K.4 Filantropi Islam PDF
K.4 Filantropi Islam PDF
K.4 Filantropi Islam PDF
Nama Anggota :
Nurlaeliana (190501266)
KELAS F
2021/2022
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat beserta
karunianya sehingga makalah ini bisa terselesaikan. Terimakasih juga kepada temen-temen atas
dukungannya dalam pemyelesaian makalah ini, kami menyadari bahwa penulisan makalah ini
masih jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat
kami harapkan. Semoga makalah ini bisa memenuhi tugas mata kuliah Filantropi tentang
Kebijakan Filantropi Islam di Indonesia Era Orde Baru Amin.
2
DAFTAR ISI
COVER ...........................................................................................................................................1
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB I ...............................................................................................................................................4
BAB II .............................................................................................................................................5
BAB III..........................................................................................................................................14
A. Kesimpulan ........................................................................................................................14
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filantropi merupakan suatu konsep yang telah terdapat dalam Islam, yang bertujuan untuk
kebaikan (al-birr), melihat kondisi tingkat sosial dan ekonomi mayarakat yang berbeda-beda,
ide atau konsep filantropi merupakan salah satu alaternatif bagi suatu kelompok masyarakat
untuk mengurangi kesenjangan sosial diantara masyarakat. Efektifitas filantropi dalam upaya
mengurangi kesenjangan sosial tidak terlepas dari peran lembaga filantropi yang mengelola
kegiatan tersebut. Potensi yang bersumber dari filantropi ini sangat besar dengan cara
mengimplementasikan distribusi modal kepada pihak yang tidak mempu, sehingga dapat
berperan dalam kegiatan ekonomi, sebagai produsen dalam meningkatkan pendapatan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Filantropi Islam?
2. Apa Klasifikasi/Bentuk Filantropi Islam?
3. Bagaimana Kebijaan Filantropi Islam Di Indonesa Era Orde Baru?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui dan Memahami Pengertian Filantropi Islam
2. Untuk Mengetahui dan Memahami Klasifikasi/Bentuk Filantropi Islam
3. Untuk Mengetahui dan Memahami Kebijaan Filantropi Islam Di Indonesa Era Orde Baru
4
BAB II
PEMBAHASAAN
A. Pengertian Filantropi
Kata ‘filantropi‛ (Inggris: philanthropy) merupakan istilah yang tidak dikenal pada masa awal
Islam, meskipun belakangan ini sejumlah istilah Arab digunakan sebagai padanannya. Filantropi
kadang-kadang disebut al-‘ata’ al-ijtima‘i (pemberian sosial), dan adakalanya dinamakan al-
takaful al-insani (solidaritas kemanusiaan) atau ‘ata khayri (pemberian untuk kebaikan). Namun,
istilah seperti al-birr (perbuatan baik) atau as-sadaqah (sedekah) juga digunakan (Ibrahim, 2008).
Dua yang terakhir ini tentu sudah dikenal dalam Islam awal, tetapi istilah filantropi Islam
tampaknya merupakan pengadopsian pada zaman modern. Berasal dari kata Yunani philanthropia,
philo‛(cinta) dan anthrophos‛(manusia), filantropi secara umum berarti cinta terhadap, atau
sesama, manusia (Sulek, 2008). Mengingat luasnya makna cinta yang terkandung dalam istilah
tersebut, filantropi sangat dekat maknanya dengan charity (Latin: caritas) yang juga berarti ‘cinta
tak bersyarat’ (unconditioned love) (Helmut,2005).1
Dalam bahasa Indonesia, istilah yang cukup sepadan dengan filantropi adalah “kedermawanan
sosial”, istilah yang sebenarnya hampir sama tidak populernya bagi rakyat kebanyakan, yang lebih
paham dengan istilah dan praktek seperti sedekah, zakat mal, zakat fitrah, sumbangan, dan wakaf.
