Sub Pembahasan Av

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

“ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SUPRA VENTRIKULAR

TAKIKARDI (SVT)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis

Dosen Pengampu :

Ns. Cipto Susilo, S.Kep., S.Pd,M.Kep

Disusun Oleh :
SEPTIAN HAMDANI (1801021042)
NINDA FEBRIAN PUTRI W. (1801021041)
AHMAD HASAN WAKHID (1801021036)
MUHAMMAD KHOLILULLAH(1801020133)

PROGRAM STUDI D-III ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
TAHUN 2020/2021
DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar............................................................................................
Daftar Isi.......................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................
1.1 Latar Belakang........................................................................................
1.2 Tujuan Umum.........................................................................................
1.3 Tujuan Khusus........................................................................................
1.4 Manfaat...................................................................................................
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................
2.1 Konsep Teori..........................................................................................
2.2 Konsep Asuhan keperawatan..................................................................
BAB 3 PEMBAHASAN...............................................................................
3.1 Pembahasan
BAB 4 PENUTUP........................................................................................
4.1 Kesimpulan.............................................................................................
4.2 Saran.......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Supraventrikular takikardi (SVT) merupakan takikardia atrium yang ditandai


dengan awitan mendadak dan penghentian mendadak. Gangguan irama ini dapat terjadi
karena faktor pencetus seperti emosi, tembakau, kafein, kelelahan, pengobatan
simpatomimetik atau alkohol. Takikardia atrium biasanya tidak berhubungan dengan
penyakit jantung organik. Frekuensi yang sangat tinggi dapat menyebabkan angina
sebagai akibat penurunan pengisian arteri koroner. Curah jantung akan menurun dan
dapat terjadi gagal jantung.

Sebagian besar supraventrikular takikardi (SVT) menyulitkan namun tidak


mengancam nyawa, meskipun kematian mendadak dapat terjadi tetapi jarang. Gejala
yang umum terjadi adalah palpitasi, pusing dan napas pendek. SVT seringkali
disebababkan oleh pemicu ektopik dan dapat timbul dalam salah satu atrium. Takikardi
dapat mulai dan berhenti secara mendadak atau bertahap.

Pada ektopik atrium, gelombang P terbentuk abnormal dimana gelombang P


tumpang tindih dengan gelombang T. Diikuti oleh kompleks QRS yang normal.
Mekanisme aritmia pada supraventrikular takikardi (SVT) bisa merupakan otomatisitas
abnormal, triggered activity dan re-entry.

Menurut WHO tahun 2018 kematian akibat penyakit kardiovaskuler mencapai


17,1 juta orang per tahun. Indonesia sendiri prevelensi penyakit jantung berdasarkan
diagnosis dokter sebanyak 1,5% sedangkan provinsi Nusa Tenggara Timur sendiri
prevalensi penyakit jantung berdasarkan diagnosis dokter sebanyak 0,7% (Riskesdas,
2018).

Angka kejadian supraventrikular takikardi (SVT) terhitung sejak januari 2017


sampai januari 2018 adalah sebanyak 18 kasus.
Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan (care giver) berperan dalam
melaksanakan intervensi keperawatan yang di rencanakan pada pasien dengan
supraventrikular takikardi. Peran perawat juga sebagai care giver untuk membantu
pasien dalam melalui proses penyembuhan dan kesehatannya kembali atau sembuh dari
penyakit tertentu pada kebutuhan kesehatan klien secara holistik meliputi emosi,
spiritual, dan sosial (Perry, 2009).
1.2 Tujuan Umum

Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosa


medis supraventrikular takikardi (SVT)

1.3 Tujuan Khusus


a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan diagnosa medis
supraventrikular takikardi (SVT)
b. Mahasiswa mampu menetapkan perumusan diagnosa pada pasien dengan diagnosa
medis supraventrikular takikardi (SVT)
c. Mahasiswa mampu menyusun rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan
diagnosa medis supraventrikular takikardi (SVT)
d. Mahasiswa mampu melakukan tindakan keperawatan pada pasien dengan diagnosa
medis supraventrikular takikardi (SVT)
e. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan diagnosa
medis supraventrikular takikardi (SVT)

1.4 Manfaat
a. Manfaat Teoritis
Dapat dijadikan referensi untuk pengembangan ilmu keperawatan dalam memberikan
asuhan keperawatan pada pasien dengan Supra Ventrikular Takikardi (SVT)
b. Manfaat Praktis
1) Bagi Perawat
Agar dapat meningkatkan mutu pelayanan pada pasien dengan kasus supraventrikular
takikardi (SVT) dan bisa memperhatikan kondisi serta kebutuhan pasien
supraventrikular takikardi (SVT)
2) Bagi pasien dan keluarga
Agar dapat meningkatkan pengetahuan tentang supraventrikular takikardi (SVT)
sehingga dapat memberikan penanganan awal di rumah dan mengatur pola hidup
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Teori supraventrikular takikardi (SVT)


