15 - Prosiding PIT XV ISOI 2018 Yogyakarta PDF
15 - Prosiding PIT XV ISOI 2018 Yogyakarta PDF
15 - Prosiding PIT XV ISOI 2018 Yogyakarta PDF
Tema:
Ilmu dan Teknologi Kelautan untuk Pembangunan Berkelanjutan
Yogyakarta
1 - 3 November 2018
Yogyakarta
1 – 3 November 2018
Reviewer:
Suhartati M. Natsir, Bisman Nababan, Susilohadi, Zainal A.Muchlisin,Viv Djanat P.,
Mufti P. Patria, Gentio Harsono, Ivonne Radjawane, Nurul D.M. Sjafrie, Aida Sartimbul,
Agus Sudaryanto, Hagi Y. Sugeha, Nirmalasari I. Wijaya, Mutiara R. Putri.
Penyunting Pelaksana:
M. Subkhan
Panitia Pelaksana:
Pembina : Dr. Ir. Safri Burhanuddin, DEA., Ketua Umum ISOI
Ketua : Dr. Nani Hendiarti (Kemenko Kemaritiman)
Sekretaris 1 : Riani Widiarti, M.Si. (UI)
Sekretaris 2 : Dr. Hagi Yulia Sugeha (LIPI)
Bendahara 1 : Elywati, S.Pi., M.Si. (Kemenko Kemaritiman)
Bendahara 2 : Alifatul Fitriyah, S.T. (PUSHIDROSAL)
Sekretariat : 1. M. Jafar Elly, M.Si. (LIPI)
2. M. Subkhan, S.Pi. (YNBS)
3. Sri Ratih Deswati, M.Si. (IPB)
4. Mayor Laut (KH) K.I. Fathoni, M.Si. (PUSHIDROSAL)
5. Ira Dillenia, M.Hum. (KKP)
6. Yoke Faizal O., S.Pi. (Kemenko Kemaritiman)
7. Teguh A. Pianto, S.T. (BPPT)
Seksi Makalah : 1. Dr. Bisman Nababan (IPB)
dan Prosiding 2. Letkol Laut (KH) Dr. Gentio H. (PUSHIDROSAL)
3. Dr. Agung Dhamar S. (UMRAH)
4. Dr. Mufti P. Patria (UI)
5. Dr. Agus Sudaryanto (BPPT)
6. Dr. A. Sulaiman (BPPT)
7. Dr. Lamona I. Bernawis, M.Sc. (ITB)
8. Dr. Tri Prartono (IPB)
Seksi Persidangan : 1. Dr. Nurul Dhewani M. Sjafrie (LIPI)
2. Drs. Namastra Probosunu, M.Si. (UGM)
3. Dr. Yeti Darmayati (LIPI)
4. Velly Asvaliantina, M.Sc. (Kemenko Kemaritiman)
5. Andreas A. Hutahaean, Ph.D. (Kemenko Kemaritiman)
Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018
Yogyakarta, 1-3 November 2018
SAMBUTAN
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat-Nya sehingga Prosiding
Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018, Yogyakarta dapat terbit. Pertemuan
Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018 ISOI ini merupakan salah satu kegiatan rutin
tahunan ISOI dengan tema ”Ilmu dan Teknologi Kelautan untuk Pembangunan
Berkelanjutan”.
Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018 ini dihadiri oleh berbagai pemangku
kepentingan seperti instansi pemerintah, swasta, perguruan tinggi, lembaga penelitian,
lembaga swadaya masyarakat dan industri dari dalam dan luar negeri. Makalah yang
dipresentasikan terdiri dari lima kelompok sesi dan dua sesi khusus yang berkaitan
dengan kelautan. Seperti tahun sebelumnya, saya sebagai Ketua Umum ISOI sangat
senang dan bangga pada penerbitan Prosiding ini karena makalah yang diterbitkan disini
telah melalui seleksi peer review oleh Tim Editor yang telah bekerja keras disela-sela
kesibukannya untuk me-review makalah yang masuk.
Ucapan terima kasih disampaikan secara khusus kepada pengurus ISOI Komisariat
Daerah Yogyakarta dan Universitas Gadah Mada yang telah membantu pelaksanaan PIT
XV ini. Penghargaan sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada Ketua dan Anggota
Tim Editor beserta staf pendukungnya yang telah bekerja keras untuk dapat
menyelesaikan proses penerbitan Prosiding ini.
ttd
iii
Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV 2018
Yogyakarta, 1-3 November 2018
KATA PENGANTAR
Prosiding ini merupakan salah satu hasil dari Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan
XV ISOI 2018 yang diselenggarakan di Yogyakarta, pada tanggal 1-3 November
2018. Kegiatan ini bertema ”Ilmu dan Teknologi Kelautan untuk Pembangunan
Berkelanjutan” dan dihadiri oleh berbagai peserta baik dari instansi pemerintah,
perguruan tinggi maupun swasta.
Panitia pelaksana seminar menerima sebanyak 248 makalah yang dipresentasikan
secara oral (147 makalah), flash dengan poster (89 makalah) dan poster (12 makalah).
Melalui peer group review, makalah tersebut di-review dan diseleksi untuk dapat
diterbitkan dalam Prosiding dan jurnal yang dikelola maupun yang berafiliasi dengan
ISOI.
Selaku Ketua Tim Editor, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-
besarnya kepada anggota Tim Editor yang sudah bekerja keras untuk me-review
makalah dibidangnya dan memberikan masukan atau komentar untuk perbaikan
makalah tersebut. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada panitia seminar yang
telah membantu dan bekerja keras dalam proses pengumpulan makalah, proses
editing, sampai proses penerbitan Prosiding PIT XI ISOI 2018 ini. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada instansi pemerintah dan swasta yang telah turut
serta membantu dalam penyelenggaraan Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV
ISOI ini antara lain Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, PUSHIDROS
TNI-AL, P2O-LIPI, KKP, Puslitbang Geologi Kelautan, BPPT, Pemkot Universitas
Gadah Mada, FPIK-IPB, dan Universitas Indonesia.
Semoga Prosiding Pertemuan Tahunan ISOI XV 2018 ini dapat menambah,
melengkapi, dan memajukan ilmu dan teknologi di bidang perikanan dan kelautan.
ttd
Bisman Nababan
Ketua Tim Editor
iv
Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018
Yogyakarta, 1-3 November 2018
DAFTAR ISI
v
Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018
Yogyakarta, 1-3 November 2018
vii
Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018
Yogyakarta, 1-3 November 2018
viii
HIDRO-OSEANOGRAFI;
PENGINDERAAN JAUH; DAN IKLIM MARITIM
Firmansyah et al.
Abstrak
Penyajian peta kawasan mangrove dengan nilai akurasi tinggi masih terus menjadi tantangan
bagi para peneliti. Pemilihan citra satelit yang tepat menjadi salah satu pertimbangan penting
dalam memetakan hutan mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil
klasifikasi citra satelit Sentinel-2 dan Landsat 8 untuk mengestimasi luasan mangrove di
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Gili Sulat, Lombok Timur. Penelitian ini
dilakukan dengan 2 tahapan, yaitu pengolahan citra satelit dan pengambilan data lapangan.
Pengolahan data citra satelit dilakukan dengan teknik klasifikasi berbasis objek (OBIA)
dengan skala segmentasi 30. Algoritma klasifikasi yang digunakan adalah support vector
machine (SVM). Pengambilan data lapangan dilakungan metode stratified random sampling
dengan jumlah data yang diperoleh sebanyak 147. Studi ini menghasilkan 4 kelas klasifikasi
yaitu mangrove, belukar, alang-alang, dan badan air (laut). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa citra Sentinel-2 menghasilkan nilai overall accuracy sebesar 96,04 % sedangkan
Landsat 8 sebesar 90,10 % .
Kata kunci: klasifikasi, mangrove, OBIA, Support Vector Machine
Abstract
Providing accurate maps of mangroves with the highest accuracy are a major challenge for
practitioners. Selection of the appropriate satellite imagery is an important consideration in
mapping mangrove. This study aims to assess classification accuracy of Sentinel-2B and
Landsat 8 satellite imagery to estimate the mangrove area in Kawasan Konservasi Laut
Daerah (KKLD) Gili Sulat, Lombok Timur. This research was carried out in 2 stages that was
satellite image processing and collecting field data. Image processing was accomplished with
the object based classification approach (OBIA) with segmentation scale was 30. A
Classification algoritmh that used was a support vector machine (SVM). Collecting field data
used stratified random sampling with 147 data in total. The study resulting 4 class that was
mangrove, shrub, reeds, and water body (sea). The classification analysis showed that
Sentinel-2B had an overall accuracy of 96,04% while Landsat 8 had an overall accuracy of
91,09%.
Keywords: classification, mangrove, OBIA, Support Vector Machine.
I. PENDAHULUAN
Mangrove adalah salah satu tumbuhan yang mampu hidup di air payau yang
hidup dalam pengaruh pasang dan surut serta dapat ditemukan di kawasan tropis dan
sub-tropis (Giri et al. 2011). Mangrove memiliki peranan sebagai peredam badai dan
citra Satelit Landsat-8 yang diakusisi pada tanggal 09 November 2018 serta dapat
diunduh padahttps://earthexplorer.usgs.gov. Pertimbangan pemilihan tanggal akuisisi
kedua citra, karena disesuaikan dengan pengambilan data lapangan dan juga factor
tutupan awan yang menutupi lokasi penelitian. Karakteristik dari citra satelit yang
digunakan akan ditampilkan dalam Tabel 1.
Sentinel-2B Landsat-8
Spektrum Panjang Resolusi Panjang
Resolusi
Band Gelombang Spasial Band Gelombang
Spasial
(nm) (m) (nm)
Aerosol B1 442,3 60 B1 443 30
Blue B2 492,1 10 B2 482 30
Green B3 559 10 B3 561,3 30
Pan - - - B8 591,7 15
Red B4 665 10 B4 654,6 30
Red edge-1 B5 703,8 20 - - -
Red edge-2 B6 739,1 20 - - -
Red edge-3 B7 779,7 20 - - -
NIR B8 833 10 - - -
NIR B8a 864 20 B5 864,6 30
Water vapor B9 943,2 60 - - -
Cirrus B10 1376,9 60 B9 1373 30
SWIR-1 B11 1610,4 20 B6 1609 30
SWIR-2 B12 2185,7 20 B7 2201 30
Sumber: Wang et al. 2018
Pemrosesan Citra
Pemrosesan awal pada citra satelit Sentinel-2B dan Landsat 8penting untuk
dilakukan sebelum analisis lebihlanjut. Tahapan ini secara umum pada pemrosesan
citra melibatkan beberapa proses yang dilakukan seperti koreksi radiometrik, koreksi
geometrik, serta koreksi atmosferik. Penelitian ini menggunakan koreksi radiometrik
serta koreksi atmosferik yang diproses pada citra satelit yang dianalisis, hal ini
dilakukan karena citra satelit yang akan digunakan telah terkoreksi secara geomerik.
Koreksi radiometrik dilakukan untuk mengubah data pada citra yang (pada umumnya)
disimpan dalam bentuk Digital Number (DN) menjadi reflektan. Selanjutnya proses
yang dilakukan yaitu koreksi atmosferik dengan meminimalkan pengaruh atmosferik
seperti uap air dengan menggunakan metode Dark Object Substraction (DOS).
Menurut Song et al.(2000)dalam membandingkan antar sensor citra satelitpengaruh
atmosfir dapat dapat diabaikan. Semua pemprosesan citra dilakukan menggunakan
software QGIS.
digunakan pada penelitian ini. Ketiga parameter tersebut tidak memiliki nilai pasti
sehingga pada klasifikasi berbasis objek seringkali dilakukan proses trial and error.
Selama analisis data, hanya parameter scale yang dirubah, hal ini dikarenakan
parameter ini cukup memberikan hasil yang signifikan terhadap nilai akurasi (Smith
2010). Parameter scale yang digunakan yaitu 30, sedangkan nilai setiap parameter
shape dan compactness secara berurutan adalah 0,5 dan 0,1 yang diterapkan pada
kedua citra satelit.
Uji Akurasi
Peta citra yang dihasilkan penting untuk dilakukan uji akurasi untuk melihat
seberapa besar peta yang dihasilkan dapat percaya. Pengujian akurasi dilakukan
dengan membandingkan hasil klasifikasi citra satelit dengan titik akurasi sebagai
referensi. Semakin tinggi nilai akurasi yang dihasilkan semakin baik peta yang dibuat.
Analisis untuk uji akurasi pemetaan mangrove menggunakan tabel matrik kesalahan
atau yang lebih dikenal dengan confussion matrixyang merujuk pada Congalton dan
Green (2009)(Tabel 2).
A
B
perbedaan resolusi spasial. Sentinel-2B dengan resolusi spasial yang lebih baik yaitu
10m dibandingkan Landsat 8 yaitu 30m memberikan informasi yang berbeda dalam
hal interpretasi.
Uji Akurasi
Secara visual berdasarkan hasil klasifikasi yang ditampilkan pada Gambar 4
terlihat mampu diklasifikasikan dengan baik. Untuk melihat tingkat kerpercayaan dari
suatu peta klasifikasi dilakukan pengujian akurasi. Pengujian akurasi hasil klasifikasi
kedua citra satelit dilakukan dengan membandingkan data lapangan sehingga akan
menunjukkan performa dari kedua sensor satelit dalam melakukan klasifikasi. Berikut
ini hasil akurasi dari kedua citra satelit yang ditunjukkan dalam tabel confussion
matrix (Tabel 3 dan 4) :
Laut 78 78 100
Mangrove 2 8 2 12 66
Belukar 5 5 100
Total 6 80 8 7 101
Prod. Acc(%) 100 97,5 100 85
Overall Accuracy = 96,04 %
Laut 71 71 100
Mangrove 7 8 1 16 50
Belukar 6 6 100
Total 6 80 8 7 101
Prod. Acc
100 88 100 85
(%)
Overall Accuracy = 90,10 %
meminimalkan kesalahan interpretasi dari citra satelit. Penelitian yang sama juga
disampaikan oleh Valderrama et al.(2018) yang membandingkan beberapa citra satelit
yaitu Landsat-8, SPOT-5, Sentinel-2, dan WorldView-2 dalam memetakan mangrove
di Meksiko. Hasil penelitian tersebut menghasilkan bahwa WorldView-2 dengan
resolusi spasial 1,6 m mampu menghasilkan nilai overall accuracy tertinggi
dibandingkan ketiga citra lainnya. Selain resolusi spasial, perbedaan sensor dari kedua
satelit yang dibandingkan adalah nilai spektral serta rentang panjang gelombang dari
masing-masing sensor akan berdampak pada nilai ambang batas dari penerapan setiap
algoritma yang diterapkan pada citra satelit (Wang et al. 2018).
Berdasarkan tabel di atas, luas Landsat 8 memiliki luasan mangrove yang lebih
luas bila dibandingkan dengan Sentinel-2B dengan selisih sebesar 56,62 ha. Citra
Sentinel-2B menghasilkan luasan mangrove sebesar 816,11 ha sedangkan Landsat 8
menghasilkan luasan mangrove sebesar 872,73 ha. Sejauh ini informasi mengenai
luasan mangrove di Gili Sulat belum ditemukan. Umumnya penelitian yang dilakukan
berfokus pada komunitas mangrove dan berbagai biota penyusun didalamnya (Idrus et
al. 2015).
IV. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan pada penelitian ini adalah bahwa citra Sentinel-2B
mampu menghasilkal nilai overall accuracy yang lebih baik bila dibandingkan dengan
Landsat 8, di mana hasil yang diperoleh secara berurutan adalah 96,04% dan90,10 %.
DAFTAR PUSTAKA
BIG [Badan Informasi Geospasial]. 2014. Pedoman Teknis Pengumpulan dan
Pengolahan Data Geospasial Mangrove, Cibinong.
Cao J, Leng W, Liu K, Liu L, He Z, Zhu Y. 2018. Object-Based mangrove species
classification using unmanned aerial vehicle hyperspectral images and digital
surface models. Remote Sens. 10(89):1–20.doi:10.3390/rs10010089.
Congalton RG, Green K. 2009. Assessing the Accuracy of Remotely Sensed Data -
Principles and Practices. Int. J. Appl. Earth Obs. Geoinf.
11:183.doi:10.1016/j.jag.2009.07.002.
Delen D., Olson D. (2008). Advanced Data Mining Technique. Berlin Heidelberg
(DE): Springer-Verlag.
Féret JB, Asner GP. 2012. Semi-supervised methods to identify individual crowns of
lowland tropical canopy species using imaging spectroscopy and lidar. Remote
Sens. 4(8):2457–2476.doi:10.3390/rs4082457.
Giri C, Ochieng E, Tieszen LL, Zhu Z, Singh A, Loveland T, Masek J, Duke N. 2011.
Status and distribution of mangrove forests of the world using earth
observation satellite data. Glob. Ecol. Biogeogr. 20(1):154–
159.doi:10.1111/j.1466-8238.2010.00584.x.
Idrus AA., Hadiprayitno., Mertha I, L I. 2015. Potensi Vegetasi dan Arthropoda di
Kawasan Mangrove Gili Sulat Lombok Timur. Biol. Trop. 15(2):183–196.
Kamal M, Phinn S, Johansen K. 2015. Object-based approach for multi-scale
mangrove composition mapping using multi-resolution image datasets.
Remote Sens. 7(4):4753–4783.doi:10.3390/rs70404753.
Kitamura S, Anwar C, Chaniago A, Baba S. 1997. Buku Panduan Mangrove di
Indonesia. Denpasar: Indonesia.
Kuenzer C, Bluemel A, Gebhardt S, Quoc TV, Dech S. 2011. Remote sensing of
mangrove ecosystems: A review. Volume ke-3.
Liu D, Xia F. 2010. Assessing object-based classification: Advantages and
limitations. Remote Sens. Lett. 1(4):187–
194.doi:10.1080/01431161003743173.
Lu D, Weng Q. 2007. A survey of image classification methods and techniques for
improving classification performance. Int. J. Remote Sens. 28(5):823–
870.doi:10.1080/01431160600746456.
Manning C., Raghavan P., Schutze H. (2009). An Introduction to Information
Retrieval. Cambridge (UK): Cambridge Unversity Press.
Myint SW, Gober P, Brazel A, Grossman-Clarke S, Weng Q. 2011. Per-pixel vs.
object-based classification of urban land cover extraction using high spatial
resolution imagery. Remote Sens. Environ. 115(5):1145–
1161.doi:10.1016/j.rse.2010.12.017.
Prudente VHR, Silva BB da, Johann JA, Mercante E, Oldoni L V. 2017. Comparative
Assessment Between Per-Pixel and Object-Oriented for Mapping Land Cover
and Use. Eng. Agrícola. 37(5):1015–1027.doi:10.1590/1809-4430-
eng.agric.v37n5p1015-1027/2017.
Shapiro A, Trettin C, Küchly H, Alavinapanah S, Bandeira S. 2015. The Mangroves
of the Zambezi Delta: Increase in Extent Observed via Satellite from 1994 to
2013. Remote Sens. 7(12):16504–16518.doi:10.3390/rs71215838.
Smith A. 2010. Image segmentation scale parameter optimization and land cover
classification using the Random Forest algorithm. J. Spat. Sci. 55(1):69–
79.doi:10.1080/14498596.2010.487851.
Son NT, Chen CF, Chang N Bin, Chen CR, Chang LY, Thanh BX. 2015. Mangrove
mapping and change detection in ca mau peninsula, vietnam, using landsat
data and object-based image analysis. IEEE J. Sel. Top. Appl. Earth Obs.
Remote Sens. 8(2):503–510.doi:10.1109/JSTARS.2014.2360691.
Song C, Woodcock CE, Seto KC, Lenney MP, Macomber SA. 2000. Classification
and Change Detection Using Landsat TM Data : When and How to Correct
Atmospheric Effects ? Remote Sens. Environ. 4257(00):230–243.
Valderrama LL, Flores-de-Santiago F, Kovacs JM. 2018. An assessment of
commonly employed satellite-based remote sensors for mapping mangrove
Abstrak
Fenomena Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia yang terjadi beberapa waktu lalu di Indonesia
menimbulkan dampak yang cukup signifikan terhadap aktivitas perairan di daerah yang
dilaluinya. Meskipun Indonesia tidak secara langsung dilewati oleh Siklon Tropis Cempaka
dan Dahlia, namun lingkupan hujan dan angin dari siklon tersebut memiliki dampak yang
cukup signifikan bagi wilayah Indonesia. Hal ini tentu saja mengganggu aktivitas masyarakat
di wilayah pesisir seperti aktivitas nelayan, pariwisata, pelabuhan dan PLTU. Fenomena
tersebut dapat dianalisis dari kondisi fisik laut terutama gelombang laut saat siklon tropis
untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan secara langsung oleh Siklon Tropis Cempaka
dan Dahlia di perairan Provinsi Lampung hingga Bali. Paper ini bertujuan untuk
mensimulasikan karakteristik gelombang pada wilayah Provinsi Lampung hingga Bali dengan
menggunakan model gelombang Simulating Wave Nearshore (SWAN) versi 41.20 pada saat
kejadian Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia (November-Desember 2017). Proses verifikasi
pemodelan dilakukan dengan menghitung nilai korelasi dan RMSE tinggi gelombang
signifikan hasil pemodelan dengan tinggi gelombang signifikan dari pengamatan satelit
altimetri yang melintas pada saat terjadinya fenomena Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia.
Hasil menunjukkan kenaikan tinggi gelombang signifikan di perairan sekitar Pulau Jawa dan
Sumatera dengan nilai maksimum hingga 717,94% pada titik pengamatan Teluk Jakarta,
Provinsi DKI Jakarta.
Kata kunci: Gelombang laut, pemodelan gelombang, SWAN, siklon tropis, Cempaka
Dahlia.
Abstract
Tropical Cyclone Cempaka and Dahlia that occurred some time ago in Indonesia caused a
significant impact to area in its path. Although Indonesia is not directly passed by Tropical
Cyclones Cempaka and Dahlia, the rainbands of the cyclones have a significant influence on
the Indonesian area. This certainly disturbs activities in the areas such as fishing activities,
tourism site, ports, and power plants. This phenomenon can be analyzed from the physical
condition especially for tropical cyclones that can be directly caused by Tropical Cyclone
Cempaka and Dahlia in Province of Lampung to Bali. This paper is aimed to simulate wave
characteristics in the coastal area of Lampung to Bali Province using Simulating Waves
Nearshore (SWAN) version 41.20 wave model at the time of Cempaka and DahliaTropical
Cyclones (November-December 2017). The verification process was performed with
calculating the correlation coeffiecient and RMSE of significant wave height from wave
modeling against significant wave height from altimetry satellite observations across the
Tropical Cyclones Cempaka and Dahlia. The result shows increase of wave heights in the
study area with a maximum wave height increasement up to 678.37% at the observation point
in Merak Port, Banten Province.
Keywords: Waves, waves modelling, SWAN, tropical cyclone, Cempaka Dahlia.
Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018 11
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Analisis Dampak Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia terhadap Tinggi Gelombang Perairan Provinsi...
I. PENDAHULUAN
Siklon tropis merupakan badai dengan kekuatan besar dan memiliki sistem
tekanan rendah yang tumbuh di atas perairan hangat dengan wilayah perawanan
konvektif dan kecepatan angin maksimum setidaknya mencapai 34 knot pada lebih
dari setengah wilayah yang melingkari pusatnya. Kadangkala di pusat siklon tropis
terbentuk suatu mata siklon yang merupakan wilayah dengan kecepatan angin relatif
rendah dan tanpa awan. Diameter mata siklon bervariasi mulai dari 10 hingga 100 km.
Mata siklon ini dikelilingi dengan dinding mata siklon, yaitu wilayah berbentuk cincin
yang dapat mencapai ketebalan 16 km, yang merupakan wilayah dimana terdapat
kecepatan angin tertinggi dan curah hujan terbesar. Masa hidup suatu siklon tropis
rata-rata berkisar antara 3 hingga 18 hari. Dikarenakan energi siklon tropis didapat
dari lautan hangat, maka siklon tropis akan melemah atau punah ketika bergerak dan
memasuki perairan yang dingin atau memasuki daratan.
Daerah pertumbuhan siklon tropis mencakup Atlantik Barat, Pasifik Timur,
Pasifik Utara bagian barat, Samudera Hindia bagian utara dan selatan, Australia dan
Pasifik Selatan. Sekitar 2/3 kejadian siklon tropis terjadi di belahan bumi bagian utara.
Sekitar 65% siklon tropis terbentuk di daerah lintang 10° - 20°, hanya sekitar 13%
siklon tropis yang tumbuh di atas daerah lintang 20°, sedangkan di daerah lintang
rendah (0° - 10°) siklon tropis jarang terbentuk (Khotimah, 2008).
Siklon Tropis Cempaka merupakan depresi tropis yang terjadi di bagian
selatan Pulau Jawa. Siklon tersebut ditunjukkan oleh adanya abu yang dihembuskan
dari Gunung Agung, Bali ke arah barat. Siklon Cempaka melemah saat mengarah ke
barat daya. Siklon Tropis Dahlia pertama kali diamati pada 24 November 2017 saat
terjadi depresi tropis sekitar 1.500 km di sebelah barat Jakarta. Pada 1 Desember,
Dahlia diintensifkan menjadi siklon tropis Kategori 2, dan mencapai intensitas
puncaknya enam jam kemudian dengan tekanan barometrik minimal 985 hPa (TCWC
Jakarta, 2017). Secara umum, Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia mempengaruhi
perairan dari Provinsi Lampung hingga Bali yang ditandai oleh kenaikan gelombang
laut, angin kencang, hujan dengan intensitasi tinggi, banjir, hingga tanah longsor pada
wilayah tersebut (Rini, 2017). Pemodelan numerik perlu dilakukan untuk mengetahui
dampak yang ditimbulkan oleh Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia.
Pemodelan numerik yang dilakukan menggunakan perangkat lunak SWAN
yang digunakan untuk memperoleh nilai tinggi gelombang signifikan (SWH). Nilai
tinggi gelombang signifikan (SWH) tersebut nantinya digunakan untuk menentukan
karakteristik gelombang pada titik pengamatan pada pemodelan yang ditetapkan di
wilayah Lampung – Bali. Dengan dimodelkannya fenomena Siklon Tropis Cempaka
dan Dahlia diharapkan dapat diketahui dampak yang ditimbulkan dari fenomena
siklon tropis tersebut. Verifikasi pemodelan gelombang dilakukan dengan
membandingkan tinggi gelombang signifikan hasil pemodelan dengan tinggi
gelombang signifikan hasil pengamatan satelit altimetri yang melintas saat fenomena
Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia. Hasil verifikasi pemodelan disajikan dalam
bentuk plot grafik tinggi gelombang signifikan antara tinggi gelombang signifikan
dari hasil pemodelan terhadap satelit altimetri dan secara statistik dengan melihat nilai
korelasi dan Root Mean Square Error (RMSE) dari tinggi gelombang signifikan hasil
pemodelan dan pengamatan altimetri.
Menentukan Parameter
Gaussian Filtering pada Data Masukan
SWH Satelit Altimetri
Parameter
Masukan yang Uji Sensitivitas
SWH Hasil Gaussian
Berbeda
Filtering
Parameter Masukan
yang Dipilih
Titik
Simulasi Gelombang
Pengamatan
Model
Gelombang
Karakteristik
Gelombang
Analisis
Kesimpulan
(d) Daerah pemodelan Jawa Barat-Jawa Tengah (e) Daerah pemodelan Jawa Timur-Bali
Gambar 2. Daerah pemodelan gelombang
Data satelit altimetri diambil dari server Radar Altimeter Database System
(RADS) di ruang Pusat Informasi Data Spasial (PIDS) ITB. Pengolahan data altimetri
dapat dilihat pada Scharroo dkk (2018). Pada proses verifikasi dengan
membandingkan SWH dari pemodelan SWAN dengan SWH yang diperoleh dari
satelit altimetri yang telah dilakukan proses gaussian filtering, serta dicari nilai
korelasi dan RMSE dari kedua data SWH tersebut. Data SWH dari satelit altimetri
dipilih dengan melakukan pembatasan rentang waktu dan wilayah penelitian. Rentang
waktu yang digunakan adalah selama Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia yakni 26
November hingga 4 Desember 2017 di daerah Lampung – Bali. Pada pemilihan
rentang waktu dan daerah verifikasi tersebut didapatkan satelit altimetri yang melintas
antara lain, seperti tersaji pada Gambar 3.
- 4 pass Satelit Cryosat 2
- 3 pass Satelit Jason 2C
- 4 pass Satelit Jason 3A
- 5 pass Satelit Sentinel 3A
(a) Plot jalur Satelit Cryosat 2 (b) Plot jalur Satelit Jason 2C
(c) Plot jalur Satelit Jason 3A (d) Plot jalur Satelit Sentinel 3A
Gambar 3. Plot jalur satelit altimetri saat Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia
pemodelan yang ditempatkan pada perairan Provinsi Lampung hingga Banten. Titik
pengamatan pada pemodelan tersebar di perairan bagian selatan, utara dan selat pada
Provinsi Lampung hingga Bali.
(a) Uji sensitivitas langkah waktu (b) Uji sensitivitas resolusi grid
Pada hasil uji sensitivitas dapat diketahui bahwa langkah waktu dan kondisi
fisik memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap hasil pemodelan terutama
pada SWH yang dihasilkan sementara parameter resolusi grid tidak memiliki
pengaruh terhadap SWH yang dihasilkan. Parameter langkah waktu memiliki
pengaruh terhadap kerapatan data yang dihasilkan sedangkan untuk kondisi fisik perlu
diperhatikan pada kondisi fisik Janssen yang tidak dapat digunakan dalam pemodlean
gelombang, sedangkan perubahan resolusi grid hanya berpengaruh terhadap lama
waktu pemodelan saja.
Verifikasi Pemodelan
Verifikasi dilakukan dengan melakukan perbandingan SWH pemodelan
dengan SWH altimetri pada masing-masing pass satelit. Selanjutnya dilakukan
penghitungan nilai korelasi (r) dan RMSE antar SWH pemodelan dengan SWH
altimetri. Berdasarkan hasil perbandingan SWH pemodelan SWAN dengan SWH
altimetri serta nilai korelasi dan RMSE dari kedua data tersebut dapat diketahui
bahwa semua SWH altimetri berada diatas SWH pemodelan. Disisi lain apabila
dilihat dari nilai korelasi dari kedua data SWH tersebut didapatkan bahwa sebagian
besar menunjukan korelasi yang sangat bagus (>0,7), sementara hanya 2 pass satelit
16 Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Windupranata et al.
altimetri yang memiliki nilai korelasi yang rendah yakni pada Satelit Jason 3A pass
166 cycle 66 dengan nilai korelasi 0,22 dan Satelit Sentinel 3A pass 92 cycle 25
dengan nilai korelasi 0,22.
Sementara itu, untuk nilai Root Mean Square Error (RMSE) dari kedua data
tersebut menunjukan nilai yang cukup bervariasi mulai dari 0,93 m hingga tertinggi
yakni 2,87 m. Nilai RMSE tertinggi terdapat pada Satelit Sentinel 3A pada pass 178
cycle 25 dan pass 206 cycle 25dengan nilai berurutan yakni 2,01 m dan 2,87 m.
Meskipun demikian, nilai korelasi dari kedua data tersebut menunjukkan korelasi
yang sangat bagus. Gambar 5, 6, 7 dan 8 menyajikan hasil perbandingan antara hasil
pemodelan SWAN dengan beberapa satelit altimetri mulai Cryosat 2, Jason 2C, Jason
3A dan Sentinel 3A.
r = 0,75 r = 0,95
RMSE = 1,00 m RMSE = 1,09 m
r = 0,92 r = 0,99
RMSE = 1,31 m RMSE = 1,39 m
r = 0,93 r = 0,81
RMSE = 1,02 m RMSE = 1,26 m
(a) Pass 279 Cycle 340 (b) Pass 318 Cycle 340
r = 0,96
RMSE = 1,00
(c) Pass 49 Cycle 341
Gambar 6. Verifikasi pemodelan dengan Satelit Jason 2C
Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018 17
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Analisis Dampak Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia terhadap Tinggi Gelombang Perairan Provinsi...
r = 0,87 r = 0,22
RMSE = 1,16 m RMSE = 1,55 m
(a) Pass 127 Cycle 66 (b) Pass 166 Cycle 66
r = 0,95 r = 0,94
RMSE = 0,99 m RMSE =0,93 m
r = 0,24 r = 0,75
RMSE =1,30 m RMSE =1,41 m
r = 0,91
r = 0,71 RMSE = 2,87 m
RMSE = 2,01 m
(d) Pass 206 Cycle 25
(c) Pass 178 Cycle 25
Lampung-Banten, Jawa Barat – Jawa Tengah, dan Jawa Timur - Bali. Hal ini
dikarenakan, pada penelitian ini berfokus pada dampak Siklon Tropis Cempaka dan
Dahlia terhadap wilayah perairan Provinsi Lampung hingga Bali yang diamati pada
titik pengamatan pemodelan yang tersebar pada wilayah perairan tersebut. Gambar 9
menyajikan sebaran titik pengamatan pemodelan pada domain yang telah ditentukan.
(a) Titik pengamatan pemodelan pada (b) Titik pengamatan pemodelan pada
Domain Lampung – Banten Domain Jawa Barat – Jawa Tengah
Tabel 8. Persentase Kenaikan SWH (%) selatan Jawa Barat – Jawa Tengah
Rerata SWH SWH Tertinggi Kenaikan
Titik Pengamatan
Sebelum Siklon (m) Saat Siklon (m) SWH (%)
Pelabuhan Ratu 0,50 1,08 115,76
Pameungpeuk 0,65 1,04 59,57
Teluk Pangandaran 0,64 0,94 47,26
Pesisir Cilacap 0,64 0,99 55,42
Pesisir Gunung Kidul 0,62 1,10 78,50
tinggi gelombang signifikan tertinggi terdapat pada Pesisir Gunung Kidul dengan
tinggi 1,10 m.
Pada titik pengamatan pada pemodelan yang ditentukan di daerah selatan Jawa
Barat – Jawa Tengah, menunjukkan bahwa tinggi gelombang signifikan maksimum
berada pada Pesisir Gunung Kidul. Karakteristik gelombang laut pada Pesisir Gunung
Kidul menunjukkan bahwa tinggi gelombang signifikan maksimum berada pada nilai
1,10 meter pada 30 November 2017 pukul 14.00 dengan tinggi gelombang rata-rata
0,57 meter, pada arah 196° dengan periode rata-rata 3,45 detik dan panjang
gelombang rata-rata 32,76 meter sesuai pada Tabel 9.
Pada daerah utara Jawa Barat – Jawa Tengah terdapat 5 titik pengamatan pada
pemodelan yang tersebar yakni Pesisir Karawang, Pesisir Cirebon, Pesisir
Pekalongan, Pesisir Semarang, dan Pesisir Rembang. Hasil pemodelan pada wilayah
utara Jawa Barat – Jawa Tengah didapatkan tinggi gelombang signifikan pada
masing- masing titik pengamatan yang dilakukan plotting mulai tanggal 20 November
2017 hingga 4 Desember 2017. Hasil plot tersebut menunjukkan bahwa pada utara
Jawa Barat – Jawa Tengah juga dipengaruhi Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia
meskipun berada cukup jauh dari pusat siklon. tinggi gelombang signifikan pada titik
pengamatan pada pemodelan tersebut sesuai pada Gambar 14.
Tabel 10. Persentase kenaikan SWH utara Jawa Barat – Jawa Tengah
Rerata SWH SWH Tertinggi Kenaikan
Titik Pengamatan
Sebelum Siklon (m) Saat Siklon (m) SWH (%)
Pesisir Karawang 0,07 0,36 400,13
Pesisir Cirebon 0,10 0,34 223,86
Pesisir Pekalongan 0,16 0,71 352,59
Pesisir Semarang 0,19 1,04 453,82
Pesisir Rembang 0,21 0,96 352,29
Pada utara domain Jawa Barat – Jawa Tengah, persentase kenaikan tinggi
gelombang signifikan menunjukkan angka yang besar yakni antara 223 – 453%. Hal
ini dikarenakan karena SWH tertinggi pada saat siklon dan rerata tinggi gelombang
signifikan memiliki selisih yang besar sehingga persentase kenaikan tinggi gelombang
signifikan juga menunjukkan angka yang besar.
Pada utara domain Jawa Barat – Jawa Tengah, tinggi gelombang signifikan
tertinggi berada titik pengamatan Pesisir Semarang dengan karakteristik gelombang
dapat dilihat pada Tabel 11.
Titik pengamatan pada pemodelan yang ditentukan pada selatan Jawa Timur –
Bali terdapat 5 titik pengamatan yang terdiri dari Pesisir Pacitan, Pesisir Malang,
Taman Nasional Alas Purwo, Nusa Dua, dan Tanjung Benoa.
Pada Gambar 15 dapat diketahui bahwa pada daerah selatan Jawa Timur – Bali
masih dipengaruhi oleh fenomena Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia. Pengaruh dari
siklon tropis tersebut semakin berkurang pada titik pengamatan yang berada di bagian
Timur. Pada bagian barat Domain Jawa Timur - Bali yakni Pesisir Pacitan memiliki
tinggi gelombang signifikan maksimum dan semakin menurun pada titik pengamatan
pada pemodelan yang berada di Timur. Pada titik pengamatan pada pemodelan yang
terdapat di Pulau Bali menunjukkan bahwa penambahan tinggi gelombang signifikan
pada saat fenomena Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia tidak terlalu besar.
Pada selatan Jawa Timur – Bali, persentase kenaikan tinggi gelombang
signifikan memiliki pola yang sama dengan tinggi gelombang signifikan tertinggi
pada masing – masing titik pengamatan pemodelan. Hal ini juga menunjukkan
kenaikan gelombang akibat fenomena siklon hanya berdampak kecil pada timur Jawa
Timur - Bali. Karakteristik gelombang pada titik pengamatan dengan tinggi
gelombang signifikan maksimum ditampilkan pada Tabel 15.
Pada daerah pemodelan Selat Bali, ditentukan titik pengamatan pada Pesisir
Tabanan, dan Pantai Kuta. Sebenarnya pada Selat Bali terdapat pelabuhan Ketapang
di Banyuwangi dan pelabuhan Gilimanuk di Bali, namun tidak dapat dijadikan titik
pengamatan karena ukuran grid yang digunakan terlalu besar sehingga tidak
menghasilkan data pada daerah tersebut. Pemilihan titik pengamatan pada Pesisir
Tabanan dan Pantai Kuta karena pada daerah tersebut memiliki pesona pariwisata
yang menarik perhatian wisatawan, dengan demikian dapat diketahui dampak dari
Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia pada daerah pariwisata terkenal seperti Pesisir
Tabanan dan Pantai Kuta tersebut.
Pada Gambar 16, dapat diketahui bahwa pada daerah Selat Bali tidak terlalu
dipengaruhi oleh fenomena Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia. Hal ini nampak pada
tanggal terjadinya fenomena Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia yang tidak terlalu
mempengaruhi penambahan tinggi gelombang signifikan yang terjadi pada titik
pengamatan yang ditempatkan pada Selat Bali tersebut. Hal ini juga dapat dilihat dari
persentase kenaikan tinggi gelombang signifikan pada wilayah Selat Bali pada Tabel
14 yang hanya mengalami kenaikan sebesar 25% - 32%.
Apabila dilihat dari karakteristik gelombang pada titik pengamatan Pantai
Kuta, tinggi gelombang signifikan maksimum hanya berada pada nilai 0,6 meter pada
4 Desember 2017 dengan nilai tinggi gelombang rata-rata 0,42 meter, arah gelombang
rata-rata 203°, periode gelombang rata-rata 3,46 detik, dan panjang gelombang rata-
rata 32,40 meter sesuai pada Tabel 15. Berdasarkan waktu terjadinya titik gelombang
signifikan maksimum menunjukkan bahwa waktu tersebut berada diluar rentang
waktu fenomena Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia yakni pada tanggal 4 Desember
2017 pukul 21.00 sedangkan terjadinya Siklon Tropis Dahlia berakhir pada 3
Desember 2017 dengan posisi Siklon berada pada ratusan kilometer sebelah selatan
Pulau Jawa tepatnya Samudera Hindia. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan, bahwa
pada Selat Bali mempengaruhi sangat sedikit kenaikan tinggi gelombang signifikan
pada fenomena Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia.
Titik pengamatan pemodelan pada utara Jawa Timur – Bali ditentukan pada 5
titik pengamatan pada pemodelan. Titik pengamatan pada pemodelan tersebut antara
lain Tuban, Gresik, PLTU Paiton, Balai Taman Nasional Bali, dan Karangasem Utara.
SWH maksimum terjadi pada Pesisir Tuban dan Pesisir Gresik, sedangkan
pada titik pengamatan lain yang terletak pada wilayah utara Jawa Timur – Bali hanya
kecil pengaruh dari fenomena Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia. Pada utara domain
Jawa Timur - Bali, tinggi gelombang signifikan tertinggi berada titik pengamatan
Pesisir Tuban dengan karakteristik gelombang dapat dilihat pada Tabel 11.
Pada pemodelan ini juga dilakukan verifikasi dengan data altimetri dengan
hasil bahwa seluruh hasil pemodelan SWAN memiliki tinggi gelombang signifikan di
bawah tinggi gelombang signifikan satelit altimetri. Hasil dari verifikasi tinggi
DAFTAR PUSTAKA
Holthuijsen, L. 2007. Waves in Oceanic and Coastal Water. Newyork: Cambridge
University Press.
Rini, D. 2017. "Cempaka" Meluruh, Siklon Tropis "DAHLIA" Lahir, Waspada
Bencana Hidrometeorologi Menghadang, Press Release, BMKG, 29
November 2017.
charoo, R. 2018. RADS User Manual 4.2.1.1.
SWAN Team. 2017. Scientific and Technical Documentation. Delft University of
Technology.
Khotimah, M. 2008. Klimatologi Siklon Tropis Di Sekitar Indonesia. Buletin
Meteorologi dan Geofisika. Retrieved from TCWC Jakarta: http://meteo.
bmkg.go.id/siklon/learn/01/id
TCWC Jakarta. 2017. TCWC Jakarta, BMKG.Retrieved from Buletin Informasi
Siklon Tropis: http://meteo.bmkg.go.id/data/tc/ IDJ21030.txt
Abstrak
Upwelling merupakan fenomena di alam yang bersifat nonlinear yang memiliki peranan
penting pada bidang oseanografi perikanan. Pada penelitian ini dilakukan analisis kejadian
upwelling menggunakan wavelet koherensi dan prediksi hindcastkejadian upwelling
menggunkan fuzzy inference system(FIS).Data deret waktu bulanan pada periode Januari 2006
sampai Desember 2017 dari Oceanic Niño Index (ONI) sebagai indeks El Niño-Southern
Oscillation (ENSO), Dipole Mode Index(DMI) sebagai indeks Indian Ocean Dipole (IOD)
dan arah angin sebagai indeks monsun di atas Perairan Selatan Jawa sebagai faktor yang
mempengaruhi upwelling digunakan sebagai variabel input FIS.Model FIS menggunakan
sistem inferensi Mamdani yang menghasilkan keluaran berupa probabilitas kejadian
upwelling. Analisis wavelet digunakan untuk menentukan keeratan hubungan antara variabel
input fuzzy terhadap indikator upwelling. Hasil analisis wavelet menunjukkan bahwa monsun
memiliki pengaruh paling besar terhadap variabilitas upwelling diikuti oleh IOD dan ENSO.
Prediksi upwelling berdasarkan Fuzzy Inference System (FIS) menunjukkan akurasi yang
bagus yang diverifikasi dengan data observasi. Hasil model FIS menunjukkan upwelling
terjadi pada pertengahan tahun yang berasosiasi dengan angin monsun timur. Intensitas
upwelling mengalami peningkatan ketika fenomena angin monsun timur, IOD positif dan El
Niño terjadi bersamaan.
Kata kunci: Logika Fuzzy, Analisis Wavelet, Upwelling, Prediksi, Soft Computing.
Abstract
Upwelling is a nonlinear process that has important rolein fisheries oceanography. In this
research, upwelling prediction from hindcast data was obtained using Fuzzy Inference System
(FIS). Time series monthly data from January 2006 until December 2017 of Oceanic Niño
Index (ONI)(as index of El Niño-Southern Oscillation), Dipole Mode Index(DMI) (as index of
Indian Ocean Dipole) and wind direction (as index of monsoon) above South Java Waters as
upwelling driven factor was used as input for FIS model. Fuzzy model used Mamdani
Inference System to get probability of upwelling events.Wavelet analysis was used to
determine relationship between fuzzy inputs and upwelling indicators. Wavelet analysis
revealed that monsoon has biggest effect to upwelling followed by IOD and ENSO. Upwelling
prediction based on Fuzzy Inference System (FIS) showed good accuracy. Model FIS showed
that upwelling occur in the middle of year corresponding to southeast monsoon. Upwelling
was intensified when southeast monsoon, positive IOD and El Niño condition occur together.
Keywords: Fuzzy Logic, Wavelet Analysis, Upwelling, Prediction, Soft Computing.
I. PENDAHULUAN
Upwelling diartikan sebagai naiknya massa air dari perairan dalam ke
permukaan. Upwelling sangat pentingbagi oseanografi perikanan karena upwelling
berhubungan dengan transport nutrient dari perairan dalam ke pemukaan yang
berperan penting terhadap produktivitas primer perairan (Venegas et al., 2008).
Wilayah upwelling di Perairan Selatan Jawa merupakan salah satu wilayah yang
penting untuk daerah penangkapan ikan (Susanto dan Marra, 2005). Menurut Kepmen
KP tahun 2017, potensi perikanan pelagis kecil dan pelagis besar di WPPNRI 573
(Samudra Hindia Selatan Jawa) merupakan terbesar ketiga dengan potensi sebesar
630521 ton untuk pelagis kecil dan 586128 ton untuk pelagis besar. Fenomena
upwelling di Perairan Selatan Jawa dan Barat Sumatra menarik perhatian dunia
tercermin dengan adanya program riset internasional The Eastern Indian Ocean
Upwelling Research Initiative (EIOURI) yang dimulai pada Desember 2015 berlanjut
sampai 5 tahun (Yu et al., 2016).
Upwelling di Perairan Selatan Jawa dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
angin monsun (Wyrtki, 1962; Susanto et al., 2001) Indian Ocean Dipole (IOD)
(Susanto dan Marra, 2005),sertaEl Niño and Southern Oscillation (ENSO) (Susanto et
al., 2001; Syamsuddin et al., 2013; Lumban-Gaol et al., 2015). Pada monsun timur,
angin dari Australia membangkitkan upwelling yang meningkatkan konsentrasi
nutrient sepanjang pantai Selatan Jawa, sebaliknya downwelling terjadi saat monsun
barat (Susanto and Marra, 2005). Mekanisme terjadinya upwelling oleh angin monsun
disebabkan oleh angin sejajar pantai yang menyebabkan Ekman transport. Selain itu,
pada musim peralihan (April dan Oktober), gelombang kelvin juga mempengaruhi
upwelling di Selatan Jawa (Sprintall et al., 2000).
Metode logika fuzzy awalnya dikembangkan pada tahun 1965 untuk
memberikan fungsi keanggotan lain dari fungsi biner yang hanya terdiri dari 0 dan 1.
Logika fuzzy (samar) memungkinkan pengetahuan atau pengalaman expert
ditransformasikan ke dalam bentuk aturan fuzzy untuk menciptakan model lingustik-
analtik untuk menyelesaikan suatu sistem atau proses yang kompleks sehingga efektif
untuk permasalahan nonlinear (Li et al.,2012). Metode logika fuzzy telah digunakan
untuk berbagai peramasalahan kelautan seperti prediksi lokasi terjadinya gelombang
internal (Li et al., 2012) sertaperamalan gelombang laut(Cornejo-Bueno et al., 2018).
Menurut Li et al. (2012)metode fuzzy jauh lebih efisien dibandingkan menggunakan
metode numerik yang membutuhkan bantuan komputasi yang tinggi. Penggunaaan
metode fuzzy untuk upwelling biasamenggunakan fuzzy spasial seperti yang telah
dilakukan oleh Piedra-Fernandezet al. (2013) menggunakan data suhu dari citra
satelit. Berbeda dengan penelitian Piedra-Fernandezet al. (2013) yang menggunakan
data pada lokasi penelitian untuk menentukan batasan daerah upwelling, pada
penelitian ini dilakukan fuzzy time series untuk prediksi kemungkinan terjadi
upwelling menggunakan data parameter yang mempengaruhi upwelling yang tidak
berada di lokasi penelitian.
Gambar 1. Peta lokasi kajian upwelling. daerah yang diarsir berwarna merah pada
koordinat 108oBT hingga 114oBT dan 9oLS hingga 12oLS merupakan daerah untuk
merata-ratakan data deret waktu untuk arah angin, data klorofil-a, data ssh, serta suhu
in situ. Lokasi peta utama pada Perairan Indonesia diperlihatkan pada inset di bagian
sudut kanan peta utama.
Data
Data yang digunakan sebagai inputan FIS adalah data deret waktu resolusi
temporal satu bulandari Januari 2006 hingga Desember 2017yang merupakandata
parameter-parameter yang mempengaruhi dinamika upwelling. Data Oceanic Niño
Index (ONI) sebagai indeks untuk kejadian El Niño and Southern Oscillation (ENSO)
dan data Dipole Mode Index (DMI) sebagai indeks untuk Indian Ocean Dipole (IOD)
yang diperoleh dari https://www.esrl.noaa.gov/.Dataangin bulanan rata-rata pada
wilayah 9oLS sampai 12oLS dan 108oBT sampai 114oBT (Gambar 1) pada tahun 2008
hingga 2016 dari Global Ocean Wind Observation Climatology, IFREMER CERSAT
serta data angin tahun 2006,2007, dan 2017dari ECMWF (The European Center for
Medium Range Forecasting)yang diperolah dari https://www.ecmwf.int sebagai
indeks monsun.
Data grid suhuvertikalin situberesolusi spasial 0.5 x 0.5 derajat dari CORA
(Coriolis Operational Oceanography) Dataset versi 5 (Cabanes et al.2013) digunakan
sebagai indikator terjadinya upwelling yang menjadi verifikator untuk model fuzzy
time series prediksi upwelling. Data klorofil-a bulanan Global Ocean Chlorophyll
beresolusi 25 x 25 km juga digunakan sebagai indikator upwelling yang akan
digunakan untuk verifikasi model fuzzy time series. Data tersebut merupakan
kompilasi dari berbagai satelit ocean color seperti SeaWiFS, MODIS, MERIS,
VIIRSN dan OLCI-S3A. Selain itu, Data grid bulanan suhu permukaan laut (SST)
Global ARMOR3D level 4 beresolusi spasial 0.25 x 0.25 derajat dan data tinggi
absolut permukaan laut (SSH) bersama dengan data klorofil-a digunakan untuk
30 Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Firdaus & manik
melihat sebaran spasial parameter oseanografi pada periode upwelling tertentu. Data-
data tersebut diunduh dari portal http://www.marine.copernicus.eu.
(1)
Dimana adalah bilangan gelombang yang tidak berdimensi dan adalah
waktu yang tidak berdimensi.
CWT mengaplikasikan wavelet sebagai bandpass filter terhadap data.Jika
interval waktu seragam sebesar , maka transformasi wavelet diartikan sebagai
konvolusi dari data deret waktu dengan mother wavelet yang mengalami
pergeseran dan kompresi diekspresikan sebagai berikut:
(2)
(3)
Vaiabel Input
Varibel input untuk sistem inferensi fuzzy merupakan variabel yang
mempengaruhi upwelling di Perairan Selatan Jawa meliputi data DMI sebagai indeks
untuk kejadian IOD, data ONI sebagai indeks untuk ENSO serta data arah angin yang
mewakili kondisi monsun.
Tabel 1. Variabel input sistem inferensi fuzzy dan nama linguistiknya beserta
himpunan semestanya
Himpunan
No Nama Variabel Variabel Linguistik
Semesta
1 Oceanic Niño Index (ONI) El Niño, La Nina -3 s/d 3
2 Dipole Mode Index (DMI) IOD Positif, IOD Negatif -1.5 s/d 1.5
3 Arah Angin Monsun Timur, Monsun Barat 0 s/d 360
Fuzzyfikasi
Pada proses fuzzyfikasi, variabel input yang berupa crisp diubah menjadi
fungsi keanggotan. Fungsi keanggotaan untuk masing-masing variabel input disajikan
oleh Gambar 4 Fungsi keanggotaan untuk variabel ONI, DMI dan arah angin
menggunakan fungsi Gaussian. Menurut Li et al. (2012) fungsi Gaussian merupakan
fungsi yang memiliki transisi yang paling smooth.
a b
c
Gambar 4. Fungsi keanggotaan masing-masing variabel input: (a) ONI, (b)
DMI, dan (c) arah angin.
Defuzzyfikasi
Defuzzyfikasi dilakukan untuk mengubah output yang berupa fungsi
keanggotan menjadi fungsi crisp. Defuzyfikasi menggunakan metode centroid (Li et
al., 2012). Pada penelitian ini, output probabilitas upwelling tinggi apabila nilai
probabilitas >0.7 sedangkan probabilitas downwelling tinggi apabila nilai <0.3.
Gambar 6 (kiri) wavelet koherensi antara parameter input fuzzy: (a) ENSO, (b) IOD ,
(c) Arah angin terhadap indikator upwelling (konsentrasi klorofil-a); serta (kanan)
hubungan parameter input fuzzy: (d) ENSO, (e) IOD , (f) Arah angin terhadap
indikator upwelling (suhu in situ pada kedalaman 50 m). Hubungan yang kuat
dinyatakan oleh nilai korelasi yang mendekati 1. Arah panah menunjukkan beda fase
kedua parameter. Panah ke kanan menunjukkan hubungan sefase antara parameter
input fuzzy terhadap indikator upwelling sedangkan panah ke kiri hubungan anti-fase.
Panah ke atas menunjukkan bahwa parameter input fuzzy mendahului indikator
upwelling sebesar 90o.
Kondisi yang hampir mirip juga terlihat dari koherensi antara variabel input
fuzzy terhadap nilai suhu in situ pada kedalaman 50 m (Gambar 6 kanan). Korelasi
anti-fase sangat kuat pada periode 3 sampai 4 tahunan pada data IOD menunjukkan
bahwa saat terjadi IOD positif (nilai indeks tinggi), suhu pada kedalaman 50 m di
Selatan Jawa akan mengalami penurunan sebagai indikasi dari terjadinya upwelling
yang membawa massa air lebih dingin dari bawah. Begitu juga pada data arah angin
yang menunjukkan korelasi sangat kuat pada periode 1 tahun (periode monsun).
Pengaruh ENSO pada suhu di kedalaman 50 m, terlihat hanya terjadi pada tahun 2014
hingga 2018 dengan korelasi berkisar antara 0.6 hingga 0.8. Hal ini sesuai dengan
penelitan Susanto et al. (2001) mendapati bahwa korelasi linear antara ENSO
terhadap kedalaman lapisan termoklin sebesar 0.6. Apabila dilihat pada Gambar 8,
terlihat pada tahun 2015 terjadi El Niño kuat. Ini mengindikasikan bahwa suhu pada
kedalaman 50 m di Selatan Jawa akan terpengaruh ENSO apabila intensitas El
Niño/La Nina kuat. Gambar 6d dan 6e memperlihatkan adanya beda fase (yang
menunjukan adanya jeda waktu) antara IOD dan ENSO terhadap nilai suhu pada
kedalaman 50 m berturut-turut sekitar 5-10o dan 30-45o. Hal ini menunjukkan bahwa
respon suhu pada kedalaman 50 m di Perairan Selatan Jawa terhadap fenomena IOD
lebih cepat dibanding fenomena ENSO. Hal ini dikarenakan Perairan Selatan Jawa
mendapatkan pengaruh secara langsung fenomena IOD (karena berada pada samudra
yang sama) sedangkan ENSO mempengaruhi melalui Arlindo sehingga membutuhkan
waktu. Menurut Susanto et al. (2001), selama periode El Niño, Arlindo membawa
massa air dingin dari Samudra Pasifik yang menyebabkan pendangkalan kedalaman
termoklin dan meningkatkan kekuatan upwelling.
Berdasarkan gambar 6, telah diketahui bahwa baik data klorofil ataupun data
suhu in situ pada kedalaman 50 m, urutan fenomena yang mempengaruhi upwelling
di selatan jawa dari yang paling berpengaruh adalah angin monsun, IOD serta ENSO.
Kondisi ini akan digunakan sebagai pertimbangan untuk pembobotan pada aturan
fuzzy (lihat Tabel 2).
Pada akhir tahun 2006 dan terjadi upwelling kuat yang ditandai dengan
tingginya konsentrasi klorofil-a dan naiknya nilai kontur bersuhu rendah, menariknya
pada saat tersebut bukanlah kondisi El Niño kuat (El Niño kuat jika indeks lebih dari
2oC) (lihat Gambar 8) tetapi hanya El Niño moderat. Hal ini dikarenakan pada saat
tersebut kondisi El Niño (walaupun hanya moderat) terjadi bersamaan dengan IOD
positif dan angin monsun timur. Menurut Lumban-Gaol et al. (2015), kondisi IOD
positif, El Niño dan angin monsun timur menyebabkan pendangkalan lapisan
termoklin yang berimbas kepada meningkatnya konsentrasi klorofil-a. Pada
pertengahan tahun 2015 juga terjadi upwelling kuat yang merupakan kombinasi dari
El Niño kuat (pada periode penelitian ini, pertengahan 2015 merupakan El Niño
paling kuat), IOD positif serta angin monsun timur (Gambar 7). Menariknya,
meskipun saat itu terjadi El Niño kuat, intensitas upwellingnya tidak lebih kuat
dibanding kejadian upwelling akhir tahun 2006 yang diindikasikan dari konsentrasi
klorofil-a yang lebih rendah dibanding kejadian upwelling tahun 2006. Pada akhir
2009 hingga awal tahun 2010, baik prediksi fuzzy ataupun kondisi observasi
menunjukkan terjadinya downwelling padahal indeks ENSO menunjukkan nilai
mendekati El Niño kuat (>1.5). Hal ini dikarenakan pada waktu tersebut, indeks IOD
tergolong normal sedangkan kondisi angin adalah monsun barat. Kondisi-kondisi
tersebut mengonfirmasi bahwa fenomena ENSO mempengaruhi upwelling di Perairan
Selatan Jawa dengan pengaruh lebih kecil dibanding fenomena monsun dan IOD.
Gambar 8. Time series nilai parameter input untuk logika fuzzy prediksi kejadian
upwelling. Sumbu y di sebelah kiri untuk data Indeks IOD dan Indeks ENSO
sedangkan sumbu y di sebelah kanan untuk data arah angina.
Gambar 8. (kiri) Kondisi konsentrasi klorofil-a (a), suhu permukaan laut (b) dan
tinggi muka laut (c) pada kejadian upwelling September 2006, sedangkan kanan
kondisi klorofil-a (d), suhu permukaan laut (e) dan tinggi muka laut (f) pada kejadian
downwelling Januari 2008.
IV. KESIMPULAN
Model prediksi upwelling menggunakan Fuzzy Inference System(FIS)
menunjukkan akurasi yang bagus yang dikonfirmasi oleh observasi upwelling.
Upwelling di Perairan Selatan Jawa yang merupakan kombinasi kejadian upwelling
dipengaruhi oleh kondisi angin, IOD dan ENSO mampu dijelaskan oleh model FIS.
Masih ada perbedaan antara model FIS dengan data observasi yang dikarenakan
model FIS didesain sesederhana mungkin. Hasil model FIS menunjukkan upwelling
terjadi pada monsun timur, IOD positif serta pada kondisi El Niño. Monsun memiliki
pengaruh yang paling kuat dibanding IOD dan ENSO.
DAFTAR PUSTAKA
[Kepmen-KP] Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
50/Kepmen-KP/2017. 2017. Estimasi potensi, jumlah tangkapan yang
diperbolehkan, dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah
penglolaan perikanan Negarara Republik Indonesia.
Cabanes C, Grouazel A, von Schuckmann K, Hamon M, Turpin V, Coatanoan C,
Paris F, Guinhut S, Boone C, Ferry N, de Boyer Monteguet, Carval T,
Reverdin G, Pouliquen S, and P.Y. Le Traon. 2013. The CORA dataset:
validation and diagnostics of in-situ ocean temperature and salinity
measurements. Ocean Science, 9: 1-18.
Cornejo-Bueno, Mier-Rodriguez P, Mucientes M, Nieto-Borge JC, dan Salcedo-Sanz
S. 2018. Significant wave height and energy flux estimation with a Genetic
Fuzzy Sistem for regression. J. Ocean Engineering, 160: 33-44, doi:
10.1016/j.oceaneng.2018.04.063.
Grinsted A, Moore JC, dan Javrejeva S. 2004. Apllication of cross wavelet transform
and wavelet coherence to geophysical time series. Nonlinear Processes in
Geophysics, 11: 561:566.
Li J, Zhang R, Jin B, dan Wang. 2012. Possibility estimation of generating internal
waves in the Northwest Pacific Ocean using the fuzzy logic technique. J.
Marine Science and Technology, 20 (2): 237-244.
Lumban-Gaol J, Leben RB, Vignudelli S, Mahapatra K, Okada Y, Nababan B, Mei-
Ling M, Amri K, Arhatin RE, dan Syahdan M. 2015. Variability of satellite-
derived sea surface height anomaly, and its relationship with Bigeye tuna
(Thunnus obesus) catch in the Eastern Indian Ocean. European Journal of
remote Sensing, 48(1): 465-477, doi:10.5721/EuJRS20154826.
Mamdani E dan Assilian S. 1975. An experiment in linguistic synthesis with a fuzzy
logic controller. Int. J. Man-Mach. Stud., 7, 1:13, doi: 10.10016/S0020-
7373(75)80002-2.
Piedra-Fernandez JA, Ortega G, Wang JZ, Canton-Garbin M. 2013. Fuzzy Content-
Based Image Retrieval for Oceanic Remote Sensing. IEEE Transcation on
Geoscience and Remote Sensing, doi: 10.1109/TGRS.2013.2288732.
Sprintall J, Gordon AL, Murtugudde, dan Susanto RD. 2000. A semi-annual Indian
Ocean forced Kelvin waves observed in the Indonesian Seas, May 1997.
Journal of Geophysical Research, 105(17): 217-230.
Stefanokos C.2016. Fuzzy time series forecasting of nonstationary wind and wave
data. J. Ocean Engineering, 121: 1-12, doi: 10.1016/j.oceaneng.2016.05.018.
Susanto RD, Gordon AL, dan Zheng Q. 2001. Upwelling along coasts of Java and
Sumatra and its relation to ENSO. Geophysical Research Letter, 28(8): 1599-
1602.
Susanto RD dan Marra J. 2005. Effect of the 1997/98 El Niño on Chlorophyll a
Variability Along the Southern Coasts of Java and Sumatra. Oceanography,
18(4):124-127.
Syamsuddin M, Saitoh S, Hirawake T, Bachri S, dan Harto AB. 2013. Effects of El
Niño-Southern events on cathes of Bigeye Tuna (Thunus obesus) in the
eastern Indian Ocean off Java. Fisshery Bulletin, 111(2): 175-188.
Venegas, RM, Strub PT, Beier E, Letelier R, Thomas AC, Cowles T, James C, Soto-
Mardones L, dan Cabrera C. 2008. Satellite-derived variability in chlorophyll,
wind stress, sea surface height, and temperature in the northern California
Current System. J. Geophysical Research, 113, C03015, doi:
10.1029/2007JC004481.
Wyrtki, 1962. The upwelling in the region between Java and Australia during the
south-east monsoon. Marine and Freshwater Research, 13(3): 217-225, doi:
10.1071/MF9620217.
Yu W, Hood R, D’Adamo N, McPhaden M, Adi R, Tisiana R, Kuswardani D, Feng
M, Ivey G, Lee T, Meyers G, Ueki I, Landry M, Ji R, Davis C, Pranowo W,
Beckley Lynnath, dan Masumoto Y. 2016. Eastern Indian Ocean Upwelling
Research Initiative (EIOURI). The EIOURI Science Plan.
Abstrak
Angkutan sedimen sejajar pantai sangat dipengaruhi oleh karakteristik gelombang dan arus
sejajar pantai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prediksi angkutan sedimen sejajar
pantai, laju sedimentasi dan hubungan antara karakteristik gelombang terhadap angkutan
sedimen sejajar pantai di Kabupaten Cilacap. Metode yang digunakan adalah survey
langsung. Pengukuran laju sedimentasi dilakukan menggunakan alat sediment trap. Data
angin diperoleh dari ECMWF serta dianalisis untuk memperoleh data karakteristik
gelombang dan arus sejajar pantai yang selanjutnya digunakan untuk memprediksi angkutan
sedimen sejajar pantai. Hasil yang diperoleh yaitu prediksi angkutan sedimen sejajar pantai
berkisar antara 69.815 m3/hari - 47466.373 m3/hari. Laju sedimentasi pada Musim Barat
tahun 2018 tertinggi terjadi di sel 7 yaitu 11044.183 kg/m3/hari, dan terendah terjadi di sel 9
yaitu 3971.693 kg/m3/hari. Laju sedimentasi pada Musim Peralihan 1 tahun 2018 tertinggi
terjadi di sel 4 yaitu 9073.869 kg/m3/hari, dan terendah terjadi di sel 1 yaitu 3957.477
kg/m3/hari. Pengaruh karakteristik gelombang terhadap prediksi angkutan sedimen sejajar
pantai adalah korelasi cukup di sel 6, 7, dan 8, korelasi tinggi di sel 2, 3, 4, 5 dan 9 dan di
sel 1 korelasi sangat tinggi. Nilai korelasi menunjukan semakin tinggi gelombang pecah (Hb)
maka angkutan prediksi angkutan sedimen sejajar pantai juga semakin tinggi.
Kata kunci: Angkutan sedimen sejajar pantai, laju sedimentasi, karakteristik gelombang
dan arus sejajar pantai.
Abstract
Longshore transport influenced by wave characteristics and longshore current in coastal
area. The purpose of this research was to find out the prediction of longshore transport,
sedimentation rate, and the relation between wave characteristics to longshore sediment
transport in Cilacap Regency. The method used in this research was field observation.
Sediment transport measurement used a sediment trap tool. The wind data obtained from
ECMWF and analyzed became wave characteristic and coastal current data which used to
predict sediment transport. The result showed the prediction of longshore transport range
from 69,815 m3/day - 47466,373 m3/day. The highest sedimentation rate on West Season 2018
occurred in cell 7, valued 11044,183 kg/m3/day, while the lowest occurred in cell 9, valued
3971,693 kg/m3/day. The highest sedimentation rate on Transition Season 1 2018 occurred in
cell 4, valued 9073.869 kg/m3/day, while the lowest occurred in cell 1, valued 3957,477
kg/m3/day.The relationship between the height to breakwave with the prediction of longshore
transport, the correlation was sufficient in cells 6, 7, and 8, the correlation was high in cells
2, 3, 4, 5 and 9 and the correlation was very high in cell 1. The correlation became higher if
the wave break height (Hb) and the prediction of longshore has the same value.
Keywords: Longshore transport, sedimentation rate, wave characteristics and longshore
current
I. PENDAHULUAN
Perairan Cilacap yang terletak di selatan pulau Jawa bagian tengah memiliki
karakteristik gelombang tinggi, berpotensi mengalami perubahan bentuk pantai akibat
reaksi terhadap dinamika transport sedimen sejajar pantai yang ditimbulkan oleh
aktifitas gelombang. Profil pantai Kabupaten Cilacap yang memanjang dari Pantai
Jetis sampai dengan Pantai Teluk penyu memiliki respon yang berbeda terhadap aksi
perambatan gelombang dari laut dalam sampai dengan gelombang pecah. Proses
gelombang pecah merupakan gejala yang penting dalam dinamika pantai, karena
setelah pecah gelombang akan membangkitkan arus menyusuri pantai yang dapat
mengangkut sedimen pantai. Selain itu, pada saat gelombang pecah sebagian besar
energi gelombang dilepaskan dalam bentuk kehilangan tenaga akibat adanya
turbulensi, pusaran air dan tumbukan antara partikel air. Hal itu mengakibatkan
kemampuan gelombang untuk melakukan erosi sangat besar, demikian pula
kemampuan untuk merusak bangunan-bangunan pantai.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui prediksi
angkutan sedimen sejajar pantai (longshore transport), mengetahui laju sedimentasi
yang terjadi, serta mengetahui pengaruh karakteristik gelombang terhadap angkutan
sedimen sejajar pantai(longshore transport) di Kabupaten Cilacap.
V = 1,17 sinαbcosαb
dimana :
V = Kecepatan arus sejajar pantai (m/s)
db = kedalaman gelombang pecah (m)
Hb = tinggi gelombang pecah (m)
g = gravitasi (m/s2)
αb = sudut datang gelombang pecah (ᵒ)
4. Analisis Sedimen
Analisis sedimen dilakukan menggunakan dua perhitungan. Pertama laju
sedimentasi dihitung menggunakan rumus akumulasi sedimen untuk menentukan
kecepatan akumulasi sedimen yang di ambil secara langsung menggunakan sedimen
trap. Akumulasi sedimen yang dihitung adalah berat sedimen yang terendapkan
persatuan volume per waktu. Tahapan dalam menentukan akumulasi sedimen sebagai
berikut :
a. Aluminium foil di oven pada suhu 100o C selama 15 menit, simpan dalam
desikator. Kemudian ditimbang.
b. Sampel sedimen yang sudah diambil menggunakan sediment trap pindahkan ke
aluminium foil yang sudah di oven kemudian keringkan di oven dengan suhu 100o –
105o C selama 24 jam untuk mendapatkan berat kering. Lakukan perhitungan dengan
menggunakan persamaan (Rifardi, 2012)
KA = (W/V)/t
Dimana :
KA = Kecepatan akumulasi (gram/cm3/hari)
W = berat kering sedimen (gram)
L = volume sedimen trap (cm3)
t = waktu pemasangan sed. trap (hari).
Karakteristik gelombang
Karakteristik gelombang peramalan diperoleh dari hasil pengolahan data angin
selama 5 tahun (2014 – Mei 2018). Data angin dikelompokan setiap musim sehingga
diperoleh karakteristik gelombang berdasarkan musim selama 5 tahun pada setiap sel
dengan lebar sel 5 km. Peramalan gelombang menggunakan metode SMB
(SverdrupMunk-Berthscneider) sehingga diperoleh nilai tinggi gelombang signifikan
(Hs), periode gelombang signifikan (Ts), tinggi gelombang pecah (Hb) dan
kedalaman gelombang pecah (db). Gambar 2 menunjukan grafik hasil tinggi
gelombang signifikan (Hs)
4,0
3,0
Hs (m)
2,0
1,0
0,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
sel
Barat Peralihan 1 Timur Peralihan 2
12,0
10,0
8,0
Ts (detik)
6,0
4,0
2,0
0,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Barat Peralihan 1 SelTimur Peralihan 2
2,5
2,0
1,5
Hb (m)
1,0
0,5
0,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sel
Barat Peralihan 1 Timur Peralihan 2
3,0
2,0
(db) m
1,0
0,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
sel
tinggi gelombang pada sel 9 menjadi lebih rendah dari sel 7 dan 8 yang satu garis
pantai (gambar 5 dan gambar 7) sehingga kecepatan arus sejajar pantai di sel 9
relative lebih kecil.
2,0
kecepatan (m/s)
1,5
1,0
0,5
0,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
sel
50000
40000
m3/hari
30000
20000
10000
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sel
Barat Peralihan 1 Timur Peralihan 2
Gambar 7. Grafik prediksi angkutan sedimen sejajar pantai
12000
10000
laju sedimentasi
(kg/m3/hari) 8000
6000
4000
2000
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
sel
Gambar 8. Grafik laju sedimentasi Musim Barat
10000
laju sedimentasi
8000
(kg/m3/hari)
6000
4000
2000
0
1 2 3 4 5 6
sel
Tingginya laju sedimentasi pada sel 4 dikarenakan lokasi yang langsung menghadap
samudera Hindia. Angin musim Peralihan 1 yang membangkitkan gelombang dan
arus sejajar pantai lebih kuat jadi sedimen yang terangkut dan terendapkan lebih
banyak. Pada sel 1 pengukuran laju sedimentasi lebih rendah karena lokasi sel 1
berada di sisi kiri Perairan Cilacap dan terhalang topografi Karst Gombong. Sehingga
kekuatan angin Musim Peralihan 1 yang membangkitkan gelombang dan arus sejajar
pantai lebih lemah. Hal ini menjadi sedimen yang terangkut dan terendapkan lebih
sedikit. Bayong (2008) menjelaskan bahwa fenomena angin musiman sangat
mempengaruhi kondisi perairan Indonesia dalam segala aspek, terutama kondisi
oseanografi lapisan atas.
Tabel 1. Hubungan antara tinggi gelombang pecah (Hb) dengan prediksi angkutan
sedimen sejajar pantai
Sel R Square Signifikansi Keterangan
1 1.00 0.002 kolerasi sangat tinggi
2 0.93 0.03 kolerasi tinggi
3 0.83 0.08 kolerasi tinggi
4 0.80 0.1 kolerasi tinggi
5 0.81 0.1 kolerasi tinggi
6 0.70 0.1 kolerasi cukup
7 0.73 0.1 kolerasi cukup
8 0.74 0.1 kolerasi cukup
9 0.89 0.05 kolerasi tinggi
Hasil dari analisis regresi untuk mencari hubungan antara tinggi gelombang
pecah dengan prediksi angkutan sedimen sejajar pantai adalah korelasi cukup di sel 6,
7, dan 8, korelasi tinggi di sel 2, 3, 4,5 dan 9 dan di sel 1korelasi sangat tinggi. Nilai
korelasi menunjukan semakin tinggi gelombang pecah (Hb) maka angkutan prediksi
angkutan sedimen sejajar pantai juga semakin tinggi. Nilai signifikansi pada sel 1, sel
2 dan sel 9 menunjukan bahwa tinggi gelombang pecah dan prediksi angkutan
sedimen sejajar pantai memiliki hubungan dan saling mempengaruhi. Pada sel 3
hingga sel 8 tinggi gelombang pecah dan prediksi angkutan sedimen sejajar pantai
memiliki hubungan tetapi tidak saling mempengaruhi. Hal ini bisa terjadi dikarenakan
terdapat parameter lain selain tinggi gelombang pecah yang mempengaruhi angkutan
sedimen sejajar pantai diantaranya : sudut datang gelombang pecah, cepat rambat
gelombang pecah yang nilainya tergantung pada nilai kedalaman gelombang pecah
(db) yang merupakan komponen dari Fluks energi. Menurut (CERC, 1984)
totaltrasport sedimen sejajar pantai adalah sebanding dengan fluks energi gelombang
sepanjang pantai. Selain itu angkutan sedimen sejajar pantai juga dipengaruhi oleh
arus sejajar pantai yang dibangkitkan oleh gelombang.
DAFTAR PUSTAKA
Bayong, Tj. H. K. 2008. Sains atmosfer. Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika. Jakarta.
Coastal Engineering Research Center (CERC). 1984. Shore Protection
Manual.Washington, U.S. Army Coastal Engineering Research Center. 1(4)
Dauhan, S. K., H. Tawas., H. Tangkudung., J. D. Mamoto. 2013. Analisis
Karakteristik Gelombang Pecah Terhadap Perubahan Garis Pantai di Atep
Oki. Jurnal Sipil Statik ISSN: 2337-6732. Fakultas Teknik, Jurusan Teknik
Sipil, Universitas Sam Ratulangi Manado.
English, S. W., Baker, V. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources.
ASEAN – Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources.
Australian Insititute of Marine Science.368p.
Hadi, S., M.R. Ivonne. 2011. Arus Laut. ITB. Bandung
Horikawa, K. 1988. Nearshore Dynamics and Coastal Processes. University of
Tokyo Press. Japan.
Komar, P. D. 1998. Beach Processes and Sedimentation, Second Edition. New Jersey:
Printice Hall.
Kurniawan, R., M. N. Habibie., Suratno. 2011. Variasi Bulanan Gelombang Laut di
Indonesia. Jurnal Meteorologi Dan Geofisika. 12 (3) : 221-232.
Kurniawan, R., M. N. Habibie., D. S. Permana. 2012. Kajian Daerah Rawan
Gelombang Tinggi di Perairan Indonesia. Jurnal Meteorologi dan Geofisika.
13 (3) : 201-212.
Lubis, M. Z., Hanah K. 2016. Dinamika Pantai Praikalogu Di Provinsi Nusa Tenggara
Barat, Indonesia. Jurnal Integrasi. 8 (2) : 125-133
Satriadi, A., Widada, S. 2004. Distribusi muatan padatan tersuspensi di muara sungai
Bodri, Kabupaten Kendal. Journal of Marine Sciences. 9 (2): 101-107
Sudjana. 2005. Metode Statistika. Tarsito. Bandung.
Supriyati, Deddy B., Siti F. 2016. Transport Sedimen yang Disebabkan oleh
Longshore Current Di Pantai Kecamatan Teluk Segara Kota Bengkulu.
Prosiding Seminar Nasional Fisika (E-Journal) SNF2016. Prodi Pendidikan
Fisika dan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Jakarta
Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset. Yogyakarta.