Namun istilah filantropi dipakai karena ada ideologi di belakangnya yang diperjuangkan, seperti
halnya istilah masyarakat madani, civil society, dan gender. Filantropi adalah kedermawanan
sosial yang terprogram dan ditujukan untuk pengentasan masalah sosial (seperti kemiskinan)
dalam jangka panjang, misalnya bukan dengan cara memberi ikan tetapi memberi kail dan akses
serta keadilan untuk dapat memancing ikan. Tujuan umum yang mendasari setiap definisi
filantropi, yakni cinta, yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas sesama manusia, di mana orang
yang lebih beruntung membantu mereka yang kurang beruntung.
1
Anheier Helmut K. dan List Regina A., (2005) A Dictionary of Civil Society, Philanthropy and the Non-Profit
Sector London-New York: Routledge
5
Filantropi yang diwujudkan oleh masyarakat Islam awal sampai sekarang dalam berbagai
bentuk, seperti wakaf, shadaqah, zakat, infak, hibah dan hadiah. Dalam perkembangan sejarah
Islam, kegiatan filantropi ini dikembangkan dengan berdirinya lembaga-lembaga yang mengelola
sumber daya yang berasal dari kegiatan filantropi yang didasari anjuran bahkan perintah yang
terdapat dalam Alquran dan Hadis. Selanjutnya lembaga filantropi ini semakin menunjukkan
signifikansinya, di antaranya karena perannya dalam upaya mengurangi kesenjangan sosial
(ekonomi) dalam masyarakat, begitu juga dalam bidang pendidikan, yang memiliki misi dakwah
dan penyebaran ilmu. Lebih jauh munculnya berbagai lembaga pendidikan Islam, baik yang
disebut madrasah, maupun zawiyah tidak dapat dipisahkan dari peran filantropi Islam. 2
Islam lebih mengenal konsep ini dengan al-birr (perbuatan baik) dan shadaqah. Sedangkan
istilah yang cukup sepadan dengan filantropi dalam bahasa Indonesia adalah “kedermawanan
sosial”. Filantropi dalam Islam lebih pada penerepan konsep dan bentuk yang telah ditetapkan
dalam Alquran dan Hadis, filantropi dalam Islam mengutamakan atau mengharapkan redha Allah
S.W.T. dan kegiatan tersebut berdimensi sosial, sebagai bentuk kebersamaan makhluk Allah. Ayat
Alquran berbicara mengenai filantropi dalam bentuk perintahNYA dalam konsep zakat, infaq,
shadaqah, hibah untuk menciptakan dan memelihara kemaslahatan hidup serta martabat
kehormatan manusia, dan Allah SWT menciptakan syariat yang mengatur cara memanfaatkan
harta dengan baik.
Salah satu cara memanfaatkan harta adalah dengan melaksanakan konsep filantropi, hal ini
terdapat dalam Alquran kemudian diperjelas oleh Allah dengan aktualisasi pada Nabi Muhammad
SAW. Bila merujuk pada Alquran, terdapat suatu sistem ekonomi Islam dalam penerapan zakat,
infaq, shadaqah, seperti lebih mengutamakan kesempatan dan pendapatan(Ali Imran: 180, at-
Taubah), tidak menyetujui pemborosan(al-Isra: 26), tidak menyetujui spekulasi serta praktek-
praktek ketidak jujuran dan penipuan(Huud: 85-86), dan Islam menghendaki semua bentuk
kegiatan ekonomi dilakukan dengan usaha yang sah dan jujur serta dilandasi dengan iman dan
iktikad yang baik(an-Nisa’: 29).