A. Definisi supraventrikular takikardi (SVT)
Disaritmia ventrikel adalah perubahan kecepatan denyut ventrikel. Disaritmia ventrikel
biasanya merupakan masalah yang lebih serius daripada disaritmia atrium karena dapat
secara langsung memengaruhi curah jantung. Walaupun peningkatan kecepatan denyut
jantung dapat meningkatkan curah jantung, curah jantung juga bergantung pada volume
sekuncup. Kecepatan denyut abnormal yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
berkurangnya volume sekuncup yang bermakna, karena apabila kecepatan denyut
jantung terlalu tinggi, waktu pengisian ventrikel tidak adekuat (Corwin, 2009).

Takikardi ventrikel adalah disaritmia ventrikel yang terjadi ketika kecepatan denyut
ventrikel mencapai 160 sampai 250 kali per menit (Corwin, 2009).
Supraventrikular takikardi (SVT) adalah salah satu jenis disaritmia yang ditandai dengan
perubahan laju jantung yang mendadak cepat menjadi berkisar antara 150 kali sampai
250 kali per menit (Price dan Wilson, 2012).

B. Etiologi supraventrikular takikardi (SVT)


Menurut (Siagian, 2018) etiologi dari takikardi ventrikular terdiri dari:
1) Ventrikular takikardi dengan kelainan struktur jantung
Ventrikular takikardi dengan kelainan struktur jantung paling sering disebabkan oleh
infark miokard akut. Infark miokard akut biasanya menyebabkan ventrikular takikardi
polimorfik atau fibrilasi ventrikel. Selama fase akut kebocoran kalium menyebabkan
peningkatan kalium ekstrasel, sehingga terjadi depolarisasi pada daerah iskemik.
Depolarisasi ini menyebabkan perbedaan konduksi listrik dan masa refrakter
menyebabkan ventrikular takikardi polimorfik.

Ventrikular takikardi monomorfik sering disebabkan oleh parut miokard akibat infark
lama. Parut miokard juga sering disebabkan oleh kardiomiopati noniskemik,
kardiomiopati hipertrofi, infiltrative heart disease (sarkoidosis), displasia ventrikel
kanan, dan post-operasi koreksi kelainan katup jantung dan kelainan jantung bawaan.
2) Ventrikular takikardi akibat kelainan genetik
Ventrikular takikardi dengan kelainan gentik tanpa kelainan struktur jantung paling
sering menyebabkan ventrikular polimorfik dan kematian mendadak. Umumnya
penyebab ventrikular takikardi dengan kelainan genetik adalah gangguan kanal ion.
Long QT Syndrome yang paling sering terjadi; terdapat gangguan kanal kalium dan
natrium, sehingga interval QT memanjang.
Brugada syndrome merupakan kelainan genetik kanal natrium yang menyebabkan
blok berkas cabang kanan inkomplit dan elevasi segmen ST di anterior pada EKG.

3) Ventrikular takikardi idiopatik


Takikardi ventrikular idiopatik adalah takikardi ventrikular yang terjadi tanpa adanya
kelainan struktur jantung, kelainan genetik, dan gangguan metabolik atau gangguan
elektrolit. Takikardi ventrikular idiopatik biasanya berasal dari lokasi spesifik pada
jantung yang dapat dilihat pada gambaran EKG. Umumnya takikardi ventrikular
idiopatik berasal dari right ventrikular outflow tract (RVOT); terjadi automatisasi
yang diperantarai aktivitas cyclic adenosine monophosphate-dependent sehingga
kalsium intrasel meningkat.

C. Manifestasi Klinis supraventrikular takikardi (SVT)


1) Denyut nadi cepat, iregular
2) Palpitasi secara tiba-tiba
3) Takikardia yang terus menerus, berkelanjutan dan berulang jika takikardia atrium
disebabkan peningkatan otomatisasi
4) Dispnea, pusing, lemas, nyeri dada dalam episode palpitasi
5) Sinkop : hipotensi berat (Karo, Rohajoe, Sulistyo, dan Kosasih, 2012).

