L., A. Agustien, M.S. Toh, M. R. Samian, N. Najimudin & M.N. Azizan. 1999. Production of Poly(3-
hydroxybutyrate) and its Copolymer Poly(3-Hydroxybutirate-co-3-hydroxyvalerate) by Erwinia sp. USMI-20. Int. J. Macromol, 25: 1-10.
145
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Peterson, J.D., S. Vyzovkin & C.A. Wight. 2001. Kinetics of the Thermal and Thermo-Oxidative Degradation of Polystyrene, Polyethylene and
Poly(propylene). Macromol. Chem. Phy, 202: 775-784.
Sawada, H. 1994. Biodegradable Plastic and Polymer. Field Testing of Biodegradable Plastics. 298-312.
Swift, G. 1994. Expectation for biodegradation testing methods. Biodegradable Plastics and Polymers (Eds. Doi, Y and Fukuda, K.). Elsivier Journal
of Science. B. V. Amsterdam, 228-249.
Tsuchii, A. & Tokiwa, Y. 2006. Microbial Degradation of The Natural Rubber in Tire Tread Coumpound by a Strain of Nocardia. J Polym Environ,
14(4): 403-409.
Webb, H.K., J. Arnott, R.J. Crawford & E.P. Ivanova. 2013. Plastic Degradation and its Environmental Implications with Special Reference to
Poly(ethylene terephthalate). Polymers, 5(1): 1-18.
Wool, R.P. 1994. Perspectives on Standart Test Methods for Biodegradable Plastic. Biodegradable Plastics and Polimers (Eds. Doi. Y and Fukuda.
K.). Elsivier Journal of Science. B.V. Amsterdam.
Yanti, N.A., Sembiring, L. dan Margino, S. 2010. Optimasi Produksi Poli-β-Hidroksibutirat (PHB) oleh Bacillus sp. PSA10. Biota, 15(3): 331-339.
146
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Telah dilakukan riset Profil Kromatogram/Fingerprint Morinda citrifolia L. (buah mengkudu) yang bertujuan untuk menghasilkan profil kromatogram
buah mengkudu secara HPTLC untuk kontrol kualitas dan standardisasi obat bahan alam. Pembuatan fingerprint dilakukan secara HPTLC dan sebagai
sampel digunakan simplisia yang berasal dari 3 (tiga) daerah yaitu Bogor, Bandung dan Yogyakarta. Fase diam menggunakan plat HPTLC silika gel
F254 sedangkan fase gerak menggunakan klofororm-metanol (9:1). Deteksi dilakukan dengan TLC Photo Documentary System pada λ 366 nm serta TLC
Scanner pada λ 343 nm untuk melihat spektrum skopoletin sebagai senyawa marker. Validasi metode dilakukan menggunakan parameter spesifisitas
dan presisi. Hasil uji spesifisitas dan presisi menunjukkan bahwa spektrum skopoletin dari larutan baku dan larutan uji sesuai kriteria keberterimaan.
Disimpulkan bahwa metode ini valid untuk pengujian mutu dan standardisasi produk yang mengandung buah mengkudu.
Kata Kunci : buah mengkudu, Morinda citrifolia, fingerprint, profil kromatogram, HPTLC
ABSTRACT
Research on Fingerprint of Morinda citrifolia fructus was aimed to produce a chromatogram profile of the Morinda citrifolia. The chromatogram can
be used for quality control and stndardization of herbal medicine containing Morinda citrifolia fructus. Samples were collected from Bogor, Bandung
and Yogyakarta. The stationary phase was HPTLC plates of silica gel 60 F254 and mobile phase was chloroform-methanol (9:1). TLC photo
Documentary System at λ 366 nm and TLC Scanner at λ 343 nm were used to detect the spectrum of scopoletin as a reference. Validation was done
using specificity and precision parameters. The result showed that the scopoletin spectrum of the standard solution and test solution had appropriate
acceptance criteria of specificity, as well as for precision. In conculusion, the method was valid for the quality control and standardization of product
based on the Morinda citrifolia fructus.
PENDAHULUAN
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian
(galenik), atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (UU kesehatan No.36/2009). Sedangkan menurut Peraturan Kepala Badan POM No.
HK.00.05.41.1384 obat bahan alam Indonesia adalah obat bahan alam yang diproduksi di Indonesia.
Untuk menjamin manfaat, keamanan dan mutu dari obat bahan alam (OBA) maka perlu dilakukan upaya peningkatan
mutu pengawasan OBA. Menurut Peraturan Kepala Badan POM No. HK.00.05.41.1384 tahun 2005 terdapat 3 (tiga) jenis
OBA, yaitu obat tradisional (jamu), obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Ketiga jenis produk ini memiliki persyaratan
pembuktian keamanan yang berbeda, mulai dari pembuktian secara empiris (untuk obat tradisional), pembuktian secara
pre-klinis (untuk herbal terstandar) dan pembuktian klinis (untuk fitofarmaka). Uji laboratorium, merupakan prosedur
pembuktian ilmiah yang dilakukan berdasarkan prosedur baku yang sudah ditetapkan.
Efisiensi terapi obat sangat tergantung pada penggunaan yang tepat dan keaslian bahan baku yang digunakan.
Berdasarkan hal tersbut, maka perlu dilakukan kontrol kualitas dari bahan baku agar mutu dari bahan baku terjamin dan
dihasilkan produk yang berkualitas. Kontrol kualitas merupakan proses yang terlibat dalam mempertahankan kualitas dan
validitas produk yang dihasilkan. Oleh karena itu, jaminan keamanan, kualitas dan khasiat tanaman obat dan produk
herbal kini telah menjadi isu utama dan penting sehingga bahan tanaman yang digunakan perlu distandardisasi. Dalam
beberapa tahun terakhir, kemajuan dalam sidik jari kromatografi (fingerprint) dan spektral telah berperan penting terutama
147
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
dalam pengendalian kualitas obat-obatan herbal yang kompleks (Yamunadevi et al, 2011). Analisis fingerprint dengan
menggunakan high performance thin layer chromatography (HPTLC) merupakan suatu metode yang efektif dan alat
yang ampuh untuk memperkirakan senyawa kimia dan biokimia yang menjadi suatu penanda (Ali et al, 2007). HPTLC
menjadi teknik analisa rutin karena beberapa keuntungan termasuk jumlah fase gerak yang digunakan hanya sedikit,
kecepatan metode dan analisis sampel dapat dilakukan secara bersamaan (di plat yang sama), tidak seperti kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT). Hal tersebut dapat mengurangi waktu dan biaya analisis sampel. Sampel yang keruh dan
dalam bentuk suspensi dapat di analisis langsung dengan menggunakan HPTLC. Aplikasi sampel dapat dilakukan dan
diulang secara otomatis pada plat yang sama, kondisi scanning dapat diubah.
Morinda citrifolia Linn atau tanaman mengkudu merupakan suku Rubiaceae dan dilaporkan memiliki manfaat
untuk pengobatan berbagai macam penyakit. Tanaman ini tersebar secara luas di berbagai negara Asia tenggara termasuk
Indonesia. Berbagai manfaat dapat diperoleh dari bagian tanaman mengkudu ini yang telah dianalisis secara in vitro dan
in vivo dan menunjukkan aktivitas diantaranya sebagai antimutagenitas, antikarsinoma, meregulasi fungsi sel, antibakteri,
antivirus, anti inflamasi serta menstimulasi sistem kekebalan tubuh. (Sousa et al, 2010). Buah mengkudu mengandung
senyawa kimia skopoletin, asam oktanoat, kalium, vitamin C, iridoid, terpenoid, alkaloid, antrakuinon nordamnakantal,
morindon, rubiadin dan rubiadin-1-metil eter. Adapun senyawa identitas dari mengkudu adalah skopoletin (BPOM RI,
2004). Senyawa skolopetin sangat efektif sebagi unsur anti peradangan dan anti-alergi, Zat-zat anti kanker yang terdapat
pada mengkudu paling efektif melawan sel-sel abnormal. Saat ini banyaknya peredaran obat bahan alam dan adanya
pemalsuan atau kesalahan komponen penyusun produk, maka perlu dilakukan kontrol kualitas dari bahan baku agar mutu
dari bahan baku terjamin dan dihasilkan produk yang berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh profil sidik
jari/kromatogram dari buah mengkudu yang digunakan sebagai standardisasi untuk menjamin keamanan maupun manfaat
obat tradisional yang menggunakan bahan baku buah mengkudu.
148
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ditambahkan dengan 10 mL etanol, disonikasi pada suhu 50 °C selama 5 menit, lalu disentrifus pada kecepatan
4000 rpm selama 5 menit. Supernatan digunakan sebagai larutan uji. Prosedur ini diulangi sampai 6 kali ulangan
untuk masing-masing larutan uji dari Bogor (larutan uji A1-F1), Bandung (larutan uji A2-F2) dan Yogyakarta
(larutan uji A3-F3).
c. Analisis Fingerprint HPTLC
Larutan baku dan larutan uji di totolkan menggunakan Linomat 5 TLC Spotter. Masing-masing larutan uji
ditotolkan pada fase diam Plat HPTLC silika gel F254 (20x10 cm), sebanyak 30 µL dalam bentuk pita selebar 8
mm dengan jarak antar pita selebar 8,7 mm berturut-turut dari larutan uji Bogor, Bandung, larutan baku, dan
larutan uji Yogyakarta. Plat HPTLC di eluasi menggunakan fase gerak kloroform-metanol (9:1). Pengembangan
menggunakan twin trough glass chamber (CAMAG), volume fase gerak (20 mL sisi belakang dan 10 mL sisi
depan), penjenuhan dengan menggunakan kertas saring. Setelah di eluasi plat dikeringkan menggunakan
pengering udara.
d. Deteksi
Plat yang telah dikeringkan diamati di bawah UV 366 nm untuk melihat posisi bercak yang telah terpisah dan
didokumentasikan dengan Photo Documentary System (Camag) di bawah UV 366 nm. Scan plat menggunakan
TLC Scanner (Camag Reprostar 3) pada panjang gelombang 343 nm.
2. Parameter Validasi
a. Uji Kesesuaian Sistem
Prosedur uji kesesuaian sistem meliputi pembuatan larutan baku dan larutan uji seperti 1.a dan 1.b, kemudian
penotolan larutan baku dan larutan uji sesuai dengan cara seperti pada 1.c. Plat dieluasi dan dideteksi sesuai
dengan prosedur 1.d. Faktor retensi (Rf) dan Rf rata-rata bercak skopoletin dihitung. Standar deviasi relatif (RSD)
dari 6 bercak skopoletin dihitung dengan kriteria keberterimaan RSD≤ 2%.
b. Spesifisitas
Prosedur spesifisitas meliputi pembuatan larutan baku dan larutan uji seperti 1.a dan 1.b, kemudian penotolan
larutan baku dan larutan uji sesuai dengan cara seperti pada 1.c. Plat dieluasi dan dideteksi sesuai dengan prosedur
1.d. Spektrum skopoletin pada larutan baku dan larutan uji di amati. Kriteria keberterimaan untuk uji spesifisitas
adalah spektrum bercak skopoletin larutan baku dan larutan uji sama.
c. Presisi (Keberulangan dan Presisi Antara)
Prosedur presisi pembuatan larutan baku dan larutan uji seperti 1.a dan 1.b, kemudian penotolan larutan baku dan
larutan uji sesuai dengan cara seperti pada prosedur 1.c. Plat dieluasi dan di deteksi sesuai dengan prosedur 1.d.
Ulangi langkah pada uji kesesuaian sistem pada hari yang berbeda untuk menguji keberulangan dan presisi antara.
Faktor retensi (Rf) dan Rf rata-rata bercak skopoletin dihitung. Kriteria keberterimaan untuk keberulangan adalah
RSD≤ 2% dan Presisi Antara RSD≤ 5%.
149
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
tumbuhan yang digunakan adalah Morinda citrifolia. Baku pembanding yang digunakan adalah skopoletin yang
merupakan marker dari buah mengkudu [BPOM RI, 2004]. Pengembangan awal penelitian ini adalah ekstraksi buah
mengkudu dengan berbagai kondisi hingga diperoleh kondisi optimal, yang meliputi optimasi jenis pelarut, suhu
ekstraksi, jumlah pelarut, waktu ekstraksi.
Optimasi ekstraksi diperoleh kondisi optimal menggunakan 90% etanol. Etanol merupakan pelarut yang bersifat
polar sehingga dapat menarik senyawa skopoletin dan senyawa-senyawa lain yang bersifat polar yang terkandung dalam
buah mengkudu.
Sistem kromatografi yang digunakan pada penelitian ini adalah fase normal, yaitu menggunakan fase diam yang
bersifat polar (HPTLC Silika Gel F254) dan fase gerak yang terdiri dari komposisi yang mengandung metanol yang bersifat
polar sehingga meningkatkan kepolaran dari fase gerak. Eluasi/pengembangan dilakukan dengan menggunakan fase
gerak kloroform-metanol (9:1). Perbedaan kepolaran digunakan untuk melihat perbedaan bercak-bercak yang tampak
pada profil kromatogram tersebut. Pada kondisi fase gerak yang lebih polar maka senyawa polar yang tereluasi terlebih
dahulu, sedangkan senyawa non polar akan terikat lebih lama di fase diam (non polar) sehingga lebih lama tereluasi (Rf
lebih kecil).
Deteksi plat HPTLC yang sudah di eluasi dilakukan dengan lampu UV pada panjang gelombang 366 nm
(Gambar 1), karena senyawa marker yang digunakan merupakan senyawa yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi
sehingga dapat berpendar pada panjang gelombang ini. Dari hasil deteksi, ketiga simplisia yang berasal dari daerah Bogor,
Bandung dan Yogyakarta mengandung senyawa marker skopoletin. Jika dibandingkan intensitasnya, terlihat bahwa
intensitas bercak skopoletin yang paling nyata dan besar adalah simplisia yang berasal dari Bandung, hal ini berarti
kandungan skopoletin yang tertinggi adalah simplisia yang berasal dari daerah Bandung. Sedangkan profil kromatogram
ketiganya secara garis besar sama namun ada sedikit perbedaan dalam jumlah bercak dan intensitas. Keragaman senyawa
dan konsentrasi dari simplisia ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah lingkungan tempat tumbuh,
waktu panen, jenis tanah, tinggi tempat, curah hujan, intensitas cahaya dan pengolahan pasca panen. Pada penelitian ini
belum dianalisa data dari aspek budidaya dan lingkungan tumbuh simplisia yang digunakan.
Nilai Rf rata-rata bercak skopoletin yang terkandung pada simpilisia buah mengkudu dari ketiga daerah berturut-turut
adalah 0,58 (Bogor), 0,548 (Bandung) dan 0,527 (Yogyakarta). Nilai Rf ini menunjukkan bahwa masing-masing simplisia
tersebut mengandung skopoletin.
150
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Presisi antara dilakukan dengan melakukan pengujian pada 2 hari yang berbeda. Kriteria keberterimaan adalah
RSD dari 6 totolan dalam 1 plat ≤ 2% serta RSD antara ≤ 5 %. Hasil pengujian presisi/RSD untuk 6 totolan dalam 1 plat
untuk semua plat yang diuji memenuhi kriteria keberterimaan, yaitu RSD ≤ 2%. Sedangkan hasil uji presisi antara untuk
simplisia dari Bogor, Bandung dan Yogyakarta dengan fase gerak kloroform-metanol (9:1) juga memenuhi kriteria
keberterimaan dengan nilai RSD 3,151% untuk Bogor; 2,694% untuk Bandung dan 2,396% untuk Yogyakarta. Dari
151
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
keseluruhan parameter validasi yang diuji pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa metode penentuan profil
kromatogram/fingerprint buah mengkudu valid.
KESIMPULAN
Profil kromatogram/fingerprint Buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) dapat dibuat dengan menggunakan
kromatografi lapis tipis (KLT) dengan fase diam plat HPTLC Silica Gel F254 dan fase gerak kloroform-metanol (9:1).
Deteksi dilakukan dengan menggunakan sinar UV pada panjang gelombang 366 nm. Berdasarkan hasil validasi metode
maka metode analisis untuk penentuan profil kromatogram/fingerprint buah mengkudu ini valid yang dinyatakan dengan
hasil uji spesifisitas bahwa spektrum skopoletin dari larutan baku dan larutan uji adalah sama, serta hasil uji presisi dan
presisi antara menunjukkan bahwa RSD untuk semua sampel dari ketiga daerah dengan menggunakan fase gerak
kloroform-metanol (9:1) adalah sesuai dengan kriteria keberterimaan, yaitu RSD presisi ≤ 2% dan RSD presisi antara ≤
5. Metode ini dapat digunakan untuk pengujian mutu/kontrol kualitas dari bahan baku dan standardisasi produk yang
mengandung buah mengkudu dalam sediaan obat bahan alam.
DAFTAR PUSTAKA
Yamunadevi M, Wesely EG, Johnson MA. A chromatographic study on the glycosides of Aerva lanata L. Chinese J Natural Med. 2011; 9: 210-214.
Ali J, Ali Y, Sultana S, Baboota S, Faiyaz S. Development and validation of a stability-induced HPTLC method for analysis of antitubercular drugs.
Acta Chromatographica. 2007;18:168e179.
Sousa A, Neto M, Garruti D, Sousa J, Brito E. Evaluation of Noni (Morinda citrifolia) Volatile Profile vy Dynamic Headspace and Gas
Chromatography-Mass Spectrometry. Tecnolia de Alimentos. 2010; Vol. 30 N0 3.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Farmakope Herbal Indonesia Edisi Pertama, Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan No
261/Menkes/SK/IV/2009, 2009.
Badan POM RI, 2005. Peraturan Kepala Badan POM No. HK.00.05.41.1384. tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat
Herbal Terstandar dan Fitofarmaka.
Departemen Kesehatan RI, 2009. Undang – Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Badan POM RI, 2004, Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, Volume 1, Badan POM RI, Jakarta. Hal.64 – 65.
152
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Desa petani Kab. Bengkalis, Riau merupakan kawasan yang sedang berkembang. Terdapat tiga etnis dominan di kawasan ini yaitu etnis jawa, melayu
dan sakai. Dengan berkembangnya daerah ini diikuti dengan penurunan keanekaragaman hayati terutama tumbuhan bahan obat. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi dan membandingkan pengetahuan tumbuhan obat pada tiga etnis berbeda. Metode yang digunakan melalui wawancara, kuisioner
dan survei langsung pada praktisi tumbuhan obat (POT) sebanyak tiga POT pada setiap etnik. Hasil penelitian diperoleh 193 spesies tumbuhan dengan
67 famili. Spesies tumbuhan yang digunakan oleh etnis jawa sebanyak 109 spesies, etnis melayu sebanyak 77 spesies dan etnis sakai sebanyak 93
spesies. Etnis Jawa memiliki teknik pengobatan dikenal dengan rempah ratus, pada etnis Melayu teknik pengobatan yang digunakan adalah tetomeh
sedangkan pada etnis Sakai teknik pengobatannya disebut dengan upah-upah.
Kata Kunci: Bengkalis, suku Jawa, Suku Melayu, suku Sakai, Tumbuhan obat
ABSTRACT
Petani village Bengkalis Distric, Riau Province is a developed region. There are three dominant etnhic in this region are Javanes ethnic, Malay ethnic
and Sakai ethnic. With the development of this region followed by a in biodiversity, especially medicinal plant materials. This studi was aimed to
identify and compared the knowledge of medicinal plants in three different ethnic. This research was conducted using interviews, questionnaire and
survey methods. Interviews were held on Traditional Medicine Practitioners (TMP) of 3 (three) people TMPs in each ethnic. The results was obtained
193 plant species with 67 family. Plant species used by ethnic javanes as much 109 species, malay ethnic as much 77 species and sakai ethnic as much
98 species. Javanes ethnic have a treatment technique known as rempah ratus, the Malays ethnic have treatment technique known as tetomeh while
Sakai ethnic on treatment technique is called upah-upah.
Keywords: Bengkalis, javanes ethnic, malay ethnic, medicinal plants, sakai ethnic
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan kekayaan biodiversiti tumbuhan yang sangat tinggi.
Hal ini ditandai dengan ciri budaya masyarakat yang masih kental akan unsur-unsur tradisional dalam kehidupannya dan
didukung oleh keanekaragaman hayati yang tersusun dalam berbagai tipe ekosistem, sehingga melahirkan variasi
tumbuhan dan kandungan metaboliit yang juga tinggi. Kekayaan ini telah dimanfaatkan oleh nenek moyang kita berabad-
abad tahun lalu sebagai bagian dari kebudayaan yang diwariskan (Marianne 2016; Teodora et.al. 2011). Salah satu
aktivitas tersebut adalah penggunaan tumbuhan obat atau pengobatan tradisional oleh berbagai suku bangsa maupun
sekelompok masyarakat (Fabio et.al. 2016; Rahayu et al.2006).
Pengobatan tradisional merupakan sistem pengobatan dengan cara non medis berdasarkan pengetahuan yang
telah turun temurun pada tradisi tertentu (Sosrokusumo 1989). Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat secara
tradisi merupakan salah satu bagian dari kebudayaan suku bangsa asli (Brush 1994). Pemanfaatan tumbuhan obat telah
dilakukan oleh berbagai etnis di Riau (Ernawati 2009). salah satu etnis di Riau yang masih memanfaatkan tumbuhan
sebagai sumber obat antara lain etnis Jawa, Melayu dan Sakai yang berada di Desa Petani, Kec. Mandau, Kab. Bengkalis.
Desa Petani merupakan kawasan yang sedang berkembang di Kabupaten Bengkalis. Seiring dengan
meningkatnya pembangunan di kawasan ini, sehingga banyak terjadi alih fungsi hutan menjadi daerah pemukiman
maupun perkebunan. Hal ini diduga akan berdampak terhadap penurunan keanekaragaman jenis tumbuhan, yang secara
langsung juga akan mengerus pengetahuan terhadap tanaman obat yang digunakan. Dengan kata lain pentingnya menjaga
pelestarian pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan Obat, sama pentingnya dengan pelestarian hutan dan tumbuhan
yang ada di dalamnya.
153
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Di Desa Petani terdapat tiga suku dominan yaitu Melayu, Sakai dan Jawa. Ketiga suku ini membawa Indegeneus
knowledgenya masing-masin. Menarik untuk diteliti perbandingan sistempengetahuan obat ketiga suku dominan ini
setelah mereka mengalami asosiasi selama bertahun tahun. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk menjawab kebutuhan
informasi terkait pemanfaatan tumbuhan obat dan ramuan tradisional oleh berbagai etnis di Indonesia.
154
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
155
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
158
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Pada tabel 1 terlihat etnis Jawa menggunakan jenis tumbuhan lebih banyak, diikuti oleh suku Sakai dan Suku
Melaayu. Bedasarkan keterangan famili yang sering digunakan oleh etnik Jawa, Melayu dan Sakai, famili Zingiberaceae
merupakan famili yang paling dominan digunakan oleh etnis di Desa Petani. Hal ini dikarenakan pada rimpang
Zingiberaceae umumnya mengandung senyawa aromatik, hasil dari metabolit sekunder yang disebut dengan minyak atsiri
yang dapat mencirikan spesies satu dengan yang lainnya yang dapat dikenal dengan cepat untuk penggunaannya bagi
masyarakat lokal. Selain itu diduga karena adanya beberapa zat aktif sperti senyawa saponin pada Curcuma domestica
yang digunakan untuk obat luka atau koreng yang dilakukan pada suku Jawa. Ramuan yang digunakan oleh POT etnik
Jawa dan Melayu lebih dominan didapatkan dari tanaman yang sudah dibudidayakan di lingkungan masyarakat sedangkan
ramuan obat yang digunakan POT cenderung diperoleh dari hutan dan lahan pertanian (tumbuhan liar seperti gulma).
Walaupun etnis Jawa, Melayu dan Sakai merupakan kelompok masyarakat yang hidup dalam satu wilayah yang sama
yaitu di Desa Petani namun teknik pengobatan yang dimiliki setiap etnis berbeda-beda, mengikuti asal-usulnya dan tidak
mengalami pencampuran dalam budaya pengobatan setiap etnis.
Sistem kepercayaan etnis Jawa
Etnis jawa merupakan pendatang terbesar di Desa Petani Kab. Bengkalis, sebagian besar memeluk agama islam.
Berdasarkan hasil wawancara dalam pengobatan POT memiliki keyakinan kepada Sang pencipta dan berserah diri
kepada-Nya. Dalam pengobatan POT Jawa menggunakan do’a serta ramuan yang dikenal dengan sebutan rempah ratus.
Rempah ratus adalah berbagai jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bahan dasar pengobatan berupa tumbuhan segar
maupun yang telah dikeringkan. Jenis ramuan rempah ratus yang digunakan oleh etnis jawa sebanyak 40 spesies
tumbuhan.
Sistem kepercayaan etnis Melayu
Etnis melayu merupakan pendatang di Desa Petani Kab. Bengkalis yang mayoritas beragama islam. Hasil
wawancara yang telah dilakukan, POT etnis Melayu menyembuhkan penyakit denga teknik pengobatan tetomeh
(pengobatan penyakit teguran). Tetomeh dilakukan dengan menggunakan mantra atau do’a dan menggunakan tumbuhan
curcuma domestica (kunyit) yang dibelah atau dicacah kemudian ditambahkan kapur dan diusapkan ke bagian tertentu
tubuh pasien misalnya kening. Pengobatan ini merupakan dasar pengobatan yang sering dilakukan oleh POT dalam
menganalisis penyakit yang diderita oleh pasien. Dan apabila pasien belum sembuh dengan teknik tersebut pengobatan
dilanjutkan dengan teknik pengobatan luar tubuh dengan mengeluarkan angin atau sumber penyakit dari tumbuh setelah
itu, POT memberikan ramuan untuk pengobatan bagian dalam tubuh
Sistem kepercayaan etnis Sakai
Etnis sakai merupakan etnis asli di Desa Petani Kab. Bengkalis yang umunya menganut agama islam namun ada
juga yang masih menagnut kepercayaan dari leluhur (animisme). Pengobatan yang sering digunakan etnis ini adalah
pengobatan upah-upah. Upah-upah adalah suatu ritual penyembuhan penyakit dengan mantra atau do’a untuk memanggil
roh disertai dengan bunyi-bunyian gendang yang dipercaya dapat mengusir roh jahat penyebab penyakit dilengkapi
dengan berbagai tumbuhan yang dianyam maupun dimandikan.ramuan yang digunakan untuk upah-upah ini terdiri dari
14 jenis tumbuhan obat.
159
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
KESIMPULAN
Hasil penelitian diperoleh 198 spesies tumbuhan dengan 67 famili. Spesies tumbuhan yang digunakan oleh etnis
Jawa sebanyak 109 spesies, etnis Melayu sebanyak 77 spesies dan etnis Sakai sebanyak 93 spesies. Sistem kepercayaan
pada tiga suku dominan di Desa Petani beranekaragam, sistem kepercayaan etnis Jawa dikenal dengan sistem pengobatan
rempah ratus, pada etnis Melayu teknik pengobatan yang digunakan adalah tetomeh sedangkan pada etnis Sakai teknik
pengobatannya disebut dengan upah-upah.
DAFTAR PUSTAKA
Brush, S.B. 1994. A non-market approach to proctecting biological research. In: Greaves, T. (editor). Intelectual Property Right for Indigenous People.
Oklahoma City: Society for Applied Anthropology.
Ernawati E. 2009. Etnobotani Masyarakat Suku Melayu Daratan (Studi Kasus di Desa Aur Kuning, Kec. Kampar Kiri Hulu. Kabupaten Kampar Provinsi
Riau). Departemen konservasi sumberdaya hutan dan ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
Fabio RA, Sol Elizabeth G-P, Maria AL, Ismael De Jesus MV. 2016. Ethnobotany of babasu palm (Attalea speciosa Mart.) in The Tucurui Lake
Protected Areas Mosaic-eastern Amazon. Acta Botanica Brasilica. 30(2): 193-204.
Fakhrozi I. 2009. Etnobotani Masyarakat Suku Melayu Tradisional di Sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh: Studi Kasus di Desa Rantau Langsat
Kec. Batang Gangsal, Kab. Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Konservasi sumberdaya hutan dan ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
Marianne PT, Litiele C, Jeferson LF, Renara BV and Valdir MS. 2016. Ethnobotany and antioxidant evaluation of commercialized medicinal plants
from the Brazilian Pampa. Acta Botanica Brasilica. 30(1): 47-59.
Martin G.J., 1995. Ethnobotany : A ‘People and Plant’ Conservation Manual . Chapman and Hall, London.
Rahayu, M., Siti sunarti, Diah sulistiarini dan Suhardjono prawiroatmodjo. 2006. Pemanfaatan Tumbuhan Obat secara Tradisional oleh Masyarakat
Lokal di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. J Biodiversitas. Vol. 7 (3): 245-250
Sosrokusumo, P. 1989. Pelayanan pengobatan tradisional di bidang kesehatan jiwa. Lokakarya tentang penelitian Praktek Pengobatan Tradisonal.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Deparetem Kesehatan Republik Indonesia. Ciawi.
Song MJ, Kim H. Brian H, Choi HK, Lee BY. 2013. Traditional knowledge of wild edible plants on Jeju Island, Korea. Indian Journal of Traditional
Knowledge. 12(2): 177-194
Steenis, C.G.G.J.V. 2003. Flora Untuk Sekolah Di Indonesia I. PT. Pradaya Pramita, Jakarta.
Teodorata D.B., Ashlyun Kim D.B. 2011. Ethnomedical knowledge of plants and healthcare practices among the Kalanguya tribe in Tinoc, Ifugao,
Luzon, Philippines. Indian Journal of Traditional Knowledge. 10(2): 227-238.
160
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Strychnos lucida R.Br. adalah tumbuhan yang secara turun temurun digunakan sebagai tumbuhan obat oleh masyarakat di Pulau Timor, Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT). S. lucida dijual di pasar tradisional dalam bentuk potongan kayu. Pasokan S. lucida yang diperjual belikan diperoleh dengan
pemanenan langsung dari alam sehingga dapat menimbulkan resiko kepunahan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemanfaatan S.lucida
sebagai tumbuhan obat di P. Timor dan potensi tegakannya di alam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive random sampling
dengan melakukan wawancara terhadap masyarakat pengguna, peramu obat tradisional, dan pedagang simplisia tumbuhan obat. Sedangkan untuk
mengetahui potensi S. lucida di alam dilakukan analisis vegetasi dengan sistem transek di dua kabupaten di P. Timor. Masyarakat setempat menyebut
S. lucida dengan nama ‘Kayu ular’ atau ‘Belbelu’. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di P. Timor memanfaatkan S. lucida untuk
pengobatan malaria, demam, darah tinggi dan untuk menambah nafsu makan. Bagian yang paling banyak dimanfaatkan dari S. lucida adalah kayu
batang, kulit batang dan biji. Potensi tegakan S. lucida rata-rata di P . Timor adalah 1,02 pohon/ha pada tingkat pohon, 9,5 pohon/ha pada tingkat tiang,
36,65 individu/ha pada tingkat pancang dan 1.308 individu/ha pada tingkat semai. Pemanenan S. lucida oleh masyarakat dilakukan dengan cara
mengupas kulit batang ataupun memotong batang cabang atau batang utama pohon. Batang S. lucida diperdagangkan di pasar tradisional Kota Kupang,
dimana potongan batang S. lucida berukuran panjang 50cm dan diameter kayu 10cm dijual dengan harga Rp.10.000.
ABSTRACT
Strychnos lucida R.Br. is a plant species that has been used as traditional medicine for generations in Timor Island, East Nusa Tenggara Province. It is
sold in traditional market as small log pieces. S. lucida are harvested from natural stands which can threaten its population. The aims of the present
study were to describe the use of S.lucida by people in Timor and to determine the density of its natural stands. The ethnopharmacology data was
collected using interview by selecting several local people that had been consuming S.lucida, indigenous healers and traditional medicine sellers using
purposive sampling method. Transect method was used to determine the density of S. lucida stands in two regencies in Timor. The local name of S.
lucida in Timor is ‘kayu ular’ or ‘Belbelu’. The result showed that people in Timor used S. lucida to treat fever, hypertension, and as appetite stimulant.
The plant parts of S. lucida that mostly used for medicinal purposes are stem, bark and seed. The average densities of S. lucida in Timor are respectively
1,02 trees/ha (trees), 9,5 trees/ha (poles), 36,65 individuals/ha (saplings) and 1.308 individuals/ha (seedlings). S. lucida was harvested by peeling its
stem and branch bark or by cutting the stem. Its stem with average size of 50 cm long and diameter of 10 cm is sold in traditional markets for Rp.
10.000.
PENDAHULUAN
Tumbuhan obat adalah bagian penting dari sistem pengobatan tradisional. Setiap kelompok masyarakat memiliki
pengetahuan pengobatan tradisional menggunakan bahan-bahan alami yang didapat secara turun-temurun. Penggalian
informasi mengenai pemanfaatan tumbuhan sebagai obat oleh suatu kelompok masyarakat seringkali merupakan sebuah
awal dari pengembangan obat baru (Heinrich, 2013). Masyarakat di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memanfaatkan
beragam tumbuhan dalam kehidupan keseharian mereka. Berbagai studi sudah dilakukan untuk mendokumentasikan
pemanfaatan tumbuhan di NTT untuk berbagai tujuan seperti pengobatan, budaya, bahan bangunan maupun kerajinan
tangan (Hidayat & Cahyaningsih, 2017; Usman, 2011; Atok et al., 2010). Salah satu tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai
tumbuhan obat di Pulau Timor, NTT adalah Strychnos lucida.
Strychnos lucida R.Br. merupakan tumbuhan dari famili Loganiaceae (Sinonim Strychnos ligustrina Blume).
Spesies ini secara alami dapat ditemukan di Australia, Malesia dan Asia tenggara (Cooper, 2004). S. lucida mempunyai
berbagai nama lokal di daerah-daerah lain di Indonesia, diantaranya: Bidara Laut, Bidara Putih, Bidara Pahit, Kayu pait
dan Songga. Bahkan S. lucida juga dikenal di Timor Leste dengan nama ‘Ai baku moruk’. S. lucida merupakan salah satu
tumbuhan obat yang digunakan dalam Industri Obat Kecil Tradisional di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat dan belum
dibudidayakan sehingga pasokannya mengandalkan pemanenan dari alam (Pribadi, 2009). Tumbuhan ini dikenal
161
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
memiliki khasiat untuk pengobatan malaria, demam, diare, hipertensi, diabetes mellitus dan gigitan ular (Philippe et al.,
2005; Setiawan & Narendra, 2012; da Costa et al., 2015). Di Pulau Timor potongan batang S. lucida dijual di pasar-pasar
tradisional dan dikenal sebagai obat untuk mengobati malaria.
Pemanfaatan S. lucida dengan cara memotong batang kayunya menimbulkan resiko kepunahan untuk spesies
ini. Mayoritas tumbuhan obat dipanen langsung dari alam dan jumlah tumbuhan obat yang dibudidayakan masih sangat
sedikit. S. lucida termasuk dalam 55 jenis tanaman obat yang mulai langka di Indonesia dengan kategori kelangkaan
‘Terkikis’ (Sudiarta et al., 2002). Informasi mengenai pemanfaatan S.lucida di P. Timor belum terdokumentasikan. Selain
itu, potensi tumbuhan ini di habitat alaminya juga belum diketahui padahal pemanfaatannya sudah dilakukan secara turun-
temurun dan diperdagangkan. Kurangnya pengawasan terhadap pemanenan tumbuhan obat menyebabkan banyak spesies
yang terancam kepunahan (Delvaux et al., 2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan S. lucida oleh
masyarakat di P. Timor dan potensi tegakan alaminya. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan
untuk pengembangan S.lucida sebagai tumbuhan obat serta usaha pelestariannya.
162
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
B. Metode
Pengambilan data primer meliputi data potensi tegakan dan data etnofarmakologi. Data etnofarmakologi
digunakan untuk mengetahui teknik pemanfaatan dan bagian pohon S. lucida yang digunakan oleh masyarakat dalam
pengobatan penyakit. Penetapan responden dilakukan dengan metode purposive random sampling. Pendekatan yang
digunakan adalah wawancara kepada masyarakat pengguna, peramu obat tradisional dan pedagang simplisia S. lucida di
Pasar Naikoten. Wawancara dilakukan secara informal dengan menggunakan pertanyaan terbuka.
Untuk mendapatkan data potensi tegakan S. lucida di P.Timor digunakan metode analisis vegetasi. Analisis
vegetasi dilakukan dengan sistem jalur (plot sistematis) pada tingkat pohon (20 x 20 m), tiang (10x10 m), pancang (5 x 5
m) dan semai (2 x 2 m).
C. Analisis Data
Data etnofarmakologi dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan mengelompokkan informasi mengenai bagian
S. lucida yang digunakan serta cara pemanfataan dan tujuan pengobatannya. Dari hasil analisis vegetasi dilakukan
penghitungan Kerapatan, Frekuensi, dan Dominasi untuk mengetahui potensi tegakan alami S. lucida.
Konsumsi biji S. lucida dilakukan oleh masyarakat di Bena, Kabupaten TTS. Biji S. lucida juga sama pahitnya
sebagaimana kulit batang dan kayunya, akan tetapi dari semua bagian pohon yang memiliki rasa paling pahit adalah
akarnya (Heyne, 1987). Untuk konsumsi biji tidak dianjurkan untuk dikunyah karena rasa pahitnya akan muncul
bersamaan dengan keluarnya air/getah dari biji tersebut. Pemanfaatan harus dilakukan secara berhati-hati karena Genus
Strychnos dikenal memiliki kandungan racun bernama Stryhnine (Philippe et al., 2004).
163
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Gambar 2. Buah S. lucida dan proses pengupasan kulit batang oleh masyarakat
Pemanfaatan utama dari S.lucida di P. Timor adalah untuk pengobatan malaria. Lama proses penyembuhan
malaria yang banyak diderita oleh nelayan (Kab. Belu) dan petani di Kab. Timor Tengah Selatan (TTS) bervariasi antara
3 hari sampai 1 minggu. Malaria adalah penyakit yang sangat umum terjadi di NTT. Jumlah kasus Malaria pada tahun
2015 terbanyak secara berturut-turut terjadi di Kabupaten Belu (3.083), Timor Tengah Selatan (2.162), Kupang (977) dan
Timor Tengah Utara (133) (BPS Provinsi NTT, 2016). Kasus malaria di Kabupaten Belu dan TTS sangat tinggi sehingga
tumbuhan obat yang dipercaya dapat menyembuhkan malaria sangat dibutuhkan. S. lucida juga dimanfaatkan sebagai
obat malaria di berbagai daerah seperti Nusa Tenggara Barat (NTB) (Al Hasan, 2011; Setiawan & Narendra, 2012;
Rahayu & Wahyuni, 2015) dan Jawa Barat (Murnigsih et al., 2005; Gusmailina & Komarayati, 2015). Selain di NTT, S.
lucida juga dapat ditemukan di Timor Leste dan digunakan untuk mengobati malaria, diare, demam, hipertensi, kanker,
diabetes melitus dan infeksi kulit (da Costa Sarmento et al., 2015). Secara ilmiah S. lucida terbukti menunjukkan aktifitas
antimalaria yang kuat (Murnigsih et al., 2005).
Masyarakat memperoleh batang, kulit batang dan biji S. lucida dengan cara mencari pohonnya ke ladang atau
hutan di sekitar desa mereka. Sebagian besar masyarakat memotong pohon S. lucida untuk mengambil batangnya. Hanya
sebagian kecil masyarakat di TTS yang mengupas kulit batang tanpa memotong batang pohon. Teknik pemanenan dengan
cara memotong batang (destruktif) dapat menyebabkan kematian pohon. Pengupasan kulit batang juga tidak sepenuhnya
aman karena kulit pohon yang dikupas dengan menghabiskan semua sisi kulit dan tidak menyisakan lapisan kambium
akan mengakibatkan pohon mati. Pengupasan kulit batang sebagian dengan meninggalkan lapisan tipis kulit dan kambium
terbukti mempengaruhi kemampuan tumbuhan untuk pulih. Sedangkan pemanenan bunga dan buah dapat mempengaruhi
regenerasi tumbuhan dan viabilitas populasi spesies tersebut (Delvaux et al., 2009). Tumbuhan yang pertumbuhan dan
reproduksinya lambat sangat rentan terhadap pemanenan yang berlebihan (Zschocke et al., 2000). Oleh karena itu, usaha
budidaya S. lucida sangat diperlukan untuk mencegah kepunahannya akibat teknik pemanenan yang tidak lestari dan
secara terus-menerus.
B. Potensi Tegakan Alam S. lucida
Berdasarkan pembagian tipe iklim Schmidt & Ferguson, P. Timor pada umumnya termasuk pada tipe iklim E &
F. Iklim ini dipengaruhi oleh iklim Australia yang ditandai dengan musim kemarau yang berlangsung selama 7-9 bulan
sedangkan musim hujan hanya berlangsung selama 3 -5 bulan. Di pulau Timor S. lucida dapat dijumpai dari pinggir
164
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
pantai hingga ketinggian 1.000 mdpl. Lokasi hutan yang disurvei adalah di hutan Desa Batnun, Kab. TTS dan Hutan
Lindung Kecamatan Amfoang, Kab. Kupang. Desa Batnun merupakan lokasi yang dipilih untuk menggambarkan potensi
S. lucida di daerah dataran rendah (<0-200 mdpl), sedangkan Kecamatan Amfoang merupakan daerah dataran tinggi di
kaki Gunung Timau dengan ketinggian antara 800-1.000 mdpl.
Pohon S. lucida ada yang tumbuh tunggal ataupun membentuk rumpun. Rumpun S. lucida dapat terbentuk dari
awal pertumbuhan awal ataupun terbentuk akibat gangguan. Gangguan bisa berupa kegiatan pemanenan, bencana alam
seperti kebakaran ataupun terinjak ternak, yang membuat batang utama patah dan memunculkan beberapa batang dalam
satu pokok tanaman. Dalam satu pokok (bonggol) bisa tumbuh hingga 5 batang yang memiliki kelas diameter yang
berbeda-beda. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh posisi batang dan cahaya matahari. Hasil survei potensi tegakan S.
lucida dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Potensi S.lucida di Desa Batnun dan Kecamatan Amfoang
Kerapatan Dominansi
Lokasi Elevasi Tingkat Frekuensi
(Pohon/ha) (m2/ha)
(mdpl)
Pohon 0,83 0,03 0,008
Tiang 4 0,006 0,007
Batnun 25-200
Pancang 13,3 0,003 -
Semai 241,93 0,097 -
Pohon 1,25 0,05 0,07
Tiang 15 0,15 0,036
Amfoang 800-1.000
Pancang 60 0,1 -
Semai 2.375 0,3 -
S. lucida sangat jarang ditemukan dalam bentuk pohon yang besar. Pohon dengan diameter paling besar yang
ditemukan di Batnun adalah 20,7 cm sedangkan di Amfoang diameter mencapai 21,9 cm. Pohon yang tumbuh di sekitar
S.lucida di Batnun adalah Kayu Merah (Pterocarpus indicus), Asam (Tamarindus indica), Faloak (Sterculia quadrifida)
dan Kabesak (Acacia leucophloea). Sedangkan di sekitar hutan Amfoang tumbuhan yang berasosiasi dengan S. lucida
adalah Asam (T. indica), Kayu Papi (Exocarpus latifolia), Matoa (Pometia pinnata) dan Kesambi (Schleichera oleosa).
Permudaan alami S. lucida pada tingkat semai cukup banyak ditemukan di hutan Amfoang (2.375). Sedangkan frekuensi
yang menggambarkan sebaran S. lucida pada kedua areal hutan tersebut sangat rendah, artinya S. lucida tidak tersebar
merata pada areal tersebut/tumbuh mengelompok. Rasa buah/biji kayu ular yang pahit membuat binatang seperti burung
dan kelelawar tidak memakannya. Hal ini yang diduga turut mempengaruhi rendahnya indeks frekuensi S. lucida di
Batnun dan Amfoang. Dominansi S. lucida di kedua areal tersebut juga sangat rendah (<1).
Potensi tegakan S. lucida rata-rata di P . Timor adalah 1,02 pohon/ha pada tingkat pohon , 9,5 pohon/ha pada
tingkat tiang, 36,65 individu/ha pada tingkat pancang dan 1.308 individu/ha pada tingkat semai. Survei potensi S. lucida
juga pernah dilakukan di Kabupaten Dompu, NTB. Kepadatan rata-rata S. lucida di Kab. Dompu pada tingkat seedling,
sapling, tiang dan pohon secara berturut-turut sebesar 2.935 batang/ha, 678 batang/ha, 51 batang/ha and 6 batang/ha
(Setiawan & Narendra, 2012). Potensi alami S. lucida di P. Timor sangat kecil apabila dibandingkan dengan potensi S.
lucida di Kab. Dompu dan Kab. Bima. Hal ini dapat menjadi alasan perbedaan skala pemanfaatan S. lucida di NTB
dengan di NTT. Teknik pemanfaatan S. lucida di P. Timor masih dilakukan secara tradisional dan sederhana. Hal ini
berbeda dengan pemanfaatan di daerah lain yang telah mengolah S. lucida menjadi cangkir, serbuk dan lain-lain. Di
Sumbawa produk batang kayu S. lucida yang lebih dikenal dengan nama Songga dijual dalam bentuk gelas. Sedangkan
di P. Timor S. lucida hanya dijual dalam bentuk potongan kayu yang rata-rata berukuran kecil.
165
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
C. Perdagangan S. lucida
Di P. Timor belum ada industri yang mengolah S. lucida, akan tetapi pedagang di Pasar Naikoten, Kupang
mengatakan pernah mengirim batang kayu S. lucida ke P. Jawa. Batang S. lucida dengan diameter kurang dari 3cm dan
panjang 30 cm dijual dengan harga 10.000 per batang. Sedangkan untuk batang dengan ukuran diameter yang lebih dijual
dengan harga per ikatnya Rp.5.000,- (dalam 1 ikatan terdapat 2-3 batang kecil). Menurut para pedagang, pada beberapa
tahun yang lalu mereka masih menjual S. lucida dengan panjang 50 cm dan diameter 10 cm dengan harga Rp.10.000,
namun pada saat ini batang dengan ukuran tersebut sudah tidak ditemukan lagi. Penyebabnya adalah para petani pemasok
tidak ada lagi yang membawa batang berukuran besar karena sulitnya mencari S. lucida di hutan dengan ukuran tersebut.
Hal ini merupakan indikasi menurunnya populasi S. lucida di alam yang dapat disebabkan oleh perubahan fungsi habitat
atau akibat pemanenan secara besar-besaran.
Upaya pelestarian dapat dilakukan dengan mendorong substitusi simplisia yang dimanfaatkan dan dengan
budidaya. Substitusi bagian tumbuhan yang dimanfaatkan adalah salah satu strategi yang dapat digunakan untuk
pelestarian tumbuhan obat (Zschocke et al., 2000). Hal ini penting dilakukan terutama untuk tumbuhan yang bagian
batang dan akarnya dimanfaatkan. Substitusi bagian tumbuhan yang dimanfaatkan untuk pengobatan dapat dilakukan
dengan mempertimbangkan komposisi kimia dan hasil analisis farmakologi (Zschocke et al., 2000). Konservasi tumbuhan
obat sebaiknya dilakukan bersama dengan masyarakat yang memang memanfaatkan tumbuhan tersebut (Hamilton, 2004).
Masyarakat yang memanfaatkan S.lucida perlu disadarkan tentang kemungkinan kepunahan tumbuhan ini apabila
kegiatan pemanenan dari alam tidak dibarengi dengan usaha budidaya.
Ada banyak tumbuhan obat yang diperjualbelikan namun tidak diketahui produksi maupun nilai ekonominya. S.
lucida dapat ditemukan di pasar-pasar tradisional di Kota Kupang namun belum ada data mengenai produksi. Untuk
mengetahui produksi dan sumber pasokan sulit karena tidak ada data yang tersedia. Data mengenai produksi tumbuhan
obat di Provinsi NTT baru meliputi jahe, lengkuas, kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, temuireng, temukunci, dringo
(BPS NTT, 2016). Ada banyak jenis tumbuhan obat lain yang diperdagangkan di pasar-pasar tradisional namun karena
belum dibudidayakan maka tidak dapat diketahui jumlah pemanenan dari alam.
KESIMPULAN
S. lucida di P. Timor dikenal dengan nama ‘Kayu ular’ atau dalam Bahasa Timor disebut ‘Belbelu’ atau ‘Elu’.
Tumbuhan ini dimanfatkan oleh masyarakat di P. Timor untuk pengobatan beberapa jenis penyakit diantaranya adalah;
malaria, darah tinggi dan sakit pinggang. Potensi tegakan S. lucida rata-rata di P . Timor adalah 1,02 pohon/ha pada
166
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
tingkat pohon, 9,5 pohon/ha pada tingkat tiang, 36,65 individu/ha pada tingkat pancang dan 1.308 individu/ha pada tingkat
semai.
DAFTAR PUSTAKA
Al Hasan, R. 2011. Pudarnya Kearifan Lokal Dalam Pemanfaatan Tanaman Songga (Strychnos ligustrina) (Studi Kasus Di Kec. Hu’u Kab. Dompu,
NTB). Prosiding. Seminar Nasional VIII Pendidikan Biologi: Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajarannya Menuju Pembangunan
Karakter. Solo, 16 Juli 2011, Universitas Sebelas Maret.
Atok, A. R., Hikmat, A., & Zuhud, E. A. M. 2016. Etnobotani Masyarakat Suku Bunaq (Studi Kasus di Desa Dirun, Kecamatan Lamaknen Kabupaten
Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur). 15 (1), 2016.
Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2016. Statistik Tanaman Biofarmaka dan Hias Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2016. Jumlah Kasus HIV/AIDS, DBD, Diare, TB, dan Malaria Menurut Kabupaten/Kota di
Provinsi NTT, 2015.
Cooper, W. 2004. Fruits of The Australian Tropical Rainforest: A Field Guide. Nokomis Editions Pty. Ltd. Melbourne, Victoria, Australia.
da Costa Sarmento, N., Worachartcheewan, A., Pingaew, R., Prachayasittikul, S., Ruchirawat, S., Prachayasittikul, V. 2015. Antimicrobial, antioxidant
and anticancer activities of Strychnos lucida R. BR. African Journal of Traditional, Complementary and Alternative Medicines, 12(4):122-
127, June 2015.
Delvaux, C., Sinsin, B., Darchambeau, F. and Van Damme, P. 2009. Recovery from bark harvesting of 12 medicinal tree species in Benin, West Africa.
Journal of Applied Ecology, 46: 703–712.
Farram, S. 2004. From 'Timor Koepang' to 'Timor NTT': a political history of West Timor, 1901-1967. PhD Thesis, Charles Darwin University.
Gusmailina & Komarayanti, S. 2015. Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajarannya Menuju Pembangunan Karakter. Prosiding. Seminar Nasional
Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Volume 1 (7): 1741-1746, Oktober 2015.
Hamilton, A. C. 2004. Medicinal plants, conservation and livelihoods. Biodiversity & Conservation, 13(8), 1477-1517.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia (Jilid IV). Edisi Terjemahan. Jakarta: Yayasan Sarana Wanajaya.
Hidayat, R. S. and Cahyaningsih R. 2017. Useful plants from Wolomeze Protected Forest, Ngada District , Florest, East Nusa Tenggara. Prosiding
Seminar Nasional Masyarakat Biodiversity Indonesia, Volume 3(1): 56-61.
Itoh, A., Tanaka, Y., Nagakura, N., Nishi, T., Tanahashi, T. 2006. A quinic acid ester from Strychnos lucida. Journal of Natural Medicines, 60(2):146-
148, April 2006.
Louisa, M. 2013. Medicinal plants: source of new lead compounds in therapeutics. 2013, 22(3), -118.
Maharani, D., Utomo, MM. B., Nandini, R. 2014. Ekologi jenis bidara laut (Strychnos lucida R.br.) di kecamatan Gerokgak, kabupaten Buleleng – Bali.
Prosiding Seminar Nasional “Peranan Dan Strategi Kebijakan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Dalam Meningkatkan Daya
Guna Kawasan (Hutan)“, 6-7 November 2014, Yogyakarta.
Pribadi, E.R. 2009. Pasokan dan Permintaan Tanaman Obat Indonesia Serta Arah Penelitian dan Pengembangannya. Perspektif, Vol. 8 (1): 52 – 64,
Juni 2009.
Sudiarto, E.R Pribadi, M. Rahardjo, H. Nurhayati,Rosita SMD, and M. Yusron. 2002.Strengthening farmer-industry linkage for sustainable utilization
of medicinal plant resources. Paper presented in International Conference on The Modernization of Traditional Chinese Medicine,
Chengdu,China, 3-5 November 2002.
Setiawan, O. & Narendra, B. H. 2012. Ecology of A Medicinal Tree Strychnos ligustrina Bl, In Dompu District, West Nusa Tenggara Province. Journal
of Forestry Research, Vol. 9 No. 1, 2012 1-9.
Sudiarto, E.R Pribadi, M. Rahardjo, H. Nurhayati, Rosita SMD, and M. Yusron. 2002.
Setiawan, O. and Narendra, B. H. 2012. Sistem Perakaran Bidara Laut (Strychnos lucida R.Br.) Untuk Pengendalian Tanah Longsor. Jurnal Penelitian
Kehutanan Wallacea, Vol.1 No.1, Agustus 2012 : 50-61.
Usman, Masni H. 2011. Etnobotani pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat Kecamatan Alor Tengah Utara Kabupaten Alor Nusa Tenggara
Timur, Skripsi. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Zschocke, S., Rabe, T., Taylor, J. L. S., Jäger, A. K., & van Staden, J. 2000. Plant part substitution – a way to conserve endangered medicinal plants?.
Journal of Ethnopharmacology, 71(1–2), 281-292.
167
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Tumbuhan Tristaniopsis merguensis Griff., atau biasa dikenal dengan nama daerah “Pelawan Merah” memiliki ciri khas kulit batang berwarna merah
dengan kulit luar yang dapat mengelupas secara berkala. Tanaman ini merupakan salah satu flora endemik yang dapat ditemukan di kepulauan Bangka
Belitung. Kami telah melakukan uji antibakteri ekstrak dan fraksi kulit batangTristaniopsis merguensis Griff., terhadap bakteri Vibrio cholerae Inaba
meggunakan metoda difusi cakram.Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metoda maserasi dan di lanjutkan fraksinasi partisi sesuai tingkat
kepolaran. Dari hasil uji antibakteri ekstrak terhadap Vibrio cholerae Inaba, memiliki aktivitas dengan konsentrasi hambat minimum (KHM)
300 g/disk, fraksi etil asetat memiliki aktivitas dengan KHM 75 g/disk dan sub-fraksi etil asetat memiliki aktivitas dengan KHM 50 g/disk.
Analisis profil KLT dan golongan senyawa akan didiskusikan dalam seminar.
ABSTRACT
Tristaniopsis merguensis Griff., or commonly known as "Pelawan Merah" have specific characteristic such as bark is red and the outer skin can peel
off periodically. This plant is one of the endemic flora that can be found on the islands of Bangka Belitung. We have done a test of antibacterial extract
and fraction bark of Tristaniopsis merguensis Griff., against Vibrio cholerae Inaba with disc diffusion method. The extraction has been done
using maceration methods and continued by partition fractionation depend on polarity levels. From antibacterial test results showed that extract of
Tristaniopsis merguensis Griff inhibits growthofVibrio cholerae Inaba., with minimum inhibitory concentrations (MIC) 300 g/disk, ethyl acetate
fraction activity with MIC75 g/disk and sub-fraction of ethyl acetate activity with MIC50 g/disk. Profile analysis TLC and class compound will
be discuss in converence.
PENDAHULUAN
Kolera adalah infeksi enterik akut yang disebabkan karena konsumsi air maupun makanan yang terkontaminasi
bakteri Vibrio Cholerae. Wabah kolera biasa terjadi di daerah yang populasinya padat namun akses terhadap air bersih
sangat kurang dan sanitasi tidak memadai seperti daerah pengungsian. Meskipun sudah banyak penelitian berskala besar
dilakukan, namun penyakit ini tetap menjadi suatu tantangan bagi dunia kesehatan. Badan World Health Organization
pada 22 April 2016 telah melaporkan bahwa telah terjadi wabah kolera di daerah Tanzania yang mana terjadi 24,108
kasus, dan 378 merupakan kasus kematian.(WHO,2017)
Kolera tetap merupakan masalah utama kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang seperti Afrika,
Asia dan Amerika Selatan, walaupun epidemilogi dan bakteriologi penyakit kolera sudah diketahui sejak abad yang lalu.
Diperkirakan ada 5,5 juta kasus kolera terjadi setiap tahunnya di Asia dan Afrika (Lesmana, 2004).
Bakteri Vibrio cholerae yang menyebabkan penyakit kolera. Vibrio cholerae merupakan bakteri gram negatif
yang berbentuk koma (commashaped). Vibrio cholerae memiliki satu flagela disalah satu kutubnya sehingga memiliki
motilitas yang tinggi. Bakteri ini bias hidup dan berkembang pada keadaan aerob dan anaerob. Air dengan kadar garam
tinggi seperti air laut adalah tempat hidup alami dari bakteri ini. Vibrio cholera tidak tahan dengan suasana asam dan
tumbuh baik pada suasana basa(pH 8,0-9,5) (Jawetz,et al., 2005).
168
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Tumbuhan merupakan kekayaan alam yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Salah satu
peranan tumbuhan dalam kehidupan manuasia adalah sebagai bahan baku obat. Tumbuhan dapat dijadikan sumber
potensial untuk ditemukannya senyawa antiinfeksi, dimana tumbuhan memiliki variasi dan keragaman metabolit
sekunder yang berpotensi untuk pengembangan obat baru (Ndhlala et al., 2013)
Tumbuhan Tristaniopsis merguensis Griff., merupakan salah satu flora endemik di Kepulauan Bangka Belitung
dengan nama daerah “Pelawan merah”. Tumbuhan ini banyak tersebar dihutan Kepulauan Bangka Belitung yang
memiliki ciri batang bewarna merah dengan bagian kulit luar mengelupas secara berkala, hidup pada tanah dengan pH,
5,9-6 (Yarli, 2011).
Kulit batang tumbuhan ini secara alamiah mengelupas dengan sendirinya sehingga terkumpul dibawah pohon
dan terbuang percuma. Tumbuhan Tristaniopsis merguensis Griff., sampai saat ini baru diteliti mengenai perbedaan
morfologinya dengan tumbuhan lain dalam satu famili (Mirtaceae).B erdasarkan penelusuran pustaka, belum ada laporan
penelitian tentang fitokimia khususnya metabolit sekunder dan aktivitas dari tumbuhan ini.
169
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Fraksinasi
Fraksinasi dilakukan dengan menambahkan aquadest pada ekstrak kental metanol sehingga volumenya menjadi
1 liter. Selanjutnya difraksinasi dalam corong pisah dengan menambahkan pelarut sesuai tingkat kepolarannya mulai dari
yang non-polar (n-heksana), semi polar (etil asetat) dan pelarut polar (n-butanol).
Masing-masing fraksi kental diuji aktivitas antimikrobanya, fraksi yang memperlihatkan aktivitas tertinggi di
kromatografi lebih lanjut dengan metoda kolom. Hasil fraksi ditampung dengan vial @ 5 ml, dianalisis dengan
kromatografi lapis tipis (KLT), senyawa yang mempunyai nilai Rf yang sama digabung dengan asumsi didapatkan
senyawa murni.
Pembuatan Media Pembiakan NutrientAgar(NA)
Serbuk NA dilarutkan dalam 1liter aquadest sebanyak 28 gram dalam erlenmeyer dan dipanaskan sambal
diaduk sampai terbentuk larutan yang jenih. Kemudian disterilkan didalam autoklaf pada suhu121 0C tekanan 15lbs
selama 15 menit.
Peremajaan Mikroba UJi
Mikroba uji dari stok kultur murni diinokulasi pada medium agar miring NA, lalu diinkubasi selama 24jam
Berdasarkan hasil pengujian aktivitas antibakteri menunjukan bahwa pada konsentrasi 3% ekstrak kulit
batangTristaniopsis merguensis Griff., memiliki zona terhadap Vibrio cholerae Inaba sebesar 7±0.577 mm dan jika
dibandingkan denganhasil pengujian aktivitas antibakteri fraksi etil pada konsentrasi 3% menunjukan bahwa fraksi etil
asetat memberikan zona hambat paling besar terhadap Vibrio cholerae Inaba yaitu sebesar 10±0.35 mm .
Tabel 1. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak metanol, fraksi etil asetat, fraksi heksan dan fraksi sisa kulit batang
Tristaniopsis merguensis Griff., terhadap Vibrio choleraeInaba
Konsentrasi (μg/µl) Rata-rata±SD (mm)
Diameter Hambat
Vibrio Choerae Inaba
Ekstrak Metanol
30 7±0.577
171
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
15 (-)
Fraksi Etil Asetat
30 10±0.35
15 8±0.40
7.5 6±0.20
Fraksi Heksan
10 (-)
7 (-)
Fraksi Sisa (Aquadest)
15 7±0.57
10 6±0.40
5 (-)
Konrol Positif
1 18±0.83
Pembanding (-)
Keterangan: *(-): tidak ada aktivitas antibakteri
Hasil pengujian aktivitas antibakteri ekstrak dan fraksi kulit batang Tristaniopsis merguensis Griff., disimpulkan
sedang. Davis dan Stout (1971) menyatakan bahwa apabila zona hambat yang terbentuk pada uji difusi agar berukuran
kurang dari 5 mm, maka aktivitas penghambatannya dikategorikan lemah. Apabila zona hambat berukuran 5-10 mm
dikategorikan sedang, 10-19 mm dikategorikan kuat dan 20 mm atau lebih dikategorikan sangat kuat.
Tabel 2. Hasil uji aktivitas antibakteri sub-fraksi etil asetat kulit batang Tristaniopsis merguensis Griff., terhadap Vibrio
cholerae Inaba
172
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Hasil pengujian aktivitas antibakteri sub-fraksi etil asetat kulit batang Tristaniopsis merguensis Griff.,
disimpulkan sedang, dimana hasil pengukuran diameter hambat berada pada rentang 5-10 mm.Adapun sub-fraksi yang
menunjukkan aktivitas antibakteri paling baik adalah sub-fraksi etil asetat MO-13-32-02 dimana sub-fraksi ini akan
dibahas hasil analisis KLT nya dengan penampak noda,
Rata-rata±SD 8±0.16 7±0.24 8±0.5 6±0.2 7±0.25 7±0.5 6±0.25 6±0.2 18±0.83
(mm)
Diameter Hambat
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 2. Uji antibakteri sub-fraksi (a) MO-13-32-02 , (b) MO-13-32-05, (c) MO-13-32-06
dan (d) MO-13-32-07kulit batang Tristaniopsis merguensis Griff., terhadap Vibrio
cholerae Inaba.
173
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Golongan senyawa metabolit sekunder ekstrak , fraksi dan sub-fraksi etil asetat
Tabel 3. Hasil skrining golongan senyawa metabolit sekunder dari ekstrak , fraksi dan sub-fraksi etil asetat kulit batang
Tristaniopsis merguensis Griff.,
Hasil
(MO-13-32-2)
Alkaloid Dragendorff + + +
Fenolik Fecl3 + + +
Skrining metabolit sekunder dilakukan dengan menyemprotkan reagen penampak noda pada hasil KLT
Analisis hasil KLT dilakukan untuk mengidentifikasi golongan senyawa yang memberikan aktivitas antibakteri terhadap
Vibrio cholera Inaba. Adapun reagen yang digunakan yaitu FeCl3 untuk identifikasi senyawa golongan fenol, Vanilin
asam sulfat untuk identifikasi senyawa golongan triterpenoid dan Dragendorff untuk identifikasi senyawa golongan
alkaloid.
174
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
akan mengakibatkan sel bakteri akan kekurangan nutrisi , sehingga pertumbuhan bakteri terhambat atau mati (Cowan, M.
1999).
KESIMPULAN
1. Hasil ekstrak yang diperoleh dari kulit batangTristaniopsis merguensis Griff., berwarna merah
kecoklatan, berbentuk ekstrak kental.
2. Ekstrak kulit batangTristaniopsis merguensis Griff.,menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio
cholerae Inaba sebesar 7 mm dan Fraksi etil asetatkulit batangTristaniopsis merguensis
Griff.,menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio cholerae Inabasebesar 10 mm.
3. Konsentrasi hambat minimum ekstrak Tristaniopsis merguensis Griff., terhadap bakteri
Vibrio cholerae Inaba adalah pada konsentrasi 3%.
4. Konsentrasi hambat minimum fraksi etil asetatTristaniopsis merguensis Griff., terhadap
bakteri Vibrio cholerae Inaba adalah pada konsentrasi 0,75%.
5. Konsentrasi hambat minimum sub-fraksi etil asetatTristaniopsis merguensis Griff., terhadap
bakteri Vibrio cholerae Inaba adalah pada konsentrasi 0,5%.
6. Golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada kulit batangTristaniopsis
merguensis Griff., adalah senyawa golongan alkaloid, fenolik dan triterpenoid
DAFTAR PUSTAKA
Cowan, M. 1999. Plant Product as Antimicrobial Agent. Clinical Microbiology Reviews. 12 (4): 564-582.
Davis & Stout. 1971. Disc Plate Method Of Microbiological Antibiotic Essay. Journal Of Microbiology. Vol 22 No 4.
Djamal, R. 2010. Kimia Bahan Alam: Prinsip-prinsip Dasar Isolasi dan Identifikasi. Padang: Universitas Baiturrahmah
Jawetz,E.,Melnick,J.L.,&Adelberg,E.A.2005.MikrobiologiKedokteran .Edisi 20. Jakarta: EGC.
Lesmana, M.2004. Perkembangan mutakhir infeksi kolera.Jurnal Kedokteran Trisakti. Vol 23 No 3.
Ndhalala,A.R.,Amoo,S.O.,Ncube,B.,Moyo,M.,Nair., J.J.,Van Studen, J. 2013.Antibacterial, antifungal and antiviral, 103,16
Volk, W. A dan Wheeler, F. 1990. Mikrobiologi Dasar. Edisi V. Jilid 2. Diterjemahkan oleh Sumarto Aisumertono. Jakarta: Airlangga
World Health Organization.2017.cholera http://www.who.int/cholera/en/, diakses 8 april 2017
Yarli, N. 2011. Ekologi pohon pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff.) sebagaiinangjamurPelawandikabupatenBangkaTengah.Tesis.Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
175
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Angka kejadian malaria di Indonesia yang tinggi mengakibatkan ketergantungan obat malaria ini juga sangat besar. Upaya swasembada bahan baku
artemisinin sangat memungkinkan karena di samping iklim geografi yang sesuai juga telah dikuasainya teknologi prosesing. Masalahnya adalah
produksi artemisinin akan efisien dan ekonomis jika kadar artemisinin dalam Artemisia annua mencapai lebih dari 0,6%. Di lain pihak Artemisia annua
sebagai tanaman hari pendek (short day plant) yaitu tanaman khas daerah sub tropis, penanaman di daerah tropis menyebabkan masa vegetatif yang
pendek dan mengakibatkan kadar artemisinin menjadi rendah. Uji adaptasi Artemisia annua di Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional
Tawangmangu menunjukkan pertumbuhan dan produksi optimum dicapai pada penanaman di ketinggian lebih dari 1.700 m dpl. Untuk upaya produksi
skala besar tentunya ketersediaan lahan menjadi salah satu kendala, karena umumnya lahan di ketinggian 1.700 m atau lebih memiliki keterbatasan
pada topografi dan luasan yang diakibatkan letaknya di lereng gunung.
Dalam rangka ekstensifikasi, pemilihan klon unggul yang mampu beradaptasi di daerah dataran rendah sangat diperlukan. Untuk itu dilakukan uji
adaptasi 3 aksesi Artemisia annua di daerah dengan ketinggian di bawah 1.700 m dpl. Penelitian merupakan percobaan lapangan menggunakan 3 aksesi
Artemisia annua(V1, V2 dan V5) dan tiga ketinggian tempat tumbuh (1.200 m dpl, 800 dpl dan 200 dpl), sebagai variabel bebas. Sebagai variabel
tergantung meliputi parameter pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Masing-masing aksesi ditanam dalam petak uji yang diulang sebanyak 3 kali.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan dan produktivitas 3 aksesi Artemisia annua sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat penanaman.
Semakin rendah tempat penanaman pertumbuhan dan produktivitas semakin menurun, dan tanaman lebih cepat masuk ke fase generatif. Dari data
pertumbuhan, V1 menunjukkan karekter pertumbuhan yang lebih baik dibanding V2 dan V5 demikian juga dengan produktivitas biomasa. Untuk kadar
artemisinin tertinggi di dataran menengah (800 m dpl) dan dataran rendah (200 m dpl), V5 memberikan rata-rata hasil lebih baik dibanding V1 dan V2.
ABSTRACT
The high incidence of malaria in Indonesia resulted in malaria drug dependence. Self-sufficiency in raw materials of artemisinin as antimalarial drug is
possible because the geographic climate of Indonesia is suitable for Artemisia annua grow. The problem is the production of artemisinin will efficiently
and economically if the content of artemisinin in Artemisia annua reached more than 0.6%. On the other hand,Artemisia annuais a short day plant that
is typical of the sub-tropical plants. Growing Artemisia annuain tropical areas cause a short vegetative period and resulted in low content of artemisinin.
Artemisia annua adaptation test have been conducted at the Center for Research and Development of Medicinal Plants and Traditional Medicine
Tawangmangu. The growth and optimum production of Artemisia annua was achieved at planting at an altitude of more than 1,700 m above sea level.
For large scale production, the availability of wide land in those altitute is limited, because the topography and usually located on the slopes of the
mountain areas.
In order to increase production and extension of grow areas, the selection of superior clones which adaptable in low areas is needed. Theadaptation
testof the 3 accessions of Artemisia annua was carried out at altitudes below 1,700 m above sea level. Research is a field experiment using a 3 accessions
of Artemisia annua (V1, V2 and V5) and three grew altitude (1,200 m above sea level, 800 above sea level and 200 asl), as the independent variable.
As dependent variables include growth parameters and productivity of plants. Each accession were planted in test plots were replicated 3 times.
The results showed that the growth and productivity of 3 accession of Artemisia annua is strongly influenced by the altitute of the planting areas. The
lower altitute decline growth and productivity, and plant entry into the generative phase faster than grow in higher altitute. From the growth data, V1
shows the growth character better than V2 and V5 as well as the productivity of biomass. Accession 5 (V5) give the highest levels of artemisinin in 800
m aslas well as in 200 m asl.
PENDAHULUAN
Malaria merupakan salah satu penyakit yang masih banyak menyerang penduduk di Indonesia dan mungkin akan
menjadi persoalan abadi bangsa Indonesia. Bebant erbesar dari penyakit malaria ini ada di provinsi-provinsi bagian timur
Indonesia di mana malaria merupakan penyakit endemis. Iklim di Indonesia sangat cocok bagi pertumbuhan dan
perkembangbiakan nyamuk penyebar parasit malaria. Angka kejadian malaria di Indonesia yang tinggi mengakibatkan
ketergantungan obat malaria ini juga sangat besar. Saat ini ditemukan kasus-kasus resistensi terhadap obat malaria standar
yaitu klorokuin disemua propinsi di Indonesia, resistensi terhadap sulfadoksin dan pirimetam ini terjadi di 11 propinsi,
sedangkan terhadap kina terjadi di 5 propinsi dan terhadap meflokuin terjadi di 4 propinsi (Anonim, 2004). Untuk
176
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
mengatasi resistensi tersebut WHO merekomendasikan pengobatan dengan artemisinin yang biasa dikombinasikan
dengan obat lain yang disebut ACT (Artemisinin combination based therapy).
Obat malaria Artemisinin Combination based Therapy (ACT) yang digunakan di Indonesia sampai saat ini masih
sepenuhnya di import dari Cina (Widiyastuti, 2008). Artemisinin merupakan senyawa aktif dari tanaman Artemisia annua
L. Senyawa tersebut merupakan kelompok sesquiterpene lakton dengan jembatan endoperoxide yang jarang ditemukan
di alam. Hasil uji invitro dan invivo menunjukan bahwa artemisinin mampu bereaksi cepat dan memiliki daya bunuh
tinggi terhadap Plasmodium falciparum baik yang peka maupun yang kebal terhadap klorokuin (Klayman, 1985).
Artemisia annua merupakan tanaman berhari pendek (short day plant), dengan masa kritis penyinaran 13,5 jam,
sehingga sangat responsive terhadap photoperiodisitas. Beberapa kultivar terbukti sangat terpengaruh oleh
fotoperiodisitas dan temperatur (Ferreira and Janick, 2009). Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional
telah mengintroduksi 2 tipe tanaman Artemisia annua L. yaitu roset dan tinggi, sejak tahun 1994. Untuk mencari varietas
Artemisia annua yang unggul, baik dalam produktivitas biomasa maupun kadar artemisinin, B2P2TO2T telah melakukan
seleksi terhadap 6 aksesi yang menghasilkan tiga kulit var unggul harapan (Widiyastuti, 2015).
Produksi artemisinin dari Artemisia annua sangat bervariasi tergantung dari varitas tanaman, dan pengalaman
produksi artemisinin secara komersial di beberapa daerah selama 4 tahun terakhir menunjukkan bahwa hasil artemisinin
sangat dipengaruhi oleh lokasi, tanah dan iklim daerah tumbuhnya. Mengingat masa produksi yang panjang (4-6 bulan)
maka penanaman Artemisia annua harus dilakukan di awal tahun sehingga panen dapat dilakukan di musim kering
(Ferreira, 2004, Ferreira, et al.,1996, 2005; WHO, 2006a; Ellman, 2009). Produksi artemisinin merupakan upaya yang
sangat besar tantangannya, karena Artemisia annua belum berkembanglayaknya jenis tanaman budidaya (crop) (Graham
et al., 2010).
Produksi artemisinin di dalam negeri sangat memungkinkan karena juga memiliki daerah yang memiliki iklim
geografi seperti di daerah sub tropis. Di samping itu berdasarkan data dari WHO, total kebutuhan artemisinin saat ini baru
dapat dipenuhi seperempatnya saja yaitu sekitar 32 juta dosis dari jumlah kebutuhan seluruhnya yaitu 130-220 juta dosis
(WHO, 2004). Untuk itu sangat diperlukan strategi pengembangan wilayah budidaya khususnya di Asia dan Afrika, serta
peningkatan efisiensi produksi artemisisnin dengan memaksimalkan produksi per satuan luas serta efisiensi prosesing
artemisinin (Ferreira, et al., 2005). Penanaman Artemisia annua di wilayah Tropis pada dataran rendah kurang dari 1.000
m dpl menyebabkan turunnya produksi daun sekaligus turunnya kadar artemisinin. Untuk itu dilakukan uji adaptasi 3
aksesi yang bisa toleran di dataran rendah kurang dari 1.000 m dpl, tetapi memberikan hasil produksi biomasa dan kadar
artemisinin tinggi.
177
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Cara Kerja:
a. Penanaman dan karakterisasi morfologi
Bibit artemisia diperoleh dengan cara menyemaikan benih 3 aksesi artemisia di bak pesemaian dengan media
campuran tanah dan kompos dengan perbandingan 1:1. Penyapihan dilakukan setelah bibit berdaun 4 lembar (umur 2
minggu) dalam plastik polibag dengan isi media campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Bibit siap
ditanam setelah mencapai tinggi 15-20 cm. Selanjutnya lahan penanaman diolah dengan cara dicangkul secara merata
dan dibersihkan dari gulma dan sisa perakarannya. Lahan diberi pupuk dasar berupa pupuk kandang dengan dosis 20
ton/Ha. Kemudian lahan dibagi dalam tiga blok dan masing masing blok dibagi ke dalam 6 petak percobaan. Ukuran
petak percobaan adalah 3x6 m, jarak antar petak 1 m dan jarak antar blok 2 m. Pemeliharaan tanaman meliputi kegiatan
penyiangan, penyiraman dan pendangiran dilakukan secara berkala sesuai kebutuhan. Pendataan pertumbuhan tanaman
meliputi tinggi tanaman dan jumlah tunas (cabang) dilakukan sejak tanaman berumur 2 minggu di lapangan sampai satu
minggu menjelang panen. Pendataan dilakukan pada sampel yang dipilih secara acak sebanyak 3 tanaman per petak. Data
produksi meliputi berat biomasa segar, biomasa kering, kadar artemisinin dan kadar minyak atsiri diperoleh setelah
tanaman dipanen. Panen dilakukan setelah tanaman memasuki fase vegetatif optimum yaitu pada saat tanaman belum
menghasilkan primodia bunga dengan ciri pucuk tanaman tampak sedikit menggulung. Pemanenan dengan cara
memotong sepertiga bagian tanaman di bagian atas kemudian memetik semua daun dan dikumpulkan pada tempat panen
lalu dilakukan penimbangan untuk memperoleh data produksi biomasa segar. Hasil panen kemudian dikering anginkan
sampai kadar air mencapai 10% dan segera ditimbang untuk memperoleh data produksi biomasa kering. Hasil panen
selanjutnya digunakan untuk bahan analisis artemisinin maupun kadar minyak atsiri. Pada fase vegetatif optimum dimana
tanaman hampir memasuki fase pembungaan tersebut dilakukan karakterisasi morfologi dengan cara melakukan
pengamatan dan pengukuran terhadap bagian-bagian tanaman Artemisia annua.
b. Analisis Kadar Artemisinin
Herba Artemisia annua hasil panen dikeringkan dengan oven pada suhu 40 C hingga kadar air < 10%, diserbuk
dengan blender, dan disaring dengan ayakan No. 40. Timbang seksama 100,0 mg serbuk, masukan dalam botol bertutup,
tambahkan 10,0 ml hexan dengan pipet gondokEkstraksi dengan Ultrasonic cleaner (suhu 400C dan waktu 15
menit)Keluarkan dari ultrasonic cleaner, diamkan hingga suhu ruang dan mengendap (+ 30 menit). Ambil 1,2 ml ekstrak
cair, masukan dalam tabung sentrifuge. Sentrifuge 10.000 rpm selama 5 menit, ambil supernatan untuk ditotolkan.
Pembuatanlarutanbaku dengan cara menimbang seksama 1,0 mg standard artemisinin, larutakan dengan 10,0 ml hexan
(larutan induk 0,1 ug/ul). Penotolan sampel dengan fase diam Silika GF254 10 x 20 cm, standar ditotolkan dengan volume
0,5; 1,0; 1,5; 2,0 dan 2,5 ul (0,05; 0,10; 0,15; 0,20 dan 0,25 ug/spot). Sampel ditotolkan dengan volume 3 ul. Eluasi
dengan cara mencampur 35 ml Hexan dengan 15 ml Etil asetat (70:30), masukan dalam bejana Kromatografi, tambahkan
Kertas saring untuk penjenuhan. Tunggu hingga jenuh (ditandai dengan basahnya seluruh kertas saring). Masukan Plat
TLC, tunggu hingga fase gerak merambat hingga jarak 8 cm dari titik awal penotolan. Keluarkan dari bejana TLC , angin
anginkan hingga semua fase gerak menguap dari plate TLC. Untuk deteksisemprot dengan reagen anisaldehid(Asam
asetat : Asam sulfat : 4-metoksi bensaldehid = 50 : 1 : 0,5). Panaskan pada suhu 1050C selama 15 menit. Baca dengan
TLC Scanner 3 pada max 540 nm. Artemisinin nampak pada Rf 0,43 dengan warna merah hingga merah ke-unguan. Buat
Persamaan Kurva baku (kadar artemisinin vs luas area spot). Plotkan hasil pembacaan sampel pada persamaan kurva baku
hingga didapat kadar artemisinin dalam ekstrak cair (Y), hitung Kadar Artemisinin dalam sampel dengan rumus:
178
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Y x 1000 x 100 %
Kadar =
3 x Berat Sampel (mg)
c. Analisis kadar minyak atsiri
Bahan dirajang sehingga dapat melalui ayakan No. 40 (325 mesh), hindari gilingan yang menyebabkan bahan menjadi
panas. Bila penetapan kadar tidak dikerjakan pada hari yang sama sisa bahan harus disimpan dalam lemari es. Persipakan
destilator apparatus yang telah dicuci dengan petroleum eter dan telah dikeringkan.
Timbang secara tepat 20 gram sampel dan masukkan ke dalam labu bulat secara kuantitatif. Tambahkan 500 ml aquades.
Ke dalam “Trap” tambahkan dengan pipet sedikit air. Panaskan labu dengan kecepatan destilasi 30 tetes per menit selama
6 - 7 jam. Sesudah mendidih, bila tidak terlihat lagi penambahan volume minyak maka penyulingan dihentikan. Dinginkan
labu pada suhu kamar sampai lapisan minyak terlihat dengan jelas kemudian dibaca volume minyak sampai ketelitian
0,01 ml.
Perhitungan Kadar
Volume minyak yang dibaca (mL)
Kadar minyak atsiri = x 100%
% (volume/bobot) Berat sampel (gr)
179
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
terlihat pada ketinggian 1.200 m dpl, pertumbuhan tiga varitas tanaman Artemisia annua cenderung meningkat dan
mencapai tinggi optimal rata-rata di atas 200 cm. Disebutkan bahwa pertumbuhan selain sangat dipengaruhi oleh faktor
genetis, juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Chen et al., 2015).
Tabel 1. Hasil karakterisasi morfologi 3 aksesi Artemisia annua
No. Gambar Aksesi Pembeda morfologi
1. V1 Habitus tegak, tinggi mencapai 3,5 m.
Batang bulat, berkayu, permukaan
beralur, muda hijau atau hijau keunguan,
tua coklat. Daun berbagi rata, tumbuh
rapat, warna hijau sampai hijau tua,
panjang 8-18 cm, lebar 3-12 cm. V1
adalah tetua.
2. V2 Habitus tegak, tinggi mencapai 2,5 m.
Batang bulat, berkayu, permukaan
beralur, hijau. Daun kompak, duduk
rapat, panjang 3-12 cm, lebar 1-6 cm,
berwarna hijau kekuningan.
Tabel 2. Pertumbuhan tinggi tanaman Artemisia annua pada 3 ketinggian tempat tumbuh
Lokasi Penanaman
Aksesi Kalisoro (1.200 m dpl) Doplang (600 m dpl) Kranyar (200 m dpl)
* ** * **
TT JC TT JC TT* JC**
V1 246,1a 33,99ab 206,8b 29,44ab 200a 28,44ab
ab a ab a a
V2 216,3 38,22 220,3 33,88 182,5 31,77a
V5 199b 26,44c 193b 23,54b 186a 15,88c
Ket: perlakuan dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji
LSD taraf 5%. TT* : Tinggi Tanaman; JC**: Jumlah Cabang
300
Tinggi tanaman (cm)
250
200
150 V1
100 V2
50 V5
0
1.200 m dpl 600 m dpl 200 m dpl
Ketinggian tempat penanaman
180
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Pertumbuhan selain ditunjukkan dengan pertambahan tinggi tanaman, juga diukur dari pertumbuhan jumlah cabang.
Meskipun dari ketiga aksesi menghasilkan jumlah cabang yang hampir sama di setiap ketinggian, namun jumlah cabang
terbanyak dari semua aksesi dihasilkan di ketinggian 1.200 m dpl. Aksesi 5 (V5) memiliki jumlah cabang paling sedikit
dibandingkan dengan aksesi 1 dan 2, dan rata-rata jumlah cabang terbanyak dihasilkan oleh aksesi 2 (V2). Aksesi 2 secara
keragaan morfologi memiliki pertumbuhan habitus paling rimbun dengan daun yang kompak, hal ini disebabkan antara
lain oleh karena mampu menghasilkan percabangan yang lebih banyak.
Kesemua aksesi yang diuji mengalami penurunan jumlah cabang seriring dengan penurunan ketinggian tempat
penanaman. Jumlah cabang terbanyak dihasilkan oleh aksesi yang ditanam di kebun Kalisoro pada ketinggian 1.200 m
dpl, dan secara bertahap menurun dengan penurunan elevasi tempat tumbuh. Hal tersebut disebabkan tanaman A. annua
yang tumbuh di ketinggian 1.200 mengalami vase vegetatif lebih lama dibandingkan di daerah dengan elevasi yang lebih
rendah. Di daerah tropis, ketinggian 1.200 m dpl memiliki lingkungan seperti di daerah sub tropis meliputi panjang hari
yang lebih panjang dan suhu udara yang rendah. Fotoperiodisitas dan suhu rendah membuat tanaman A. annua lambat
masuk ke fase generatif dan pertumbuhan vegetatif lebih panjang. Dengan panjangnya vase vegetatif tanaman, maka
pertumbuhan tanaman lebih tinggi dan secara nyata pembentukan cabang lebih banyak.