Khusus dalam masalah ekonomi, lembaga filantropi dibeberapa negara muslim sudah
mengalami perkembangan yang baik. Contohnya adalah Negara Malaysia. Pengelolaan dana yang
2
Abdiansyah Linge, Filantropi Islam Sebagai Instrumen Keadilan Ekonomi hlm 158 Volume 1 Nomor 2,
September 2015 ISSN. 2502-6976
6
bersumber dari kegiatan filantropi dalam Islam di Negara Malaysia berada dibawah pengawasan
langsung Majelis Agama Islam di setiap negeri bagian yang berjumlah sebanyak 14 buah. Adapun
Pusat Pungutan Zakat (PPZ) berada dibawah Majelis Agama Islam Wilayah Persekutuan Kuala
Lumpur (MAIWP). Setiap Majelis Agama Islam mempunyai karyawan dari jawatan Agama Islam.
Berdasarkan Alquran dan Hadis, filantropi dalam Islam dapat diklasifikasikan dalam
beberapa bentuk filantropi, yaitu wakaf, zakat, infaq, hibah, hadiah.
a. Wakaf
Bentuk filantropi dalam Islam adalah wakaf (waqf), masdar dari kata kerja waqafa-yaqifu,
yang berarti “melindungi atau menahan”( al-Zuhayli,tt ). Menurut Imam Syafi’i wakaf adalah
suatu ibadat yang disyariatkan. Wakaf itu telah berlaku sah, bilamana orang yang berwakaf
(Wakif) telah menyatakan dengan perkataan "saya telah mewakafkan (waqffu), sekalipun tanpa
diputus oleh hakim”. Bila harta telah dijadikan harta wakaf, orang yang berwakaf tidak berhak lagi
atas harta itu, walaupun harta itu tetap ditangannya, atau dengan perkataan lain walaupun harta itu
tetap dimilikinya.3
Wakaf adalah instrumen filantropi Islam yang unik yang mendasarkan fungsinya pada unsur
kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan persaudaraan (ukhuwah). Ciri utama wakaf yang sangat
membedakan adalah ketika wakaf ditunaikan terjadi pergeseran kepemilikan pribadi menuju
kepemilikan Allah SWT yang diharapkan abadi, memberikan manfaat secara berkelanjutan.
3
Ibid hlm 159
7
Melalui wakaf diharapkan akan terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara lebih luas,
dari manfaat pribadi (private benefit) menuju manfaat masyarakat (social benefit) (Setiawan).
Kesediaan umat untuk memawakafkan hartanya didasari keimanan dan ketaatan kepada Allah
S.W.T. Menurut pandangan Islam, wakaf didasari landasan hukum yang tercantum di dalam
Alquran dan Hadis yang berbicara tentang kebaikan (al birr), Alquran tidak membicarakan secara
langsung tentang wakaf hal ini ditandai dengan tidak terdapatnya kata “wakaf” dalam Alquran,
ibadah dengan berwakaf masuk dalam kajian fikih. Kata al-birr yang terdapat dalam Alquran
(misalnya Al-Imron:92) dimaknai berbuat baik. Pelakunya disebut sebagai orang yang suka
berbuat baik. Menurut M. Quraish Shihab, kata ini pada mulanya berarti “keluasan dalam
kebajikan”, dan dari akar kata al-barr karena luasnya. Kebaikan mencakup segala bidang, termasuk
keyakinan yang benar, niat yang tulus, kegiatan badaniah termasuk menginfakkan harta di jalan
Allah.4
Rasulullah S.A.W. ketika ditanya mengenai al-birr menjawab: al-birr adalah sesuatu yang
terang hati dan tentram jiwa menghadapainya, sedangkan dosa adalah yang hati ragu
menghadapinya dan bimbang dada menampungnya, hati merasa malu jika apa yang dikerjakan
diketahui orang (HR.Muslim). Kata al-birr dalam bahasa Indonesia lebih sering diartikan dengan
“kebajikan”, menurut Poerwadarminta dimaknai dengan sesuatu yang mendatangkan kebaikan.