Yudowati, S.O., Warsito, A., Sri Y. W. 2012. Studi Transpor Sedimen Di Pantai
Slamaran Pekalongan. J-Oce197-196. FPIK Undip Semarang.
Yuwono, N. 1982. Teknik Pantai. Biro Penerbit Keluarga Mahasiswa Teknik Sipil
Fakultas Teknik UGM. Yogjakarta.
Abstrak
Perairan Pantai Cilacap umumnya memiliki gelombang yang tinggi. Gelombang yang
bergerak dari laut dalam menuju pantai akan menimbulkan gesekan dengan dasar perairan
sampai akhirnya gelombang pecah dengan tipe yang berbeda dan menyebabkan sedimen
dasar tersuspensi ke dalam perairan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi
Total Suspended Solid (TSS), tipe gelombang pecah, dan konsentrasi TSS pada tipe
gelombang pecah di Perairan Pantai Kabupaten Cilacap. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode survey. Pengukuran konsentrasi TSS menggunakan uji
gravimetri BSN (2004). Penentuan tipe gelombang pecah dianalisis menggunakan data angin
dari ECMWF. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah konsentrasi TSS pada Bulan
Februari berkisar 35-402 mg/L dan Bulan Mei 2018 berkisar 33-479 mg/L. Terdapat dua tipe
gelombang pecah yaitu Spilling dan Plunging. Konsentrasi TSS di bulan Februari terendah
pada tipe Plunging dengan nilai rata-rata konsentrasi 199,1 mg/Ldan tertinggi pada tipe
Spilling dengan nilai rata-rata 257,8 mg/L. Konsentrasi TSS di Bulan Mei 2018 tipe Spilling
mempunyai rata-rata nilai terendah 205,5 mg/L dan tertinggi pada tipe Plunging dengan rata-
rata 265,4 mg/L.
Kata kunci: Total Suspended Solid (TSS), gelombang pecah, Cilacap.
Abstract
Cilacap coastal waters usually have high waves. Waves is moving from the deep sea to the
coastal will cause friction with the bottom of the waters and eventually the waves break with
different types and cause the sediments to suspend into the waters. The purpose of the
research was to find out the concentration of Total Suspended Solid (TSS), the types of wave
break and the concentration of TSS of the wave break types in Cilacap Regency coastal
waters. The method used in this research was survey method. The measurement of TSS
concentration using gravimetric BSN test (2004). Determination of the wave break types was
analyzed using wind data from ECMWF. The result showed that TSS concentration in
February was about 35-402 mg/L and in May 2018 was about 33-479 mg/L. There were two
types of wave break, named Spilling and Plunging. The concentration of TSS on February
was lowest in Plunging type with average concentration 199,1 mg/L and highest in Spilling
type with average 257,8 mg/L. The concentration of TSS on May 2018 Spilling type has
lowest average 205,5 mg/L and highest in Plunging type with average 265,4 mg/L.
Keywords: Total Suspended Solid, Waves break, Cilacap
I. PENDAHULUAN
Perairan Pantai Kabupaten Cilacap merupakan perairan terbuka yang
berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Tipe perairan terbuka ini menjadikan
Perairan Pantai Cilacap memiliki gelombang yang tinggi. Gelombang yang menjalar
sebagian besar dibangkitkan oleh angin dan berpengaruh terhadap besarnya angkutan
sedimen dari laut ke darat. Gelombang yang bergerak menuju pantai akan
menimbulkan gesekan dengan dasar perairan sampai akhirnya gelombang pecah
dengan tipe yang berbeda, Triatmodjo (1999) mengklasifikan gelombang pecah
kedalam 3 tipe yaitu Spilling, Plunging, dan Surging. Sedimen dasar yang terbawa
bersama gelombang pecah tersebut mengakibatkan perubahan kandungan sedimen
suspensi di dalam perairan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengatahui
konsentrasi Total Suspended Solid (TSS), tipe gelombang pecah, dan konsentrasi TSS
pada tipe gelombang pecah yang berbeda di Perairan Pantai Kabupaten Cilacap.
Keterangan:
TSS : Konsentrasi TSS dalam 1liter air (mg/L)
A : Berat kertas saring + residu kering (mg)
B : Berat Kertas Saring Kering (mg)
C : Volume Sampel yang digunakan
Peramalan Gelombang
Data angin yang digunakan untuk peramalan gelombang adalah data sekunder
yang di dapatkan dari ECMWF selama 5 tahun (2014-2018), setelah data di sortir
kemudian dilakukan pembuatan fetch. Panjang fetch diolah menggunakan software
Arc GIS 10.1 yang dihitung berdasarkan asumsi-asumsi yang telah ditetapkan.
Menurut (Triatmodjo, 1999) Panjang fetch ditentukan berdasarkan rumus berikut:
=
Keterangan:
Feff : Fetch rata-rata efektif
Xi : Panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelombang ke ujung akhir
α : Deviasi pada kedua sisi dari arah angin, dengan menggunakan pertambahan
sampai sudut sebesar pada kedua sisi dari arah angin.
t = 68.8 F2/3
Keterangan:
UA : faktor tegangan angin;
t : durasi pertumbuhan gelombang (detik);
Feff : panjang fetch efektif (m);
g : percepatan gravitasi (m/det2)
Hs : tinggi gelombang signifikan (m)
L : panjang gelombang (m)
Ts : periode gelombang signifikan (det)
masing-masing sel terdapat 3 subsel seperti yang terdapat pada Gambar 1. Analisis
TSS dilakukan di Laboratorium Riset dan Penelitian Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan UNSOED.
346
350 326
287 272 282298
300 263
250 203 197
200 177
150 114 110
74 80 87 83 79
100 58
35 43
50
0
1,1 1,2 1,3 2,1 2,2 2,3 3,1 3,2 3,3 4,1 4,2 4,3 5,1 5,2 5,3 6,1 6,2 6,3 7,1 7,2 7,3 8,1 8,2 8,3 9,1 9,2 9,3
Sel
Subsel 4.2 sampai dengan subsel 5.3 memiliki nilai konsentrasi TSS yang
sangat tinggi berkisar 326 mg/Lsampai 402 mg/L, hal ini dapat disebabkan karena
subsel 4.2 sampai subsel 5.3 berlokasi di daerah dengan gelombang yang tinggi,
daerah tersebut dulunya merupakan daerah wisata namun kemudian ditinggalkan
karena pantainya tererosi. Kondisi gelombang yang tinggi dapat mengakibatkan
sedimen dasar tersuspensi kedalam perairan sehingga kandungan TSS di dalam
perairan meningkat. Tarigan dan Edward (2003) menyatakan jika pengadukan
600
479
Konsentrasi TSS (mg/L)
500
384
400
316 303 307
282304269 303295
274276252275287 274 282
300 240 223
199
200 171 148
119
80
100 38 36 33
0
1,1 1,2 1,3 2,1 2,2 2,3 3,1 3,2 3,3 4,1 4,2 4,3 5,1 5,2 5,3 6,1 6,2 6,3 7,1 7,2 7,3 8,1 8,2 8,3 9,1 9,2 9,3
Sel
Pengambilan data konsentrasi TSS pada bulan Mei dilakukan di titik yang
sama dengan bulan Februari, namun diperoleh nilai yang berbeda. Pada bulan Mei
2018 diperoleh konsentrasi TSS yang berbeda pada masing-masing selnya berkisar
dari 33 Mg/l - 479 mg/L. Konsentrasi TSS tinggi berada di subsel 3.2 dan subsel 3.3
dengan nilai konsentrasi TSS sebesar 479 Mg/l dan 384 mg/L. Nilai konsentrasi TSS
terendah di bulan Mei berada pada subsel 6.2 dengan nilai konsentrasi TSS sebesar 33
mg/L.
Berbagai macam faktor dapat mempengaruhi konsentrasi TSS di suatu
perairan, salah satunya adalah masuknya limbah dari tambak ke dalam perairan. Hal
ini terjadi di subsel 3.2 dan 3.3 dimana pada bulan Mei mempunyai nilai TSS yang
tinggi berkebalikan dengan bulan Februari yang mempunyai nilai TSS rendah.
Kondisi tersebut diakibatkan pada saat pengambilan sampel air untuk uji TSS bulan
Mei di subsel 3.2 dan 3.3 kondisi air sangat keruh karena masukan dari limbah
tambak yang berada di sekitar subsel 3.1 terbawa oleh pergerakan air sampai ke
subsel 3.2 dan 3.3. Setyorini (2018) menyatakan jika adanya aktivitas pertambakan
dapat meningkatkan kandungan TSS di suatu perairan, hal ini dikibatkan karena
peningkatan jasad renik akibat akumulasi sisa pakan dan ekskresi hasil metabolisme
organisme tambak dalam bentuk suspensi.
terdiri dari tipe spilling dan plunging yang di dominasi oleh tipe plunging.Sementara
itu tipe gelombang pecah pada bulan Mei 2018 dapat diketahui pada Gambar 5.
Tipe gelombang pecah di Perairan Pantai Kabupaten Cilacap pada bulan Mei
2018 adalah spilling dan plunging dengan nilai koefisien gelombang pecah berkisar
64,932 sampai 0,090. Tipe gelombang pecah di bulan Mei ini di dominasi oleh tipe
plunging. Masing-masing sel di bulan Februari dan Mei 2018 tidak mengalami
perubahan tipe gelombang pecah.Hal ini sesuai dengan pernyataan Sulaiman dan
Soehardi (2008) yang menyatakan bahwa gelombang pecah tipe plunging dan spilling
terjadi di pantai yang berbatasan dengan samudra, misalnya pantai selatan Jawa.
Menurut Dauhan et. al. (2013) ada beberapa macam faktor yang mempengaruhi nilai
gelombang pecah yaitu perbandingan antara tinggi dan panjang gelombang serta
kemiringan dasar pantai. Nilai tinggi dan panjang gelombang Bulan Februari dan Mei
2018 dapat dilihat pada Gambar 6.
1,6 100
1,4 90
Sel
Gambar 6. Tinggi dan Panjang Gelombang Bulan Februari dan Mei 2018
Gambar 6 Diketahui bahwa terdapat perbedaan nilai baik itu tinggi maupun
panjang gelombang di bulan Februari dan Mei 2018. Nilai terendah untuk tinggi dan
panjang gelombang di bulan Februari berada pada sel 9 dengan nilai 0,08 m dan 2,70
m, sementara tertinggi pada sel 2 dengan nilai 0,74 m dan 40,34 m. Nilai terendah
tinggi dan panjang gelombang di bulan Mei berada pada sel 3 dengan nilai 0,22 m dan
13.38 m kemudian tertinggi berada di sel 7 yang bernilai 1,46 m dan 88,25 m. Nilai
tinggi dan panjang gelombang di bulan Mei cenderung lebih tinggi jika dibandingkan
dengan bulan Februari. Febriansyah et. al. (2012) menyatakan jika Perairan Cilacap
mempunyai energi gelombang yang besar.
Gambar 7. Sebaran TSS pada Tipe Gelombang Pecah Bulan Februari 2018
Gambar 8. Konsentrasi TSS Pada Tipe Gelombang Pecah Bulan Mei 2018
Konsentrasi TSS pada tipe gelombang pecah bulan Mei 2018 mengalami
perubahan nilai pada semua sel. Perubahan nilai tersebut adalah nilai TSS dengan tipe
gelombang pecah spilling mempunyai nilai yang lebih rendah dengan rata-rata
konsentrasi TSS adalah 205,5 mg/L. Sementara itu gelombang pecah tipe plunging
mempunyai nilai konsentrasi TSS tinggi dengan konsentrasi rata-rata adalah 265,4
mg/L.
Tipe gelombang pecah pada bulan Februari dan Mei 2018 tidak mengalami
perubahan tipe pada masing-masing selnya, namun nilai TSS pada setiap sel di bulan
Februari dan Mei 2018 mengalami perubahan. Hal ini dapat disebabkan karena
berbagai macam faktor yang mempengaruhi bukan hanya gelombang namun faktor
lain seperti pengaruh masukan dari sungai, musim, dan juga aktivitas pertambakan.
Siswanto (2010) menyatakan jika gelombang dan masukan material dari sungai dapat
mempengaruhi kondisi TSS di perairan yang diperkuat oleh Purnama et. al. (2015)
bahwa faktor yang mempengaruhi kondisi TSS di perairan ada kondisi
hidroseanografi dan musim.
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan yang di dapat dalam penelitian adalah konsentrasi di Perairan
Pantai Kabupaten Cilacap bervariasi dan cukup tinggi yaitu pada Bulan Februari
berkisar 35 Mg/l - 402 Mg/l dan kosentrasi TSS pada Bulan Mei 2018 berkisar 33
Mg/l - 479 Mg/l. Terdapat 2 tipe gelombang pecah yaitu Splling dan Plunging.
Konsentrasi TSS di bulan Februari terendah pada tipe Plunging dengan nilai rata-rata
konsentrasi adalah 199,1 mg/L dan tertinggi pada tipe Spilling dengan nilai rata-rata
257,8 mg/L. Sementara itu konsentrasi TSS di bulan Mei 2018 menunjukkan bahwa
tipe Spilling mempunya rata-rata nilai terendah dengan nilai 205,5 mg/L dan tertinggi
pada tipe Plunging dengan rata-rata nilai TSS adalah 265,4 mg/L
DAFTAR PUSTAKA
BSN. 2004. Standar Nasional Indonesia (SNI) Air dan Air Limbah – Bagian 3: Cara
Uji Padatan Tersuspensi Total (Total Suspended Solid) Secara Gravimetri.
Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. 6 hal.
CERC. 1984. Shore Protection Manual. US Army Corps of Engineers. Washington.
hlm 143.
Dauhan, S. K, H. Tawas, H. Tangkudung, J. D. Mamoto. 2013. Analisis Karakteristik
Gelombang Pecah Terhadap Perubahan Garis Pantai di Atep Oki. Jurnal Sipil
Statik. 1(12): 784-796.
Febriansyah, I., Agus, A.D.S., Muhammad H. 2012. Kajian Kerentanan Pantai Di
Pesisir Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Journal of Oceanography. 1(2):
139-148.
Pethick, J. 1984. An Introduction Geomorphology. Chapman & Hall USA. 245 hal.
Purnama, A. E., Hariadi, Siddhi S. 2015. Pengaruh Arus, Pasang Surut Dan Debit
Sungai Terhadap Distribusi Sedimen Tersuspensi di Perairan Muara Sungai
Ciberes, Cirebon. Jurnal Oseanografi. 4(1): 74-84.
Satriadi, A., S, Widada. 2004. Distribusi Muatan Padatan Tersuspensi Di Muara
Sungai Bodri, Kabupaten Kendal. Jurnal lmu Kelautan. 9(2): 101-107.
Setyorini, H. B., 2018. Kandungan Total Padatan Tersuspensi Air Tambak
Litopenaeus vannamei Pantai Kuwaru. Jurnal Riset Daerah. 17(1): 2972-2990
Siswanto, A. D. 2010. Analisa Sebaran Total Suspended Solid (TSS) di Perairan
Pantai Kabupaten Bangkalan Pasca Jembatan Suramadu. Jurnal Kelautan.
3(2): 91-96
Sulaiman, A., Soehardi, I. 2008. Pendahuluan Geomorfologi Pantai Kuantitatif.
BPPT. Jakarta. 265 hal.
Tarigan, M.S., Edward. 2003. Kandungan Total Zat Padat Tersuspensi (Total
Suspended Solid) di Perairan Raha, Sulawesi Tenggara. Makara Sains. 7(3):
109-119.
Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset. Yogyakarta. 397 hal.
Wahyuningrum, E. S., M. Rudolf, M., A. Suryanta. 2016. The Correlation of Sedimen
Texture, Organic Materials, and an Abundance of Makrozoobentos in the
Territorial Water of Delta Wulan, Demak. Journal of Maquares. 5(1): 46-51.
Abstrak
Perbedaan penyinaran matahari menyebabkan naiknya suhu permukaan laut sehingga
membentuk pusat tekanan rendah dan dapat membangkitkan siklon tropis Cempaka-Dahlia.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kecepatan dan arah angin, suhu permukaan
laut pada fase Siklon Tropis Cempaka-Dahlia dan fase normal serta pengaruhsiklon tropis
terhadap SPL di perairan Samudera Hindia Selatan Jawa. Metode penelitian ini adalah
observasi data dari NCEP NOAA dan ECMWF tahun 2015-2017. Hasil yang di peroleh
menunjukan kecepatan angin rata-rata pada fase siklon lebih dari 7 m/s dengan kecepatan
maksimal siklon tropis Cempaka 15.6 m/s dan Dahlia 16.9 m/s dengan arah angin menuju
pusat siklon. Sedangkan Fase normal kecepatan angin kurang dari 7 m/s yang mengarah ke
barat. Suhu Permukaan Laut saat terjadi fase siklon menurun 2oC dari 29oC menjadi 27oC
pada saat siklon tropis Cempaka dan saat siklon tropis Dahlia mengalami penurunan dari
27oC menjadi 25oC. Pada fase normal besaran SPL adalah 29oC. Siklon tropis Cempaka-
Dahlia mengakibatkan penurunan SPL di 8oLS – 15oLS dan 97o – 113oBT. Uji statistik regresi
menghasilkan nilai R square sebesar 0.804 dan uji Anova atau F test menghasilkan nilai
signifikansi 0.047 diartikan bahwa terdapat hubungan angin dengan suhu permukaan laut.
Kemudian uji one way ANOVA di dapatkan nilai signifikansi 0 yang diartikan bahwa ada
perbedaan nyata kecepatan angin dan suhu permukaan laut pada saat fase siklon tropis dan
fase normal.
Kata kunci: Kecepatan dan Arah Angin; Suhu Permukaan Laut; Fase Siklon Tropis
Cempaka-Dahlia; Fase Normal; Samudera Hindia Selatan Jawa.
Abstract
The difference in Sun exposure causes rising sea surface temperatures to form a low pressure
center and generate Cempaka-Dahlia tropical cyclones. This study was aimed to determine
the wind speed and direction, sea surface temperature Cempaka-Dahlia tropical cyclone
phase and the normal phase also relationship during tropical cyclonesfor SPL in the South
Indian Ocean of Java. The method was observation data obtained from NCEP NOAA and
ECMWF in 2015-2017. The average wind speed in the cyclone phase was more than 7 m/s
with a maximum speed of Cempaka tropical cyclones 15.6 m/s and Dahlia 16.9 m/s with wind
direction towards the cyclone center. While the normal phase of wind speed was less than 7
m/s which leads to the west. Sea Surface Temperature during cyclone phase decreased 2oC
from 29oC to 27oC during Cempaka tropical cyclone and when Dahlia tropical cyclone
decreased from 27oC to 25oC. In the normal phase the amount of SPL was 29oC. Cempaka-
Dahlia tropical cyclone were decreased SPL at 8 oLS - 15 LS and 97 o - 113 oBT. Regression
statistical test yield has R square value of 0.804, Anova test or F test produced a significance
value of 0.047 which means that there was a relation between wind and sea surface
temperature. Then one way ANOVA test obtained a significance value of 0 which means that
there were significant differences in wind speed and direction in sea surface temperature on
tropical cyclone phase and normal phase.
Keywords: Wind Speed and Direction; Sea Surface Temperature; Cempaka-Dahlia Tropical
Cyclone Phase; Normal Phase; South Indian Ocean of Java
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan daerah tropis yang lebih intensif menerima radiasi
matahari yang mana minimal menerima radiasi matahari tegak lurus sekali dalam
setahun (Lakitan, 1994). Perbedaan penyinaran matahari dan intensitas radiasi
matahari diakibatkan adanya perbedaan lintang yang berakibat pada kenaikan suhu
permukaan laut sehingga membentuk pusat tekanan rendah yang dapat memicu
terjadinya siklon tropis (Suryatna, 1995). Siklon tropis selalu berawal dari wilayah
suhu permukaan laut yang tinggi dengan daerah yang luas (Neiburger, 1995).
Siklon tropis (tropical cyclone) merupakan badai kekuatan besar yang
terbentuk dari sistem tekanan udara rendah di perairan sekitar daerah tropis. Siklon
tropis terbentuk di lautan memiliki suhu permukaan laut 27oC dan bergerak menjauhi
lintang khatulistiwa. Siklon tropis bertahan 3-18 hari dengan radius siklon tropis
mencapai 150-200 km (PMF IAS, 2016). Pada siklon suhu potensial dan kelembaban
spesifik adalah berbanding terbalik dengan tekananpermukaan, bila tekanan
permukaan naik atau bertambah besar maka suhu potensial dan kelembaban spesifik
akan turun (Syaifullah, 2015).
Siklon selama pergerakannya dapat mengaduk massa air di area lintasannya.
Siklon yang bergerak akan menimbulkan gangguan atmosfer di dekat permukaan
bumi berupa angin berpusar yang dapat mengaduk perairan yang dilintasi siklon dan
terdapat awan Cumulonimbus. Akibat dari siklon tersebut akan menimbulkan adanya
perubahan dan perbedaan antara lain Suhu Permukaan Laut, kecepatan dan arah
Angin (Prasetya et al.,2014).
Beberapa jenis siklon tropis yang terjadi di perairan Samudera Hindia yaitu
Siklon Tropis Cempaka dan Siklon tropis Dahlia. Siklon Tropis Cempaka terjadi pada
tanggal 27-29 November 2017 di perairan sebelah selatan Jawa Tengah (200 km
sebelah selatan – tenggara Cilacap) sekitar 8,6oLS dan 110,8oBT. Sedangkan Siklon
Tropis Dahlia terjadi pada tanggal 29 November – 3 Desember 2017 di Samudera
Hindia Selatan Barat Daya Bengkulu (540 km sebelah Selatan Barat Daya Bengkulu)
sekitar 8,5oLS dan 100.8oBT (BMKG, 2017). Siklon tropis merupakan pusat tekanan
rendah yang mampu mengubah arah angin menjadi ke arah pusat siklon tropis
tersebut (Rahman, 2017). Mengingat Perairan Samudera Hindia Selatan Jawa belum
tersedianya data mengenai kondisi fase normal dan fase Siklon Tropis Cempaka-
Dahlia menjadikan kajian pada lokasi penelitian perlu dilakukan.
permukaan laut dan angin dilaksanakan pada Mei-Juli 2018 di Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.
Daerah Penelitian
Kondisi kecepatan angin di Selatan Pulau Jawa lebih tinggi saat terjadi siklon tropis
tersebut.
Saat terjadi siklon kecepatan angin tinggi hal tersebut dikarenakan Belahan
Bumi Selatan (BBS) udara dibelokkan searah perputaran jarum jam, dibelokkan dan
bergerak membentuk sirkulasi spiral yang menyebabkan udara terangkat sampai
dengan ketinggian rata-rata 12.192 km. Pada saat udara naik inilah gaya coriolis dan
gaya sentrifugal menghasilkan tiupan angin yang sangat kuat sebagai tenaga gerak
(Asrianti et al., 2013; Rahman, 2017). Kecepatan angin pada siklon tropis merupakan
kecepatan angin maksimum (Dyahwathi et al., 2007).Durasi kejadian siklon
bervariasi mulai dari beberapa jam sampai 14 hari dengan rata-rata 6 hari mulai fase
pembentukan siklon sampai fase kematian siklon saat bergerak menuju daratan atau
membelok ke daerah subtropis (Tjasyono, 2004).
Lintasan siklon tropis Cempaka di mulai saat bibit siklon tropis muncul di
9.5oLS – 110oBT di tanggal 24 November 2017 kemudian melaju ke 9oLS – 109 oBT
di tanggal 25 November 2017 dan 10.5oLS – 110oBT pada tanggal 26 November
2017. Pada tanggal 27 November 2017 bibit siklon tropis tersebut menjadi siklon
Cempaka di 9.5oLS – 110.5 oBT. Siklon tropis Cempaka kemudian bergerak menuju
Barat Daya di 11oLS – 106 oBT. Siklon berakhir pada tanggal 29 Desember di
11.5oLS – 107.8 oBT (Gambar 4 a).
rata-rata tertinggi terdapat pada tahun 2017 dengan pola naik memuncak di tanggal 1
Desember yang kemudian turun. Sedangkan kecepatan angin terendah terdapat pada
tahun 2016 dengan trend naik dan turun. Arah angin pada tahun 2015 di dominasi ke
barat laut, pada tahun 2016 mengarah ke barat laut dan berubah di tanggal 1
Desember menuju ke timur laut. Sedangkan pada tahun 2017 mengarah ke barat laut
dan sebagian lain menuju ke timur ke pusat siklon tropis, angin homogen ke semua
arah di tanggal 1 Desember 2017.
12
10
8
m/s
tanggal/bulan
2015 2016 2017
Secara umum pada fase normal kecepatan angin lebih rendah dibandingkan
dengan fase siklon tropis dengan arah angin cenderung menuju pusat siklon tropis saat
fase siklon tropis. Pemanasan matahari pada daerah tropis menimbulkan tekanan
rendah dan sifat udara adalah selalu bergerak menuju daerah dengan tekanan lebih
rendah untuk mencapai keseimbangan maka akan terdapat perubahan dan kecepatan
arah angin (Asrianti et al., 2013; Rahman, 2017).
Di BBS pergerakan siklon tropis mengarah ke barat daya atau tenggara namun
arah gerakannya tidak selalu dalam arah yang tetap, bahkan suatu saat arahnya bisa
berbalik lagi. Pada umumnya pada masa lahir sampai tingkat menjelang dewasa
berada di daerah lintang 5 sampai 15 derajat (utara atau selatan), dan maksimum atau
tingkat dewasa di daerah lintang 10 sampai 20 derajat (utara atau selatan). Bila berada
lebih dari 20 derajat kekuatannya makin berkurang. Lama perjalanan berbeda-beda
sesuai dengan kekuatan dan kondisi atmosfer, laut, dan kondisi lingkungan saat itu
(Asnani, 1993).
sekitar pusat angin di Selatan Jawa bagian barat dan rata-rata SPL sebesar 29oC
(Gambar 6 c). Dari ketiga tahun tersebut, rata-rata SPL memiliki kesamaan. Namun
SPL kisaran pada tahun 2016 tertinggi dan terendah di tahun 2017.
sumber yang bersangkutan. Jadi di daerah tropik belahan bumi selatan, musim
siklontropis dari dari bulan November sampai April (Haryani, 2012).
Diantara siklon yang terjadi di bumi bagian selatan, hampir setengahnya
terbentuk di atas perairan sebelah utara Australia, sepertiga di atas lautan Indonesia
Selatan dan seperempat di atas lautan Pasifik Selatan (Neiburger, 1995).
Lintasan siklon tropis Cempaka-Dahlia didapatkan dari pergerakan pusat
kumparan angin dari tanggal 24 November – 7 Desember 2017 (Gambar 4),
didapatkan bahwa saat mulai terbentuk siklon SPL yaitu mulai dari 27 oC (27.2oC-
28.6oC), sedangkan saat siklon menghilang berada pada suhu 26.6 oC. Hal tersebut
karena sumber energinya berasal dari pra kondisi perbedaan suhu di atmosfer pada
siklon tropis harus tersedia kelembaban dan uap air untuk dapat tumbuh dan
berkembang sehingga badai tropis memerlukan daerah perairan hangat. Indikasi
adanya siklon tropis ditandai dengan wilayah bersuhu paling hangat dibandingkan
dengan perairan sekitarnya (Syaifullah, 2015).
Kondisi rata-rata SPL harian menunjukkan bahwa pada fase normal di tahun
2015 berkisar antara 28o - 30oC sedangkan untuk tahun 2016 berkisar antara 29o -
30oC dengan rata-rata pada fase normal adalah 29oC dengan kecenderungan trend
tetap. Namun pada saat fase siklon tropis Cempaka-Dahlia terdapat perbedaan SPL di
dekat pusat angin yaitu 27oC pada tanggal 27 November 2017 namun di Selatan Pulau
Jawa rata-rata SPL masih normal yaitu 29oC. Di tanggal 1 Desember 2017 di Selatan
Pulau Jawa bagian tengah SPL rata-rata menurun dari 29oC menjadi 28oC. Kemudian
rata-rata SPL di Selatan Pulau Jawa menurun kembali di tanggal 2-3 Desember 2017
menjadi 27oC dibagian timur sampai tengah dan rata-rata SPL di perairan Samudera
Hindia Selatan Jawa 27oC. Pada tanggal 4 Desember SPL di Selatan Pulau Jawa
menjadi 25oC dibagian timur sampai tengah dan 28oC di bagian tengah sampai barat.
Pada tanggal 5 Desember 2017 rata-rata SPL perairan Samudera Hindia Selatan Jawa
mulai naik kembali yaitu 28oC dan daerah Selatan Pulau Jawa bertahap mulai hangat
kembali 26oC terendah di tanggal 6 Desember 2017 dan 27oC di tanggal 7 Desember
2017.
Dengan begitu pada fase siklon tropis rata-rata SPL akan mengalami trend
penurunan dibandingkan dengan fase normal dari 29oC menjadi 27oC dengan jalur
yang dilewati siklon tropis tersebut SPL terendah sebesar 25oC. Kemudian didapatkan
hasil gradien SPL yang menunjukkan dampak luasan akibat adanya siklon tropis
Cempaka-Dahlia yang mana terdapat penurunan SPL di daerah bujur dan lintang dari
8 oLS – 15 LS dan 97 o – 113 oBT.
Siklon selama pergerakannya mengaduk massa air di area lintasannya. Siklon
yang bergerak akan menimbulkan gangguan atmosfer di dekat permukaan bumi
berupa angin yang berpusat yang dapat mengaduk perairan yang dilintasi siklon.
Akibat dari siklon tersebut akan menimbulkan adanya perubahan dan perbedaan Suhu
Permukaan Laut (Prasetya et al.,2014).
Siklon tropis di wilayah Samudera Hindia aktif biasanya terjadi di bulan
Februari, selama 46 tahun terjadi 122 dalam 42 tahun dengan rata-rata kejadian 2.9
pertahun. Pada bulan Desember merupakan bulan teraktif kedua dengan 76 kejadian
selama 42 tahun dengan rata-rata kejadian 1.8 pertahun. Pada bulan Juni dan Agustus
frekuensi terkecil, selama 42 tahun tidak terjadi siklon tropis (Kurniawan et al., 2012).
Namun pada tahun 2017 terjadi Siklon Tropis Cempaka-Dahlia yang berdekatan
menandakan setiap tahunnya terjadi peningkatan terjadinya siklon di Samudera
Hindia Selatan Jawa hal ini diakibatkan karena adanya pemanasan global.
1.3.Hubungan SPL dengan Angin pada Fase Siklon dan Fase Normal
Gambar 8. SPL dan Kecepatan Angin Fase Siklon dan Fase Normal dalam Harian
IV. KESIMPULAN
Kecepatan angin fase siklon berkisar antara 6.3 m/s -16.9 m/s dengan rata-rata
≥7 m/s mengarah ke pusat siklon searah jarum jam. Sedangkan fase normal kecepatan
angin 2 m/s – 8 m/s dengan rata-rata ≤7 m/s mengarah ke barat laut dan timur laut.
Kecepatan angin maksimal siklon tropis Cempaka 15.6 m/s dan siklon tropis Dahlia
16.9 m/s yang masuk ke dalam Siklon Tropis Deep Depression (kategori
minimal).Penurunan SPL 2oC dari 29oC menjadi 27oC pada saat siklon tropis
Cempaka dan 27oC menjadi 25oC saat siklon tropis Dahlia. Fase normal besar SPL
tetap yaitu 29oC.Akibat adanya Siklon Tropis Cempaka-Dahlia menyebabkan adanya
pengadukan SPL di 8oLS – 15oLS dan 97oBT– 113oBT. Uji statistik regresi
memberikan besarnya R square sebesar 0.804, hal ini berarti 80.4% kecepatan angin
mempengaruhi besarnya SPL dan hasil uji Anova atau F test menghasilkan nilai
signifikansi 0.047 menandakan bahwa ada hubungan angin dengan SPL yaitu angin
mempengaruhi besaran SPL di perairan. Kemudian uji one way ANOVA di dapatkan
nilai signifikasi 0 yang berarti bahwa variasi SPL dan kecepatan angin pada saat fase
siklon dan fase normal berbeda nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Lakitan, B. 1994. Dasar-Dasar Klimatologi. Jakarta: Raja Grafindo.
Suryatna, Rafi’i. 1995.Meteorologi dan Klimatologi. Angkasa Bandung. Bandung
Neiburger. 1995. Memahami Lingkungan Atmosfer Kita. Purbo, Ardina,
penerjemah; Bandung: ITP Pr.Terjemahan dari: Understanding our
atmospheric environment.
Paramilitary Forces of Indian Administrative Service (PMF IAS). 2016. Storm Surge,
Naming of Cyclones, Cyclones in Arabian Sea, Bay of Bengal.
www.pmfias.com (diakses pada 7 Juli 2018 11.25 wib)
Syaifullah, M. D. 2015. Siklon Tropis, Karakteristik dan Pengaruhnya di Wilayah
Indonesia pada Tahun 2012. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca.
16(2): 61-71
Prasetya, R., As’ari, Dayantolis, W. 2014. Analisis Dampak Siklon Tropis Nangka,
Parma, dan Nida pada Distribusi Curah Hujan di Sulawesi Utara. Jurnal
Fisika dan Aplikasinya. 10(1):1-9
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. 2017. Siklon Tropis Cempaka-
Dahlia. URL: http://www.bmkg.go.id (diakses pada tanggal 1 Mei 2018)
Rahman, H N F. 2017. Dampak Siklon Cempaka DahliaTerhadap Wilayah Bali.
Senior Forecaster BMKG Wilayah III Denpasar.
Sudarto. 2011. Pemanfaatan dan Pengembangan Energi Angin Untuk Proses Produksi
Garam di Kawasan Timur Indonesia. Triton. 7(2): 61-70
Sugiharto, T. 2009. Analisis Varians. Bahan Kuliah Statistik 2. Universitas Guna
Darma. Hal 4-21
Asrianti P., Ahmad B., Yopi I. 2013. Kajian Beberapa Karakteristik Siklon Tropis
(Kasus Topan Choi-wan dan Nida di Lautan Pasifik Utara Bagian Barat).
Depik. 2(3):154-161
Tjasyono, B., Harijono S. W. B. 2009. Meteorologi Indonesia Volume II. Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta
Asnani, G. C. 1993. Tropical Meteorology Vol 1. Indian Institute of Tropical
Meteorology. Pashan. Pp. 1202
Haryani, N.S., Zubaidah, A. 2012. Dinamika Siklon Tropis di Asia Tenggara
Menggunakan Data Penginderaan Jauh. Jurnal Teknologi. 29(324):54-58
Kurniawan, R., M.Najib H.,Donaldi S.P. 2012. Kajian Daerah Rawan Gelombang
Tinggi di Perairan Indonesia. Jurnal Metereologi dan Geofisika. 13(3):201-
212
Ghozali, I. 2011. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 19. Ed.
5. Badan Penerbit Universitas Diponegoro: Semarang
Pranowo, W.S., Armyanda T., Mega L. S., Noir P. P., Indah R. 2016. Karakteristik
dan Variabilitas Eddy di Samudera Hindia Selatan Jawa. Jurnal Segara. 12
(3): 159-165
Abstrak
Keberadaan lamun di Indonesia selalu mengalami penurunan setiap tahunnya yang
diakibatkan banyak faktor seperti aktivitas manusia. Perairan Lansilowo merupakan salah satu
wilayah di Pulau Wawonii yang memiliki terumbu karang, mangrove, dan lamun. Lamun
yang terdapat di perairan Lansilowo bermacam-macam dan yang menarik adanya jenis
Cymodoceasp dan Halodulle sp yang menjadi salah satu makanan utama dari Dugong yang
sudah terancam punah. Penelitian ini bertujuan untuk klasifikasi lamun dan non lamun
menggunakan citra satelit Sentinel-2A di perairan Lansilowo menggunakan algoritma SVM
(Support Vector Machine) dan MLH (Maximum Likelihood). Pengambilan data lamun
dilakukan menggunakan panduan dari seagrass watch. Data sebaran lamun yang
didapatkanselanjutnya di analisismenggunakanmetodekoreksikolom air (Depth Invariant
Index) dengan algoritma klasifikasi SVM dan MLH. Hasil penelitian menunjukan bahwa
klasifikasi sebaran lamun menggunakan algoritma SVM menghasilkan nilai akurasi sebesar
84% dengan luas lamun sebesar 67 Ha dan non lamun 77.5 Ha, sedangkan nilai akurasi dari
klasifikasi menggunakan algoritma MLH sebesar 80% dengan luas lamun sebesar 65.2 Ha
dan non lamun 79.3 Ha. Berdasarkan hasil klasifikasi yang telah dilakukan, klasifikasi
menggunakan metode koreksi kolom air dan algortima SVM lebih baik untuk pemetaan
lamun dan non lamun di perairan Lansilowo.
Kata kunci: Koreksi Kolom Air, Lansilowo, MLH, Sentinel-2A, SVM
Abstract
The existence of seagrass in Indonesia always decreases every year due to many factors such
as human activity. Lansilowo water is one of the areas on Wawonii Island, which has a coral
reef, mangrove and seagrass. Seagrass in Lansilowo's water varies and the interesting
seagrass type is Cymodoceasp and Halodullesp as one of the main foods of the endangered
Dugong. This study aims to classify seagrass and non seagrass using Sentinel-2A satellite
imagery in Lansilowo waters using SVM (Support Vector Machine) and MLH (Maximum
Likelihood) algorithm. The seagrass data collection was carried out using guidelines from
seagrasswatch. Seagrass distribution data obtained hereinafter analyzed using the water
column correction method (Depth Invariant Index) with SVM and MLH classification
algorithms. The results showed that the seagrass distribution classification using SVM
algorithm had an overall accuracy of 84% with a seagrass area of 67 Ha and non seagrass
area of 77.5 Ha, while an overall accuracy value of the classification using the MLH
algorithm was 80% with a seagrass area of 65.2 Ha and non seagrass 79.3 Ha. Based on the
results of the classification that has been carried out, the classification uses the water column
correction method and SVM algorithm is better for seagrass and non seagrass mapping in
Lansilowo waters.
Keywords: Depth Invariant Index, Lansilowo, MLH, Sentinel-2A, SVM
I. PENDAHULUAN
Padang lamun merupakan salah satu ekosistem pesisir yang didalamnya
terdapat lamun sebagai vegetasi yang lebih dominan dan berada di daerah tropis dan
subtorpis (Patty 2016). Menurut McGlathery(2008) fungsi lamun sendiri yaitu sebagai
tempat mencari makan dan tempat berkembang biak biota laut, sedangkan menurut
Koch et al (2006) akar lamun mempunyai manfaat untuk melindungi pantai dari
gerusan ombak.
Perairan Lansilowo merupakan salah satu wilayah di Pulau Wawonii yang
memilki jenis lamun yang beragam seperti adanya jenis Cymodocea sp dan Halodulle
sp yang menjadi makanan utama salah satu biota laut yaitu Dugong yang sudah
terancam punah. Sebaran lamun di Lansilowo cukup merata pada seluruh bagian dan
hampir seluruhnya bersubstrat pasir dan lumpur.
Lamun di Indonesia mengalami penurunan luasan sebesar 30% hingga 40%
dari jumlah lamun yang tersebar di seluruh wilayah. Berdasarkan data yang
didapatkan, faktor yang sangat berpengaruh dalam penurunan luas lamun adalah
aktifitas manusia (Nontji 2009). Menurut Preen (1995) penurunan jumlah lamun
membuat biota laut seoerti dugong kehilangan pakan utamanya. Monitoring lamun
menjadi sangat penting untuk menjaga kelangsungan hidup biota lamun dan
ekosistem perairan agar tetap lestari.
Teknologi penginderaan jauh menjadi salah satu metode alternatif untuk
monitoring sebaran lamun yang luas dan dalam waktu yang sama, selain itu teknologi
ini juga menghasilkan informasi yang lebih detail untuk mendeteksi perubahan lamun
(Ferwerda et al. 2007). Penginderaan jauh menggunakan citra atau gambar yang
dihasilkan oleh satelit. Citra yang berasal dari satelit memiliki banyak saluran (kanal)
yang mempunyai karakteristik berbeda. Untuk klasifikasi lamun, kanal yang biasa
digunakan yaitu kanal biru, hijau, dan merah (Lillesand and Kiefer 2008).
Metode untuk mengetahui keberadaan lamun menggunakan citra satelit sudah
banyak dilakukan seperti interpretasi data citra berdasarkan warna dan tekstur
substratnya (Larkum dan West, 1990). Penerapan koreksi kolom air (depth invariant
index) untuk mendeteksi lamun sangat perlu dilakukan mengingat keberadaan lamun
yang berada di dasar perairan. Selain itu, penerapan algoritma klasifikasi juga dapat
membantu untuk mengetahui sebaran lamun dan non lamun.Algoritma SVM (Support
Vector Machine) dan MLH (Maximum Likelihood) merupakan sebagian algoritma
klasifikasi yang biasa digunakan untuk klasifikasi ekosistem di perairan, khususnya
ekosistem lamun. Penelitian ini bertujuan untuk uji akurasi klasifikasi lamun dan non
lamun menggunakan algoritma SVM dan MLHdi perairan Lansilwo, Sulawesi
Tenggara.
Utara (Gambar 1). Perairan Lansilowo memilki ekosistem lamun, terumbu karang,
dan mangrove yang cukup baik.
Survei Lapang
Pengamatan lamun dilakukan menggunakan referensi dari Seagrasswatch
monitoring mengacu pada McKenzie et.al (2001). Pengambilan data lamun dilakukan
menggunakan transek berukuran 1 x 1 meter dan setiap titik pengamatan dibantu
dengan GPS untuk mengetahui titik atau lokasi data yang diamati. Pengambilan data
lamun dilakukan dengan metode random sampling dan jumlah sampel yang diamati
sebanyak 98 stasiun yang tersebar secara merata di perairan Lansilowo.
Analisis Data
Pra-Pengolahan Citra Satelit
Tahapan yang dilakukan dalam pra proses pengolahan citra yaitu koreksi
atmosferik,geometrik, masking, dan pembuatan training area. Proses koreksi
atmosferik dilakukan menggunakan metode Dark Object Substraction (DOS). DOS
mempunyai prinsip memperbaiki efek ganguan atmosfer yang mempengaruhi
hamburan energi yang direkamoleh sensor satelit (Cui et al. 2014).MenurutFerwerda
et.al (2007) koreksiatmosferikmerupakan proses prapengolahancitra yang
penting.Koreksigeometrikdilakukanuntukmemperbaikikoordinatpadacitrasatelit.
Data yang sudah terkoreksi atmosferik dan geometrik selanjutnya dilakukan
proses masking untuk memisahkan antara daratan dan perairan, kemudian pembuatan
training area dilakukan menggunakan data survei lapang sebagai acuan.
Klasifikasi
Citra yang digunakan dalam klasifikasi adalah citra yang telah terkoreksi
atmosferik dan geometrik. Saluran atau kanal yang digunakan yaitu sinar tampak
(biru, hujau, dan merah). Selanjutnya dilakukan proses koreksikolom air atau DII
(Depth Invariant Index). Metode ini dilakukan untuk mengurangi pengaruh variabel
kedalaman perairan. Secara umum metode ini sudah banyak dilakukan, hal ini
dikarenakan mampu meningkatkan hasil klasifikasi. Berikut ini adalah persamaan
metode DII (Lyzenga 1981).
Keterangan:
Li = nilai digital kanal 2 Sentinel-2A
Lj = nilai digital kanal 3 Sentinel-2A
ki/ kj = nilaikoefisienatenuasi
Uji Akurasi
Hasilklasifikasitersebutkemudiandilakukanpenilaianujiakurasiuntukmelihatkea
salahan (error matrix) denganmenggunakan data lapangansebagai data
validasi.Persentaseketepatanklasifikasidihitungdariperbandinganantarajumlahpiksel
yang benarpadasetiapkelasdenganjumlahpikseldari data validasisecarakeseluruhan
(Congaltondan Green, 2008).Perhitunganakurasi yang dihitungadalahoverall accuracy
(OA), producer accuracy (PA), danuser accuracy (UA). Berikut ini adalah persamaan
uji akurasi yang dilakukan.
Keterangan:
= jumlahpiksel yang terklasifikasisecarabenar
= jumlah sampel uji akurasi suatu kelas yang terklasifikasi benar
C D
Klasifikasi Lamun
Metode klasifikasi lamun berbasis piksel digunakan untuk mengetahui sebaran
ekosistem lamun di perairan Lansilowo. Proses klasifikasi pada citra satelit ini
menggunakan hasil training area yang telah dibuat. Algoritma yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu dan SVM dan MLH. Sebelum menggunakan algoritma tersebut,
citra satelit Sentinel-2A di koreksi atmosferik dan geometrik serta dilakukan metode
koreksi kolom air. Metode koreksi kolom air dalam penelitian ini menggunakan kanal
biru dan hijau. Kedua kanal tersebut dipilih karena mempunyai penetrasi lebih di
perairan sehingga dapat mendeteksi objek dengan lebih baik.Hasil klasifikasi lamun
menggunakan algoritma MLH menghasilkan peta sebaran lamun dan non
lamun.(Gambar 3). Hasil sebaran lamun dan non meyebar secara merata di perairan
Lansilowo. Pada tahun 2017 sebaran lamun sebesar 65.2 ha dan non lamun 79.3 ha.
Hasil klasifikasi menggunakan algoritma SVM juga menghasilkan sebaran lamun
yang merata (Gambar 4). Untuk luas area lamun, SVM mempunyai luasan yang lebih
besar dengan 67 ha dan luas sebaran non lamun lebih kecil dengan nilai 77.5 ha Luas
area lamun secara lengkap akan ditampilkan pada Gambar 5.
90
80
70
60
50
Ha
40
30
20
10
0
Lamun Non Lamun
SVM 67 77,5
MLH 65,2 79,3
Uji Akurasi
Hasil klasifikasi lamun selanjutnya dilakukan proses uji akurasi. Uji akurasi
dilakukan untuk melihat apakah hasil klasifikasi lamun menggunakan algoritma SVM
dan MLH sudah baik diterapkan di perairan Lansilowo. Data yang digunakan untuk
uji akurasi adalah data hasil survei lapang dan hasil klasifikasi.
Tabel1.Hasilujiakurasialgoritma SVM
Data citra tahun 2017
Data lapangan
Lamun Non lamun Total User accuracy (UC)
Lamun 21 6 27 78%
Non lamun 4 34 38 89%
Total 25 40 65
Producer acc (PA) 84% 85%
Overall accuracy (OA)= (55/65)= 84%
Tabel2.Hasilujiakurasialgoritma MLH
Data citra tahun 2017
Data lapangan
Lamun Non lamun Total User accuracy (UC)
Lamun 17 5 22 77%
Non lamun 8 35 43 81%
Total 25 40 65
Producer acc (PA) 68% 87%
Overall accuracy(OA)= (52/65)= 84%
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu akurasi menggunakan algoritma support
vector machine lebih baik dibandingkan dengan algoritma maximum likelihood dan
berdasarkan hasil klasifikasi terlihat bahwa citra Sentinel-2A baik digunakan untuk
melihat sebaran lamun dan non lamun di perairan Lansilowo.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih ditujukan kepada Ditjen Dikti, Kementerian Riset
Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penelitian ini melalui
program BOPTN dengan skema penelitian PUPT Tahun Anggaran 2017 atas nama
Dr. Syamsul B Agus, S.Pi, M.Si serta seluruh pihak yang telah membantu kelancaran
pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Danoedoro, P. (1996). Pengolahan Citra Digital Teori dan Aplikasinya dalam Bidang
Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018 79
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Aplikasi Support Vector Machine dan Maximum Likelihood untuk Pemetaan Lamun di Perairan...
Koch EW, Sanford LP, Chen SN, Shafer DJ, Smith JM. 2006. Waves in Seagrass
Systems: Review and Technical Recommendations. Washington DC: System-
Wide Water Resources Program Submerged Aquatic Vegetation Restoration
Research Program. U.S. Army Corps of Engineers.
Larkum A.W.D. and R.J. West 1990. Long-term changes of seagrass meadows in
Botany Bay, Australia. Aquatic Botany 37: 55-70.
Lillesand, T.M., and Kiefer, R.W., Chipman, J.W. 2008.Remote sensing and image
interpretation.6th ed.Wiley India Pvt. New Delhi. 772 p.
Lyzenga, DR. 1981.Passive remote-sensingtechniques for mappingwaterdepth and
bottomfeatures.Applied Optics.17: 379-383.
http://doi.org/10.1364/AO.17.000379.
McGlathery, K.J. 2008. Segrass Habitat. Nitrogen in the marine environment (2nd
Edition). 1037-1071. http://doi.org/10.1016/B978-0-12-372522-6.00023-2.
McKenzie, L., Campbell, S., Roder, C. 2001.Seagrass-watch: manual for mapping
and monitoringseagrassresources by community (citizen) volunteers. QFS
NFC, Cairns. 41-58 p.
Mountrakis, G., J. Im, and C. Ogole. 2011.
Support vector machines in remote sensing: A review. ISPRS J. Of Photogramm,
66(3):247-259.
Nontji A. 2009. Rehabilitasi Ekosistem Lamun dalam Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir. Lokakarya Nasional 1 Pengelolaan Ekosistem Lamun. Jakarta.
Patty S.I. 2016. Pemetaan Kondisi Padang Lamun di Perairan Ternate, Tidore, dan
Sekitarnya. J. Ilmiah Platax. Vol.4:(1). Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Preen, A. 1995. Diet of dugongs: Are they omnivores?.J. of Mammalogy, 76(1): 163-
171. http://doi.org/10.2307/1382325.
Zhu, G., Blumberg D.G. 2002. Classification using ASTER data and SVM
algorithms: The case study of Beer Sheva, Israel. Remote Sensing of
Environment, 80(2):233-240. http://dx.doi.org/10.1016/S0034-4257(01)0035-
4.
Cui, L., Li, G., Ren, H., He, L., Liao, H., Ouyang, N., Zhang, Y. 2014.Assesment of
atsmophericcorrectionmethods for historical Landsat TM images in the
coastalzone: acasestudy in Jiangsu, China. European J. of Remote Sensing,
47:701-716. http://doi.org/10.5721/EuJRS20144740.
Congalton, R.G., Green, K. 2008. Assessing the accuracy of remotelysenseddata:
principles and practices.CRC press. Boca Raton. 160p.
http://doi.org/10.1201/9781420055139.
Ferwerda, J., Atzberger, C., Leeuw, J.D., Vekerdy, Z. 2007. Satellite based
monitoring of tropical seagrass vegetation: current techniques and future
developments. Hydrobiologia, 591:59–71. http://doi.org/10.1007/s10750-007-
0784-5.
Abstrak
Muara merupakan tempat akhir dari pergerakan arus sungai yang berbatasan langsung dengan
laut, dapat pula diartikan sebagai estuari, yaitu bagian sungai yang masih mendapat pengaruh
pasang surut. Metode yang digunakan dalam analisis perubahan garis pantai terutama dalam
ekstraksi garis pantai adalah Normal Different Water Index (NDWI) dan dengan
menggunakan metode pemisahan arus total menjadi arus pasang surut dan non pasang.
Penambahan batas tepi darat Muara Sungai Porong sebesar 4,66 km dan perubahan delta
Muara Sungai Porong sebesar 890.962 m² selama 16 tahun (2000-2016). Kecepatan aliran
rata-rata debit sungai sebesar 569 m³/s sehingga dapat disimpulkan Muara Sungai Porong
mengalami perubahan morfologi akibat didominasi oleh debit sungai.
Kata kunci: Morfologi, muara, arus, Sungai Porong.
Abstract
The estuary of Porong River serves as the discharge of river to the coastal sea. The river
discharges and tidal effect influenced on the morphology of the Porong Estuary, which is
usually one of which has dominant influence than others. Landsat image by the Normal
Different Water Index (NDWI) method used to study on changes in river morphology. Then,
the total currents are separated into tidal currents and non tidal currents. The results showed
that there was an addition of delta in the estuary of Porong River along 4.66 km and an area
of 890.96 m² for 16 years (2000- 2016). The main factor causing the delta morphological
changes is the increase of river water discharge to 569 m³ / s. so that it can be concluded that
the Porong Estuary River undergoes morphological changes due to being dominated by river
discharge.
Keywords: Morphology, Estuary, Current, Porong River
I. PENDAHULUAN
Muara merupakan tempat akhir dari pergerakan arus sungai yang berbatasan
langsung dengan laut, dapat pula diartikan sebagai estuari, yaitu bagian sungai yang
masih mendapat pengaruh pasang surut. Sirkulasi aliran yang terjadi di estuari sangat
dipengaruhi oleh sifat-sifat morfologi estuari itu sendiri, pasang surut dan debit aliran
sungai dari hulu (Anasiru, 2005).
Teknologi yang mudah dan cepat untuk pemantauan perubahan morfologi di
daerah Muara adalah dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh melalui
perekaman citra satelit sebagai datanya. Salah satunya adalah dengan menggunakan
data hasil perekaman citra satelit landsat. Salah satu sensor yang dibawa adalah
Thematic Mapper (TM) yang memiliki resolusi spasial 30 × 30 meter. Sensor ini
terdiri dari 7 band yang memiliki karakteristik berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan
(Lillesand and Kiefer, 1990 diacu dalam Putra dkk, 2013).
Pengolahan Data
Data citra yang didapatkan diolah untuk dianalisis perubahan muara serta data
arus dianalisis sebagai faktor penyebabnya:
................................................ (2)
–
..................................... (3)
Dengan rt
: Besarnya reduksi (koreksi) yang diberikan kepada hasil pengukuran
kedalaman pada waktu t.
TWLt : Kedudukan permukaan laut sebenarnya (true water level) pada
waktu t.
MSL : Muka air laut rata-rata (Mean Sea Level). Z0 : Kedalaman muka
surutan di bawah MSL.
D = dT – rt................................................. (5)
Data kedalaman laut yang telah dihitung menggunakan persamaan (4) dan (5)
diperoleh data kedalaman yang sebenarnya.
.............................................. (6)
.................... (7)
.......................................... (8)
................... (9)
Sungai Porong
Selat Madura
Pulau Lusi
Dari hasil pengolahan data arus dapat disimpulkan bahwa pengaruh perubahan
Muara Sungai Porong paling dominan yaitu disebabkan oleh arus residu dilihat dari
hasil pemisahan arus total menjadi arus pasang surut dan arus residu. Perubahan
Morfologi Muara Sungai Porong terhadap kecepatan Arus total dapat dilihat pada
Gambar 2. Arus residu merupakan arus sisa dengan pengaruhnya bermacam-macam.
Untuk mengetahui penyebab dominan dari arus residu dilakukan pengolahan data
debit sungai dan data angin sebagai input dari gelombang. Dari pengolahan data debit
sungai diketahui kecepatan aliran dari debit sungai dengan kecepatan aliran rata-rata
sebesar 578,9 m³/s. Muara sungai yang didominasi oleh debit sungai akan membawa
angkutan sedimen dari hulu cukup besar.
Arus yang membawa angkutan sedimen memiliki pengaruh terhadap
kedalaman (Tabel 1.) pada stasiun 1 arus membawa sedimen dengan kecepatan 0,33
m/s memiliki kedalaman 2,24 m sedangkan arus pada stasiun 2 membawa angkutan
sedimen dengan kecepatan 0,28 m/s memiliki kedalaman 2,44 m. Pada stasiun 3
kecepatan arus yang membawa sedimen 0,41 m/s dengan kedalaman 1,51 m
sedangkan pada stasiun 4 dengan kedalaman 1,46 m memiliki kecepatan 0,59 m/s.
stasiun 5 arus dengan kecepatan 0,26 m/s membawa sedimen dengan kedalaman 1,43
m sedangkan pada stasiun 6 pada kedalaman 1,14 m, arus membawa sedimen dengan
kecepatan 0,18 m/s. Selanjutnya stasiun 7 dengan kedalaman 1,13 m kecepatan arus
yang membawa butiran sedimen yaitu dengan kecepatan 0,08 m/s sedangkan pada
stasiun 8 kecepatan arusnya yaitu 0,14 m/s dengan kedalaman 2,93 m. pada stasiun 9
arus dengan kecepatan 0,23 m/s membawa sedimen dengan kedalaman 2,17 m
sedangkan pada stasiun 10 arus dengan kecepatan 0,43 m/s membawa sedimen pada
kedalaman 1,14 m. pada stasiun 11 dikedalaman 1,25 arus membawa sedimen dengan
kecepatan 0,13 m/s.
Dapat disimpulkan bahwa kecepatan arus yang membawa angkutan sedimen
dengan kecepatan rendah memberikan pengaruh terhadap kedalaman sehingga
mengalami pendangkalan dibandingkan arus yang membawa angkutan sedimen
dengan kecepatan lebih tinggi pada stasiun 1-4 (ditandai dengan warna biru muda
pada Tabel 1.). hal ini berlaku jika arus lebih cenderung masuk kearah sungai karena
lebih besar mendapatkan pengaruh dari debit sungai. Arus yang cenderung menuju
kearah pantai yaitu stasiun 5-11 (ditandai dengan warna merah muda pada Tabel 1.)
memiliki variasi kedalaman yang berbeda karena berhubungan dengan pengaruh lain
seperti arus pasang surut dan gelombang meskipun bukan faktor utama karena lebih
didominasi oleh debit sungai.
Gambar 2. Perubahan Morfologi Muara Sungai 2000 dan 2016 terhadap kecepatan
arus
IV. KESIMPULAN
Perubahan batas tepi darat Muara Sungai Porong dapat disimpulkan memiliki
penambahan batas tepi sebesar 4,66 km sedangkan delta Muara Sungai Porong
mengalami perubahan sebesar 890,962 m². Dilihat dari tipe perubahan muara, Muara
di Sungai Porong dapat digolongkan tipe muara yang didominasi oleh debit sungai.
Kecepatan rata-rata arus non pasang surut yang telah dipisahkan dari arus total
lebih besar dari kecepatan arus pasang surut sehingga arus yang dominan pada Muara
Sungai Porong adalah arus non pasang surut dengan hasil pengolahan data debit
sungai di Muara Sungai Kali Porong kecepatan rata-rata sebesar 578,9 m³/s.
kecepatan arus total yang membawa sedimen dengan kecepatan rendah memberikan
pengaruh terhadap kedalaman sehingga di area kedalaman tersebut mengalami
pendangkalan dibandingkan arus yang membawa angkutan sedimen dengan kecepatan
lebih tinggi. Jika arus lebih cenderung masuk kearah sungai maka mendapatkan
pengaruh lebih besar dari debit sungai. Arus yang cenderung menuju kearah pantai
memiliki kedalaman yang bervariasi karena berhubungan dengan pengaruh arus
pasang surut dan gelombang meskipun bukan faktor utama.
DAFTAR PUSTAKA
Anasiru, T. 2005. Analisis Perubahan Kecepatan Aliran pada Muara Sungai Palu.
Jurnal SMARTek, Vol. 3. No. 2,Hal: 101 – 112.
Angkotasan. A. M., Nurjaya. I. W., Natih. N. M. N. 2012. Analisis Perubahan Garis
Pantai di Pantai Barat Daya Pulau Ternate, Provinsi Maluku Utara. Jurnal
Teknologi Perikanan dan Kelautan, Vol. 2. No. 1. hal. 11-12.
Angraeni. G., Suntoyo., Zikra. M. 2014. Analisa Perubahan Kualitas Air Akibat
Pembuangan Lumpur Sidoarjo pada Muara Sungai Porong. Jurnal Teknik
Pomits. Vol. 2. No. 1. Hal. 2301-9271. ISSN: 2337-3539.
Abstrak
Support vector machine (SVM) diperkenalkan pertama kali oleh Vladimir Vapnik, seorang
ahli statistik asal Rusia pada tahun 1992. Algoritma klasifikasi ini tergolong dalam machine
learningyang bekerja atas prinsip structural risk minimation (SRM) dengan tujuan
menemukan hyperplane terbaik yang memisahkan dua buah kelas pada input spacedan sangat
umum digunakan untuk mengklasifikasi habitat perairan dangkal dalam beberapa tahun
belakang ini. SVM terdiri dari beberapa tipe kernel dan salah satu keunggulannya adalah
kemampuannya untuk meminimalkan kesalahan klasifikasi yaitu titik data yang tidak
terklasifikasi diambil secara acak tetapi tidak diketahui distribusi probabiltasnya. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menguji akurasi hasil klasifikasi habitat perairan dangkal
menggunakan SVM pada tipe kernel yang berbeda. Pengambilan data in-situ dilaksanakan
pada tanggal 6 Desember sampai dengan 10 Desember 2017, berlokasi di gosong Karang
Lebar dan gosong Karang Congkak, Kepulauan Seribu. Dari hasil uji akurasi untuk tipe
kernel linear, polynomial, radial basis function (RBF), dan sigmoid menunjukan bahwa SVM
dengan tipe kernel RBF memiliki overall accuracy tertinggi sebesar 74.83% dibandingkan
dengan tipe kernel linear sebesar 68.67%, polynomial sebesar 74.66%, dan sigmoid sebesar
68.21%.
Kata kunci: habitat perairan dangkal, SVM, tipe kernel, dan sentinel 2B.
Abstract
Support Vector Machine (SVM) was first introduced by Vladimir Vapnik, a Russian
statistician in 1992. This classification algorithm is classified as a machine learning that
works on the principle of structural risk minimization (SRM) with the aim of finding the best
hyperplane that separates two classes in input space and is very commonly used to benthic
habitats classification in recent years. SVM consists of several types of kernels and one of its
advantages is its ability to minimize misclassification, ie unclassified data points are taken
randomly but the probability distribution is unknown. The purpose of this study was to
examine the accuracy of the results of benthic habitats classification using SVM in different
kernel types. In-situ data collection was carried out from 6 December to 7 December 2017,
located in gosong Karang Lebar and gosong Karang Congkak, Kepulauan Seribu. From the
results of accuracy testing for linear, polynomial, radial base function (RBF), and sigmoid
types of kernels showed that SVM with RBF kernel type has the highest overall accuracy of
74.83% compared to linear kernel types of 68.67%, polynomial of 74.66%, and sigmoid at
68.21%.
Keywords: benthic habitat, kernel type, SVM, and sentinel 2B.
I. PENDAHULUAN
Teknik umum untuk pemetaan habitat bentik telah banyak dilakukan
diantaranya melalui sampling lapangan dan foto udara. Namun dengan pendekatan
ini, membutuhkan waktu, tenaga, biaya yang tinggi dan terbatas. Oleh karena itu, citra
Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018 89
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Uji Akurasi Klasifikasi Habitat Perairan Dangkal Pada Citra Satelit Sentinel 2B Menggunakan...
satelit menjadi alternatif penting bagi pemantauan pesisir dan lingkungan laut.
Berbagai satelit penginderaan jauh telah banyak dimanfaatkan dan terbilang tidak
asing lagi untuk pemetaan habitat perairan dangkal. Dibalik kuantitas pemanfaatan
teknologi tersebut, terdapat kesulitan dan permasalahan khusus, yaitu kesulitan pada
lingkungan bawah air adalah pengaruh variabel kedalaman dan reflektan dasar
perairan (Mumby et al. 1998). Didalam aplikasi penginderaan jauh, menentukan
tingkat akurasi dan ketidakpastian (uncertainity) penting untuk dilakukan (Congalton
dan Green 2009).Saat ini, data very high resolution (VHR) menawarkan peluang baru
(Lyons et al. 2011 dalam Eugenio et al. 2015). Namun, resolusi spasial yang lebih
baik tidak serta merta dapat meningkatkan kinerja klasifikasi dan sebagai
konsekuensinya, pengembangan metode klasifikasi yang baik telah menjadi penelitian
intensif di tahun-tahun sebelumnya (Eugenio et al. 2015).
Penggunaan beberapa algoritma klasifikasi untuk mengklasifikasi habitat
perairan dangkal memperhatikan klasifikasi dan jumlah kelas yang digunakan antara
lain ; maximum likelihood (Mumby et al. 1998; Green et al.2000; Mumby dan
Edwards. 2002; Andrefouet et al.2000; 2003) ; contextual editing (Mumby et al.
1997; 1998; Maltus dan Mumby. 2003) ; object-oriented (Bhaskaran et al. 2010;
Zhang et,al. 2013; Wahidin et al. 2015) ; Spectral Library (Lysandrou et al. 2017);
Support Vector Machine (Eugenio et al.2015).
Salah satu algoritma klasifikasi yang paling sering digunakan dalam beberapa
tahun belakangan ini adalah support vector machine (SVM). Algoritma klasifikasi ini
tergolong dalam machine learning, yang bekerja atas prinsip structural risk
minimation (SRM) dengan tujuan menemukan hyperplane terbaik yang memisahkan
dua buah kelas pada input space. SVM pertama kali dipersentasikan pada tahun 1992
di Annual Workshop on Computational Learning Theory oleh Boser, Guyon, dan
Vapnik (Nugroho et al, 2003).
Konsep dasar SVM sebenarnya merupakan kombinasi harmonis dari teori-
teori komputasi yang telah ada puluhan tahun sebelumnya, seperti margin hyperplane
(Duda and Hart 1973; Cover 1965; Vapnik 1964 dalam Nugroho et al. 2003), kernel
diperkenalkan oleh Aronszajn tahun 1950, demikian juga dengan konsep-konsep
pendukung lainnya. Akan tetapi hingga tahun 1992, belum pernah ada upaya
merangkai komponen-komponen tersebut (Vapnik 1999). Prinsip dasar SVM adalah
linear classifier, dan selanjutnya dikembangkan agar dapat bekerja pada non-linear
dengan memasukan konsep kernel trick pada ruang kerja berdimensi tinggi (Nugroho
et al, 2003).
Pada umumnya, terdapat empat kernel yang dapat digunakan, yaitu: linear,
polynomial, radial basis function (RBF), dan sigmoid (Suyanto 2017). Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menguji akurasi hasil klasifikasi habitat perairan dangkal
menggunakan SVM pada tipe kernel yang berbeda, yaitu: linear, polynomial, RBF,
dan sigmoid.
Analisis Data
Koreksi Kolom Air (Depth Invariant Index)
Koreksi kolom air dilakukan untuk memperbaiki kualitas citra dengan jalan
mengurangi gangguan yang berada di kolom air. Teknik yang umum digunakan untuk
koreksi kolom air adalah berdasarkan pada algoritma yang dikembangkan oleh
Lyzenga (1981). Dasar asumsi untuk koreksi kolom air tersebut adalah sinar yang
masuk ke dalam kolom air berkurang secara eksponensial dengan semakin
bertambahnya kedalaman air (atenuasi). Pada sinar tampak, sinar merah teratenuasi
lebih cepat daripada sinar biru dan hijau. Terdapat dua cara didalam melakukan
koreksi kolom air, terutama dalam mencari nilai (ki/kj) yang merepresentasikan rasio
koefisien atenuasi. Pertama, melalui nilai gradient pada garis linier yang dibentuk
oleh sepasang band spektrum tampak. Kedua, dapat juga diperoleh berdasarkan rumus
sebagai berikut:
(1)
(2)
Depth invariant index (DII) merupakan citra terkoreksi kolom air dengan nilai digital
berupa indeks objek habitat dasar perairan dangkal :
Dimana ; Li = Nilai digital pada band I ; Lj = nilai digital pada band j ; Ki/Kj =
Rasio Koefisien atenuasi pada pasangan band i dan j.
Uji Akurasi
Hasil klasifikasi data penginderaan jauh divalidasi menggunakan sebuah
matriks kesalahan (error matrix/confusion matrix). Hal ini dilakukan dengan
membandingkan citra hasil klasifikasi sebagai peta terhadap kelas sebenarnya. Kelas
yang sebenarnya diperoleh dari hasil pengamatan lapangan. Uji akurasi mengacu
kepada Congalton dan Green (2009). Akurasi keseluruhan (overall accuracy) antara
data hasil klasifikasi penginderaan jauh dan data referensi dapat dihitung sebagai
berikut :
overall accuracy = (8)
Producer’s accuracy j = (9)
User’s accuracy i = (10)
Sebuah uji - Z berbasis KHAT atau statistik K (Kappa) akan digunakan untuk menilai
akurasi klasifikasi dari sebuah matriks kesalahan.
K= (11)
Nilai digital dari citra asli pada kanal biru dan kanal hijau diekstrak dengan
melakukan pemilihan training area pada citra asli tersebut. Diperoleh nilai koefisien
attenuasi perairan (ki/kj) sebesar 0.782. Kemudian nilai tersebut dimasukan kedalam
persamaan Lyzenga sehingga diperoleh citra hasil transformasi seperti yang
ditunjukan pada Gambar 2.
a) b
)
c) d
)
Tabel 1. Uji akurasi hasil klasifikasi habitat perairan dangkal menggunakan algoritma
klasifikasi SVM untuk empat tipe kernel
Tipe Kernel Kelas OA PA UA
Linear 68.67%
Karang 92.93% 85.98%
Pasir 50.41% 87.32%
Rubble 83.87% 62.65%
Lamun 79.55% 62.50%
Pasir Mixed Lamun 58.43% 57.14%
Pasir Mixed Karang 32.76% 55.88%
Polynomial 74.66%
Hasil uji akurasi untuk enam kelas habitat (Tabel 1) menunjukan bahwa
penggunaan algoritma klasifikasi SVM pada tipe kernel RBF menghasilkan overall
accuracy yang lebih besar jika dibandingkan dengan penggunaan algoritma klasifikasi
SVM tipe kernel linear, polynomial, dan sigmoid. Pada SVM tipe kernel RBF
menghasilkan overall accuracy sebesar 74.83% dibandingkan dengan tipe kernel
linear sebesar 68.67%, tipe kernel polynomial sebesar 74.66%, dan tipe kernel
sigmoid sebesar 68.21%. Hal ini menunjukan bahwa SVM tipe kernel RBF memiliki
tingkat akurasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan tipe kernel linear,
polynomial, dan sigmoid.
Seperti halnya dilakukan oleh Traganos dan Reinartz (2017), memetakan
daerah lamun menggunakan algoritma klasifikasi SVM tipe kernel RBF pada citra
satelit Sentinel 2A untuk empat kelas mendapatkan overall accuracy sebesar 94.4%.
Pemetaan klasifikasi habitat perairan dangkal menggunakan algoritma SVM tipe
kernel RBF pada citra satelit Worldview-2 untuk sembilan kelas habitat juga
dilakukan oleh Eugenio et al. (2014), mendapatkan overall accuracy sebesar 70%.
IV. KESIMPULAN
Hasil uji akurasi dari empat tipe kernel SVM yaitu tipe linear, polynomial,
RBF, dan sigmoid menunjukan bahwa tipe kernel RBF memiliki overall accuracy
yang tertinggi dibandingkan dengan ketiga tipe kernel lain yakni sebesar 74.83% dan
overall accuracy terendah terdapat pada tipe kernel linear yakni sebesar 68.67%. Hal
ini menunjukan bahwa SVM tipe kernel RBF memiliki tingkat akurasi yang lebih baik
jika dibandingkan dengan tipe kernel linear, polynomial, dan sigmoid.
DAFTAR PUSTAKA
Andréfouët S, Muller-Karger F, Hochberg E, Hu C, Carder K. 2001. Change detection
in shallow coral reef environments using Landsat 7 ETM+ data. Remote
Sensing of Environment, 79: 150-162.
Andréfouët S, Kramer P, Torres-Pulliza D, Joyce KE, Hochberg EJ, Garza-Perez R,
Mumby PJ, Riegl B, Yamano H, White WH, Zubia M, Brock JC, Phinn SR,
Naseer A, Hatcher BG, Muller-Karger FE. 2003. Multi-sites evaluation of
IKONOS data for classification of tropical coral reef environments. Remote
Sensing of Environment, 88:128-143.
Bhaskaran S, Paramananda S, Ramnarayan M. 2010. Per – pixel and object – oriented
classification methods for mapping urban features using Ikonos satellite data.
Applied Geography. 30: 650–665.
Congalton, R. G., K Green. 2009. Assesing the Accuracy of Remotely Sensed Data.
Principles and Practices. 2th Edition. New York: CRC Press Taylor and
Francis Group.
Eugenio, F., J. Marcello, J. Martin. High-Resolution Maps of Bathymetry and Benthic
Habitats in Shallow-Water Environments Using Multispectral Remote Sensing
Imagery. 2015. IEEE TRANSACTIONS ON GEOSCIENCE AND REMOTE
SENSING, 53(7).
Green EP, Mumby PJ, Edwards AJ, Clark CD. 2000. Remote sensing handbook for
tropical coastal management. Paris (FR): UNESCO.
Lyzenga DR. 1981. Passive remote sensing techniques for mapping water depth and
bottom features. Applied Optics. 17: 379-383.
Malthus TJ, Mumby PJ. 2003. Remote sensing of the coastal zone: An overview and
priorities for future research. International Journal of Remote Sensing. 24(13):
2805-2815.
Mumby PJ, Green EP, Edwards AJ, Clark CD, Ellis AC. 1997. Estimating leaf area
index of mangroves from satellite data. Aquatic Botany. 58: 11–19.
Mumby, P. J., E. P. Green, A. J. Edwards, and C. D. Clark. 1998. Coral reef habitat
mapping: how much detail can remote sensing provide?.Marine Biology, 130:
193-202.
Mumby PJ, Edwards AJ. 2002. Mapping marine environments with IKONOS
imagery: enhanced spatial resolution can deliver greater thematic accuracy.
Remote Sensing Environment. 82:248-257.
Nugroho AS, Witarto AB, Handoko D. 2003. Support vector machine: Teori dan
aplikasinya dalam Bioinformatika. Proceeding of Indonesian Scientific
Meetting in Central Japan.
Selamat MB, Indra Jaya, Siregar VP, Totok Hestrianoto. 2012. Zonasi geomorfologi
dan koreksi kolom air untuk pemetaan substrat dasar menggunakan citra
Quickbird. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. 2(2): 17–25.
Siregar VP. 2010. Pemetaan substrat dasar perairan dangkal Karang Congkak dan
Lebar Kepulauan Seribu menggunakan citra satelit Quickbird. E – Jurnal Ilmu
dan Teknologi Kelautan Tropis. 2(1): 19–30.
Abstrak
Ikan tuna sirip kuning atau yang sering disebut yellowfin tuna adalah salah satu jenis
komoditas eksport penting bagi Indonesia. Salah satu ciri utama tuna sirip kuning adalah garis
berwarna kuning yang terdapat di sepanjang sisi kiri dan sisi kanan ikan tuna. Garis kuning
tersebut akan tampak jelas apabila terkena cahaya. Hidupnya bergerombol dan bergerak
sangat cepat sehingga sulit ditangkap Potensi ikan tuna jenis sirip kuning di Indonesia sangat
besar sebab jenis tersebut merupakan jenis terbanyak yang terdapat di perairan laut Indonesia.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui performansi pemijahan induk ikan tuna sirip
kuning yang dipelihara di karamba jaring apung. Penelitian ini dilakukan di KJA yang
berdiameter 48.8 m dengan kedalaman jaring 8 meter, diisi 100 ekor induk ikan tuna sirip
kuning dengan bobot berkisar antara 30-60 kg per ekor. Pakan yang diberikan adalah : ikan
segar, cumi-cumi dan ditambahkan vitamin C dan vitamin E. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa induk ikan yuna sirip kuning yang dipelihara di KJA dapat memijah setiap bulan.
Puncak pemijahan tertinggi terjadi pada bulan Maret. Daya tetas telur antara 22-94%.
Diameter telur antara 740-954 m. Ketahanan larva yang baru menetas antara 3-5 hari.
Kelangsungan hidup induk ikan tuna sirip kuning selama pemeliharaan di KJA mencapai
95%.
Kata kunci: Ikan tuna, pemijahan, diameter telur, daya tetas telur
Abstract
Yellow fin tuna is one of the important export commodities for Indonesia. One of the main
characteristics of yellow fin tuna is the yellow line which is located along the left and right
sides of tuna. The yellow line will be clearly visible when exposed to light. His life is clustered
and moves so fast that it is difficult to catch. The potential of yellow fin tuna in Indonesia is
very large because this type is the largest species found in Indonesian marine waters. The
purpose of this study was to determine the performance of spawning of yellowfin tuna fish
that were kept in floating net cages. This research was conducted in cage with a diameter of
48.8 m with a depth of 8 m, filled 100 fishes yellow fin tuna with weights ranging between 30-
60 kg per fish. Feed given is: fresh fish, squid and added vitamin C and vitamin E. The results
showed that the yellowfin tuna kept on floating cages can spawn every month. The highest
spawning occurred in March. Hatcing rate is between 22-94%. Egg diameter between 740-
954 m. The resistance of newly hatched larvae between 3-5 days. The survival of yellowfin
tuna fish during maintenance at floating cages reaches 95%.
Keywords: Yellow fin tuna, spawning, egg diameter, hatching rate
I. PENDAHULUAN
Teknologi pembenihan ikan tuna sirip kuning (hunnus albacares) yang
dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut, Gondol
dengan managemen pemeliharaan induk di karamba jaring apung (KJA) sudah
berhasil memijah. Namun demikian kualitas dan kuantitas telur yang dihasilkan masih
belum optimal.