D. Patofisiologi supraventrikular takikardi (SVT)


Berdasarkan pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak, terdapat dua mekanisme
terjadinya takikardi supraventrikular yaitu automaticity dan re-entry. Irama ektopik yang
terjadi akibat otomatisasi sebagai akibat adanya sel yang mengalami percepat (akselerasi)
pada fase 4 dan sel ini dapat terjadi di atrium, AV junction, bundle HIS, dan ventrikel.
Struktur lain yang dapat menjadi sumber atau fokus otomatis adalah vena pulmonalis dan
vena kava superior.
Contoh takikardi otomatis adalah sinus takikardia. Ciri peningkatan laju nadi secara
perlahan sebelum akhirnya takiaritmia berhenti. Takiaritmia karena otomatisasi sering
berkaitan dengan gangguan metabolik seperti hipoksia, hipokalemia, hipomagnesemia,
dan asidosis.

Ini adalah mekanisme yang terbanyak sebagai penyebab takiaritmia dan paling mudah
dibuktikan pada pemeriksaan elektrofisiologi. Syarat mutlak untuk timbulnya re-entry
adanya dua jalur konduksi yang saling berhubungan baik pada bagian distal maupun
proksimal hingga membentuk suatu rangkaian konduksi tertutup. Salah satu jalur
tersebut harus memiliki blok searah. Aliran listrik antegrad secara lambat pada jalur
konduksi yang tidak mengalami blok searah untuk kemudian menimbulkan aliran listrik
secara retrograd secara cepat pada jalur konduksi tersebut.

E. Pemeriksaan Penunjang supraventrikular takikardi (SVT)


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien supraventrikular.
takikardi adalah :
1) EKG : menunjukkan pola cedera iskemik dan gangguan konduksi. Menyatakan
tipe/sumber disaritmia dan efek ketidakseimbangan elektrolit dan obat.
2) Monitor holter : gambaran EKG (dalam 24 jam) mungkin diperlukan untuk
menentukan dimana disaritmia disebabkan oleh gejala khusus bila pasien aktif
(dirumah atau kerja). Juga dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi pacu jantung
atau efek obat antidisaritmia.
3) Foto dada : dapat menunjukkan bayangan jantung sehubungan dengan disfungsi
ventrikel atau katup.
4) Scan pencitraan miokardia : dapat menunjukkan area iskemik atau kerusakan
miokard yang dapat mempengaruhi konduksi normal atau mengganggu gerakan
dinding dan kemampuan pompa.
5) Tes Stress Latihan : dapat dilakukan untuk mendemonstrasikan latihan yang
menyebabkan disaritmia.
6) Elektrolit : peningkatan atau penurunan kalium, kalsium dan magnesium dan
menyebabkan disaritmia.
7) Pemeriksaan obat : dapat menyebabkan toksisitas jantung, adanya obat jalanan atau
dugaan interaksi obat sebagai contoh digitalis dan quinidin.
8) Pemeriksaan tiroid : peningkatan atau penurunan kadar tiroid serum dapat
menyebabkan peningkatan disaritmia.
9) Laju sedimentasi : peninggian dapat menunjukkan proses inflamasi akut contoh
endokarditis sebagai pencetus disaritmia.
10) GDA atau Nadi Oksimetri : hipoksemia dapat menyebabkan atau mengekserbasi
disaritmia.

F. Penatalaksanaan supraventrikular takikardi (SVT)


1) Pemberian adenosine. Adenosine merupakan nukleotida endogen yang bersifat
kronotopik negatif, dromotropik, dan introtopik. Obat ini menyebabkan blok segera
pada nodus AV sehingga akan memutuskan sirkuit pada mekanisme re-entry.
Adenosin diberikan secara bolus intravena diikuti dengan flush salinge, dimulai
dengan dosis 50 μg/kg dan dinaikkan 50 μg/kg setiap 1 sampai 2 menit (maksimal
250 μg/kg).
2) Pada pasien AVT dan AVNRT, prokainamid mungkin juga efektif. Obat ini bekerja
memblok konduksi pada jaras tambahan atau pada konduksi retrograd pada jalur
cepat pada sirkuit re-entry di nodus AV.
3) Digoksin. Digoksin memperbaiki fungsi ventrikel, baik melalui pengaruh
inotropiknya maupun melalui blockade nodus AV yang ditengahi vagus.

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
Pengkajian keperawatan pasien dengan penyakit jantung meliputi mendapatkan
riwayat kesehatan, melakukan pemeriksaan fisik, dan memantau hasil tes fungsi
jantung (Brunner dan Suddarth, 2014).
1. Pengkajian Primer
Airway : Apakah ada peningkatan sekret? Apakah ada suara tambahan?
Breathing : Adakah distress pernafasan? Adakah hipoksemia? Adakah retraksi otot
interkosta, dispnea, sesak napas? Apakah ada bunyi napas wheezing?
Circulation : Bagaimanakah perubahan tingkat kesadaran? Apakah ada takikardia?
Apakah ada takipnea? Apakah haluaran urin menurun? Apakah terjadi penurunan
tekanan darah? Bagaimana Capilary Refill Time (CRT)? Apakah ada sianosis?