C. Produktivitas Tanaman
C.1. Produksi Biomasa
Produksi tanaman merupakan resultante dari proses pertumbuhan tanaman. Produktivitas tanaman Artemisia annua
diukur berdasarkan jumlah keseluruhan bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan baku. Pengukuran produktivitas
tanaman A. annua dilakukan pada jumlah keseluruhan daun dari sepertiga bagian tanaman A. annua. Feireira and Janick
(1995) menyatakan bahwa bagian tanaman A. annua yang memiliki kandungan artemisinin tertinggi adalah sepertiga
bagian atas tanaman. Tanaman ini dipanen sesaat sebelum masuk ke fase pembungaan, yaitu ketika sebagian tanaman
(25%) dalam populasi telah membentuk primordia bunga. Produksi biomasa A. annua diukur pada saat segar yaitu sesaat
setelah panen (biomasa segar) dan ketika daun telah dikering anginkan sampai kadar air mencaai 10% (biomasa kering).
Rata-rata produksi biomasa segar dan kering dari tiga aksesi Artemisia annua dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Produksi biomasa segar dan kering tanaman A. annua pada 3 ketinggian tempat tumbuh
Lokasi Penanaman
Aksesi Kalisoro (1.200 m dpl) Doplang (600 m dpl) Kranyar (200 m dpl)
* ** * **
BS BK BS BK BS* BK**
V1 487,71a 175.66a 129,99ab 40,89a 73,55a 27,77a
a b a a a
V2 464,55 156,33 150,88 45,56 79,10 28,67a
V5 334,11b 100,55c 117,00b 36,78b 62,77b 17,55b
Ket: perlakuan dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji
LSD taraf 5%. *) BS: Biomasa segar; **) BK: Biomasa kering
Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa produksi biomasa segar A. annua terbaik diperoleh dari aksesi 1 (V1) yang
ditanam di ketinggian 1.200 m dpl. Semua aksesi mengalami penurunan berat biomasa yang sangat tajam pada penanaman
di elevasi yang semakin rendah. V2 menghasilkan produksi rata-ratalebih tinggi dibandingkan dengan V1 dan V5 pada
elevasi penanaman semakin rendah. Hasil produksi tertinggi (487,71 gr/tanaman) diperoleh dari aksesi 1 (V1) yang
ditanam di Kalisoro pada ketinggian 1.200 m dpl. Namun demikian hasil ini tidak berbeda nyata dengan aksesi 2 (V2),
kemungkinan lebih disebabkan oleh pengaruh faktor lingkungan. Tren produksi biomasa segar dari 3 aksesi A. annua
yang ditanam di tiga lokasi penanaman dapat dilihat pada Gambar berikut.
181
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Sebagai evaluasi awal maka V1 dan V2 baik dari sisi pertumbuhan dan hasil biomasa segar memiliki kestabilan
dengan penurunan elevasi penanaman. Hasil biomasa merupakan akumulasi dari proses pertumbuhan tanaman.
Pertumbuhan tanaman yang optimal akan memberikan hasil produksi yang optimal juga, namun demikian biomasa segar
sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan bukan hanya akumulasi hasil fotosintesa saja. Bahan dengan kandungan
air lebih tinggi cenderung memiliki bobot lebih besar, sehingga kadar air tanah dan kelembaban udara akan mempengaruhi
bobot basah tanaman.
200
Berat biomasa kering (g)
150
100 V1
V2
50
V5
0
1.200 m dpl 600 m dpl 200 m dpl
Ketinggian tempat penanaman
Gambar 2. Hasil produksi biomasa kering (simplisia) Artemisia annua di tiga ketinggian tempat penanaman
Dari Tabel 4 terlihat bahwa penurunan ketinggian tempat penanaman menyebabkan penurunan kandungan
artemisinin maupun kadar minyak atsiri dari tiga aksesi A. annua yang diuji. Kadar artemisinin sangat kuat dipengaruhi
oleh faktor lingkungan dari pada genetik tanaman, terbukti aksesi yang ditanam di dataran tinggi akan mengalami
penurunan kadar ketika diadaptasikan di dataran rendah. Klayman (1989) melaporkan bahwa kondisi iklim tropis yang
lembab tidak cocok untuk budidaya A. annua karena kondisi hari yang panjang sangat dibutuhkan oleh tanaman untuk
mencapai kematangan fisiologis dalam memasuki fase pembungaan, dimana A. annua diklasifikasikan sebagai tanaman
hari pendek. Variasi lingkungan, seperti intensitas sinar matahari, temperatur dan ketersediaan unsur hara dan air,
dinyatakan juga sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kandungan kimia tanaman (Weathers et al. 1994).Seperti
182
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
terlihat pada Gambar 3 berikut, semakin rendah tempat penanaman yang berarti juga semakin tinggi temperatur udara
dan semakin rendah intensitas cahaya matahari menyebabkan penurunan kandungan artemisinin.
Fluktuasi hasil kadar artemisinin A.annua yang ditanam pada ketinggian tempat yang berbeda nampaknya
tergantung dari jenis aksesinya. Namun demikian terdapat kecenderungan penurunan kadar seiring dengan menurunnya
elevasi tempat tumbuh. Sesuai dengan sifat fisiologi tanaman A. annua sebagai tanaman hari pendek, dengan menurunnya
ketinggian tempat penanaman akan menyebabkan tanaman lebih cepat berbunga sehingga secara signifikan akan
menurunkan produksi artemisinin. Keberhasilan penanaman A. annua di daerah tropis seperti Afrika yang mampu
menghasilkan artemisinin dalam kadar tinggi adalah karena pemilihan klon yang unggul dan toleran terhadap suhu tinggi
dan kelembaban (Ferreira et al., 2005).
0.7
Kadar artemisinin (%)
0.6
0.5
0.4
V1
0.3
V2
0.2
V5
0.1
0
1.200 m dpl 600 m dpl 200 m dpl
Ketinggian tempat penanaman
Gambar 3. Kadar artemisinin tiga aksesi tanaman A. annua di tiga ketinggian tempat penanaman
KESIMPULAN
Produksi biomasa dan kadar artemisinin selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga sangat kuat dipengaruhi oleh
faktor lingkungan. Jenis aksesi tidak menghasilkan produksi dan kadar artemisinin yang stabil dan cenderung mengalami
penurunan yang sangat drastis dengan penurunan ketinggian tempat penanaman. Aksesi 2 (V2) menghasilkan performa
pertumbuhan dan produksi yang lebih baik dibandingkan V1 dan V5 di ketinggian lebih rendah, namun tidak
menghasilkan kadar artemisinin lebih tinggi dibanding kedua aksesi lainnya. Produktivitas tanaman terbaik meliputi
interaksi produksi biomasa dan kadar artemisinin di semua ketinggian tempat penanaman dihasilkan oleh aksesi 1 (V1).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2004. Penggunaan artemisinin untuk atasi malaria di daerah yang resisten klorokuin. News Letter Kementerian Kesehatan Nomor 4, April
2004.
183
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Chen G., Wang S., Huang X., Hong J., Du L. , Zhang L.and Ye L. 2015. Environmental factors affecting growth and development of Banlangen (Radix
Isatidis) in China. African Journal of Plant Science.9(11): 421-426
Elhag H.M., El-Domiaty M. M., El-Feraly F. S., Mossa J. S. and El-Olemy M. M. 1992. Selection and micropropagation of high artemisinin producing
clones of Artemesiaannua L. PhytotheraphyResearch 6(1): 20–24.
Ellman, A., 2009. Breakout Session 1: Technical Issues and Developments: Artemisia Leaf Production and Field Analysis, WHO/MMV Artemisin
Conference, Mumbai, India, Sept. 30 from [www.mmv.org/newsroom/events/pastevents/past-artemisin-events] Februari, 2017.
Ferreira, J.F.S., 2004. Artemisia annua and Artemisinin: Cultivation, Extraction, Analysis, and Available Drugs, Appalachian Farming Systems
Research Center, Agricultural Research Service, U.S. Department of Agriculture, Beaver, W.V.
Ferreira, J. F., and Janick, J. 1995. Floral morphology of Artemisia annua with special reference to trichomes. International Journal of Plant Sciences,
156:807-815.
Ferreira J.J., J. Laughlin, N. Delabays, and P. Magalhaes. 2005. Cultivation and Genetics of Artemisia annua L. for the Increased Production of the
Antimalarial Artemisinin. Plants Genetic Resources, 3(2): 206-229.
Graham, I.A., Besser, K., Blumer, S., Branigan, C.A., Czechowski, T., Elias L., Guterman, I., et al, 2010.The Genetic Map of Artemisia annua L.
Identifies Loci Affecting Yield of the antimalarial Drug Artemisinin, Science, 327, 328-331.
Gusmaini &Nurhayati H. 2007. Potensi pengembangan budidaya Artemisia annua L. di Indonesia. Perspektif, 6(2): 57-67.
Klayman D.L. 1985. Qinghaosu (artemisinin): an antimalarial drug from China. Science.228: 1049-1055
Weathers P.J., Cheetham R.D., Follansbee E. and Theoharides K. 1994. Artemisinin production by transformed roots of Artemisia annua.Biotechnology
Letters16(12): 1281–1286.
Widiyastuti Y. 2006. Grand Proposal Artemisinin. Balai Penelitian Tanaman Obat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI.
Widyastuti U., Juliarni, Widyastuti Y. 2009. Penentuan kriteria daun layak petik berdasarkan kematangan fisiologi trikoma kelenjar dan produksi
artemisinin pada Artemisia annua L. [laporan hasil penelitian DIPA IPB 2009]. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.
Widiyastuti, 2015. Pengembangan varietas artemisia annua toleran dataran rendah untuk peningkatan produksi artemisinin, mendukung program
kemandirian bahan baku obat malaria. Laporan Penelitian. Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.
World Health Organization. 2004. More than 600 million people need effective malaria treatment to prevent unacceptably high death rates. http://www.
who.int/ Press release. html.[12 Agu 2010].
184
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Hiperurisemia adalah kondisi medis yang ditandai kadar asam urat darah melebihi normal, yaitu di atas 7 mg/dl pada pria dan di atas 6 mg/dl pada
wanita. Hiperurisemia merupakan gangguan metabolisme sehingga diperlukan pengobatan jangka panjang. Sering ditemukan komplikasi hiperurisemia
yaitu : artritis gout, batu asam urat, dan nefropati urat. Masyarakat telah banyak menggunakan formula jamu untuk mengobati hiperurisemia. Formula
jamu tersebut harus terbukti aman dan berkhasiat. Telah dilakukan penelitian efek seduhan formula jamu penurun asam urat darah terhadap fungsi hati.
Penelitian dilakukan dengan rancangan penelitian pre-post test design. Penelitian melibatkan 30 subjek yang telah memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Subjek mengikuti perlakuan minum seduhan formula jamu penurun asam urat darah selama 28 hari. Dilakukan pemeriksaan fungsi hati (SGOT
dan SGPT) pada H0 dan H28. Protokol penelitian telah mendapat persetujuan etik penelitian dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Badan Litbang
Kesehatan Jakarta.
Hasil pemeriksaan SGOT dan SGPT pada H0 dan H28 masih dalam batas normal. Hasil analisis uji t berpasangan didapatkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang bermakna (p>0,05) kadar SGOT dan SGPT pada H0 dibandingkan H28. Jadi penggunaan seduhan formula jamu penurun asam urat
darah selama 28 hari tidak mengganggu fungsi hati.
PENDAHULUAN
Hiperurisemia didefinisikan sebagai kadar asam urat serum lebih dari 7 mg/dL pada laki-laki dan lebih dari 6
mg/dL pada wanita. Hiperurisemia yang lama dapat merusak sendi, jaringan lunak dan ginjal. Hiperurisemia bisa juga
tidak menampakkan gejala klinis (asimptomatis). Dua pertiga dari hiperurisemia tidak menampakkan gejala klinis.
Hiperurisemia terjadi akibat peningkatan produksi asam urat atau penurunan ekskresi atau sering merupakan kombinasi
keduanya. Hiperurisemia akibat peningkatan produksi hanya sebagian kecil dari pasien dengan hiperurisemia itupun
biasanya disebabkan oleh diet tinggi purin (eksogen) ataupun proses endogen (pemecahan asam nukleat yang berlebihan)
(Signh V. et al., 2010).
Asam urat merupakan produk akhir metabolisme purin yang terdiri dari komponen karbon, nitrogen, oksigen dan
hidrogen dengan rumus molekul C5H4N4O3. Pada pH alkali kuat, asam urat membentuk ion urat dua kali lebih banyak
daripada pH asam (Spieker EL. et al., 2002).
Purin yang berasal dari katabolisme asam nukleat dalam diet diubah menjadi asam urat secara lansung. Pemecahan
nukleotida purin terjadi di semua sel, tetapi asam urat hanya dihasilkan oleh jaringan yang mengandung xhantine oxidase
terutama di hepar dan usus kecil. Rerata sintesis asam urat endogen setiap harinya adalah 300-600 mg per hari, dari
diet 600 mg per hari lalu dieksresikan ke urin rerata 600 mg per hari dan ke usus sekitar 200 mg per hari (Signh V. et
al., 2010).
185
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Dua pertiga total urat tubuh berasal dari pemecahan purin endogen, hanya sepertiga yang berasal dari diet yang
mengandung purin. Pada pH netral urat dalam bentuk ion asam urat (kebanyakan dalam bentuk monosodium urat),
banyak terdapat di dalam darah. Konsentrasi normal kurang dari 420 µmol/L (7,0 md/dL). Kadar urat tergantung jenis
kelamin, umur, berat badan, tekanan darah, fungsi ginjal, status peminum alkohol dan kebiasaan memakan makanan yang
mengandung diet purin yang tinggi. Kadar asam urat mulai meninggi selama pubertas pada laki-laki tetapi wanita tetap
rendah sampai menopause akibat efek urikosurik estrogen. Dalam tubuh manusia terdapat enzim asam urat oksidase atau
urikase yang akan mengoksidasi asam urat menjadi alantoin. Defisiensi urikase pada manusia akan mengakibatkan
tingginya kadar asam urat dalam serum. Urat dikeluarkan di ginjal (70%) dan traktus gastrointestinal (30%). Kadar asam
urat di darah tergantung pada keseimbangan produksi dan ekskresinya (Spieker EL. et al., 2002).
Di era industri maju sekarang ini, perhatian manusia akan kesehatan semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan
dengan sikap yang semakin selektif terhadap apa yang dikonsumsi, memilih komoditas yang memiliki nilai kesehatan
tinggi, serta lebih memilih untuk kembali ke alam (back to nature) (Handajani dkk, 2006). Gerakan memanfaatkan obat
alam ini timbul karena banyak dijumpainya efek samping yang tidak dikehendaki akibat penggunaan obat kimia murni
(Hardono, 1997).
Penyakit hiperurisemia membutuhkan terapi jangka panjang dan cenderung memerlukan pengobatan seumur
hidup. Kondisi ini sering menyebabkan penderita bosan dengan pengobatan konvensional dan memilih pengobatan
alternatif termasuk obat tradisional/jamu. Dalam pemanfaatan jamu sebaiknya berhati hati, formula jamu harus tidak
toksik terhadap hati (tidak hepatotoksik) (Soenarta dan Arieska, 2005)
Hati merupakan pusat metabolisme tubuh dengan kapasitas cadangan yang besar, karena itu kerusakan sel hati
secara klinis baru dapat diketahui jika sudah lanjut. Kerusakan pada sel hati yang sedang berlangsung dapat diketahui
dengan mengukur parameter fungsi berupa zat dalam peredaran darah yang dibentuk oleh sel hati yang rusak atau
mengalami nekrosis. Seringkali pemeriksaan enzim menjadi satu-satunya petunjuk adanya penyakit hati yang dini atau
setempat. Gangguan hati ditandai dengan peningkatan aktivitas serum transaminase berupa SGPT (Serum Glutamic
Piruvic Transaminase) dan SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase), laktat dehidrogenase, serta bilirubin
serum. Kadar SGPT dalam serum menjadi petunjuk yang lebih sensitif ke arah kerusakan hati karena sangat sedikit
kondisi selain hati yang berpengaruh pada kadar SGPT dalam serum (Widmann, 1995).
Oleh sebab itu penelitian ilmiah yang berkaitan dengan efek toksik dari pemakaian tanaman obat yang akan
digunakan untuk obat tradisional sangat penting dilakukan agar berguna bagi masyarakat. Untuk mengetahui keamanan
formula jamu, telah dilakukan penelitian pengaruh seduhan formula jamu penurun asam urat darah terhadap fungsi hati
(SGOT dan SGPT).
186
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
pengeringan, penyerbukan dan pengemasan. Selanjutkan dilakukan pengeringan di dalam oven suhu 50 0C selama 7 jam
kemudian dilakukan pemeriksaan kontrol kualitas. Pembuatan bahan dan kontrol kualitas dilakukan oleh tim Quality
Control Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional.
Sediaan seduhan formula penurun asam urat darah satu dosis sekali minum terdiri dari serbuk : daun tempuyung
2 gr, kayu secang 5 gr, daun kepel 3 gr, rimpang temulawak 3 gr, rimpang kunyit 3 gr dan herba meniran 3 gr.
Uji klinik dilakukan dengan rancangan penelitian pre-post test desain. Penelitian melibatkan 30 subjek penelitian
yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah : subjek dengan hiperurisemia (asam urat : laki
laki : 7 – 10 mg/dL, perempuan : 6 – 10 mg/dL), Usia 25-55 tahun, laki-laki atau perempuan, bersedia mengikuti
penelitian/jadwal follow up dengan menandatangani informed consent. Kriteria eksklusi adalah : perempuan hamil atau
menyusui, subjek mengkonsumsi obat yang mempengaruhi asam urat darah, subjek dengan komplikasi penyakit berat
(misalnya gagal ginjal kronik, kanker stadium lanjut).
Subjek penelitian yang telah menandatangani informed consent pada H0 (sebelum perlakuan) dilakukan anamnesis
identitas subjek, riwayat penyakit, gejala klinis, pemeriksaan fisik diagnostik, pemeriksaan laboratorium fungsi hati.
Subjek penelitian diberikan bahan uji penelitian dalam jumlah untuk penggunaan selama tujuh hari, kemudian periksa
ulang seminggu sekali sampai empat minggu, setiap periksa ulang diberikan bahan uji untuk penggunaan selama satu
minggu.
Kunjungan pertama diberikan sediaan seduhan, untuk penggunaan seminggu, diminum selama 1 minggu,
dilanjutkan kontrol dan diberikan sediaan seduhan untuk penggunaan seminggu untuk diminum satu minggu (minggu
kedua), dilanjutkan kontrol dan diberikan sediaan seduhan untuk penggunaan seminggu untuk diminum satu minggu
(minggu ketiga) dan dilanjutkan periksa ulang seterusnya tiap minggu sampai minggu keempat (periksa ulang seminggu
sekali).
Mulai hari pertama subyek penelitian diberi sediaan seduhan serbuk formula penurun asam urat darah yang telah
dikemas dan disertai aturan minum jamu (satu kemasan diseduh dengan satu gelas (200 cc) air mendidih diseduh sehingga
larut, ditunggu hingga sebagian serbuk mengendap, dan air seduhan menjadi hangat. Air seduhan diminum hingga habis
dan tinggal endapan serbuk formula jamu. Minum seduhan serbuk formula jamu sehari tiga kali (pagi, siang dan sore).
Seduhan formula jamu penurun asam urat darah diminum secara terus menerus selama 28 hari sebagai terapi
alternatif (diberikan terapi alternatif oleh karena pasien/subyek penelitian datang ke klinik saintifikasi jamu sejak awal
menginginkan pengobatan dengan herbal dibuktikan dengan adanya Reques Consent. Penelitian ini telah mendapat
persetujuan etik penelitian kesehatan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan, Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan
RI di Jakarta.
187
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Karakteristik subjek paling banyak (66%) umur 46 – 55 tahun, hal ini sesuai dengan prevalensi hiperurisemia
meningkat di atas usia 30 tahun pada pria dan di atas usia 50 tahun pada wanita. Hal ini disebabkan oleh karena terjadi
proses degeneratif yang menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Penurunan fungsi ginjal akan menghambat eksresi dari
asam urat dan akhirnya menyebabkan hiperurisemia (Liu et al, 2011). Wanita memiliki hormon estrogen yang membantu
dalam eksresi asam urat. Pada wanita menopause terjadi penurunan hormone estrogen, sehingga wanita pada post-
menopause memiliki resiko hiperurisemia (Mc Adam-De Maro et al, 2013).
Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada subjek penelitian selama perlakuan dan sesudah perlakuan tidak
ditemukan efek samping yang bermakna. Rerata nilai SGOT dan SGPT sebelum dan setelah perlakuan ditampilkan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Rerata nilai SGOT dan SGPT sebelum dan setelah perlakuan.
Rerata nilai SGOT dan SGPT
Parameter
H0 H28
SGOT (Normal 3 - 45 IU/L) 21,80 25,43
SGPT (Normal 2 - 35 IU/L) 23,10 22,96
Rerata hasil pemeriksaan SGOT dan SGPT sebelum dan sesudah perlakuan masih dalam batas normal (Nilai
normal SGOT 3 - 45 IU/L dan SGPT 2 - 35 IU/L).
Untuk mengetahui pengaruh pemberian formula jamu penurun asam urat darah terhadap fungsi hati, dilakukan
analisis perbedaan kadar SGOT dan SGPT sebelum dan setelah perlakuan dengan uji t berpasangan. Hasil analisis tersebut
ditampilkan pada tabel 3.
188
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Tabel 3. Analisis Perbedaan Kadar SGOT dan SGPT sebelum (H0) dan sesudah perlakuan (H28)
Sebelum perlakuan (H0) Sesudah perlakuan (H28)
Fungsi hati t p
mean SD mean SD
Tabel 3 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05) kadar SGOT (t = -1,098, p = 0,281)
dan SGPT (t = 0,091, p = 0,928) sebelum dan sesudah pemberian sediaan seduhan formula jamu penurun asam urat darah.
Enzim SGOT dan SGPT merupakan serum transaminase yang peka pada kerusakan sel-sel hati. Peningkatan 2x
atau lebih dari harga normal enzim SGOT dan SGPT merupakan tanda pasti adanya gangguan sel hati. Kenaikan enzim-
enzim tersebut bisa disebabkan kerusakan sel-sel hati oleh formula jamu atau obat-obatan yang toksik terhadap sel sel
hati (hepatotoksik). Rerata hasil pemeriksaan SGOT dan SGPT sebelum perlakuan dan setelah perlakuan hari ke-28 masih
dalam batas normal. Hasil analisis didapatkan nilai SGOT dan SGPT sebelum dan sesudah minum seduhan formula jamu
tidak berbeda bermakna, berarti penggunaan seduhan formula jamu penurun asam urat darah selama 28 hari tidak
mengganggu fungsi hati (Mc.Gilvery, R.W.and Golstein, G.W., 1996).
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian uji praklinik sebelumnya oleh M.Wien Winarno dkk yang
menyatakan bahwa uji toksisitas akut formula penurun asam urat darah sampai dengan pemberian dosis 10944 mg/200 g
bb. tidak menimbulkan kematian dan didapatkan harga LD50 > 54720 mg/kg bb. Formula jamu penurun asam urat darah
digolongkan dalam Practically non toxic (PNT). Formula penurun asam urat darah dosis 3078 mg/200 g bb. yang diberikan
terus-menerus selama 90 hari, tidak menyebabkan kelainan fungsi hati (M.Wien Wi narno dkk, 2015)
KESIMPULAN
Penggunaan seduhan formula jamu penurun asam urat darah selama 28 hari secara klinis tidak ditemukan efek
samping yang bermakna dan tidak mengganggu fungsi hati.
.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami menyadari bahwa keberhasilan penelitian ini karena bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Peneliti
mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada Kepala Badan Litbangkes RI, Tim Komnas Saintifikasi Jamu, dan
Kepala Balai Besar Tanaman Obat dan Obat Tradisional beserta jajarannya, yang telah memberikan kesempatan dan
melancarkan jalannya kegiatan penelitian sampai dengan selesai. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada subjek
penelitian, yang sudah berperan secara penuh dalam penelitian. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat
sebagai dasar dalam pemanfaatan dan pengembangan jamu.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim .2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Guyton, A.C., J.E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi ke-9. Terjemahan oleh : Irawati Setiawan. Jakarta. EGC.
Handajani Sri, dkk., 2006. The Queen of Seeds: Potensi Agribisnis KomoditasWijen. Yogyakarta : Andi.
Hardono Joko. 1997. Obat tradisional dalam zaman teknologi. Majalah Kesehatan Masyarakat. 56 : 3-6.
189
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Horrison. 2001. Principles of Internal Medicine, 15th edition. New York, Mc Grow Hill.
Lamb E, Newman JD and Price PC. 2006. ‘Kidney Function Test’ in Tietz Textbook of Clinical Chemistry and Molecular Diagnostic, eds. Burtis C,
Ashwood RE and Bruns ED, fourth edition. Elseiver Saunders
Liu B, Wang T, Zhao HN, Yue WW, Yu HP, Liu CX.. 2011. The Prevalence of hyperuricemia in China: a Meta-Analysis. BMC Public Health.
2011;11:832
McAdams-DeMarco MA, Law A, Maynard JW, Coresh J, Baer AN. 2013. Risk Factors for Incident Hyperuricemia during Mid-Adulthood in African
American and White Men and Women Enrolled in the ARIC Cohort Study. BMC Musculoskelet Disorder. 14: 347
Menteri Kesehatan. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/MENKES/PER/I/ 2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitia Berbasis Pelayanan
Kesehatan. Jakarta.
Mc.Gilvery, R.W. and Golstein, G.W. 1996. Biokimia Suatu Pendekatan Fungsional, Edisi ketiga. Jakarta, Airlangga University Press.
Montgomery, R., Robert, L. D., Thomas W.C., and Arthur, A.S. 1993. Biokimia Berorientasi kasus, Alih Bahasa M.Ismadi. Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press.
Winarno, M., Lucie Widowati, and Dian Sundari. 2015. Studi Keamanan Ramuan Jamu untuk Hiperurisemia dan Hipertensi., Buletin Penelitian
Kesehatan 43.3 (2015): 137-146.
Soedibyo M. 1998. Alam Sumber Kesehatan: Manfaat dan Kegunaan. Jakarta, Balai Pustaka.
Soenarta dan Arieska. 2005. Konsensus pengobatan hiperurisemia. Jakarta, Perhimpunan Hiperurisemia Indonesia.
Spieker EL, Ruschitzka TF, Lűscher FT dan Noll G. 2002. The management of Hyperuricemia and Gout in Patient with Heart Failure. The European
Journal of Heart Failure. (2)
Vogel.H.G. 2002. Drug Discovery and Evaluation Pharmacilogical Assay, 2 rd Edition. Berlin Heidelberg Jerman, Springer Verlag .
Widmann F.K. 1995. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Edisi 9. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal :331.
190
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Telah dilaksanakan sebuah penelitian observasi, purposif dan deskriptif terhadap dokter praktik jamu secara komplementer-alternatif dengan
menggunakan jamu di Rumah Riset Jamu Hortus Medicus B2P2TOOT Tawangmangu selama 2 bulan penelitian. Didapatkan 60 pasien diabetes mellitus
(DM) yang yang masuk ke dalam kriteria inklusi penelitian, menerima terapi konvensional dan tradisional. Seluruh pasien berusia ≥20 tahun, dengan
persentase terbanyak pada usia 50-60 tahun. Ditemukan 40% pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi sebelumnya, dan 30% riwayat
hiperkolesterolemia. Sebanyak 50% pasien dengan riwayat DM pada keluarga. Terapi konvensional terbanyak yang digunakan dalam terapi pasien DM
yaitu golongan antidiabetik oral glibenklamid. Komponen jamu yang sering digunakan yaitu jamu DM berupa simplisia brotowali, salam, kayumanis,
dan sambiloto. Perubahan pasca terapi yang terjadi adalah perbaikan, berupa hilangnya gejala penyakit. Gejala klinis yang paling banyak menghilang
saat follow up yaitu gejala sistem neurologis (33%), sistem muskuloskeletal (31%), dan tak kalah pentingnya yaitu gejala umum (23%), karena 3 dari
4 gejala umum (tidak nafsu makan, letih, dan penurunan berat badan) merupakan gejala yang paling sering ditemui pada penderita DM. Meskipun
demikian perbaikan gejala klinis ini belum bisa dipastikan semata-mata karena efek terapi jamu saja, karena selain jamu digunakan pula terapi
konvensional lainnya.
PENDAHULUAN
Di antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak menular yang akan meningkat
di masa datang. Diabetes sudah merupakan suatu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad ke 21. Diabetes
adalah salah satu penyakit yang paling sering diderita dan penyakit kronik yang serius di Indonesia saat ini. Setengah dari
jumlah kasus Diabetes Mellitus (DM) tidak terdiagnosa karena pada umumnya diabetes tidak disertai gejala sampai
terjadinya komplikasi (Mihardja et.,al,2009).
Prevalensi penyakit diabetes meningkat karena terjadi perubahan gaya hidup, kenaikan jumlah kalori yang
dimakan, kurangnya aktifitas fisik dan meningkatnya jumlah populasi manusia usia lanjut Secara epidemiologi,
diperkirakan pada tahun 2030 prevalensi DM di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Shaw et al., 2010). Hasil Riset
kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di
daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Sedangkan daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu
5,8% (Balitbangkes, 2013)
Penggunaan obat konvensional untuk diabetes telah membelanjakan dana yang sangat besar oleh pasien.
Pemakaian secara jangka panjang juga telah menimbulkan laporan adanya penurunan fungsi hati dan fungsi ginjal.
Adanya kecenderungan kembali ke alam (back to nature) telah meningkatkan pemakaian herbal untuk tata laksana
191
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
diabetes. Indonesia sejak ribuan tahun yang lalu sudah memiliki pengobatan tradisional sendiri untuk diabetes meskipun
nenek moyang belum mengenal terminologi diabetes (Limananti & Triratnawati, 2006).
Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus dibagi menjadi dua yaitu jangka pendek, hilangnya keluhan dan tanda
diabetes melitus, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah. Jangka panjang,
tercegah dan terhambatnya progresifitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neyropati. Tujuan akhir
pengelolaan diabetes melitus adalah turunnya morbiditas dan mortalitas diabetes melitus (Ndraha, 2014). Untuk mencapai
tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid, melalu
pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan tingkah laku. Salah satu yang
bisa digunakan adalah penggunaan obat tradisional berupa herbal atau jamu (Sari, 2006).
Mekanisme kerja berbagai tanaman sebagai antidiabet adalah dengan aktivitas sebagai astringen yaitu dapat
mempresipitasikan protein selaput lendir usus dan membentuk suatu lapisan yang melindungi usus, sehingga menghambat
asupan glukosa sehingga laju peningkatan glukosa darah tidak terlalu tinggi. Beberapa tanaman yang termasuk dalam
kelompok ini adalah: alpukat (Persia americana Mill.), buncis (Phaseolus vulgaris), jagung (Zea may L.), jambu biji
(Psidium guajava L.), lamtoro atau kemlandingan (Lecauna glauca sensu Bth.), mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.),
salam (Eugenia polyantha Wight.) (Sukia et al., 2000)
Aktivitas yang lain adalah mempercepat keluarnya glukosa dari sirkulasi, dengan cara mempercepat peredaran
darah yang erat kaitannya dengan kerja jantung dan dengan cara mempercepat filtrasi dan ekskresi ginjal sehingga
produksi urin meningkat, laju ekskresi glukosa melalui ginjal meningkat sehingga kadar glukosa dalam darah menurun.
Beberapa tanaman yang termasuk dalam kelompok ini adalah bawang putih (Allium sativum L.), daun sendok (Plantago
mayor L.), duwet atau jamblang (Eugenia cumini L.), keji beling (Strobilanthus crispus L), kumis kucing (Orthosiphon
aristatus L.), labu parang (Cucurbita moschata L.) (Srividya et al., 1995).
Mekanisme yang selanjutnya adalah dengan mempercepat keluarnya glukosa melalui peningkatan metabolisme
atau memasukan ke dalam deposit lemak. Proses ini melibatkan pankreas untuk memproduksi insulin. Beberapa tanaman
yang termasuk kelompok ini adalah: lidah buaya (Aloe vera L.), brotowali (Tinospora crispa L.), pare (Momordica
charantia L.), sambiloto (Andrographis paniculata Nees) (Ponnusamy, 2010).
192
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
penyakit keluarga, tatalaksana, penilaian Quality of Life dan keluhan pasien akan adanya efek samping atau efek yang
tidak diinginkan.
Pelayanan kesehatan tradisional komplementer-alternatif merupakan pelayanan yang menggabungkan pelayanan
konvensional dengan kesehatan tradisional dan/atau hanya sebagai alternatif menggunakan pelayanan kesehatan
tradisional, terintegrasi dalam pelayanan kesehatan formal.
Tabel.1. KarakteristikPenderita DMpada Dokter Praktek Komplementer-Alternatif dengan Jamu di RRJ Hortus Medicus
Jumlah
Karakteristik Persentase (%)
(n=60)
Jenis Kelamin
Laki-laki 24 40
Perempuan 36 60
Usia
<30 tahun 2 3
31-40 4 7
41-50 15 25
51-60 36 60
>60 tahun 3 5
Untuk melihat kejadian DM dengan riwayat penyakit sebelumnya atau riwayat penyakit keluarga, dari 60 total
pasien, terdapat 46 pasien yang memiliki riwayat penyakit sebelumnya dan/atau riwayat penyakit keluarga. Dari 60
pasien didapatkan 27 pasien yang memiliki riwayat penyakit sebelumnya dan 30 pasien yang memiliki riwayat penyakit
keluarga. Dari sejumlah riwayat penyakit sebelumnya yang ditemukan ditelusuri lagi mengenai jenis penyakitnya,
diperoleh penyakit terbanyak yaitu hipertensi (40%), dan hiperkolesterolemia (30%). Gejala yang terkait dengan keluhan
DM adalah gejala umum berupa keluhan tidak nafsu makan, lemah/letih, sulit tidur dan penurunan berat badan. Dari
seluruh responden, sebesar40% pasien mengalami keluhan gejala umum. Gejala neurologi yaitu adanya keluhan
kesemutan dialami 75% pasien, sedangkan yang mengalami gejala muskuloskeletal sejumlah 80% pasien atau hampir
semua penderita datang dengan keluhan gejala muskuloskeletal, kebanyakan berupa pegel dan linu.
Tatalaksana pelayanan dengan jamu ada 2 jenis, yaitu yang hanya menggunakan jamu sebagai alternatif, serta
penggunaan jamu dan obat konvensional atau dengan tambahan cara pengobatan tradisional lainnya, yang disebut sebagai
cara komplementer. Jamu yang dipakai merupakan formula dari RRJ Hortus Medicus berupa ramuan simplisia yang
193
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
terdiri dari brotowali, sambiloto, kayu manis, dan daun salam. Penggunaan tanaman obat tersebut dapat dirasionalisasi
dengan banyaknya penelitian yang mendukung.
Sambiloto dapat merangsang sekresi insulin dan menghambat absorpsi glukosa melalui penghambatan enzim α-
glukosidase dan α-amilase. Sambiloto mengandung flavonoid apigenin, onisilin dan 3,4 dicaffeoylquinic yang
mempunyai aktivits antiaterosklerosis. Andrografolid dapat meningkatkan penyerapan glukosa pada oto sehingga
menurunkan kadar di dalam darah. Sambiloto adalah tanaman berefek hipoglikemik dan antioksidan. Ekstrak air dengan
dosis 10 mg/kg BB dapat menurunkan gula darah. Radikal bebas yang terjadi karena tingginya kadar molekul protein
pada pasien DM yang tidak terkontrol. Tingginya konsentrasi radikal bebas dapat menyebabkan kompilikasi pada
penyakit DM (Akbar, 2011).
Brotowali dapat meningkatkan sekresi insulin baik pada hewan uji yang sensitif insulin ataupun diabetes.
Kandungan borapetoside C meningkatkan. Efek hipoglikemik berhubungan dengan penyerapan glukosa pada jaringan
perifer dan penurunan glukoneogenesis di hati. Brotowali dapat menghambat terjadinya resistensi insulin dan
meningkatkan sensitivitas pada tikus diabetes (Noor &Ashcroft, 1998).
Salam mempunyai kandungan flavonoid kuersetin, tanin, dan saponin, yang dapat mengurangi kerusakan sel
endotel dengan cara menurunkan kadar kolesterol dan LDL melalui peningkatan asam empedu. Kandungan flavonoid
baik prunin, silymarin, isoquercetin, dan rutin dapat menurunkan kadar glukosa dalam darah pada tikus yang dibuat
diabetes (Widharnaet.al., 2015).
Kayu manis meningkatkan penyerapan glukosa seluler dengan mekanisme stimulasi protein intraseluler
terfosforilasi IRS-1. Kayu manis berfungsi dalam menjaga kadar HbA1c, tanpa menjadikan hipoglikemi. Selain itu
kandungan flavonoid dapat menurunkan kadar kolesterol, yang dapat menjadi terapi mengatasi komplikasi hiperlipidemia
pasien DM. Kulit batang kayu manis mengandung sinamaldehid, sedangkan minyak atsirinya mengandung eugenol, α-
pinena, linalool, dan bezaldehid (Bandara et al., 2012)
Obat modern atau konvensional yang banyak dipakai adalah Golongan obat yang digunakan oleh
penderitameliputi golongan sulfonilurea, golonganbiguanid, insulin, atau kombinasi dari ketiganya. Dari golongan
tersebut yang paling banyak digunakan adalah golongan sulfonilurea terutama glibenclamid.
194
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Perbedaan mendasar antara pengobatan konvensional dan kesehatan tradisional, adalah pada diagnosis. Pada
pengobatan kesehatan tradisional, terdapat diagnostik holistik, yang terdiri atas diagnosis etik, diagnosis emik dan
penilaian Quality of Life (QoL) (Vinik et al., 2005). Diagnosis emik yang banyak ditemui untuk penyakit DM yaitu kecing
manis (100%), sakit gula (90%), kesemutan (16%). Diagnosis etik yang ditemui dalam penyakit ini yaitu Diabetes Melitus
(100%). Pada setipa subyek diukur juga tentang kualitas hidupnya. Penilaian Quality of Life (QoL) untuk pasien dengan
DMdinilai empat aspek kehidupan yaitu aspek fisik (gejala fisik dan kemandirian), psikis (sedih/tertekan, dan cemas),
spiritual (tujuan hidup dan arti hidup), dan sosial (kebutuhan dan dukungan). Setiap poin dari aspek tersebut dinilai dengan
interval yang sudah ditetapkan dengan interpretasi akhir yang merupakan hasil penjumlahan semua aspek dalam bentuk
skor. Skor 8-16: buruk; 17-24: sedang; 25-32: baik.
Buruk 0 0
Sedang 40 20
Baik 60 80
Dari tabel di atas terlihat bahwa terjadi peningkatan Quality of Life dari penderita DM yang datang berobat ke
dokter praktek jamu. Dari angka 60% kualitas hidup kategori baik sebelum terapi meningkat menjadi 80%. Pada pasien
yang tercatat lengkap Quality of Life-nya tidak didapatkan satupun pasien dengan kualitas hidup buruk. Pada setiap
responden yang mengkonsumsi jamu dan obat konvensional tidak ditemukan efek samping maupun kejadian tidak
diinginkan yang serius.
KESIMPULAN
Perubahan yang terjadi adalah perubahan ke arah perbaikan, berupa hilangnya gejala penyakit. Gejala klinis yang
paling banyak hilang pada anamnesa gejala saat follow up yaitu pada sistem neurologis dan sistem musculoskeletal.
Takkalah pentingnya adalah perbaikan gejala umum, karena 3 dari 4 gejala umum (tidak nafsu makan, letih, dan
penurunan berat badan) merupakan gejala yang paling sering ditemui pada penderita rematoid artritis. Meskipun
demikian perbaikan gejala klinis ini belum bisa dipastikan semata-mata karena efek terapi jamu saja, karena selain jamu
digunakan pula terapi konvesional lainnya.
.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian dengan intervensi pemeriksaan darah saat kunjungan pertama dan kunjungan follow
up (gula darah),sehingga diharapkan dapat diperoleh catatan laboratorium sebelum dan sesudah terapi serta dapat dilihat
pengaruhnya terhadap perubahan kadar gula darah.
195
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, S. 2011. Andrographis paniculata: a review of pharmacological activities and clinical effects. Alternative Medicine Review. 16(1):66-77.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes). 2013. Riset Kesehatan Dasar tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Bandara, T., Uluwaduge, I. and Jansz, E.R., 2012. Bioactivity of cinnamon with special emphasis on diabetes mellitus: a review. International journal
of food sciences and nutrition. 63(3): 380-386.
Limananti, AI. Triratnawati, A. 2003. Ramuan jamu cekok sebagai penyembuhan kurang nafsu makan pada anak: suatu kajian etnomedisin. Makara
Kesehatan. 7(1):11-20.
Mihardja, L. Delima. Manz, HS. Ghani, L. Soegondo, S. 2009. Prevalence and determinants of diabetes mellitus and impaired glucose tolerance in
Indonesia (a part of basic health research/Riskesdas). Acta Medica Indonesiana. 41(4):169-174.
Ndara, S. 2014. Diabetes melitus tipe 2 dan tatalaksana terkini. Medicinus. 27(2):9-16.
Noor, H. and Ashcroft, S.J. 1998. Pharmacological characterisation of the antihyperglycaemic properties of Tinospora crispa extract. Journal of
ethnopharmacology. 62(1):7-13.
Ponnusamy, S., Ravindran, R., Zinjarde, S., Bhargava, S. and Ravi Kumar, A., 2010. Evaluation of traditional Indian antidiabetic medicinal plants for
human pancreatic amylase inhibitory effect in vitro. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine.
http://dx.doi.org/10.1155/2011/515647, diakses 1 April 2017.
Sari, LORK. 2006. Pemanfaatan obat tradisional dengan pertimbangan manfaat dan keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian. 3(1):1-7.
Shaw, J.E., Sicree, R.A. and Zimmet, P.Z. 2010. Global estimates of the prevalence of diabetes for 2010 and 2030. Diabetes research and clinical
practice. 87(1): 4-14.
Shukia, R., Sharma, S.B., Puri, D., Prabhu, K.M. and Murthy, P.S. 2000. Medicinal plants for treatment of diabetes mellitus. Indian Journal of Clinical
Biochemistry. 15(1): 169-177.
Srividya, N.A. and Periwal, S., 1995. Diuretic, hypotensive and hypoglycaemic effect of Phyllanthus amarus. Indian Journal of Experimental Biology.
33(11): 861-864.
Vinik, E.J., Hayes, R.P., Oglesby, A., Bastyr, E., Barlow, P., Ford-Molvik, S.L. & Vinik, A.I. 2005. The development and validation of the Norfolk
QOL-DN, a new measure of patients' perception of the effects of diabetes and diabetic neuropathy. Diabetes technology & therapeutics. 7(3):
497-508.
Widharna, R.M., Tamayanti, W.D., Hendriati, L., Hamid, I.S. and Widjajakusuma, E.C. 2015. Antidiabetic effect of the aqueous extract mixture of
Andrographis paniculata and Syzygium polyanthum Leaf. European Journal of Medicinal Plant. 6(2):82-91.
196
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Insomnia adalah kesulitan dalam memulai atau mempertahankan tidur yang bersifat sementara maupun persisten. Insomnia terjadi dengan atau tanpa
disertai penyakit lain, karena masalah psikis, lingkungan, perilaku atau efek samping obat-obatan. Penduduk Indonesia yang menggunakan obat
tradisional cenderung meningkat dibanding tahun sebelumnya dan menganggap jamu lebih aman dibandingkan dengan obat kimia, termasuk dalam hal
ini adalah penggunaan jamu untuk mengatasi masalah insomnia.Penelitian ini merupakan bagian dari program Saintifikasi Jamu yang diharapkan dapat
mendukung penggunaan jamu yang aman sebagai terapi insomnia. Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui gambaran pemberian jamu oleh apoteker
kepada pasien dengan keluhan insomnia. Metode yang digunakan adalah desain potong lintang dengan 29 sampel resep pasien yang berobat di Rumah
Riset Jamu “Hortus Medicus” Tawangmangu selama bulan November 2016. Jamu yang diresepkan untuk pasien yang mengalami insomnia yaitu pala
pada 27 resep (93,1%), pegagan 22 resep (75,8%), pulasari 24 resep (82,7%), sembung 21 resep (72,4%), kapulaga 14 resep (48,3%), alang-alang 17
resep (58,6%) dan salam 8 resep (27,6%). Tanaman obat yang diresepkan untuk keluhan insomnia adalah pala, pegagan, pulasari, dan sembung.
PENDAHULUAN
Hampir sepertiga waktu kehidupan manusia digunakan untuk tidur, namun bila kebutuhan tidur sulit terpenuhi dapat
terjadi keadaan yang dikenal dengan gangguan tidur atau insomnia. Gejala insomnia berbeda untuk setiap individu. Faktor
resiko insomnia lebih tinggi pada perempuan, usia lanjut, shift-workers dan adanya riwayat insomnia keluarga. Insomnia
adalah kesulitan dalam memulai atau mempertahankan tidur yang dapat bersifat sementara maupun persisten (Ghaddafi,
2013). Keluhan insomnia tidak dapat dianggap remeh dan dimaknai sebagai gangguan yang sederhana karena secara
umum tidak dapat hilang secara spontan. Selain itu, dampak terburuk insomnia adalah adalah adanya resiko bunuh diri
pada penderitanya (Galimi, 2010).
Berdasarkan hasil riset US Cencus Bureau, International Data Base tahun 2004, sebanyak 28 juta penduduk
Indonesia mengalami insomnia atau sekitar 11,7 % dan akan terus meningkat jumlahnya seiring dengan perubahan gaya
hidup masyarakat (Rimbawan & Ratep, 2016). Lebih jauh lagi, prevalensi insomnia pada usia lanjut berkisar antara 6%-
48% yang terjadi pada populasi secara umum. Adanya perbedaan besarnya prevalensi penderita insomnia, bergantung
terhadap definisi insomnia yang digunakan dalam sebuah penelitian (Astuti, 2013).
Insomnia biasanya diatasi dengan cara non farmakologis dan farmakologis. Cara non farmakologis dapat dilakukan
dengan membiasakan tidur pada waktunya dengan teratur, tidak mengkonsumsi kafein menjelang waktu tidur, dan
olahraga teratur. Sedangkan terapi farmakologis adalah mengkonsumsumsi obat yang memiliki efek mempercepat
permulaan tidur dan memperlama durasi tidur. Penggunaan obat dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan ketagihan
dan efek samping (Sholehah, 2013).Beberapa obat diresepkan untuk terapi insomnia merupakan golongan obat sedatif
197
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
dan hipnotika yaitu golongan benzodiazepim, barbiturat, dan kloral hidrat, meprobamat, dan paraldehida. Selain obat
kimia sintetik, masyarakat juga memilih menggunakan tanaman obat dalam mengatasi keluhan insomnia (Djalil etal.,
2017).
Masyarakat yang menggunakan obat tradisional cenderung meningkat dibanding tahun sebelumnya. Pemanfaatan
tanaman sebagai salah satu pengobatan alternatif maupun pengganti obat modern membutuhkan serangkaian pengujian
seperti uji khasiat, toksisitas, sampai uji klinik (Dewoto, 2007). Penelitian uji klinik keamanan mengenai ramuan jamu
untuk insomnia telah dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa ramuan tersebut aman terhadap fungsi hati (Astana &
Triyono, 2016).Selain hal itu, beberapa ramuan tanaman obat untuk mengurangi gangguan tidur telah mendapatkan ijin
dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan telah beredar di pasaran.
Secara umum jamu telah sejak dulu digunakan untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan, namun belum banyak
studi mengenai pemberian jamu yang bermanfaat mengurangi keluhan insomnia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran penggunaan jamu pada pasien dengan keluhan insomnia di Rumah RisetJamu(RRJ) “Hortus
Medicus”.Penelitian ini merupakan bagian dari program Saintifikasi Jamu, yang nantinya dapat memberikan jaminan
mengenai khasiat dan keamanan jamu.
.
BAHAN DAN METODE
Desain penelitian ini adalah potong lintang deskriptif dengan purposive sampling resep di griya jamu “Hortus
Medicus” Tawangmangu selama bulan November. Bahan penelitian ini adalah resep pasien dengan keluhan insomnia
yang tercatat di rekam medis selama bulan November 2016. Kriteria inklusi sampel adalah resep pasien baru dan lama
yang mengeluh insomnia dan tercatat pada rekam medis pasien, sedangkan kriteria eksklusi adalah resep pasien yang
datanya tidak lengkap. Data demografi pasien, penggunaan simplisa dan pemberian komposisi jamu dibuat berdasarkan
frekuensi dan disajikan dalam bentuk persentase (%) penggunaannya. Studi ini tidak menganalisis efektifitas penggunaan
jamu terhadap keluhan insomnia pasien. Data dianalisis menggunakan microsoft Excel 2010 dan disajikan secara
deskriptif.
198
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
30-40 5 17,2
41-50 11 37,9
51-60 9 31,0
>60 3 10,3
Tabel 2 menunjukkan beberapa tanaman obat denganbentuk simplisia, yang digunakan sebagai ramuan jamu
untuk insomnia di RRJ Hortus Medicus Tawangmangu. Pala merupakan simplisia yang terbanyak pada resep pasien
dengan keluhan insomnia (93,1%). Data menunjukkan bahwa pegagan, sembung, dan pulasari adalah simplisia yang
sering digunakan (> 70%). Sedangkan kapulaga, salam, dan alang-alang terkadang digunakan untuk insomnia (<60%)
Banyaknya kandungan bioaktif dan interaksi yang berbeda antar zat aktif dalam ramuan beberapa tanaman obat,
memungkinkan adanya peningkatan efek terapetik dibandingkan bila digunakan komposisi tunggal (Baheti & Kadam,
2013). Pasien yang datang ke RRJ “Hortus Medicus” dengan keluhan insomnia tidak diberikan simplisia dalam bentuk
tanaman tunggal namun berupa kombinasi ramuan dari beberapa jenis tanaman obat. Ramuan obat tradisional umumnya
terdiri dari beberapa jenis tanaman obat yang yang dinilai lebih efektif daripada ramuan tunggal karena memiliki efek
saling mendukung terhadap efek yang dikehendaki (Katno, 2008). Komposisi ramuan jamu yang diberikan kepada pasien
dengan keluhan insomnia dapat dilihat pada tabel 3. Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa kombinasi pala, pulosari,
dan pegagan merupakan kombinasi jamu yang paling sering digunakan untuk keluhan insomnia.
Pegagan (Centella asiatica) merupakan tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Bahri, bahwa pemberian ekstrak, air rebusan dan daun segar pegagan mampu memperkuat dan
meningkatkan daya tahan otak dan saraf karena mengandung senyawa brahmic acid yang dapat mengurangi kerusakan
sel otak yang mengalami nekrosis. Penelitian lain menyebutkan bahwa pemberian ekstrak air pegagan dengan dosis 200
dan 300 mg/kg BB pada tikus efektif mencegah penurunan kognitif akibat stress oksidatif (Kemenkes, 2010). Sedangkan
pala (Myristica fragrans) banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia dan memiliki banyak kegunaan. Konsumsi buah pala
dalam dosis tertentu dapat menyebabkan rasa kantuk, sehingga dipakai sebagai alternatif untuk mengatasi insomnia
(Rahadian, 2009). Pada penelitian lain diketahui bahwa ekstrak etanol buah pala memiliki ekstrak etanol daging buah
pala memiliki efek hipnotik dengan mempercepat mula tidur pada dosis 626,5 mg/kgBB, 1253 mg/kgBB, dan 2506
199
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
mg/kgBB dan memperlama durasi tidur pada dosis 2506 mg/kgBB pada mencit Swiss Webster jantan yang diinduksi
fenobarbital (Santoso, 2011)
Pulasari (Alyxia reinwardtii) merupakan salah satu tanaman yang digunakan dalam ramuan untuk terapi insomnia.
Kandungan minyak atsiri dan flavonoid pada pulosari berkhasiat sebagai anti radang, analgesik dan bersifat sebagai
penenang (Susanto, 2010). Gangguan tidur pada pasien insomnia dapat diakibatkan karena adanya gangguan di dalam
lambung atau saluran pencernaan. Salah satu manfaat dari daun sembung (Blumea balsamifera) adalah digunakan sebagai
obat sakit perut dan gangguan lambung. Kenaikan asam lambung pada malam hari menyebabkan kesulitan tidur di malam
hari. Daun dari tanaman sembung berkhasiat untuk mengobati perut kembung, mulas, diare (Kemenkes, 2010). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Umesh dkk diketahui ekstrak metanol dan etil asetat daun sembung memiliki khasiat
sebagai anti bakteri.(Khandekar et al., 2013).
Pasien hipertensi sering kali dijumpai kesulitan untuk tidur di malam hari. Tekanan darah dapat mempengaruhi
kualitas tidur pasien hipertensi. Alang-alang (Imperata cylindrica) sebagai salah satu komponen ramuan jamu juga
diberikan pada pasien untuk menurunkan tekanan darah yang pada nantinya mampu memperbaiki kualitas tidur pasien
hipertensi. Pemberian ekstrak etanol daun alang-alang pada mampu menunjukkan efek anti hipertensi pada kucing yang
hipertensi dengan dosis 300 mg/mL. Ekstrak alang-alang memberikan efek relaksasi dan dilatasi jaringan lunak saluran
darah sehingga mampu menurunkan tekanan darah. Penelitian lain menunjukkan bahwa ekstrak alang-alang memiliki
efek diuretik dan meningkatkan konsentrasi senyawa elektrolit air seni pada tikus putih (Kemenkes, 2011)(Dhianawaty
& Ruslin, 2014).
Insomnia bisa disebabkan karena adanya penyakit lain seperti gangguan pada saluran pencernaan. Pemberian
kapulaga(Ammomum cardamomum) diharapkan mampu mengurangi rasa sakit karena pasien dengan gangguan saluran
cerna. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kandungan minyak atsiri pada kapulaga terutama golongan sineol
memiliki aktivitas anti jamur. Sineol memiliki mekanisme kerja dengan cara mendenaturasi dan merusak membran sel
bakteri (Sukandar et al., 2015), (Utami, 2013). Pasien yang mengalami insomnia bisa disebabkan karena kadar asam urat
dalam darahnya tinggi, sehingga salah satu tanaman obat yang diberikan adalah daun salam (Syzygium polyanthum) yang
digunakan sebagai terapi anti asam urat. Flavonoid yang terkandung dalam daun salam bersifat sebagai analgesik, anti
inflamasi dan anti bakteri (Sinaga et al., 2014).Daun salam dapat bermanfaat sebagai diuretik sehingga meninkatkan
produksi air seni. Ekstrak etanol daun salam dengan dosis 210 mg/kgBB dan 420 mg/kgBB serta infusa daun salam
dengan dosis 2,5 g/kgBB mampu menurunkan kadar asam urat setara dengan allopurinol 10 mg/kgBB. (Andriani &
Chaidir, 2016)
KESIMPULAN
Keluhan insomnia pada pasien di RRJ Hortus Medicus lebih banyak dialami oleh perempuan daripada laki-laki.Jamu
yang digunakan berbentuk kombinasi simplisia. Kombinasi jamu yang paling banyak digunakan adalah pala, pulasari dan
pegagan..
200
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Tradisional beserta jajarannya, yang telah memberikan kesempatan dan melancarkan jalannya kegiatan penelitian sampai
dengan selesai.
DAFTAR PUSTAKA
Andriani, A. & Chaidir, R. 2016. Pengaruh pemberian air rebusan daun salam (Syzygium Polyanthum) terhadap penurunan kadar asam urat. Jurnal
Ipteks Terapan, 2, pp.112–119.
Astuti, NMH. 2013. Penatalaksanaan insomnia pada usia lanjut. http:// ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/viewFile/5119/3912, diakses tanggal 2
April 2017.
Baheti, D.G. and Kadam, S.S. 2013. Antiurolithiatic activity of a polyherbal formulation against calcium oxalate induced urolithiasis in rats. Journal of
Advanced Pharmacy Education & Research. 3(1).
Dewoto, H.R., 2007. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka. Majalah Kedokteran Indonesia, 57(7), pp.205–211.
Dhianawaty, D. & Ruslin, 2014. Kandungan total polifenol dan aktivitas antioksidan dari ekstrak metanol akar Imperata cylindrica (L) Beauv . (alang-
alang). MKB, 47(1):60–64.
Djalil, AD. Musyarofah, S. Putra, BSN. Genatrika, E. Astuti. 2017. Potensi Biji Orok-orok (Clotalaria juncea L.) sebagai kandidat obat insomnia.
Pharmasciense. 4(1):1-10.
Galimi, R. 2010. Insomnia in the elderly: an update and future challenges. G Gerontol. 58: 231-247.
Ghaddafi, M. 2013. Tatalaksana Insomnia dengan Farmakologi atau Non-Farmakologi. http:
ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/7025/5270, diakses tanggal 1 April 2017.
Katno, 2008. Tingkat Manfaat Keamanan dan Efektifitas Tanaman Obat dan Obat Tradisional I. Y. Prapti et al., eds., Karanganyar: Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Badan Litbang Kesehatan RI.
Khandekar, U., Tippat, S. & Ghongade, R., 2013. Investigation on antioxidant, antimicrobial and phytochemical profile of Blumea Lacera leaf.
International Journal of Biological and Pharmaceutical Research, 4(11):756–761.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Vademekum Tanaman Obat untuk Saintifikasi Jamu Jilid 1.Jakarta
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Vademekum Tanaman Obat untuk Saintifikasi Jamu Jilid 2.Jakarta
Rahadian, D.D., 2009. Pengaruh ekstrak biji pala (myristica fragrans houtt) dosis 7,5 mg/25 grbb terhadap waktu induksi tidur dan lama waktu tidur
mencit balb/c yang diinduksi thiopental. Universitas Diponegoro.
Rimbawan, P.P.G.K.B.. & Ratep, N., 2016. Prevalensi dan Korelasi Insomnia terhadap Kemapuan Kognitif Remaja Usia 15-18 Tahun di Panti Asuhan
Widhya Asih 1 Denpasar. E-Jurnal Medika, 5(5);1–8.
Santoso, J., 2011. Efek hipnotik ekstrak etanol daging buah pala (Myristica fragrans Houtt.) pada mencit swiss webster jantan yang diinduksi
fenobarbital. Universitas Kristen Maranatha.
Sinaga, A.F., Bodhi, W. & Lolo, W.A., 2014. Uji Efek Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium polyanthum(Wight.)Walp) Terhadap Penurunan Kadar
Asam Urat Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus novergicus L.) yang Diinduksi Potasium Oksonat. Pharmacon-Jurnal Ilmiah Farmasi-
UNSRAT, 3(2):141–145.
Sukandar, D. Hermanto, S. Amelia, E.R. Zaenudin M. 2015. Antibacterial activity of Amomum compactum Sol . Ex Maton extract. Indonesian Journal
of Applied Chemistry, 17(2).
Sholehah, LR.2013. Penanganan insomnia. http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/viewFile/5352/4101, diakses 10 April 2017.
Susanto, J., 2010. Efek infusa kulit batang pulasari (Alyxia reinwardtii BI.) terhadap reaksi anafilaksis kutaneus aktif yang diinduksi ovalbumin pada
tikus Wistar jantan. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Utami, D.T., 2013. Aktivitas antibakteri ekstrak buah kapulaga (Amomum compactum Soland. ex Maton terhadap Escherichia coli dan Streptococcus
pyogenes. Universitas Atmajaya Yogyakarta.
Taylor, DJ. Lichstein, KL. Durrence, H. Reidel. BW, Bush, AJ. 2005. Epidemiology of insomnia, depression, and anxiety. Sleep. 28(11):1457-1464.
201
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang membutuhkan terapi pengobatan yang lama dan membutuhkan biaya yang besar. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui perbedaan efektivitas biaya penggunaan insulin dan kombinasi insulin-metformin pada pasien diabetes melitus tipe 2 di
RSI Ibnu Sina Pekanbaru tahun 2015. Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan metode purposive sampling sehingga diperoleh sampel 36 untuk
insulin dan 36 untuk insulin-metformin. Data yang diambil adalah data GDS sebelum terapi dan data GDS setelah terapi. ACER dihitung berdasarkan
rasio biaya dan efektivitas terapi pada kedua kelompok terapi. Berdasarkan analisis uji mann-whitney persentase penurunan gula darah terhadap
penggunaan insulin dan insulin-metformin diperoleh nilai P sebesar 0,809 (P>0,05). Berdasarkan nilai P efektivitas terapi insulin dan insulin-metformin
tidak signifikan dalam menurunkan kadar gula darah. Nilai ACER terapi insulin Rp 8.805,17 dan insulin-metformin Rp 6.802,18. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa terapi kombinasi insulin-metformin lebih cost-effective.
ABSTRACT
Diabetes mellitus is a chronic disease that requires long treatment therapies and requires a high cost. This study aimed to determine differences in cost-
effectiveness of insulin therapy compared with insulin-metformin combination therapy in patients with type 2 diabetes mellitus in RSI Ibnu Sina
Pekanbaru. This retrospective study used purposive sampling method that the sample was obtained 36 samples for insulin and 36 samples insulin-
metformin. Data was taken from blood glucose levels before and after therapy. ACER is calculated based on the ratio of the cost and effectiveness of
therapy in both treatment groups by Mann-Whitney test analysis of the percentage decrease in blood glucose levels insulin to the insulin-metformin
obtained P value of 0.809 (P> 0.05). ACER insulin therapy Rp 8.805,17 and insulin-metformin Rp 6.802,18. So that it can be concluded that the insulin-
metformin combination therapy is more cost-effective.
PENDAHULUAN
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (Anonima, 2012). Penyakit DM merupakan penyakit kronis yang
memerlukan terapi terus-menerus sehingga efektivitas dan efek samping pengobatan dapat mempengaruhi kualitas hidup
pasien. Menurut penelitian Sheen et al., (1999), pasien DM tipe 2 harus berjuang agar kualitas hidupnya membaik, karena
kualitas hidup yang rendah serta masalah status psikologis pasien bisa mengganggu kontrol metabolisme.
World Health Organization (WHO) memperkirakan pasien DM di Indonesia pada tahun 2030 akan mencapai
21,3juta jiwa. Hal ini akan menjadikan Indonesia menduduki peringkat ke-4 dalam hal jumlah penderita DM setelah
Amerika Serikat, Cina dan India (Anonim, 2013). Di Riau prevalensi DM menduduki peringkat ketiga setelah Kalimantan
dan Maluku, yaitu 10,4% (Anonima, 2008).
DM tipe 2 merupakan tipe penyakit DM yang lebih umum. Pengobatan DM tipe 2 ini biasanya dimulai dengan
monoterapi menggunakan antidiabiabetik oral. Jika dengan menggunakan antidiabetik oral tidak mencapai sasaran
pengendalian glukosa darah, maka dapat menggunakan kombinasi antidiabetik oral dengan insulin. Penggunaan
kombinasi biguanid dan insulin dapat dimulai jika terjadi kegagalan sekunder dengan terapi biguanid. Walaupun sebagian
besar penderita DM tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin
disamping terapi hipoglikemik oral (Anonim, 2011).
Insulin diperlukan pada keadaan penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis,
ketoadesis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketoktik, hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan
202
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
kombinasi Obat Hiperglikemik Oral (OHO) dosis hampir maksimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA,
stroke), kehamilan dengan DM gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal atau
hati berat, kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO (Anonim, 2011).
Penggunaan kombinasi beberapa antidiabetik lebih dianjurkan daripada meningkatkan dosis satu macam
antidiabetik yang dapat meningkatkan risiko toksisitas dan efek samping. Dua atau lebih antidiabetik dengan mekanisme
aksi yang berbeda bila digunakan secara bersama dapat memberikan manfaat yang lebih baik dalam mengontrol kadar
glukosa darah (Anonim, 2011).
Dalam dasawarsa terakhir, biaya pelayanan kesehatan dirasakan semakin meningkat sebagai akibat dari berbagai
faktor, yaitu perubahan pola penyakit dan pola pengobatan, peningkatan penggunaan teknologi canggih, meningkatnya
permintaan masyarakat dan perubahan ekonomi secara global. Dilain pihak biaya yang tersedia untuk kesehatan belum
dapat ditingkatkan, dimana kemampuan pemerintah semakin terbatas dan peran masyarakat masih belum maksimal.
Sementara itu sesuai dengan kebijakan pemerintah kita diharapkan untuk dapat lebih mendekatkan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat (Bootman, et al, 2005).
Menurut penelitian Andayani, et al, (2012) di RSUD Sleman Yogyakarta tentang efektivitas terapi pasien rawat
jalan DM tipe 2 yang menggunakan insulin dan kombinasi insusin-metformin tidak jauh berbeda untuk menurunkan kadar
gula darah. Persentase efektivitas insulin yaitu 41,7% dengan biaya rata-rata perbulan yaitu Rp 411.045 dan persentase
efektivitas insulin-metformin 50% dengan biaya rata-rata perbulan Rp 256.097.
Rumah Sakit Islam (RSI) Ibnu Sina adalah rumah sakit swasta kelas B. Rumah sakit ini mampu memberikan
pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis terbatas. Rumah sakit ini juga menampung pelayanan rujukan dari rumah
sakit kabupaten dan merupakan tempat pendidikan mahasiswa (Anonima,2009).
Berdasarkan studi pendahuluan, penyakit DM tipe 2 merupakan salah satu penyakit 6 terbesar di RSI Ibnu Sina
Pekanbaru. Populasi pasien rawat inap mencapai 183 orang. Obat-obat antidiabetik tunggal DM tipe 2 berdasarkan tingkat
penggunaannya yang digunakan di RSI Ibnu Sina ini adalah golongan biguanid, insulin, sulfonilurea, penghambat DPP-
IV, penghambat glukooksidase alfa, dan tiazolidindion.
Terapi pengobatan yang baik dan benar pada pasien akan menguntungkan bagi pasien baik dari segi biaya yang
dikeluarkan, kesembuhan penyakit yang diderita dan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Oleh sebab itu perlu
dilakukan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan efektivitas biaya terapi insulin dengan terapi
kombinasi insulin-metformin mana yang lebih cost-effective. Manfaat penelitian ini dapat memberikan masukan kepada
Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) dalam terapi DM tipe 2 agar dapat memilih obat yang efektif, baik didalam efektivitas
obat maupun efektivitas biaya sehingga dapat mengurangi beban biaya yang dikeluarkan oleh pasien. Keterbasan
penelitian ini peneliti hanya melihat biaya langsung medis (direct medical cost) yaitu biaya obat.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan studi kasus yang bersifat retrospektif. Sampel penelitian sebanyak 72 pasien yang diambil
menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria inklusi berupa data rekam medis pasiendenganusia ≥ 18 tahun
dan pasien DM tipe 2 yang menjalani pengobatan terapi insulin atau kombinasi insulin-metformin. Instrumen yang
digunakan adalah rekam medis pasien dan data keuangan yang meliputi biaya obat. Data yang terkumpul dianalisis secara
deskriptif analitik.
203
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Menurut Hurlock (2001), rentang usia dewasa dikelompokkan menjadi dewasa awal yaitu dari usia 18 sampai
40 tahun, dewasa madya dari usia 41 sampai 60 tahun dan dewasa lanjut usia >60 tahun. Dari hasil lembar pengumpulan
data didapatkan persentase tertinggi pasien DM tipe 2 pada rentang usia 41–60 tahun, yaitu sebesar 65,28%. Pasien
dewasa lanjut sebesar 29,17% dan dewasa awal sebesar 5,56%. Pada kelompok dewasa madya persentase kejadian DM
sangat tinggi yaitu 65,28%. Irawan (2010) menyebutkan bahwa kelompok usia 40–60 tahun memiliki faktor risiko lebih
besar terhadap DM tipe 2, hal ini dipicu oleh penurunan aktivitas mitokondria di sel–sel otot sebesar 30%, sehingga terjadi
peningkatan kadar lemak diotot dan memicu terjadinya resistensi insulin. Selain itu, semakin tua usia seseorang semakin
besar risiko terjadinya DM tipe 2 karena proses penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan sel beta pancreas dalam
memproduksi insulin. Kelompok usia dewasa lanjut lebih sedikit ditemui di rumah sakit, hal ini dikarenakan kemampuan
kelompok ini untuk berkunjung kerumah sakit sudah berkurang (Hurlock, 2001). Biasanya pada usia dewasa lanjut
harapan hidup pasien sangat rendah sehingga kemauan pasien untuk berobat sangat sedikit. Redekop et al (2002)
menyebutkan usia yang lebih muda mempunyai sikap yang lebih positif dalam pemandangan hidupnya dibandingkan
dengan usia yang lebih tua.
Tabel 2. Jumlah dan Persentase (%) Pasien DM Tipe 2 Berdasarkan Jenis Kelamin
Jumlah Persentase
No Jenis Kelamin
(n=72) (%)
1. Laki – Laki 26 36,11
2. Perempuan 46 63,89
Jumlah 72 100
Dari hasil rekapitulasi data didapatkan persentase tertinggi pasien DM Tipe 2 adalah perempuan, yaitu sebesar
63,89% sedangkan laki–laki hanya sebesar 36,89%. Angka kejadian DM tipe 2 pada perempuan lebih tinggi daripada
laki-laki. Beberapa faktor risiko seperti obesitas, kurang aktivitas atau latihan fisik, usia dan riwayat DM saat hamil yang
menyebabkan tingginya angka kejadian DM tipe 2 pada perempuan. Hasil ini mendukung teori yang dikemukakan dalam
Therney et al (2002) perempuan memiliki faktor risiko yang lebih tinggi daripada laki–laki terhadap kejadian DM tipe 2
yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti obesitas, penggunaan kontrasepsi oral, faktor hormonal, stres, riwayat
melahirkan bayi dengan berat > 4 kg dan riwayat DM gestasional. Selain itu penyakit DM ini sebagian besar dijumpai
204
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki karena jumlah lemak pada laki-laki dewasa rata-rata berkisar antara 15-
20% dari berat badan total, dan pada perempuan sekitar 20-25%. Jadi peningkatan kadar lemak pada perempuan lebih
tinggi dibandingkan dengan laki-laki, sehingga faktor risiko terjadinya DM pada perempuan 3-7 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan dengan laki-laki yaitu 2-3 kali lipat (Soegondo, 2007).
Tabel 3. Rerata Biaya Pasien DM tipe 2 Penggunaan Insulin dan Insulin-Metformin
No. Antidiabetik Rerata Biaya
1. Insulin Rp 462.535
2. Insulin-Metformin Rp 365.209
Biaya obat umumnya mencapai 30-40% dari total biaya pelayanan kesehatan dan cenderung untuk terus meningkat
(Budiharto and Kosen, 2008). Setelah dilakukan rekapitulasi data total biaya penggunaan insulin dan insulin-metformin,
masing-masing pada 36 sampel maka di dapat rerata biaya insulin Rp 462.535 dan insulin-metformin Rp 365.209.Hal ini
terkait dengan penggunaan dosis dan frekuensi yang digunakan pada insulin tunggal dan insulin-metformin. Penggunaan
dosis dan frekuensi pada insulin tunggal lebih tinggi dibandingkan dengan insulin-metformin sehingga meningkatnya
biaya per unit insulin dan meneyebabkan biaya insulin tunggal lebih tinggi dibandingkan insulin-metformin. Hal ini
terlihat pada pasien nomor 5 dan 6 penggunaan dosis insulin tunggal mencapai 60 UI/hari, pasien nomor 23 penggunaan
dosis mencapai 70 UI/hari, dan pasien nomor 32 penggunaan dosis mencapai 75 UI/hari.
Pada penggunaan terapi insulin-metformin dosis insulin tertinggi yang digunakan pada pasien nomor 4 mencapai
48 UI/hari. Dari sini terlihat jelas bahwa penggunaan dosis pada insulin tunggal jauh lebih tinggi dibandingkan insulin-
metformin. Oleh sebab itu harga untuk terapi insulin tunggal juga lebih tinggi dari pada insulin-metformin. Di Rumah
Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta biaya obat antidiabetik rata-rata perbulan pasien diabetes melitus rawat jalan antara bulan
Juli sampai Agustus 2005, untuk penggunaan insulin sebesar Rp 495.000 dan insulin-metformin Rp 433.300. Hal ini
disebabkan penggunaan insulin memerlukan biaya 3 kali dibandingkan dengan pemberian antidiabetik oral. Begitu pun
persentase biaya terbesar yaitu biaya antidiabetik (rata-rata 59,5%) diikuti biaya komplikasi (rata-rata 31%) (Andayani,
2006).
Tabel 4. Persentase (%) Efektifitas Terapi Berdasarkan Rerata Penurunan Gula Darah Sewaktu Penggunaan Insulin dan
Insulin-Metformin
Persentase Penurunan GDS
No. Antidiabetik
(%)
1. Insulin 52,534
2. Insulin-Metformin 53,691
Persentase rerata penurunan kadar gula darah sewaktu insulin yaitu 52,534% dan insulin-metformin yaitu 53,691%.
Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan penurunan kadar gula darah sewaktu antara insulin dan insulin-metformin tidak
terlalu tinggi. Insulin-metformin memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan dengan insulin tunggal. Perbedaan
penurunan kadar gula darah sewaktu antara insulin dan insulin-metformin tidak terlalu tinggi. Penggunaan kombinasi
insulin-metfortmin memberikan keuntungan dalam pengontrolan gula darah.
Metformin bertindak sebagai insulin sensitizer terutama dengan meningkatkan respon hati terhadap insulin dan dapat
mengontrol produksi glukosa hepatik ketika puasa. Apabila metformin dikombinasikan dengan insulin akan memberikan
keuntungan dalam menurunkan kadar gula darah dimana insulin mampu dalam mengontrol glukosa post-prandial
sedangkan metformin mengontrol glukosa darah ketika puasa sehingga kadar gula darah tetap terkontrol setiap waktu
(Riddle, 2008).
205
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia yang paling banyak ditemui di RSI Ibnu Sina Pekanbaru adalah dewasa
madya (41-60 tahun) yaitu mencapai 65,28%. Dari data statistik didapatkan nilai P 0,768 (P>0,05) dan dapat disimpulkan
tidak ada perbedaan antara usia terhadap penurunan kadar gula darah.Beberapa literatur lainnya juga mengatakan bahwa
usia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya DM tipe 2. Namun hubungan antara usia terhadap menurunkan kadar
gula darah berdasarkan data statisitik pada penelitian ini tidak signifikan. Dari data tersebut bisa dilihat bahwa usia
bukanlah satu-satunya faktor dalam penendalian kadar gula darah.
Sebagian besar penderita DM tipe 2 di RSI Ibnu Sina Pekanbaru adalah perempuan yaitu 63,89%. Berdasarkan
data statistik didapatkan nilai p yaitu 0,094 (p>0,05). Hal ini berarti bahwa jenis kelamin memiliki nilai yang tidak
signifikan terhadap penurunan kadar gula darah. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Fatmawati (2010) jenis kelamin
tidak berhubungan dengan DM tipe 2. Menurut Anonima (2012) jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko penyakit
diabetes melitus. Dalam teori tidak disebutkan bahwa diabetes melitus dipengaruhi oleh jenis kelamin tapi dipengaruhi
oleh faktor genetik, kegemukan, faktor lingkungan, dan kehamilan (Anonim, 2011). Berdasarkan lembar pengumpulan
data persentase penurunan kadar gula darah pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda.
1.
Insulin Tidak
2. 0,05 0,809
Insulin-Metformin Signifikan
Uji statistik yang digunakan adalah uji Mann-Whitney, karena data yang diperoleh tidak terdistribusi normal maka
tidak bisa menggunakan uji Independent T Test. Uji ini adalah uji rata-rata dengan membandingkan rata-rata pengukuran
insulin dengan rata-rata pengukuran insulin-metformin terhadap persentase penurunan kadar gula darah. Setelah
dilakukan uji statistik Mann-Whitney, didapat nilai P 0,809 (P>0,05). Penurunan kadar gula darah terapi insulin berbeda
tidak signifikan dengan penurunan kadar gula darah terapi insulin-metformin. Hal ini berarti efektivitas terapi insulin
untuk menurunkan kadar gula darah tidak berbeda dengan efektivitas terapi kombinasi insulin-metformin untuk
menurunkan kadar gula darah.
Menurut penelitian Pramestiningtyas et al (2014) dalam jurnalnya juga mendapatkan hasil untuk terapi insulin
rerata persentase penurunan gula darah sebesar 47,98% dan insulin-metformin sebesar 48,49%. Nilai P yang di peroleh
0,923 (P<0,05). Berdasarkan nilai P efektivitas insulin dan insulin-metformin berbeda tidak signifikan.
206
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Dari hasil penelitian analisis efektivitas biaya didapat bahwa penggunaan insulin-metformin lebih coss-effective
dari pada kelompok insulin. Hal ini terlihat dari nilai ACER insulin-metformin yaitu Rp 6.802,18 dan insulin Rp 8.805,17.
Nilai ACER insulin lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ACER insulin-metformin. ACER dihitung dari biaya dibagi
dengan efektivitas terapi. Dilihat dari biaya, insulin memiliki biaya yang lebih besar dibandingkan dengan insulin-
metformin. Biaya dihitung dari biaya per unit insulin dan metformin dikali dengan penggunaan dosis insulin dan
metformin. Sehingga didapat rerata biaya untuk insulin yaitu Rp 462.535 dan insulin-metformin Rp. 365.209.
Efektivitas terapi dilihat dari persentase rerata penurunan kadar gula darah sewaktu. Berdasarkan dari data univariat
persentase insulin dan insulin-metformin tidak jauh berbeda yaitu 52,534% untuk insulin dan 53,691% untuk insulin-
metformin. Berdasarkan analisis bivariat yang diujikan dengan data statistik menggunakan uji mann-whitney didapatkan
nilai p sebesar 0,809 (>0,05). Hal ini berarti bahwa efektivitas terapi insulin tidak berbeda dengan efektivitas terapi
insulin-metformin dalam menurunkan kadar gula darah.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian didapat bahwa penggunaan insulin-metformin lebih cost-effective dari pada kelompok insulin.
Nilai ACER insulin-metformin yaitu Rp 6.802,18 dan insulin Rp 8.805,17. Berdasarkan hasil Mann-Whitney didapat nilai
P sebesar 0,809 (>0,05). Disimpulkan bahwa efektivitas terapi insulin tidak berbeda dengan efektivitas terapi insulin-
metformin untuk menurunkan kadar gula darah.
DAFTAR PUSTAKA
Andayani, M.T., 2006, Analisis Biaya dan Efektivitas terapi Diabetes Melitus di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, Fakultas Farmasi, Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, Majalah Farmasi Indonesia, Volume 17 No 3 : 130-135.
Andayani, M.T., Fudholi, A., Dinaryanti, P., 2012, Analisis Biaya dan Efektivitas terapi Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat Jalan di RSUD Sleman
Yogyakarta, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Majalah Farmasi Indonesia, Volume 2 No 1.
Anonima, 2008, World Health Organization-Diabetes Facts, diakses di http://www.who.int, padatanggal10Oktober 2015.
Anonima, 2009, RSI Ibnu Sina Pekanbaru, diakses http://rumah-sakit.findthebest.co.id/l/638/RS-Islam-Ibnu-Sina, pada tanggal 23 November 2015.
Anonim, 2011, KonsensusPengelolaandanPencegahan Diabetes MelitusTipe 2 di Indonesia 2011, PB. Perkeni, Jakarta.
Anonima, 2012, American Diabetes Association, Position Statement: Standards of Medical Care in Diabetes, Diabetes Care, 35 (Suppl. 1)
Anonim, 2013,Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan, diakses di http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-
release/414-tahun-2030prevalensi-diabetes-melitus-di-indonesia-mencapai-213jutaorang, diakses tanggal 25 Oktober 2015.
Bootman, J.L., Towsend, R.J., and McGhan, W.F., 2005, Principle of Pharmacoeconomics,3td Ed. 315-327, Harvey Whitney Books Company, USA.
Budiharto, M dan Kosen, S., 2008, Peran Farmakoekonomi Dalam Sistem Pelayanan Kesehatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan
Kebijakan Kesehatan, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Volume 11 nomor 4 : 337-340.
207
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Fatmawati, A., 2010, Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Daerah Sunan Kalijaga Demak,
Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
Hurlock, E., 2001, Psikologi Perkembangan Edisi Kelima, Erlangga, Jakarta
Irawan, D., 2010, Pravelensi dan Faktor Resiko kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 di Daerah Urban Indonesia (Analisa Data Sekunder Riskesdas 2007),
Thesis, Universitas Indonesia.
Pramestiningtyas,E., Budi,P.S., Wiratmo, Holidah, D., Fajrin, F.A., 2014, Analisa Efektivitas Biaya Berdasarkan Nilai ACER Penggunaan Insulin
Dibadningkan Kombinasi Insulin-Metformin Pada Pasien DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSD dr. Soebandi Jember Periode 2012,
Repository UNEJ
Redekop, W.P., Koopmanschap, M.A., Stolk, R.P., Rutten, G.E., Wolffenbuttel, B.H., Niessen, L.W., 2002, Helath-related Quality of Life And
Treatment Satisfaction in Dutch Patients With Type 2 Diabetes, Diabetes Care, Vol 25 (3):458-63
Riddle, M. C., 2008. Cobioned Therapy With Insulin Plus Oral Agents: Is There Any Adventage, Diabetes Care, Vol 3: 5125-5130.
Sheen, W., Kotsanus, J.G., Huster, W.J., Mathias, S.D., Andrejasich, C.M., Patrick, D.L., 1999, Development and validation of The Diabetes Quality
of life Clinicall Trial Questionnaire, Medical Care, 37 (4) AS45-AS66.
Soegondo, S., 2007, Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus terkini, Dalam Penatalaksaan Diabetes Melitus terpadu, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Therney, Lawrence, Stephen J., dan Papedakis, 2002, Diagnosis dan Terapi Kedokteran Ilmu Penyakit Dalam. Penerjemah : Abdul Gafur. Jakarta.
208
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Diagnosis hipertensi yang disertai peningkatan kadar kolesterol adalah salah satu diagnosis yang sering ditemukan di Rumah Riset Jamu Hortus
Medicus. Ramuan jamu antihipertensi dan antikolesterol sudah terbukti efektif dalam menurunkan tekanan darah dan kadar kolesterol. Salah satu
indikator kemanfaatan formula jamu yang sangat penting adalah kualitas hidup. Kualitas hidup yang tinggi akan meningkatkan tingkat kesembuhan dan
menurunkan morbiditas penyakit. Pada 2016, sebuah penelitian observasi telah dilakukan di Rumah Riset Jamu Saintifikasi Jamu “Hortus Medicus”
Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu untuk menilai gambaran kualitas hidup pasien yang mendapatkan kombinasi
ramuan jamu antihipertensi dan antikolesterolemia. Sebanyak 46 subjek secara sukarela mengikuti penelitian ini selama 56 hari. Kualitas hidup diukur
menggunakan Short Form-36(SF-36) sebanyak tiga kali pengukuran yaitu pada hari ke-0, hari ke-28, dan hari ke-56. Menggunakan pengukuran hari
ke-0 sebagai pembanding, terdapat peningkatan kualitas hidup pada hari-28 dan hari ke-56 secara signifikan (p < 0,05).
ABSTRACT
The diagnosis of hypertension with elevation of cholesterol level is often founded at RRJ Hortus Medicus. The jamu formula of antihypertension and
antihypercholesterolemia has been proved effectically on the previous study. There ia an indicator of efficacy about therapy is quality of life. The higher
level of quality of life can improve healing proccess and reduce morbidity rate of disease. In 2016, there was an observational study which been
conducted at RRJ Hortus Medicus to observe patients quality of life with hypertension and hypercholesterolemia. There were 46 volunteers who agreed
to be observed in 56 days. The quality of life was observed using Short form 36 (SF-36) at day-0, day-28 and day-56. Using day-0 as comparison, there
is an significant increasing of quality of life on day-28 and 56(p<0,05).
PENDAHULUAN
Rumah Riset Jamu (RRJ) Hortus Medicus merupakan tempat implementasi saintifikasi jamu melaksanakan
penelitian berbasis pelayanan dengan menggunakan jamu. Hipertensi masih menjadi salah satu diagnosis yang menempati
daftar 10 penyakit terbanyak di RRJ. Sebanyak 52,4% kunjungan pasien hipertensi di RRJ disertai dengan peningkatan
kadar kolesterol di atas 200 mg/dL (Astana dan Triyono, 2016). Peningkatan kadar kolesterol merupakan salah satu dari
gejala dislipidemia. Hubungan antara dislipidemia dan hipertensi telah lama diketahui dan telah banyak dilaporkan oleh
banyak peneliti, namun mekanisme terjadinya hipertensi akibat dislipidemia hingga saat ini belum jelas. Sebagian besar
peneliti menitikberatkan patofisiologi tersebut pada tiga hal utama yaitu gangguan sistem autonom, resistensi insulin,
serta abnormalitas struktur dan fungsi pembuluh darah (Darmastomo dan Wirawanni, 2009).