Seperti diketahui Indonesia sebagai salah satu Negara dengan potensi ikan
tuna tertinggi di dunia. Tercatat total produksi ikan tuna mencapai 613.575 ton per
tahun dengan nilai penjualan sebesar Rp. 6,3 trilliun per tahun. Sebanyak 70%
produksi ikan tuna Indonesia di ekspor ke Thailand, Tiongkok, Jepang, Amerika
Serikat dan Uni Eropa. Kendati demikian komoditas ikan tuna tengah menghadapi
sejumlah tantangan, antara lain : menurunnya produktivitas, ukuran yang terus
mengecil, serta daerah penangkapan ikan yang cenderung ke laut lepas. Sedangkan
wilayah pengelolaan perikanan Indonesia (WPPI) status tingkat eksploitasi ikan tuna
jenis albacore, madidihang, mata besar dan tuna sirip biru sudah sangat
mengkawatirkan dengan status tereksploitasi penuh (fully exploited) hingga
tereksploitasi berlebih (over exploited). Saat ini produksi ikan tuna masih
mengandalkan hasil tangkapan dari alam sehingga untuk menjaga kelestariannya,
maka pengetahuan tentang reproduksi sangat penting. Penelitian tentang aspek
reproduksi ikan tuna sirip kuning telah dilakukan di Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Laut (BBPPBL) Gondol Bali. Hasil penelitian pemijahan
pertama ikan tuna sirip kuning di BBPPBL Gondol terjadi pada bulan Oktober-
Nopember 2004 selama 10 hari berturut-turut. Jumlah telur yang diproduksi berkisar
antara 7.000-122.000 butir/pemijahan. Diemeter telur berkisar antara 840-990 µm
dengan tingkat penetasan 0-51,5%. Ukuran induk ikan tuna sirip kuning yang
memijah antara 16-25 kg/ekor (Hutapea et al., 2007).
Secara bertahap penelitian mengenai induk ikan tuna sirip kuning (Thunnus
albacares) masih terus dilakukan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan antara
lain: penelitian penangkapan calon induk ikan tuna (Hutapea et al., 2003) ;
domestikasi calon induk ikan tuna (Hutapea dan IGN. Permana, 2007) ; siklus hidup
indoparasit yang menginfeksi telur ikan tuna (Hutapea dan IGN. Permana, 2007) ;
Pengamatan perkembangan embryo ikan tuna sirip kuning (Hutapea et al., 2007 ;
Hutapea, 2007) serta pengaruh salinitas terhadap sintasan larva stadia awal.
Sedangkan pada tahun 2013 melakukan penelitian pemijahan induk ikan tuna sirip
kuning di KJA dan di Bak secara terkontrol, kemudian pada tahun 2014 dilakukan
evaluasi produktivitas induk dan pembesaran ikan tuna sirip kuning. Selanjutnya pada
tahun 2015 melakukan pengembangan teknologi pembenihan ikan tuna sirip kuning.
Namun demikian kualitas dan kuantitas telur dan larva yang didapatkan masih belum
optimal. Oleh karena itu penelitian induk ikan tuna sirip kuning masih terus dilakukan
untuk mendapatkan teknik pemijahan dan teknik pemeliharaan larva seperti
keberhasilan pembenihan ikan bandeng, ikan kerapu dan ikan-ikan laut lainnya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses kematangan gonad,
pemijahan hingga menghasilkan benih meliputi, antara lain adalah : kondisi induk,
penanganan telur, teknik pemeliharaan larva, teknik pemberian pakan, penyakit dan
lain-lain. Oleh karena itu perlu dicermati dengan saksama sehingga didapatkan
kualitas dan kuantitas benih yang diharapkan. Beberapa penelitian yang berkaitan
dengan pemijahan ikan laut dan produksi massal benih antara lain : ikan bandeng
(Prijono et al, 1986) ; ikan kerapu bebek (Tridjoko et al, 1996 ; 2006 ; 2014) ;
Tridjoko (2003 ; 2007) ; ikan kerapu batik (Slamet dan Tridjoko, 1997) ; ikan kerapu
macan ( Setiadharma et al, 2001) ; ikan kerapu sunu (Suwirya et al, 2003) ; ikan
napoleon (Slamet et al, 1998) dan masih banyak ikan laut lainnya. Selanjutnya hasil
penelitian seperti pakan adalah merupakan faktor yang sangat penting (Watanabe,
1998). Kecukupan vitamin dapat mempercepat proses vittellogenesis (Zohar, 1991 ;
Azwar, 1997). Watanabe (1988) melaporkan bahwa kualitas telur red sea bream
(Pagrus major) sangat dipengaruhi oleh kandungan protein, fosfor, pigmen, asam
lemak essensial. Giri et al., (2002) menyatakan bahwa penambahan lesithin dalam
pakan dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas telur ikan kerapu batik. Larva
hasil pemijahan dari induk-induk yang menerima perlakuan suplementasi lesithin
hidupnya relatif lebih tahan atau dengan perkataan lain energi yang tersedia dapat
digunakan dengan lebih baik (Suwirya et al., 2007). Penambahan lesithin dalam
pakan akan meningkatkan kadar lemak netral pada larva. Peningkatan kadar lemak
netral akan meningkatkan daya tahan larva kerapu sunu sebelum mendapat pakan.
Menurut Mongkoginta (1992) pada saat embrio ikan berkembang, biasanya akan
terjadi penurunan lemak netral. Lemak netral tersebut adalah merupakan sumber
energi utama dalam perkembangan larva pada saat phase awal. Oleh karena itu
beberapa penelitian mengenai pakan terutama terhadap kandungan nutrisi pada ikan-
ikan laut telah banyak dilakukan (Giri et al., 1999 ; Suwirya et al., 2001; Suwirya et
al., 2002). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemijahan induk ikan tuna sirip
kuning yang dipelihara di karamba jaring apung.
2013), ikan napoleon (Cheilinus undulatus ) (Selamet et al., 2001) , ikan kerapu sunu
(Suwirya et al., 2005) dan lain-lainnya.
Bulan
Gambar 1. Hasil pengamatan pemanenan telur ikan tuna sirip kuning selama
penelitian berlangsung.
3500000
3000000
Jumlah telur (butir)
2500000
2000000
1500000
1000000
500000
0
Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop
Bulan
Gambar 2. Hasil pengamatan jumlah total telur ikan tuna sirip kuning yang berhasil di
panen selama penelitian berlangsung
Berikutnya pada bulan Pebruari jumlah total telur yang berhasil di panen sebanyak
1.938.000 butir. Yang terendah yaitu pada bulan Mei hanya didapatkan telur 36.000
butir.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumadhiharga (2009), ikan tuna
sirip kuning merupakan jenis ikan yang tidak berubah jenis kelamin dimana
pemijahannya pada musim semi dan musim panas di belahan bumi utara. Lebih lanjut
dikatakan, bahwa ikan tuna sirip kuning dapat memijah sepanjang tahun di daerah
khatulistiwa dengan posisi lintang 10o LU – 15o LU dan bujur 120o BT – 180o BT di
Samudera Pasifik. Puncak pemijahan terjadi dalam bulan Juli sampai November. yang
oositnya berdiameter > 1000 µ (TKG 5). Ukuran matang gonad tuna sirip kuning
yang biasa ditangkap di Samudera Pasifik adalah panjang 91 – 100 cm dan berat 14 –
20 kg. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hutapea & Permana (2007) menyebutkan
bahwa ikan tuna sirip kuning yang dipelihara di bak beton secara terkontrol pertama
kali matang gonad (memijah) berukuran 20 kg. Selanjutnya Hutapea et al., (2015)
mengatakan bahwa ikan tuna sirip kuning yang dipelihara di KJA bundar yang
berdiameter 50 m dengan kedalaman jaring 8 m yang terpasang sekitar 300-400 m
dari pantai dengan kedalaman perairan 20-30 meter, pakan segar yang diberikan
berupa ikan layang dan cumi-cumi (2:1) prosentasi 3-5 persen dari biomas dapat
memijah setiap bulan. Hal ini sesuai dengan hasil kajian Kikawa (1966) dalam Suzuki
(1994) yang menyatakan bahwa ikian tuna sirip kuning (Thunnus albacares) memijah
sepanjang tahun.
Dari Tabel 1 terlihat bahwa diameter telur ikan tuna sirip kuning mempunyai
kisaran antara 740-954 m dan kisaran diameter gelembung minyak antara 161-239
m. Hasil penelitian ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Margulies
et al., (2007) bahwa ukuran diameter telur ikan tuna sirip kuning yang dilakukan di
Jepang adalah >900 m dan diameter gelembung minyak >200 m. Sedangkan daya
tetas telur berkisar antara 22-94%, dan ketahanan larva yang baru menetas antara 3-5
hari. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemijahan ikan laut
diantaranya adalah lingkungan pemeliharaan, pakan, umur ikan, dan kondisi
kesehatan ikan. Oleh karena itu bila fakor-faktor tersebut tidak optimal maka kualitas
telur yang dihasilkan tidak baik. Seperti hasil penelitian yang menyebutkan bahwa
dengan komposisi pakan yang lebih baik dapat mempercepat perkembangan gonad
dan fekunditas ikan (Halver, 1976). Seperti halnya pakan yang digunakan untuk induk
ikan tuna kandungan kadar protein cukup tinggi yaitu antara 34,17-60,07% (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil analisa pakan yang diberikan induk ikan tuna sirip kuning selama
penelitian berlangsung.
Hasil Analisa Pakan Ikan Tuna
Spesifikasi
Parameter Satuan Ikan Ikan
Cumi* Metode
lemuru* layang*
Kadar Abu % 7,79 14,24 7,03 IKM/5.4.2g/BBPPBL
(Gravimetri)
Kadar Air % 2,07 2,94 2,50 IKM/5.4.2f/BBPPBL
(Gravimetri)
Kadar Lemak % 50,85 8,93 9,15 IKM/5.4.2e/BBPPBL
(Gravimetri dan
Extraksi)
Kadar Protein % 34,17 46,06 60,07 IKM/5.4.2d/BBPPBL
(Kjeldahl)
*: Sampel ikan lemuru, layang dan cumi-cumi segar yang sudah dikeringkan
Oleh karena itu pemberian pakan induk ikan diupayakan seoptimal mungkin
yaitu dengan cara penambahan vitamin. Vitamin yang digunakan dalam pemberian
pakan induk tuna adalah vitamin C dan vitamin E. Seperti yang terlihat pada (Tabel
3), bahwa kandungan protein pada telur cukup tinggi yaitu 54,50%, dan vitamin C
<0,10 mg/g (Tabel 4). Selanjutnya kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh,
omega 3, EPA, DHA, omega 6, omega 9 dan beberapa asam amino pada telur ikan
tuna cukup bagus. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan pemberian pakan yang
baik tentunya akan menghasilkan telur yang baik, sehingga perkembangan oosit akan
lebih sempurna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa vitamin C adalah salah satu
vitamin yang diduga berperan dalam siklus reproduksi dan dapat mempengaruhi mutu
telur (Lovell, 1984). Selain vitamin E juga berpengaruh terhadap fungsi sel membran
pembentuk jaringan telur (Halver, 1985). Selanjutnya dikatakan bahwa vitamin E
adalah bahan yang essensial dalam pakan dan merupakan antioksidan metabolis yang
dapat mencegah oksidasi asam lemak essensial seperti n-3 HUFA. Vitamin E dan
vitamin C dapat memacu produksi telur dan aktivitas sperma.
Tabel 3. Hasil analisa telur induk ikan tuna sirip kuning (kadar abu, kadar air, kadar
lemak dan kadar protein).
Hasil Analisa
Parameter Satuan Spesifikasi / Metode
Telur ikan tuna*
Kadar Abu % 17,80 IKM/5.4.2g/BBPPBL
(Gravimetri)
Kadar Air % 2,63 IKM/5.4.2f/BBPPBL
(Gravimetri)
Kadar Lemak % 15,59 IKM/5.4.2e/BBPPBL
(Gravimetri dan(Extraksi)
Kadar Protein % 54,50 IKM/5.4.2d/BBPPBL
(Kjeldahl)
*: Sampel telur ikan tuna segar yang sudah dikeringkan
Kualitas telur dipengaruhi oleh karakteristik induk, stres, ukuran tubuh, masa
bereproduksi dan dengan pengecualian pada faktor genetik, karakter-karakter ini
berkaitan dengan variasi musiman. Ukuran telur, merupakan hal yang paling
sederhana dan umum digunakan untuk menentukan kualitas telur. Data yang ada
menunjukkan adanya korelasi positif antara ukuran telur dan kelangsungan hidup
larva.
Tabel 4. Hasil analisa telur induk ikan tuna sirip kuning (asam lemak jenuh dan tak
jenuh, omega3, omega 6, omega 9 dan asam amino) dan vitamin C.
No Parameter Uji Hasil Satuan Metode
A Asam Lemak Jenuh dan Tak Jenuh >5,00
(37p)
1 Methyl Palmitoleate 20,21 % Relatif Kromatografi Gas
2 Methyl Lenoleate 18,97 % Relatif Kromatografi Gas
3 Cis-11-14-eicosadienoic Acid Methyl 7,53 % Relatif Kromatografi Gas
Ester
4 Methyl Cis-5-8-11-14-eicosatetraenoic 34,32 % Relatif Kromatografi Gas
IKU/5.4/KF-HPLC-01
F Vitamin C <0,10 Mg/g
(HPLC)
(Batas deteksi LoD) vitamin C : 0,1 mg/g)
Ternyata jumlah telur yang dibuahi maupun yang tidak dibuahi dari hasil
pemijahan ikan tuna sirip kuning ini sangat fluktuatif. Demikian juga yang terjadi
pada pemijahan ikan laut lainnya seperti : ikan napoleon (Cheilinus undulatus )
(Selamet et al., 2001) , ikan kerapu sunu (Suwirya et al., 2005) dan ikan kerapu bebek
(Tridjoko et al., 2011 ; Tridjoko, 2013).dan lain-lainnya. Dari hasil-hasil penelitian
mengenai pemijahan ikan-ikan laut, bahwa telur yang mempunyai daya tetas rendah
atau dibawah 40% akan berpengaruh terhadap larva yang dihasilkan. Seperti
pertumbuhan larva lambat, dan sering terjadi kematian massal sebelum larva tersebut
umur 45 hari. Kejadian ini juga sering terjadi pada ikan laut lainnya seperti : ikan
kerapu batik (Slamet dan Tridjoko, 1997), ikan napoleon (Slamet et al., 1998), serta
ikan cobia (Priyono et al., 2005).
Tabel 5. Jumlah kematian induk ikan tuna sirip kuning yang dipelihara di KJA selama
penelitian berlangsung
Tanggal/ Panjang Berat Berat Jenis
Bulan/ Standart Tubuh Gonad Kelamin Keterangan
Tahun (cm) (kg) (g) (J/B)
22-01-2016 132 55.60 284.20 Betina -
25-01-2016 130 49.56 272.10 Betina -
01-03-2016 121 47.50 71.19 Betina -
17-03-2016 112 - - - Busuk
27-03-2016 128 - - - Busuk
Dari 100 ekor induk ikan tuna sirip kuning yang dipelihara di KJA, ternyata
ada 5 ekor yang mati. Kematian ini diduga karena pada tanggal di bulan Januari dan
Maret tersebut curah hujan cukup tinggi, kemudian terjadi ombak yang besar sehingga
kualitas perairan di KJA tidak baik. Induk ikan tuna yang mati mempunyai ukuran
panjang standar antara 112-132 cm dan berat tubuh 47,50-55,60 kg. Kelamin betina
sebanyak 3 ekor dan yang 2 ekor tidak diukur karena sudah busuk (Tabel 5). Dengan
demikian kelangsungan hidup ikan tuna sirip kuning selama pemeliharaan cukup
tinggi yaitu 95%.
IV. KESIMPULAN
Puncak pemijahan tertinggi terjadi pada bulan Maret. Daya tetas telur
antara 22-94%. Diameter telur antara 740-954 m. Ketahanan larva yang baru
menetas antara 3-5 hari. Kelangsungan hidup induk ikan tuna sirip kuning selama
pemeliharaan di KJA mencapai 95%.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Z.I. 1997. Pengaruh askorbil-2-fosfat magnesium sebagai sumber vitamin C
terhadap perkembangan ovarium dan penampilan larva ikan nila (Oreochromis
sp). Disertasi Fakultas Pasca Sarjana. IPB. 210 hal.
Giri, N.A., K. Suwirya, dan M. Marzuqi. 1999. Kebutuhan protein, lemak, dan
vitamin C untuk yuwana ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. 5(3):38-46
Giri, N.A., K. Suwirya, dan M. Marzuqi. 2002. Effect of dietary protein and energy
on growth of juvenile humpback grouper (Cromileptes altivelis). Indonesian
Fisheries Reseach Journal, 8: 5-9.
Halver, J.E. 1976. Fish nutrition. Academic Press, London and New York. 713p.
Halver, J.E. 1985. Recent advances in vitamine nutrition and metabolism in fish.
Nutrition and feeding in fish. Edited by C.B Cowey., A.M Mackie and J.G
Bell. Academic Press London. P:415-429.
Hutapea, J.H., G.N. Permana dan R. Andamari. 2003. Preliminary study of Yellowfin
tuna, Thunnus albacares capture for candidate broodstock. International
Seminar on Marine and Fisheries. Jakarta, 15-16 Dec.2003. P.29-31.
Hutapea, J.H. dan Permana, I G.N. 2007. Siklus hidup endoparasit, Ichthyodinium
chabelardi yang menginfeksi telur ikan laut. Prosiding Seminar Nasional
Kelautan III. Komisi B (Budidaya: Pakan dan Penyakit). Surabaya. Hal. 68-
72.
Hutapea, J.H. dan Permana, I G.N. 2007. Domestikasi calon induk ikan tuna sirip
kuning (Thunnus albacores) dalam bak terkontrol. Pengembangan Teknologi
Budidaya Perikanan. Hal :461-466
Hutapea, J.H. 2007. Pengamatan perkembangan embrio Tuna sirip kuning (Thunnus
albacares) dalam suhu inkubasi yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional
Perikanan dan Kelautan. Semarang. Hal. 123-128.
Hutapea, J.H., G.N. Permana dan R. Andamari. 2007. Perkembangan embrio ikan
tuna sirip kuning (Thunnus albacares). J.Ris. Akuakultur. Vol.2 No.1. Hal.9-
14.
Hutapea, J.H., I G.N. Permana dan R. Andamari. 2007. Pengaruh salinitas terhadap
sintasan larva stadia awal ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares).
Pengembangan Teknologi Budidaya Perikanan. Hal. 127-131.
Hutapea, J.H. dan I G.N. Permana. 2007. Domestikasi calon induk ikan tuna sirip
kuning (Thunnus albacares) dalam bak terkontrol. Pengembangan Teknologi
Budidaya Perikanan. Hal. 461-466.
Hutapea, JH., I Gusti N. Permana, Haryanti, Sari BM. Sembiring dan Retno A. 2007.
Peningkatan produktivitas induk tuna sirip kuning (Thunnus albacares)
melalui penambahan vitamin dalam pakan, profil pemijahan serta pengamatan
morfologi larva. Laporan Teknis Hasil Riset BBRPBL Gondol. 15 hal.
Hutapea, J.H., Gunawan dan A. Setiadi. 2010. Perbaikan teknik penanganan calon
induk ikan tuna sirip kuning, (Thunnus albacares) pasca penangkapan dan
dalam bak pengobatan. Prosiding. Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010.
Buku 1.Lampung 2010. Hal. 359-365.
Hutapea, J.H., Gunawan , A. Setiadi, I.G.N Permana dan Tridjoko. 2015. Kajian
Teknologi Budidaya Ikan Tuna Sirip Kuning, Thunnus albacares Di Bak Dan
Kja. Laporan Teknis. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya
Laut Gondol Bali. 24 hal.
Lovell.R.T. 1984. Ascorbic acid metabolism in fish. Proc. Ascorbic acid in domestic
animal. The Royal Danish Agricultural Soc. Copenhagen : 206 - 212.
Margulies,D., J.M. Suter, S.L. Hunt, R.J. Olson, V.P. Scholey, J.B. Wesler and A.
Nakazawa. 2007. Spawning and early development of captive yellowfin tuna
(Thunnus albacores). Overseas Fishery Cooperation Foundation Sankaido
Building, 9-B Asaka minato-ku, Tokyo 107-0052 Japan p:249-265
Mongkoginta, I. 1992. Essential fatty acid requirement of catfish (Clarias batracus
Lin.) for broodstock development. Desertasi Pasca Sarjana IPB. 80 hal.
Partridge, G. 2009. Hatchery production of Yellowfin tuna. International Specialised
Skills Institute Inc. Australia. 43 pp.
Abstrak
Berbagai spesies ikan laut telah diproduksi di hatchery di Kecamatan Gerokgak, Buleleng,
Bali, antara lain kerapu dan kakap putih. Salah satu masalah dalam produksi benih ikan laut
adalah kematian ikan akibat serangan penyakit, termasuk penyakit parasitik. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis parasit (ektoparasit) dan menentukan tingkat
prevalensinya dari masing-masing parasit yang ditemukan. Sampel ikan diambil secara acak
masing-masing 35 ekor dari 3 hatchery yang berlokasi di Desa Gerokgak dan dari 3 hatchery
yang berlokasi di Desa Penyabangan. Sampel ikan dalam keadaan hidup dibawa ke
Laboratorium Patologi BBRBLPP Gondol untuk pengamatan ektoparasit. Potongan insang
dan lendir tubuh setiap ikan sampel diambil dan ditempatkan di atas gelas objek yang sudah
ditetesi air laut steril dan ditutup dengan cover glass. Preparat tersebut selanjutnya diamati di
bawah mikroskop. Identifikasi ektoparasit dilakukan secara morfologi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ektoparasit utama yang menginfeksi benih ikan laut di hatchery adalah
Trichodina dengan tingkat prevalensi mencapai 100%. Parasit Trichodina ditemukan setiap
bulan selama penelitian di Desa Gerokgak tapi tidak di Desa Penyabangan. Ektoparasit lain
yang ditemukan adalah Cryptocaryon irritans dan cacing insang tapi dengan tingkat
prevalensi yang rendah, masing-masing 8.57% dan 5.71%. Dari penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa parasit utama yang mengancam keberlangsungan usaha produksi benih di
hatchery di Kecamatan Gerokgak adalah infeksi parasit Trichodina.
Kata kunci: Ektoparasit, hatchery, Trichodina, Cryptocaryon irritans, cacing insang.
Abstract
Several species of marine fish have been produced in hatcheries located in Gerokgak,
Buleleng, Bali including groupers and sea bass. One of the problems on seed production of
marine fish is diseases, including parasitic diseases. The aims of this study were to identify of
parasites and to determine the prevalence of each parasite on the fish cultured in hatcheries
located in Gerokgak, Buleleng, Bali. Identification based on morphological was conducted
using fresh specimens. This study was conducted for six months from February to July 2018.
Thirty five fish each were collected randomly from 6 different hatcheries every month. The
fish samples then were transported in live condition to Pathology Laboratory of Institute for
Mariculture Research and Fisheries Extension, Gondol. Small part of gill filaments and
mucus from body surface of fish samples were collected and then were put on object glasses
and observed under light microscope. The result showed that the most serious parasitic
infection in the hatchery is caused by Trichodina with prevalence up to 100% followed by
Cryptocaryon irritans with 8.57% prevalence and gill fluke with 5.71% prevalence,
respectively. It is suggested that the most serious threat to produce fish fry in the hatchery in
Gerokgak is Trichodina infection.
Keywords: Ectoparasite, hatchery, Trichodina, Cryptocaryon irritans, gill fluke
I. PENDAHULUAN
Berbagai spesies ikan kerapu sudah berhasil dibudidayakan dan menjadi
komoditas penting bagi Indonesia karena harganya yang tinggi, baik di pasar dalam
negeri maupun pasar internasional. Spesies ikan yang diproduksi di hatchery antara
lain kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu bebek (Chromileptes altivelis),
dan kakap putih (Lates calcarifer). Belakangan ini di hatchery telah diproduksi juga
kerapu hibrida, yaitu kerapu cantang dan kerapu cantik. Kerapu cantang merupakan
persilangan antara kerapu macan betina dengan kerapu kertang (E. lanceolatus)
jantan, sedangkan kerapu cantik merupakan hasil persilangan antara kerapu macan
betina dengan kerapu batik (E. microdon) jantan (Ismi et al. 2013). Budidaya kerapu
cantang sudah berkembang baik mulai dari produksi benih sampai ukuran konsumsi
(Ismi, 2012) dan spesies ini tumbuh lebih cepat dibanding spesies lain di karamba
jaring apung/KJA (Sutarmat et al., 2013).
Permasalahan utama yang dihadapi dalam budidaya kerapu adalah serangan
penyakit, termasuk yang disebabkan oleh parasit. Zafran et al. (1998) dan
Koesharyani et al. (2001) telah mengkompilasi berbagai jenis penyakit, baik yang
disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, parasit maupun penyakit non-infeksi pada
berbagai spesies ikan laut budidaya di Indonesia. Infeksi oleh ekto-parasit telah
menyebabkan kerugian ekonomis yang signifikan pada usaha budidaya ikan laut.
Karena itu upaya pengendalian tersebut sangat penting guna keberlanjutan usaha
budidaya ikan laut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis-jenis
ekto-parasit secara morfologi dan menghitung tingkat prevalensi masing-masing jenis
ekto-parasit yang ditemukan pada benih ikan yang diproduksi di hatchery.
Pengamatan Parasit
Insang dari masing-masing ikan sampel dipotong dan diletakkan pada kaca
objek dan diamati di bawah mikroskop. Pada waktu yang relatif bersamaan, lendir
permukaan tubuh masing-masing ikan sampel juga diambil dengan cara dikerok
menggunakan “cover glass” kemudian ditempatkan di atas kaca objek dan diamati di
bawah mikroskop untuk mengetahui keberadaan parasit. Ekto-parasit diidentifikasi
secara morfologi dari preparat segar berpedoman pada Chandra (1983), Kabata
(1985), Grabda (1991), Zafran et al. (1998), dan Koesharyani et al. (2001). Prevalensi
masing-masing parasit dihitung dengan rumus sebagai berikut: P = N/n x 100%,
dimana P = prevalensi, N= jumlah ikan yang terinfeksi, dan n= jumlah ikan yang
diamati.
Tabel 1. Parasit yang ditemukan pada Bulan Februari 2018 dan tingkat prevalensinya
Hatchery Spesies Ikan Parasit Prevalensi (%)
Gerokgak-1 Kerapu Cantang Pada insang:
Trichodina 2.86
Pada kulit: - -
Trichodina (Protozoa; Ciliata) adalah salah satu dari parasit yang tidak
mempunyai inang spesifik, dia bisa menginfeksi berbagai spesies ikan budidaya baik
di lingkungan air tawar maupun di lingkungan air laut. Seng et al., (2006)
mengklasifikasikan Trichodina sebagai salah satu parasit yang berbahaya pada ikan
laut budidaya. Sebelumnya Kabata (1985) melaporkan bahwa parasit dari kelompok
Trichodinid bisa menginfeksi semua stadia perkembangan ikan tapi yang paling
sering adalah stadia juvenil. Parasit ini tidak menyebabkan kematian inangnya secara
langsung. Tapi pada tingkat infeksi parah pada insang atau pada permukaan tubuh
bisa memicu produksi lendir yang berlebih atau bahka menyebabkan inflamasi.
Trichodina mempunyai bentuk seperti “saucer” dengan diameter berkisar dari 45-78
μm dan dikelilingi oleh cilia pada bagian pinggir tubuhnya. Karakteristik morfologi
Trichodina adalah berbentuk struktur gigi yang melingkar. Umumnya parasit ini
hidup pada permukaan insang dan kulit dan bergerak dengan cara berputar yang bisa
menyebabkan kerusakan pada jaringan inangnya. Infeksi Trichodina sebelumnya
telah dilaporkan dari Filipina pada ikan Epinephelus bleekeri, E. bontoides, E.
malabaricus, E. suillus, E. tauvina, and Cromileptes altivelis (Cruz-Lacierda &
Erazo-Pagador.,2004).
Infeksi parasit Trichodina dapat dicegah dengan menjaga kualitas air
pemeliharaan ikan. Apabila terjadi infeksi yang serius maka perendaman ikan sakit
dalam larutan formalin konsentrasi rendah (25-30 ppm) selama 1-2 hari bisa jadi
solusi (Zafran et al., 1998).
Dari hasil sampling pada bulan Maret ditemukan dua jenis parasit yang
menginfeksi ikan dari dua hatchery yang berlokasi di Desa Gerokgak. Kedua jenis
parasit tersebut adalah Trichodina dan Cryptocaryon irritans. Tingkat prevalensi
infeksi Trichodina tertinggi (100%) terpantau pada ikan kerapu cantang di hatchery
Gerokgak-1 dan prevalensi terendah (2.86%) di hatchery Gerokgak-2. Infeksi
Cryptocaryon irritans ditemukan hanya di hatchery Gerokgak-2 dengan tingkat
prevalensi 8.57%. Di pihak lain, tidak terdeteksi adanya infeksi parasit pada ikan
sampel yang diperoleh dari tiga hatchery yang berlokasi di Desa Penyabangan.
Infeksi Cryptocaryon irritans sebelumnya sudah dilaporkan pada berbagai
spesies ikan laut budidaya, antara lain pada ikan cobia (Rachycentron canadum),
kerapu sunu (Plectropomus leopardus), ikan kuwe/golden trevally (Gnathanodon
speciosus), dan bandeng (Chanos chanos) di hatchery (Zafran 2009). Belakangan,
Zafran (2017) melaporkan bahwa infeksi Cryptocaryon irritans telah menyebabkan
kematian massal benih ikan kerapu cantik di hatchery. Di antara berbagai spesies ikan
kerapu, ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan ikan kerapu batu (Epinephelus
bontoides) menunjukkan tingkat sensitivitas yang paling tinggi terhadap parasit ini
(Zafran et al. 1998).
Infeksi Cryptocaryon irritans dikenal dengan nama penyakit bercak
putih/”white spot disease” karena infeksi parasit ini menyebabkan timbulnya bercak-
bercak putih dalam jumlah banyak pada permukaan tubuh ikan yang terinfeksi.
Infeksi parasit ini terkenal sebagai penyakit parasitik yang paling berbahaya pada
berbagai spesies ikan laut budidaya. Apabila serangan parasit ini terjadi maka
tindakan pengobatan harus diambil sesegera mungkin. Kalau tidak cepat diambil
tindakan maka penyakit ini akan menyebar secara cepat pada ikan lainnya yang
berada dalam satu populasi dan akan menyebabkan kematian dalam jumlah banyak
pada ikan budidaya.
Dari empat stadia Cryptocaryon irritans (cyst, theront, trophont, dan tomont),
hanya stadia thomont dan theront yang bisa ditanggulangi dengan beberapa jenis
bahan kimia. Bahan kimia yang sudah terbukti efektif untuk mengendalikan tomont
dan theront adalah 0.3 ppm ionized copper, 0.5 ppm copper sulfate, atau 25 ppm
formalin (Zafran et al. 1998). Perendaman ikan sakit dalam 50 ppm formalin selama 1
jam dan diulang setiap 3 hari sebanyak 3 kali juga efektif mengatasi infeksi
Cryptocaryon irritans (Zafran, 2017). Setiap selesai pengobatan maka ikan harus
dipindahkan ke bak baru yang bersih yang bebas dari parasit karena dikhawatirkan
kista parasit tersebut masih terdapat pada bak dimana ikan sakit dipelihara.
Dari sampling bulan April, dua jenis parasit terdeteksi pada ikan sampel dari
hatchery Gerokgak-1. Kedua jenis parasit tersebut adalah Trichodina dan cacing
insang/gill fluke tapi dengan tingkat prevalensi yang rendah, masing-masing hanya
5.71%. Dari hatchery yang berlokasi di Desa Penyabangan hanya parasit Trichodina
yang ditemukan di salah satu hatchery (Penyabangan-2) dengan tingkat prevalensi
mencapai 68.57% (Tabel 3).
“Gill monogenetic trematodes”, dikenal dengan nama “gill flukes” atau cacing
insang, adalah parasit yang bersifat patogenik (mematikan) yang sering ditemukan
pada ikan laut. Ada tiga genus cacing insang yang sudah diidentifikasi menginfeksi
insang ikan kerapu, yaitu Haliotrema, Pseudorhabdosynochus, dan Diplectanum.
Haliotrema dan Diplectanum ditemukan pada ikan kerapu bebek dan ikan kerapu
malabar (Zafran et al., 1998). Sedangkan parasit Pseudorhabdosynochus tidak
mengenal inang spesifik, bisa menginfeksi berbagai spesies ikan kerapu. Ketiga jenis
cacing insang di atas dapat dibedakan berdasarkan karakteristik morfologinya. Stadia
“Onchomiracidium”, yaitu stadia cacing insang yang baru menetas dari telur, kadang-
kadang bisa terlihat pada permukaan tubuh ikan inang sebelum dia bergerak ke organ
insang untuk berkembang di sana. Stadia ini terlihat mirip secara morfologi dengan
cacing kulit (skin monogenetic trematodes). Siklus hidup lengkap dari parasit ini
membutuhkan waktu 10 - 12 hari pada suhu 280C.
Tabel 2. Parasit yang ditemukan pada Bulan Maret 2018 dan tingkat prevalensinya
Hatchery Spesies Ikan Parasit Prevalensi (%)
Gerokgak-1 Kerapu Cantang Pada insang:
Trichodina 100
Cryptocaryon irritans 8.57
Pada kulit:
Trichodina 100
Apabila terjadi infeksi parah oleh parasit cacing insang maka ikan sakit harus
diobati sesegera mungkin. Perendaman ikan sakit dalam larutan 30 ppm formalin
selama 24 - 48 jam bisa menjadi salah satu rekomendasi karena pengobatan dengan
formalin pada dosis rendah relatif tidak memberikan efek negatif bagi ikan yang
diobati. Perendaman ikan sakit dalam air bersalinitas tinggi (60 ppt) selama 15 menit
juga terbukti efektif untuk melepaskan parasit dari tubuh ikan tanpa menimbulkan
efek negatif.
Pada bulan Mei, infeksi oleh Trichodina ditemukan pada ketiga hatchery yang
disampling di Desa Gerokgak yang memelihara ikan kerapu cantang dan kakap putih
dengan tingkat prevalensi berkisar dari 34.28% sampai 100%. Sebaliknya di Desa
Penyabangan hanya satu hatchery yang ikannya ditemukan terinfeksi dengan tingkat
prevalensi rendah, hanya 5.71% (Tabel 4). Dari hasil pemantauan di lapangan terlihat
bahwa ada korelasi antara tingkat kebersihan hatchery dengan tingkat serangan
parasit. Semakin bersih hatchery semakin sedikit ikan terinfeksi parasit. Pada hatchery
yang terlihat kumuh maka tingkat prevalensi parasitnya tinggi.
Tabel 3. Parasit yang ditemukan pada Bulan April 2018 dan tingkat prevalensinya
Hatchery Fish Spesies Parasit Prevalensi (%)
Gerokgak-1 Kerapu Cantang Pada insang:
Trichodina 5.71
Gill Fluke 5.71
Pada kulit: - -
Tabel 4. Parasit yang ditemukan pada Bulan Mei 2018 dan tingkat prevalensinya
Hatchery Spesies Ikan Parasit Prevalensi (%)
Hasil pengamatan parasit pada bulan Juni menunjukkan bahwa dari enam
hatchery yang diamati, hanya satu hatchery di Desa Gerokgak (Gerokgak-2) yang
ikannya terinfeksi parasit Trichodina dengan tingkat prevalensi 11.43% (Tabel 5).
Infeksi parasit Trichodina hanya ditemukan pada insang, tidak ada pada kulit.
Tabel 5.Parasit yang ditemukan pada Bulan Juni 2018 2018 dan tingkat prevalensinya
Hatchery Spesies Ikan Parasit Prevalensi (%)
Gerokgak-1 Kerapu Cantang Pada insang: - -
Pada kulit: - -
Pada sampling bulan Juli diperoleh data bahwa ikan sampel dari ketiga
hatchery yang berlokasi di Desa Gerokgak terinfeksi oleh parasit Trichodina dengan
tingkat prevalensi mencapai 100%. Selain itu ditemukan juga infeksi parasit
Cryptocaryon dengan tingkat prevalensi rendah (8.57%). Dari Penyabangan, ikan
kerapu cantang dari dua hatchery ditemukan terinfeksi oleh parasit Trichodina dengan
tingkat prevalensi yang juga mencapai 100% (Tabel 6). Ada kemungkinan bahwa
pada bulan Juli ini kualitas air laut tidak begitu bagus karena adanya pengadukan air
laut oleh angin dan ombak yang besar.
Tabel 6. Parasit yang ditemukan pada Bulan Juli 2018 dan tingkat prevalensinya
Hatchery Spesies Ikan Parasit Prevalensi (%)
Gerokgak-1 Kerapu Cantang Pada insang:
Trichodina 97.14
Pada kulit:
Trichodina 20.0
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama enam bulan ini (Februari
– Juli 2018), maka dapat disimpulkan bahwa ekto-parasit utama yang menginfeksi
benih ikan di hatchery yang berlokasi di Desa Gerokgak dan Desa Penyabangan,
Kecamatan Gerokgak, Buleleng, adalah Trichodina dengan tingkat prevalensi
mencapai 100%. Ekto-parasit lain yang terdeteksi adalah Cryptocaryon irritans
dengan tingkat prevalensi 8.57% dan cacing insang/gill fluke dengan tingkat
prevalensi 5.71%.
DAFTAR PUSTAKA
Chandra, M. 1983. “Zeylanicobdella arugamensis”, Rec.Zool.Surv. India, vol 80, pp.
268-273.
Cruz-Lacierda, E.R., and G.E. Erazo-Pagador. 2004. Parasitic diseases. In Diseases of
Cultured Groupers. K. Nagasawa & E.R. Cruz-Lacierda (Eds.),. SEAFDEC-
AQD, Iloilo, Philippines. p 33-57.
Grabda, J. 1991. “Marine Fish Parasitology: An Outline”, Polish Scientific
Publication”, Warszawa, 306 pp.
Ismi S, Y.N. Asih, D. Kusumawati,and T.H. Prihadi. 2012. Grouper Nursery as a
business for increasing the income of coastal community. In Prosiding
Seminar Insentif Riset SINas (INSINas 2012). PG:312-318. (Indonesian).
Ismi S, Y.N. Asih dan D. Kusumawati. 2013. Peningkatan Produksi dan Kualitas
Benih Ikan Kerapu Melalui Program Hibridisasi. Jurnal Ilmu Teknologi
Kelautan Tropis. 5: 333-342.(Indonesian).
Kabata, Z. 1985. “Parasites and diseases of fish cultured in the tropics”, Taylor &
Francis, London & Philadelphia, 518 p.
Koesharyani, I., D. Roza, K. Mahardika, F. Johnny, Zafran, and K.Yuasa. 2001.
“Manual for Fish Diseases Diagnosis-II, Marine fish and crustacean diseases
in Indonesia”, Sugama, K., Ikenoue, H., & Kawahara, S. (eds), Gondol Marine
Research for Mariculture, Central Research Institute for Sea Exploration and
Fisheries, Department of Marine Affair and Fisheries, and Japan International
Cooperation Agency.
Seng, L. T., Z. Tan, and W. J. Enright. 2006. “Important parasitic diseases in cultured
marine fish in the Asia-Pacific region: Part 2-Control measures”. Aquaculture
Asia Pacific 2(2): 25-27.
Sutarmat, T. dan H.T. Yudha. 2013. Hasil persilangan antara kerapu macan
(Epinephelus fuscoguttatus) dengan kerapu kertang (Epinephelus lanceolatus).
Dalam Prosiding Forum Inovasi Teknologi 2013, hal 169-175.
Zafran, D. Roza, I. Koesharyani, F. Johnny, and K. Yuasa. 1998. “Manual for Fish
Diseases Diagnosis: Marine fish and crustacean diseases in Indonesia”.
Gondol Research Station for Coastal Fisheries and Japan International
Cooperation Agency, 44 pp.
Zafran. 2007. Infeksi parasit Trichodina pada benih ikan kerapu sunu (Plectropomus
leopardus) dan upaya pengendaliannya. Prosiding Seminar Nasional Kelautan
III. Universitas Hang Tuah, Surabaya. p. 57-60.
Zafran. 2009. Penyakit parasitik pada budidaya ikan laut di daerah Bali. Prosiding
Seminar Nasional Kelautan V. Universitas Hang Tuah, Surabaya 23 April
2009:II-31-36.
Zafran. 2017. Infeksi Cryptocaryon irritans pada benih kerapu cantik dan
penanggulangannya. Dalam Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan XIII ISOI
2016, Surabaya, hal. 189-194.
Abstrak
Abalon (Haliotis asinina) merupakan salah satu jenis kekerangan yang bernilai ekonomis
tinggi sehingga eksploitasi sumberdaya ini di alam sangat intensif dan berpotensi
mengganggu kelestariannya. Hingga saat ini mayoritas produksi abalon masih didominasi dari
hasil penangkapan di alam dan hanya sebagian sebagian kecil dihasilkan dari kegiatan
budidaya..Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek kejut suhu yang paling baik untuk
pemijahan abalon (Haliotis asinina) dengan metode kejut suhu. Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor yang diamati terdiri dari 3 (tiga) perlakuan
Kejut/perubahan Suhu yang berbeda antara lain : a). X1(280C ke 300C); b).X2(280C) ke 310C);
c). X3(280C ke 320C) dan d).X4(280C;suhu kontrol). Masing-masing perlakuan tersebut diatas
diulang sebanyak 3 kali, sehingga diperoleh 12 (dua belas) plot percobaan. Untuk mengetahui
pengaruh metode kejut suhu yang berbeda terhadap pemijahan buatan abalon (Haliotis
asinina) selama penelitian dari masing-masing perlakuan maka dilakukan Analisa Sidik
Ragam (ANASRA) pada taraf 1% dan 5%. Hasil penelitian menunjukan bahwa Penggunaan
metode kejut suhu yang berbeda pada pemijahan buatan abalon (Haliotis asinina) memberikan
pengaruh yang berbeda terhadap pemijahan yakni pada perlakuan kejut suhu 280C (X1) ke
320C (X3) dimana terjadi pemijahan tertinggi sebanyak 14 pasang dengan rata-rata 4,7 pasang,
sedangkan untuk pemijahan terendah dengan hasil pemijahan 7 pasang dan rata-rata 2,3
diperoleh pada perlakuan suhu 280C (X1) ke 310C (X2). Hasil analisa sidik ragam
menunjukkan bahwa pemijahan buatan abalon (Haliotis asinina) pada masing - masing
perlakuan Berbeda Nyata (Significan) dimana F hitung > F tabel 5% (5,71 > 4,07) dan hasil uji
lanjut menggunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) menunjukkan hasil berbeda nyata
(Significan). Hasil pengukuran nilai pH berkisar antara 6,5-7,7. oksigen terlarut (DO) 5,2-7,8
ppm, dan salinitas 29 – 31 ppt. Untuk mendapatkan hasil pemijahan terbaik disarankan
menggunakan kenaikan suhu secara mendadak sebesar 4oC dari suhu normal.
Kata kunci: kejut suhu, pemijahan buatan abalon (Haliotis asinina)
Abstract
Abalon (Haliotis asinina) is one type of high economic value of the odds that abalone
resource exploitation in nature is very intensive and potentially disrupt its sustainability.
Until now the majority of abalone production is still dominated from the catch in nature and
only a small part is generated from the cultivation activity. The purpose of this research is to
know the best temperature shock effect for spawning abalon (Haliotis asinina) with
temperature shock method. This experiment was designed using Completely Randomized
Design (RAL). Factors to be observed in this study consisted of 3 (three) Shock treatment /
Temperature changes are different, among others: a). X1: 28 0C to 30 0C; b). X2: 28 0C to 31
0
C; c). X3: 28 0C to 32 0C; and d). X4: 28 0 C (temperature control). Each of the above
treatments was repeated 3 times, so that 12 (twelve) plots of experiment were obtained. To
know the effect of different temperature shock method on abalone artificial spawning
(Haliotis asinina) during the research of each treatment, the analysis of Various Sidik
(ANASRA) at level 1% and 5%. The results showed that the use of different temperature shock
methods on abalone artificial spawning (Haliotis asinina) gave a different effect on spawning
ie in the treatment of temperature 28 0C (X1) to 32 0C (X3) where the highest spawning
occurred as many as 14 pairs with an average of 4 , 7 pairs, while for the lowest spawning
with spawning result 7 pairs and average 2,3 obtained at treatment temperature 28 0C (X1)
to 31 0C (X2). The result of variance analysis showed that artificial abalone spawning
(Haliotis asinina) in each treatment was Significan where F arithmetic> F table 5% (5,71>
4,07) and further test result using the smallest real difference test ( BNT) showed significantly
different results (Significan). The results of pH value measurement on artificial spawning
experimental plots in abalone (Haliotis asinina) ranged from 6.5 to 7.7. Furthermore,
dissolved oxygen (DO) is 5.2-7.8 ppm, and salinity is 29 - 31 ppt. To obtain the best abalone
spawning results (Haliotis asinina), it is recommended to use a sudden temperature rise of 4 °
C from normal temperature..
Keywords: temperature shock, artificial abalone spawning (Haliotis asinina)
I. PENDAHULUAN
Budidaya abalon dimulai pada tahun 1935, yang dilakukan peneliti Jepang
bernama S. Murayama setelah berhasil menetaskan telur abalon dan memelihara
larvanya sampai tingkat juwana. Kemudian pembenihan skala besar berkembang pada
tahun 1970 ketika metode pemijahan dan pemeliharaan larva sampai juwana abalon
dapat dilakukan (Romimohtarto dan Juwana, 2001).Usaha pembudidayaan abalon di
Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, disebabkan sebagian
masyarakat pesisir hanya melakukan usaha penangkapan abalon. Beberapa kendala
pembudidayaan abalon antara lain, terbatasnya tenaga ahli dan teknologi pembenihan
abalon tropis, kesulitan mendapatkan suplai benih (spat) secara kontinyu dan
berkualitas serta waktu pemeliharaan yang lama (Yunus dan Setiawati,
1997).Kekurangan pasokan dari alam ini membuka peluang bagi usaha budidaya
abalon. Teknik budidaya sangat sederhana dan mudah dilakukan. Departemen
Kelautan dan Perikanan mendorong pengembangan budidaya abalon jenis lokal dari
Lombok yang dikenal dengan nama Medau atau Telinga Keledai (Haliotis asinina)
dan jenis Abalon Haliostis supertexta (Anonim, 2003).
Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor abalone sebenarnya memiliki
beberapa keuntungan terkait dengan kondisi geografis dan ekologis Negara ini,
diantaranya adalah luasnya wilayah pesisir, melimpahnya makroalga yang merupakan
pakan alami bagi abalon serta jaringan pasar ekspor yang sudah terbangun (Setyono,
2004). Berdasarkan hal tersebut diatas, maka upaya pembenihan dan budidaya abalon
di Indonesia sudah mulai dikembangkan.Keberhasilan usaha pembenihan tidak lagi
tergantung pada kondisi alam akan tetapi sudah ada upaya lain yang bisa di tempuh,
diantaranya berupa peningkatan penggunaan bibit unggul, mempercepat dan
mempermudah pemijahan dengan metode perangsangan pemijahan buatan yang
antara lain dengan metode kejut suhu, metode ekspos, metode donor sperma dan
pengendalian kualitas air (Sarono, 1980).Penyediaan induk abalon yang matang
gonad dan siap dipijahkan merupakan faktor utama dalam kegiatan pembenihan dan
ketersediaannya baik kuantitas maupun kualitas menjadi tolak ukur keberhasilan
produksi benih. Secara teknis tahapan pematangan gonad abalon telah dihasilkan akan
tetapi tahapan lain yang cukup membutuhkan pemikiran adalah memperoleh telur
yang terbuahi dan menetas menjadi larva hingga benih. Untuk mendapatkan telur
harus melalui proses pemijahan yang dapat berlangsung secara alami maupun buatan.
Secara alami, abalon yang telah matang gonad akan melakukan pemijahan karena
rangsangan perubahan suhu secara tiba-tiba oleh kondisi pasang-surut. Pengamatan di
Telur abalon yang sudah dibuahi akan menetas menjadi larva (trochopore)
yang bersifat melayang dan fototaksis, kemudian pada tahap selanjutnya akan menjadi
veliger dan akan menempel pada substrat dengan menggunakan otot kakinya yang
memakan mikroalga hingga mulai terbentuk cangkang.
dengan perbandingan jantan betina 1 : 3. Parameter utama yang akan diamati dalam
penelitian ini adalah suhu yang mempengaruhi dampak pemijahan paling banyak pada
induk abalon. Metode yang digunakan dalam peneletian ini adalah metode
“eksperimen” dengan melakukan uji coba beberapa tingkat suhu air untuk mengetahui
pengaruhnya terhadap kecepatan pemijahan pada kondisi laboratorium. Rancangan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) atau
Completely Randomized Design (CRD), dengan asumsi bahwa media percobaan yang
digunakan adalah homogen (Hanartani S., 1993). Sedangkan faktor yang akan diamati
dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) perlakuan Kejut/perubahan Suhu yang
berbeda antara lain : a). X1 : 280C menjadi 300C; b). X2 : 280C menjadi 310C; c).
X3 : 280C menjadi 320C; dan d).X4 : 280 C (suhu kontrol).Masing-masing perlakuan
tersebut diatas diulang sebanyak 3 kali, sehingga diperoleh 12 (dua belas) plot
percobaan.Sedangkan untuk mengetahui pengaruh metode kejut suhu yang berbeda
terhadap pemijahan buatan abalon (Haliotis asinina) selama penelitian dari masing-
masing perlakuan maka dilakukan Analisa Sidik Ragam (ANASRA) pada taraf 1%
dan 5%. Bila diantara perlakuan terdapat perbedaan yang nyata atau sangat nyata
maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan BNT (Uji Beda Nyata Terkecil).
Bila diantara perlakuan terdapat perbedaan yang nyata atau sangat nyata maka
dilakukan uji lanjutan dengan mengunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT), Agar
tertibnya pelaksanaan Penelitian ini, maka disusun cara kerja sebagai berikut :
Mempersiapkan 12 (dua belas) plot percobaan atau bak pemijahan yang akan
digunakan, Seleksi induk abalon yang siap pijah, kegiatan pemijahan, mengamati
pemijahan dengan perubahan/kejut suhu sebagai parameter utama, Kemudian
mengamati parameter kualitas air seperti : pH (keasaman air), salinitas dan oksigen
terlarut (DO), Pengamatan jumlah abalon yang memijah, dan Analisa data hasil
pengamatan.
Tabel 3. Data Penghitungan Hasil Penelitian Pengaruh Metode Kejut Suhu yang
Berbeda Terhadap Pemijahan Buatan Abalon (Haliotis asinina).
Perlakuan
Ulangan Total Rata-Rata
X1 X2 X3 X4
1 3 3 5 3 14 3,5
2 2 3 4 4 13 3,25
3 3 1 5 4 13 3,25
Total 8 7 14 11 40 -
Rata-Rata 2,7 2,3 4,7 3,7 - -
Sumber : Data Primer Diolah.
Grafik
15
10
5 Jlh yg Memijah
0
X1 X2 X3 X4
Dari hasil uji lanjut dengan menggunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT)
menunjukkan hasil yang berbeda nyata (Significan) pada perlakuan suhu 28 0C (X1)
ke suhu 32 0C (X3) (2,0 > BNT = 1,44) dan perlakuan suhu 31 0C (X2) ke suhu 32 0C
(X3) (2,3 > BNT = 1,44) sedangkan pada perlakuan yang lainnya dimana perlakuan
suhu 280C ke 310C (0,4 < BNT = 1,44), perlakuan suhu 28 0C ke perlakuan suhu
280C (X4; suhu kontrol). (1,0 < BNT = 1,44), X2 dengan X4 (1,4 < BNT = 1,44) dan
perlakuan X3 ke X4 (280 C ;suhu kontrol). (1,0 < BNT = 1,44) menunjukkan hasil
tidak berbeda nyata (Non Significan).. Sedangkan Pengukuran kualitas air
dimaksudkan untuk mengetaui pH (derajat keasaman), kandungan oksigen terlarut
(DO) dan salinitas (ppt) pada plot penelitian.
Perlakuan
Parameter Kualitas Air
X1 X2 X3 X4
Salinitas 30 31 30 30
ini sesuai dengan pendapat Setiawati dkk.,(1995), yang menyatakan bahwa nilai pH
untuk abalon adalah berkisar antara 6,8-8,5. Hal serupa dengan penyataan Sunyoto
(2000) yang menyatakan bahwa kondisi perairan pada karamba air laut mempunyai
daya penyangga yang besar terhadap perubahan keasaman, umumnya yaitu pH air laut
adalah antara 7,6 – 8,7. Dari hasil analisa pengamatan di lapangan dapat di katakan
bahwa perairan di lokasi penelitian abalon tersebut masih layak dan stabil, dimana hal
ini terjadi karena pada lokasi tersebut kaya akan terumbu karang yang mengandung
zat kapur, sehingga kadar pH-nya menjadi tinggi atau bersifat basa.
Menurut Effendi (2003), bahwa pada umumnya organisme akuatik sensitif
terhadap perubahan pH dan hidup pada pH 7-8,5. Nilai pH erat kaitannya dengan
tingkat toksik pada suatu senyawa kimia. Amoniak lebih mudah diserap oleh biota
dibandingkan amonium. Keberadaan senyawa toksik ini berhubungan erat dengan
pemeliharaan biota. Dalam pemeliharaan biota, pH tidak boleh terlalu rendah karena
dapat menyebabkan perairan menjadi asam, dimana biota perairan umumnya tidak
dapat mentolerir suasana yang terlalu asam, namun pH yang terlalu tinggi juga dapat
menyebabkan kematian biota karena perairan tersebut terdapat senyawa yang
bersifat toksik. Oksigen terlarut (DO) pada plot percobaan selama penelitian berkisar
antara 5,2 – 7,8 ppm dengan nilai rata – rata 5,9 ppm. Dengan kandung oksigen
terlarut seperti ini tidak menyebabkan daya hidup abalon (Haliotis asinina) menjadi
rendah atau terganggu sesuai dengan pendapat Jeffries dan Mills dalam Effendi
(2003) bahwa kandungan oksigen terlarut dalam air untuk kehidupan abalon diatas 3
ppm. Dengan demikian kisaran oksigen terlarut (DO) dalam plot percobaan masih
dalam kisaran yang optimal.
Hasil pengukuran salinitas menunjukkan bahwa kisaran salinitas pada plot
percobaan berkisar antara 29 - 31 ppt dengan rata – rata 30,25 ppt. Nilai salinitas
tertinggi adalah sebesar 31 ppt dan salinitas terendah adalah 29 ppt, hal ini terjadi saat
cuaca yang tidak menentu atau anomali cuaca yang dapat menyebabkan salinitas air
laut menjadi turun. Nilai tersebut sesuai dengan pendapat Setiawati et al.,(1995), yang
menyatakan bahwa salinitas untuk abalon adalah sekitar 30 - 37 ppt. Salinitas pada
perairan di sekitar lokasi penelitian ini dapat dikatakan baik untuk dilakukannya
budidaya abalon. Sesuai dengan pendapat Tahang dkk.,(2004), bahwa salinitas yang
baik untuk pertumbuhan abalon adalah sekitar 30-33 ppt, pengukuran tersebut telah
dilakukan oleh teknisi Balai Budidaya Laut Stasiun Gerupuk.
IV. KESIMPULAN
1. Penggunaan metode kejut suhu (Thermal shock) yang berbeda pada pemijahan
buatan abalon (Haliotis asinina) memberikan pengaruh yang berbeda yakni
perlakuan kejut suhu 280C (X1) ke 320C (X3) dimana terjadi pemijahan tertinggi
sebanyak 14 pasang sedangkan terendah yaitu 7 pasang diperoleh pada perlakuan
suhu 280C (X1) ke 310C (X2).
2. Pengamatan kualitas air terhadap pH, DO dan Salinitas selama penelitian
memenuhi syarat untuk budidaya abalone.
3. Untuk mendapatkan hasil pemijahan terbaik abalon (Haliotis asinina), maka
disarankan menggunakan penaikan suhu atau peningkatan suhu secara mendadak
sebesar 4oC dari suhu normal.
4. Metoda Kejut Suhu Dapat digunakan untuk mempercepat serta memperbanyak
stok benih abalon (Haliotis asinina) untuk kegiatan industri budidaya
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2003. Biologi and Culture of Abalone. http://www.fao.org/docrep/field/
003/AB731E03.htm. Diakses 29 Oktober 2009.
Capinpin, Jr.E.C.,V.C. Encena II, and N.C. Bayona 1998. Studies on the reproductive
biology of the Donkey’s ear abalone Haliotis asinina Linne. Aquaculture 166:
141-150.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelola Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius. Jakarta.
Hanartani S., 1993. Metode Penelitian dan Metode Analisa Data. Diktat Kuliah
Fakultas Pertanian. Universitas Mataram.
Irwan, J. E. 2006. Pengembangan Budidaya Abalon (Haliotis asinina L.) Produksi
Hatchery di Indonesia. Jurusan Perikanan, UNHALU, Kendari, Sulawesi
Tenggara. 21 halaman
RAS. 1990. Training Manual on Artificial Breeding of Abalone (Haliotis discus
hannai) in Korea DPR. FAO, UNDP and Shallow Seafarming Research
Institute in Kosong Democratic People’s Republic of Korea. Organized by the
Regional Seafarming Development and Demonstration Project. 83 pp.
Romimohtarto, K., dan Juwana, S. 2001. Biologi Laut. Djambatan. Jakarta.
Sarono A. 1980. Teknik Pembenihan Ikan Dan Non Ikan SPP SUPM Bogor. Bogor.
Halaman : 201-207
Setiawati, K.M., Yunus, I. Setyadi, R. Arfah. 1995. Pendugaan Musim Pemijahan
Abalone (Haliotis asinina) Di Pantai Kuta, Lombok Tengah. Jurnal Penelitian
Perikanan Vol. I. No. 3. Jakarta. Hal 124-130.
_____________. 2000. Abalone Culture. Oseana. Vol. XXI. No. 1. Jakarta. Halaman
20-25.
Shelah and Ursua. 2001. Seed Production and Grow Out Of Abalone (Haliotis
asinina). Southeast Asian Fisheries Development Center Aquakulture.
Departemen Tigbauan IIoilo., Fhilipina. Halaman : 11-17.ies Research
Bulletin 3 : 83-94
Shepherd, S., Tegner, M., & Proo, S.d. 1989. Abalone of the world ; biology, fisheries
and culture. Proceedings of the 1st International Symposium on Abalone ; 608
Tahang, M., Imron dan Bangun. 2006. Pemeliharaan Kerang Abalone (Haliotis
asinina) dengan Metode Pen-Cultur (Kurungan Tancap) dan Keramba Jaring
Apung (KJA). Balai Budidaya Laut Lombok.
Yunus, I dan Setiawati, K.M., 1997. Reproductive biology and seed production
techniques for tropical abalone (Haliotis asinina L.) in eastern Indonesia. PhD
thesis, Otago University, New Zealand. 274 p.
Wyrtki, J.T. 1961. Physical oceanography of southeast Asian waters. University of
California,San Diego.
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan enzim pada pakan terhadap
pertumbuhan dan perkembangan gonadnyaikan kerapu sunu. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan benih ikan kerapu sunu hasil pembenihan dan pendederan di Balai Besar Riset
Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan. Panjang total hewan uji 17,2 ±1,8 cm, berat
88,6±26,0 g. Wadah yang digunakan berupa bak fiber dengan kapasitas 500 L sebanyak 2
bak, Setiap bak diisi ikan kerapu sunu sebanyak 18 ekor/bak. Perlakuan yang diuji adalah:
tanpa penambahan enzim (K), dan (B) dengan penambahan enzim. Pakanyang diberikan
berupapakankomersial. Dosis enzim yang diberikan 0,25 g/kg pakan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pertumbuhan berat mutlak pada perlakuan K 84,3 g, dan pada perlakuan
B 89,1 g. Diameter telur pada perlakuan Kmencapai 50-89 µm dan pada perlakuan B
mencapai 130-169µm. Penambahan enzim dapat memacu perkembangan gonad.
Kata kunci: Ikan kerapu sunu, enzim, pertumbuhan, perkembangan gonad.
Abstract
The study want to know the effect of adding enzymes to feed on growth and gonadal
development.The study was conducted using coral trout from hatchery and nursery at
Institute for Mariculture Research and Development.The total length of fish was 17.2 ± 1.8
cm, weight 88.6 ± 26.0 g. The container was used fiber tank with a capacity of 500 L as many
as 2 tanks, filled with 18 fish/tank.The treatments were: without addition of enzyme (K), and
B with addition of enzyme. Feed given was commercial feed. The enzyme dose given is 0.25 g
/ kg of feed.The results showed that absolute weight growth in treatment K 84.3 g, and in
treatment B 89.1 g. Egg diameter at K treatment was 50-89 µm and in treatment B 130-169
µm. Addition of enzymes can stimulate the development of gonad.
Keywords: Coral trout, enzyme, growth, gonadal development.
I. PENDAHULUAN
Ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) termasuk ikan budidaya yang
bernilai ekonomi yang cukup tinggi. Harga ikan kerapu sunu di Provinsi Sulawesi
Tenggara di lokasi budidaya Rp. 450.000 sampai Rp. 600.000/kg (ukuran 0,6-1 kg),
sedangkan di Jakarta berkisar antara Rp 750.000 hingga Rp. 1.000.000/kg, Hargaikan
cenderung naik saat mendekati hari besar Cina (Hendratno, et al., 2017 ). Sedangkan
menurut Anonymous, (2018), Harga ikan kerapu sunu 330.000/kg
Saat ini, kegiatan budidaya pembesaran ikan kerapu sunu telah dikembangkan
pada keramba jaring apung (KJA). Dalam kegiatan pembesaran di KJA,
pakanmerupakan salah satu komponen yang sangat menentukan keberhasilan. Selain
itu, pakan memberikan kontribusi yang paling besar dalam kegiatan budidaya ikan
yakni mencapai 60% dari total biaya produksi khususnya pada kegiatan budidaya
intensif (Sari, et al., 2017).Ikan kerapu sunu sebagai ikan karnivora cenderung
Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018 129
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Pertumbuhan Dan Perkembangan Gonad ikan Kerapu Sunu (Plectropomus leopardus) dengan...
membutuhkan pakan dengan konsentrasi protein yang tinggi yakni antara 45%--50%
(Laining et al., 2003). Beberapa penelitian mengenai penambahan enzim pada pakan
buatan dapat meningkatkan pertumbuhan, efisiensi pakan (Taqwdasbriliani,et al.,
2013; Sari, et al., 2013; Amalia et al., 2013). Tetapi pengaruh penambahan enzim
terhadap perkembangan gonad ikan belum diperoleh informasinya. Pada ikan
karnivora pakan yang berasal dari bahan nabati biasanya lebih sedikit dicerna
dibanding dengan bahan hewani karena bahan nabati umumnya memiliki serat kasar
yang sulit dicerna dan mempunyai dinding sel kuat yang sulit dipecahkan, sehingga
diprlukan enzim eksogenus untuk merubahnya menjadi asam amino (Hepher, 1988).
Enzim protease adalah enzim yang berperan dalam proses pencernaan protein
dalam tubuh. Dalam system pencernaan ikan, protein dari pakan tidak langsung
diserap tetapi didegradasi terlebih dahulu oleh enzim protease menjadi asam amino
atau peptida kemudian diserap tubuh. Proses degradasi protein ini terjadi di lambung
dan usus, sementara penyerapan makanan terjadi di usus (Fujaya, 2004). Selain untuk
degradasi protein nutrien, protease juga diperlukan dalam sejumlah reaksi biokimia
tubuh seperti mekanisme patogenisitas, proses koagulasi darah, diferensiasi, dan
mekanisme ekspresi protein ekstra seluler (Rao,et al., 1998). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh penambahan enzim pada pakan buatan terhadap
pertumbuhan dan perkembangan gonad ikan kerapu sunu.
Sintasan benih di lakukan setiap bulan saat dilakukan sampling, yang diestimasikan
dalam SR , dimana Nt merupakan jumlah individu saat waktu t, N0
merupakan jumlah induvidu saat awal tebar.
Hubungan panjang berat digambarkan dengan persamaan, W=aLb
Dimana, W= berat ikan, L, Panjang ikan, a,b= konstanta. Menurut (Lagler et al.,
1977)nilai b berkisar 2,5-4. Namun biasanya berkisar 3. Jika nilai b <3 berarti
pertumbuhan panjang lebih cepat dari pada pertumbuhan beratnya.
80 y = 0,0176x2,9847 B awal
R² = 0,9439
60
K awal
40
20
0
10 12 14 16 18 20 22
Panjang total (cm)
Pada akhir penelitian menunjukkan bahwa hubungan panjang dan berat pada
perlakuan (B) Y=0,0281X 2,851 , dan pada perlakuan (K) Y= 0,0422X 2,6987. Dengan
demikian terlihat bahwa pada perlakuan B ikan tampak lebih gemuk karena memiliki
nilai b (2,851) yang relatif lebih tinggi daripada perlakuan K dengan nilai b (2,6987)
menunjukkan bahwa pada perlakuan b relative lebih gemuk daripada K. Nilai b
kurang dari 3 menunjukkan pertambahan berat tidak secepat pertambahan
panjangnya. Dengan demikian pertambahan berat pada perlakuan B relatif lebih
tinggi daripada perlakuan K.
300
y = 0,0281x2,851
250 R² = 0,9076
y = 0,0422x2,6987
Berat tubuh (g)
200
R² = 0,9604
150
B akhir
100 K akhir
50
0
17 19 21 23 25 27
Panjang total (cm)
TKG III sudah terlihat kortikel alveoli, terbentuk zone radiata, tetapi belum terlihat
butiran kuning telur. Pada perlakuan K belum terlihat kortikel alveoli dan zone
radiate. Pada perlakuan K masih tergolong TKG I dan TKG II, sel telur memiliki
kromatin yang seragam dengan sedikit ooplasma, sedangkan pada TKG II terjadi
perubahan proposi ooplasma. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan
enzim pada pakan dapat memacu perkembangan gonad ikan kerapu sunu.
120
100
B
Persentease (%)
80
K
60
40
20
0
10-49 50-89 90-129 130-169
Diameter telur (mikron)
rasio pemanfaatan protein (PER) dan sintasan. Perlakuan pemberian enzim 75%
papain dan 25% bromealin memberikan nilai terbaik (Taqwdasbriliani, et al., 2013) .
Didalam getah papaya terkandung enzim-enzim protease yaitu papain dan
kimo papain. Lebih dari 50 asam amino terkandung dalam getah papaya kering antara
lain: asam aspartat, treonin, serin, asam glutamate, prolin, glisin, alanine, valin,
isoleusin, leusin, tirosin, phenilalanin, histidin, lysine, arginine, tryptophan dan
sistein.Asam Amino, bisa dibagi menjadi dua kelompok, yaitu asam amino esensial
(essential amino acids, EAA) dan asam amino non-esensial (non-essential amino
acids, NEAA). Asam amino esensial tidak dapat disintesis dalam tubuh hewan atau
jumlah yang dapat disintesis tidak cukup untuk memenuhi kebuhuan fisiologis ikan
dan udang untuk tumbuh dan berkembang. Dengan begitu, keberadaannya perlu
dipasok dalam pakan. Beberapa asam amino esensial yang dibutuhkan ikan dan udang
di antaranya treonin, leusin, metionin, lisin, arginin, valin, isoleusin, triptofan,
histidin, dan fenil alanin.Sementara asam amino non-esensial bisa disintesis tubuh
dari sumber karbon dan amino yang sesuai. Sehingga keberadaannya tidak harus
disediakan dalam pakan. Beda ukuran dan beda jenis ikan, berbeda pula kebutuhan 3
pilar utamanya yaitu asam amino, enzim dan probiotik(Muchtadi, 1992). Kekurangan
asam amino esensial akan menjadi kendala dalam perkembangan gonad dan embrio
(Marzuqi et al., 2015b).
IV. KESIMPULAN
Penambahan enzim papain pada pakan dapat memacu perkembangan gonad
ikan kerapu sunu ukuran 17,211 ±1,8 cm, berat 88,6±26,0 g. Diameter telur pada
control hanya mencapai micron kisaran 50-89 mikron sebanyak 4%, sedangkan pada
perlakuan B dapat mencapai kisaran 130-169 mikron sebanyak 19%.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 2018.Daftar Harga Ikan Kerapu Terbaru Januari 2018.https://harga.info/
harga-ikan-kerapu/. [Diakses 7 Juli 2018].
Effendi, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor.112hlm
Hendratno, S., A. Bafadal, dan Budiyanto. 2017. Prospek pengembangan usaha ikan
kerapu sunu (Plectropomus leopardus) pada karamba jarring apung berbasis
agribisnis. ojs.uho.ac.id/index.php/JSA/article/download/1831/1288. [
Diakses 8 Oktober 2018]
Hepher B. 1988. Nutrition of Pond Fishes. New York : Cambridge, Cambridge
University Press.
Laining, A., N. Kabangnga, dan Usman. 2003. Pengaruh protein pakan yang berbeda
terhadap koefisien kecernaan nutrient serta performansi biologis kerapu macan
(Epinephelus fuscoguttatus) dalam keramba jaring apung. J. Pen. Perik.
Indonesia. 9(2); 29—34.
Lagler, K. F., J. E. Bardach., R. R. Miller., D. R. M. Passino. 1977. Ichtiology. John
Wiley & Sons, Inc. United State of America.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi ikan (Dasar Pengembangan Teknik Perikanan). Rineka
Cipta, Jakarta.
Marzuqi, M., N.W. Widya A., R. Andamari, N.A. Giri., W. Andrianto, Haryanti, dan
Sumardi. 2015a. Uji aplikasi bakteri probiotik dalam pakan untuk
134 Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Setiawati
Ashma Hanifah), Dwi Fitrianingsih2, Ahmad Irsan1, Ifan Dwi Saputra2, Ranny
R. Yuneni3, dan Narti Fitriana1
1
PS. Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2
PS. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Jur. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan
Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Univ. Brawijaya
3
Marine and Fisheries Program, Yayasan WWF – Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Hasil tangkapan hiu di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia. Salah satu famili hiu yang
menjadi target penangkapan adalah Sphyrnidae atau hiu martil. Penelitian ini dilakukan untuk
menganalisis aspek biologi meliputi nisbah kelamin dan frekuensi panjang hiu martil yang tertangkap
dan didaratkan di UPT P2SDKP Muncar, Banyuwangi. Penelitian ini menggunakan metode survei,
pendataan dimulai bulan Januari sampai dengan Mei 2018 menggunakan metode purposif. Aspek
biologi yang diamati meliputi spesies, jumlah, jenis kelamin, panjang total, dan tingkat kematangan
kelamin. Hiu martil yang didaratkan di UPT P2SDKP Muncar Banyuwangi meliputi tiga spesies dari
genus Sphyrna, yaitu S. lewini (Scalloped Hammerhead Shark), S. mokarran (Great Hammerhead
Shark), dan S. zygaena (Smooth Hammerhead Shark). Total individu yang tertangkap dan didaratkan
sebanyak 320 individu, spesies yang paling banyak adalah S. lewini (317 individu). Hasil uji chi square
terhadap nisbah kelamin S. lewini pada tingkat kepercayaan 95% dengan nilai x2 sebesar 3,8644
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara rasio jantan dengan betina. S. lewini jantan terdiri
dari 141 individu dan betina 176 individu. Frekuensi panjang hiu martil jantan termasuk kategori
memasuki fase dewasa (1390 – 1610 mm) dengan kategori kematangan kelamin non-full calcification
mendominasi sedangkan panjang hiu martil betina memasuki fase belum dewasa (1260 – 1520 mm).
Nisbah kelamin individu betina menunjukkan komposisi yang ideal terhadap populasi hiu martil di
habitatnya. Namun, ukuran panjang ikan yang tertangkap menunjukkan penangkapan terjadi pada ikan
yang belum layak. Hal ini dapat mengancam keberlangsungan sumberdaya di masa mendatang.
Berdasarkan data yang diperoleh perlu adanya pengawasan dalam penangkapan.
Kata kunci: Frekuensi panjang, hiu, kematangan kelamin, nisbah kelamin.
Abstract
The catch of sharks in Indonesia is the highest in the world. One of the shark families that is targeted
for arrest is Sphyrnidae or hammerhead sharks. This study was conducted to analyze the biological
aspects including the long sex and frequency ratio of hammerhead sharks that were caught and landed
at UPT P2SDKP Muncar, Banyuwangi. This study used survey method, data collection started from
January to May 2018 used purposive method. Biological aspects observed included species, number,
sex, total length, and level of sexual maturity. Hammerhead sharks landed at UPT P2SDKP Muncar
Banyuwangi include three species from the genus Sphyrna, namely S. lewini (Scalloped Hammerhead
Shark), S. mokarran (Great Hammerhead Shark), and S. zygaena (Smooth Hammerhead Shark). A
total of 320 individuals were caught and landed, the most species being S. lewini (317 individuals). The
chi square test results on S. lewini's sex ratio at 95% confidence level with x 2 value of 3,8644 indicated
that there were significant differences between male and female ratio. Male S. lewini consisted of 141
individuals and 176 females. The long frequency of male hammerhead sharks is categorized as
entering the adult phase (1390-1610 mm) with the non-full calcification sex maturity category
dominating while the length of the female hammerhead shark enters the immature phase (1260-1520
mm). The sex ratio of individual females shows the ideal composition of the population of hammerhead
sharks in their habitat. However, the length of the fish caught indicates that catches occur in fish that
were not yet feasible. This can threaten the sustainability of resources in the future. Based on the data
obtained there needs to be supervision in arrest.
Keywords: Genital maturity, long frequency, sex ratio, shark
I. PENDAHULUAN
Penangkapan hiu masih marak terjadi di perairan Indonesia. Hal ini dipicu
oleh permintaan terhadap hiu yang tinggi. Kegiatan penangkapan hiu yang tinggi
tersebut menghasilkan hasil tangkapan yang besar dan kini Indonesia mendapatkan
predikat sebagai negara dengan hasil tangkapan hiu terbesar di dunia dengan
menyumbangkan kurang lebih 13% hasil tangkapan hiu dunia (Fischer et al., 2012).
Penangkapan yang tinggi tersebut berpotensi dalam menurunkan populasi hiu di
Indonesia. Salah satu hiu yang mengalami tekanan terhadap penangkapan dengan
adanya penurunan kelimpahan adalah hiu martil (Baum et al., 2007). Penangkapan
yang tinggi terhadap hiu martil menjadikannya mendapat perhatian lebih dengan
status Endangered dari IUCN, Appendiks II CITES hingga larangan mengeluarkan
hiu martil dalam bentuk utuh maupun olahan ke wilayah luar Indonesia yang
dijelaskan pada PERMEN KP No. 48 tahun 2016.
Monitoring terhadap penangkapan terus dilakukan agar kondisi hasil
tangkapan dan kondisi populasi dapat diketahui. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan melakukan pendataan berbasis pendaratan. Pendataan
tersebut dapat dilakukan di pelabuhan perikanan maupun Tempat Pelelangan Ikan
(TPI) terhadap ikan yang tertangkap dan didaratkan di sekitar lokasi tersebut.
Informasi kondisi hasil tangkapan dan populasi hiu dapat diketahui dengan melakukan
pendataan aspek biologi (Alaydrus et al., 2014) yang meliputi nisbah kelamin serta
frekuensi panjang.
Salah satu pelabuhan perikanan yang tercatat memiliki hasil tangkapan hiu
martil yang tinggi adalah Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan dan Pengelolaan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (UPT P2SDKP) Muncar yang terletak di
Kabupaten Banyuwangi (Harlyan et al., 2016) Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kondisi populasi hiu martil yang tertangkap dan didaratkan di UPT
P2SDKP Muncar dengan melakukan pendataan dan analisis aspek biologi yang
meliputi jenis dan jumlah, jenis kelamin, serta panjang total.
Gambar 1. Peta wilayah jelajah kapal yang mendaratkan hasil tangkapan di UPT
P2SDKP Muncar (a) WPP 712 (krem); (b) WPP 713 (abu-abu); (c) WPP 573 (ungu)
Analisis Data
a. Nisbah Kelamin (NK)
Perbandingan jumlah individu jantan dan betina dihitung menggunakan
rumus:
NK = Nbi / Nji
dengan NK = Nisbah Kelamin, Nbi = Jumlah ikan betina kelompok ukuran ke-
i, Nji = Jumlah ikan jantan kelompok ukuran ke-i. Hasil perbandingan nisbah kelamin
di uji menggunakan rumus Chi Square dengan tingkat kepercayaan 95%, yaitu:
X2 = Ƹ
b. Frekuensi Panjang
Data panjang total ditabulasikan kemudian dilakukan beberapa tahapan
berikut,
1. menentukan jumlah dan selang kelas
2. menentukan nilai maksimum dan nilai minumum dari data panjang total hiu
3. menentukan nilai tengah kelas
4. menentukan kelas frekuensi dan memasukan frekuensi masing-masing
kelas
Nisbah Kelamin
S. lewini yang didata sebanyak 317 individu dengan jumlah jantan sebanyak
141 individu serta betina 176 individu. Berdasarkan hasil analisis nisbah kelamin
yang diuji menggunakan chi square dengan tingkat kepercayaan 95% menunjukkan
nilai x2 sebesar 3,8644. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata
jumlah jenis kelamin yang didominasi oleh betina. Menurut (Muslih et al., 2016)
menyatakan bahwa jika suatu populasi memiliki komposisi betina lebih banyak atau
sama dengan jumlah jantan, maka populasi tersebut masih dalam kategori ideal.