2. Pengkajian Sekunder
a) Riwayat Penyakit : Faktor resiko keluarga contoh penyakit jantung, stroke,
hipertensi; riwayat penyakit sebelumnya (disaritmia), kardiomiopati, GJK,
penyakit katup jantung; penggunaan obat digitalis, quinidin dan obat anti
aritmia lainnya kemungkinan untuk terjadinya intoksikasi; keadaan psikososial.
b) Pengkajian Fisik
Penting untuk mendeteksi komplikasi dan harus mencakup hal-hal berikut :
1) Aktivitas : kelemahan umum
2) Sirkulasi : perubahan tekanan darah; nadi tidak teratur; bunyi jantung irama
tak teratur; denyut menurun; kulit dan kelembapan berubah misalnya pucat,
sianosis, berkeringat; edema; haluaran urin menurun bila curah jantung
menurun berat.
3) Integritas ego : perasaan gugup, perasaan terancam, cemas, takut, menolak,
marah, gelisah, menangis.
4) Makanan atau cairan : hilang nafsu makan, anoreksia, tidak toleran terhadap
makanan, mual muntah, perubahan berat badan, perubahan kelembaban kulit.
5) Neurosensori : pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi,
perubahan pupil.
6) Nyeri atau ketidaknyamanan : nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang
atau tidak dengan obat antiangina, gelisah.
7) Pernafasan : bunyi napas tambahan (creakles, ronchi, mengi).
8) Keamanan : demam, kulit kemerahan, inflamasi, eritema, edema (thrombosis
superfisial), kehilangan tonus otot atau kekuatan.

B. Diagnosa (Brunner dan Suddarth, 2014)


1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan denyut/irama jantung,
perubahan sekuncup jantung: preload, afterload, penurunan kontraktilitas miokard
2. Perfusi jaringan sebral tidak efektif berhubungan dengan aliran arteri terhambat
3. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan napas,
sekresi di bronkus, eksudat di alveoli, sekresi yang tertahan, benda asing di jalan
napas
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis
5. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi, nyeri, cemas,
kelelahan otor pernapasan, deformitas dinding dada
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen
C. Intervensi
Berdasarkan diagnosa yang ditetapkan, maka intervensi yang akan dilakukan :
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan denyut dan irama
jantung, perubahan sekuncup jantung: preload, afterload, penurunan
kontraktilitas miokard Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan,
penurunan curah jantung dapat teratasi.

Kriteria hasil :
- Tekanan darah 120/80 mmHg
- HR 60-100 x/menit
- Tidak terdapat disaritmia
- Tidak terdapat suara jantung abnormal
- Tidak terdapat angina

Intervensi : vital sign monitor


a) Monitor TD, nadi dan RR sebelum dan sesudah beraktivitas
b) Monitor irama jantung
c) Monitor bunyi jantung
d) Catat adanya disaritmia jantung
e) Monitor suhu, warna dan kelembapan kulit
f) Monitor adanya nyeri dada
g) Catat adanya fluktuasi tekanan darah
h) Monitor vital sign saat pasien berbaring, duduk atau berdiri
i) Auskultasi tekanan darah pada kedua lengan dan bandingkan
j) Monitor jumlah dan irama jantung

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, nyeri pasien berkurang
Kriteria Hasil :
- Pasien melaporkan nyeri dada berkurang
- Ekspresi wajah rileks atau tenang
- Tidak gelisah
- Nadi 60-100 x/menit
- TD 120/80 mmHg
a) Kaji nyeri secara komprehensif, catat karakteristik nyeri, lokasi, intensitas lama
dan penyebarannya.
b) Observasi adanya petunjuk nonverbal dari ketidaknyamanan
c) Anjurkan pasien untuk melaporkan nyeri segera.
d) Lakukan manajemen nyeri keperawatan yang meliputi, atur posisi, istirahat
pasien
e) Berikan oksigen tambahan dengan nasal kanul atau masker sesuai dengan
indikasi
f) Ajarkan teknik relaksasi napas dalam
g) Lakukan manajemen sesuai kebutuhan
h) Kolaborasi pemberian terapi farmakologis anti angina dan analgetik
i) Anjurkan pasien untuk melakukan tindakan pengurangan nyeri apabila
merasakan nyeri

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen


miokard dan kebutuhan, adanya iskemik atau nekrosis jaringan miokard
Tujuan : Setelah dilakukan tidakan keperawatan, pasien mampu melakukan aktivitas
secara mandiri.

