Sub Pembahasan Av
Sub Pembahasan Av
Sub Pembahasan Av
TAKIKARDI (SVT)
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
SEPTIAN HAMDANI (1801021042)
NINDA FEBRIAN PUTRI W. (1801021041)
AHMAD HASAN WAKHID (1801021036)
MUHAMMAD KHOLILULLAH(1801020133)
Halaman Judul
Kata Pengantar............................................................................................
Daftar Isi.......................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................
1.1 Latar Belakang........................................................................................
1.2 Tujuan Umum.........................................................................................
1.3 Tujuan Khusus........................................................................................
1.4 Manfaat...................................................................................................
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................
2.1 Konsep Teori..........................................................................................
2.2 Konsep Asuhan keperawatan..................................................................
BAB 3 PEMBAHASAN...............................................................................
3.1 Pembahasan
BAB 4 PENUTUP........................................................................................
4.1 Kesimpulan.............................................................................................
4.2 Saran.......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.4 Manfaat
a. Manfaat Teoritis
Dapat dijadikan referensi untuk pengembangan ilmu keperawatan dalam memberikan
asuhan keperawatan pada pasien dengan Supra Ventrikular Takikardi (SVT)
b. Manfaat Praktis
1) Bagi Perawat
Agar dapat meningkatkan mutu pelayanan pada pasien dengan kasus supraventrikular
takikardi (SVT) dan bisa memperhatikan kondisi serta kebutuhan pasien
supraventrikular takikardi (SVT)
2) Bagi pasien dan keluarga
Agar dapat meningkatkan pengetahuan tentang supraventrikular takikardi (SVT)
sehingga dapat memberikan penanganan awal di rumah dan mengatur pola hidup
BAB II
TINJAUAN TEORI
Takikardi ventrikel adalah disaritmia ventrikel yang terjadi ketika kecepatan denyut
ventrikel mencapai 160 sampai 250 kali per menit (Corwin, 2009).
Supraventrikular takikardi (SVT) adalah salah satu jenis disaritmia yang ditandai dengan
perubahan laju jantung yang mendadak cepat menjadi berkisar antara 150 kali sampai
250 kali per menit (Price dan Wilson, 2012).
Ventrikular takikardi monomorfik sering disebabkan oleh parut miokard akibat infark
lama. Parut miokard juga sering disebabkan oleh kardiomiopati noniskemik,
kardiomiopati hipertrofi, infiltrative heart disease (sarkoidosis), displasia ventrikel
kanan, dan post-operasi koreksi kelainan katup jantung dan kelainan jantung bawaan.
2) Ventrikular takikardi akibat kelainan genetik
Ventrikular takikardi dengan kelainan gentik tanpa kelainan struktur jantung paling
sering menyebabkan ventrikular polimorfik dan kematian mendadak. Umumnya
penyebab ventrikular takikardi dengan kelainan genetik adalah gangguan kanal ion.
Long QT Syndrome yang paling sering terjadi; terdapat gangguan kanal kalium dan
natrium, sehingga interval QT memanjang.
Brugada syndrome merupakan kelainan genetik kanal natrium yang menyebabkan
blok berkas cabang kanan inkomplit dan elevasi segmen ST di anterior pada EKG.
Ini adalah mekanisme yang terbanyak sebagai penyebab takiaritmia dan paling mudah
dibuktikan pada pemeriksaan elektrofisiologi. Syarat mutlak untuk timbulnya re-entry
adanya dua jalur konduksi yang saling berhubungan baik pada bagian distal maupun
proksimal hingga membentuk suatu rangkaian konduksi tertutup. Salah satu jalur
tersebut harus memiliki blok searah. Aliran listrik antegrad secara lambat pada jalur
konduksi yang tidak mengalami blok searah untuk kemudian menimbulkan aliran listrik
secara retrograd secara cepat pada jalur konduksi tersebut.