Komposisi S. lewini memiliki jumlah rata-rata jenis kelamin embrio yang
seimbang antara jantan dan betina (Hazin et al., 2001). Namun, ketika penangkapan
yang dilakukan oleh nelayan berpusat pada fishing ground yang ramai ikan, maka
yang banyak tertangkap adalah jenis kelamin betina. S. lewini termasuk hiu martil
Gambar 4. Frekuensi Panjang S. lewini jantan yang tertangkap dan didaratkan di UPT
P2SDKP Muncar, Banyuwangi
Kategori kedewasaan suatu spesies dapat berbeda dengan spesies lainnya pada
habitat yang berbeda pula. Hasil pendataan tingkat kematangan kelamin jantan
menunjukkan bahwa S. lewini jantan yang tertangkap dan didaratkan tersebut belum
mencapai fase dewasanya. Sebanyak 141 individu jantan terbagi dalam tiga kelompok
berdasarkan tingkat kematangan kelamin, yaitu 51 individu dengan tingkat
kematangan NC (Non calcification), 67 individu NFC (Non-full Calcification), dan 23
individu yang sudah memasuki fase dewasa dengan kategori FC (Full Calcification)
(Gambar 5).
S. lewini betina yang didata memiliki panjang total terkecil dan terbesar secara
berurutan adalah 450 mm dan 271 mm. Analisis frekuensi panjang betina (Gambar 6)
dilakukan terhadap 176 individu betina pada sembilan kelas panjang dengan interval
27. Hasil pengelompokkan panjang menunjukkan bahwa S .lewini betina didominasi
pada panjang dalam rentang 1260 – 1520 mm sebanyak 102 individu. Menurut (White
et al., 2008), S. lewini betina di Indonesia memasuki fase dewasa pada panjang 2200
mm sehingga seluruh S. lewini betina yang tertangkap dan didaratkan di UPT
P2SDKP Muncar masuk dalam kategori belum dewasa.
120
100
80
Frekuensi
60
40
20
0
450 720 990 1260 1530 1800 2070 2340 2610
Panjang Total (mm)
Gambar 6. Frekuensi Panjang S. lewini betina yang tertangkap dan didaratkan di UPT
P2SDKP Muncar, Banyuwangi)
IV. KESIMPULAN
Hiu martil yang ditemukan sebanyak 320 individu yang didominasi oleh S.
lewini dengan jumlah 317 ekor, sedangkan S .zygaena dan S. mokarran secara
berturut sebanyak 1 dan 2 individu. Nisbah kelamin S. lewini didominasi oleh jenis
kelamin betina yang menunjukkan populasi yang ideal. Frekuensi panjang S. lewini
jantan didominasi pada panjang total dalam rentang 1390 – 1610 mm dan S. lewini
betina didominasi pada rentang 1260 – 1520 mm. Frekuensi panjang tersebut
menunjukkan S. lewini jantan termasuk dalam kategori memasuki dewasa sedangkan
betina masuk kategori belum dewasa. Hasil tangkapan yang didominasi oleh kategori
belum dewasa mengindikasikan telah terjadi penangkapan terhadap ukuran yang
belum layak tangkap. Hal tersebut dapat mengancam keberlangsungan sumberdaya
ikan sehingga perlu adanya pengawasan terhadap penangkapan agar memperhatikan
kategori ikan yang layak tangkap sehingga dapat mempertahankan sumberdaya yang
berkelanjutan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Marine and Fisheries Program –
Yayasan WWF Indonesia sebagai donor yang telah mendukung terlaksananya
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alaydrus, I. S. (2017). Analisis Aspek Biologi Hiu yang Tertangkap dan Didaratkan
di TPI Labuan Bajo, Flores. Syarif Hidayatullah Islamic State University of
Jakarta.
Alaydrus, I. S., Fitriana, N., & Jamu, Y. (2014). Jenis dan Status Konservasi Ikan Hiu
yang Tertangkap di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Labuan Bajo, Manggarai
Barat, Flores. Al-Kauniyah, 7(2), 83–88.
Baum, J., Clarke, S., Domingo, A., Ducrocq, M., Lamónaca, A. F., Gaibor, N., …
Vooren, C. M. (2007). Sphyrna lewini , Scalloped Hammerhead. The IUCN
Red List of Threatened Species 2007: e.T39385A10190088. Retrieved from
http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2007.RLTS.T39385A10190088.en%0AD
isclaimer
Casper, B. M., Domingo, A., Gaibor, N., Heupel, M. R., Kotas, E., Lamónaca, A. F.,
… Vooren, C. M. (2005). Sphyrna zygaena , Smooth Hammerhead. The IUCN
Red List of Threatened Species 2005: e.T39388A10193797. Retrieved from
http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2005.RLTS.T39388A10193797.en
Denham, J., Stevens, J., Simpfendorfer, C. A., Heupel, M. R., Cliff, G., Morgan, A.,
… Bucal, D. (2007). Sphyrna mokarran , Great Hammerhead. The IUCN Red
List of Threatened Species 2007: e.T39386A10191938. Retrieved from
http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2007.RLTS.T39386A10191938.en%0AD
isclaimer
Fahmi, & Dharmadi. (2005). Status Perikanan Hiu dan Aspek Pengelolaannya.
Oseana, XXX(1), 1–8.
Fischer, J., Erikstein, K., D’Offay, B., Guggisberg, S., & Barone, M. (2012). Review
of The Implementation of The International Plan of Action for The
Conservation and Management of Sharks. Rome: FAO Fisheries and
Aquaculture Circular No. 1076.
Harlyan, L. I., Kusumasari, A., Anugrah, M., & Yuneni, R. R. (2016). Pendataan Hiu
yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar, Banyuwangi. In
Dharmadi & Fahmi (Eds.), Prosiding Simposium Hiu dan Pari di Indonesia
(pp. 23–32). Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Hazin, F., Fischer, A., & Broadhurst, M. (2001). Aspects of reproductive biology of
the scalloped hammerhead shark , Sphyrna lewini , off northeastern Brazil.
Environtmental Biology of Fishes, 61, 151–159.
Hoyos-padilla, E. M., Ketchum, J. T., Klimley, A. P., & Galván-magaña, F. (2014).
Ontogenetic migration of a female scalloped hammerhead shark Sphyrna
lewini in the Gulf of California. Animal Biotelemetry, 2(17), 1–9.
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2016. Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 48 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59/PERMEN-KP/2014
Tentang Larangan Pengeluaran Hiu Koboi (Carcharhinus longimanus) dan
Hiu Martil (Sphyrna spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar
Wilayah Negara
Muslih, Mahdiana, A., Syakti, A. D., Hidayati, N. V., Riyanti, & Yuneni, R. R.
(2016). Beberapa Parameter Populasi Ikan Hiu Martil (Sphyrna lewini) di
Perairan Laut Jawa dan Kalimantan. Prosiding Simposium Hiu Dan Pari Di
Indonesia.
Sharifuddin. 2012. Dunia Ikan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
White, W. T., Bartron, C., & Potter, I. C. (2008). Catch Composition and
Reproductive Biology of Sphyrna lewini ( Griffith & Smith )
(Carcharhiniformes , Sphyrnidae) in Indonesian Waters. Journal of Fish
Biology, 1675–1689. https://doi.org/10.1111/j.1095-8649.2008.01843.x
White, W. T., Last, P. R., Stevens, J. D., Yearsley, G. K., Fahmi, & Dharmadi.
(2006). Economically Important Sharks & Rays of Indonesia. Canberra:
Australian Center for International Agricultural Research.
Abstrak
Penelitian dilaksanakan pada musim Timur dan musim Peralihan dari Musim Timur ke
Musim , 2016 dan 2017, di perairan Teluk Kotania, Seram Barat pada 11 stasiun penelitian
permanen. Organisme iktioplankton dikoleksi dengan menggunakan net zooplankton
(Norpac) dengan diameter mulut jaring 45 cm dan besar mata jaring 500 µm. Tujuan
penelitian adalah mengidentifikasi telur dan larva ikan serta penyebarannya di perairan Teluk
Kotania secara spasial-temporal. Selama penelitian ditemui sejumlah telur dari enam jenis
ikan (Plotosus sp, Lutjanus sp, Epinephelus sp, Herklotsichthys sp, Stolephorus sp, Euthynnus
sp dan Atherinomorous sp) dan larva dari lima jenis ikan yaitu Siganus sp, Lobotes sp,
Euthynus sp, Pervagor spand Atherinomorous spTelur ikan terdapat melimpah pada lokasi
laguna laguna yang berada diantara komunitas lamun dan terumbu karang dengan sebaran
koloni karang di bagian tepi sampai dasar laguna, demikian juga dengan larva ikan berada
pada lokasi tersebut namun pada waktu yang berbeda. Kelimpahan telur terjadi pada bulan
Oktober, temperature dan pH berpengaruh pada kelimpahan telur (temperature, r=0.62) dan
(pH, r=0.89). Larva ikan terdapat melimpah pada bulan Juli dan SiO 2, PO4 dan NO3 lebih
berpengaruh dibandingkan dengan parameter hidrologi lainnya.
Kata kunci: komposisi, distribusi, spasial-temporal, iktioplankton, parameter hidrologi
Abstract
The study was carried out in the East season and the transition between the East Season and
West Season in 2016 and 2017, in the waters of Kotania Bay, Western Seram, Maluku
Province on 11 permanent research stations. Ichthyoplankton organisms were collected
using net zooplankton (Norpac) with a net mouth diameter of 45 cm and a large net mesh of
500 µm. The goal of this research is to identify fish eggs and larvae in the waters of Kotania
Bay. This research found a number of eggs from six species of fish (Plotosus sp, Lutjanus sp,
Epinephelus sp, Herklotsichthyes sp, Stolephorus sp, and Helicolenus sp) and larvae from five
species of fishes (Siganus sp, Lobotes sp, Euthynus sp, Pervagor sp and Atherinomorous sp).
Fish eggs are abundant in the lagoon locations between seagrass communities and coral
reefs with the distribution of coral colonies at the edge to the bottom of the lagoon, as well as
fish larvae in these locations but at different times. Fish eggs abundance occurred in October,
temperature and pH had an effect on egg abundance (temperature, r = 0.62) and (pH, r =
0.89). Whilst, fish larvae are abundant in July and SiO2, PO4 and NO3 are more influential
than other hydrological parameters.
Keywords: composition, distribution, spatial-temporal, ichthyoplankton, hidrological
parameters.
I. PENDAHULUAN
merupakan sumber populasi ikan dewasa, apabila larva mengalami kematian yang
tinggi, tentunya dapat mengurangi besaran populasi dewasa (Huliselan dkk, 2017).
Menurunnya populasi ikan dewasa berpengaruh terhadap hasil tangkapan nelayan
yang selanjutnya akan mengganggu kegiatan sosial ekonomi nelayan sehingga dapat
memicu perilaku nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan dengan
menggunakan berbagai cara yang tidak ramah lingkungan.
Tujuan penelitian adalah menganalisa komposisi telur dan larva ikan serta
bagaimana penyebaran telur dan larva ikan di perairan Teluk Kotania selama musim
transisi antara musim Timur ke musim Barat dan selama musim Barat tahun
2017.Sedangkan hasil penelitian dapat digunakan untuk menduga populasi ikan
dewasa, berdasarkan distribusi, komposisi dan kepadatan telur dan larva ikan.Namun
tahapan telur terutama larva ikan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan,
karenanya hasil ini dapat menjadi naskah akademik untuk kepentingan pengelolaan
sumberdaya ikan di perairan Teluk Kotania secara berkelanjutan, karena pada saat ini
nelayan sudah merasakan adanya penurunan populasi ikan di perairan Teluk Kotania.
Gambar 1.Peta Lokasi Penelitian (11 lokasi penelitian) di Perairan Teluk Kotania
Seram Bagian Barat.
Telur dan larva ikan dikoleksi dengan menggunakan net larva (NORPAC),
dengan ukuran mata jaring 500 µm. Net larva ditarik secara serong-horizontal
dengan menggunakan speed boat. Parameter hidrologi yang diukur meliputi
temperatur, salinitas, pH, DO dan kecerahan. Pengukurantemperatur permukaan
diukur menggunakan termometer batang; Salinitas diukur dengan menggunakan
refraktometer; Kecerahan perairan diukur dengan menggunakan Secchi disc,
sedangkan derajat keasaman (pH) diukur menggunakan pH meter, Oksigen terlarut
diukur dengan menggunakan DO meter. Sampel air yang digunakan untuk mengukur
parameter hidrologi pada kedalaman kecerahan (temperatur, salinitas, pH dan DO)
serta mengukur konsentrasi nitrat, fosfat dan silikat, dengan menggunakan botol
Nansen.
Volume air yang tersaring melalui net dihitung dengan menggunakan formula
menurut Newell and Newell (2007) yaitu:
D : Kepadatan telur
Nf : Jumlah telur per 1 ml subsample
Vp : Volume pengenceran
V : Volume air yang tersaring
Salinitas
Salinitas sangat berpengaruh terhadap proses osmoregulasi biota laut terutama
ikan(Taufik, 2012). Kisaran salinitas di semua stasiun berkisar antara 28-36
ppm.Salinitas tertinggi pada bulan April sebesar 36 ppm dan terendah pada bulan Juli
sebesar 28 ppm.
Kecerahan
Hasil penelitian menunjukan tingkat kecerahan pada bulan April, Juli dan
Oktober selama penelitian disetiap stasiun pengamatan berkisar antara 3-20
meter.Kecerahan yang terendah terdapat di stasiun stasiun pada bagian dalam Teluk
dan kecerahan tinggi pada stasiun stasiun pada bagian luar teluk.
138 Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Huliselan et al.
Parameter Kimia
pH (Derajat Keasaman)
Secara umum kisaran pH di semua stasiun penelitian berkisar antara 6-8.03
dengan nilai tertinggi di stasiun 10 pada bulan Oktober sebesar 8.03 sedangkan
terendah terjadi pada semua stasiun di bulan Juli.
SiO2 (Silikat)
Silikat berhubungan dengan fitoplankton untuk kepentingan pembentukan
dinding sel (Huliselan dkk, 2007). Silikat di lokasi penelitian berkisar antara 0,0577–
0,6154 mg/l. Pada bulan April Silikat berkisar antara 0,0577–0,4423 mg/l, pada bulan
Juli berkisar 0,2308–0,6154 mg/l dan bulan Oktober berkisar antara 0,0769–0,2692
mg/l.
NO3 (Nitrat)
Nilai nitrat berkisar antara 0,0088–0,0451 mg/l. Pada bulan April Nitrat
berkisar 0,0088–0,0251 mg/l, di bulan Juli, berkisar 0,0099–0,0451 mg/l. Sedangkan
pada bulan Oktober berkisar antara 0,0125–0,0393 mg/l.
PO4 (Fosfat)
Fosfat yang diperoleh pada lokasi penelitian yaitu 0,0081–0,0485 mg/l. Pada
sampling bulan April Fosfat berkisar antara 0,0081–0,0350 mg/l, kemudian pada
sampling di bulan Juli Fosfat berkisar 0,0260–0,0440 mg/l dan di bulan Oktober
berkisar antara 0,0215–0,0458 mg/l. Fosfat merupakan faktor penting untuk
pertumbuhan fitoplankton dan organisme lainnya (Dugan, 1972 dalam Effendi, 2003).
Komposisi dan Kepadatan Telur dan Larva Ikan serta Distribusi Spasial-
Temporal
Penelitian telur dan larva ikan dilakukan pada 11 Stasiun (ST) dan
berlangsung pada bulan April, Juli dan Oktober di Teluk Kotania.Sesuai letaknya,
lokasi (habitat) Stasiun 1-4 berada di luar teluk, sementara lokasi (habitat) 5–11
berada di dalam teluk.
18000
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
STASIUN
Maret
April Juli Oktober
Hasil analisis menunjukan bahwa kepadatan telur dan larva ikan tergolong
bervariasi jumlahnya pada setiap lokasi penelitian.Kepadatan telur tertinggi pada
bulan April terdapat pada stasiun 10 (13953 ind/100m3), dan Kepadatan terendah,
terdapat pada stasiun 3 sebanyak 596 ind/100m3 (Gambar 2). Pada stasiun 10
kepadatan tertinggi, disebabkan karena terdapat beberapa jenis telur ikan (Stolephorus
sp, Epinephelus spdan Plotosus sp) dan kepadatannya lebih tinggi dibandingkan
dengan telur dari jenis ikan yang lain sedangkan kepadatan terendah terdapat pada
stasiun 3, karena hanya terdapat jenis telur (Stolephorus spdan Epinephelus sp)
dengan kepadatan yang rendah.
Pada bulan Juli, kepadatan telur ikan tertinggi terdapat pada stasiun 4 (5884
ind/100m3), dan kepadatan telur ikan terendah ada pada stasiun 8 sebanyak 168
ind/100m3 (Gambar 2). kepadatan telur ikan tertinggi pada stasiun 4, disebabkan
karena terdapatnya jenis telur ikan Stolephorus sp (420 ind/100m3) dan Epinephelus
sp (168 ind/100m3) sedangkan kepadatan telur ikan terendah terdapat pada stasiun 8,
disebakan karena hanya ditemukan satu jenis telur yaitu telur Epinephelus sp dengan
jumlah sedikit ( 168 ind/100m3). Sedangkan di stasiun 1 dan 9, tidak ditemukan telur
ikan.
Pada bulan Oktober, kepadatan telur ikan tertinggi terdapat pada stasiun 5
(16931 ind/100m3), dan kepadatan telur ikan terendah ada pada stasiun 2 (98
ind/100m3). Kepadatan telur ikan tinggi karena adanya beberapa jenis telur ikan
dengan jumlah yang tinggi yaituStolephorus sp (300 ind/100m3), Plotosus sp (159
ind/100m3), Ephinephelus sp (132 ind/100m3) dan Helicolenus sp (26 ind/100m3).
Sedangkan kepadatan terendah terdapat pada stasiun 2, (Gambar 2), karena hanya
ditemukan telur Ephinephelus sp sebanyak 10 ind/100m3, sedangkan di stasiun, 3 dan
8 tidak ditemukan telur ikan.
Hasil analisa menunjukan bahwa kepadatan telur ikan tertinggi pada bulan
April, Juli, dan Oktober, sebagai berikut: di perairan Teluk Kotania kepadatan
tertinggi telur ikan pada bulan oktober terdapat di stasiun 5 sebanyak 1693
ind/100m3dan kepadatan terendah pada bulan Oktober yaitu di stasiun 2 dengan
jumlah 10 ind/100m3.
80
70
Keepadatan (ind/100m3)
60
50
40
30
20
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
STASIUN
APRIL
Maret Juli Oktober
IV. KESIMPULAN
1. Berdasarkan hasil penelitian di perairan Teluk Kotania ditemukan telur dari 6
genus/spesies ikan yaitu Telur Ikan Stolephorus sp, Plotosus sp, Epinephelus sp,
Helicolenus sp, Lutjanus sp dan Herklotsichtyes sp.
2. Jumlah larva ikan yang teridentifikasi sebanyak 5 larva dari jenis ikan Siganus sp,
Euthynnus sp, Atherinomorous sp, Lobotes sp dan Pervagor sp.
3. Perairan bagian luar Teluk Kotania merupakan kawasan sebaran telur ikan dan
perairan bagian dalam teluk merupakan daerah asuhan bagi larva ikan.
4. Suhu dan pH berpengaruh terhadap kepadatan telur ikan namun tidak berpengaruh
pada komposisi dan kepadatan larva ikan.
DAFTAR PUSTAKA
Able, K.W. 1978.Ichthyoplankton of the St Lawrence Estuary: composition,
distribution and abundance. Can. J. Fish.Aquat. Sci 35 : 1518 –1531.
Allen, L.G, D.J. Pondella and M.H.Horns (eds). 2006. The ecology of marine fish:
California and Adjascent Waters, University of California Press. Berkeley.
670 p
Bagenal, T.B. and E. Broun. 1978. Eggs and Early Life History. In Methods for
Assessment of Fish Production in Fresh Water. Bagenal T.B. Publication. p.
165-2001.
Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Pond. Forth Printing. Alabama
USA: Agricultural Experiment Station Auburn University
Effendi, H., 2003, Telaah Kualitas Air; Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan; Kanisius.Yogyakarta.259 pp.
Cushing, D.H., 1075. Marine ecology and Fisheries.Cambridge University Press.
London. 278 p
Froese, R., S.M. Luna and E.C. Capuli, 1996. Checklist of Marine Fishes of
Indonesia.Compilled from Published Literature. Im Pauly, D. and P.
Martosubroto (Eds). Baseline Studies of Biodiversity.The Fish Resources of
Western Indonesia. ICLARM, Manila.
Fuiman, L.E. 2002.Special Consideration of Fish and Larvae. In Fisheries Science:
The unique contributing of early life stages. Edited by Fuiman L.E. and R.G.
Wenner. Blackwell Science. P. 1-32.
Gracia Lopez, M.V. M. Kiewek and G.M. Maldonado. 2004. Effect of temperature
and salinity on artificially reproduced eggs and larvae of Leopard grouper
Mycteroperca rosacea. Aquacuture 237 (1-4): 485-498..
Green, S.B, and R. Fisher. 2004. Temperature influences swimming speed, growth
and larval duration in coral reef fish larvae. Journal Experimental Marine
Biology and Ecology 299 (2004) : 115-132.
Huliselan N. V., 2017. Buku Ajar Ikhtioplankton.S2 Ilmu Kelautan. Unpatti Ambon.
Huliselan, N. V., F. S. Pello dan Y. A. Lewerissa 2007. Planktonologi Buku
Ajar.Jurusan MSP. Unpatti Ambon.
Huliselan, N.V., M. Wawo., M.A. Tuapattinaja dan D. Sahetapy. 2016. Keberlanjutan
Populasi Ikan Dewasa Berbasis Kontribusi Larva Terhadap Peningkatan
Perekonomian Nelayan di Seram Barat Provinsi Maluku. Hal 1-2.
Huliselan, N.V., M. Wawo., M.A. Tuapttinaja dan D. Sahetapy. 2017. Keberlanjutan
Populasi Ikan Dewasa Berbasis Kontribusi Larva Terhadap Peningkatan
Perekonomian Nelayan di Serama Barat Provinsi Maluku. Hal 17-21.
Jeyaseelan, M.J., 1998. Manual Of Fish Eggs And Larvae From Asian Asian
Mangrove waters. Unesco Publishing, France.
Laevastu, T. and I. Hela, 1970.Fisheries Oceanography. London. Fishering News.
Lalli, C.M. and T.R. Parsons. 1997. Biological Oceanographic. An Introduction.
Pergamon Press, Oxford. 314 p.
Leis, J.M., 1986.Ecological Requirement of Indo Pasific Larvae Fishes.A Negleted
Zoogeography factors.In T. Uyeno, R. Arai, T.Taniuchu and K. Matsuura
(Eds). Indo-Pacific Fish Biology: Proceedings of the second International
Conference on Indo-Pacific Fish, Ichthyological Society of Japan Tokyo. P.
759-766.
Leis, J.M. and D.S. Rennis, 1983.The Larvae of Indo-Pacific Coral Reef
Fishes.University of Hawaai Press. Honolulu. 267 p.
Mc Lachlan, A. 1983. Sandy Beach Ecology of Port Elizabeth. South Africa
Nelson, J.S., 1984. Fishes of the World.Second Ed. New York: Wiley-Interscience. 521
p.
Newell, G.F and R.C. Newell. 19977. Marine Plankton. a Practical Guide. Fifth
Edition.Hutchinson of London.
Yulma, Gloria Ika Satriani, Awaludin, Burhanuddin Ihsan, dan Bela Pertiwi
Fakultas Perikanan dan Ilmu KelautanUniversitas Borneo Tarakan
Jl. Amal Lama No.1, Tarakan. Kalimantan Utara. 77123
Email: [email protected]
Abstrak
Keberadaan bakteri pada sedimen berperan penting dalam berbagai proses biokimia di
perairan antara lain dalam degradasi materi organik, perputaran siklus biogeokimia,
mengendalikan kadar amonium, nitrat dan nitrit, sumber makanan bagi fauna, produksi
primer dan remediasi pencemaran. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui
keanekaragaman bakteri (Genus) pada sedimen di Kawasan Konservasi Mangrove dan
Bekantan (KKMB) Kota Tarakan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai
September 2018 dengan menggunakan metode deskriptif dengan melakukan identifikasi
bakteri pada sedimen melalui beberapa tahapan pengujian yaitu uji gram, uji utama dan uji
lanjut yang dilakukan dilaboratoriumNutrisi dan Penyakit Ikan serta laboratorium Stasiun
Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan kelas II Tarakan. Hasil
penelitian menunjukan keanekaragaman bakteri pada sedimen sebanyak 16 genus bakteri
yaitu Enterobacteria, Eubacterium, Listeria, Actinobacillus, Bacteriodes, Streptococcus,
Plesiomonas, Corynebacterium, Pseudomonas, Aeromonas, Bordetella parapertussis,
Micrococcus, Staphylococcus, Clostridium, Neisseria, dan yang lebih dominan ditemukan
yaitu Bacillus.
Kata kunci: Bakteri, Keanekaragaman, KKMB, Mangrove, Sedimen, Tarakan.
Abstract
Bacteria in sediment plays an important role in various biochemical processes in the waters
area, for instance degradation of organic matter, biogeochemical cycle, controlling
ammonium, nitrates and nitrites concentration, food source for fauna, primary production,
and pollution remediation. The purpose of this study was to determine the diversity of
bacteria (Genus) in sediment on the Mangrove and Bekantan Conservation Area (KKMB),
Tarakan City. This research was conducted from August – September 2018 using descriptive
method by identifying bacteria in sediments through several stages of testing namely gram
testing, main testing, and advanced testing. The research was held in Fish Nutrition and
Dieses Laboratory, Fish Quarantine Laboratory, and Quality Control and Safety Fishery
Products Class II Tarakan. The result showed there were 16 various bacteria found i.e.
Enterobacteria, Eubacterium, Listeria, Actinobacillus, Bacteriodes, Streptococcus,
Plesiomonas, Corynebacterium, Pseudomonas, Aeromonas, Bordetella parapertussis,
Micrococcus, Staphylococcus, Clostridium, Neisseria, and the dominant numbers was found
namely Bacillus.
Keywords: Bacteria, Diversity, KKMB, Mangrove, Sediment, Tarakan.
I. PENDAHULUAN
Mangrove merupakan hutan lahan basah yang memiliki nilai secara ekologi
dan ekonomis yang tinggi. Indonesia memiliki hutan mangrove yang luas serta
potensi yang sangat besar jika dikelola dengan baik. Salah satunya perlu key stone
156 Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Yulma et al
Pengambilan Sedimen
Sampel sedimen masing-masing diambil satu kali setiap satu stasiun kemudian
sampel sedimen diambil masing-masing sebanyak 250 gr pada setiap titik sampling
dan hasil sampling dimasukkan ke dalam botol sampel yang steril. Sampel sedimen
kemudian dibawa ke Laboratorium Nutrisi dan Penyakit Ikan Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Universitas Borneo Tarakan dan Laboratorium Stasiun Karantina Ikan,
Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas II Tarakan. Di laboratorium
sampel sedimen disimpan dalam refrigerator dengan suhu 5-100C sampai digunakan.
dipengaruhi oleh kadar pH. Nilai pH pada penelitian ini berkisar6,7-7,5, nilai ini
sesuai untuk pertumbuhan bakteri. Ratledge (1994) menyatakan bahwa nilai pH
optimum untuk pertumbuhan bakteri adalah berkisar antara 7,5-8,5.
Tabel 2. Jumlah bakteri yang didapatkan pada sedimen di setiap stasiun penelitian
Stasiun Jumlah Bakteri
No. Bakteri (Genus)
I II III IV (Koloni)
1. Bacillus 6 16 5 8 35
2. Aeromonas 0 0 0 17 17
3. Bacteriodes 0 4 13 0 17
4. Listeria 8 7 0 2 17
5. Corynebacterium 4 0 11 0 15
6. Enterobacteria 11 0 3 0 14
7. Plesiomonas 14 0 0 0 14
8. Streptococcus 5 8 0 0 13
9. Actinobacillus 0 2 3 4 9
10. Pseudomonas 2 5 0 0 7
11. Eubacterium 0 5 0 0 5
12. Bordetella parapertussis 0 0 4 0 4
13. Micrococcus 0 0 0 4 4
14. Staphylococcus 0 0 0 4 4
15. Clostridium 0 3 0 0 3
16. Neisseria 0 0 1 0 1
Pada stasiun II jumlah bakteri yang paling dominan adalah Bacillus, hal ini
diduga karena Bacillus hidup dan tumbuh pada kisaran suhu optimum yakni 28,20C–
320C. Sesuai dengan pernyataan Imron dan Purwati (2016) bahwa suhu yang terukur
untuk Bacillus berkisar antara 27,60C -320C.Selain parameter suhu, bakteri Bacillus
juga dapat dipengaruhi oleh faktor pH.Bakteri Bacillus hidup dan tumbuh pada
kondisi pH berkisar antara 6-7. Nilai pH di stasiun II adalah 6,7-7,5, dimana nilai pH
tersebut sesuai untuk pertumbuhan bakteri Bacillus. Sesuai dengan pernyataan
Sumarsih (2008) bahwa bakteri Bacillusrata-rata tumbuh pada pH dengan kisaran
antara 6-7, dimana pH tersebut sesuai dengan pH di alam yaitu 6,3. Hal ini
menunjukkan bahwa semua genus bakteri termasuk dalam golongan Neutrophil yaitu
bakteri yang dapat hidup pada rentang pH 5.5-8.0.
Bakteri yang dominan pada stasiun III adalah bakteri Bacteriodes dan
Corynebacterium, hal ini diduga karena bakteri ini dapat hidup pada suhu 26,90C -
29,10C. Indriani (2008) menyatakan bahwa suhu optimum untuk bakteri berkisar 270C
–360C. Kondisi lingkungan yang selalu berubah-ubah dan umumnya dapat hidup pada
kondisi anaerob fakultatif sehingga bakteri ini paling dominan dijumpai pada stasiun
ini.Sesuai dengan pernyataan Suliasih dan Rahman (2007) bahwa bakteri
Corynebacteriumini umumnya hidup pada kondisi anaerob dan memiliki kemampuan
dalam membentuk spora sehingga sangat menguntungkan bagi bakteri sedimen terkait
dengan kondisi lingkungannya yang selalu berubah-ubah.
Pada stasiun IV bakteri yang dominan ditemukan adalah Aeromonas, hal ini
diduga karena bakteri Aeromonasdapat tumbuh dan hidup pada suhu berkisar antara
220C –300C. Suhu pada stasiun IV berkisar antara 26,90C -29,10C, dimana nilai suhu
ini mendekati dengan nilai optimum sehingga bakteri Aeromonas banyak ditemukan
pada stasiun IV.Bakteri Aeromonas bahkan dapat hidup pada suhu tinggi mencapai
370C sesuai dengan pendapat Holt et al.,(1994) bahwa genus Aeromonas bersifat
motil dan dapat hidup pada kondisi aerob. Suhu optimum untuk pertumbuhannya
yaitu 220C, tetapi sebagian besar bakteri ini tumbuh baik pada suhu 370C.
3.2. Perbandingan Jenis Bakteri di beberapa Lokasi yang Berbeda
Jumlah bakteri pada sedimen di KKMB yaitu 16 genus. Hasil ini berbeda
dengan penelitian dari Rudiansyah, (2017), Islamiah (2017) dan Oktaviani (2011)
(Tabel 2).
Salinitas
Nilai salinitas di KKMB berkisar 27-30‰, hal ini sejalan dengan penelitian
Yunasfi (2006) bahwa tingkat salinitas yang tinggi akan memberikan efek negatif
terhadap kelimpahan dan keanekaragaman bakteri. Tingginya tingkat salinitas mampu
menghambat pertumbuhan koloni bakteri sehingga menyebabkan tingkat aktivitas
bakteri sangat rendah akibatnya terjadi shock osmotic atau toksik (Malin et al., 2000;
Langenheders, 2005).
Suhu
Hasil pengukuran suhudi KKMB berkisar antara 26,90C-320C, suhu yang
diperoleh dalam penelitian ini masih berada dalam kisaran yang baik untuk proses
pertumbuhan bakteri pada sedimen. Indriani (2008) menyatakan suhu optimum untuk
bakteri berkisar 270C -36 0C. Kisaran suhu tersebut sangat baik untuk proses
pertumbuhan bakteri.
pH (Potential of Hydrogen)
Nilai pH di KKMB berkisar 6,5-7,8, nilai ini masih mendukung untuk
pertumbuhan bakteri. Tait (1981) menyatakan bahwa kisaran pH optimum untuk
pertumbuhan mikroorganisme adalah 5,6-9,4.
DO (Oksigen Terlarut)
Nilai kandungan oksigen terlarut (DO)di KKMB berkisar 1,07mg/L -6,15
mg/L, hal ini menunjukkan bahwa DO perairan di KKMB masih tergolong baik.
Umumnya nilai oksigen terlarut di ekosistem mangrove rendah, hal ini disebabkan
karena meningkatnya bahan-bahan organikserta dapat dipengaruhi oleh kenaikan
suhu, salinitas, respirasi (Reid, 1961; Welch, 1980). Kandungan DO dalam air
mempunyai peranan untuk menentukan kelangsungan hidup organisme akuatis dan
untuk berlangsungnya peroses reaksi kimia yang terjadi di dalam badan perairan.
Patty (2013) menyatakan bahwa pada umumnya kandungan DO sebesar 5 mg/L
dengan suhu air berkisar antara 200C -320C relatif masih baik untuk biota laut, bahkan
apabila dalam perairan tidak terdapat senyawa-senyawa yang bersifat toksik (tidak
DAFTAR PUSTAKA
Bisset, A., Burke, C., Cook, P.L.M., Bowman, J.P. (2007). “Isolasi dan Identifikasi
Bakteri Sedimen Waduk”. Jurnal Exacta. 8, hal. 4.
Chen, J., Jin, H, Yin, K., Li, Y. (2003). “Variation Of Reactivity Of Particulate and
sedimentary Organic Matter Along the Zhujiang River Estuary”. Prosiding
Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan
Kelautan. hal. 528.
Chrisyariati, I., Hendrarto, B., Suryanti, S. (2014).Kandungan Nitrogen Total dan
Fosfat SedimenMangrove Pada Umur yang Berbeda
diLingkunganPertambakan Mangunharjo, Semarang. ManagementOf Aquatic
Resources Journal.3(3), 65‐72
Dai, M., Martin, J., Hong, H., Zhang, Z. (2000). “Preliminary Study on the Dissolved
and Colloidal Organic Carbon in the Zhujiang River Estuary”. Prosiding
Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan
Kelautan. hal. 528.
Holt, J.G., Krieg, N.R., Sneath, P.H.A., Staley, J.T., Williams, S.T. (1994). Bergey’s
manual of determiniative bacteriologyi (edisi ke-9). USA: The Williams &
Wilkins Co., Inc.
Hrenovic, J., Damir, V., dan Bozidar, S. (2003). Influence of Nutrients and Salinity
onHeterotrophic and Coliform Bacteria in the Shallow, Karstic Zrmanja
Estuary(Eastern Adriatic Sea). Cevre Dergisi. 46: 29 - 37.
Imron, M.F dan Purwanti, I.F. (2016). “Uji Kemampuan Bakteri Aztobacter S8 dan
Bacillus Subtilis Untuk Menyisihkan TrivalentChromium (Cr3+) pada Limbah
Cair”. Jurnal Teknik ITS. 5(1), hal. 4-10.
Indriani, Y. (2008). Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Api-api
(Avicennia marina Forssk. Vierh) di Desa Lontar, Kecamatan Kemiri,
Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Skripsi Sarjana. Universitas Institut
Pertanian Bogor.
Islamiah, D.N. (2017). “Jenis-Jenis Bakteri Rizosfer Kawasan Tanah Mangrove
Avicennia di Kelurahan Terusan, Kecamatan Mempawah Hilir, Kalimanatan
Barat”. Jurnal Protobiont. 6(3), hal. 165-172.
Kharijon. (1998). Analisis dan Laju Dekomposisi Serasah di Hutan Bakau Hasil
Rebosisasi yang Berbeda Kelas Umumnya. Prosidings seminar VI ekosistem
hutan mangrove, MAB-LIPI, Pekanbaru. Komponen Teknologi Pertanian.
Iptek Tanaman Pangan. hal. 41-58.
Langenheders, S. (2005). Links Bacteria Structure and Fuction of Heterotrophic
Aquatic Bacteria Communities. Disertasi. Uppala University. Sweden.
Patty, S.I. (2013). Distribusi Suhu, Salinitas dan Oksigen Terlarutdi Perairan Kema,
Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax. Vol. 1: (3)
Purnomo, P.A, Niniek, W. Churun, A. (2016). Analisis C/N rasio dan Total Bakteri
pada Sedimen Kawasan Konservasi Mangrove Sempadan Sungai Betahwalang
dan Sungai jajar Demak. Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-
Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. http://eprints.undip.ac.id/51062.
Diunduh tanggal 14 Juni 2018.
Madigan, M.T., Martinko, J.M., Parker, J. (2003). Biology of Microorganisms (edisi
ke-9). USA: Pearson Education, Inc.
Maier, M. R., I. L. Pepper, and C. P Gerba. (1999). Environmental Microbiology.
Jurnal Biodiversitas. 4(2), hal. 80-81.
Malin, M.A., Williams, K. E., Esham, E.C., Lowe, R.P. (2000). Effect of Human
Development on Bacteriological Water Qualitative in Coastal Watershed.
Ecol Appl. 10, hal. 1047-1056.
Oktaviani, N.D. (2011). Eksplorasi Bakteri Pelarut Fosfat pada Tanah di Kawasan
Mangrove Wonorejo Surabaya. Skripsi Sarjana, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Airlangga. Surabaya
Ratledge, C. (1994). “Biochemistry of Microbial Degradation Amsterdam”. Jurnal
Biodiversitas. 5(2), hal. 43-47
Reid, G.K. (1961). Ecology of Inland Waters and Estuaries. Reinhold Book
Corporation. NewYork, Amsterdam, London. 375 p.
Rudiansyah, D. (2017). “Eksplorasi Bakteri Selulotik dari Tanah Hutan Mangrove
Peniti, Kecamatan Segedong, Kabupaten Mempawah”. Jurnal Protobiont.
6(3), hal 255-262.
Sampe, Y. (2017). Analisis Bahan Organik Nitrogen dan Fosfor pada Sedimen di
KKMB Kota Tarakan. Skripsi Sarjana. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Borneo Tarakan.
Suhendi. (2009). Identifikasi dan Prevalensi Bakteri dan Cendawan yang Terseleksi
serta Parasit pada Ikan Arwana Super Set Scleropages Fosmosus yang sakit.
Jurnal Budidaya Perairan. 5(3), hal. 11-17
Suliasih dan Rahman. (2007).Aktivitas Fosfatase dan Pelarutan Kalsium Fosfat oleh
Beberapa Bakteri Pelarut Fosfat. Jurnal Protobiont. 3(1), hal. 38.
Sumarsih. (2008). Lingkungan Pertumbuhan Mikroba. Jurnal Protobiont. 6(3), hal.
170.
Tait, R. V. (1981). Element of Marine Ecology. An Introduction. Cambridge
University Press. New York. 356 pp.
Welch, P. S. (1980). Limnology. Second edition. McGraw Hill International Book
Company. New York.
Widenfalk, A. (2005). “Isolasi dan Identifikasi Bakteri Sedimen Waduk”. Jurnal
Exacta. 8, hal. 3.
Yunasfi. (2006). Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina Oleh Bakteri dan
Fungi Pada Berbagai Tingkat Salinitas. Disertasi. IPB. Bogor
Dwi Imam Prayitno1, Syarif Irwan Nurdiansyah1, Siti Nani Nurbaeti2, Winda
Rahmalia3, dan Thamrin Usman3
1
Departement of Marine Science, Faculty of Mathematic and Natural Science, Tanjungpura
University, Jl. Ahmad Yani, Pontianak 78124, West Kalimantan, Indonesia
1
Departement of Pharmacy, Faculty of Medecine, Tanjungpura University,
Jl. Ahmad Yani, Pontianak 78124, West Kalimantan, Indonesia
3
Departement of Chemistry, Faculty of Mathematic and Natural Science, Tanjungpura
University, Jl. Ahmad Yani, Pontianak 78124, West Kalimantan, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Dalam penelitian ini, kami mengekstrak dan menganalisis astaxanthin dari cincalok dengan
minyak nabati sebagai pelarut. Sebelum ekstraksi, cincalok disaring, dan dikeringkan dengan
pengeringan vakum. Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi pada suhu kamar,
sedangkan analisis konsentrasi astaxanthin dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer
UV-Vis. Hasilnya menunjukkan bahwa astaxanthin yang diekstraksi dari cincalok dengan
kelapa sawit, zaitun, wijen, biji anggur, kelapa dan minyak kelapa murni adalah 9.455762
µg/g, 6.522762 µg/g, 8.809762 µg/g, 7.930762 µg/g, 8.478762 µg/g, dan 9.762 µg/g. Minyak
sawit menunjukkan hasil terbaik sebagai pelarut alami astaxanthin dari cincalok didukung
dengan karakteristik asam lemak bebas yang paling rendah (FFA).
Kata kunci: cincalok, astaxanthin, minyak nabati, FFA.
Abstract
Cincalok is a traditional food from West Borneo, Indonesia that is made through the
fermentation process of rebon shrimp (Acetes sp.). The making process of cincalok is very
simple and cheap so that it is easy for traditional fisherman to do it. The fermentation process
in cincalok has relation with pinked transformation colour that sign of presence of
astaxanthin. In this research, we extracted and analyzed astaxanthin from cincalok with
vegetable oils as solvents. Before extraction, cincalok was filtered, and dried with a vacuum
drying. The extraction was carried out by maceration method at room temperature, while the
analysis of astaxanthin concentration was carried out by using UV-Vis spectrophotometer.
The result show that astaxanthin extracted from cincalok with palm, olive, sesame, grape
seeds, coconut and virgin coconut oil is 9.455, 6.522, 8.809, 7.930, 8.478, and 9,762 µg/g
respectively. Palm oil shows the best results as natural astaxanthin solvents from cincalok
and its supported by the characteristics of the lowest free fatty acids (FFA).
Keywords: cincalok, astaxanthin, vegetable oil, FFA.
I. PENDAHULUAN
Provinsi Kalimantan Barat Indonesia berbatasan langsung dengan Selat
Karimata dan Laut Natuna sehingga mempunyai keuntungan geogrfis berupa garis
pantai sepanjang 1398 km, terletak di daerah “Paparan Sunda” yang memberikan
karakteristik laut dangkal sehingga membentuk budaya bahari masyarakatnya. Lahan
di Kalimantan barat adalah gambut, yang memberikan sumbangsih komoditi alam,
seperti kelapa sawit dengan luas lahan pertanian 1.312.517 Ha. Pada penelitian ini
bertujuan mempertemukan antara budaya bahari dan lahan gambut untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama dengan mengangkat kearifan lokal
disertai penerapan teknologi tepat guna.
Salah satu bentuk kearifan lokal Kalimantan Barat adalah cincalok, makanan
masyarakat pesisir hasil dari budaya bahari, di tempat lain di Indonesia produk serupa
dikenal sebagai ronto di Kalimantan Selatan, rusip di Riau dan chao-teri di Makasar.
Komposisi pembuatan cincalok adalah 10 Kg rebon, 1Kg garam dan 1Kg gula,
kemudian difermentasikan dalam kondisi anaerob. Penggaraman adalah metode
selektif untuk mengusir bakteri jahat dan memberikan kondisi ideal untuk fermentasi,
gula sebagai sumber karbon akan merangsang pertumbuhan bakteri asam laktat.
Proses fermentasi dalam cincalok memiliki hubungan dengan tanda transformasi
warna ke- merah muda (pinked) tanda pembentukan astaxanthin.
Menurut Shahidi and Botta (1994), serta Khanafari et al (2002) astaxanthin
adalah jenis pigmen alami karotenoid berwarna merah sampai oranye yang ditemukan
pada beberapa burung dan ikan, pigmen ini terkait dengan warna karapas hewan
crustacea seperti udang, kepiting, dan lobster. Pigmen ini terdiri dari 3 stereoisomer
dan membentuk kompleks dengan protein yang terakumulasi dalam exoskeleton
crustacea (Armenta et al 2002). Astaxanthin juga hadir di Acetes sp (rebon), Juga
memiliki aplikasi penting untuk industri makanan, farmasi, dan kosmetik. Menurut
Bhavsar et al (2016) Astaxanthin adalah kelas pigmen karotenoid yang larut dalam
minyak, sehingga dalam proses ekstraksi adalah mungkin untuk mencapai tingkat
kelas makanan dengan biaya rendah. Cincalok dapat menjadi kandidat sumber baru
astaxanthin dengan harga yang jauh lebih terjangkau, karena jika membandingkan
kandungan astaxanthin dalam biomassa Haematococcus pluvialis dan
Xanthophyllomyces dendrohousis dilaporkan 30 mg / g (Bhosale et al, 2005) dan 4
mg / g (Nawani et al, 2002), sedangkan astaxanthin dengan metode fermentasi limbah
kulit udang mencapai 23,12 mg / g (Armenta et al, 2002) dan perlu digaris bawahi
metode fermentasi dengan sumber alternatif astaxanthin lebih murah. , lebih pendek,
dan lebih sederhana.
77, Premium Grapeseed Oil, sedangkan minyak nabati yang lain didapat dari toko
kimia Indrasari (semarang).
Analisa data
Minyak hasil maserari yang telah disaring kemudian di analisis dengan
spektrofotometer shimadzu uv-1280, perhitungan kosentrasi asataxanthin dilakukan
dengan menggunakan senyawa standar sigma aldrich CAS number 472-61-7 dengan
tingkat kemurnian diatas 97%. Sedangkan analisa kandungan Free faty Acid (FFA)
dari minyak nabati dilakukan dengan metoda spektrofotmeter.
2 y = 0,2452x + 0,0097
R² = 0,9996
1,5
Absorbance
0,5
0
0 1 2 3 4 5 6 7
Astaxanthin concentration (mg/L)
6
5
4
3
2
1
0
Palm Olive Sesame Grape Coconut Virgin
seeds Coconut
Oil
Vegetable Oils
0,6
0,5
Free Fatty Acid Value
0,4
0,3
0,2
0,1
0
Palm Olive Sesame Grape Coconut Virgin
seeds Coconut
Oil
Vegetable Oils
IV. KESIMPULAN
???
DAFTAR PUSTAKA
Shahidi, F., and Botta, J.R.1994. Seafoods: Chemistry, Processing Technology and
Quality. Blackie Academic and Professional, Wester Cleddens Road,
Bishopbriggs, Glasgow G64 2NZ, United Kingdom.
Johnson, E.A., Villa, T.G., Lewis, M.J. & Phaff, H.J. 1978. Simple method for the
isolation of astaxanthin from the basidiomycetous yeast Phaffia rhodozyma,
Appl. Environ. Microbiol. 35: 1155-1159.
Khanafari, A., Saberi, A., Azar, M., Vosooghi, G., Jamili, S. & Sabbaghzadeh, B.
2007. Extraction of astaxanthin esters from shrimp waste by chemical and
microbial methode. Iran. J. Environ. Health Sci. Engg.4: 93-98.
Bhosale, P. & Bernstein, P. S. 2005. Microbial Xanthophylls. J. Of Appl. Microbial
Biotech. 68: 445-455.
Nawani, N. N., Kapadnis, B.P., Das, A.D., Rao, A.S. & Mahajan, S. K. 2002.
Purification and characterization of a thermophilic and acidophilic chitinase
from Microbispora sp. V2. J. Appl. Microbiol. 93: 965-975.
Armenta, L. R., Guerrero, I. & Huertas. 2002. Astaxanthin extraction and enzymatic
hydrolysis of the carotenoprotein complex. J. Food Sc. 67: 1002-1006.
Bhavsar, S. P.; K. G. Singh dan L. P. Sharma. 2016. Microbial Production of
Astaxanthin Pigment unsing Marine Shrimp. Indian Journal of Geo- Marine
Science. 45(2): 352.
Abstrak
Penyakit karang merupakan salah satu masalah di perairan yang cukup menyita perhatian,
dimana jika terjadinya kerusakan secara masal bukan hanya fungsi ekologis terumbu karang
saja yang hilang namun tingkat perekonomian bahkan area yang tadinya pelindung pantai pun
akan hilang. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi, menghitung prevalensi
dan frekuensi serta melihat area yang mungkin menjadi sebuah hotspot atau dikatakan
mengelompok. Metode yang digunakan adalah metode survey lapangan. Untuk melihat
penyakit karang digunakan kuadran 1x1m2 dengan cara sampling swapt area seluas
2.400.000m2. Hasil yang di peroleh di Perairan Kampung Teluk Dalam berupa 20 kejadian
penyakit dengan tingkat prevalensi tertinggi 0,00010% pada penyakit Atramentous Necrosis.
Dan hasil analisis pengelompokan menunjukan adanya tiga area hotspot yang menunjukan
tingkat kepercayaan 90% hingga 99% dan yang dianggap sebagai area hotspot dengan
seringnya kejadian muncul penyakit diambil kawasan yang menunjukan tingkata kepercayaan
99%.
Kata kunci: Penyakit Karang, Hotspot Analysis, Prevalensi, Kampung Teluk Dalam
Abstract
Coral disease is one of the problems in the waters which are quite seize attention, where if the
occurrence of the damage en masse not only the ecological functioning of coral reefs are
gone but the level of the economy even areas that had been the protector of the beach would
be lost. This research was conducted with the aim of identifying, calculating prevalence and
frequency as well as see areas that may become a hotspot or are said to be clumped. The
method used is the method of field survey. To see the coral disease used 1x1m2 quadrant by
way of sampling swapt 2.400.000m2 area. The results obtained in the waters of Kampung
Teluk Dalam 20 events in the form of the disease with the highest prevalence rate of
0.00010% in atramentous Necrosis disease. And the results of the analysis showed the
grouping of three hotspot that indicates the level of confidence of 90% to 99% and is
considered a hotspot with the frequent occurrence of emerging diseases that show the region
captured 99% of the tiers confidence.
Keywords: Coral Disease, Hotspot Analysis, Prevalence, Kampung Teluk Dalam
I. PENDAHULUAN
Terumbu karang menurut Tuwo (2011) merupakan suatu ekosistem khas yang
terdapat di wilayah pesisir daerah tropis. Penyakit karang umumnya terjadi sebagai
respon terhadap tekanan biologis, seperti bakteri, jamur dan virus, dan tekanannon-
biological, seperti peningkatan suhu permukaan laut, radiasi ultraviolet dan
polusi. Salah satu jenis stres dapat memperburuk yang lain (NMFS, 2001 dalam
NOAA, 2008).
Gambar 1. Lokasi Penelitian (Sumber: Peta Base Map Bintan, Lab SIG FIKP
UMRAH)
a. Uji Prevalensi
Pengamatan prevalensi dilakukan dengan menghitung jumlah koloni yang
terinfeksi dan jumlah seluruh koloni yang terdapat dalam kuadrat (Raymundo et al.,
2008) Prevalensi dihitung sebagai berikut (Raymundo et al., 2008).
1) Membagi area kajian dengan membuat grid (luasan grid 100 m2)
2) Menghitung jumlah kejadian penyakit yang berpotongan (intersect) pada area grid
3) Melakukan hotspot analisis menggunakan Getis and Ord Gi* toolbox arcgis
4) Interpretasi nilai peta tematik hasil analisis hotspot menggunakan acuan skor nilai
z dengan ketentuan adanya pengelompokkan/hotspot area dengan tingkat
kepercayaan :
a) 90% significant: >= 1.645
b) 95% significant: >= 1.960
c) 99% significant: >= 2.576
99.9% significant: >= 3.291
abiotis yang disebabkan oleh tekanan lingkungan berupa suhu, sedimen, toksit dan
berupa radiasi ultra violet.
Penyakit Black Band Disease bisa berkurang atau terhenti penyebarannya
dengan bantuan bulu babi. Dimana balu babi akan memangsa bagian karang yang
terkena penyakit sehingga akan menurunkan potensi kompetisi alga dengan karang,
dengan demikian menurunkan kemungkinan luka yang akan mendorong invasi
patogen, dengan langsung meninggalkan substrat di mana filament Cyanobacteria
membutuhkan untuk penempelan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan
Budidaya, 2010). Hal ini juga diperkuat dengan rendahnya nilai frekuensi dan
plevalensi penyakit Black Band Disease (BBD)
Frekuensi (F)
0,30
0,20
0,10
0,00
WS
PR
YBD
WBD
CCA
GA
AtN
B
UBP
BBD
Jenis Penyakit
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa penyakit AtN atau Atramentous
Necrosis memiliki frekuensi kejadian tertinggi dari penyakit lainnya., begitu pula
dengan nilai prevalensinya. Rata – rata prevalensi penyakit karang menunjukan nilai
0,00003% dengan jumlah prevalensi tertinggi AtN (0,00010%), CHC (0,00009%), B
(0,00007%), Serta SD (0,00007%). Ke empat penyakit tersebut merupakan kejadian
penyakit yang paling sering di jumpai di Perairan Teluk Dalam. Hasil perhitungan
prevalensi dapat dilihat pada table di bawah.
Hotspot Analysis
Menurut kenampakan peta di bawah terdapat sebanyak 73 titik pengamatan
yang tersebar diantara Area Of Interest (AOI) yang diambil dengan cara membuat
sebuah polygon pada peta Citra Landsat 2014. Area pengamatan berada di Zona Reef
flat dengan luasan wilayah penelitian 240 Ha atau sama dengan 2.400.000 m2 yang
selanjutnya akan di interpretasikan menjadi peta sebaran penyakit yang ada di
kawasan Prairan Kampung Teluk Dalam.
Peta Hotspot akan dianggap benar jika nilai P lebih kecil dari nilai Z Scoren.
Pada Z Score yang tertinggi terdapat pada nilai Z yang menunjukan angka kisaran 13
– 20 dengan kenampakan warna pada legenda yaitu berwarna merah. Dan nilai P yang
terendah dengan kenampakan warna hijau tua, hal ini bukan hanya dilihat dari bobot
skornya saja namun area yang terbentuk juga. Pada area yang menunjukan Z Score
(nilai yang dinormalisasi) tertinggi berada pada daerah paling terakhir area penelitian
dan begitu pula sebaliknya pada peta Probabilitasnya (P).
Peta Hotspot
Dari peta dapat terlihat tiga titik hotspot dengan masing-masing nilai
kepercayaan 95 hingga 99%. Dalam hal ini memang terdapat tiga area
pengelompokan namun yang dapat kita jadikan sebagai area hotspot adalah area
kejadian penyakit yang menunjukan angka 99%, hal ini juga didukung oleh
kenampakan peta sebaran penyakit yang sebelumnya menunjukan area yang berwarna
biru terang. Serat pengelompokan yang bersipat berpusat pada satu area grid.
Area yang ditetapkan sebagai hotspot ini merupakan kawasan tambat kelong
nelayan serta pada beberapa titik ekosistem terumbu karang terdapat beberapa bubu
(alat tangkap) yang sengaja dipasang oleh nelayan untuk menangkap ikan. Di
pinggiran pantai juga ada beberapa pemukiman serta kawasan perairan digunakan
sebagai alur penangkapan nelayan. Kondisi kawasan ini dijadikan sebagai area
Hotspot bisa juga dikarenakan aktifitas yang tinggi di areal pantai yang
memungkinkan terjadinya proses pemindahan sedimen daratan yang akhirnya
terakumulasi di area ekosistem terumbu karang.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanju mengenai hubungan Kelimpahan Bulu
Babi dengan tingkat prevalensi Black Band Disease (BBD), Pengujian DNA secara
menyeluruh pada penyakit karang yang ada di Perairan Kampung Teluk Dalam, Laju
pertumbuhan pada setiap penyakit karang berbeda yang ada di Perairan Kampung
Teluk Dalam serta perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai hubungan
korelasi antara kualitas perairan dengan kejadian penyakit karang dan perlu dilakukan
percobaan untuk menanggulangi penyakit yang sudah terjadi maupun yang mungkin
akan terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar, Muhammad., Bachtiar, Imam., dan Budiyanto, Agus, 2012. Struktur
Komunitas Dan Penyakit Pada Karang (Scleractinia) Di Perairan Lembata,
Nusa Tenggara Timur. P20-LIPI, Jakarta
Anthony et al., 2008. Newly Characterized Distinct Phases Of The Coral Disease
‘Atramentous Necrosis’ On The Great Barrier Reef. Australia
Beeden, R., L.W. Bette, J.R. Laurie, A.P. Cathie, &W.Ernesto. 2008. Underwater
cards for assessing coral health on Indo-Pacific Reefs. CRTR,Melbourne
Australia. 26 pp
Johan et al., 2012. Newly Characterized Distinct Phases Of The Coral Disease
‘Atramentous Necrosis’ On The Great Barrier Reef. Australia.
Johan, Ofri., 2010. Penyebab, Dampak dan Manajemen Penyakit Karang Di
Ekosistem Terumbu Karang. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Perikanan
Budidaya, Jakarta.
NOAA, 2008. Coral Disease. USA. http://oceanservice.noaa.gov Diakses Tanggal 01
Februari 2015.
Raymundo, L.J., Couch, C.S. and Harvell, C.D. 2008. Coral Disease Handbook :
Guidelines for Assessment, Monitoring & Management. Coral Reef Targeted
Research and Capacity Building for Management Program. The University of
Queensland. Australia.
Sabdono et al., 2006. Karakterisasi Molekuler Bakteri Yang Berasosiasi Dengan
Penyakit BBD (Black Band Disease) Pada Karang Acrophora sp. Di Perairan
Karimunjawa. Universitas Diponegoro. Vol 11(3) : 158 – 162.
Tuwo. A., 2011, Pengelolaan Ekowisata Pesisir Dan Laut : Pendekatan Ekologi,
Sosial - Ekonomi, Kelembagaan, Dan Sarana Wilayah. Brilian Internasional,
Surabaya.
Weil, Ernesto., 2001. Caribbean Coral Reef Diseases, Status And Research Needs.
Dept. Marine Sciences, U. of Puerto Rico.
Weil, E., and Hooten, A.J. 2008. Underwater Cards for Assessing CoralHealth on
Caribbean Reef. CRTR Program Project Executing Agency, Center for
Marine Studies. The University of Queensland. Australia.
Abstrak
Mikroalga merupakan organisme uniseluler berukuran mikroskopik dan bersifat fotosintetik,
yang antara lain terdiri dari kelompok Diatom dan Dinoflagellata. Kedua kelompok mikroalga
tersebut memiliki peranan penting yaitu selain sebagai produsen primer, beberapa jenis dari
kelompok tersebut merupakan penghasil toksin yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan
lingkungan. Penelitian telah dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI
Jakarta pada tanggal 25 April 2018, dengan tujuan untuk mengetahui kelimpahan Diatom dan
Dinoflagellata epifitik pada makroalga Padina dan Sargassum,serta faktor lingkungan yang
memengaruhinya. Pengambilan sampel makroalga Padina dan Sargassum dilakukan di dua
stasiun, yaitu sisi selatan dan sisi barat pulau. Pencatatan data parameter lingkungan seperti
kecepatan arus, suhu, salinitas, dan pH juga dilakukan pada masing-masing stasiun.
Pengadukan sampel selanjutnya dilakukan selama satu menit agar mikroalga epifit terlepas
dari makroalga. Sampel air yang telah dipisahkan dari makroalga, selanjutnya disaring dengan
saringan bertingkat dan diamati dengan Sedgewick rafter cells di bawah mikroskop cahaya.
Berdasarkan hasil pengamatan, kelimpahan Diatom dan Dinoflagellata tertinggi terdapat pada
stasiun 2 yang terdapat di sisi barat pulau, yaitu secara berturut-turut sebanyak 3970 sel/ml
makroalga dan 222 sel/ml makroalga. Selain itu, mikroalga lebih banyak ditemukan pada
makroalga Sargassum dibandingkan pada makroalga Padina. Genus dominan yang
ditemukan ialah Navicula dari kelompok Diatom dan Prorocentrum dari kelompok
Dinoflagellata. Penelitian menunjukkan bahwa perbedaan kelimpahan mikroalga epifit di
Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu lebih dipengaruhi oleh faktor morfologi makroalga sebagai
substrat yaitu perbedaan bentuk thallus.
Kata kunci: Diatom, Dinoflagellata, kelimpahan, mikroalga epifit, Pulau Pramuka.
Abstract
Microalgae are microscopic and photosynthetic unicellular organisms, which consist of
Diatom and Dinoflagellate. Both groups of microalgae play vital roles, aside from being a
primary producer, several types of these groups are producers of harmful toxins for human
health and environment. Research has been conducted in Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,
DKI Jakarta on April 25, 2018, to determine the abundance of Diatom and epiphytic
Dinoflagellate in Padina and Sargassum macroalgae, as well as related environmental
factors. Sampling of Padina and Sargassum was carried out at two stations: the south and
west sides of the island. Environmental measurements such as current velocity, temperature,
salinity, and pH were also carried out at each station. Samples were stirred for one minute to
release epiphytic microalgae from macroalgae. After macroalgae was separated, samples
were filtered with multilevel sieves and observed with Sedgewick rafter cells under light
microscope. Based on observation, the highest abundance of Diatom and Dinoflagellate was
found at station 2 (the west side of the island), which were 3970 cells/mL of macroalgae and
222 cells/mL of macroalgae respectively. Furthermore, the most abundant microalgae was
found epiphytic on Sargassum rather than in Padina. Dominant genus found was Navicula
from the Diatom group and Prorocentrum from the Dinoflagellate group. Research showed
that the differences in abundance of epiphytic microalgae is more affected by the differences
in thallus shape of macroalgae as substrate.
Keywords: abundance, Diatom, Dinoflagellate, epiphytic microalgae, Pramuka Island.
I. PENDAHULUAN
Mikroalga secara umum memiliki peran positif yang penting dalam ekosistem
perairan, yaitu sebagai produsen utama dalam rantai makanan dan penyuplai oksigen
perairan melalui proses fotosintesis. Mikroalga juga dapat berperan sebagai
bioindikator perairan (Anderson dkk, 2008; Soeprobowati & Hariyati, 2013). Selain
itu, mikroalga merupakan sumber makanan dikarenakan biomassa mikroalga
mengandung komposisi kimia yang potensial, yaitu memiliki kandungan lipid sekitar
8 – 15 %, protein sebanyak 30 – 50 %, dan karbohidrat yang mencapai 20 - 40 %.
Berdasarkan hal tersebut, mikroalga juga merupakan salah satu sumber energi
terbarukan yang berbasis laut (Richmond & Emeritus, 2013; Barsanti & Gualtieri,
2014).
Akan tetapi, apabila populasi mikroalga tersebut bertambah dengan jumlah
yang melimpah, maka mikroalga akan memiliki peran negatif bagi ekosistem
perairan. Salah satu peran negatif mikroalga tersebut yaitu sebagai penyebab
fenomena Harmful Algal Bloom (HAB). Fenomena tersebut ditandai dengan ledakan
populasi beberapa jenis mikroalga yang bersifat toksik maupun non-toksik (Anderson
dkk. 2002; GEOHAB, 2010; NOAA, 2018).
Berdasarkan cara hidup, mikroalga dapat bersifat epifitik yaitu menempel pada
permukaan tumbuhan. Mikroalga, cenderung menempel pada makroalga sebagai
akibat adanya kompetisi tempat untuk melekat di dasar perairan. Selain itu, mikroalga
dapat memperoleh zat hara dari makroalga apabila kadar zat hara di perairan rendah
(Widiarti dkk. 2016). Mikroalga epifitik mampu membentuk pelindung pada bagian
permukaan thallus makroalga (Suryani, 2000). Hal tersebut memberi keuntungan bagi
makroalga, karena permukaan makroalga akan terlindung dari kerusakan akibat
cahaya matahari yang berlebih.
Berdasarkan hasil penelitian Suryani (2000) di perairan Pulau Karimunjawa,
keanekaragaman mikroalga tertinggi terdapat pada makroalga jenis Padina australis.
Namun, penelitian tersebut tidak secara spesifik membahas pengaruh faktor
lingkungan terhadap kelimpahan mikroalga epifitik pada jenis makroalga tertentu. Hal
tersebut dianggap penting karena beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan
adanya perbedaan kelimpahan mikroalga pada suatu jenis makroalga dengan
membandingkan faktor lingkungannya (Martoni dkk. 2016). Oleh karena itu,
penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan kelimpahan
mikroalga epifitik pada makroalga Sargassum dan Padina serta kaitannya dengan
parameter lingkungan perairan di perairan Pulau Pramuka.
Analisis Data
Kelimpahan Diatom dan Dinoflagellata dihitung menggunakan rumus :
Keterangan :
N = kelimpahan mikroalga epifitik (sel/mL)
n = jumlah sel per mililiter
V = volume air dalam botol (mL)
Vm = volume makroalga (mL)
banyak material organik. Oleh karena kemampuan beradaptasi yang tinggi, Navicula
spp. umum ditemukan dalam perairan bersih hingga tercemar (Widianingsih, 2011).
Sementara itu, genus Dinoflagellata yang dominan ditemukan ialah Prorocentrum.
Prorocentrum umum ditemukan di perairan karena memiliki toleransi yang luas
terhadap lingkungan yang berbeda (GEOHAB, 2012).
Stasiun 1 Stasiun 2
IV. KESIMPULAN
Perbedaan kelimpahan mikroalga epifit di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,
lebih dipengaruhi oleh faktor bentuk thallus makroalga sebagai substrat. Parameter
lingkungan tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap perbedaan kelimpahan
mikroalga antar stasiun.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, D.M., P.M. Gilbert & J.M. Burkholder. 2002. Harmful Algal Blooms and
Eutrophication: Nutrient Sources, Composition, and Consequences. Estuaries
28 (4b) : Hlm 704--726.
Anderson. D.M., J.M. Burkholder, W.P.Cochlan., P.M. Gilbert, C.J. Gobler, C.A. Hei,
R.M. Kudela, M.L. Parsons, W.P. Cochlan, C.J. Gobler, C.A. Heil, J.E.J.
Rensel, D.W. Townsend, V.L. Trainer & G.A Vargo. 2008. Harmful Algal
Blooms and Eutrophication: Examining Linkages from Selected Coastal
region of the United Stated, Harmful Algae8 : Hlm 39--53.
GEOHAB. 2010. Harmful Algal Blooms in Asia: A Regional Comparative
Programme. IOC and SCOR. Paris and Newark: i + 67 hlm.
GEOHAB. 2012. Global Ecology and Oceanography of Harmful Algal Bloom.
Science Plan. P. Gilbert and G.Pitecher (eds) SCOR and IOC, Baltimoreand
Paris. 86p.
Lutfiawan, 2015. Analisis Pertumbuhan Sargasum sp. dengan Sistem Budidaya Yang
Berbeda di Teluk Ekas Lombok Timur Sebagai Bahan Pengayaan Mata Kuliah
Ekologi Tumbuhan. Jurnal Biologi Tropis, vol 15 (2) : 135 – 144.
Marianingsih, P., E. Amelia & T. Suroto. 2013. Inventarisasi dan identifikasi
makroalga di perairan Pulau Untung Jawa. Prosiding SEMIRATA. Universitas
Lampung, Lampung, 10-12 Mei 2013.
Martoni, P., A. Pratomo & R.D. Putra. 2016. Identifikasi Mikroalga Epifit pada Daun
Lamun (Enhalus acoroides) di Perairan Senggarang Kota Tanjungpinang.
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji.
NOAA. 2018. Why do harmful algal blooms occur? 1 hlm.
https://oceanservice.noaa.gov/facts/why_habs.html. Diakses tanggal 18
November 2019 pk. 21.00 WIB.
Richmond, A. & Emeritus. 2013. Handbook of Microalgal Culture Applied Phycology
and Biotechnology. Wiley-Blackwell.
Suryani, D.R. 2000. Hubungan Antara Keanekaragaman dan Populasi Mikroalga
dengan Luas Thalus Makroalga. Undergraduate thesis, FMIPA UNDIP.
Widianingsih, K.S., R. Hartati & S.Y. Wulandari. 2011. Komposisi Jenis dan
Kelimpahan Diatom Bentik Muara Sungai Comal Baru Pemalang. Ilmu
Kelautan, vol 16 (1) : 16-23. Maret 2011.
Widiarti, R., R.K. Pudjiarto, I. Fathoniah & A.P.W. Adi. 2016. Dinoflagellata epifitik
pada makroalga yang berpotensi menyebabkan Ciguatera Fish Poisoning di
perairan Pulau Weh, Aceh. PROS SEMNAS MASY BIODIV INDON 2 (1) : 97
– 102, September 2016.
Win, N.N., T. Hanyuda, S.G.A. Drasima, P.E. Lim, S.M. Phang & H. Kawai. 2013.
Taxonomy of the genus Padina (Dictyotales, Phaeophyceae) based on
morphological and molecular evidences, with key to species identification.
Taxonomy of Southeast Asian Seaweeds. Hlm : 119 — 174.
Abstrak
Pantai Kukup merupakan salah satu tujuan wisata yang semakin populer di Gunung Kidul,
Yogyakarta. Hal ini dapat berdampak pada biodiversitas ikan di zona intertidal pantai.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan biodiversitas famili ikan di zona
intertidal Pantai Kukup. Pengambilan data menggunakan purposive random sampling
dilakukan pada bulan Juni 2018 di dini hari saat pasang surut. Famili ikan yang diperoleh
dibandingkan dengan data sampling 2014 dan 2016. Empat famili ikan yaitu Acanthuridae,
Chaetodontidae, Gobiidae dan Pomacentridae ditemukan. Terdapat 12 famili ikan yang
ditemukan pada tahun 2014 dan enam famili ikan pada tahun 2016. Ada penurunan
penurunan biodiversitas famili ikan yang ditemukan di zona intertidal Pantai Kukup. Hal ini
dapat disebabkan oleh jumlah pengunjung yang naik pantai setiap tahun. Penelitian berkala
diperlukan untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Penelitian lebih lanjut mengenai
korelasi antara peningkatan jumlah wisatawan dengan perubahan biodiversitas di zona
intertidal Pantai Kukup juga diperlukan.
Kata kunci: Acanthuridae, Gobiidae, Pomacentridae, Biomonitoring
Abstract
Kukup Beach is increasingly becoming a popular tourist destination in Gunung Kidul,
Yogyakarta. However, this may have impact on the biodiversity of the fish families in
intertidal zone of the beach. This study aims to assess the biodiversity changes of fish families
in intertidal zone of Kukup beach. Purposive random sampling was carried out in June 2018
in the morning during low tide. The obtained families were compared to 2014 and 2016
sampling data. The results showed that four families of Acanthuridae, Chaetodontidae,
Gobiidae and Pomacentridae were found. Eleven families were found in 2014, while six
families were found in 2016. There is a decline in the biodiversity of fish families in intertidal
zone of Kukup beach. This can be caused by the increasing number of beach visitors
everyyear. Periodic research is required for a more accurate assessment. Further study
related to correlation between the increasing numbers of tourist in Kukup Beach and the
biodiversity changes in the intertidal zone is also required.
Keywords: Acanthuridae, Gobiidae, Pomacentridae, Biomonitoring.
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara dengan biodiversitas pesisir dan laut
yang tinggi. Panjang garis pantai, luas area laut secara keseluruhan (Wafar et al.,
2011) serta terumbu karang Indonesia yang termasuk ke dalam Coral Triangle (Veron
et al., 2011) merupakan beberapa faktor yang berkontribusi pada tingginya
Gambar 1. Jumlah famili ikan di zona intertidal Pantai Kukup pada tahun 2014
(Fahrunida et al., 2015), 2016 dan 2018.
Terdapat 11 famili ikan yang ditemukan pada tahun 2014 (Fahrunida et al.,
2015), enam famili pada tahun 2016 dan empat famili pada tahun 2018 (Gambar 1).
Acanthuridae, Chaetodontidae, Gobiidae, dan Pomacentridae merupakan famili ikan
yang ditemukan pada tahun 2018. Apogonidae dan Blenniidae tidak ditemukan pada
tahun 2018. Chaetodontidae tidak ditemukan pada tahun 2016. Clinidae, Kuhliidae,
Labridae, Mugilidae dan Pomachantidae hanya ditemukan pada tahun 2014.
Muraenidae hanya ditemukan pada tahun 2016. Acanthuridae, Gobiidae dan
Pomacentridae ditemukan pada tahun 2014, 2016 dan 2018 (Tabel 1).
Acanthuridae memiliki tubuh kurus dan oval, dengan sirip anal dan dorsal
yang relatif panjang dan kontinu, mulut kecil lancip dan ekor bulan sabit. Gurat sisi
kontinu dan sisik tidak mudah terlihat. Anggota famili ini merupakan penghuni
karang yang sering terlihat. Sebagian besar spesies merupakan pemakan alga bentik
pada siang hari, beberapa merupakan pemakan detritus atau plankton (Allen et al.,
2003). Spesies yang ditemukan pada pengambilan sampel adalah Acanthurus
triostegus.
atau di dekat permukaan memakan plankton yang melayang (Allen et al., 2003).
Spesies yang ditemukan pada pengambilan sampel adalah Chaetodon lunula.
I. ornatus memiliki tubuh bagian atas berwarna abu-abu pucat dan tubuh
bagian bawah berwarna putih serta garis hitam yang tersusun horizontal di samping
tubuhnya. Spesies ini hidup secara soliter atau membentuk kelompok dan dapat
ditemukan pada daerah dengan kedalaman kurang dari 2 m (Allen et al., 2003).
Pomacentridae memiliki tubuh kecil berbentuk oval. Karakteristik famili ini
berupa nostril di kedua sisi moncong, sirip dorsal kontinu, gurat sisi yang terputus dan
ekor berbentuk menggarpu atau lunate. Sebagian besar spesies terdapat di daerah
Indo- Pasifik Barat. Seluruh spesies meletakkan telurnya di sarang yang disiapkan
oleh pasangan jantan atau keduanya. Tubuh individu jantan menjadi lebih gelap atau
menunjukkan bercak putih pada periode nuptial. Courtship dan spawning biasanya
terjadi saat waktu matahari terbit (Allen et al., 2003). Spesies yang ditemukan pada
pengambilan sampel adalah Abudefduf sordidus.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan ditemukan empat famili ikan
yaitu Acanthuridae, Chaetodontidae, Gobiidae dan Pomacentridae. Terdapat
penurunan famili ikan yang ditemukan dibanding tahun 2014 dan 2016 yaitu 11 dan
enam famili berturut- turut. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya peningkatan
pengunjung pantai.
DAFTAR PUSTAKA
Allen G, Steene R, Humann P, DeLoach N. 2003. Reef Fish Identification : Tropical
Pacific. New World Publication, Inc. Jacksonville.
Carpenter KE, Abrar M, Aeby G, Aronson RB, Banks S, Bruckner A, Chiriboga A,
Cortés J, Delbeek JC, Devantier L, Edgar GJ, Edwards AJ, Fenner D, Guzmán
HM, Hoeksema BW, Hodgson G, Johan O, Licuanan WY, Livingstone SR,
Lovell ER, Moore JA, Obura DO, Ochavillo D, Polidoro BA, Precht WF,
Quibilan MC, Reboton C, Richards ZT, Rogers AD, Sanciangco J, Sheppard
A, Sheppard C, Smith J, Stuart S, Turak E, Veron JE, Wallace C, Weil E,
Wood E. 2008. One-third of reef-building corals face elevated extinction risk
from climate change and local impacts. Science 321 (5888): 560-563.
Damayanti A, Ayuningtyas R. 2010. Karakteristik Fisik dan Pemanfaatan Pantai
Karst Kabupaten Gunungkidul. Makara Teknologi 12(2): 91-98.
Deepananda KHMA, Macusi ED. 2013. Human Disturbance in a Tropical Rocky
Shore Reduces Species Diversity. Philipp Scient. 50: 39-58.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Gunungkidul. 2018. Jumlah Wisatawan
Mancanegara dan Domestik di Kabupaten Gunungkidul, 2011‒2016. Badan
Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul. https://gunungkidulkab.bps.go.id.
Diakses 29 Oktober 2018.
Fahrunnida F, Utama IV, Hanin NNF, Sari DN, Astuti RD, Izudin MI, Fadholi HP,
Aryandari R. 2015. In M Rahardjo, A Zahid, RK Hadiaty, E Manangkalangi,
W Hadie, H Haryono, E Supriyono (eds.). Keanekaragaman Famili Ikan di
Zona Intertidal Pantai Kukup, Gunungkidul, Yogyakarta Tahun 2014.
Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8. Jilid 1. Bogor, 3-4 Juni 2014 (pp. 109-
122). Masyarakat Iktiologi Indonesia: Bogor.
Nordlund LM, de la Torre-Castro M, Erlandsson J, Conand C, Muthiga N, Jiddawi N,
Gullström M. 2014. Intertidal Zone Management in the Western Indian Ocean:
Assessing Current Status and Future Possibilities Using Expert Opinions.
Ambio 43(8): 1006-1019.
Veron JEN, DeVantier LM, Turak E, Green AL, Kininminth S, M. Stafford-Smith M,
Peterson N. 2011. The Coral Triangle. In: Coral Reefs: An Ecosystem in
Transisition. Z Dubinsky, N Stambler (Eds.). Springer Science+Bussiness
Media B.V. Berlin, pp. 47-55.
