79-Article Text-147-1-10-20171127

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 21

PERKAWINAN POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Arsyad said
Fakultas Hukum Universitas Tadulako
Email : [email protected]

Abstract

Islam is a perfect religion, humanitarian problems are explained mentally,


responded through a religious shari'ah called polygamy, which in a simple sense
means having more than one wife. Islam has justified a husband for polygamy if
he has met the criteria specified. However, the implementation of polygamy is not
without obstacles, challenges or risks that exist. The reaction of some Muslims
who respond negatively to the practice of polygamy has required a psychological
phenomenon that occurs primarily for people who practice polygamy. Excessive
reaction shown by some Muslims through various media has made this polygamy
as if something bad is even forbidden to do.

Keywords : Mariage, Polygamy, Islamic Law

A. PENDAHULUAN

Pernikahan sebagai salah satu sunnatullah yang bersifat umum

berlangsung pada seluruh makhluk di muka bumi yang hidup berpasang-pasangan

seperti halnya manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Firman Allah : "Dan

segala sesuatu Kami jadikan berjodoh-jodohan, agar kamu sekalian mau berpikir".

(Adz-dzariat: 49). "Maha suci Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatu

berjdoh-jodohan, baik tumbuh-tumbuhan maupun diri mereka sendiri dan lain-lain

yang tidak mereka ketahui", (Yaa siin: 36l)

Pernikahan atau yang sering kita sebut perkawinan adalah jalan yang

ditetapkan Allah untuk mengembangkan keturunannya dan kelestarian hidupnya,

apabila tiap pasangan telah siap berperan positif untuk mewujudkan

298
tujuannya. "Wahai manusia, Kami telah jadikan kamu sekalian dari pria dan

wanita''. (Al- Hujaraat : 13). "Wahai manusia, bertaqwalah kamu sekalian kepada

Tuhanmu yang telah menjadikan kamu dari satu diri, lalu la jadikan dari padanya

jodohnya, kemudian Dia kembang-biakkan menjadi pria dan wanita yang banyak

sekali". (An-Nisaa': 1)

Tetapi Allah SWT tidak akan membuat manusia sama dengan makhluknya

yang lain, yang bebas mengikuti nafsunya dan berhubungan sesukanya secara

anarki tanpa aturan, tapi agar memelihara kehormatan dan martabat serta

kemuliaan kita Allah sediakan hukum yang sesuai dengan martabat

manusianya. Hubungan antara pria dan wanita telah diatur dengan terhormat

berdasarkan ridha meridhai, melalui upacara ijab-qabul sebagai upacara rasa ridha

dan meridhai, yang dihadiri para saksi untuk menyaksikan jika pasangan itu telah

terikat tali perkawinan. Bentuk perkawinan ini telah memberikan jalan yang aman

pada pelampiasan nafsu seksnya, memelihara keturunan dan menjaga kaum

wanita agar tidak laksana rumput yang bisa dimakan ternak dengen sesukanya."

Islam merupakan agama sempurna, persoalan-persoalan kemanusiaan

dijelaskan secara mentail, direspon melalui syari'at agama yang disebut

dengan poligami, yang dalam pengertian sederhana berarti memiliki isteri lebih

dari satu. Islam telah menghalalkan seorang suami untuk melakukan

poligami apabila ia telah memenuhi kriteria yang ditentukan. Namun

demikian, pelaksanaan poligami ini bukan tanpa hambatan, tantangan maupun

resiko yang ada.

299
Reaksi dari sebagian umat Islam yang merespon negatif pelaksanaan

poligami, telah mensyaratkan ada suatu gejala psikologis yang terjadi

terutama bagi orang-orang yang melakukan poligami. Reaksi berlebihan yang

ditunjukkan oleh sebagian umat Islam melalui berbagai media telah menjadikan

poligami ini seolah-olah merupakan sesuatu hal yang buruk bahkan terlarang

untuk dilakukan.