Jika demikian seseorang yang ingin mencapai kebajikan seharusnya ia mendatangkan kebaikan,
artinya harta apapun yang di wakafkan seharusnya memiliki faedah dan manfaat bagi yang
menerima/pihak lain.5
Adapun ayat yang menjadi rujukan dasar wakaf diantaranya: Al-Qur'an surat Al-Hajj ayat 77:
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan
perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”.(Al-Hajj:77).
b. Zakat/Shadaqah
Zakat secara etimologi mempunyai beberapa pengertian antara lain, yaitu al barakātu
(keberkahan), al namā (pertumbuhan dan perkembanngan), al Ţahāratu (kesucian) dan al Şalahu
(keberesan). Sehingga ibadah itu dinamakan zakat karena dapat mengembangkan dan mensucikan
4
Shihab M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Juz II
5
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran. Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI (2014), Tafsir maudhu’I, Tafsir
Alquran Tematik , Jakarta: Kamil Pustaka
8
serta menjauhkan harta dari bahaya manakala telah dikeluarkan zakatnya. Sedangkan secara
terminologis, zakat adalah mengeluarkan sebagian harta yang telah memenuhi syarat tertentu
kepada yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu pula (Lugha,1972).
Kata lain yang digunakan untuk zakat, baik dalam Alquran maupun Hadis adalah sedekah yang
berasal dari kata şidiq, berarti yang hak dan benar, sedekah adalah sesuatu yang diberikan dengan
tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah (Lugha, 1972). Kewajiban zakat bagi kaum muslim
baru diperintahkan secara tegas dan jelas pada ayat-ayat yang diturunkan di Madinah yaitu pada
tahun kedua hijrah dan kemudian diperkuat oleh Sunnah nabi Muhammad SAW, baik mengenai
nisab, jumlah, syarat-syarat, jenis, macam dan bentuk-bentuk pelaksanaannya yang kongkrit.
Tujuan utama perintah zakat adalah untuk membuktikan dan menguji iman seseorang di satu sisi,
dan di sisi lain membebaskannya dari kekayaan dan meningkatkan rasa sayang kepada kaum
miskin (Yasin,2004). Zakat adalah ibadah yang memiliki dua dimensi yaitu vertikal dan horisontal,
yaitu merupakan ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah (vertical) dan sebagai kewajiban
kepada sesama manusia (horizontal).
Zakat juga sering disebut sebagai ibadah maaliyah ijtihadiyah. Tingkat pentingnya zakat
terlihat dari banyaknya ayat (sekitar 82 ayat) yang menyandingkan perintah zakat dengan perintah
shalat. Ayat Alquran berbicara mengenai zakat untuk menciptakan dan memelihara kemaslahatan
hidup serta martabat kehormatan manusia, dan Allah SWT menciptakan syariat yang mengatur
cara memanfaatkan harta dengan baik. Salah satu cara memanfaatkan harta adalah dengan zakat,
hal ini terdapat dalam Alquran kemudian diperjelas oleh Allah dengan aktualisasi pada Nabi
Muhammad SAW.
Bila merujuk pada Alquran, terdapat suatu sistem ekonomi Islam dalam penerapan zakat,
seperti lebih mengutamakan kesempatan dan pendapatan (Ali-Imran: 180, at-Taubah:34), tidak
menyetujui pemborosan (al-Isra:26), tidak menyetujui spekulasi serta praktek-praktek ketidak
jujuran dan penipuan (Huud: 85-86), dan Islam menghendaki semua bentuk perdagangan
dilakukan dengan usaha yang sah dan jujur serta perdagangan dilandasi dengan iman dan iktikad
yang baik (an-Nisa’:29). Zakat memiliki tujuan untuk membangun kebersamaan, dengan tidak
menjadikan segala perbedaan yang ada dalam masyarakat mengarah kepada kesenjangan sosial.