Wafar M, Venkataraman K, Ingole B, Khan SA, Loka Bharathi P. 2011. State of
Knowledge of Coastal and Marine Biodiversity of Indian Ocean Countries.
PLos One 6(1): e14613.
Yulianto, A. 2017. Analisis Daya Tarik Objek Wisata Favorit Berdasarkan Jumlah
Pengunjung di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Media Wisata 15(2): 555-
567.
Abstrak
Pencarian mikrobia untuk remediasi polutan logam berat terus dilakukan karena terus
meningkatnya pencemaran di ekosistem akibat industrialisasi. Penelitian ini dilakukan untuk
mengisolasi bakteri yang toleran terhadap logam berat dari sedimen mangrove. Isolasi bakteri
dilakukan dengan metode pour plate dan dipurifikasi menggunakan medium marine agar
(MA). Skrining isolat bakteri toleran logam berat dilakukan dengan menumbuhkan isolat
pada medium MA dengan penambahan logam berat Pb 100 ppm. Selain itu, dilakukan
penentuan minimum inhibitory concentration (MIC) terhadap isolat yang toleran Pb, Cu, dan
Cd dengan penambahan logam berat pada konsentrasi 50-1000 ppm. Hasil isolasi diperoleh
48 isolat bakteri yang kemudian diuji kemampuan toleran terhadap logam berat. Uji skrining
menunjukkan isolat PGD1A, PGD5A, PGD22A, PGD1B, PGD9B, PGD5C, PGD6C, TJU1,
TJU5, dan TJU7 bersifat resisten terhadap logam berat. Hasil menunjukkan isolat bakteri
yang diisolasi dari sedimen mangrove memiliki nilai MIC yaitu 800-900 ppm untuk Pb, 100-
800 ppm untuk Cu dan 100-200 ppm untuk Cd. Hal ini mengindikasikan bahwa isolat tersebut
dapat digunakan secara efisien untuk penghilangan logam berat dari ekosistem.
Kata kunci: Isolat bakteri, konsentrasi minimun penghambatan, logam berat, toleran
Abstract
Microbial searches for remediation of heavy metal pollutants continue to be carried out due
to the increasing pollution in the ecosystem as a result of industrialization. This research was
conducted to isolate bacteria that are tolerant of heavy metals from mangrove sediments.
Bacterial isolation was carried out by pour plate method and purified using marine agar
(MA) medium. Screening of heavy metal tolerant bacterial isolates was carried out by
growing isolates on MA medium with the addition 100 ppm of Pb. In addition, the
determination of minimum inhibitory concentration was performed on the isolates were
tolerant to Pb, Cu, and Cd by addition of heavy metals with concentrations of 50-1000 ppm.
The isolation results obtained 48 bacterial isolates which was tested for tolerant ability to
heavy metals. Screening tests showed that PGD1A, PGD5A, PGD22A, PGD1B, PGD9B,
PGD5C, PGD6C, TJU1,TJU5, and TJU7 isolates were heavy metal resistant. The results
showed that bacterial isolated from mangrove sediments had MIC values of 800-900 ppm for
Pb, 100-800 ppm for Cu, and 100-200 ppm for Cd. This indicates that the isolate can be used
efficiently for removal of heavy metals from the ecosystem.
Keywords: Isolate bacteria, heavy metals, minimum inhibitory concentration, tolerant
I. PENDAHULUAN
Saat ini, pertumbuhan industrialisasi menyebabkan peningkatan pembuangan
limbah industri ke lingkungan. Akumulasi logam berat pada tanah, air tanah, sedimen,
air permukaan dan udara memberikan dampak yang sangat berbahaya. Hal ini
disebabkan karena logam berat tidak dapat dipecah menjadi bentuk tidak beracun
sehingga memiliki efek jangka panjang pada ekosistem. Konsentrasi tinggi semua
logam berat memiliki efek merusak pada lingkungan (Cheng, 2003). Logam berat
beracun seperti Hg, Cr, Cu, Zn, Pb, dan Cd tidak memiliki peran biologis tetapi
memiliki dampak toksisitas, mutagenik dan karsinogenik pada manusia dan
organisme lainnya. Menurut penelitian Asha dan Sandeep (2013), pemulihan
ekosistem terkontaminasi polutan telah dilakukan dengan pengembangan teknologi
baru yang menekankan pada penghancuran polutan dibandingkan dengan pendekatan
pembuangan konvensional karena berpotensi memasuki rantai makanan.
Proses penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi konsentrasi polutan
dikenal dengan bioremediasi. Bioremediasi merupakan proses alami yang
menekankan pada keanekaragaman hayati untuk pembersihan ekosistem yang
tercemar logam. Mikroorganisme memiliki kemampuan untuk menghasilkan
metabolit yang mampu mendegradasi polutan kompleks menjadi senyawa yang
sederhana. Hal ini disebabkan karena mikroorganisme memiliki resistensi untuk
bertahan terhadap racun logam berat yang ada di lingkungannya (Thassitou &
Arvanitoyannis, 2001). Berbagai penelitian telah melaporkan mekanisme yang
dikembangkan oleh mikroba dalam mendegradasi logam berat antara lain serapan
logam, penyerapan dan akumulasi endapan ekstraseluler, mineralisasi dan oksidasi
atau reduksi enzimatik menjadi bentuk tidak beracun, serta penghilangan logam berat
dari sel (François et al, 2012; Monteiro et al., 2012)
Mangrove menyediakan ekosistem yang sangat produktif untuk berbagai
hewan, tanaman dan mikroorganisme karena memiliki keragaman yang tinggi.
Keragaman tersebut menyebabkan kebutuhan nutrien yang tinggi sehingga
mikroorganisme bertanggung jawab terhadap proses degradasi dan pembentukan
senyawa penting dalam aliran karbon pada sedimen hutan mangrove (Holguin et al.,
2001). Distribusi bakteri di hutan mangrove menunjukkan sumber potensial sumber
daya bioteknologi yang baik untuk dieksplorasi, termasuk untuk menemukan strain
baru yang mampu dimanfaatkan dalam bidang industri, pertanian maupun
pembersihan ekosistem dari polutan (Dias et al., 2009). Pada penelitian ini, bakteri
diisolasi dari sedimen mangrove dan diuji kemampuan toleran terhadap beberapa jenis
logam berat (Pb, Cu, dan Cd) sehingga dapat dimanfaatkan nantinya sebagai agen
hayati dalam degradasi logam berat dari ekosistem yang tercemar.
Tabel 1. Lokasi, koordinat geografis dan jenis mangrove pada stasiun pengambilan
sampel sedimen
Koordinat
Lokasi Zona Jenis mangrove
Lintang Bujur
Pengudang Dekat daratan (A) 1.165404 104.496581 Xylocarpus granatum
(PGD) Tengah (B) 1.165731 104.497082 Ceriops tagal
Dekat laut (C) 1.166025 104.497277 Rhizophora apiculata
Tanjung Uban - 1.034389 104.237826 Rhizophora apiculata
(TJU)
Morfologi koloni
Isolat Bentuk sel Gram
Warna Bentuk Margin Elevasi
PGD1A Putih susu Bulat Rata Cembung Basil Negatif
PGD5A Putih susu Irregular Rata Cembung Coccus Negatif
PGD9B Orange
Bulat Rata Cembung Coccus Negatif
kekuningan
PGD6C Orange Bulat Rata Cembung Coccus Negatif
TJU1 Kuning Irregular Rata Cembung Basil Negatif
IV. KESIMPULAN
Pencarian strain bakteri yang toleran terhadap logam berat penting dilakukan
untuk monitoring pencemaran pada ekosistem. Penelitian menunjukkan bahwa 10
isolat toleran terhadap logam berat Pb pada konsentrasi 700 ppm sedangkan PGD9B
dan PGD6C hingga 800 ppm; isolat PGD1A, PGD5A, PGD9B, dan TJU1 toleran Cu
pada konsentrasi 500 ppm, sedangkan isolat PGD5A dan PGD9B toleran terhadap Cd
pada 100 ppm. Isolat bakteri yang memiliki kemampuan toleran yang tinggi pada
ketiga jenis logam berat adalah PGD1A, PGD5A, dan PGD9B. Isolat bakteri toleran
logam berat tersebut dapat diuji sebagai agen hayati dalam proses bioremediasi logam
berat dari ekosistem tercemar.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini didanai dari dana penelitian Prioritas LIPI melalui program
COREMAP- CTI tahun anggaran 2018.
DAFTAR PUSTAKA
Asha L.P., Sandeep R.S. 2013. Review on bioremediation - potential tool for
removing environmental pollution. International Journal of Basic and Applied
Chemical Sciences, 3(3), 21-33.
Anyanwu, C.U., Nwankwo, S.C., Moneke, A.N. 2011. Soil bacterial response to
introduced metal stress. International Journal of Basic & Applied Sciences,
11(1), 73-76.
Azad, A.K., Nahar, A., Hasan, M.M., Islam, K., Azim, M.F., Hossain, M.S., Rahman,
M.R., Ojha, R.K., Mahmud, G.M.S., Kayes, R. 2013. Fermentation of
municipal solid wastes by bacterial isolates for production of raw protein
degrading proteases. Asian Journal of Microbiology, Biotechnoogy and
Environmental Sciences, 15(2), 365–374.
Cheng, S. 2003. Heavy metal pollution in China: origin, pattern and control.
Environmental Science and Pollution Research, 10(3), 192-198.
Dias, A.C.F., Andreote, F.D., Dini-Andreoteetal, F. 2009. Diversity and
biotechnological potential of culturable bacteria from Brazilian mangrove
sediment. World Journal of Microbiology and Biotechnology, 25(7), 1305–
1311.
François, F., Lombard, C., Guigner, J.-M., Soreau, P., Brian-Jaisson, F., Martino, G.,
Pignol, D. 2012. Isolation and characterization of environmental bacteria
capable of extracellular biosorption of mercury. Applied and Environmental
Microbiology, 78(4), 1097-1106.
Holguin G., Vazquez P., Bashan Y. 2001. The role of sediment microorganisms in the
productivity, conservation, and rehabilitation of mangrove ecosystems: an
overview. Biology and Fertility of Soils, 33(4), 265–278.
Marzan L.W., Hossain, M., Mina S.A., Akter Y., Masudul, A.M., Chowdhury, A.
2017. Isolation and biochemical characterization of heavy-metal resistant
bacteria from tannery effluent in Chittagong city, Bangladesh: Bioremediation
viewpoint.Egyptian Journal of Aquatic Research, 65–74.
Monteiro, C.M., Castro, P.M.L., Malcata, F.X. 2012. Metal uptake by microalgae:
Underlying mechanisms and practical applications. Biotechnology Progress,
28(2), 299-311.
Sá-Pereiraa, P., Rodriguesab, M., Simõesa, F., Dominguesb, L. 2009. Bacterial
activity in heavy metals polluted soils: metal efflux systems in native rhizobial
strains. Geomicrobiology Journal, 281-288.
Thassitou, P., Arvanitoyannis, I. 2001. Bioremediation: a novel approach to food
waste management. Trends in Food Science & Technology, 12(5), 185-196.
Abstrak
Kepulauan Selayar mempunyai wilayah perairan yang produktif dan memiliki potensi sumber
daya laut sehingga perlu di kelola dengan baik. Penelitian ini bertujuan sebagai dasar
informasi kondisi perairandi kepulauan Selayar ditinjau dari kandungan klorofil-adan nutrien
secara spasial dan temporal sebagai acuan pemerintah setempat untuk pengelolaan kawasan
pesisir.Penelitian dilakukan di 29 stasiun perairan pesisir Kabupaten Selayar pada bulan Mei
dan Agustus 2015. Pengukuran suhu dan salinitas menggunakan instrumen Temperatur
Salinitas portabel. Pengukuran nutrien menggunakan metode spektrofotometri sedangkan
pengukuran klorofil-a menggunakan metode fluorometri. Nilai suhu, salinitas, dan pH pada
bulan Mei berturut-turut yaitu 28,398 °C, 33,581 psu, dan dan 8,758 sedangkan pada bulan
Agustus nilainya berturut-turut 26,437 °C, 34,142 psu, dan 8,812. Konsentrasi klorofil-a,
nitrat, fosfat, dan silikat pada bulan Mei berturut-turut yaitu 0,972 mg/m3, 0,080mg/l, 0,014
mg/l dan 0,441 mg/l sedangkan pada bulan Agustus konsentrasi klorofil-a, nitrat, fosfat, dan
silikat berturut-turut yaitu 0,239 mg/m3, 0,033 mg/l, 0,005 mg/l, dan 0,188 mg/l. Rata-rata
nilai suhu, kosentrasi klorofil-a, nitrat, fosfat, dan silikat menurun pada musim Timur
sedangkan rata-rata nilai salinitas dan pH meningkat pada musim Timur.Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perairan Kepulauan Selayar masih termasuk dalam kategori oligotrofik
dengan konsentrasi nutrien berada dalam kategori rendah sampai sedang.
Kata kunci: distribusi spasiotemporal, klorofil-a, nutrien, Selayar.
Abstract
The Selayar Islands have productive water and potential of marine resources so it needs to be
managed properly. This study aimed to inform the condition of the waters of the Selayar
Islandsand to determine the concentration of chlorophyll-a and nutrients spatially and
temporally as the basis for the local government for coastal area management. The study was
conducted at 29 stations of coastal waters Selayar Islands in May and August 2015.
Measurement of temperature and salinity using portable Salinity Temperature instruments.
Nutrient measurements using spectrophotometric methods while measuring chlorophyll-a
using fluorometry methods. The values of temperature, salinity, and pH in May were 28.398 °
C, 33.581 psu, and 8.758,respectively while in August the values were 26.437 °C, 34.142 psu,
and 8.812,respectively. The concentrations of chlorophyll-a, nitrate, phosphate, and silicate
in May were 0.972 mg/m3, 0.080 mg/l, 0.014 mg/l and 0.441 mg/l, respectively, while in
August the concentration of chlorophyll-a, nitrate, phosphate, and silicate 0.239 mg/m3, 0.033
mg/l, 0.005 mg/l, and 0.188 mg/l, respectively. The average temperature value, chlorophyll-a
concentration, nitrate, phosphate, and silicate decreased in the East season while the average
salinity and pH increased in the East season. The results showed that the waters of Selayar
Islands were still in the oligotrophic category with nutrient concentrations in the low to
medium category.
Keywords: spasiotemporal distribution, chlorophyll-a, nutrient, Selayar.
I. PENDAHULUAN
Ekosistem perairan pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan
mempunyai kekayaan habitatberagam, di darat maupun di laut serta saling
berinteraksi. Selain mempunyai potensi besar wilayah pesisir jugamerupakan
ekosistem yang mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan
pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan
terhadap ekosistem perairan pesisir (Dahuri et al., 1996).
Pulau Selayar terletak di Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi
Selatan.Secara geografis, Kabupaten Kepulauan Selayar terletak di antara 5º42’-7º-
35’ Lintang Selatan dan 120º15’ - 122º 30’Bujur Timur. Luas keseluruhan wilayah
mencakup 10.503,69 km2dengan luasdaratan 1.357,03 km2 (12,92% dan luas laut
9.146,66 km2 (87,08%). Wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar terdiri dari 123
(seratus dua puluh tiga) buah gugus pulau besar dan pulau kecil (Coremap, 2006).
Kabupaten Selayar merupakan wilayah kepulauan yang mempunyai perairan
laut seluas 21,1 ribu km2. Wilayah perairannya merupakan daerah tangkapan ikan
(fishing ground) karena mempunyai potensi sumber daya laut terutama berbagai jenis
ikan karang. Sebagai daerah kepulauan, penduduk yang tinggal di sepanjang pesisir
telah menggantungkan hidupnya dari hasil pemanfaatan sumber daya laut (Bandiyono
et al., 2007). Selain itu, perairan pesisir barat Sulawesi Selatan termasuk perairan
yang produktif karena keberadaan mangrove, lamun, dan terumbu karang (Nasir et al.,
2015).
Salah satu parameter penentu produktivitas primer diperairan laut adalah
klorofil-a.Konsentasi klorofil-a sangat bergantung pada kondisi oseanografis
danparameter fisika-kimia seperti intensitas cahaya matahari dan nutrien (Tambaru et
al., 2010). Nutrien merupakan senyawa yang diperlukan untuk proses pertumbuhan
dan perkembangan hidup organisme di laut dan dapat berpotensi membatasi
produktivitas laut dan pesisir (Nasir, 2015; Linus et al., 2016).
Masukkan nutrien di perairan pesisir melalui beragam mekanisme termasuk
run off, deposisi atmosfer, rembesan air tanah, air limbah dan pembuangan limbah
(Wild-Allen & Andrewartha, 2016). Aktivitas manusia telah mempengaruhi secara
negatif kualitas pesisir air dan fungsi ekosistem. Kegiatan antropogenik telah
menyebabkan eutrofikasi yang berdampak buruk terhadap ekosistem lingkungan.
Salah satu dampaknya yaitu peningkatan konsentrasi nutrien dari daratan yang dapat
menyebabkan atau mempercepat hipoksia, anoksia, dan ledakan ganggang (Volkmann
et al., 2016).
Penelitian ini bertujuan sebagai dasar informasi kondisi perairandi kepulauan
Selayar ditinjau dari kandungan nutrien dan klorofil-a secara spasial dan temporal
sebagai acuan pemerintah setempat untuk pengelolaan kawasan pesisir.
2. Nutrien
Sampel air laut diambil dari lapisan permukaan dengan menggunakan
Nansen. Sampel air kemudian ditempatkan di dalam botol polietilen. Sampel
selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring berbahan nitroselulosa
dengan ukuran diameter 47 mm dan ukuran pori 0,45 m. Pengukuran nutrien
berdasarkan metode kolorimetri berdasarkan Strickland dan Parson (1972) dengan
menggunakan Spektrofotometer UV-Vis Biochrom Libra S12. Panjang gelombang
yang digunakan adalah 885 nm untuk fosfat, 543 nm untuk nitrat, serta 810 nm untuk
silikat.
3. Klorofil-a
Metode untuk pengukuran konsentrasi klorofil-a fitoplankton dilakukan secara
fluorometrik mengikuti cara yang dilakukan Cochlan & Hendorn (2012). Sebanyak
0,1 – 1,0 liter air di saring dengan menggunakan filter Whatman CNM berpori 0,45
µm dan berdiameter 25 mm. Untuk mempercepat penyaringan dibantu dengan pompa
vacum dengan kekuatan hisap <30 cmHg. Setelah penyaringan, filter diekstrak
dengan menggunakan larutan aseton 90 % dan selanjutnya disentrifuge pada putaran
4000 rpm selama kurang lebih 30 menit untuk memisahkan antara filtrat dengan
cairan yang mengandung klorofil. Kemudian cairan tersebut dibaca fluororecence-nya
Gambar 2. Distribusi Horizontal Suhu Permukaan Laut di Perairan Selayar pada bulan
Mei dan Agustus 2015
August Salinity(psu)
May Salinity(psu)
Gambar3. Distribusi Horizontal Salinitas di Perairan Selayar pada bulan Mei dan
Agustus 2015
May pH August pH
Gambar 4. Pola sebaran pH di Perairan Selayar pada bulan Mei dan Agustus 2015
August Chlorophyll (mg/m3)
May Chlorophyll (mg/m3)
Gambar5. Pola sebaran klorofil-a di Perairan Selayar pada bulan Mei dan Agustus
2015
Fosfat
Pada bulan Mei pola sebaran horizontal konsentrasi fosfat di lapisan
permukaan relatif homogeny. Konsentrasi fosfat berkisar antara 0,001– 0,083 mg P-
PO4/L dengan konsentrasi rata-rata 0,014 mg P-PO4/L. Konsentrasi tertinggi 0,083
mg P-PO4/L berada pada stasiun yang dekat dengan daratan.Pada bulan Agustus
konsentrasifosfat berkisar antara 0,001 – 0,033 mg P-PO4/L dengan konsentrasi rata-
rata 0,005 mg P-PO4/L. Konsentrasi fosfat ini mengalami penurunan pada bulan
Agustus. Menurut Bricker et al. (2003), konsentrasi fosfat pada bulan Mei berada
pada ambang batas sedangdan pada bulan Agustus berada pada ambang batas yang
rendah.Ortofosfat merupakan jenis nutrien yang memiliki pengaruh paling dominan
terhadap perubahan kelimpahan populasi dan klorofil-a fitoplankton (Tambaru et al.,
2010).Penelitian lain menyebutkan bahwa PO43--P di perairan pesisir Makassar
berkisar antara 0,0062-0,031 mg/l (Nasir et al., 2015).
Gambar 6. Pola sebaran Fosfatdi Perairan Selayar pada bulan Mei dan Agustus 2015
Nitrat
Pola sebaran horizontal konsentrasi nitrat pada bulan Mei memiliki
konsentrasi yang tinggi pada stasiun daerah selatan dibandingkan dengan stasiun
lainnya. Konsentrasi nitrat berkisar antara 0,005 – 0,512mg N-NO3/L dengan
konsentrasi rata-rata 0,080 mg N-NO3/L.Sama hal nya dengan fosfat, konsentrasi
tertinggi nitrat di stasiun yang lokasinya dekat dengan daratan. Pada bulan Agustus
Konsentrasi nitrat berkisar antara 0,002 – 0,086mg N-NO3/L dengan konsentrasi rata-
rata 0,033 mg N-NO3/L. Konsentrasi nitrat menurun pada bulan Agustus. Menurut
Bricker et al. (2003), konsentrasi nitrat pada bulan Mei dan Agustus berada pada
ambang batas sedang. Berdasarkan UNEP 2007, ditinjau dari konsentrasi nitrat yang
diperoleh, pada bulan Mei dikategorikan sebagai perairan eutrofik sedangkan pada
bulan Agustus dikategorikan sebagai perairan mesotrofik.
Penelitian lain mengungkapkan konsentrasi nitrat, fosfat, dan klorofil-a di
perairan barat Sulawesi Selatan yang meliputi perairan Kota Makassar, Kabupaten
Maros, dan Kabupaten Pangkep berturut-turut berkisar antara 0,018–0,418 mg/L,
0,018-0,091 mg/L, dan 0,15-21,37 µg/L.Dari hasil tersebut diduga terjadi pengayaaan
nitrat dan fosfat sedangkan konsentrasi klorofil-a cukup rendah (Faizal et al., 2012).
Gambar 7. Pola sebaran Nitrat di Perairan Selayar pada bulan Mei dan Agustus 2015
Silikat
Pada bulan Mei, pola sebaran horizontalkonsentrasi silikatrelatif homogen,
kecuali untuk stasiun yang berada di daerah selatancukup tinggi dibandingkan dengan
stasiun lainnya. Konsentrasi silikat berkisar antara 0,063 – 1,683 mg Si/L dengan
konsentrasi rata-rata 0,441 mg Si/L.Konsentrasi tertinggi silikat ditemukan di lokasi
yang sama dengan konsentrasi nitrat tertinggi. Tingginya konsentrasi silikat di stasiun
tersebut diperkirakan karena lokasi yang dekat dengan daratan dan sedikitnya diatom
yang memanfaatkan silika di stasiun tersebut. Pada bulan agustus konsentrasi silikat
berkisar antara 0,088 – 0,839 mg Si/L dengan konsentrasi rata-rata 0,188 mg
Si/L.Sama hal nya dengan konsentrasi klorofil dan nutrien lainnya, konsentrasi silikat
menurun pada bulan Agustus (Musim Timur).
Gambar 8. Pola sebaran Silikat di Perairan Selayar pada bulan Mei dan Agustus 2015
Penurunan konsentrasi silikat pada musim timur juga dialami oleh penelitian
lukman et al. (2014) dengan konsentrasi silikat pada musim peralihan sebesar 26,2
µM ± 19,4 µMsedangkan pada musim timur sebesar 18,3±3,67 µM. Konsentrasi
silikat terlarut dijumpai tertinggi pada musim hujan yang mengindikasikan pentingnya
aliran silikat dari daratan melalui sungai-sungai ke perairan pesisir hingga ke perairan
dengan salinitas tinggi.Meningkatnya konsentrasi silikat tidak memberi pengaruh
yang kuat pada kelimpahan diatom dan klorofil-a. Studi ini menunjukkan
bahwakonsentrasi silikat terlarut diperairan pesisir Sulawesi Selatan relatif besar
sepanjang tahun dan berada jauh di ataskebutuhan minimum pertumbuhan diatom.
IV. KESIMPULAN
Konsentrasi klorofil-a dan nutrien di Kepulauan Selayar di pengaruhi oleh
musim. Pada saat musim Timur, konsentrasi klorofil-a dan nutrien mengalami
penurunan dibandingkan pada musim peralihan 1. Dilihat dari konsentrasi klorofil-a,
perairan Kepulauan Selayar masih termasuk dalam kategori oligotrofik dengan
konsentrasi nutrien berada dalam kategori rendah sampai sedang.
DAFTAR PUSTAKA
Bandiyono, S, Ngadi, Imron, M &Soetopo, T. (2007). Kondisi Sosial Ekonomi
Masyarakat di Lokasi Coremap II: Kasus Kabupaten Selayar. CRITC-LIPI
Bayhaqi, A., Iskandar, M.R., & Surinati, D.(2017). Pola Arus Permukaan dan Kondisi
Fisika Perairan di Sekitar Pulau Selayar pada Musim Peralihan 1 dan Musim
Timur. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 2(1): 83–95
Bricker, S.B., Ferreira, J. G.,& Simas, T. (2003). An integrated methodology for
assessment of estuarine trophic status. Ecological Modeling, 169,39-60.
Dahuri, R., J. Rais. S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. (1996). Pengelolaan sumber daya
wilayah pesisir dan lautansecara terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta: 305 hal.
Faizal, A, Jompa, J., Nessa, M.N.&Rani, C. (2012). Dinamika spasio-temporaltingkat
kesuburan perairan di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan.Makalah.
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan danKelautan,
Semnaskan–UGM, Yogyakarta.
Hatta, M. (2002). Hubungan Antara Klorofil-a dan Ikan Pelagis. Institut
PertanianBogor. Bogor.
Linus, Y., Salwiyah, & Irawati, N. (2016) Status kesuburan perairan berdasarkan
kandungan klorofil-a di Perairan Bungkutoko Kota Kendari.Jurnal
Manajemen Sumber Daya Perairan, 2(1), 101-111.
Lukman, M., Nasir, A., Amri, K., Tambaru, R., Hatta, M., Nurfadilah, &Noer,
R.J.(2014). Silikat terlarut di perairan pesisir Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu
danTeknologi Kelautan Tropis, 6(2): 461-478.
Nasir, A., Lukman, M., Tuwo, A., & NurFadilah. (2015). Rasio Nutrien Terhadap
Komunitas Diatom-Dinoflagellata Di Perairan Spermonde, Sulawesi Selatan.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 7, 2, 587-601.
Nasir, A., Tuwo, A., Lukman, M., & Usman, H. (2015). Impact of increased Nutrient
on the Variability of Chlorophyll-a in the West Coast of South Sulawesi,
Indonesia. International Journal of Scientific & Engineering Research, 6,
Issue 5.
Rasyid, A. (2011).Distribusi Klorofil-A Pada Musim Timur Di Perairan Spermonde
Propinsi Sulawesi Selatan.Fish Scientiae 1, (2):105-116.
Tambaru, R., Enan, A., Ismudi, M., & Ario, D. (2010). Penentuan Parameterpaling
Dominan berpengaruh terhadap Pertumbuhan Populasi Fitoplanktonpada
Musim Kemarau di Perairan Pesisir Maros Sulawesi Selatan.Prosiding
Simposium Nasional Pengelolaan Pesisir, Laut, dan Pulau-pulauKecil ISBN :
978-979-19034-4-8.
Strickland, J.D.H. & Parsons, T. R. (1972). A Practical Handbook of Seawater
Analysis, Bulletin 167 (Second edition). Fisheries Research Board of Canada.
Ottawa. 310 pp.
Sukoraharjo, S. (2012). Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a di Perairan Selat
Makassar: Pendekatan Wavelet. Jurnal Segara8, (2).
United Nations Environment Programme. (2007). Approaches to The Assessment of
Eutrophication in Mediteranian Coastal Waters (First Draft).
Volkmann, C., Halbedel, S., Voss, M.&Schubert, H. (2016).The role of dissolved
organic and inorganic nitrogen for growth of macrophytes in coastal waters of
the Baltic Sea. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology477 :23–
30.
Abstrak
Indonesia memiliki garis pantai kedua terpanjang di dunia dimana pencemaran sampah laut
(marine debris) merupakan salah satu masalah utamanya.Pencemaran sampah laut umumnya
disebabkan oleh faktor antropogenik (aktivitas manusia) yang mengancam keberlanjutan
hidup biota laut, kesehatan penduduk pesisir, dan sektor pariwisata. Permasalahan ini
merupakan ancaman serius bagi ekosistem pesisir di Indonesia, salah satunya adalah Pantai
Tanjung Bunga, Pangkalpinang. Sehingga, penelitian ini bertujuan untuk dapat memperoleh
informasi kondisi sampah laut (marine debris) yang ada di Pantai Tanjung Bunga.
Pemantauan dan penyelidikan langsung di lapangan telah dilakukan pada 1 September 2018
yang diikuti oleh peneliti Universitas Bangka Belitung (UBB) dan Institut Teknologi
Bandung (ITB). Data yang diperoleh akan dibandingkan dengan hasil survei Dinas
Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada 21-22 November 2017.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pedoman UNEP/IOC untuk
survei dan monitoring sampah laut (Chesire et al., 2009). Berdasarkan sampling sampah
yang dilakukan diperoleh berat total sampah adalah sebesar 1.26 kg yang didominasi oleh
dua tipe sampah yakni plastik dengan prosentase sebesar 55% dan karet sebesar 13%.
Selanjutnya, tingkat kerapatan sampah tertinggi di Pantai Tanjung Bunga adalah sampah
plastik sebesar 6.6 buah/meter2 dan kertas 3.4 buah/meter2. Apabila kita uraikan lebih lanjut,
jenis sampah plastik yang terbanyak di Pantai Tanjung Bunga adalah sampah tali plastik (PL
19) yang diperkirakan dari sisa perahu nelayan dan pembuatan ponton apung timah laut di
sekitar Pantai Tanjung Bunga.
Kata kunci: Pencemaran Laut, Sampah Laut, Pantai Tanjung Bunga, Pangkalpinang
Abstract
Indonesia is the second longest coastline in the world wheremarine debris is one of the main
problems. The marine debris is generally caused by anthropogenic factors which threaten the
sustainability biodiversity, health of coastal society, and tourism sector.This problem is a
serious threat to the Indonesia coastal, one of them is Tanjung Bunga beach, Pangkalpinang.
Thus, this research aims to obtain information related marine debris on Tanjung Bunga
beach. The identification and investigation have been conducted on September 1st 2018 by
researchers of Universitas Bangka Belitung (UBB) and Institut Teknologi Bandung (ITB).
The obtained data will be compared with the survey results of the Dinas Lingkungan Hidup
(DLH) of Bangka Belitung Province on 21-22 November 2017. The methodology used in this
study refers to the IOC/UNEP guidelines for the survey and monitoring of marine litter
(Chesire et al., 2009). Based on the sampling, obtained the total weight of litter is 1.26 kg
which is dominated by plastic with a percentage around 55% and 13% of rubber.
Furthermore, the highest debris density on Tanjung Bunga beach is plastic around 6.6
pieces/meter2and 3.4 pieces/meter2 for paper waste. Furthermore, most types of plastic waste
on Tanjung Bunga beach is plastic cord (PL 19) estimated from exile the fishing boats and
floating pontoon around the Tanjung Bunga beach.
Keywords: Marine Pollution, Marine Debris, Tanjung Bunga Beach, Pangkalpinang.
I. PENDAHULUAN
Wilayah pesisir merupakan daerah yang penting bagi produktivitas biologi,
penyedia makanan, dan kegiatan manusia seperti rekreasi dan transportasi. Akan
tetapi, hal ini berbarengan dengan berbagai aktifitas manusia di wilayah pesisir yang
berpotensi mengganggu kesehatan lautan. Salah satu yang dapat mengubah kualitas
perairan adalah adanya sampah laut (marine debris) yang diakibatkan oleh kegiatan
antropogenik/manusia (Hetherington, et al, 2005). Berbagai macam masalah muncul
akibat adanya marine debris seperti berkurangnya keindahan wilayah pesisir,
menimbulkan berbagai macam penyakit, mempengaruhi jejaring makanan,
berkurangnya produktivitas sumberdaya ikan serta dapat mempengaruhi
keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir (Zulkarnaen dan Adi, 2017). Bila hal
tersebut terjadi dan terus berlangsung, maka pengaruh terhadap rantai makanan,
perekonomian dan kesehatan masyarakat di daerah tersebut tidak dapat dihindari
(Citasari dkk, 2012). Jambeck dkk (2015) melaporkan bahwa peningkatan sampah
laut akan terjadi pada tahun 2025 yang semuanya disebabkan oleh aktivitas
antropogenik.
Hal yang sama terjadi di daerah Pantai Tanjung Bunga Pangkalpinang. Pada
pantai ini terdapat banyak aktivitas manusia yang menyebabkan tumpukan sampah di
pesisir pantai. Aktivitas manusia seperti aktivitas nelayan dan aktivitas masyarakat
setempat menyebabkan banyaknya buangan sampah ke perairan yang akhirnya
berlanjut di pesisir. Buangan sampah yang ada mengakibatkan daerah tersebut
menjadi turun nilai estetika dari laut tersebut. Jika diabaikan, maka berbagai jasa
pesisir dan laut akan terus menurun. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu adanya
penelitian untuk mendapatkan data dan informasi sehingga dapat dimanfaatkan untuk
pengelolaan sampah laut secara berkelanjutan. Sehingga diperlukan identifikasi dan
monitoring jenis marine debris yang ada di Pantai Tanjung Bunga.
Analisis Data
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pedoman
UNEP/IOC untuk survei dan monitoring sampah laut (Chesire dkk., 2009).
Identifikasi jenis sampah laut (marine debris) yang ada di Pantai Tanjung Bunga
Gambar 1. Peta lokasi penelitian dan ilustrasi transek pengambilan sampah laut di
Pantai Tanjung Bunga
Sampah selanjutnya yang paling banyak ditemui setelah sampah plastik adalah
sampah berjenis karet sebesar 13% dan sampah kertas dan logam yang masing-
masing sebesar 9% dari sampah total. Persentase sampah jenis karet banyak
didominasi oleh sampah sendal yang sebanyak 87% dan sampah tali karet sebanyak
13%. Sedangkan, Persentase padatan sampah terbanyak jenis kertas pada sampling
sampah di Pantai Tanjung Bunga adalah dari sampah puntung rokok sebanyak 81%,
kedua didominasi oleh sampah kardus sebanyak 14% dan terakhir sebanyak 5% dari
sampah bungkus rokok. Selanjutnya, persentase sampah jenis logam terbanyak di
Pantai Tanjung Bunga adalah dari sampah korek api sebanyak 83% dan kedua
didominasi oleh sampah kaleng sebanyak 17%.
Apabila kita bandingkan hasil sampling pada 1 September 2018 dengan data
survei Dinas Lingkungan Hidup (DLH) pada 21-22 November 2017 terdapat beberapa
hal yang kita dapat simpulkan mengenai marine debris di Pantai Tanjung Bunga.
Berdasarkan laporan survei DLH pada tahun 2017, padatan sampah terbanyak di
Pantai Tanjung Bunga berasal dari sampah jenis plastik dengan komposisi 49%. Hal
ini menguatkan pernyataan bahwa sampah tali plastik memang dominan di Pantai
Tanjung Bunga baik pada tahun 2017 maupun pada tahun 2018. Berdasarkan
perbandingan persentase sampah plastik, terdapat peningkatan jumlah sampah plastik
di Pantai Tanjung Bunga yang sebesar 49% pada tahun 2017 meningkat menjadi 55%
pada tahun 2018. Permasalahan sampah plastik di Indonesia, bahkan di dunia
memang bukan masalah baru. Jambeck dkk. (2015) menyatakan bahwa Indonesia
masuk dalam peringkat kedua dunia setelah Cina, menghasilkan sampah plastik di
perairan mencapai 187,2 juta ton. Hal ini didukung oleh pernyataan yang mengatakan
bahwa plastik merupakan konsumsi umum pada masyarakat modern, sebagian besar
konsumsi plastik hanya digunakan sekali. Akibatnya tumpukan sampah plastik akan
mencemari lingkungan dan menjadi sampah laut.
Selanjutnya, pada penelitian ini juga akan meninjau kerapatan sampah laut
(marine debris) yang ada di Pantai Tanjung Bunga. Kerapatan sampah per 1m2 di
Pantai Tanjung Bunga disajikan pada Gambar 3. Sampah terbanyak didominasikan
oleh sampah jenis plastik dengan kerapatan 6,6 buah/m2, disusul dengan sampah jenis
kertas sebesar 3,4 buah/m2 dan sampah jenis DLL sebanyak 0,56 buah/m2. Pada
survei DLH pada tahun 2017 diperoleh bahwa kerapatan sampah plastik adalah
sebesar 2,9 buah/m2. Hal ini membuktikan bahwa terjadi penambahan kerapatan tipe
sampah plastik dari tahun 2017 ke tahun 2018. Dari persentase dan kerapatan sampah
214 Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Pamungkas et al.
yang telah didapatkan, kemungkinan besar faktor penyebab sampah tersebut adalah
karena banyaknya aktivitas manusia terutama di bidang penambangan dan nelayan
yang berada di wilayah di Pantai Tanjung Bunga. Faktor aktifitas manusia ini dapat
memicu jumlah kepadatan sampah melalui pembuangan sisa sampah secara
sembarangan di pantai tersebut. Selain itu, memungkinkan juga terdapat sampah yang
berasal dari daerah lainnya di sekitar Pantai Tanjung Bunga yang terbawa oleh aliran
hujan maupun arus laut.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil identifikasi dan monitoring data sampah laut (marine
debris) pada tahun 2017 dan 2018 di Pantai Tanjung Bunga maka dapat ditarik
simpulan sebagai berikut:
1. Sampah laut di Pantai Tanjung Bunga didominasi oleh dua tipe sampah yakni
sampah plastik (55%) dan karet (13%).
2. Kerapatan sampah tertinggi adalah sampah plastik sebesar 6,6 buah/m2 dan
kertas 3,4 buah/m2.
3. Terjadi peningkatan prosentase sampah plastik dari 49% pada tahun 2017
menjadi sebesar 55% pada tahun 2018.
4. Terjadi peningkatan kerapatan sampah plastik dari 2,9 buah/m2 pada tahun 2017
menjadi 6,6 buah/m2 pada tahun 2018.
5. Sampah-sampah tersebut diduga berasal dari limbah rumah tangga dan aktifitas
penambangan timah (TI Apung) di sekitar Pantai Tanjung Bunga,
Pangkalpinang.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih kepada Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung yang telah membantu penelitian ini melalui data-data marine debris di lokasi
Pantai Tanjung Bunga pada tahun 2017 dan seluruh pihak yang mendukung baik
secara langsung maupun tak langsung.
DAFTAR PUSTAKA
Cauwenberghe, L., V., Claessens, M., Vandegehuchle, M., B., Mees, J., and Janssen,
C., R. 2013. Assessment of Marine Debris On The Belgian Continental
Shelf.Marine Pollution Blletin. 73:161-169.
Chandra, B. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran. Hal. 124, dan 144-147.
CSIRO (Ocean and Atmosphere Flaship) 2014. Marine Debris sources, distribution
and fate of plastic and other refuse – and its impact on ocean and coastal
wildlife. www.csiro.au/marine-debris diakses pada pukul 21.38 WIB, tanggal
7 September 2018.
Citasari, N., Nur I.O., dan Nuril A., 2012. Analisis Laju Timbunan dan Komposisi
Sampah di Permukiman Pesisir Kenjeran Surabaya. Prodi S-1 Ilmu dan
Teknologi Lingkungan. Fakultas Sains Dan Teknologi Universitas Airlangga
Surabaya Kampus C, Jalan Mulyorejo, Surabaya 60115, Jawa Timur,
Indonesia. Berkas Penelitian Hayati: 18 (83– 85).
Hetherington J., Leous J., Anziano J., Brockett D., Cherson A., Dean E., Dillon J.,
Johnson T., Littman M., Lukehart N., Ombac J., Reilly K., 2005. The Marine
Debris Research,Prevention and Reduction Act: A Policy Analysis. Columbia
University New York, New York.
Jambeck R., J., Roland G., Chris W., Theodore R., S., Miriam P., Anthony A.,
Ramani N. and Kara L. 2015. Plastic Was Inputs From Land Into The Ocean.
Journal. Science.
Lippiat, S., Opfer, S. and Arthur, C. 2013. Marine Debris and Monitoring Assesment.
NOAA. NOAA. 2015. Turning The Tide On Trash. A Learning Guide On
Marine Debris. NOAA PIFSC CRED.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta.
Pamungkas, Febrina PA, 2014. Analisis Karakter Sampah Plastik di Kecamatan Tebet
dan Alternatif Pengolahannya, Laporan Tugas Akhir, Jurusan Teknik
Lingkungan, FALTL Universitas Trisakti.
Zulkarnaen, Adi, 2017. Identifikasi Sampah Laut (Marine Debris) di Pantai Bodia
Kecamatan Galesong, Pantai Karama Kecamatan Galesong Utara, dan Pantai
Mandi Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar. Laporan Tugas
Akhir, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
Abstrak
Ekosistem mangrove mempunyai arti yang sangat penting, berbagai jenis organisme laut
hidup di kawasan ini, yang dipengaruhi oleh kondisi fisik dan ekologi. Ekosistem ini
mempunyai fungsi antara lain sebagai tempat untuk mencari makan, tempat pemijahan dan
tempat pembesaran, untuk berbagai jenis hewan seperti udang, kepiting dan ikan. Adanya
perbedaan kondisi lingkungan dan setiap lokasi mangrove yang ada di kawasan Kuala
Langsa, Kota Langsa diduga akan berpengaruh terhadap kondisi ekosistem mangrove di
kawasan tersebut, termasuk jenis dan keanekaragaman udang. Penelitian ini memiliki tujuan
untuk mengetahui jenis dan keanekaragaman udang yang ada di ekosistem mangrove Kuala
Langsa, Kota Langsa. Pengambilan sampel udang dilakukan pada bulan Agustus 2018 di
perairan ekosistem mangrove Kuala Langsa, Kota Langsa. Sampel diidentifikasi di UPT
Laboratorium Dasar Universitas Samudra, Langsa. Penentuan lokasi dilakukan dengan
metode purpossive sampling method dan pengambilan data dilakukan dengan menggunakan
metode survei contoh (survey sampling method). Berdasarkan hasil penelitian telah ditemukan
6 spesies udang dari 2 famili, yaitu: Penaeus monodon, Penaeus indicus, Metapenaeus
monoceros, dan Litopenaeus vannamei (Penaeidae); Palaemon sp. (Palaemonidae). Secara
umum spesies yang paling dominan dijumpai adalah Metapenaeus monoceros pada stasiun II
(Alur Badai) sementara yang paling sedikit dijumpai adalah Palaemon sp. pada stasiun III
(Simpang Lhee). Pengelolaan yang dilakukan dalam melestarikan ketersediaan sumberdaya
jenis dan keanekaragaman udang di ekosistem mangrove Kuala Langsa, Kota Langsa adalah
dengan optimalisasi produksi alami, salah satunya adalah produksi dengan penambahan bibit
tebar, pengelolaan sirkulasi sumber air di ekosistem mangrove secara tepat dan pengelolaan
lingkungan dan kualitas air di sekitar kawasan tersebut dengan memperhatikan daya dukung
lingkungannya. Penurunan mutu lingkungan di wilayah pesisir membawa dampak terhadap
produktivitas perairan di ekosistem mangrove khususnya sumberdaya udang yang ada
didalamnya.
Kata kunci: Identifikasi, Keanekaragaman, Kuala Langsa, Mangrove, Pengelolaan, Udang.
Abstract
Mangrove ecosystem has a very significant role. Various kinds of sea creatures live in this
area and are influenced by physical condition, ecology and type of vegetation. Mangrove
ecosystem has several functions, for instance., as a feeding ground, spawning ground and
nursery ground for many types of animals such as shrimp, crab and fish. Different enviroment
condition and area of mangrove in Kuala Langsa Region, Langsa City influence the
mangrove ecosystem condition, including the spesies and diversity of shrimp. The objective of
this study is to find out the spesies and diversity of shrimp in mangrove ecosystem Kuala,
Langsa. The sampling of shrimp was carried out on August, 2018 in Kuala Langsa Region,
Langsa. The samples were then identification in the Primary Laboratory at Samudera
University, Langsa. The method that used was Purposive sampling and the data collection
was conducted using survey sampling method. The result showed that there were 6 species
from crustacea (shrimp) (4 families) such as Penaeus monodon, Penaeus indicus,
Metapenaeus monoceros, dan Litopenaeus vannamei (Penaeidae); Palaemon sp.
(Palaemonidae). Generally, the largest species found in station II (Alur Badai) was Penaus
monoceros,. and the least species in location station III was Palaemon. Management done to
preserve the availability of spesies and diversity shrimp in mangrove ecosystem Kuala
Langsa, Kota Langsa is to optimization natural production, one of them is production by the
addition of sedds stocking, management circuation of the water resources in ecosystem
mangrove precisely and enviromental management and water quality around the area by
taking into account capacity enviroment. The decline in the quality of the environment in
coastal areas effect the productivity waters at ecosystems mangrove especially resources in
shrimp.
Keywords: Identification, Diverstity, Management, Mangrove, Kuala Langsa, Shrimp.
I. PENDAHULUAN
Komunitas mangrove merupakan salah satu ekosistem pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa jenis tumbuhan. Komunitas vegetasi ini biasa ditemukan di
pesisir atau teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung.
Ekosistem yang memiliki daya tarik tersendiri ini memiliki sumberdaya dalam
mengerakkan perekonomian seperti pemanfaatannya sebagai bahan bakar (kayu,
arang), bahan bangunan (balok, papan) dan bahan tekstil, makanan, serta obat-obatan.
Selain itu ekosistem mangrove juga berfungsi secara fisik dimana merupakan
penyangga antara lautan dan daratan untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil,
melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air
laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Dalam hal ini, ekosistem mangrove
berperan sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari
makan, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik, seperti
burung, ular, kera, kelelawar dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah
(Soewardi 1994; Setyawan et al. 2003; Giesen et al. 2006).
Interaksi antar tumbuhan dan hewan pada hutan mangrove mempunyai arti
penting bagi keseimbangan populasi, komunitas dan proses yang terjadi pada tingkat
ekosistem (Tomlinson, 1994). Menurut Hogarth (2007) krustasea merupakan
makrobentos yang memegang peranan penting di vegetasi mangrove, hal ini terlihat
dari berlimpahnya biota tersebut di ekosistem mangrove. Salah satu krustasea yang
dominan terdapat di ekosistem mangrove adalah udang. Staples et al. (1985)
menunjukkan bahwa hasil tangkapan larva dan juvenil udang banyak ditemukan di
tempat pembesaran, yaitu di perairan sekitar hutan mangrove.
Aktivitas makrobentos krustasea dipandang sebagai komponen penting dalam
dekomposisi. Beberapa jenis udang dan invertebrata lain penghuni ekosistem dasar
hutan mangrove merupakan pemakan serasah yang berasal dari daun mangrove.
Secara mekanis, fauna invertebrata tersebut terutama dari jenis kepiting memotong-
motong daun menjadi partikel-partikel yang lebih kecil. Ini berarti akan memperluas
permukaan yang kemudian akan didekomposisi oleh mikroorganisme yang ada, baik
berupa bakteri maupun jamur (Budiman dan Suhardjono, 1992).
Kondisi ekosistem mangrove yang ada di perairan Kuala Langsa, Kota Langsa
Provinsi Aceh memberikan dampak yang signifikan pada pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi masyarakat Kota Langsa, khususnya masyarakat yang ada di
Kuala Langsa. Kawasan hutan mangrove yang dilindungi oleh peraturan daerah atau
qanun Kota Langsa tersebut, berfungsi sebagai ekowisata bagi masyarakat setempat
(BPS, 2012).
Salah satu jenis krustasea yang hidup di ekosistem mangrove adalah udang.
Adanya korelasi positif antara hasil tangkapan udang pada setiap tahun dengan luas
hutan mangrove di seluruh Indonesia (Faisal, 2009). Informasi dan data mengenai
kelimpahan dan keanekaragaman krustasea (udang) di perairan Kota Langsa, Aceh
khususnya di kawasan ekosistem mangrove Kuala Langsa, sampai saat ini diduga
masih belum ada terutama yang dipublikasikan dengan ilmiah. Bahkan kajian maupun
penelitian yang berkaitan dengan keberadaan krustasea (udang) serta tahap-tahap
pengelolaan ekosistem mangrove untuk keberlanjutan sumberdaya udang di daerah
tersebut masih sangat jarang dilakukan.
Survei Pendahuluan
Penentuan lokasi penelitian dengan menggunakan metode purpossive
sampling method. Dasar pertimbangan dari penelitian ini adalah adanya perbedaan
lokasi (wilayah) dan kondisi lingkungan perairan di setiap titik pengambilan sampel
yang ada di Kuala Langsa, Kota Langsa diduga akan berpengaruh terhadap jenis dan
keanekaragaman udang yang ada didalamnya. Dalam penelitian ini ingin
membandingkan beberapa lokasi dengan lokasi pengambilan sampel dan kondisi yang
berbeda, maka secara khusus penentuan lokasi ditentukan pada masing-masing
wilayah vegetasi mangrove yang ada di Kuala Langsa ini.
Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian ini terdiri dari 5 tahap, yaitu survei pendahuluan,
pengambilan sampel krustasea (udang), identifikasi sampel, analisa data dan
interpretasi hasil penelitian. Penentuan lokasi penelitian ini terdiri dari 3 lokasi
berdasarkan perbedaan lokasi (wilayah) dan kondisi lingkungan, yaitu lokasi yang
pertama, selanjutnya disebut sebagai stasiun I, yaitu daerah KM 6 Kuala Langsa
dimana merupakan lokasi vegetasi mangrove yang berdekatan dengan pabrik
pembuatan dan perakitan perahu boat fiber milik Kementerian Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia. Lokasi yang kedua, selanjutnya disebut sebagai stasiun
II, merupakan daerah Alur Badai, Kuala Langsa dengan vegetasi mangrove yang
relatif tidak banyak dijangkau masyarakat dan kondisi perairan tenang. Lokasi ketiga,
selanjutnya disebut sebagai stasiun III, merupakan daerah Simpang Lhee, Kuala
Langsa dimana vegetasi mangrove relatif tidak terlalu rapat dan diperkirakan berumur
1 tahun dengan lokasi yang merupakan jalur lalu lintas pelayaran padat menuju masuk
dan keluarnya perahu dan kapal ke pelabuhan Kuala Langsa, daerah ini merupakan
tempat pertemuan air yang masuk dari permukiman warga dan jalur pelayaran menuju
laut lepas.
Metode pengambilan sampel udang diambil dengan menggunakan jaring
tanggok (phok) dengan mata jaring berukuran 1 cm dan diameter 100 cm. Pada
masing-masing lokasi penelitian dilakukan pengambilan sampel krustasea (udang)
dengan menggunakan jaring anco tersebut sebanyak 3 kali pengulangan selama 4
minggu dalam kurun waktu 1 bulan (4 x). Pengambilan sampel dilakukan pada saat
air laut surut (pagi hari). Sampel udang yang didapat kemudian dibersihkan,
dikelompokan menurut bentuk morfologi yang sama/mirip, diukur panjang, diambil
contoh perwakilan jenis dan difoto, kemudian dimasukan kedalam botol sampel yang
sudah diberi label yang berisi informasi mengenai tanggal, lokasi pengambilan dan
diawetkan dengan alkohol 70 % (Pratiwi, 2008). Selanjutnya parameter lingkungan
yang diukur sebagai data pendukung meliputi suhu, salinitas, pH dan kecerahan.
Pengambilan data suhu perairan menggunakan termometer, pengambilan data
salinitas menggunakan refraktometer dan pengambilan data pH menggunakan pH
meter.
Pengambilan data suhu, salinitas, pH dan kecerahan dilakukan 1 kali selama
penelitian, pada tiap – tiap lokasi dengan 2 kali pengulangan waktu yaitu pada pagi
dan sore hari. Proses identifikasi sampel Sebagai proses awal identifikasi, sampel
krustasea (udang) langsung dibawa ke UPT. Laboratorium Dasar Universitas
Samudra, Langsa untuk dilakukan pemotretan dan menunggu selesainya tahap
pengambilan sampel udang di lokasi penelitian Kuala Langsa, Kota Langsa.
Analisa Data
Kelimpahan adalah suatu cara untuk menghitung jumlah individu biota di
dalam suatu perairan yang dapat dinyatakan sebagai jumlah individu per satuan luas
areal (Odum, 1993). Menurut Yasman (1998) rumus Kelimpahan (A) adalah sebagai
berikut:
A=
Keterangan :
A = Kelimpahan (jumlah ind./ 100 m²)
Xi = Jumlah individu dari jenis ke-i
ni = Jumlah luasan jaring tonggok 100 cm jenis ke-i ditemukan
Dalam penelitian ini nilai kelimpahan adalah jumlah individu per satuan luas
10 m² dari 10 m x 10 m luas titik sampling yang digunakan untuk mengambil sampel
udang di lokasi penelitian.
Indeks keanekaragaman adalah suatu karakteristik dari suatu komunitas yang
menggambarkan tingkat keanekaragaman jenis dari organisme yang terdapat dalam
komunitas tersebut (Odum, 1993). Dalam penelitian ini, rumus yang digunakan
Shannon-Wienner (Odum, 1971), yaitu:
H’ =
Keterangan :
H′ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner
∞ = Jenis ke-
ni = Jumlah individu jenis ke-i
cenderung tinggi jika jumlah individu dari masing-masing jenis udang kurang lebih
adalah sama dan begitu juga sebaliknya (Odum, 1993). Selain itu diduga juga
dipengaruhi oleh jumlah individu udang yang berbeda pada masing-masing stasiun.
Arinardi et al., (1997) menjelaskan bahwa jika nilai indeks keanekaragaman semakin
tinggi, maka komunitas hewan diperairan tersebut semakin beragam dan tidak
didominasi oleh satu atau dua jenis saja.
secara tepat dan pengelolaan lingkungan dan kualitas air di sekitar kawasan tersebut
dengan memperhatikan daya dukung lingkungannya. Penurunan mutu lingkungan di
wilayah pesisir membawa dampak terhadap produktivitas perairan di ekosistem
mangrove khususnya sumberdaya udang yang ada didalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arinardi, O.H, Trimaningsih dan S.H. Riyono. 1997. Kisaran Kelimpahan dan
Komposisi Plankton Predominan di Kawasan Timur Indonesia. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta, 139 hlm.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Langsa. 2012. STATISTIK DAERAH KOTA
LANGSA 2015
Budiman, A. dan Suhardjono. 1992. Penelitian hutan mangrove di Indonesia:
pendayagunaan dan konservasi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Faisal, T. M. 2009. Struktur Komunitas Udang (Kelas Crustacea, Sub Ordo Natantia)
di Ekosistem Mangrove Teluk Awur, Jepara Skripsi, Universitas Diponegoro.
Hogarth, P. J. 2007. The Biology of Mangroves. Oxford University Press Inc,. New
York.
Krebs, C.J. 1985. Ecology; The Experimental Analysis of Distribution and Abudance.
Harper and Row publisher. New York, 799 pp.
Odum, E. P. 1993. Dasar - Dasar Ekologi. Gramedia. Jakarta.
Pratiwi, R. 2008. Modul Sosialisasi Pelatihan Sumberdaya Manusia Kelautan
Indonesia (PSM-TKI). P2O LIPI. Jakarta.
Soewardi K. 1994. Silvofishery technology development in the north coast of West
Java, Indonesia. Third International Seminar on Experience of Sustainable
Agriculture Development in South East Asia (ESA III), Univ. Khon Kaen,
Khon Kaen, Thailand.
Staples, D., D. Vance dan D. Heales. 1985. Habitat requirements of juvenile penaeid
prawns and their relationship to offshore fisheries. Dalam: Second Australian
national prawn seminar, CSIRO, Cleveland.
Suryabrata, S. 1993. Metodologi Penelitian. Rajawali Press. Jakarta.
Tomlinson, P. B. 1994. The Botany of Mangrove. Cambridge University Press.
Cambridge, U. K.
Abstrak
As in the case of other endopsammon in other region, endopsammon that lived in the area of
West Bali National Park possibly was strongly influenced by a wide variety of habitat pattern
in marine area of West Bali National Park. Based on this case, the objective of this study is to
find out the influence of the diversity of habitat pattern in West Bali National Park onthe
diversity and the abundanceof endopsammon in that location.In this research,endopsammon
sample was collected from 25 stations. Each station representedone habitat pattern.There were
several steps to collect data for endopsammon species from sand and mud substrate, such as
a) collection of substrate samples by using cores; b) extraction of endopsammon by using a
washing technique; c) preservation in formalin 4 % and staining specimens with rose bengal ,
and d) microscopic observation and identification of species. Data were analysed by
descriptive quantitative, descriptive qualitative data analysis, and statistical data analysis. The
results of this study: a) the highest species diversity of endopsammon was discovered in 22nd
station (H’ = 3.6844, n = 54) ; b) the lowest species diversity of endopsammon was
discovered in 8th station (H’ = 2.4772, n = 16); c) the highest abundance of endopsammon
was discovered in 2nd station (n= 220); d) the lowest abundance of endopsammon was
discovered in 20th station (n=29); e) The habitat pattern had a significant impact on the
diversity of endopsammon species (P value= 0.000, Fvalue = 77.17); f) The habitat pattern
had a significant impact on the abundance of endopsammon species (Pvalue= 0.000, F value=
237.14).
Keywords: endopsammon, species diversity, species abundance, habitat pattern.
I. INTRODUCTION
Marine ecosystemconsists of biotic and abiotic components that influence
each other and constitute a single entity that cannot be separated from each other.
From all of the biotic componentsexisted, the most interesting component to
investigate is the endopsammon which is a small animal benthos group ( 1.0
millimeters) live in between the substrate or sediment granules from the base or edge
of an aquatic area including the sea. Because it lives on the sidelines of the substrate
granules, the endopsammon is also commonly called interstitial fauna (Nybakken,
1988).
As an interstitial fauna, endopsammon is a marine biota that is not well known
by most people than other marine biota such as fish, turtles, shrimp, crabs, squid,
snails, and coral. This is because the body size of the endopsammon is very small, its
position is hidden in the substrate, and it has not direct economic benefit for human
welfare. Endopsammon is generally only known by scientists who pursue the field of
marine biology and ecology.
Although economically it does not provide direct benefits to humans,
ecologically this endopsammon play an important role in marine ecosystems. The
ecological role of this endopsammon directly or indirectly contributes to determine
the existence of other biota such as fish, turtles, shrimp, crabs, squid, snails and coral
that have high economic value for humans. Several important roles of endopsammon
224 Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Swasta
including; 1) as one of the links in the food chain in the marine ecosystem; 2) as the
perpetrator of the recycling and remineralization process of organic material at the
bottom of the waters; 3) as a member of the benthos community which can contribute
interactively to other biota through competition, symbiosis, predation, and association
(Giere, 1993; Lee and Anderson, 1991).
Regarding the important role of endopsammon in various ecological processes
in the marine ecosystem, it is appropriate that this endopsammon scientifically
receives proper attention as well as other marine biota. Scientifically, many things can
be learned from the life of this endopsammon. From various aspects concerning the
life of this endopsammon, the ecological aspect is one aspect that is quite interesting
to be examined. This view is based not only on the understanding of the ecological
role of the endopsammon but also by the existence of facts about the development of
benthology that directs the endopsammon to be used as a bio-indicator in assessing
the environmental conditions of marine waters. Various researches on environmental
toxicology have begun to look at aspects of diversity and abundance of endopsammon
as bioindicators about the presence or absence of pollution in the aquatic environment
(Montagna et al., 2002).
In relation to the role of the endopsammnon as a bioindicator, one of
interesting problems to investigate is the extent to which the variety of habitat patterns
can affect the diversity and abundance of endopsammon, especially in the area of
West Bali National Park. In this case, it needs to be discovered and studied how the
diversity and abundance of endopsammons that live in 25 habitat patterns in the West
Bali National Park.
The objective of this study is to determinethe effect of the variety of habitat
patterns onthe diversity and abundance of endopsammon, especially in the area of
West Bali National Park. In other words, it can be stated that the aim of this study is
to find out whether diversity and abundance of endopsammon appear to be related to
the variety of habitats they inhabit.
The main benefit that can be obtained from the results of this study is to enrich
scientific information related to endopsammon ecology, especially concerning the
relationship between habitat patterns and the diversity and abundance of
endopsammon. Secondary benefit from this study is the availability of information
about the state of biota, especially the endopsammon community in the West Bali
National Park area that can be used as a data base by the West Bali National Park for
the management and conservation of the area.
II. METHODS
Research on the diversity and abundance of endopsammon was designed in
the form of field survey research conducted at 25 stations in the West Bali National
Park area. Each of the 25 stations represented a specific endopsammon habitat pattern,
so there were 25 endopsammon habitat patterns that include in the sampling area. The
25 habitat patterns such as; ; 1) upper coral sandy beach; 2) middle coral sandy beach;
3) lower coral sandy beach; 4) upper coral sandy beachmixed with silicate; 5) middle
coral sandy beach mixed with silicate ; 6) lower coral sandy beach mixed with
silicate; 7) upper silicate sandy beach; 8) middle silicate sandy beach; 9) lower silicate
sandy beach; 10) upper silicate sandy beach mixed with mud; 11) middle silicate
sandy beach mixed with mud; 12) lower silicate sandy beach mixed with mud; 13)
upper muddy beach; 14) middle muddy beach; 15) lower muddy beach; 16) mud
beach with Rhizophoravegetation; 17) mud beach with Avicenniavegetation; 18) mud
beach with Sonneratia vegetation; 19) upper river estuary; 20) middle river estuary;
Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018 225
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Study of Endopsammon Diversity and Abundance From Various Habitat Patterns in The Area of...
21) lower river estuary; 22) upper pier beach; 23) middle pier beach; 24) lower pier
beach; and 25) beach with hot springs water.
In this study,samples were collected using plastic pipe cores with a diameter
of 5 cm and a length of 15 cm which were immersed in sand and mud substrate
vertically. Three cores of samples at each station were collectedwith one meter
distance from each other. The extraction of endopsmmon from the sand and mud
substrate was done by repeated washing techniques using filtered sea water.
Preservation of endopsammon samples was conductedby using 4% formalin, while
staining was carried outusing a bare rose. Species identification is carried out through
microscopic observation with 50x magnification.
Severalmeasurement of physical and chemical parameters of endopsammon
habitat at each station including of substrate texture, substrate salinity, organic content
in the substrate, substrate pH, and potential redox in the substrate were carried out.
These variables weremeasuredin the laboratory of the Research Institute for Marine
Aquaculture, Gondol.
Data were analysed using quantitative descriptive approach, qualitative
descriptive approach, the use of diversity index formula (Shannon Wiener), and the
use of inferential t-test statistics (student test) to examine differences in diversity and
abundance of endopsammon between stations. In the quantitative descriptive
approach, there was exposure to the number and abundance of endopsammon
individuals at each station and throughout the region, while in qualitative descriptive
the exposure of endopsammon species composition at each station and throughout the
region was carried out.
Composition Abundance
Group Number Number Density
(%) (%)
of Species (S) of Individu (n) (Ind/m3)
Rotifera 2 1.36 2 0.08 271.76
Priapulida 1 0.68 2 0.08 271.76
Loricifera 1 0.68 1 0.04 135.88
Kynorincha 1 0.68 1 0.04 135.88
Echinodermata 1 0.68 2 0.08 271.76
Insecta 1 0.68 1 0.04 135.88
Total 147 100 2269 100 308311.72
Based on the result in Table 1, it can be seen that; a) the highest number of
species was found at station 22, which was 54 species or 36.73%, while the least
number of species was found in station 8, which was 16 species or 10.88% of 147
species; b) the highest number of individuals found in station 2 with 220 individuals
or 9.69%, while the least number of individuals was found in station 20 with 29
Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018 227
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Study of Endopsammon Diversity and Abundance From Various Habitat Patterns in The Area of...
individuals or 1.27% of the 2269 existing individuals; c) the highest diversity index
was found at station 22 (α = 3.684), while the smallest diversity index was found at
station 8 (α = 2.477). The similar data of this study also can be illustrated in the form
of a bar chart, as follows.
60
50
40
30
S
20
10
0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25
Station
250
200
150
N
100
50
0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25
Station
habitat patterns and conditions, the range of environmental physical and chemical
parameters, structure and volume of space, biotic environment and resources.
Differences in habitat patterns and conditions can be indicated by differences in
substrate types, differences in existing vegetation, differences in conditions associated
with tidal gradients, differences in the presence or absence of pollutants. Differences
in physical and chemical parameters can be shown by differences in salinity,
temperature, potential redox, pH, and dissolved oxygen. Biotic environmental
differences can be shown by differences in the fauna and flora that surround it. The
difference in resources can be indicated by differences in the content of organic
matter and perhaps also by differences in the type and density of microorganisms and
microorganisms, as well as differences in the content of detritus and deposits.
The existence of station pairs did not show a significant difference in terms of
carrying capacity towards the diversity and abundance ofendopsammon,but
ecologically it showed the similarity in terms of various ecological variables
determined the presence of endopsammon. Related to the concept of carrying
capacity, Kreb (1978) implied that habitat carrying capacity, adaptability and species
tolerance, and interaction with the biotic environment were determinants of the
creature's abundance and abundance. Understanding of creatures in this context
includedendopsammon.
The Effect of Habitat Patterns on the Endopsammon Abundance
The results showed that coral habitat had a significant influence on the
abundance of endoopsammon. This was shown by the results of the t-test (student
test) on the data of abundance of endopsammon in 25 habitat patterns. The results
showed that the P-values = 0.000 and F = 273.14. The influence of habitat patterns on
the abundance of endopsammonbecause habitat is the closest environment and is
always attached to the existence and activity of endopsammon. In addition, the habitat
with all its attributes is a place for the endopsammon to get all the needs. Habitat also
provides space for endopsammons to carry out all their life activities. In short, it can
be stated that the habitat with all its attributes together with the endopsammon that
lives in it is a unit that is functionally bound and interacts with each other. According
to Odum (1971), habitat was a combination of various physical and chemical
variables that related directly to creatures and determined the existence and
abundance of creatures.
In terms of the mechanism, the way habitat patterns affect the abundance of
endopsammon is by modifying various ecological variables that directly determine the
presence of species and their abundance. Habitat pattern performance in forming and
modifying these ecological variables was determined by the performance of each
component that forms the habitat pattern. Some of the components that made up the
endopsammon habitat pattern in the intertidal zone in the West Bali National Park
area were various substrate types, topography and tidal gradients, mangrove
vegetation, river estuaries, docks along with related infra structures, and hot springs.
REFERENCES
Alongi, D.M., 1998. Coastal Ecosystem Processes, Boca Raton, CRC Press.
Boaden, PJ.S and R. Seed, 1985. An Introduction to Coastal Ecology,
Glasgow New Zealand , Blackie and Sons, Ltd.
Brafield, A.E, 1983. LifeIn Sandy Shores, London, Edward Arnold Publisher, Ltd..
Giere, O, 1993. Meiobenthology, the Microscopic Fauna in Aquatic Sedimen, Berlin,
Springer-Verlag.
Gosner, K.L, 1971. Guide to Identification of Marine and Estuarine Invertebrates,
New Jersey, A Wiley Interscience Publication.
Higgins, R.P. dan Thiel, H. , 1988. Introduction to the Study of Meiofauna,
Washington, Smithsonian Institution Press.
Holme, N. A. and A.D. McIntyre, 1984. Methods for the Study of Marine Benthos,
London, Blackwell Scientific Publications.
Jenkin, M., 1983. Seashore Studies, London, George Allen and Unwin Publisher.
Krebs, C.J., 1978. Ecology, The Experimental Analysis of Distribution and
Abundance, New York, Harper and Row Publisher.
Krebs, C.J., 1989. Ecological Methodology, New York, Harper Collins Publishers.
Lee, J. and Anderson, O.R., 1991. Biology of Foraminifera, London, Academic
Press.
Montagna, P.A., Jarvis S.C. and Kenicutt, M.C., 2002. Distinguishing Between
Contaminant and Reef Effect on Meiofauna Near Offshore Hydrocarbon
Platform in the Gulf of Mexico, Canadian Journal of Fish Science59 : 1584 –
1592.
Odum, E.P., 1971. Fundamentals of Ecology, Philadelphia, Saunders College
Publishing.
Abstrak
Pesisir pantai Muara Binuangeun merupakan wilayah pesisir yang kaya akan sumber daya,
salah satunya hutan mangrove. Aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup di daerah
pesisir semakin meningkat, sehingga banyak hutan mangrove yang mulai rusak. Penelitian
mengenai jenis-jenis mangrove di pesisir pantai Muara Binuangeun telah dilaksanakan pada
bulan April 2018. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis mangrove dan sebagai
data dasar untuk perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove dalam upaya
menjaga kelestarian hutan mangrove. Pengambilan data dilakukan menggunakan metode belt
transect dan penentuan lokasi dilakukan secara purposive sampling. Pengamatan dilakukan
dengan menarik transek sepanjang 100 m tegak lurus terhadap garis pantai pada tiga stasiun.
Hasil penelitian menujukkan bawa terdapat 12 jenis mangrove yang ditemukan yaitu,
Avicennia lanata,, Pandanus odoratissimus, Calotropis gigantea, Cerbera manghas, Lantana
camara, Ceriops tagal, Ipomoea pes-caprae, Moringa oleifera, Ardisa eliptica, Aegiceras
corniculatum, Morinda citrifolia, Hibiscus tiliceus di pesisir pantai Muara Binuangeun.
Kata kunci: Jenis mangrove, Muara Binuangeun, Mangrove.
Abstract
The coastal beach of Muara Binuangeun is a coastal area which rich in resources, one of it is
mangrove forest. Human activities to meet the needs of life in coastal areas are increasing, so
that a lot of mangrove forests are beginning to be damaged. Research on the types of
mangroves on the coastal beach of Muara Binuangeun was carried out on April, 2018. This
study aims to determine the types of mangroves and as a basic data for planning management
and utilization of mangrove forests in an effort to preserve mangrove forests. Data collection
was carried out using the belt transect method and location determination was carried out by
purposive sampling. Observations were made by pulling a 100 m transect perpendicular to
the shoreline at three stations. The results showed that there were 12 types of mangroves
found, Avicennia lanata, Pandanus odoratissimus, Calotropis gigantea, Cerbera manghas,
Lantana camara, Ceriops tagal, Ipomoea pes-caprae, Moringa oleifera, Ardisa eliptica,
Morinda citrifolia, and Hibiscus tiliceus on the coast Muara Binuangeun beach.
Keywords: Mangrove type, Muara Binuangeun. Mangrove.
I. PENDAHULUAN
Mangrove merupakan kelompok tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis
pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan berada di
wilayah pesisir pada daerah tropis dan subtropis (FAO, 2007). Hutan mangrove
menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/MENHUT-V/2004 merupakan hutan
yang tumbuh pada tanah alluvial (tanah yang terbentuk dalam endapan) di daerah
pantai dan di sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, serta
mampu bertahan hidup di daerah dengan kadar garam yang tinggi (Hardjana, 2008).
Mangrove dapat dikelompokan menjadi dua jenis, yaitu mangrove sejati (True
mangrove) dan mangrove asosiasi (AssociateMangrove). Mangrove sejati umumnya
terletak pada habitat intertidal tropis atau paling dekat dengan laut. Mangrove asosiasi
merupakan tumbuhan mangrove yang hidup pada lingkungan daratan di sekitar
tumbuhan mangrove sejati (Lugo, 1974).
Mangrove memiliki potensi sumberdaya yang melimpah bagi ekosistem
terutama wilayah pesisir. Peranan mangrove antara lain sebagai daerah asuhan, tempat
mencari makan, sebagai sarang, penahan abrasi dan peredam gelombang air laut.
(Kathiresan, 2001; Duke, 2007; Geubas,2005). Mangrove juga berperan penting
dalam mengurangi polutan udara dengan cara menyerap karbon dioksida berlebih di
udara, diketahui mangrove mampu menyerap karbon hingga 25,5 juta ton pertahun
(Ong, 1993)
Ekosistem mangrove sangat bergantung pada beberapa sifat fisika dan sifat
kimia lingkungan. Sifat fisika yang memengaruhi salah satunya adalah suhu. Sifat
kimia yang memengaruhi antara lain pH, kadar oksigen terlarut dan salinitas. Sifat-
sifat lingkungan tersebut dapat memengaruhi komposisi, distribusi dan struktur
ekosistem mangrove (Kusmana , 1997).
Spalding (1997) menyebutkan bahwa luas mangrove diseluruh dunia adalah
sekitar 15 juta hektar. Sedangkan, di Asia mangrove diperkirakan antara 32% sampai
41,5 % mangrove di dunia. Indonesia merupakan negara dengan luas mangrove
terbesar di dunia yaitu 18-23% melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan
Australia (0,97 juta ha). Luas mangrove di Indonesia menurut (Spalding, dkk, 1997)
yaitu sekitar 4,5 juta hektar.
Informasi mengenai potensi sumberdaya mangrove di pesisir pantai Muara
Binuangeun sangat diperlukan. Informasi tersebut diperlukan sebagai data dasar bagi
perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove dalam upaya
mempertahankan kelestarian hutan mangrove. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui jenis-jenis mangrove di pesisir pantai Muarabinuangeun, Kabupaten
Lebak, Banten.
Laut
5m 5m 5m
10 10 10
m m m
100
m
Pada stasiun 1 ditemukan 4 jenis mangrove yang berasal dari 3 famili yang
berbeda. Famili tersebut antara lain, Avicenniaceae, Pandanaceae, dan Apocynaceae.
Jenis-jenis mangrove yang ditemukan yaitu Avicennia Lanata, Pandanus
odoratissimusdan Calotropis gigantea.
Pada stasiun 2 ditemukan 4 jenis mangrove yang berasal dari 3 famili yang
berbeda. Famili tersebut antara lain, Pandanaceae, Apocynaceae dan Verbenaceae.
Jenis-jenis mangrove yang ditemukan yaitu Pandanus odoratissimus, Cerbera
manghas,Lantana camara dan 1 jenis yang tidak teridentifikasi.
Pada stasiun 3 ditemukan 6 jenis mangrove yang berasal dari 6 famili yang
berbeda. Famili tersebut antara lain, Rhizophoraceae, Covolvulaceae, Moringaceae,
Primulaceae, Rubiaceae dan Malvaceae. Jenis-jenis mangrove yang ditemuka yaitu
Ceriops tagal, Ipomoea pes-caprae, Moringa oleifera, Ardisia eliptica, Morinda
citrifolia dan Hibiscus tiliceus.
Hasil pengamatan dari keseluruhan stasiun didapatkan sebanyak 3 mangrove
yang tergolong mangrove sejati yaitu Avicennia lanata dan Aegiceras corniculatum
pada stasiun 1 dan Ceriops tagal pada stasiun 2, dan sisasnya sebanyak 9 jenis
mangrove merupakan mangrove ikutan. Vegetasi mangrove di Lebak, Banten lebih
banyak ditumbuhi oleh mangrove ikutan disebabkan oleh kondisi lingkungannya.
Pesisir pantai Muara Binuangeun pada stasiun 1 dan 3 ditemukan mangrove sejati,
sedangkan stasiun 2 tidak, hal tersebut dapat dijelaskan melalui Tabel 2. Kondisi
lingkungan yang memengaruhi yaitu kadar salinitas dan topografi. Tumbuhan sejati
berada pada substrat lumpur, sedangkan mangrove ikutan berada pada zona tengah
tidak selalu digenangi air laut dengan substrat berupa pasir. Topografi perisis pantai
Muara Binuanguen lebih banyak bersubstrat asir dibandingkan substrat lumpur,
sehingga mangrove ikutan berjumlah lebih banyak. (Srikanth, 2015).
IV. KESIMPULAN
Jenis-jenis mangrove yang ditemukan di pesisir pantai Muara Binuangeun
yaitu Avicennia lanata, Pandanus odoratissmus, Calotropis gigantea, Cerbera
manghas, Lantana camara, Ceriops tagal, Ipomoea pes-caprae, Moringa oleifera,
Ardisa eliptica, Morinda citrifolia dan Hibiscus tiliceus. Jenis-jenis mangrove
tersebut berasal dari 10 famili yaitu, Avicenniaceae, Pandanaceae, Apocynaceae,
Verbenaceae, Rhizoporaceae, Covolvulaceae, Moringaceae, Primulaceae, Rubiaceae,
dan Malvaceae.
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
SIMLITABMAS RISTEKDIKTI yang telah berkenan memberikan dana melalui
hibah Penelitian Terapan Unggulan Perguruan Tinggi (PTUPT) 2018 atas nama Dra.
Titi Soedjiarto, SU.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Kanisus, Yogyakarta
Duke N.C. 2007. A world without mangroves? Science317(5834): 41-2.
FAO. 2007. Trees and Shrubs of The Maldives. Ministry of Fisheries Agricultural and
Marine Resources. Thammada Press Co.,Ltd.,Bangkok.