Untuk diagnosis hipertensi dengan hiperkolesterolemia, diperlukan kombinasi ramuan antihipertensi dengan ramuan
antihiperkolesterolemia. Ramuan antihipertensi telah terbukti efektif dalam menurunkan tekanan darah dalam uji klinis
tahun 2012 (Triyono, 2012). Sedangkan ramuan antihiperkolesterolemia juga terbukti dapat menurunkan kadar kolesterol
dalam uji klinis tahun 2015 (Triyono, 2015). Berbagai gejala klinis yang terjadi akibat hipertensi dan hiperkolesterolemia
dapat mengakibatkan gangguan pada tingkat kualitas hidup pasien tersebut.
Kualitas hidup merupakan faktor yang tidak dapat dilepaskan dalam terapi suatu penyakit. Morbiditas dan mortalitas
pasien sangat dipengaruhi oleh tingkat kualitas hidup mereka. Secara definisi, kualitas hidup merupakan konsep
multidimensi yang meliputi dimensi fisik, sosial dan psikologis, yang berhubungan dengan penyakit dan terapi (Testa and
Simondson, 1996)(Gotay et al, 1992). Pada dasarnya tiga hal yang berperan dalam menentukan dan mempengaruhi
209
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
kualitas hidup, yaitu mobilitas, rasa nyeri dan kejiwaan, depresi/cemas. Ketiga faktor tersebut dapat diukur secara objektif
dan dinyatakan sebagai status kesehatan. Terdapat beberapa instrumen untuk menganalisis kualitas hidup, seperti
Sickness Impact Profile, Karnofsky Scales, Kidney Disease Quality of Life (KDQL) kuesioner dan Medical Outcomes
Study 36-Item Short-Form Health Survey (SF-36) yang telah banyak digunakan dalam mengevaluasi kualitas hidup
pasien penderita penyakit-penyakit kronis (Lina, 2008).
Oleh karena itu, peneliti merasa perlu untuk mengetahui sejauh mana kombinasi ramuan antihipertensi dan
antihiperkolesterolemia dapat meningkatkan kualitas hidup pasien di RRJ Hortus Medicus. Dengan adanya penelitian ini
dapat menunjang evidence base penggunaan ramuan jamu antihipertensi dan antihiperkolesterolemia sehingga dapat
digunakan di masyarakat.
- Laki-laki 15(32,6%)
- Perempuan 31(67,4%)
Pekerjaan
- Tidak bekerja 15(37,5%)
- Tentara/Polisi/PNS 3 (5%)
- Peg swasta 8 (7,5%)
- Wiraswasta
- Buruh/petani/nelayan 7 (17,5%)
- Lainnya 6 (15%)
7 (17,5%)
IMT
- Underweight 1(2,5%)
- Normoweight 24 (55%)
- Overweight 12 (25%)
- Obese 9 (17,5%)
Penilaian SF-36
Rata-rata hasil penilaian SF-36 subyek penelitian pada hari ke-0, hari ke-28 dan hari ke-56 seperti tertera pada gambar
di bawah.
90
85
Skor SF-36
80.13
80 76.44
73.56
75
70
Hari ke-0 Hari ke-28 Hari ke-56
Hari Penilaian
Dilihat dari grafik di atas, terdapat peningkatan rata-rata skor SF-36 secara gradual.Terjadi peningkatan 4% pada
pengukuran hari ke-28 dibandingkan hari ke-0.Sedangkan pada pengukuran SF-36 hari ke-56 terjadi peningkatan 9%
dibandingkan hari ke-0. Perhitungan secara statistik menggunakan uji t berpasangan, didapatkan nilai p<0,05 pada uji
antara skor SF-36 hari ke-28 dan 56 dibandingkan hari ke-0. Sehingga peningkatan yang terjadi dapat dikatakan signifikan
secara statistik.
211
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Terdapat 8 dimensi penilaian pada SF-36 yaitu fungsi fisik (10 butir pertanyaan), peranan fisik (4 butir), rasa nyeri
(2 butir), kesehatan umum (5 butir), fungsi sosial (2 butir), energi (4 butir), peranan emosi (3 butir) dan kesehatan jiwa (5
butir). Setelah diklasifikasikan, penilaian masing-masing dimensi juga mengalami peningkatan.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Fungsi Fisik Peranan Nyeri Kesehatan Fungsi Energi Peranan Kesehatan
Fisik Umum Sosial Emosi Jiwa
Peningkatan yang paling tinggi terdapat pada dimensi rasa nyeri dimana setelah 28 hari terjadi 8,3% peningkatan
skor. Pada hari ke-56, peningkatan skor dimensi nyeri adalah 21,1% dibandingkan dengan penilaian hari ke-0. Sedangkan
peningkatan yang paling rendah terdapat pada dimensi kesehatan umum.
Tanaman penyusun dari kombinasi kedua ramuan tersebut yang dimungkinkan dapat meningkatkan tingkat kualitas
hidup adalah temulawak (Curcuma xanthoriza), kunyit (Curcuma domestica), dan meniran (Phyllanthus niruri).
Temulawak digunakan untuk menyegarkan tubuh, melancarkan metabolisme serta menyehatkan fungsi hati
(Balitbangkes, 2010). Kunyit mempunyai efek anti inflamasi, anti oksidan, hepatoprotektor, dan memperlancar
pencernaan (Philipson, 1994)(Murugan, 2007)(Adhvaryu et al, 2008)(Umamaheswari, 2007). Meniran untuk
meningkatkan daya tahan tubuh(immunostimulan) dan hepatoprotektor (Maat, 1996)(Venkateswaran et al, 1987). Dengan
meningkatnya daya tahan tubuh, seseorang lebih sulit terjangkit penyakit-penyakit infeksi yang dapat menurunkan
kualitas hidup.
KESIMPULAN
Kombinasi ramuan jamu antihipertensi dan antihiperkolesterolemia dapat meningkatkan kualitas hidup pasien
hipertensi dengan hiperkolesterolemia. Peningkatan tingkat kualitas hidup diukur menggunakan SF-36 dimana terjadi
peningkatan di kedelapan dimensi penilaian.
212
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
DAFTAR PUSTAKA
Adhvaryu MR, NM Reddy and BC Vakharia, 2008. Prevention of Hepatotoxicity Due to Antituberculosis Treatment: A Novel Integrative Approach,
World J. Gastroenterol, 14(30): 4753-4762.
Astana, Widhi. 2016. Gambaran Profil Lipid Pada Pasien Hipertensi Di Rumah riset jamu Saintifikasi Jamu Hortus Medicus Tawangmangu. Prosiding
Seminar POKJANAS TOI STFB. Bandung.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2010. Vademekum Tanaman Obat. Jakarta: Badan Litbangkes. Kemenkes RI. Jakarta
Darmastomo, P., & Wirawanni, Y. 2009. Hubungan Antara Persentase Lemak Tubuh, Lingkar Pinggang, Kolesterol Total Darah, Dan Trigliserida
Darah Dengan Tekanan Darah (Studi Pada Pegawai Negeri Sipil SMA 8 Semarang) (Doctoral dissertation, Program Studi Ilmu Gizi UNDIP).
Semarang
Gotay CC, Korn EL, Mc Cabe MS, Moore TD, Cheson BD. 1992. Quality of life Assesment in Cancer Treatment protocols; research Issues I Protocol
Development J National Cancer Ins;84: 579-9.
Lina. 2008. Hubungan Antara Parameter Status Nutrisi Yang Diukur Dengan Bioelectrical Impedance Analysis dan Kualitas Hidup Yang Dinilai
Dengan Sf-36 Pada Pasien Hemodialisis Reguler; Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan. Hal: 12.
Maat S, 1996. Phyllanthus niruri L., sebagai Imunostimulator, Rangkuman Disertasi, Program Pascasarjana, UNAIR, Surabaya.
Murugan P, L Pari, 2007. Influence of Tetrahydrocurcumin on Erythrocyte Membrane Bound Enzymes and Antioxidant Status in Experimental Type
2 Diabetic Rats, J. Ethnopharmacol.,113(3): 479-86.
Philipson JD, 1994. Herbal Drugs and Phytopharmaceuticals, Medpharm Scientific Publisher, Stutgart, German.
Testa MA, Simondson DC. 1996. Assesment of Quality of life Outcomes. N Eng J Med; 272:619-26.
Triyono, Agus. 2012. Uji Klinis Ramuan Jamu Antihipertensi Dibanding HCT. Laporan Penelitian. Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat
Tradisional. Tawangmangu.
Triyono, Agus. 2015. Uji Klinis Ramuan Jamu Antihiperkolesterolemia Dibanding Simvastatin. Laporan Penelitian. Balai Besar Litbang Tanaman Obat
dan Obat Tradisional. Tawangmangu.
Umamaheswari S, Prince PS, 2007. Studies on Ulcerrogenic Activity of Curcumin, indian Journal of physiology and pharmacology, 20: 92-93.
Venkateswaran PS, I Milman and BS Blumberg, 1987. Effects of an Extract from Phyllanthus niruri L., on Hepatitis B and Woodchuck Hepatitis
Viruses: in vitro and in vivo Studies, Med. Sci. 84: 274-278.
213
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Effect of Shallot’s (Allium ascalonicum) Extracted On The Isolated Organ Smooth Muscle Of
Guinea Pig’s (Cavia porcellus) Ileum Induced Histamin
Arief Adi Saputro1, Muhammad Fadhol Romdhoni2
1Dokter di Klinik Pratama Srikandi Husada,
2Bagian Farmakologi, Prodi Pendidikan Dokter, FK, Universitas Muhammadiyah Purwokerto,
ABSTRAK
Objektif : Diare masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, dilaporkan sekitar 60 juta kejadian diare setiap tahun. Menurut WHO tahun 2005,
tatalaksana utama diare adalah rehidrasi, disamping itu dapat juga digunakan obat untuk mengurangi motilitas usus, karena salah satu patofisiologi diare
adalah meningkatnya motilitas usus. Sebagai penurun motilitas usus halus dapat digunakan bawang merah. Bawang merah telah lama digunakan sebagai
bumbu masak dan obat tradisional untuk mengatasi diare. Tujuan penelitian ini adalah menentukan dosis ekstrak bawang merah yang dapat
menyebabkan relaksasi terhadap otot polos ileum terpisah marmut (Cavia porcellus) yang diinduksi histamin.
Metode & Sampel : Penelitian ini merupakan eksperimental murni, dengan rancangan The Posttest Control Group Desain. Sampel penelitian adalah
otot polos ileum terpisah marmut yang dibagi dalam 4 kelompok. Kelompok I sebagai kontrol tanpa pemberian ekstrak bawang merah dan kelompok
lainnya diberi ekstrak bawang merah dosis bertingkat yakni 1,6%, 3,2% dan 6,4%.
Hasil & Pembahasan : Hasil yang didapat dari penelitian adalah pemberian ekstrak bawang merah menyebabkan relaksasi terhadap otot polos ileum
(ANOVA p = 0,000) dan semakin besar pemberian ekstrak bawang merah maka semakin panjang relaksasi (R2 = 0.868). Pengaruh relaksasi terhadap
otot polos ileum terpisah marmut diduga melalui mekanisme hambatan kompetitif histamin (H1).
Kesimpulan : Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak bawang merah terbukti dapat merelaksasikan otot polos ileum terpisah marmut, dan
diperlukan penelitian lanjutan yang menunjang kepentingan klinik.
Kata Kunci : Diare; bawang merah (Allium ascalonicum); hambatan kompetitif histamin (H1); relaksasi.
ABSTRACT
Objective : Diarrhea was still one a problem of health in Indonesia, the prevalence of the diarrhea is 60 million people per year. According to the WHO
in 2005, the main management of diarrhea is rehydration, besides it can also be used to reduce intestinal motility drugs, because one of the
pathophysiology of diarrhea is increasing intestinal motility. For reducing the motility of the small intestine can be used Shallot. Shallot has been used
as seasoning and traditional medicine to overcome ileum spasm. The purpose of this research is to determine the dose of shallot extract which can
produce relaxation on isolated organ smooth muscle of Guinea pig’s ileum (Cavia porcellus) stimulated by histamine.
Methode & Materials : The design of the study was pure experimental which using The Posttest Control Group Design. Samples were isolated organ
smooth muscle of Guinea pig’s ileum which divided into 4 groups. Group I is as a control, without shallot extract addition, and another groups were
given with shallot extract multidosed 1,6%, 3,2%, and 6,4%.
Result and discussion : The results should that shallot extract can relaxing isolated organ smooth muscle of ileum (ANOVA p = 0.000), and more
additions of shallot extract hence long progressively relaxation (R2 = 0.868). The mechanism of action possibility as a competitive inhibitor receptor of
histamine (H1).
Conclisions : The study concluded that shallot extract should a relaxation sensation on isolated organ smooth muscle of ileum and further study was
needed to support clinical application.
Keywords: Diarrhea; Shallot Extract (Allium ascalonicum); Competitive Inhibitor Receptor Of Histamine (H1); Relaxation
PENDAHULUAN
Diare atau mencret didefinisikan sebagai buang air besar dengan feses yang tidak berbentuk (unformed stools) atau
cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam 24 jam. Berdasarkan lama diare, maka didapatkan diare berlangsung kurang
dari 2 minggu, disebut sebagai diare akut dan diare berlangsung 2 minggu atau lebih, digolongkan pada diare kronik
(Zein,2004; Tierney,2001). Pada keadaan diare didapatkan feses dengan atau tanpa lendir, darah, atau pus. Gejala yang
ditimbulkan dapat berupa mual, muntah, nyeri perut, mulas, tenesmus, demam dan dehidrasi. Diare dapat diakibatkan
oleh infeksi, intoksikasi (poisoning), alergi, reaksi obat-obatan, dan juga faktor psikis (Zein,2004).
214
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Penyakit diare sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) dengan penderita yang banyak dalam waktu yang
singkat. Di Indonesia dapat ditemukan sekitar 60 juta kejadian setiap tahun pasien penderita diare (Sarbini,2007). Penyakit
diare yang tidak ditangani secara sempurna dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang meningkat (Zein,2004)
Berdasarkan patofisologinya, diare terjadi akibat gangguan osmotik, gangguan sekresi dan gangguan motilitas
usus (Abdurrahman,1998). Prinsip pengobatan diare selama ini didasarkan pada patofisiologi penyakit tersebut. Diare
merupakan tanda dan gejala penyakit yang umum dijumpai bila terjadi tanpa komplikasi, sehingga dapat diobati sendiri
oleh penderita. Diare akan menjadi berbahaya bila terjadi komplikasi, seperti hipovolemi, toksik dan sepsis (Zein, 2004).
Terapi utama untuk mengobati diare adalah pemberian rehidrasi. Selain itu, obat – obatan juga dapat digunakan
untuk mengobati diare seperti antibiotik, absorbent dan anti motilitas (WHO, 2005). Penggunaan antibiotik untuk
mengobati diare harus memenuhi indikasi terjadinya infeksi dan tidak sepenuhnya berhasil oleh karena resistensi terhadap
obat tersebut. Opium, ekstrak beladona dan loperamid hidroklorid adalah obat yang mempunyai efek anti motilitas (Food
and Drugs Administration, 2007).
Obat – obat fitofarmaka sedang berkembang di Indonesia dan masih memerlukan penelitian lebih mendalam.
Pada tahun 1994 Morales dkk melakukan penelitian efek ekstrak jambu biji (Psidium guajava L) yang mengandung
quercetin sebagai anti motilitas. Di akhir percobaan, ekstrak jambu biji terbukti merelaksasikan usus halus sampai kondisi
normal (Morales, 1994).
Bawang merah yang dikenal dengan nama botani Allium ascalonicum cukup murah dan mudah didapatkan karena
biasa digunakan sebagai bumbu dalam membuat masakan. Salah satu kandungan bahan aktif yang terdapat dalam bawang
merah adalah quercetin. Dari data tersebut dapat dianalogkan bahwa bawang merah juga mempunyai efek anti motilitas,
sehingga timbul pertanyaan dosis berapakah dari ekstrak bawang merah yang mapu menunjukkan efek relaksasi. Oleh
sebab itu diperlukan penelitian untuk menilai sejauh mana pengaruh ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum) dari
berbagai dosis terhadap relaksasi usus halus, dengan melakukan uji coba secara in vitro menggunakan ileum terpisah dari
marmut (Cavia porcellus).
215
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Larutan yang telah dibiarkan selama 12 jam kemudian disaring menggunakan kertas saring untuk
mengambil filtrat.
Filtrat dijadikan satu dalam botol tertutup kemudian lakukan evaporasi agar didapatkan ekstrak murni
yang dipisahkan dari pelarut alkohol 96%.
Jumlah ekstrak yang didapat + 220 mL (dianggap sebagai 100% dosis)
Cara penghitungan dosis ekstrak bawang merah :
Misal : ekstrak bawang merah 0,8 ml dalam 50 ml organ bath.
M1 . V1 = M2 . V2
100 %. 0,8 ml = M2 . 50 ml
M2 = 100 % . 0,8 ml = 1,6 %
50 ml
Uji Efek Ekstrak Bawang Merah Terhadap Usus Halus Marmut
Bahan dan Alat
Bahan untuk uji efek ekstrak bawang merah, antara lain:
1. Histamin, dipergunakan histamin pure (dihidroklorin) dilarutkan dalam aquabidest, untuk menstimulasi
kontraksi usus halus.
2. Larutan tyrode
Merupakan cairan fisiologis yang diperlukan sebagai nutrisi bagi organ terpisah dalam organ
bath.Untuk kepentingan praktis, dibuat larutan stok tyrode yang terdiri dari bahan-bahan kimia berikut.
Tabel 1. Komposisi bahan kimia tiap 1 liter larutan tyrode
Bahan kimia Jumlah (gram)
Sumber : (Ghosh,1971)
3. CMC (Carboxy Methyl Cellulose) sebagai emulgator. Pemberian CMC dilakukan pada saat EBM
sebelum dimasukkan ke dalam organbath yang kemudian dilarutkan dengan larutan tyrode.
Alat untuk uji efek ekstrak bawang merah, antara lain:
1. Organ bath set
Organ bath set yang digunakan pada percobaan organ terpisah ini adalah suatu tabung gelas yang terdiri
dari dua lapis, di antara lapisan gelas tersebut selalu mengalir air yang sudah dipanaskan sehingga
mempertahankan suhu larutan Tyrode di dalam tabung organ bath sebesar temperatur yang diinginkan,
misalnya 37ºC. Dalam tabung organ bath tersebut digantungkan sediaan organ usus halus terpisah
216
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
marmut yang sudah disusun paralel. Volume maksimal dari organ bath yang digunakan untuk
percobaan ini adalah 50 ml, dengan volume larutan Tyrode yang digunakan dalam percobaan adalah 50
ml.
217
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
M1V1 = M2V2
10-2 V1 = 10-3. 1
V1 = 10-1 ml = 0,1 ml
Jadi untuk mendapatkan larutan histamin 10-3 M diambil 0,1ml larutan histamin 10-2 M kemudian ditambah
dengan larutan Tyrode hingga 1ml dan begitu selanjutnya untuk pengenceran selanjutnya.
Preparasi Organ Terpisah
Marmut dimatikan dengan melakukan dislokasi tulang leher. Selanjutnya abdomen dibuka dan usus halus
diambil kurang lebih 2 cm lalu diletakkan pada cawan petri yang berisi larutan Tyrode pada suhu 37º dengan
dialiri gas karbogen (terdiri dari O2 95% dan CO2 5%).
Jaringan usus halus difiksasi dengan jarum dan dibersihkan dari jaringan sekitar, kemudian usus halus
dipotong.
Pada usus halus dimasukkan dua penggantung dari kawat atas dihubungkan dengan lever khymograph
sedangkan yang bawah statis segera dipindahkan ke organ bath yang berisi larutan Tyrode pada suhu 37°C
dengan dialiri gas karbogen.
Stabilisasi dilakukan dengan mengganti larutan Tyrode tiap 15 menit sekali selama 2 jam atau sampai gerakan
usus halus pada khymograph membentuk garis yang lurus, kemudian baru diberikan perlakuan
Cara Memberi Perlakuan
Setelah organ stabil, organ usus halus terpisah marmut yang terdapat pada organ bath diberi perlakuan.
Misal, pada pemberian histamin 10-5 M sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam organ bath volume 50 ml, diberikan
dengan cara menginjeksikan pada organ bath dan tidak mengenai benang yang mengikat organ usus halus terpisah
marmut karena bila menyentuh benang tersebut akan terjadi penarikan pada tangkai transducer yang dapat
merubah gerakan pada ujung penunjuk (lever).
Cara Pengukuran Respon Relaksasi Otot Polos Usus Halus
panjang relaksasi ini diperoleh dari selisih antara skala yang menunjukkan kontraksi dengan skala yang
menunjukkan relaksasi yang dihasilkan pada rantai usus halus. Misal, pada pemberian histamin 10-5 M didapatkan
kontraksi sebesar 35 mm kemudian pemberian ekstrak bawang merah 1,6 % sebanyak 0,8 ml dimasukkan ke dalam
organ bath volume 50 ml didapatkan relaksasi sebesar 11 mm pada kertas grafik maka panjang relaksasi yaitu
sebesar 24 mm. Untuk memperoleh hasil yang lebih besar maka panjang relaksasi sebesar 24 mm ini diperoleh
dari pembesaran 5x pada khymograf.
Studi Pendahuluan
Studi Pendahuluan untuk Menentukan Dosis Histamin
Untuk memperoleh besar dosis histamin yang memberikan efek kontraksi ± 80% maksimum, maka perlu
dilakukan pengamatan besar efek kontraksi usus halus dengan pemberian dosis histamin secara serial mulai dosis
kecil (2.10-10 M) sampai dosis besar (2. 10-6 M) yang memberi efek kontraksi maksimum. Dosis optimum histamin
yang dipakai dalam penelitian selanjutnya adalah dosis yang menimbulkan ± 80% kontraksi maksimum yaitu pada
dosis histamin 2. 10-7 M, karena pada kondisi kontraksi ± 80% maksimum, masih memungkinkan untuk diamati
apakah perubahan yang terjadi pada usus halus akan menimbulkan efek kontraksi atau relaksasi. Dosis pemberian
histamin dapat dilihat pada tabel 3
218
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Tabel 2. Dosis histamin yang dimasukkan ke larutan Tyrode (50 ml) dalam organ bath
Dosis histamin (M) Besar kontraksi otot polos usus
halus (mm)
2. 10-10 2
2. 10-9 5
2. 10-8 17
2. 10-7 35
2. 10-6 47
2. 10-5 40
0,8 0
1,6 24
3,2 30
6,4 32
12,8 28
Dari eksplorasi ini didapatkan dosis efektif yang dapat merelaksasikan otot polos usus halus terpisah
marmut, yaitu 1,6%, 3,2% dan 6,4% yang akan dipergunakan pada penelitian selanjutnya.
219
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Tabel 4. Hasil penelitian dosis histamin (2.10-7) dan dosis EBM 1.6%, 3.2% dan 6.4% pada ulangan 1-V dan
panjang relaksasi setelah pemberian EBM.
Kontrol 0 0 0 0 0 0±0
Berdasarkan hasil pengukuran efek relaksasi yang dilakukan terhadap lima sampel (pengulangan)
pengamatan (marmut) dapat diambil kesimpulan bahwa semakin besar dosis EBM yang diberikan, maka akan
semakin panjang relaksasi pada sediaan otot polos ileum terpisah marmut. Adapun panjang relaksasi rata-rata
setelah pemberian EBM dapat digambarkan dalam bentuk grafik sebagai berikut.
35 32.8
29.8
Rata-rata Relaksasi (mm)
30
25
20.4
20
15
10
5
0
0
Kontrol EBM 1.6% EBM 3.2% EBM 6.4%
Dosis
Ekstrak bawang merah terbukti mempunyai efek relaksasi terhadap otot polos ileum terpisah marmut.
Tingginya relaksasi otot polos ileum terpisah marmut direkam dengan menggunakan kymograph dari masing –
masing dosis ekstrak bawang merah.
Dosis ekstrak bawang merah yang digunakan untuk merelaksasikan yaitu 1,6 % sebagai dosis pertama, 3,2
% sebagai dosis kedua dan 6,4 % sebagai dosis ketiga yang sesuai dengan deret hitung. Ketiga dosis tersebut
diberikan pada 3 kelompok perlakuan yaitu : Kelompok 1 menggunakan histamin dosis 2.10-7 + EBM 1,6 %,
kelompok 2 menggunakan histamin dosis 2. 10-7 + EBM 3,2 % dan kelompok 3 menggunakan histamin dosis 2.
10-7 + EBM 6,4 %. efek relaksasi pada ileum marmut. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa relaksasi otot
polos ileum terpisah marmut meningkat pada ketiga dosis (ANOVA p=0,000).
Efek relaksasi yang dihasilkan oleh dosis ekstrak bawang merah kemungkinan disebabkan oleh kandungan
zat aktif yang terdapat dalamnya. Secara umum senyawa - senyawa yang terdapat dalam bawang merah adalah
saponin, flavonoida, polifenol dan minyak atsiri (Johnny, 2000). Beberapa penelitian dan analisa menunjukkan
bawang merah mengandung 2 kandungan utama, yaitu sulphur seperti allyl propyl disulphida (APDS) dan
220
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
flavonoids seperti quercetin (Wikipedia, 2007). Flavonoid diduga dapat mengurangi resiko kanker, penyakit
jantung dan kencing manis karena di dalam quercetin mempunyai unsur-unsur anti kanker, anti histamin dan anti
inflamasi. (Coles, 1998)
Quercetin yang terdapat pada ekstrak jambu biji (Psidium guajava L) telah diteliti sebagai anti motilitas
usus. Di akhir percobaan, setelah pemberian ekstrak jambu biji terbukti merelaksasikan usus halus sampai kondisi
normal (Morales, 1994).
Beberapa molekul transmisi yang terdapat pada permukaan membran sel otot polos ileum adalah
asetilkolin, norepinefrin, dan histamin. Asetilkolin merupakan molekul transmitter yang paling sering merangsang
aktivitas gastrointestinal (Guyton, 1997) .Mekanisme kompetitif inhibitor molekul transmisi pada reseptor
membran otot polos akan menghambat terjadinya kontraksi (Guyton, 1997).
Zat aktif yang terdapat pada ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum) salah satunya adalah quercetin
yang terbukti sebagai anti histamin. Dalam percobaan in vitro menggunakan hewan coba menunjukkan bahwa
quercetin menghambat sel mast dan basofil mengeluarkan histamin yang merupakan pencetus timbulnya alergi
(Coles, 1998. Jegtvig, 2006) Antihistamin juga bekerja sebagai kompetitif inhibitor terhadap reseptor histamin
pada sel, yang menyebabkan histamin tidak mencapai target organ (Wikipedia, 1999. Gapar, 2003). Penghambatan
reseptor H1 melalui mekanisme kompetitif inhibitor histamin mengakibatkan berkurangnya permeabilitas
vaskuler, relaksasi otot polos pada saluran nafas pernapasan dan usus halus (Setiawati, 1995).
Pada penelitian ini digunakan histamin untuk meningkatkan kontraktilitas otot polos ileum. Mekanisme
kontraktilitas adalah histamin berikatan pada reseptor sehingga menstimulasi protein Gq yang terdiri dari subunit
α, β, dan γ. Subunit α akan dilepaskan dan mampu menstimulasi fosfolipase C. Fungsi protein Gq sangat penting,
di duga protein ini berfungsi sebagai transduksi sinyal molekul pada sel. Inositol triphosphat (IP3) dan diasilgliserol
(DAG) merupakan second messenger pada sinyal transmisi pada α1 adrenoseptor, histamin dan asetilkolin
(Setiawati, 1995).
Histamin pada otot polos saluran cerna menyebabkan kontraksi otot polos dan kontraksi pada ileum marmut
lebih sensitif dibandingkan terhadap kelinci, hal ini terjadi karena reseptor histamin pada marmut lebih peka untuk
mengenali histamin eksogen. Efek histamin tersebut terjadi melalui reseptor H1 melalui mekanisme peningkatan
hidrolisis fosfatidil inositol 4,5 bifosfat (PIP2) serta peningkatan kalsium intraseluler (Katzung, 2001).
Pemberian ekstrak bawang merah diduga sebagai kompetitif inhibitor histamin (H1) yang menurunkan
kontraktilitas otot polos ileum terpisah marmut. Hal ini didasarkan oleh kemampuan zat aktif tersebut dalam
penghambatan kerja pada reseptor histamin dalam terjadinya kontraksi ileum terpisah marmut. Senyawa antagonis
reseptor H1 menghambat histamin dengan cara menghambat secara langsung reseptor H1 sehingga terjadi relaksasi
otot polos ileum terpisah marmut (Katzung, 2001).
Dari hasil penelitian 86,8% keragaman panjang relaksasi ditentukan oleh adanya pengaruh dari pemberian
EBM. Sedangkan sisanya 13,2% ditentukan oleh faktor lain, salah satu faktor lain yang memberikan pengaruh
relaksasi adalah otot polos mengalami periode refrakter yaitu sejumlah waktu yang dibutuhkan oleh membran
potensial diantara dua respon jaringan untuk dapat menimbulkan penjalaran rangsang kembali. Pada periode
refrakter terjadi penutupan saluran natrium dan kalsium seketika setelah potensial aksi, sehingga berapa pun
jumlah sinyal yang diberikan tidak akan menimbulkan potensial aksi yang kedua (Guyton, 1997. Setiawati, 1995).
221
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Teori lain yang dapat menyebabakan relaksasi otot polos adalah melalui penjalaran sinyal untuk
meningkatkan kemampuan miosin fosfatase, menurunkan kadar kalsium intrasel dan hiperpolarisasi (Wikipedia,
2007).
Berbagai mekanisme kerja di atas sangat mungkin untuk menjadikan relaksasi otot polos ileum terpisah
marmut yang telah di induksi oleh histamin. Hal ini disebabkan ekstrak bawang merah yang digunakan adalah
ekstrak kasar (crude ekstract). Bahan aktif yang terlarut dalam ekstrak kasar tidak hanya satu macam saja tetapi
berbagai bahan aktif yang terlarut di dalamnya dengan jumlah dan konsentrasi yang berbeda. Berbagai macam
bahan aktif yang tercampur pada ekstrak bawang merah bekerja pada reseptor yang berbeda dan mungkin saling
berinteraksi satu dengan yang lain. Jadi untuk mengetahui mekanisme kerja ekstrak bawang merah secara pasti
perlu penelitian lebih lanjut.
Pada penelitian ini menggunakan EBM dosis 1,6 %, 3,2 % dan 6,4%, sehingga belum terlihat dosis
maksimal yang dapat menyebabkan relaksasi pada otot polos ileum. Maka diperlukan penelitian dengan
menggunakan EBM dosis yang lebih tinggi untuk melihat relaksasi maksimal pada otot polos ileum.
Dalam penelitian ini diketahui semakin banyak ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum) yang diberikan
maka semakin besar efek relaksasi yang akan ditimbulkan (p = 0.000 dan R2 = 0.868). Hal ini berarti bahwa bawang
merah terbukti mempunyai efek anti motilitas terhadap otot polos ileum sehingga dapat digunakan sebagai obat
KESIMPULAN
1. Ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum) terbukti dapat memberikan efek relaksasi pada otot polos ileum
terpisah marmut yang diinduksi histamin.
2. Semakin besar dosis ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum) yang diberikan, semakin besar efek relaksasi yang
terjadi. Pada penelitian ini dosis yang mampu menunjukkan efek relaksasi pada otot polos ileum terpisah marmut
yang diinduksi histamin adalah konsentrasi 1,6 %, 3,2 % dan 6,4%.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman MH, dkk.1998. Ilmu Kesehatan Anak Jilid I.. hal:283-294. Infomedika. Jakarta
Coles LS. 1998. Quercetin: A Review of Clinical Applications. (Online) (http://www. chiro. org/ nutrition/ abstracts/ Quercetin_A_Review.html. diakses
tanggal 27 Desember 2006)
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul.2007. Perbenihan Bawang Merah (Allium ascalonicum) Varietas Tiron Bantul. (Online)
(http://warintek.bantul.go.id/web.php. diakses tanggal 11 Maret 2007)
Farris, Edmond J. 1971. The Rat In Laboratory Investigation. P : 58-64 Hafner Publishing Company. New York.
222
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Food and Drugs Administration. 2007. Label and Approval History Loperamide Hydrochloride. (Online) (http://www.accessdata.fda.gov di akses
tanggal 25 Maret 2007)
Gapar S. 2003. Farmakologi Obat-Obat Antihistamin Non Sedatif Pada Penyakit Alergi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara (Online) (http://www.library.usu.ac.id diakses tanggal 22 Mei 2007)
Ganisawarna, TIM.2003. Farmakologi Dan Terapi Edisi 4. : Hal : 248 - 249. Gaya Baru. Jakarta
Ganong WF.1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. Terjemahan Oleh dr. M.Djauhari Widjajakusumah. Hal : 491-494. EGC. Jakarta
Guyton CA, Hall EJ.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Terjemahan Oleh dr . Irawati Setiawan. hal 119 – 123. EGC. Jakarta
Hendarwanto.2003. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I FKUI. Hal: 507-509. Gaya Baru. Jakarta
Hutapea JR, Djumid, Sutjipto. dkk.2000. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (I) jilid 1. hal 13 – 14. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departmen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia
Irawan Dl.2006. Bawang Merah Dan Pestisida (Online) (http://www.waspada.co.id/serba_ serbi/kesehatan/artikel.php di akses tanggal 22 Mei 2007)
Jegtvig S.2006. Top 6 Nutritional Supplements for Relief of Asthma Symptoms. (Online) (http://nutrition.about.com/dietsformedicaldisorders/. di akses
tanggal 27 desember 2006)
Junqueira, Carlos L.1998. Histologi Dasar. Terjemahan Oleh dr. Jan Tambayong. : Hal : 300-305. EGC. Jakarta
Katzung BG.2001.Farmakologi Dasar dan Klinik. Terjemahan Oleh Dr. Dripa Syabana, dkk. Hal : 265-268. Salemba Medika. Jakarta
Leeson S, Thomas L, Ronald C.P, Anthony A.1996. Buku Ajar Histologi. hal. 359 – 373. EGC. Jakarta
Loekito HH.1998. Rancangan Penelitian. Universitas negeri Malang hal 25- –75. Malang
Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R dkk.1999. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 3. hal 504 – 507. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Media Aesculapius. Jakarta
Morales MA; Tortoriello J; Meckes M; Paz D; Lozoya X.1994. Calcium-antagonist effect of quercetin and its relation with the spasmolytic properties
of Psidium guajava L. (Online) (http://www.rain-tree.com/clinic/clinicga.htm. di akses tanggal 12 Maret 2007)
Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC.2001. Farmakologi Ulasan Bergambar edisi.2. Widya medika. Jakarta
Price AS, Wilson, M, Lorraine.1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit. Edisi 4. Hal 389 – 391. EGC. Jakarta.
Rhoades R.1994. Human Physiology Third Edition. P : 690-691 Amerika : United Stated of Amerika
Sarbini AM.2007. Diare. (Online) (http://www.mer-c.org/mc/ina. diakses tanggal 22 Mei 2007)
Selvy.2006. Khasiat Tanaman / Herbal Indonesia. (Online) (http://www.webspawner.com /users/nusaherbal/ diakses tanggal 22 Maret 2007)
Satyadi. 1993. Ringkasan Anatomi. Hal :202. Bina Rupa Aksara. Jakarta.
Setiawati A, Bustami ZS, Suyatna FD.1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4.: Bagian Farmakologi FKUI. Hal. 12-13. Jakarta
Subroto A.2006. Sebuah Pedang Bermata Dua. (Online) (http://www.trubus-online.com/ mod.php diakses tanggal 12 Maret 2007)
Tierney ML, Mc Phee JS, Papadakis, AM.2001. Lange Current Medical Diagnosis and Treatment. Edisi 40. p: 567-570. Mc Graw Hill. (2001)
Wikipedia.2007. Bawang merah. (Online) (http://ms.wikipedia.org/ wiki/Bawang_merah diakses tanggal 25 Maret 2007)
Wikipedia.2006. Guinea pig. (Online) (http://en.wikipedia.org/wiki/Guinea_pig. diakses tanggal 25 Maret 2007)
Wikipedia.1999. Antihistamine. (Online) (http://en.wikipedia.org/wiki/Antihistamine diakses tanggal 22 Mei 2007)
World Health Organization (WHO).2005. Diarrhoea Treatment Guidelines for Clinic-Based Healthcare Workers. P : 4. New York.
Zein U.2004. Diare Akut Infeksius Pada Dewasa. hal 1- 8. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Divisi
Penyakit Tropik dan Infeksi.
Singkatan
EBM : Ekstrak Bawang Merah
IP3 : Inositol Triphosphat
DAG : Diasilgliserol
PIP2 : Fosfatidil Inositol 4,5 Bifosfat
LGG : Larutan gula garam
OMA : Otitis Media Akut
ATP : Adenosin Trifosfat
ADP : Adenosin Difosfat
WHO : World Health Organization
223
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh mekanisme imunologi. Daun sembung (Blumea balsamifera), buah cabe jawa (Piper
retrofractum Vahl.), umbi rumput teki (Cyperus rotundus), dan rimpang jahe (Zingiber officinale Roxb.) merupakan tanaman yang berpotensi
menurunkan gejala alergi tetapi belum diketahui keamanannya dalam bentuk ramuan jamu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai keamanan
ramuan jamu alergi terhadap fungsi hati. Desain penelitian quasi eksperimental pre-post. Dosis ramuan jamu terdiri dari 10 gram daun sembung, 8 gram
buah cabe jawa, 5 gram rimpang jahe, dan 7 gram umbi rumput teki. Sebanyak 55 subyek diberikan jamu rebusan selama 4 minggu diminum 3 kali
sehari. Pada Hari ke 0, 14, dan 28 subyek diperiksa fungsi hatinya yang meliputi SGOT dan SGPT. Hasil dianalisis dengan uji t berpasangan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan bermakna (p>0,05) pada fungsi hati. Disimpulkan bahwa pemberian ramuan jamu alergi selama
28 hari terbukti aman terhadap fungsi hati.
Allergy is a hypersensitivity reaction mediated by immunologic mechanisms. Sembung leaf (Blumea balsamifera), cabe jawa fruit (Piper retrofractum
Vahl.), rumput teki tuber (Cyperus rotundus), and ginger rhizome (Zingiber officinale Roxb.) are plants that could potentially reduce allergy symptoms
but not yet known safety in the form of the herb formula (jamu). The purpose of this study was to assess the safety of allergy jamu formula to liver
function. Design of this study is quasi experimental pre-post. Dose jamu formula consists of 10 grams of sembung leaf, 8 grams of cabe jawa fruit, 5
grams of ginger rhizome, and 7 grams of rumput teki tuber. A total of 55 subjects were given for 4 weeks herbal decoction taken 3 times a day. In day
0, day 14th, and day 28th subjects examined heart function that includes SGOT and SGPT. Results were analyzed by paired t test. The results showed
that there were no significant changes (p> 0.05) in liver function. It was concluded that the administration of allergy jamu formula for 28 days proven
safe for liver function.
PENDAHULUAN
Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis, yaitu akibat induksi oleh
Imunoglobulin E (Ig E) yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan sel mast. Reaksi timbul akibat
paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut alergen.
Paparan berulang oleh alergen spesifik akan mengakibatkan reaksi silang terhadap sel mast yang mempunyai ikatan
dengan afinitas kuat pada IgE. Sel mast akan teraktivasi dengan melepaskan mediator terlarut seperti histamin untuk
kemudian menuju target organ, menimbulkan gejala klinis sesuai dengan target organ tersebut. Penyakit tersebut
berhubungan erat dengan faktor genetik dan lingkungan. Alergen dapat masuk ke dalam tubuh melalui beberapa cara
seperti inhalasi, kontak langsung, saluran cerna, atau suntikan. Kondisi lingkungan yang semakin kompleks membuat
jumlah alergen meningkat (Wistiyani & Notoatmojo, 2011).
Dampak buruk alergi adalah menurunnya kualitas hidup, besarnya biaya pengobatan dan terjadinya ko-
morbiditas seperti asma, sinusitis dan otitis media. Pada anak, pengaruhnya bahkan sampai pada terganggunya
kemampuan belajar dan penurunan kualitas hidup orang tuanya. Prevalensi penyakit alergi dilaporkan meningkat,
diperkirakan lebih dari 20% populasi di seluruh dunia menderita penyakit yang diperantarai oleh IgE, seperti asma,
rinokonjungtivitis, dermatitis atopik atau eksema, dan anafilaksis (Wistiyani & Notoatmojo, 2011). Penyebab pasti
tingginya prevalensi belum jelas diketahui. Faktor yang diduga ikut berperan disamping faktor genetic adalah factor yang
lain misalnya, jumlah anggota keluarga kecil, peningkatan gaya hidup kebarat-baratan (westernisasi), paparan allergen,
perbaikan lingkungan tempat tinggal, penggunaan perabot rumah tangga, dan polusi udara (Nency, 2005).
Terapi medikamentosa terhadap alergi selama ini adalah menggunakan antihistamin. Antihistamin dapat dibagi
dalam dua kelompok, yakni antagonis reseptor-H1 (sH1-blockers atau antihistaminika) dan antagonis reseptor H2 (H2-
224
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
blockers atau zat penghambat-asam). Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping paling sering yaitu sedasi.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan
kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia dan tremor. Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu
makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare, efek samping ini akan berkurang bila
AH1 diberikan sewaktu makan. Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria, palpitasi,
hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan (Pohan, 2007). Berbagai efek samping yang mungkin timbul
pada penggunaan antihistamin, dan tren masyarakat untuk kembali ke alam membuat mereka beralih pada fitoterapi
(jamu) karena dianggap fitoterapi relatif aman dan tanpa efek samping yang berarti (Pudjiastuti, 2006)
Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010, menunjukkan bahwa 59,12% penduduk Indonesia menggunakan
jamu baik untuk menjaga kesehatan maupun untuk pengobatan karena sakit. Data Riskesdas ini menunjukkan bahwa,
jamu sebagai bagian dari pengobatan tradisional, telah diterima oleh masyarakat Indonesia (Badan Litbangkes,
2010).Berdasarkan Permenkes No.003/MENKES/PER/I/2010 nomor 003 tahun 2010 tentang saintifikasi jamu
disebutkan bahwa saintifikasi jamu adalah pembuktian ilmiah khasiat dan keamanan jamu. Saintifikasi jamu dilakukan
melalui observasi klinik yaitu penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Saintifikasi jamu merupakan terobosan
Kementerian kesehatan dalam upaya memberikan dukungan ilmiah (evidence based) terhadap jamu untuk dapat
dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan formal (Menteri Kesehatan, 2010).
Daun sembung (Blumea balsamifera), buah cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.), umbi rumput teki (Cyperus
rotundus), dan rimpang jahe (Zingiber officinale Roxb.) merupakan tanaman yang berpotensi menurunkan gejala alergi
terutama rhinitis alergi tetapi belum diketahui keamanannya dalam bentuk ramuan. Daun sembung menurunkan gejala
asma pada marmut yang diinduksi mediator alergi histamin (Yenni et al., 2005). Bersama sambiloto daun sembung juga
memiliki aktivitas antialergi (Aldi, 2006). Cabe jawa bisa menghambat histamin yang merupakan salah satu mediator
penyebab terjadinya alergi (Winarto &Kristiani, 2003). Rimpang jahe dan umbi rumput teki mempunyai aktifitas sebagai
antiinflamasi dan antialergi (Kementerian Kesehatan RI, 2010)
Penelitian pra klinis di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat (B2P2TOOT) membuktikan
bahwa penggunaan rebusan ramuan jamu dengan dosisdaun sembung180 mg/ 200 gr BB tikus, rimpang jahe 90 mg/ 200
gr BB tikus, umbi rumput teki 126 mg/ 200 gr BB tikus, dan buah cabe jawa 144 mg/200 gr BB tikus setiap hari selama
14 hari secara deskriptif dapat menghambat terjadinya alergi pada tikus yang telah diinduksi ovalbumin. Sehingga ramuan
ini dapat dimanfaatkan sebagai terapi anti alergi. Uji toksisitas akut infusa ramuan jamu untuk alergi pada pemberian
dosis tunggal oral tidak menimbulkan efek toksik, dengan nilai LD50 infusa ramuan jamu lebih besar dari 5000 mg/Kg
BB, termasuk Practitial Non Toxic(PNT). Uji toksisitas subkronik, tidak ditemukan tanda-tanda toksisitas pada hewan
uji (Galuh, 2015).
Supaya ramuan jamu dapat digunakan pada manusia maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
keamanan (toksisitas) ramuan jamu terutama terhadap fungsi hati.
225
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Kriteria inklusi adalah penderita dengan diagnosis alergi, kondisi klinis stabil (anamnesa, pemeriksaan fisik dan
laboratorium), berusia 17-50 tahun, bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani informed consent.Kriteria
eksklusi adalah subyek dengan mengkonsumsi obat-obatan, subyek dengan komplikasi penyakit berat seperti jantung,
kanker, yang diketahui melalui catatan medis yang bersangkutan, hipersensitif terhadap jamu/obat herbal (secara umum)
sebelumnya yang didapat melalui anamnesis, wanita hamil dan menyusui.
Pembuatan bahan dan kontrol kualitas dilakukan oleh timQuality Control B2P2TOOT. Kemudian dilakukan
pengemasan dengan dosis sebagai berikut: 10 gram daun sembung, 8 gram buah cabe jawa, 5 gram rimpang jahe, dan 7
gram rimpang rumput teki. Ramuan jamu direbus dengan 5 gelas air (1000 cc) sampai mendidih dan dibiarkan air rebusan
tinggal 3 gelas air (600 cc), didinginkan, disaring dan diminum 3 kali sehari. Lama pemberian 4 minggu dengan kontrol
setiap minggu. Kunjungan pertama diberikan jamu selama 1 minggu, dilanjutkan kontrol dan pemberian jamu untuk
minggu kedua dan seterusnya. Setiap subyek diberi penjelasan cara pembuatan jamu yang benar dan diberikan catatan
cara membuat jamu untuk dibawa pulang.
Pada Hari ke-0, Hari ke-14 dan Hari ke-28 subyek diperiksa fungsi hatinya yang meliputi Serum Glutamic
Pyruvic Transaminase (SGPT) dan Serum Glutamic Ocsaloasetat Transaminase (SGOT). Pemeriksaan fungsi hati
dilakukan melalui pengambilan darah pada vena cubiti di laboratorium klinik B2P2TOOT.Hasil dianalisis dengan uji t
berpasangan sebelum dan sesudah minum jamu. Penelitian ini sudah mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Nasional
Etik Penelitian Kesehatan (KNEPK).
30
25
20
H-0
15
H-14
10 H-28
0
SGOT SGPT
226
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Gambar 1. Grafik Perbandingan Kadar SGOT dan SGPT pada Hari ke-0, hari ke-14, dan hari ke-28
Hasil test Kolmogorov Smirnov untuk menguji distribusi normal data didapatkan p>0,05 sehingga dapat
disimpulkan bahwa distribusi data normal sehingga uji t dapat dilakukan.Uji t berpasangan dengan taraf kepercayaan 95%
didapatkan nilai p>0,05 pada rerata SGOT, baik pada Hari ke-14 maupun Hari ke-28 yang berarti tidak terdapat perbedaan
bermakna rerata kadar SGOT pada Hari ke-0 dan Hari ke-14 serta Hari ke-0 dan Hari ke-28. Sedangkan SGPT mengalami
penurunan secara bermakna (P<0,05) baik pada H-14 maupun H-28 (Gambar 1.). Meskipun mengalami penurunan secara
bermakna, tetapi berdasarkan WHO Toxicity Grading Scale for determining the severity Adverse Events (Tabel 2.) hasil
pemeriksaan SGOT dan SGPT pada penelitian initidak termasuk dalam kategori toksik (WHO, 2003)
Tabel 2. WHO Toxicity Grading Scale for determining the severity Adverse Events
Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3 Derajat 4
PARAMETER
(Ringan) (Sedang) (Berat) (Gawat)
Hemoglobin (mg/dL) 9.5 – 10.5 8.0 – 9.4 6.5 – 7.9 < 6.5
DAFTAR PUSTAKA
227
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Aldi Yufri. 2006. Uji Efek Antialergi dari Tumbuhan Andrographis paniculata Nees. dan Blumea balsamifera (L) Dc.
http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-s2-1994-yufrialdi-1823 (31-8-2015)
Badan Litbangkes. 2010. Laporan Hasil Riet Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta: Balitbangkes Departemen Kesehatan RI
Galuh. 2015. Uji Praklinik Formula Jamu Antialergi. Surakarta: B2P2TOOT
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Vademenkum Tanaman Obat Untuk Saintifikasi Jamu Jilid 1. Jakarta: Badan Litbangkes
Menteri Kesehatan RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/MENKES/PER/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitia Berbasis
Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Nency Y.M. 2005. Prevalensi dan Faktor Risiko Alergi pada Anak usia 6-7 tahun di Semarang. Tesis. Undip, Semarang.
Pohan S.S. 2007. Mekanisme Antihistamin pada Pengobatan Penyakit Alergik : Blokade Reseptor – Penghambatan Aktivasi Reseptor. Majalah
kedokteran Indonesia, 57(4): 113–117
Pudjiastuti. 2006. Hasil Penelitian Tanaman Obat Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi 1997-2002. Jakarta: Balitbangkes
Departemen Kesehatan RI
WHO. 2003. WHO Toxicity Grading Scale for determining the severity Adverse
Eventshttp://www.icssc.org/Documents/Resources/AEManual2003AppendicesFebruary_06_2003%20final.pdf (7 Januari 2017)
Winarto & Kristiani E. 2003. Uji efek rebusan buah cabe Jawa (Piper retrofractum Vahl) dosis 175 g/kg BB terhadap kontraksi ileum marmut terisolasi
yang diinduksi dengan histamin. http://repository.ubaya.ac.id/6941/ (31-8-2015)
Wistiyani & Notoatmojo. 2011. Hubungan Pajanan Alergen Terhadap Kejadian Alergi pada Anak. Sari Pediatri, 13(3): 185-190
Yenny P., Andreanus., Joseph I.S. 2005. Uji Aktivitas Antiasma Ekstrak Etanol Daun Sembung (Blumea balsamifera (L.) DC.) Berdasarkan Pola
Pernafasan Marmut Jantan. http://bahan-alam.fa.itb.ac.id/detail.php?id=106 (31-8-2015).
228
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskuler tersering yang terjadi pada penderita DM dan menimbulkan beberapa kelainan pada struktur
histologis ginjal, yakni perubahan pada glomerulus.Tujuan penelitian, untuk mengetahui pengaruh pemberian serta dosis efektif ekstrak etanol daun
gendola merahterhadap kadar kretainin dan ureum tikus diabetes yang diinduksi steptozotocin. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental
dengan rancangan postest randomized controlled group design. Hewan uji sebanyak 30 ekor terbagi dalam 6 kelompok perlakuan. Tiap kelompok
terdapat 5 ekor dengan rincian kelompok I, II, dan III sebagai kelompok kontrol dan kelompok IV, V, dan VI sebagai kelompok eksperimen. Kelompok
II, III, IV, V dan VI diberikan induksi STZ 40 mg/kg BB dosis tunggal secara i.p pada hari ke-0. Kelompok I: kontrol normal dan kelompok II: kontrol
negatif diberi Na CMC 0,5%; kelompok III: kontrol positif, diberi glibenklamid 0.45 mg/kg BB: kelompok IV; kelompok V; kelompok VI: diberi
ekstrak masing-masing dengan dosis 100, 200 dan 400 mg/kg BB secara p.o setiap hari selama 21 hari. Serum darah tikus diambil sebelum dan sesudah
perlakuan.Data yang diperoleh berupa parameter kadar kreatinin dan ureum dianalisis menggunakan uji one wayANOVA pada taraf kepercayaan 95%
dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc LSD. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak etanol daun gendola merah berpengaruh
terhadap penurunan kadar kreatinin dan ureum tikus putih jantan diabetes, dan dosis 200 mg/kg BB memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap
penurunan kadar kretainin dan ureum dari variasi dosis yang diberikan.
ABSTRACT
Diabetic nephropathy is the most common microvascular complication that occurs in patients with DM and cause some abnormalities in renal
histological structure, namely changes in the glomerulus. The objective of this study is to determine the effect as well as the effective dose of ethanol
extract leaves of red gendola on creatinine and urea description of rats diabetic induced by streptozotocin. The research used an experimental methods
with posttest randomized controlled group design. Sample of 30 male rats devided into six groups. In which each group comprised 5 rats with the group
details I, II, and III were the control groups, IV, V, and VI were the experimental groups. Group II, III, IV, V, and VI are given induction of STZ 40
mg/kg BW in a single dose i.p on day 0. Normal control group I and negatif control group II were given NaCMC 0,5%; positive control group III given
glibenclamide 0,45 mg/kg BW; group IV, V, and VI are given each extract at a dose of 100, 200, and 400 mg/kg BW in p.o every day for 21 days. Rats
blood serum was taken before and after treatment. Data obtained in the from of parameter levels of creatinine and urea were analyzed using one way
Anova test at the level of 95 % early followed by LSD Post Hoc Test. It can be concluded that the ethanol extract of leaves of Basella alba L. effect on
decreased levels of creatinin and urea diabetic male rats, and a dose of 200 mg/kg BW give greater influence to the decrease in creatinine and urea of
variations of the administered dose.
PENDAHULUAN
Obat herbal digunakan terutama karena mengandung beberapa bahan kimia yang berinteraksi baik dengan tubuh
manusia atau sistem kekebalan tubuh untuk memerangi penyakit.Para ilmuwan mulai mempelajari komposisi kimia dari
obat-obatan herbal tradisional.Penelitian ini, bersama-sama dengan pengetahuan modern biologi manusia, menyebabkan
perkembangan obat-obatan modern (Kemendag RI, 2011). Tanaman yang telah diteliti mempunyai pengaruh dalam
penurunan kadar kreatinin dan ureum ginjal salah satunya adalah tanaman gendola merah (Basella alba L.)
Hiperglikemia pada penderita DM menyebabkan keadaan stres oksidatif, keadaan dimana terjadi
ketidakseimbangan antara Reactive Oxygen Species (ROS) terhadap antioksidan.Stres oksidatif menyebabkan peroksidasi
lipid di membran sel endotel glomerulus.Hal ini menyebabkan kerusakan membran sel endotel glomerulus, sehingga
fungsi filtrasi dari glomerulus menurun. Keadaan ini menyebabkan kadar ureum dan kreatinin serum meningkat (Robbins
et al. 2003). Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskuler tersering yang terjadi pada penderita DM dan
menimbulkan beberapa kelainan pada struktur histologis ginjal, yakni perubahan pada glomerulus (Scobie 2011).
Kreatinin adalah produk endogenus akhir dari metabolisme kreatin fosfat dimana kadarnya relatif lebih
konstan.Ureum merupakan hasil utama dari metabolisme protein dalam tubuh.Kadar ureum dalam serum bergantung pada
229
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
katabolisme (pemecahan) protein di dalam hati yang disekresikan ke dalam ginjal kemudian diekskresikan melalui urin,
Kedua parameter ini menjadi salah satu parameter untuk menilai fungsi ginjal normal (Fuadi, 2009).
Penelitian efek hipoglikemik ekstrak daun Basella rubra L. dengan induksi STZ yang dilakukan Nirmala et al,
2009 dengan dosis pemberian 400 mg/ 100 Kg BB. signifikan mengembalikan kadar glukosa darah. Penelitian efek
nephroprotective ekstrak etanol Basella alba L. yang diinduksi gentamisin secara signifikan mengurangi peningkatan
serum urin, natrium, kalium, kalsium, protein, kreatinin, urea, asam urat, dan GGT. Jaringan tingkat MDA juga berkurang
secara signifikan (Kumar, et al 2013).
Uraian penelitian tersebut di atas menjadi dasar gagasan peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut
menggunakan hewan uji tikus putih jantan (Rattus norvegicus) diabetes yang diinduksi streptozotocin 40 mg/kg BB
dengan variasi dosis ekstrak daun gendola merah (Basella alba L.), yaitu 100 mg/kg BB, 200 mg/kg BB dan 400 mg/kg
BB.
230
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
selanjutnya dipekatkan menggunakan rotary vacuum evaporator dengan suhu 60◦C. Kemudian dilanjutkan dengan
penguapan menggunakan waterbath hingga diperoleh ekstrak kental.
Uji Penapisan Fitokimia
Uji penapisan fitokimia yang dilakukan pada ekstrak daun gendola merah (Basella alba L.) ditujukan untuk
mengetahui golongan senyawa bioaktif yang terkandung di dalam ekstrak tersebut.Pengujian dilakukan terhadap
golongan senyawa alkaloid, flavonoid, fenol, saponin, dan tanin yang dilakukan secara kualitatif dengan reaksi warna
atau pengendapan.
Pembuatan Suspensi Glibenklamid
Dosis Glibenklamid pada manusia dewasa adalah 5 mg per hari, jika dikonversi pada tikus dengan berat 200 gram
adalah 0,018 maka dosis glibenklamid untuk tikus adalah 0,45 mg/kg BB. Ditimbang serbuk tablet glibenklamid yang
setara dengan 3,6 mg kemudian disuspensi dalam Na CMC 0,5% hingga 100 ml kemudian dikocok hingga homogen.
Pembuatan Larutan Induksi Streptozotocin
Serbuk streptozotocin dengan dosis 40 mg/kg BB ditimbang sebanyak 0,32 gram lalu dilarutkan menggunakan
citrate-buffer saline dengan pH 4,5 hingga 100 mL lalu diinduksikan pada tikus secara intraperitoneal (i.p).
Penyiapan Hewan Uji
Tikus wistar sebanyak 30 ekor tikus yang telah memenuhi kriteria inklusi terbagi dalam 6 kelompok
perlakuan.Masing-masing kelompok terdapat 5 ekor tikus putih jantan dan dikandangkan perkelompok perlakuan, diberi
pakan standar dan minum.Penelitian dilakukan selama 42 hari terhitung pada saat tikus diadaptasikan selama 2 minggu.
Pembuatan Hewan Uji Diabetes dan Pengujian Ekstrak Daun Gendola Merah
Penelitian hari ke-0, hewan uji dipuasakan terlebih dahulu kemudian kadar kreatinin dan ureum awal tikus diukur.
Selanjutnya selain kelompok hewan uji kontrol normal, tikus diinduksi streptozotocin dosis 40 mg/kg BB secara i.p.
Setelah 1 minggu (hari ke-7) paparan streptozotocin kreatinin dan ureum tikus kembali diukur untuk melihat apakah
streptozotocin telah mempengaruhi metabolisme kreatinin dan ureum, pengukuran kembali dilanjutkan pada hari ke-14,
ke-21, dan ke-28 dengan terlebih dahulu dipuasakan. Dimulai dari hari ke-7 tiap-tiap kelompok diberi perlakuan sebagai
berikut, kontrol normal tanpa induksi diberi suspensi Na CMC 0.5 %, kontrol negatif diberi suspensi Na CMC 0,5%,
kontrol positif diberi suspensi Glibenklamid 0.45 mg/kg BB, kelompok perlakuan I diberi suspensi ekstrak gendola merah
100 mg/kg BB, kelompok perlakuan II diberi suspensi ekstrak gendola merah 200 mg/kg BB, dan kelompok perlakuan
III diberi suspensi ekstrak gendola merah 400 mg/kg BB setiap hari selama 21 hari.Semua sampel darah diambil melalui
vena ekor tikus dan ditempatkan dalam tabung darah Effendrof.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji statistik One Way Anova. Uji ini digunakan untuk menentukan
adanya perbedaan yang signifikan antar perlakuan terhadap kadarkreatinin dan ureum. Selanjutnya, jika
diperolehperbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan terhadap kadarkreatinin dan ureum, maka akan dilanjutkan
dengan uji lanjut LSD dengan taraf kepercayaan 95%.
231
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Uji Flavonoid HCL Pekat dan Magnesium Terbentuk Warna Kuning Positif (+)
Tabel 2. Rerata kadar kreatinin darah tikus putih jantan (Rattus norvegicus)
Tabel 3. Rerata kadar ureum darah tikus putih jantan (Rattus norvegicus)
Rerata ± SD Kadar Ureum (mg/dL)
Hari Kontrol Kontrol Kontrol Positif Dosis 100 Dosis 200 Dosis 400
P
ke- Normal Negatif (Glibenklamid) mg/Kg BB mg/Kg BB mg/Kg BB
0 32.2±2.02 27.9±2.32 39.92±4.76 29.28±3.15 27.54±2.54 26±1.33 0.000
7 30.98±0.79 40.36±12.31 46.26±13.92 40±4.63 30.66±9.24 39.2±9.79 0.200
14 33.3±4.22 53.94±8.85 55.24±11.74 67.48±5.66 50.42±8.46 52±5.88 0.000
21 33.22±2.82 61.56±14.59 70.22±25.78 64.58±9.91 48.14±12.3 77.42±17.0 0.006
28 34.84±1.28 89.78±34.43 58.72±25.42 66.14±10.06 46.52±12.74 78.26±24.82 0.014
Keterangan: Nilai P > 0,05 = Berbeda Tidak Signifikan
Nilai P < 0,05 = Berbeda Signifikan
232
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
1.6
1.4
1.2
Kontrol Normal
1 Kontrol Negatif
0.2
0
Hari ke 0 Hari ke 7 Hari ke 14 Hari ke 21 Hari ke 28
Gambar 1. Diagram profil kadar Kreatinin darah tikus putih jantan setelah perlakuan
pada masing-masing kelompok hari ke-0, hari ke-7, hari ke-14, hari ke-21
dan hari ke-28.
140
120
Kontrol Positif
60 Dosis 100mg/kg BB
Dosis 200 mg/kg BB
40
Dosis 400 mg/kg BB
20
0
Hari ke 0 Hari ke 7 Hari ke 14 Hari ke 21 Hari ke 28
Gambar 2. Diagram profil kadar ureum darah tikus putih jantan setelah perlakuan pada
masing masing kelompok hari ke-0, hari ke-7, hari ke-14, hari ke-21 dan hari
ke-28.
Penelitian ini bertujuan untuk mengamati pengaruh terhadap kadar kreatinin dan ureum tikus yang diberi variasi
dosis ekstrak daun gendola merah akibat pemberian induksi streptozotocin dosis 40 mg/kg BB selama 21 hari. Pengujian
ini dilakukan dengan uji praklinik menggunakan hewan uji tikus putih jantan (Rattus norvegicus). Penelitian ini diawali
dengan pengukuran kadar ureum dan kreatinin darah awal yakni pada hari ke-0 untuk mengetahui kadar ureum dan
kreatinin normal tikus sebelum perlakuan dan setelah tikus diberi perlakuan.Pemberian perlakuan sesuai kelompok
dilakukan selama 21 hari dan dilakukan pengukuran kadar kreatinin dan ureum pada hari ke-7 setelah perlakuan. Untuk
mengetahui pengaruh bahan uji terhadap kadar ureum dan kreatinin akibat paparan streptozotocin dimana terdapat
perbedaan yang signifikan dengan kontrol negatif yang ditandai dengan nilai terhadap kadar ureum dan kreatinin yang
tidak melebihi normal. Data yang diperoleh dianalisis statistik dengan uji one way anova pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil pengukuran kadar serum kreatinin darah awal tikus putih jantan pada kelompok normal; sakit; positif; ekstrak
100 mg/kg BB; ekstrak 200 mg/kg BB; ekstrak 400 mg/kg BBberturut-turut adalah 0.67; 0.68; 0.77; 0.68; 0.71; 0.63
233
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
mg/dL. Sedangkan hasil pengukuran kadar serum ureum darah awal tikus putih jantan pada kelompok normal; sakit;
positif; ekstrak 100 mg/kg BB; ekstrak 200 mg/kg BB; ekstrak 400 mg/kg BBberturut-turut adalah 32.2; 27.9; 39.92;
29.28; 27.54; 26 mg/dL.
Hasil uji analisis one way anova semua kelompok menunjukkan adanya perbedaan yang tidak signifikan pada
kadar kreatinin awal (baseline) dengan nilai probabilitas adalah 0.169 (p>0.05) dan menunjukkan perbedaan yang
signifikan pada kadar ureum awal (baseline) dengan nilai probabilitas adalah 0.000 (p<0.05), sehingga dilanjutkan analisis
data menggunakan Post Hoc Test. Hasil analisis Post Hoc Test LSD kadar ureum menunjukkan bahwa kelompok ekstrak
100 mg/kg BB berbeda signifikan dengan kontrol positif tetapi berbeda tidak signifikan terhadap kelompok kontrol
normal; negatif; ekstrak 200 mg/kg BB dan 400 mg/kg BB. Ekstrak 200 mg/kg BB dan 400 mg/kg BB berbeda signifikan
dengan kontrol normal dan positif tetapi berbeda tidak signifikan terhadap kelompok kontrol negatif dan ekstrak 100
mg/kg BB.Kelompok kontrol positif berbeda signifikan terhadap masing-masing kelompok perlakuan.Menurut mayer
(2004) dan Dukes (1977) dalam Fuadi (2009), pemberian pakan berprotein tinggi dapat menyebabkan peningkatan jumlah
ureum dan kreatinin dalam darah, asupan protein yang tinggi meningkatkan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus
hingga 20-30 persen sesaat setelah individu diberi pakan berprotein tinggi. Exercise dapat menyebabkan kadar ureum dan
kreatini yang bervariasi di dalam darah dan tidak selalu menandakan kerusakan pada organ ginjal.
Hasil pengukuran kadar serum kreatinin darah tikus putih jantan setelah induksi streptozotocin dosis 40 mg/kg BB
pada hari ke-7dari masing-masing kelompok perlakuan berturut-turut adalah 0.67; 0.93; 0.80; 0.78; 0.82; 0.71 mg/dL.
Hasil rerata kadar ureumdari masing-masing kelompok perlakuanberturut-turut adalah 30.98; 40,36; 46.26; 40; 30.66;
39.2 mg/dL. Kenaikan kadar serum ureum dan kreatinin dikarenakan tikus mengalami hiperglikemia akibat pemberian
streptozotocin, menurut Wisman (1985) dalam Novita (2015) kondisi DM mengakibatkan hiperfiltrasi glomerulus akibat
dari glukosa yang difiltrasi akan direabsorbsi oleh tubulus ginjal dan sekaligus membawa natrium, bersamaan dengan
efek insulin yang merangsang reabsorbsi tubuler natrium, sehingga menyebabkan volume ekstrasel meningkat.
Hasil uji analisis one way anovahari ke-7 menunjukkan nilai probabilitas pada kadar kreatinin adalah 0.276
(p>0.05) dan kadar ureum adalah 0.200 (p>0.05). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang tidak signifikan antara
semua kelompok perlakuan, sehingga tidak perlu dilanjutkan uji analisis data menggunakan Post Hoc Test.
Hasil pengukuran kadar serum kreatinin darah tikus putih jantan hari ke-14 dari masing-masing kelompok
perlakuanberturut-turut adalah 0.78; 0.72; 0.81; 1.00; 0.82; 0.69 mg/dL.Hasil pengukuran kadar serum ureum darah tikus
putih jantan hari ke-14 dari masing-masing kelompok perlakuanberturut-turut adalah33.3; 53.94; 55.24; 67.48; 50.42; 52
mg/dL. Hasil pengukuran kadar kreatinin dan ureum tersebut masih berada di atas normal, sehingga dilakukan
penambahan hari guna melihat pengaruh terhadap pemberian ekstrak.
Hasil uji analisis one way anovahari ke-14 menunjukkan nilai probabilitas pada kadar kreatinin adalah 0.419
(p>0.05), hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang tidak signifikan antara semua kelompok perlakuan, sehingga tidak
perlu dilanjutkan uji analisis data menggunakan Post Hoc Test. Hasil uji analisis one way anova menunjukkan nilai
probabilitas pada kadar ureum adalah 0.000 (p<0.05), hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara
semua kelompok perlakuan, sehingga perlu dilanjutkan uji analisis data menggunakan Post Hoc Test. Hasil analisis Post
Hoc Test LSD kadar ureum menunjukkan bahwa kelompok kontrol normal dan ekstrak 100 mg/kg BB menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan terhadap semua kelompok perlakuan,sedangkan kelompok kontrol negatif; positif;
ekstrak 200 mg/kg BB dan 400 mg/kg BB menunjukkan adanya perbedaan yang tidak signifikan.
234
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Hasil pengukuran kadar serum kreatinin darah tikus putih jantan hari ke-21 dari masing-masing kelompok
perlakuanberturut-turut adalah0.86; 0.62; 0.68; 0.79; 0.75; 0.96 mg/dL. Hasil pengukuran kadar serum ureum darah tikus
putih jantan hari ke-21 dari masing-masing kelompok perlakuan dberturut-turut adalah33.22; 61.56; 70.22; 64.58; 48.14;
77.42 mg/dL. Hasil pengukuran kadar ureum dan kreatinin tersebut masih berada di atas normal, sehingga dilakukan
penambahan hari guna melihat pengaruh terhadap pemberian ekstrak.
Hasil uji analisis one way anovahari ke-21 menunjukkan nilai probabilitas pada kadar kreatinin adalah 0.008
(p<0.05) dan nilai probabilitas kadar ureum adalah 0.006 (p<0.05). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan terhadap kadar kreatinin dan ureum diantara semua kelompok. Sehingga dilanjutkan analisis data menggunakan
Post Hoc Test.Hasil uji lanjut Post Hoc Test LSD terhadap kadar kreatinin hari ke-21 menunjukkan bahwa kelompok
dosis ekstrak 100 mg/kg BB menunjukkan adanya perbedaan yang tidak signifikan antar kelompok perlakuan. Dosis
ekstrak 200 mg/kg BB menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap dosis ekstrak 400 mg/kg BB, tetapi berbeda
tidak signifikandengan kelompok kontrol normal; negatif; positif; dan ekstrak 100 mg/kg BB.Dosis ekstrak 400 mg/kg
BB menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap kontrol negatif, kontrol positif dan dosis ekstrak 200 mg/kg BB,
tetapi menunjukkan perbedaanyang tidak signifikan terhadap kontrol normal dan dosis 100 mg/kg BB.Hasil uji lanjutPost
Hoc Test LSD terhadap kadarureum hari ke-21 menunjukkan bahwa kelompok dosis ekstrak 100 mg/kg BB menunjukkan
perbedaan yang signifikan terhadap kontrol normal tetapi berbeda tidak signifikan terhadap kelompok kontrol positif;
negatif; 200 mg/kg BB dan 400 mg/kg BB. Dosis ekstrak 200 mg/kg BB menunjukkan perbedaan yang signifikandengan
dosis ekstrak 400 mg/kg BBtetapi berbeda tidak signifikan terhadap kelompok kontrol normal; positif; negatif; 100 mg/kg
BB. Dosis ekstrak 400 mg/kg BB menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap kelompok normal dan dosis ekstrak
200 mg/kg BB tetapi berbeda tidak signifikan terhadap kelompok kontrol positif; negatif; 100 mg/kg BB.
Hasil pengukuran kadar serum kreatinin darah tikus putih jantan hari ke-28 dari masing-masing kelompok
perlakuanberturut-turut adalah0.69; 0.84; 0.62; 0.68; 0.70; 0.62 mg/dL. Hasil pengukuran kadar serum ureum darah tikus
putih jantan hari ke-28 dari masing-masing kelompok perlakuan berturut-turut adalah 34.84; 89.78; 58.72; 66.14; 46.52;
78.26 mg/dL. Menurut mayer (2004) dan Dukes (1977) dalam Fuadi (2009), pemberian pakan berprotein tinggi dapat
menyebabkan peningkatan jumlah ureum dan kreatinin dalam darah, asupan protein yang tinggi meningkatkan aliran
darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus hingga 20-30 persen sesaat setelah individu diberi pakan berprotein tinggi.
Exercise dapat menyebabkan kadar ureum dan kreatini yang bervariasi di dalam darah dan tidak selalu menandakan
kerusakan pada organ ginjal.
Hasil uji analisis one way anovahari ke-28 menunjukkan nilai probabilitas pada kadar kreatinin adalah 0.007
(p<0.05) dan nilai probabilitas kadar ureum adalah 0.014 (p<0.05). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan terhadap kadar kreatinin dan ureum diantara semua kelompok. Sehingga dilanjutkan analisis data menggunakan
Post Hoc Test. Hasil uji lanjutPost Hoc Test LSD terhadap kadar kreatinin hari ke-28menunjukkan bahwa kelompok
ekstrak 100 mg/kg BB; 200 mg/kg BB dan 400 mg/kg BB berbeda tidak signifikan dengankontrol normal dan positif,
tetapi berbeda signifikan terhadap kelompok kontrol negatif, hal ini menunjukkan bahwa esktrak daun gendola merah
memberikan pengaruh terhadap kadar kreatinin. Hasil uji lanjutPost Hoc Test LSD terhadap kadar ureum hari ke-
28menunjukkan bahwa kelompok ekstrak 100 mg/kg BB dan 400 mg/ kg BB menunjukkan perbedaan yang tidak
signifikan terhadap kontrol positif dan negatif tetapi berbeda signifikan dengan kontrol normal. Kelompok ekstrak 200
mg/kg BB berbeda tidak signifikan dengan kelompok kontrol normal dan positif, tetapi berbeda signifikan terhadap
kelompok kontrol negatif dan ekstrak 400 mg/kg BB. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun gendola merah 200 mg/kg
235
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
BB memberikan pengaruh yang lebih baik terhadapkadar ureum. Sehingga dari data yang diperoleh, maka dipilih ekstrak
etanol daun gendola merah dosis 200 mg/kgBB sebagai dosis efektif memberikan pengaruh terhadap kadar kreatinin dan
ureum tikus nefropati diabetik.
Hasil uji LSD menunjukkan bahwa ekstrak daun gendola merah memberikan pengaruh terhadap kadar kreatinin
dan ureum tikus putih jantan diabetes dan ekstrak yang efektif memberikan pengaruhterhadap kadar kreatinin adalah
ekstrak dengan dosis 100 mg/kg BB, dosis 200 mg/kg BB dan dosis 400 mg/kg BB, sedangkan pengaruh terhadap
penurunan kadar ureum adalah ekstrak dengan dosis 200 mg/kg BB. Penurunan kadarkreatinin dan ureum menunjukkan
adanya pengaruh yang ditunjukkan oleh pemberian ekstrak dimana kadar kreatinin dan ureum lebih rendah dibandingkan
kontrol negatif yang hanya diberikan Na CMC, hal ini diduga karena kandungan dalam ekstrak tanaman mengandung
flavonoid dan fenol dengan aktivitas antioksidan tinggi. Senyawa flavonoid dapat mencegah kerusakan sel beta pankreas
karena memiliki aktivitas antioksidan dengan cara menangkap atau menetralkan radikal bebas terkait dengan gugus OH
fenolik sehingga dapat memperbaiki keadaan jaringan yang rusak (Arifin, dkk. 2006), selain itu dapat memberikan efek
yang potensial, yaitu dapat bekerja sebagai antioksidan dan diuretikum sehingga meningkatkan laju filtrasi glomerulus.
Peningkatan laju filtrasi glomerulus menyebabkan zat nefrotoksik yang masuk ke dalam ginjal akan dikeluarkan secara
cepat akibat aktivitas urinisasi yang meningkat. Senyawa fenolik yang bersifat sebagai antioksidan dengan cara
menangkal radikal bebas, sehingga sangat penting dalam mempertahankan keseimbangan antara oksidan dengan
antioksidan di dalam tubuh, menetralisir efek toksik dari radikal bebas dengan cara mendonorkan ion hydrogen sehingga
ion-ion menjadi stabil. Keadaan ion yang telah stabil menyebabkan menurunnya keadaan stress oksidatif di dalam
jaringan, sehingga dapat menyebabkan peningkatan glomerular filtration rate (GFR).
KESIMPULAN
1. Ekstrak etanol daun gendola merah (Basella alba L.) mempunyai pengaruh terhadap kadar kreatinin dan ureum
tikus putih jantan (Rattus norvegicus) diabetes yang diinduksi streptozotocin dengan dosis 40 mg/kg BB secara
intraperitonial.
2. Ekstrak etanol daun gendola merah (Basella alba L.) dosis 200 mg/kg BB yang efektif memberikan pengaruh
terhadap kadar kreatinin dan ureum tikus putih jantan diabetes.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, H., Nelvi, A., Dian, H., Roslinda, R. 2006. Standarisasi Ekstrak Etanol Daun Eugenia cumini Merr. J. Sains Tek. Far 11(2). 2006. Hal 88-92
Departemen Perdagangan RI. 2011. Indonesian Herbal :The Traditional Therapy. Jakarta: Ministry of Trade Republic of Indonesia. Hal 5
Fuadi, Akhmad. 2009. Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Alpukat (Persea americana Mill) Terhadap Gambaran Ureum Dan Kreatinin Pada Tikus Putih
Jantan Yang Diinduksi Etilen Glikol. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 1, 10.11
Kumar, Shankul., Prasad A. K., Iyer, S. V., Vaidya, S. K. 2013. Systematic pharmacognostical, phytochemical and pharmacological review on an ethno
medicinal plant, Basella albaL. Journal of Pharmacognosy and Phytotherapy. Hal 57
236
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Nantia, Edouard A, Manfo, Faustin P. T, Beboy, Nathalie S. E, F. Moundipa, Paul. 2013. In vitro antioxidant activity of the methanol extract of Basella
alba L (Basellaceae) in rat testicular homogenat. University of bamenda, balimbi.cameroon. Hal 135
Robbins S.J., Cotran R.S., Kumar Vinay. 2003. Basic Pathology. Edisi 7th. Philladelphia. Saunders.
Scobie, IN. 2007. Atlas of Diabetes MellitusThird Edition.London : Informa Healthcare. Hal 70
DAFTAR SINGKATAN
Lambang/singkatan Arti dan keterangan
BB Bobot badan
b/v Satuan persentase bobot per volume
C Nama unsur kimia karbon
dL Satuan volume desiliter
DM Diabetes mellitus
DNA Deoxyribonucleic acid
et al. et alii, dan kawan-kawan
GGT Gamma Glutamil Transferase
i.p Pemberian obat secara intraperitoneal
Kg Satuan bobot kilogram
MDA Malondialdehid
Mg Satuan bobot milligram
Na. CMC Natrium karboksil metal selulosa
NO Nitric oxide
ROS Reactive oxygen species
SD Standart Deviasi
STZ Streptozotocin
237
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Daun sukun (Artocarpus altilis (Parkinson Ex F.A.Zorn) Fosberg) merupakan salah satu tanaman yang secara empiris berkhasiat sebagai
antihiperglikemia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek serta dosis efektif ekstrak daun sukun dalam menurunkan kadar gula darah pada
hewan uji tikus putih jantan yang diinduksi pakan tinggi lemak dan streptozotocin. Penelitian dilakukan menggunakan 30 ekor hewan uji yang
dikelompokkan dalam 6 kelompok dengan perlakuan yaitu kelompok kontrol normal, kontrol negatif, kontrol positif (metformin), dan 3 kelompok uji
dengan variasi dosis ekstrak masing-masing 100 mg/KgBB, 200 mg/KgBB, dan 400 mg/KgBB. Penelitian ini menggunakan uji statistik one way Anova
dengan taraf kepercayaan 95% dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc LSD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ekstrak etanol daun sukun memiliki
efek antidiabetes pada tikus yang diinduksi streptozotocin dan pakan tinggi lemak. Ekstrak etanol daun sukun dosis 200 mg/kg BB merupakan dosis
yang efektif untuk menurunkan kadar glukosa darah karena sebanding dengan kontrol positif.
Kata Kunci : (Artocarpus altilis (Parkinson Ex F.A.Zorn) Fosberg), antihiperglikemia, tikus hiperkolesterolemia diabetes.
ABSTRACT
Sukun leaf (Artocarpus altilis (Parkinson Ex F.A.Zorn) Fosberg) is one of the plants that have empiric efficacious as antihyperglicemia. This study
aimed to determine effects and effective dosage of sukun leaf extract to lowering blood sugar levels in rats induced by streptozotocin and high-fat
feeding. The study was using 30 tested animals grouped into 6 groups with a treatment that is the normal control group, negative control, positive control
(metformin), and 3 test groups with a variety of dosages of each extract 100 mg/KgBW, 200 mg/KgBW, and 400 mg/KgBW. This study used statistical
test of the one-way ANOVA in level 95% and continued with LSD Post Hoc. The result showed that the ethanol extract of sukun leaf has antidiabetic
effects in rats induced by streptozotocin and high-fat feed. The ethanol extract of sukun leaf dose of 200 mg/kg dose effective for lowering blood glucose
levels as comparable to positive control.
Keywords : (Artocarpus altilis (Parkinson Ex F.A.Zorn) Fosberg), antihyperglicemia, hypercholesterolemia diabetes mice.
PENDAHULUAN
Perkembangan zaman dan teknologi saat ini menyebabkan terjadi perubahan yang signifikan pada kehidupan
manusia termasuk di Indonesia, terutama dalam memilih gaya hidup dan salah satu contohnya adalah dalam memilih
makanan. Saat ini makanan banyak menjadi penyebab penyakit-penyakit yang tergolong tidak bisa untuk disembuhkan,
salah satunya adalah diabetes melitus (Kannon, M Q, 2011). Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya (Chairunnisa R, 2012). Diabetes melitus dapat dibedakan atas diabetes melitus tipe 1 atau Insulin-Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM) dan diabetes melitus tipe 2 atau Non Insulin-Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
(Marianne et al, 2011).
International Diabetes Federation (IDF) tahun 2015 menyebutkan sekitar 415 juta orang dewasa di seluruh
dunia menderita diabetes. Selain 415 juta dengan diabetes, IDF memperkirakan bahwa 318 orang mengalami gangguan
toleransi glukosa. Indonesia menempati urutan ke-7 dengan mencapai 10 juta kasus penyakit diabetes. American Diabetes
Association (ADA) 2016, diabetes adalah kompleks penyakit kronis yang membutuhkan perawatan medis terus menerus.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, prevalensi diabetes meningkat dua kali lipat dibanding tahun
2007, hasil prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter atau gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah sebesar 3,7%.
Tanaman sukun (Artocarpus altilis (Parkinson Ex F.A.Zorn) Fosberg) merupakan salah satu jenis tumbuhan
yang sangat dikenal di Indonesia. Daun sukun merupakan salah satu bahan herbal alami yang dapat digunakan sebagai
obat anti hiperglikemik. Daun sukun memiliki beberapa kandungan kimia yang dapat digunakan sebagai obat seperti
238
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
alkaloid, flavonoid, saponin, polifenol dan tanin. Salah satu senyawa yang terdapat dalam daun sukun sebagai antidiabetes
adalah quercetin yang merupakan senyawa flavonoid (Intanowa, Agustina. 2012).
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Agustin L, dkk (2015) uji aktivitas antihiperglikemia ekstrak etanol
daun sukun (Artocarpus altilis (parkinson ex f.a.zorn) fosberg) pada mencit swiss wistar jantan dengan metode uji
toleransi glukosa menyatakan ekstrak daun sukun pada dosis 400 mg/kg BB mencit efektif menurunkan kadar glukosa
darah pada mencit wistar di induksi Glukosa. Penelitian Putra J D dan Bagus I G (2011) menyatakan ekstrak kering daun
sukun pada dosis 135 mg/Kg tikus efektif menurunkan kadar glukosa darah pada tikus putih jantan yang diinduksikan
aloksan dengan dosis 140 mg/ KgBB.
Berdasarkan penelitian terdahulu, maka peneliti tertarik melakukan penelitian ekstrak etanol daun sukun dengan
dosis 100 mg/Kg BB, 200 mg/Kg BB dan 400 mg/Kg BB pada tikus putih jantan model hiperkolesterolemia-diabetes.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek antidiabetes ekstrak etanol daun sukun pada tikus putih jantan model
hiperkolesterolemia-diabetes dan untuk mengetahui dosis yang efektif sebagai antidiabetes.
239
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji statistik One Way Anova. Uji ini digunakan untuk menentukan
adanya perbedaan yang signifikan antar perlakuan terhadap penurunan kadar glukosa darah. Selanjutnya, jika terdapat
perbedaan yang signifikan antar perlakuan terhadap penurunan kadar glukosa darah, maka akan dilakukan uji lanjut LSD
dengan taraf kepercayaan 95%.