Dalam hal ini, poligami yang mensyaratkan adil dalam perspektif

kajian adil dalam hukum Islam menarik untuk dikaji lebih komprehensip,

sehingga pada akhirnya menemukan kesimpulan yang lebih arif dalam

menyikapi polemik praktik poligami di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Perkawinan

Kata kawin menurut istilah hukum Islam sama dengan kata nikah atau

zawaj. Yang dimaksud nikah menurut syara' ialah akad (ijab qabul) antara wali

calon istri dan mempelai pria dengan ucapan-ucapan tertentu dan memenuhi

rukun dan syaratnya (Zahry Hamid, 1976 : 1)

Pernikahan secara termologis didefenisikan sebagai akad yang

membolehkan kedua mempelai untuk mendapatkan kesenangan dari masing-

masing pasangan, sesuai dengan tuntutan syari'at.

Persoalan pernikahan adalah persoalan manusia yang banyak seginya,

mencakup seluruh segi kehidupan manusia, mudah menimbulkan emosi dan

perselisihan. Karena itu adanya kepastian hukum bahwa telah terjadi suatu

perkawinan sangat diperlukan. Dalam hal ini telah terjadinya suatu aqad

300
(perjanjian) pernikahan mudah diketahui dan mudah diadakan alat-alat buktinya,

sedang telah terjadinya suatu persetubuhan sulit mengetahuinya dan sukar

membuktikannya. Pemakain kata "nikah" yang diartikan dengan "perjanjian

perikatan" dapat dilihat dalam surat Al-Nur ayat 32, surat Al-Nisa ayat 21.

Perkawinan yang disyari'atkan oleh hukum Islam mempunyai tiga aspek:

Pertama, aspek ibadah; melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan sebagian

dari ibadahnya dan berarti pula telah menyempurnakan sebahagian dari

agamanya. Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa yang dianugerahkan

Allah isteri yang saleh, maka sesungguhnya ia telah mengusahakan sebagian

agamanya. Maka bertaqwalah kepada Allah pada bahagian yang lain" (H. R.

Tabrani dan Al Hakim).

Di samping itu, aspek ibadah perkawinan dianggap sebagai suatu lembaga

suci, sebab kedua pihak dihubungkan menjadi suami istri sebagai pasangan hidup

dengan mempergunakan nama Allah, sebagaimana yang ditegaskan dalam Al

Qur'an surat An-Nisa ayat 1.

Kedua, aspek hukum; merupakan suatu perjanjian yang kuat sebagimana

firman Allah swt surat An-Nisa ayat 21 yang artinya : "Bagaimana kamu akan

mengabilnya kembali padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan

yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari

kamu perjanjian yang kuat"

Sebagai perjanjian perkawinan mempunyai beberapa sifat :

a. Perkawinan tidak dapat dilangsungkan tanpa persetujuan dari pihak-pihak

yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

301
b. Akibat perkawinan masing-masing pihak yang berkepentingan dengan

perkawinan itu terikat oleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban dan

ditentukan persyaratan berpoligami bagi suami istri yang hendak

melakukannya.

c. Ketentuan-ketentuan dalam persetujuan itu dapat dirubah sesuai dengan

persetujuan masing-masing pihak dan tidak melanggar batas-batas yang

ditentukan agama.

Ketiga, aspek sosial; perkawinan dapat memberikan kedudukan tersendiri

dalam masyarakat karena mereka mendapat hak-hak tertentu dan dapat melakukan

tindakah hukum dalam berbagai bidang muamalat berdasarkan syariat Islam. Di

samping itu, dalam masyarakat Islam memberikan kedudukan yang tinggi kepada

wanita setelah melakukan perkawinan (Rusli dan R. Tama, 1986 : 20-21).

Berdasarkan penjelasan makna nikah dari berbagai segi sebagaimana yang

dikemukakan di atas, dapatlah dirumuskan bahwa perkawinan adalah perjanjian

perikatan antara pihak pria dengan pihak wanita untuk melaksanakan kehidupan

suami isteri, hidup berumah tangga, melanjutkan keturunan sesuai dengan

ketentuan-ketentuan hukum Islam.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 ditegaskan bahwa perkawinan

menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat "miitsaaqan

gholiidhan" untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah. Sedangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan

didefenisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

302
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Definisi perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan

Hukum Islam sebagaimana tercantum di atas, tidaklah memiliki perbedaan yang

signifikan. Pertalian seorang pria dan wanita yang dikukuhkan dalam sebuah aqad

menjadi ciri pokok dalam perkawinan.