Field, C. 1995. Impacts of expected climate change on mangroves. Hydrobiologia.
295, 75–81.
Geubas F., dkk . 2005. How effective were mangroves as a defence against the recent
tsunami? Curr Biol 15:443–447.
Hardjana, A.K. 2008. Biomass and Carbon Potential of Forest Plantation of Acacia
mangium in HTI Pt. Surya Hutani Jaya, East Kalimantan. Penelitian dan
Ekonomi Kehutanan 7(4): 237—249.
Haya, N., Zamani N,.P. Soedharma, D. 2015. Analisis Struktur Ekosistem Mangrove
di Desa Kukupang Kecamatan Kepulauan Joronga. Jurnal Teknologi
Perikanan dan Kelautan 6(2):79-89.
Hossain, M.D. dan Nuruddin, A.A. 2016. Soil and Mangrove: A Review. Journal of
Environmental Science and Technology, 9: 198-207.
Kathiresan K, Bingham BL. 2001. Biology of mangroves and mangrove ecosystems.
Advances Mar Biol. 2001 (40):81–251.
Kusmana. C. 1997. Hutan Mangrove di Indonesia. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
Lugo AE, & Snedaker SC. 1974. The ecology of mangroves. Annu Rev Ecol
Syst.5:39–63.
Muzaki F., & Saptarini D. 2012. Menjelajah Mangrove surabaya. Institut Teknologi
surabaya. 150 hlm.
Noor, Y. R, M. Khazali, dan I N.N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. PHKA/Wetlands International- Indonesia Programme.
227 hlm.
Ong JE. 1993.Mangroves – a carbon source and sink. Chemosphere27:1097–1107.
Srikanth, S. 2015. Mangrove root: adaptations and ecological importance. Springer
Berlin Heidelberg. 30: 451.
Spalding, dkk. 1997. World Mangrove Atlas. The International Society for Mangrove
Ecosystems, Okinawa, Japan. 178.
LAMPIRAN
Tabel 3. Jenis-jenis mangrove dari tiap-tiap stasiun.
Stasiun 1
1 Familia: Avicenniaceae
Genus : Avicennia
Species: Avicennia lanata
2 Familia: Pandanaceae
Genus : Pandanus
Species: Pandanus odoratissimus
3 Familia: Avicenniaceae
Genus: Avicennia
Species: Avicennia lanata
4 Familia : Apocynaceae
Subfamilia : Asclepiadoideae
Genus : Calotropis
Species : Calotropis gigantea
Stasiun 2
1 Familia : Pandanaceae
Genus : Pandanus
Species Pandanus odoratissimus
2 Familia: Verbenaceae
Genus: Lantana
Species: Lantana camara
3 Familia: Apocynaceae
Genus : Cerbera
Species : Cerbera manghas
Stasiun 3
1 Familia: Rhizophoraceae
Genus: Ceriops
Species: Ceriops tagal
2 Familia: Convolvulaceae
Genus: Ipomoea
Species: Ipomoea pes-caprae
3 Familia: Verbenaceae
Genus: Lantana
Species: Lantana camara
4 Familia: Moringaceae
Genus: Moringa
Species: Moringa oleifera
5 Familia: Primulaceae
Genus: Ardisia
Species: Ardisia eliptica
6. Familia: Rubiaceae
Genus: Morinda
Species: Morinda citrifolia
7. Familia: Malvaceae
Genus: Hibiscus
Species: Hibiscus tiliceus
Abstrak
Sebagian besar Bivalvia di Kota Tarakan memiliki nilai ekonomi ssehingga terus dieksploitasi
untuk dijadikan bahan makanan maupun bahan baku cendramata. Akan tetapi belum ada
catatan tentang kekayaan Bivalvia di perairan pantai Kota Tarakan. Tujuan penelitian ini
mengetahui keanekaragaman Kelas Bivalvia di Pantai Binalatung dan Selayung Kota Tarakan
berdasarkan karakter morfologis dan habitat. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode
transek dengan ukuran 10 m x 10 m. Spesimen dikumpulkan dari zona subtidal dan intertidal
Pantai Binalatung dan Selayung. Bivalvia yang didapatkan diidentifikasi karakter morfologi,
fisikokimia air, substrat, dan tekstur subtract diambil dan diukur pada semua stasiun. Data
morfologi dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga spesies
yang ditemukan dan dikelompokkan menjadi tiga Famili, tiga Ordo dan dua Subkelas.
Karakter morfologi yang ditemukan yaitu, Bentuk cangkang, Warna cangkang, Keadaan
cangkang, Pahatan cangkang, Periostrakum, Umbo, Bekas Otot, Garis Pallial. Spesies
Meretrixmeretrix di ditemukan pada masing-masing stasiun di zona intertidal maupun
subtidal. Sedangkan spesies Saccostrea cucculata ditemukan pada masing-masing stasiun di
zona intertidal.
Kata kunci: Bivalvia, Karaktermorfologi, Habitat, Kota Tarakan.
Abstract
Most of the Bivalvia in Tarakan City have economic value so they continue to be exploited to
be used as food ingredients and raw materials for souvenirs. However, there is no record of
the wealth of Bivalvia in the coastal waters of Tarakan City. The purpose of this study was to
determine the diversity of Bivalvia Classes at Binalatung and Selayang Beach in Tarakan
City based on morphological characters and habitat. Sampling was carried out by transect
method with a size of 10 m x 10 m. Specimens were collected from the subtidal and intertidal
zones of Binalatung and Selayang Beach. Bivalvia obtained identified morphological
characters, physicochemical water, substrate, and substrate texture taken and measured at all
stations. Morphological data were analyzed descriptively. The results showed that there were
three species found and grouped into three family, three ordo and two subclasses.
Morphological characters found, shell shape, shell color, shell condition, carved shell,
periostracum, umbo, former muscle, Pallial line. Meretrix Meretrix species are found at each
station in the intertidal and subtidal zones. Whereas the Saccostrea cucculata species were
found at each station in the intertidal zone.
Keywords: Bivalvia, Morphological characters, Habitats, Tarakan City.
I. PENDAHULUAN
Kerang merupakan salah satu biota laut yang ada di Indonesia selain
sumberdaya ikan, memiliki nilai komersil cukup tinggi dan telah banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat (DKP Kabupaten Sambas, 2007). Kerang
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan antara lain sebagai bahan makanan dan
sumber protein (Dharma, 1988; 2005; Bengen, 2004; 2009), serta sebagai campuran
pakan ternak (Gofur, 2003) dan bahan bangunan (Dharma, 1988). Begen (2009)
menyatakan bahwa pemanfaatan sumber daya ini terus meningkat dari tahun ketahun.
Kota Tarakan merupakan salah satu Kota yang terdapat di Kalimantan Utara
yang berbatasan langsung dengan Laut Sulawesi. Kota Tarakan secara garis besar
memiliki potensi keragaman hayati yang cukup tinggi, salah satunya yaituanggota
Bivalvia. Tiap-tiap kepulauan memiliki karakteristik dan ciri khas tersendiri serta
memiliki keanekaragaman biota hayati laut yang masih alami (Awaluddin, et al.,
2012).
Dilihat dari segi kuantitas keberadaan kerang di perairankotatarakan setiap
tahunnya mengalami penurunan berdasarkan jumlah tangkapan. Hasil pengamatan
secara langsung di lapangan menunjukkan terjadi perubahan ukuran dan jumlah
keranghasiltangkapan. Hal ini diduga karena tingginya tingkat eksploitasi kerang.
Permintaan kerang meningkat di Kota Tarakan untuk di konsumsi serta
komersialisasi hingga keluar daerah.Pengambilan kerang yang berlebih apabila tidak
didukung dengan pengelolaan yang baik akan berdampak terhadap kelestarian
Bivalvia (Awaluddin, et al., 2012).
Pengelolaan suatu sumber daya sangat diperlukan dan harus didukung dengan
pengenalan jenis (spesies) sebagai langkah awal dalam pengelolaan sumber daya
hayati (SDH). Menurut Adi Soemarto (2008) pengenalan spesies dilakukan untuk
mengetahui ciri dan sifat suatu spesies.Karakter taksonomi suatu spesies mencakup
semua karakter yang dapat membedakannya dengan spesies lain, antara lain meliputi
karakter fisiologi, prilaku, ekologi, molekular, geografi dan morfologi (Sneath dan
Sokal, 1973; Mayr dan Ashlock,1991). PenelitianAmbarwati dan Trijoko (2010)
menunjukkan bahwa karakter pembeda anggota Kelas Bivalvia adalah morfologis dan
habitat. Penelitian Zainuddin, et al., (2018) menunjukkan bahwa berdasarkan
keanekaragaman Genus Anadara berdasarkan karakter morfologis dan habitat di
perairan Pantai Kota Tarakan baru ditemukan dua Genus Anadara yaitu Anadara
granosa (Linnaeus, 1758) dan Anadara nodifera (Martens, 1860). Namun hingga saat
ini belum ada kajian ilmiah dan pulikasi data tentang keanekaragam Bivalvia selain
dari genus Anadara di Pantai Binalatung dan Selayung. Pada survei pendahuluan
kami menemukan bahwa diantara anggota Bivalvia yang telah dikenali masyarakat
yaitu dari famili Veneridae. Berdasarkan hal tersebut penelitian bertujuan untuk
mengetahui keanekaragaman Kelas Bivalvia di Pantai Binalatung dan Selayung Kota
Tarakan.
Gambar 1. Morfometri cangkang dan kaki; PC: panjang cangkang, TC: tinggi
cangkang, TPL: tinggi pallial line, DPL: diameter pallial line, DPS: diameter pallial
sinus, DPAS: diameter posterior adductor scar, DAAS: diameter anterior adductor
scar, LC: lebar cangkang, PL: panjang ligamen, PK: panjang kaki, LK: lebar kaki,
LS: lebar sifon (Dokumentasi pribadi, 2015). Keterangan gambar mengacu pada
Carpenter and Niem (1998).
Karakter Morfologis
Placuna placenta (Linnaeus, 1758)
Spesies ini termasuk dalam Famili Placunidae (Rafineque,1815), karakter
pembeda spesies Placuna placenta adalah Bentuk cangkang kanan dan kiri sama
besar atau equivalve. Bentuk cangkang membulat seperti telur. Permukaan cangkang
memiliki rusuk yang bertipe konsentris. Jelas dan sangat kasar. Tipe gigi engsel
heterodon. Memiliki 3 gigi kardinal. Ligamen eksternal (Gambar 2).
Placuna placenta yang ditemukan di perairan Pantai Kota Tarakan berukuran
panjang cangkang mencapai 154mm, tinggi cangkang 146mm, dan lebar cangkang
9mm. Bentuk cangkang oval membulat. Ukuran cangkang kanan dan kiri sama besar
equivalve. Permukaan cangkang sedikit halus, terdapat rusuk di permukaan
cangkangnya, tipe rusuk konsentris dan sangat jelas. Ligamen internal, membentuk
struktur berbentuk V terbalik. Otot aduktor tunggal yaitu otot adduktor posterior.
Umbo hampir tidak ada, posisinya di median dorsal, dan tidak memiliki sifon.
Placuna placenta yang ditemukan di perairan Pantai Kota Tarakan habitanya
bersubstrat lempung liat berdebu. Placuna placenta banyak ditemukan di daerah
intertidal atas dan di daerah subtidal bawah pada stasiunSelayung.Placuna placenta
sangat mudah ditemukan karena pada saat surut air laut terjadi cangkangnya akan
membuka, sehingga mudah terlihat. Habitat tersebut sama seperti yang dikemukakan
Pagcatipunan et al., (1981) di daerah Kenjeran (Jawa Timur), Pasuruan (Jawa
Timur), Demak (Jawa Tengah), Kupang (NTT) dan Tangerang (Banten).
1 2
1 2
1 2
Tabel 2. Karakter pembeda tiga Anggota Kelas Bivalvia di Pantai Kota Tarakan
Karakter Placuna placenta Saccostrea cucculata Meretrixmeretrix
Bentuk cangkang Hamper bulat Oval memanjang dan oval Trigonal tebal
Warna Cangkang Putih kekuningan Hijau tua Kecoklatan
Keadaan cangkang Sedikit Inequivalve Inequivalve Equivalve
Pahatancangakang Sedikit kasar, rusuk Kasar, rusuk konsentris Halus,rusuk konsentris
konsentris membulat dan tidak beraturan membulat
Periostrakum Putih kekuningan Putih Hijau tua
Umbo Kurang menonjot Menonjol Tidak beraturan
BekasOtot Bulat dan tunggal Tidakberaturan dan Jalas, dua buah
tunggal
Garis Pallial - Jelas putus-putus Jelas
Veigaet al. (2014) menyimpulkan bahwa substrat merupakan salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi pola penyebaran hewan makrozobentos seperti kelas
Bivalvia, karena selain berperan sebagai tempat tinggal juga berfungsi sebagai
penimbun unsur hara, tempat berkumpulnya bahan organik serta tempat perlindungan
organism dari ancaman predator.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian keanekaragaman anggota Kelas Bivalvia
berdasarkan karakter morfologis dan habitat di pantai Binalatung dan Selayung di
Kota Tarakan ditemukan tiga spesies yaitu, Placuna placenta, Saccostrea cucculata
dan Meretrixmeretrix.
Karakter morfologi bervariasi yang ditemukan pada tiga spesies tersebut,
yaitu: bentuk cangkang, Warna cangkang, keadaan cangkang, pahatan cangakang,
periostrakum, umbo, bekas otot, garis pallial. Variasi karakter ini digunakan sebagai
karakter pembeda setiap spesies yang ditemukan.
Meretrixmeretrixdan Saccostrea cucculataterdapatdi Habitat Pantai
Binalatung dan Selayung. Meretrixmeretrixdapatditemukan di daerah intertidal dan
subtidal. sedangkanSaccostrea cucculatahanyaterdapat di daerah intertidal saja.
Placuna placenta hanyaterdapat pada Habitat Pantai Selayungbaikitu di zona
intertidal dan subtidal.
DAFTAR PUSTAKA
Adi Soemarto, S., 2008. Taksonomi: Asas, Konsep dan Metode. Bandar Lampung:
Penerbit Universitas lampung.
Ambarwati, R. dan Trijoko, 2010. Kekayaan Jenis Anadara (Bivalvia: Arcidae) di
Perairan Pantai Sidoarjo. Berkala Penelitian Hayati, Edisi Khusus (in press).
Awaluddin, M.Y, D. Wiharyanto, G. Salim, M. Firdaus, 2012. Pendekatan Metode
Von Bertalanffy untuk Analisis Pertumbuhan Kerang Kapah (Meretrix
meretrix) yang Berasal dari Pengepul Pantai Amal Lama Kota Tarakan.
Abstrak
Ekosistem terumbu karang merupakan komunitas unik diantara komunitas laut lainnya
dimana terbentuk dari aktivitas biologi, selain itu merupakan ekosistem khas perairan tropik
dan sebagai habitat berbagai biota laut untuk tumbuh dan berkembang biak dalam rantai yang
seimbang. Sifat yang menonjol dari terumbu karang adalah produktifitas dan
keanekaragamannya yang tinggi baik spesies maupun jumlahnya, serta morfologi yang sangat
bervariasi. Pada tahun 2014, terumbu karang mengalami degradasi disebabkan terus menerus
mendapat tekanan berat akibat berbagai aktifitas manusia baik di darat maupun di laut.
Berdasarkan hal tersebut untuk mengetahui tingkat degradasi terumbu karang tiap tahunnya,
perlu dilakukan identifikasi jenis terumbu karang yang ada di kawasan Taman Nasional
Kepulauan Seribu. Penelitian ini tertujuan untuk mengetahui species terumbu karang yang
ada di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu dan persentase terjadinya degradasi
terhadap terumbu karang. Metode yang digunakan yaitupurposive random sampling dengan
cara snorkeling pada kedalaman 3-5 m, kemudian di identifikasi. Berdasarkan metode
tersebut didapatkan jenis karang di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu sebanyak 26
spesies. Pada penelitian ini didapatkan 28 species terumbu karang, tetapi tingkat persentase
degradasi dari terumbu karang tersebut belum dapat dipastikan.
Kata kunci: Degradasi, Ekosistem, Rehabilitasi, Taman Nasional Kepulauan Seribu,
Terumbu Karang
Abstract
Coral reef ecosystem is a unique community among other marine communities that forms
from biological activities. Coral reef ecosystem is a typical ecosystem of tropical waters as a
habitat for various marine biota to grow and breed in a balance chain. The prominent
characteristics of coral reefs is their high productivity and diversity in both species and
numbers, and the morphology varies greatly. In 2014, coral reefs were degraded due to
continuous heavy pressure and human activities both on land and sea. Based on previous
research, we can determine the level of coral reef degradation each year, and it is necessary
to identify the species of coral reefs in Taman Nasional Kepulauan Seribu. This study aims to
determine the species of coral reefs in Taman Nasional Kepulauan Seribu and the percentage
of degradation of coral reefs. Data were collected using purposive random sampling method
by snorkeling at a depth of 3-5 m, and then identified. Based on this research, there were 28
species of coral found in Taman Nasional Kepulauan Seribu, but the percentage level of
degradation was not yet understood.
Keywords: Degradation, Ecosystem, Rehabilitation, Taman Nasional Kepulauan Seribu,
Coral Reef.
248 Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Ratman et al.
I. PENDAHULUAN
Kawasan perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu merupakan
ekosistem, perairan laut dangkal yang disusun oleh beberapa ekosistem utama antara
lain ekosistem terumbu karang, padang lamun dan ekosistem mangrove. Upaya
pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di TNKpS telah dilakukan
sejak lama oleh BTNKpS (management authority) yaitu sejak ditetapkannya kawasan
seluas 107.489 Ha sebagai kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 6310/Kpts-II/2002. Penetapan zonasi Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu tahun 2004, dalam pengelolaannya Balai Taman
Nasional Kepulauan Seribu (Departemen Kehutanan) menetapkan tiga zona inti
Taman Nasional Kepulauan Seribu terutama yang merupakan zona perlindungan
habitat peneluran Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), ekosistem terumbu karang,
padang lamun, hutan mangrove.
Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang sangat kaya akan
keanekaragaman hayati. Ekosistem ini merupakan simbiosis berbagai organisme laut
yang membentuk jaring jaring makanan yang kompleks, sebagai sistem alami,
terumbu karang memiliki fungsi dan peranan penting bagi kesuburan perairan laut.
Ekosistem terumbu karang merupakan komunitas unik diantara komunitas laut
lainnya dimana terbentuk dari aktivitas biologi, selain itu merupakan ekosistem khas
perairan tropik dan sebagai habitat berbagai biota laut untuk tumbuh dan berkembang
biak dalam rantai yang seimbang. Sifat yang menonjol dari terumbu karang adalah
produktifitas dan keanekaragamannya yang tinggi baik spesies maupun jumlahnya,
serta morfologi yang sangat bervariasi. Namun, saat ini terumbu karang mengalami
degradasi disebabkan terus menerus mendapat tekanan berat akibat berbagai aktifitas
manusia baik di darat maupun di laut yang terjadi pada tahun 2014. Cara cara
penangkapan yang tidak ramah lingkungan masih banyak dijumpai di beberapa
daerah. Begitu pula halnya dengan limbah rumah tangga serta pencemaran minyak
juga mengancam kelestarian terumbu karang.
Faktor alami yaitu terjadi akibat sedimentasi yang cukup tinggi mengingat
kondisi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu berada di Teluk Jakarta yang
merupakan muara dari 13 sungai di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten.
Kondisi tersebut memberikan pengaruh sedimentasi cukup tinggi mengakibatkan
terhambatnya pertumbuhan terumbu karang secara alami. Sedangkan faktor akibat
aktivitas manusia antara lain masih banyaknya pengambilan terumbu karang melalui
penambangan karang dan perusakan melalui pembuatan bangunan di kawasan pantai.
Dampaknya langsung dari degradasi kondisi terumbu karang ini adalah
menurunya produksi perikanan setempat, abrasi pantai yang semakin luas, dan yang
lebih merisaukan adalah hilangnya salah satu gudang plasma nutfah dan sumber
keanekaragaman hayati yang sangat berarti bagi dunia.
Dalam upaya menanggulangi masalah tersebut, pihak Taman Nasional
Kepulauan Seribu itu sendiri, melakukan upaya konservasi dan pelestarian terumbu
karang melalui identifikasi jenis terumbu karang yg ada disekitar kawasan tersebut,
teridentifikasi 13 spesies pada tahun 2014, selanjutnya dilakukan rehabilitasi karang
melalui pembuatan terumbu karang buatan dan transplantasi karang di kawasan
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.
Tujuan dari penelitian ini adalah menambah pengetahuan yang berkaitan
dengan rehabilitasi karang dan jenis-jenis terumbu karang yang ada di kawasan
Taman Nasional Kepulauan Seribu serta presentase terjadinya degradasi terhadap
terumbu karang.
Kegiatan Lapangan
Sebelum penelitian dimulai, dilakukan pemaparan rencana kegiatan di Kantor
Balai TN Kepulauan Seribu, Jl. Salemba Raya 9 Lt.3, Jakarta Pusat, serta diterbitkan
Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi/SIMAKSI (Lampiran 10). SIMAKSI yang
diterbitkan diketahui oleh Kepolisian Sektor Kepulauan Seribu Utara dan Lurah Pulau
Kelapa.
1. Acanthastrea
a. Klasifikasi
Regnum : Animalia
Phylum : Cnidaria
Classis : Anthozoa
Ordo : Scleractinia
Familia : Mussidae
Genus : Acanthastrea
b. Spesies
1) Acanthastrea rotundoflora
2. Acropora
a. Klasifikasi
Regnum : Animalia
Phylum : Cnidaria
Classis : Anthozoa
Ordo : Scleractinia
Familia : Acroporidae
Genus : Acropora
b. Spesies
1) Acropora aspera
2) Acropora caroliniana
Karakter koloni berbentuk meja yang tebal dengan percabangan ke atas yang
pendek dan gemuk. Percabangan sekunder dengan axial koralit tumpul dengan arah
yang tidak teratur. Radial koralit kecil atau hampir tidak ada. Warna coklat muda atau
putih kekuningan. Jenis yang mirip adalah Acropora granulosa yang mempunyai
koloni yang lebih tipis dan koralit yang lebih kecil. Jenis ini jarang ditemukan dan
tersebar di Indonesia Timur (Suharsono, 2008).
3) Acropora clathrata
4) Acropora digitifera
5) Acropora divaricata
6) Acropora donei
7) Acropora echinata
8) Acropora humilis
Karakter koloni digitata dengan cabang yang tebal. Axial koralit berbentuk
kubah tumpul. Radial koralit ada yang besar dan kecil, yang besar tersusun rapi
berderet dari pangkal menuju ke puncak. Warna coklat tua, coklat muda pucat, sering
berwarna ungu cerah. Jenis yang mirip Acropora gemmifera, yang mempunyai
percabangan yang lebih gemuk dan seperti pyramid. Distribusi umum dijumpai di
seluruh perairan Indonesia, biasa ditemukan di rataan terumbu sampai di daerah tubir
(Suharsono, 2008).
9) Acropora loripes
Jenis yang mirip adalah Acropora suharsonoi yang mempunyai axial koralit yang
lebih panjang dan ramping serta radial koralit sangat jarang dijumpai. Jenis ini mudah
dibedakan dari jenis yang lain. Distribusi di seluruh perairan Indonesia terutama di
bagian timur dan biasanya ditemukan dilereng terumbu bawah. Menyenangi tempat
yang jernih dan berarus (Suharsono, 2008).
3. Coeloseris
a. Klasifikasi
Regnum : Animalia
Phylum : Cnidaria
Classis : Anthozoa
Ordo : Scleractinia
Familia : Agariciidae
Genus : Coeloseris
b. Spesies
1) Coeloseris mayeri
Karakter koloni masive membulat. Koralit cerioid dengan ukuran seragam dan
tanpa kolumela, septa hampir sama ukurannya. Septokosta saling menyatu antara
koralit yang berdekatan. Warna kuning pucat atau keputihan. Jenis yang mirip jenis
ini mudah dibedakan dari yang lainnya. Hati-hati dengan Siderastrea dan Pavona.
Distribusi umum dijumpai, biasanya hidup di rataan terumbu dan tersebar diseluruh
perairan Indonesia (Suharsono, 2008).
4. Coscinaraea
a. Klasifikasi
Regnum : Animalia
Phylum : Cnidaria
Classis : Anthozoa
Ordo : Scleractinia
Familia : Coscinaraeidae
Genus : Coscinaraea
b. Spesies
1) Coscinaraea Coscinaraea
5. Distichopora
a. Klasifikasi
Regnum : Animalia
Phylum : Cnidaria
Classis : Hydrozoa
Ordo : Stylasterina
Familia : Distichoporidae
Genus : Distichopora
b. Spesies
2) Distichopora sp.
Jenis karang ini biasanya ditemukan dekat lereng terumbu dan menempel di
dinding yang tegak lurus atau tersembunyi di dalam gua-gua kecil dan ditempat yang
berarus (Suharsono, 2008).
6. Gardineroseris
a. Klasifikasi
Regnum : Animalia
Phylum : Cnidaria
Classis : Anthozoa
Ordo : Scleractinia
Familia : Agariciidae
Genus : Gardineroseris
b. Spesies
1) Gardineroseris planulata
7. Goniopora
a. Klasifikasi
Regnum : Animalia
Phylum : Cnidaria
Classis : Anthozoa
Ordo : Scleractinia
Familia : Poritidae
Genus : Goniopora
b. Spesies
1) Goniopora minor
2) Goniopora pandoraensis
Karakter koloni sub massive dengan bentuk-bentuk gada yang tidak terlalu
besar. Koralit dengan dinding yang tipis. Septa tipis dan tidak teratur yang
membentuk pali yang saling bersatu. Warna Coklat tua atau kuning muda. Jenis yang
mirip adalah Goniopora columna, yang mempunyai bentuk pertumbuhan cabang yang
lebih kecil. Distribusi jenis ini biasanya dijumpai di daerah yang terlindung dan
tenang. Tersebar di seluruh perairan Indonesia (Suharsono, 2008).
8. Millepora
a. Klasifikasi
Regnum : Animalia
Phylum : Cnidaria
Classis : Hydrozoa
Ordo : Milleporina
Familia : Milleporidae
Genus : Millepora
b. Spesies
1) Millepora intrincata
Jenis karang ini biasanya ditemukan dekat lereng terumbu dan dapat menjadi
sangat dominan serta dikenal sebagai karang api. Paling sedikit ada enam jenis karang
api di Indonesia, yaitu M. intrincata, M. platyphyllara, M. exaesa, M. dichotoma, M.
tenella, M. boshmai (Suharsono, 2008).
9. Montipora
a. Klasifikasi
Regnum : Animalia
Phylum : Cnidaria
Classis : Anthozoa
Ordo : Scleractinia
Familia : Acroporidae
Genus : Montipora
b. Spesies
1) Montiporafoliosa
Karakter koloni lembaran seperti daun sering membentuk struktur seperti daun
kol. Koralit bersusun diantara lempengan yang menonjol dan berjalan dari pusat
menuju ke tepi koloni. Biasanya berada di daerah rataan terumbu dekat tubir. Warna
coklat muda atau abu-abu, kadang-kadang ada yang keunguan. Jenis yang mirip
adalah M. aequituberculata dan M. Monasteriata, yang mempunyai koralit yang
tersusun sejajar dengan tepi koloni. Distribusi di seluruh perairan Indonesia, sangat
umum dijumpai, merupakan jenis Montipora yang paling dominan (Suharsono, 2008).
10. Pleorogyra
a. Klasifikasi
Regnum : Animalia
Phylum : Cnidaria
Classis : Anthozoa
Ordo : Scleractinia
Familia : Caryophylliidae
Genus : Pleorogyra
b. Spesies
1) Pleorogyra sinuosa
11. Pocillopora
a. Klasifikasi
Regnum : Animalia
Phylum : Cnidaria
Classis : Anthozoa
Ordo : Scleractinia
Familia : Pocilloporidae
Genus : Pocillopora
b. Spesies
1) Pocilloporaverrucosa
13. Psammocora
a. Klasifikasi
Regnum : Animalia
Phylum : Cnidaria
Classis : Anthozoa
Ordo : Scleractinia
Familia : Siderastreidae
Genus : Psammocora
b. Spesies
1) Psammocora digitate
Karakter koloni berbentuk kolom atau gada yang secara keseluruhan sering
membentuk kubah yang besar. Kadang mencapai ukuran yang besar sekali. Koralit
kecil dan dangkal sering septa pertama membentuk petaloid. Warna Abu-abu atau
coklat muda. Jenis yang mirip jenis ini sering mirip dengan Coscinaraea exesa.
Distribusi umum dijumpai di tempat yang agak dalam dan di tempat yang agak
tenang. Tersebar di seluruh perairan Indonesia (Suharsono, 2008).
14. Pseudosiderastrea
a. Klasifikasi
Regnum : Animalia
Phylum : Cnidaria
Classis : Anthozoa
Ordo : Scleractinia
Familia : Siderastreidae
Genus : Pseudosiderastrea
b. Spesies
1) Pseudosiderastrea tayami
15. Stylophora
a. Klasifikasi
Regnum : Animalia
Phylum : Cnidaria
Classis : Anthozoa
Ordo : Scleractinia
Familia : Pocilloporidae
Genus : Stylophora
b. Spesies
1) Stylophora pistillata
16. Symphyllia
a. Klasifikasi
Regnum : Animalia
Phylum : Cnidaria
Classis : Anthozoa
Ordo : Scleractinia
Familia : Mussidae
Genus : Symphyllia
b. Spesies
1) Symphyllia agaricia
Karakter koloni seperti kubah, lereng lebar dan berupa lekukan dan sering
membentuk sinus. Dinding terlihat tebal dan septa dengan gigi yang besar-besar dan
runcing. Warna Coklat tua, hijau muda atau abu-abu. Jenis yang mirip adalah
Symphyllia radians, yang mempunyai dinding membentuk radian ketepi koloni.
Distribusi di seluruh perairan Indonesia biasanya ditemukan di tempat yang agak
dalam. Umum dijumpai (Suharsono, 2008).
2) Symphyllia recta
sangat besar. Hal ini mendorong masyarakat mengambil sumber daya yang terdapat
pada terumbu karang secara berlebihan (over exploitation) serta kurangnya
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi terumbu karang. Sekitar 13 sungai
bermuara di Kepulauan Seribu. Sungai-sungai ini membawa berton-ton limbah yang
mencemari air di Kepulauan Seribu. Hal ini mengakibatkan banyak ekosistem rusak.
Kerusakan terumbu karang mempunyai dampak terhadap biota laut yang
memanfaatkan terumbu karang sebagai tempat bertelur, berkembang dan berlindung.
Terumbu karang memiliki banyak ruang dimana ikan dan hewan kecil lainnya bias
bersembunyi dari mangsa sehingga tempat ini adalah tempat ideal bagi biota laut
untuk berkembang biak. Bila tidak ada terumbu karang maka hewan laut akan
kehilangan tempat berkembang biak sehingga dapat terancam kelestariannya.
Kehilangan tempat tinggal berpengaruh pada berkurangnya jumlah ikan. Hal ini
menpengaruhi hasil tangkapan nelayan berikut pendapatannya. Bilai kondisi
berkelanjutan maka akan menurunkan taraf hidup nelayan.
Terumbu karang pun merupakan kawasan wisata yang banyak dikunjungi
karena keindahannya. Kegiatan wisata memberi sumber pendapatan bagi warga
sekitar. Rusaknya terumbu karang akan menyebabkan penurunan jumlah pengunjung
yang mengakibatkan pendapatan masyarakat sekitar menurun. Terumbu karang
membentuk pembatas alami yang dapat menahan dan memecah gelombang. Hal ini
bermanfaat saat terjadi badai, topan, dan tsunami. Gelombang besar akan terpecah
sebelum mencapai pantai sehingga dapat mengurangi dampak bencana yang akan
terjadi. Jika tidak ada terumbu karang maka pantai akan terancam abrasi atau
pengikisan akibat gelombang laut, terutama saat terjadi bencana besar.
Upaya untuk mengurangi dampak tersebut dapat dilakukan beberapa metode
pemulihan terumbu karang sebagai berikut.
1. Metode Biorock
Metode pemulihan terumbu karang yang menggambungkan teknologi dan
keterlibatan masyarakat. Biorock menggunakan listrik bertegangan rendah untuk
mempercepat dan memperkuat pertumbuhan karang, serta melibatkan penyelam untuk
melakukan perawatan karang dan memastikan Biorock tetap berfungsi dengan baik.
2. Strategi Pengelolaan melalui Analisis SWOT
Berdasarkan analisis dampak kerusakan dari kegiatan fisik wisatawan
didapatkan hasil analisis melalui SWOT berikut.
a. Penetapan/pengaturan spot wisata diving dan snorkeling disesuaikan dengan
karakteristik jenis terumbu karang, daya dukung kawasan, serta keahlian
menyelam wisatawan.
b. Koordinasi para pemangku kepentingan dan stakeholder dalam pemanfaatan
sumberdaya laut khususnya ekosistem terumbu karang.
c. Peningkatan pengawasan terhadap pemanfaatn sumberdaya laut, khususnya
ekosistem terumbu karang.
3. Transplantasi Karang
Teknik penanaman karang baru dengan metode fragmentasi, dimana benih
karang diambil dari satu induk. Transplantasi karang memiliki tujuan untuk
mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak atau untuk memperbaiki
daerah terumbu karang yang rusak, terutama untuk meningkatkan keragaman dan
persen tutupan.Upaya rehabilitasi ekosistem terumbu karang sejauh ini telah
dilakukan transplantasi karang telah diterapkan di beberapa lokasi termasuk Pulau
Kelapa Dua.
Saran
Setelah melakukan kerja praktik di Taman Nasional Kepulauan Seribu, banyak
ilmu yang didapatkan seperti belajar snorkeling, dapat mengetahui informasi biota
laut apa aja di Taman Nasional Kepulauan Seribu selain terumbu karang seperti
penyu, mangrove, lamun, algae, echinodermata dan sebagainya. Adapun beberapa
saran yaitu diperlukan penelitian lebih lanjut tentang terumbu karang di Taman
Nasional Kepulauan Seribu tiap tahunnya untuk mengetahui tingkat degradasi yang
terjadi pada ekosistem terumbu karang tersebut, apakah mengalami keparahan, sedang
ataupun pertumbuhan terumbu karang bertambah / meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Habibi,A., S. Naneng, & S. Jensi. 2007. Satu Dekade Pemantauan Reef Check:
Kondisi dan Kecenderungan pada Terumbu Karang Indonesia. Jaringan kerja
Reef Check Indonesia.
Nybakken, J.W. 1992.Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: Gramedia.
Seto, D.S., Djumanto., dan N. Probosunu. 2014. Kondisi Terumbu Karang di
Kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Biota. 19 (1):
43−51.
Suharsono. 2008. Jenis Jenis Karang di Indonesia. Indonesian Institute of Science
Press (LIPI Press). Jakarta, halaman : 1-366.
Suharsono & N. Purnomohadi. 2001. International coral reef initiative countryreport:
Indonesia. Paper Presented at the Regional ICRI Workshop for East Asia.
Cebu. Philippines.
Taman Nasional Kepulauan Seribu. 2018. Peta Zonasi. Diakses pada 29 Juni 2018.
https://tnlkepulauanseribu.net/peta-zonasi/.
Thamrin. 2006. Karang, Biologi Reproduksi dan Ekologi. Minamandiri Pres.
Pekanbaru.
Abstrak
Makroalga merupakan habitat bagi berbagai jenis mikroalga epifitik. Mikroalga epifitik
memiliki peran penting bagi makroalga, antara lain melindungi permukaan thallus makroalga
dari kerusakan akibat paparan sinar matahari. Penelitian mengenai kelimpahan mikroalga
epifitik pada makroalga telah dilakukan pada tanggal 3 Juli 2018 di Pulau Bintan, Kepulauan
Riau. Lokasi pengambilan sampel berada di kawasan pantai wisata (stasiun 1) dan kawasan
konservasi (stasiun 2). Penelitian bertujuan untuk menganalisa kelimpahan mikroalga epifitik
pada kedua lokasi tersebut berdasarkan perbedaan faktor lingkungan. Makroalga Sargassum
dan Padina dimasukkan ke dalam botol plastik berisi air laut. Selanjutnya, sampel diaduk
selama satu menit sehingga mikroalga epifitik terlepas dari makroalga. Makroalga kemudian
dipisahkan dari air laut dan diukur volumenya. Sementara itu, sampel air disaring dengan
saringan bertingkat lalu diamati dengan Sedgewick rafter cells di bawah mikroskop cahaya.
Pencatatan parameter lingkungan dilakukan terhadap pH, salinitas, suhu, arah dan kecepatan
arus. Berdasarkan hasil pengamatan, mikroalga epifitik di kedua stasiun lebih banyak
ditemukan pada Sargassum. Selain itu, kelompok mikroalga yang paling melimpah pada
kedua makroalga adalah diatom. Genus diatom yang dominan pada Sargassum adalah
Licmophora dan pada Padina adalah Navicula, secara berturut-turut sebesar 31,35% dan
28,01% dari total kelimpahan. Sementara itu, genus dinoflagellata yang dominan ditemukan
adalah Prorocentrum, yaitu sebesar 100% pada Sargassum dan 74,50% pada Padina.
Penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan mikroalga epifitik di kedua lokasi dipengaruhi
oleh faktor pH dan kecepatan arus.
Kata kunci: Diatom, dinoflagellata, makroalga, mikroalga epifitik, Pulau Bintan.
Abstract
Macroalgae is a habitat for various types of epiphytic microalgae. Epiphytic microalgae have
an important role for macroalgae, including protecting the surface of the thallus macroalgae
from damage caused by sun exposure. Research on the abundance of epiphytic microalgae in
macroalgae was carried out on July 3, 2018 on Bintan Island, Kepulauan Riau. The sampling
locations were in the coastal tourist area (station 1) and conservation area (station 2). The
study aimed to analyze the abundance of epiphytic microalgae in both locations based on
differences in environmental factors. Macroalgae Sargassum and Padina were put in plastic
bottles containing sea water. Sample was stirred for one minute so that the epiphytic
microalgae were released from macroalgae. Macroalgae were then separated from the sea
water and the volume was measured. After that, water samples were filtered with series of
sieves and then observed with Sedgewick rafter cells under light microscope. Environmental
parameters measurement was on pH, salinity, temperature, water current and direction.
Based on observations, epiphytic microalgae in both stations were more commonly found in
Sargassum. In addition, the most abundant microalgae group in both macroalgae was
diatom. The dominant diatom genus in Sargassum was Licmophora and in Padina was
Navicula, which were 31,35% and 28,01% of the total abundance, respectively. Meanwhile,
the dominant genus dinoflagellate was Prorocentrum, which was 100% in Sargassum and
74,50% in Padina. Research showed that the abundance of epiphytic microalgae in both
locations were influenced by pH and water current.
Keywords: Epiphytic microalgae. Bintan Island, diatoms, dinoflagellates, macroalgae.
I. PENDAHULUAN
Makroalga merupakan alga laut bentik yang bersifat fotosintetik dan
menduduki trofik pertama dalam rantai makanan (Diaz-Pulido & McCook 2008).
Makroalga yang sering ditemukan di daerah pesisir contohnya adalah Sargassum dan
Padina. Makroalga tersebut termasuk ke dalam kelas Phaeophyceae atau sering
disebut dengan alga coklat. Kedua makroalga tersebut menjadi tempat menempelnya
berbagai mikroalga yang bersifat epifitik, antara lain diatom dan dinoflagellata.
Mikroalga memiliki peran di ekosistem perairan pesisir. Salah satu perannya
yaitu sebagai produsen di rantai makanan dan menjadi supplier oksigen di perairan
karena memiliki kemampuan berfotosintesis. Menurut Anderson et al. (2008), peran
lain dari mikroalga adalah sebagai bioindikator perairan seperti halnya keberadaan
beberapa mikroalga bersifat toksik maupun non-toksik yang menyebabkan fenomena
Harmful Algal Bloom (HAB).
Makroalga dan mikroalga epifitik berpotensi memiliki asosiasi interspesifik
yang mutualistik, dan berperan dalam komunitas bentik laut (El Din et al. 2015).
Salah satu bentuk mutualismenya adalah makroalga memberikan tempat tinggal untuk
mikroalga epifitik, dan mikroalga tersebut melindungi thallus makroalga dari
kerusakan akibat paparan sinar matahari (Al-Harbi 2017).
Kelimpahan mikroalga epifitik pada makroalga dipengaruhi oleh adanya
faktor-faktor lingkungan. Faktor-faktor lingkungan tersebut antara lain cahaya
matahari, temperatur perairan, pH, kandungan nutrien, dan arus air (Al-Harbi 2017).
Pulau Bintan adalah pulau yang berada di Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki
kawasan wisata dan kawasan konservasi di wilayah pesisir, salah satunya kawasan
wisata pantai dan kawasan konservasi lamun. Kedua kawasan tersebut memiliki
perbedaan faktor lingkungan yang dapat memengaruhi kelimpahan mikroalga
(Tangke 2010). Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk menganalisis kelimpahan
dari mikroalga epifitik yang menempel pada makroalga Sargassum dan Padina
berdasarkan perbedaan faktor-faktor lingkungan di kawasan wisata dan kawasan
konservasi lamun di Pulau Bintan, Kepulauan Riau.
Analisis Data
Analisa kelimpahan dari mikroalga diatom dan dinoflagellata dalam jumlah
sel/ml berdasarkan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
N = kelimpahan mikroalga (sel/ml)
n = jumlah sel per mililiter
V = volume air dalam botol (ml)
Vm = volume makroalga (ml)
Eunotia 0 0 28 92
Fragilaria 0 519 0 0
Gyrosigma 48 33 14 364
Isthmia 82 383 84 140
Licmophora 257 3017 132 510
Mastogloia 63 73 85 138
Navicula 508 343 512 2.151
Nitzschia 1312 1464 485 1970
Pleurosigma 30 14 15 36
Rhabdonema 0 0 0 5
Striatella 3 17 0 0
Surirella 0 0 19 45
Synedra 303 290 83 442
Thalassionema 130 35 0 0
2988 7457 2059 7448
Total
10445 9507
IV. KESIMPULAN
Kelimpahan mikroalga epifitik pada kawasan wisata Pantai Trikora dan
kawasan konservasi lamun Teluk Bakau di Pulau Bintan, Kepulauan Riau,
menunjukan adanya perbedaan kelimpahan karena dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, antara lain pH dan kecepatan arus.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih ditujukan kepada M. Faza Fadhilah dan Alzilzal Nanda
Putra yang telah membantu dalam pengumpulan data, serta kepada Aditya Hikmat
Nugraha dan Fajriah Laili yang telah membantu dalam proses penyediaan alat dan
bahan selama kegiatan pengambilan sampel berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Harbi, S.M. 2017. Epiphytic Microalgal Dynamics and Species Composition on
Brown Seaweeds (Phaeophyceae) on the Northern Coast of Jeddah, Saudi
Arabia. Journal of Oceanography and Marine Research 5 (1): 1–9.
Anderson, D.M., P.M. Glibert & J.M. Burkholder. 2002. Harmful Algal Blooms and
Eutrophication: Nutrient Sources, Composition, and Consequences. Estuaries
28 (4b): 704–726.
Anderson, D.M., J.M. Burkholder, W.P. Cochlan, P.M. Gilbert, C.J. Gobler, C.A. Hei,
R.M. Kudela, M.L. Parsons, C.A. Heil, J.E.J. Rensel, D.W. Townsend, V.L.
Trainer & G.A Vargo. 2008. Harmful Alga Blooms and Eutrophication:
Examining Linkages from Selected Coastal region of the United Stated,
Harmful Algae. 8: 39–53.
Diaz-Pulido, G. & L.J. McCook. 2008. State of the Reef Report Environmental Status
of the Great Barrier Reef: Macroalgae (Seaweeds). Great Barrier Reef Marine
Park Authority. Commonweath of Australia: 44 hlm.
Effendi, H. 2003. Telah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
El Din, N.G.S., N.A.N. Shaltout & M.Z.A. Nassar. 2015. Ecological Studies of
Epiphytic Microalgae and Epiphytic Zooplankton on Seaweed of the Eastern
Harbor, Alexandria, Egypt. American Journal of Environmental Sciences 11
(6): 450–473.
Hidayat, M. Ruswahyuni & W. Niniek. 2014. Analisis Laju Sedimentasi di Daerah
Padang Lamun Dengan Tingkat Kerapatan Berbeda di Pulau Panjang, Jepara.
Diponegoro Journal of Maquares (3): 73-79.
Hidayat, T. 2017. Kelimpahan dan Struktur Komunitas Fitoplankton pada Daerah
yang di Reklamasi Pantai Seruni Kabupaten Bantaeng. Fakultas Ilmu Kelautan
Dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar: 76 hlm.
Lutfiawan. 2015. Analisis Pertumbuhan Sargassum sp. dengan Sistem Budidaya Yang
Berbeda di Teluk Ekas Lombok Timur Sebagai Bahan Pengayaan Mata Kuliah
Ekologi Tumbuhan. Jurnal Biologi Tropis, 15 (2): 135–144.
Marianingsih, P., E. Amelia & T. Suroto. 2013. Inventarisasi dan identifikasi
makroalga di perairan Pulau Untung Jawa. Prosiding SEMIRATA. Universitas
ampung, Lampung, 10-12 Mei 2013.
Romimohtarto, K. & S. Juwana, 2004. Biologi Laut; Ilmu Pengetahuan tentang Biota
Laut. Djambatan. Jakarta.
Ruswahyuni, N. A. & N. Widyorini. 2014. Hubungan Kerapatan Rumput Laut
Dengan Substrat Dasar Berbeda di Perairan Pantai Bandengan, Jepara.
Diponegoro Journal of Maquares, 3 (1): 99–107.
Suhana, M. P., I W. Nurjaya & N. M. N. Natih. 2018. Karakteristik Gelombang Laut
Pantai Timur Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2005-2014.
Dinamika Maritim (II): 16–19.
Tangke, U. 2010. Ekosistem padang lamun (Manfaat, Fungsi dan Rehabilitasi).
Agrikan UMMU-Ternate 1 (3): 9–29.
Widiarti R., R.K. Pudjiarto, I. Fathoniah & A.P.W. Adi. 2016. Dinoflagellata epifitik
pada makroalga yang berpotensi menyebabkan Ciguatera Fish Poisoning di
perairan Pulau Weh, Aceh. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat
Biodiversitas Indonesia 2 (1): 97–102.
Yusuf, M., G. Handoyo, Muslim, S. R. Wulandari & H. Setiyono. 2012. Karakteristik
Pola Arus Dalam Kaitannya dengan Kondisi Kualitas Perairan dan
Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Kawasan Taman Nasional Laut
Karimunjawa. Buletin Oseanografi Marina (1): 63–74.
Abstrak
Kerang kapah (Meretrix meretrix) merupakan salah satu jenis kerang yang berpotensi dan
bernilai ekonomis yang memiliki kandungan protein hewani yang tinggi serta makanan laut
yang banyak dikonsumsi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman
dan kemiripan bakteri Vibrio pada M. meretrix di Pantai Eduwisata Mangrove Cengkrong
kabupaten Trenggalek. Isolasi dan identifikasi bakteri Vibrio dilakukan dengan metode streat
plate pada media TCBSA (Thiosulfate Citrate Bile Salt Sucrose Agar) melalui pengamatan
morfologi, fisiologis dan uji biokimia berdasarkan Bergey’s Manual of Systematic
Bacteriology yang dilakukan di Laboratorim Mikrobiologi Fakultas Biologi UGM. Analisis
data dilakukan dengan menggunakan program MVSP (Multivariate Statistical Package) 3.1
dalam bentuk dendrogram yang menunjukkan hubungan similaritas bakteri Vibrio. Hasil
identifikasi bakteri Vibrio pada M. meretrix yaitu bakteri V. herveyi, V. parahemolyticus, V.
nereis dan V. proteolyticus. V. herveyi memiliki kemiripan dengan bakteri V. parahemolyticus
66% dan bakteri V. proteolyticus 62% sedangkan bakteri V. nereis 54%.
Kata kunci: Keanekaragaman, Meretrix meretrix, Trenggalek, Vibrio
Abstract
Meretrix meretrix is one type of shellfish that have the potential and economic value which
has a high animal protein and seafood are widely consumed in Indonesia. This study aims to
determine the diversity and similarity of Vibrio M. meretrix in Cengkrong mangrove
eduwisata beach, Trenggalek. Isolation and identification of Vibrio was conducted using the
media TCBSA streat plate (Thiosulfate Citrate Bile Salt Sucrose Agar) through
morphological observation, physiological and biochemical tests based Bergey's Manual of
Systematic Bacteriology conducted in the laboratory of Microbiology Faculty of Biology.
Data analysis was performed using the MVSP (Multivariate Statistical Package) 3.1 in the
form of a dendrogram showing the similarity relationship Vibrio bacteria. The results of the
identification of Vibrio are bacteria V. M. meretrix herveyi, V. parahemolyticus, V. and V.
proteolyticus nereis. V. herveyi has similarities with the bacterium V. parahemolyticus 66%
and 62% V. proteolyticus while V.nereis bacterium 54%.
Keywords: Diversity, Meretrix meretrix, Trenggalek, Vibrio
I. PENDAHULUAN
Pantai Eduwisata, Mangrove Cengkrong merupakan salah satu tempat wisata
yang ada di Kabupaten Trenggalek dengan habitat berupa substrat berlumpur, dengan
keragaman vegetasi mangrove dan fauna laut berupa kerang kapah (Meretrix
Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018 275
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Taksonomi Numerik Fenetik Bakteri Vibrio pada Kerang Kapah (Meretrix meretrix Linnaeus, 1758)...
Analisis Data
Isolat bakteri Vibrio pada M. meretrix dianalisis numerik fenetik. Karakter
fenetik postif dan negatif masing-masing dikodekan sebagai nilai + dan -. Analisis
numerik fenetik ini dilakukan dengan menggunakan Program MVSP 3.1 sehingga
diperoleh konstruksi dendrogram (Kovach2007). Menghasilkan similaritas antar strain
yang diestimasi dengan simple matching coefficient (SSM) dan Jaccard’s Coefficient
(Sj) (Sokal dan Meichener, 1958), dan pembuatan cluster dilakukan dengan
Unweighted Pair-Group Method of Association (UPGMA) (Sneath and Sokal, 1973).
Analisis korelasi kofenetik selanjutnya dihitung untuk menentukan tingkat
penerimaan dendrogram secara statistik (Sneath and Johnson, 1975).
memiliki bentuk morfologi koloni yang beragam seperti warna koloni (kuning,
orange, hijau, dan hijau kebiruan), bentuk koloni circular, tepi koloni entire dan
elevasi koloni yang bermacam pula (law conver, conver dan effuse).
Isolat
No Karakter
Bi 11 Bi 35 Bi 17 Bi 53 Bi 26
Mannitol + ‒ + + ‒
Rafinosa ‒ ‒ ‒ ‒ ‒
Sukrosa + ‒ ‒ ‒ ‒
Mannitol + ‒ + + ‒
Rafinosa ‒ ‒ ‒ ‒ ‒
Sukrosa + ‒ ‒ ‒ ‒
Xilosa ‒ ‒ ‒ ‒ +
2 Pertumbuhan pada suhu
Suhu 300C + + + ‒ ‒
Suhu 350C + + ‒ ‒ ‒
0
Suhu 40 C ‒ + ‒ ‒ ‒
3 Pertumbuhan pada
NaCl
NaCl 0% ‒ ‒ ‒ ‒ ‒
NaCl 0.1% ‒ ‒ ‒ ‒ ‒
NaCl 0.2% ‒ + + ‒ ‒
NaCl 0.3% ‒ + + ‒ ‒
NaCl 0.4% ‒ + + ‒ ‒
NaCl 0.5% + + + ‒ +
NaCl 1.0% + + + + +
NaCl 2.0% + + + + +
NaCl 3.5% + + + + +
NaCl 6.0% + + + + +
NaCl 8.0% + + + + +
NaCl 10.0% + ‒ ‒ + +
NaCl 12.0% ‒ ‒ ‒ ‒ ‒
4 Anaerobik fakultatif + + + + +
5 Motilitas + + + + +
6 Reduktasi nitrat/nitrit + + + + +
7 Oksidase + + + + +
8 Pembentukan indol ‒ ‒ ‒ ‒ ‒
9 Voges–Proskauer ‒ ‒ ‒ ‒ ‒
10 Methyl red + + + + +
11 Katalase + + + + +
12 H2S ‒ ‒ ‒ ‒ +
teridentifikasi V. hervey V. parahemoliticus V. proteoliticus V. nereis Vibrio sp.
Konstruksi Dendogram
Dendrogram merupakan pohon phylogenitree yang menggambarkan hirarki
kategori berdasarkan derajat kesamaan sejumlah karakteristik dalam taksonomi
(Harly, 2005). Hasil karakterisasi bakteri dimasukan kedalam tabel NxT untuk
dianalisis dengan program PFE. Hasil data karakterisasi diklastering dengan
menggunakan program MVSP.
UPGMA
iIsolat BI 2.6
58
gV. nereis
74
hIsolat BI 5.3
82
fIsolat BI 1.8
eV. proteolyticus
72
dIsolat BI 1.7
62
kV. parahemolyticus
80
jIsolat BI 3.5
66
cIsolat BI 1.4
78
bV. herveyi
86
aIsolat BI 1.1
0.52 0.6 0.68 0.76 0.84 0.92 1
Gambar 2. Dendogram Sj
Jaccard's Coefficient
UPGMA
88 V.
k parahemolyticus
76 Isolat
j BI 3.5
81 V.
e proteolyticus
Isolat
d BI 1.7
75 Isolat
i BI 2.6
86 V. nereis
g
93 Isolat
h BI 5.3
79 Isolat
f BI 1.8
88 Isolat
c BI 1.4
93 V.
b herveyi
Isolat
a BI 1.1
0.7 0.75 0.8 0.85 0.9 0.95 1
IV. KESIMPULAN
Terdapat empat bakteri Vibrio pada M. Meretrix yaitu; bakteri V. herveyi, V.
proteolitycus V. nereis dan V. parahemolyticus serta satu bakteri yang belum
teridentifikasi Vibrio sp. Dengan hubungan similaritas bakteri V. herveyi memiliki
kemiripan dengan bakteri V. parahemolyticus 66%, dan memiliki kemiripan 62%
dengan bakteri V. proteolyticus, serta bakteri V. nereis memiliki kemiripan 58%
dengan bakteri Vibrio sp. sedangkan (V. herveyi, V. parahemolyticus dan V.
proteolyticus) memiliki kemiripan 54% dengan (V. herveyi dan Vibrio sp.).
DAFTAR PUSTAKA
Feliatra. 1999. Identifikasi bakteri patogen (Vibrio sp.) di perairan Nongsa Batam
Propinsi Riau. Jurnal Natur Indonesia 11 (1): 28-33.
Hidayat. AR. Syarif. 2013. Karakterisasi Bakteri Genus Vibrio Dari Ikan Kerapu
(Plectropomus sp.). UIN Alauddin Makassar. ISSN 2302-1616 (Vol 1, No. 2,
hal 141-143). Gowa.
Holt, J.G., N.R. Kreigh,P.H.A Sneath, J.T. Stanley. S.T. Williams. 1994. Bergey’s
manual of determinative bacteriology ninth edition. Williams K. Hensky (ed)
and Wilkins Baltimore. 787 hal.
Ihsan, B dan Retnaningrum, E. 2017. Isolasi Dan Identifikasi Bakteri Vibrio sp. Pada
Kerang Kapah (Meretrix meretrix) Di Kabupaten Trenggalek. Jurnal
Harpodon Borneo Vol.10. No.1. April. 2017. Hal 23-27. ISSN : 2087-121X.
Mailoa. M.C. dan Setha. B. 2011. Karakteristik Patogenitas Vibrio sp. Diisolasi dari
Lendir Sidat (Anguilla Sp.). Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan Program Studi
Pendidikan Dokter Universitas Pattimura. ISSN: 1979-6358.
Kovach, W.L. 2007. MVSP – A Multi Variate Statistical Package for Windows,
Ver.3.1. Kovach Computing Services, Pentraeth, Wales, U.K.
Krieg, N.R. and J.G. Holt (Editors). 1984. Bergey’s Manual of Systematic
Bacteriology, 1st Ed., Vol. 1, The Williams & Wilkins Co., Baltimore.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara: Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta.
Priest,F & Goodfellow. 1999. Applied Microbial Systematic. Kluwer Academic
Publisher. Netherland. pp: 8-10, 94
Sneath, P.H.A., N.S, Mair, M.E. Sharpe & J.G. Holt (eds). 1986. Bergey’s Manual of
Systematic Bacteriology. Volume 2. William & Wilkins. Baltimore.
Widowati. R. 2008. Keberadaan Bakteri Vibrio parahaemolyticus Pada Udang Yang
Dijual Di Rumah Makan Kawasan Pantai Pangandaran. Fakultas Biologi
Universitas Nasional. Jakarta.
Abstrak
Wilayah pesisir dan pelagis adalah daerah yang penting bagi produktivitas biologi, geokimia,
dan kegiatan manusia. Daerah ini merupakan penyedia makanan, rekreasi, dan transportasi
yang mewakili bagian penting dari perekonomian dunia. Namun di sisi lain, aktifitas manusia
di wilayah pesisir berpotensi mengganggu kesehatan lautan. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengestimasi jumlah sampah pantai dan menentukan jenis dan konsentrasi sampah
berdasarkan jenis materinya. Pengambilan data sampah dilakukan di Pantai Legon Lele, Desa
Kapuran, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Pengambilan data
dilakukan selama 2 hari, yaitu pada tanggal 19-20 November 2017. Penentuan area plot
transek yang akan diambil sampahnya adalah di sepanjang 100 m sejajar garis pantai dengan
lebar mengikuti batas belakang pantai. Hasil penelitian di Pantai Legon Lele adalah sampah
ukuran meso di Legon Lele 1 didominasi oleh kantong plastik (kode PL07) dengan presentase
28,04 % sedangkan sampah berukuran makro didominasi oleh kategori logam lainnya (kode
ME 10) dengan presentase 31,352 %. Sementara di Legon Lele 2, baik ukuran meso dan
makro didominasi oleh Paket Peralatan Minuman, Wadah Makanan (PL 05) dengan 60,50 %
dan 29,08%. Kepadatan Sampah di Legon Lele 1 maupun Legon Lele 2 didominasi oleh
sampah berukuran makro (Legon Lele 1 = 4,32/m2, Legon Lele 2 = 5,360/m2) lebih besar
dibandingkan sampah meso (Legon Lele 1=1,60/m2, Legon Lele 2= 2,080/m2).
Kata kunci: Sampah, Pantai, Kepadatan, dan Presentase.
Abstract
Coastal and pelagic regions are important areas for biological, geochemical and human
activity productivity. This area is a provider of food, recreation and transportation that
represents an important part of the world economy. But on the other hand, human activities in
coastal areas have the potential to disrupt the health of the oceans. The purpose of this study
was to estimate the amount of coastal waste and determine the type and concentration of
waste based on the type of material. Marine debris data collection is carried out in Legon
Lele Beach, Kapuran Village, Karimunjawa District, Jepara Regency, Central Java. Data
collection was carried out for 2 days, namely on 19-20 November 2017. Determination of the
area of the plot transect to be taken out of the trash is along the 100 m parallel to the
coastline with width following the back of the coast. The results of research at Legon Lele
Beach were meso-sized marine debris in Legon Lele 1 dominated by plastic bags (PL07 code)
with a percentage of 28.04% while macro-sized waste was dominated by other metal
categories (ME 10 code) with a percentage of 31.352%. While in Legon Lele 2, both meso
and macro sizes were dominated by Beverage Equipment Packages, Food Containers (PL 05)
with 60.50% and 29.08%. Waste density in Legon Lele 1 and Legon Lele 2 is dominated by
macro-sized marine debris (Legon Lele 1 = 4.32 / m2, Legon Lele 2 = 5.360 / m2) greater
than meso waste (Legon Lele 1 = 1.60 / m2, Legon Lele 2 = 2.080 / m2).
Keywords: Marine debris, Coastal, Density, and Percentage.
I. PENDAHULUAN
Wilayah pesisir dan pelagis adalah daerah yang penting bagi produktivitas
biologi, geokimia, dan kegiatan manusia. Daerah ini merupakan penyedia makanan,
rekreasi, dan transportasi yang mewakili bagian penting dari perekonomian dunia.
Namun di sisi lain, aktifitas manusia di wilayah pesisir berpotensi mengganggu
kesehatan lautan (Hetherington et al., 2005).
Salah satu faktor yang mengubah kualitas perairan adalah adanya sampah laut
yang diakibatkan oleh kegiatan antropogenik (Hetherington et al., 2005). Berbagai
macam masalah muncul akibat adanya sampah laut (marine debris) seperti
berkurangnya keindahan wilayah pesisir, menimbulkan berbagai macam penyakit,
mempengaruhi jejaring makanan, dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem di
wilayah pesisir. Bila hal tersebut terjadi dan terus berlangsung, maka pengaruh
terhadap rantai makanan, perekonomian dan kesehatan masyarakat di daerah tersebut
tidak dapat dihindari (Citasari dkk, 2012).
Sampah laut (marine debris) merupakan bahan padat persisten, yang sengaja
atau tidak sengaja dibuang dan ditinggalkan di lingkungan laut (CSIRO, 2014).
Penyebaran sampah laut di wilayah pesisir sangat dipengaruhi oleh pergerakan arus.
Gerakan massa air / arus tersebut dapat membawa sampah di perairan dengan jarak
yang cukup jauh (NOAA, 2016). Arus di wilayah pesisir atau peristiwa pergerakan
masa air sangat dipengaruhi oleh hembusan angin dan pasang surut (Nontji, 1987).
Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian Baseline Sampah Pantai
Legon Lele Desa Kapuran, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara,
Jawa Tengah
No Alat Kegunaan Keterangan
1 Timbangan Untuk menimbang sampah
2 Kamera Dokumentasi lapangan
3 GPS Menentukan koordinat lokasi
4 Meteran gulung Untuk mengukur plot
5 Serokan Untuk mengambil sampel sampah
6 Saringan/ ayakan sampah Untuk menyaring sampah Ukuran 0,5 dan 2,5 cm
7 Pipa peralon Untuk plot transek
8 Sarung tangan Untuk mengambil sampel sampah
9 Masker Untuk keamanan diri
10 Karung Untuk mengumpulkan sampah Ukuran 50-100kg
11 Terpal Untuk menjemur sampah
12 Alat tulis Untuk pencatatan hasil
13 Tali pramuka Untuk plot transek
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Baseline Sampah Pantai Legon Lele Desa Kapuran,
Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah
besar dibandingkan sampah meso (Legon Lele 1=1,60/m2, Legon Lele 2= 2,080/m2).
Selengkapnya pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2. Data Sampah Legon Lele 1
Berat per jenis Persentase Kepadatan
Kode Jenis (kg) (%) (Jumlah/m²)
MESO MAKRO MESO MAKRO MESO MAKRO
RL 01 Tutup Botol dan Toples 0,000 0,06 0,00 3,592 0,000 0,960
PL 01 Tutup Botol 0,000 0,02 0,00 0,980 0,000 0,160
PL 02 Botol < 2L 0,000 0,03 0,00 2,025 0,000 0,160
PL 03 Botol > 2L, Jerigen, Drum 0,000 0,05 0,00 3,331 0,000 0,040
PL 04 Pisau, Sendok, Garpu, Sedotan 0,002 0,02 1,06 1,306 0,120 0,680
PL 05 Paket Peralatan Minuman dan
0,046 0,11 24,34 6,858 0,280 0,760
Wadah Makanan
PL 06 Wadah Makanan Cepat Saji 0,004 0,01 2,12 0,718 0,040 0,120
PL 07 Kantong Plastik 0,053 0,25 28,04 16,264 0,800 0,320
PL 08 Mainan dan Perlengkapan Acara 0,000 0,00 0,00 0,131 0,000 0,040
PL 19 Tali Tambang 0,025 0,11 13,23 7,250 0,160 0,400
GC 02 Botol Dan Toples 0,001 0,06 0,53 3,919 0,040 0,080
GC 07 Pecahan Kaca atau Keramik 0,000 0,01 0,00 0,327 0,000 0,040
RB 02 Sol sandal – Sepatu 0,023 0,15 12,17 9,798 0,080 0,080
RB 05 Ban dalam dan Lembaran Karet 0,000 0,03 0,00 1,764 0,000 0,080
OT 02 Alat Kebersihan (Sikat Gigi) 0,000 0,01 0,00 0,784 0,000 0,080
OT 03 Peralatan dan Elektronik 0,000 0,01 0,00 0,784 0,000 0,120
CL 03 Kanvas 0,000 0,08 0,00 5,095 0,000 0,040
CL 04 Tali dan Tambang Kanvas 0,023 0,01 12,17 0,327 0,040 0,040
CL 06 Kain lap dan Serbet 0,000 0,04 0,00 2,482 0,000 0,040
ME 10 Kategori Logam Lainnya 0,012 0,48 6,35 31,352 0,040 0,040
FP 02 Gelas dan Wadah Paket Makanan 0,000 0,01 0,00 0,914 0,000 0,040
JUMLAH 0,19 1,53 100 100 1,60 4,32
Saran
1. Perlunya memperhatikan cuaca sebelum memulai pendataan sampah;
2. Perlunya menggunakan peralatan yang memadai dalam kegiatan survey
pendataan sampah
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan yang banyak memberikan dukungan dan kesempatan kepada penulis
untuk melakukan penelitian di Kepulauan Karimunjawa.
DAFTAR PUSTAKA
Anthony Cheshire and Ellik Adler, 2009, UNEP/IOC Guidelines on Survey and
Monitoring of Marine Litter, UNEP, Regional Seas Reports and Studies
No. 186, IOC Technical Series No. 83.
NOAA, 2013, Marine Debris Monitoring and Assessment: Recommendations for
Monitoring Debris Trends in the Marine Environment, NOAA Marine
Debris Program National Oceanic and Atmospheric Administration U.S.
Department of Commerce Technical Memorandum NOS-OR&R-46.
Hsuan K. 1978. Orders and Families of Malayan Seed Plants. Singapore University
Press
Abstrak
Kemampuan mangrove dalam mitigasi pemanasan global sudah menjadi isu yang
berkembang di dunia. Terlebih jika pengelolaan mangrove dilakukan sesuai dengan daya
dukung dan daya tampung lahan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai struktur
dan komposisi vegetasi mangrove dengan tujuan untuk melestarikan sekaligus mewujudkan
rehabilitasi kerusakan hutan mangrove. Penelitian dilakukan di Ujungalang, Perairan Segara
Anakan, Kabupaten Cilacap. Periode penelitian dilakukan pada musim kemarau antara Maret
hingga September 2018. Pemilihan lokasi pengambilan data menggunakan metode purposive
sampling dengan kegiatan transek di dalamnya. Dari 8 stasiun sampling, hasil yang didapat
yaitu ditemukan 15 spesies mangrove yang termasuk dalam 9 famili. Secara umum, vegetasi
pohon mangrove di Ujungalang memiliki kisaran kerapatan 900 ind/ha – 4667 ind/ha. Indeks
Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (J’) mangrove di Ujungalang kategori pohon
termasuk dalam kategori rendah.
Kata kunci: Mangrove, Kerapatan, Indeks Keanekaragaman, dan Keseragaman
Abstract
Mangrove abilities in mitigating global warming had become one of the most globally
developed issues. Mangrove should have been managed by considering the land carrying
capacity. Therefore, research on mangrove vegetation structures and composition was
required to preserve and manifest a rehabilitation center overcoming damages occurring in
mangrove forests. Research was conducted in Ujungalang, the territorial waters of Segara
Anakan Cilacap. Research was done during the dry season, March-September 2018. The
researchers selected the sampling location by applying the purposive sampling method with
transect activities. In eight sampling stations, there were 15 mangrove species included into
nine families. In general, mangrove vegetation in Ujungalang had the range of density of 900
ind/Ha – 4,667 ind/Ha. Based on the tree category, the Index of Diversity (H’) and Evenness
(J’) of mangrove in Ujungalang was categorized as low.
Keywords: Mangrove, Density, Index of Diversity, and Evenness
I. PENDAHULUAN
Ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang berfungsi sebagai penyerap
karbon (blue carbon) di udara maupun di perairan (laut), dengan kata lain, blue
carbon merupakan upaya untuk mengurangi emisi karbondioksida sehingga bisa
memitigasi pemanasan global dan perubahan iklim dengan cara menjaga keberadaan
ekosistem pesisir (Burhanuddiin, 2017).
Blue carbon yang diperkenalkan oleh UNEP, FAO, dan UNESCO pada tahun
2009 (Hartati et al, 2017), mengacu kepada pentingnya ekosistem laut dan pesisir
sebagai penyerap karbon dan pengendali iklim (Kennedy et al., 2010). Potensi
ekosistem mangrove dalam menyerap karbon di atmosfer, dapat menjadi kekuatan
Indonesia dalam memerangi Global Warming, dengan didukung kondisi geografis
Indonesia yang memiliki garis pantai yang panjang.
Mangrove berasal dari kata mangro, yaitu nama umum untuk tumbuhan
Rhizopora mangle di Suriname (Purnobasuki, 2005). Definisi mangrove merupakan
formasi tumbuhan litoral yang khas dan tumbuh di pantai yang terlindung di daerah
tropis dan subtropis (Hutchings dan Saenger, 1987). Mangrove tumbuh di daerah
yang dipengaruhi oleh sedimentasi muara sungai, dan lingkungan perairan yang
mempengaruhi variasi jenis mangrove. Tidak terkecuali mangrove di Segara Anakan
Kabupaten Cilacap.
Hutan mangrove di Kecamatan Kampung Laut, berada di kawasan Segara
Anakan tipe estuaria semi tertutup yang berupa laguna, karena terletak di pantai
selatan Jawa dan terhalang Pulau Nusakambangan (Sukaryanto, 2004 dalam Ratini,
2016). Awalnya, hutan mangrove di Kecamatan Kampung Laut Kabupaten Cilacap
merupakan mangrove terbesar di Pulau Jawa. Namun, sejak tahun 2000, kawasan
hutan mangrove mengalami konversi besar-besaran menjadi lahan pertanian, areal
tambak, permukiman, dan illegal logging oleh masyarakat sekitar (Perum Perhutani,
2000).
Tercatat luas hutan mangrove di Segara Anakan pada tahun 1974 sekitar
15.551 Ha, dan terus mengalami penyusutan hingga hanya sekitar 8.369 Ha pada
tahun 2003. Tidak menutup kemungkinan, keadaan tersebut akan terus menyusut
dikarenakan banyaknya masyarakat yang ingin memanfaatkan sumberdaya hutan
mangrove, demi kebutuhan maupun keuntungan ekonomi, sehingga berdampak pada
peningkatan kerusakan lingkungan di kemudian hari (Kantor Pengelola Sumberdaya
Kawasan Segara Anakan (KPSKSA) Kabupaten Cilacap, 2009).
Data Penelitian
Data yang digunakan yaitu data sampling di 8 stasiun sampling. Stasiun
sampling ditentukan berdasarkan 3 kelas kerapatan yang didapat dari interpretasi citra
Landsat 8 tahun 2018. Interpretasi citra menggunakan nilai NDVI (Normalized
Difference Vegetation Index), dimana metode tersebut digunakan untuk mengetahui
tingkat kehijauan pada vegetasi. Kelas kerapatan yang dihasilkan yaitu kelas
kerapatan tinggi, sedang, dan rendah. Dari 3 kelas kerapatan, penentuan stasiun
sampling menggunakan metode purposive sampling (Hadi, 1979).
Kegiatan pengambilan data di stasiun sampling dilakukan dengan mengukur
DBH (Diameter Breast High) dan tinggi vegetasi pada plot 10 m x 10 m untuk
Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018 289
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Struktur dan Komposisi Vegetasi Mangrove di Segara Anakan Cilacap
Metode Penelitian
Data vegetasi yang diperoleh dari masing-masing stasiun sampling dianalisa
menggunakan metode Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) yang meliputi:
a) Kerapatan (K) yaitu jumlah individu per unit area.
b) Basal Area (BA) yaitu tutupan unit area oleh batang pohon.
Keterangan:
KR = Kerapatan Relatif
K ind = Kerapatan Individu tiap spesies i
K tot = Kerapatan total individu
d) Dominansi Relatif merupakan prosentase penutupan suatu spesies terhadap unit
area, didapat dari nilai basal area.
Keterangan:
DR = Dominansi Relatif
Bai = Total basal area tiap spesies ke-i
Untuk kategori semai, perhitungan DR menggunakan rumus:
Keterangan:
DR = Dominansi Relatif
Coi = Rata-rata nilai tengah prosentase penutupan tiap spesies ke-i
Co = Total prosentase penutupan dari semua spesies
e) Indeks Nilai Penting diperoleh untuk mengetahui spesies yang mendominasi di
unit area.
Keterangan:
NP = Nilai Penting
KR = Kerapatan Relatif
DR = Dominansi Relatif
f) Indeks Keanekaragaman (H’) merupakan karakteristik dari suatu komunitas.
Keterangan:
H’ = Indeks Shannon-Wienner
N = Jumlah Total Spesies
Menurut Krebs (1985), kriteria indeks keanekaragaman dikelompokkan dalam tiga
jenis, yaitu:
H’ < 1 = keanekaragaman jenis rendah
1 < H’ < 3 = keanekaragaman jenis sedang
H’ > 3 = keanekaragaman jenis tinggi
g) Indeks Keseragaman (J’) adalah perbandingan antara nilai keanekaragaman
denganLogaritma natural dari jumlah spesies.
Keterangan:
J’ = Indeks Keseragaman
H’ = Indeks Shannon-Wienner
S = Jumlah Spesies
Menurut Krebs (1985), kriteria indeks keseragaman berkisar antara 0-1, dimana:
J’ < 0,6 = keseragaman jenis tinggi
0,4 < J’ < 0,6 = keseragaman jenis sedang
J’ > 0,4 = keseragaman jenis rendah
A. Kategori Pohon
Data vegetasi mangrove kategori pohon di jabarkan pada Tabel 2. Hasil dari
Tabel 2., menunjukkan bahwa spesies Bruguiera gymnorrhiza mendominansi di 3 dari
8 stasiun sampling yaitu Ujungalang 4, Ujungalang 5, dan Ujungalang 8 dengan
jumlah individu per Ha masing-masing 767, 367, dan 1867. Kondisi tersebut
diperkuat dengan nilai Indeks Nilai Penting (INP) yang lebih tinggi dari jenis lain
yang ditemukan. Keadaan yang sama terjadi pada spesies Rhizophora mucronata
Tabel 2. Nilai Kerapatan (K), Basal Area (BA), Kerapatan Relatif (KR), Dominansi
Relatif (DR), dan Indeks Nilai Penting (INP) Tiap Spesies Kategori Pohon di
Stasiun Sampling Ujungalang
Lokasi / Spesies K(ind/Ha) BA (cm2/Ha) KR (%) DR (%) INP (%)
Ujungalang 1
Rhizophora mucronata 900 59701.61 65.85 61.87 127.72
Rhizopora apiculata 333 28782.03 24.39 29.83 54.22
Aegiceras corniculatum 133 8016.42 9.76 8.31 18.06
Jumlah 1367 96500.05 100 100 200
Ujungalang 2
Bruguiera cylindrica 333 25000.68 7.87 7.01 14.88
Aegiceras corniculatum 3567 188868.65 84.25 52.95 137.20
Avicennia marina 333 142849.92 7.87 40.05 47.92
Jumlah 4233 356719.24 100 100 200
Ujungalang 3
Rhizophora mucronata 2967 261311.59 89.90 61.00 150.90
Sonneratia alba 267 164003.41 8.08 38.29 46.37
Bruguiera gymnorrhiza 67 3053.65 2.02 0.71 2.73
Jumlah 3300 428368.64 100 100 200
Ujungalang 4
Bruguiera gymnorrhiza 900 63560.67 84.38 75.14 159.52
Ceriops tagal 167 21027.01 15.63 24.86 40.48
Jumlah 1067 84587.68 100 100 200
Ujungalang 5
Bruguiera gymnorrhiza 400 48688.84 44.44 55.93 100.38
Sonneratia caseolaris 133 16972.49 14.81 19.50 34.31
Rhizophora mucronata 167 11183.11 18.52 12.85 31.37
Xylocarpus granatum 200 10205.00 22.22 11.72 33.95
Jumlah 900 87049.44 100 100 200
Ujungalang 6
Sonneratia caseolaris 767 83793.26 33.33 100.00 133.33
Nypa fruticans 733 0.00 66.67 0.00 66.67
Jumlah 1500 83793.26 100 100 200
Ujungalang 7
Rhizophora mucronata 3633 335896.79 77.86 71.41 149.26
Bruguiera gymnorrhiza 933 91428.17 20.00 19.44 39.44
Sonneratia caseolaris 67 31397.64 1.43 6.67 8.10
Sonneratia alba 33 11683.94 0.71 2.48 3.20
Jumlah 4667 470406.54 100 100 200
Ujungalang 8
Sonneratia caseolaris 67 12030.13 2.20 5.14 7.34
Xylocarpus moluccensis 167 13726.51 5.49 5.87 11.36
Bruguiera gymnorrhiza 2800 208203.98 92.31 88.99 181.30
Jumlah 3033 233960.62 100 100 200
Sumber: Hasil Olah Data, Pramita (2018)
20000
15000
Kerapatan (ind/Ha)
10000 Basal Area (cm2/m2)
5000
0
UA 1 UA 2 UA 3 UA 4 UA 5 UA 6 UA 7 UA 8
Gambar 2. Perbandingan Kerapatan (K) dan Basal Area (BA) Mangrove Kategori
Pohon di Stasiun Sampling. Sumber: Hasil Olah Data
B. Kategori Anakan
Data vegetasi mangrove kategori anakan di jabarkan pada Tabel 4. Hasil dari
Tabel 4., menunjukkan bahwa spesies Bruguiera gymnorrhiza mendominansi di 3 dari
8 stasiun sampling yaitu Ujungalang 4, Ujungalang 7, dan Ujungalang 8. Kondisi
tersebut ditunjukkan dengan nilai Indeks Nilai Penting (INP) yang lebih tinggi dari
jenis lain yang ditemukan. Selanjutnya, spesies Rhizophora mucronata mendominasi
di 2 stasiun plot, yaitu di Ujungalang 1 dan Ujungalang 3. Untuk spesies Aegiceras
corniculatum, Acanthus ilicifolius, dan Sonneratia caseolaris hanya mendominansi
pada 1 stasiun sampling, masing-masing pada Ujungalang 2, Ujungalang 5, dan
Ujungalang 6.