240
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Tabel 2. Hasil pengukuran kadar glukosa darah awal, setelah induksi, dan selama perlakuan
Perlakuan Tikus Kadar Glukosa Darah (mg/dL)
Hari Ke-0 Hari Ke-35 Hari Ke-42 Hari Ke-49
Kontrol Normal 1 94 94 99 96
2 98 106 104 98
3 99 99 97 96
4 100 103 102 100
5 91 91 96 94
Rata-Rata 96.4 98.6 99.6 96.8
SD 3.38 5.53 3.00 2.03
Kontrol Negatif 1 90 382 362 325
NaCMC 0,5% 2 99 443 420 408
3 103 438 418 379
4 113 371 365 346
5 116 378 352 345
Rata-Rata 104.2 402.4 383.4 360.6
SD 9.45 31.34 29.39 29.35
Kontrol Positif 1 90 272 113 102
Metformin 2 95 276 114 107
3 101 333 117 112
4 95 371 121 109
5 94 327 120 102
Rata-Rata 95 315.8 117 106.4
SD 3.52 37.33 3.16 3.92
Ekstrak etanol daun 1 98 320 125 116
sukun dosis 100 2 99 378 134 113
mg/kgBB 3 87 327 168 144
4 106 348 147 110
5 108 380 160 116
Rata-Rata 99.6 350.6 146.8 119.8
SD 7.39 71.66 15.89 12.30
Ekstrak etanol daun 1 95 384 144 106
sukun dosis 200 2 101 320 125 102
mg/kgBB 3 83 346 143 111
4 105 371 134 107
5 106 404 137 116
Rata-Rata 98 365 136.6 108.4
SD 8.43 29.33 6.88 4.75
Ekstrak etanol daun 1 99 384 132 102
sukun dosis 400 2 91 362 147 123
mg/kgBB 3 100 378 125 106
4 94 473 128 112
5 101 243 140 109
Rata-Rata 97 368 134.4 110.4
SD 3.84 73.54 8.06 7.11
241
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Gambar 1. Grafik kadar glukosa darah rata-rata tikus putih jantan setiap kelompok pada hari ke-0, 35, 42 dan 49.
PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan daun sukun (Artocarpus altilis (Parkinson Ex F.A.Zorn) Fosberg) yang diperoleh di
Kota Palu Sulawesi Tengah. Sebelumnya telah dilakukan identifikasi tanaman di UPT. Sumber Daya Hayati Universitas
Tadulako Sulawesi Tengah. Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah maserasi karena prosedur dan
peralatan yang digunakan sederhana serta dapat digunakan untuk bahan yang tidak tahan pemanasan atau zat aktif yang
terkandung dalam simplisia tersebut belum diketahui stabilitasnya terhadap pamanasan. Bobot ekstrak kental daun sukun
yang diperoleh dari hasil ekstraksi adalah 95 gram dengan persentase ekstrak yang diperoleh adalah 7,9 %. Berdasarkan
hasil uji fitokimia pada Tabel.1, menunjukkan bahwa ekstrak daun sukun (Artocarpus altilis (Parkinson Ex F.A.Zorn)
Fosberg) mengandung senyawa-senyawa kimia yaitu alkaloid, flavonoid, polifenol, saponin dan tanin.
Penelitian ini menggunakan hewan uji berupa tikus putih jantan (Rattus norvegicus L.) sebanyak 30 ekor.
Penggunaan tikus putih jantan sebagai hewan uji karena dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil karena tidak
dipengaruhi oleh siklus estrus dan kehamilan seperti pada tikus putih betina. Tikus putih jantan juga mempunyai
kecepatan metabolisme obat yang lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibanding tikus betina
(Kusumawati, D. 2004). Sebelum digunakan, tikus diadaptasikan terlebih dahulu selama 2 minggu, tujuannya agar tikus
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru seperti kandang, suhu, makanan, minuman dan kondisi di sekitarnya.
Setelah diadaptasikan tikus dibagi menjadi 6 kelompok yaitu kelompok kontrol normal (kelompok yang tidak diberikan
pakan tinggi kolesterol, tidak diinduksi streptozotocin dan tidak diberikan ekstrak daun sukun), kelompok kontrol negatif
(Na CMC 0,5%), kelompok kontrol positif (metformin) dan 3 kelompok pemberian ekstrak daun sukun dengan dosis
yang bervariasi yaitu dosis 100 mg/kg BB, dosis 200 mg/kg BB dan dosis 400 mg/kg BB. Semua hewan uji kemudian
diukur kadar awal glukosa darah sebelum diberikan induksi pakan lemak tinggi kolesterol dan induksi streptozotocin.
Hasil pengukuran kadar glukosa darah awal yaitu berkisar antara 83-108 mg/dL. Hal ini menunjukkan seluruh
tikus memiliki kadar glukosa darah normal. Kadar glukosa darah normal tikus wistar berkisar antara 50-135 mg/dL
(Kusumawati, D. 2004). Kemudian 5 kelompok tikus kecuali kelompok normal diberikan pakan lemak tinggi kolesterol
selama 4 minggu. Pemberian pakan lemak tinggi kolesterol bertujuan untuk meningkatkan kandungan asam lemak bebas
242
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
di dalam plasma sel yang mengakibatkan penurunan sensitivitas insulin pada jaringan perifer. Dengan pemberian pakan
tinggi lemak tersebut kadar lemak di dalam darah akan tinggi. Tingginya kadar lemak di dalam darah dapat menurunkan
kemampuan substrat reseptor insulin untuk mengaktivasi PI 3-kinase dan menyebabkan ekspresi GLUT 4 menurun.
Menurunnya ekspresi GLUT 4 ini menyebabkan transport glukosa ke dalam membran sel terganggu sehingga aktivitas
pengangkutan glukosa menurun akibatnya kadar glukosa dalam darah meningkat sehingga dapat memicu terjadinya
resisten insulin karena kandungan kolesterol, trigliserida dan asam lemak yang sangat tinggi (Sulistyoningrum, Evy.
2010). Kemudian hewan uji diinjeksikan streptozotocin dosis rendah (30 mg/kgBB) bertujuan untuk menaikan kadar
glukosa darah. Penyebab hiperglikemia yang kronik sesudah pemberian streptozotocin adalah nekrosis sel beta pankreas
(Nurdiana, P,N. Setyawati, M,A. 1998). Hasil pengukuran setelah pemberian induksi streptozotocin mengalami
peningkatan yang signifikan antara 243-523 mg/dL yang menunjukkan seluruh tikus mengalami kondisi diabetes (tikus
dinyatakan diabetes apabila kadar glukosa darah > 200 mg/dL). Hewan uji yang hiperglikemia diberikan perlakuan selama
7 hari hingga 14 hari. Pemberian perlakuan selama 7 hari dan 14 hari dilakukan untuk melihat efek penurunan kadar
glukosa darah pada pemberian jangka pendek dan jangka panjang. Pengukuran kadar glukosa darah pada hari ke-42 untuk
melihat efek jangka pendek penurunan kadar glukosa darah. Hasil pengukuran menunjukkan kadar glukosa darah berkisar
97-168 mg/dL. Kemudian dilanjutkan pengukuran hari ke-49 untuk melihat efek jangka panjang penurunan kadar glukosa
darah. Hasil pengukuran menunjukkan kadar glukosa darah mengalami penurunan antara 102-144 mg/dL. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan statistik One Way Anova untuk melihat adanya perbedaan antar kelompok uji, jika
terdapat perbedaan maka dilanjutkan dengan uji lanjut LSD. Hasil perhitungan rata-rata penurunan kadar glukosa darah
tikus putih dapat dilihat pada Tabel 2.
Hasil statistik One Way Anova pada hari ke-0 memperlihatkan nilai P=0,440 (P˃0,05) yang menunjukkan tidak
terdapat perbedaan yang signifikan pada semua kelompok perlakuan yaitu kontrol normal, kontrol negatif, kontrol positif,
dosis 100 mg/Kg BB, 200 mg/kg BB dan 400 mg/kg BB yang menandakan bahwa semua hewan uji dalam keadaan yang
sama.
Hasil pengukuran kadar glukosa darah rata-rata pada hari ke-35 untuk kelompok kontrol normal, kontrol negatif,
kontrol positif (metformin), kelompok dosis 100 mg/kg BB, 200 mg/kg BB dan 400 mg/kg BB berturut-turut adalah 98,6;
402,4; 315,8; 350,6; 365 dan 368. Hal ini menunjukan bahwa semua kelompok hewan uji telah mengalami hiperglikemia
yang ditandai dengan kadar glukosa darah >200 mg/dL, kecuali kontrol normal karena tidak diberikan pakan tinggi lemak
dan diinduksi streptozotocin.
Hasil statistik One Way Anova pada hari ke-35 memperlihatkan nilai P=0,000 (P<0,05) yang menunjukkan
terdapat perbedaan yang signifikan pada semua kelompok perlakuan, yang artinya ada efek pemberian streptozotocin
kecuali pada kontrol normal, sehingga dilanjutkan dengan uji post hoc LSD untuk melihat perbedaan yang bermakna
antar kelompok perlakuan. Hasil uji lanjut post hoc LSD menunjukkan bahwa kontrol normal berbeda signifikan dengan
semua kelompok, sedangkan kontrol negatif tidak berbeda signifikan dengan kelompok dosis 100 mg/Kg BB, 200 mg/kg
BB dan 400 mg/kg BB tetapi berbeda signifikan dengan kontrol normal dan kontrol positif. Kontrol positif berbeda
signifikan dengan dengan kontrol normal, kontrol negatif dan kelompok dosis 100 mg/Kg BB tetapi tidak berbeda
signifikan dengan kelompok dosis 200 mg/kg BB dan 400 mg/kg BB. Perbedaan ini disebabkan karena kondisi fisiologi
dari hewan uji berbeda-beda dalam memberikan respon peningkatan kadar glukosa darah setelah induksi streptozotocin
dosis 30 mg/Kg BB.
Hasil pengukuran kadar glukosa darah rata-rata pada hari ke-42 untuk kelompok kontrol normal, kontrol negatif,
243
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
kontrol positif (metformin), kelompok dosis 100 mg/kg BB, 200 mg/kg BB dan 400 mg/kg BB berturut-turut adalah 99,6;
398,4; 117; 146,8; 136,6 dan 134.4. Hal ini menunjukan adanya penurunan kadar glukosa darah pada kontrol positif
(metformin), kelompok dosis 100 mg/kg BB, 200 mg/kg BB dan 400 mg/kg BB.
Hasil statistik One Way Anova pada hari ke-42 memperlihatkan nilai P=0,000 (P<0,05) yang menunjukkan
terdapat perbedaan yang signifikan pada semua kelompok perlakuan, yang artinya ada efek pemberian kontrol positif
(metformin) maupun ekstrak dosis 100 mg/Kg BB, 200 mg/kg BB dan 400 mg/kg BB, sehingga dilanjutkan dengan uji
post hoc LSD untuk melihat perbedaan yang bermakna antar kelompok perlakuan. Hasil uji lanjut post hoc LSD
menunjukkan bahwa kontrol normal tidak berbeda signifikan dengan kontrol positif, tetapi berbeda signifikan kontrol
negatif, kelompok dosis 100 mg/kg BB, 200 mg/kg BB dan 400 mg/kg BB. Hal ini menunjukan bahwa kadar glukosa
darah kontrol positif (metformin) mengalami penurunan mendekati kadar glukosa darah normal. Kontrol negatif berbeda
signifikan dengan semua kelompok perlakuan. Hal ini disebabkan karena pada kontrol negatif tidak diberikan pelakuan
apapun. Kontrol positif tidak berbeda signifikan dengan kontrol normal, kelompok dosis 200 mg/Kg BB dan 400 mg/kg
BB namun berbeda signifikan dengan kontrol negatif dan kelompok dosis 100 mg/kg BB. Hal ini menunjukkan bahwa
kelompok dosis 200 mg/Kg BB dan 400 mg/kg BB sudah dapat memberikan efek sebanding dengan kontrol positif
(metformin), sedangkan kelompok dosis 100 mg/kg BB belum dapat memberikan efek penurunan kadar glukosa darah
sebanding dengan kontrol positif. Hal ini disebabkan karena kandungan senyawa aktif dengan dosis 100 mg/Kg BB belum
mampu untuk menurunkan kadar glukosa darah.
Hasil pengukuran kadar glukosa darah rata-rata pada hari ke-49 untuk kelompok kontrol normal, kontrol negatif,
kontrol positif (metformin), kelompok dosis 100 mg/kg BB, 200 mg/kg BB dan 400 mg/kg BB berturut-turut adalah 96,8;
360,6; 106,4; 119,8; 108,4 dan 110,4. Hal ini menunjukan bahwa adanya penurunan kadar glukosa darah pada kelompok
dosis 100 mg/kg BB, 200 mg/kg BB dan 400 mg/kg BB sebanding kontrol positif dan mendekati kontrol normal.
Hasil statistik One Way Anova pada hari ke-49 memperlihatkan nilai P=0,000 (P<0,05) yang menunjukkan
terdapat perbedaan yang signifikan pada semua kelompok perlakuan, yang artinya ada efek pemberian kontrol positif
metformin maupun ekstrak dosis 100 mg/Kg BB, 200 mg/kg BB dan 400 mg/kg BB, sehingga dilanjutkan dengan uji
post hoc LSD untuk melihat perbedaan yang bermakna antar kelompok perlakuan. Hasil uji lanjut post hoc LSD
menunjukkan bahwa kontrol negatif berbeda signifikan dengan semua kelompok perlakuan, sedangkan kontrol normal
berbeda signifikan dengan kontrol negatif, tetapi tidak berbeda signifikan kontrol positif dan kelompok dosis 100 mg/Kg
BB, 200 mg/kg BB dan 400 mg/kg BB. Hal ini menunjukkan bahwa kadar glukosa darah hewan uji pada hari ke-49 untuk
kontrol positif mengalami penurunan yang baik. Kontrol positif berbeda signifikan dengan kontrol negatif tetapi tidak
berbeda signifikan dengan kontrol normal dan kelompok dosis 100 mg/Kg BB, 200 mg/kg BB dan 400 mg/kg BB. Hal
ini menunjukkan bahawa semua kelompok dosis sudah mampu menurunkan kadar glukosa darah hewan uji yang baik
dan sebanding dengan penurunan pada kontrol positif dan kontrol normal.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahawa :
1. Pemberian ekstrak etanol daun sukun (Artocarpus altilis (Parkinson Ex F.A.Zorn) Fosberg) dengan dosis 100
mg/KgBB, 200 mg/KgBB dan 400 mg/KgBB memberikan efek terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus putih
jantan model hiperkolesterolemia-diabetes.
244
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
2. Ekstrak etanol daun sukun dosis 200 mg/Kg BB merupakan dosis yang paling efektif untuk menurunkan kadar
glukosa darah karena sebanding dengan kontrol positif.
DAFTAR PUSTAKA
Agustin L, Mulqie L, Choesrina R. 2015. Uji Aktivitas Antihiperglikemia Ekstrak Etanol Daun Sukun (Artocarpus Altilis (Parkinson Ex F.A.Zorn)
Fosberg) Pada Mencit Swiss Webstar Jantan Dengan Metode Uji Toleransi Glukosa. UNISBA. Jurnal farmasi fakultas MIPA. Hal : 330
Chairunnisa R. 2012. Pengaruh Jumlah Pasta Tomat Terhadap Penurunan Kadar Gula darah Pada Mencit Diabetes. Fakultas teknologi industri
pertanian. Pasca Sarjana. UNAND. Padang. Hal 2
Intanowa, Agustina. 2012. Efek Estrak Ethanol Daun Sukun Terhadap Kadar Gula Darah Pada Tikus Putih Diabetes Melitus Yang Di Induksi Dengan
Alloxan. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran-Udayana.
Kannon, M Q. 2011. Uji Efektivitas Ekstrak Kulit Buah Salak (Salacca Zalacca (Gaertn.) Voss) Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Tikus Putih
Jantan Galur Wistar (Rattus Norvegicus) Yang Diinduksi Sukrosa. Jurnal Ilmiah. UNSTRAD Manado. Hal 54
Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Gajahmada University Pers. Yogyakarta. Hal 34-35
Marianne, Yuandani, Rosnani. 2011. Antidiabetic Activity From Ethanol Extract Of Kluwih’s Leaf (Artocarpus Camansi). Vol. 11, No.2 Fakultas
Farmasi. Universitas Sumatera Utara. Hal 64.
Nurdiana, P,N. Setyawati, M,A. 1998. Efek Streptozotocin sebagai Bahan Diabetogenik pada Tikus Wistar dengan Cara Pemberian Intraperitonial dan
Intravena. Malang. Majalah Kedokteran Unibraw. Vol. XIV, Hal 67
Putra J D dan Bagus I G. 2011. Pengaruh Pemberian Ekstrak Kering Daun Sukun (Artocarpus Altilis) Terhadap Kadar Glukosa Darah Pada Tikus Putih
Diabetes Melitus. Universitas Udayana. Jurnal Fakultas Kedokteran.
Sulistyoningrum, Evy. 2010. Tinjauan Molekuler dan Aspek Klinis Resistensi Insulin. Mandala of Health. Volume 4. No. 2. Hal 132-133
245
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Yohannes Alen*, Delisa Putri, Molinda Damris, Stefany Faula R.P, Marhani Dwithania, Vivi Ramadani, Evi
Guslianti, Mutia Oktami, Rezki Ameliadan Netty Suharti.
Fakultas Farmasi, Universitas Andalas, Padang 25163, Sumatra Barat, Indonesia
*Corresponding email: [email protected]
ABSTRAK
Ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen., cukup banyak digunakan oleh masyarakat sebagai obat tradisional sebagai pengobatan penyakit diantaranya
penggunaan obat penyakit kulit. Skrining antibakteri ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen., telah dilakukan terhadap 12 bakteri uji dengan meggunakan
metoda difusi cakram. Didapatkan hasil aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureusATCC 25922. Sampel yang digunakan pada
penelitian ini adalah ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen., yang telah dikeringkan dengan menggunakan freeze drying selama 25 jam. Untuk uji
lanjutan, dilakukan uji antibakteri terhadap ekstrak heksan dan ekstrak sisa (aquadest) dari serbuk kering ratu rayap. Pada uji ekstrak heksan, didapatkan
aktivitas antibakteriStaphylococcus aureus ATCC 25922 pada konsentrasi 30 µg/µl dan 1.5 µg/µl. Sedangkan untuk uji ekstrak sisa (aquadest) tidak
didapatkan adanya zona bening yang mengindikasikan tidak adanya daya hambat yang diberikan oleh ekstrak sisa (aquadest).
Kata Kunci: Antibakteri, Freeze drying, Ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen, Staphylococcus aureus ATCC 25922.
ABSTRACT
Queen termite (Macrotermes gilvus Hagen)is widely used as traditional medicine for the treatment of various diseases suchas a medicine skin diseases.
Antibacterial screening of Queen termite (Macrotermes gilvus Hagen) has been conducted against the 12 pathogenic bacteria tests by diffusion method.
The result showed that Queen termite (Macrotermes gilvus Hagen) inhibits the grwoth of Staphylococcus aureus ATCC 25922. The sample Queen
termite(Macrotermes gilvus Hagen)had been drained by using freeze drying method for 25 hours. For the advanced test,were conducted for hexane and
residual extract (aquadest). The result showed that hexaneextract had antibacterial activity for Staphylococcus aureus ATCC 25922in concentration 30
µg/µl and 1.5 µg/µl, for residual extract (aquadest) no activity at all.
Keywords: Antibacterial, Freeze drying, Queen termite Macrotermes gilvus Hagen, Staphylococcus aureus ATCC 25922.
PENDAHULUAN
Berdasarkan penelitian sebelumnya telah berhasil didapatkan empat jenis jamur simbiotik sarang ratu rayap
Macrotermes gilvus Hagen., yaitu Aspergillus flavus, Mucor sp., Aspergillus niger, dan Cladosporium sp (Alen et al,
2015b). Dari jamur Aspergillus niger, sudah berhasil diisolasi senyawa antibiotika yang aktif terhadap bakteri
Pseudomonas aeruginosa dan Enterococcus faecalis dengan MIC masing-masing 1000 dan 125 ppm (Alen et al, 2016d).
Dari jamur Mucor sp., juga telah diisolasi senyawa antibiotika yang aktif terhadap bakteri Escherichia coli MIC 500 ppm,
dan bakteri Staphylococcus bacillus dan Enterococcus faecalis dengan MIC 1000 ppm (Okta, 2016). Isolasi senyawa
metabolit sekunder jamur Apergillus flavus Link., simbiotik sarang ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen., didapatkan
satu senyawa murni GS-12-1 yang merupakan golongan senyawa fenol (Alen et al, 2016f).
Alen et al (2015a) telah melakukan pengukuran kadar metabolit sekunder pada ratu rayapMacrotermes gilvus
Hagen., yang menunjukkan kadar protein 43,54%, lemak 23,31%, serat kasar 1,49%, kadar air 1,22%, kadar abu 8,74%,
karbohidrat total 29,19% dan energi total 5765,84 Cal/g. Hasil Freeze drying ratu rayap terbukti memiliki aktivitas sebagai
imunomodulator pada dosis 10 mg/kgBB (Alen et al., 2016b) dan juga diketahui berpotensi sebagai obat luka bakar pada
dosis 5% (Alen et al., 2016c). Selain itu dari uji pendahuluan diketahui bahwa pada dosis 75 mg/kgBB, ratu rayap
berpengaruh terhadap penurunan kadar kolesterol total (Alen et aI., 2016a). Uji toksisitas akut dan sub akut menunjukkan
bahwa hasil freeze drying ratu rayap tidak toksik pada organ hati (Alen et al, 2016e).
246
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Ratu rayap hidup dan berkembang biak dalam sarang kokoh yang dibangun oleh rayap kasta pekerja. Didalam
sarang, ratu rayap dapat hidup dan mempertahankan diri dari mikroba lingkungan yang terdapat pada sarang sehingga
diduga ratu rayap memiliki senyawa antibakteri yang dapat melindungi dirinya dari mikroba lingkungan yang terdapat
pada sarang. Lamberty et al (2001) telah berhasil mengisolasi dua senyawa peptide sebagai antimikroba, yaitu termicin
dan spinigerin dari jamur yang tumbuh pada termite Pseudacanthotermes spiniger.Solavanet al (2007) juga melakukan
uji antibakteri dari Macrotermes obes Holmgren, Macrotermes estherae (Desneux), dan Odontotermes formosanus
Shiraki yang aktif terhadap bakteriEscherichia coli, Pseudomonas putida, Klebsiella sp., Strataphoromoans bhaumini,
Vibrio eltar, Vibrio classical dan Bacillus subtilis (Zeng et al., 2014). Berdasarkan penelusuran pustaka, belum ditemukan
penelitian tentang uji antibakteri dari ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen.,sehingga sangat penting untuk dilakukan uji
potensi antibakteri yang dimiliki ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen.
Skrining senyawa antibakeri masih diperlukan karena berbagai masalah timbulnya resistensi mikroba terhadap
jenis-jenis antibiotika tertentu, disamping penyebaran penyakit infeksi yang masih sangat tinggi. Peningkatan penyakit
infeksi yang resisten terhadap antibiotik yang umum digunakan telah menjadi masalah di seluruh dunia (Sudha, 2012).
Bakteri menjadi resisten untuk dapat bertahan hidup setelah melalui beberapa proses tertentu. Pada akhirnya konsekuensi
yang ditimbulkan sangat merugikan baik bagi kesehatan maupun ekonomi (Utami, 2011). Hal ini mendorong untuk
ditemukannya produk alternatif pengganti sumber bahan obat yang lebih poten, murah, memiliki efek samping yang lebih
kecil, dan tersedia secara kontinu dalam jumlah besar sehingga resistensi bisa diatasi. Oleh karena itu, seiring dengan
meningkatnya jenis penyakit dan resistensi bakteri harus diimbangi dengan ekplorasi bahan baku obat serta penemuan
obat baru.
247
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
248
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
disimpulkan bahwa kandungan asam lemak ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen., memiliki aktivitas antibakteri
terhadap bakteri Staphylococcus aureus ATCC 29522 padakonsentrasi 30µg/µl dan15µg/µl.
Dia. Hambat(mm)
C serbuk (µg/µl)
No Bakteri 60 40
1 Staphylococcus aureus ATCC 25922 16±1,414 9±0,163
2 Bacillus subtilis ATCC 6633 - -
3 Enterococcus faecalis ATCC 10541 - -
4 Escherichia coli ATCC 11775 - -
5 Micrococcus luteus ATCC 10240 - -
6 Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 - -
7 Salmonella thyphi - -
8 Salmonella typhimurium ATCC 14028 - -
9 Salmonella typhosa NCTC 786 - -
10 Staphylococcus epidermis ATCC 12228 - -
11 Streptococcus mutans ATCC 25175 - -
12 Vibrio cholerae Inaba - -
Keterangan : * (-): tidak ada aktivitas antibakteri
250
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Gambar 1. Skrining bakteri S.aureus ATCC 25922 Gambar 2. Uji aktivitas ekstrak heksan
DAFTAR PUSTAKA
Alen, Y. 2016. Ratu Termite Macrotermes gilvus Hagen., Kajian Awal Saintifik Dalam Pandangan Farmasi. Abstrak Paper Seminar Nasional dan
Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik VI. Padang. 23-24 September.
251
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Alen, Y., Atika, M., dan Akmal, D. 2016d. Isolasi Senyawa Antibiotika Jamur Aspergillus niger Simbiotik Sarang Ratu Anai-anai Macrotermes gilvus
Hagen.,. Abstrak Paper dan Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik VI. Padang, 23-24
September.
Alen, Y., E. V. Ningrum, dan Rustini. 2004. Isolasi Senyawa Antibakteri Dari Fraksi Semi-polar Ekstrak Metanol Limbah Kulit Kayu Jati (Tectona
grandis Linn F) II. Jurnal Matematika Dan Pengetahuan Alam (J. JUMPA) Vol 13 (2), Pp.136-138.
Alen, Y., F. N. Okta., R. Rusdian., F. L. Agresa., S. Marcelina., A. M. Fitri. 2015a. Analisis Metabolit Primer Sarang Ratu Anai-anai Macrotermes
gilvus Hagen., dari Kebun Sawit Muko-Muko Bengkulu. Abstrak Paper dan Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan
Terkini Sains Farmasi dan Klinik V. Padang, 6-7 November.
Alen, Y., Gemmy, S., dan Akmal, D. 2016f. Isolasi Senyawa Mayor Sekunder Jamur Aspergillus flavus Simbiotik Sarang Ratu Anai-anai Macrotermes
gilvus Hagen.,. Abstrak Paper dan Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik VI. Padang,
23-24 September.
Alen, Y., M. P. Sari dan D.P. Putra. 2015b. Penapisan Jamur dari Sarang Ratu Anai-Anai Macrotermes gilvus Hagen., Uji Aktivitas Ekstrak Terhadap
Candida albicans, dan Analisis KLT. Abstrak Paper dan Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi
dan Klinik V. Padang, 6-7 November.
Alen, Y., O. Suarmin, L. N. Suci, R. Kurniawan, F. Yasardi, V. Ramadhani, T. Nitoda, N. Baba, H. Kanzaki and S. Nakajima. 2016a. Analysis Levels
Of Fatty Acids From Freeze-Dried TermiteQueen Macrotermes gilvus Hagen., UsingGc-Ms And AntihiperlipidemiaTest. Abstrak Paper of
The Conference on Advancing the Life Science and Public Health Awareness. Nagoya, Japan. 10-11 July.
Alen, Y., Restu, A. I., dan Yori, Y. 2016e. Toksisitas Akut dan Sub-akut Freeze Drying Ratu Anai-anai Macrotermes gilvus Hagen., Terhadap Fungsi
Hati Mencit. Abstrak Paper dan Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik VI. Padang, 23-
24 September.
Alen. Y., R. Rahmawati, Y. Aldi, T. Nitoda, N. Baba, S. Nakajima. 2016b. Immunomodulatory Activity of Freeze Dried Termite Queen Macrotermes
gilvus Hagen. Abstrak Paper of The Conference on Advancing the Life Science and Public Health Awareness. Nagoya, Japan. 10-11 July.
Alen, Y., Suci. L.N., Orindia, S., Agus, S. Ayu, L., Yesi, F.Y., Suhatri, et al. 2016c. Primary Metabolites Analysisof Termites Queen Macrotermes
gilvus Hagen., and Burn Healling Assay. [Absract] Paper The International Conference on Advancing the Life Sciences and Public Health
Awarness. Nagoya Sakae Tokyu REI Hotel Nagoya, Japan, July 10-11.
Desbois, A.P., & Lawlor, K.C. 2013. Antibacterial Activity of Long-Chain Polyunsaturated Fatty Acids against Propionibacterium acnes and
Staphylococcus aureus. Mar.drugs Vol.11: 4544-4557.
Djamal, R. 2010. Kimia Bahan Alam: Prinsip-prinsip Dasar Isolasi dan Identifikasi. Padang: Universitas Baiturrahmah.
Lamberty, M., Zachary, D., Lanot, R., Bordereau, C., Robert, A., Hoffmann, J., and Bulet, P. 2001. Insect immunity, constitutive expression of a
cysteine-rich antifungal and a linear antibacterial peptide in a termite insect. J Biol Chem. Vol.276: 4085-4092.
Solavan, A., Paulmurugan, R., dan V. Wilsanan. 2007. Antibacterial Activity of Subterranian Termites Used in South Indian Folk Medicine. Indian
Journal of Traditional Knowledge. Vol. 6(4): 559-562.
Suci, L.N. dkk. 2016. Ekstraksi, Fraksinasi dan Penetapan Kadar Lemak dari Ratu “anai-anai” Macrotermes gilvus Hagen., Menggunakan Kromatografi
Gas dan Uji Bioaktivitas Sebagai Antihiperlipidemia.Laporan PKM-PE. Padang: Universitas Andalas.
Sudha, S dan Masilami, SM. 2012. Characterization of Cytotoxic Compound from Marine Sediment Derived Actinomycete Streptomyces avidinii strain
SU4. Asian Pac J Trop Biomed : 2(10): 770-773.
Utami, Eka Rahayu. 2011. Antibiotika, Resistensi dan Rasionalitas Terapi. Jurnal El-Hidayah. Vol. 1, No.4 Maret.
Zeng, Yuan, Xing Ping Hu , Xiao-Qiang Yu, Sang-Jin Su. 2014. Multiple Antibacterial Activities of Proteinaceous Compound in Crude Extract from
the Eastern Subterranean Termite, Reticulitermes flavipes Kollar (Battodea: Isoptera: Rhinotermitidae). Advance in Research. Vol. 2(8): 455-
461.
Zheng, J.C., Yoo, J.S., Lee, T.G., Cho, H.Y., Kim, Y.H., & Kim, W.G. 2005. Fatty Acid Synthesis is a Target for Antibacterial activity of unsaturated
fatty acid. FEBS Vol.579: 5157–5162.
252
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Latar Belakang : Luka merupakan lepasnya integritas epitel kulit diikuti oleh gangguan struktur anatomi dan fungsinya. Pada penderita diabetes proses
penyembuhan luka terjadi lambat sehingga dibutuhkan obat yang mempercepat penyembuhan luka. Kersen (Muntingia calabura l) telah diteliti dapat
membunuh bakteri dan sebagai obat anti inflamasi. Kandungan kimia dari ekstrak daun kersen seperti tanin, fenol, flavonoid dan saponin diduga
membantu mempercepat penyembuhan luka.
Tujuan : Penelitian ini untuk menganalisis pengaruh ekstrak daun kersen (Muntingia calabura l) berbagai konsentrasi terhadap lama penyembuhan
luka pada mencit (Mus muscullus) diabetes.
Metode Penelitian : Penelitian ini adalah penelitian dengan rancangan post test only with control group dengan menggunakan sampel 25 ekor mencit
jantan (Mus musculus) 2-3 bulan, berat 20-30g dan sehat, semua mencit diinduksi diabetes dan dibagi secara random sampling menjadi 5 kelompok.
Perlakuan kelompok I, II dan III diberi ekstrak daun kersen 100%, 75% dan 50%, kelompok IV rivanol, kelompok V tanpa perlakuan. Pengamatan
terhadap lama waktu penyembuhan luka yang akan dianalisis dengan uji one way ANOVA.
Hasil : Waktu tercepat penyembuhan luka ekstrak daun kersen 100% dan 75%, dengan rerata waktu penyembuhan 9,2 dan 13 hari. Kelompok ekstrak
daun kersen 50% dan kontrol positif rivanol memiliki waktu penyembuhan luka 14,8 dan 15,2 hari yang secara statistik memiliki kemampuan yang
sama dalam penyembuhan luka dengan nilai signifikansi p=0,522. Semua kelompok tampak berbeda secara signifikan terhadap kontrol negatif dengan
nilai signifikansi p=0,000.
Kesimpulan : Pengaruh ekstrak daun kersen 100% dan 75% lebih baik dalam penyembuhan luka diabetes terhadap kelompok rivanol.
ABSTRACT
Background: The wound is the loss of epithelial integrity of the skin followed by disruption of anatomical structures and functions. In diabetic wound
healing process has been slow so it takes a drug that accelerate wound healing. Cherry (Muntingia calabura l) has been observed to kill bacteria and as
an anti-inflammatory medications.Chemical content of cherry leaf extracts such as tannins, phenols, flavonoids and saponins allegedly helped speed
wound healing.
Objective: This study was to analyze the effect of cherry leaf extract (Muntingia calabura l) various concentrations against long wound healing in mice
(Mus muscullus)diabetes.
Methods: This study is a study with post test only control group using a sample of 25 male mice (Mus musculus) 2-3 months, weighing 20-30g and
healthy, all of the mice induced diabetes and sampling were randomly divided into 5 groups, Treatment group I, II and III were given cherry leaf extract
100%, 75% and 50%, rivanol group IV, group V without treatment. Observation of the long healing time that will be analyzed by one way ANOVA
test.
Results: The fastest time of wound healing cherry leaf extract 100% and 75%, with a mean healing time of 9,2 and 13 days. Group of cherry leaf extract
50% and a positive control rivanol has a healing time of 14,8 and 15,2 days statistically have the same ability in wound healing with significant value
of p = 0,522. All groups appear to differ significantly on the negative control with significant value of p = 0,000.
Conclusion: The effect of cherry leaf extract 100% and 75% better in healing diabetic wounds of the rivanol group.
PENDAHULUAN
Prevalensi penderita DM mengalami peningkatan terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Data dari
International Diabetes Federation (IDF) saat ini terdapat 415 juta orang dewasa yang menderita diabetes, dan
diperkirakan akan meningkat 642 juta orang dengan diabetes di dunia pada 2040. Indonesia menempati urutan ketujuh
terbesar dalam jumlah penderita DM di dunia dengan prevalensi 10 juta orang. Secara epidemiologi, diperkirakan pada
tahun 2040 prevalensi penderita DM di Indonesia mencapai 16,2 juta orang (International Diabetes Federation, 2015).
Prevalensi DM di Riau menduduki peringkat ketiga nasional, angka prevalensi DM di Riau sebesar 10,4% (Departemen
Kesehatan RI, 2009).
Kenaikan jumlah penderita DM memiliki pengaruh besar pada peningkatan komplikasi pada pasien diabetes.
Salah satu komplikasi yang menimbulkan permasalahan besar pada penderita diabetes adalah munculnya permasalahan
253
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
pada kaki. Permasalahan yang timbul di kaki dapat mengakibatkan amputasi hingga kematian jika tidak dilakukan
pencegahan sejak penderita terdiagnosa diabetes melitus. Prevalensi luka kaki diabetik di Amerika (1,0%-4,1%), Kenya
(4,6%), Nigeria (19,1%), dan Iran (20%) (Desalu et al, 2011). Penyebab munculnya luka dikarenakan sebagai akibat dari
polineuropati simetris yang bermanifestasi klinis dengan munculnya penurunan sensasi tekanan pada kulit, getaran, dan
hilangnya reflex lutut pada prevalensi 75%-90% pada penderita DM. Munculnya luka pada kaki sering menyebabkan
amputasi sebagai akibat dari penyakit makrovaskuler dengan prevalensi 30%-40%, sedangkan angka kematian 3 tahun
pada penderita DM yang mengalami amputasi adalah 50% (Stephen and William, 2011). Banyak penelitian yang
menyatakan bahwa sekitar 4-10% akan mengalami masalah pada kaki diabetes dan sebagian besar diantaranya (40-70%)
harus menjalani amputasi pada organ kaki yang memiliki luka diabetik (Hardiman et al, 2013).
Pada penderita diabetes proses penyembuhan luka terjadi sangat lambat. Penyembuhan luka yang terhambat akan
membentuk luka ulkus, terutama pada bagian ekstremitas (Winarsih et al, 2009). Luka diabetes melitus terjadi karena
kurangnya kontrol diabetes melitus selama bertahun-tahun yang sering memicu terjadinya kerusakan syaraf atau masalah
sirkulasi yang serius yang dapat menimbulkan efek pembentukan luka diabetes melitus (Maryunani, 2013).
Di era industri maju sekarang ini, perhatian manusia akan kesehatan semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan
dengan sikap yang semakin selektif terhadap apa yang dikonsumsi, serta lebih memilih untuk kembali ke alam. Indonesia
merupakan negara yang kaya akan berbagai jenis tumbuhan serta warisan nenek moyang yang menemukan kekuatan
penyembuhan dari tumbuhan melalui proses trial and error (Soni dan Singhai, 2012).
Banyak tanaman obat yang biasa dipakai untuk mempercepat penyembuhan luka, diantaranya adalah tumbuhan
kersen (Muntingia calabura l). Tumbuhan kersen (Muntinga calabura l) merupakan salah satu tanaman termasuk dalam
famili Elaeocarpaceae yang mudah dijumpai. Kersen (Muntinga calabura l) merupakan salah satu tanaman yang dapat
dimanfaatkan yaitu bagian daunnya yang memiliki kandungan antara lain tanin, flavonoid, glikosida dan saponin (Zakaria
et al , 2007). Flavonoid dan tanin yang dimiliki daun kersen telah terbukti mampu menghambat pertumbuhan bakteri
staphylococcus aureus. Efek sinergis dari flavonoid, saponin, tanin yang terkandung didalamnya. Selain itu, daun kersen
juga memiliki antinosiseptif, anti-inflamasi dan antipiretik (Zakaria, 2006).
Berdasarkan data-data di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh ekstrak daun kersen
(Muntingia calabura l) berbagai konsentrasi terhadap lama penyembuhan luka pada mencit diabetes.
METODE PENELITIAN
BAHAN DAN ALAT
Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah;
a. Ekstrak Daun Kersen (Mutingia calabura l)
b. Mencit (Mus musculus) galur Swiss Webster
c. Aloksan
Obat yang digunakan untuk induksi DM pada penelitian ini adalah Aloksan (Merck, Darmstadt Germany) dengan
dosis 0,06 ml.
c. Etanol 96%
d. Lidokain 2%
e. Dextrosa 10%
f. Makanan hewan pelet
254
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
g. Air bersih
Adapun alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Pisau cukur
b. Blood Glucose Stik Meter
c. Jarum suntik (0,5 x 25 mm) sekali pakai dan spuit
d. Scalpel/pisau bedah
e. Cotton bud
f. Pena, penggaris dan kamera
g. Sarung tangan
h. Timbangan
i. Kandang mencit
Prosedur penelitian meliputi :
1. Persiapan
Sebelum perlakuan diberikan, samua hewan coba diadaptasikan selama 5-7 hari. Adaptasi bertujuan untuk
membuat mencit nyaman dan tidak terganggu psikologisnya sehingga tidak mempengaruhi kelancaran penelitian. Mencit
dibagi berdasarkan kelompok. Alas kandang diberi serutan kayu sehingga mempercepat serapan kotoran. Kandang
diletakkan pada suhu ruangan diruangan yang berventilasi cukup dengan sirkulasi udara yang baik. Mencit diberi makan
pelet 25 gr/hari dan minum air PAM secara adlibittum ± 220 ml/hari.
2. Induksi Diabetes
Mencit sebanyak 25 ekor dipuasakan selama satu malam (10-12 jam). Selanjutnya mencit di injeksikan aloksan
dosis 0,06 ml secara intraperitoneal sebanyak satu kali. Satu jam setelah mencit di injeksi aloksan diberikan dextrosa 10%
peroral untuk menghindari terjadinya hipoglikemik (Soon, 2002).
Cara penyuntikan : tempat penyuntikan di kuadran kanan abdomen bagian bawah dan jarum dimasukkan sejajar
dengan kaki kanan kemudian didorong melalui dinding abdomen ke dalam rongga peritoneal. Hiperglikemik terjadi pada
hari kedua setelah diinjeksi aloksan. Kadar glukosa darah puasa lebih dari 200 mg/dL yang dipilih sebagai subjek
penelitian (Szkudelski, 2001).
3. Pembuatan Luka Pada Mencit Diabetes
Semua mencit dicukur bagian punggungnya. Oleskan kapas yang telah diberi alkohol 70% pada bagian yang
akan dibuat perlukaan. Cuci tangan dan pakai sarung tangan steril. Mencit dianastesi dengan lidokain 2% 0,2 ml secara
intrakutan. Letakkan kembali mencit di kandang dan tunggu sampai efek anastesi bekerja. Setelah 5-10 menit, mencit
diberi rangsangan nyeri pada bagian yang akan dibuat perlukaan untuk mengetahui apakah anastesinya sudah bekerja.
Kemudian dibuat sayatan sepanjang 1,2 cm pada tempat yang telah disterilkan tadi dengan menggunakan pisau scalpel
yang telah diberi tanda agar semua perlukaan sama.
Pada tempat perlukaan, oleskan secara topikal ekstrak daun kersen konsentrasi 100%, 75%dan 50% pada
kelompok I,II, dan III. Pada kelompok IV dioleskan rivanol. Pengolesan menggunakan cotton bud setiap jam 06.30 dan
13.00 WIB. Pada kelompok V, tidak diberi perlakuan apapun. Setelah itu, mencit diletakkan kembali ke kandangnya.
255
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
4. Pengamatan
Penyembuhan luka diamati secara makroskopis. Luka dikatakan pulih 100% jika luka telah menutup sempurna,
tidak ada tanda infeksi, tidak ada eksudat, dan terbentuk jaringan baru. Perkembangan penyembuhan luka
didokumentasikan menggunakan kamera handphone setiap jam 17.00 WIB. Waktu saat luka sembuh sempurna dicatat
sebagai data untuk dianalisis.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dengan program komputer Statistical Product and Service Solutions (SPSS) 21 for
Windows. Pertama melakukan uji normalitas menggunakan uji Shapiro-wilk karena sampel ≤ 50, lalu dilakukan uji
homogenitas dengan uji Levene test. Jika data memenuhi syarat; terdistribusi normal (p>0,05) dan homogen maka
dilakukan uji parametrik dengan uji One Way ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Jika data tidak memenuhi
syarat, maka dilakukan konversi uji non parametrik dengan uji Kruskall wallis
Tabel 1. Data kadar glukosa darah rata-rata hewan uji sebelum dan setelah diinduksi aloksan
Kelompok
(n=5)
aloksan aloksan
TP 98.6 281.0
Keterangan:
EDK 100% : ekstrak daun kersen konsentrasi 100%
EDK 75% : ekstrak daun kersen konsentrasi 75%
EDK 75% : ekstrak daun kersen konsentrasi 50%
Rivanol : rivanol
TP : tanpa perlakuan
256
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Pengukuran kadar glukosa darah setelah induksi menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap
kadar glukosa darah sebelum induksi, dimana rata-rata kadar glukosa darah tiap kelompok setelah induksi berkisar antara
280,6 mg/dL sampai dengan 294,2 mg/dL. Nilai kadar glukosa darah puasa setelah induksi memenuhi kriteria diabetes
pada mencit yaitu melebihi ≥ 200 mg/dL (Szkudelski, 2001).
Peningkatan glukosa darah pada mencit disebabkan oleh aloksan yang merupakan senyawa glucose toxic analogue.
Aloksan dalam darah berikatan dengan GLUT-2 (pengangkut glukosa) yang memfasilitasi masuknya aloksan ke dalam
sitoplasma sel beta pankreas. Mekanisme ini mengakibatkan kerusakan baik dalam jumlah sel maupun massa sel pankreas
sehingga terjadi penurunan pelepasan insulin yang mengakibatkan terjadinya hiperglikemi. Aloksan juga dapat
membangkitkan reactive oxygen species (ROS) yang membentuk radikal hidroksil. Radikal hidroksil inilah yang
menyebabkan kerusakan pada sel β-pankreas sehingga terjadilah insulin dependent diabetes melitus pada hewan
percobaan (Zada, 2009). Prose penyembuhan luka diukur satu kali setiap hari sampai kedua tepi luka saling bertautan.
Rerata lama penyembuhan luka dalam hari dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan variasi lama penyembuhan luka dimana waktu tercepat dihasilkan oleh kelompok ektrak
daun kersen konsentrasi 100% yaitu 9,4 hari dan waktu terlama dihasilkan oleh kelompok tanpa perlakuan yaitu 18 hari.
Selanjutnya, dilakukan uji normalitas data (Shapiro-Wilk test) dan homogenitas data (Levene test) didapatkan
nilai p>0,05. Hasil uji tersebut menunjukkan data yang diuji terdistribusi normal dan homogen. Hasil uji normalitas data
dan homogenitas data dapat dilihat pada tabel.3.
Nilai p Homogeny of
Kelompok
(Shapiro-Wilk) Variance
EDK 100% 0,81
EDK 75% 0,11
257
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Keterangan:
EDK 100% : ekstrak daun kersen konsentrasi 100%
EDK 75% : ekstrak daun kersen konsentrasi 75%
EDK 75% : ekstrak daun kersen konsentrasi 50%
Rivanol : rivanol
TP : tanpa perlakuan
Tabel 3 menunjukkan data terdistribusi normal dan homogen sehinnga telah memenuhi syarat untuk dilakukan
uji parametrik One Way ANOVA. Uji one way ANOVA dilakuakan untuk mengetahui apakah setiap kelompok berbeda
secara statistik dengan tingkat kemaknaan (Level of Significancy) = 0,05.
Tabel 4 memperlihatkan bahwa ada perbedaan signifikan didalam kelompok perlakuan (p=0,00). Kemudian
dilanjutkan dengan uji post hoc antar kelompok perlakuan. Uji post hoc dilakuakan untuk mengetahui kelompok mana
yang memiliki perbedaan. Hasil uji post hoc dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5 Hasil Analisis Post Hoc
P Value
Intervensi
EDK 100%
EDK 100%
EDK 75%
EDK 50%
Rivanol
258
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Keterangan:
EDK 100% : ekstrak daun kersen konsentrasi 100%
EDK 75% : ekstrak daun kersen konsentrasi 75%
EDK 75% : ekstrak daun kersen konsentrasi 50%
Rivanol : rivanol
TP : tanpa perlakuan
Tabel 5 menunjukkan lama penyembuhan luka kelompok ekstrak daun kersen 100% dan 75% terdapat perbedaan
yang signifikan dibandingkan dengan kelompok rivanol. Kelompok ekstrak daun kersen konsentrasi 50% tidak bermakna
signifikan secara statistik terhadap kelompok rivanol dengan nilai p=0,52.
Waktu penyembuhan luka yang paling cepat adalah ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura l) dengan
konsentrasi 100% kemudian konsentrasi 75%. Hal ini disebabkan karena daun kersen (Muntingia calabura l)
mengandung senyawa kimia dan senyawa aktif seperti flavonoid, alkaloid, saponin dan tanin yang berpengaruh dalam
mempercepat penyembuhan luka (Warintek, 2008).
Flavonoid berfungsi sebagai antioksidan melawan radikal bebas. Flavonoid juga memberikan efek proteksi
terhadap reperfusi pada jaringan yang rusak akibat iskemik. Selain itu, dapat memodulasi respon imun dan memiliki
aktivitas anti inflamasi (Lakhanpal, 2007). Flavonoid menghambat cyclooxygenase yang memberikan efek antiinflamasi
dan menurunkan fragilitas kapiler sehingga meningkatkan kekuatan jaringan ikat dan mengurangi terjadinya kebocoran
kapiler ke interstitial, sehingga akan mencegah terjadinya edema (Mills and Bone, 2000) . Alkaloid merupakan senyawa
yang bersifat antibakteri karena dapat merusak dinding sel bakteri dengan cara mengganggu komponen penyusun
peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh, pembelahan sel terhambat dan
menyebabkan kematian sel tersebut (Saifudin, 2006). Saponin berperan sebagai antibakteri, antivirus dan antioksidan.
Selain itu, saponin juga memiliki aktivitas antiinflamasi yang dapat mengurangi edema dan inflamasi pada kulit (Kim et
al, 2011). Saponin juga menstimulasi produksi dari kolagen tipe 1 yang penting dalam tahap penutupan luka dan
peningkatan epitelisasi jaringan (Mackhay, 2003). Tanin memicu terjadinya pembentukan sikatrik pada luka dengan cara
memicu kontraksi luka, meningkatkan pembentukan kapiler dan fibroblas. Selain itu tanin juga berperan dalam mencegah
dan melindungi jaringan dari kerusakan akibat radikal bebas (Li et al, 2011; Agyare, 2013).
Pada penderita diabetes persembuhan luka terhambat akibat banyak faktor antara lain hambatan sirkulasi darah
dan oksigen akibat peningkatan kadar gula darah, sehingga terjadi penurunan sintesis kolagen dan fibronektin (Nayak,
2006). Hal ini juga mengakibatkan penurunan sistem imun, akibat penurunan fungsi neutrofil yaitu kemampuan migrasi,
kemotaksis, aktivitas fagositosis dan bakterisidal.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Handayani (2016). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Handayani
menunjukkan ekstrak daun kersen dengan konsentrasi 10,4 mg memiliki waktu penyembuhan luka yang lebih cepat
daripada konsentrasi yang lebih kecil 2,6 mg dan 5,2 mg. konsentrasi 10,4 mg juga lebih efektif dibandingkan dengan
kontrol positif. Penelitian ini sejalan pula dengan penelitian Zakaria et al (2007). Hasil penelitian Zakaria et al (2007)
menunjukkan bahwa ekstrak daun kersen lebih cepat menurunkan tingkat edema pada tikus yang diinduksi carrageenan
0,1 ml 1 % pada kaki belakang dibandingkan dengan kontrol positif aspirin 100 mg/kg. hal ini menunjukkan bahwa
ekstrak daun kersen memiliki fungsi sebagai antiinflamasi.
Kelemahan penelitian ini yaitu hanya dilakukan secara makroskopis sehingga hasil yang didapatkan berupa
kondisi umum luka, tidak didapatkan hasil yang lebih detail seperti kondisi sel dan revaskularisasi dalam mikroskopis
luka. Pada penelitian selanjutnya, diharapkan proses penyembuhan dapat diamati secara lebih objektif dengan
259
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
penghitungan jumlah fibroblas secara mikroskopik. Aktivitas hewan coba yang mengganggu proses penyembuhan tidak
bisa diamati sepanjang waktu pada penelitian ini.
KESIMPULAN
1. Terdapat pengaruh pemberian ekstrak daun kersen (Muntingia calabura l) pada proses penyembuhan luka diabetes
yang diberikan secara topikal.
2. Pengaruh ekstrak daun kersen 100% dan 75% lebih baik dalam penyembuhan luka diabetes terhadap kelompok
rivanol.
DAFTAR PUSTAKA
Agyare, Christian. 2013. Antimicrobial, Antioxidant, and Wound Healing Properties of Kigelia africana (Lam.) Beneth and Strophantus hispidus DC.
Advances in Pharmacological Science, pp. 1-10
Arisman. 2011. Obesitas Diabetes Mellitus & Dislipidemia. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Arisanty, I.P. 2013. Konsep Dasar Manajemen Perawatan Luka. Jakarta: EGC. Halaman 29.
Charan, J., Kantharia, N.D. 2013. How to Calculate Sample Size in Animal Studies?. J Pharmacol Pharmacother: 4(4), 303-306.
Departemen Kesehatan RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Journal of personality and social psychology. Vol 51(6). Halaman 40.
Desalu,O.,Salawu,F.K.,Jimoh, A.K.,Adekoya,A.O.,Busari,O.A, and Olokoba,A.B. 2011. Diabetic Foot Care: Self Reported Knowledge and Practice
Among Patients Attendind Three Tertiary Hospital in Nigeria. Ghana Medical Journal Vol.45.
Dewi, I.A.L.P., Damriyasa, I.M., dan Dada, I.K.A, 2013. Bioaktivitas Ekstrak Daun Tapak Dara (Catharanthus roseus) Terhadap Periode Epitelisasi
Dalam Proses Penyembuhan Luka Pada Tikus Wistar. Indonesia Medicus Veterinus: Vol2(1). Halaman 71-72.
Frykberg, R.G. 2002. Diabetic Foot Ulcers : Pathogenesis and Management.
American Family Physician: 66(9) Halaman 1655-61.
Gabriel, A. 2011. Wound Healing and Growth Factors. Medscape Reference. http://emedicine.medscape.com.
Guo, S. and DiPietro L.A. 2010. Factors Affecting Wound Healing. J. Dent. Res. 89(3): Halaman 219-229.
Haki M., 2009. Efek Ekstrak Daun Talok (Muntingia calabura L.) terhadap Aktivitas Enzim SGPT pada Mencit yang diinduksi Karbon Tetraklorida.
Skripsi . Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Handayani, Fitri. dan Triawanto, Sentat. 2016. Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Kersen (Muntingia calabura l) Terhadap Penyembuhan Luka Bakar
Pada Kulit Mencit Putih Jantan (Mus musculus). Jirnal Ilmiah:1(2). Halaman 131-142.
Hardiman, H.,Sutedjo, I, Salim, I. 2013. Tumbuh: Diabetes dan Komplikasi. Surakarta: Media Komunikasi RS DR.OEN Surakarta.
International Diabetes Federation, 2015. Idf Diabetes Atlas 7th ed. S. W. David Cavan, Joao da Rocha Fernandes, Lydia Makaroff, Katherine Ogurtsova,
ed., Available at: http://www.diabetesatlas.org.
Istikhomah Maya. 2010. Sirup Kersen (Muntingia calabura L.) Sebagai Alternatif
Minuman Kesehatan Keluarga. Penerbit Universitas Negeri Yogyakarta.
Kim, Y. S., Cho, I. H., Jeong, M. J., Jeong, S. J., Nah, S. Y., Cho, Y. S., et al. 2011.
Therapeutic Effect of Total Ginseng Saponin on Skin Wound Healing. Journal of Ginseng Research , Vol 1.
Khardori, R. 2015. ‘Type 2 Diabetes Melitus’. Medscape, diakses 14 Mei 2015,
dari: http://emedicine.medscape.com/article/117853-overview.
Kumar, E.K, Ramesh, A, Kasiviswanath, R. 2003. Hypoglicemic and Antihyperglicemic Effect of Gmelina asiatica Linn. In Normal and in Alloxan
Induced Diabetic Rats. Andra Pradesh: Journal Departemen of Pharmaceutical Sciences. Halaman 729.
Lakhanpal, P. and Rai, D.K. 2007. Quercetin: A Versatile Flavonoid. Internet Journal of Medical. Vol 2 (2).
MacKay D. & Miller A. L., 2003, Nutritional Support for Wound Healing,
260
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
261
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Ginjal menghasilkan urin yang merupakan jalur utama ekskresi toksikan. Akibatnya ginjal merupakan organ sasaran utama dari efek toksik. Etilen
glikol merupakan salah satu bahan kimia yang memicu terjadinya kerusakan ginjal. Telah dilakukan penelitian Uji Efek Nefroterapi Ekstrak Etanol
Daun Kersen (Muntingia calabura L) Terhadap Kadar Kreatinin dan Ureum Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus) yang Diinduksi Etilen Glikol.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek nefroterapi ekstrak etanol daun kersen serta menentukan dosis ekstrak yang efektif sebagai nefroterapi.
Penelitian ini menggunakan rancangan post-test randomized controlled groupdesign dengan menggunakan 5 kelompok yang setiap kelompok terdiri
dari 5 ekor hewan uji Kelompok I (normal), kelompok II (sakit), kelompok III (ekstrak daun kersen 100 mg/KgBB), kelompok IV (ekstrak daun kersen
200 mg/KgBB), kelompok V (ekstrak daun kersen 300 mg/KgBB). Pengukuran darah pada hari ke-0, 11 dan 18. Data yang diperoleh berupa kadar
serum kreatinin dan ureum dianalisis menggunakan uji one way ANOVA pada taraf kepercayaan 95% dan uji lanjut LSD. Hasil penelitian menunjukkan
ekstrak daun kersen (Muntingia calabura L) dosis 300 mg/kg BB efektif sebagai nefroterapi terhadap tikus putih jantan (Rattus norvegicus) yang
diinduksi etilen glikol
ABSTRACT
The Kidney for urine is the prime line of excretion toxican. So that, it is the prime target of toxic effect. Ethylene glycol is one of chemicals that causes
renal damage. It has been conducted a research about the nephrotherapy effect test of kersen leaf ethanolic extract to creatinine and ureum level of male
rats induced by ethylene glycol. This study aims to determine the nephrotherapy effect of kersen leaf ethanolic extract and to determine the effectiveness
of the effective extract dose as nephrotherapy. This research applied post-test randomized controlled group design with using 5 groups which were
divied into 5 rats in groups. Group I (normal),group II (sick), group III (extract of kersen leaf 100 mg/KgBB), group IV (extract of kersen leaf 200
mg/KgB), group V (extract of kersen leaf 300 mg/KgBB). Measuring the blood serums on day 0, 11 and 18. Data as level of serum creatinine dan ureum
was analyzed using one way ANOVA test of 95% reliability and a further test of LSD. Research results show the extract of kersen leaf dose 300
mg/KgBB is effective dose as nephrotherapy to male rats induced by ethylene glycol
PENDAHULUAN
Penggunaan bahan alam dalam upaya kesehatan menjadi salah satu alternatif pengobatan bagi masyarakat untuk
mengatasi berbagai penyakit(Supardi S et al, 2005). Pemanfaatan bahan alam tersebut dikenal dengan nama obat herbal
yaitu suatu bentuk pengobatan alternatif yang mencakup penggunaan tanaman atau ekstrak tanaman (Afifah E, 2005).
Salah satu tanaman berkhasiat tanaman obat adalah kersen (Muntingia calabura L).
Uji aktivitas antioksidan pada bagian bunga, buah dan daun kersen telah dilakukan dengan menggunakan pelarut
yang berbeda, dan aktivitas antioksidan tertinggi dihasilkan oleh bagian daun. Daun kersen mengandung berbagai
senyawa bioaktif yaitu flavonoid, saponin, triterpen, steroid, dan tannin (Mintowati E.K et al, 2013).Ekstrak metanol daun
kersen secara signifikan menurunkan kadar glukosa dalam darah hewan uji tikus (Sridhar M, 2011). Penelitian lain tentang
aktivitas ekstrak air, kloroform dan metanol daun kersen secara invitro menunjukan sebagai antiproliferatif dan
antioksidan (Zakaria Z.A et al, 2011).
Flavonoid merupakan komponen fenolik yang mempunyaiaktivitas antioksidatif (Nijveldt R..Jet al.2001). Hasil
penelitian terdahulu menyatakan bahwa senyawa flavonoid dapat meningkatkan GFR(glomerular filtration rate).
Peningkatan GFR padaginjal mengakibatkan ekskresi terhadap kadar ureum dan kreatinin dalam darah menurun (Joud
Het al, 2001).
Nefroterapi berasal dari kata nephros yang berarti bagian fungsional dari ginjal (Palar H & Rialdi A, 2003).
262
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Terapi atau therapy merupakan penanganan penyakit (Brooker C, 1997). Nefroterapi merupakan tindakan penanganan
atau pengobatan terhadap gangguan fungsi ginjal. Ginjal menghasilkan urin yang merupakan jalur utama ekskresi
toksikan, mempunyai volume aliran darah yang tinggi, mengkonsentrasikan toksikan pada filtrat, dan membawa toksikan
melalui sel tubulus, serta mengaktifkan toksikan tertentu. akibatnya ginjal merupakan organ sasaran utama dari efek toksik
(Lu F.C, 1995).
Etilen glikol merupakan salah satu bahan kimia yang memicu terjadinya kerusakan ginjal. Etilen glikol tidak
berwarna, tidak berbau, mempunyai rasa manis, yang mudah ditemukan dalam beberapa peralatan rumah tangga (Putra
E.D.L, 2003). Keracunan etilen glikol pada ginjal terjadi 24-72 jam setelah proses menelan. Etilen glikol di dalam tubuh
dimetabolisme menjadi kalsium oksalat yang terakumulasi di ginjal (Brent J, 2001). Salah satu indeks fungsi ginjal yang
terpenting adalah GFR yang secara klinis dapat diukur melalui kadar serum kreatinin dan ureum (Noer M.S, 2006).
Kreatinin merupakan hasil metabolisme kreatin dan fosfokreatin yang difiltrasi di glomerulus dan direabsorpsi
di tubular (Banerjee A, 2005). Kreatinin merupakan indikator kuat bagi fungsi ginjal dan konsentrasinya relatif konstan
dari hari ke hari (Corwin E.J, 2009). Ureum merupakan hasil utama metabolisme protein dalam tubuh. Kadar ureum
dalam serum bergantung pada katabolisme protein dalam hati yang diekskresikan ke dalam urin melalui ginjal (Doxey
D.L, 1983).
Penelitian terdahulu menunjukkan hasil isolasi daun kersen merupakan senyawa flavonoid berupa auron,
flavonol, dan flavon(Arum Y.Pet al, 2012). Penelitian di tahun selanjutnya menunjukan ekstrak etanol daun kersen
mempunyai efek diuretik, serta dapat meningkatkan kadar natrium dan kalium (Hastuti A, 2013). Penelitian di tahun 2016
menyatakan bahwa ekstrak etanol daun kersen memiliki kandungan alkaloid, antrakinon, polifenol, tannin, saponin,
flavonoid dan dosis 240 mg/kgBB mempunyai potensi meredakan nyeri (Rahma N.Wet al, 2016).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek nefroterapi ekstrak etanol daun kersen terhadap kadar kreatinin
dan ureum tikus putih jantan yang diinduksi etilen glikol dan menentukan dosis ekstrak yang efektif sebagai nefroterapi
terhadap tikus yang diinduksi etilen glikol.
263
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
264
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Tabel 2. Rerata dan Standar Deviasi Kadar Kreatinin Tikus Putih Jantan Hari Ke-0, 11 dan 18
Rerata dan SD Kadar Kreatinin (mg/dL)
Dosis 100 Dosis 200 Dosis 300
Hari Kontrol Normal Kontrol Sakit
mg/KgBB mg/KgBB mg/KgBB P
Ke-
Rerata SD Rerata SD Rerata SD Rerata SD Rerata SD
0 0,67 0,04 0,74 0,03 0,72 0,07 0,74 0,03 0,71 0,07 0,285
11 0,74 0,03 0,90 0,03 0,82 0,03 0,84 0,02 0,85 0,03 0,000
18 0,74 0,09 0,90 0,06 0,71 0,06 0,73 0,07 0,65 0,02 0,000
Keterangan: Nilai P > 0,05 = Berbeda Tidak Signifikan
Nilai P < 0,05 = Berbeda Signifikan
Tabel 3. Rerata dan Standar DeviasiKadar Ureum Tikus Putih Jantan Hari Ke-0, 11 dan 18
1.2
1
Kadar Kreatinin (mg/dL)
0.2
0
Hari Ke-0 Hari Ke-11 Hari Ke-18
Gambar 1. Diagram mengenai profil kadar kreatinin tikus putih jantan dari setiap
Kelompokyang diuji pada hari ke-0, hari ke-11 (setelah induksi) dan
hari ke-18 (setelah pemberian ekstrak)
265
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
60
50
10
0
Hari Ke-0 Hari Ke-11 Hari Ke-18
Gambar 2. Diagram mengenai profil kadar ureum tikus putih jantan dari setiap
Kelompokyang diuji pada hari ke-0, hari ke-11 (setelah induksi) dan
hari ke-18 (setelah pemberian ekstrak)
Sampel penelitian yang digunakan adalah daun kersen. Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu metode maserasi. Cairan penyari yang digunakan dalam proses maserasi ini adalah etanol 96%.
Kelompok kontrol normal digunakan untuk memastikan bahwa peningkatan kadar serum kreatinin pada tikus
adalah akibat pemberian nefrotoksin etilen glikol dan ammonium klorida dan bukan akibat pemberian pembawa (Na
CMC 0,5%) yang digunakan sebagai pelarut pada pembuatan suspensi bahan uji. Kelompok kontrol sakit digunakan untuk
memastikan adanya kenaikan kadar kreatinin dan ureum melebihi batas normal akibat pemberian induksi etilen glikol
dan ammonium klorida.
Penelitian ini menggunakan campuran etilen glikol 0,75% dan amonium klorida 2% sebagai bahan induksi.
Etilen glikol merupakan bahan yang bersifat nefrotoksik. Etilen glikol dimetabolisme di dalam tubuh menghasilkan
senyawa metabolit oksalat sehingga menyebabkan peningkatan kadar oksalat dalam darah yang dapat berikatan dengan
kalsium dalam darah membentuk kristal kalsium oksalat dan terdepo di ginjal. Amonium klorida berperan sebagai
katalisator yang mempercepat pembentukan Kristal kalsium oksalat serta dapat menurunkan ekskresi sitrat dan
meningkatkan oksidasi pada urin(Kusumawati M.S et al, 2013).
Penelitian ini diawali dengan pengukuran kadar kreatinin dan ureum awal (hari ke-0) untuk mengetahui kadar
kreatinin dan ueum normal tikus sebelum perlakuan. Data rerata kadar kreatinin awal (mg/dL) untuk kelompok
normal;sakit;ekstrak100 mg/KgBB;ekstrak200 mg/KgBB; ekstrak300 mg/KgBB berturut-turut adalah 0,67; 0,74; 0,72;
0,74; 0,71 mg/dL yang menandakan kadar kreatinin awal tikus putih jantan berada pada nilai normal (0,2-0,8 mg/dL).
Data rerata kadar ureum awal (mg/dL) untuk kelompok normal;sakit;ekstrak100 mg/KgBB;ekstrak200 mg/KgBB;
ekstrak300mg/KgBB berturut-turut adalah29,04; 30,02; 29,18; 28,30; 26,86 mg/dL yang menandakan kadar ureum awal
tikus putih jantan berada di atas nilai normal (15,0-21,0 mg/dL). Kadar ureum yang tinggi mungkin diakibatkan oleh
pemberian pakan yang mengandung protein tinggi, dimana makanan berprotein tinggi akan meningkatkan pelepasan asam
amino ke dalam darah, yang direabsorbsi di tubulus proksimal, karena asam amino dan natrium direabsorbsi bersama oleh
tubulus proksimal, maka kenaikan reabsorbsi asam amino juga merangsang reabsorbsi natrium dalam tubulus proksimal.
266
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Penurunan pengiriman natrium ke makula densa ini kemudian menimbulkan penurunan tahanan arteriol aferen yang
diperantarai oleh umpan balik tubuloglomerulus sehingga meningkatkan aliran darah ginjal dan GFR yang menyebabkan
ekskresi natrium dipertahankan pada kadar yang mendekati normal sementara terjadi kenaikan ekskresi produk sisa dari
metabolisme protein, seperti ureum (Guyton A.C & Hall J.E, 1997)
Hasil uji one way ANOVA semua kelompok menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan pada kadar kreatinin
awal (baseline) dengan nilai probabilitas adalah 0,285 (p < 0,05) dan perbedaan yang tidak signifikan pada kadar ureum
awal (baseline) dengan nilai probabilitas adalah 0,305 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa kadar kreatinin dan ureum
semua hewan uji pada awal penelitian dalam keadaan homogen.
Pada hari ke-11, data rerata kadar kreatinin(mg/dL) untuk kelompok normal;sakit;ekstrak100
mg/KgBB;ekstrak200 mg/KgBB; ekstrak300mg/KgBB berturut-turut adalah 0,74; 0,90; 0,82; 0,84; 0,85 mg/dL yang
menunjukan kadar kreatinin kelompok ekstrak lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol sakit namun masih lebih
tinggi bila dibandingkan dengan kontrol normal. Data rerata kadar ureum (mg/dL) untuk kelompok
normal;sakit;ekstrak100 mg/KgBB;ekstrak200 mg/KgBB; ekstrak300mg/KgBB berturut-turut adalah 29,42; 50,20;
40,20; 47,96; 38,76 mg/dL yang menunjukan kadar ureum kelompok ekstrak dan kontrol sakit lebih tinggi bila
dibandingkan dengan kontrol normal.
Hasil uji one way ANOVA hari ke-11, diperoleh nilai probabilitas kadar kreatinin adalah 0,000 (p < 0,05) dan
nilai probabilitas kadar ureum adalah 0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap
kadar kreatinin dan ureum diantara semua kelompok. Sehingga dilanjutkan analisis data menggunakan Post Hoc Test.
Hasil analisis Post Hoc Test LSD kadar kreatinin dan ureum menunjukkan bahwa kelompok ekstrak daun kersen
100 mg/kgBB, ekstrak daun kersen 200 mg/kgBB, ekstrak daun kersen 300 mg/kg BB dan kontrol sakit berbeda signifikan
dengan kelompok kontrol normal. Hal ini membuktikan bahwa terjadi kenaikan kadar kreatinin dan ureum yang signifikan
pada kelompok ekstrak dan kontrol sakit setelah diberi induksi etilen glikol dan ammonium klorida.
Pada hari ke-18, data rerata kadar kreatinin(mg/dL) untuk kelompok normal;sakit;ekstrak100
mg/KgBB;ekstrak200 mg/KgBB; ekstrak300mg/KgBB berturut-turut adalah 0,74; 0,90; 0,71; 0,73; 0,65 mg/dL yang
menunjukkan bahwa kadar kreatinin kelompok ekstrak mengalami penurunan ke kadar normal. Data rerata kadar ureum
(mg/dL) untuk kelompok normal;sakit;ekstrak100 mg/KgBB;ekstrak200 mg/KgBB; ekstrak300mg/KgBB berturut-turut
adalah 29,40; 49,52; 35,76; 37,00; 34,08 mg/dL yang menunjukan kadar ureum kelompok ekstrak daun kersen mengalami
penurunan signifikan.
Hasil uji one way ANOVA hari ke-18, diperoleh nilai probabilitas kadar kreatinin adalah 0,000 (p < 0,05) dan
nilai probabilitas kadar ureum adalah 0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap
kadar kreatinin dan ureum diantara semua kelompok. Sehingga dilanjutkan analisis data menggunakan Post Hoc Test
Hasil analisis Post Hoc Test LSD kadar kadar kreatinin menunjukkan kelompok ekstrak 100 mg/kgBB, 200
mg/kgBB dan 300 mg/kg BB berbeda signifikan dengan kontrol sakit dan berbeda tidak signifikan dengan kontrol normal.
Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun kersen 100 mg/kgBB, 200 mg/kgBB, dan 300 mg/kg BB memberikan efek
terapi menurunkan kadar kreatinin.
Hasil analisis Post Hoc Test LSD ureum menunjukkan bahwa kelompok ekstrak 100 mg/kgBB dan 200
mg/kgBB berbeda signifikan dengan kontrol sakit dan kontrol normal. Ekstrak daun kersen 300 mg/kgBB berbeda tidak
signifikan dengan kontrol normal dan berbeda nyata dengan kontrol sakit. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun
kersen 300 mg/kg BB memberikan efek terapi yang lebih baik menurunkan kadar ureum. Sehingga dengan data yang ada,
267
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
maka dipilih ekstrak etanol daun kersen dosis 300 mg/KgBB sebagai dosis efektif untuk nefroterapi.
Efek nefroterapi daun kersen disebabkan oleh adanya senyawa fenolik. Senyawa flavonoid yang terdapat dalam
daun kersen memiliki aktivitas mengaktifkan saluran Large-conductance Ca2+-activated K+ channel (BKCa) pada
pembuluh darah arteri melalui produksi H2O2 intraseluler. Saluran BKCa berperan mengaktifkan nitric oxide (NO) dan
endothelium dependent hiperpolarisasi. Pada tahap selanjutnya akan meregulasi tekanan arteri yang berperan dalam
pengaturan tekanan darah dan efek vasodilatasi dari kapiler afferent melancarkan laju aliran darah yang mengarah ke
peningkatan laju filtrasi glomerulus yang menyebabkan zat nefrotoksik yang masuk ke ginjal akan dikeluarkan akibat
aktivitas urinasi yang meningkat sehingga meminimalisir terjadinya akumulasi kalsium oksalat yang diakibatkan induksi
etilen glikol dan ammonium klorida (Madyastuti R et al, 2015).Kandungan flavonoid dalam daun kersen juga
menghambat reabsorpsi natrium, kalium dan clor sehingga terjadi peningkatan elektrolit di tubulus(Hastuti A, 2013).
KESIMPULAN
1. Ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura L) memberikan efek nefroterapi terhadap kadar kreatinin dan
ureum tikus putih jantan (Rattus norvegicus) yang diinduksi etilen glikol.
2. Ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura L) dosis 300 mg/kg BB efektif sebagai nefroterapi
DAFTAR PUSTAKA
Putra E.D.L.2003.Keracunan Bahan Organik dan Gas di Lingkungan Kerja dan Upaya Pencegahannya.FMIPA Universitas Sumatera Utara.
Rahma,N.W., Parmadi,A&Wicaksono, W.2016. Profil Kromatografi Lapis Tipis Ekstrak Etanol Daun Kersen (Muntingia calabura L) Beserta
Potensinya Sebagai Pereda Nyeri. Indonesian Journal On Medical Science. 3(1):105-106
Sridhar Met al. 2011.Antidiabetic effect of Leaves Muntingia calabura L in Normal And Alloxan-Induced Diabetic Rats.Jurnal ofPharmacology. 2:
626-632
Supardi,S., Jamal,S & Raharni, R.2005.Pola Penggunaan Obat, Obat Tradisional dan Cara Tradisional dalam Pengobatan Sendiri di Indonesia.Buletin
Penelitian Kesehatan. Hal 192.
Zakaria Z.Aet al.2011.Invitro Antiproliferative and Antioxidant Activites of The Extracts of Muntingia calabura Leaves.The American Journal of
Chinese Medicine.39(1):183-200
269
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Prebiotik yaitu suatu bahan makanan yang tidak dapat dicerna dan mempunyai pengaruh yang menguntungkan inang melalui stimulasi pertumbuhan
dan atau aktivitas secara selektif terhadap satu atau beberapa jenis mikroba menguntungkan dalam pencernaan. Jamur dapat menjadi sumber potensial
dari prebiotik karena mengandung polisakarida seperti kitin, hemiselulosa, α & β-glukan, mannans, xylans dan galaktosa. Oleh sebab itu dilakukan uji
prebiotik dari beberapa varietas jamur yaitu jamur merang (Volvariella volvacea), jamur grigit (Schizophyllum commune), dan jamur tiram putih
(Pleurotus ostreatus). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membandingkan aktivitas prebiotik dari ekstrak polisakarida beberapa
varietas jamur terhadap Lactobacillus casei. Hasil yang diperoleh adalah ketiga contoh uji berpotensi sebagai prebiotik terhadap bakteri Lactobacillus
casei yang diperkuat dengan hasil analisa Anova Two-Way adalah 0 (signifikan <0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga contoh uji memiliki
pengaruh terhadap pertumbuhan bakteri Lactobacillus casei. Akktivitas prebiotik tertinggi yaitu jamur grigit.
Kata Kunci: Prebiotik, Jamur, Probiotik, Lactobacillus casei
ABSTRACT
Prebiotics were food that hardly digested and have beneficial effect on the host by stimulating the growth or activity selectively against one or several
kinds of microbes in the digestive tract. Mushrooms can be a potential source of prebiotic because it contains polysaccharides such as chitin,
hemicellulose, α and β-glucans, mannans, xylans and galactose. Therefore the prebiotic study conducted on several varieties of mushrooms which are
straw mushroom (Volvariella volvacea), grigit mushroom (Schizophyllum commune), and white oyster mushroom (Pleurotus ostreatus). The aim of
this study focused on determine and compare the prebiotic activity of polysaccharide extracts mushrom on Lactobacillus casei. This study uses
concentration variation extracts mushroom were 3,125% w/v, 6,25% w/v, 12.5% w/v and 25% w/v. Prebiotic activity testing of mushroom can be
determined from the absorbance of bacteria in a spectrophotometer with a wavelength of 434 nm. The results of three samples has potencial as prebiotic
against bacteria Lactobacillus casei which were reinforced by the results of Two-Way ANOVA analysis was 0 (significant <0.05), so it can be concluded
that a third of the sample had an influence on the growth of Lactobacillus casei. Mushrooms grigit was the highest prebiotic activity.
PENDAHULUAN
Penyakit Diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia,
karena masih sering timbul dalam bentuk Kejadian Luar Biasa (KLB), dan disertai dengan kematian yang tinggi, terutama
di Indonesia Bagian Timur (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Prakiraan United Nations Children's Fund (UNICEF) pada
tahun 2012 angka kematian bayi di Indonesia mencapai 152.000 orang dan dua pertiganya karena diare (Republika, 2014).
Di Indonesia diare sering menimpa anak usia 6 bulan sampai 2 tahun (Brady, 2000). Berdasarkan Data dan Informasi
Profil Kesehatan Indonesia, kasus diare di Riau pada tahun 2014 ditemukan 134.955 kasus. Dari kasus ini yang dapat
ditangani oleh Fasilitas Kesehatan Riau sebesar 125.463 kasus dan yang tidak tertangani adalah 92.97 kasus (Kementarian
Kesehatan Republik Indonesia, 2015).
Provinsi Riau merupakan daerah yang memiliki lahan kelapa sawit paling luas di Indonesia (Badan Koordinasi
Penanaman Modal, 2015). Tak kalah luasnya dengan lahan perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet di provinsi Riau
memiliki total luas lahan 500.851 Ha pada tahun 2012 (BUMN, 2014).
Dalam kegiatan operasional di Pabrik Kelapa Sawit, akan dihasilkan produk sampingan (By-Product), baik berupa limbah
padat maupun limbah cair. Salah satu limbah padatnya adalah janjang kosong (Loekito, 2002). Janjang kosong dapat
270
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
menjadi media berkembangnya jamur dan salah satunya adalah jamur merang (Darmawi et al., 1998). Janjang kosong
yang tadinya untuk memupuk kelapa sawit, jika musim penghujan tiba akan ditumbuhi jamur. Jamur ini tidak beracun
dan rasanya enak (Riau Pos, 2014).
Begitu juga pada perkebunan karet, banyak ditemukan penyakit-penyakit yang menyerang tanaman karet.
Penyakit pada tanaman karet dengan kerugian besar disebabkan oleh cendawan (Kompasiana, 2014). Jamur
Schizophyllum commune merupakan salah satu jenis jamur pelapuk kayu yang sangat potensial dan dapat tumbuh secara
alami pada batang pohon karet (Herliyana et al., 2011).
Bisnis budidaya Jamur Tiram Putih (Pleorotus ostreatus) termasuk usaha yang potensial di Pekanbaru. Potensi
jamur sebagai salah satu sumber hayati belum dimanfaatkan secara optimal, selain untuk dikonsumsi jamur berpotensi
sebagai prebiotik karena mengandung karbohidrat seperti kitin, hemiselulosa, - dan α-glukan, mannans, xylans dan
galaktan (Aida et al., 2009). Pada penelitian Manzi, Aguzzi, dan Pizzoferrato (2001) mengungkapkan bahwa konsentrasi
-glukan pada tiga spesies jamur yang berbeda yaitu A. bisporus, P. ostreatus dan Boletus yang dikeringkan. Dari ketiga
spesies jamur dilakukan penelitian antara mentah dan yang telah dimasak. -glukan pada jamur A. bisporus mulai 1,2-1,7
mg/g, sedangkan setelah dimasak memiliki -glukan mulai dari 0,8-4.2mg/g. Jamur P. ostreatus dan Boletus yang
dikeringkan pada keadaan mentah mengandung -glukan masing-masing 139,2 mg/g dan 548,8 mg/g, sedangkan setelah
dimasak mengandung -glukan masing-masing 217.8 mg/g dan 666.4 mg/g. Jamur yang telah dimasak memiliki
konsentrasi -glukan yang sedikit lebih tinggi dari jamur yang mentah.
Menurut Moller dan Vrese (2004) beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa bakteri probiotik tertentu
seperti bifidobacteria dan lactobacillus dapat memperkuat sistem imun dan mengatasi diare, baik oleh rotavirus maupun
oleh bakteri serta mengatasi sembelit. Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang aman bagi manusia
untuk dikonsumsi, bila tertelan dalam jumlah yang cukup probiotik memiliki efek menguntungkan bagi kesehatan
manusia yang memberikan kontribusi untuk gizi dan kesehatan usus manusia (Winarmi, 2014).
Komposisi mikroflora dalam sistem pencernaan orang sehat umumnya stabil. Penyebab perubahan adalah pola
hidup, pola makan, dan penggunaan obat kesehatan, serta karena faktor internal seperti stress. Salah satu cara
meningkatkan proporsi ‘bakteri baik’ seperti Bifidobacteria, Lactobacilli, dan Eubacteria (Wichienchot et al., 2011)
dengan mengkonsumsi bakteri probiotik dan menyediakan nutrisi sesuai untuk bakteri probiotik agar dalam usus
berkembang lebih cepat yang bertujuan untuk dan menekan jumlah ‘bakteri jahat’ (Kusumawati et al., 2005) seperti
Clostridium perfringens, yang menyebabkan penyakit gastrointestinal (Wichienchot et al., 2011).
Prebiotik adalah polisakarida dan oligosakarida yang dapat membantu pencernaan dan penyerapan di usus kecil
serta fermentasi oleh bakteri probiotik asli usus besar. Prebiotik terdiri dari karbohidrat rantai pendek, terutama
oligosakarida, misalnya fructooligosaccharides (FOS), galactooligosaccharides (GOS), dan polisakarida, misalnya inulin
(Wichienchot et al., 2011).
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan penulis tertarik untuk meneliti bagaimana pengaruh senyawa
prebiotik dari beberapa varietas jamur yaitu jamur tiram putih, jamur merang dan jamur grigit terhadap pertumbuhan
bakteri probiotik Lactobacillus casei.
271
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
METODOLOGI
Bahan Uji
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua bagian dari jamur (jamur merang, jamur grigit, dan
jamur tiram putih).
Bahan Kimia
Bahan kimia yang digunakan adalah MRS Agar, MRS Broth, buffer phosfat pH ±7, alkohol 70%, dan aquadest.
Isolasi Poligosakarida dari Jamur
Jamur merang sebanyak 250 gr diblender sambil ditambahkan sedikit demi sedikit alkohol 70% lalu diperas
sehingga diperoleh larutan contoh uji, kemudian disentrifus dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15 menit sehingga
diperoleh endapan yang terpisah dengan supernatan. Langkah yang sama dilakukan pada jamur grigit yang sebanyak 250
gr dan jamur tiram putih sebanyak 500 gr. Selanjutnya ketiga endapan kental yang diperoleh ditimbang dan dilakukan uji
aktivitas prebiotik (Kusumawati et al., 2005).
Pembuatan larutan uji
Ketiga endapan kental yang diperoleh dari hasil sentrifus ditimbang, jamur merang sebanyak 2.5 gr yang
dilarutkan dalam buffer phosfat sebanyak 5 ml, jamur grigit 1.5 gr dan jamur tiram putih 1.5 gr kemudian masing masing
dilarutkan dalam buffer phosfat sebanyak 3 ml, kemudian larutan tersebut diencerkan dengan 4 seri konsentrasi secara
double dilution. Kemudian dilakukan sterilisasi sampel menggunakan autoklaf pada suhu 121 ℃ selama 15 menit.
Peremajaan Lactobacillus casei
Lactobacillus casei diperoleh dari stok kultur berbentuk gel diambil satu ose kemudian digoreskan pada media
(MRS agar) miring. Kemudian diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37 ℃ (Rahayu, 2014).
Uji aktivitas menggunakan media cair
Dipipet 2.500 µL MRS broth ditambah dengan 100 µL suspensi bakteri Lactobacillus casei dan 200 µL larutan
uji dari contoh uji dilakukan secara duplo. Kemudian diinkubasi pada suhu 37 ℃ selama 24 jam. Hasil pertumbuhan
bakteri dilihat dari pengukuran absorbansi bakteri dispektrofotometer dengan panjang gelombang maksimum
Lactobacillus casei.
Analisis Hasil
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Anova Completely Randomized Design (Anova CRD) /
Anova One Way pada tingkat kepercayaan 95% menggunakan program IBM SPSS Statistic 20. Dari hasil perhitungan,
apabila didapatkan F hitung lebih besar dari F tabel atau signifikansi kurang dari 0,05, maka dilanjutkan perhitungan
Honestly Significant Difference (HSD) untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan efek antar pasangan kelompok
perlakuan (Kusumawati et al., 2005).
