An Nisa
An Nisa
An Nisa
BAB I
PENDAHULUAN
ikatan lahir batin antara seorang wanita dan seorang pria sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa”.1 Sedang dalam Kompilasi Hukum Islam ”perkawinan
yang sah menurut hukum Islam merupakan pernikahan, yaitu akad yang kuat atau
1
Tp, UU RI No. 1 Th. 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Yustisia, 2008), 7
1
2
ibadah”.2
bahagia dan kekal. Sehingga baik suami maupun istri harus saling melengkapi agar
seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunannya dalam suasana saling
mencintai (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) antara suami istri. Ini sesuai
dengan bunyi pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni ”perkawinan bertujuan
antar kedua lawan jenis, yang semula diharamkan, seperti memegang, memeluk,
mencium dan hubungan intim. Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Ruum ayat 21:
2
Ibid, 51
3
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 56
4
Tp, UU RI No. 1 Th. 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Op. Cit., 51
3
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
(Q.S. Ar-Ruum: 21).5
manusia di muka bumi, karena tanpa adanya regenerasi, populasi manusia di bumi ini
akan punah. Dan perkawinan memiliki dimensi psikologis yang sangat dalam, karena
dengan perkawinan ini kedua insan, suami dan istri, yang semula merupakan orang
lain kemudian menjadi satu. Mereka saling memiliki, saling menjaga, saling
membutuhkan, dan tentu saja saling mencintai dan saling menyayangi, sehingga
Satu hal yang tidak dapat dihindari di dalam sebuah komunitas masyarakat
adalah adanya adat yang telah lama berkembang bahkan menjadi sebuah keyakinan
terlepas apakah adat yang dimaksudkan bertentangan ataukah sejalan dengan ideal
moral syariat Islam. Legitimasi terhadap eksistensi adat sebenarnya telah lama
diabstraksikan dalam studi tentang hukum Islam. Bahkan pada awal pemerintahan
Belanda telah terjadi perdebatan seputar eksistensi adat dalam hukum Islam sehingga
akhirnya muncul teori receptie yang dikomandani oleh C. Snouck Hurgronje dengan
menandaskan bahwa hukum Islam baru memiliki kekuatan hukum manakala telah
5
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Gema Risalah Press, 1989), 644
6
Masykuri Abdillah, “Distorsi Sakralitas Perkawinan Pada Masa Kini”, dalam Mimbar Hukum No. 36
Tahun IX 1998, 74.
7
M. Hasbi Umar, Nalar fiqh Kontemporer (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), 10
4
terlebih dahulu harus menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa ia
terlarang untuk menikah.8 Hal ini untuk menjaga agar pernikahan yang dilangsungkan
tidak melanggar aturan-aturan yang ada. Terutama bila perempuan yang hendak
dinikah ternyata terlarang untuk dinikahi, yang dalam Islam dikenal dengan istilah
dan terperinci. Dalam surat An-Nisa’ ayat 22-23 Allah SWT dengan tegas
menjelaskan siapa saja perempuan yang haram untuk dinikahi. Perempuan itu adalah
ibu tiri, ibu kandung, anak kandung, saudara kandung, seayah atau seibu, bibi dari
ayah, bibi dari ibu, keponakan dari saudara laki-laki, keponakan dari saudara
perempuan, ibu yang menyusui, saudara sesusuan, mertua, anak tiri dari istri yang
sudah diajak berhubungan intim, menantu, ipar (untuk dimadu) dan perempuan yang
bersuami.9
pergeseran konseptual dari fiqh, Undang-Undang maupun KHI. Hal ini disebabkan
karena masalah perkawinan ini adalah masalah normative yang bisa di katakan
Dari sini tidaklah mengherankan jika sebuah komunitas dengan pola pikir
sebagaimana terjadi di Desa Karang Patihan Kec. Balong Kab. Ponorogo tentang
sepupu yang menurut ketentuan yang dipedomani sebagai hukum dalam masyarakat
Pada dasarnya perkawinan adalah sebuah ketetapan ilahi yang bersifat fitrah 11
dalam artian ketetapan tersebut sejalan dengan adanya keinginan setiap manusia
untuk selalu hidup secara berpasangan, bahkan hubungan suami-istri yang terjalin
dalam pernikahan dipandangan sebagai sebuah ibadah. Hal ini semakin memperjelas
bahwa syariat Islam merupakan syariat yang selalu sejalan dengan fitrah
kemanusiaan.
Oleh karena begitu pentingnya kedudukan nikah dalam Islam, Al-Quran dan
hadist yang merupakan sumber primer dalam perumusan sebuah hukum, telah
memberikan aturan secara detail tentang perempuan yang boleh ataupun yang haram
untuk dinikahi. Hanya saja sebagai penjelasan terhadap wanita yang boleh untuk
10
Wawancara dengan Bpk. Daud Cahyono selaku Kepala Desa Karang Patihan Kec. Balong Kab.