Tabel 4. Nilai Kerapatan (K), Basal Area (BA), Kerapatan Relatif (KR), Dominansi
Relatif (DR), dan Indeks Nilai Penting (INP) Tiap Spesies Kategori Anakan
di Lokasi Sampling Ujungalang
Lokasi / Spesies K(ind/Ha) BA (cm2/Ha) KR (%) DR (%) INP (%)
Ujungalang 1
Rhizophora mucronata 667 14491.10 38.46 50.81 89.27
Bruguiera gymnorrhiza 667 12230.30 38.46 42.88 81.34
Acanthus ilicifolius 400 1799.22 23.08 6.31 29.39
Jumlah 1733 28520.62 100 100 200
Ujungalang 2
Aegiceras corniculatum 12000 258566.44 100.00 100.00 200.00
Jumlah 12000 258566.44 100 100 200
Ujungalang 3
Rhizophora mucronata 6000 96818.76 100.00 100.00 200.00
Jumlah 6000 96818.76 100 100 200
Ujungalang 4
Bruguiera gymnorrhiza 1600 22435.30 50.00 47.56 97.56
Ceriops tagal 1467 22451.00 45.83 47.59 93.42
Sonneratia alba 133 2289.06 4.17 4.85 9.02
Jumlah 3200 47175.36 100 100 200
Ujungalang 5
Acanthus ilicifolius 400 1212.04 75.00 34.62 109.62
Sonneratia caseolaris 133 2289.06 25.00 65.38 90.38
Jumlah 533 3501.10 100 100 200
Ujungalang 6
Sonneratia caseolaris 267 2641 100.00 100 200.00
Jumlah 267 2641 100 100 200
Ujungalang 7
Rhizophora mucronata 535 7617.64 33.33 27.15 60.48
Bruguiera gymnorrhiza 167 20438.26 66.67 72.85 139.52
Jumlah 1600 28056 100 100 200
Ujungalang 8
Ceriops tagal 533 2405.24 17.39 5.09 22.48
Rhizophora mucronata 133 452.16 4.35 0.96 5.30
Bruguiera gymnorrhiza 2400 44399.60 78.26 93.95 172.21
Jumlah 3067 47257.00 100 100 200
Sumber: Hasil Olah Data Penulis (2018)
15000
10000
5000
0
UA1 UA2 UA3 UA4 UA5 UA6 UA7 UA8
Gambar 3. Perbandingan Kerapatan (K) dan Luas Basal Area (BA) Mangrove
Kategori Anakan di Stasiun Sampling. Sumber: Hasil Olah Data Penulis (2018).
C. Kategori Semai
Data vegetasi mangrove kategori semai (seedling) di jabarkan pada Tabel 6.
Hasil dari Tabel 6., menunjukkan bahwa spesies Derris trifoliata mendominansi di 2
dari 8 stasiun sampling yaitu Ujungalang 6, dan Ujungalang 8. Kondisi tersebut
dikarenakan hanya ada 1 spesies kategori semai yang terdapat di stasiun sampling.
Selanjutnya, di tiap stasiun sampling didominasi oleh spesies yang berbeda-beda.
Tabel 6. Nilai Kerapatan (K), Basal Area (BA), Kerapatan Relatif (KR), Dominansi
Relatif (DR), dan Indeks Nilai Penting (INP) Tiap Spesies Kategori Semai di
Stasiun Sampling Ujungalang
Lokasi / Spesies K(ind/Ha) BA (%) KR (%) DR (%) INP (%)
Ujungalang 1
Rhizophora mucronata 6667 25 5 33.33 38.74
Acanthus ilicifolius 63333 25 51 33.33 84.68
Ceriops tagal 53333 25 43 33.33 76.58
Jumlah 123333 75.00 100 100 200
Ujungalang 2
Bruguiera cylindrica 23333 25 7.95 25 32.95
Aegiceras corniculatum 270000 75 92.05 75 167.05
Jumlah 293333 100 100 100 200
Ujungalang 3
Rhizophora mucronata 20000 25 100 100 200
Jumlah 20000 25 100 100 200
Ujungalang 4
Bruguiera gymnorrhiza 123333 25 67 33.33 100.61
Ceriops tagal 10000 25 5 33.33 38.79
Derris trifoliata 50000 25 27 33.33 60.61
Jumlah 183333 75 100 100 200
Ujungalang 5
Derris trifoliata 76667 25 7.90 33.33 41.24
Acrostichum aureum 893333 50 92.10 66.67 158.76
Jumlah 970000 75 100 100 200
Ujungalang 6
Derris trifoliata 60000 25 100.00 100 200.00
Jumlah 60000 25 100 100 200
Ujungalang 7
Bruguiera gymnorrhiza 3333 25 33.33 50 83.33
Rhizophora mucronata 6667 25 66.67 50 116.67
Jumlah 10000 50 100 100 200
Ujungalang 8
Derris trifoliata 16667 25 100 100 200
Jumlah 16667 25 100 100 200
Sumber: Hasil Olah Data Penulis (2018)
Kerapatan (ind/Ha)
1500000
1000000
500000
0
UA1 UA2 UA3 UA4 UA5 UA6 UA7 UA8
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, kesimpulan yang diproleh yaitu, di Ujungalang
ditemukan 15 spesies mangrove dari 9 famili. Secara umum, vegetasi mangrove
kategori pohon dan kategori anakan di Ujungalang didominasi oleh spesies Bruguiera
gymnorrhiza. Untuk kategori semai, didominasi oleh spesies Derris trifoliata. Nilai
Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (J’) kategori pohon, anakan, maupun
semai di Ujungalang termasuk dalam kategori rendah.
Tingkat pemanfaatan mangrove oleh masyarakat sekitar relatif rendah,
ditunjukkan dengan ditemukannya vegetasi mangrove di Kabupaten Banggai dan
Banggai Kepulauan di beberapa kelas diameter batang pohon dari 10 hingga > 50 cm
serta tinggi pohon dari 5 hingga > 50 m.
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddiin, S. 2017. Interview of Besarnya Potensi Karbon Biru dari Pesisir
Indonesia, Tetapi Belum Ada Roadmap Blue Carbon. Kenapa?. Deputi Bidang
SDM, Iptek, dan Budaya Maritim. KementerianKoordinator Kemaritiman.
Jakarta.
Hadi, S. 1979. Metodology Research II. Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi. UGM.
Yogyakarta.
Hartati, R., Pratikno, I., dan Pratiwi, T.N. 2017. Biomassa dan Estimasi Simpanan
Karbon pada Ekosistem Padang Lamun di Pulau Menjangan Kecil dan Pulau
Sintok, Kepulauan Karimun Jawa. Buletin Oseanografi Marina Vol 6 No.
1:74-81. Semarang: Universitas Diponegoro.
Hutching, P. and Saenger, P. 1987. Ecology of Mangrove. Aust. Eco. Series.
Queensland: University of Queensland Press. St. Lucia.
Kennedy, H. and Bjork, M. 2009. Seagrass Meadows. In: Laffoley D.D.A and
Grimsditch G. (Eds). The Management of Natural Coastal Carbon Sinks.
Glan: IUCN
Mueller-Dumbois, D., dan H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation
Ecology. John Willey. London.
Pribadi, R. 1998. The Ecology of Mangrove Vegetation in Bintuny Bay, Irian Jaya
Indonesia. Departement of Biological Molecular Sciences. University of
Stirling, Scotlandia. (Ph.D. Thesis Unpublished).
Purnobasuki, H. 2005. Tinjauan Perspektif Hutan Mangrove. Surabaya: Airlangga
University Press.
Ratini., Sulistyana, B., Buadiarti, T. 2016. Perencanaan Konservasi Ekosistem
Mangrove Desa Ujung Alang Kecamatan Kampung Laut Kabupaten Cilacap.
Jurnal Silvikultur Tropika Vol 7 Hal 108-114. Bogor: Institiut Pertanian
Bogor.
Suhartati M. Natsir
Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI
Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur, Jakarta 14430
Email: [email protected]
Abstrak
Pulau Penjaliran Timur merupakan salah satu pulau yang terdapat pada zona inti Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu dan termasuk dalam kawasan hijau lindung. Berdasarkan
hasil penelitian tentang sifat dan habitatnya, terdapat hubungan erat foraminifera dengan
terumbu karang. Jenis foraminifera tertentu mempunyai kesamaan kualitas lingkungan yang
dibutuhkan untuk hidup dengan terumbu karang. Oleh karena itu, kajian tentang komunitas
foraminifera ini juga sangat penting untuk dapat mengetahui kondisi lingkungan untuk
pertumbuhan terumbu karang melalui penghitungan FORAM Index (Foraminifera in Reef
Assessment and Monitoring Index). Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Desember
2016 di sekitar ekosistem terumbu karang Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan Seribu. Jumlah
spesies foraminifera bentik yang ditemukan di Pulau Tersebut mencapai 44 spesies dengan
kelimpahan yang beragam. Lebih dari 50 foraminifera bentik yang ditemukan merupakan
foraminifera kecil yang heterotrof. Sedangkan, berdasarkan hasil penghitungan FORAM Index
diperoleh nilai rata-rata 3,18 yang mengindikasikan bahwa kondisi perairan di sekitar Pulau
Penjaliran Timur tergolong lingkungan peralihan. Kondisi tersebut masih layak untuk
pertumbuhan terumbu karang, namun cenderung tidak kondusif untuk proses recovery jika
terjadi degradasi.
Kata kunci: Foraminifera, FORAM Index, Penjaliran Timur dan Kepulauan Seribu.
Abstract
Penjaliran Timur Island is one of the islands located in the core zone of Seribu Islands
Marine National Park and included in the protected green area. Based on the results of
research on the characteristic and habitat, there is a close relationship between foraminifera
and coral reef. Certain foraminifera have same environmental requirement to live with coral
reefs. Therefore, the study of foraminiferal assemblages is also very important to have shed
light on the environmental conditions for the growth of coral reefs through the calculation of
FORAM Index (Foraminifera in Reef Assessment and Monitoring Index). Sampling was
conducted on December 2016 around the coral reef ecosystems of East Penjaliran Island,
Thousand Islands. Collected species of benthic foraminifera from the island reach 44 species
with a diverse abundance. More than 50 benthic foraminifera found as small, heterotrophic
foraminifera. Meanwhile, based on the FORAM Index gained values on average of 3.18. It
indicates that Penjaliran Timur Island is classified as environment change for coral reefs
growth. The condition was feasible for the growth of coral reefs, but it tends to unfavorable
environment for their recovery.
Keywords: Foraminifera, FORAM Index, Penjaliran Timur Island and Seribu Islands
I. PENDAHULUAN
Secara geologis, Kepulauan Seribu termasuk sebuah sedimen cekungan yang
berasal dari zaman Mesozoikum dan dibatasi oleh geantiklin pada bagian selatan dan
paparan yang stabil pada bagian utara (Arpandi dan Sujitno, 1975). Berdasarkan Peta
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu Tahun
2010-2030, kawasan tersebut memiliki 117 pulau yang tersebar di Kecamatan
Kepulauan Seribu Selatan dan Kepulauan Seribu Utara. Sebagian besar Pulau di
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara termasuk dalam kawasan Taman Nasional Laut
Kepulauan Seribu yang dilindungi.
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam Departemen Kehutanan Nomor SK.05/IV-KK/2004, Pulau Penjaliran Timur
merupakan salah satu pulau yang terletak pada zona inti II dan termasuk dalam
kawasan hijau lindung Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS) (Gambar 1).
Zona inti merupakan bagian dari kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan
tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Sedangkan
Kawasan Hijau Lindung adalah bagian dari kawasan hijau yang memiliki karakteristik
alamiah yang perlu dilestarikan untuk tujuan perlindungan habitat setempat maupun
untuk tujuan perlindungan wilayah yang lebih luas.
Secara umum, perairan TNKpS didominasi oleh ekosistem terumbu karang.
Perairan di kawasan ini relatif lebih baik untuk pertumbuhan terumbu karang
dibandingkan dengan kawasan Kepulauan Seribu bagian selatan karena rendahnya
pengaruh polusi dari daratan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Giyanto
dan Soekarno (1997), persentase tutupan karang hidup di perairan Kepulauan Seribu
bagian Selatan lebih rendah dibandingkan dengan bagian tengah dan utara. Masuknya
air tawar yang menyebabkan menurunnya salinitas air laut, terbawanya endapan
lumpur sehingga meningkatkan sedimentasi serta faktor-faktor lainnya dapat
menurunkan persentase tutupan karang hidup di perairan dan meningkatkan
persentase tutupan abiotik.
Pemantauan secara intensif terhadap kondisi karang dan lingkungan sekitarnya
menjadi sangat penting karena memiliki fungsi sangat besar bagi berbagai biota laut.
Metode sederhana yang dapat digunakan untuk memantau kondisi terumbu karang
adalah melalui penghitungan indeks keanekaragaman biota yang berasosiasi dengan
terumbu karang seperti foraminifera bentik. Salah satu metode yang telah
dikembangkan adalah melalui penghitungan FORAM Index (Foraminifera in Reef
Assessment and Monitoring Index) (Hallock, et al. 2003). Foraminifera telah banyak
ditemukan dalam jumlah melimpah terutama pada ekosistem terumbu karang.
Yamano et al. (2000) menyatakan bahwa 30% dari total sedimen yang terhampar di
Pulau Green, Great Barrier Reef, Australia adalah foraminifera bentik sehingga
organisme tersebut merupakan salah satu kontributor dalam pembentukan terumbu
karang. Foraminifera tertentu memerlukan kesamaan kualitas air dengan berbagai
biota pembentuk terumbu karang serta siklus hidupnya yang cukup singkat sehingga
dapat menggambarkan perubahan lingkungan yang terjadi dalam waktu cepat.
Disamping itu, pengambilan sampel foraminifera berpengaruh sangat kecil terhadap
ekosistem terumbu karang sehingga aman untuk kelestarian terumbu karang tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan foraminifera bentik sebagai
indikator perairan daerah terumbu karang di sekitar perairan Pulau Penjaliran Timur,
Kepulauan Seribu.
Lokasi sampling
Ph = Nh/T, (“Nh" Jumlah spesimen yang mewakili foraminifera kecil lain yang
heterotrofik: beberapa genera dari Miliolida, Rotaliida, Textulariida dan
lain-lain)
T = Jumlah total spesimen dari setiap sampel yang diuji
masing-masing stasiun, kecuali pada bagian barat perairan Pulau Penjaliran Timur
dengan kedalaman 28,50 m, yang hanya mencapai 47 individu (Tabel 1). Peneroplis
merupakan salah satu penciri perairan terumbu karang yang juga ditemukan oleh
Schueth dan Frank (2008) dalam jumlah melimpah di Low Isles Reef, Great Barrier
Reefs, Australia. Selain itu, terdapat beberapa foraminifera bentik oportunis yang juga
ditemukan melimpah di perairan tersebut.
Gambar 3. Porsi foraminifera bentik secara umum yang ditemukan di perairan Pulau
Penjaliran Timur, Kepulauan Seribu (Hallock et. al., 2003)
pada bagian timur dan selatan dengan nilai yang sama (Tabel 2). Dengan demikian,
berdasarkan interpretasi Hallock et al (2003), perairan tersebut tergolong cukup untuk
pertumbuhan terumbu karang, namun juga termasuk dalam kategori lingkungan
peralihan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa perairan sekitar Pulau Penjaliran
Timur cenderung kurang kondusif untuk proses pemulihan (recovery) bila terjadi
kerusakan pada terumbu karang. Oleh karena kondisi yang demikian, diperlukan
upaya maksimal dalam menjaga kesehatan terumbu karang di kawasan ini sehingga
tetap lestari. Hal tersebut berdasarkan kondisi lingkungan yang memberikan sedikit
kemungkinan bagi terumbu karang untuk melakukan recovery jika terjadi degradasi.
Tabel 2. Nilai FORAM Index pada Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan Seribu.
Stasiun
Keterangan
Utara Timur Selatan Barat
Ps 0.19 0.18 0.18 0.19
Po 0.27 0.29 0.30 0.30
Ph 0.53 0.54 0.52 0.51
FORAM Index 3.27 3.13 3.13 3.22
Keterangan : Po = Porsi foraminifera yang berasosiasi dengan terumbu karang
Ps = Porsi foraminifera oportunis
Ph = Porsi foraminifera heterotrof kecil lainnya
28,5-34,50 m. Kondisi tersebut masih dapat ditolerir oleh foraminifera bentik yang
dapat hidup sampai daerah neritik luar dengan kedalaman 200 m (Phleger, 1960 dan
Biswas, 1979). Di sisi lain, foraminifera merupakan organisme yang mempunyai
toleransi tinggi terhadap suhu. Dodd dan Stanton (1981) menyebutkan bahwa
toleransi foraminifera terhadap suhu luas dan bervariasi dari 40°C di daerah pasang
sampai -20 °C di laut dingin. Sedangkan menurut Natland (1933) dalam
Pringgoprawiro, (1992) menyatakan bahwa umumnya foraminifera dapat hidup pada
suhu antara 1-50°C. Suhu mempengaruhi pertumbuhan cangkang, terutama pada
foraminifera berdinding agglutinated. Diketahui bahwa pada daerah beriklim dingin,
golongan ini memiliki cangkang yang besar, dan sebaliknya di daerah tropis memiliki
cangkang maksimum. Suhu yang tercatat selama penelitian di Pulau Penjaliran Timur
berkisar antara 29,10-29,37°C yang tergolong normal bagi pertumbuhan foraminifera
(Tabel 3).
Foraminifera bentik yang ditemukan di Pulau Penjaliran Timur merupakan
golongan Milioliina. Murray (1973) menyatakan bahwa pengaruh salinitas yang
signifikan terjadi pada kelompok Miliolidae. Foraminifera dari kelompok Subordo
Milioliina memiliki toleransi yang rendah terhadap salinitas. Perairan dengan salinitas
kurang dari 32 ppt akan menyebabkan foraminifera dari Subordo Milioliina tidak
dapat mempertahankan pseudopodianya. Namun hal tersebut tidak terjadi pada
foraminifera yang ditemukan selama penelitian karena kisaran salinitas yang tercatat
selama penelitian termasuk dalam nilai toleransi pertumbuhan foraminifera yang
normal. Jenis substrat pada sebagian besar perairan tersebut terdiri dari pasir dan
fragmen karang yang sangat baik untuk pertumbuhan foraminifera bentik. Kondisi
lingkungan disekitar Pulau Penjaliran Timur relatif cukup stabil dan seragam dengan
salinitas dan pH yang masing-masing berkisar antara 31,20-32,36 ppt dan 7,65-7,95
(Tabel 3).
IV. KESIMPULAN
Secara keseluruhan, foraminifera bentik yang diperoleh dari Pulau Penjaliran
Timur terdiri dari 44 spesies yang meliputi 20 genus dan merupakan anggota dari
subordo Rotaliina dan Milioliina. Foraminifera bentik yang berasosiasi dengan
terumbu karang di perairan ini antara lain Calcarina, Operculina, Peneroplis dan
Sorites. Sedangkan beberapa foraminifera bentik oportunis yang ditemukan di
perairan Penjaliran Timur adalah anggota dari genus Elphidium dan Flintina.
Kelompok foraminifera heterotrof kecil lain yang mendominasi perairan penjaliran
timur adalah anggota dari genus Quinqueloculina yang diwakili oleh 11 spesies.
Berdasarkan hasil penghitungan diperoleh nilai FORAM Index pada lokasi
tersebut rata-rata mencapai 3,18. Dengan demikian, perairan disekitar Pulau
Penjaliran Timur tergolong cukup untuk pertumbuhan terumbu karang, namun juga
termasuk dalam kategori lingkungan peralihan yang cenderung kurang kondusif untuk
proses pemulihan (recovery) bila terjadi kerusakan. Oleh karena itu, diperlukan upaya
maksimal dalam menjaga kesehatan terumbu karang di kawasan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Albani, R. D. 1979. Recent Shallow Water Foraminifera From New South Wales.
AMS Handbook No. 3. The Australian Marine Assosiation, Australia.
Arpandi dan Sujitno. 1975. Geologi Daerah Dataran Jakarta dan Sekitarnya. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Nasional-LIPI, Jakarta.
Barker, R.W. 1960. Taxonomic Notes. Society of Economic Paleontologist and
Mineralogist. Special Publication No. 9. Tulsa. Oklahoma, USA. 238 pp.
Boltovskoy, E. and R. Wright. 1976. Recent Foraminifera. Dr. W. Junk, B. V.
Publisher, The Hague, Netherland. 515 pp.
Cushman, J. A. 1969. Foraminifera –Their Classification and Economic Use. Harvard
University Press, Cambridge, Massachusetts.
Dodd, J. R. and R. J. Stanton. 1981. Paleoecology, Concepts and Application. John
Wiley and Sons Inc, New York.
Graham, J. J. and Militante, P. J. 1959, Recent Foraminifera from the Puerto Galera
Area, northern Mindoro, Philippines: Stanford Univ. Pubs., Geological
Science, v. 6, p. 1-171.
Gustiantini, L. dan E. Usman. 2008. Distribusi Foraminifera Bentik sebagai Indikator
Kondisi Lingkungan di Perairan Sekitar Pulau Batam - Riau Kepulauan.
Jurnal Geologi Kelautan. Vol.6 (1): 43-52.
Hallock, P.,B.H. Lidz, E.M. Cockey-Burkhard, and K.B. Donnelly. 2003.
Foraminifera as bioindicators in coral reef assessment and monitoring: the
FORAM Index. Environmental Monitoring and Assessment, 81(1-3):221-238.
Loeblich, A. R. & H. Tappan. 1992. Present status of foraminiferal classification, in
Studies in Benthic Foraminifera, (eds Y. Takayanagi and T. Saito),
Poceedings of The Forth International Symposium on Benthic Foraminifera,
Sendai, 1990 (Benthos ’90), Tokai University Press, Tokyo, Japan, pp. 93-102.
Phleger, F. B. 1960. Ecology and Distribution of Recent Foraminifera. The John
Hopkins Press, Baltimore. Maryland. 297 p.
Pringgoprawiro, H. 1982. Mikropaleontologi Lanjut. Laboratorium Mikropaleontologi
Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Schueth, J.D. and Frank, T.D. 2008. Reef Foraminifera as Bioindicators of Coral
Reef Health: Low Isles Reef, Northern Great Barrier Reef, Australia. Journal
of Foraminiferal Research, v. 38, no. 1: 11–22.
Murray, J. W. 1973. Distribution and Ecology of Living Foraminifera. The John
Hopkins Press. Baltimore.
Murray. J. W. 2006. Ecology and Applications of Benthic Foraminifera. Cambridge
Univ. Press. 426 pp.
Renema, W., 2008. Habitat Selective Factors Influencing the Distribution of Larger
Benthic Foraminiferal Assemblages Over the Kepulauan Seribu. Marine
Micropaleontology 68: 286–298.
Suhartati. 1994. Benthic Foraminifera In The Seagrass Beds of Pari Island – Seribu
Islands, Jakarta. Proceedings. Third ASEAN-Australia Symposium On Living
Coastal Resources. Volume 2: Research Papers. Chulalongkorn University
Bangkok, Thailand. P. 323.
Suhartati, M. N. 2010. Sebaran Foraminifera Bentik di Pulau Belanda, Kepulauan
Seribu pada Musim Barat. Ilmu Kelautan, Edisi khusus, Vol . 2: 381 – 387.
Uchio, T. 1966. Ecology of living benthonic fomraminifera from the San Diego,
California area. Cushman foundation for Foraminifera Research, Special
Publication No.5.
Yamano, H., T. Miyajima and I. Koike. 2000. Importance of foraminifera for the
formation and maintenance of a coral sand cay: Green Island, Australia. Coral
Reefs (19): 51-58.
Abstrak
Untuk meningkatkan kwalitas dan kwantitas produksi garam perlu mencari metode
pembuatan garam yang cepat dan tidak tergantung pada musim. Salah satunya dengan
menggabungkan proses evaporasi dengan energi non matahari dan percepatan kristalisasi
dengan penambahan ion sejenis pada air tua yang minimal punya kadar 25%. Untuk mencapai
konsentrasi air tua tersebut dilakukan dengan cara pemekatan dari air laut yang mempunyai
salinitas minimal 25‰ dengan menggunakan rotary evaporator. Hasil yang diperoleh berupa
garam dengan kemurnian tinggi (min 99,5 %), dan mempunyai hasil samping berupa bittern
yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, baik dalam bidang industri maupun
kesehatan.
Kata kunci: Air laut, pemekatan, dan ion sejenis.
Abstract
To improve quality and quantity of salt productions nedded good and quickly method for
production that salt which independent to weather. One of them by combine non solar energy
evaporation procces with common ion effect recristalitation on concentrate sea water or old
water. The old water was found by evaporation of sea water with 25‰ minimal salinity by
rotary evaporator until one of ten its volume. The yield was salt with hight purity not less
than 99,5% and have side product of bittern which usefuul for anything as industry or health
matterial.
Keywords: Concentrated, sea water, and common ion
I. PENDAHULUAN
Garam yang dihasilkan oleh petani garam dari tambak-tambak garam yang
tersebar wilayah perairan Nusantara diproduksi dengan cara yang sederhana, hingga
mempunyai kwalitas yang rendah dan tidak bisa masuk ke ranah industri. Oleh karena
itu untuk meningkatkan mutu garam yang diproduksi oleh petani garam dan agar bisa
masuk ke dunia industri maka diperlukan adanya teknologi prosesing yang bisa
dimulai dari pemilihan bahan baku, cara pembuatan garam, maupun prosesing pasca
panen (Giman, Mahmiah, 2012)
Perlakuan pada bahan baku untuk pembuatan garam yaitu berupa air
laut, dapat dilakukan dengan pemilihan kwalitas air laut yang baik, atau juga dengan
cara treatment pada air laut misal dengan penyaringan. Setelah treatment pada bahan
baku, maka proses berikutnya yaitu evaporasi bahan baku supaya menjadi air tua yang
kemudian bisa dikristalisasi dengan cepat hingga akhirnya menjadi garam (Giman,
2013)
Proses pembuatan air tua dengan cara evaporasi selama ini menggunakan
panas matahari yang selalu tergantung pada musim. Oleh karena itu perlu dilakukan
Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018 311
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Air Laut Banjarwati Lamongan sebagai Precursor Sintesis Garam dengan Metode Penambahan Ion...
upaya yang optimal untuk mencari alternatif pembuatan air tua, salah satunya dengan
pemanas energi non matahari misal dengan energi biomasa, solar cell atau energi
listrik. Dengan menggabungkan proses pemanasan (energi listrik) dan percepatan
kristalisasi dengan penambahan ion sejenis diharapkan metode pembuatan garam ini
menjadi semakin efektif.
Pembuatan garam dari air laut yang diproses menjadi air tua dengan
pemanasan energi listrik yang dibantu dengan sistem penguapan vakum (misal rotary
evaporator), telah dijadikan sebagai cara alternatif yang perlu dikembangkan dalam
dunia pergaraman di Indonesia (Heru Susanto, 2013). Karena dengan menggunakan
metode ini atau disebut sebagai metode desalinasi akan memberikan hasil samping
berupa air tawar dan bittern yang merupakan sumber mineral makro yang sangat
bermanfaat bagi kesehatan manusia. Gabungan metode desalinasi dan penambahan
ion sejnis diharapkan memberikan alternatif metode pembuatan garam yang lebih
efektif dan efisien. Atas dasar hal tersebut di atas, saat ini perlu dilakukan penelitian
untuk mencari metode alternatif pembuatan garam dari air laut dengan
menggabungkan percepatan evaporasi dan rekristalisasi.
Adapun tujuan penelitian ini adalah memproduksi garam murni dari air laut
secara langsung, dengan pengembangan metode penambahan ion sejenis, dan
sekaligus memproduksi air tawar sebagai hasil samping.
A
F
E
250 ml
C D
Keterangan:
A. Labu alas bulat berisi garam dapur krosok
B. Corong pemisah berisi H2SO4 pekat
C. Pembakar spiritus
D. Botol pencuci gas berisi HCl pekat
E. Corong biasa yang terbalik (mulut corong harus tercelup larutan garam pekat)
F. Beaker glass berisi larutan garam rakyat pekat minimal 30%, yang diperoleh
dari hasil pemekatan air laut dengan alat rotary evaporator pada suhu 80-90⁰C
yang akan dikristalisasi.
Jam ke
31,00
1
30,50
2
30,00 3
Salinitas
29,50 4
5
29,00
6
28,50
7
28,00 8
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Gambar 2. Profil salinitas harian di Lokasi Desa Banjarwati Ponpes Sunan Drajat
Lamongan. Sumber: Giman, Engki(2012)
Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018 313
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Air Laut Banjarwati Lamongan sebagai Precursor Sintesis Garam dengan Metode Penambahan Ion...
Dari gambar tersebut tampak bahwa salinitas tertinggi berada pada jam 13.00
sampai jam 15.00 WIB, karena pada waktu tersebut terjadi penguapan maksimum.
Hasil analisis total suspended matter air laut di lokasi penelitian adalah terlihat
pada tabel 1. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan kandungan
pengotor pada bahan baku air laut yang akan digunakan sebagai bahan baku garam.
Dari tabel tersebut nampak bahwa kadar pengotor total suspended matter pada
minggu pertama sampai minggu ke tiga pengambilan sampel masih tergolong kecil.
Hal ini memberikan harapan bahwa bila air laut di lokasi ini dijadikan bahan baku
garam tentunya akan memberikan hasil yang baik, yaitu garam putih dengan
kemurnian yang tinggi.
Tabel 1. Kadar (%) total suspended matter (TSM) di lokasi Banjarwati Lamongan
No. Jam Minggu ke I (*10-4) Minggu ke II (*10-4) Minggu ke III (*10-4)
1 9 1.4 0.035 1.015
2 10 2.9 2.604 2.95
3 11 1.135 2.195 6.6
4 12 1.475 6.05 2.62
5 13 0.32 1.165 1.67
6 14 2.04 5.05 2.54
7 15 3.84 0.56 1.77
8 16 2.9 2.195 1
Sumber: Giman, Mahmiah (2013)
Hasil penelitian yang diperoleh ialah sementara berupa air tawar hasil
destilasi, dan air tua (air laut pekat) yang diproses dengan metode distilasi vakum
rotary evaporator. Air tua hasil destilasi vakum, dikristalisai dengan penambahan ion
sejenis sebagai tampak pada gambar 1, hingga menghasilkan garam NaCl yang
berwarna putih bersih, dengan kadar garam 99,5%, pH 4,6 dan kadar air 2,4%.
IV. KESIMPULAN
Garam hasil produksi dengan metode penambahan ion sejenis dalam skala
laboratorium mempunyai kadar NaCl 99,5%, kadar air 2,4%, dan pH 4,6. Perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari metode pembuatan garam dengan
penambahan ion sejenis dengan skala lebih besar
DAFTAR PUSTAKA
Giman, Mahmiah. 2012.Optimalisasi pemurnian garam rakyat (NaCl) dengan metode
penambahan ion sejenis. Laporan penelitian ( dalam proses dipublikasikan).
Universitas Hang Tuah.
Giman, 2013. Pemanfaatan unsur kimia dalam mendukung produktifitas garam
rakyat. Disampaikan dalam pertemuan “Pembahasan Strategi Implentasi
Teknologi Tepat Guna dalam Mendukung Swasembada Garam” Bogor: 8-9
April 2013.
Giman, Engki A.E. 2012. Optimalisasi waktu pengambilan air laut sebagai bahan
baku garam di Industri garam Sunan Drajat Lamongan. Laporan penelitian
(belum dipublikasikan). Universitas Hang Tuah.
Giman, Mahmiah. 2013. Analisis Kandungan pengotor fisik dan kemikal pada air laut
sebagai bahan baku garam di Industri garam Sunan Drajat Lamongan.
Laporan penelitian (belum dipublikasikan). Universitas Hang Tuah.
Heru Susanto. 2013. Pengembangan teknologi desalinasi untuk produksi air minum,
garam dan energi. Disampaikan dalam pertemuan “Pembahasan Strategi
Implentasi Teknologi Tepat Guna dalam Mendukung Swasembada Garam”
Bogor: 8-9 April 2013.
Rianta Pratiwi
Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI
l. Pasir Putih I No.1, Ancol Timur, Jakarta 14430
Email: [email protected]
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui aspek biologi dan bioekonomi dari jenis-jenis lobster
(Panulirus spp.) di pulau Weh, Sabang Aceh, agar keberadaanya di alam dapat terjaga dan tetap lestari.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2017 dan Maret 2018 di Pulau Weh, Sabang. Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari data primer dan sekunder. Data primer
meliputi aspek biologi dan ekonomi dari lobster Panulirus spp. Data biologi seperti: panjang karapas
(mm), berat lobster (gr), jenis kelamin dan kondisi lobster (kematangan kelamin). Data sekunder pada
penelitian ini, antara lain data hasil tangkapan atau produksi, dan upaya tangkap berdasarkan
wawancara secara terstruktur dengan menggunakan daftar kuesioner dan kondisi demografi masyarakat
nelayan lobster. Hasil penelitian terdapat 165 individu, 5 jenis dari suku Palinuridae dan satu jenis dari
suku Syllaridae yaitu: lobster Bambu Hijau (Panulirus versicolor), lobster Batu hitam (Panulirus
longipes), lobster Batik (Panulirus penicilatus), Lobster Hijau Pasir (Panulirus homarus), Lobster
Mutiara (Panulirus ornatus) dan Udang Kipas (Parribacus antarticus). Ukuran lobster betina terbesar:
panjang karapas lobster betina 34,57 mm dan panjang total 220,50 mm, sedangkan lobster jantan
panjang karapas 24,31 mm dan panjang total 165,00 mm serta panjang karapas lobster betina bertelur
12,00 mm dan panjang total 152,10 mm. Nilai indeks keanekaragaman lobster tertinggi ditemui di
lokasi Kreung Raya (H’=3,507), sedangkan nilai indeks dominansi tertinggi berada di Keuneukai
(C=0,267). Nilai indeks kemerataan Pielou tertinggi berada di Kreung Raya (J=0,973). Variasi tipe
substrat pada ekosistem merupakan faktor yang mempengaruhi keanekaragaman lobster. Keseluruhan
perairan Pulau Weh masih memiliki keanekaragaman lobster yang tinggi dan didominansi oleh lobster
Panulirus longipes (lobster batu hitam). Nilai jual lobster di Pulau Weh masih sangat tinggi dan jalur
distribusi penjualan secara ekonomi sangat baik dan terus menjanjikan di masa depan.
Kata kunci: Panulirus spp., Palinuridae, lobster laut, biologi.
Abstract
The purpose of this study was to determine the biological and bio-economic aspects of lobster
(Panulirus spp.) in Weh island, Sabang Aceh, in order to their existence in nature can be maintained
and sustainable. The research was conducted in March 2017 and March 2018 on Weh Island, Sabang.
The research method used in this study was obtained from primary and secondary data. Primary data
includes biological and economic aspects of Panulirus spp. Biological data such as: carapace length
(mm), lobster weight (gr), sex and lobster condition (genital maturity). Secondary data in this study,
including catch or production data, and capture efforts based on interviews in a structured manner
using a list of questionnaires and demographic conditions of lobster fishing communities. The results of
the study were 165 individuals, 5 species of Palinuridae and one species of Syllaridae, namely: Bambu
Hijau lobster (Panulirus versicolor), lobster Batu Hitam (Panulirus longipes), lobster Batik (Panulirus
penicilatus), Lobster Hijau Pasir (Panulirus homarus), Mutiara Lobster (Panulirus ornatus) and
Kipas shrimps (Parribacus antarticus). The largest size of female lobsters: carapace length of female
lobsters 34.57 mm and total length of 220.50 mm, while male lobster carapace length 24.31 mm and
total length 165.00 mm and length of carapace of ovigerous female lobsters 12.00 mm and total length
152.10 mm. The highest value of lobster diversity index was found at Kreung Raya (H '= 3,507), while
the highest dominance index was in Keuneukai (C = 0,267). The highest Pielou evenness index value is
in Kreung Raya (J = 0.973). Variations in substrate types in ecosystems are factors that influence
lobster diversity. The entire waters of Pulau Weh still have high lobster diversity and are dominated by
Panulirus longipes lobster (batu hitam lobster). The selling value of lobsters on Weh Island is still very
high and the sales distribution channels economically very good and continue to promise in the future.
Keywords: Panulirus spp., Palinuridae, sea lobster, biology
I. PENDAHULUAN
Luasnya wilayah perairan Indonesia (seluas 1.097.000 km2) dan 6.782,48 km2
diantaranya merupakan habitat dari lobster (Kanna, 2006 dalam Masithoh et al.,
2014) yang merupakan sumber perikanan komoditas penting. Salah satunya adalah di
pulau Weh, Sabang. Permasalahan perikanan lobster di pulau Weh, Sabang adalah
belum adanya kajian yang mengarah pada keterkaitan antara aspek biologi lobster
dengan ekonomi penangkapannya dalam satu kerangka biologi-ekonomi, padahal hal
ini menjadi penting untuk dilakukan mengingat keberlanjutan suatu sumberdaya ikan
harus pula didukung oleh keberlanjutan sistem ekonominya, meskipun bila dilihat
dari segi ekonomi sesungguhnya masih memiliki potensi sumberdaya perikanan yang
tinggi dan berpeluang untuk dikembangkan dengan baik. Menurut Pratiwi (2018)
masih banyak daerah-daerah di perairan Indonesia yang belum dieksploitasi dengan
baik dan benar, walaupun sebagian besar produksi lobster berasal dari hasil
eksploitasi di laut, oleh karenanya peranan dan potensi perairan perlu dijaga guna
mendukung produksi lobster.
Indonesia menjadi salah satu negara pengekspor lobster terbesar, karena
wilayah perairannya didominasi oleh terumbu karang yang merupakan habitat terbaik
bagi berbagai jenis lobster (Kalih, 2012). Pangsa pasar lobster tidak hanya di dalam
negeri tetapi juga di luar negeri, karena potensi lobster yang mempunyai nilai gizi
yang tinggi. Keberadaannya yang melimpah di perairan tropis menjadikan hewan ini
diburu dan ditangkap dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan pasar. Sebagai
komoditas ekonomis penting bagi konsumsi lokal dan eksport, pemenuhan permintaan
pasar yang tinggi, mendorong peningkatan upaya penangkapan lobster dari alam
(Mahdiana & Laurensia, 2011; Fauzi et al., 2013; Pratiwi, 2018). Dalam paradigma
pengelolaan perikanan yang maju, pengelolaan aspek ekonomi menjadi sangat penting
untuk dilakukan disamping pengelolaan aspek biologi. Sebagaimana diketahui bahwa
lobster termasuk pada sumber daya yang memiliki mobilitas rendah, karena hidup di
dasar perairan (Damora, 2016), oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya lobster
harus dikelola dengan baik dan benar.
Penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan potensi dari jenis-jenis lobster
yang memiliki nilai ekomomis penting untuk lebih dikembangkan sebagai penunjang
perikanan di pulau Weh. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai status terkini sumberdaya lobster di pulau Weh, Sabang sebagai
bahan masukan dalam pengelolaan perikanan agar pemanfaatannya dapat
berkelanjutan.
dilakukan untuk mengetahui data biologi seperti: panjang karapas (mm), berat lobster
(gr), jenis kelamin dan kondisi lobster (kematangan kelamin). Data panjang dan berat
diukur dengan cara mengukur panjang karapas menggunakan calliper digital dengan
ketelitian (0,1 mm) dan menimbang berat tubuh individu lobster menggunakan
timbangan analitik dengan nilai ketelitian 0,01 gram. Lobster betina yang didapat,
diamati tingkat kematangan kelaminnya secara fungsional dengan mengamati ada
atau tidaknya telur yang dierami di bagian abdomennya (berried female). Jumlah
individu jantan, betina dan betina bertelur setiap jenis diambil secara random dari
sampel nelayan dan dihitung.
Data sekunder yang diambil pada penelitian ini, antara lain data hasil
tangkapan atau produksi, dan upaya tangkap berdasarkan wawancara secara
terstruktur dengan menggunakan daftar kuesioner dan kondisi demografi masyarakat
nelayan lobster. Data sekunder ini diperoleh dari TPI maupun dari pasar-pasar serta
melakukan wawancara dengan beberapa nelayan lobster, pengepul lobster ataupun
dengan Panglima Laot. Biasanya nelayan lobster menyelam secara alami
munggunakan masker dan snorkel serta senter untuk mengambil lobster. Loster yang
keluar dari persembunyiannya langsung ditangkap, dibawa ke atas dan diletakan
dalam ember di kapal (Wawancara pribadi, 2018). Pada penelitian ini, sampel setelah
sampai di base camp, dicuci bersih dengan air tawar, hingga bersih dari sedimen atau
kotoran yang melekat dan kemudian dimasukan ke dalam larutan MgCl (untuk
melemaskan lobster dan agar warna tidak hilang saat dilakukan pemotretan),
kemudian di freezer (untuk membekukan dan mematikannya). Setelah selesai proses
identifikasi dan pemotretan, spesimen dimasukkan dalam kotak plastik dan diawetkan
dengan alkohol 70%. Identifikasi menggunakan buku acuan dari: Motoh, 1980;
Moosa & Aswandy, 1984; Holthuis, 1991; FAO, 1991.
dan sekitar perairan Keuneukai, ditemukan hanya 165 individu, 5 jenis dari suku
Palinuridae dan satu jenis dari suku Syllaridae (Tabel 1, Gambar 2) yaitu: lobster
Bambu Hijau (Panulirus versicolor), lobster Batu hitam (Panulirus longipes), lobster
Batik (Panulirus penicilatus), Lobster Hijau Pasir (Panulirus homarus), Lobster
Mutiara (Panulirus ornatus) dan Udang Kipas (Parribacus antarticus). Jenis-jenis
tersebut sangat dominan karena merupakan jenis udang karang yang terdapat di
perairan karang dan terumbu karang beriklim tropis, subur dan mempunyai suhu rata-
rata 280C (Fauzi et al., 2013). Lobster tersebut biasanya ditemukan di daerah terumbu
karang, bersembunyi di dalam lubang, di bawah atau di balik batu-batu karang dengan
gelombang air laut yang tinggi dan kuat (Pratiwi, 2018).
Gambar 2. Jumlah individu dari setiap jenis lobster pada lokasi penelitian
paling banyak didapat yang kemudian disusul oleh lobster betina dan betina bertelur.
Kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 yang menunjukan diagram tingginya
jumlah lobster jantan betina dan betina bertelur di setiap lokasi.
Tabel 2. Jumlah lobster jantan, betina dan betina bertelur dari jenis-jenis lobster
(Panulirus spp.) di perairan pulau Weh, Sabang.
Jmh individu
Nama Jenis
♂ ♀ ♀ bertelur
P. versicolor 10 6 4
P. homarus 12 4 3
P. longipes 53 24 10
P. penicilatus 16 13 3
P. ornatus 7 2 2
Parribacus antarticus 0 1 1
Jumlah Total (165) 92 50 23
Gambar 3. Diagram jumlah lobster jantan, betina dan betina bertelur dari setiap jenis
lobster pada lokasi penelitian.
Aspek Biologi
Adapun ciri dari masing-masing jenis lobster tersebut adalah tidak memiliki
rostrum, karapas berbentuk bulat dan memiliki duri (Carpenter & Niem, 1998; Kadafi
et. al., 2006), sedangkan ciri-ciri lainnya adalah sebagai berikut:
a. Panulirus versicolor
Disebut juga udang Kendal, udang Rejuna, udang Barong, lobster Hijau atau
lobster Bambu. Antena bagian dasar dan bagian sisi karapas berwarna merah jambu.
Warna dasar (lobster dewasa atau yang lebih besar) adalah hijau muda dan kebiruan
dengan garis putih kekuningan melintang yang diapit dengan warna hitam serta
terdapat pada setiap segmen. Sedangkan warna dasar udang muda adalah kebiruan
atau keunguan. Kaki jalan berwarna biru dan bergaris putih (Kadafi et. al., 2006;
Pratiwi, 2008). Abdomen berwarna kehijauan dan memiliki garis putih yang diapit
garis biru disetiap segmen. Permukaan bagian atas ruas abdomen tidak mempunyai
alur melintang dan rambut, kecuali pada bagian tepi belakang dan lekuk yang terdapat
pada bagian sebelah sisi. Bagian belakang terdapat garis melintang yang bergerak dari
tepi sebelah kiri ke tepi sebelah kanan. Karapas dan duri orbit memiliki kombinasi
warna hijau putih dan biru. Permukaan pangkal antena berwarna merah muda,
sedangkan antennula berwarna putih. (Carpenter & Niem, 1998; Kadafi et.al., 2006).
Menurut Carpenter & Niem, (1998); Kadafi et.al., (2006), bagian tepi anterior
memiliki 4 duri besar dan sepasang duri orbit, diantara duri orbit tidak terdapat duri-
duri kecil. Panjang duri orbit kurang lebih 3 kali panjang mata. Flagellum antennula
lebih panjang dibandingkan dengan tangkai antennula. Lempeng antenulla
mempunyai 2 pasang duri yang terpisah dengan baik, sepasang duri yang berada
paling depan berukuran lebih besar. Empat pasang kaki pertama tidak bercapit. Ruas
abdomen tidak beralur melintang. Bagian posterior memiliki ekor yang berbentuk
kipas dan fleksibel. Lobster ini memiliki ukuran maksimum 40 cm panjang tubuh,
biasanya antara 20-30 cm (Gambar 6).
Jenis ini hidup di perairan terumbu karang yang jernih dan berarus kuat hingga
kedalaman 4-12 meter. Bersembunyi diantara celah-celah karang dengan antena yang
berwarna putih yang terlihat (Kadafi et al., 2006). Hidup nocturnal dan jarang
berkelompok. Udang jenis ini sangat sulit ditangkap dengan alat tangkap, sehingga
langsung ditangkap. Jumlah yang ditangkap tidak banyak hanya 16 individu (9,70%)
karena, agak sulit ditangkap mengingat kondisi lingkungan hidupnya.
b. Panulirus penicillatus
Dikenal dengan udang Jaka atau lobster Batik. Permukaan bagian atas ruas
abdomen dengan bulu-bulu keras yang tersebar letaknya, rambut terdapat di tepi
bagian belakang abdomen dan lekuk pada bagian sisi. Abdomen mempunyai bintik-
bintik yang tidak jelas. Udang ini memiliki warna yang bervariasi, biru, hitam gelap,
hijau muda, hijau kecoklatan sampai hijau tua. Lobster jantan berwarna lebih gelap
dibandingkan betina (Kadafi et.al., 2006; Pratiwi, 2008). Ujung duri besar di karapas
berwarna kekuning-kuningan. Tangkai antennula terdapat garis-garis berwarna putih,
flagellum antennula berwarna kecoklatan dan pangkal tangkai antena berwarna biru.
Kaki jalan mempunyai strip garis berwarna putih serta warna pucat memanjang di
tiap-tiap ruas kaki (Carpenter & Niem, 1998; Kadafi et.al., 2006).
Menurut Carpenter & Niem, (1998); Kadafi et.al., (2006), bagian tepi anterior
memiliki 4 duri besar dan sepasang duri orbit, diantara duri orbit terdapat duri-duri
kecil. Panjang duri orbit kurang lebih 2 kali panjang mata. Flagellum antennula lebih
panjang dibandingkan dengan tangkai antennula.
Lempeng antennula mempunyai 4 duri yang berdekatan, sepasang duri yang
berada paling depan berukuran lebih besar. Empat pasang kaki pertama tidak
memiliki capit. Ruas abdomen memiliki alur melintang. Bagian poterior memiliki
ekor berbentuk kipas dan fleksibel. Losbter ini berukuran maksimum 40 cm panjang
tubuh, biasanya antara 20-30 cm (Gambar 7).
Panulirus penicillatus mendiami perairan dangkal sebelah luar terumbu karang
yang bersubstrat pasir dengan kedalaman sekitar 1-5 meter, selalu terkena deburan
ombak yang keras. Lebih umum ditangkap saat menyelam (malam hari) dibandingkan
dengan menggunakan perangkap, tetapi kadangkala dapat juga masuk perangkap yang
telah diberi umpan (Pratiwi, 2008). Urutan kedua yaitu P. penicilatus (lobster bambu
bintik/batik) merupakan jenis kedua yang paling banyak tertangkap, sebanyak 26
individu (15.76 %).
c. Panulirus longipes
Udang Bunga, Raja Udang atau lobster Batu hitam. Alur melintang pada ruas
abdomen. Bagian permukaan ruas abdomen tidak berambut, hanya terdapat bulu-bulu
keras tersebar dimana-mana dan tidak rapat. Warna dasar kecoklatan (coklat gelap)
dengan warna kebiruan pada ruas pertama antenna (Pratiwi, 2008). Abdomen dengan
bintik-bintik warna putih, kaki jalan juga berbintik-bintik putih dengan warna pucat
memanjang di setiap ruas kaki (Pratiwi, 2008). Abdomen mempunyai bercak-bercak
putih yang berukuran kecil dan sedang. Kaki jalan memiliki bercak-bercak putih yang
dihubungkan dengan garis berwarna oranye (Kadafi et.al., 2006).
Menurut Carpenter & Niem, (1998); Kadafi et.al., (2006), bagian tepi anterior
memiliki duri-duri yang berukuran tidak beraturan dan sepasang duri orbit. Panjang
duri orbit kurang lebih 2.5 kali panjang mata. Bagian tengah dibelakang duri orbit
terdapat 3 duri yang terletak sebaris dan duri-duri tambahan. Flagellum antennula
lebih panjang dibandingkan dengan tangkai antennula. Lempeng antennula
mempunyai sepasang duri yang terpisah dengan baik, biasanya tersebar duri-duri lain
disekitarnya. Empat pasang kaki pertama tidak bercapit. Bagian sebelah belakang
strenum dada berbentuk gigi dengan jumlah 2 buah dan terletak berdekatan. Ruas
abdomen beralur melintang. Bagian posterior memiliki ekor berbentuk kipas dan
fleksibel. Lobster berukuran maksimum 35 cm panjang tubuh, biasanya antara 18-25
cm (Gambar 8).
Tempat hidup sedikit terlindung (tidak langsung dipengaruhi oleh ombak) dan
menyukai perairan yang oseanik. Tinggal di dalam lubang batu karang dan akan naik
ke permukaan untuk mencari makan pada malam hari serta tidak berkelompok.
Lobster yang paling banyak tertangkap adalah jenis P. longipes (lobster batu hitam)
menyukai habitat di perairan dangkal dan biasanya pada kedalaman 1-4 meter
(maksimum kedalaman 16 meter). Sangat sulit ditangkap menggunakan alat tangkap
dalam jumlah yang besar, sehingga penangkapan dilakukan langsung menggunakan
tangan, dan didapat sekitar 91 individu (55,15%).
d. Panulirus homarus
Disebut juga udang Bireng atau lobster Hijau Pasir. Permukaan bagian atas
ruas abdomen mempunyai alur melintang berbentuk lurus dengan tepi bergerigi.
Permukaan bagian atas ruas abdomen tidak berambut kecuali pada alur melintang,
tepi belakang ebdomen dan lekuk yang berada di bagian sisi. Memiliki warna dasar
kehijauan atau kecoklatan dengan bintik-bintik putih tersebar diseluruh permukaan
segmen abdomen. Kaki jalan dengan bercak-bercak putih. Karapas anterior dan
daerah antara tangkai mata berwarna oranye tua dan bergaris biru. Duri orbit dibalut
warna hitam dan putih, flagellum antennula berwarna corak hitam dan putih (Kadafi
et al., 2006; Pratiwi, 2008).
Menurut Carpenter & Niem (1998); Kadafi et.al., (2006), bagian tepi anterior
memiliki 4 duri besar dan sepasang duri orbit, diantara duri orbit tidak terdapat duri-
duri kecil. Panjang duri orbit kurang lebih 2 kali panjang mata. Flagellum antennula
lebih panjang dibandingkan dengan tangkai antennula. Lempeng antennula
mempunyai 2 pasang duri yang terpisah dengan baik dan beberapa duri tambahan.
Empat pasang kaki pertama tidak memiliki capit. Ruas abdomen memiliki alur
melintang yang tipis, kadang-kadang terputus ditengah. Bagian posterior memiliki
ekor yang berbentuk kipas dan fleksibel. Lobster berukuran maksimum 31 cm
panjang tubuh, biasanya antara 16-25 cm (Gambar 9) (Kadafi et al., 2006). Dijumpai
pada perairan dangkal yang jernih dan berarus sedang, serta tinggal di dalam lubang-
lubang granit atau vulkanik. Hidup malam hari dan berkelompok dalam jumlah
banyak, dan sangat sulit ditangkap dengan alat, sehingga langsung ditangkap saat
menyelam. Udang muda sangat toleransi dengan kekeruhan, sedangkan udang dewasa
lebih menyukai perairan yang cerah (Romimohtarto & Juwana 1999; Pratiwi, 2008).
Jumlah yang berhasil didapat 19 individu (11,51%).
e. Panulirus ornatus
Udang Ketangan, udang Cemara atau lobster Mutiara. Terdapat duri besar di
bagian karapas dan dibelakangnya terdapat sebaris duri-duri kecil berjumlah 2 sampai
4 buah. Tidak mempunyai alur melintang dan rambut pada ruas abdomen (Kadafi et
al., 2006; Pratiwi, 2008) (Gambar 10). Bagian tepi anterior terdapat sepasang duri
orbit dan duri-duri yang berukuran tidak beraturan. Panjang duri orbit kurang lebih 2
kali panjang mata, diantara duri orbit tidak terdapat duri-duri kecil. Flagellum
antennula lebih panjang dibandingkan dengan tangklai antennula.
antennula mempunyai 2 pasang duri yang terpisah dengan baik, sepasang duri yang
berada paling depan berukuran lebih besar. Empat pasang kaki pertama tidak
memiliki capit. Ruas abdomen tidak memiliki alur melintang.
Bagian posterior memiliki ekor berbentuk kipas dan fleksibel. Lobster ini
mempunyai ukuran maksimum 60 cm panjang tubuh, biasanya antara 20-35 cm.
Beratnya dapat mencapai lebih dari 6 kg. Jenis ini diperkirakan memiliki ukuran
terbesar dalam genusnya (Carpenter & Niem (1998). Tubuh berwarna biru kehijauan
dan agak kebiruan dibagian karapas. Setiap ruas abdomen ditutupi garis tebal
berwarna gelap yang terletak di bagian tengah dan terdapat bercak berwarna
kekuningan berukuran agak besar. Flagellum antennula dan kaki jalan berwarna
kuning muda dan hitam serta bercak-bercak putih (Kadafi et al., 2006).
P. ornatus (lobster mutiara) ditemukan hanya 11 individu (6,67 %). Pada
perairan dangkal, tenang dan keruh dikedalaman 1-10 meter, yang karangnya tidak
tumbuh dengan baik merupakan habitat yang disukai udang ini. Hidup menyendiri
atau berpasangan serta memiliki musim migrasi (Carpenter & Niem, 1998). Informasi
yang diperoleh dari nelayan setempat, lobster jenis ini banyak tetangkap di bulan
November dan Desember, hal tersebut diduga lobster melakukan migrasi masal
sehingga mudah tertangkap dengan gill net. P. ornatus (lobster mutiara) ditemukan
hanya 11 individu (6,67 %). Pada perairan dangkal, tenang dan keruh dikedalaman 1-
10 meter, yang karangnya tidak tumbuh dengan baik merupakan habitat yang disukai
udang ini. Hidup menyendiri atau berpasangan serta memiliki musim migrasi
(Carpenter & Niem, 1998). Informasi yang diperoleh dari nelayan setempat, lobster
jenis ini banyak tetangkap di bulan November dan Desember, hal tersebut diduga
lobster melakukan migrasi masal sehingga mudah tertangkap dengan gill net.
f. Parribacus antarticus
Lobster pasir atau lobster sandal ini berasal dari suku Scyllaridae yang
ditemukan di perairan dangkal. Tubuh dari lobster pasir ini berwarna kekuningan,
berbintik-bintik dengan bercak coklat dan hitam, sementara rostrum dan margin
orbital berwarna keunguan. Memiliki tubuh yang cukup pipih, dengan permukaan
dorsal ditutupi dengan tuberkel dan rambut pendek. Margin lateral menunjukkan gigi
besar dibalut dengan warna kuning, oranye dan ungu muda. Di daerah perut, alur
melintang melebar, hanya dengan beberapa helai rambut atau tuberkel. Mata kecil itu
terletak di dalam orbit yang tidak tertutup di anterior anterior karapas (Gambar 11).
Ukuran tubuh bisa mencapai panjang sekitar 20 cm pada jantan, tapi biasanya
panjang tubuh berukuran antara 12 dan 15 cm. Spesies ini hidup nokturnal dan di
siang hari biasanya bersembunyi di celah-celah atau bagian bawah atau pinggir batu
besar, sering dalam kelompok kecil. Bisa berenang mundur dengan cepat dengan
menggunakan ekornya. Lobster pasir ini memakan berbagai moluska, udang kecil,
kepiting dan bulu babi.
Lobster ini adalah penghuni dasar yang substrat pasir di perairan dangkal
lagun dan terumbu karang dengan kedalaman 0-20 meter (Holthuis, 1991). Hidup
tidak berkelompok dan nokturnal, sangat sulit diperoleh atau ditangkap, sehingga
hanya 2 individu (1,21%) saja yang berhasil ditangkap.
Saran
Eksploitasi di alam yang sering terjadi secara terus menerus, membuat
kerugian yang sangat besar, terutama sumberdaya alam, khususnya lobster akan
habis tanpa adanya usaha pelestarian. Oleh karenanya ada beberapa hal yang harus
diperhatikan yaitu:
1. Usahakan untuk tidak menangkap lobster yang berukuran kecil (kurang dari 8
cm) dan yang sedang bertelur (betina bertelur);
2. Apabila ada yang tertangkap dengan ukuran tersebut di atas, maka wajib
melepaskan kembali ke perairan karena akan mengganggu populasi lobster di
alam;
3. Lobster-lobster yang tidak layak jual, karena ukurannya tidak sesuai dapat
dilakukan pembesaran di kolam-kolam kluster untuk selanjutnya dilakukan
budidaya;
4. Lobster yang akan dikirimkan ke dalam ataupun luar negri, sebaiknya
diperhatikan cara pengepakannya dan usahakan tidak ada organ-organ tubuh yang
cacat atau putus, karena bila terjadi akan mengurangi nilai jual;
5. Usahakan lobster tidak mengalami stres saat penangkapan, karena akan
menyebabkan kematian.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Drs. Pramudji, Ibu Dr. Nurul
Dhewani Mirah Syafri yang telah memberikan kesempatan untuk ikut dalam
penelitian Biota Laut Di Perairan Berenergi Tinggi di Pulau Weh, Sabang, Aceh,
Indonesia. Ucapan yang sama juga diberikan kepada teman-teman dari Universitas
Unsyiah yang telah membantu di lapangan dan juga team penelitian yang telah
bekerja bersama-sama dengan kompak dan baik selama penelitian berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenter E.K., & V.H. Niem. 1998. The living marine of the western central Pacific.
FAO species identification guide for fishery purposes. Vol II: Cephalopods,
Crustaceans. Holothurians, and Sharks. FAO Roma: 973-1044.
Damora, A., 2016. Optimasi pemanfaatan sumber daya lobster pasir (Panulirus
homarus) dalam kerangka ekologi-ekonomi di kabupaten Gunungkidul dan
sekitarnya. [Skripsi]. Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor.
Fauzi, M., A.P. Prasetyo, I.T. Hargiyanto, F. Satria & A. A. Utama., 2013. Hubungan
panjang berat dan faktor kondisi lobster batu (Panulirus penicillatus) di
perairan selatan Gunung Kidul dan Pacitan. Bawal, 5 (2): 97-102.
Food And Agricultutre Organization of the United Nations, 1991. FAO special
catalogue. Marine lobster of the world. An annotated and illustrated catalogue
of species of interest to fisheries known to date. Fisheries Synopsis 125 (13):
292 pp.
Holthuis, L.B. 1991. FAO species cataloque, Vol. 13. Marine lobster of the world. An
annotated and illustrated cataloque of species of interest to fisheries known to
date. FAO Fisheries Synopsis. No. 125, Vol.13, Rome, 229 pp.
Junaidi, M., N. Cokrowati & Z. Abidin. 2010. Aspek reproduksi lobster (Panulirus
spp.) di perairan Teluk Ekas pulau Lpmbok. Jurnal Kelautan, 3 (1): 29-35.
Kalih, L.A.T.T.W.S., 2012. Keragaman serta distribusi lobster anggota Palinuridae
dan Scyllaridae di Perairan pantai pulau Lombok. Naskah publikasi Program
Pasca Sarjana Program Studi Biologi, Fakultas Biologi Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 2-26.
Kadafi, M., R. Widaningroem & Soeparno. 2006. Aspek biologi dan potensi lestari
sumberdaya lobster (Panulirus spp.) di perairan pantai kecamatan Ayah
kabupaten Kebumen. Jurnal Perikanan (J. Fish.Sci), 7 (1): 108-117.
Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018 329
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Pengamatan Lobster Suku Palinuridae di pulau Weh, Sabang Ditinjau dari Aspek Biologi dan...
Mahasin, M.Z. 2003. Kajian stok dan bioekonomi lobster (Panulirus spp.) untuk
menunjang
pemanfaatan berkelanjutan di propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta. Tesis
Magister Manajemen Sumberdaya Pantai. Universitas Diponegoro, Semarang.
Mahdiana, A. & S.P. Laurensia, 2011. Status perikanan lobster (Panulirus spp,) di
perairan kabupaten Cilacap. Sains Akuatik,13 (2): 52-57.
Masithoh, I., J.L.A. Uktolseja., J.C. Mangimbulude., & S. Trihandaru. 2014. Aspek
bioekologi lobster (Panulirus spp.) sebagai komoditas ekonomi penting.
Prosiding Seminar Nasional Raja Ampat Kajian Lingkungan, Konservasi dan
Biota Laut. 13-23.
Motoh, H., 1980. Fishing gear for prawn and shrimp used in the Philippines today.
Tigbauan, Iloilo, Philippines; SEAFDEC Aquaculture Depatment. 43 pp.
Moosa, M.K. 1984. Udang karang (Panulirus spp.) dari perairan Indonesia.
Lembaga Oseanologi Nasional, LIPI, Jakarta: 40 hal.
Moosa, M.K & I. Aswandy, 1984. Udang Karang (Panulirus spp.) dari perairan
Indonesia. Proyek Studi Potensi Sumber Daya Alam Indonesia. Studi Potensi
Sumber Daya Hayati Ikan. Lembaga Oseanologi Nasional. Lembaga Ilmu
Pengtahuan Indonesia, Jakarta. 40 pp.
Odum, E.P. 1971. Fundamental of ecology. W.E. Saunders. Philadelphia. 574p.
Pratiwi, R. 1988. Beberapa catatan mengenai marga Trapezia (Crustacea, Decapoda,
Xanthidae) di Kepulauan Seribu. Oseana XIII(3):85-96.
Pratiwi, R. 2008. Aspek biologi udang ekonomi penting. Oseana, 33 (2): 15-24.
Pratiwi, R. 2012. Jenis dan pola sebaran fauna Krustasea di padang lamun Pulau
Tikus, Kepulauan Seribu. Oldi, 38(1):43-55.
Pratiwi, R. 2018. Keanekaragaman dan potensi lobster (Malacostraca: Palinuridae) di
pantai Pameungpeuk, Garut Selatan, Jawa Barat. Biosfera, 35 (1): 10-16.
Romimohtarto, K. & S. Juwana, 1999. Biologi laut. Ilmu pengetahuan tentang biota
laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta. 527 pp.
Sinaga T. 2009. Keanekaragaman Makrozoobentos sebagai indikator Kualitas
Perairan Danau Toba Balige Kabupaten Toba Samosir [tesis]. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Lampiran 1. Tabel Ukuran dan harga dari pengumpul lobster (Wawancara pribadi,
2018).
Harga/rupiah
No Jenis lobster Nama lokal Ukuran/gram Daerah sekitar
Banda Aceh
P.Weh
1 P. versicolor Bambu Hijau 200 sd 300 250.000- 400.000* 280.000-320.000
300 sd 500 300.000- 500.000* 350.000-450.000
500 sd 1 kg 500.000- 600.000* 600.000-850.000
2 P. longipes Bintik/lobster 200 sd 300 230.000 250.000-300.000
Batik 300 sd 500 280.000 300.000-320.000
500 sd 800 370.000 420.000- 450.000
800 sd 1 kg 370.000 450.000-480.000
3 P. penicilatus Batu Hitam 200 sd 500 250.000-300.000
250.000-280.000
500 sd 1 kg 300.000-320.000
300.000-320.000
1kg sd 2kg** 420.000- 450.000
200.000**
(monster) 450.000-480.000
4 P. homarus Hijau Pasir 200 sd 300 230.000 250.000-300.000
300 sd 500 280.000 300.000-320.000
500 sd 800 370.000 420.000- 450.000
800 sd 1 kg 380.000 450.000-480.000
5 P. ornatus Mutiara 200 sd 300 300.000 350.000-400.000
300 sd 500 500.000 700.000-720.000
500 sd 600 700.000 750.000-850.000
600 sd 1 kg 750.000 850.000-900.000
1 sd 1.5 kg 900.000 sd 1 juta 1 juta sd 1,2 juta
2 kg > 1,5 Juta 1,8 juta sd 2 juta
6 Parribacus Udang/
200 sd 500 500.000 sd 700.000 550.000- 750.000
antarticus lobster Kipas
Keterangan:
* Harga meningkat bila ada acara-acara khusus, seperti hari raya Imlek, Natalan dan acara khusus lainnya
** Harga khusus untuk lobster jenis P. penicilatus (disebut monster, karena bentuknya abnormal, kepala
tumbuh/karapas besar sedangkan badan/abdomen kecil).
Abstrak
Dusun krinjing merupakan wilayah yang terletak pada bagian tenggara kecamatan gedangsari
dimana sebagian besar wilayahnya berupa perbukitan homoklin dan sebagian berupa gawir.
Daerah ini merupakan salah satu lokasi terdampak siklon cempaka pada Novemer 2017 silam
yang mengakibatkan terjadinya longsor di beberapa titik. Hingga sekarang lokasi tersebut
masih menyimpan potensi untuk longsor kembali yang diindikasikan adanya rekahan rekahan
pada bagian atas lereng, rekahan tersebut jika terisi air dapat menimbulkan longsor susulan.
Terjadinya longsor selain faktor alam juga dipengaruhi oleh penataan saluran air yang salah.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesalahan penataan saluran air yang terjadi di
Dusun Krinjing serta membuatkan model rekomendasi penataan saluran air. Metode
penelitian yang digunakan yaitu analisis lapangan, identifikasi permasalahan hingga
pembuatan model rekomendasi. Hasil dari penelitian ini berupa rekomendasi penataan saluran
air untuk mengurangi kemungkinan kejadian longsor susulan.
Kata kunci: Saluran air, Gedangsari, Longsor, Rekomendasi
I. PENDAHULUAN
Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis. (menurut UU no. 24 tahun 2007). Sedangkan
bencana alam adalah suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan
oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
ekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
Menurut data informasi bencana indonesia dari BNPB dalam kejadian
bencana 10 tahun terakhir kejadian bencana tanah longsor menempati peringkat ke -3
dibawah bencana banjir dan puting beliung. Sehingga tanah longsor merupakan
bencana yang memerlukan penanganan khusus untuk mengurangi risiko yang terjadi.
Memahami resiko bencana yang meliputi kebijakan dan praktek harus
didasarkan pada pemahaman kerentanan, kapasitas, serta karakteristik bahaya dan
lingkungan merupakan salah satu tindakan prioritas yang harus dilakukan (BNPB,
2015)
Tanah longsor merupakan contoh yang luar biasa dari proses geologi yang
disebut gerakan massa, yaitu pergerakan menuruni lereng dari sebuah batuan
maupun tanah akibat gravitasi (Lutgens & Tarbuck, 2012). Hal ini dapat terjadi
akibat perubahan kemiringan lereng, keberadaan air, perubahan vegetasi, maupun
akibat adanya gempa bumi. Penelitian ini bertujuan untuk membuat rekomendasi
penataan lereng bekas longsor khususnya penataan saluran air untuk menghindari
terjadinya longsor susulan.
Metode penelitian
Metode yang digunakan untuk penelitian ini meliputi studi pustaka,
pengambilan data lapangan dan pengolahan data. Kemudian dari hasil penelitian
dibuat model serta rekomendasi penataan saluran air untuk mengurangi potensi
terjadinya longsor kembali pada lokasi.
Data
Litologi daerah telitian yang terdiri dari batupasir vulkanik dan batulapili
Model yang disarankan yaitu dengan menata penyaluran air dengan cara
membuat selokan/ paritan untuk mengalirkan air keselatan agar air masuk ke sungai.
Dengan begitu tidak ada gangguan air yang berlebihan pada lereng bekas longsor dan
untuk pengurangan resiko longsornya menanami lereng dengan rumput dan tanaman
berbatang lunak. Agar akar tidak mengganggu struktur batuan (gambar 10)
Gambar 10. model penyaluran air yang disarankan untuk mengurangi resiko longsor.
Gambar 11. Rekomendasi pembuatan saluran air (Sumber : Citra Google earth)
IV. KESIMPULAN
Geomorfologi daerah krinjing secara dapat dibagi menjadi 3 bentuk lahan
yaitu perbukitan homoklin, gawir dan lembah struktural. Geologi yang menyusun
daerah ini berupa satuan batupasir vulkanik dan satuan batulapili dengan kedudukan
lapisan batuan antara 80-85ᵒ dan kemiringan lapisan 30-33ᵒ.
Upaya pencegahan longsor susulan dilakukan dengan perbaikan saluran air
yang semula diarahkan ke tubuh bekas longsoran diubah ke arah selatan untuk
diairkan ke sungai utama.
DAFTAR PUSTAKA
Lutgens. F.K, Tarbuck E.J, Tasa.D, 2012, Essential Of Geology Eleventh Edition
Upper Saddle River, Prentice Hall
Data Informasi Bencana Indonesia http://dibi.bnpb.go.id/dibi/ diakses pada 31
Oktober 2018 17.16 wib
Bemmelen, V. (1949). The Geology of Indonesia, Governer Printing Office, The
Hague, Vol. I A, 732 p
BNPB, 2015, Kerangka Kerja Sendai Untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030
Peta Citra Google CNES/Airbus Data SIO, NOAA, U.S. Navy, NGA, GEBCO
Digital Globe Landsat/Copernicus diakses pada 29 Oktober 2018 pukul 13:20 wib
https://earth.google.com/web/@7.83010806,110.62014566,337.59990425a,49
1.59521363d,35y,94.7636576h,0t,0r
Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1: 25.000
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 UU Tentang Penanggulangan Bencana
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap bencana – bencana
kebumian yang meliputi gempa bumi, vulkanisme, dan tsunami akibat dikelilingi oleh
ring of fire (cincin api) yaitu lempeng Eurasian, lempeng Indo – Australian, dan
lempeng Pasifik, terutama yang berada di pesisir barat Sumatera, pesisir selatan Jawa,
pesisir selatan NTB dan NTT, utara Papua, Sulawesi, dan Maluku (Hartoko dkk.,
2016). Bencana – bencana kebumian yang terjadi disebabkan salah satunya oleh zona
subduksi Sunda yang secara geologis membentang dari Pulau Andaman, Sumatra,
Jawa, hingga Nusa Tenggara dengan panjang ± 5000 km (Brune dkk., 2010) yang
merupakan zona seismik aktif dalam kurun waktu 40 tahun terakhir (1973 – 2014)
(Setiyono dkk., 2016). Menurut Latief dkk. (2000), zona tersebut mampu
menimbulkan stress tektonik yang dapat lepas secara tiba – tiba dan dapat
mengakibatkan gempa besar yang mampu membangkitkan tsunami.
Fenomena tsunami menarik untuk dikaji karena intensitasnya yang naik dalam
30 tahun terakhir. Tsunami merupakan gelombang yang terbentuk akibat gangguan
vertikal kolom air secara tiba – tiba yang berkelakuan seperti gelombang panjang dan
bersifat merusak ketika sampai di pesisir. Tsunami menjadi penyebab musnahnya
populasi dan kerusakan struktur terbesar, terutama di daerah pesisir yang padat
penduduk (Brune dkk., 2010) dan telah menewaskan > 470.000 korban di seluruh
dunia dalam kurun waktu 450 tahun (Rizal dkk., 2016).
Kongko dan Hidayat (2014) menyatakan bahwa intensitas gempa yang terjadi
di daerah subduksi selatan Jawa pada periode 1977 – 2007 memiliki magnitudo > 5
Mw dengan 400 kejadian merupakan gempa dangkal (< 40 km). Gempa Banyuwangi
(1994) dan Pangandaran (2006) terjadi pada periode tersebut mampu menyebabkan
tsunami dan menewaskan lebih dari 800 jiwa (Tsuji, 1995 dalam Tanioka dan Satake,
1995; Fritz dkk., 2007). Terdapat daerah dengan aktivitas gempa yang lebih sedikit
selama 1977 – 2007, yang salah satunya membentang dari lepas pantai Pangandaran
hingga Banyuwangi, yang dinamakan sebagai seismic gap (Gambar 1.1). Seismic gap
adalah zona dengan aktivitas seismik yang relatif kecil pada periode yang panjang,
sehingga diperkirakan terjadi akumulasi energi yang besar (Sujatmiko, 2008).
selatan Jawa. Berbagai studi (Kongko, 2017; Kongko dan Hidayat, 2014; Prasetya dan
Imamura, 2007) mencatat bahwa potensi bencana gempa bumi dan tsunami yang
cukup tinggi di daerah seismic gap, khususnya yang berada di lepas
pantainYogyakarta, yang berpengaruh pada lokasi di sekitar bandara. Berdasarkan hal
tersebut, penulis melakukan penelitian dalam bentuk simulasi tsunami di lepas pantai
Yogyakarta serta meninjau tinggi tsunami di pesisir dan rendamannya di daerah
bandara baru Kulon Progo.
sekitar bandara pada Gambar 26, hanya skenario 3 yang memungkinkan untuk
menjalar lebih jauh di daratan karena memiliki rata – rata tinggi tsunami yang
mencapai 8,26 m di dekat pantai.
berperan dalam merendam bandara. Terdapat perbedaan pola rendaman antara kedua
sungai. Rendaman yang timbul dari sisi timur Sungai Serang lebih diakibatkan oleh
kondisi topografi bandara yang dekat dengan sungai. Bentuk topografi yang
cenderung lebih curam didapati di Sungai Bogowonto sehingga penetrasi tsunami tak
mampu menjalar ke arah bantaran sungai (Gambar 22), berbeda dengan topografi di
sebelah timur Sungai Serang yang tidak terlalu curam.
Gambar 21. Daerah rendaman (warna merah muda) di sekitar Sungai Kitakami,
Jepang akibat tsunami Sendai pada tahun 2011
Gambar 22. Penampang melintang topografi antara Sungai Serang (kotak kuning) dan
Sungai Bogowonto (kotak biru)
Peta distribusi tinggi maksimum dibuat untuk masing – masing skenario pada
domain 4 yang merupakan daerah kajian utama yang memuat informasi mengenai
lokasi bandara NYIA (Gambar 15 – Gambar 20). Persebaran tinggi maksimum
tsunami pada skenario 1 dan 2 di daerah bandara tidak terlalu signifikan, karena tinggi
tsunami yang berada di dekat pantai tidak terlalu besar. Selain itu, topografi daerah di
dekat Sungai Bogowonto relatif lebih datar dibandingkan dengan daerah lainnnya,
sehingga penetrasi tsunami pada skenario 2 mampu menjalar hingga merendam
sebagian kecil sisi tenggara bandara NYIA. Skenario 3 menghasilkan penetrasi
tsunami terjauh yang masuk ke daratan, baik di dekat Sungai Serang dan Sungai
Bogowonto. Penetrasi yang jauh disebabkan oleh tinggi tsunami yang besar di pantai
sehingga memiliki energi yang cukup untuk memasuki daratan lebih jauh dibanding 2
skenario sebelumnya. Luas bandara NYIA mencapai ± 4,24 km2 dengan 2,064 km2
atau sekitar 48,67% luas wilayahnya terendam tsunami. Luasan rendaman ini
terkonsentrasi di daerah selatan, barat, dan timur bandara. Daerah selatan bandara
NYIA merupakan lokasi yang berdekatan dengan pantai dengan jarak ± 200 m,
sedangkan daerah timur dan barat dipengaruhi oleh keberadaan sungai Serang (barat)
dan Bogowonto (timur).