Dalam hal ini minimalisasi dari realisasi zakat adalah melindungi golongan fakir miskin dan tidak
memiliki standar kehidupan yang sesuai dan juga tidak memiliki makanan, pakaian, tempat
9
tinggal. Adapaun target maksimal dari realisasi zakat adalah dengan meningkatkan standar
kehidupan golongan fakir miskin hingga dapat mencapai tingkat kehidupan yang berkecukupan.6
c. Infaq
Infaq berasal dari bahasa Arab yaitu (anfaqa-yanfiqu-infaaqan) yang bermakna mengeluarkan
atau membelanjakan harta. Sehingga infaq dapat didefinisikan memberikan sesuatu kepada orang
lain untuk suatu kepentingan yang diperintahkan oleh ajaran agama Islam (Hafifuddin, 2002).
Infaq merupakan pemberian dimana jumlah yang dikeluarkan tidak ditentukan oleh Allah dan
tergantung pada tingkat kemampuan seseorang. Pada pelaksanaan infaq, apabila dilaksanakan
pada masa hidup seperti hibah, hadiah, dan sedekah dan apabila dilaksanakan ketika yang
menginfakkan sudah mati seperti wasiat. Islam telah mencampur penggunaan harta ini, sehingga
Islam melarang individu untuk menghadiahkan atau menghibahkan atau juga untuk
menafkahkanya, kecuali apa yang tidak lagi diperlukan oleh diri dan keluarganya. Bila ia
memberikan yang masih diperlukan untuk diri dankeluarganya maka pemberianya dibatalkan
(Mursyid, 2006).
Dalam pandangan Islam, infaq merupakan ibadah sunah. Berinfaq dan mengamalkan sebagian
harta adalah suatu yang sangat mulia. Infaq merupakan salah satu perbuatan yang amat berkesan
dalam kehidupan manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup, baik di dunia dan diakhirat. Infaq
dalam ajaran Islam adalah sesuatu yang bernilai ibadah diperuntukkan kepada kemaslahatan umat.
Arti infaq dalam bentuk yang umum ialah mengorbankan harta pada jalan Allah yang dapat
menjamin segala kebutuhan manusia menurut tata cara yang diatur oleh hukum. Kewajiban
berinfaq tidaklah terlepas pada zakat saja yang merupakan rukun Islam, akan tetapi disamping itu
mengandung sesuatu keharusan berinfaq dalam memelihara pada dirinya dan keluarganya. Di
dalam pemeliharaan umat dalam menjamin dan menolong terhadap kebaikan dan ketaqwaan
(Bably,1990)
d. Hibah/Hadiah
Hibah dari segi bahasa bermaksud pemberian. Hibah sama dengan hadiah, kedua istilah ini
mempunyai pengertian yang hampir sama. sedangkan hadiah ialah pemberian untuk memuliakan
6
Qardhawi Yusuf, (2005)Dauru al-Zakat fi’Ilaaj al-Musykilaat al-Iqtishaadiyah, terj. Sari Narulita, Spektrum
Zakat Dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, (Jakarta: Zikrul)
10
seseorang dan biasanya ia ada hubungkan dengan sesuatu perkara (ucapan terimkasih). Dengan ini
dapat ketahui bahwa hadiah adalah hibah. Hibah secara istilah adalah suatu akad yang memberikan
hak milik (hartanya) pada seseorang secara sukarela semasa hidup pemberi tanpa mengharapkan
imbalan (iwad). Secara lebih khusus lagi, hibah ialah suatu akad pemberian secara sukarela, bukan
mengharapkan pahala diakhirat saja tetapi untuk memuliakan seseorang (Zamro Mudah).
Dari segi hukum, hibah adalah sunah dan diterapkan terutama pada keluarga terdekat. Hibah
didasarkan pada Alquran dan Hadis: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya(An-Nisa:4).