Ponorogo
11
Menurut Quraish Shihab, fithrah adalah bawaan yang melekat pada setiap manusia sejak lahir.
Quraish Shihab, Wawasan al-Quran (Bandung: Mizan Media Utama, 2000), 284
6
12
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Op. Cit., 120
7
ﻓﺎ ظﻔر ﺑذا ت اﻟدﯾن ﺗر ﺑت, و ﻟد ﯾﻧﮭﺎ, و ﻟﺟﻣﺎ ﻟﮭﺎ, و ﻟﻧﺳﺑﮭﺎ, ﻟﻣﺎ ﻟﮭﺎ:ﺗﻧﻛﺢ اﻟﻣراة ﻻرﺑﻊ
13
.ﯾدا ك
Artinya:
Sedangkan dalil yang mengatur tentang perempuan yang tidak boleh dinikahi,
13
Al Walid bin Thalal bin Abdul Aziz As-Su’ud, Shahih Al-Bukhari, Kitab an-Nikah hadist ke-15
(Riyadh: Dar ’alam al-Kutub, 1417 H), 116
8
Artinya:
tidak termasuk ke dalam golongan wanita yang haram dinikahi. Tetapi persoalannya
sebagaimana dikatakan di atas, adat dan kebiasaan yang telah berlaku dalam sebuah
hukum yang terjadi karena memang tidak dapat dihindari bahwa hukum yang
14
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Op.Cit., 120-121
9
yang dianggap sebagai perkawinan sedarah secara tegas dalam sumber primer hukum
Islam tidak termasuk sebagai golongan perempuan yang haram untuk dinikahi. Tema
B. Rumusan Masalah
dibuat rumusan masalah yang berhubungan dengan penelitian ini. Hal ini
perkawinan sedarah ?
C. Tujuan Penelitian
perkawinan sedarah.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoritis
tentang dialektika hukum Islam dan adat dalam hukum Islam khususnya
2. Secara Praktis
E. Definisi Operasional
1. Implementasi : Penerapan
11
Patihan.
Patihan.
F. Sistematika Pembahasan
15
H. Zainuddin Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia) (Jakarta: Sinar
Grafika, 1997), 3.
16
Pius A Partanta, M Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), 592
12
uraian mengenai suatu pembahasan dalam karangan ilmiah atau penelitian. Berkaitan
dengan penelitian ini, secara keseluruhan dalam pembahasannya terdiri dari lima
bab :
Karang Patihan. Setelah itu dilanjutkan pada uraian tentang pentingnya masalah
tersebut untuk diteliti, serta alasan diangkatnya judul tersebut. Rumusan Masalah
sebagai fokus penelitian ini, kemudian Tujuan Penelitian yang merupakan jawaban
dari rumusan masalah, Definisi Operasional, Manfaat Penelitian yang terdiri dari dua
pandangan yakni secara teoritis dan praktis, Metode Penelitian dan Sistematika
Pembahasan.
BAB II merupakan kumpulan kajian teori yang akan dijadikan sebagai alat
analisa dalam menjelaskan dan mendeskripsikan obyek penelitian. Pada bagian bab
ini, penulis akan menjelaskan pengertian perkawinan dan dalil normatifnya, konsep
perkawinan sedarah dalam pandangan Islam, tujuan hukum Islam terhadap larangan
dinikahi,
BAB III berisikan metode penelitian. Untuk mencapai hasil yang sempurna,
penulis akan menjelaskan tentang metode penelitian yang dipakai dalam penelitian
ini, dimana metode penelitian tersebut terdiri dari lokasi penelitian, jenis penelitian,
13
terhadap data yang diperoleh dalam penelitian yang meliputi kondisi geografis, sosial
budaya dan agama Desa Karang Patihan serta praktek adanya pelarangan terhadap
perkawinan sedarah maupun tinjauan hukum terhadap perkawinan sedarah. Selain itu
penjelasan atau uraian yang ditulis dalam bab ini, juga sebagai usaha untuk untuk
menemukan jawaban atas masalah atau pertanyaan yang ada dalam rumusan masalah.
penelitian. Pada bab ini, terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan dimaksudkan
sebagai hasil akhir dari sebuah penelitian. Hal ini penting sekali sebagai penegasan
terhadap hasil penelitian yang tercantum dalam bab IV. Sedangkan saran merupakan
harapan penulis kepada semua pihak yang kompeten atau ahli dalam masalah ini, agar
penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat memberikan kontribusi yang maksimal.