Kriteria Hasil :
- Bernapas spontan saat beraktivitas -
Temuan/hasil EKG normal
- Kemudahan dalam melakukan aktivitas hidup harian -
Frekuensi napas setelah beraktivitas 12-20 x/menit

Intervensi : Perawatan Jantung


a. Pastikan tingkat aktivitas pasien yang tidak membahayakan curah jantung atau
memprovokasi serangan jantung
b. Dorong peningkatan aktivitas bertahap ketika kondisi sudah distabilkan
(misalnya., dorong aktivitas yang lebih ringan atau waktu yang lebih singkat
dengan waktu istirahat yang sering dalam melakukan aktivitas)
c. Instruksikan pasien tentang pentingnya untuk segera melaporkan bila merasakan
nyeri dada; evaluasi episode nyeri dada (intensitas, lokasi, radiasi, durasi dan
faktor yang memicu serta meringankan nyeri dada)
d. Monitor EKG, adakah perubahan segmen ST, sebagaimana mestinya
4. Lakukan penilaian komprehensif pada sirkulasi perifer (misalnya., cek nadi
perifer, edema, pengisian ulang kapiler, warna ekstremitas dan suhu ekstremitas)
secara rutin sesuai kebijakan agen.
5. Monitor tanda-tanda vital secara rutin
6. Monitor nilai laboratorium yang tepat (enzim jantung dan nilai elektrolit)
7. Kolaborasi pemberian obat antiaritmia
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pembahasan
A. Pengkajian
Dari hasil pengkajian yang didapatkan pasien mengatakan jantung berdebar cepat. Di
dapatkan hasil pemeriksaan EKG 12 lead yaitu supraventrikular takikardi (SVT).
Pasien memiliki riwayat penyakit jantung sejak 9 tahun lalu dan merupakan perokok
aktif sejak usia muda hingga sekarang.

Menurut teori (Robbins, 2007) manifestasi klinis dari supraventrikular takikardi adalah
perubahan pada elektrokardiografik (EKG) yang mencakup perubahan seperti pada
irama sinus, gelombang P pada sadapan EKG adalah positif di sadapan I, II, aVF dan
negatif di aVR. Selain itu pasien juga akan menunjukkan gejala lain seperti denyut nadi
cepat, irregular, palpitasi secara tiba-tiba, takikardia yang terus menerus, berkelanjutan
dan berulang jika takikardia atrium disebabkan peningkatan otomatisasi, dispnea,
pusing, lemas, nyeri dada dalam episode palpitasi, sinkop : hipotensi berat. (Karo,
Rohajoe, Sulistyo, dan Kosasih, 2012)

Berdasarkan teori dan kasus diatas, hasil pemeriksaan EKG 12 lead. Hal ini sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh (Sunu B. Raharjo, 2017) bahwa hasil EKG akan
berubah terutama pada irama sinus gelombang P.

B. Diagnosa
Diagnosa yang didapat berdasarkan pada kasus terdiri dari : 1. Penurunan curah jantung
berhubungan dengan peningkatan frekuensi 2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.

Pada teori yang dikemukakan oleh (Suddarth, 2014) diagnosa pada pasien dengan
supraventrikuar takikardi terdiri dari 6 diagnosa. Diagnosa yang ditegakkan pada kasus
ini adalah penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan frekuensi dan
intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen. Hal ini disebabkan karena ada data yang cukup untuk diagnosa
tersebut.
Diagnosa pada kasus yaitu penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan
frekuensi, data yang didapatkan untuk menegakkan diagnosa ini adalah jatung berdebar
cepat, keadaan umum lemah, N 150 x/m, irama tidak teratur, nadi teraba lemah, kulit
lembab, pucat CRT > 3 detik. Batasan karakteristik diagnosa ini menurut (Herdman dan
Kamitsuru, 2017) adalah aritmia, takikardi, bradikardi, palpitasi, oedema, kelelahan,
distensi vena jugularis, kulit dingin dan lembab, penurunan denyut nadi perifer,
oliguria, CRT > 3detik, perubahan warna kulit, kecemasan.