2. Pengkajian Sekunder
a) Riwayat Penyakit : Faktor resiko keluarga contoh penyakit jantung, stroke,
hipertensi; riwayat penyakit sebelumnya (disaritmia), kardiomiopati, GJK,
penyakit katup jantung; penggunaan obat digitalis, quinidin dan obat anti
aritmia lainnya kemungkinan untuk terjadinya intoksikasi; keadaan psikososial.
b) Pengkajian Fisik
Penting untuk mendeteksi komplikasi dan harus mencakup hal-hal berikut :
1) Aktivitas : kelemahan umum
2) Sirkulasi : perubahan tekanan darah; nadi tidak teratur; bunyi jantung irama
tak teratur; denyut menurun; kulit dan kelembapan berubah misalnya pucat,
sianosis, berkeringat; edema; haluaran urin menurun bila curah jantung
menurun berat.
3) Integritas ego : perasaan gugup, perasaan terancam, cemas, takut, menolak,
marah, gelisah, menangis.
4) Makanan atau cairan : hilang nafsu makan, anoreksia, tidak toleran terhadap
makanan, mual muntah, perubahan berat badan, perubahan kelembaban kulit.
5) Neurosensori : pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi,
perubahan pupil.
6) Nyeri atau ketidaknyamanan : nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang
atau tidak dengan obat antiangina, gelisah.
7) Pernafasan : bunyi napas tambahan (creakles, ronchi, mengi).
8) Keamanan : demam, kulit kemerahan, inflamasi, eritema, edema (thrombosis
superfisial), kehilangan tonus otot atau kekuatan.
Kriteria hasil :
- Tekanan darah 120/80 mmHg
- HR 60-100 x/menit
- Tidak terdapat disaritmia
- Tidak terdapat suara jantung abnormal
- Tidak terdapat angina
Kriteria Hasil :
- Bernapas spontan saat beraktivitas -
Temuan/hasil EKG normal
- Kemudahan dalam melakukan aktivitas hidup harian -
Frekuensi napas setelah beraktivitas 12-20 x/menit
3.1 Pembahasan
A. Pengkajian
Dari hasil pengkajian yang didapatkan pasien mengatakan jantung berdebar cepat. Di
dapatkan hasil pemeriksaan EKG 12 lead yaitu supraventrikular takikardi (SVT).
Pasien memiliki riwayat penyakit jantung sejak 9 tahun lalu dan merupakan perokok
aktif sejak usia muda hingga sekarang.
Menurut teori (Robbins, 2007) manifestasi klinis dari supraventrikular takikardi adalah
perubahan pada elektrokardiografik (EKG) yang mencakup perubahan seperti pada
irama sinus, gelombang P pada sadapan EKG adalah positif di sadapan I, II, aVF dan
negatif di aVR. Selain itu pasien juga akan menunjukkan gejala lain seperti denyut nadi
cepat, irregular, palpitasi secara tiba-tiba, takikardia yang terus menerus, berkelanjutan
dan berulang jika takikardia atrium disebabkan peningkatan otomatisasi, dispnea,
pusing, lemas, nyeri dada dalam episode palpitasi, sinkop : hipotensi berat. (Karo,
Rohajoe, Sulistyo, dan Kosasih, 2012)
Berdasarkan teori dan kasus diatas, hasil pemeriksaan EKG 12 lead. Hal ini sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh (Sunu B. Raharjo, 2017) bahwa hasil EKG akan
berubah terutama pada irama sinus gelombang P.
B. Diagnosa
Diagnosa yang didapat berdasarkan pada kasus terdiri dari : 1. Penurunan curah jantung
berhubungan dengan peningkatan frekuensi 2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Pada teori yang dikemukakan oleh (Suddarth, 2014) diagnosa pada pasien dengan
supraventrikuar takikardi terdiri dari 6 diagnosa. Diagnosa yang ditegakkan pada kasus
ini adalah penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan frekuensi dan
intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen. Hal ini disebabkan karena ada data yang cukup untuk diagnosa
tersebut.