HASIL
Pada penelitian ini dilakukan uji prebiotik pada 3 varietas jamur yang berbeda-beda yaitu jamur merang
(Volvariella volvacea), jamur grigit (Schizophyllum commune), dan jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) pada bakteri
Lactobacillus casei. Potensi jamur sebagai salah satu sumber hayati belum dimanfaatkan secara optimal, selain itu jamur
dapat menjadi sumber potensial dari prebiotik karena mengandung polisakarida seperti kitin, hemiselulosa, α & β-glukan,
mannans, xylans dan galaktosa (Bakhta et al., 2013). Prebiotik adalah polisakarida dan oligosakarida yang dapat
membantu pencernaan dan penyerapan di usus kecil serta fermentasi oleh bakteri probiotik asli usus besar. Prebiotik
272
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
terdiri dari karbohidrat rantai pendek, terutama oligosakarida, misalnya FOS, GOS, dan polisakarida, misalnya inulin
(Wichienchot et al., 2001).
Jamur merang sebanyak 250 gr diblender sambil ditambahkan sedikit demi sedikit alkohol 70% lalu diperas
sehingga diperoleh larutan contoh uji, kemudian disentrifus dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15 menit sehingga
diperoleh endapan yang terpisah dengan supernatan. Langkah yang sama dilakukan pada jamur grigit yang sebanyak 250
gr dan jamur tiram putih sebanyak 500 gr. Selanjutnya ketiga endapan kental yang diperoleh ditimbang dan dilakukan uji
aktivitas prebiotik.
Pada uji organoleptis polisakarida contoh uji yang dilakukan oleh peneliti diketahui bahwa endapan kental jamur
merang, jamur grigit dan jamur tiram putih tidak larut dalam air serta masing-masingnya bewarna coklat keabu-abuan,
coklat kehitaman, dan bewarna putih. Endapan kental jamur merang berbau tengik dan jamur grigit berbau hapak (seperti
bau kayu), sedangkan jamur tiram putih tidak berbau.
Untuk uji aktivitas dibuat larutan uji dengan menggunakan larutan buffer 5.000 µL, lalu dilakukan pengenceran
double dilution 4 tahap pengenceran dengan induk 50%. Pembuatan dan pengenceran ini dilakukan secara aseptis didalam
Laminar Air Flow. Kemudian rangkaian pengeceran larutan uji tersebut digunakan untuk pengujian aktivitas in vitro
dengan menggunakan media cair. Sebanyak 2.500µL MRS Broth ditambahkan 200 µL buffer phosfat dan 100 µL suspensi
Lactobacillus casei, kemudian diinkubasi pada suhu 35-37 selama 48 jam. Pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang
gelombang maksimum dari suspensi Lactobacillus casei, yaitu 434 nm, hasilnya tertera pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil uji aktivitas prebiotik dari ketiga contoh uji berdasarkan absorbansi bakteri Lactobacillus casei pada
spektrofotometer
Absorban masing-masing konsentrasi
Sampel
Kontrol Kel I Kel II Kel III Kel IV
0.370 0.466 0.472 0.523 0.609
Jamur Merang
0.370 0.472 0.482 0.516 0.632
Rata-rata 0.370 0.469 0.477 0.520 0.621
% Kenaikan - 26.757 28.919 40.541 67.838
0.455 0.762 0.970 0.981 1.112
Jamur Grigit
0.455 0.733 0.959 1.005 1.167
Rata-rata 0.455 0.748 0.965 0.993 1.140
% Kenaikan - 64.396 112.088 118.242 150.549
0.344 0.447 0.687 0.669 0.869
Jamur Tiram Putih
0.344 0.445 0.661 0.661 0.861
Rata-rata 0.344 0.446 0.674 0.665 0.865
% Kenaikan - 29.651 95.930 93.314 151.453
Keterangan : Kontrol: media cair + suspensi bakteri + buffer phosfat (tanpa isolat); Kel I: media cair + suspensi bakteri
+ buffer phosfat + larutan isolat 3,125%; Kel II: media cair + suspensi bakteri + buffer phosfat + larutan isolat 6,25%;
Kel III: media cair + suspensi bakteri + buffer phosfat + larutan isolat 12,5%; Kel IV: media cair + suspensi bakteri +
buffer phosfat + larutan isolat 25%
Dari pengukuran absorbansi tersebut dilakukan analisa statistik menggunakan Anova Completely Randomized
Design (Anova CRD)/ Anova Two Way pada tingkat kepercayaan 95% yang ditunjukan pada Tabel 2.
273
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Tabel 2. Hasil uji ANOVA dua arah pada aktivitas prebiotik dari jamur merang (Volvariella volvacea), jamur grigit
(Schizophyllum commune), dan jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) Menggunakan Program SPSS
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Kuadrat F (Hitung) Signifikan
Kebebasan Tengah
Nilai Tengah Baris 0.719 2 0.359 1772.314 0.000
Nilai Tengah Kolom 0.818 4 0.205 1008.536 0.000
Interaksi 0.153 8 0.019 94.111 0.000
Error 0.003 15 0.000
Total 14.367 30
Tabel 3. Ringkasan Hasil perhitungan HSD dari data pengukuran absorbansi pada masing- ..masing contoh uji
J. Merang 0.49120*
J Grigit 0.85990*
(*). Ada perbedaan bermakna antar contoh uji
Tabel 4. Ringkasan Hasil perhitungan HSD dari data pengukuran absorbansi pada masing- ..masing konsentrasi
Subset
Konsentrasi 6.25%
Kontrol 3.125% 25%
12.5%
Kontrol 0.38967*
Konsentrasi 3.125% 0.55417*
Konsentrasi 6.25% 0.70517
Konsentrasi 12.5% 0.72583
Konsentrasi 25% 0.87500*
(*). Ada perbedaan bermakna antar contoh uji
Dari perhitungan Anova Absorbansi tersebut diketahui bahwa signifikasinya adalah 0.000 (signifikan < 0.05),
sehingga dapat disimpulkan bahwa menolak H0,artinya terdapat pengaruh variasi konsentrasi pada setiap contoh uji
terhadap peningkatan pertumbuhan L. casei, minimal pada 1 kelompok uji. Untuk mengetahui kelompok uji yang
memiliki pengaruh, dilakukan perbandingan berpasangan dengan metode Uji Tukey. Uji Tukey (HSD) yang hasilnya
dapat dilihat pada Tabel 3.3 dan Tabel 3.4. Dari Tabel 3.3 dapat dilihat ada atau tidaknya tanda “*” pada setiap angka,
artinya memiliki pengaruh yang signifikan (Santoso, 2006). Pada Tabel 3.3 terlihat semua angka output mempunyai tandai
*, yang berarti antar ketiga contoh uji mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan bakteri. Pada Tabel
3.4. terlihat semua angka-angka output mempunyai tanda * kecuali pada konsentrasi 6.25% b/v terhadap 12.5% b/v, yaitu
dengan nilai signifikan 0.140 artinya dua konsentrasi tersebut rata-rata tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap
pertumbuhan bakteri.
Pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang gelombang maksimum dari suspensi Lactobaccilus casei, yaitu
434 nm (Kurniasih, 2012). Menurut hukum Lambert-Beer besarnya absorbansi cahaya berbanding lurus dengan
274
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
konsentrasi atom (Boybul dan Haryati, 2009). Banyaknya OD atau absorbansi sebanding dengan kepekatan sel dalam
suspensi biakan (Waluyo, 2010). Hasil pengukuran absorbansi L. casei dapat dilihat pada Tabel 3.1. Dari tabel dapat
dilihat bahwa absorbansi ketiga contoh uji lebih tinggi dari pada kontrol dan semakin tinggi seiring meningkatnya
konsentrasi.
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa polisakarida jamur merang (Volvariella volvacea), jamur grigit
(Schizophyllum commune), dan jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) berpotensi sebagai prebiotik.
KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
Jamur merang (Volvariella volvacea), jamur grigit (Schizophyllum commune), dan jamur tiram putih (Pleurotus
ostreatus) berpotensi sebagai prebiotik terhadap bakteri Lactobacillus casei. Hasil analisa data dengan Anova two-way
menunjukkan bahwa signifikan ketiga contoh uji adalah 0.000 (<0.005) yang menunjukkan bahwa ketiga contoh uji
dengan 4 variansi konsentrasi memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan bakteri Lactobacillus casei.
Aktivitas prebiotik yang paling tinggi yaitu jamur grigit (Schizophyllum commune) dari pada jamur merang dan
jamur tiram putih.
DAFTAR PUSTAKA
Aida, F,M,N,A, Shuhaimi, M, Yazid, M, Maaruf, A,G. 2009. Mushroom as a potential source of prebiotics: a review. Food Science & Technology, 20:
567-575
Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2015. Peluang Investasi Hilirisasi Industri Kelapa Sawit di Kota Dumai.
http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/commodityareapeluang.php?ia=1473&ic=25. Diakses pada tanggal 17 November 2015
Boybul dan Haryati, I. 2009. Analisa Unsur Pengotor Fe, Cr, Dan Ni Dalam Larutan Uranil Nitrat Menggunakan Spektofotometer Serapan
Atom. Seminar Nasional V SDM Teknologi Nuklir, 565-571
Brady, LJ, Gallaher, DD. and Busta, FF, 2000. The role of probiotic cultures in the prevention of colon cancer. J. Nutr. 130: 410S-414S
BUMN. 2014. Sembilan Pabrik Karet Di Riau Stop Produksi. http://bumn.go.id/ptpn5/berita/0-Sembilan-pabrik-karet-di-Riau-stop-produksi.
Diakses pada tanggal 17 November 2015
Darmawi dan Suwadji, E. 1998. Pengaruh Iradias Dan Ikubasi Media Tandan Kosong Kelapa Sawit Terhadap Pertumbuhan Jamur Merang (Vlvareilla
volvaceae). Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isoto dan Radiasi, 129-136
Herliyana, EN, Maryam, LF, Hadi, YS. 2011. Schizophyllum commune Fr. Sebagai Jamur Uji Ketahanan Kayu Standar Nasional Indonesia pada Empat
Jenis Kayu Rakyat : Sengon (P. falcataria), Karet (H. brasiliensis), Tusam (P. merkusii), Mangium (A. mangium). Jurnal Silvikultur Tropika,
2(3): 176-180
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Situasi Diare di Indonesia. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan Triwulan 2. Jakarta
Kementrian Kesehatan RI. 2015. Data dan Informasi Tahun 2014 (Profil Kesehatan Indonesia). Jakarta: Kementrian Kesehatan RI
Kompasiana. 2014. Penyakit Karet Lengkap dan Pengendalianya. http://www.kompasiana.com/logi/penyakit-karet-lengkap-dan-
pengendalianya_54f6ea4aa3331119158b476d. Diakses pada tanggal 17 November 2015
Kurniasih, N. 2012. Sinbiotik Antara Ekstrak Inulin Dari Bawang Merah (Allium cepa) dengan Lactobacillus casei strain BIO 25` dan Uji
Bioaktivitasnya Terhadap Bakteri Penyebab Diare. ISSN 1979-8911 Edisi Juli, 6(1-2): 51-59
Kusumawati, I dan Zaini, NC. 2005. Pengaruh Senyawa Prebiotik Dari Bawang Merah (Allium cepa) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Probiotik. Majalah
Farmasi Airlangga, 5(1): 20-24
Loekito, H. 2002. Teknologi Pengelolaan Limbah Industri Kelapa Sawit. Jurnal Teknologi Lingkungan, 3(3): 242-240
Manzi, P, Aguzzi, A, Pizzoferrato, L. 2001. Nutritional value of mushrooms widely consumed in Italy. Food Chemistry, 73: 321-325
Rahayu, E.S. 2014. Sertifikat Biakan Murni. Sertifikat. Universitas Gadjah Mada Pusat Studi Pangan dan Gizi
Riau Pos. 2014. Menjadikan Limbah Sawit Berdayaguna. http://www.riaupos.co/berita.php?act=full&id=45159&kat=16#.VhJ7fSv-iQ. Diakses pada
tanggal 1 November 2015
Republika. 2014. Angka Kematian Bayi Karena Diare Masih Tinggi. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/09/18/nc3slr-angka-
kematian-bayi-karena-diare-masih-tinggi. Diakses pada tanggal 30 Juli 2015
275
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Waluyo, L. 2010. Teknik dan Metode Dasar Dalam Mikrobiologi. Malang: UMM Press
Wichienchot, S., Thammarutwasik, P., Jongjareonrak, A., Chansuwan, W. 2011. Extraction and analysis of prebiotics from selected plants from southern
Thailand. Songklanakarin Journal Of Science And Technology, 33(5): 517-523
Winarmi. 2014. Efektifitas Minuman Probiotik Yogurt Dalam Menurunkan Jumlah Streptocuccus Mutans Pada Plak Gigi Anak Usia 12-14 Tahun.
Skripsi. Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Hasanuddin, Makasar
276
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Akar kuning (Fibraurea chloroleuca Miers) merupakan salah satu tanaman yang digunakan sebagai obat tradisional dan salah satu manfaatnya adalah
sebagai diuretik. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek diuretik pada tikus putih jantan galur wistar dan identifikasi kandungan kimia pada ekstrak
etanol akar kuning. Ekstrak dibuat dengan menggunakan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 70%. Uji aktivitas diuretik yang dilakukan
dibagi dalam 5 kelompok perlakuan. Setiap kelompok terdiri dari 5 ekor tikus putih. Kelompok 1 (K1) (kontrol positif) diberikan furosemid 21,6
mg/kgBB; kelompok 2 (K2) (kontrol negatif) diberikan suspensi CMC 0,5%; serta K3, K4, dan K5 diberikan dosis ekstrak akar kuning secara berturut-
turut sebesar 0,25 g/kgBB; 0,55 g/kgBB; dan 1,10 g/kgBB. Pengujian efek diuretik dilakukan dengan mengukur volume urin yang dikeluarkan selama
6 jam. Data yang diperoleh dianalisis secara statistika menggunakan ANOVA (Analysis of Variance). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis ekstrak
yang efektif adalah dosis K5 (ekstrak akar kuning 1,10 g/kgBB). Hasil skrining fitokimia yang diperoleh adalah alkaloid, flavonoid, saponin, tanin,
steroid, dan triterpenoid namun yang berkhasiat sebagai diuretik adalah alkaloid dan flavonoid. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan ekstrak
etanol akar kuning memiliki efek diuretik dan senyawa aktif yang diidentifikasi terdapat senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid, dan
triterpenoid.
ABSTRACT
Yellow root ((Fibraurea chloroleuca Miers) is one of the plants used as traditional medicine and one of the benefits is as a diuretic. This research aimed
to examine diuretics effect in male white rates wistar strain and identification of chemical contain the ethanol extract of yellow root. This extract was
prepared by maceration method using ethanol 70%. Diuretics activity test was divided into 5 treatment groups. Each of group consists 5 rats. Group 1
(positive control) was given furosemid 21,6 mg/kgBW; Group 2 (negative control) was given suspenssion of CMC 0.5%; Group 3, 4, 5 were given dose
of yellow root extract successively at 0.25 g/kgBw; 0.55g/kgBW; and 1.10 g/kgBW. The test is done by measuring of diuretics effect the urine volume
incurred for 6 hours. Data were statistically analyzed using ANOVA (Analysis of Variance). The results showed that the effective extract dose was
found in Group 5’s dose (1.10 g/kgBW yellow root extract). Phytochemical screening results obtained are alcaloids, flavonoids, saponins, steroids and
triterpenoids, but efficacious as of diuretics are alcaloid and flavonoid. Based on these results we can conclude the ethanol extract of yellow roots have
diuretics effect in male white rates wistar strain and identified the active compound contained alcaloids, flavonoids, saponins, steroids and triterpenoids.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan flora dan fauna dan kekayaan alam Indonesia menjadi salah
satu yang terbesar di dunia. Di antara kekayaan flora (tumbuh-tumbuhan) tersebut, banyak di antaranya yang termasuk
kategori tanaman obat dan sudah dimanfaatkan oleh nenek moyang kita sejak dulu. Pemanfaatan tanaman untuk
mengobati suatu penyakit sudah bukan menjadi rahasia. Ramuan tradisional termasuk jamu merupakan salah satu bukti
pemanfaatan tanaman, selain itu banyak ramuan tradisional yang sudah dihasilkan dan dimanfaatkan salah satu
diantaranya tanaman akar kuning. Akar kuning merupakan salah satu tanaman asli Indonesia yang biasa digunakan
sebagai bahan jamu. Di beberapa daerah di Sulawesi, tumbuhan ini umumnya digunakan untuk pengobatan penyakit
malaria, kencing manis, kencing batu dalam bentuk rebusan (Nagle dan Nagle, 2005), dimana terdapat korelasi antara
kencing batu dan diuretik.
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah diuresis mempunyai dua
pengertian. Pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran
(kehilangan) zat-zat terlarut air (Sunaryo, 1995). Khasiat dari akar kuning belum dipastikan secara ilmiah, hal ini
dikarenakan masih sedikitnya penelitian ilmiah dan informasi tentang kandungan metabolit sekunder dan senyawa
277
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
bioaktif yang terkandung dalam akar kuning. Sehingga pemanfaatan tumbuhan untuk tujuan pengobatan hanya didasarkan
pada pengalaman turun-temurun.
Metabolit sekunder adalah senyawa yang dihasilkan oleh tanaman, yang mempunyai peran biologis dan ekologi,
terutama digunakan sebagai pembawa pesan dan senyawa pelindung untuk tanaman itu sendiri (Jones et al., 2012). Pada
umumnya, tanaman yang mempunyai metabolit sekunder diharapkan mempunyai fungsi sebagai obat. Metabolit sekunder
diproduksi oleh tanaman bukan sebagai kebutuhan hidup utamanya atau senyawa ini biasanya diproduksi oleh tanaman
sebagai bagian dari sistem pertahanan dirinya, baik terhadap perubahan lingkungan maupun serangan penyakit
(Tisnadjaja, 2006).
Tumbuhan akar kuning belum diketahui secara lengkap kandungan metabolit sekunder dan efek diuretiknya,
sehingga perlu dilakukan skrining fitokimia pada akar kuning (Fibraurea chloroleuca Miers) untuk mengetahui senyawa
metabolit sekundernya, sehingga dapat diketahui potensi tumbuhan tersebut. Dari senyawa metabolit sekunder pada akar
kuning maka dapat ditentukan senyawa kimia yang berkhasiat sebagai diuretik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui aktivitas diuretik dan kandungan metabolit sekunder ekstrak etanol akar kuning (Fibraurea chloroleuca
Miers) pada tikus putih jantan galur wistar.
278
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ditambahkan pelarut etanol 70% sebanyak 2 L, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya (setiap hari
digojok). Ekstrak kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring sehingga didapat maserat dan residunya
diremaserasi dengan pelarut etanol sebanyak 500 mL dengan prosedur yang sama selama 2 hari sampai diperoleh maserat
yang jernih. Selanjutnya semua maserat etanol digabungkan dan diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator pada
suhu 70 oC sampai diperoleh ekstrak kental.
Pembuatan Suspensi CMC 0,5%
Sebanyak 0,5 g CMC ditimbang kemudian dimasukkan dalam lumpang yang berisi 10 mL akuades yang telah
dipanaskan, lalu dicampur dan digerus sampai homogen. Setelah itu suspensi CMC dipindahkan ke dalam labu ukur 100
mL. Volumenya dicukupkan dengan akuades hingga 100 mL. Pembuatan suspensi CMC ini digunakan sebagai kontrol
negatif.
Pembuatan Suspensi Furosemid
Sebanyak 20 tablet furosemid @ 40 mg ditimbang lalu dihitung bobot rata-ratanya kemudian dimasukkan ke
dalam lumpang dan digerus, kemudian ditimbang sesuai yang dibutuhkan yaitu sebanyak 43,2 mg serbuk tablet
furosemid, selanjutnya disuspensikan dengan CMC 0,5 % 15 tetes hingga homogen, selanjutnya dimasukkan ke dalam
labu ukur 25 mL kemudian ditambahkan akuades hingga volume 25 mL. Dosis yang diberikan kepada setiap tikus sebesar
4,32 mg/200 gBB. Pembuatan suspensi furosemid ini digunakan sebagai kontrol positif.
Pembuatan Suspensi Ekstrak Etanol Akar Kuning
Pembuatan suspensi ektrak etanol akar kuning dengan konsentrasi 10%, 20% dan 40% adalah : Konsentrasi 10%
yaitu dengan cara menimbang ekstrak etanol 0,5 g disuspensikan dalam CMC 0,5% 15 tetes kemudian ditambah dengan
akuades hingga volume 25 mL, sehingga didapatkan ekstrak dosis 0,25 g/kgBB sebagai uji ekstrak dosis 1. Konsentrasi
20% yaitu dengan cara menimbang ekstrak etanol 1,1 g disuspensikan dalam CMC 0,5% 15 tetes kemudian ditambah
dengan akuades hingga volume 25 ml, sehingga didapatkan ekstrak dosis 0,55 g/kgBB sebagai uji ekstrak dosis 2.
Konsentrasi 40% yaitu dengan cara menimbang ekstrak etanol 2,2 g disuspensikan dalam CMC 0,5% 15 tetes kemudian
ditambah dengan akuades hingga volume 25 ml, sehingga didapatkan ekstrak dosis 1,1 g/kgBB sebagai uji ekstrak dosis
3.
Prosedur Uji Efek Diuretik
Penyiapan Hewan Uji
Hewan uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan galur wistar sebanyak 25 ekor
yang dibagi dalam 5 kelompok perlakuan. Setiap kelompok terdiri dari 5 ekor tikus yang berada pada 1 kandang dan
diadapatasi selama 7 hari, kemudian dipindahkan ke kandang uji diuretik dan dipuasakan selama 8 jam sebelum
perlakuan.
Pemberian Suspensi Pada Tikus
Suspensi CMC 0,5% dan suspensi furosemid diberikan secara oral pada tikus putih jantan galur wistar. Volume
pemberian yaitu 2,5 mL/200 gBB, dan volume maksimum untuk tikus adalah 5 mL/200 gBB. Pemberian suspensi ekstrak
etanol akar kuning pada tikus dilakukan dengan menggunakan disposable syringe berujung NGT (Nasogastric Tube).
Pengukuran Volume Urin
Tikus yang akan diuji dipindahkan ke dalam kandang perlakuan yang telah terdapat wadah penampung urin.
Pengambilan urin tikus dilakukan setelah perlakuan pada jam ke- 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Urin yang tertampung pada wadah
279
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
penampung urin diambil dan diukur volumenya menggunakan disposable syringe 1 cc dan dicatat volumenya selama
waktu pengamatan.
280
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
281
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
282
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Analisis Data
Untuk mengetahui dan menganalisis apakah ada perbedaan yang nyata maka dilakukan uji one way ANOVA
(Analysis of Varians). Hasil pengujian ANOVA dapat dilihat pada Tabel 3.
ANOVA
Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 63,060 5 12,612 12,385 ,000(a)
Residual 24,440 24 1,018
Total 87,500 29
Dari hasil uji one way ANOVA ekstrak etanol akar kuning menunjukkan F hitung sebesar 12,385 dan signifikan
0,000. Hal ini menunjukkan F hitung lebih besar dari F tabel (12,385 > 2,62) maka H0 ditolak dan H1 diterima, karena
berdasarkan pengambilan keputusan pada perbandingan F hitung dan F tabel, jika F hitung lebih kecil dari F tabel (F
hitung < F tabel) maka H0 diterima, yang berarti tidak ada perbedaan diantara perlakuan dan jika F hitung lebih besar dari
F tabel (F hitung > F tabel) maka H1 diterima, yang berarti ada perbedaan diantara perlakuan. Hal ini berarti dalam
pengujian berdasarkan statistika ada efek diuretik ekstrak etanol akar kuning (Fibraurea chloroleuca Miers) pada tikus
putih jantan galur wistar, karena ragam antar kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang bermakna.
Skrining Fitokimia
Pengujiannya dilaukan dengan cara mengambil sedikit sampel dari simplisia dan ekstrak hasil maserasi, lalu
ditambahkan reagen sesuai dengan senyawa yang diidentifikasi. Hasil uji fitokimia pada serbuk simplisia dan ekstrak
etanol akar kuning (Fibraurea chloroleuca Miers) dapat dilihat pada Tabel 4
Tabel 4. Hasil uji fitokimia pada serbuk simplisia dan ekstrak akar kuning (Fibraurea chloroleuca Miers)
Pemeriksaan Hasil Pengujian Perubahan warna
Endapan kuning (pereaksi mayer)
Alkaloid + Endapan coklat-hitam (pereaksi wagner)
Endapan merah bata (pereaksi dragendrof)
283
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak akar kuning menunjukkan bahwa akar kuning mengandung
senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, steroid dan triterpenoid.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh, disimpulkan bahwa ekstrak etanol akar kuning (Fibraurea chloroleuca Miers)
memiliki efek diuretik pada tikus putih jantan galur wistar dengan efek yang terbaik ditunjukkan pada dosis 1,1 g/kg BB.
Hasil identifikasi skrining fitokimia ekstrak akar kuning mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid
dan triterpenoid.
UCAPAN TERIMAKASIH
1. Terimaksih kepada pihak Universitas Kader Bangsa, Palembang.
2. Terimakasih kepada pihak Laboratorium Farmasi Universitas Sriwijaya, Palembang.
3. Terimakasih kepada pihak Herbarium Laboratorium FMIPA Biologi Universitas Andalas, Padang.
DAFTAR PUSTAKA
Anna. 2011. Uji Efek Diuretik Ekstrak Etanol 70 % Daun Ceplukan (Physalis angulata L.), Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
Arsyi, K. 2007. Efek Diuretik Ekstrak Etanol Daun Markisah (Passiflora quadrangularis L.) Pada Tikus Putih Jantan Wistar, Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2006. Texbook of Medical Physiology. Edisi XI. Philadhepia: Elveiser inc.
Harborne, J.B. 1987. Meode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung : ITB.
Hinter, N & Nagle, B. 2005. Petunjuk Mengenai Tanaman di Indonesia dan Khasiatnya sebagai Obat Tradisional, diterjemahkan oleh Wiyanto.
Yogyakarta: Yayasan Dana Sejahtera.
Jones., William, P., Kinghorn, A., Douglas. 2012. Extraction of Plant Secondary Metabolities, Methods in Biotechnology, Natural Product Isolation.
2nd ed.
Junaedi, E. 2013. Hipertensi Kandas Berkat Herbal. Jakarta Selatan: Fmedia.
Khabibah, N. 2011. Uji Efek Diuretik Ekstrak Buncis (Phaseolus vulgaris L.) Pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar, Skripsi. STIKES Ngudi Waluyo,
Ungaran.
Lukmanto, H. 2003. Informasi Akurat Produk Farmasi di Indonesia. Edisi II. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Nessa, 2013. Efek Diuretik dan Daya Larut Batu Ginjal dari Ekstrak Etanol Rambut Jagung (Zea mays L.), Skripsi. Universitas Andalas, Padang
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinngi. Bandung : ITB.
Syamsul, E.S, 2011. Aktivitas Antidiabetes Kombinasi Ekstrak Terpurifikasi Herba Sambiloto (Andrographis paniculata (Burn F.) NESS) dan
Metformin pada Tikus DM Tipe 2 Resisten Insulin, Skripsi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tjay, T.H, Rahardja, K. 2002. Obat-obat Penting : Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Edisi V. Jakarta: Ditjen PCM RI, Hal : 372-381.
284
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
285
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Kalkon merupakan salah satu senyawa golongan flavonoid yang memiliki kerangka dasar 1,3-diarilpropanoid yang memiliki beragam aktivitas biologi,
salah satunya adalah sebagai inhibitor enzim α-glukosidase. Pada penelitian ini, molecular docking telah dilakukan terhadap senyawa kalkon analog
turunan 2’-metoksiasetofenon dan 3’-metoksiasetofenon dengan menggunakan paket program Autodock Vina. Berdasarkan hasil docking, kalkon analog
turunan 2’-metoksiasetofenon ternyata memiliki daya hambat yang cukup tinggi terhadap enzim α-glukosidase dibandingkan 3’-metoksiasetofenon.
Dari keenam senyawa yang diuji, senyawa yang paling berpotensial sebagai antidiabetes adalah (E)-3-(3-hidroksifenil)-1-(2’-metoksifenil)prop-2-en-
1-on (senyawa 2) dengan affinitas -7.6 kcal/mol untuk kemudian senyawa ini akan disintesis dan dilakukan uji biologinya.
ABSTRACT
Chalcone is one of the flavanoid compounds with the 1,3-diarylpropanoid as the basic framework, these chalcone has any biological activity such α-
glucosidase enzyme inhibitor. In this research, molecular docking has been done to the chalcone derivatives 2-methoxyasetofenone and 3-
methoxyasetofenone used Autodock Vina program. From the docking results indicated that chalcone derivative 2-mehoxyfenone shown has higher
potency to inhibit the α-glukosidase than 3-methoxyfenone. From six of these chalcone, (E)-3-(3-hidroksifenil)-1-(2’-metoksifenil)prop-2-en-1-on
(compound 2) with affinity of -7.6 kcal/mol.was assumed to have good activity as antidiabetic, for then this compound will be synthesize and test for
the bilogical activity.
PENDAHULUAN
Diabetes mellitus adalah penyakit kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh
kurangnya sekresi insulin atau menurunnya sensitivitas jaringan terhadap insulin (Rungkat, et al., 2015). Tipe diabetes
yang paling banyak diderita adalah tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) (Loranza, 2012).
Berdasarkan data WHO, 250 juta penduduk di dunia menderita diabetes dan jumlah ini diprediksi akan bertambah menjadi
366 juta di tahun 2030 (Chinthala et al., 2015).
Diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia yang dalam jangka panjang dapat menyebabkan komplikasi
makrovaskular (penyumbatan pada pembuluh darah besar seperti di jantung dan otak) dan mikrovaskular (penyumbatan
pada pembuluh darah kecil seperti di ginjal dan mata) (Yuhelma et al., 2014). Pendekatan secara terapetik untuk diabetes
adalah dengan menghambat enzim yang menghidrolisis karbohidrat (Wang et al., 2017). Sebagai salah satu enzim yang
dapat menghidrolisis karbohidrat, α-glukosidase dapat memutus ikatan antara residu glukosil dan oksigen glukosidik
untuk menghasilkan α-D-glukosa (Han et al., 2017). Salah satu metode yang efektif untuk mengontrol hiperglikemia
adalah dengan menghambat kerja enzim α-glukosidase. Sampai sekarang ini, ada tiga inhibitor α-glukosidase seperti
akarbosa, voglibosa dan miglitol yang telah digunakan secara medis. Namun, penggunaannya secara ekstensif terbatas
pada teknologi produksi yang kompleks, harganya yang mahal dan efek samping seperti intoleransi gastrointestinal dan
diare (Han et al., 2017). Sehingga dibutuhkan inhibitor baru yang lebih efektif namun tidak memiliki ataupun hanya
sedikit efek samping.
Kalkon adalah salah satu senyawa golongan flavonoid yang memiliki kerangka dasar 1,3-diarilpropanoid (Gambar
1) (Albogami et al., 2012). Kalkon diketahui sebagai prekusor untuk senyawa flavon dan isoflavon (Gond et al., 2013).
Penelitian terhadap senyawa ini telah banyak dilakukan di dunia, hal ini disebabkan karena kalkon memiliki aktivitas
286
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
biologi yang beragam, seperti antidiabetes (Chinthala et al., 2015) antibakteri (Khan & Asiri, 2014), antikanker (Shenvi
et al., 2013) antimikroba (Suwito et al., 2016), antioksidan, antifidan serangga (Vanangamudi & Subramanian, 2013),
agen imunosupresif (Luo et al., 2012), dan lain sebagainya. Banyaknya aktivitas kalkon ini disebabkan adanya gugus α,
β-tak jenuh pada kalkon yang dapat dimodifikasi jenis dan posisi substituen pada cincin aromatiknya (Jayapal et al.,
2010). Kalkon tersebar di berbagai famili tanaman tetapi tergolong ke dalam minor flavonoid dengan variasi struktur yang
terbatas. Hal ini menyebabkan kalkon sulit diperoleh melalui isolasi dari tumbuhan, sehingga sintesis dipilih sebagai
pemecahan masalah dalam membuat analog kalkon yang strukturnya lebih bervariasi (Junior, 2015).
O
6' 2
1
5 ' A 1' 3
B
4' 2' 6 4
3' 5
Gambar 1. Struktur umum kalkon.
Pendekatan secara in silico dalam penelitian ini adalah teknik penambatan molekul atau molecular docking dengan
menggunakan program Autodock Vina (Trott & Olson, 2009). Metode ini dapat memprediksi aktivitas dari senyawa-
senyawa dengan meghitung energi yang terlibat dalam interaksinya dengan protein. Pada penelitian ini, senyawa yang
akan diprediksi aktivitasnya sebagai inhibitor α-glukosidase adalah senyawa analog turunan kalkon 2’-metoksiasetofenon
dan 3’-metoksiasetofenon.
di komputer. Setelah proses running selesai, pada folder kerja akan terdapat dua file, yaitu ‘log.txt’ yang merupakan hasil
docking yang berisi nilai affinitas, dan ‘out.pdbqt’ yang berisi konformasi-konformasi ligan setelah docking, konformasi
tersebut dipisahkan dengan memasukkan perintah split ke cmd. PyMOL digunakan untuk menggabungkan protein yang
telah dipreparasi dengan konformasi ligan menjadi suatu kompleks dan disimpan dalam format PDB.
1. 4. -5.8 19.03
-5.7 19.89
288
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Gambar 2. Interaksi residu protein dengan (a) senyawa 1, (b) senyawa 2, (c) senyawa 3, (d) senyawa 4, (e) Senyawa 5,
dan (f) senyawa 6 secara 2D.
Senyawa 5 memiliki affinitas -6,0 kcal/mol dan berinteraksi dengan residu Lys 406, Asn 417, Glu 408, Arg 413,
Val 404, dan Trp 468 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Atom Oksigen dari gugus metoksi membentuk ikatan
289
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
hidrogen dengan Lys 406, sementara atom Oksigen dari gugus hidroksi membentuk ikatan hidrogen dengan Asn 417.
Cincin aromatik A membentuk interaksi pi-kation dengan Glu 408, sementara cincin aromatik B membentuk interaksi pi-
alkil dengan Arg 413 dan Val 404. Terbentuk pula interaksi alkil antara C=C dengan Arg 413. Lebih jauh dapat dilihat
interaksi antara ikatan karbon-hidrogen dengan Trp 468 dan interaksi van der Waals dengan Glu 405, Lys 406 dan residu
disekitarnya.
Senyawa 3 memiliki nilai affinitas terkecil selanjutnya, dengan nilai 5,9 kcal/mol tetapi memiliki interaksi yang
lebih beragam dibandingkan dua senyawa sebelumnya. Senyawa 3 membentuk ikatan hidrogen dengan Arg 136 dari atom
O pada gugus keton dan Ser 162 dari atom O pada gugus metoksi. Interaksi pi-alkil terbentuk antara cincin aromatik A
dengan Ala 418 dan cincin aromatik B dengan Cys 179 dan Val 410. Cincin aromatik B juga membentuk interaksi pi-
sulfur dengan Cys 179. Jika dilihat dari jauh terbentuk pula interaksi van der Waals dan pi-donor hidrogen (Gambar 2(c)).
Interaksi yang beragam ini dapat disebabkan oleh konformasi yang terbentuk pada senyawa 3 lebih stabil sehingga tolak
menolak antarmolekul lebih sedikit dan akan lebih banyak berinteraksi dengan residu protein disekitarnya. Senyawa 1, 4
dan 5 affinitasnya tidak memiliki rentang yang jauh dan interaksinya juga tidak sebanyak senyawa sebelumnya. Namun,
dua dari ketiganya membentuk interaksi lain seperti pi-sigma antara senyawa 1 dengan Trp 81, pi-sulfur dengan Met 70
(Gambar 2(a)), pi-kation antara senyawa 4 dengan Asp 68 dan Glu 408 (Gambar 2(d)).
(a) (b)
Gambar 3. Interaksi residu protein dengan (a) senyawa 2 dan (b) senyawa 5.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa uji inhibisi kalkon analog turunan 2’-metoksiasetofenon dan
3’-metoksiasetofenon terhadap enzim α-glukosidase dapat dilakukan secara in silico dengan teknik molecular docking
menggunakan program Autodock Vina. Kalkon analog turunan 2’-metoksiasetofenon memiliki daya hambat terhadap
enzim α-glukosidase lebih baik dibandingkan 3’-metoksiasetofenon. Senyawa (E)-3-(3-hidroksifenil)-1-(2’-
metoksifenil)prop-2-en-1-on (senyawa 2) berpotensial menghambat kerja enzim α-glukosidase dengan affinitas -7.6
kcal/mol. Untuk selanjutnya, ketiga senyawa ini untuk disintesis dan dillakukan uji biologinya.
290
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
DAFTAR PUSTAKA
Albogami, A. S., Karama, U., Mousa, A. A., Khan, M., Al-Mazroa, S. A., & Alkhathlan, H. Z. 2012. Simple and efficient one step synthesis of
functionalized flavanones and chalcones. Oriental Journal of Chemistry, 28(2), 619–626.
Chinthala, Y., Thakur, S., Tirunagari, S., Chinde, S., Domatti, A., Arigari, N. K., Srinivas, K. V. N. S., et al. 2015.. Synthesis, docking and ADMET
studies of novel chalcone triazoles for anti-cancer and anti-diabetic activity. European Journal of Medicinal Chemistry, 27, 1–16.
Gond, D. S., Meshram, R. J., Jadhav, S. G., Wadhwa, G., & Gacche, R. N. 2013. In silico screening of chalcone derivatives as potential inhibitors of
dihydrofolate reductase : Assessment using molecular docking, ar hydrophobic potential studies. Drug Invention Today, 5, 182–191.
Han, L., Fang, C., Zhu, R., Peng, Q., Li, D., & Wang, M. 2017. Inhibitory effect of phloretin on α-glucosidase: Kinetics, interaction mechanism and
molecular docking. International Journal of Biological Macromolecules, 95, 520–527.
Jayapal, M. R., Sreenivasa Prasad, K., & Sreedhar, N. Y. (2010). Synthesis and characterization of 2,4-dihydroxy substituted chalcones using aldol
condensation by SOCl2/EtOH. Journal of Pharmaceutical Sciences and Research, 2(8), 450–458.
Junior, R. 2015. Sintesis tiga senyawa analog kalkon turunan 2’-metoksiasetofenon dan uji toksisitas menggunakan metode BSLT (Brine Shrimp
Lethality Test). Skipsi. Universitas Riau, Pekanbaru.
Khan, S. A., & Asiri, A. M. 2014. Green synthesis, characterization and biological evaluation of novel chalcones as anti bacterial agents. Arabian
Journal of Chemistry, 18, 1–6.
Loranza, B. 2012. Uji penghambatan aktivitas enzim alfa-glukosidase dan identifikasi golongan senyawa kimia dari fraksi teraktif daun buni (Antidesma
bunius L.). Skripsi. Universitas Indonesia, Depok.
Luo, Y., Song, R., Li, Y., Zhang, S., Liu, Z.-J., Fu, J., & Zhu, H.-L. 201). Design, synthesis, and biological evaluation of chalcone oxime derivatives as
potential immunosuppressive agents. Bioorganic & Medicinal Chemistry Letters, 22, 3039–3043.
Rungkat, F., Prangdimurti, E., & Damanik, R. 2015. Anti-inflammatory of purple roselle extract in diabetic rats induced by streptozotocin. Italian Oral
Surgery, 3, 183–188.
Shenvi, S., Kumar, K., Hatti, K. S., Rijesh, K., Diwakar, L., & Reddy, G. C. 2013. Synthesis, anticancer and antioxidant activities of 2 ,4, 5-trimethoxy
khalcones and analogues from asaronaldehyde: Structure-activity relationship. European Journal of Medicinal Chemistry, 62, 435–442.
Suwito, H., Novi, A., & Hayati, S. 2016. Antimicrobial activities and in silico analysis of methoxy amino chalcone derivatives. Procedia Chemistry,
18, 103–111.
Trott, O., & Olson, A. J. 2009. Autodock vina: Improving the speed and accuracy of docking with a new scoring Function, efficient optimization, and
multithreading. Computational Chemistry, 31, 455–461.
Vanangamudi, G., & Subramanian, M. 2013. Synthesis, spectral linearity, antimicrobial, antioxidant and insect antifeedant activities of some 2,5-
dimethyl-3-thienyl khalcones. Arabian Journal of Chemistry, 6, 1–13. King Saud University.
Wang, G., Li, X., Wang, J., Xie, Z., Li, L., Chen, M., Chen, S., et al. 2017. Synthesis, molecular docking and alfa-glucosidase inhibition of 2-((5,6-
diphenyl-1,2,4-triazin-3-yl)thio)-N-arylacetamides. Bioorganic & Medicinal Chemistry Letters, 27, 1115–1118.
Yuhelma, Hasneli, Y., & Nauli, F. A. 2014. Identifikasi dan analisis komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler pada pasien diabetes mellitus. Ilmu
Keperawatan, 569-579.
291
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Daun sirsak (Annona muricata L.) telah digunakan sebagai fitoterapi berbagai penyakit seperti kanker, anti mikroba berspektrum luas untuk mengatasi
infeksi bakteri dan jamur serta sebagai anti helmintik. Banyaknya penggunaan obat tradisional yang belum diketahui data keamanannya akan merugikan
masyarakat konsumen obat tradisional. Tujuan dilakukan penelitian adalah untukmengetahuiefeksitotoksikekstrak daun sirsakterhadap sel Vero
dan sel AML12. Riset sitotoksik merupakan salah satu pengembangan metode untuk memprediksi keberadaan senyawa yang bersifat toksik dengan
menggunakan sel normal atau sel yang telah mengalami transformasi. Uji ini menggunakan 2 jenis cell line, yaitu sel Vero dan sel AML 12. Simplisia
daun sirsak dibuat ekstrak menggunakan etanol 96%kemudiandikeringkansehinggadidapatrendemen 5,44%. Konsentrasi uji yang digunakan 100.00;
50.00; 25.00; 12.50; 6.25; 3.13 g/mL untuk sel Vero dan 500.00; 250.00; 125.00; 62.5; 31.25 dan 16.63g/mL untuk sel AML 12. Dilakukan kultur
untuk masing-masing sel pada wellplate 96 kemudian diinkubasi didalam inkubator CO2 dengankadar 5% padasuhu 37C selama 24 jam kemudian
dilakukan pemaparan sampel uji kemudian diinkubasi kembali didalam inkubator CO2 dengankadar 5%padasuhu 37C selama 24 jam. Plate
kemudiandilakukanuji MTT. Hasiluji MTT dianalisisdengan ELISA Reader padapanjanggelombang 570 nm danpanjanggelombangreferen 630 nm.
Hasilrisetsitoktoksikmenunjukkanbahwa nilai IC50 ekstrak etanol daun sirsak adalah 35.78g/mL pada sel Vero dan 12.24g/mL pada sel AML 12,
makaberdasarkanklasifikasisitotoksikuntukbahanalamdapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun sirsak ini tergolong toksik terhadap sel Vero dan
AML 12.
ABSTRACT
Soursop Leaves (Annona muricata L.) has been used as phytotherapy for some diseases such as cancer, broad-spectrum antimicrobial, antifungal and
anthelmintic. The common use of traditional medicine whereas safety is not yet scientifically approved can possibly put consumer at risk. The aim of
this research is to evaluate cytotoxic effect of soursop leaf extract on Vero cells and AML 12 cells. Cytotoxic study is one of the method development
s for predicting the presence of toxic compounds using transformed-normal cells. This research used two types of cell line, Vero cells and AML 12
cells. The concentration of Ethanolic extract of soursop leaves (yield= 5,44%) are 100; 50; 25; 12.5; 6.3; 3.1 g/mL for Vero Cells and 500; 250; 125;
62.5; 31.3 dan 16.6g/mL for AML 12 cells. Cells were cultured in wellplate 96 and then incubated in the 5% CO2 incubator at 37C for 24 hours. The
wellplate then exposed to sample and re-incubated in the same condition. Plate then was performed MTT test and then analyzed by ELISA Reader at
570 nm at and 630 nm as reference. The result showed that the IC50 of ethanolic extract of soursop leaves were 35.78 g / mL on Vero cells and 12:24
g / mL on AML 12 cells, therefore oncytotoxicity classification for natural ingredients, it can be concluded that the ethanolic extract of soursop leaves
is classified as toxic to Vero cells and AML 12 cells.
PENDAHULUAN
Obat tradisional yang akhir-akhir ini menjadi “booming” diberbagai penjuru dunia adalah daun sirsak. Daun ini
dikabarkan dapat mengobati beberapa jenis kanker dan juga untuk pengobatan penyakit-penyakit lainnya.Sirsak ini
dikenal juga dengan nama graviola, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan soursop dan dalam bahasa latin
disebut sebagai Anonna muricata L (Zuhud, 2011). Banyak orang yang mengkonsumsi produk daun sirsak ini dengan
bebas dalam jangka panjang, padahal data keamanan dari daun ini masih terbatas, karena belum banyak yang meneliti
keamanannya. Bidang Toksikologi, Pusat Riset Obat dan Makanan, Badan POM RI sebagai salah satu unit kerja Badan
POM, telah melakukan penelitian “Riset Sitotoksik Ekstrak Daun Sirsak (Annona muricata L.) ”dalam rangka
memberikan informasi keamanan penggunaan daun sirsak.
Daun sirsak juga diketahui mengandung anti oksidan, yang dapat berfungsi sebagai anti inflamasi dan
mempunyai efek anti analgesik, menginduksi sitotoksisitas dan apoptosis pada T47D kanker payudara, mempunyai
aktivitas anti virus dan anti diabetes. Secara fitokimia daun A. muricata mengandung alkaloid, minyak atsiri dan
acetogenin. Acetogenin ini menunjukkan toksik selektif terhadap beberapa sel kanker tanpa merusak sel sehat (Pieme et
292
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
al., 2014). Uji sitotoksik merupakan salah satu pengembangan metode untuk memprediksi keberadaan senyawa yang
bersifat toksik dengan menggunakan sel normal atau telah mengalami transformasi (Obidike and Oluwakanyinsola,
2013).
Efek bahan uji terhadap kemampuan sel untuk berreplikasi digunakan sebagai indeks toksisitas. Konsentrasi
bahan yang dapat menurunkan 50% pertumbuhan sel disebut IC50 (Nalbantsoy et al., 2012). Balantyne (1999) membuat
kategori sitotoksik untuk bahan alam berdasarkan jumlah IC50, seperti tercantum dalam Tabel 1 berikut ini:
IC50 Kategori
IC50<10μg/mL(sel 106/mL) Sangat toksik
10μg/mL<IC50<100μg/mL Toksik
100μg/mL<IC50<1000μg/mL ToksikModerat
IC50>1000μg/mL Tidak toksik
293
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
125; 62,5; 31,3 dan 16,1 µg/mL menggunakan pelarut media kultur yang sesuai untuk masing-masing sel. Penyiapan
sediaan uji dilakukan secara aseptis.
Setelah didapatkan nilai % viabilitas sel kemudian dilakukan penghitungan nilai IC50,denganm embuat plotgrafik
hubungan antara log konsentrasi vs persentase viabilitas sel menggunakan program Microsoft OfficeExcel untuk
mendapatkan persamaan regresi linier.NilaiIC50 adalah konsentrasi yang menyebabkan terjadinya viabilitas sel sebesar
50%.
294
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Gambar 1a. Kontrol sel Vero Gambar 1b. Sel Vero yang diberikan sampel
ekstrak daun sirsak dengan dosis tinggi
Pada sel yang dipaparkan sampel ekstrak daun sirsak dari dosis berturut-turut 3,1; 6,25; 12,5; 25,0; 5,0;
100,0g/mL menunjukkan jumlahkematiansel yang meningkat seiring meningkatnya dosis, sehingga ekstrak tersebut ini
menunjukkan adanya hubungan dosis-respon, hal tersebut mengindikasikan bahwa ekstrak daun sirsak bersifat sitotoksik
terhadap sel Vero.
Persentase rerata viabilitas sel Vero yang dipaparkan ekstrak daun sirsak terlihat pada Gambar 2.
120
Persentase viabilitas
100
80
60
40
20
0
0 20 40 60 80 100 120
Konsentrasi (g/mL)
Gambar 2. Persentase viabilitas sel Vero terhadap konsentrasi sampel ekstrak daun sirsak
Dari persamaan regresi dapat diperoleh y=-0,4619x+96,269 dengan R2 =0,6577 sehingga dapat dihitung bahwa
IC50 = 35,8 g/mL. Menurut Balantyne (1999) IC50 yang berkisar 10μg/mLsampai dengan 100μg/mL tergolong toksik,
sehingga ekstrak daun sirsak ini tergolong toksik terhadap sel Vero (sel normal).
295
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Gambar 3a. Kontrol sel AML12 Gambar 3b. Sel AML 12 yang diberikan sampel
ekstrak daun sirsak dengan dosis tinggi
Sel yang dipaparkan sampel ekstrak daun sirsak dengan dosis berturut-turut 15,7; 31,3; 62,5; 125,0; 250,0 dan
500,0 g/mL menunjukkan peningkatan kematian sel seiring dengan peningkatan dosis, halter sebut menunjukkan adanya
hubungan dosis-respon sehingga ekstrak tersebut bersifat sitotoksik terhadap sel AML12.
Persentase Rerata sel viabel dari sel AML 12 yang dipaparkan campuran ekstrak daun sirsak dan yang kemudian
dibaca absorbansinya dengan ELISA reader terlihat pada Gambar 4.
70
60
Presentasi viabilitas %
50
40
30
20
10
0
0 100 200 300 400 500 600
Konsentrasi g/mL
Gambar 4. Persentase viabilitas sel AML 12 terhadap konsentrasi sampel ekstrak daun sirsak
Dari persamaan regresi dapat diperoleh y=y=-0,1119x+60,468dengan R2 =0,7746 sehingga dapat dihitung bahwa
IC50 = 12.3g/mL. Menurut Balantyne (1999) IC50 yang berkisar 10μg/mL sampai dengan 100 μg/mL tergolong toksik,
sehingga ekstrak daun sirsak ini tergolong toksik terhadap sel AML 12 (sel normal). Hal ini sesuai dengan pernyataan
Somkid et. al. (2016) ekstrak daun sirsak dapat menghambat pertumbuhan sel normal (Chang-liver cell) dan mempunyai
IC50 3.13 μg/mL. Hal ini kemungkinan disebabkan zat yang terkandung dalam daun sirsak tersebut.
KESIMPULAN
Rendemen dari ekstrak daun sirsak adalah 5,4%. IC50 ekstrak etanol daun sirsak adalah 35.8 µg/mL padas el
Vero dan 12,2 µg/mL pada sel AML 12. Berdasarkan table klasifikasi sitotoksik untuk bahan alam, ekstrak etanol daun
sirsakini tergolong toksik terhadap sel Vero dan AML 12
296
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
DAFTAR PUSTAKA
Ballantyne B, Cawley TJ. 1999. Toxicology Update. Journal of Applied Toxicology; 19: 291-4.
Daun Sirsak.http://www.herbaindoutama.com/2012/10/herba-daun-sirsak.html
Nalbantsoy Aet al. 2012. Determination of In Vivo Toxicity and In Vitro Cytotoxicity of Venom from the Cypriot Blunt-nosed Viper
Macroviperalebetinalebetina and Antivenom Production.The Journal of Venomous Animals and Toxins including Tropical Diseases.18:2, 208-
216
Obidike Ifeoma and Salawu Oluwakanyinsola. 2013. Screening of Herbal Medicines for Potential Toxicities. New Insights into Toxicity and Drug
Testing.Intech. http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/42020.pdf
Pandey.Neha and DushyantBarve. 2011. Phytochemical and Pharmacological Review on Annona
Squamosa Linn.International Journal of Research in Pharmaceutical and Biomedical Sciences.Vol. 2(4)
Pieme, Constant Anatole,et al. 2014.Antiproliferative Activity and Induction of Apoptosis by Annona muricata (Annonaceae) Extract on Human Cancer
Cells, BMC Complementary and Alternative Medicine, 14:516.
Pubchem. 2015. https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/
SomkidKoravitet al. Cytotoxicity Testing of Graviola (Annona muricata Linn.) Leaf Extracts In vitro. http://www.lib.ku.
ac.th/KUCONF/2559/KC5305020.pdf
Zuhud, Ervizal Am. 2011. Bukti Kedahsyatan: Sirsak Menumpas Kanker. PT. AgromediaPustaka.
297
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Metabolit sekunder yang diduga berperan menurunkan kadar glukosa darah tikus model hiperglikemik pada daun gaharu (Aquilaria malaccensis) adalah
flavonoid, terpenoid,fenol, dansaponin. Mekanisme kerjanya diduga dengan cara memicu sekresi insulin oleh sel β pankreas dan ambilan gula darah di
jaringan. 62 ekor tikus Wistar jantan model hiperglikemik dibagi dalam 2 eksperimen yang dicekok masing-masing dengan 2 ml ekstrak metanol, fraksi
etanol air dan etil asetat selama 14 hari berturut-turut telah menjelaskan regulasi efek hipoglikemiknya. Pada dosis 0,01 g/kg bb terbukti bahwa ekstrak
metanol daun gaharu menurunkan kadar gula darah puasa sebesar 28,6 – 65,1 % dan hasil ini setara dengan glimepirid 0,09 mg/kg bb. Sedangkan 0,01
g/kg bb fraksi etanol air dan etil asetat daun gaharu menurunkan kadar gula darah berturut-turut 46,5 % dan 47,8 % dengan meningkatkan ambilan
glukosa (peningkatan kadar GLUT4) pada jaringan adiposa berturut-turut 8,83 % dan 23,44 %yang relatif lebih kecil dari peningkatan GLUT4 pada
jaringan otot (24,5 % dan 20,6 %). Kedua fraksi aktif daun gaharu tersebut menurunkan kadar insulin darah puasa tikus Wistar yang hampir setara
dengan 0,02 g/kg bb pioglitazon.Dosis kecil eksrakmetanol dan fraksi etanol air dan etil asetat daun gaharu dapat menurunkan kadar gula darah tikus
Wistar jantan setara dengan glimepirid dan pioglitazon dengan menurunkan resistensi insulin dan meningkatkan ambilan glukosa dalam jaringan lemak
dan otot lurik.
ABSTRACT
Secondary metabolites containing in gaharu leaf (Aquilaria malaccensis) assumed to lower blood glucose in hyperglycemic rat models are flavonoid,
terpenoid, fenol, dan saponin. Its mechanism of action is presumably by triggering insulin release by β cells of pancreas and glucose uptake in certain
tissues. Among 62 hyperglycemic model of male Wistar rats divided into 2 different experiments administered orally 2 ml of methanol extraxt and
ethanol-water and ethyl acetatefractions of the metabolites for 14 days continously could explain its hypoglycemic effetc regulation. In the dose of 0.01
g/kg bw showed that methanol extract of gaharu leaf lowered fasting blood glucose by 28.6 – 65.1 % which is equal to 0.09 mg/kg bw glimepiride.
Furthermore 0.01 g/kg bw of ethanol-water andethyl-acetate fractions lowered blood glucose by 46.5 % and 47.8 % as well and the other side increase
8.83 % and 23.44 % of GLUT4 in adiposetissues and 24.5 % and 20.6 % GLUT4 in voluntary muscle tissues. These fractions showed also decrease
blood insulin equal to0.02 g/kb bw pioglitazone. It seem that small dosage of methanol extract, ethanol-water and ethyl-acetate fractions could lower
Wistar rat blood glucose by decreasing insulin resistance and glucose uptake in adipose and voluntary muscle tissues.
PENDAHULUAN
Prevalensi penderita Diabetes mellitus (DM) menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2030
meningkat 2 kali lipat, sedangkan penderita DM di Indonesia justru mencapai 21,3 juta orang atau merupakan negara
urutan ke empat dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat. (Wild et. al., 2004). Upaya pengendalian penyakit ini
secara farmakoterapi meliputi pemberian obat-obatan dari golongan sulfonilurea, glitidin, biguanid, thiazolidinedion,
inhibitor α-glukosidase, GLP-1 receptor agonists, inhibitor dipeptidil peptidase-4 (DPP-4), amylin analog dan bile acid
sequestrant (Abram et. al., 2009). Beberapa senyawa hasil ekstraksi herbal terbuktimemiliki efek hipoglikemik,antara
lain senyawa mangiferin, triterpen yang terkandung dalam daun Aquilaria sinensis (Thymeleaceae) menunjukkan efek
hipoglikemik pada mencit model diabetes (Jiang et.al., 2011), bahkan ekstrak metanol dan air daun Agaarwood (Aquilaria
malaccensis) pada dosis 1g/kg bb mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus yang telah diinduksi STZ (model
diabetik) (Pranakhon et. al., 2010).
Selain mekanisme di atas, maka sensitifitas jaringan terhadap insulin dapat ditingkatkan secara signifikan
melalui ekspresi GLUT4 pada jaringan adiposa dan otot rangka sehingga timbul juga efek hipoglikemik (Sugi et. al.,
2009) melalui aktifasi peroxisome proliferator-activated reseptor gamma (PPARγ). Penelitian ini ingin membuktikan
298
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
senyawa aktif daun Aquilaria malaccensismampu menurunan kadar gula darah tikus Wistar jantan model hiperglikemik
yang diinduksi dengan aloksan dan Streptozotocin (STZ).
Bahan uji yang digunakan adalah daun gaharu yang diperoleh dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Bangka
Tengah, dicuci dengan air mengalir, dikeringkan dan ditimbang berat keringnya, kemudian diblender untuk diserbukkan
kemudian dimaserasi dengan pelarut metanol, diuapkan dengan destilasi vakum dan dilanjutkan dengan rotary evaporator
sampai didapatkan ekstrak kental. Uji kualitatif dilakukan untuk uji fitokimia dengan menggunakan beberapa pereaksi
kimia untuk mengidentifikasi kandungan senyawa bioaktif dilanjutkan dengan uji kromatografi lapis tipis (KLT). 2%
ekstrak kental ditotolkan pada plat silica gel 60 GF254, dibuat rangkap 2, kedua plat ini dimasukkan kedalam bejana yang
berisi kloroform untuk memperoleh kromatogram kemudian disemprot dengan larutan H2SO4pada silica gel 60 GF254, lalu
dikeringkan dengan dipanaskan diatas penangas air, sehingga akan terlihat bahan bioaktif berdasarkan warna yang
terbentuk;warna kuning (golongan senyawa fenol), warna ungu (golongan senyawa terpenoid), dan warna coklat
(golongan tannin) (Farnsworth, 1996).Obat kontrol positif adalah glimepiride dengan dosis 0,018 mg/200 gram BB tikus
(konversi dari dosis manusia menurut Priyanto, 2010) dengan pemberian yang sama dengan kelompok perlakuan.
299
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Eksperimen 2
32 Ekor tikus putih jantan (Rattus norvegicus L.) galur Wistar(jumlah subjek ditentukan dengan rumus Federer)
sebagai subjek diadaptasi dengan kondisi laboratorium selama 7 hari dengan suhu ruangan 25OC, diberi makan standar
dan air ad libitum. Kemudian semua subjek di induksi menjadi model hiperglikemik menurut metode Sivabalan, S., et.
al. (2008) yang dimodifikasi dengan pemberian High Fat Diet (HFD)/Glucocorticoid (Gc) selama 14 hari. HFD diberikan
secara bertahap dimulai pada hari pertama sebanyak 1 mL sampai 5 mL pada hari kelima dan dilanjutkan selama 14 hari
sebanyak 5 mL per tikus. Bersamaan dengan HFD dilakukan injeksi dexamethason 250 L per kg berat badan perhari
secara intra peritoneal. Pada hari ke 15 setelah dipuasakan selama 12 jam, dilakukan penimbangan, pemeriksaan glukosa
darah, dan GLUT4 jaringan lemak dan otot lurik.
Pembagian Kelompok: 32 subjek dengan konformasi kadar gula darah puasa > 200 mg/dL dibagi dalam 8 kelompok.
Tikus kelompok uji diberi sediaan fraksi aktif daun gaharu dengan 3 variasi dosis per oral. Kelompok pembanding diberi
pioglitazon dengan dosis 0,02 g/kg bb (2 ml) dan kelompok kontrol negatif hanya diberi larutan tween 80 0.5%. Masing-
masing kelompok diberi perlakuan selama 14 hari, dan selanjutnya diberi makan dan minum ad libitum.
Kelompok I : subjek kontrol negatif, larutan Tween 800.5% 2 mL/200 g
Kelompok II : subjek pemberian oral fraksi aktifetanol air daun gaharu 0,01 g/kg bb
Kelompok III : subjek pemberian oral fraksi aktifetanol air daun gaharu 0,1 g/kg bb
Kelompok IV : subjek pemberian oral fraksi aktifetanol air daun gaharu 1 g/kg bb
Kelompok V : subjek pemberian oral fraksi aktifetil asetat daun gaharu 0,01 g/kg bb
Kelompok VI : subjek pemberian oral fraksi aktifetil asetat daun gaharu 0,1 g/kg bb
Kelompok VII : subjek pemberian oral fraksi aktifetil asetat daun gaharu 1 g/kg bb
Kelompok VIII : subjek kontrol positif, diberikan pioglitazon 0,02 g/kg bb
Catatan : semua larutan diberikan dalam bentuk suspensi Tween 80 0.5% sebanyak 2 mL/200 g.
Daftar Rujukan
Gambar 1 Bagan perlakuan terhadap subjek penelitian
Bahan uji adalah daun gaharu kering yang diperoleh dari kebun tanaman obat (diverifikasi oleh LPI Bogor
sebagai Aquilaria malaccensis), dibersihkan dengan cara dicuci dengan air mengalir, dikeringkan dan ditimbang (2 kg)
kemudian diblender menjadi serbuk.Serbuk daun gaharu tersebut disokletasi menggunakan etanol 96% dengan suhu 70OC
sampai simplisia terekstraksi sempurna. Hasil sokhletasi diuapkan sampai didapatkan ekstrak kental lalu dipekatkan
dengan rotary evaporator. Ekstrak lalu diletakkan ke dalam corong pisah untuk difraksinasi secara berturut-turut secara
cair-cair.Fraksinasi dimulai dengan menggunakan pelarut non polar yaitu n-heksana lalu didapatkan fraksi n-heksana
300
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
(yang mengandung senyawa nonpolar yaitu steroid/triterpenoid, lemak dan sebagainya), dan ekstrak etanol. Ekstrak
etanol lalu ditambah senyawa semi polar yaitu etil asetat didapatkan fraksi etil asetat (yang mengandung senyawa
semipolar yaitu alkaloid dan lain sebagainya) dan ekstrak etanol. Tahap akhir ekstrak etanol ditambahkan dengan pelarut
polar yaitu etanol, didapatkan fraksi etanol yang mengandung senyawa polar yaitu flavonoid dan ampas. Hasil fraksinasi
dipekatkan dengan rotary evaporatorlalu dilakukan penimbangan, lalu dilakukan uji bioautografi untuk mengetahui nilai
Rf bahan bioaktif dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Dari tiap fraksi tumbuhan konsentrasi 2% ditotolkan pada
plat silica gel 60 GF254, dibuat rangkap 2, kedua plat ini dimasukkan kedalam bejana yang berisi kloroform untuk
dilakukan pemisahan bahan-bahan bioaktif yang terdapat didalam ekstrak yang dikembangkan dengan fase gerak.
Kromatogram yang pertama digunakan untuk mendeteksi bahan bioaktif dengan disemprot menggunakan larutan H2SO4
pada silica gel 60 GF254, kemudian dikeringkan dengan dipanaskan diatas penangas air, sehingga akan terlihat bahan
bioaktif berdasarkan warna yang terbentuk. Apabila terbentuk warna kuning termasuk golongan senyawa fenol, warna
ungu termasuk golongan senyawa terpenoid, dan warna coklat termasuk golongan tanin. Selanjutnya dihitung nilai Rf
(Retordansi Factor) dari bercak yang muncul dengan persamaan 3.2 (Farnsworth, 1996).Dosis fraksi aktif bahan uji
ditentukan untuk berat badan tikus 200 g (sesuai kelompoknya).
Penentuan Kadar gula darah puasa (12 jam) tikus diukur sebelum pemberian makan HFD/Gc, hari ke-15 setelah
induksi DM dengan pemberian HFD/Gc dan hari ke-30 setelah perlakuan. Darah diambil dari sinus orbitalis mata dengan
cara hewan coba dianestesi terlebih dahulu dengan ketamin intramuskular pada otot paha bagianbelakang, darah yang
keluar ditampung pada tabung, centrifuge 3000 rpm selama 20 menit. Serum bagian atas diambil 100 L lalu diperiksa
dengan alat spectrophotometer dengan metode GOD-PAP, hasil yang diperoleh dalam satuan mmol/L.
Kadar insulin diukur dari sampel darah yang diambil bersamaan dengan pengukuran kadar gula darah yang
dikumpulkan pada tabung EDTA. Urutan pemeriksaan kadar insulin berdasarkan manual book catalogue number
SL0373Ra adalah sebagai berikut: darah yang ditampung pada tabung EDTA disentrifuge 20 menit pada kecepatan 3000
rpm. Sebelumnya perlu penyiapan larutan standar dengan cara :
a. Pada Well 1 masukkan 100 L standard solution dan 50 L standar dilusion buffer. Pada Well 2 masukkan 100 L
solusion dari Well 1 ditambah dengan 50 L standar dilusion buffer. 50 L solution dari Well 2 dibuang. Pada Well
3 masukkan 50 L solution dari Well 2 ditambah dengan 50 L standar dilusion buffer. Pada Well 4 masukkan 50
L solution dari Well 3 ditambah dengan 50 L standar dilusion buffer. Dan pada Well 5 masukkan 50 L solution
dari Well 4 kemudian 50 L standar dilusion buffer lalu dilakuan pembuangan sebanyak 50 L. Setiap pencampuran
dilakukan dengan menggunakan shaker.
b. Didapatkan pemisahan bagian atas adalah supernatan plasma.Masukkan 40 L sample dilution buffer dan 10 L
sample (supernatan plasma) tanpa menyentuh dinding well. Lakukan pencampuran menggunakan washer elisa plate
pada mode shaking.
c. Tutup plate dengan pelapis yang sudah tersedia, lalu diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37OC.
d. Lakukan pengenceran washing buffer dengan aquadest 30 kali
e. Pencucian, dilakukan setelah tutup membran dibuka, lalu dicuci dengan menggunakan washer Elisa plate pencucian
dilakukan dalam 30 detik setelah pengisian larutan washing buffer. Proses pencucian dilakukan sebanyak 5 kali.
f. Menambahkan 50 L HRP-Conjugate reagen ke setiap well kecuali well kontrol yang kosong.
g. Inkubasi seperti langkah d
301
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
302
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
t-test). Untuk memudahkan analisis data tersebut digunakan program SPSS (statistical product and service solution) versi
20.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian efek hipoglikemik ekstrak metanol daun gaharu dari eksperimen 1 nampak pada tabel-tabel di
bawah ini.
Tabel 1. Karakteristik subjek Rattus Norvegicus jantan. (n = 6 per kelompok)
Tabel 1 menunjukkan bahwa karakteristik semua subjek yang akan diuji pada eksperimen 1 ini adalah homogen,
dan oleh karena itu dapat di analisa dan dibandingkan.
Tabel 2. Kadar glukosa darah setiap kelompok sebelum perlakuan (hari ke-0) dan selama perlakuan (Hari ke-4, 8 dan
15) (n = 6 per kelompok).
Kadar Glukosa Darah (mg/dL)
Rerata ± SD
Waktu
Observasi EMG EMG EMG Glimepiride
Plasebo 0,01g/kg bb 0,1g/kg bb 1g/kg bb 0,09mg/kg bb
Hari ke-0 320,17±83,71 315,17± 94,23 342,67±122, 64 510,50±4,06 384,37±123,50
Kadar gula darah kelompok plasebo (kontrol negatif) dari hari 0 sampai hari ke 15 observasi (pengamatan) nampak
cenderung meningkat karena tidak adanya intervensi/asupan zat aktif yang memodifikasinya. Sebailknya kelompok
perlakuan dengan EMG dosis 0,01 g/kg bb nampak penurunan 28,6 % pada hari ke4 dan selanjutnya justru sangat
menurun pada hari ke 15 (65,1%) dibanding dengan kadarnya sebelum perlakuan. Disini nampak jelas efeh hipoglikemik
dari EMG terhadap regulasi kadar gula darah subjek. Penurunan kadar gula darah oleh gliipride sebagai kontrol positif
setiap hari menurun dan maksimum pada hari ke 15 (54,2 %) yang ternyata setara dengan penurunan oleh bahan uji EMG
dosis 0,01 g/kg bb (p<0,05).
Tabel 3. Perbandingan Nilai Rerata Kadar Glukosa Darah Kelompok Dengan Uji Anova (n = 6 per kelompok).
Waktu Observasi Kelompok Kadar GD (mg/dL) p value
Plasebo 320,17±83,71 0,014
303
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Selanjutnya hasil-hasil penelitian efek hipoglikemik ekstrak metanol daun gaharu dari eksperimen 2 nampak pada
tabel-tabel di bawah ini.
Tabel 4 di atas menunjukkan homogenitas karakteristik semua subjek. Semua subjek nampak homogen (p>0,05)
yang berarti dapat dibandingkan dan di analisis.
Tabel 5 menunjukkan kenaikan kadar gula darah setelah perlakuan dengan diet HFD/Gc selama 14 hari berturut-
turut dan nampak semua subjek menjadi hiperglikemi.
Tabel 4. Uji normalitas BB dan kadar glukosa darah puasa tikus sebelum induksi. Data merupakan nilai mean+ SD (n=4
per kelompok)
Kriteria Kontrol Negatif Dosis Perlakuan Kontrol
Jenis Fraksi 0,01 g/kgbb 0,1 g/kgbb 1 g/kgbb Positif
AFEA 188,0 ± 5,72 194,0 ± 11,43 201,75 ± 9,71 192,784 ± 7,84
304
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Tabel 5. Perubahan kadar glukosa darah puasa sebelum (B) dan sesudah (A) 14 hari proses induksi HFD/Gc.
(Paired t test, p=0.05)
Kelompok
Variabel perlakuan B A P
(n=32)
Kontrol negatif 6.91 ± 1.09 11.87 ± 0.88 0.001
H+AFEA 0.01 6.92 ± 0.78 11.55 ± 0.44 0.003
H+AFEA 0.1 7.23 ± 0.84 11.99 ± 0.84 0.007
Glukosa darah H+AFEA 1 7.3 ± 0.87 15.21 ± 0.95 0.001
puasa (mmol/L) H+AFEC 0.01 6.92 ± 1.3 14.35 ± 1.22 0.009
H+AFEC 0.1 7.52 ± 0.76 12.15 ± 0.84 0.009
H+AFEC 1 6.57 ± 0.57 12.11 ± 1.07 0.007
Pioglitazon 7.01 ± 0.53 12.12 ± 0.84 0.001
Keterangan:
H atau DM : model hiperglikemik atau Diabetes mellitus.
AFEA : Aquilaria malaccensis fraksi etanol air
AFEC : Aquilaria malaccensis fraksi ethyl acetate
Penurunan kadar glukosa antar kelompok model hiperglikemik tabel 5 setelah perlakuan dengan fraksi aktif
daun gaharu menunjukkan penurunan yang signifikan dibandingkan kontrol negatif dan tidak berbeda bermakna dengan
pioglitazone (tabel 6).Besarnya penurunan kadar glukosa darah dari masing-masing kelompok yaitu AFEA 0.01 (46,5%),
AFEA 0.1 (42.5%), AFEA 1 (41.6%), AFEC 0.01 (47,8%), AFEC 0.1 (48.3%), AFEC 1 (42.2%) dan Pio (52,6%)
dibandingkan kelompok kontrol negatif.Penurunan signifikan insulin darah didapatkan hampir seluruh kelompok fraksi
aktif daun gaharu dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif dan tidak berbeda bermakna dengan kelompok
pioglitazone. Besarnya penurunan kadar insulin setelah perlakuan dari tiap kelompok adalah AFEA 0.01 (39,3%), AFEA
0.1 (33.7%), AFEA 1 (29.1%), AFEC 0.01 (22.2%), AFEC 0.1 (61.2%), AFEC 1 (52,8%) dan pioglitazon (35,4%)
dibandingkan kelompok kontrol negatif. Fenomena ini menunjukkan adanya peningkatan kepekaan (sensitifitas) insulin
setelah perlakuan dengan fraksi aktif daun gaharu.
Selain itu induksi dengan pemberian HFD/Gc juga secara signifikan (p<0.05) efektif membuat hewan
coba menjadi hiperinsulinemia (kadar insulin meningkat 2-3 kali) dan resistensi insulin (HOMA-IR) dibandingkan
nilai preinduksi dengan gambaran peningkatan dan penurunan nilai HOMA-IR preinduksi-post induksi-post
perlakuan pada gambar 2. Pada kelompok DM kontrol, nilai HOMA-IR post induksi meningkat 5 kali
dibandingkan nilai HOMA-IR pre induksi (p< 0.001).
305
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
a a
a a
a a
a
b b b
b b
b
Gambar 2. Efektifitas induksi HFD/Gc (nilai HOMA-IR pre dan post induksi) dan perlakuan terhadap nilai
HOMA-IR (post induksi dan post perlakuan). Data merupakan nilai mean+ SD (n=4 per kelompok).
Paired t test, a p<0.05. Tingkat signifikan ditentukan dari one-way ANOVA diikuti dengan LSD post
Hoc test. b p<0.001, c p<0.05 vs DM kontrol; d p<0.05, e p<0.05 vs DM+PIO
Gambar 2 di atas menunjukkan pola hiperglikemi subjek akibat pemberian diet HFD/Gcselama 14 hari menjadi
subjek yang mengalami kelainan metabolik, dan timbul resistensi insulin. Tabel 6 menampilkan karakteristik keseluruhan
dari pola subjek menjadi hiperglikemik, resistensi insulin dan akhirnya gula darah dapat diturunkan setelah perlakuan
dengan fraksi-fraksi daun gaharu. Gambar ini menunjukkan pula bahwa semua fraksi aktif dan pioglitazon memiliki
efektivitas menurunkan indeks HOMA-IR berbeda bermakna dengan kelompok kontrol negatif, tetapi tidak memiliki
perbedaan yang bermakna dengan kelompok pioglitazon setelah 14 hari perlakuan. Kedua fraksi menunjukkan telah
memiliki efek menurunkan indeks HOMA-IR pada dosis kecil (0.01 g/kgbb) dimana pada fraksi etanol air memiliki pola
dependent dose, yaitu semakin dosis ditingkatkan maka efek semakin menurun, sedangkan pada fraksi ethyl acetate
memiliki pola non dependent dose.Pemberian AFEA 0.01,0.1,1 dan AFEC 0.01, 0.1, 1 g serta pioglitazon selama 14 hari
secara signifikan (p<0.05) menurunkan resistensi insulin dibandingkan dengan sebelum perlakuan, kecuali kelompok
kontrol negatif dimana terjadi peningkatan indeks HOMA-IR secara bermakna (p<0.05).Semua kelompok fraksi aktif
daun gaharu secara signifikan memiliki efek menurunkan indeks HOMA-IR dibandingkan kelompok kontrol negatif dan
tidak berbeda dibandingkan dengan kelompok pioglitazon seperti tampak pada grafik. Besarnya penurunan indeks
HOMA-IR dari tiap kelompok adalah 68.51%, 62.09%, 58.51% dan 59.85%, 79.70%, 73.43% serta 68.36% dibandingkan
dengan kelompok kontrol negatif.
Penilaian kadar GLUT4 jaringan adiposa yang diambil dari white adipose tissueretroperitoneal, dan jaringan otot
diambil dari musculus rectus abdominis menunjukkan bahwa data pre dan pasca perlakuan antar kelompok model
306
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
hiperglikemi/DM yang diinduksi HFD/Gc selama 14 hari mengalami peningkatan tanpa tergantung dosis (8,8 % - 26,5
% kecuali jaringan adiposa tidak berbeda bermakna dibandingkan nilai pre induksi (tabel 6).
Tabel 6. Efektivitas pemberian fraksi aktif A. mallacensis terhadap kadar glukosa, insulin darah
puasa,kadar GLUT4 jaringan adiposa dan otot pada subjek sebelum (B) dan sesudah (A) 14 hari
perlakuan. (Paired t test, p=0.05)
Kelompok perlakuan
Kelompok B A p %
(n=32)
Kontrol negatif 11.87 + 0.88 13.47 + 0.95 0.001 13.5
DM+AFEA 0.01 11.55 + 0.44 7.21 + 1.67 0.019 -37.6
DM+AFEA 0.1 11.99 + 0.84 7.74 + 1.19 0.001 -35.4
Glukosa darah DM+AFEA 1 15.21 + 0.95 7.86 + 1.83 0.004 -48.3
puasa (mmol/L) DM+AFEC 0.01 14.35 + 1.23 7.03 + 1.5 0.007 -51.0
DM+AFEC 0.1 12.15 + 0.84 6.97 + 1.9 0.022 -42.6
DM+AFEC 1 12.11 + 1.07 7.78 + 1.5 0.043 -35.8
Pioglitazon 12.12 + 0.84 6.39 + 1.27 0.003 -47.3
DM Kontrol 4.35 + 0.81 11.15 + 0.74 0.001 156.3
DM+AFEA 0.01 11.15 + 0.74 a 6.77 + 1.08 0.016 -39.3
DM+AFEA 0.1 11.15 + 0.74 a 7.40 + 1.00 0.001 -33.6
Insulin darah DM+AFEA 1 11.15 + 0.74 a 7.91 + 1.7 0.032 -29.1
puasa (µU/mL) DM+AFEC 0.01 11.15 + 0.74 a 8.68 + 1.75 0.066 -22.2
DM+AFEC 0.1 11.15 + 0.74 a 4.33 + 0.98 0.001 -61.2
DM+AFEC 1 11.15 + 0.74 a 5.27 + 1 0.005 -52.7
Pioglitazon 11.15 + 0.74 a 7.21 + 1.88 0.023 -35.3
Kontrol negatif 5.91 + 0.84 6.70 + 0.91 0.001 13.4
DM+AFEA 0.01 5.72 + 0.39 2.11 + 0.23 0.001 -63.1
DM+AFEA 0.1 5.94 + 0.55 2.54 + 0.49 0.001 -57.2
Index HOMA- DM+AFEA 1 7.54 + 0.54 2.78 + 1.01 0.002 -63.1
IR DM+AFEC 0.01 7.10 + 0.50 2.69 + 0.59 0.001 -62.1
DM+AFEC 0.1 6.02 + 0.46 1.36 + 0.59 0.001 -77.4
DM+AFEC 1 5.98 + 0.28 1.78 + 0.14 0.001 -70.2
Pioglitazon 6.03 + 0.80 2.12 + 0.9 0.003 -64.8
Kontrol negatif 353.6 + 19.03 362.49 + 8.26 0.486 2.5
DM+AFEA 0.01 362.49 + 8.26 394.51 + 85.45 0.522 8.8
DM+AFEA 0.1 362.49 + 8.26 454.65 + 47.27 0.043 25.4
GLUT 4 DM+AFEA 1 362.49 + 8.26 450.88 + 55.85 0.060 24.4
jaringan adiposa
DM+AFEC 0.01 362.49 + 8.26 447.45 + 31.22 0.019 23.4
(pg/mL)
DM+AFEC 0.1 362.49 + 8.26 395.49 + 50.19 0.238 9.1
DM+AFEC 1 362.49 + 8.26 458.73 + 27.71 0.005 26.5
Pioglitazon 362.49 + 8.26 353.82 + 40.75 0.728 -2.4
Kontrol negatif 425.63 + 61.89 378.82 + 33.87 0.048 -11.0
DM+AFEA 0.01 378.82 + 33.87 471.47 + 19.8 0.040 24.5
DM+AFEA 0.1 378.82 + 33.87 386.67 + 16.12 0.706 2.1
GLUT4 jaringan DM+AFEA 1 378.82 + 33.87 372.44 + 3.23 0.728 -1.7
otot (pg/mL) DM+AFEC 0.01 378.82 + 33.87 456.77 + 28.17 0.039 20.6
DM+AFEC 0.1 378.82 + 33.87 424.41 + 27.08 0.069 12.0
DM+AFEC 1 378.82 + 33.87 476.33 + 16.23 0.002 25.7
Pioglitazon 378.82 + 33.87 399.41 + 56.46 0.594 5.4
Keterangan:
H atau DM :model hiperglikemik atau Diabetes mellitus
AFEA :Aquilaria malaccensis fraksi etanol air
AFEC :Aquilaria malaccensis fraksi ethyl acetate
GLUT4 :insulin-responsive Glucose transporter type 4.
307
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Semua kelompok perlakuan menurunkan kadar glukosa darah puasa dan insulin darah puasa, namun terjadi
peningkatan kadar GLUT4 pada jaringan adiposa dan otot lurik secara signifikan dibandingkan kontrol
negatif(p<0.05). Peningkatan GLUT4 jaringan adiposa pada dosis kecil (0,01 g/kg bb) dari fraksi etanol air lebih
kecil dibanding fraksi etil asetat pada dosis yg sama. Sebaliknya dosis kecil fraksi etanol air pada jaringan otot
lurik nampak peningkatkan GLUT4 lebih besar dan konsisten makin menurun seiring dengan besaran dosisnya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa fraksi aktif daun gaharu meningkatkan ambilan glukosa oleh jaringan adiposa
(non-dose dependent manner) dan otot lurik namun potensi ambilan menurun seiring dengan besaran dosisnya
(dose dependent manner). Sedangkan potensi efek hipoglikemik pioglitazon dan peningkatan kepekaan insulin
darah setara dengan fraksi etanol air dan etil asetat (p<0,05) tetapi tidak terbukti meningkatkan ambilan glukosa
pada jaringan adiposa dan otot lurik. Hasil analisis sementara ternyata fraksi aktif daun gaharu menurunkan
HOMA-IR yang berarti resistensi insulin yang penting sekali dalam pengendalian sindroma metabolik. Hanya
penelitian ini belum dilengkapi dengan gambaran polaobesitas,glycosylated haemoglobin (HbA1C), lipoprotein
(a), dannon-esterified fatty acids (NEFAs) (Matthews et.al., 1985; Alonso,González-Jiménez, 2013).
Hasil uji fitokimia secara KLT ekstrak metanol daun gaharu dengan eluent n-hexan dan etil-asetat dengan
perbandingan (8:2) pada eksperimen 1 didapatkan senyawa fenol, flavonoid, terpenoid dan saponin. Sedangkan fraksi
aktif pada eksperimen 2 menunjukkan bahwa fraksi etanol air mengandung dominan flavonoid dan tanin, fraksi etil asetat
mengandung steroid/triterpenoid,flavonoid dan tanin.
KESIMPULAN
1. Efek hipoglikemik flavonoid dan terpenoid dosis kecil (0,01 g/kg bb) sebagai zat aktif dalam daun gaharu setara
dengan glimepirid dan pioglitazon.
2. Regulasi efek hipoglikemik oleh flavonoid dan terpenoid pada dosis kecil (0,01 g/kg bb) daun gaharu
menurunkan resistensi insulin secara reverse dose-dependent manner yang tidak dimiliki oleh pioglitazon.
DAFTAR PUSTAKA
Abram A. C., Sandra S. P., Carol B. L., 2009. Clinical Drug Therapy.Rationale for Nursing Practice.9th. Lippincott Williams and Wilkins.Philadelphia.
Farnsworth, N.R. 1996. Biologycal and Phytochemical Screening of Plants. Journal of Pharmaceutical Science. 55(3):262-263.
Jiang, S. Jiang, Y. Guan, Y.F. Tu, P.F. Wang, K.Y. Chen, J.M. 2011. Effect of 95% ethanol of Aquilaria sinensis leaves on hyperglycemia in diabetec
db/db mice.Journal of Chinese Pharmaceutical Sciences.
Matthews DR, Hosker JP, Rudenski AS, Naylor BA, Treacher DF, Turner RC. Homeostasis model assessment: insulin resistance and beta-cell
function from fasting plasma glucose and insulin concentrations in man. Diabetologia. 1985;28:412-19.
Montero Alonso MA, González-Jiménez E, Evaluation of the nutritional status, insulin resistance and cardiovascular risk in a population of
adolescents in the cities of Granada and Almeria (Spain),Nutr Hosp. 2013 May-Jun;28(3):802-6. doi: 10.3305/nh.2013.28.3.6437. Diakses
Maret 2017
Pranakhon, R., Pannangpetch, P., and Aromdee, C. 2010. Antihyperglikemic activity of agaarwood leaf extracts in STZ-induced diabetic rats and
glucose uptake enhancement activity in rat adipocytes. Songklanakarin Journal of Science and Technology, 33 (4), 405-410.
Priyanto ., 2010, Farmakologi dasar. Jakarta : Leskonfi, ed 2, h 83-97.
308
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Sivabalan, S., Renuka, S., Menon, V.P., 2008. Fat feeding potentiates the diabetonic effect of Dexamethasone Wistar rats. International Archives of
Medicine 2008:1-7 doi10.1186/1755.7682-1-7 Diakses Februari 2017.