Alasan diagnosa penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan frekuensi


yaitu karena pasien sudah melewati fase kritis dan sudah mendapatkan pengobatan
setelah 1x24 jam pertama. Pada diagnosa kedua pada kasus intoleransi aktivitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen dengan
data-data yang didapatkan untuk menegakkan diagnosa ini yaitu Tn. M. Y. L
mengatakan merasa lemah dan pusing, ADL (Activity of Daily Living) seperti makan
minum, personal hygiene, dan toileting dibantu perawat dan keluarga, hasil
pemeriksaan EKG didapatkan supraventrikular takikardi. Batasan karakteristik menurut
(Herdman dan Kamitsuru, 2017) yaitu masalah sirkulasi, masalah respirasi yang
meliputi denyut jantung atau tekanan darah yang abnormal karena aktivitas, aritmia
atau perubahan iskemia pada EKG, dan ketidaknyamanan pada saat latihan, dispnea,
takipnea, pernyataan verbal tentang keletihan atau kelemahan.

Alasan diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara


suplai dan kebutuhan oksigen ditegakkan karena sudah memiliki data yang cukup untuk
bisa menyelesaikan masalah yang dialami oleh Tn. M. Y. L.

C. Intervensi
Diagnosa penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan frekuensi dengan
intervensi yang direncanakan pada Tn. M. Y. L. yaitu terdapat 7 (tujuh) intervensi.
Intervensi penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan frekuensi
menurut (Moorhead, Johnson, Maas, dan Swanson, 2016) terdapat 10 (sepuluh)
intervensi. Intervensi yang tidak dilakukan adalah monitor adanya nyeri dada, catat
adanya fluktuasi tekanan darah, monitor vital sign saat pasien berbaring, duduk atau
berdiri dan auskultasi tekanan darah pada kedua lengan dan bandingkan.
Diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen dengan intervensi yang direncanakan pada Tn. M. Y. L. yaitu
terdapat 6 (enam) intervensi. Intervensi intoleransi aktivitas berhubungan denga
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen menurut (Moorhead, Johnson,
Maas, dan Swanson, 2016) terdapat 6 (enam) intervensi. Semua intervensi yang
direncanakan sesuai dengan teori.

D. Implementasi
Implementasi pada kasus dilakukan selama 3 hari. Untuk diagnosa penurunan curah
jantung berhubungan dengan peningkat frekuensi, tidak semua intervensi dilakukan
kepada pasien. Yang tidak dilakukan adalah monitor adanya nyeri dada, catat adanya
fluktuasi tekanan darah, monitor vital sign saat pasien berbaring, duduk atau berdiri dan
auskultasi tekanan darah pada kedua lengan dan bandingkan.

Untuk diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara


suplai dan kebutuhan oksigen, semua intervensi dilakukan pada pasien.

E. Evaluasi
Diagnosa penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan frekuensi teratasi
dengan alasan klien mengatakan jantung berdebar sudah tidak terasa; keadaan umum
baik, N 76 x/menit, irama teratur, nadi teraba kuat, CRT < 3 detik, ekstremitas hangat.
Data ini sesuai dengan kriteria hasil yang telah ditetapkan pada intervensi.

Diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai


dan kebutuhan oksigen teratasi dengan alasan pasien sudah tidak merasa lemas dan
pusing, sudah bisa melakukan aktivitas secara bertahap seperti duduk ditempat tidur
dan sudah bisa makan sendiri, bernapas spontan. Data ini sudah sesuai dengan kriteria
hasil yang telah ditetapkan pada intervensi.
SOP awal penanganan supraventricular takikardi
Penatalaksanaan supraventricular tachycardia dimulai dengan tata laksana akut yang
bertujuan untuk mengatasi kegawatan hemodinamik dengan mengontrol ventricular rate,
mengatasi aritmia dengan kardioversi, serta mengatasi gejala pasien. Tata laksana lanjutan
berupa terapi definitif atau pengobatan rumatan yang disesuaikan dengan
jenis supraventricular tachycardia  dan penyebabnya. Selain itu, dokter juga harus mencegah
terjadinya komplikasi tromboemboli pada pasien yang berisiko mengalami emboli.

Tata Laksana Akut


Tata laksana akut dilakukan di ruang emergensi pada pasien dengan gejala
klinis supraventricular tachycardia. Tenaga medis sebaiknya segera memeriksa jalan nafas,
fungsi pernafasan, dan fungsi sirkulasi pasien (disesuaikan dengan kondisi pasien) serta tanda
vital pasien dan selanjutnya melakukan pemeriksaan EKG 12 lead jika memungkinkan untuk
membedakan tipe takiaritmia yang terjadi pada pasien. Pasien dengan supraventricular
tachycardia biasanya menunjukkan hasil EKG adanya takikardia dengan gelombang QRS
yang tidak lebar (<120 ms). Namun jika gelombang QRS lebar (>120 ms) maka harus
dipastikan dan dibedakan antara ventricular tachycardia (VT) dan supraventricular
tachycardia (SVT) dengan konduksi aberans, atau kondisi pre eksitasi.
Algoritma Brugada untuk Membedakan SVT Aberans dengan VT