Memasuki Indonesia Merdeka Persoalan Filantropi tidak memeroleh perhatian dari negara
yang masih lemah. Dalam situasi seperti ini, Upaya untuk melakukan pengelolaan zakat dan wakaf
oleh masyarakat sipil menguat. Ini di tunjukan dengan sejumlah seminar yang menghendaki agar
zakat di Kelola oleh negara. Akan tetapi berbagai upaya ini mengalami kegagalan karena
kekehawatiran pemerintahan terlibat dalam urusan agama atau di tuduh dalam menjalankan
piagam Jakarta yang saat itu telah berhasil di ijinkan. Di samping itu dikotomi ideologis antara
Islamis dan Sekular masih sangat kuat, sehingga setiap upaya untuk melibatkan negara dalam
masalah agama di pandang sebagai sesuatu yang dapat mengancam kesatuan. Sikap Pemerintahan
Soekarno yang kemudian di sebut Orde Lama terhadap persoalan Filantropi ini tidak mengalami
perubahan hingga ia turun dari kursi kepersidenan dan di gantikan Oleh Soeharto.
Lahirnya pemerintahan Orde baru membawa perkembangan terhadap hadirnya lembaga zakat,
yakni dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 4/1968 dan Nomor 5/1968 yang berisi tentang
pembentukan Badan Amil Zakat (BAZ) dan pembentukan Baitul Maal ditingkat pusat, provinsi
dan Kabupaten/Kota. Setahun sebelumnya, pemerintah melalui Menteri Agama mengajukan
Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR dan berharap mendapat dukungan oleh Menteri
Sosial yang mengurusi kesejahteraan sosial dan Menteri Keuangan yang mengurusi tentang pajak.
Namun, Menteri Keuangan menyatakan pada Menteri Agama agar zakat tidak dituangkan di RUU
tersebut dan cukup dengan peraturan Menteri Agama. Sebab itulah Menteri Agama mengeluarkan
Surat Intruksi Nomor 1/1968 yang isinya menunda pelaksanaan Peraturan Menteri Agama Nomor
11
4/1968 dan 22 Oktober 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan anjuran agar menghimpun zakat
secara sistematis dalam bentuk organisasi. Hal ini pun tertuang dalam Surat Keputusan Presiden
(Keppres) Nomor 07/PRIN/10/1968 yang mendorong lahirnya badan/lembaga yang berperan
dalam pengumpulan zakat. Dan DKI Jakarta yang menjadi pelopor lahirnya Badan Amil Zakat
(BAZ) pertama di tanah air.
Kebijakan Soeharto di atas jika ditilik lebih lanjut telah mengubah pengelolaan zakat dari yang
bersifat institusional di bawah Menteri Agama menjadi bersifat personal dan informal, dari peran
negara ke peran individu. Tetapi kebijakan ini hanya berlaku beberapa tahun saja, karena pada
1974. Soeharto menghentikan peran tersebut. Pada laporan terakhir di Pidato Idul Fitri, 30
November 1970, Soeharto melaporkan zakat yang terkumpul sebesar Rp 39,5 juta dan USD 2473
sepanjang dua tahun terakhir. Jumlah ini yang rata-rata di bawah Rp 25 juta per tahun, jauh sangat
sedikit disbanding dengan jumlah umat Islam di Indonesia. pengelolaan zakat di bawah koordinasi
Soeharto tidak memperoleh kepercayaan masyarakat yang di buktikan dengan sedikitnya dana
yang terkumpul selama tiga tahun keterlibatannya.
Lebih jauh kegagalan ini tidaklah semata – mata ketidak percayaan masyarakat, tetapi juga
sikap setengah hati yang di tunjukan Soeharto. Hal ini terlihat sangat kontras jika di bandingkan
dengan keterlibatannya dengan dalam Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, di mana ia
mengintruksikan langsung pemotongan gaji Pegawai Negri Sipil (PNS) sebagai sedekah yang
harus di bayarkan kepada Yayasan ini. Akibatnya pengelolaan zakat menjadi murni persoalaan
umat islam, sehingga masyarakat menyalurkan zakat mereka ke Lembaga-lembaga yang bisa
mnghimpun dan menyalurkan zakat seperti masjid, pesantren, madrasah dan organisasi –
organisasi keagamaan. Pemerintah sendiri melalui departemen Agama hanya memberikan
instruksi agar zakat di himpun dan di salurkan sesuai dengan ketentuan ajaran islam.