Sugi, S., Olson, P., Sears, D.D., Saberi, M., Atkins, A. R., Barish, G.D., Hong, S. H., Castro, G. L., Yin, Y. Q., Nelson, M. C., Hsiao, G.,
Greaves, D. R., Downes, M., Yu, R. T., Olefsky, J. M., and Evans, R. M. 2009. PPAR γ activation in adipocytes is sufficient
forsystemic insulin sensitization. PNAS, 106 (52). Diakses Januari 2017.
Wild, S. Roglic, G. Green, A. Sicree, R. King, H. 2004. Global prevalence ofdiabetes: estimates for the year 2000 and projections for 2030.
Diabetic care2004; 27:1047-53.
309
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Diabetes melitus merupakan suatu penyakit degeneratif yang jumlahnya terus meningkat setiap tahun. Sekitar 422 juta orang dewasa berusia 18 tahun
keatas di dunia saat ini menderita penyakit diabetes World Health Organizaton (WHO). Indonesia sebagai negara yang memiliki keragaman hayati
telah melakukan berbagai penelitian diantaranya penelitian tanaman sebagai antidiabetes. Metode pengujian antidiabetes dari tanaman yang berpotensi
anti diabetes diantaranya menggunakan hewan coba tikus. kelinci dan ikan zebra, pengujian tanpa hewan coba dengan penghambatan enzim α-
glukosidase serta ada beberapa sofware pemodelan yang bisa di gunakan untuk menguji struktur zat aktif terhadap substratnya secara in silico. Hasil
penelitian menunjukan pada uji penghambatan enzim α- glukosidase signifikan dibandingkan dengan obat standar acarbose dengan IC50 berkisar antara
5.16 s/d 400 dibandingkan dengan IC50 acarbose 500, sedangkan pada pengujian pada hewan mencit dan kelinci dari berbagai tanaman yang telah diuji
dosis yang efektif sebagai antidiabetes sebagian besar masih relatif lebih besar dari kontrol positifnya yaitu antara 50 mg/kgbb s/d 1.8 g/kgbb sedangkan
kontrol positif yang di gunakan digunakan 0,013 mg/kgbb s/d 250 mg/kgbb. Analisa menggunakan software pemodelan menunjukan tidak terlalu
banyak zat aktif yang memiliki khasiat seperti senyawa aktif obat diabetes. Hasil analisis pada software pemodelan senyawa aktif yang berpotensi dalam
formula jamu diabetes ialah asam 3,4-dihidroksibenzoat, berberina, dan (-)-secoisolariciresinol merupakan senyawa aktif yang diduga paling potensial
sebagai antidiabetes yang berasal dari tanaman formula jamu (daun sembung (Blumea balsamifera), batang bratawali (Tinospora crispa), rimpang jahe
(Zingiber officinale), daun pare (Momordica charantia) .
ABSTRACT
Diabetes mellitus is a degenerative disease that number continues to increase every year. WHO estimates that, globally, 422 million adults aged over
18 years were living with diabetes in 2014. Indonesia as a country with biodiversity has conducted various studies including studies of plants as an
antidiabetic. Antidiabetic testing methods of anti-diabetic potential crop are using rats. rabbit and zebrafish, without animal testing with α- glucosidase
enzyme inhibition, and there are some modeling software that can be used to examine the structure of the active substance to the substrates in silico.Test
results showed the α- glucosidase enzyme inhibition significantly compared with the standard drug acarbose with IC50 ranging between 5:16 s / d 400
compared with acarbose IC50 of 500, whereas in animal testing mice and rabbits from a variety of plants that have been tested effective dose as
antidiabetic most are still relatively larger than the positive control is between 50 mg / kg s / d 1.8 g / kg, while a positive control that is used is used
0,013 mg / kg s / d to 250 mg / kg. Analysis using software modeling shows not too many active substances that have properties such as the active
compound diabetes drugs. The analysis of the modeling software of potentially active compounds in herbal formulas for diabetes is 3.4-
dihidroksibenzoat acid, berberina, and (-) - secoisolariciresinol an active compound that is suspected as the most potent antidiabetic herbal formula
derived from plants sembung (Blumea balsamifera), stem Tinospora cordifolia (Tinospora crispa), ginger (Zingiber officinale), leaves of bitter melon
(Momordica charantia).
PENDAHULUAN
Diabetes melitus merupakan suatu penyakit degeneratif yang jumlahnya terus meningkat setiap tahun. Sekitar 422
juta orang dewasa berusia diatas 18 tahun di dunia saat ini menderita diabetes World Health Organizaton (WHO).
Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya
menuju proses bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Diabetes tipe 1 ditandai dengan
kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin (Sianturi & Kurniawaty, 2016). Indonesia sebagai negara yg mempunyai
keragaman kekayaan alam dapat menggali potensi keragaman hayati untuk di manfaatkan sebagai obat diantaranya
sebagai obat diabetes. Penelitian tentang khasiat tanaman sebagai anti diabetes telah banyak dilakukan oleh peneliti dari
berbagai lembaga riset dan perguruan tinggi. Metoda yang digunakan ada berbagai macam, beragam tanaman telah di uji
baik pada hewan coba, secara in vitro, insilico dengan program pemodelan atau uji klinik pada manusia. Kajian ini
diharapkan dapat memberikan gambaran sejauh mana potensi tanaman herbal yang telah diuji dapat dianalisis dan diteliti
lebih lanjut agar bisa dimanfaatkan sebagai obat anti diabetes alternatif disamping obat konvensional yang telah di
gunakan selama ini
310
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
FARMAKOLOGI DIABETES
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis dengan manifestasi hilangnya
toleransi karbohidrat. Pada tahap yang lebih lanjut secara klinis, maka diabetes melitus penderita dapat mengalami
hiperglikemia puasa dan postpandrial, juga aterosklerotik serta penyakit neuropati dan vaskular mikroangiopati.
Penderita diabetes mengalami berbagai gangguan metabolisme karbohidrat, protein serta lemak karena gangguan
sekresi insulin dan hormon insulin tidak bekerja sebagaimana mestinya. Diabetes ada 2 jenis yaitu diabetes tipe 1 dan tipe
2. Diabetes tipe 1 termasuk dalam kategori insulin-dependent diabetes melitus (IDDM) pada jenis ini sistem imun tubuh
penderita menghancurkan sel-sel β pankreas, sehingga sel β pankreas tidak mampu memproduksi hormon insulin
sehingga tubuh kekurangan hormon insulin untuk menurunkan kadar glukosa dalam darah. Jenis yang ke 2 atau tipe 2
disebut non-insulin-dependent diabetes melitus (NIDDM) pada jenis ini hormon insulin tidak berfungsi dengan baik
karena menjadi kurang sensitif terhadap reseptor yang ada di jaringan otot, adiposa dan hati. Tubuh merespon kondisi
tersebut dengan memproduksi hormon insulin lebih banyak. Kondisi ini mengakibatkan sel sel β pankreas menjadi
kehilangan kemampuannya untuk memproduksi hormon insulin (disfungsi sel β) (Sianturi & Kurniawaty, 2016).
Insulin memiliki peranan penting dalam proses metabolisme glukosa apabila tubuh mengalami defisiensi insulin
glukosa yang dibutuhkan oleh sel untuk pembentukan sel baru (regenerasi sel) tidak dapat masuk ke dalam sel dan tetap
berada dalam pembuluh darah. Kadar glukosa dalam pembuluh darah menjadi tinggi. Gejala yang dialami oleh penderita
yaitu sering buang air (poliuria), merasa haus (polidipsia), lemas, berat badan turun, adanya keton pada urin (ketouria)
secara klinis gula darah penderita saat puasa ≥140mg/dl. Glukosa yang tidak terpakai akan menumpuk dalam darah akan
di keluarkan melalui urin (glikosuria). Glukosa menarik cairan ke dalam air kemih menyebabkan volume air kemih
berlebihan, respon tubuh mengeluarkan cairan tersebut melalui urin. Penderita akan merasa haus karena sering buang air
kecil sehingga penderita akan lebih banyak minum dari kondisi normal, karena glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel
maka tubuh akan memetabolisme lemak untuk kebutuhan energinya dan menghasilkan sisa metabolisme badan keton
yang akan dibuang melalui urin (ketouria) sehingga pada urin penderita akan tercium aroma badan keton, aseton
(Sahputra, 2008) .
Kekurangan hormon insulin dalam tubuh terjadi karena tiga hal yaitu karena rusaknya sel-sel β pankreas karena
pengaruh virus atau zat kimia dari luar tubuh. Sebab lain penurunan sensitivitas hormon insulin terhadap reseptor glukosa
pada kelenjar pankreas, yang terakhir kerena kerusakan reseptor atau menurunnya reseptor insulin di jaringan perifer.
Fungsi hormon insulin yang lain adalah membantu hepatosit dalam menyimpan dan mensintesa trigliserida pada jaringan
lemak di bawah kulit (adiposa). Pada kondisi diabetes melitus tipe 1 yang tidak terkontrol, terjadi peningkatan kadar
trigliserida yang cepat karena mobilisasi trigliserida sehingga kadar asam lemak bebas dalam plasma meningkat lalu
menyebar masuk ke dalam berbagai jaringan tubuh untuk untuk digunakan sebagai sumber energi kecuali pada otak
karena ada brain barrier. Kadar kadar malonil CoA menurun pada kondisi defisiensi hormon insulin tetapi transpor fatty
acil-coA ke dalam mitokondria meningkat. Di mitokondria asam lemak mengalami oksidasi menghasilkan asetil CoA
yang selanjutnya dioksidasi dalam siklus TCA. Pada hepatosit sebagian besar asetil CoA tidak dioksidasi pada siklus
TCA melainkan dimetabolisme menjadi badan badan keton (asetoasetat dan bhidroksibutirat) . Badan-badan keton ini
digunakan untuk produksi energi oleh jaringan otak, hati dan otot rangka (Fitrianda & Erniwati, 2015).
Pada penderita diabetes melitus tipe 1, meningkatnya ketersediaan asam lemak bebas dan badan keton
mengakibatkan semakin penurunan penggunaan glukosa sehingga terjadi peningkatan glukosa dalam darah
(hiperglikemia). Produksi badan keton yang berlebihan dari jumlah yang dibutuhkan tubuh menyebabkan keadaan
311
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ketoasidosis. Hasil penguraian asetoasetat (salah satu badan keton) adalah senyawa aseton yang dikeluarkan melalui paru-
paru, mengakibatkan bau nafas yang khas. Defisiensi insulin dapat menyebabkan hipertrigliseridemia yaitu terganggunya
metabolisme trigliserida dalam darah yang pada keadaan normal di rubah menjadi lipoprotein lipase yang terikat pada
permukaan sel endothelial dinding pembuluh darah yang berfungsi dalam uptake trigliserida dari sirkulasi untuk disimpan
dalam jaringan adiposa (Fitrianda & Erniwati, 2015).
Diabetes melitus tipe 2 terjadi bukan karena berkurangnya hormon insulin melainkan karena berkurangnya
sensitifitas reseptor sel sel sasaran insulin atau di sebut resistensi insulin. Obesitas dan berkurangnya aktivitas fisik serta
penuaan yang menyebabkan resistensi insulin tersebut. Pada diabetes tipe 2 ini tidak terjadi pengrusakan sel sel B
pankreas seperti pada tipe 1. Insulin masih diproduksi oleh penderita oleh karena itu di sebut non-insulin-dependent
diabetes melitus (NIDDM) atau tidak bergantung pada asupan insulin (Fatimah, 2015). Karbohidrat komplek seperti pati
dipecah menjadi gula sederhana di usus halus oleh α- glukosidase sebelum diabsorpsi. Inhibitor glukosidase adalah
senyawa yang menghambat α-glukosidase. Senyawa ini menghambat pemecahan komplek karbohidrat sehingga absorpsi
glukosa dapat ditunda atau dicegah.
Secara tradisional banyak tanaman yang dapat berfungsi sebagai obat antidiabetes. Namun, penggunaan tanaman
obat tersebut kadang-kadang hanya didasarkan pada pengalaman empiris dan belum didukung oleh penelitian terutama
uji farmakologinya (Pujiyanto, Sunarno et. al., 2015). Penelitian tanaman obat sebagai antidiabetes dapat memperkaya
data uji farmakologi sebagai pertimbangan penggunaaan tanaman tersebut sebagai obat antidiabetes. Pola makan yang
tidak sehat dapat menyebabkan penyakit diabetes pada orang berusia diatas 40 tahun. Salah satu cara pengobatan untuk
mengatasi diabetes tipe 2 ini adalah dengan menghambat enzim pemecah polisakarida, salah satu enzim pemecah
polisakarida yaitu enzim α-glukosidase. Enzim α-glukosidase berfungsi memecah karbohidrat kompleks menjadi gula
sederhana yang dapat diserap tubuh, dengan menghambat enzim α-glukosidase dapat mengurangi proses pemecahan
karbohidrat kompleks menjadi gula sederhana sehingga tidak terjadi penyerapan gula yang dapat meningkatkan kadar
gula darah (Pujiyanto et. Al., 2015).
Penghambatan α glukosidase dengan obat terapi antidiabetik oral yang dapat membantu menjaga kadar glukosa
darah dalam batas normal terutama setelah makan. Obat penghambat glukosidase menghambat enzim enzim pencernaan
karbohidrat di usus halus seperti maltase isomaltase sukrase dan glukoamilase secara kompetitif, sehingga dapat
menghambat penyerapan karbohidrat pada usus halus yang dapat mencegah peningkatan konsentrasi glukosa darah
postprandial. Mekanisme aksi yang terbatas pada sisi luminal usus sehingga hanya memiliki efek samping yang ringan.
Obat ini juga dapat mencegah perkembangan penyakit lebih lanjut pada penderita yang lemah dalam mengkompensasi
intake glukosa . Uji penghambatan α glukosidase dilakukan dengan metoda spekrofotometri dengan panjang gelombang
400 nm, nilai penghambatan ditetapkan dengan menggunakan nilai IC50 yaitu konsentrasi yang dapat menghambat 50%
aktivitas α glukosidase dalam kondisi pengujian (Mun’im et. al., 2012). Enzim α-glukosidase akan menghidrolisis substrat
p-nitrofenil-α-D-glukopiranosida menjadi p-nitrofenol (berwarna kuning) dan α-D-glukopiranosida. Apabila suatu
sampel memiliki kemampuan menghambat enzim α-glukosidase maka p-nitrofenol yang dihasilkan akan berkurang
(Pujiyanto et. al., 2015).
Metode pengujian antidiabetes dari tanaman yang berpotensi anti diabetes diantaranya menggunakan hewan coba
tikus dan ikan zebra, pengujian tanpa hewan coba dengan penghambatan enzim α-glukosidase serta ada beberapa sofware
312
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
pemodelan yang bisa di gunakan untuk menguji struktur zat aktif terhadap substratnya secara in silico. Beberapa tanaman
di uji sebagai antidiabetes dengan uji penghambatan enzim α-glukosidase diantaranya Isolasi bakteri endofit dari tanaman
pare (Momordica charantia) menggunakan medium natrium agar pada suhu ruang didapatkan 5 isolat bakteri yang dapat
menghambat enzim α-glukosidase. Isolat bakteri yang di dapatkan sebagian besar merupakan bakteri gram negatif
berjenis coccus (Pujiyanto et. al., 2015). Sebagai pembanding di gunakan acarbose merupakan suatu oligosakarida yang
diperoleh dari proses fermentasi mikroorganisme Actinoplanes utahensis. Acarbose merupakan obat komersial. Obat ini
digunakan untuk menghambat kerja enzim yang memecah karbohidrat menjadi glukosa. Nilai inhibisi acarbose yang di
dapat pada penelitian ini adalah 74% artinya acarbose mampu menghambat kerja enzim α-glukosidase dengan menutup
74% sisi aktif enzim yang akan berikatan dengan substrat (Pujiyanto et. al., 2015).
Mikrob endofit adalah mikrob yang tinggal sedikitnya satu siklus hidup di dalam tanaman . endofit menghasilkan
bioaktif yang berpotensi di bidang farmasi dan agrokimia. Potensinya aktinomiset diketahui sebagai sumber penyumbang
senyawa antibiotik dan bioaktif terbesar. Streptomyces spp. Merupakan aktinomiset endofit yang berperan dalam
pertahanan jagung dan gandum terhadap patogen meliputi antibiotik, antivirus, antikanker, antioksidan, bioinsektisida,
imunosupresif, serta antidiabetik. Aktinomiset isolat lokal memiliki keragaman yang tinggi dan beberapa isolat
menghasilkan senyawa bioaktif antimikrob. Oleh karena itu kajian potensi aktinomiset endofit tanaman obat Indonesia
sebagai penghasil senyawa bioaktif inhibitor α-glukosidase perlu dilakukan. Ekstrak kasar (isolat yang bentuk selnya
berfilamen dan digolongkan sebagai aktinomiset) dari temulawak pada konsentrasi 0.07% (b/v) menunjukkan aktivitas
tertinggi (61.27%), lebih tinggi dari Glucobay 0.1% (b/v) (39.70%). Isolat ini potensial untuk di kembangkan dan di teliti
lebih lanjut karena kadar yng efektif lebih kecil dari kontrol yng digunakan (Irawan, 2009).
Tanaman yang di uji dengan metode penghambatan enzim α-glukosidase yang tinggi adalah ekstrak etanol kulit batang
randu (Ceiba petandra), akar tebu (Sacharum officinarum) dan kulit batang alpukat (Persea americana) dengan nilai
IC50 masing masing 5,16 ppm, 10,35 ppm dan 10,83 ppm memiliki kemampuan aktivitas penhambatan α-glukosidase.
313
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Ketiga simplisia itu mengandung tanin, glikosida dan saponin (Mun’im et. al., 2012). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tanaman sarang semut mengandung berbagai senyawa aktif, berupa asam fenolik, flavonoid, tanin, polifenol,
tokoferol, serta berbagai macam mineral. Khasiat dari polifenol adalah antimikroba dan dapat menurunkan kadar gula
darah. Selain itu, terdapat flavonoid yang memiliki kemampuan sebagai antidiabetes dengan meningkatkan sensitivitas
insulin. Mekanisme kerja flavonoid dalam menurunkan kadar gula darah adalah menghambat fosfodiesterase yang
nantinya akan merangsang sekresi insulin melalui jalur Ca. Flavonoid adalah senyawa antioksidan yang memiliki efek
hipoglikemi pada penderita diabetes melitus. Mekanisme kerjanya adalah sesuai dengan menghambat GLUT2,
menghambat enzim fosfodiesterase, dan menurunkan Reactive Oxygen Spesies (ROS) atau stres oksidatif pada penderita
diabetes melitus (Sianturi &Kurniawaty, 2016).
Tabel2. Aktivitas anti diabetes diuji pada mencit dan kelinci
314
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Kandungan yang terdapat pada ekstrak daun jamblang adalah enol, flavonoid, tanin, quinon, saponin steroid dan
triterpenoid (Marliani et. al., 2015). Aktivitas antihiperglikemik ekstrak kulit manggis karena mengandung senyawa-
senyawa polifenol seperti flavonoid dan tanin (Wehantouw et. al., 2011). Daun kacapiring mengandung saponin,
flavonoid, polifenol, crocetin, crosin, dan scandosida. (Baroroh et. al., 2011)
Flavonoid menghambat alfaglukosidase yang menunda absopsi karbohidrat. Saponin yang berfungsi untuk menunda
absorbsi karbohidrat (Lestari& Kurniawaty, 2016). Fenol Anti Oksidan menghambat proses oksidasi dan proses
pembentukan radikal bebas (Wardati et. al., 2014.)
Efek yang ditimbulkan ekstrak alkohol meniran lebih cepat dibandingkan dengan tolbutamid, karena telah
memberikan efek penurunan glukosa darah pada jam ke 2, sedangkan tolbutamid (pembanding) efeknya baru terlihat pada
jam ke 3. Pemberian ekstrak alkohol meniran dengan dosis 30 dan 40 mg/kgbb menunjukkan bahwa penuruan kadar
glukosa darah yang hampir setara dengan penurunan kadar glukosa darah tolbutamid (250 mg/kgbb) Berdasarkan
perhitungan LD50 meniran sebesar 200 mg/kgbb didapatkan hasil dosis sekali minum yaitu 100 mg dan untuk sehari
maksimum 1000 mg (Chairul et. al., 2000).
Skrining fitokimia yang dilakukan terhadap simplisia dan ekstrak etanol biji buah alpukat bentuk bulat menunjukkan
adanya senyawa golongan polifenol, tanin, flavonoid, triterpenoid, kuinon, monoterpenoid dan seskuiterpenoid,
sedangkan saponin hanya terdeteksi dalam ekstrak (Zuhrotun, 2007). Kandungan flavonoid dalam daun kucing-kucingan
memiliki peranan dalam menurunkan kadar gula darah (Kawatu et. al., 2013) Flavonoid merupakan salah satu senyawa
metabolit sekunder yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman. Flavonoid termasuk dalam golongan
senyawa phenolik dengan struktur kimia C6-C3-C6. Kerangka flavonoid terdiri atas satu cincin aromatik B dan cincin
tengah berupa heterosiklik yang mengandung oksigen (Zahra, 2014; Wulita, 2015).
Mekanisme kerja flavonoid sebagai antioksidan adalah menekan pembentukan ROS (Reactive Oxygen Species)
dengan menghambat enzim dalam pembentukan ROS dan meningkatkan regulasi serta proteksi dari antioksidan.
Flavonoid pun dapat melindungi membran lipid dari kerusakan oksidatif, sehingga peroksidasi lipid dapat dihambat dan
peningkatan kadar Malondialdehid (MDA) dapat dicegah. (Sunaryo et. al., 2012; Lestari &Kurniawaty, 2016.) Flavonoid
juga mampu berperan sebagai antioksidan untuk menangkap radikal bebas seperti O2- dan OH- yang dihasilkan setelah
induksi aloksan. Flavonoid yang dilaporkan memiliki aktivitas hipoglikemik pada hewan uji yang diinduksi aloksan
adalah quercetin dan chrisyn (Lukacinova et. al., 2008.)
PENGUJIAN ANTIDIABETES IN SILICO
Zat aktif yang terkandung dalam tanaman dapat di uji secara in silico dengan menggunakan software drug
CIPHER, dengan software tersebut dapat dilakukan uji terhadap protein target yang memiliki korelasi dengan senyawa
atau zat aktif yang terdapat dalam tanaman. Tahap pertama mencari nilai kedekatan suatu senyawa dengan menggunakan
nilai koefisien Tanimoto atau koefisien Jaccard. Untuk mengetahui jarak protein terdekat cari dilakukan analisis graf.
Kedekatan antar protein di cari dengan konversi menggunakan konsep perhitungan exponensial. Tahap berikutnya
mencari korelasi antara dua protein yang terdekat. Sebanyak 74 senyawa diuji dengan metoda tersebut didapatkan hasil
100 protein yang berkorelasi tinggi dengan yang disebut sebagai skor konkor dan drug CHIPHER. Pada protein tersebut
dilakukan analisis gerombol yaitu mencari senyawa dari tanaman yang bergerombol bersama dengan senyawa obat
sintetis. Senyawa yang bergerombol dengan obat sintetis antidiabetes di duga berpotensi serupa yaitu memiliki khasiat
sebagai antidiabetes. Selain itu dilakukan uji analisis komponen utama dengan plot dua dan tiga dimensi untuk
315
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
memastikan sesuai dengan analisis gerombol. Selain itu juga dilakukan jejaring kemiripan senyawa yang berasal daari
tanaman dengn zat aktif sintetis obat antidiabetes.
Berdasarkan ketiga analisis tersebut didapat bahwa 2 dari 3 senyawa Bratawali berpotensi sebagai obat antidiabetes
karena menggerombol dan berkorelasi tinggi dengan senyawa aktif obat antidiabetes, sedangkan 11 dari 44 senyawa Jahe
menggerombol bersama senyawa aktif obat antidiabetes tetapi hanya 5 senyawa Jahe yang berkorelasi kuat dengan
senyawa aktif obat antidiabetes (Qomariasih, 2015.). Senyawa asam 3,4-dihidroksibenzoat, (-)-secoisolariciresinol, dan
berberina merupakan senyawa aktif dari tanaman yang paling potensial sebagai antidiabetes yang berasal dari tanaman
formula jamu batang bratawali (Tinospora crispa), (daun sembung (Blumea balsamifera), daun pare (Momordica
charantia) , rimpang jahe (Zingiber officinale) (Sari, 2014.).
Namun demikin pengujian formula jamu tersebut pada ikan zebra Berdasarkan hasil uji t satu arah, kadar gula
darah setelah pemberian pakan jamu tidak mengalami perubahan yang signifikan (p>0.05). Hasil uji tersebut
menunjukkan bahwa formula jamu baru belum secara maksimal menurunkan kadar gula darah ikan zebra yg dinduksi
dengn aloksan 0.1% selama 10 menit (Nurishmaya, 2014; Lukacinova et. al., 2008.).
ANDROGRAFOLIDA
Andrografolida telah banyak diteliti sebagai obat anti diabetes yang berasal dari tanaman sambiloto (Andrographis
paniculata Ness). Senyawa murni yang telah diisolasi berbentuk hablur kuning dan kristal amorf dengan berat molekul
350, rasa pahit. Dosis untuk manusia dewasa berdasarkan perhitungan konversi adalah 40 mg/hari. Penelitian toksisitas
akut Campuran herbal Sambiloto (Andrograhis paniculata) dan Daun Salam (Syzigium polyanthum)
LD50(mencit)=19.473 g/kgbb dikatagorikan sebagai practically non toxic, toksisitas subkronik menunjukkan bahwa
ekstrak uji tidak memiliki toksisitas subkronik terhadap fungsi hepar dan fungsi ginjal hewan coba. Hasil uji aktivitas
SGOT, SGPT dan kadar kreatinin pada serum hewan coba setelah pemberian selama dua bulan dengan dosis sampai 5 x
dosis lazim tidak menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada p = 0,05 antara kelompok kontrol dengan kelompok
perlakuan. Efek teratogenik mencit tidak menunjukkan adanya kelainan morfologi janin mencit sampai dengan dosis lima
kali dosis lazim dan uji efek farmakologi terhadap kadar gula darah ekstrak etanol terstandarisasi menunjukkan
terdapatnya perbedaan bermakna antara kadar gula darah kelompok kontrol dengan kelompok ekstrak uji D2 (0,065 g
ekstrak/kgbb) 45 menit setelah pemberian glukosa. Hal ini membuktikan bahwa ekstrak uji memiliki efek hipoglikemik.
Pengujian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak sambiloto selama 90 hari terus-menerus pada 3 kelipatan dosis (rendah
sedang dan tinggi) tidak menunjukkan adanya kelainan pada parameter yang diukur. Dalam hal pengujian mutagenik juga
tidak terlihat adanya mutagen pada bakteri uji salmonella typhimurium TA 100. Hasil ini memprediksi tidak adanya efek
toksik jangka panjang penggunaan ekstrak sambiloto. Dalam hal tidak terjadinya mutagen memprediksi kecilnya
kemungkinan adanya toksisitas khusus yang lain seperti teratogenik (efek toksik pada sistem reproduksi) dan karsinogenik
(terjadinya karsinoma)(Suharmiati & Roosihermiatie, 2012)
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukan pada uji penghambatan enzim α- glukosidase menunjukan hasil yang signifikan
dibandingkan dengan obat standar acarbose dengan IC50 berkisar antara 5.16 s/d 400 dibandingkan dengan IC50 acarbose
500, sedangkan pada pengujian pada hewan mencit dan kelinci dari berbagai tanaman yang telah diuji dosis yang efektif
316
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
sebagai antidiabetes sebagian besar masih relatif lebih besar dari kontrol positifnya yaitu antara 50 mg/kgbb s/d 1.8 g/kgbb
sedangkan kontrol positif yang di gunakan digunakan 0,013 mg/kgbb s/d 250 mg/kgbb.
Kasful Asra Sakika, Dedi Hanwar, Andi Suhendi, Ika Trisharyanti, Broto Santoso . Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol Rimpang Lempuyang Emprit
(Zingiber Amaricans Bl) Pada Tikus Putih Yang Diinduksi Aloksan .Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Septhi Santika Nugrahani. 2013. Analisis Perbandingan Efektifitas Ekstrak Akar, Batang, Dan Daun Herba Meniran Dalam Menurunkan Kadar
Glukosa Darah Mencit. Unnes Journal of Public Health 2 (1)
Gabriella Alusinsing, Widdhi Bodhi dan Sri Sudewiuji. 2014. efektivitas kulit batang kayu manis (cinnamomumburmanii) terhadap penurunan kadar
gula darah tikus putih jantan galur wistar (rattus norvegicus) yang diinduksi sukrosa Pharmacon jurnal Ilmiah Farmasi – Unsrat Vol. 3 No. 3
Agustus ISSN 2302 – 2493
(24). Ade Zuhrotun, 2007. Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol Biji Buah Alpukat (Persea Americana Mill) Bentuk Bulat. Universitas Padjadjaran
Fakultas Farmasi Jatinangor.
(25). Hadi Sunaryo, Kusmardi, Wahyu Trianingsih. 2012. Uji Antidiabetes Senyawa Aktif Dari Fraksi Kloroform Herba Ciplukan (Physalis Angulata,
L) Terhadap Kadar Penurunan Glukosa Darah Dan Perbaikan Sel Langerhans Pankreas Pada Mencit Yng Diinduksi Aloksan. Farmasain Vol.1
No 5
Khildah Khaerati, Ihwan, Musdalifah S. Maya. 2015. Uji Efek Antidiabetes Ekstrak Daun Rambusa (Passiflora Foetida L.) Pada Mencit (Mus
Musculus) Yang Diinduksi Glukosa. GALENIKA Journal of Pharmacy Vol. 1 (2) : 99 - 104 ISSN : 2442-8744
Yunita Mikdha Wulita.2015. Uji Aktivitas Antidiabetes Fraksi N-Heksan Ekstrak Etanol Daun Lenglengan (Leucas Lavandulaefolia J.E. Smith) Pada
Tikus N2-Stz-Induced Type-2 Dm. Fakultas Farmasi Universitas Wahid Hasyim.
Faridah Baroroh, Nurfina Aznam, Hari Susanti.2011. Uji Efek Antihiperglikemik Ekstrak Etanol Daun Kacapiring (Gardenia Augusta, Merr) Pada
Tikus Putih Jantan Galur Wistar. Jurnal Ilmiah Kefarmasian, Vol. 1, No. 1, 2011 : 43 – 53
Eka Endah Lestari, Evi Kurniawaty. 2016. Uji Efektivitas Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) sebagai Pengobatan Diabetes Melitus
Majority.Volume 5. Nomor 2.33
Yulia Wardati, Dytha Andri Deswati, Idayati. 2014. Uji Aktivitas Antidiabetes Melitus Tipe Ii Infus Buah Kesemek (diospyros kaki linn.) Terhadap tikus
Jantan Putih Galur Wistarkartika Jurnal Ilmiah Farmasi, Des 2014, 2 (2), 39-44 39 ISSN 2354-6565.
Hadi Sunaryo, Kusmardi, Wahyu Trianingsih. 2012. Uji Antidiabetes Senyawa Aktif Dari Fraksi Kloroform Herba Ciplukan (Physalis Angulata, L)
Terhadap Kadar Penurunan Glukosa Darah Dan Perbaikan Sel Langerhans Pankreas Pada Mencit Yang Diinduksi Aloksan. Farmasain Vol.1
No 5
Lukacinova A, Mojzis L, Benacka R, Keller J, Maguth T, Kurila P, Vasko L, Racz O, and Nistiar F. 2008. Preventives Effect Of Flavonoids On Alloxan-
Induced Diabetes Mellitus In Rats. ACTA VET.BRNO. 77:175-182.
Nurul Qomariasih,2015. Analisis Gerombol Simultan Dan Jejaring Farmakologi Pada Penentuan Senyawa Aktif Jamu Anti Diabetes Tipe 2. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2015.
Nurulita Sari . 2014. Farmakologi Balik Dan Jejaring Untuk Pencarian Senyawa Aktif Dari Jamu Antidiabetes. Departemen Kimia Fakultas Matematika
Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor Bogor .
Mifthami Ramah Nurishmaya . 2014. Pendekatan Bioinformatika Formulasi Jamu Baru Berkhasiat Antidiabetes Dengan Ikan Zebra (Danio Rerio)
Sebagai Hewan Model . Departemen Kimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Chairul, Yuliasri Jamal Dan Zuherti Zainul.2000 Efek Hipoglikemik Ekstrak Alkohol Herba Meniran (Phyllanthus Niruri L.) Pada Kelinci Putih Jantan.
Berita Biologi Volume 5, Nomor 1, April 2000
Suharmiati, Betty Roosihermiatie.2012. Studi pemanfaatan dan keamanan kombinasi metformin dengan ekstrak campuran andrographis paniculata
dan syzygium polyanthum untuk pengobatan diabetes mellitus (preliminary study). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Vol. 15 No. 2 April
2012: 110–119
318
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen., merupakan salah satu spesies rayap yang ditemukan di Indonesia. Ratu rayap digunakan secara tradisional
dalam pengobatan beberapa penyakit seperti diabetes mellitus, pengobatan pasca stroke, gout, tekanan darah tinggi, asthma, alzeimer, penyakit kulit,
ginjal, suplemen kesehatan dan pengobatan pasca kanker darah, namun belum dibuktikan khasiat dan kegunaannya secara ilmiah. Dalam rangka
pembuktian secara ilmiah, beberapa penelitian telah dilakukan oleh team. Dari penelitian terdahulu hasil freeze drying ratu Macrotermes gilvus Hagen.,
mengandung senyawa utama protein (34.44%) dan lemak(23.31%), memberikan aktivitas imunostimulan terhadap mencit putih jantan secara per oral
pada dosis 10mg/kgBB dan juga menampakkan aktifitas penurunan kadar kolesterol dan peningkatan kadar HDL dalam darah mencit pada pemberian
dosis 75mg/kgBB. Selain itu hasil freeze drying ratu rayap juga memiliki kandungan asamoleat (omega-9), asam linoleat(omega-6), dan EPA(omega-
3) sebanyak 32.81%, 0.34% dan 0.07% yang berpengaruh penting terhadap perkembangan otak. Pada pengujian toksisitas akut dan sub-kronis hasil
freeze drying ratu rayap menunjukkan angka keamanan penggunaan sediaan dengan parameter LD50 >2000 mg/kgBB. Uji antibakteri ekstrak heksan
(lipophilic) ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen., juga mampu memberikan aktivitas terhadap Staphylococcus aureus dengan diameter hambat
15µg/ml. Melihat banyaknya manfaat penggunaan hasil freeze drying ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen., pada sediaan oral maka diperlukan
pembuatan sediaan herbal dalam bentuk kapsul. Pemilihan bentuk kapsul berdasarkan dosis penggunaan harian pada manusia. Pembuatan sediaan
menggunakan papan kapsul no.0 dengan berat masing-masing 200 mg. Evaluasi keseragaman bobot kapsul dilakukan menggunakan dua puluh kapsul
yang ditimbang dan didapatkan berat rata-rata sebanyak 205 mg per kapsul. Penggunaan sediaan kapsul diharapkan dapat diuji lebih lanjut pada tahap
klinik. Uji praklinik dilakukan sebagai salah satu tahap pengujian terhadap bahan baku obat yang dapat digunakan untuk kandidat obat herbal yang
dibuat dalam sediaan kapsul.
Kata Kunci: Freeze drying, Kapsul herbal, Ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen.
ABSTRACT
Queen termite Macrotermes gilvus Hagen, is one of the species termites found in Indonesia. queen termite Macrotermes gilvus Hagen, used traditionally
in the treatment of some diseases such as diabetes mellitus, treatment after stroke, gout, high blood pressure, asthma, skin disease, alzeimer, kidney
disease, healthy supplements and treatment after blood cancer. But have not proved yet its usefulness and efficacy based scientifically. In order
to prove scientifically, some research has been done by team. From previous research was found the primary metabolites from freeze drying process
queen termite Macrotermes gilvus Hagen., that contains the main compound asprotein (34.44%) and fat (23%), given immunostimulant activity against
white males mice in the oral dose 10mg/kgBB and shown cholesterol levels decrease testing and increased levels of HDL in the mice blood effective
on dosing 75mg/kgBB. In addition, the results of freeze drying queen termite Macrotermes gilvus Hagen, contain oleic acid (omega-9), linoleic acid
(omega-6), and EPA (omega-3) as much as 32.81 %, 0.34% and 0.07% the effect are important on brain development. Acute toxicity testing and sub-
chronic shows the number of safety using of product with the parameter LD50 >2000 mg/ kgBB. Antibacterial test for hexane extract of queen termite
Macrotermes gilvus Hagen., showed that inhibit staphylococcus aureus with MIC 15µg/ml. Looking at the multitude of benefits on using the results
of freeze drying queen termite Macrotermes gilvus Hagen, on oral dosage required making herbal product in capsule form. The selection of capsule
form based on the daily use doses in humans. The making of preparation using capsules board no.0 with weight of each 200 mg. Evaluationweight
ofcapsule made by using twenty capsule that weighed and obtained average weight by 213 mg per capsule. The use of material capsule are expected to
be further clinical tested. Praclinic test is one of the stages for testing against the drug raw material that can be used for candidate herbal medicine that
made on capsule.
PENDAHULUAN
Termite Macrotermes gilvus Hagen., merupakan jenis serangga yang membuat gundukan tanah sebagai
rumahnya umumnya banyak ditemukan di Asia Tenggara (Forschler, 2014). Rayap melakukan sistem polimorfisme, kasta
dan pembagian pekerja. Ratu rayap dicirikan dengan bentuk tubuh yang besar bersegmen dan berisi telur (Grace et al.,
1995). Umumnya rayap dikenal sebagai hama perusak tanaman dan bangunan dengan tingkat serangan yang cepat dan
menimbulkan kerusakan yang cukup parah. Namun disisi lain rayap juga merupakan insekta sosial yang telah digunakan
dalam pengobatan beberapa penyakit secara tradisional. Dibeberapa negara seperti di Nigeria, India dan Thailand, ratu
rayap dikonsumsi sebagai bahan makanan. (Sathe, 2015).
319
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Secara tradisional ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen., telah digunakan dalam pengobatan beberapa penyakit
di Indonesia. Diantaranya diabetes mellitus, stroke, gout, tekanan darah tinggi, asthma, alzheimer, penyakit kulit, ginjal,
suplemen pria, suplemen kesehatan, kanker darah yang disebabkan oleh usia (Alen, et al., 2016). Sebelumnya, telah
dibuktikan oleh Alen, et al., (2015) bahwa hasil freeze drying ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen., memiliki
kemampuan aktivitas imunostimulan pada dosis 10mg/kgBB terhadap mencit putih jantan yang diberikan secara per oral.
Sedangkan uji antihiperlipidemia, menunjukkan peningkatan HDL yang baik pada dosis 75 mg/KgBB. Sejalan dengan
itu hasil freeze drying ratu rayap juga memiliki kandungan asamoleat (omega-9), asamlinoleat(omega-6), dan
EPA(omega-3) sebanyak 32.81%, 0.34% dan 0.07% yang berpengaruh penting terhadap perkembangan otak (Alen, et al.,
2016). Pada pengujian toksisitas akut dan sub-kronis hasil freeze drying ratu rayap menunjukkan angka keamanan
penggunaan sediaan dengan parameter LD50 >2000 mg/kgBB (Alen, et al., 2016). Uji antibakteri ekstrak heksan
(lipophilic) ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen., juga mampu memberikan aktivitas terhadap Staphylococcus aureus
dengan diameter hambat 15µg/ml (Alen, et al., 2017).
Melihat banyaknya keuntungan dalam bidang kesehatan. Penggunaan sediaan herbal hasil freeze drying ratu
rayap Macrotermes gilvus Hagen., dan penggunaan obat-obat sintetis yang menimbulkan berbagai efek samping. Hal ini
sejalan dengan kecenderungan penggunaan obat untuk kesehatan manusia yang semakin berkembang. Mendorong
pencarian sumber bahan baku obat dari alam. Di sisi lain, penggunaan bahan alam sebagai pengobatan memiliki beberapa
kekurangan. Diantaranya memunculkan rasa dan bau yang tidak sedap. Untuk meningkatkan penerimaan masyarakat
terhadap hasil freeze drying ratu rayap macrotermes gilvus Hagen., diperlukan pembuatan sediaan herbal dalam bentuk
kapsul.
320
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
1. Serbuk hasil freeze drying ratu rayap (Macrtermes gilvus Hagen.) Bahan aktif
Tabel 2. Komposisi kapsul serbuk hasil freeze drying ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen.,
Formula sediaan kapsul
FORMULA
Serbuk hasil freeze drying ratu rayap (Macrtermes gilvus Hagen.) 500 mg
Perhitungan cangkang kapsul:
5. Hasil perhitungan kadar air serbuk ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen.
Tabel 5. Kadar air serbuk hasil freeze drying ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen.
Berat sampel (gram) A B Kadar air (%)
1.0369 28.0724 29.1016 1.1284
1.0721 25.4617 26.5216 1.1380
1.1804 27.3800 28.5466 1.3800
Kadar air rata-rata 1.2154
Ket:
A = Berat cawan sebelum dioven (g)
B = Berat cawan + sampel setelah dioven (g)
322
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
6. Hasil perhitungan kadar abu serbuk ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen.
Tabel 6. Kadar abu serbuk hasil freeze drying ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen.
Berat sampel (gram) A B Kadar abu (%)
1.0348 8.7969 8.9056 10.56
1.0039 8.5804 8.6761 9.53
1.0007 5.4908 5.5522 6.14
Kadar abu rata-rata 8.74
Ket :
A = berat cawan + sampel setelah dioven (g)
B = berat cawan + sampel setelah ditanur (g)
80
60
40
20
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Days
Control Group Bioplacenton Group Formula A Group Formula B Group Formula C Group
Menunjukkan hasil statistik yang tidak menampilkan perbedaan nyata terhadap pemberian sediaan uji pada
penyembuhan luka bakar yang dibandingkan dengan kelompok pembanding (bioplacenton).
80
60
MEAN
40
20
0
K- K+ (Pembanding) H1 H2 H3
Ketiga dosis uji menampilkan data yang relatif sama terhadap perubahan kadar lemak dalam darah. Seperti
kolesterol total, LDL, HDL dan trigliserida. Hasil menunjukkan bahwa peningkatan dosis tidak berpengaruh banyak
323
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
terhadap perubahan kadar lemak. Sehingga masyarakat dapat mengkonsumsi sediaan ratu rayap pada dosis yang kecil
dalam jangka waktu panjang.
Tabel 9. Hasil perhitungan total leukosit pada uji imunomodulator
No. Total Leukosit (/μL darah)
Kontrol 10 mg/kg 30 mg/kg 100 mg/kg Stimuno
Negatif 9,1 mg/kg
1 9900 8250 11250 10200 12900
2 10250 10000 9400 14600 16300
3 8000 10000 12200 16450 11450
4 12050 10500 13800 17400 11950
5 10150 13200 9350 19700 11450
Rata-rata 10070 10390 11200 15670 12810
± SD 1438,14 1788,30 1899,01 3567,49 2038,81
Sediaan uji berupa serbuk ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen., memiliki aktivitas imunomodulator pada dosis 10
mg/kgBB, 30 mg/kgBB, 100 mg/kgBB dapat meningkatkan kemampuan fagositosis pada mencit putih jantan dengan
tidak berbeda nyata terhadap kelompok control.
Tabel 10. Komponen metabolit primer
Hasil uji toksisitas akut tidak menunjukkan angka kematian hewan. Ditentukan bahwah LD50 dari sediaan uji
yakni >2000 mg/kgBB. Data uji pada organ hati, ginjal dan jantung mencit putih betina tidak menimbulkan kerusakan
yang bermakna. Sehingga dapat dikatakan bahwa sediaan uji bersifat tidak toksik terhadap organ tubuh hewan uji.
324
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Tabel 12. Pengaruh serbuk ratu rayap terhadap kadar antihiperlidemia pada darah mencit putih jantan dibandingkan
dengan dosis control.
HDL LDL
No. Kelompok Uji TC (mg/dl) TG (mg/dl)
(mg/dl) (mg/dl)
123,5 62 44 67,5
1. K- (70 ↑) (14,5 ↑) (27 ↑) (40,5 ↑)
98 68,5 38,5 46
4. H2 (55 ↑) (25,5 ↑) (28,5 ↑) (21,5 ↑)
325
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Bobot rata- rata isi Penyimpangan terhadap bobot isi rata- rata
kapsul A B
120 mg atau kurang ± 10 % ± 20 %
lebih dari 120 mg ± 7.5 % ± 15 %
326
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
KESIMPULAN
1. Serbuk hasil freeze drying ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen.,menghasilkan rendemen sebanyak 30,87%
dan berpotensi sebagai bahan baku dari obat herbal.
2. Hasil freeze drying ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen., memiliki mengandung senyawa utama protein
sebanyak 34.44% dan lemak sebanyak23.31%, memberikan aktivitas sebagai berikut:
- Aktivitas imunostimulan terhadap mencit putih jantan secara per oral pada dosis 10mg/kgBB
- Aktivitas penurunan kadar kolesterol dan peningkatan kadar HDL dalam darah mencit pada pemberian
dosis 75mg/kgBB
- Mengandung asamoleat (omega-9), asamlinoleat(omega-6), dan EPA(omega-3) sebanyak 32.81%, 0.34%
dan 0.07% yang berpengaruh penting terhadap perkembangan otak.
- Pengujian toksisitas akut dan sub-kronis hasil freeze drying ratu rayap menunjukkan angka keamanan
penggunaan sediaan dengan parameter LD50 >2000 mg/kgBB.
- Aktivitas antibakteri ekstrak heksan (lipophilic) ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen.,terhadap
Staphylococcus aureus dengan MIC 15µg/ml.
3. Serbuk hasil freeze drying ratu rayap Macrotermes gilvus Hagen., dapat digunakan sebagai bahan baku obat
herbal dalam sediaan kapsul dengan kadar 100% tanpa penambahan bahan adsorben.
4. Disarankan pembuatan sediaan kapsul dalam bentuk single dose (strip) dengan pertimbangan sifat kapsul yang
higroskopis.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek
Dikti) yang telah telah memberikan support dana dalam PKM-PE 2016/2017.
DAFTAR PUSTAKA
Alen, Y., A. Melati dan A. Djamaan. 2016. Isolasi Senyawa Antibiotika Jamur Aspergillus niger Simbiotik Sarang Ratu Anai-anai Macrotermes gilvus
Hagen..Abstrak Paper Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik VI. Padang. 23-24 September.
Alen, Y., F. N. Okta, F. L. Agresa, S. M. Juniasty, R. Rusdian dan A. Marcella. 2015. Analisis Metabolit Primer Sarang Ratu Anai-anai Macrotermes
Gilvus Hagen., dari Kebun Sawit Muko-Muko Bengkulu. Abstrak Paper dan Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan
Terkini Sains Farmasi dan Klinik V. Padang. 6-7 November.
327
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Alen, Y., G. Sarina dan A. Djamaan. 2016. Isolasi Senyawa Mayor Metabolit Sekunder Jamur Aspergillus flavus Simbiotik Sarang Ratu Anai-anai
Macrotermes gilvus Hagen..Abstrak Paper Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik VI. Padang.
23-24 September.
Alen, Y., M. P. Sari dan D. P. Putra. 2015. Penapisan Jamur dari Sarang Ratu Anai-anai Macrotermes gilvus Hagen., Uji Aktivitas Ekstrak Terhadap
Candida albicans, dan Analisis KLT. Abstrak Paper dan Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi
dan Klinik V. Padang. 6-7 November.
Alen, Y., O. Suarmin, L. N. Suci, R. Kurniawan, F. Yasardi, V. Ramadhani, T. Nitoda, N. Baba, H. Kanzaki and S. Nakajima. 2016. Analysis Levels
Of Fatty Acids From Freeze-Dried TermiteQueen Macrotermes gilvus Hagen., UsingGc-Ms And AntihiperlipidemiaTest. Abstrak Paper of
The Conference on Advancing the Life Science and Public Health Awareness. Nagoya, Japan. 10-11 July.
Alen, Y., R. A. Indraini dan Y. Yuliandra. 2016. Toksisitas Akut dan Sub-akut Freeze Drying Ratu Anai-anai (Macrotermes gilvus Hagen.) terhadap
Fungsi hati Mencit. Abstrak Paper Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik VI. Padang. 23-24
September.
Alen. Y., R. Rahmawati, Y. Aldi, T. Nitoda, N. Baba, S. Nakajima. 2016. Immunomodulatory Activity of Freeze Dried Termite Queen Macrotermes
gilvus Hagen. Abstrak Paper of The Conference on Advancing the Life Science and Public Health Awareness. Nagoya, Japan. 10-11 July.
Alen, Y. 2016. Ratu Termite Macrotermes gilvus Hagen., Kajian Awal Saintifik Dalam Pandangan Farmasi. Abstrak Paper Seminar Nasional dan
Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik VI. Padang. 23-24 September.
Alen, Y., Suci. L.N., Orindia, S., Agus, S. Ayu, L., Yesi, F.Y., Suhatri, et al. 2016. Primary Metabolites Analysisof Termites Queen Macrotermes gilvus
Hagen., and Burn Healling Assay. [Absract] Paper The International Conference on Advancing the Life Sciences and Public Health
Awarness. Nagoya Sakae Tokyu REI Hotel Nagoya, Japan, July 10-11.
Alen, Y., Delisa, P.,Marhani, D., Molinda, D., Stefany., et al. 2017.Uji Antibakteri Freeze Drying Ratu Rayap Macrotermes gilvus Hagen. [Absract]
Paper Seminar Nasional Tanaman Obat Indonesia. Pekanbaru, 12-13 April.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV, Indonesia.
Forschler, B.T. 2014. Behavioral and Physiological Changes in Macrotermes gilvus ( Hagen)(Blattodea: Termitidae) Induced by the Endoparasitoid
Misotermes mindeni (Diptera: Phoridae). Proceedings of the 10th Pacific-Termite Research Group Conference.
Grace, J. K., R. T. Yamamoto, And M. Tamashiro. 1995. Relationship Of Individual Worker Mass And Population Decline.
Sathe, T.V. 2015. Insects For Human Diet From Kolhapur Region, India. International Journal Of Pharma And Bio Sciences Issn 0975-6299.
328
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Diabetes mellitus merupakan sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia kronik yang diakibatkan oleh defek pada sekresi
insulin, aksi insulin atau keduanya. Daun Andrographis paniculata dan Vernonia amygdalina merupakan tanaman yang dapat digunakan sebagai
pengendali kadar gula dalam darah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas kombinasi ekstrak kedua daun dibandingkan dengan acarbose
dalam menurunkan kadar gula darah postprandial tikus diabetes. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental, dengan pre dan post test control group
design. Tikus diinduksi dengan aloksan kemudian diobati dengan kombinasi ekstrak dengan dosis yang berbeda selama 7 hari. Sebanyak 25 ekor tikus
dibagi dalam 5 kelompok, yaitu kelompok yang diberikan aquadest (kontrol negatif); acarbose 75mg/kgBB (kontrol positif), kombinasi ekstrak etanol
daun Andrographis paniculata 500 mg/kgBB dan daun Vernonia amygdalina 100 mg/kgBB; kombinasi ekstrak etanol daun Andrographis paniculata
1000 mg/kgBB dan daun Vernonia amygdalina 200 mg/kgBB; dan kombinasi ekstrak etanol daun Andrographis paniculata 2000 mg/kgBB dan daun
Vernonia amygdalina 400 mg/kgBB. Analisis data kadar gula darah tikus menggunakan uji T- berpasangan dan PostHoc. Hasil penelitian didapatkan
bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara semua kombinasi ekstrak daun Andrographis paniculata dan daun Vernonia amygdalina dengan
acarbose dalam menurunkan kadar gula darah postprandial tikus wistar yang diinduksi aloksan (p>0,05). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
kombinasi ekstrak etanol daun Andrographis paniculata dan daun Vernonia amygdalina efektif dalam menurunkan kadar gula darah postprandial tikus
diabetes.
Kata Kunci: Aloksan, Daun Andrographis paniculata, Daun Vernonia amygdalina, Gula darah postprandial
ABSTRACT
Diabetes mellitus is a group of metabolic diseases which is characterized by chronic hyperglicemia resulting from defect in insulin secretion, defect on
insulin action, or both. Andrographis paniculata and Vernonia amygdalina leaves can be used as blood sugar control herbs. The study aims to determine
the effectiveness of the combination of the two leaves extract in decreasing postprandial blood sugar levels of diabetic rats. This experimental study
with pre and post test control group design. The rats were first induced by Alloxan then given the ethanol extract at different doses for 7 days. The
samples were divided into 5 groups, that were given Aquadest (negative control), Acarbose 75 mg/kgBB (Positive control), combination of
Andrographis paniculata leaf 500 mg/kgBB and Vernonia amygdalina leaf 100 mg/kgBB, combination of Andrographis paniculata leaf 1000 mg/kgBB
and Vernonia amygdalina leaf 200 mg/kgBB, combination of Andrographis paniculata leaf 2000 mg/kgBB and Vernonia amygdalina leaf 400
mg/kgBB. The data were analysis using paired T-test and PostHoc. The results showed that there was no significant differences between any
combination of Andrographis paniculata leaf and Vernonia amygdalina leaf extract with acarbose to decrease postprandial blood sugar levels of diabetic
rats (p>0.05). It can be concluded that the combination of the ethanol extract of Andrographis paniculata leaf and Vernonia amygdalina leaf effective
in lowering postprandial blood sugar levels of diabetic rats.
PENDAHULUAN
Diabetes melitus merupakan penyakit degeneratif yang menduduki peringkat ke-4 setelah penyakit kardiovaskuler,
serebrovaskuler dan geriatrik berdasarkan prioritas penelitian nasional. Diabetes mellitus juga merupakan penyakit yang
hingga saat ini masih belum dapat disembuhkan, tetapi dapat dikendalikan agar tidak terjadi komplikasi lebih lanjut
(Tjokroprawiro, 2003). Hasil Riset Kesehatan Dasar di Indonesia tahun 2013 diperkirakan jumlah penderita diabetes
melitus adalah sekitar 6,9% atau dengan perkiraan jumlah 12.191.564 pada penduduk usia ≥ 15 tahun. Untuk provinsi
Sumatera Selatan, proporsi dan perkiraan jumlah penduduk usia ≥ 15 tahun yang terdiagnosis 0,9% atau diperkirakan
49.318 jiwa dan merasakan gejala diabetes melitus 0,4% atau diperkirakan 21.919 jiwa (Depkes, 2014).
Salah satu tatalaksana keadaan hiperglikemia pada penderita diabetes melitus tipe-2 adalah pemberian penghambat
enzim alfa glukosidase (acarbose). Pemberian penghambat enzim alfa glukosidase dapat menurunkan kadar glukosa darah
postprandial, karena mekanisme kerja obat ini memperlambat pemecahan dan penyerapan karbohidrat kompleks
(Soegondo, 2009). Saat ini di Indonesia banyak masyarakat lebih tertarik dengan pengobatan alternatif yang dipercaya
329
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
memiliki efek menurunkan kadar gula darah pada pasien diabetes melitus yakni dengan memanfaatkan tanaman sambiloto
dan daun afrika.
Sambiloto (Andrographis paniculata) dikenal sebagai “King of Bitters”. Tanaman sambiloto memiliki rasa yang
sangat pahit yang berasal dari andrographolide yang dikandungnya. Semua bagian tanaman sambiloto bisa dimanfaatkan
sebagai obat, termasuk bunga dan buahnya. Khasiat sambiloto sebenarnya sudah dikenal luas sejak zaman dulu, baik oleh
orang Indonesia maupun bangsa-bangsa di dunia (Prapanza & Marianto, 2003). Di Indonesia sendiri, sambiloto dikenal
sebagai salah satu obat untuk menurunkan kadar gula dalam darah (Widyawati, 2007). Daun sambiloto memilki
kandungan diantaranya diterpene lakton dan glikosidanya, seperti anndrographolide, deoxyandrographolide, 11, 12-
didehydro-14 eoxyandrographolide, neoandrographolide, dan flavonoid. Kandungan andrographolide pada ekstrak
sambiloto tersebut dapat merangsang pelepasan insulin dan menghambat absorbsi glukosa melalui penghambatan enzim
alfa glukosidase dan alfa-amilase (Subramanian, 2008). Kadar optimal ekstrak etanol herba sambiloto yang dapat
menurunkan kadar glukosa tikus adalah dengan dosis 2 g/kgBB (Yulinah et al., 2011).
Selain sambiloto, tanaman yang diduga berkhasiat dalam menurunkan kadar gula darah adalah daun afrika
(Vernonia amygdalina). Di Tenggara dari Nigeria, daun afrika telah lama digunakan dalam pengendalian kadar glukosa
dalam darah (Michael et al., 2010). Tahun 2008 di Asia Tenggara, terutama di Malaysia dan Singapura daun afrika sudah
banyak digunakan untuk pengobatan diabetes mellitus (Sembiring, 2013). Hasil uji skrining fitokimia yang dilakukan
penelitian sebelumnya, diketahui bahwa daun afrika mengandung senyawa kimia golongan alkaloid, tannin, saponin, dan
flavonoid, polifenol, dan vitamin C (Atangwho et al., 2010). Kandungan dari ekstrak daun afrika yang mampu
menghambat aktivitas enzim alfa glukosidase adalah alkaloid (Pamungkas, 2015). Pemberian ekstrak etanol daun afrika
80 mg/200gr BB tikus secara oral selama 14 hari dapat menurunkan kadar glukosa darah postprandial dan meningkatkan
kadar insulin puasa pada tikus diabetes melitus (Andriani, 2015).
Penelitian terhadap masing-masing daun ini sebagai antihiperglikemia telah banyak dilakukan, namun saat ini
belum ada penelitian yang mengkombinasikan kedua daun ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas
kombinasi ekstrak etanol daun sambiloto (Andrographis paniculata) dan daun afrika (Vernonia amygdalina) pada tikus
diabetes dalam menurunkan kadar gula darah postprandial.
330
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Tikus yang dijadikan subjek penelitian yaitu tikus dengan kadar glukosa darah >135 mg/dL (Animalarticle,
2011). Tikus dibagi ke dalam 5 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 5 tikus.
Pembuatan Kombinasi Ekstrak
Serbuk simplisia daun sambiloto dan daun afrika dimaserasi menggunakan etanol 70% selama 3 hari. Kemudian
didapatkan filtrat dari hasil maserasi yang selanjutnya dipekatkan dengan soxhlet sehingga didapatkan ekstrak kental.
Sediaan uji berupa ekstrak kental daun sambiloto dan daun afrika ditimbang menggunakan timbangan digital
sesuai dosis yang dibutuhkan kemudian dilarutkan dalam air dengan menambahkan tween 80 sebanyak 2% dari volume
sediaan untuk mendapatkan sediaan oral yang homogen.
Proses Pengambilan Sampel Darah
Pengambilan darah pada tikus melalui V. Lateralis ekor dengan cara tikus dipegang, dijulurkan dan dipotong 0,2 cm
dari pangkal ekor dengan gunting yang steril. Kemudian dilakukan pengecekan kadar gula darah menggunakan
glukometer.
Studi Penelitian
Sebanyak 25 ekor tikus diabetes diambil secara random dan dibagi menjadi 5 kelompok. Semua pemberian sedian uji
dilakukan selama 7 hari, selanjutnya masing-masing kelompok diberi perlakuan dosis tunggal sebagai berikut :
Kelompok 1 : DM + Aquadest (kontrol negatif)
Kelompok 2: DM + Kombinasi ekstrak etanol daun sambiloto 500 mg/kgBB dan daun afrika 100 mg/kgBB (KSA
500/100)
Kelompok 3: DM + Kombinasi ekstrak etanol daun sambiloto 1000 mg/kgBB dan daun afrika 200 mg/kgBB (KSA
1000/200)
Kelompok 4 : DM + Kombinasi ekstrak etanol daun sambiloto 2000 mg/kgBB dan daun afrika 400 mg/kgBB (KSA
2000/400)
Kelompok 5 : DM + Acarbose
Setiap kelompok mendapatkan perlakuan dengan frekuensi yang sama yaitu satu kali dalam sehari selama 7 hari
berturut-turut yang diberikan melalui sonde. Pada hari ke-8, tikus dipuasakan 6-8 jam kemudian diberi makan. Dua jam
setelah makan dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah postprandial (posttest).
Analisis Data
Analisis statistik menggunakan program SPSS versi 18. Hasil yang didapat dianalisis dengan paired t-test, One
Way Anova dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Semua hasil ditampilkan sebagai means±SD. Nilai p<0.05 menunjukkan
signifikan secara statistic.
331
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Tabel 1. Analisis Efektivitas Kombinasi Ekstrak Daun Sambiloto dan Daun Afrika dengan Acarbose terhadap Kadar
Glukosa Darah Postprandial Tikus Diabetes Pada Masing-masing Kelompok (mg/dL)
Pre-Test Post-Test
Kelompok
Mean±SD Mean±SD
DM + Aquades 319.50±118,59 482,50±21,75 a
DM + KSA 500/100 413.00±124,75 234,00±96,34 b
DM + KSA 1000/200 314,50±113,39 153,00±90,54 b
DM + KSA 2000/400 531,25±53,61 249,25±55,57 b
DM + Acarbose 588,50±54,31 289,25±44,50 b
a
p > 0.05 menggunakan paired t-test dibandingkan dengan Pre-Test; b p < 0.05 menggunakan paired t-test dibandingkan
dengan Pre-Test; KSA: Kombinasi ekstrak daun sambiloto dan daun afrika
Tabel 2 menunjukkan kadar gula darah postprandial pada tikus diabetes yang diberikan kombinasi ekstrak etanol
daun sambiloto dan daun afrika dengan tiga tingkatan dosis yang berbeda didapatkan bahwa tidak terdapat perbedaan
bermakna dalam menurunkan kadar gula darah postprandial tikus diabetes dibandingkan dengan pemberian acarbose
(p>0,05). Sedangkan, pada kelompok yang diberikan aquadest didapatkan perbedaan bermakna efektivitasnya dengan
acarbose dalam menurunkan kadar gula darah 2 jam postprandial tikus wistar yang diinduksi aloksan (p<0,05).
Tabel 2. Efektivitas dari kombinasi ekstrak daun sambiloto dan daun afrika terhadap kadar gula darah postprandial tikus
diabetes setelah pengobatan selama 1 minggu
Kadar Gula Darah
Kelompok
Postprandial (mg/dL)
Kontrol negatif 482,50±21.75
DM + KSA 500/100 234,00±96.34 a,b
DM + KSA 1000/200 153.00±90.54 a,b
DM + KSA 2000/400 249.25±55.57 a,b
DM + Acarbose 289.25±44.50 b
Uji one way ANOVA dilanjutkan dengan LSD post-hoc test, a p>0.05 VS acarbose, b p<0.05 VS kontrol negatif, KSA:
Kombinasi ekstrak daun sambiloto dan daun afrika
Keadaan hiperglikemia pada tikus yang digunakan sebagai subjek penelitian didapatkan dari hasil induksi
menggunakan aloksan dengan dosis 150 mg/kgBB secara intraperitoneal. Aloksan bereaksi dengan merusak substansi
esensial didalam sel beta pancreas sehingga menyebabkan berkurangnya granul-granul pembawa insulin didalam sel beta
pancreas. Pembentukan oksigen reaktif merupakan faktor utama dalam kerusakan tersebut. Pembentukan oksigen reaktif
diawali dengan proses reduksi aloksan dalam sel langerhans yang dapat membangkitkan radikal superoksida (Yuriska,
2009).
Pemilihan dosis yang digunakan untuk kombinasi ekstrak daun sambiloto dan daun afrika pada penelitian ini
berdasarkan penelitian sebelumnya. Kadar optimal ekstrak etanol herba sambiloto yang dapat menurunkan kadar glukosa
tikus adalah dengan dosis 2 g/kgBB (Yulinah et al., 2011). Selanjutnya penelitian mengenai efek ekstrak etanol daun
afrika terhadap kadar glukosa darah menyebutkan dosis daun afrika 400 mg/kgBB mampu menurunkan kadar glukosa
dalam darah secara bermakna (p<0,05) (Kusuma, 2015). Sehingga dosis yang digunakan pada penelitian ini ditentukan
berdasarkan dosis efektif dari kedua daun tersebut dan juga dengan cara memperkecil dosis pada penelitian sebelumnya.
Hasil penelitian ini didapatkan perbedaan yang bermakna terhadap penurunan kadar gula darah postprandial
sebelum dan sesudah pada kelompok pelakuan yang diberikan acarbose serta kombinasi ekstrak daun sambiloto dan daun
afrika dengan 3 dosis yang berbeda (p<0,05). Acarbose bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa
glukosidase di dalam saluran cerna. Enzim alfa glukosidase merupakan enzim yang berfungsi untuk menghidrolis
332
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
oligosakarida dan disakarida menjadi monosakarida pada dinding usus halus. Pemberian penghambat enzim alfa
glukosidase dapat menurunkan kadar glukosa darah postprandial, karena mekanisme kerja penghambat enzim alfa
glukosidase adalah memperlambat pemecahan dan penyerapan karbohidrat kompleks (Soegondo, 2009).
Senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak daun sambiloto berupa andrographolide dan daun afrika berupa alkaloid
(Yulinah et al., 2011; Pamungkas, 2015). Kandungan andrographolide pada sambiloto selain dapat menghambat aktivitas
enzim alfa glukosidase (Rais et al., 2013), juga diduga dapat merangsang pelepasan insulin dari sel beta pankreas,
sehingga menurunkan glukosa darah mencit yang diinduksi aloksan (Yulinah et al., 2011). Sedangkan kandungan dari
ekstrak daun afrika berupa alkaloid juga mampu menghambat aktivitas enzim alfa glukosidase sebesar 61,88% pada
konsentrasi 2000 ppm sehingga alkaloid aktif berperan sebagai inhibitor alfa glukosidase (Pamungkas, 2015). Sehingga
kandungan senyawa aktif inilah yang dapat menurunkan kadar gula darah postprandial pada kelompok yang diberikan
kombinasi kedua ekstrak.
Penelitian ini menunjukkan bahwa senyawa aktif yang terkandung pada daun Sambiloto dan daun afrika berupa
andrographolide dan alkaloid dapat bersinergis menurunkan kadar gula darah postprandial tikus diabetes. Namun
senyawa bioaktif yang ditunjukkan melalui aksi antidiabetes ini masih harus dilakukan penelitian lebih lanjut.
KESIMPULAN
Kombinasi ekstrak etanol daun Andrographis paniculata dan daun Vernonia amygdalina memiliki efektivitas dalam
menurunkan kadar gula darah postprandial pada tikus diabetes.
DAFTAR PUSTAKA
Andriani, I. 2015. Pemberian Ekstrak Etanol Daun Afrika (Vernonia amygdalina) Oral Meningkatkan Kadar Insulin Puasa dan Menurunkan Glukosa
Darah Post Prandial Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) jantan diabetes melitus, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana
Universitas Udayana.
Animalarticle. 2011. Normal Rat Blood Glucose Level. http://www.animalarticle.info/Normal-Rat-Blood-Glucose-Level, diakses 24/12/2015.
Atangwho, I.J., et al. 2010. Extract of Vernonia amygdalina Del. (African Bitter Leaf) Can Reverse Pancreatic Cellular Lesion after Alloxan Damage
in the Rat. Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 4 (5): 711-716.
Departemen Kesehatan, 2014. Info DATIN: Situasi dan Analisis Diabetes. Republik Indonesia, Jakarta. Hal 2-8.
Kusuma, F. 2015. Efek Ekstrak Etanol Daun Afrika (Vernonia Amygdalina Del.) Terhadap Kadar Glukosa Darah Pada Mencit Swiss Webster Jantan.
Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Maranatha. Bandung, Indonesia
Michael, U.A., et al. 2010. Antidiabetic Effect Of Combined Aqueous Leaf Extract Of Vernonia amygdalina and Metformin In. Journal of Basic and
Clinical Pharmacy Vol-001 Issue-003
Pamungkas, B.A. 2015. Uji Aktivitas Antidiabetes Campuran Ekstrak Kering Daun Afrika (Vernonia amygdalina D) dan Kulit Buah Manggis (Garnicia
mangostana L) Pada Mencit (Mus musculus) Yang Di Induksi Aloksan. Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya (Tidak
Dipublikasi).
Prapanza, E. & Marianto, L.M. 2003. Khasiat & Manfaat Sambiloto: Raja Pahit Penakluk Aneka Penyakit. Agro Media Pustaka. Hal: 3–9.
Rais, et al. 2013. Determination Of Andrographolide Isolate Activity To Α-Amylase And Α-Glucosidase Using Apostolidis And Mayur Method.
Traditional Medicine Journal, 18(3).
Sari, Heni Maiela. 2010. Uji Efek Hipoglikemik Ekstrak Etanol Gambir (Uncaria Gambir Roxb) Pada Tikus Putih Jantan dengan Metode Induksi
Aloksan Dan Toleransi Glukosa. Skripsi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Jakarta,
Indonesia.
Sembiring, I. G. 2013. Efek Inotropik dan Kronotropik Ekstrak Etanol Daun Afrika (Vernonia Amygdalina Delile) Pada Isolat Jantung Tikus. Skripsi,
Program Ekstensi Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara (tidak dipublikasi).
Soegondo, S. 2009. Farmakoterapi Pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2. Dalam: Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna
Publishing, Jakarta, Indonesia. Hal 1884-1890.
Subramanian, R. 2008. In Vitro α -Glucosidase and α -Amylase Enzyme Inhibitory Effects Of Andrographis Paniculata extract and Andrographolide.
Department of Pharmacology, School of Pharmacy, Universiti Sains Malaysia, Penang, Malaysia.
333
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Tjokroprawiro, Askandar. 2003. DM: Klasifikasi, Diagnosis, dan Terapi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Widyawati, T. 2007. Aspek Farmakologi Sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Majalah Kedokteran Nusantara 40 (3).
Yulinah, E., Sukrasno & Fitri, M.A. 2011. Aktivitas Antidiabetika Ekstrak Etanol Herba Sambiloto (Andrographis paniculata Nees (Acanthaceae)),
JMS ITB. 6.
Yuriska, A. 2009. Efek Aloksan Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar. Laporan Penelitian, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Semarang (Tidak Dipublikasi).
334
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Protein NRas merupakan salah satu protein yang memiliki peran penting pada proses karsinogenesis terutama pada proses proliferasi sel sehingga NRas
dapat menjadi titik ukur dalam studi antikanker. Daun sirsak (Annona muricata) mengandung senyawa acetogenin yang bersifat sitotoksik dan memicu
kematian sel terprogram pada kultur sel kanker hati dan payudara (in vitro). Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi mekanisme molekuler dari
ekstrak etanolik daun sirsak sebagai antiproliferasi pada tikus putih galur Sprague Dawley terinduksi DMBA. Penelitian dilakukan selama 10 minggu
menggunakan 30 ekor tikus di laboratorium hewan coba Badan Litbang Kesehatan. Induksi DMBA dilakukan sebanyak 10 kali selama lima minggu ,
kemudiandidiamkan dua minggu untuk menginisiasi tumbuhnya tumor. Pada minggu ke ketujuh diberikan ekstrak daun sirsak dengan dosis 200, 400,
dan 800 mg/kgBB selama 17 hari. Pada akhir perlakuan dilakukan nekropsi, pembuatan preparat dan pengecatan imunohistokimia NRas. Hasil analisis
ekspresi protein NRas menunjukkan aktivitas proliferasi yang makin menurun dengan peningkatan dosis ekstrak daun sirsak. Dengan demikian, ekstrak
daun sirsak 800 mg/kgBB berpotensi sebagai antiproliferasi pada hati dan kelenjar payudara tikus yang diinduksi DMBA.
Kata Kunci: NRas; Antiproliferasi; Daun Annona muricata; Hati; Kelenjar Payudara
ABSTRACT
NRas protein is one of the proteins that important in carcinogenesis process, especially in cell proliferation therefore NRas could be a measuring point
in anticancer studies. Soursop (Annona muricata)’s leaves contain acetogenin which cytotoxic and induced apoptosis in liver(WRL-68) and breast
cancer cell line(MDA-MB-435S) (in vitro). The aim of this study was to explore molecular mechanism of soursop’s leaves extract as antiproliferation
in whte rat Sprague Dawley strain induced by DMBA. The study was conducted for ten weeks using 30 rats in animal lab of National Institute of Health
Research and Development. The DMBA induction was done by ten times for five weeks and silenced for two weeks to initiated tumor development. In
week seventh extract was orally inject with doses 200,400, and 800 mg/kgBW for seventeen days. The next step was necroption, maked slides, and
NRas staining. The results showed the proliferation activity decreased comparable with doses increasing. In conclusion, the soursop’s leaves extract
potential to be antiproliferative agent in hepatic and mammary glands cell induced by DMBA
Keywords:NRas; Antiproliferative; Annona muricata’s Leaves; Hepatic Cell; Mammary Glands
PENDAHULUAN
Penyakit kanker merupakan penyakit yang menakutkan terutama di negara-negara berkembang. Penyakit kanker
menyumbang angka kematian yang terus meningkat setiap tahunnya dan jika tidak dikendalikan, diperkirakan 21,7 juta
orang akan menderita kanker dan 13 juta meninggal karena kanker pada tahun 2030 (American Cancer Society, 2015).
Ironisnya, menurut Union for International Cancer Control tahun 2009, kejadian ini akan terjadi lebih cepat di negara
miskin dan berkembang (Yayasan Kanker Indonesia, 2012). American Data Society menyebutkan kanker payudara
menempati urutan pertama terhadap penyebab kanker yang terjadi pada wanita pada tahun 2014, yaitu sebanyak 29%
angka kejadian dan menjadi penyebab kematian kedua tertinggi diantara seluruh jenis kanker (15%) sedangkan kanker
hati atau hepatoma menjadi penyebab kematian sebesar 3% dibandingkan seluruh jenis kanker (American Cancer Society,
2014; Siegel R dkk, 2014). kanker payudara dan kanker hati termasuk dalam 10 jenis kanker yang paling sering terjadi
pada wanita Indonesia (Wahidin M, 2012).
Radioterapi dan kemoterapi biasa digunakan untuk pengobatan namun metoda ini tidak hanya membunuh sel
kanker namun juga dapat membunuh sel normal di dekatnya (tidak selektif). Selektivitas terapi kanker dilihat dari
kemampuan agen anti kanker untuk membunuh sel kanker ataupun menghambat pertumbuhannya tanpa mempengaruhi
sel normal. Umumnya kanker dipengaruhi dua jenis gen, proto-onkogen yang berperan dalam proliferasi sel kanker dan
menghambat terjadinya kematian sel terprogram (apoptosis) yang terjadi secara alami di tiap sel, sedangkan tumor
supressor gene memiliki peran sebaliknya. Salah satu protein yang diekspresikan oleh proto-onkogen adalah protein
Neuroblastoma Ras Viral Oncogene Homolog (NRas). NRas memiliki fungsi modulasi pertumbuhan, invasi, dan migrasi
335
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
sel kanker. Penekanan ekspresi NRas dapat memicu penghentian pertumbuhan sel dan menghambat invasi sel kanker ke
jaringan lainnya sehingga cocok untuk menjadi protein target dalam terapi kanker. Protein NRas yang terekspresi pada
membran plasma akan memberikan warna coklat pada hasil pengecatan imunohistokimia sel (Eskandarpour dkk, 2009;
HO dkk, 2012).
Oleh karena itu, pilihan pengobatan yang aman, efektif dan selektif untuk penyakit kanker sangat penting untuk
digali lebih lanjut salah satunya dengan menggunakan senyawa-senyawa yang berasal dari tanaman yang dapat
menghambat pertumbuhan sel kanker bahkan dapat mematikan sel kanker (Gibbs, 2000; Umadevi dkk, 2013). Tanaman
yang diduga dapat menjadi herbal yang potensial untuk dijadikan antikanker adalah daun sirsak (Annona muricataL.).
Daun sirsak mengandung golongan Acetogenin disinyalir sangat berpotensi sebagai antikanker karena sitotoksik pada sel
kanker payudara (MDA-MB-435S) dan sel kanker hati (WRL-68) secara in vitro, namun belum ditemukan penelitian
preklinis secara in vivo menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus L.) (George et al, 2012). Oleh karena itu penelitian
ini bertujuan untuk mengeksplorasi mekanisme molekuler dari ekstrak etanolik daun sirsak sebagai antiproliferasi pada
tikus putih galur Sprague Dawley terinduksi DMBA.
Tikus (Rattus norvegicus L.) betina galur Sprague Dawley, berjumlah 30 ekor, berumur ±40 hari, dengan berat badan
30-60 gram diperoleh dan dipelihara di laboratorium hewan coba. Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan,
Jakarta (Singletary dkk, 1998).
Pembuatan larutan DMBA (Dimetilbenz(a)antrasen)
Senyawa DMBA ditimbang sesuai dengan dosis yaitu 20 mg/kgBB setiap pemberian dilarutkan dalam minyak
jagung (corn oil) dengan bantuan vortex hingga diperoleh larutan jernih yang homogen dengan konsentrasi 4 mg/ml.
Dengan konsentrasi ini, masing-masing hewan uji akan mendapat larutan DMBA tidak melebihi volume maksimal yang
diperbolehkan. Larutan DMBA dalam minyak jagung selalu dibuat baru, sebelum diberikan kepada hewan uji.
336
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Mingguke-
Kelompok Perlakuan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
337
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Pengamatan deskriptif kemudian diskoring berdasarkan intensitas warna coklat yang muncul (ekspresi protein NRas)
pada masing-masing kelompok perlakuan.
Penelitian Adelina,dkk (2014) menggunakan pengecatan AgNOR untuk memberikan gambaran sel hati dengan
melihat jumlah titik hitam di inti selnya (black dot) dan menunjukkan adanya penurunan titik hitam yang signifikan oleh
ekstrak daun sirsak pada tikus terinduksi DMBA. Namun demikian perlu pengecatan imunohistokimia untuk melihat
mekanisme molekuler yang lebih mendetail yang terjadi pada efek penurunan jumlah inti sel misalnya pada protein NRas.
Protein Ras ditemukan bermutasi kurang lebih 30% pada berbagai jenis tumor yang dikenal dengan Nras karenanya
protein Ras onkogenik (NRas) dapat menjadi protein target untuk melihat spesifisitas dari herbal yang diduga dapat
menjadi agen antikanker(Kwong LN, 2012).
Hasil pengecatan NRas pada kontrol negatif (Gambar 1A dan 2A) menunjukkan sitoplasma sel berwarna biru
keunguan yang menandakan tidak terekspresinya protein NRas pada kelompok ini. Pada kontrol positif (Gambar 1B dan
2B) terlihat warna coklat yang intens pada sitoplasma sel hati maupun sel kelenjar payudara, hal ini menunjukkan adanya
peningkatan ekspresi NRas pada kontrol positif akibat pemberian DMBA. Hal ini sesuai dengan data Tabel 2 yang
menunjukkan adanya peningkatan skor NRas dengan pemberian DMBA. DMBA merupakan hidrokarbon polisiklik
aromatik yang dioksidasi menjadi 7,12-DMBA-3,4-oksida oleh enzim sitokrom P450 (CYP) yang akan dihidrolisis
menjadi bentuk diolnya dan dioksidasi kembali oleh sitokrom P450 menjadi 7,12-DMBA-3,4-oksida-diol-1,2-epoksida
yang merupakan karsinogen.15 Oleh karenanya DMBA mampu menginduksi proses karsinogenesis. Dalam penelitian ini
proses karsinogenesis diwakili dengan peningkatan ekspresi protein NRas di sitoplasma yang semakin meningkat
(Gambar 1B dan 2B).
A B
C D
338
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
E
Gambar 1. Hasil pewarnaan NRas organ hati tikus pada kelima kelompok percobaan. Dilakukan dengan
pembesaran 1000X. (A) Kontrol negatif yang dipejankan CMCNa. (B) Kontrol positif yang hanya diinduksi DMBA.
(C) Ekstrak daun sirsak dosis 200 mg/kgBB. (D) Ekstrak daun sirsak 400 mg/kgBB. (E) Ekstrak daun sirsak dosis 800
mg/kgBB. Ekspresi protein NRas positif ditandai dengan warna coklat sedangkan ekspresi NRas negatif ditandai dengan
warna biru.
A B C
D E
Gambar2. Hasil pewarnaan NRas kelenjar payudara pada kelima kelompok percobaan. pembesaran 1000X.
(A) Kontrol negatif yang dipejankan CMCNa. (B) Kontrol positif yang hanya diinduksi DMBA. (C) Ekstrak daun sirsak
dosis 200 mg/kgBB. (D) Ekstrak daun sirsak 400 mg/kgBB. (E) Ekstrak daun sirsak dosis 800 mg/kgBB. Ekspresi protein
NRas positif ditandai dengan warna coklat sedangkan ekspresi NRas negatif ditandai dengan warna biru
Pemberian ekstrak daun sirsak menurunkan ekspresi protein NRas dengan terlihatnya penurunan pada ekstrak daun
sirsak 200 dan 400 mg/kgBB terdapat penurunan ekspresi protein NRas yaitu dengan berkurangnya intensitas warna
coklat pada sitoplasma sel hati dan sel kelenjar payudara (Gambar 1C-1D dan 2C-2D). Hasil analisis statistik di Tabel 2
yang menunjukkan adanya penurunan ekspresi protein NRas pada kelompok ekstrak jika dibandingkan dengan kontrol
positif. Ekspresi NRas pada kelompok ekstrak daun sirsak 800 mg/kgBB menunjukkan adanya pengurangan ekspresi
NRas yang signifikan bahkan hampir menyamai kontrol negatif yaitu dengan warna coklat yang memudar sehingga
sitoplasma berwarna biru (Gambar 1E dan 2E). Tren penekanan ekspresi protein NRas akibat pemberian ekstrak daun
sirsak sama antara organ hepar dan sel epitelial payudara yaitu menurunkan ekspresi NRas seiring dengan peningkatan
dosis ekstrak daun sirsak,seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Skor NRas di Hati dan Kelenjar Epitelial Payudara Tikus
339
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Hasil skor NRas ini diperkuat dengan analisis statistik Oneway ANOVA dengan Post-Hoc Tukey HSD yang
menunjukkan peningkatan skor NRas secara bermakna dengan pemberian DMBA dan penurunan nilai skor NRas seiring
dengan peningkatan dosis ekstrak daun sirsak. Dosis daun sirsak yang memberikan penurunan NRas secara bermakna
adalah dosis 800 mg/kgBB. Sedangkan jika dilakukan perbandingan antar dosis ekstrak daun sirsak, hasil analisis
menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara dosis 200 mg/kgBB dengan 400 mg/kgBB namun berbeda bermakna
dengan dosis 800 mg/kgBB pada kelenjar payudara sedangkan di hati tidak ada perbedaan bermakna pada skor NRas
antara dosis 200, 400, dan 800 mg/kgBB. Pada kontrol negatif dengan dosis 800 mg/kgBB tidak berbeda bermakna baik
pada hati maupun kelenjar payudara yang menunjukkan penurunan ekspresi NRas oleh dosis 800 mg/kgBB mampu
menyamakan ekspresi NRas dengan nilai kontrol negatif.
Tabel 3. Nilai Uji Oneway ANOVA dengan Post-Hoc Tukey HSD pada Kelenjar Payudara
Tingkat
Variabel Perbedaan Stand Kepercayaan
(B) Kelompok Signifikan 95%
Tergantu (A) Kelompok perlakuan Rerata (A- ar
perlakuan si
ng B) Error Batas Batas
Atas Bawah
340
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Protein Ras merupakan salah satu protein onkogenik yang berpengaruh pada patogenesis kanker (Plowman SJ dan
Hancock JF, 2005). Protein Ras pada sel mamalia terdiri dari 3 tipe protein yaitu KRas, HRas, dan NRas. Protein NRas
terletak di dalam sel dan terikat pada membran plasma sehingga dapat menjalankan fungsinya untuk mengatur laju
proliferasi sel. Aktivitas protein NRas dikontrol dengan pergantian ikatan GDP yang inaktif menjadi ikatan GTP yang
aktif. Protein NRas akan aktif sementara dalam merespon sinyal ekstraseluler atau secara konstitutif dalam mengaktivasi
mutasi sel. NRas yang teraktivasi akan berinteraksi dengan protein efektornya seperti Raf dan PI3K yang terlibat dalam
proliferasi, diferensiasi, dan migrasi sel. Aktivasi proteain NRas akan mampu mengaktivasi protein Raf ataupun PI3K
yang berperan dalam pertumbuhan tumor dan survival tumor (Castellano E dan Downward J, 2010). Aktivasi NRas juga
dapat mengaktivasi jalur RAF-MEK-ERK yang merupakan protein efektornya sehingga menyebabkan proliferasi sel
tumor terus-menerus terjadi. Dengan demikian, ketika ekspresi protein Nras dihambat maka akan menginaktivasi protein-
protein efektornya, baik jalur PI3K-AKT maupun RAF-MEK-ERK sehingga proliferasi sel tumor dapat dihambat.