Tinggi tsunami mampu mencapai 9 m pada daerah sebelah barat laut bandara
(Gambar 19), berdasarkan skenario 3. Tinggi tsunami yang cukup besar nyatanya
tidak menghasilkan rendaman yang meluas ke segala arah. Hal ini disebabkan oleh
topografi daratan yang elevasinya semakin bertambah tinggi ketika menjauhi pantai.
Kedalaman aliran (flowdepth) didefinisikan sebagai rendaman yang memasuki daratan
yang kedalamannya dihitung berdasarkan topografi yang dilaluinya atau hasil
pengurangan antara tinggi tsunami yang mencapai daratan dengan ketinggian elevasi
daratan terhadap MSL. Berdasarkan keterangan tersebut, tinggi tsunami yang mampu
mencapai 9 m di sebelah barat laut bandara tidak merendam lebih jauh karena
kedalaman rendamannya hanya berkisar 0 – 1 m (Gambar 20).
Gambar 23. Lokasi penampang melintang persebaran run – up di daerah bandara baru
Kulon Progo, skenario Mw = 8,5, yang dilambangkan dengan garis warna hitam yang
melintang dari pantai menuju daratan
Gambar 26. Penampang melintang tinggi tsunami dari garis pantai mengarah ke
daerah bandara
Lebar patahan memiliki orientasi yang tegak lurus terhadap pesisir dan sejajar
dengan panjang gelombang. Besarnya nilai lebar patahan akan mengakibatkan
panjang gelombang semakin besar, sehingga menghasilkan energi yang besar dan
berujung pada tingginya gelombang di daratan. Skenario 3 (Mw = 8,5) menghasilkan
variasi tinggi gelombang yang lebih tinggi daripada dua skenario lainnya akibat nilai
lebar patahan yang lebih besar dibandingkan dengan 2 skenario lainnya.
Gambar 28. Tinggi tsunami untuk masing – masing skenario di titik 9, 11, 13, dan 15
Tabel 5. Waktu tiba dan tinggi tsunami maksimum untuk ketiga skenario
Titik Mw = 7,7 Mw = 8,1 Mw = 8,5
Observasi Waktu Tinggi Waktu Tinggi Waktu Tinggi
Tiba max Tiba max Tiba max
(menit) (meter) (menit) (meter) (menit) (meter)
Titik 9 42,71 2,34 42,45 3,45 35,88 8,28
Titik 11 42,27 2,08 41,82 3,33 35,72 9,11
Titik 13 41,85 1,89 41,35 3,44 35,2 8,26
Titik 15 41,55 1,72 41 3,52 34,92 7,88
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil simulasi tsunami menggunakan skenario gempa hipotetik
dengan magnitudo Mw = 7,7, 8,1 dan 8,5 dapat disimpulkan :
a. Tinggi tsunami di sepanjang pantai tiap skenario berkisar 0,47 – 4,57 m untuk
skenario 1 (Mw = 7,7), 1,87 – 7,10 m untuk skenario 2 (Mw = 8,1), dan 5,67 –
11,01 m untuk skenario 3 (Mw = 8,5). Nilai rata – rata ketinggian tsunami di
sepanjang pantai untuk masing – masing skenario adalah 2,32 m untuk skenario 1,
4,1 m untuk skenario 2, dan 8,26 m untuk skenario 3.
b. Tsunami tiba di pantai Kulon Progo pada rentang waktu 41,55 – 42,71 menit untuk
skenario 1, 41,00 – 42,45 menit untuk skenario 2, dan 34,92 – 35,88 menit untuk
skenario 3 setelah terjadinya gempa dengan tinggi maksimum tsunami pada
masing – masing skenario bervariasi yakni 1,9 – 2,46 m untuk skenario 1, 3,4 –
3,64 m untuk skenario 2, dan 8,02 m – 9,4 m untuk skenario 3.
c. Waktu tiba tsunami dipengaruhi oleh besarnya momen gempa (Mw). Semakin
besar momen gempa maka semakin cepat tsunami akan mencapai pantai.
d. Luas rendaman di daerah tapak bandara baru Kulon Progo berdasarkan skenario 3
mencapai 2,064 km2 atau 48,67 % dari luas total bandara terendam, dengan tinggi
maksimal yang mencapai daratan sebesar 9,4 m dan kedalaman rendaman
mencapai 8 m.
e. Jarak penetrasi terjauh dari tsunami dengan skenario terburuk (skenario 3) mampu
merendam bandara sejauh 1,25 km dari garis pantai.
DAFTAR PUSTAKA
Brune, S., A.Y. Babeyko, S. Ladage, dan S.V. Sobolev, 2010, Landslide Tsunami
Hazard in the Indonesian Sunda Arc, Natural Hazard and Earth System
Sciences, 10 (2010) : 589-604.
Cipta, A. dan F. Imamura. 2008. Study on Tsunami Numerical Modelling for Making
Tsunami Hazard Maps in Indonesia. Diunduh dari
http://iisee.kenken.go.jp/syndb/?action=down&p=2008102002bfadd0.pdf&t=
&n =MEE07172_Athanasius_Cipta_2008.pdf pada tanggal 2 Maret 2018
pukul 18.37
Fritz, H. M., W. Kongko, A. Moore, B. Mcadoo, J. Goff, C. Harbitz, B. Uslu, N.
Kalligeris, D. Suteja, K. Kalsum, V. Titov, A. Gusman, H. Latief, E. Santoso,
S. Sujoko, D. Djulkarnaen, H. Sunendar, dan C. Synolakis. 2007. Extreme
Run - up from the 17 July 2006 Java Tsunami. Geophysical Research Letters,
Vol. 34, L12602, Doi:10.1029/2007gl029404, 2007.
Hanks, T. C. dan W. H. Bakun. 2002. A Bilinear Source – Scaling Model for M – Log
A Observations of Continental Earthquakes. Bulletin of The Seismological
Society of America, Vol. 92, No. 5, Pp. 1841–1846, Juni 2002.
Hartoko, A., M. Helmi, M. Sukarno, dan Hariyadi. 2016. Spatial Tsunami Wave
Modelling for the South Java Coastal Area, Indonesia. International Journal
Of GEOMATE, Sept., 2016, Vol. 11, Issue 25, Pp. 2455-2460. Geotec.,
Const. Mat. & Env., ISSN: 2186-2982(Print), 2186-2990(Online), Japan.
Kongko, W. dan R. Hidayat. 2014. Earthquake – Tsunami in South Jogjakarta
Indonesia: Potential, Simulation Models, and Related Mitigation Efforts. IOSR
Abstrak
Karakter geomorfologi pantai mempegaruhi skala cakupan penyebaran mineral dan sedimen vulkanik
yang dapat menggambarkan potensi sumberdaya energy panas bumi. Dalam perspektif geomorfologi
terdapat 3 skala yang perlu dipertimbangkan dalam penyebaran sedimen dan mineral vulkanik yang
terendapkan di pantai. Pertama adalah Catchment scale, yaitu skala cakupan penyebaran sedimen dan
mineral yang dapat tertransportasi karena pengaruh kondisi hidro-geologi dan klimatologi. Skala yang
kedua adalah Reach scale yaitu skala capaian deposit sedimen mineral oleh pengaruh geomorfologi.
Skala ketiga adalah patch scale, yaitu penyebaran secara terbatas yang dipilah secara alami oleh proses
interaksi gelombang, aliran sungai, bentang alam pantai yang berbeda-beda. Penelitian dilakukan
secara pengamatan deskriptif tipe pantai, ukuran butiran dan kandungan sedimen dan mineral vulkanik
di Pantai Sabang Pantai Selatan dan Timur Pulau Weh. Hasil pengamatan di sepanjang pantai Sabang
diperoleh catchment scale, ukuran dan flux sedimen dan mineral vulkanik di seluruh pantai di Sabang
Pulau Weh yang dikontrol oleh tingginya variasi iklim, vegetasi, dan topografi. Dalam skala reach
scale, ukuran dan suplai sedimen dan mineral vulkanik di pengaruhi oleh aliran sungai dan kondisi
bentang alam pantai. Seperti di Pantai Paradiso, Pantai Ujong Kareung dan Pantai Anoi Itam, dan
Keunekai, dimana terdapat keragaman ukuran butiran dari kerikil sampai bongkah, yang dibentuk oleh
proses interaksi gelombang dan aliran air permukaan dengan morfologi yang curam. Sedangkan dalam
patch scale, ukuran butir bongkah, pasir dan kerikil menyebar secara terbatas dan terpilah alami,
seperti di Pantai Pasir Putih, Beurawang, Sumur 3, dan Pantai Pasir Jaboi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa batuan beku, semakin curam lereng dan semakin sedikit vegetasi, akan
menghasilkan ukuran sedimen kasar dan makin cepat tergerus sampai di daerah pantai. Sebaran
sedimen vulkanik berhubungan erat dengan keberadaan sumber panas bumi yang bersumber dari
aktifitas magma. Potensi geothermal yang terdapat di Selatan Pulau We di desa Jaboi, saat ini sudah
dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga listrik. Pengeboran Pembangkit Listrik tahap pertama telah
dilaksanakan tahun 2017 berdaya 80 MW.
Kata kunci: Geomorfologi pantai, Catchment scale, reach scale, patch scale, sedimen, mineral
vulkanik, Sabang Pulau Weh
Abstract
Coastal Geomorphology characteristic affect the catchment scale of volcanic sediment distribution and
they can illustrate the potential of geothermal energy resources. In the geomorphological perspective
there are 3 scales that need to be considered in the distribution of sediments and volcanic mineral
deposited on the coast. The first is the catchment scale, which is coverage scale of the mineral and
sediment distribution that can be transported due to the control of hydro-geological and climatological
conditions. The second scale is the Reach scale, namely the scale of achievement of deposits of mineral
sediments and organic particles by geomorphological influences. And the patch scale, is sediment
distribution which is naturally sieved by the interaction process of waves, fluvial processes, and
various coastal landscapes. The research was carried out by descriptive observation of beach type,
grain size and sediment content in Sabang Coasts of Weh Island. Observations along the Sabang coast
found that in the catchment scale, the size and flux of mineral sediments across the whole coast in Weh
Island was controlled by high variations in climate, vegetation and topography. In the reach scale, the
size and supply of sediments and volcanic minerals are generally affected by landscape conditions.
Such as in Paradiso Beach, Ujong Kareung Beach and Anoi Itam Beach, where there is a variety of
grain sizes from gravel to boulder, which are formed by the interaction process of waves, surface water
flow and steep morphology. Whereas in the patch scale, the size of sand and gravel spreads with
naturally sieved, such as in Beurawang Beach, Sumur 3, and Pasir Jaboi Beach. Result show that the
igneous /colder rock, steeper slope and less vegetated slopes produce coarser sediment size and can
be faster eroded up to the coast. Distribution of volcanic sediments is closely related to the presence of
geothermal sources that originate from magma activity. The geothermal potential found in South We
Island in Jaboi village, is now used as a power plant. The first phase of Power Plant Drilling has been
carried out in 2017 with 80 MW power.
Keywords: Coastal geomorphology, Catchment scale, reach scale, patch scale, sediment, volcanic
mineral, Sabang, Weh Island
I. PENDAHULUAN
Penyebaran sedimen dikontrol oleh media tranportasi seperti aliran air, angin
dan tenaga gravitasi. Pengaruh perubahan iklim terhadap intensitas curah hujan dan
temperatur juga mempertinggi proses pelapukan batuan sehingga mudah untuk
tererosi dan tertransportasi ke tempat lain. Proses dan cakupan penyebaran sedimen
dapat terlihat berdasarkan ukuran butiran dan komposisi mineralnya. Di sedimen
dasar perairan, factor yang berperan utama adalah arus (Purnawaun et. Al, 2012;
Darlan, 1996). Pada dearah pantai, factor yang berperan lebih dinamis, karena
melibatkan proses pengikisan, transportasi dan pengendapan secara spasial dan
temporal (Winter, 2007 dalam Nugroho & Basit, 2014). Seperti di dasar laut, respon
pengendapan sedimen di pesisir juga bergantung pada kemiringan lereng, dimana
daerah dengan kemiringan yang lebih curam akan meningkatkan percepatan gravitasi
sehingga sedimen yang berukuran pasir dan gravel akan lebih cepat terendapkan
dibandingkan sedimen berukuran lanau dan lempung. Sortasi hidrolik dari intensitas
gelombang juga berperan dalam proses pengendapan di pantai (Wenno & Witasari,
2001)
Kandungan material vulkanik yang hanya sedikit terdapat dalam suatu
endapan sedimen seringkali sulit untuk ditentukan penyebarannya, dan hanya dapat
diintrepretasi spekulatif dengan mengikuti pola umum sedimentasi . Kesulitan ini
disebabkan karena banyaknya faktor yang mengontrol proses perombakan dan
pengendapan mineral, seperti kondisi geologi, geomorfologi, dan hidrologi baik
dalam sistem sedimentasi fluvial, sistem estuary ataupun dalam pengendapan marin.
Beberapa peneliti seperti Gurnell (2007), Botter et.al (2008), Aitkenhead et.al (1999)
dan Allan ( 1997) memaparkan bahwa kesulitan dalam menentukan penyebaran
material tertentu dalam sedimen seperti vegetasi, penyebaran nutrient terlarut, dan
material organik dapat dilakukan dengan menentukan daerah tangkapan pengendapan
sedimen tersebut atau Catchment scale. Catchment scale atau skala cakupan sedimen
dapat didefinisikan sebagai klasifikasi penyebaran suatu sedimen yang luas dengan
skala tangkapan sedimentasi yang lebih terukur, berdasarkan karakter litologi,
geomorfologi, dan hidrologi.
Dengan Catchment scale, penyebaran suatu mineral tidak hanya dapat
dibedakan berdasarkan jenis, bentuk butiran dan densitasnya, tapi juga berdasarkan
relief, bentang alam, sistem aliran sungai, dan interaksi gelombang. Dalam perpekstif
geomorfologi, penyebaran mineral tertentu dapat lebih terukur dengan
mengklasifikasikannya berdasarkan skala cakupan atau tangkapannya. Metode ini
telah sering dilakukan dalam menentukan tangkapan limpas banjir sungai dan
manajemen tata guna lahan (Latuamury, et al 2016; Juwana et al, 2016; Allan, 1997).
Material vulkanik merupakan salah satu komponen dari batuan, dan keterdapatannya
pantai di Pulau Weh dalam jumlah kecil namun memiliki arti penting apabila dapat
diketahui sumbernya. Penelitian yang dilakukan di Pulau Weh mengungkap adanya
kandungan potensi panas bumi yang berasal dari aktifitas gunung api kuarter.
Menurut Katili dan Hehuwat (1967) Pulau We adalah bagian dari busur vulkanik
dalam kerangka tektonik Pulau Sumatera. Sesar sumatera yang membentuk depresi
geo-antiklin pegunungan Barisa dan zona depresi Graben Semangko, juga
mempengaruhi struktur depresi tektonik di P. Weh. Kondisi tektonik akan
mempengaruhi kondisi geologi dan struktur sedimen daerah penelitian, yang
ditujukkan oleh litologi daerah penelitian, yang memiliki endapan vulkanik yang
sama jenisnya dengan di daratan Pulau Sumatera. Proses pemunculan gunung api dan
depresi ini diikuti dengan pembentukan pulau atol di sekeliling Pulau We. Hal ini
membuat komposisi sedimen di permukaan di Pulau Weh didominasi oleh jenis
sedimen detrital organik marin, yaitu cangkang karbonat dan pecahan koral,
dibandingkan dengan detrital batuan vulkanik. Namun morfologi Pulau Weh yang
terbentuk oleh kerucut Lava berumur Kuarter, umumnya masih terlihat terjal dan
terdapat beberapa lekukan di bagian tengah yang menandakan proses sesar yang
membentuk graben. Puncak tertinggi adalah Leumo Matee. Lerengnya yang melandai
kearah pantai berarah baratlaut-tenggara maupun utara-selatan semuanya merupakan
lava dan debu piroklastik yang bercampur dengan endapan karbonat marin (Kurnio et
al, 2015).
Beberapa peneliti menemukan bahwa aktivitas patahan dan rekahan
mempunyai korelasi dengan aktivitas gunung api (Tikoff 1998). Pembentukan gunung
api yang terdepresi oleh sesar meningkatkan potensi keluarnya mata air dan gas yang
bisa dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga listrik (Isa et al, 2017).
Penelitian di P.Weh dilakukan pada tahun 2018 di daerah Pasir Jaboi, Pasir
Putih, Sumur 3, umur 1, Paradiso,Anoi Itam, Ujong Kareung, Beurawang, Keuneukai
dan Mata ie/Matee (Gambar 1). Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
jenis sedimen yang terdapat di permukaan dekat pantai dan pesisir, mengetahui
sumber dari sedimen tersebut, komposisi mineral vulkanik, dan material organik.
Tujuannya adalah untuk menentukan skala cakupan atau catchment scale dari
kandungan mineral vulkanik yang berada dalam sedimen, yang diharapkan dapat
mengetahui sumber tubuh batuan yang berpotensi sebagai sumber panas bumi.
Shepard dan Bird, pantai di Pulau Weh adalah merupakan pantai sekunder yang
awalnya berupa pantai yang terbentuk karena proses tektonik, dan pengngkatan
gunung api. Kemudian diikuti oleh proses fisik karena gelombang, pasang surut serta
proses biologi pertumbuhan terumbu, sehingga terbentuklah pantai saat ini. Pantai
sekunder di Pulau Weh terdiri dari pantai pasir sampai berbatu /gravel dengan
material penyusunnya campuran antara sedimen endapan marine dan endapan
terestrial, memiliki relief dari landai sampai agak curam (0-75 derajat) dan umumnya
mengalami proses erosi dan abrasi (Tabel 1).
Jenis Sedimen
Ukuran butiran sedimen didominasi oleh kerakal pasiran dan Pasir (Tabel 2).
Pantai pasir Putih, Anoi itam dan Paradiso umumnya terdiri dari Pasir. Fraksi gravel
atau kerakal tidak lebih dari 50%, kecuali di Pantai Pasir Jaboi, Ujong Kareung dan
Sumur 3 yang didominasi oleh kerakal. Distribusi ukuran butiran di wilayah pantai di
Pulau We umumnya tidak merata, sortasi buruk, dan batuan umumnya berupa
bongkahan yang terbawa dari sumber yang jauh karena banyak yang bersudut tumpul
bahkan membundar. Sortasi yang baik hanya ditemukan di pasir putih dan Anoi Itam,
berupa pasir sedang sampai kasar. Distribusi ukuran gravel yang banyak ditemukan
umumnya karena pengaruh tenaga gravitasi, yang dipercepat oleh kemiringan lereng
yang lebih curam. Kondisi pelapukan batuan dan disertai energy gelombang
meningkatkan potensi erosi dan longsoran batuan dipantai Pasir Jaboi, Ujong Kareung
dan Sumur 3. Sedangkan di pantai Pasir Putih dan Anoi Itam, proses fisik dari
gelombang lebih berperan dalam sortasi ukuran butirannya.
Komposisi Sedimen
Komposisi sedimen secara umum yang didapat dari lokasi pengamatan adalah
didominasi oleh pecahan fosil koral dan batuan vulkanik andesit. Mineral yang
ditemukan dikategorikan dalam dua jenis berdasarkan warnanya, yaitu mineral gelap
atau mineral mafik, dan mineral felsik atau mineral berwarna terang. Warna mineral
terutama dipengarui oleh tingkat keasaman batuan. Makin asam maka warna batuan
semakin terang. Mineral felsik antara lain kuarsa, plagioklas dan feldspar. Sedangkan
mineral mafik di daerah ini terdiri dari piroksen, biotit dan olivine. Batuan vulkanik di
Pulau Weh merupakan batuan intermediet atau tingkat asam- menengah, komposisi
SiO2 58- 67%. Batuan vulkanik merupakan sumber sedimen yang terbesar karena
Pulau We dibentuk oleh tubuh gunung api dan tubuh lava yang terjadi di jalur
subduksi. Menurut Dirasutisna dan Hasan (2005), batuan penyusun Pulau We adalah
dari satuan lava tua P. Weh. Satuan ini berupa aliran lava andesitik basaltik yang
secara fisik kondisi singkapannya sudah sangat lapuk. Umumnya batuannya berwarna
abu-abu tua kehitaman, mineralnya dominan piroksen, plagioklas dan olivine. Inilah
salah satu factor penyebab erosi dan longsoran batuan di Pulau Weh.
Pecahan koral dan berbagai material karbonat seperti batugamping, pecahan
cangkang dan foraminifera, terbentuk selama proses pemunculan gunung api tersebut
ke permukaan laut. Komposisi batuan karbonat ini terutama terdapat di Lokasi Pasir
Putih, Pasir Jaboi dan Anoi Itam dan Paradiso. Didukung oleh energi gelombang
cukup tinggi, maka batuan beku bercampur dengan pecahan koral rombakan dari
batuan terumbu (Tabel 3). Formasi batuan terumbu tersingkap secara luas di
sepanjang pantai timur yang membentuk bukit-bukit landai kea rah utara. Pada batuan
terumbu ini juga tersingkap fosil foram dan cangkang biota laut yang diperkirakan
berumur kuarter (Bakti & Purwoko, 2016).
Sedimen yang ditemui di Pantai Mata ie terdiri dominan endapan asal marin,
yaitu pecahan fosil koral atau terumbu purba. Hal ini kemungkinan karena letak
Pantai Mataie dan Pasir Putih yang berhadapan langsung dengan laut dan dipengaruhi
oleh energi gelombang yang tinggi. Hal ini mencerminkan proses sedimentasi dari
rombakan batuan vulkanik dan endapan alluvial berlangsung setelah adanya masa
depresi tektonik. Sedangkan komposisi batuan vulkanik yang terdapat di Sumur 3 dan
Paradiso berupa lava piroklastik dan plagioklas lebih tinggi, kemungkinan bersumber
dari Satuan batuan vulkanik muda.
Endapan alluvial ditemukan di lapisan permukaan di tiap lokasi. Diperkirakan
berasal dari endapan alluvial kuarter yang terbentuk dari hasil rombakan batuan
vulkanik tua, dan tertansportasi hingga di dataran rendah dan pantai. Deformasi
batuan vulkanik bercampur dengan sedimen marin menghasilkan tuffa gampingan
yang berwarna putih keabuan.
Komposisi sedimen
Stasiun
A AB LA K CK F MM MF BPG
Mata Ie St. 16 13m 10 90
Sumur 3 T1 St. 17 18m 40 5 20 20 15
Sumur 3 T1 St. 17 28m 30 70
Sumur 3 St. 18 30m 40 40 5 5 10
Sumur 3 St. 18 20m 100
Sumur 3 T3 St. 19 30m 10 90
Paradiso T1 35 60 5
Paradiso T2 30 20 25 25
Paradiso T3 25 15 40 10
Ujong Kareung T2 St. 21 90 10
Anoi Itam St 0-19cm 50 40 10
Anoi Itam St 28 19-23cm 70 25 5
Anoi Itam St 23-28cm 60 10 25 5
Anoi Itam St 28 28-32cm 50 25 20 5
Keterangan: A= Andesit; AB = Andesit Basaltik; LA = Lempung alluvial; K = Pecahan fosil koral; F = Fosil
foraminifera; MM = Mineral mafik; MF = Mineral Felsik; BPG = Batupasir gampingan; CK = pecahan cangkang
U.Kareung
Paradiso 1
Anoi Itam 1
Pantai Keunekai
Gambar 4. Reach scale pada penyebaran material vulkanik di Pantai Paradiso, Pantai
Ujong Kareung, Pantai Anoi Itam dan Pantai Keunekai
Gambar 5. Patch scale di Pantai Sumur3, Pantai Pasir Putih, Pantai Beurawang dan
Pantai Pasir Jaboi
Gambar 6. Batuan sumber endapan material vulkanik di pesisir Selatan Pulau Weh
(Isa et al, 2015)
Gambar 7. Sumber geotermal di desa Pasir Jaboi dan pemanfaatan sebagi pembangkit
tenaga listrik
IV. KESIMPULAN
Pulau We merupakan bentukan gunung api vulkanik yang terletak di daerah
subduksi , memiliki komposisi asam intermediet, batuan andesit dan andesit basaltic,
mineral mafik piroksen, hornblende, dan mineral felsik umumnya kuarsa dan
plagioklas.
Debris berbagai material karbonat seperti batugamping dan batu terumbu yang
telah terdeformasi dan bercampur dengan endapan alluvial yang ditemukan dipantai
terbentuk karena proses depresi tektonik yang membuat pertumbuhan terumbu di
sekitar tubuh gunung api di laut. Proses aktifitas tektonik ini pula yang membuat
Pulau We memiliki kapasitas struktur geologi untuk mengeluarkan potensi
geothermal.
Adaptasi dari penggunaan skala cakupan penyebaran maerial vulkanik
berguna untuk menginterpretasi potensi-potensi yang terdapat di suatu wilayah
pesisir. Conto di Pantai Mata Ie di Pulau We adalah penyebaran dengan catchment
scale yang menunjukkan kondisi iklim, ditunjukkan dengan tingginya tingkat
pelapukan batuan, dapat digunakan untuk melihat cakupan lahan subur untuk
pertanian, dan daerah rawan longsor . Penyebaran material vulkanik Reach Scale
dapat mencirikan daerah aliran sungai dan bentang alam pantai yang berpotensi erosi
seperti di Pantai Ujong Kareung dan Pantai Keunekai. Selain itu, dengan cakupan
penyebaran reach scale potensi sumberdaya air tanah dan sungai purba juga dapat
dilakukan.
Penyebaran dengan skala Patch Scale munjukkan sumber mineral dan potensi
panas bumi misalnya adalah di pantai Pasir Jaboi yang bersumber dari Batuan
vulkanik Leumo Matee. Dengan dilakukannya pengembangan interpretasi catchment
scale diharapkan dapat ditemukan sumber-sumber geothermal dan hidrotermal lain di
Pulau We yang bias dimanfaatkan untuk pembngkit listrik dan daya tarik pariwisata.
DAFTAR PUSTAKA
Aitkenhead, J.A., Hope, D., and Billet., M.F., 1999. The Relationship between
dissolved organic carbon in stream water and soil organic carbon pools at
different spatial scales. Hydrological Processes. 13: 1289-1320.
Allan, J.D., Donal, Erckson and Fay, J., 1997. The Influence of Catchment lan Use on
Stream Integrity across multiple spatial scales. Freshwater Biology, 37: 149-
161
Bakti, H., dan Purwoko, W., 2016. Kandungan Radon-222 di daerah aktifitas
hidrotermaldasar laut, Perairan Pulau Weh, NAD. Prosid. Geoteknologi Expo
Puslit Geoteknologi LIPI 109-118
Bird, E., 2008. Coastal Geomorphology. John Wiley and Sons Ltd, England. 411 pp
Botter, G., Peratoner, F. Putti, Zuliani, A. Zonta, R Rinaldo, A. and M. Marani.
2008. Observation and modeling of catchment-scale solute transport in the
hydrologic response: A tracer study. Water Resources Research Vol. 44
W05409, doi:10.1029
Darlan, Y. 1996. Geomorfologi wilayah pesisir. Aplikasi untuk penelitian wilayah
pantai. Pusat Pengem-bangan Geologi Kelautan. Bandung. 96hlm.
Gurnell,A.M., 2007. Analogies between mineral sediment and vegetative particle
dynamics in fluvial systems. Geomorphology 89 (2007) 9-22
Isa, M., Surbakti, SM., dan Rusdi, M., 2017. Penentuan Potensi Panas Bumi Jaboi,
Sabang dengan pendekatan teknik overlay berdasarkan analisa data geosains
dan data satelit yang terintegrasi. Laporan akhir Penelitian Unggulan
Perguruan Tinggi Universitas Syah Kuala
Juwana,I., Musril, N.,& B.Parera. 2016. Aplication of West Java Water Sustainability
index to three water catchments in West Java, Indonesia. Ecological Indicators
70: 401-408
Katili, J.A. & Hehuwat, F. 1967. On the occurrence of large transcurrent faults in
Indonesia. Journal of Geosciences, Osaka City University, 10, 5–16.
Kurnio, H., Lubis, S., dan Widi, H.C., 2015. Submarine Volcano Characteristic in
Sabang Waters. Bulletin of the Marine Geology, Vol. 30, No. 2, December
2015, pp. 85 to 96
Lee, G., Yu, W., and Jung, K., 2013. Catchment scale soil erosion and sediment yield
simulation using a spatially distributed erosion model. Environ Earth Sci
70:33-47
Latuamury, B., Sudarmadji & S. Suprayogi, 2016. Variasi Perubahan Penggunaan
Lahan pada berbagai tipe bentuk lahan dan kaitannya dengan aliran dasar
sungai pada DAS KeduangProvinsi Jawa Tengah. Jurnal Manusia dan
Lingkungan 23(2) : 189-194.
Nugroho, S.H. dan Basit, A., 2014. Sebaran sedimen berdasarkan analisis ukuran
butir di Teluk Weda, Maluku Utara. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis, Vol. 6 (1) : 229-240
Perillo, G.M.E., 1996. Geomorphology and Sedimentology of Estuaries.
Developments in Sedimentology. Elsevier. 459 pp
Purnawan, S., I. Setiawan, dan Marwantim. 2012. Studi sebaran sedimen berdasarkan
ukuran butir di perairan Kuala Gigieng, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi
Aceh. Depik, 1(1):31-36.
Shepard, F.P. 1954. Nomenclature based on sand-silt-clay ratios. J. of Sedi-mentary
Petrology, 24(3):151-158.
Tikoff, B., 1998. Sunda-style tectonics and magmatic arc processes, Eos Trans. AGU,
79(45)
Verstappen, H.Th., 1963. The role of aerial survey in applied geomorphology. Rev.
Geomorph. Dyn., 10:237-252.
Wenno, L.F dan Y. Witasari. 2001. Distribusi ukuran butir pasir di Sebaran Sedimen
Berdasarkan Analisis Ukuran Butir Pantai Parangtritis, Yogyakarta. Pesisir
dan Pantai Indonesia, 6:95–103.
Wentworth, C.K. 1922. A scale of grade and class term for clastic sediment. J.
Geology, 30:337-392.
Winter, C. 2007. On the evaluation of sediment transport models in tidal
environments. Sedimentary Geology, 202:562–571.
Winter, C. 2007. On the evaluation of sediment transport models in tidal
environments. Sedimentary Geology, 202:562–571.
Abstrak
Perairan Bedukang, adalah salah satu perairan di daerah Desa Deniang, Kabupaten Bangka.
Daerah penelitian merupakan daerah terumbu karang, dan apabila dilakukan pengelolaan
yang tepat dapat menambah penghasilan bagi masyarakat sekitar dan daerah. Tujuan
penelitian adalah mengkaji kesesuaian terumbu karang untuk digunakan sebagai tempat
wisata selam. Pengambilan data dilakukan pada bulan April 2018, lokasi penelitian ditentukan
dengan metode purpossive sampling dimana peneliti menempatkan 4 (empat) titik
pengamatan (stasiun) untuk mempermudah analisis. Indeks kesesuaian Wisata Selam (IKWs)
didapatkan dari pembobotan dan penilaian dari Kecerahan perairan (%), Tutupan komunitas
karang (%), Jenis lifeform, Jenis ikan karang, Kecepatan arus (cm/s), dan Kedalaman terumbu
karang (m). Mayoritas IKWs daerah terumbu karang di Perairan Bedukang tergolong sesuai
untuk kegiatan wisata selam, sedangkan kategori sesuai bersyarat ditemukan pada daerah
terumbu karang yang mendekati daratan.
Kata kunci: Indeks kesesuaian wisata selam, terumbu karang, bedukang, dan Bangka
Abstract
Adjacent Waters Bedukang, in the area of Deniang Village - Bangka Regency. The research
area is a coral reef area, and if proper management is carried out, it can increase income for
the surrounding community and the region. The purpose of the study was to assess the
suitability of coral reefs to be used as a diving spot of tourism. Data collection was carried
out in April 2018, the location of the study was determined by purposive sampling method in
which researchers placed 4 (four) observation points (stations) for analysis. Diving Tourism
Suitability Index (DTSI) was obtained from weighting and assessment of water brightness
(%), coral community cover (%), type of lifeform, type of reef fish, current velocity (cm / s),
and depth of coral reef (m). The majority of DTSI in coral reef areas in Bedukang Waters are
classified as suitable for diving tourism activities, while conditionally appropriate categories
are found in areas of coral reefs that approach land..
Keywords: Diving Tourism Suitability Index, coral reef, bedukang, and Bangka
I. PENDAHULUAN
Propinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki garis pantai sepanjang
1.200 kilometer (dkp.babelprov.go.id, 2018), semakin panjang garis pantai yang
dimiliki suatu daerah berpotensi memiliki obyek wisata yang menarik. Pariwisata
merupakan keseluruhan rangkaian kegiatan yang berhubungan dengan gerakan
manusia yang melakukan perjalanan atau persinggahan sementara dari tempat
tinggalnya, ke satu atau beberapa tempat tujuan diluar lingkungan tempat tinggal yang
didorong oleh beberapa keperluan tanpa bermaksud mencari nafkah. Pengelolaan
Gambar 1. Penambangan Timah didaratan (atas) dan pesona wisata pantai Bedukang
(bawah). Sumber citra satelit Sentinel tahun 2018 dan deniang.bangka.go.id (2018)
Gambar 2. Posisi terumbu karang terhadap pantai bedukang (kiri) dan digitasi luasan
terumbu karang serta letak stasiun peneltiian (kanan)
378 Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Adi et al.
Nilai Indeks Kesesuaian Wisata Selam (IKWS) yang didapatkan dari Nilai
parameter dan Nilai maksimum dari kategori wisata, kemudian akan diklasifikasikan
sesuai dengan kategori tertentu (Tabel 3).
Rumus:
Keterangan:
IKWS : Indeks Kesesuaian Wisata Selam
Ni : Nilai Parameter Ke – 1 (bobot x skor)
Nmaks : Nilai maksimum dari suatu kategori wisata
Rumus:
DDK = K x Lp/Lt x Wt/Wp
Keterangan:
DDK = Daya dukung kawasan
K = Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area
Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan
Lt = Unit area untuk kategori tertentu
Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari
Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu
Tabel 4. Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt)
Jumlah
Unit Area
Jenis Kegiatan Pengunjung Keterangan
(Lt)
(orang)
Selam 2 2000 m2 Setiap 2 org dalam 200 m x 10 m
Snorkling 1 500 m2 Setiap 1 org dalam 100 m x 5 m
Wisata Lamun 1 250 m2 Setiap 1 org dalam 50 m x 5 m
Wisata Mangrove 1 50 m Dihitung panjang track,
setiap 1 org sepanjang 50 m
Rekreasi Pantai 1 50 m 1 org setiap 50 m panjang pantai
Memancing 1 25 m 1 orang setiap 25 m jarak dg orang lain
Perahu 1 500 m Siklus berperahu maksimum 1 jam dengan
jarak 500 meter
Wisata Olah 1 50 m 1 org setiap 50 m panjang pantai
Raga
Sumber : Yulianda (2007)
Hasil
Hasil
Hasil
Hasil
Hasil
Skor
Skor
Skor
Skor
Skor
Skor
st. 1 94 3 0,12 3 5 0 55 2 7 1 4 0
st. 2 92,5 3 0,06 3 6 3 64,7 2 5 1 9 0
st. 3 76,7 2 0,09 3 3 0 76,2 3 8 2 10 1
st. 4 76 2 0,08 3 2,5 0 49,3 1 6 1 5 0
Keterangan :
Kode = Parameter; Lg = kecerahan perairan (%); CS = kecepatan arus (cm/s); CD = kedalaman
terumbu karang (m); CC = tutupan karang (%); LF = jenis lifeform; CF = jenis ikan karang;
rata 61,3%) sehingga didapatkan 233.105,56 m2 areal terumbu karang yang dapat
dikunjungi secara lestari. Daya Dukung Kawasan (DDK = K x Lp/Lt x Wt/Wp)
adalah sebesar 932.44, atau sekitar 932 orang mampu ditampung dikawasan wisata ini
perharinya. Semakin banyak wisatawan yang hadir berkunjung disuatu daerah wisata
berpotensi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (Purwanti, 2014).
Ni maks
1 2 3
Bobot
Parameter
Skor
Skor
Skor
Skor
Ni
Ni
Ni
Ni
Kecerahan (%) 5 15 3 15 3 15 2 10 2 10
Tutupan karang (%) 5 15 2 10 2 10 3 15 1 5
Jenis lifeform 3 9 1 3 1 3 2 6 1 3
Jenis ikan karang 3 9 0 0 0 0 1 3 0 0
Kecepatan arus (cm/s) 1 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Kedalaman terumbu 1 3 0 0 3 3 0 0 0 0
karang (m)
Total 54 31 34 37 21
Indeks Kesesuaian Wisata 57,41 62,96 68,52 38,89
Sesuai
Tingkat Kesesuaian Sesuai Sesuai Sesuai
Bersyarat
IV. KESIMPULAN
Mayoritas IKWs daerah terumbu karang di Perairan Bedukang tergolong
sesuai untuk kegiatan wisata selam, sedangkan kategori sesuai bersyarat ditemukan
pada daerah terumbu karang yang mendekati daratan. Areal terumbu karang yang
dapat dikunjungi secara lestari 233.105,56 m2, areal wisata selam ini mampu
menampung 932 orang pengunjung perharinya.
DAFTAR PUSTAKA
http://dkp.babelprov.go.id/content/statistika-wilayah-pesisir-dan-pulau-pulau-di-
bangka-belitung (dikunjungi 5 november 2018; 11.40 WIB)
Citra Sentinel 2. T48MXD_20180915T030539_TCI.jp2 (perekaman 15 September
2018)
http://deniang.bangka.go.id/content/potensi-pariwisata (dikunjungi 5 NOvember
2018; 12.55 WIB)
Gunn, Clare A. 2002. Tourism Planning. New York City : Taylor and Francis dalam
Zakaria, F. and Suprihardjo, R., 2014. Konsep Pengembangan Kawasan Desa
Wisata di Desa Bandungan Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan. Jurnal
Teknik ITS, 3(2), pp.C245-C249.
Purwanti, N.D. 2014. Pengaruh Jumlah Kunjungan Wisatawan Terhadap Pendapatan
Asli Daerah Kabupaten Mojokerto Tahun 2006-2013. Jurnal Pendidikan
Ekonomi (JUPE), 2(3).
Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya
Pesisir Berbasis Konservasi. Seminar Sains. Bogor, 21 Februari 2007.
Abstrak
Padang lamun memiliki peran penting dari aspek social dan ekonomi, fisik dan ekologi.
Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir yang terus meningkat telah mengakibatkan
kerusakan padang lamun di Indonesia. Saat ini informasi terkait dengan kondisi lamun
khususnya di perairan timur Indonesia masih kurang. Tulisan makalah ini bertujuan untuk
memberikan informasi kondisi padang lamun, luas dan tantangan pengelolaan lamun di
perairan timur Indonesia. Metode yang digunakan meliputi pengumpulan data primer dan
sekunder dari beberapa sumber data, buku penentuan kondisi lamun (KMNLH (2004) dan
kategori tutupan mengacu panduan pemantauan kondisi padang lamun (Rahmawati et al.,
2017) serta pemetaan lamun dengan data citra satelit. Hasil penelitian ditemukan jumlah
keanekaragaman yaitu 10 dari 15 spesies lamun yang pernah ditemukan di perairan Indonesia.
Kondisi padang lamun umumnya ‘kurang sehat’ (50%),‘sehat’ (43%) dan ‘miskin’ (7%).
Luas padang lamun di perairan timur Indonesia 146.283,68 ha (2017). Hasil pembelajaran
dari beberapa kasus di perairan barat Indonesia, maka tantangan pengelolaan lamun di
perairan timur Indonesia antara lain perubahan lingkungan pesisir, rendahnya pemahaman
tentang peran dan fungsi lamun dan kurangnya upaya pemulihan serta perluasan kawasan
perlindungan lamun daerah.
Kata kunci: Padang lamun, kondisi lamun, tantangan pengelolaan lamun
Abstract
Seagrass meadows has an important role of the social and economic aspects, physical as well
as ecology. Development activities in the coastal area which is on the rise has resulted in
damage to the seagrass meadow in Indonesia. Current information related to the condition of
seagrass in eastern waters of Indonesia is still lacking. This paper aims to provide
information about extensive of area seagrass meadows, conditions and challanges managing
of seagrass meadows in eastern waters of Indonesia. The methods used include primary and
secondary data collection from several data sources, guide book monitoring of seagrass
condition and seagrass mapping with satellite imagery data. Results of the study found the
number of species diversity is 10 of the 15 species of seagrass have found in the waters
Indonesia. Condition of seagrass meadows are generally 'medium' (50%), ' good ' (43%) and
'poor’ (7%). Extensive seagrass in the eastern waters of Indonesia currently is 146,283.68 ha.
Learning outcomes from some cases in the western waters of Indonesia, the challenge of
managing the seagrass in the eastern waters of Indonesia such as coastal environmental
changes, lack of understanding of the role and function of seagrass and the recovery efforts
and the expansion of the seagrass area of protection.
Keywords: Seagrass meadows, seagrass condition, challenge of seagrass management.
I. PENDAHULUAN
Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Spermatophyta) yang
mampu hidup secara penuh beradaptasi pada lingkungan laut dengan kadar salinitas
rendah (perairan payau) hingga salinitas tinggi (Halofitik). Lamun berpembuluh,
berdaun, berimpang (rhizoma), berakar dan berkembang biak secara generatif (biji)
dan vegetatif (tunas), rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh
terbenam dan menjalar dalam substrat pecahan karang, berpasir, pasir-berlumpur dan
lumpur (Pham et al., 2006), namun berfungsi normal serta mampu melaksanakan daur
generatif. Padang lamun yaitu tumbuhan lamun yang menutupi suatu areal pesisir laut
dangkal pada mintakat pasang surut intertidal maupun subtidal yang dapat terbentuk
oleh satu jenis lamun (monospesific) atau lebih (mix vegetation) dengan kerapatan
padat (dense) atau jarang (spare).
Secara ekologis padang lamun memiliki peran penting bagi wilayah perairan
pesisir. Peran tersebut diantaranya yaitu sebagai sumber utama produktivitas
primer/penghasil bahan organik, habitat berbagai biota (360 jenis ikan 60 diantaranya
bernilai ekonomis tinggi, 117 jenis makro alga, 24 jenis moluska, 70 jenis krustacea
dan 45 jenis echinodermata), substrat bagi biota penempel, tempat asuhan bagi larva
ikan dan biota lainnya, sumber makanan bagi endangered species seperti duyung
(Dugong dugon), penyu dan kuda laut (Hippocampus sp), tempat berlindung dan
tempat pembesaran beberapa jenis biota, dan krustase komersial penting (Pioneer et
al., 1989 & Gray et al., 1996), menyokong tingginya keanekaragaman dan jenis-jenis
biota laut (Texas Park & Wildlife, 1999). Secara fisik, padang lamun dapat
menstabilkan subtrat dasar yang lunak dan memperlambat arus sepanjang pantai.
Peran dalam skala global yaitu menjaga kestabilan pH air laut dan penyimpan
karbon, memiliki konektivitas dan berperan penting dengan ekosistem mangrove,
terumbu karang dan produkstifitas perikanan (Unsworth and Cullen, 2007 in Nadiarti
et al. 2012). Padang lamun sangat efektif menyerap CO2 dengan serapan sebesar
1.867 ton/km2 (48%) relatif lebih tinggi dibandingkan mangrove sebesar 806 ton/km2
(21%) dan karang sebesar 1.197 ton/km2 (31%) (Simamora, 2010). Karena perannya
yang sangat komplek sehingga padang lamun dapat dikatakan sebagai salah satu
ekosistem yang paling produktif di suatu perairan dan dikenal sebagai ekosistem laut
yang penting (Fortes, 1990 & Thangaradjon et al., 2007, Blankenhorn, 2007 in
Nadiarti et al., 2012). Padang lamun juga mempunyai nilai ekonomi yaitu pada jasa
ekosistem lamun sekitar IDR 21.014.756 (Wawo et al., 2014) dan sektor pariwisata,
perikanan dan fungsi padang lamun bernilai Rp20.579.103/ha/tahun (Dirhamsyah,
2007) serta diestimasi total nilai minimal ekonomi jasa ekosistem lamun bagi
kesejahteraan masyarakat sekitar 121,75 juta/ha/tahun (Wahyudin et al., 2016).
Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir seperti penimbunan/pengurugan di
perairan pantai yang terus meningkat, hal ini akan berdampak kurang baik terhadap
pertumbuhan dan perkembangan lamun (Short & Wyllie-Echeverria, 1996 & Duarte,
2002) juga menyebabkan penurunan dalam genetika keanekaragaman lamun (William
2001 in Orth et al., 2006). Perubahan dan aktifitas lalu lalang perahu nelayan di
lingkungan perairan pantai juga berkontribusi besar terhadap kerusakan padang lamun
(Engemen et al., 2008). Oleh karena itu, informasi kondisi padang lamun melalui
pemantauan secara berkala menjadi sangat penting dalam upaya menjaga dan
melestarikan lamun di wilayah perairan. Saat ini, informasi terkait dengan kondisi
padang lamun di perairan timur Indonesia masih sangat kurang. Oleh karena itu,
tujuan penulisan paper ini yaitu memberikan informasi kondisi dan tantangan dalam
mengelola padang lamun di perairan timur Indonesia.
Gambar 1. Sebaran lokasi penelitian dan pemantauan kondisi lamun di perairan timur
Indonesia (dot lingkaran).
Identifikasi Spesies
Identifikasi keanekaragaman spesies lamun dilakukan dengan cara sampling
transek tegak lurus garis pantai ke arah tubir sepanjang 100 m atau kurang 100 meter
sesuai lebar sebaran padang lamun. Lamun pada bingkai berukuran (50 x 50) cm2
diidentifikasi dan dicatat spesiesnya dengan mengacu pada pedoman identifikasi
lamun McKenzie (2003).
Kondisi Lamun
Dalam penentuan kondisi padang lamun di Indonesia, saat ini belum ada
standar penilaian yang secara jelas dapat digunakan. Rujukan penentuan kondisi
padang lamun saat ini dapat mengacu pada standar Keputusan Menteri Negara
Lingkungn Hidup No, 200 Tahun 2004 tentang status dan kerusakan padang lamun
yang berdasarkan persentase tutupan lamun, yaitu kategori sehat (≥60%), kurang
sehat (30–59,9%), dan miskin (<29,9%). Berdasarkan tutupan lamun, dapat juga
dikategorikan sangat padat (76–100%), padat (51–75%), cukup padat (26–50%), dan
jarang (0–25%) Rahmawati et al. (2014). Dalam kajian pemantauan kondisi lamun
saat ini mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup 2004 No. 200
dengan memodifikasi kategori ‘sehat’ menjadi ‘baik’ (≥60%), ‘kurang sehat’ menjadi
‘sedang’ (30-59,9%), dan ‘miskin’ menjadi ‘jelek’ (<29,9%) atau kategori tutupan
sangat padat (76-100) %, padat (51-75) %, sedang (26-50) % dan jarang (0-25) %.
Ea Th Hu Si Tc
Ho Hp Cs Cr Hd
Gambar 4. Sebaran kondisi lamun di perairan timur Indonesia (dot merah: jelek, dot
kuning: sedang dan dot hijau:baik)
Pembahasan
Perubahan Lingkungan Pesisir
Sebaran dan pertumbuhan lamun di suatu perairan dapat tergantung pada
kondisi lingkungan perairan diantaranya tingkat kecerahan, substrat dasar, salinitas
dan suhu (McKenzie, 2008) juga morfologi perairan pantainya yaitu rataan terumbu
dan pasang surut. Hasil identifikasi morfologi pesisir pantai di beberapa lokasi
perairan dangkal seperti tersaji pada (Tabel 3). Kondisi perairan timur cenderung
terbuka, hanya sebagian kecil berupa teluk, sebaran lamun tumbuh di daratan pantai
dan pulau-pulau kecil serta rataan terumbu dengan perairan yang dalam.
Lamun juga termasuk tumbuhan yang peka terhadap perubahan lingkungan
terutama aktifitas manusia di pesisir. Dampak perubahan lingkungan yang terjadi
dapat membawa pengaruh yang serius bagi pertumbuhan lamun dan sebarannya
seperti dampak kegiatan budidaya ikan dengan melalui akumulasi endapan ‘organic
matter’ serta nutrient (Marba et al., 2006 dalam Orth et al., 2006). Perubahan
lingkungan lainnya yang perlu mendapatkan perhatian karena mempunyai dampak
serius yaitu sedimen tersuspensi dan meningkatnya nutrient, hal ini dapat
mempercepat hilangnya lamun (Orth et al., 2006). Contoh hasil kajian di perairan
timur P. Bintan-Kepulauan Riau, akibat pembukaan lahan telah berdampak terhadap
penurunan persentase tutupan lamun yaitu 46% (Kuriandewa & Supriyadi, 2006) dan
41% (Supriyadi, 2016 unpublished) dalam kurun waktu sepuluh tahun (2006-2016).
Tantangan perubahan lingkungan yang cepat diantaranya kegiatan manusia di pesisir
pantai seperti pembuatan tangggul pantai, pelabuhan dan tanggul menjorok ke laut
perlu di kontrol dan perencanaan kegiatan yang lebih baik.
IV. KESIMPULAN
Di perairan timur Indonesia ditemukan 10 spesies lamun antara lain Thalassia
hemprichii, Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium,
Halodule pinifolia, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Cymodocea serrulata,
Halopila decipiens dan Thalassosendron ciliatum. Jumlah 10 spesies dari 12 spesies
yang umum ditemukan di perairan Indonesia, maka perairan timur termasuk memiliki
jumlah keanekaragaman spesies ‘tinggi’. Kondisi lamun umumnya kategori ‘sedang’
(50%), ‘baik’ (43%) dan ‘jelek’ (7%). Total luas lamun saat ini di perairan timur
Indonesia yaitu 146.283,68 ha.
Pembelajaran dari kasus di perairan barat Indonesia, maka di perairan timur
Indonesia perlu melakukan pemantauan lingkungan pesisir, pemantauan kondisi
lamun secara berkala, memperluas daerah perlindungan lamun dan upaya
pemulihan/menanam kembali akan menjadi tantangan bagi pemerintah, pemangku
kepentingan/stakeholder dan pemerhati lingkungan setempat. Karena keberhasilan
pengelolaan padang lamun akan menjadi sangat penting di dalam mempertahankan
peran, manfaat dan fungsi ekosistem lamun bagi kesinambungan ekosistem laut
khususnya ekosistem lamun serta kaitanya dalam produksi ikan bagi masyarakat
nelayan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Direktur Coremap-CTI III
2015-2019 Prof Dr. Suharsono, M.Sc. yang telah mengijinkan penggunaan data
Coremap 2015 dan 2016, khususnya data pemantauan padang lamun di beberapa
lokasi di perairan timur Indonesia. Ucapan terima kasih kepada peneliti lamun pada
kegiatan pemantaun kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait (mangrove dan
padang lamun) di beberapa lokasi perairan timur Indonesia, dimana data lamun dapat
kami gunakan sebagai sumber data sekunder. Penulis menyadari akan kekurangan
dalam menyusun naskah ini, untuk itu mohon saran dan kritik dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting & M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir dan laut secara terpadu. PT. Pradnya Paramita, 305 hal.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Kondisi terumbu karang di perairan pulau
Tobelo Kabupaten Halmahera Utara Maluku Utara. Laporan Penelitian.
Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut dan Puslit. Oseanografi-LIPI
Jakarta. Tidak dipublikasikan. 34 hal.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Kondisi ekosistem lamun di perairan
Kepulauan Alor Nusa Tenggara Timur Kawasan Kosevasi Laut Daerah.
Texas Park & Wildlife. 1999. Seagrass conservation plan for Texas. Resources
Protection Division. Austin TX. 79 pp.
Thang, H.N., K. Yoshino, & T.P. H. Son. 2012. Seagrass mapping using ALOS
AVNIR-2 data in Lap Lagoon, Thua Thien Hue, Vietnam. Proc. SPIE 8525,
Remote sensing of the Marine Environment II, 85250S (November 21, 2012),
doi: 10.1117/12.977188., http://dx.doi.org/10.1117/12.977188.
Thangaradjon T, R. Sridhar, S Senthilkumar & S Kananau. 2007. Seagrass resources
assessment in the Mandapam coast of the Gulf of Mannar Biosphere reserve,
India. Applied ecology and environmental research. 6(1): 139-146. Available
at: (http://www.ecology.uni-corvinus.hu, 25 April 2009).
Wahyudin, Y., T. Kusumastanto, L. Andrianto, Y. Wardiatno. 2016. Jasa Ekosistem
Lamun Bagi Kesejahteraan Manusia. Omni-Akuatika. 12 (3): 29- di wilayah
pesisir Bintan timur Kepulauan Riau. Laporan Akhir. Program Riset
KOmpetetif LIPI, Sub Program Sensus Biota Laut, LIPI. Jakarta. 97 hal.
Wawo M, L Adrianto, D G Bengen & Y Wardianto. 2014. Valuation of seagrass
ecosystem services in Kotania Bay Marine Natural Tourism Park, West
Seram, Indonesia. Asian Journal of Scientific Research. &:591-600. DOI:
10.3923/ajsr.2014.591.600.
URL:http://scialert.net/abstract/?doi:ajsr.2014.591.600. (Diakses tanggal 12
Juli 2015).
Wouthuyzen, T.E. Kuriandewa, S. P. Ginting, Afdal, A. Arifin, A. Salatalohy. 2008.
Riset untuk penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya lamun dan
ekosistem terkait
Yusron, E. & Susetiono. 2005. Fauna ekinodermata di perairan Tanjung Merah, Selat
Lembeh-Sulawesi Utara. Maluku Sains, 2(9): 60-65.
Bakti Wibawa, Aprijanto, Maria N. Airawati, Dian A. Novianti, dan Ibnu Fauzi
Pusat Teknologi Rekayasa Industri Maritim – BPPT
Jl. Grafika No. 2, Sekip Yogyakata
Email: [email protected]
Abstrak
Pembangunan pelabuhan Kendal tentu sangat berpengaruh baik secara mikro maupun makro
wilayahnya. Kelurahan-kelurahan atau desa-desa dimana pelabuhan berada, juga kecamatan-kecamatan
dan bahkan kota-kota sekitar Kendal pasti akan terpengaruh, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Demikian juga dengan wilayah Kabupaten Kendal pada umumnya, sebagai wilayah terdekat
tentu akan menerima pengaruh langsung dari adanya pembangunan dan pengoperasian pelabuhan
Kendal nantinya, karena sebagai buffer area atau wilayah penyangga. Antara faktor-faktor yang
mempengaruhi kegiatan ekonomi dengan adanya pembangunan pengembangan infrastruktur pelabuhan
di Kendal tentu saja ada saling interaksi yang kuat. Setidaknya ada lima kecamatan di sekitar
pelabuhan Kendal yang tentunya akan sangat terpengaruh jika pengembangan pelabuhan Kendal telah
dilaksanakan. Wilayah kecamatan Petebon, Pegadon, Kendal kota, Cepiring dan Ngampel atau
disingkat dengan wilayah ‘Bondokenceng’, merupakan lima kecamatan di sekitar Kaliwungu yang saat
ini menjadi Kawasan Industri Kendal (KIK). Sudah barang tentu daerah ini menjadi daerah emas. Bisa
terjadi wilayah kota ini kelak akan menjadi kota pelabuhan dan industri yang baru dan menjadi pusat
kegiatan ekonomi yang unggul di Jawa Tengah. Berdasarkan fakta tersebut, maka pengembangan
pelabuhan Kendal akan memiliki fungsi strategis yang penting bagi industri pelayaran niaga dan
penumpang di masa mendatang, di mana tentunya akan mendatangkan manfaat finansial dari
operasionalisasi pelabuhan niaga dan penyeberangan tersebut. Dengan memiliki pelabuhan, maka
kegiatan utama pengelola pelabuhan Kendal di daerah ini tentu dapat memberikan nilai tambah sebagai
dampak positif dari operasionalisasi pelabuhan tersebut. Tujuan dari penulisan untuk mengetahui
potensi ekonomi regional Pelabuhan Kendal dari perspektif sosial-ekonomi sehubungan dengan
rencana pengembangan pelabuhan Kendal. Adapun hasil dari kajian ini adalah diperolehnya gambaran
potensi, hasil analisis ekonomi regional dan analisis ekonomi sosial dampak rencana pengembangan
Pelabuhan Kendal.
Kata kunci: Ekonomi-Sosial Regional, Pelabuhan Kendal, Potensi Dampak
Abstract
The construction of the Kendal port is certainly very influential both in micro and macro areas. Sub-
districts where ports are built, also sub-districts and even cities around Kendal will certainly be
affected either directly or indirectly. Likewise with Kendal Regency in general, as the closest area will
receive direct influence from the construction and operation of the Kendal port later, because it is a
buffer of the buffer area. Between the factors that influence economic activities with the development of
port infrastructure development in Kendal, of course there is strong interaction. There are at least five
sub-districts around the Kendal port which will certainly be greatly affected if the Kendal port
development has been carried out. The Petebon, Pegadon, Kendal city, Cepiring and Ngampel sub-
districts or 'Bondokenceng' are the abbreviations, which are five sub-districts around Kaliwungu which
are currently Kendal Industrial Areas (KIK). This city can become a new port city and industry and
become a center of new economic activity that excels in Central Java. Based on this fact, the
development of the Kendal port will have an important strategic function for the commercial and
passenger shipping industry in the future, which will certainly bring financial benefits from the
operation of the commercial and ferry ports. By having a port, the main activity of the Kendal port
manager in this area can certainly provide added value from the operation of the port. The purpose of
this paper offers is to determine the regional economic potential of Kendal Port from a socio-economic
perspective in connection with the Kendal port development plan. The results of this study are
obtaining a picture of the potential results of regional and social economic analysis of the impact of the
planned development of Kendal Port.
Keywords: Regional Social Economy, Kendal Port, Potential Impact
I. PENDAHULUAN
Pembangunan pelabuhan Kendal tentu sangat berpengaruh baik secara mikro
maupun makro wilayahnya. Beberapa desa atau kelurahan dimana pelabuhan itu
berada juga kecamatan-kecamatan dan bahkan kota-kota sekitar Kendal pasti akan
terpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung. Demikian juga dengan
wilayah Kabupaten Kendal pada umumnya, sebagai wilayah terdekat akan menerima
pengaruh langsung dari adanya pembangunan dan pengoperasian pelabuhan Kendal
nantinya, karena berperan sebagai buffer area atau wilayah penyangga. Antara faktor-
faktor yang mempengaruhi kegiatan ekonomi dengan adanya pembangunan
pengembangan infrastruktur pelabuhan di Kendal tentu saja ada saling interaksi yang
kuat. Setidaknya ada lima kecamatan di sekitar pelabuhan Kendal yang tentunya akan
sangat terpengaruh jika pengembangan pelabuhan Kendal telah dilaksanakan.
Wilayah kecamatan Petebon, Pegadon, Kendal kota, Cepiring dan Ngampel atau
‘Bondokenceng’ singkatannya, merupakan lima kecamatan di sekitar Kaliwungu yang
saat ini menjadi kawasan Industri Kendal (KIK). Pada pertengahan Juni 2018 yang
lalu, konon sudah ada sekitar 40 (empat puluh) investor yang masuk dan sudah siap
membangun pabrik di Kawasan Industri Kendal. Investor yang sudah masuk adalah
perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri furnitur, makanan-minuman,
kemasan makanan, baja, label printing, dan mainan. Tidak mustahil jika kelak akan
menjadi kota impian bagi para investor juga para pencari kerja. Wilayah kota ini bisa
terjadi akan menjadi kota pelabuhan dan industri yang baru dan menjadi pusat
kegiatan ekonomi baru yang unggul di Jawa Tengah. Lima wilayah yang akan
menjadi gula-gula baru, yang pasti akan dikerubuti oleh semut, dalam arti akan ada
urbanisasi ke daerah yang menawarkan keberuntungan ini.
Seperti diketahui bahwa Pemda Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, berencana
akan membangun pengembangan infrastruktur transportasi pelabuhan terpadu
(hybrid). Pelabuhan tersebut akan menjadi pelabuhan niaga, pelabuhan ekspor impor
serta pelabuhan penumpang. Dapat dikatakan bahwa pembangunan pelabuhan
merupakan mega proyek, dengan dana pembangunan yang cukup besar. Dengan
dibangunnya pelabuhan hybrid ini diharapkan mampu membuka ribuan lapangan
tenaga kerja, menghadirkan investasi serta mengangkat citra Kendal. Dana untuk
menginvestasikannya bisa berasal dari pemerintah baik melalui APBD maupun
APBN atau bisa juga dari pihak ketiga, seperti pihak investor perusahaan milik
pemerintah atau swasta, baik dari dalam negeri dan bisa juga berkolaborasi dengan
pihak investor dari luar negeri.
Proyek ini juga akan mendukung pembentukan dan pengembangan Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK) di Kendal dan khususnya Kawasan Industri Kendal (KIK)
yang telah dicanangkan Gubernur Jawa Tengah tahun 2017 yang lalu. Pihak Pemda
Kendal pasti menyadari bahwa Pelabuhan Kendal memiliki potensi besar dan layak
menjadi pelabuhan samudera yang bisa digunakan untuk melayani proses ekspor
impor. Sebenarnya pelabuhan ini berpotensi besar dan bisa dikembangkan, sehingga
bisa menjadi pelabuhan besar dan bisa seperti pelabuhan Singapura. Untuk itu harus
ditingkatkan fungsinya dan dijadikan pelabuhan ekspor, sehingga akan mendatangkan
omzet yang sangat besar, terkait dengan penerapan area perdagangan bebas ASEAN
(ASEAN Free Trade Area/AFTA).
Oleh sebab itu Pemerintah Kabupaten Kendal harus mengupayakan dengan
sungguh-sungguh agar pelabuhan ini bisa beroperasi secara optimal dan menjadi
pelabuhan samudera. Jika pelabuhan Kendal ini kelak menjadi pelabuhan samudera
yang bertaraf nasional bahkan internasional, maka masyarakat Kendal tentu bisa lebih
makmur. Apalagi, jika nanti kawasan ekonomi khusus yang ada di sekitar pelabuhan
Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XV ISOI 2018 399
Yogyakarta, 1-3 November 2018
Kajian Konsep Ekonomi Regional Pembangunan dan Pengembangan Pelabuhan Kendal
sudah beroperasi dengan skala penuh, tentu perdagangan, perindustrian, dan kegiatan
ekonomi lainnya semakin berkembang dengan pesat. Kondisi taraf hidup masyarakat
Kendal juga akan lebih maju. Untuk itu semua tentu diperlukan dukungan yang kuat
dari berbagai pihak, baik dari masyarakat industri dan perdagangan dan juga
dukungan masyarakat Kendal pada umumnya. Dengan kata lain persepsi positif
masyarakat terhadap rencana pengembangan pelabuhan Kendal juga sangat
diperlukan.
Memang ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh pelabuhan yang
sebenarnya sudah ada ini. Dengan luas wilayah sekitarnya yang mencapai 2.000 (dua
ribu) hektar lebih, sangat disayangkan jika pelabuhan tersebut yang selama ini telah
dijadikan hybrid (pelabuhan penumpang/penyeberangan dan pelabuhan niaga), namun
tampaknya belum dioperasikan secara maksimal dan optimal. Fasilitas yang belum
baik dan layak serta kondisi kolam labuh yang masih dangkal merupakan dua hal
yang perlu segera diatasi.
Tujuan penulisan paper ini untuk menyampaikan hasil kajian konsep ekonomi
regional, guna memberikan gambaran potensi multiplier effect dari rencana
Pengembangan Pelabuhan Kendal terhadap perekonomian daerah Kabupaten Kendal.
pelabuhan, maka kegiatan utama pengelola pelabuhan Kendal di daerah ini tentu
dapat memberikan nilai tambah dari operasionalisasi pelabuhan tersebut, dari berbagai
sektor kegiatan ekonomi yang terpengaruh.
Dengan adanya pengembangan pelabuhan Kendal, maka kesibukan bongkar
muat barang dan naik turunnya penumpang akan lebih lancar. Target pengurangan
dwelling time agar mereduksi biaya bongkar muat atau naik turunnya penumpang
seperti yang ada di Tanjung Emas Semarang akan tercapai. Dengan pengurangan
waktu dan biaya parkir/biaya sandar bagi pemilik kapal tentu akan menjadi intensif
tersendiri. Penurunan biaya total dari operasional pada gilirannya akan menurunkan
harga umum. Penurunan harga umum akan meningkatkan permintaan barang dan jasa
serta kenaikan daya beli masyarakat, demikian seterusnya. Ini merupakan peluang
untuk berinvestasi yang menarik.
Dengan adanya kerjasama antara pengelola pelabuhan Kendal dengan para
biro/agen perjalanan penyeberangan dan pengiriman barang antar daerah yang
merupakan tenant dan nasabahdari pengelola pelabuhan Kendal, maka dapat semakin
mempererat hubungan kerja antara pengelola dengan para agen/biro perjalanan dan
agen kargo tersebut, yang pada gilirannya akan merupakan salah satu sumber
pedapatan pelabuhan (seperti persewaan kapal angkut, ekspedisi barang, dll.). Hal ini
dapat membuka banyak windows of opportunity/celah-celah kesempatan yang sangat
menarik untuk melakukan kerjasama di antara banyak pihak. Kerjasama bisa dalam
bentuk joint venture atau berupa konsursium bisnis antar perusahaan. Kerjasama
bisnis yang menarik dan bersifat mutual tentu akan meningkatkan kegiatan
perekonomian di kawasan pantura ini..
Berdasarkan informasi dari UPTD Pelabuhan Penyeberangan Kendal, ada
trend kenaikan jumlah penumpang dari Pelabuhan Kendal menuju ke Pelabuhan
Kumai di Kalimantan Tengah, artinya dari waktu ke waktu terus mengalami
peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa minat dari masyarakat yang memanfaatkan
jasa penyeberangan untuk ke Karimun Jawa dan ke Kalimantan dalam beberapa
tahun terakhir telah mengalami peningkatan.
Harapannya dengan pengembangan pelabuhan Kendal akan membuat
kesibukan bongkar muat barang dan naik turunnya penumpang di wilayah ini akan
lebih lancar. Target pengurangan dwelling time akan mereduksi biaya bongkar muat
dan menaikkan distribusi barang dan anti inflasi di wilayah ini.
1. Situasi Internal:
Dari sisi kekuatan/strengths, pelabuhan Kendal memiliki potensi yang cukup
besar dalam hal:
a. Lahan luas,
b. Limpahan dari Pelabuhan Tanjung Emas Semarang dan Pelindo III lebih
memilih Kendal dibanding Jepara,
c. Ada Kawasan Industri Kendal (KIK) di belakangnya yang semakin
berkembang, tentu Pelabuhan Kendal akan banyak digunakan untuk transportasi
material dan produk jadinya.
2. Situasi Eksternal:
Dari sisi kesempatan/oppurtunities, pelabuhan Kendal memiliki beberapa
peluang dalam hal:
a. Pengembangan Kendal sebagai kota Pelabuhan (Harbour City), terletak di
daerah emas, daerah dengan harga lahan yang mahal, karena menjadi daerah
padat modal.
b. Pengembangan pelabuhan hybrid: pelabuhan niaga, penyeberangan dan marina.
c. Kenaikan demand transportasi laut di Jawa bagian utara, peluang bisnis yang
besar.
d. Bisa mengarah Short Sea Shipping dan pintu entry/exit tol laut.
Sedangkan dalam hal tantangan-hambatan/ Threats pelabuhan Kendal
memiliki tantangan ke depan dalam hal:
a. Kemungkinan muncul conflict of interest antara pemangku kepentingan, perlu
peningkatan sinergitas kelembagaan yang berkepentingan (KSOP/Perhubungan,
Kelautan dan Perikanan, Pelindo, Pemda, Perindustrian, dll).
b. Perlu regulasi dari pemerintah, harus dipikirkan dari segi keekonomian juga,
efektivitas dan efisiensi keberadaan pelabuhan Kendal pasca dikembangkan.
c. Ada kesepakatan untuk mengikuti perjanjian AFTA sejak 2016, perdagangan
bebas se Asia tentu akan mempengaruhi tata kelola perdagangan multilateral-
internasional.
d. Persaingan dengan pelabuhan terdekat dan sejenis (Patimban, Tanjung Emas,
Tanjung Perak, dan Teluk Lamong, dll).
Dengan melihat gambaran situasi dan kondisi pelabuhan Kendal tersebut maka
secara sederhana dapat diambil strategi W-O, yakni dengan cara do something pada
sisi kelemahan dan kesempatan, yakni memperbaiki kelemahan-kelemahan
(weaknesses) yang ada dan mengambil kesempatan (opportunities) sebanyak-
banyaknya. Dengan do nothing pada kekuatan dan hambatan/tantangan, maka
kekuatan itu juga akan tetap menjadi kekuatan, sementara tantangan sambil berjalan
setelah strategi W-O tersebut dijalankan akan bisa dihadapi secara bertahap.
Dari hasil proyeksi sumber pendapatan dan biaya oeprasional, maka dapat
disusun proyeksi pendapatan dari Pelabuhan Kendal, sebagaimana ditunjukkan pada
Tabel 1.
Dari hasil proyeksi sumber pendapatan tersebut diatas, maka dapat disusun
proyeksi total penerimaan dari Pelabuhan Kendal, sebagaimana ditunjukkan pada
Tabel 2. berikut.
Saran
1. Pemerintah harus bersungguh-sungguh dalam merencanakan pengembangan
wilayah pantura agar menghasilkan perencanaan pengembangan wilayah yang
komprehensif, dipandang dari berbagai aspek, baik secara teknis maupun non
teknis.
2. Ada penelitian lebih mendalam tentang ekonomi regional di kawasan pesisir utara
yang sangat potensial untuk pengbangan industri maritim ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Haris. 2011. Kasubdit Pertanahan – Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan,
Bappenas.
Direktorat LLASDP, Ditjen Hubdar, Desember 2009.
Indriyanto.2007. Peran Pelabuhan Dalam Menciptakan Peluang Usaha Pariwisata,
(Makalah Pengabdian Masyarakat, UNDIP 2005)Kementerian Perhubungan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Perlakuan
Kepabean, Perpajakan, dan Cukai Serta Tata Laksana Pemasukan dan
Pengeluaran Barang ke dan dari serta Di Kawasan Yang Telah Ditetapkan
Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
https://www.academia.edu/5336459/ARAH_KEBIJAKAN_DAN_ISU_STRATEGIS
_NASIONAL_2015-2019)
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro
Triatmodjo, Bambang, Pelabuhan, 2008, Beta Ofset: Yogyakarta
https://radarsemarang.jawapos.com/radarsemarang/read/2018/03/19/58301/wujudkan-
kendal-mandiri-harus-direncanakan-sejak-
sekaranghttps://radarsemarang.jawapos.com/radarsemarang/read/2018/03/19/5
8301/wujudkan-kendal-mandiri-harus-direncanakan-sejak-sekarang
https://rahmafadila111297.wordpress.com/author/rahmafadila1112/
Abstrak
Berdasarkan Rencana Induk Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, pembangunan Pelabuhan
Kendal merupakan bagian dari kelanjutan pembangunan fasilitas yang telah ada untuk
memperluas pelayanan dalam rangka mendukung peran Pelabuhan Tanjung Emas Semarang.
Dari sisi pembangunan transportasi dan ekonomi wilayah, pembangunan dermaga Pelabuhan
Kendal merupakan suatu overhead capital dengan tujuan meningkatkan kegiatan pelayanan
transportasi yang secara tidak langsung dapat meningkatkan produksi ekonomi dan
pendistribusiannya, yang nantinya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tujuan dari
penulisan ini menawarkan konsep revitalisasi pengembangan kawasan pelabuhan kendal
,selain untuk pengembangan kegiatan penyeberangan dan transportasi laut antarwilayah, di
wilayah Pelabuhan Kendal harus dikembangkan sarana penunjang kegiatan perekonomian
wilayah sekaligus pusat kegiatan ekonomi masyarakat.Hasil dari kajian ini merupakan konsep
revitalisasi dari pengembangan kawasan pelabuhan Kendal.
Kata kunci: Revitalisasi, Kawasan Pelabuhan, Konsep
Abstract
Based on the Master Plan of the Tanjung Emas Port in Semarang, the construction of the
Kendal Port is part of the continuation of the construction of existing facilities to expand
services in order to support the role of the Tanjung Emas Port in Semarang. In terms of
regional transportation and economic development, the construction of the Kendal Port pier
is an overhead capital with the aim of increasing transportation service activities that can
indirectly increase economic production and distribution, which will improve the welfare of
the community. The purpose of this paper offers the concept of revitalizing the development of
the Kendal port area, in addition to the development of cross-regional sea transportation and
transportation activities, in the Kendal Port area must be developed facilities to support
regional economic activities as well as the center of community economic activities.The
results of this study are the concept of revitalization from the development of the Kendal port
area.
Keywords: Revitalization, Port Area, Concept
I. PENDAHULUAN
Secara umum Pelabuhan mempunyai dua fungsi uatama yaitu Pelabuhan
sebagai trafik point, yaitu yang pelabuhan berperan menjadi salah satu bagian dari
moda tanportasi yang menghubungkan antara perairan dengan berbagai moda daratan
yang dituju. Sedangkan fungsi yang lain pelabuhan menjadi fungsi transportasi
dimana pelabuhan menjadi salah satu aspek penting dalam suplay, dimana pelabuhan
menjadi salah satu pengendali dalam perputaran barang. Untuk memenuhi kedua
fungsi tersebut diatas secara optimal maka perlu koordinasi dan antara faktor faktor
No Zona Area
1. Fasilitas Utama P. Dermaga, Bangunan Utama, Parkir, Area Komersil,
Penyeberangan Jembatan Timbang (Masuk)
2. Fasilitas Penunjang P. Kantor Pengelola, Penginapan Supir, Kantin
Penyeberangan
3. Utilitas P. Penyeberangan Genset, GWT, Upper Tank, Ruang Pompa,
4. Fasilitas Utama P. Niaga Dermaga, Lapangan Curah Kering, Parkir, Jembatan
Timbang Niaga (Keluar)
5. Fasilitas Penunjang P. Niaga Gudang, Mushola, Kantor Pengelola, Damkar
6. Utilitas P. Niaga Genset, GWT, Upper Tank, Ruang Pompa, Hydrant
Perluasan area dermaga dapat dikembangkan hingga 30.400 m2. Dengan total
panjang dermaga menjadi 485 meter yang terdiri dari 240 meter dermaga eksisting
dan dermaga baru sepanjang 245 meter. Secara bertahap, jenis pelayanan pelabuhan
khususnya area dermaga diproyeksikan beralih menjadi pelabuhan kontainer dengan
kapasitas discharge block dan loading block masing-masing sebanyak 140 slot
(kontainer 40ft).
Area lapangan kontainer terdiri dari pos pemeriksaan dan area parkir baik
untuk truk terminal maupun parkir truk eksternal.Kapasitas loading block dan
receiving block masing-masing adalah 300 slot kontainer yang diatur dengan enam
Rubber Tyred Gantry (RTG) untuk jenis konfigurasi layoutblock 5+1.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan kajian yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Perencanaan pengembangan Pelabuhan Kendal dilakukan dengan pendekatan
Pelabuhan kendal merupakan pelabuhan umum dengan mengacu kepada
pengembangan pelabuhan Tanjung Emas, dimana Pelabuhan Kendal dikarenakan
posisi strategisnya berperan sebagai bagian dari Kawasan Industri Kendal serta
kawasan indusstri lain di sebelah barat Semarang.
2) Pengembangan Pelabuhan kendal sebagai substitusi Pelabuhan Tanjung Mas
Semarang. Drencanakan untuk pelabuhan bongkar muat barang curah kering dan
log/besi dalam jangka pendek dan didesain juga untuk dapat mengantisipasi
perkembangan Kawasan Industri Kendal (KIK) dengan direncanakan tempat
untuk penimbunan peti kemas.
DAFTAR PUSTAKA
Arismunandar,A. (1990),Teknik Tenaga Listrik, P.T. Pradya Paramita, Jakarta.
Dinas Pekerjaan Umum (1996),Kriteria Perencanaan,Ditjen Cipta Karya Dinas PU.,
Jakarta.
Pianc (2013),Design and Operational Guidelines for superyacht facilities; report no
134 recreational navigation commission, Pianc, Brusell, Belgia.
Republik Indonesia (200),Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,
Jakarta.
Republik Indonesia (2014),Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 78 Tahun 2014
tentangStandar Biaya di Lingkungan Kementrian Perhubungan,
KemenHub,Jakarta.
Republik Indonesia (2010),Permenkes RI nomor 492/ MENKES/PER/IV/2010 tentang
Persyaratan Kualitas Air Minum, Kemenkes, Jakarta
ix