Di Awal pemerintahannya kaum muslimin berharap agar Soeharto mau melibatkan negara
dalam persoalan Filantropi, terutama zakat. Hal ini di buktikan dengan seruan sejumlah ulama agar
pemerintah ambil bagian dalam pengelolaan zakat. Akan tetapi Soeharto merespon hal itu dengan
kesediaan dirinya sebagai amil zakat nasional, tanpa harus melibatkan negara. Meskipun bersifat
personal keterlibatan Soeharto ini sedikit banyak terkait dengan negara, mengingat tida sedikit
instruksi yang ia keluarkan di arahkan kepada sejumlah kepala daerah. Akan tetapi sentralisasi
12
Namun demikian, Arskal Salim menangkap indikasi lain dari kebijakan Soeharto ini. Menurutnya,
Tindakan Soeharto menjadi amil zakat sementara adalah upaya Soeharto dalam menjegal
kebijakan Menteri Agama yang berupaya menjalankan Piagam Jakarta dengan membentuk
pengelolaan zakat secara terlembaga di bawah peran negara. Dengan Soeharto mengambil alih
seluruh peran pengelolaan zakat secara personal, terbukti pada akhirnya Menteri Agama
membatalkan seluruh peraturan yang ia buat. Soeharto juga berhasil mengubah pengelolaan zakat
dari yang terlembaga menjadi bersifat personal individu. Dan ketika tujuan ini sudah tercapai,
maka tak ada alasan lagi bagi Soeharto untuk melanjutkan perannya sebagai amil zakat.7
7
Salim, Challenging the secular state, hlm. 124
13
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kata ‘filantropi‛ (Inggris: philanthropy) merupakan istilah yang tidak dikenal pada masa awal
Islam, meskipun belakangan ini sejumlah istilah Arab digunakan sebagai padanannya. Filantropi
kadang-kadang disebut al-‘ata’ al-ijtima‘i (pemberian sosial), dan adakalanya dinamakan al-
takaful al-insani (solidaritas kemanusiaan) atau ‘ata khayri (pemberian untuk kebaikan). Filantropi
yang diwujudkan oleh masyarakat Islam awal sampai sekarang dalam berbagai bentuk, seperti
wakaf, shadaqah, zakat, infak, hibah dan hadiah. Dalam perkembangan sejarah Islam, kegiatan
filantropi ini dikembangkan dengan berdirinya lembaga-lembaga yang mengelola sumber daya
yang berasal dari kegiatan filantropi yang didasari anjuran bahkan perintah yang terdapat dalam
Alquran dan Hadis.
Di Awal pemerintahannya kaum muslimin berharap agar Soeharto mau melibatkan negara
dalam persoalan Filantropi, terutama zakat. Hal ini di buktikan dengan seruan sejumlah ulama agar
pemerintah ambil bagian dalam pengelolaan zakat. Akan tetapi Soeharto merespon hal itu dengan
kesediaan dirinya sebagai amil zakat nasional, tanpa harus melibatkan negara. Meskipun bersifat
personal keterlibatan Soeharto ini sedikit banyak terkait dengan negara, mengingat tida sedikit
instruksi yang ia keluarkan di arahkan kepada sejumlah kepala daerah.
14
DAFTAR PUSTAKA
Anheier Helmut K. dan List Regina A., (2005) A Dictionary of Civil Society, Philanthropy
and the Non-Profit Sector London-New York: Routledge
Abdiansyah Linge, Filantropi Islam Sebagai Instrumen Keadilan Ekonomi hlm 158 Volume
Nomor 2, September 2015 ISSN. 2502-6976
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran. Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI (2014), Tafsir
maudhu’I, Tafsir Alquran Tematik , Jakarta: Kamil Pustaka
15