341
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Dosis ekstrak daun sirsak 400 dan 800 mg/kgBB meningkatkan efek penekanan ekspresi NRas dari ekstrak daun
sirsak namun masih dalam dosis yang aman, Arthur (2011) menyebutkan bahwa ekstrak daun sirsak pada dosis tinggi
(≥1000mg/kgBB) dapat menyebabkan toksisitas akut yang tidak terlihat pada dosis rendah ataupun sedang (Omoja dkk,
2014; Arthur dkk, 2011). Dengan demikian dosis yang digunakan pada penelitian in vivo ini masih dapat digunakan
sebagai acuan dosis yang efektif untuk dikonversi ke dosis manusia.
Tabel 4. Nilai Uji Oneway ANOVA dengan Post-Hoc Tukey HSD pada Hati
Tingkat
Kepercayaan
(A) (B) 95%
VariabelTergantu PerbedaanRer Standa Signifikan
Kelompokperlaku Kelompokperlaku
ng ata (A-B) r Error si Batas Batas
an an
Atas Bawa
h
Kontrolnegatif Kontrolpositif -2,00 (*) 0,328 0 - -
0 2,981 1,018
6 4
Ekstrak -1,64 (*) 0,328 0,001 - -
200mg/kgBB 0 2,621 0,658
6 4
Ekstrak -1,62 (*) 0,328 0,001 - -
400mg/kgBB 0 2,601 0,638
6 4
Ekstrak -0,70 0,328 0,245 - 0,281
800mg/kgBB 0 1,681 6
6
Kontrolpositif Kontrolnegatif 2,00 (*) 0,328 0 1,018 2,981
0 4 6
Ekstrak 0,36 0,328 0,806 - 1,341
200mg/kgBB 0 0,621 6
6
NRasHati Ekstrak 0,38 0,328 0,774 - 1,361
400mg/kgBB 0 0,601 6
6
Ekstrak 1,30 (*) 0,328 0,006 0,318 2,281
800mg/kgBB 0 4 6
Ekstrak Kontrolnegatif 1,64 (*) 0,328 0,001 0,658 2,621
200mg/kgBB 0 4 6
Kontrolpositif -0,36 0,328 0,806 - 0,621
0 1,341 6
6
Ekstrak 0,02 0,328 1 - 1,001
400mg/kgBB 0 0,961 6
6
Ekstrak 0,94 0,328 0,065 - 1,921
800mg/kgBB 0 0,041 6
6
Ekstrak Kontrolnegatif 1,62 (*) 0,328 0,001 0,638 2,601
400mg/kgBB 0 4 6
342
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Penelitian ini melengkapi data beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan potensi ekstrak daun sirsak
sebagai antikanker.Pada penelitian Chang,dkk (2001), secara in vitro golongan Acetogenin mampu berperan sebagai
sitotoksik (Chang FR dan Wu YC,2001). Penelitian McLaughlin,dkk (2008) menyebutkan senyawa Bullatacin yang
terdapat dalam daun sirsak dapat memicu apoptosis pada sel limfosit B manusia secara in vitro (McLaughlin, 2008).
Penelitian Yuan,dkk (2003) menyebutkan golongan Acetogenin dapat menghambat proliferasi sel tumor pada fase G1 di
siklus sel sehingga sel beristirahat dari proses pembelahan sel (Yuan dkk, 2003). Secara in silico beberapa senyawa
Acetogenin memiliki mekanisme kerja dengan mengatur protein-protein yang berpengaruh pada pertumbuhan sel dan
program kematian sel. Pada penelitian in vivo sebelumnya, ekstrak daun sirsak mampu menghambat proliferasi dan
memicu apoptosis pada sel hati tikus terinduksi DMBA dengan melihat penurunan jumlah inti sel yang dicerminkan
dengan adanya black dot pada pewarnaan AgNOR dan peningkatan protein p53 yang merupakan protein proapoptosis
(Adelina dkk, 2013; Adelina dkk, 2014).
KESIMPULAN
Ekstrak daun sirsak dosis 800 mg/kgBB mampu menekan ekspresi protein NRas pada hati dan payudara tikus
terinduksi 7,12-Dimetilbenz[a]antrasen secara bermakna.
343
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
DAFTAR PUSTAKA
Adelina R, Febriyanti R, Oktoberia IS, dan Intan PR. 2014. Ekstrak Daun Annona muricata Linn sebagai Antiproliferasi terhadap Sel Hepar Tikus
Terinduksi 7,12 Dimetilbenz[a]anthracene (DMBA). Jurnal Kefarmasian Indonesia,4 (1):1-11.
Adelina R, Oktoberia IS, dan Intan PR. 2013. Annona muricata's Leaves Ethanolic Extract Enhance p53 Expression in Rat Hepatic Cells Induced by
Dimethylbenz(a)anthracene (DMBA). Indonesian Journal of Cancer Chemoprevention ,4 (1):483-487,
American Cancer Society. 2014. Leading New Cancer Cases and Deaths-2014 Estimates (Surveillance Research).
(http://www.cancer.org/acs/groups/content/@research/documents/document/acspc-041783.pdf, diakses 14 Maret 2015)
American Cancer Society. 2015. Cancer Facts and Figures 2015. Atlanta: American Cancer Society.
Arthur FKN, Woode E, Terlabi EO, dan Larbie C. 2011. Evaluation of acute and subchronic toxicity of Annona Muricata (Linn.) aqueous extract in
animals. European Journal of Experimental Biology,1(4):115-124.
Castellano E dan Downward J. 2010. Role of RAS in the regulation of PI 3-kinase. Curr Top Microbiol Immunol 2010 346:143-69.
Chang FR dan Wu YC. 2001.Novel Cytotoxic Annonaceous Acetogenins from Annona muricata.Journal of Natural Product,64:925-931.
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Eskandarpour M., Huang F , Reeves KA , Clark E , dan Hansson J. 2009. Oncogenic NRAS has Multiple Effects on the Malignant Phenotype of Human
Melanoma Cells Cultured in vitro. International Journal of Cancer,124:16-26.
George VC, Kumar N, Rajkumar V, Suresh PK, dan Kumar RA. 2012. Quantitative Assessment og the Relative Antineoplastic Potential of the n-
butanolic Leaf Extract of Annona muricata Linn. in Normal and Immortalized Human Cell Lines. Asian Pacific Journal of Cancer
Prevention13:699-704.
Geum-soog kim, Lu zeng, Feras alali, Lingling L- rogers, Fenge, dan Soelaksono sastrodihardjo wu, Jerry L. Mclaughlin. 1998. Muricoreacin and
murihexocinC mono- tetrahydrofuran acetogenins from the leaves of Annona muricata. Phytochemistry, 38 (1):454-460.
Gibbs, JB. 2000. Anticancer Drug Targets: Growth Factor and Growth Factor Signaling. Journal of Clinical Investigation,105 (1):9-13.
Ho C, Wang C, Mattu S, Destefanis G, Ladu S, Delogu S, dkk. 2012. AKT (v-akt murine thymoma viral oncogene homolog 1) and N-Ras
(neuroblastoma ras viral oncogene homolog) coactivation in the mouse liver promotes rapid carcinogenesis by way of mTOR (mammalian target
of rapamycin complex 1), FOXM1 (forkhead box M1)/SKP2, and c-Myc pathways. Hepatology,55 (3):833-45.
Kwong LN, Costello JH, Liu H, Jiang S, Helms TL, Langsdorf AE, dkk. 2012. Oncogenic NRas Signaling Differentially Regulates Survival and
Proliferation in Melanoma. Natural Medicine,18 (10):1503-1510.
McLaughlin JL. 2008. Paw Paw and Cancer: Annonaceous Acetogenins from Discovery to Commercial Products. Journal of Natural Product,71:1311-
1321.
Omoja VU, Ihedioha TE, Eke GI, Peter-Ajuzie IK, dan Okezie SE. 2014. Evaluation of the acute toxicity, phytochemical constituents and anti - ulcer
properties of methanolic leaf extract of Annona muricata in mice. Journal of Intercultural Ethnopharmacology,3 (1):37.
Plowman SJ dan Hancock JF. 2002. Ras Signaling from Plasma Membrane and Endomembrane Microdomains. Biochem Biophys Acta ,1746:274-283.
Shimada T dan Kuriyama FY. 2004. Metabolic Activation of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons to Carcinogen by Cytochromes P450 1A1 and 1B1.
Cancer Science,95:1-6.
Siegel R, Ma J, Zou Z, dan Jemal A. 2014. Cancer Statistics, 2014. Cancer Journal for Clinicians,64 (1):9-29.
Singletary K, MacDonald, Iovinelli M, Fischer C, dan Walling M. 1998. Effect of Betadiketones Diferuloylmethane (Curcumin) and Dibenzoylmethane
on Rat Mammary DNA Adducts and Tumor Induced by 7,12-dimethylbenz(a)anthracene. Carcinogenesis,19:1039-1043.
Umadevi M, Kumar KPS, Bhowmik D, dan Duraivel S. 2013. Traditionally Used Anticancer Herbs in India. Journal of Medicinal Plants Studies,1
(3):56-74.
Wahidin M, Noviani R, Hermawan S, Andriani V, Ardian A, dan Djarir H. 2012. Population-Based Cancer Registration in Indonesia. Asian Pacific
Journal of Cancer Prevention,13:1709-1710.
Yayasan Kanker Indonesia. 2012. YKI-Jakarta Race. (http://yayasankankerindonesia.org/2012/yki-jakarta-race/, diakses 7 April 2017)
Yuan SS, Chang HL, Chen HW, Yeh YT, Kao YH, Lin KH, Wu YC, dan Su JH. 2003. Annonacin, a Mono-tehrahydrofuran Acetogenin, Arrests Cancer
Cells at the G1 Phase and Causes Cyotoxicity in a Bax- and Caspase-3-related Pathway. Life Sciences,72 (25):2853-2861.
344
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Ekstrak etanol herba putri malu (Mimosa pudica Linn.) telah dilaporkan memiliki aktivitas antiinflamasi dan analgetika.Obat yang digolongkan ke
dalam kelompok obat bahan alam ini biasanya dikonsumsi dalam jangka waktu panjang.Oleh karena itu, telah dilakukan pengujian toksisitas subkronik
ekstrak etanol herba putri malu (Mimosa pudica Linn.) pada tikus putih jantan dan betina galur Wistar.Ekstrak etanol herba putri malu diberikan dengan
dosis 250 mg/kg bobot badan secara oral selama 90 hari berturut-turut pada hewan uji.Parameter yang diuji adalah, karakteristik urin, hematologi,
biokimia darah, indeks organ serta gambaran histopatologi organ hati dan ginjal. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata antara kelompok
tikus betina uji dengan kelompok kontrol PGA 2% (α=0,05) pada parameter biokimia darah berupa kadar SGOT. Selain itu, hasil pemeriksaan
histopatologi menunjukkan adanya perubahan pada organ hati dan ginjal tikus jantan dan betina yaitu susunan sel menjadi tidak teratur dan terjadi
ketidakutuhan vena sentralis dan sinusoid serta terjadi vakuolisasi.Pemeriksaan histopatologi organ ginjal menunjukkan ketidakutuhan glomerulus dan
degenerasi tubulus proksimal serta tubulus distal.
ABSTRACT
Ethanolic extract of putri malu (Mimosa pudica Linn.) herb has been reported to have antiinflammation and analgesic activity. As a herbal medicine,
consumption of this medicine usually can be considered to be in long term usage. For the reason, subchronic toxicity test has been conducted for the
ethanolic extract of putri malu on Wistar strain male and female rats. Dosage of 250 mg/kg body weight was chosen as the testing dosage and given
orally for the rat samples for 90 days of testing. The tests carried out were, urine characteristics, hematology, blood biochemical parameter, organ
index and histopathology of organs. Result only showed significant difference for the parameter of SGOT concentration for the female test rats in
comparison to control PGA 2% rats group (p=0,05). Histopathological result of the liver showed that changes have taken placed on the central vein,
sinusoid and vacuolisation had taken place too. For kidney, changes have taken placed on the glomerular cell structure and the proximal and distal
tubules have been degenerated.
PENDAHULUAN
Mimosa pudica Linn.dari famili Fabaceae umumnya dikenali sebagai tumbuhan sensitif. Tumbuhan ini memiliki
daun yang sangat sensitif dan melipat jika disentuh dan memiliki akar kemerahan.Bagian yang digunakan pada tumbuhan
ini adalah, akar, daun, dan kepala bunganya.Dalam penelitian fitokimia dibuktikan tumbuhan ini mengandung, senyawa
mimosin, orientin, isoorientin, β- sterol, D-pinitol, norepinefrin, krosetin, tanin, dan turgorin. Putri malu memiliki efek
antikonvulsan, hiperglisemik, antidepressan, analgesik, antiinflamasi, dan antinosiseptif(Karthikeyan dan Deepa, 2009).
Toksisitas mengacu kepada batas dan tingkat keracunan suatu bahan yang digunakan.Walaupun segelintir
masyarakat berfikir bahwa herbal yang berasal dari alam tidak bersifat racun dan aman, namun fakta ini sebenarnya tidak
benar. Pemakaian terlalu sering atau banyak oleh individu yang salah dapat menyebabkan penyakit lain dan kematian.
Gejala toksisitas muncul dalam kasus penggunaan herbal pada dosis yang tinggi (Jennes dan Flaws, 2004).
Uji toksisitas subkronik dilakukan untuk mengevaluasi derajat ketoksikan akibat pemberian dosis obat dalam
jangka panjang.Jangka waktu penelitian berupa 21-28 hari untuk uji dermal dan 28-90 hari untuk uji per oral.Uji ini dapat
memberikan informasi mengenai organ target dan potensial obat yang diuji untuk berakumulasi dalam tubuh (Hodgson,
E., 2004).
Menurut penelitian sebelum ini, telah dilaporkan bahwa ekstrak etanol herba putri malu dosis 250 mg/kg bb
memberikan efek antiinflamasi dan analgetika. Ini menunjang pemilihan dosis 250 mg/kg bb untuk dilakukan pengujian
toksisitas subkronik (Sumiwi, 2014 , Sumiwi, 2017). Derajat ketoksikan akut ekstrak putri malu terbukti cukup
345
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
rendah.Pemberian dosis yang sangat tinggi yaitu, 2000 mg/kg bb pada mencit baru dapat menimbulkan efek samping
seperti keracunan dan muntah-muntah (Jenova, R., 2009).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, pengaruh penggunaan ekstrak herba putri malu pada penggunaan
jangka panjang. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai dasar untuk pengujian dan penelitian lain yang dapat
mengungkap dengan lebih mendalam mengenai efek toksik ekstrak putri malu yang digunakan secara luas.
346
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
7. Untuk menguji adanya perbedaan nyata mengenai pengaruh pemberian ekstrak etanol herba putri malu terhadap
perkembangan berat badan, darah, dan biokimia darah dilakukan uji Students t-test dengan tingkat kepercayaan
α=0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Determinasi Tumbuhan dan Ekstraksi
Determinasi tumbuhan putri malu (Mimosa pudica Linn.) dilakukan di Herbarium Jatinangor, Laboratorium
Taksonomi Tumbuhan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran,
Jatinangor.Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dengan cairan penyari etanol 70%.Etanol 70% digunakan
sebagai cairan penyari karena dapat melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia.
Kandungan air yang tinggi pada etanol 70% menyempurnakan proses ekstraksi karena herba diekstraksi dalam bentuk
simplisia yang merupakan tumbuhan kering dengan kandungan air yang lebih sedikit
Pengujian Toksisitas Subkronik
Berikut ini adalah hasil pengujian yang dilakukan ke atas hewan uji yaitu tikus putih jantan dan betina galur
Wistar, yang meliputi parameter berat badan, karakteristik urin, hematologi, biokimia darah, indeks organ dan
histopatologi.
Perkembangan Berat Badan
Berdasarkan hasil perkembangan berat badan tikus jantan dan betina kelompok uji dan kontrol negatif, dapat
dikatakan bahwa perkembangan berat badan tikus jantan kelompok uji lebih baik berbanding kontrol negatif. Tikus betina
kelompok uji pula mengalami perkembangan berat badan yang hampir sama dengan kontrol negatif. Penilaian ini dapat
dilihat pada rata-rata perkembangan berat badan di tabel 1 dan 2. Berdasarkan hasil analisis statistika didapati bahwa
perkembangan berat badan rata-rata dari hari ke-0 sampai hari ke-91 tikus jantan dan betina kelompok uji tidak berbeda
secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol negatif.
Karakteristik Urin
Hasil pengamatan karakteristik urin yang meliputi parameter leukosit, nitrit, urobilinogen, protein, pH, eritrosit,
berat jenis, keton, bilirubin, dan glukosa pada tikus jantan dan betina kelompok uji dan kontrol negatif pada hari ke-91
menunjukkan perbedaan signifikan pada beberapa parameter yaitu protein, keton dan leukosit. Hasilnya dapat
dilihat pada Tabel 1.
Hematologi
Kadar hemoglobin, jumlah eritrosit , jumlah leukosit, jumlah trombosit dan kadar hematocrit rata-rata hari ke 91
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kadar rata – rata parameter Hematologi kelompok uji dan kontrol pada hari ke 91
KELOMPOK Parameter Hematologi
347
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Kadar hemoglobin rata-rata hari ke-91 tikus jantan dan betina kelompok uji dan kontrol negatif secara statistik
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini berarti bahwa pemberian ekstrak etanol herba putri malu selama
90 hari tidak memberikan pengaruh terhadap kadar hemoglobin tikus jantan dan betina.
Jumlah eritrosit rata-rata hari ke-91 pada tikus jantan dan betina kelompok uji dan kontrol negatif secara statistika
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan walaupun jumlah eritrosit pada tikus jantan dan betina kelompok uji lebih
rendah daripada kelompok kontrol negatif.Hal ini berarti bahwa pemberian ekstrak etanol herba putri malu selama 90 hari
tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah eritrosit tikus jantan dan betina.
Jumlah leukosit rata-rata hari ke-91 pada tikus jantan dan betina kelompok uji dan kontrol negatif dapat dilihat
pada Tabel 5.Hasil analisis statistika tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan walaupun jumlah leukosit pada tikus
jantan kelompok uji lebih rendah daripada kelompok kontrol negatif.Hal ini berarti bahwa pemberian ekstrak etanol herba
putri malu selama 90 hari tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah leukosit tikus jantan dan betina.
Nilai hematokrit rata-rata hari ke-91 pada tikus jantan dan betina kelompok uji dan kontrol negative secara
statistika tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.Hal ini berarti bahwa pemberian ekstrak etanol herba putri malu
selama 90 hari tidak memberikan pengaruh terhadap nilai hematokrit tikus jantan dan betina.
Jumlah trombosit rata-rata hari ke-91 pada tikus jantan dan betina kelompok uji dan kontrol negatif secara
statistika tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.Hal ini berarti bahwa pemberian ekstrak etanol herba putri malu
selama 90 hari tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah trombosit tikus jantan dan betina.
Tabel . Biokimia Darah
KELOMPOK Parameter Biokimia Klinik
348
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Fungsi Hati
Kadar SGOT dan SGPT tikus jantan dan betina kelompok uji menunjukkan peningkatan dibandingkan kontrol
negatif walaupun secara statistika tidak berbeda secara signifikan kecuali kadar SGOT tikus betina. Hal ini berarti bahwa
pemberian ekstrak etanol herba putri malu selama 90 hari hanya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar
SGOT tikus betina kelompok uji sedangkan kadar SGPT tidak dipengaruhi. Kemungkinan tikus betina lebih sensitif
terhadap pemberian ekstrak etanol herba putri malu daripada tikus jantan. Kadar SGOT rata-rata hari ke-91 dan kadar
SGPT rata-rata hari ke-91 pada tikus jantan dan betina kelompok uji dan kontrol negative secara statistika tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan walaupun terdapat peningkatan pada kadar SGPT tikus jantan dan betina
kelompok uji dibandingkan kontrol negatif. Hal ini berarti bahwa pemberian ekstrak etanol herba putri malu selama 90
hari tidak memberikan pengaruh terhadap kadar SGPT tikus jantan dan betina.
Fungsi Ginjal
Kadar urea dan kreatinin tikus jantan dan betina kelompok uji menunjukkan peningkatan dibandingkan kontrol
negatif walaupun secara statistika tidak berbeda secara signifikan. Hal ini berarti bahwa pemberian ekstrak etanol herba
putri malu selama 90 hari tidak memberikan pengaruh pada kadar urea. Kadar urea tikus jantan dan betina kelompok uji
dan kontrol negatif dan kadar kreatinin rata-rata hari ke-91 pada tikus jantan dan betina kelompok uji dan kontrol negative
secara statistika tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan walaupun terdapat peningkatan pada kadar urea dan
kreatinin tikus jantan dan betina kelompok uji dibandingkan kontrol negatif. Hal ini berarti bahwa pemberian ekstrak
etanol herba putri malu selama 90 hari tidak memberikan pengaruh terhadap kadarurea dan kreatinin tikus jantan dan
betina.
Indeks Organ
Gambaran mengenai pengaruh pemberian ekstrak etanol herba putri malu terhadap indeks organ hati tikus jantan
dan betina kelompok uji dan kelompok kontrol negatif dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
3.6
P
e 3.4
r
s e 3.2
Uji
e 3
(
n % Kontrol Negatif
)
t 2.8
a Jantan Betina
s
Kelompok
Gambar 1. Histogram indeks organ hati tikus jantan dan betina kelompok uji dibandingkan kelompok kontrol negatif
Gambar 1menunjukkan indeks organ hati tikus jantan kelompok uji lebih besar dibandingkan kontrol negatif. Ini
terjadi karena adanya perlemakan hati kemungkinan terjadinya inflamasi yang juga dapat dinilai melalui peningkatan
kadar enzim hati secara biokimia darah dan pengamatan secara histopatologi dimana adanya vakuolisasi dan
ketidakutuhan pada sinusoid hati tikus jantan kelompok uji. Faktor kemungkinan yang menyebabkan indeks organ hati
tikus betina kelompok uji lebih kecil berbanding tikus betina kelompok kontrol negatif adalah, terjadinya sirosis hati
(Gough, A., 2007). Pengecilan hati merupakan salah satu gejala terjadinya sirosis hati yang juga dapat dilihat melalui
349
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
kadar SGOT yang mengalami peningkatan yang signifikan dan SGPT yang turut meningkat. Secara histopatologi, tikus
betina kelompok uji mengalami vakuolisasi dan ketidakutuhan pada sinusoid dan vena sentralis yang mendukung
terjadinya gangguan secara struktural sel berbanding kelompok kontrol negatif.
0.5
P
e 0.4
r 0.3
s e
e ( 0.2 Uji
n % 0.1 Kontrol Negatif
)
t
a 0
s Jantan Betina
Kelompok
Gambar 2.Histogram indeks organ ginjal tikus jantan dan betina kelompok uji dibandingkan kelompok kontrol negatif
Gambar 2 menunjukkan indeks organ ginjal tikus jantan kelompok uji lebih kecil berbanding tikus jantan kelompok
kontrol negatif dan indeks organ ginjal tikus betina kelompok uji dan kontrol negatif hampir sama. Penurunan pada indeks
organ ginjal tikus jantan kelompok uji dapat dikaitkan dengan kemungkinan terjadinya nefropati kronik yang bersifat
progresif atau fibrosis interstisial.Gangguan ini terjadi akibat toksik dan didukung oleh peningkatan serum kreatinin,
adanya proteinuria dan secara histopatologi terjadi ketidakutuhan pada vena sentralis dan sinusoid yang merupakan gejala
terjadinya gangguan nefropati kronik (Percy dan Barthold, 2007).
Gambar 3 Sayatan melintang hati tikus kontrol, kiri 100x., kanan 400x.
Keterangan : V=Vena sentralis,
H=Hepatosit,
S=Sinusoid.
350
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
351
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Gambaran histopatologi ginjal yang ditunjukkan pada Gambar 4.5 dan 4.6, menunjukkan pada tikus jantan dan betina
kelompok uji adanya nekrosis segmen-segmen pendek tubulus.Kebanyakan lesi terlihat pada bagian lurus tubulus
kontortus proksimalis, tetapi tidak ada segmen tubulus kontortus proksimalis dan tubulus kontortus distalis yang tersisa
baik.Nefrositik ginjal bengkak, berwarna merah dan sering ditemukan vakuolisasi sel epitel tubulus, kerusakan terbanyak
di tubulus kontortus proksimal.Tampak adanya degenerasi tubulus kontortus proksimal yang mengandung debris, tetapi
membrana basalis utuh.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian, ekstrak etanol herba putri malu dosis 250 mg/kg bb yang diberikan pada tikus
selama 90 hari tidak mempengaruhi secara signifikan perkembangan berat badan, parameter hematologi, parameter
biokimia fungsi hati (SGOT) dan fungsi ginjal (SGPT) walaupun ada peningkatan SGPT tikus betina yang signifikan
pada (α=0.05), dan perubahan pada indeks organ hati dan ginjal serta sel organ hati dan ginjal tikus jantan dan betina
kelompok uji secara histopatologi
DAFTAR PUSTAKA
Ariens, E.J., Simonis, A.M., Offermeier, J. 1986. Toksikologi Umun Pengantar. terjemahan Wattimena, J.R., Widianto, M.B., Sukandar, E.Y. Gajah
Mada Univ. Press. Yogya.
Departemen Kesehatan RI. 2000. Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional.Direktorat Jendral POM Direktorat Pengawasan ObatTradisional.
Jakarta.
Donatus, I.A. 2001. Toksikologi Dasar. Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi.UGM Press. Yogyakarta
Hodgson, E. 2004.A Textbook Of Modern Toxicology3rdedition. John Wiley & Sons, Inc. Hoboken, New Jersey.
Jennes, F., Flaws, B. 2004.Herb Toxicities And Drug Interactions: A Formula Approach. Blue poppy Press. Boulder, CO.
Jenova, R. 2009. Uji Toksisitas Akut Yang Diukur Dengan Penentuan LD50 Ekstrak herba putri malu (mimosa pudica l.) terhadap mencit
balb/c. SKRIPSI, Universitas Diponegoro
Karthikeyan, Deepa. 2009. Antinociceptive Activity of Mimosa pudica Linn.Iranian Journal of Pharmacology and Therapeutics. Vol. 9(1)
Sumiwi, S.A., Yasmiwar S., Ahmad Muhtadi., et al., 2014, Anti-inflamatory and Analgesic Activities of Mimosa pudica L. Herr Extract, International
Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Research, Vol. 1(4): 6-12.
Sumiwi , S.A., Marline A, Kirthika , et.al., 2017, Inhibition of Uric Acid Formation by Mimosa pudica L. Herb Extract Tablets, Research Journal of
Pharmaceutical, Biological and Chemical Sciences, ISSN: 0975-8585, 8(1S), page 236
352
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Minyak kayu manis berpotensi besar dalam aplikasi obat. Minyak tersebut semakin banyak diminati di berbagai negara. Potensinya semakin banyak
diteliti, seperti antijamur, antibakteri, antioksidan, dan antidiabet. Namun, penggunaan langsung minyak tersebut mengalami banyak masalah karena
sifatnya yang volatil, mudah teroksidasi, mudah terhidrolisis, dan dikatalisis oleh cahaya atau logam. Mikroenkapsulasi dapat digunakan untuk
mengkonversi minyak tersebut menjadi bubuk sehingga lebih efektif dalam penggunaannya. Kitosan digunakan sebagai penyalut karena sifatnya yang
polikationik, nontoksik, bioadesif, biokompatibel, dan biodegradabel. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah minyak kayu manis dapat
dimikroenkapsulasi dengan penyalut kitosan dan melihat karakteristik mikrokapsulnya. Metode mikroenkapsulasi yang digunakan adalah spray drying
dengan membuat tiga perbandingan antara minyak kayu manis dan kitosan yaitu 1:2, 1:4, dan 1:6. Karakteristiknya diamati dengan melihat distribusi
ukuran partikel pada mesh no. 20, 40, dan 100, morfologinya diamati dengan menggunakan SEM. Hasil penelitian menunjukkan perbandingan 1:2, 1:4,
1:6 menghasilkan rendemen masing-masing adalah 38,09%, 27,43%, dan 38,37%. Morfologi permukaan pada perbandingan 1:2 bulat dan rata,
sedangkan 1:4 dan 1:6 terlihat banyak yang kisut. Hasil XRD mikrokapsul berbeda dari kitosan. Analisis GC-MS dari mikrokapsul pada ketiga formula
menunjukkan senyawa-senyawa yang berbeda dari minyak kayu manis murni. Dari penelitian dapat disimpulkan minyak kayu manis belumbisa disalut
dengan kitosan.
Kata Kunci : Minyak kayu manis, mikroenkapsulasi, spray drying, dan kitosan.
ABSTRACT
Cinnamon oils have a great potential in medicinal applications. The oils is increasingly in demand in various countries. The potential is more researched,
such as antifungal, antibacterial, antioxidant, and antidiabet. However, the direct use of oils have problems because its volatile, oxidized, hydrolysed,
and catalyzed by light or metal. Microencapsulation cans to convert the oil into a powder so it is more effective in their use. Chitosan is used as a coating
because it is polycationic, nontoxic, bioadhesif, biocompatible, and biodegradable. The purpose of this study was to microencapsulate oils by chitosan
and observe its characteristics. Microencapsulation’s method is spray drying. The comparisons between the oils and chitosan is 1:2, 1:4, and 1:6. The
characteristics observed by the distribution of particle size on the mesh no. 20, 40, and 100, morphology by SEM. The results show comparisons 1:2,
1:4, 1:6 respectively producing yield is 38.09%, 27.43% and 38.37%. Morphology in the ratio of 1:2 are round and flat, while the 1:4 and 1:6 looks
much wrinkled. XRD results showed different between chitosan and microcapsules. GC-MS analysis of the microcapsules show different compounds
of pure cinnamon oil. From the research we can conclude cinnamon oil haven’t been coated with chitosan.
PENDAHULUAN
Minyak atsiri merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang volatil dan bukan merupakan senyawa murni
tetapi tersusun atas beberapa komponen yang mayoritas berasal dari golongan terpenoid (Wijayanti dkk., 2010).
Produksi minyak atsiri mengalami perkembangan yang cukup pesat baik dalam skala nasional maupun
internasional. Permintaan dunia akan minyak atsiri berada di kisaran 120-150 ton/5 tahun (1987-1992). Amerika Serikat
dan Eropa Barat adalah pasar utamanya, disusul Prancis, Inggris, dan Hongkong (Wangsa dkk., 2006). Hal ini merupakan
salah satu faktor yang menjadikan beberapa negara produsen minyak atsiri semakin meningkatkan komoditi ekspor.
(Wijayanti dkk., 2010). Pada tahun 2004 ekspor Indonesia minyak atsiri adalah 2.633 ton (Kurniawan dkk., 2011).
Salah satu tumbuhan yang beraroma dan potensial menghasilkan minyak atsiri adalah Cinnamomum burmanii atau
Kayu Manis (Wijayanti dkk., 2010). Minyak kayu manis atau Cinnamomum oil (CO) dipercaya sebagai minyak esensial
yang bernilai tinggi (Wangsa dkk., 2006).Berbagai penelitian sedang berkembang untuk menggali potensi CO dalam
aplikasi obat. Minyak atsiri kayu manis diketahui memiliki aktivitas antibakteri, insektisida, dan antioksidan (Wijayanti
dkk., 2010). Ia juga memiliki aktivitas antijamur pada konsentrasi 6,25% (Dian, 2008). Namun, sifat minyak atsiri yang
353
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
volatil masih menjadi masalah sehingga lebih sulit untuk diaplikasikan (Ayala et al., 2007). Minyak atsiri juga mudah
teroksidasi oleh adanya panas, udara atau oksigen, kelembaban serta dikatalisis oleh cahaya dan logam (Fu’at, 2010).
Mikroenkapsulasi dapat digunakan untuk menangani masalah-masalah minyak atsiri tersebut. Teknologi ini dapat
mengkonversi suatu cairan menjadi bubuk dengan cara membungkus cairan tersebut dalam suatu bahan pengkapsul dalam
ukuran yang sangat kecil (0,2-5.000 µm). Dalam bentuk bubuk, penangananan, penakaran dan pencampurannya ke dalam
makanan dan minuman menjadi lebih mudah. Karena terbungkus di dalam kapsul, cairan atau bahan aktif tersebut
terlindungi dari pengaruh lingkungan yang merugikan seperti kerusakan-kerusakan akibat oksidasi, hidrolisis, penguapan
atau degradasi panas. (Yuliani dkk., 2007).
Beberapa peneliti mulai mengembangkan ide tersebut. Bubuk mikrokapsul minyak atsiri jahe yang baik diperoleh
menggunakan penyalut kitosan dengan perbandingan minyak atsiri jahe dan kitosan (1:2) (Wawensyah, 2006). Bubuk
minyak ikan lemur yang baik diperoleh menggunakan penyalut gum arab:gelatin, dengan perbandingan 1:3 antara minyak
ikan lemuru dan gum arab:gelatin (3:1) (Yogaswara, 2008). Penambahan material penyalut dalam mikroenkapsulasi juga
harus bisa melepaskan material inti yang diselaputinya sewaktu dikonsumsi (Kim and Morr, 1996; Ahza dan Asep, 1997).
Kitosan bersifat non toksik, biokompatibel, biodegradabel, dan polikationik dalam suasana asam dan dapat
membentuk gel karena adanya ikatan silang kitosan-kitosan yang terjadi secara ionik. Kitosan juga memiliki struktur yang
hampir sama dengan selulosa. Kitosan merupakan matriks yang baik dalam sistem pengantaran obat. Studi sebelumnya
menunjukan bahwa kitosan dapat digunakan sebagai penyalut obat antiperadangan ketoprofen dan propanolol
hidroklorida (Herdini dkk, 2010). Dalam penelitian ini, CO akan coba dimikroenkapsulasi dengan penyalut kitosan.
354
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Sejumlah 3,5g bahan kitosan disuspensikan ke dalam 300 ml asam asetat 1% dan diaduk dengan homogenizer
pada kecepatan 7500 rpm selama 10 menit. Sejumlah 1,75 g minyak kayu manis dilarutkan ke dalam 100 ml etanol 95%
dan diaduk menggunakan batang pengaduk. Kemudian keduanya dicampurkan dan diaduk menggunakan homogenizer
pada kecepatan 7500 rpm selama 10 menit sambil ditambahkan tween 80 sebanyak 5 ml hingga terbentuk emulsi dengan
perbandingan minyak kayu manis: kitosan (1:2).
Campuran selanjutnya dikeringkan dengan spray dryer pada laju umpan 20 ml/menit, suhu inlet 170-173oC, dan
suhu outlet 75-80o C. Bubuk yang dihasilkan merupakan mikrokapsul yang siap untuk dianalisis. Hal ini juga dilakukan
dengan membuat minyak kayu manis dan kitosan dengan perbandingan 1:4 dan 1:6.
B. Rendemen Mikrokapsul
Setelah diperoleh mikrokapsul dari hasil spray drying, dihitung rendemen yang diperoleh dengan membandingkan
berat kitosan dan CO setelah pengeringan dengan berat total kitosan dan CO sebelum pengeringan, dihitung persentasinya.
C. Pengujian Mikrokapsul Minyak Kayu Manis
Pengujian mikrokapsul untuk mengetahui karakteristik mikrokapsul CO yang dihasilkan. Pengujian mikrokapsul meliputi
ukuran dan distribusi ukuran; morfologi mikrokapsul; kandungan CO dalam mikrokapsul; dan persen penjeratan.
1. Ukuran dan distribusi ukuran mikrokapsul
Penetepan ukuran dan distribusi ukuran mikrokapsul dilakukan menggunakan pengayak otomatis yang terdiri dari tiga
buah mesh dengan no. 20, 40, dan 100, yang disusun dari bawah dimulai dengan ukuran terkecil sampai ukuran terbesar.
Mikrokapsul ditimbang dan distribusi ukuran diperoleh dengan menghitung persentase bobot yang diperoleh pada tiap
ukuran terhadap bobot total mikrokapsul yang diperoleh.
2. Morfologi mikrokapsul
Penetapan morfologi mikrokapsul menggunakan alat Scanning Electron Microscope (SEM). Prosedur pemotretan
menggunakan SEM adalah sebagai berikut:
a. Sampel mikrokapsul diletakkan pada specimen holder
b. Dibersihkan dengan hand blower
c. Diberi lapisan tipis oleh emas-paladium (Au: 80% dan Pd: 20%)
d. Dimasukkan ke dalam specimen chamber pada alat SEM untuk dilakukan pemotretan.
3. Analisis XRD
Sampel yang masuk sudah dalam keadaan halus (200#) langsung diamasukkan kedalam sample holder atau ditabur
diatas kaca apabila sampel dalam jumlah sedikit.Sampel tersebut diratakan menggunakan kaca preparat selanjutnya kaca
yang sudah ditaburi sampel tersebut siap untuk diambil datanya. Lakukan pemanasan alat dengan memilih tombol
Breeding pada menu Generator. Selanjutnya naikan KV dari 20, 30, dan 40KV dan naikkan mA dari 5, 10, 20 dan 30
mA. Pengukuran dimulai dari 4-600θ sampai selesai kurang lebih 4 menit.
4. Analisis GC-MS
Mikrokapsul dilarutkan dengan pelarut etanol 95% dalam beaker glass lalu didekantasi, selanjutnya supernatant di
masukkan dalam labu ukur 250 ml dan ditambahkan etanol 95% hingga batas ukur. Sejumlah larutan diambil dari labu
ukur tersebut dan dianalisis dengan menggunakan instrument GC-MS Ion Trap (Varian Saturn 2000) dengan kolom
kapiler VF-17MS (Varian) panjang kolom 30 m dan diameter 0,25 mm. Gas pembawa argon dengan laju alir 1mL/menit
dengan tekanan 10 Psi, volume injeksi : 0,5 µL, suhu injektor 240oC, suhu detektor 280oC, suhu kolom diprogram dari
70oC sampai 260oC dengan dua tahap kenaikkan. Suhu awal 70oC dipertahankan selama 3 menit, selanjutnya suhu
355
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
dinaikkan menjadi 150oC dengan laju kenaikkan 5oC/menit. Selanjutnya suhu dinaikkan menjadi 260oC dengan laju
kenaikkan 3oC/menit. Dan suhu 260oC dipertahankan selama 15 menit. Komponen minyak atsiri diidentifikasi dengan
kromatografi gas-spektroskopi massa yang kemudian dibandingkan kemiripannya dengan bank data yang ada di
computer. Bank data yang digunakan berasal dari Wiley Library.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Formulasi mikrokapsul
Pada penelitian ini coba dilakukan studi pendahuluan untuk melihat perbandingan yang paling baik antara minyak
kayu manis dengan penyalut kitosan. Dibuat 3 formulasi secara trial dan error menggunakan perbandingan minyak kayu
manis dan kitosan yaitu 1: 2, 1:4, 1:6 seperti yang tertera pada tabel 1.
Tabel 1. Formula mikrokapsul dengan rasio 1:2, 1:4, dan 1:6
Rasio Minyak Kayu Manis
Formula dan Kitosan
1: 2 1: 4 1: 6
Minyak Kayu 1,75 g 1,75 g 1,75 g
Manis
Etanol 95% 100 ml 100 100 ml
ml
Kitosan 3,5 g 7g 10,5 g
Asam asetat 300 ml 500 700 ml
glasial 1% ml
Tween 80 5 ml 5 ml 5 ml
Pada saat proses pembuatan emulsi minyak kayu manis dan kitosan terlebih dahulu dilarutkan dalam pelarutnya
masing-masing. Minyak kayu manis dilarutkan dalam etanol 95% dan kitosan dilarutkan dalam asam cuka 1%. Hal ini
dilakukan agar membantu terbentuknya emulsi yang baik ketika keduanya dicampurkan.
Sejumlah 3,5 g kitosan dimasukkan dalam 300 ml asam cuka 1% dan diaduk dengan homogenizer dengan
kecepatan 7500 rpm sampai terbentuk suspensi yang baik. Sedangkan 1,75 g minyak kayu manis dilarutkan ke dalam 100
ml etanol 95% dan diaduk hingga homogen. Lalu larutan minyak kayu manis dicampurkan dengan suspensi kitosan secara
perlahan sambil diaduk dengan homogenizer pada kecepatan 14.000 rpm sampai terbentuk emulsi. Sebanyak 5 ml tween
80 ditambahkan pada campuran untuk menurunkan tegangan permukaan dan menjaga kestabilan emulsi yang terbentuk.
Tween 80 berfungsi sebagai emulgator dalam campuran tersebut.
Apabila tidak ditambahkan emulgator, emulsi yang terbentuk cenderung memiliki tegangan permukaan yang
sangat tinggi atau sangat kental sehingga dapat menghambat proses pengeringan dengan spray dryer. Kecepatan
pengadukan akan mempengaruhi bentuk dan ukuran mikrokapsul yang dihasilkan. Pada pengadukan yang lambat akan
dihasilkan mikrokapsul dengan ukuran partikel yang lebih besar karena selama proses pengadukan terbentuk tetesan-
tetesan dengan ukuran partikel yang lebih besar sehingga ukuran mikrokapsul juga berukuran besar. Sebaliknya pada
penegadukan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terbentuknya mikrokapsul dengan ukuran yang lebih kecil.
Kesempurnaan penyalutan pada mikrokapsul juga dipengaruhi oleh lamanya pengadukan.
356
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
F1 F2 F3
Gambar 1. Rendemen Mikrokapsul
Rendemen
Rendemen mikrokapsul yang diperoleh dari minyak kayu manis dan kitosan dengan tiga macam variasi enkapsulan
seperti yang disebutkan dalam metode penelitian diperoleh hasil seperti yang dicantumkan dalam tabel 2.
Tabel 2. Rendemen mikrokapsul
Berat Berat
Rasio Rende-
For- Sebelum Sesudah
(CO:Ki men
mula pengeri- pengeri-
tosan) (%)
ngan (g) ngan (g)
1 1: 2 5,25 2 38,09
2 1: 4 8,75 2,4 27,43
3 1: 6 12,25 4,7 38,37
Dari penelitian diperoleh rendemen terbesar yaitu 38,37% pada formula 1 dengan rasio 1:6. Sedangkan rendemen
terkecil yaitu 27,43% pada formula 2 dengan rasio 1:4. Hasil ini tidak signifikan melihat rendemen yang dihasilkan pada
formula 2 lebih kecil dari formula 1. Penambahan jumlah kitosan berbanding lurus dengan rendemen yang dihasilkan.
Hasil yang tidak signifikan bisa terjadi karena adanya perbedaan kualitas emulsi yang dibuat sebelum proses spray
drying terjadi. Viskositas yang semakin tinggi dapat menghasilkan rendemen mikrokapsul yang semakin besar. Namun,
perlu diperhatikan viskositas yang terlalu tinggi dapat menghambat proses spray drying karena sampel yang terlalu kental
tidak dapat dialirkan melalui spray dryer.
Pembuatan emulsi yang baik dipengaruhi oleh formulasi yang digunakan. Pada percobaan dilakukan secara trial
and error sampai diperoleh formula yang baik untuk digunakan. Pada ketiga formula tersebut diberikan perlakuan yang
357
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
sama. Namun, perbedaan hasil emulsi yang diperoleh bergantung pada distribusi minyak kayu manis dalam larutan
kitosan tersebut. Formula 2 diduga mengalami distribusi minyak kayu manis yang kurang merata dalam larutan kitosan.
Distribusi tersebut mempengaruhi jumlah rendemen yang dihasilkan lebih sedikit dari formula 1.
Pengukuran dan distribusi ukuran mikrokapsul
Penetepan ukuran dan distribusi ukuran mikrokapsul dilakukan menggunakan pengayak yang terdiri dari tiga buah
pengayak dengan no. 20, 40, dan 100, yang digunakan dari pengayak dari nomor terkecil sampai terbesar. Mikrokapsul
ditimbang dan distribusi ukuran diperoleh dengan menghitung persentase bobot yang diperoleh pada tiap ukuran terhadap
bobot total mikrokapsul yang diperoleh.
Pada formula 1 ditemukan 100% serbuk mikrokapsul pada pengayak no. 20 yang menunjukkan penyebarannya
dalam ukuran 850 µm, 75,28% serbuk mikrokapsul pada pengayak no. 40 yang menunjukkan penyebarannya dalam
ukuran 425 µm, 67,53 % serbuk mikrokapsul pada pengayak no. 100 yang menunjukkan penyebarannya dalam ukuran
150 µm.
Pada formula 2 ditemukan 100% serbuk mikrokapsul pada pengayak no. 20 yang menunjukkan penyebarannya
dalam ukuran 850 µm, 61,10% serbuk mikrokapsul pada pengayak no. 40 yang menunjukkan penyebarannya dalam
ukuran 425 µm, 55,98 % serbuk mikrokapsul pada pengayak no. 100 yang menunjukkan penyebarannya dalam ukuran
150 µm.
Pada formula 3 ditemukan 100% serbuk mikrokapsul pada pengayak no. 20 yang menunjukkan penyebarannya
dalam ukuran 850 µm, 67,23% serbuk mikrokapsul pada pengayak no. 40 yang menunjukkan penyebarannya dalam
ukuran 425 µm, 64,90 % serbuk mikrokapsul pada pengayak no. 100 yang menunjukkan penyebarannya dalam ukuran
150 µm. Seperti terlihat pada tabel 3.
Morfologi Mikrokapsul
Terlebih dahulu mikrokapsul dilapisi logam platina-emas yang bertujuan agar mudah dilalui arus karena sifat dari
emas dan platina yang inert. Mikrokapsul kemudian diletakkan di tempat sampel dan diamati dengan perbesaran 1500
kali. Mikrokapsul pada tiap rasio memiliki diameter beragam, yaitu 0,5-10mikrom. Diameter mikrokapsul ini tergantung
pada ukuran nozzle dari alat spray dryer. Semakin kecil lubang nozzle, diameter mikrokapsul semakin kecil. Demikian
halnya jika semakin besar ukuran nozzle, maka diameter mikrokapsul yang terbentuk semakin besar. Dari diameter dapat
dikatakan bahwa kapsul yang diamati dikategorikan sebagai mikrokapsul.
358
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
F1 F2 F3
Gambar 2. Morfologi mikrokapsul pada SEM
Secara umum morfologi mikrokapsul pada formula 3, seperti terlihat pada gambar2 di atas, memiliki bentuk kisut
yang cukup banyak. Dari gambar hasil SEM tersebut terdapat beberapa mikrokapsul yang dapat dijadikan petunjuk
mengenai jenis mikrokapsul minyak kayu manis tersebut. Gambar 7 memperlihatkan mikrokapsul dengan struktur
permukaan yang terlipat ke dalam yang dapat menandakan bahwa terdapat rongga kosong di dalamnya. Lipatan ke dalam
tersebut akibat keadaan vakum ketika pengambilan gambar oleh alat SEM. Jika tidak dalam keadaan vakum, diperkirakan
rongga tersebut berisi udara dengan rongga tunggal. Keadaan vakum ini juga yang mengakibatkan semua mikrokapsul
memiliki struktur permukaan kisut karena kulit mikrokapsul tertarik ke dalam akibat udara dalam rongga yang
dikeluarkan. Mikrokapsul pada F1 memiliki struktur permukaan yang tidak terlalu kisut jika dibandingkan dengan
mikrokapsul pada F2 dan F3. Perbedaan ini terlihat pada gambar.
Hal ini disebabkan hanya sedikit udara yang ada di dalam rongga akibat adanya minyak atsiri yang terkandung di
dalamnya. Struktur morfologi terlihat bulat dengan ukuran yang beragam. Bulat atau tidaknya mikrokapsul sangat
bergantung pada minyak atsiri yang terkungkung di dalam rongga mikrokapsul. Semakin banyak minyak kayu manis
yang terkandung maka bentuk mikrokapsul dengan rasio 1:2 akan semakin bulat sempurna tanpa adanya kerutan di
permukaan. Dari gambar dapat dilihat bahwa masih terdapat sedikit udara yang ikut terkungkung di dalam rongga.
Umumnya struktur permukaan mikrokapsul dengan rasio 1:2 memiliki permukaan yang sangat kaku. Hal ini akibat
desakan dari minyak atsiri kayu manis yang terkandung di dalam rongganya. Tidak adanya struktur yang kisut karena
tidak ada lagi udara yang terdapat dalam rongga mikrokapsul.
Analisis XRD
Analisis kristalin dilakukan pada mikrokapsul F1, F2, dan F3 dengan menggunakan XRD. Hasilnya dibandingkan
dengan kristalin kitosan murni. Terlihat perbedaan kristalin antara mikrokapsul dengan kitosan seperti pada gambar 3. di
bawah ini.
In tensity (counts )
In tensity (counts )
1500 1500
I ntens ity ( counts )
1500
1000 1000
1000
500 500
500
0 0
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
2Theta (°) 2Theta (°) 0
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
2Theta(° )
359
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Adanya perbedaan tersebut diduga karena pengaruh CO pada kitosan setelah dimikroenkapsulasi. Sisi-sisi kristalin
kitosan direduksi oleh adanya CO dalam mikrokapsul yang dihasilkan.
Analisis GC-MS
Mikrokapsul dengan rasio 1:2, 1:4, dan 1:6 di dekantasi dengan menambahkan 100 ml etanol 95% dan
supernatannya diambil. Supernatannya ditambahkan etanol 95% hingga batas ukur pada labu ukur 250 ml. Kemudian
dilarutkan dengan n-heksana dan dianalisis dengan GC-MS. Minyak kayu manis juga dianalisis dengan GC-MS untuk
melihat perbandingan komponen-komponen kimia dari sampel-sampel yang digunakan. Minyak kayu manis terlebih
dahulu dilarutkan dalam n-heksana.
Hasil analisis sampel-sampel menunjukkan senyawa-senyawa yang berbeda dari senyawa-senyawa yang muncul
pada hasil analisis minyak kayu manis murni. Beberapa diantara senyawa tersebut masih berada dalam satu golongan dan
dan memiliki gugus fungsi yangmirip. Hal ini diduga terjadi karena adanya reaksi-reaksi yang terjadi pada saat
pembentukan emulsi. Diduga minyak kayu manis tidak menempel pada permukaan kitosan, melainkan berinteraksi
menghasilkan senyawa-senyawa yang baru. Senyawa-senyawa tersebut menjadikannya berbeda jika dibandingkan
dengan senyawa-senyawa dari hasil analisis minyak kayu manis murni. Perbedaannya dapat terlihat seperti pada gambar
4. di bawah ini.
F1 CO
F2 F3
Gambar 4. Hasil analisis GC-MS dari CO dan mikrokapsul
Dengan perbedaan komponen-komponen senyawa dari hasil analisis sampelmikrokapsul dan minyak kayu manis
murni, tidak dapat diketahui kadar minyak kayu manis yang dapat dimikroenkapsulasi dengan penyalut kitosan.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa CO belum dapat dimikroenkapsulasi dengan kitosan dengan
mempertimbangkan karakteristik kimianya. Hasil pemeriksaan karakteristik fisik menunjukkan distribusi ukuran
partikelyang tersebar memenuhi syarat rentang ukuran mikrokapsul, hasil analisis dengan SEM menunjukkan morfologi
360
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
yang terbaik ditemukan pada formula 1,hasil XRD menunjukkan adanya perbedaan kristalin mikrokapsul dengan kitosan.
Sedangkan karakteristik kimia menunjukkan perubahan komposisi senyawa CO setelah dimikroenkapsulasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahza, A.B. dan Asep H.S. 1997. Mikroenkapsulasi Campuran Ekstrak Kulit dan Buah Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia SWINGLE.) serta Aplikasinya
pada Teh Celup. Buletin Teknologi dan Industri Pangan. Vol VIII, No. 2.
Ayala, J., Herlinda, S., Alberto, G., Emilio, A., Olga, M. and Gustavo, A. 2007. Microencapsulation of Cinnamon Leaf (Cinnamomum zeylanicum) and
Garlic (Allium sativum) Oils in ß-cyclodextrin. J Incl Phenom Mcrocycl Chem. P. 2
Dian, Monica. 2008. Pemisahan Minyak Atsiri Kayu Manis (Cinnamomum zaylanicum) secara Kromatografi Lapis Tipis dan Aktivitas Antijamur
terhadap Malassezia FurfurIn Vitro. Semarang: Universitas Diponegoro. Hal. 14.
Fu’at, L.A. 2010. Formulasi Salep Minyak Atsiri Kulit Kayu Manis (Cinnamomum burmanii Bl) Basis Lemak dan PEG 4000 dengan Uji Sifat Fisik
Salep dan Uji Aktivitas Antijamur Candida albicans.[Skripsi]. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hal. 5.
Herdini, Latifah K.D., dan Purwantiningsih Sugita. 2010. Disolusi Mikroenkapsulasi Kurkumin Tersalut Gel Kitosan-Alginat-Glutaraldehida.
Makara, Sain. Vol. 14, No.1. P. 57.
Kim, Y.D and Morr, C.V. 1996. Microencapsulation properties of gum Arabic and several food protein:spray dried orange oil emulsion particles. J.
Agric. Food Chem. 44: 1314-1320.
Kurniawan, D, Mohamad Endy, Hermawan Dwi dan Yayang Ade. 2011. Pemanfaatan Minyak Goreng Bekas untuk Pemisahana Patchouli Alkohol
Minyak Nilam dengan Distilasi Ekstraktif. Semarang: Universitas Diponegoro. Hal. 1.
Wangsa, Rasdi dan Sri Nuryati. 2006. Status dan Potensi Pasar Kayu Manis Organik Nasional dan Internasional. Aliansi Organis Indonesia. Hal. 23.
Wawensyah, J.A. 2006. Mikroenkapsulasi Minyak Atsiri Jahe Merah dengan Penyalut Kitosan. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hal. 7.
Wijayanti, W.A., Yulfi Zetra, dan Perry Burhan. 2010. Minyak Atsiri dari Kulit Batang Cinnamomum burmanii (Kayu Manis) dari Famili Lauraceae
sebagai Insektisida Alami, Antibakteri, dan Antioksidan. [Skripsi]. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Hal. 1-2.
Yogaswara, Ghema. 2008. Mikroenkapsulasi Minyak Ikan dari Hasil Samping Industri Penepungan Ikan Lemuru (Sardiniella lemuru) Dengan Metode
Pengeringan Beku (Freeze Drying). [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hal. 14-18.
361
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
ABSTRAK
Insektisida nabati dapat digunakan untuk mengendalikan dan mencegah penyakit yang disebabkan oleh nyamuk. Salah satu alternatif bahan insektisida
nabati adalah daun zodia (Evodia suaveolens Scheff.) yang telah dikenal sebagai tanaman pengusir nyamuk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
efek larvasida dan nilai LC50 dari ekstrak daun zodia terhadap larva nyamuk Aedes albopictus dan Culex spp. Penelitian ini menggunakan ekstrak n-
heksan daun zodia dengan variasi konsentrasi 10 ppm; 31,62 ppm; 99,98 ppm; 316,13 ppm; 1000 ppm dan kontrol. Metode yang digunakan adalah
metode bioassay yang telah distandarisasi oleh WHO (2005). Data hasil penelitian dianalisis menggunakan uji probit. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kematian 50% larva nyamuk Aedes albopictus dan Culex spp. (LC50-24 jam) adalah 106,036 ppm dan 116,9110 ppm. Berdasarkan hasil uji probit
nilai LC50 masuk ke dalam rentang 100-149 ppm maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak n-heksan daun zodia termasuk ke dalam golongan larvasida
dengan tingkat toksisitas moderat tinggi.
ABSTRACT
Plant-based insecticides can be used incontrolling and preventing diseases caused by the mosquitoes. One of the alternative natural insecticide material
is zodia leaves (Evodia suaveolens Scheff.) who has been known as a mosquito repellent plants. This study aimed to determine the effect larvicides
zodia leaves againt Culex spp. mosquitoes’ larvae and find out the value of LC50 extract zodia as larvacidal of mosquito Aedes albopictus and Culex
spp. This study used zodia leaves n-hexane extract with various concentration 10 ppm; 31,62 ppm; 99,98 ppm; 316,13 ppm; 1000 ppm and controls.
The method used is Bioasssay method who is standarised by WHO (2005). Data were analyzed using Probit Regresion. The results showed that 50%
mortality of Aedes albopictus and Culex spp. mosquitoes’ larvae (LC50-24 h) was 106,036 ppm and 116,9110 ppm. Based on the results of probit
analysis from LC50 were entered into the range of 100-149 ppm, it can be concluded that the zodia leaves n-hexane extract including larvicides with a
moderate level of high toxicity.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara beriklim tropis dengan kelembaban dan suhu optimal yang mendukung kelangsungan hidup
nyamuk. Penyakit yang banyak terjadi pada daerah tropis yang disebabkan oleh nyamuk antara lain adalah demam
berdarah, kaki gajah dan malaria (Lailatul et al. 2010).
World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus demam berdarah
tertinggi di Asia Tenggara. Dari jumlah keseluruhan kasus tersebut, sekitar 95% terjadi pada anak di bawah 15 tahun
(Adifian et al. 2013). Nyamuk Aedes berperan sebagai vektor virus dengue penyebab demam berdarah dengue. Di
Indonesia dikenal terdapat 2 vektor virus dengue, vektor utama yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vektor
sekunder, keduanya tersebar diberbagai pelosok tanah air. Kemampuan Aedes aegypti dan Aedes albopictus dalam
menularkan penyakit dengue adalah sama. Tiap daerah di Indonesia memiliki bioekologi yang berbeda dan lingkungan
geografi wilayah Indonesia sangat beragam, 2 faktor inilah yang mendukung penyebaran penyakit demam berdarah selain
faktor kebersihan lingkungan serta pemberantasan nyamuk Aedes yang tidak efektif (Soedarto 2012).
362
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Filariasis adalah penyakit kaki gajah yang disebabkan oleh cacing filaria Wucheria brancofti yang ditularkan oleh
nyamuk Culex spp. Berdasarkan data Departemen Kesehatan RI prevalensi penyakit filariasis menyebar hampir diseluruh
Indonesia dan angka kejadian terus meningkat setiap tahun (Kemenkes RI 2012).
Pemberantasan nyamuk sebagai vektor dapat menggunakan bahan kimia yang berfungsi sebagai larvasida. Larvasida
merupakan zat kimia yang dapat membunuh larva nyamuk. Banyaknya penggunaan bahan kimia oleh masyarakat sebagai
larvasida, banyak menimbulkan dampak buruk bagi manusia maupun lingkungan sekelilingnya. Upaya pengendalian
vektor penyakit dapat dilakukan secara hayati yaitu dengan memanfaatkan tanaman beracun terhadap serangga tetapi
tidak mempunyai dampak buruk terhadap lingkungan dan tidak berbahaya terhadap manusia (Bustam et al. 2012).
Tanaman zodia merupakan tumbuhan asli Indonesia yang berasal dari daerah Irian (Papua) (Kardinan 2004). Zodia
(Evodia suaveolens Scheff.) yang termasuk ke dalam famili Rutaceae, mengandung evodiamin dan rutaekarpin. Kardinan
(2004) menyebutkan dalam hasil penelitian yang dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro)
dengan gas kromatografi, minyak yang disuling dari daun tumbuhan ini mengandung linalool (46%) dan α-pinen
(13,26%). Linalool sudah sangat dikenal sebagai pengusir (repellent) nyamuk.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Istianah dkk (2012) menyatakan bahwa minyak daun jeruk purut (Citrus hystrix)
telah diuji khasiatnya sebagai larvasida terhadap larva nyamuk Aedes aegypti Instar III dengan nilai LC50 sebesar 279,882
ppm. Khasiat larvasida dari daun jeruk purut ini disebabkan karena adanya kandungan senyawa linalool yang terdapat
dalam minyak atsiri daun jeruk purut. Pada penelitian ini digunakan daun zodia yang juga memiliki kandungan minyak
atsiri.
363
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Larva nyamuk Aedes albopictus dan Culex spp. diperoleh dari hasil penangkaran yang dilakukan di Loka Litbang
P2B2 (Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang) Ciamis, Jawa Barat. Telur nyamuk diletakkan dalam sebuah wadah
yang berisi media air selama 1 - 2 hari hingga telur menetas dan menjadi larva instar I. Larva akan berkembang dari instar
I menjadi instar II (2-3 hari) dan selanjutnya Larva instar II berkembang menjadi instar III (2-3 hari). Selama masa
perkembangan larva-larva diberi pakan berupa fish food dengan dosis 10 mg/L (WHO 2005).
Tahap-tahap Pengujian
a. Uji Orientasi
Uji orientasi konsentrasi (uji pendahuluan) larvasida ekstrak n-heksan daun zodia menggunakan variasi konsentrasi
0, 10, 100, dan 1000 ppm. Pengenceran ekstrak menggunakan aquadest dan Tween 80. Konsentrasi 0 ppm digunakan
sebagai kontrol negatif.
b. Uji Larvasida
Penetapan rentang konsentrasi didapatkan berdasarkan hasil uji pendahuluan yang dilakukan pada ekstrak n-heksan
daun zodia yang menyebabkan kematian sekitar 10% (n) dan 90% (N) pada jumlah larva yang digunakan pada uji orientasi
(Priyanto 2009). Dari hasil uji orientasi diperoleh konsentrasi untuk uji lanjutan pada uji larvasida ekstrak n-heksan daun
zodia yaitu 10 ppm, 31,62 ppm, 99,98 ppm, 316,13 ppm dan 1000 ppm. Uji larvasida mengikuti prosedur yang telah
ditetapkan oleh WHO 2005. Jumlah perlakuan dalam penelitian ini terdiri dari 7 kelompok dengan 4 ulangan. Kelompok
penelitian tersebut adalah kelompok kontrol normal (aquadest), kelompok kontrol Tween 80 dan kelompok perlakuan
ekstrak daun zodia dengan 5 variasi dosis. Wadah-wadah gelas yang telah berisi bahan uji disiapkan dan dimasukan
sebanyak 25 larva instar III. Pengamatan jumlah larva nyamuk yang mati dilakukan pada menit ke 15, 30 , 45 serta pada
jam ke 1, 2, 4, dan 24 (Susanti et al. 2012).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses ekstraksi daun zodia menggunakan metode maserasi. Pemilihan metode ini bertujuan untuk menghindari
rusaknya zat akibat proses pemanasan. Proses pembuatan ekstrak ini didasarkan pada kemampuan pelarut organik untuk
menembus dinding sel simplisia dan masuk kedalam organ sel yang mengandung pelarut. Bahan aktif akan larut karena
adanya perbedaan konsentrasi larutan zat aktif di dalam dan di luar sel dari tanaman yang mengakibatkan terjadinya difusi
pelarut organik yang mengandung zat aktif, maka larutan yang terpekat akan terdesak keluar (Sulistiyani, 2015). Ekstrak
n-heksan kental yang diperoleh memiliki rendemen sebesar 2,2253% dan susut pengeringan ekstrak sebesar 2,7139%.
Dari hasil pengujian karakteristik yang dilakukan terhadap ekstrak dan serbuk daun zodia secara organoleptik memiliki
bau yang khas dan rasa pahit baik pada ekstrak maupun serbuk, serbuk daun zodia memiliki warna hijau kekuningan
sedang pada ekstrak berwarna hitam. Serbuk daun zodia berbentuk agak kasar dan ekstrak yang diperoleh dalam bentuk
kental.
364
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
Pengamatan secara makroskopik menunjukan tanaman zodia memiliki karakteristik daun berwarna hijau
kekuningan, beraroma tajam dengan rasa pahit, memiliki tepi daun bergelombang dengan ujung dan pangkal daun
runcing, daunnya memiliki panjang sekitar 20-30 cm dan tinggi pohon mencapai 0,3-2 m. (Kardinan 2005). Sedangkan
pemeriksaan secara mikroskopik terhadap daun zodia diketahui bahwa dalam serbuk simplisia dengan perbesaran 40x
terdapat rambut penutup, rambut kelenjar, kelenjar minyak, dan berkas pembuluh.
Identifikasi senyawa yang terkandung dalam ekstrak n-heksan daun zodia menggunakan metode KLT. Pola
kromatografi ekstrak n-heksan daun zodia menggunakan eluen n-heksan : dietil eter (8:2) dengan pereaksi semprot
KMnO4 0,2% untuk pemeriksaan minyak atsiri menghasilkan 7 bercak dengan masing-masing Rf 0,05 ; 0,08; 0,11; 0,19;
0,31; 0,64 dan 0,92. Warna bercak yang dihasilkan dari rambatan eluen menunjukkan bahwa dalam ekstrak n-heksan
daun zodia mengandung beberapa komponen minyak atsiri. Pola kromatografi ekstrak n-heksan daun zodia menggunakan
eluen etil asetat : kloroform : metanol (1:8:1) secara kualitatif menghasilkan 3 bercak dengan masing-masing Rf
0,5:0,9:0,94 dan diduga ekstrak mengandung senyawa steroid. Bercak dengan Rf 0,94 diduga mengandung senyawa
steroid karena menghasilkan warna hijau kebiruan setelah disemprot dengan pereaksi Liebermann - Burchard sedangkan
pada pemeriksaan senyawa terpenoid menghasilkan 5 bercak namun setelah disemprot dengan asam sulfat 10% yang
menghasilkan perubahan warna terjadi pada Rf 0,92.Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa ekstrak n-heksan
daun zodia memiliki beberapa komponen minyak atsiri, steroid dan terpenoid.
Hasil pengujian efek larvasida dari ekstrak n-heksan daun zodia terhadap larva Aedes albopictus dan Culex spp
dengan waktu pengamatan pada menit ke 15, 30, 45 dan pada jam ke 1, 2, 4 dan 24 jam. Data yang diperoleh adalah
jumlah kematian larva pada tiap kelompok yang diubah kedalam bentuk prosentase kematian bertujuan untuk mengetahui
besarnya aktivitas yang dihasilkan ekstrak n-heksan daun zodia dalam mematikan larva Aedes albopictus dan Culex spp.
Tabel 1. Prosentase Kematian Larva Aedes albopictus dan Culex spp Ekstrak n-Heksan Daun Zodia (Evodia suaveolens
Scheff.) Pada Jam ke 24
Prosentase Kematian Larva
Kelompok perlakuan
Aedes albopictus Culex spp
Kelompok kontrol normal 0 2
Kelompok ekstrak n-heksan 10 ppm 12 13
Kelompok Twen 80 0 1
365
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
120%
100%
80%
Rerata % 60%
Kematian
Larva A.albopictus
Nyamuk 40% Culex spp
20%
0%
Kontrol 10 ppm 31.62 99.98 316.13 1000 Tween
Normal ppm ppm ppm ppm 80
Konsentrasi ekstrak n-heksan daun Zodia
Gambar 1. Grafik Prosentase Kematian Larva Aedes albopictus dan Culex spp
Ekstrak n-Heksan Daun Zodia Pada Jam ke-24
Ketika larva A. albopictus dan Culex spp kontak dengan ekstrak daun zodia, larva akan menunjukkan respon. Respon
berupa gerakan yang tidak teratur (tidak terkendali) yang semakin lama semakin cepat, sehingga menyebabkan larva
kelelahan dan kemudian diikuti dengan kematian. Larva yang tenggelam dan jika diberikan rangsangan tidak memberikan
respon, maka larva dapat dikatakan telah mati. Namun jika diberikan rangsangan berupa sentuhan, larva memberikan
respon bergerak aktif maka larva dapat dikatakan masih hidup.
Dari hasil prosentase kematian larva tersebut, selanjutnya ditentukan nilai LC50 dengan menggunakan analisa probit.
Nilai LC50 ekstrak n-heksan daun zodia terhadap larva nyamuk Aedes albopictus sebesar 106,036 ppm sedangkan efek
larvasida terhadap larva nyamuk Culex spp adalah 116,9110 ppm.
Dalam penelitian ini senyawa yang diduga memiliki aktivitas sebagai larvasida yaitu minyak atsiri karena banyak
penelitian yang menyebutkan bahwa minyak atsiri dari beberapa tanaman dapat digunakan sebagai larvasida nabati salah
satunya penelitian yang dilakukan oleh Susilowati dkk (2008) yang menyebutkan bahwa minyak atsiri daun jeruk purut
sangat efektif sebagai larvasida terhadap Aedes aegypti pada konsentrasi 26,99% sedangkan kurang efektif sebagai
repellent karena LC95 yang didapatkan tak terhingga. Mekanisme minyak atsiri sebagai larvasida yaitu mengganggu
susuran saraf pada larva serta menghambat pertumbuhan larva dengan cara menghambat daya makan larva (Sulistiyani
2015). Daun zodia diketahui mengandung beberapa komponen minyak atsiri, salah satunya linalool yang diduga memiliki
khasiat sebagai pengusir nyamuk maupun larvasida. Linalool bersifat racun kontak yang dapat meningkatkan aktivitas
saraf sensorik pada larva, lebih besar menyebabkan stimulasi saraf motor yang dapat menyebabkan kejang dan
kelumpuhan pada larva (Istianah 2012).
Dengan nilai LC50 yang didapat dalam penelitian ini, berdasarkan Depkes RI (1987) mengenai nilai toksisitas
insektisida maka konsentrasi ekstrak n-heksan daun zodia tergolong dalam toksisitas moderat tinggi, namun hal ini tidak
dapat dikaitkan langsung dengan bahayanya. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk mengendalikan populasi larva A.
366
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN : 978-602-50854-0-6
albopictus dan Culex spp adalah penggunaan larvasida alami ekstrak n-heksan daun zodia. Dari hasil penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat untuk menanggulangi vektor DBD dan filariasis.
KESIMPULAN
Ekstrak n-heksan daun zodia memiliki aktivitas sebagai larvasida terhadap larva nyamuk Aedes albopictus dan Culex
spp Instar III dengan konsentrasi yang dapat mematikan sekitar 50% larva (LC50) sebesar 106,036 ppm dan 116,9110
ppm. Nilai LC50 tersebut termasuk golongan insektisida dengan toksisitas moderat tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Adifian et al. 2013. Kemampuan Adaptasi Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus Dalam Berkembang Biak Berdasarkan Jenis Air. Dalam :
Jurnal Kesehatan Masyarakat. UNHAS, Makassar. Hlm. 1-13.
Bustam et al. 2012. Karakteristik Tempat Perkembangbiakan Larva Anopheles Di Desa Bulubete Kecamatan Dolo Selatan Kabupaten Sigi Provinsi
Sulawesi Tengah. Dalam: Jurnal Kesehatan Lingkungan. FKM UNHAS. Makassar. Hlm. 1-14.
Departemen Kesehatan RI. 1987. Pemberantasan Vektor & Cara-Cara Evaluasinya. Jakarta : DITJEN PPM & PLP; Hlm 6-11, 20-27.
Istianah MA et al. 2012. Efektivitas Biolarvasida Minyak Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix) Terhadap Larva Instar III Nyamuk Aedes aegypti. Dalam:
Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa. UNEJ, Jember. Hlm. 1-4.
Kardinan, Agus. 2004. Zodia (Evodia suaveolens) Tanaman Pengusir Nyamuk.new.litbang.pertanian.go.id/artikel.pdf. Diakses 29 November 2015.
Kardinan, Agus. 2005. Tanaman Pengusir & Pembasmi Nyamuk. Cetakan 5. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Hlm 6-9.
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Profil Kesehatan Indonesia. Dalam: Katalog dalam Terbitan Kementerian Kesehatan RI, Jakarta. Hlm. 99.
Lailatul K.L et al. 2010. Efektivitas Biolarvasida Ekstrak Etanol Limbah Penyulingan Minyak Akar Wangi (Vetiveria zizanoides) terhadap Larva
Nyamuk Aedes aegypti, Culex sp., dan Anopheles sundaicus. Dalam: Jurnal Sains dan Teknologi Kimia. Jurusan Kimia FPMIPA Universitas
Pendidikan Indonesia. Bandung. Hlm. 59-65.
Priyanto. 2009. Toksikologi Mekanisme, Terapi Antidotum, dan Penilaian Resiko. Depok: Leskonfi. Hlm 153-154.
Soedarto. 2012. Demam Berdarah Dengue. CV Sagung Seto. Jakarta. Hlm 69-74.
Sulistiowati, Dyah et al. 2008. Efek Penolak Serangga (Insect Repellent) dan Larvasida Ekstrak Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix D. C.) Terhadap Aedes
aegypti. Dalam : Jurnal Farmasi. Universitas Setia Budi. Surakarta. Hlm 1-9
Sulistiyani, Asih. 2015. Effectiveness of Essential Oil As Larvacide On Aedes aegypti. Dalam : Jurnal Medicine. Universitas Lampung. Lampung. Hlm
1.
Susanti, Lulus et al. 2012. Toksisitas Biolarvasida Ekstrak Tembakau Dibandingkan dengan Ekstrak Zodia Terhadap Jentik Vektor Demam Berdarah
Dengue (Aedes aegypti). Dalam: Buletin Penelitian Kesehatan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit
Salatiga. Hlm. 75-84.
WHO. 2005. Guidelines For Laboratory and Field Testing of Mosquito Larvicides. Geneva. WHO/CDS/WHOPES/GCDPP/2005.13. Hlm
367
Pengaruh Konsentrasi Lesitin terhadap Ukuran dan Stabilitas Etosom
Ekstrak Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix D.C)
Thariq Kawirian1, Dahlia Permatasari1*, Siti Jazimah Iswarin1
1
Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Jalan Veteran, Malang, Indonesia
*[email protected] atau [email protected]
ABSTRAK
Kandungan utama ekstrak daun jeruk purut (Citrus hystrix D.C.) adalah limonene, sitronelal, terpinene-4-ol, dan α-terpineol yang memiliki aktivitas
antimikroba spektrum luas sehingga banyak dimanfaatkan salah satunya adalah untuk terapi jerawat. Saat ini belum banyak dikembangkan sistem
penghantaran obat anti jerawat yang dapat spesifik bekerja pada targetnya. Salah satu sistem penghantaran obat yang dapat dikembangkan untuk terapi
jerawatadalah etosom. Etosom memiliki kemampuan permeasi kedalam kulit lebih baik dibandingkan dengan liposom karena mengandung etanol dalam
konsentrasi yang tinggi. Tujuan dari peneltian ini adalah mengetahui pengaruh jumlah lesitin terhadap ukuran dan stabilitas vesikel etosom ekstrak daun
jeruk purut. Formula etosom meliputi lesitin, etanol dengan konsentrasi yang tinggi, ekstrak dan aquades. Pada penelitian ini konsentrasi lesitin yang
digunakan adalah 1 - 3 %. Etosom yang dihasilkan dikarakterisasi dengan melakukan pengamatan organoleptik, pengukuran diameter vesikel dan nilai
pH serta dilakukan uji stabilitas pada suhu 4°C dan 25°C selama 30 hari. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa semakin besar jumlah lesitin
yang digunakan maka ukuran diameter vesikel etosom yang dihasilkan juga semakin besar. Berdasarkan pengujian stabilita selama 30 hari, formula
etosom yang paling stabil adalah formula dengan lesitin sebanyak 2% atau perbandingan ekstrak daun jeruk purut : lesitin : etanol adalah 0,11 : 2 : 64
dengan ukuran diameter sebesar 4,52 ± 0,39 µm, nilai distribusi sebesar 1,74 ± 0,122, nilai pH sebesar 6,63 ± 0,15 Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa ukuran etosom tidak mengalami perubahan yang signifikan selama 30 hari. Kondisi penyimpanan optimum adalah pada suhu 25°C.
Kata Kunci:Citrus hystrix D.C., ekstrak daun jeruk purut, etosom, uji stabilitas, anti jerawat.
ABSTRACT
The major components of kaffir lime leaves (Citrus hystrix D.C.) extract are limonene, citronellal, terpinene-4-ol, and α-terpineol whichhave broad
spectrum antimicrobial activity and widely used for the treatment of acne. Up to now, drug delivery system for anti-acne has not been developed in
order to specifically work on target. One of the approaches to modulating drug delivery through skin is the use of vesicular system such as ethosomes.
Ethosomes can provide better skin permeation than liposomes since it has high concentration of ethanol. The aim of this study was to determine the
effect of the amount of lecithin to the size and stability of the ethosome vesicles of kaffir lime leaf extract. Ethosomes contain phospholipids, alcohol
in relatively high concentration, extract and water. In this study, the formulations were prepared with variying the quantity of lecithin (1-3%) (w/v).
The resulting ethosomes were characterized for vesicle morphology, particle size, pH value and subjected to stability studies at 4°C and 25°C for 30
days.The results of this study indicated that the higher concentration of lecithin used for ethosomes preparation resulting in larger vesicles. The stability
studies showed that the optimum formula of ethosome contains 2% of lechitin or kaffir lime leaf extract, lecithin and ethanol in ratio 0.11: 2 : 64. The
optimum formula has vesicles diameter of 4.52 ± 0.39 µm, distribution value of 1.74 ± 0.122 and a pH value of 6.63 ± 0.15. Statistical analysis showed
that the size of ethosomes did not change significantly during 30 days. The optimum storage condition is at a temperature of 25°C.
Keywords:anti-acne, Citrus hystrix D.C, ethosomes, kaffir lime leaves extract, stabililty studies
PENDAHULUAN
Daun jeruk purut (Citrus hystrixD.C.) memiliki kandungan utama yaitu limonene (40,65%), sitronelal (80,04%),
terpinene-4-ol (13,71%) dan α-terpineol (13,20%) (Srisukh, et al., 2012). Senyawa-senyawa tersebut diperkirakan
memiliki efek antimikroba spektrum luas (Chanthaphon, et al., 2008). Sifat hidrofob dari minyak atsiri pada ekstrak daun
jeruk purut memiliki potensi untuk berpartisi ke dalam membran sel bakteri dan meningkatkan permeabilitas membran
sel sehingga terjadi kebocoran isi sel bakteri (Srisukh, et al., 2012). Oleh karena itu, ekstrak daun jeruk purut banyak
dimanfaatkan untuk berbagai terapi, salah satunya adalah untuk pengobatan jerawat atau akne vulgaris.Akne vulgaris
adalah penyakit kulit kronis yang terjadi akibat peradangan menahun pilosebaseus yang ditandai dengan adanya komedo,
papul, pustul, nodul dan kista pada wajah, dada, dan punggung bagian atas (Tjekyan, 2008).Patogenesis akne vulgaris
meliputi empat faktor, yaitu hiperproliferasi epidermis folikular yang menyebabkan sumbatan folikel, produksi sebum
dalam jumlah berlebih, inflamasi, dan adanya aktivitas Propionibacterium acnes (P. acnes) (Movita, 2013). Selain itu
bakteri Staphylococcus aureus juga memiliki peran dalam perkembangan akne yaitu meningkatkan hemolisis pada lesi
akne (Hsiehdan Chen, 2012).Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa ekstrak daun jeruk purut mampu
menghambat pertumbuhan bakteri penyebab jerawat seperti Propionibacterium acnes, Staphylococcus aures dan
Staphylococcus epiderdimidis (Srisukh,et al, 2012).
368
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
Terapi akne menggunakan antimikroba harus dirancang agar dapat bekerja spesifik pada lokasi pertumbuhan
bakteri yaitu unit pilosebaseus. Obat antiakne yang dibuat dalam formulasi konvensional tidak mampu mencapai unit
pilosebaseus dengan konsentrasi memadai atau seringkali tidak dapat melepaskan zat aktif sehingga tidak dapat
memberikan efek terapetik. Masalah tersebut dapat diselesaikan dengan menargetkan zat aktif langsung ke unit
pilosebaseus sehingga dapat membunuh bakteri dan mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap perkembangan
akne vulgaris. Sistem penghantaran obat baru diharapkan dapat memberikan solusi untuk memperbaiki kekurangan dari
formulasi konvensional (Sinha, et al, 2014). Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan
sistem penghantaran berbasis lipid. Hal ini disebabkan karena aliran sebum ke permukaan kulit umumnya dapat
mengganggu transportasi partikel pembawa obat, oleh karena itu obat yang bersifat lipofilik atau penghantar yang dapat
larut dengan sebum lebih dipilih untuk digunakan sebagai sistem penghantaran obat (Hsiehdan Chen, 2012).Dari berbagai
macam sistem penghantaran obat berbasis lipid, salah satu sistem penghantaran obat yang saat ini banyak dikembangkan
untuk terapi jerawatadalah etosom. Etosom adalah sistem penghantaran obat non-invasif yang memungkinkan obat untuk
mencapai lapisan kulit dalam dan/atau sirkulasi sistemik dengan komposisi utama terdiri dari fosfolipid, etanol dalam
konsentrasi tinggi serta air.Kemampuan penembusan etosom ke dalam kulit lebih baik dibandingkan dengan liposom
konvensional karena mengandung konsentrasi etanol yang tinggi. Etanol berfungsi sebagai peningkat penetrasi obat ke
dalam kulit karena etanol dapat meningkatkan ketidakstabilan lipid dan mengurangi kepadatan multilayer lipid yang ada
pada lapisan stratum korneum kulit (David,et al., 2013).
Ukuran partikel merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi. Mikropartikel berukuran
3-10 μm dapat berpenetrasi ke dalam saluran folikel pilosebaseus secara selektif (Martinho, et al, 2011). Oleh karena itu
tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi lesitin sebagai salah satu penyusun etosom
terhadap ukuran dan stabilitas vesikel yang dihasilkan serta formula optimum ekstrak daun jeruk purut yang diformulasi
dalam sistem penghantaran obat etosom sebagai anti jerawat.
369
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
menit dengan suhu 60oC dan kecepatan 80 rpm, ekstrak di tampung diatas cawan porselen, selanjutnya dikeringkan
menggunakan oven pada suhu40°Chingga diperoleh ekstrak dengan berat konstan.
Preparasi Etosom
Etosom dibuat dari fosfatidilkolin atau lesitin kedelai dengan berbagai konsentrasi yaitu 1% (E1), 2% (E2), dan
3% (E3) (b/v),etanol 40% (v/v), ekstrak daun jeruk purut sebanyak 0,11% (b/v) danaquades. Lesitin dilarutkan dalam
etanol kemudian ditambahkan ekstrak sesuai dengan jumlah yang ditetapkan dan diaduk denganstirrer padakecepatan
konstan. Campuran ditambah dengan aquades secara perlahan-lahan dengan dilakukan pengadukan secara terus menerus
selama 30 menit. Suspensi etosom kemudiandisonikasi pada suhu kamar selama 30 menit.
Karakterisasi Etosom
Karakterisasi etosom dilakukan dengan melakukan pengamatan secara organoleptis, pengujian morfologi,
pengujian nilai pH, pengukuran rata-rata diameter vesikel, pengukuran nilai distribusi serta uji stabilitas pada suhu 4ºC
dan 25°C selama 30 hari dengan titik pengujian pada hari ke-0, 15 dan 30.
Pengujian nilai distribusi dilakukan dengan menghitung nilai SPAN sesuai dengan persamaan berikut (Rasaie, et al.,2014)
:
( 90) − ( 10)
SPAN =
( 50)
D(v90) = Rata-rata diameter ukuran vesikel pada pengukuran volume sampel sebanyak 90%
D(v50) = Rata-rata diameter ukuran vesikel pada pengukuran volume sampel sebanyak 50%
D(v10) = Rata-rata diameter ukuran vesikel pada pengukuran volume sampel sebanyak 10%
Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji one way ANOVA dan repeated ANOVA dengan sebelumnya
menguji normailitas data menggunakan Shapiro Wilk Test dan homogenitas menggunakan Levene’s test.
370
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
minimum ekstrak daun jeruk purut untuk menghambat pertumbuhan bakteri penyebab jerawat adalah 1,1 mg/ml yang
ditentukan dengan metode disc-diffusion dan broth microdilution (Srisukh,et al, 2012).
Tabel 1. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Daun Jeruk Purut
No. Kandungan Bahan uji Reagen Reaksi Hasil
1. Fenol Ekstrak daun jeruk 3-4 tetes larutan Terdapat perubahan (+) Fenol
purut (Citrus hystrix FeCl3 warna dari hijau tua
D.C.) menjadi biru
kehitaman
Etosom mengandung fosfolipid, alkohol seperti etanol dan isopropil alkohol dalam konsentrasi tinggi serta
aquades. Kombinasi fosfolipid dan konsentrasi etanol yang tinggi memilki efek sinergis dalam formulasi vesikularuntuk
meningkatkan penetrasi ke dalam lapisan lipid bilayer kulit (Dave, et al., 2012).Mekanisme penetrasi etosom ke dalam
lapisan kulit terjadi karena adanya efek etanol yang menyebabkan ketidakstabilan lipid dengan mengurangi kepadatan
multilayer lipid dari membran sel (David, et al., 2013). Pengamatan secara organoleptik pada E1, E2 dan E3 secara umum
menunjukkan suspensi etosom yang homogen dengan bau khas aromatik serta warna hijau kekuningan.