SVT aberans dapat dibedakan dengan VT dengan menggunakan algoritma Brugada:

1. Apakah kompleks RS tidak ditemukan pada semua lead prekordial? Jika ya, maka
gelombang merupakan ventricular tachycardia (VT). Jika tidak, lanjutkan ke pertanyaan No.
2
2. Interval RS>100 milidetik pada salah satu lead prekordial? Jika ya, maka gelombang
merupakan ventricular tachycardia (VT). Jika tidak, lanjutkan ke pertanyaan No. 3
3. Apakah terdapat disosiasi AV? Jika ya, maka gelombang merupakan ventricular
tachycardia (VT). Jika tidak, lanjutkan ke pertanyaan No. 4
4. Apakah kriteria morfologi  ditemukan pada lead prekordial V1-2 dan V6 ? Jika ya,
maka gelombang merupakan ventricular tachycardia (VT). Jika tidak, maka gelombang
merupakan SVT aberans
Rekomendasi Tata Laksana Akut

Beberapa rekomendasi tata laksana akut pada supraventricular tachycardia menurut


pedoman American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) tahun
2015 :
 Manuver vagal dan pemberian adenosin intravena dilakukan pada pasien
dengan supraventricular tachycardia  reguler
 Kardioversi tersinkronisasi dilakukan pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil
ketika manuver vagal dan pemberian adenosin tidak efektif atau tidak memungkinkan
 Kardioversi tersinkronisasi dilakukan pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil
serta terapi farmakologi tidak efektif atau tidak memungkinkan

 Pemberian calcium channel blocker intravena seperti diltiazem dan verapamil atau


beta blocker intravena seperti metoprolol dan esmolol, dapat diberikan pada pasien dengan
hemodinamik stabil

Tata Laksana Lanjutan


Tata laksana lanjutan pada supraventricular tachycardia bertujuan untuk memberikan terapi
definitif serta pengobatan rumatan pada pasien yang telah stabil atau yang memang
memerlukan terapi definitif. Beberapa pilihan tata laksana lanjutan untuk supraventricular
tachycardia adalah:
 terapi farmakologi

 ablasi

 observasi pasien

Pemilihan terapi lanjutan didasarkan pada frekuensi dan durasi terjadinya supraventricular


tachycardia, gejala klinis yang terjadi sebelumnya, dan konsekuensi supraventricular
tachycardia, seperti kardiomiopati.
Terapi Farmakologi

Pada supraventricular tachycardia yang jarang terjadi tetapi dengan durasi yang lama (di
atas satu jam), dokter dapat memberikan calcium channel blocker nondihidropridine, beta
blocker, atau obat antiaritmia lainnya, yang diberikan bila perlu. Namun,
bila supraventricular tachycardia memiliki frekuensi yang lebih sering, obat antiaritmia
dapat diberikan secara teratur.
Ablasi Kateter

Terapi definitif utama untuk supraventricular tachycardia adalah ablasi kateter, yang


biasanya dilakukan pada pasien dengan focal atrial tachycardia. Hal ini karena kondisi
tersebut memiliki titik sumber eksitasi abnormal yang jelas sehingga ablasi dapat dilakukan
pada titik tersebut untuk mengembalikan eksitasi yang normal.

Medikamentosa
Pilihan medikamentosa untuk supraventricular tachycardia adalah adenosin, calcium
channel blocker, beta blocker, atau obat antiaritmia lainnya.
Adenosin Intravena

Pemberian adenosin intravena dilakukan pada pasien supraventricular tachycardia reguler


dengan hemodinamik stabil. Pemberian adenosin dilakukan dengan cara memasukkan 6 mg
adenosin secara bolus intravena, melalui vena yang sedekat mungkin dengan jantung
(biasanya vena brakialis). Kemudian dilakukan flushing vena dengan cairan salin
normal diikuti dengan meminta pasien mengangkat tangan. Pasien dapat diminta untuk batuk
ketika obat sampai di jantung, ditandai dengan adanya rasa panas pada dada pasien. Jika
pasien tidak menunjukkan respons terhadap pemberian awal, maka dapat diberikan kembali
1-2 menit kemudian dengan dosis 12 mg, maksimal 2 kali pengulangan.
Calcium Channel Blocker  Nondihidropiridin
Terdapat dua obat dalam kelas ini, antara lain :

 Diltiazem: dosis awal 0,25 mg/kg intravena bolus, diberikan selama 2 menit; dosis
rumatan 5-10 mg/jam hingga 15 mg/jam melalui infus