Diagnosa pada kasus yaitu penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan
frekuensi, data yang didapatkan untuk menegakkan diagnosa ini adalah jatung berdebar
cepat, keadaan umum lemah, N 150 x/m, irama tidak teratur, nadi teraba lemah, kulit
lembab, pucat CRT > 3 detik. Batasan karakteristik diagnosa ini menurut (Herdman dan
Kamitsuru, 2017) adalah aritmia, takikardi, bradikardi, palpitasi, oedema, kelelahan,
distensi vena jugularis, kulit dingin dan lembab, penurunan denyut nadi perifer,
oliguria, CRT > 3detik, perubahan warna kulit, kecemasan.
C. Intervensi
Diagnosa penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan frekuensi dengan
intervensi yang direncanakan pada Tn. M. Y. L. yaitu terdapat 7 (tujuh) intervensi.
Intervensi penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan frekuensi
menurut (Moorhead, Johnson, Maas, dan Swanson, 2016) terdapat 10 (sepuluh)
intervensi. Intervensi yang tidak dilakukan adalah monitor adanya nyeri dada, catat
adanya fluktuasi tekanan darah, monitor vital sign saat pasien berbaring, duduk atau
berdiri dan auskultasi tekanan darah pada kedua lengan dan bandingkan.
Diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen dengan intervensi yang direncanakan pada Tn. M. Y. L. yaitu
terdapat 6 (enam) intervensi. Intervensi intoleransi aktivitas berhubungan denga
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen menurut (Moorhead, Johnson,
Maas, dan Swanson, 2016) terdapat 6 (enam) intervensi. Semua intervensi yang
direncanakan sesuai dengan teori.
D. Implementasi
Implementasi pada kasus dilakukan selama 3 hari. Untuk diagnosa penurunan curah
jantung berhubungan dengan peningkat frekuensi, tidak semua intervensi dilakukan
kepada pasien. Yang tidak dilakukan adalah monitor adanya nyeri dada, catat adanya
fluktuasi tekanan darah, monitor vital sign saat pasien berbaring, duduk atau berdiri dan
auskultasi tekanan darah pada kedua lengan dan bandingkan.
E. Evaluasi
Diagnosa penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan frekuensi teratasi
dengan alasan klien mengatakan jantung berdebar sudah tidak terasa; keadaan umum
baik, N 76 x/menit, irama teratur, nadi teraba kuat, CRT < 3 detik, ekstremitas hangat.
Data ini sesuai dengan kriteria hasil yang telah ditetapkan pada intervensi.
1. Apakah kompleks RS tidak ditemukan pada semua lead prekordial? Jika ya, maka
gelombang merupakan ventricular tachycardia (VT). Jika tidak, lanjutkan ke pertanyaan No.
2
2. Interval RS>100 milidetik pada salah satu lead prekordial? Jika ya, maka gelombang
merupakan ventricular tachycardia (VT). Jika tidak, lanjutkan ke pertanyaan No. 3
3. Apakah terdapat disosiasi AV? Jika ya, maka gelombang merupakan ventricular
tachycardia (VT). Jika tidak, lanjutkan ke pertanyaan No. 4
4. Apakah kriteria morfologi ditemukan pada lead prekordial V1-2 dan V6 ? Jika ya,
maka gelombang merupakan ventricular tachycardia (VT). Jika tidak, maka gelombang
merupakan SVT aberans
Rekomendasi Tata Laksana Akut
ablasi
observasi pasien
Pada supraventricular tachycardia yang jarang terjadi tetapi dengan durasi yang lama (di
atas satu jam), dokter dapat memberikan calcium channel blocker nondihidropridine, beta
blocker, atau obat antiaritmia lainnya, yang diberikan bila perlu. Namun,
bila supraventricular tachycardia memiliki frekuensi yang lebih sering, obat antiaritmia
dapat diberikan secara teratur.