Dalam formulasi etosom, penentuan ukuran vesikel merupakan faktor yang sangat penting sehingga perlu
dilakukan formulasi untuk mengetahui formula yang menghasilkan ukuran vesikel sesuai dengan spesifikasi.Hal ini
disebabkan karena pada terapi akne vulgaris, antimikroba ditujukan untuk dapat bekerja secara spesifik pada folikel
pilosebaseus yang merupakan tempat pertumbuhan bakteri. Spesifikasi ukuran yang ditetapkan agar etosom dapat
penetrasi ke dalam folikel pilosebaseus adalah 3-10 μm. Hasil karakterisasi ukuran diameter vesikel ditunjukkan dalam
tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2.Rata-Rata Ukuran Diameter Vesikel Etosom Ekstrak Daun Jeruk Purut
Formula Diameter [Rata-rata ± SD] (µm)
E1 4,89 ± 0,17
E2 4,52 ± 0,39
E3 5,12 ± 0,27
Fosfatidilkolin dan etanol memiliki peranan penting dalam pembuatan etosom. Salah satu penelitian yang
dilakukan pada tahun 2014 menunjukkan bahwa ukuran diameter vesikel etosom akan menurun seiring dengan
peningkatan konsentrasi etanol yang digunakan danakan meningkat seiring dengan penggunaan lesitin dalam konsentrasi
yang tinggi (Gunjan&Swarnlata,2014). Dalam pembuatan etosom, fosfatidilkolin berfungsi sebagai pembentuk
komponen vesikel, konsentrasi fosfatidilkolin yang dapat digunakan dalam pembuatan etosom adalah 1 - 4%
(Gunjan&Swarnlata, 2014). Penggunaan konsentrasi lesitin dalam pembuatan etosom yang terlalu rendah dapat
371
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
menyebabkan jumlah vesikel yang terbentuk sedikit sedangkan jika digunakan dalam konsentrasi tinggi akan
menyebabkan vesikel menjadi lunak dan dapat terjadi kebocoran bahan aktif (Akib, et al., 2014). Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan, rata-rata ukuran diameter vesikel etosom dari ketiga formula telah memenuhi spesifikasi yang
diharapkan dan ukuran diameter vesikel yang paling kecil terdapat pada formula etosom dengan konsentrasi
fosfatidilkolin sebesar 2%.Analisa pengujian statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara ukuran diameter pada formula E1 dan E2 namun berbeda signifikan dengan formula E3.
Selain rata-rata ukuran diameternya, nilai distribusi ukuran vesikel yang dihasilkan juga dievaluasi melalui
perhitungan nilai SPAN yang ditunjukkan dalam tabel 3. Semakin besar nilai SPAN menunjukkan bahwa distribusi
ukuran dalam sistem tersebut semakin beragam. Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara nilai distribusi pada formula E1, E2 dan E3.
Tabel 3. Nilai Distribusi Ukuran Diameter Vesikel Etosom Ekstrak Daun Jeruk Purut
Formula Nilai Distribusi [Rata-rata ± SD]
E1 1,67 ± 0,153
E2 1,74 ± 0,122
E3 1,67 ± 0,146
Keseragaman ukuran vesikel yang dihasilkan dipengaruhi oleh jumlah energi dan durasi proses sonikasi.
Penelitian pada liposom menunjukkan bahwa peningkatan energi yang digunakan dalam proses sonikasi akan
meningkatkan homogenitas ukuran liposom (Silva, et al., 2010).Sedangkan penelitian lain yang juga dilakukan pada
liposom menunjukkan bahwa waktu kontak antara sonikator dengan partikel yang terlalu lama akan menyebabkan
aglomerasi pada partikel dan mengakibatkan keseragaman ukuran menurun (Franco, et a.l, 2004). Karakterisasi morfologi
vesikel liposom dilakukan menggunakan TEM dan menunjukkan bahwa vesikel yang terbentuk berbentuk sferis dan tidak
teraglomerasiseperti pada gambar 1.
A B
Gambar 1. Morfologi Vesikel Etosom Ekstrak Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix D. C.). Keterangan: (A) Perbesaran
40000 kali pada 100 nm, (B) Perbesaran 12000 kali pada skala 200 nm
Nilai pH etosom yang sesuai untuk penggunaan topikal atau kosmetik harus disesuaikan dengan pH fisiologi
kulit. pH fisiologi kulit pada keadaan normal cenderung bersifat asam yaitu sebesar 4-6 (Ali&Yosipovitch, 2013). Hasil
karakterisasi nilai pH etosom ekstrak daun jeruk formula E1, E2 dan E3 ditunjukkan dalam tabel 4.
372
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
Tabel 4. Hasil Karakterisasi Rata-Rata Nilai pH Etosom Ekstrak Daun Jeruk Purut
Formula Nilai pH (Rata-rata ± SD)
E1 6,44 ± 0,085
E2 6,42 ± 0,005
E3 6,51 ± 0,03
Pengujian stabilitas suspensi etosom dilakukan pada dua suhu yaitu 4°C dan 25°C selama 30 hari. Hasil uji
stabilitas ukuran diameter vesikel etosom tersebut ditunjukkan dalam tabel 5 serta gambar 2 dan 3.
Tabel 5. Rata-Rata Diameter Vesikel Ekstrak Daun Jeruk Purut pada Pengujian Stabilitas Suhu 4°C dan 25°C
Hari Rata-rata diameter vesikel ± SD (µm)
ke- Suhu 4°C Suhu 25°C
E1 E2 E3 E1 E2 E3
0 4,86 ± 0,11 4,78 ± 0,23 4,71 ± 0,54 4,89 ± 0,17 4,52 ± 0,39 5,12 ± 0,27
15 52,84 ± 4,35 86,01 ± 1,32 4,97 ± 0,62 5,05 ± 0,17 4,71 ± 0,55 5,08 ± 0,30
30 91,80 ± 5,22 86,24 ± 4,18 4,88 ± 0,66 95,66 ± 8,97 4,58 ± 0,69 5,25 ± 0,57
120
UKURAN DIAMETER VESIKEL
100
80 E1
(ΜM)
60 E2
E3
40
20
0
0 10 20 30 40
HARI KE-
Gambar 2. Ukuran Diameter Vesikel Etosom pada Pengujian Stabilitas Suhu 4°C
Analisis uji Repeated ANOVA menunjukkan bahwa formula etosom yang tetap stabil selama 30 hari pada
penyimpanan suhu 4ᵒC adalah formula E3, dimana ukuran diameter vesikelnya tidak berbeda secara signifikan (p > 0,05)
dan masih memenuhi spesifikasi, sedangkan ukuran diameter vesikel etosom formula E1 dan E2 tidak stabil, karena
mengalami peningkatan ukuran diameter vesikel pada hari ke-15 dan ke-30. Ketidakstabilan ukuran diameter vesikel
etosom pada suhu 4°C disebabkan karena pada kondisi penyimpanan ekstrak daun jeruk purut pada suhu < 10°C
menunjukkan terbentuknya kristal sehingga menyebabkan ukuran partikel yang terdeteksi oleh alat PSA menjadi besar.
Selain itu terdapat pustaka yang menyebutkan bahwa lesitin akan memisah jika disimpan dibawah 10°C (Rowe, et al,
2009).
373
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
120
80 E1
E2
60
E3
40
20
0
0 10 20 30 40
HARI KE-
Gambar 3. Ukuran Diameter Vesikel Etosom pada Pengujian Stabilitas Suhu 25°C
Pengujian pada suhu 25°C menunjukkan bahwa rata-rata ukuran diameter vesikel etosom formula E1 mengalami
peningkatan menjadi 95,66 ± 8,97 µm pada hari ke-30 dan tidak sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan.
Ketidakstabilan formula E1 disebabkan karena jumlah lesitin yang digunakan terlalu sedikit yaitu sebesar 1 %, sehingga
jumlah vesikel etosom yang terbentuk menjadi sedikit. Jumlah vesikel etosom yang sedikit dapat menyebabkan jumlah
zat aktif yang tidak terjerap menjadi lebih banyak sehingga dapat mengalami agregasi.Hasil pengujian statistik dengan
repeated anova untuk formula E2 dan E3 menunjukkan bahwa data tidak berbeda secara signifikan dengan nilai p = 0,84
(p > 0,05) untuk formula E2 dan nilai p = 0,54 (p > 0,05) untuk formula E3. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
penyimpanan pada suhu 25°C menghasilkan ukuran diameter vesikel formula etosom E2 dan E3 yang tetap stabil sampai
hari ke-30.
Pengujian stabilitas nilai pH pada sediaan suspensietosom menunjukkan bahwa nilai pHketiga formula pada
suhu 4°C dan 25°C masih dalam rentang spesifikasi yang diinginkan yaitu 4,5 – 7 (Putra, 2014).Akan tetapi berdasarkan
analisis statistik, nilai pH ketiga formula etosom tersebut tidak stabil pada suhu 4°C karena pada hari ke-30 menunjukkan
perbedaan yang signifikan. Sedangkan pada suhu 25°C, hanya nilai pH formula E1 yang mengalami perubahan signifikan
sedangkan formula E2 dan E3 tetap stabil. Hasil pengujian stabilitas terhadap nilai pH ditunjukkan dalam gambar 4 dan
5.
7
6.8
E1
6.6
NILAI PH
E2
E3
6.4
6.2
6
0 10 20 30 40
HARI KE-
374
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
6.9
6.7
6.5 E1
NILAI PH
6.3 E2
6.1 E3
5.9
5.7
5.5
0 10 20 30 40
HARI KE-
Perubahan nilai pH yang signifikan secara statistik ini dapat disebabkan karena medium pendispersi etosomyang
digunakan bukan merupakan larutan dapar. Secara teori larutan dapar mengandung asam/basa lemah yang berfungsi
sebagai donor proton dan basa/asam konjugasinya sebagai penerima proton, efek penyangga merupakan hasil dari dua
reaksi bolak-balik yang menyebabkan konsentrasi donor proton dan penerima proton sama sehingga saat ditambahkan
sedikit asam atau basa tidak akan terjadi perubahan pH (Mohan, 2003).
KESIMPULAN
Secara umum variasi jumlah lesitin sebanyak1 -3% memberikan pengaruh terhadap ukuran dan stabilitas vesikel
etosom. Jumlah lesitin dalam konsentrasi yang paling besar menyebabkan ukuran vesikel yang dihasilkan menjadi lebih
besar sedangkan jumlah lesitin pada konsentrasi yang paling rendah menyebabkan ketidakstabilan ukuran pada pengujian
stabilitas. Formula etosom ekstrak daun jeruk purut yang paling optimum adalah formula yang mengandung lesitin
sebanyak 2% atauekstrak daun jeruk purut : lesitin : etanol dalam perbandingan 0,11 : 2 : 64 karena memiliki ukuran
diameter yang paling kecil yaitu sebesar 4,52 ± 0,39 µm, nilai distribusi 1,74 ± 0,122 dan nilai pH sebesar 6,63 ± 0,15serta
stabil secara fisik pada penyimpanan suhu 25°C.
DAFTAR PUSTAKA
Abirami, Arumugam, Gunasekaran Nagarani, Perumal Siddhuraju. 2013. Antimicrobial Activity of Crude Extract of Citrus Hystrix and Citrus Maxima,
IJPSR, Vol. 4(1): 1-5
Akib, Nur Illiyin, Suryani, Halimatussaddiyah R., Niken Prawesti. 2014. Preparasi Fenilbutazon dalam Pembawa Vesikular Etosom dengan Berbagai
Variasi Konsentrasi Fosfatidilkolin dan Etanol.Medula Vol.2 No.1.
Ali, S.M. dan Yosipovitch, G. 2013. Skin pH: From Basic Science to Basic Skin Care. ActaDermVenereol, Vol 93: 261–267
Chanthaphon, S., Chanthachum, S., dan Hongpattarakere, T. 2008. Antimicrobial Activities of Essential Oils and Crude Extracts from Tropical Citrus
spp. Against Food-Related Microorganisms. Songklanakarin J. Sci. Technol, Vol 30 (1): 125-131.
Dave, Vivek, Ashutosh Pareek, Sarvesh Paliwal, Ethosome: A Novel Approach of Trandermal Drug Delivery System, IJARPB 212; Vol.2 (4): 439-
452.
David, S.R.N., Mah Si Hui, Chong Fui Pin, Foo Yun Ci, Rajan Rajabalaya. 2013. Formulation and in vitro evaluation of ethosomes as vesicular carrier
for enhanced topical delivery of isotretinoin.International Journal of Drug Delivery 5,p. 28-34.
Franco, F., Maqueda, L. A. P., dan Rodriguez, J. L. P. 2004. The Effect of Ultrasound on The Particle Size and Structural Disorder of A Well-Ordered
Kaolinite. Journal of Colloid and Interface Science, Vol 274: 107–117.
Gunjan, Jeswani, Swarnlata Saraf. 2014. Topical Delivery of Curcuma longa Extract Loaded Nanosized Ethosomes to Combat Facial Wrinkles. Journal
of Pharmaceutics and Drug Delivery Research, 3:1.
Hsieh, ing-fa, Chao-Hsian Chen. 2012. Review: Delivery of Pharmaceutical Agents to Treat Acne Vulgaris: Current Status and Perspective. Journal of
Medical and Biological Engineering, 32(4): 215-224, Vol. 32 No. 4
375
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
Hsieh, M. F. dan Chen, C. H. 2012. Delivery of Pharmaceutical Agents to Treat Acne Vulgaris: Current Status and Perspectives. J. Med. Biol. Eng.,
Vol 32 (4): 215-224.
Kawiji, Khasanah, L. U., Utami, R., dan Aryani, N.T. 2015. Ekstraksi Maserasi Oleoresin Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix D.C.): Optimasi Rendemen
dan Pengujian Karakteristik Mutu. Agritech, Vol 35 (2): 178-184.
Martinho, Nuno, Christiane Damge, Catarina Pinto Reis. 2011. Recent Advance in Drug Delivery Systems, Journal of Biomaterial and
Nanobiotechnology
Mohan, C. 2003. Buffers: A Guide for The Preparation and Use of Buffers in Biological Systems. EMD Biosciences, Inc. Darmstadt: 8
Movita, T. 2010. Acne Vulgaris. Continuing Medical Education, Vol. 40 (4): 269-272.
Munawarah, Safaatul, Prima Astuti Handayani. 2010. Ekstraksi Minyak Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix D.C.) Dengan Pelarut Etanol dan N-Heksana.
Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 2, No.1.
Putra, M. M., I.G.N.A. Dewantara. 2014. Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Nilai pH Sediaan Cold Cream Kombinasi Ekstrak Kulit Buah Manggis
(Garcinia mangostana L.), Herba Pegagan (Centella asiatica) dan Daun Gaharu (Gyrinops versteegi).Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.
Rasaie, Solmaz, Ghanbarzadeh, Saeed., Maryam, Mohammadi., Hamishehkar, Hamed. 2014. Nano Phytosomes of Quercetin: A Promising Formulation
for Fortification of Food Products with Antioxidants. Pharmaceutical sciences, 2014, 20, 96-101
Rowe, Raymond C., Paul J. Sheskey, Marian E. Quinn. 2009. Handbook of Pharmaceutical Exipients 6th edition, USA : Pharmaceutical Press.
Silva, R., Ferreira, H., Little, C., dan Paulo, A. C. 2010. Effect of Ultrasound Parameters for Unilamellar Liposome Preparation. Ultrasonics
Sonochemistry, Vol 17: 628–632.
Sinha, P., Srivastava, S., Mishra, N., dan Yadav, N. P. 2014. New Perspectives on Antiacne Plant Drugs: Contribution to Modern Therapeutics. BioMed
Research International, 1-9.
Srisukh, V., Tribuddharat, C., Nukoolkarn, V., Bunyapraphatsara, N., Chokephaibulkit, K., Phoomniyom, S., Chuanphung, S., Srifuengfung, S. 2012.
Antibacterial Activity of Essential Oils from Citrus hystrix (makrut lime) Against Respiratory Tract Pathogens. ScienceAsia, Vol 38: 212–217.
Tjekyan, R. M. S. 2008. Kejadian dan Faktor Resiko Akne Vulgaris. M Med Indones, Vol 43 (1): 37-43.
376
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
ABSTRAK
Kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) mengandung flavonoid, polifenol, antosianin dan vitamin C yang berkhasiat sebagai antioksidan. Tujuan
penelitian ini adalah untuk memperoleh sediaan gel yang mengandung ekstrak etanol kelopak bunga rosella yang stabil secara fisik dan kimia serta
berkhasiat sebagai antioksidan. Ekstrak diperoleh dari proses maserasi dengan menggunakan pelarut etanol 70% kemudian diuji aktivitas antioksidan
dengan metode DPPH dan diperoleh nilai IC50 sebesar 52,43 µg/ml yang merupakan antioksidan kuat. Formulasi sediaan gel sebagai antioksidan dengan
menggunakan kombinasi gelling agent karbomer 940 dan HPMC dengan variasi konsentrasi ekstrak 0,0052%, 0,0157%, dan 0,0262%. Sediaan gel
yang terbentuk dievalusi mutu fisik dan kimianya serta diuji aktivitas antioksidannya. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa sediaan yang terbentuk jernih
berwarna kuning muda, homogen, dengan kemampuan menyebar antara 261,64-2686,47 mm2, viskositas sediaan 960000-980000 cPs dengan sifat alir
plastis, pH berkisar antara 6,75-7,32, serta memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 pada blanko dan masing-masing formula berturut-turut
sebesar 114,2 µg/ml, 89,02 µg/ml, 69,22 µg/ml dan 62,66 µg/ml. Hasil evaluasi kemudian diuji stabilitasnya pada suhu kamar (25-30oC) dan suhu 40oC
selama satu bulan dan dievaluasi setiap minggunya. Hasil uji stabilitas menunjukkan bahwa sediaan gel stabil secara fisik dan kimia setelah
penyimpanan selama satu bulan dengan nilai IC50 yang tidak berbeda bermakna dibandingkan minggu pertama, dengan nilai IC50 dari blanko dan masing-
masing formula berturut-turut sebesar 129,01 µg/ml, 96,76 µg/ml, 72,49 µg/ml dan 64,84 µg/ml. Formula terbaik untuk sediaan gel adalah formula 3
yang mengandung ekstrak kelopak bunga rosella sebesar 0,0262% dengan nilai IC50 sebesar 64,84 µg/ml.
ABSTRACT
Roselle (Hibiscus sabdariffa L.) was known as the flower which many active compounds that act as antioxidants such as flavonoids, poliphenol,
anthocyanins, and vitamin C The aim of this study is to prepare gel of ethanolic extract of roselle calyx that is stable physically and chemically. The
extract obtained by maceration process using ethanol 70% then concentrated using a rotary evaporator to obtain viscous extract. Antioxidant activity of
the extract measured by DPPH (1,1 diphenyl-2-picrylhydrazil) scavenging activity. Three gel formulas were made with concentration of roselle extract
of 0.0052%, 0.0157% and 0.0262% using carbomer 940 and hydroxy propylmethyl cellulose (HPMC) as gelling agents. The determination of the
physical quality of the preparation for 4 weeks at room temperature and 40oC included checking the stability and homogeneity, viscosity and flow
properties, spread ability, the determination of pH and antioxidant activity. Gel colour’s were bright yellow, homogeneous, spread ability between
261.64 to 2686.47 mm2,viscosity of gel 960000-980000 cPs with plastic flow properties, pH ranged from 6.75 to 7.32, IC50 values were 89.02 µg/ml,
69.22 µg/ml and 62.66 µg/ml for F1,F2 and F3 respectively. Results of stability test showed that the gel preparation stable physically and chemically
after a month storage and antioxidant activity with IC50 values of 96.76 µg/ml, 72.49 µg/ml and 64.84 µg/ml. The test results showed that IC50 values
were not significantly different compared to the first week.
PENDAHULUAN
Penuaan dini merupakan proses penuaan kulit yang lebih cepat daripada yang seharusnya. Usia kulit terdiri
dalam dua proses, yaitu kronologis dan faktor lingkungan. Penuaan secara kronologis merupakan penuaan alamiah yang
ditunjukkan dengan perubahan struktur, fungsi, dan metabolisme kulit yang berlangsung sesuai dengan bertambahnya
usia. Sedangkan penuaan yang terjadi karena faktor lingkungan dapat terjadi karena sinar matahari. Indonesia merupakan
negara tropis dengan paparan sinar matahari yang melimpah sehingga berisiko tinggi terhadap kerusakan kulit. Untuk
mencegah terjadinya hal tersebut diperlukan suatu sediaan kosmetik yang mampu mencegah penuaan dini yaitu
antioksidan.
Berbagai inovasi telah dikembangkan terutama salah satunya pemanfaatan tanaman sebagai bahan baku
kosmetika. Kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) mengandung antosianin, salah satu komponen dari flavonoid
yang berperan sebagai antioksidan (Kouakou et al, 2015) Ekstrak etanol kelopak bunga rosella diformulasikan dalam
bentuk sediaan gel. Karena sifatnya mudah menyebar rata pada kulit, tidak lengket berminyak dan memberikan rasa
lembab karena kandungan airnya yang tinggi (Mitsui, 1993). Ekstrak kelopak bunga rosella diformulasikan dalam bentuk
gel menggunakan kombinasi Karbomer 940 dan Hidroxy Propyl Methyl Cellulose (HPMC) sebagai gelling agent dengan
377
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
perbandingan 2 : 1 karena kombinasi ini dapat meningkatkan viskositas serta membentuk basis gel yang jernih dan mudah
larut dalam air (7). Karbomer 940 digunakan sebagai pembentuk gel karena memiliki viskositas yang sangat baik sebagai
pengental, 40.000-60.000 centiPoise. Konsentrasi yang cukup rendah sudah dapat membentuk basis gel yang jernih dan
terdispersi secara homogen serta sering digunakan pada sistem cair karena partikel-partikel karbomer 940 mudah
terbasahi. HPMC digunakan sebagai pembentuk gel karena bersifat inert, tidak mengiritasi kulit dan dapat membentuk
gel yang jernih bersifat netral serta memiliki viskositas yang stabil pada penyimpanan jangka panjang. (8)
1. Menentukan aktivitas antioksidan dari ekstrak kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) menggunakan
metode1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH)
2. Membuat formula sediaan gel yang mengandung ekstrak kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) yang
stabil secara fisik dan kimia serta berkhasiat sebagai antioksidan.
Bobot % (b/b)
Nama Bahan
Blanko 1 2 3
Ekstrak kelopak bunga
- 0,0052 0,0157 0,0262
rosella
Karbomer 940 0,75 0,75 0,75 0,75
HPMC 0,375 0,375 0,375 0,375
Trietanolamin 0,75 0,75 0,75 0,75
Propilen Glikol 15 15 15 15
Metil Paraben 0,15 0,15 0,15 0,15
Propil Paraben 0,05 0,05 0,05 0,05
Dinatrium EDTA 0,05 0,05 0,05 0,05
Natrium metabisulfit 0,1 0,1 0,1 0,1
Aquadest sampai 100 100 100 100
378
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
Konsen As %inhibisi
Rata-rata IC50
trasi Ab
I II III I II III %inhibisi (bpj)
(bpj)
Nilai IC50 tersebut menunjukkan bahwa kelopak bunga rosela memiliki aktivitas antioksidan yang kuat dalam
menghambat radikal bebas. Selanjutnya ekstrak diformula menjadi sediaan gel dengan konsentrasi 1x IC50, 3xIC50 dan
5xIC50 untuk membandingkan tingkat kestabilan gel dan tingkat aktivitas antioksidan ekstrak dalam sediaan gel.
Tabel 3. Hasil uji kemampuan menyebar sediaan gel
Kemampuan Menyebar
Formula
d (mm) F (mm2)
Blangko 58,5 2686,47
Formula 1 58,3 2668,13
Formula 2 58 2640,74
Formula 3 57,9 2631,64
Berdasarkan hasil evaluasi viskositas sediaan gel ekstrak kelopak bunga rosella pada suhu kamar (25-30oC)
viskositas mengalami peningkatan, hal ini dikarenakan rantai-rantai polimer akan bertahan pada gulungan yang acak,
menjerat sejumlah besar pelarut dalam jumlah banyak sehingga viskositas meningkat. Sedangkan hasil pemeriksaan
viskositas pada suhu 40oC menunjukkan adanya penurunan selama penyimpanan, hal ini disebabkan adanya peningkatan
suhu dan adanya laju pergeseran (rate of shear) yang tinggi akibat pengadukan sehingga rantai ikatan polimer didalamnya
menjadi lemah kemudian terjadi pemutusan rantai polimer, sebagian besar tidak tergulung, diperpanjang dan menjerat
pelarut yaitu air lebih sedikit sehigga menyebabkan viskositas sediaan semakin menurun. Hasil analisis ANOVA dua arah
tanpa replikasi pada blanko dan ketiga formula sediaan gel menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara
nilai viskositas sediaan gel dari tiap suhu namun ada perbedaan bermakna antara nilai viskositas sediaan gel dari tiap
waktu.
379
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
Hasil evaluasi sifat alir sediaan gel diketahui bahwa sifat alir sediaan tidak mengalami perubahan selama satu
bulan penyimanan pada suhu kamar (25-30oC) maupun pada suhu 40oC yaitu tetap tiksotropik plastis, sehingga dapat
disimpulkan bahwa suhu dan waktu penyimpanan tidak mempengaruhi sifat alir sediaan.
Berdasarkan hasil evaluasi diketahui bahwa adanya penurunan kemampuan menyebar pada setiap formula pada suhu
kamar (25-30oC) maupun suhu 40oC dikarenakan adanya peningkatan viskositas. Dimana daya sebar berbanding terbalik
dengan viskositas sediaan. Semakin besar viskositas suatu sediaan, maka semakin kecil kemampuannya untuk menyebar.
Hasil analisis ANOVA dua arah tanpa replikasi pada blanko dan ketiga formula sediaan gel menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan bermakna antara nilai kemampuan menyebar sediaan gel dari tiap suhu dan waktu.
380
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
(minggu I II a- I II a- I II a- I II a-
7,3 7,3 7,3 6,8 6,8 6,8 6,80 6,79 6,79 6,75 6,75
0 6,75
2 2 2 7 8 75 5
7,2 7,2 7,2 6,8 6,8 6,8 6,75 6,74 6,74 6,70 6,71 6,70
1
Kama 4 0 2 0 1 05 5 5
r 7,0 7,0 7,0 6,7 6,7 6,7 6,62 6,63 6,62 6,60 6,59 6,59
2
(25- 0 0 0 2 3 25 5 5
30) 6,8 6,8 6,8 6,6 6,6 6,6 6,54 6,52 6,56 6,57
3 6,53 6,56
7 8 75 8 7 75
6,7 6,7 6,7 6,5 6,5 6,6 6,48 6,47 6,47 6,41 6,42 6,41
4
2 0 1 2 3 25 5 5
7,3 7,3 7,3 6,8 6,8 6,8 6,80 6,79 6,79 6,75 6,75
0 6,75
2 2 2 7 8 75 5
7,2 7,1 7,1 6,8 6,7 6,8 6,70 6,71 6,70 6,68 6,68
1 6,68
0 0 5 7 7 2 5
6,8 6,9 6,8 6,7 6,7 6,7 6,58 6,57 6,57 6,50 6,51 6,50
40 2
0 0 5 2 3 25 5 5
6,7 6,7 6,7 6,6 6,6 6,6 6,50 6,51 6,50 6,48 6,47 6,47
3
2 3 25 3 4 35 5 5
6,6 6,6 6,6 6,5 6,5 6,5 6,45 6,45 6,41 6,42 6,41
4 6,45
8 7 75 0 2 1 5
Hasil analisis ANOVA dua arah tanpa replikasi pada blanko dan ketiga formula sediaan gel menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan bermakna antara nilai pH sediaan gel dari tiap suhu namun ada perbedaan bermakna antara nilai pH
sediaan gel dari tiap waktu.
Hasil uji stabilitas menunjukkan bahwa sediaan gel ekstrak kelopak bunga rosella stabil dan tetap mempunyai
aktivitas antioksidan yang kuat selama satu bulan penyimpanan. Meskipun begitu, setelah dibuat sediaan gel dan disimpan
selama satu bulan, nilai IC50 mengalami penurunan namun sediaan masih memiliki aktivitas antioksidan yang kuat pada
masing-masing formula. Nilai IC50 terbaik didapat dari formula 3, hal ini dikarenakan dalam formulasi konsentrasi
ekstraknya ditingkatkan menjadi 5xIC50 sehingga aktivitas antioksidannya tetap kuat dengan nilai IC50 terkecil.Hasil
analisis ANOVA satu arah terhadap nilai IC50 pada blanko dan ketiga formula sediaan gel menunjukkan bahwa ada
perbedaan bermakna antara nilai IC50 sediaan gel dari tiap formula.
381
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
KESIMPULAN
1. Ekstrak etanol kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) memiliki aktivitas sebagai antioksidan dengan nilai
IC50 52,43 µg/ml
2. Ekstrak etanol kelopak bunga rosella dapat diformulasikan dalam sediaan gel dengan menggunakan kombinasi
gelling agent yaitu karbomer 940 dan HPMC serta berkhasiat sebagai antioksidan. Hasil uji stabilitas menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada organoleptik, homogenitas, sifat alir dan kemampuan menyebar, terdapat
perbedaan bermakna pada viskositas dan pH serta tetap menunjukkan aktivitas yang kuat sebagai antioksidan setelah
1 bulan penyimpanan.
DAFTAR PUSTAKA
Kouakou TH, et al., Anthocyanin production in calyx and callus of Roselle (Hibiscus sabdariffa L.) and its impact on antioxidant activity, Journal of
Pharmacognosy and Phytochemistry, 2015 ;4(3), 9-15
Mitsui T. New Cosmetic Science. Japan: Nanzando Ltd.,1993. p. 14, 19-21, 176.
Lukitaningsih E, Juniarka A, Noegrohati S. Pengembangan Sediaan Eksfolian dan Uji Antioksidan Ekstrak Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus Sabdariffa
L.) Dalam Upaya Melawan Radikal Bebas. Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III. 2013. ISSN:
2339-2592. h. 337, 338
Elsner P, Howard IM. Cosmeceuticals drug vs cosmetics. Marcel Dekker Inc. New York. 2000. p. 16, 145, 163.
Rosella. Property of Haldin’s Library. Diambil dari:http://www.sd-sejahtera.com/assets/content/Roselle - Clinical Study.pdf. Diakses 2 Agustus 2015.
Misnadiarly. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kesehatan Kulit. Cermin Kedokteran; 2006. h. 152.
382
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
ABSTRAK
Ekstrak rumput laut coklat (Sargassum polycystum) memiliki kandungansenyawa antioksidan salah satunya pigmen dari golongan karotenoid yaitu
fukosantin.Dalam penelitian ini, ekstrak dibuat menjadi nanopartikel dengan metode gelasi ionik menggunakan bahan matriks yaitu kitosan sebagai
polimer dan natrium tripolifosfat sebagai crosslinker agent.Suspensi nanopartikel ekstrak rumput laut coklat dikeringkan dengan pengeringan beku
(freeze drying) sehingga menjadi nanopartikel ekstrak rumput laut coklat.Penelitian ini bertujuan untuk membuat ekstrak rumput laut coklat menjadi
bentuk nanopartikel yang stabil secara fisikakimia dan memenuhi syarat uji karakterisasi nanopartikel. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
nanopartikel ekstrak rumput laut coklat dengan ukuran partikel 310,4 nm; nilai zeta potensial 39,87 mV; Bentuk dan morfologi nanopartikel ekstrak
rumput laut coklat dengan bentuk yang tidak beraturan dan bertautan silang antarpartikel satu dengan yang lainnya, serta dilakukan uji aktivitas
antioksidan dengan metode peredaman radikal bebas DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) hingga diperoleh nilai IC50 kurang dari 200 mikrogram/mL.
Dari hasil pemeriksaan aktivitas antioksida, diperoleh nilai IC50 BP vitamin C, ekstrak rumput laut coklat, dan nanopartikel ekstrak rumput laut coklat
berturut-turut sebesar 2,84 bpj, 92,24 bpj, dan 97,51 bpj. Perbedaan aktivitas antioksidan antara ekstrak rumput laut coklat dengan nanopartikel ekstrak
rumput laut coklat diuji dengan ANOVA satu arah yang menunjukkan ada perbedaan bermakna nilai IC50 dari kedua sampel.
Kata Kunci: Ekstrak rumput laut coklat, Nanopartikel, Kitosan, Natrium Tripolifosfat, Uji aktivitas antioksidan, DPPH
PENDAHULUAN
Senyawa antioksidan memiliki peran sangat penting dalam dunia kesehatan. Salah satunya golongan karotenoid
yang merupakan senyawa inhibitor yang dapat mencegah reaksi oksidasi sehingga dapat mencegah berbagai penyakit
degeneratifseperti kanker, penuaan, stroke, katarak, dan menurunnya fungsi ginjal, aterosklerosis yang mendasari
penyakit jantung koroner. sehingga diperlukan senyawa antioksidan untuk dapat mencegah dan meredam dampak negatif
dari radikal bebas tersebut.Salah satu sumber antioksidan alami berasal dari tumbuhan tingkat tinggi seperti rumput laut.
Rumput laut atau seaweed secara ilmiah dikenal dengan istilah ganggang atau alga. Pigmen dari golongan karotenoid
yang berpotensi sebagai antioksidan adalah fukosantin.Fukosantin banyak dihasilkan oleh rumput laut coklat. Kandungan
fukosantin (20,95%) dari rumput lautcoklat (Sargassumsp) berpotensi sebagai antioksidan dan agen kemopreventif karena
kemampuannya dalam meredam radikal bebas dan mencegah berbagai penyakit degeneratif (3). Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai aktivitas antioksidan dari rumput laut coklat (Sargassum
polycystum) yang berasal dari pantai Gunungkidul DIY nilai IC50 yang diperoleh 1,27 mg/ml, aktivitas antioksidan dari
rumput laut coklat (Sargassum duplicatum)dari pantai Ujung genteng nilai IC50 yang diperoleh 14,351 μg/ml (4,5).
Namun pigmen fukosantin memiliki ketidakstabilan terhadap cahaya, oksigen dan suhu. Selain itu, apabila dibuat menjadi
obat tradisional ekstrak rumput laut coklat diberikan secara oral, efisiensi absorpsi dan efikasi didalam tubuh kurang
optimal karena mudah terdegradasi dalam sistem saluran pencernaan sehingga aktivitas antioksidannya menurun dan
tidak dapat memberikan efek yang optimal. Berdasarkan nilai fungsional diatas dan upaya pengembangan teknologi
berbasis nano, maka penelitian ini dilakukan dengan membuat nanopartikel ekstrak rumput laut coklat yang dapat
dipreparasi dengan metode gelasi ionik menggunakan bahan polimer kitosan dan natrium tripolifosfat sebagai bahan
crosslinker agent. Nanopartikel ekstrak rumput laut coklat yang telah terbentuk selanjutnya dikarakterisasi dengan metode
Scanning elektron microscope(SEM)untuk mengetahui morfologi nanopartikel, Particle size Analyzer(PSA) mengetahui
383
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
ukuran dan distribusi nanopartikel, dan nilai zeta potensial untuk mengetahui kestabilan distribusi nanopartikel dengan
baik dan uji aktivitas antioksidan dengan metode peredaman DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil).
METODE
BAHAN
Rumput laut coklat, Kitosan, Natrium Tripolifosfat, BP Fukosantin, Etanol 96% P, Tween80, Asam asetat glasial
P,1,1-difenil-2-pikrihidrazil atau DPPH, Metanol, BP Vitamin C.
ALAT
Timbangan analitik, Alat-alat gelas, Alat-alat volumetric , Microbalance,Scanning Eectron Microscopy MA 10,
Spektrofotometer UV-Vis 1800-UV, Rotavapor, Freeze drye SB 6,Oven, Particel size analyzer dan Zeta sizer, pH meter
HI 2211,Magnetic stirrer.
METODE PENELITIAN
1. Pembuatan ekstrak rumput laut coklat
Sebanyak 400 gram rumput laut coklat yang digunakan dicuci bersih dengan air mengalir, kemudian
ditiriskan. Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi kinetik dengan pelarut etanol 96% sebanyak
4 liter selama 2 x 24 jam.
2. Pemeriksaan ekstrak kental rumput laut coklat
a. pH ekstrak
pH ekstrak diukur dengan menggunakan pH meter (Hanna)
b. Pemeriksaan kandungan Fukosantin
3. Pengujian aktivitas antioksidan ekstrak dengan metode peredaman radikal bebas DPPH.
a. Pembuatan larutan DPPH (0,4 mM).
b. Pembuatan larutan blangko
Dipipet 1 mL larutan DPPH (0,4 mM)
c. Pembuatan larutan uji10,0 mg sampel kemudian dilarutkan dalam 10,0 mL methanol
d. Pembuatan larutan vitamin C sebagai kontrol positifDibuat larutan baku dengan konsentrasi 1,0 bpj, 1,5
bpj, 2 bpj, 2,5 bpj, 3,0 bpj.
e. Uji aktivitas antioksidan
Larutan uji dan kontrol positif dengan beberapa konsentrasi diinkubasi pada suhu 37oC selama tepat 30
menit, serapan diukur menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang maksimum 516
nm.
4. Pembuatan nano ekstrak rumput laut coklat dengan bahan pembawa kitosan - natrium tripolifosfat dengan
metode gelasi ionik
Larutan kitosan 1% dibuat dengan melarutkan 1 gram kitosan dalam 100 ml asam asetat glasial 1% dengan
menggunakan magnetik stirrer. Sebanyak 100 mg ekstrak kental rumput laut coklat dilarutkan dalam pelarut
etanol 96% ad 100 ml kemudian diambil 70 ml. Ditambahkan 30 ml larutan kitosan, sehingga konsentrasi
kitosan menjadi 0,3%. Campuran diaduk dengan menggunakan magnetik stirrer selama 10 menit.Kemudian
384
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
campuran ditambahkan 16,5 mLnatrium tripolifosfat 0,1% dengan kecepatan 1 tetes / 3 detikdalam
pengadukan menggunakan magnetik stirrer dengan kecepatan pengadukan 250 rpm hingga terbentuk
kekeruhan yang homogen. Kemudian ditambahkan10 mL tween 80 1% hingga homogen dan stabil. Suspensi
nanopartikel yang terbentuk tetap didalam pengadukan diatas magnetik stirer selama 30 menit. Kemudian
diamati kestabilan nanosuspensi ekstrak rumput laut coklat selama lima hari meliputi warna, pH, kekeruhan
dan endapan.
5. Karakterisasi suspensi nanopartikel ekstrak rumput laut coklat
a. Penetapan distribusi ukuran partikel
b. Pemeriksaan zeta potensial
6. Pengeringan suspensi nanopartikel ekstrak rumput laut coklat dengan pengeringan beku (Freeze drying)
7. Pemeriksaan nanopartikel ekstrak rumput laut coklat dengan penentuan morfologi nanopartikel (SEM).
8. Pemeriksaan stabilitas kandungan fukosantin dalam ekstrak rumput laut coklat dan nanopartikel ekstrak
rumput laut coklat terhadap suhu, cahaya, dan udara.
a. Pemeriksaan stabilitas terhadap suhu
b. Pemeriksaan stabilitas terhadap cahaya
c. Pemeriksaan stabilitas terhadap udara.
9. Pengujian aktivitas antioksidan nanopartikel ekstrak rumput laut coklatdengan metode peredaman radikal
bebas DPPH
a. Pembuatan larutan uji
Dibuat larutan uji dengan konsentrasi 50 bpj, 75 bpj, 100 bpj, 125 bpj, dan 150 bpj.
b. Uji aktivitas antioksidan, Larutan uji dan kontrol positif dengan beberapa konsentrasi diinkubasi pada
suhu 37oC selama 30 menit, serapan diukur menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada panjang
gelombang maksimum 516 nm.
10. Analisis data
Analisis data dilakukan terhadap respon uji dengan menggunakan analisis statistik varians (ANOVA) satu
arah.
385
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
Setelah dilakukan optimasi suspense nanopartikel ekstrak rumput laut coklat, didapatkan suspensi nanopartikel yang
stabil dengan menggunakan larutan natrium tripolifosfat 0,1% sebanyak 16,5 mL dengan penambahan volume
tween 80 1% sebanyak 5,0 mL. Kestabilan suspensi nanopartikel ditandai dengan tidak terjadinya endapan dan
pemisahan fase selama penyimpanan 5 hari pada suhu kamar . Kestabilan suspensi nanopartikel jugaditandai
dengan tidak terjadinya perubahan pH suspensi nanopartikel yang tidak berbeda jauh dengan pH awal suspensi
nanopartikel yaitu 6,20-6,15.
2. Hasil Karakterisasi Suspensi
Nanopartikel Ekstrak Rumput Laut Coklat
a. Hasil Pengukuran Distribusi dan Ukuran Partikel Nanosuspensi Ekstrak Rumput Laut Coklat
Berdasarkan hasil pemeriksaan distribusi dan ukuran partikel nanosuspensi ekstrak rumput laut coklat
dengan menggunakan Particle Size Analyzer (PSA), dengan tiga kali pengulangan didapatkan ukuran
partikel rata-rata sebesar 310,4 nm. Ukuran partikel yang didapatkan telah memenuhi syarat, dimana suatu
partikel dikatakan berukuran nano apabila berada dalam rentang 10-1000 nm.
Distribusi ukuran partikel dinyatakan dalam indeks polidispersitas dengan rentang nilai 0-1. Bila nilai
indeks mendekati 0 menunjukkan dispersi homogen sedangkan bila indeks lebih dari 0,5 menunjukkan
heterogenitas yang tinggi. hasil pengujian menunjukkan indeks polidispersitas yang didapatkan sebesar
0,391 menunjukkan bahwa suspensi nanopartikel ekstrak rumput laut coklat terdispersi secara homogen.
informasi mengenai morfologi secara ekstrernal dengan menghasilkan gambar dari scanner berupa
nanosfer, dimana ekstrak rumput laut coklat tersebar merata dan hanya mengalami proses penjeratan
di dalam matriks polimer kitosan tanpa adanya interaksi crosslinking seperti antara muatan polikation
matriks polimer kitosan dengan muatan polianion natrium tripolifosfat.
Gambar. Hasil Morfologi Nanopartikel Ekstrak Rumput Laut Coklat Dengan menggunakan
Scanning Electrone Microscope (SEM)
d. Hasil Pemeriksaan Stabilitas Kandungan Fukosantin Dalam Ekstrak Rumput Laut Coklat dan Nanopartikel
Ekstrak Rumput Laut Coklat Terhadap Suhu, Cahaya, dan Udara
Berdasarkan hasil uji stabilitas kandungan fukosantin dalam ekstrak rumput laut coklat dan nanopartikel
ekstrak rumput laut coklat dengan perlakuan yang disimpan pada suhu 30 - 350C tanpa dipaparkan cahaya
lampu diperoleh konsentrasi yang lebih stabil dibandingkan dengan perlakuan yang dipaparkan cahaya
lampu dan suhu 400C dimana konsentrasi yang diperoleh mengalami penurunan.
Penurunan kandungan fukosantin terbesar diperoleh pada nanopartikel yang dipaparkan terhadap cahaya
lampu, dimana konsentrasi yang diperoleh pada hari ke-14 sebesar 8,4764 bpj sedangkan pada ekstrak
rumput laut coklat serapan yang diperoleh sebesar 8,7390 bpj menunjukkan bahwa hasil nanopartikel
ekstrak rumput laut coklat memiliki nilai konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan ekstrak
rumput laut coklat. Hal ini disebabkan karena semakin kecil ukuran partikel suatu zat maka luas
permukaannya semakin besar, sehingga luas permukaan pemaparan dari nanopartikel ekstrak rumput laut
coklat lebih besar dibandingkankan dengan ekstrak rumput laut coklat yang tidak dibuat dalam bentuk
nanopartikel.
Tabel 1. Hasil Konsentrasi (bpj) Terhadap Pemeriksaan Stabilitas Fukosantin
Konsentrasi (bpj)
Nanopartikel ekstrak
Perlakuan λmaks Ekstrak rumput laut coklat
rumput laut coklat
387
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
L. Hasil Pengujian Aktivitas Antioksidan Ekstrak Rumput Laut Coklat Dan Nanopartikel Ekstrak Rumput Laut
Coklat Dengan Metode Peredaman Radikal Bebas DPPH
Dari hasil pemeriksaan aktivitas antioksidan, diperoleh nilai IC50 BP Vitamin C sebesar 2,84 bpj dengan
rentang konsentrasi yang digunakan yaitu 1, 1,5, 2, 2,5, dan 3 bpj. Sedangkan nilaiIC50pada ekstrak rumput
laut coklat 92,24 bpj dengan rentang konsentrasi yang digunakan yaitu 25, 50, 75, 100, dan 125 bpj. Nilai
IC50 pada nanopartikel ekstrak rumput laut coklat 97,51 bpj dengan rentang konsentrasi yang digunakan
yaitu 50,75, 100, 125, dan 150 bpj.
Aktivitas antioksidan ekstrak rumput laut coklat memiliki kandungan aktivitas antioksidan yang lebih kuat
dibandingkan nanopartikelekstrak rumput laut coklat, hal ini disebabkan karena dalam bentuk ekstrak
rumput laut coklat belum mengalami pencampuran atau pengolahan dengan bahan lain sehingga lebih
murni kandungannya dibandingkan dalam bentuk nanopartikel ekstrak rumput laut coklatyang
ditambahkan bahan polimer, natrium tripolifosfat dan tween 80.
yang kemungkinan dari bentuknya yang berupa nanosfer dimana bahan aktif tersebar merata dalam matriks
polimer yang tidak dalam bentuk nanoenkapsulasi yang mana obat berada pada rongga yang dikelilingi
oleh membran polimer. Kemungkinan bahan aktif menurun aktivitasnya selama proses pembuatan hingga
penmeriksaan kandungan bahan aktifnya, sehingga diharapkan dilakukan penelitian lebih lanjut dengan
penambahan bahan polimer lainnya yang dapat membentuk nanoenkapsulasi, sehingga bahan aktif akan
terlindungi dari berbagai faktor yang dapat menurunkan aktivitasnya.
Pengolahan data menggunakan ANOVA satu arah pada taraf nyata = 0,05 menunjukkan bahwa nilai IC50
ekstrak rumput laut coklat, dan nanopartikel ekstrak rumput laut coklat memiliki perbedaan bermakna, hal
ini ditandai dengan p-value (0,007)< 0,05sehinggaH0 ditolak dan H1 diterima yang berarti menunjukkan
terdapat perbedaan bermakna antara tiap aktivitas antioksidan. Walaupun terdapat perbedaan aktivitas
antioksidan antara ekstrakrumput laut coklat dengan nanopartikel ekstrak rumput laut coklat keduanya
memiliki aktivitas antioksidan yang kuat berdasarkan tingakatan rentang nilai IC50.
BP Vitamin C 2,84
KESIMPULAN
1. Ekstrak rumput laut coklat (Sargassum polycystum) dapat dibuat menjadi nanopartikel dengan metode gelasi ionik
menggunakan polimer kitosan 1 % dan natrium tripolifosfat 0,1 %.
2. Berdasarkan hasil evaluasi karakterisasi nanopartikel diperoleh pemeriksaan ukuran partikel 310,4 nm, nilai
potensial zeta 39,87 mV, dan morfologi partikel berbentuk tidak beraturan dan bertautan silang antarpartikel satu
dengan yang lainnya.
3. Terjadi penurunan stabilitas kandungan fukosantin dalam ekstrak rumput laut coklat dan nanopartikel ekstrak
rumput laut coklat terhadap cahaya, suhu, dan udara.
388
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
4. Berdasarkan uji aktivitas antioksidan, diperoleh nilai IC50 BP Vitamin C, ekstrak rumput laut coklat (Sargassum
polycystum) , dan nanopartikel ekstrak rumput laut coklat (Sargassum polycystum) berturut-turut sebesar 1,8; 92,24
dan 97,51 bpj.
5. Berdasarkan hasil analisis statistik ANOVA satu arah, menunjukkan hasil p-value (0,007) < 0,05 : H0 ditolak dan
H1 diterima menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antar tiap aktivitas antioksidan ekstrak rumput laut coklat
(Sargassum polycystum)dengan nanopartikel ekstrak rumput laut coklat (Sargassum polycystum)berdasarkan nilai
IC50yang diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA
Nursid M, dkk. Aktivitas antioksidan, sitotoksisitas dan kandungan fukosantin ekstrak rumput laut coklat dari pantai binuangeun,banten. JPB Kelautan
dan perikanan. 2013;2(1): 73-83.
Cahyaningrum K. Aktivitas antioksidan ekstrak rumput laut coklat (Sargassum polycystum). Agritech. 2016; 36(2): 137-44.
Defran M, dkk. Identifikasi senyawa antioksidan dalam rumput laut (Sargassum duplicatumJ.G. Argardh.) dari pantai ujung genteng. Prosiding
penelitian Unisba. 2015; ISSN 2460-6472: 429-33
Poulain N, et al. Nanoparticles from vesicles polymerization II evalution of their encapsulation capacity. J Polym Sci. 2011; 5(36): 3035-43.
Hall CW. Handbook of industrial drying. Third edition. Warsaw taylor and francis group: LLC; 2011. p. 257-80.
Yu-Hsin L, et al. Multi-ion-crosslinked nanoparticles with pH-responsive characteristics for oral delivery of protein drugs. J of Contr. 2012; 2(2): 132,
141-149.
Patil P, et al. A review on ionotropic gelation method novel approach for controlled gastroetentive gelispheres. Int. J. of Pharm and Pharmaceutical
Sci.2012; 4(4). 1-6.
389
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
ABSTRAK
Ubi jalar (Ipomoea batatas .L) merupakan salah satu tanaman yang mengandung antosianin baik pada daun maupun pada umbi.Antosianin memiliki
aktivitas sebagai antikanker, antidiabetes, dan antioksidan.Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan dan membandingkan total antosianin dari
berbagai varietas ubi jalar dan daun ubi jalar ungu dengan metoda perbedaan pH secara spektrofotometri. Proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut
etanol yang diasamkan dengan HCl. Ekstrak diencerkan dengan larutan dapar KCl pH 1 dan larutan dapar natrium asetat pH 4,5 dan diukur dengan
spektrofotometri visible. Standar Cyanidin-3-O-glucosidedengan nilai ε (absortivitas) 14805,825 L/mol.cm dan berat molekul 484,83 g/mol.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh konsentrasi antosianin lebih tinggi yaitu varietas ungu 4,5191 mg/100g, varietas kuning
sebesar 3,7581 mg/100g, dan varietas oranye 3,1844 mg/100g. Sedangkan daun ubi jalar ungu diperoleh konsentrasi antosianin paling kecil
dibandingkan pada umbi yaitu 0,7024 mg/100g.
ABSTRACT
Sweet potato (Ipomoea batatas .L) is one of plants that contain anthocyanins both in its leaves and roots. Anthocyanins have activity as anticancer,
antidiabetic, and antioxidants. The purpose of this study was to determine and compare the total anthocyanin from different varieties of sweet potato
leaves byspectrophotometry method with variation of pH value. An extraction process was performed using ethanol acidified with HCl as its solvent.
The extract was diluted with KCl buffer solution pH 1 and a solution of sodium acetate buffer pH 4.5 and measured by visible spectrophotometry.
Standard cyanidin-3-O-glucoside with a value of ε (absortivitas) 14805.825 L/mol.cm and a molecular weight of 484.83 g/mol. Based on the research
that has been done obtained a higher anthocyanin concentration is purple varieties of 4.5191 mg/100g, yellow varieties of 3.7581 mg / 100g, and orange
varieties of 3.1844 mg/100g. While the leaves of purple sweet potato’s anthocyanins concentration obtained the smallest amount compared to its tubers
ie 0.7024 mg / 100g.
PENDAHULUAN
Ubi jalar (Ipomoea batatas .L) merupakan sumber antosianin yang mengandung 98% antosianin teraselasi dari
konsentrasi yang terkandung didalam umbi (Jie et al, 2013).Ubi jalar mengandung karbohidrat, mineral, fosfor, kalsium,
natrium, protein, dan lemak (Erawati, 2006).Varietas ubi jalar dibedakan berdasarkan warna pada umbi yang terdiri dari
ungu, merah, oranye, kuning, dan putih (Amin et al, 2008).Ubi jalar kuning mengandung betakaroten dengan konsentrasi
0,2503 mg/100g dan vitamin C sekitar 0,0126 mg/ 100g sedangkan varietas oranye sekitar 0,8001 mg/100g (Nathania et
al, 2012). Menurut Jiao et al, 2012 ubi jalar ungu mengandung antosianin yaitu sianidin sekitar 222,07 mg/kg berat basah.
Daun ubi jalar ungu mengandung flavonoid, terpenoid dan fenolikdan memiliki aktivitas sebagai antioksidan (Atika,
2014).Daun ubi jalar mengandung antosianin utama jenis sianidin dan peonidin namun jenis sianidin lebih dominan
dibandingkan jenis peonidin (Sulastri et al, 2013).
Antosianin merupakan zat warna larut air yang banyak ditemukan pada tanaman. Senyawa antosianin berfungsi
sebagai antioksidan alami yaitu sebagai penangkal radikal bebas sehingga berperan terhadap penuaan dini, kanker,
penyakit degeneratif seperti arteriosklerosis, antimutagenik, anti radang, antikarsinogenik, dan antidiabetes (Jusuf et al,
2008; Kano et al, 2005; Suda et al, 2008; Zhang et al, 2009; burgos et al, 2013). Selain itu juga digunakan sebagai bahan
pewarna pada lipstik (Noviagustina, 2014).Jenis antosianin yang paling banyak ditemukan yaitu sianidin, peonidin,
malvidin, pelargonidin, delvinidin, dan petunidin (Kim et al, 2012).Sianidin paling banyak ditemukan pada ubi jalar dan
standar yang digunakan yaitu Cyanidin-3-O-glukosida. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menetapkan kadar dan
membandingkan konsentrasi antosianin dari ubi jalar varietas ungu, kuning, oranye, dan pada daun ubi jalar ungu dengan
metoda perbedaan pH secara spektrofotometri visible.
390
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
A= absorban, nilai ε (absortivitas) Cyanidin-3-O-glucoside 14895,825 L/mol.cm dengan berat molekul 484,83 g/mol. W=
berat bahan awal, l tebal kuvet, v = volume ekstrak pigmen (L), FP = faktor pengenceran.
391
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
penambahan HCl untuk memecah dinding sel vakuola sehingga pigmen antosianin keluar dari sel dan terekstrak dalam
pelarut (Hayati et al, 2012).
Metoda pengukuran konsentrasi total antosianin mengikuti metoda perbedaan pH secara spektrofotometri (Eisele
et al, 2005). Metode perbedaan pH digunakan untuk penentuan total antosianin berdasarkan perubahan struktur kromofor
antosianin antara pH 1 dan pH 4,5. Metoda ini sering digunakan untuk mengontrol kualitas buah atau sayuran yang
mengandung antosianin, pewarna alami dan juga minuman.
Tabel 1.Hasil pengukuran serapan ekstrak etanol ubi jalar varietas kuning, oranye, ungu dan daun ubi jalar ungu.
Absorban
Ekstrak Ulangan 510 nm 700 nm
pH 1 pH 4,5 pH 1 pH 4,5
UJK I 2,311 2,105 1,625 1,467
II 1,817 1,869 1,226 1,284
III 2,428 2,032 1,723 1,395
UJO I 0,903 0,857 0,403 0,435
II 0,983 0,877 0,498 0,432
III 0,918 0,838 0,455 0,420
UJU I 1,358 1,272 0,597 0,565
II 1,389 1,344 0,616 0,596
III 1,452 1,264 0,635 0,561
Daun I 0,679 0,670 0,441 0,444
UJU II 0,624 0,641 0,406 0,424
III 0,648 0,643 0,418 0,421
Tabel 2.Kadar total antosianin dan persen (%) totalantosianin ekstrak etanol ubi jalar varietas kuning, oranye, ungu dan
daun ubi jalar ungu
Total Antosianin (mg/100g) Rata-rata %
Ekstrak I II III (mg/100g)
Perubahan warna ekstrak antosianin cenderung berubah seiring dengan kenaikan pH.Perubahan struktur antosianin
akibat perubahan pH (Marco et al, 2011). Meningkatkan pH akan menimbulkan penurunan intensitas warna dan
konsentrasi kation flavilium. pH 1 antosianin membentuk kation flavilium yang berwarna dan pH 4,5 berbentuk karbinol
yang tidak berwarna (Giusti et al, 2001). Bentuk karbinol telah kehilangan ikatan rangkapnya antara cincin A dan cincin
B sehingga tidak menyerap cahaya tampak (Bruoillard et al, 1994). Kehilangan proton yang cepat pada bentuk kation
flavilium juga disebabkan oleh pergeseran pH yang lebih tinggi dan meningkatkan jumlah bentuk quinonoidal. Ketika
pH meningkat lebih tinggi maka akan menghasilkan bentuk karbinol melalui pembukaan cincin dan kemudian terbentuk
karbinol tidak berwarna. Konsentrasi keasaman pelarut yang menurun akan mempengaruhi kestabilan antosianin.
392
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
Penelitian yang dilakukan Ticoalu et al (2016) diperoleh total antosianin dari ubi jalar sebesar 288,89 mg/100g
berat kering. Konsentrasi total antosianin yang diperoleh yaitu sebesar 1,3170 mg/100g berat kering menggunakan
perbandingan pelarut etanol: asam asetat : air (Winarti et al, 2008). Total antosianin yang diperoleh pada germinasi selama
3 minggu yaitu sebesar 222,07 mg/ kg berat basah (Yudiono, 2011). Berdasarkan penelitian Sulastri et al,
(2013)diperkirakan paling tidak ada dua jenis senyawa flavonoid golongan antosianin dalam ekstrak kental etanol : HCl
daun ubi jalar ungu.Dari perhitungan rata-rata kadar antosianin yang diperoleh yaitu ubi jalar kuning 3,7581 mg/100g
(0,32%), ubi jalar oranye sebesar 3,1844 mg/100g (0,27%), ubi jalar ungu sebesar 4,5191 mg/100g (0,38%), dan daun
ubi jalar ungu sebanyak 0,7024 mg/100g (0,60%). Hasil ini menunjukkan bahwa kadar antosianin paling tinggi terdapat
pada umbi dibandingkan pada daun. Hal ini disebabkan karena pada daun pigmen dominan klorofil dan berbeda dengan
umbi pigmen dominan yaitu antosianin.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pada ubi jalar (Ipomoea batatas .L)
menunjukkan adanya antosianin baik pada umbi maupun pada daun.Konsentrasi antosianin tersebut dapat ditentukan
dengan metoda perbedaan pH secara Spektrofotometer visible. Konsentrasi total antosianin pada ekstrak etanol ubi jalar
kuning 3,7581 mg/100g (0,32%), ubi jalar oranye sebesar 3,1844 mg/100g (0,27%), ubi jalar ungu sebesar 4,5191
mg/100g (0,38%), dan daun ubi jalar ungu sebanyak 0,7024 mg/100g (0,60%).
DAFTAR PUSTAKA
Amin, A. R. Syaiful, S.A. dan Mubaraq, S. 2008. Penampilan Fenotip dan Daya Hasil Tanaman Ubi Jalar Lokal Sulawesi Selatan.Jurnal Agrivigor.
7(3), 263-271.
Atika. 2014. Aktifitas Antidiabetes Ekstrak Daun Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas .L) Terhadap Mencit Putih Jantan Diabetes. Skripsi.Sekolah Tinggi
Ilmu Farmasi Riau.Pekanbaru.
Ariviani, S. 2010. Total Antosianin Ekstrak Buah Salam dan Korelasinya Dengan Kapasitas Anti Peroksidasi Pada Sistem linoelat.Journal Agrointek.4
(2). Hal 121-127.
Bruoillard, R. dan Dangles, O. 1994. Anthocyanin Molecular Interaction : the First Step in the Formation of New Pigment During Wine Aging. Food
Chemistry. 51. Hal 34-42.
Burgos, G., Amoros, W., Mun’oa, L., Sosa, P., Cayhualla, E. Sanchez, C., dan Bonierbale, M. 2013.Total Phenolic, Total Anthocyanin and Phenolic
Acid Concetrations and Antioxidant Activity of Purple Fleshed Potatos as Affected by Boiling.Journal of Food Composition and Analysis.30 hal
6-12.
Erawati, C.M. 2006. Kendali stabilitas betakaroten selama proses produksi tepung ubi jalar (Ipomea batatas .L). Thesis tidak diterbitkan. Program Studi
Ilmu Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Eisele, M.M., Lee, J., Durst W., Wrolstad, RE. 2005. Determination of Total Monomeric Anthocyanin Pigment Content of Fruit Juices, Beverages,
Natural Colorants, and Wines by the pH Differential Method: Collaborative Study. J AOAC Int 88: 1269-1278.
393
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
Farida, R. dan Nisa, F.C. 2015. Ekstraksi Antosianin Limbah Kulit Manggis Metode Microwave Assisted Extraction (Lama Ekstraksi dan Rasio Bahan
: Pelarut). Journal Pangan dan Agroindustri.3(2). Hal 362-373.
Giusti, M.M dan Wrolstad, R.E. 2001.Characterization and Measurement of Antochyanins by UV-Visible Spectroscopy.Journal of Current Protocols
in Food Analytical.
Hayati, E.K., Budi, U.S., Hermawan, R. 2012. Konsentrasi Total Senyawa Antosianin Ekstrak Kelopak Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) : Pengaruh
Temperature dan pH. Jurnal Kimia.6(2).Hal 2483-2486.
Jiao, Y. Jiang, Y. Zhai, W. and Yang, Y. 2012.Studies on Antioxidant Capacity of Anthocyanin Extracted from Purple Sweet Potato (Ipomoea batatas.
L). African Journal of Biotechnology. 11. Hal 7046-7054.
Jie, L. Xiao-ding, L. Yun, Z. Zheng-dong, Z. Zhi-ya, O. Meng, L. Shao-hua, Z. Shuo, L. Meng, W. and Lu, O. 2013. Identification and Thermal Stability
of Purple-Fleshed Sweet Potato Anthocyanins in Aqueous Solutions with Various pH Values and Fruit Juices.Food Chemistry. 136. Hal 1429-
1434.
Jusuf, M. St. A. Rahayuningsih dan E. Ginting. 2008. Ubi jalar ungu. Warta Penelitian Dan Pengembangan Pertanian.30(4). Hal 13-14.
Kano, M. Takayanagi, T. Harada, K. Makino, K. Ishikawa, F. 2005. Antioxidant Activity of Anthocyanins from Purple Sweet Potato (Ipomoea batatas
.L) Cultivar Ayamurasaki. Bioscience, Biothecnology and Biochemistry. 69. Hal 979-988.
K’osambo, L. M. Carey, E. E. Misra, A. K. Wilkes, J. dan Hagenimana, V. 1999. Influence of Age, Farming Site, and Boiling on Pro-Vitamin A Content
in Sweet Potato (Ipomoea batatas (L.) Lam.) Storage Roots.J.Food Tech. Afr., 4(3). Hal 233-244.
Kim, H.W. Kim, J.B. Cho, S.M. Chung, M.N. Leen, Y.M. Chu, S.M. Che, J.H. Kim, S.M. Kim, S.Y. Cho, Y.S. Kim, J.H. Park, H.J. and Lee, D.J. 2012.
Anthocyanin Changes in the Korean Purple-Fleshed Sweet Potato, Shinzami, as Affected by Steaming and Baking. Food Chemistry. 130. Hal
966-972.
Nathania,N.K. Karim, A. Asmawati., Dan Seniwati. 2012. Analisa Kandungan Beta Karoten Dan Vitamin C Dari Berbagai Varietas Ubi Jalar (Ipomea
Batatas).Indonesia Chimica Acta.5(1). Hal 1-8.
Novigustina, E. 2014. Formulasi Sediaan Lipstick Menggunakan Ekstrak Etanol Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas. L) sebagai Pewarna. Skripsi. Sekolah
Tinggi Ilmu Farmasi Riau, Riau.
Sulastri. Erlidawati. Syahrial. Muhammad, N. dan Thursina, A. 2013.Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Ubi jalar Ungu (Ipomoea batatas .L)
Hasil Budidaya Daerah Saree Aceh Besar.Jurnal Rekayasa Kimia Dan Lingkungan. 9(3). Hal 125-130.
Ticoalu, G.D. Yunianta. dan Maligan, J.M. 2016.Pemanfaatan Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas .L) sebagai Minuman Berantosianin dengan Proses
Hidrolisis Enzimatis.Jurnal Pangan dan Agroindustri.4(1). Hal 46-55.
Winarti, S. Sarofa, U. dan Anggrahini, D. 2008. Ekstraksi Dan Stabilitas Warna Ubi Jalar Ungu (Ipomea Batatas .L) Sebagai Pewarna Alami.Jurnal
Teknik Kimia.3(1). Hal 207-214.
Yudiono, K. 2011. Ekstraksi Antosianin Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas. L Cv Ayamurasaki) Dengan Teknik Ekstraksi Subcritical Water. Jurnal
Teknologi Pangan.2(1). Hal 1-30.
Zhang, Z.F. Fan, S.H. Zheng, Y.L. Lu, J. Wu, D.M. Shan, Q. Hu, B. 2009. Purple Sweetpotato Color AttenuatesOxidative Stress and Inflammatory
Response Inducedby D-Galactose in Mouse Liver.Food and Chemical Toxicology 47, 496–501.
394
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
ABSTRAK
Peningkatan prevalensi diabetes mellitus menjadi tren di seluruh negara sehingga dapat mempengaruhi perkembangan sosial dan ekonomi berbagai
negara dalam waktu dekat. Sehingga tantangan pengobatan yang penting saat ini bagi banyak dokter adalah mencegah perkembangan gagal ginjal
kronik. Gagal Ginjal Kronik merupakan abnormalitas atau kelainan dari struktur atau fungsi ginjal > 3 bulan yang disertai dengan kerusakan struktur
ginjal yang dibuktikan melalui pemeriksaan histologi atau pencitraan yang disertai manifestasi klinis. Dalam laporan kasus ini, seorang wanita usia 63
tahun datang ke Rumah Riset Jamu dengan keluhan nyeri pinggang, tumit terasa nyeri jika berjalan, riwayat diabetes mellitus > 10 tahun. Tekanan
darah > 140/90 mmHg daan tanda vital lainnya dalam batas normal. Pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
ureum 66 mg/dl dan creatinine 4,22 mg/dl. Pasien diberikan ramuan jamu dalam bentuk kapsul untuk Chronic Kidney Disease, jamu antidiabetes
mellitus, jamu antihipertensi, jamu anti oksidan dan jamu kebugaran. Pasien datang sebanyak 23 kunjungan dalam kurun waktu 3 tahun.
GFR(Glomerulus Filtration Rate) pasien relative stabil dengan peningkatan rata-rata sebesar 19.4%. Peningkatan GFR paling tinggi sekitar 75% dengan
microalbuminuria negatif setelah pengobatan selama 10 bulan. Selama pengobatan kadar gula darah stabil. Tekanan darah awalnya terjadi kenaikan
namun perlahan menjadi normal.
ABSTRACT
The increasing prevalence of diabetes mellitus become the trend in the Entire Country Where it can affect social and economic several country soon.
Therefore the most important challenge currently for doctors are able to prevent the progressivitas of chronic renal failure. Chronic Renal Failure is an
abnormality of the structure of kidney function > 3 months which is accompanied the structural damage of kidney through histological examination or
imaging and clinically manifested. In the present report, a woman age 63 years came into Rumah Riset Jamu with complainted low back pain, feeling
pain of her heels and history of diabetes mellitus > 10 Years. Her blood pressure was > 140/90 mmHg and having normally vital Signs. A normally of
physical examination. Laboratory tests showed urea 66 mg / dl and creatinine 4.22 mg / dl. Patients were given herbs Chronic Kidney Disease’s jamu
formula in caps, anti diabetic’s herb antihypertensive jamu of formula in caps, jamu of anti-oxidant, and formula jamu of durability. Patients Came to
outpatient clinic with totally of 23 visits along time period of 3 years. The average Increasing of GFR (glomerulus Filtration Rate) was 19.4%. Highest
score of it was about 75% from baseline. The result of urinalysis had negative microalbuminuria after 10 months treatment. During treatment blood
sugar levels were stable. Her blood pressure had increased on early treatment but it changed to normal.
PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronik adalah adanya kerusakan struktural atau fungsional ginjal yang berlangsung lebih dari tiga
bulan disertai dengan/tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus kurang dari 60mL/menit/1,73m.(Eknoyan G, Lameire N,
Eckardt KU, Abboud IO,Adler S, Agarwal R, Andreoli PS 2013). Tiap tahun sebanyak 1,5% pasien penyakit ginjal kronik
derajat 3 dan 4 akan berlanjutke penyakit ginjal kronik tahap akhir (gagal ginjal).(Tjekyan 2014) Hal yang sangat mungkin
jika gagal ginjal kronik dapat dihambat progresivitasnya dengan mengendalikan faktor resiko (seperti hipertensi,
hiperglikemi) dan komorbiditas penyakit tersebut.(Tucker et al. 2015) Saat ini belum ada pengobatan yang dapat
menghambat progresivitas ginjal. Dalam dua dekade terakhir penggunaan obat herbal telah meningkat. pengobatan
dengan obat herbal juga banyak digunakan pada penyakit gagal ginjal kronik(Setiabudy 2010)
Pemeriksaan Laboratorium kimia darah menunjukkan ureum 66 mg/dl dan creatinine 4,22. Pasien diberikan jamu untuk
CKD, DM, anti oksidan dan jamu untuk kebugaran selama 2 minggu. Pasien dating kontrol setelah 2 minggu keluhan
berkurang dan tekanan darah meningkat menjadi 160/90 mmHg. Peningkatan tekanan darah ini dikarenakan pasien sudah
tidak mengkonsumsi obat antihipertensi. Pada pemeriksaan laboratorium terjadi perbaikan yaitu ureum turun ke nilai
normal 32,4 mg/dl dan creatinine menjadi 3,34 mg/dl Gula darah puasa rendah yaitu 98 mg/dl. Pada kujungan kedua
resep ditambahkan jamu antihipertensi. Jamu diberikan untuk 1 bulan. Selanjutnya pasien kontrol tiap 1 bulan sekali.
Tekanan darah dan hasil pemeriksaan laboratorium selanjutnya dapat dilihat pada tabel 1. Glomerulus Filtration Rate
(GFR) atau Filtrasi Glomerulus merupakan indikator yang sering digunakan untuk menentukan fungsi ginjal secara
keselurahan.(Lujambio et al. 2014) Gold Standar dari Laju Filtrasi Glomerulus (GFR) adalah yang berasal dari
inulin.(Winter et al. 2012) Tetapi hal tersebut kurang praktis digunakan dalam praktek klinik sehingga pendekatan paling
mudah dengan menggunakan persamaan yang berdasarkan serum creatinin.(Lujambio et al. 2014) Persamaan yang
digunakan disini adalah The Cockcroft-Gault creatinine clearance yang sudah lama digunakan.(Winter et al.
2012).Persamaan tersebut telah banyak digunakan pada banyak uji klinis untuk mengukur fungsi ginjal dan menentukan
dosis obat.(Brown et al. 2013). Persamaan Creatinine Clearance Estimate by Cockcroft-Gault Equation :
GFR for male: (140 – age) x wt(kg) / [72 x Serum Creatinine]
GFR for female: GFR (females) = GFR (males) x 0.85
Glomerulus Filtration Rate memiliki nilai normal yaitu > 90 mL/min/1.73m2. . Tingkat penurunan dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Penurunan GFR dan derajat gagal ginjal kronik
Kategori GFR keterangan
G1 ≥90 Normal or tinggi
G2 60-89 Penurunan ringan
G3a 45-59 Penurunan ringan-moderat
G3b 30-44 Penurunan moderat ke berat
G4 15-29 Penurunan berat
G5 < 15 Insufisiensi renal
Berdasarkan persamaan tersebut didapatkan GFR pasien saat datang yaitu sekitar 13,26 mL/min/1.73m2 .
396
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
Tabel 2. Gambaran nilai Ureum, Creatinin, tekanan darah, GDS, dan nilai GFR pasien pada tiap kunjungan
Kunjungan Parameter
Ureum Creatinin Asam urat TD GFR GDP/GDS Urinalisa
1 32,4 3,34 5,9 160/90 16.75 98 -
2 38,8 3,38 7,4 180/120 16.34 110 -
3 54,7 2,52 8,0 170/100 22.29 - -
4 67,6 3,66 9,7 160/100 15.85 111 -
5 43 3,8 - 160/100 15.51 - -
6 43,3 3,89 4,5 190/100 15.15 126 -
7 51,6 3,54 8,2 170/100 16.39 122 -
8 32,4 4,24 8,1 140/90 13.68 - -
9 - 3,6 - 180/90 - Proteinuria
16.11 (+)
10 52 2,5 - 150/90 112 Proteinuria
23.20 (-)
11 54 3 6,0 140/90 19.34 - -
12 42,2 3,76 5,3 170/100 15.43 100 -
13 43 4,22 2,3 110/70 13.96 -/119 Reduksi (+)
14 57,4 4,1 7,0 130/90 14.19 139 -
15 47,3 3,52 3,2 120/80 16.53 119 -
16 47,7 4,14 7,2 130/80 14.05 106 -
17 58 4,46 7,1 140/90 13.04 122 Reduksi (+)
18 65,4 4,25 6,6 140/90 13.69 121 Reduksi (+)
19 44,6 3,84 7,0 140/90 15.07 - -
21 54,6 5,02 7,0 140/90 11.59 -/140 -
22 45,6 3,78 8,0 140/80 15.39 -/141 -
23 71 3,38 8,51 140/80 17.21 -/177 -
Peningkatan prevalensi diabetes mellitus meningkat yang merupakan trend di seluruh negara dimana akan
mempengaruhi perkembangan sosial dan ekonomi berbagai negara dalam waktu dekat.(Hsu et al. 2014) Gagal ginjal
kronik merupakan akibat terbanyak berasal dari penyakit diabetes mellitus yang pernah dilaporkan. (García-Trejo et al.
2016) Sehingga tantangan pengobatan yang penting saat ini bagi banyak dokter adalah mencegah perkembangan gagal
ginjal kronik.(Hsu et al. 2014)
Diabeitc Nefropathy merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pasien dibetes Tipe 2.Tingginya
insiden nefropati ketika diagnosis diabetes mellitus tipe 2 ditegakkan karena kenaikan gula dalam darah sering tidak
menimbulkan gejala selain itu juga diabetes mellitus memiliki masa preklinis yang panjang.(Hsu et al. 2014)Penelitian
pada tahun 2009 di Amerika serikat menyatakan ~44% dari semua kasus penyakit ginjal stadium akhir kronis (ESRD)
disebabkan oleh nefropati diabetik (DN).(Shaw et al. 2010) Penelitian Suryadi tahun 2012 didapatakan orang dengan
riwayat diabetes melitus memiliki kemungkinan untuk menderita gagal ginjal kronik 3-4 kali lebih besar dibanding yang
tidak memiliki riwayat DM. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus selama kurang lebih 10 tahun hal ini sesuai dengan
penelitain Davies et.al 2001 bahwa ada kaitan yang erat antara nefropathi dengan penurunan GFR pada pasien yang
menderita diabetes selaa 8- 11 tahun.(Markum & Galastri 2004)
397
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
Hiperglikemia secara lokal dan sistemik dapat menimbulkan kerusakan melalui peningkatan produksi ROS
mitokondrial.(Tucker et al. 2015)Faktor – factor yang mempengaruhi terjadinya DN antara lain kelainan genetic,
hiperglikemia, merangsang aktivitas RAAS (Renin Angiotensin Aldosteron Sistem), aktivitas jalur protein C kinase,
hiperfiltrasi dari glomerulus, dan produksi dari Reactive Oxygen Spices (ROS). Dua tahun pasien setelah didiagnosis
diabetes mellitus dapat terjadi perubahan histologi ginjalnya kearah Diabetic Nefropathy.(Miranda-díaz et al. 2016)Pada
pasien dengan diabetic nefropathy terjadi penurunan GFR 2-20 mL/mnt jika ditemukan albuminuria pada tiap
tahunnya.(Markum & Galastri 2004)Pada pasien ini diabetic nefropathy selama 3 tahun pengobatan di Klinik rawat jalan
Rumah Riset Jamu di Tawangmangu memiliki GFR yang stabil malah terjadi kenaikan sebar 19% dari GFR awal. Jamu
gagal ginjal kronik dengan dosis 3x1 dengan komposisi kumis kucing, keji beling, tempuyung dan temulawak dengan
perbandingan 5:2:3:5. Jamu antioksidan 2x1 dengan komposisi terdiri dari jinten hitam, temulawak dan pegagan dengan
perbandingan 8:1:1. Jamu antihipertensi terdiri daripulasari. pegagan, seledri,kumis kucing, biji pala dengan
perbandingan 2:2:5:3:1. Jamu anti diabetis mellitus terdiri dari Samiloto, Brotowali, Salam, Tempuyung dan Temulawak
dengan perbandingan 5:5:3:2:5. Pengendalian kadar gula darah dan menghambat sistem RAAS merupakan target utama
dalam terapi dalam nefropathy diabetic.(Toth-Manikowski & Atta 2015)
Orthosiphon stamineus memiliki kemampuan sebagai antioksidan, menyeimbangkan kadar Nitric Oksida (NO),
dan sebagai nefroprotektif.(Basheer & Majid 2010) Tempuyung (Sonchus arvensis) memiliki potensi sebagai antioksidan
yang dapat menangkal radikal bebas karena banyak mengandung polifenol.(Khan 2012) Keji beling (Strobilanthus
crispus) memiliki efek hipoglikemic karena memiliki aktivitas sebagai insulin-like, membantu penyimpanan dan efek
perlindungan sel beta pancreas pada tikus yang diinduksi alloksan. Kemampuan tersebut karena kandungan epicathecin
yang jumlah banyak terdapat didaunnya.(Hp et al. 2015) Pada pasien dengan kondisi uremic terdapat ketidakseimbangan
jumlah antioksidan yang ditandai adanya kenaikan ROS. ROS memilki kemampuan untuk mengaktifkan proses
proinflamasi dan jalur seluler mitogenik sehingga terjadi kerusakan progresif fungsi ginjal melalui proses fibrosis ginjal
dan kerusakan enzim Katalase dan Glutathion Peroksidase (GPx) berfungsi untuk menghilangkan Hidrogen peroksida
serta Superoksida Dismuthase (SOD) sehingga menghambat proses detoksifikasi ROS di ginjal SOD adalah pertahanan
fisiologis terhadap stres oksidatif yang bereaksi dengan superoksida yang (O2-) untuk menghasilkan hidrogen peroksida
(H2O2), yang terdegradasi oleh katalase GPx.(Miranda-díaz et al. 2016)
Jinten hitam (Nigella sativa) memiliki banyak manfaat yang sudah banyak diteliti seperti sebagai antidiabetes,
daya tahan tubuh, analgetic, anticancer, antibakteri, anti inflamasi, hepatoprotektif, anti oksidan dan sebagai
nefroprptektif.(An & Issn 2014) Thymoquinon merupakan kandungan yang paling penting yang terdapat dalam minyak
Nigella sativa yang berfungsi sebagai nefroprotektif pada kelinci yang diinduksi gentamisin.(Ahmad et al. 2013)
Temulawak (Curcuma xanthorizza) mengandung xanthorrizol yang berfungsi sebagai antibakteri, anti inflamasi dan anti
cancer dan penelitian terbaru memiliki aktivitas nefroprotektif.(An & Issn 2014)
Pegagan (Centella asiatica) mengandung quercetin yang bertanggung jawab untuk efek
antihipertensi.(Intharachatorn T 2015) Pegagan.pada ramuan disini sebagai ACE Inhibitor yang mana dapat juga
memberikan efek protektif terhadap ginjal karena menghambat aktivitas RAAS. ACE Inhibitor merupakan mekanisme
antihipertensi yang digunakan pada captopril.(Hussaana et al. 2016) Pulasari (Alyxia stellate) berfungsi sebagai stimulant
dan mengatasi kelelahan otot.(Timotius et al. 2015) Biji pala berfungsi sebagai hipnotik sedative agar pasien tidak
mengalami gangguan tidur.(Astana et al. 2015)
Sambiloto (Andrographis paniculata) dapat meningkatkan sekresi insulin dari β-sel pulau langerhens, sehngga
hal itu dapat meningkatkan permukaan penyerapan glukosa oleh jaringan adiposa dan menghambat penyerapan glukosa
398
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
di usus dan glukosa yang diproduksi oleh hati. Pemberian secara oral ekstrak etanol Andrographis paniculataefektif
mengurangi kadar glukosa serum puasa pada manusia.(Anju et al. 2012). Brotowali (Tinosfora ordifolia) mengandung
alkaloid (Magnoflorine,Palmetine, Jatrorrhizine), tanin, cardiac glikosida, flavonoid, saponin, dansteroid yang dapat
merangsang sekresi insulin dengan menghambat gluconeogenesis dan glikogenolisis.(Mittal et al. 2014) Daun salam
(Zysygium polyanthum) memiliki berbagai macam aktivitas farmakologis dalam mengatasi antihipertensi, antidiabetes,
antioksidan, antidiare, antiinflamasi, imunomodulator, antibakteri, antikanker. Sebagai antidiabetes terdapat penelitian
yang menyatakan ekstrak daun salam yang diujikan pada mencit mampu menurukan kadar glukosa darah.Kemampuan
tersebut setara dengan glibenklamid yang digunakan sebagai kontrol positif.(Muhammad & Hariandja 2015)
KESIMPULAN
Jamu untuk gagal ginjal kronik dilaporkan memiliki efek memperlambat progresivitas Renal Failure , tapi khasiat
obat tersebut perlu dilakukan penelitian pra klinik, uji klinik dengan kontrol secara acak studi double-blind pada ukuran
sampel yang sesuai
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, A. et al., 2013. A review on therapeutic potential of Nigella sativa: A miracle herb. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine, 3(5),
pp.337–352.
An, P. & Issn, J., 2014. A Review On Phytoconstituents for Nephroprotective Activity. Pharmacophore (An International Research Journal), 5(1),
pp.160–182.
Anju, D. et al., 2012. a Review on Medicinal Prospectives of Andrographis Paniculata Nees. Journal of Pharmaceutical and Scientific Innovation, 1(1),
pp.1–4.
Astana, W., Ardianto, D. & Triyono, A., 2015. Studi Klinik Efek Ramuan Jamu untuk Insomnia terhadap Fungsi Ginjal Pasien Klinik Hortus Medicus
Clinical Study of The Insomnia Jamu Effects on The Renal Function of The Hortus Medicus Patients. , 2(11), pp.46–49.
Basheer, M.K.A.M. & Majid, A.M.S.A.A., 2010. Medicinal Potentials Of Orthosiphon Stamineus Benth. Webmed Central, 1(12), pp.1–7. Available
at:http://www.webmedcentral.com/article_view/1361%5Cnhttp://scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Search&q=intitle:Medicinal+Pot
entials+Of+Orthosiphon+Stamineus#2.
Brown, D.L., Masselink, A.J. & Lalla, C.D., 2013. Functional range of creatinine clearance for renal drug dosing: a practical solution to the controversy
of which weight to use in the Cockcroft-Gault equation. The Annals of pharmacotherapy, 47(7–8), pp.1039–44. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23757387.
Eknoyan G, Lameire N, Eckardt KU, Abboud IO,Adler S, Agarwal R, Andreoli PS, et. a., 2013. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the
Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. Kidney International Supplements, 3(1), pp.1–150. Available at:
http://www.kdigo.org/clinical_practice_guidelines/pdf/CKD/KDIGO CKD-MBD GL KI Suppl
113.pdf%5Cnhttp://www.nature.com/doifinder/10.1038/kisup.2012.73%5Cnhttp://www.nature.com/doifinder/10.1038/kisup.2012.76.
García-Trejo, E.M.A. et al., 2016. Effects of Allicin on Hypertension and Cardiac Function in Chronic Kidney Disease. Oxidative Medicine and Cellular
Longevity, 2016, pp.1–13. Available at: https://www.hindawi.com/journals/omcl/2016/3850402/.
Hp, C., Ry, K. & Sm, C., 2015. Medicinal Properties of Strobilanthes crispus: A Review. BAOJ Pharmaceutical Sciences, 1(2), pp.1–9.
Hsu, P. et al., 2014. Integrating traditional Chinese medicine healthcare into diabetes care by reducing the risk of developing kidney failure among type
2 diabetic patients : A population-based case control study. Journal of Ethnopharmacology, 156(155), pp.358–364. Available at:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jep.2014.08.029.
Hussaana, A. et al., 2016. Formula Jamu Antihipertensi and captopril are equally effective in patients with hypertension. Universa Medicina, 35(2),
p.81. Available at: https://univmed.org/ejurnal/index.php/medicina/article/view/324.
Intharachatorn T, S.R., 2013. Antihypertensive Effects of Centella asiatica Extract.International Conference on Food and Agricultural Sciences
399
Prosiding Seminar Nasional POKJANAS TOI ke-52 Tahun 2017 STIFAR Riau
ISBN xxxx yyyy
400