 Verapamil: dosis awal 5-10 mg (0,075-0,15 mg/kg) intravena bolus selama 2 menit,
jika tidak ada respon pasien maka tambahkan 10 mg pada 30 menit setelah pemberian awal;
dosis rumatan 0,005 mg/kgBB/menit

Beta Blocker

Beta blocker dapat diberikan jika kedua obat sebelumnya tidak efektif atau tidak
menungkinkan untuk diberikan, beberapa beta blocker yang biasanya digunakan :
 Esmolol: dosis awal 500 mcg/kg intravena bolus selama 1 menit; dosis rumatan 50-
300 mcg/kg/menit melalui infus

 Metoprolol tartrate: dosis awal 2,5-5 mg intravena bolus selama 2 menit, dapat
diulangi 2,5-5 mg intravena bolus dalam 10 menit, maksimal pemberian 3 dosis

 Propranolol: dosis awal 1 mg intravena selama 1 menit, dapat diulangi 1 mg intravena


dalam interval 2 menit, maksimal pemberian 3 dosis
Obat Antiaritmia Lainnya

Obat lain yang dapat diberikan, antara lain :

 Digoxin: dosis awal 0,25-0,5 mg, dapat diulangi 0,25 mg. Dosis awal dapat diberikan
secara oral atau intravena, dosis maksimal 1 mg/24 jam, dosis awal maksimal 8-12
mcg/kgBB
 Amiodarone: dosis awal 150 mg intravena selama 10 menit; dosis rumatan 1
mg/menit (360 mg) selama 6 jam selanjutnya, kemudian 0,5 mg/menit (540 mg) pada 18 jam
berikutnya
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1) Pada tahap pengkajian dilakukan metode wawancara, observasi : pasien mengatakan
jantung berdebar-debar cepat, merasa lemah.

2) Setelah dilakukan pengkajian dan analisa kasus muncul dua diagnosa pada pasien
yaitu : penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan frekuensi,
intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen. Semua diagnosa keperawatan teratasi.

3) Intervensi yang direncanakan pada kasus terdiri dari : diagnosa pertama penurunan
curah jantung berhubungan dengan peningkatan frekuensi terdapat 7 rencana
keperawatan, diagnosa kedua intoleransi aktivias berhubungan dengan
ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen terdapat 6 rencana keperawatan.

4) Implementasi yang dilakukan sudah sesuai dengan intervensi dalam teori, selain itu
ada faktor pendukung dari keluarga untuk bekerja sama sehingga implementasi dapat
dilaksanakan dengan baik.

5) Mengacu pada intervensi dan implementasi dari hasil evaluasi semua intervensi yang
dilakukan pada pasien berhasil.

4.2 Saran
Diharapkan dengan adanya kasus ini, dapat meningkatkan kualitas pembelajaran bagi
mahasiswa/i di kampus Universitas Muhammadiyah Jember Fakultas Ilmu Kesehatan,
Prodi D-III Keperawatan Jember, khususnya pada pembelajaran tentang asuhan
keperawatan pada pasien dengan supraventrikular takikardi (SVT).
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Cynthia M. Taylor, S. S. (2010). Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana Asuhan Edisi 10.
Jakarta: EGC.

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2017). NANDA INTERNATIONAL Diagnosis


Keperawatan:
Definisi dan Klasifikasi 2018-2020 Edisi 11. Jakarta: EGC.

Karo, Rohajoe, Sulistyo, & Kosasih. (2012). Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung
Lanjut : ACLS. Jakarta: PERKI.

Kementrian Kesehatan RI, R. (2018). Laporan Nasional Riskesdas. Jakarta: Lembaga


Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing Outcomes
Classification and Nursing Intervention Classification Edisi 6. Singapore: Elsevier.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Vol.
1 Ed. 6. Jakarta: EGC.

Rampengan, S. H. (2015). Kegawatdaruratan Jantung. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Riskesdas, T. (2018). Laporan Nasional Riskesdas 2018. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.

Robbins. (2007). Buku Ajar Patologi Edisi 2 (Vol. II). Jakarta: EGC.

Siagian, L. A. (2018). Tatalaksana Takikardia Ventrikel Vol. 45. Continuing Medical


Education , 670-673.
Suddarth, B. &. (2014). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 12. Jakarta: EGC.

Sunu B. Raharjo, Y. Y. (2017). Pedoman Tatalaksana Takiaritmia Supraventrikular (TaSuV)


(Vol. II). Jakarta: Indonesian J Cardiol.

Anda mungkin juga menyukai