Ablasi Kateter
Medikamentosa
Pilihan medikamentosa untuk supraventricular tachycardia adalah adenosin, calcium
channel blocker, beta blocker, atau obat antiaritmia lainnya.
Adenosin Intravena
Diltiazem: dosis awal 0,25 mg/kg intravena bolus, diberikan selama 2 menit; dosis
rumatan 5-10 mg/jam hingga 15 mg/jam melalui infus
Verapamil: dosis awal 5-10 mg (0,075-0,15 mg/kg) intravena bolus selama 2 menit,
jika tidak ada respon pasien maka tambahkan 10 mg pada 30 menit setelah pemberian awal;
dosis rumatan 0,005 mg/kgBB/menit
Beta Blocker
Beta blocker dapat diberikan jika kedua obat sebelumnya tidak efektif atau tidak
menungkinkan untuk diberikan, beberapa beta blocker yang biasanya digunakan :
Esmolol: dosis awal 500 mcg/kg intravena bolus selama 1 menit; dosis rumatan 50-
300 mcg/kg/menit melalui infus
Metoprolol tartrate: dosis awal 2,5-5 mg intravena bolus selama 2 menit, dapat
diulangi 2,5-5 mg intravena bolus dalam 10 menit, maksimal pemberian 3 dosis
Digoxin: dosis awal 0,25-0,5 mg, dapat diulangi 0,25 mg. Dosis awal dapat diberikan
secara oral atau intravena, dosis maksimal 1 mg/24 jam, dosis awal maksimal 8-12
mcg/kgBB
Amiodarone: dosis awal 150 mg intravena selama 10 menit; dosis rumatan 1
mg/menit (360 mg) selama 6 jam selanjutnya, kemudian 0,5 mg/menit (540 mg) pada 18 jam
berikutnya
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1) Pada tahap pengkajian dilakukan metode wawancara, observasi : pasien mengatakan
jantung berdebar-debar cepat, merasa lemah.
2) Setelah dilakukan pengkajian dan analisa kasus muncul dua diagnosa pada pasien
yaitu : penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan frekuensi,
intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen. Semua diagnosa keperawatan teratasi.
3) Intervensi yang direncanakan pada kasus terdiri dari : diagnosa pertama penurunan
curah jantung berhubungan dengan peningkatan frekuensi terdapat 7 rencana
keperawatan, diagnosa kedua intoleransi aktivias berhubungan dengan
ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen terdapat 6 rencana keperawatan.
4) Implementasi yang dilakukan sudah sesuai dengan intervensi dalam teori, selain itu
ada faktor pendukung dari keluarga untuk bekerja sama sehingga implementasi dapat
dilaksanakan dengan baik.
5) Mengacu pada intervensi dan implementasi dari hasil evaluasi semua intervensi yang
dilakukan pada pasien berhasil.
4.2 Saran
Diharapkan dengan adanya kasus ini, dapat meningkatkan kualitas pembelajaran bagi
mahasiswa/i di kampus Universitas Muhammadiyah Jember Fakultas Ilmu Kesehatan,
Prodi D-III Keperawatan Jember, khususnya pada pembelajaran tentang asuhan
keperawatan pada pasien dengan supraventrikular takikardi (SVT).
DAFTAR PUSTAKA
Cynthia M. Taylor, S. S. (2010). Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana Asuhan Edisi 10.
Jakarta: EGC.
Karo, Rohajoe, Sulistyo, & Kosasih. (2012). Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung
Lanjut : ACLS. Jakarta: PERKI.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing Outcomes
Classification and Nursing Intervention Classification Edisi 6. Singapore: Elsevier.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Vol.
1 Ed. 6. Jakarta: EGC.
Riskesdas, T. (2018). Laporan Nasional Riskesdas 2018. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
Robbins. (2007). Buku Ajar Patologi Edisi 2 (Vol. II). Jakarta: EGC.