Dengan demikian, tentu konsep perkawinan dalam Islam tidak akan

berbeda dengan yang tertera dalam undang-undang, yang membedakan hanya

dalam detail syarat atau rukunnya saja. Hal ini dimungkinkan karena Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tidak hanya diberlakukan bagi

mereka yang beragama Islam tetapi juga penganut agama lain. Undang-Undang

mensyaratkan adanya pencatatan melalui petugas dari Kantor Urusan Agama,

sedangkan Islam tidak mensyaratkan itu

2. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan dalam hukum Islam dapat dipahami dari pernyataan

Al-Qur'an surah arrum ayat : 21 ditegaskan bahwa ”Di antara tanda-tanda

kekuasaan-Nya ialah bahwa Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu

sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-

Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar

terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berfikir". Dalam Surah Al Baqarah ayat 187

mengisyaratkan bahwa istri adalah pakaian (libas) bagi suami, demikian pula

sebaliknya, suami adalah pakaian bagi istri. " Mereka adalah pakaian bagimu,

dan kamupun adalah pakaian bagi mereka" (Surah Al Baqarah : 187).

303
Menurut Soemiyati, tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk

memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara pria dan wanita

dalam rangka mewjudkan suatu keluarga yang bahgia dengan dasar cinta dan

kasih saying unyuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan

mengikuti ketentuan-ketentuan perkawinan diatur oleh syari'ah (Soemiyati, 1982 :

12).

Sedangkan Filosof Islam Imam Al Gazali dalam A. Subairie membagi

tujuan perkawinan ada 5 (lima) sebagai berikut : 1) mewujudkan anak yang akan

mengekalkan keturuan serta memperkembangkan suku-suku manusia, 2)

memenuhi tuntutan naluriah manusia, 3) memelihara manusia dari kejahatan dan

kerusakan, 4) membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis

pertama dari masyarakat yang besar agas dasar kecintaan dan kasih saying (A.

Subairie, 1985 : 37)

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3, perkawinan bertujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinaah, mawaddah, dan rahmah.

Sedangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Maka dari itu, perkawinan mempunyai tujuan yang suci dan mulia agar

tujuan tersebut dapat dicapai, maka suami istri harus mempunyai kewajiban

masing-masing dan sebagai realita adanya tanggung jawab kepada suami sebagai

kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga.

304
Kehidupan yang tenteram (sakinah) di balut dengan persaan cinta kasih

yang ditopang saling pengertian di antara suami istri, karena baik suami atau istri

menyadari bahwa masing-masing sebagai "pakaian" bagi pasangannya. Itulah

yang sesungguhnya merupakan tujuan utama disyari'atkannya perkawinan.

Suasana kehidupan keluarga yang demikian, dapat diwujudkan dengan mudah

apabila perkawinan dibangun di atas dasar yang kokoh, antara lain antara suami

istri ada dalam sekufu' (kafa'ah) . Pentingnya kafa'ah dalam perkawinan sangat

selaras dengan tujuan perkawinan di atas yaitu suatu kehidupan suami istri yang

betul-betul sakinah dan bahagia.

Suami istri yang sakinah dan bahagia akan mampu mengembangkan

hubungan yang intim dan penuh kemesraan, yang pada gilirannya akan

melahirkan generasi pelanjut yang bertaqwa. Perkawinan di samping bertujuan

melestarikan keturunan yang baik, juga untuk mendidik jiwa manusia agar

bertambah kasih sayangnya, bertambah kelembutan jiwa dan kecintaannya, dan

akan terjadi perpaduan perasaan antara dua jenis kelamin. Sebab antara keduanya

ada perbedaan cita rasa, emosi kesanggupan mencintai, kecakapan dan lain-lain.

Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, maka yang perlu untuk

dilakukan oleh suami isteri adalah saling melengkapi dalam setiap kekurangan,

saling menyayangi dan mengasihi.

3. Pengertian Poligami

Istilah poligami berasal dari bahasa Latin polygamia (poly dan gamia)

atau gabungan kata bahasa Yunani Poly dan gamy dari akar kata polus (banyak)

dan gamos (kawin). Jadi secara harfiah poligami berarti perkawinan dalam jumlah

305
banyak. Sedangkan secara terminologi poligami adalah suatu praktik atau kondisi

(perkawinan) lebih dari satu isteri, yang dilakukan oleh suami pada satu waktu

(bersamaan).

Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami)

mengawini lebih dari satu isteri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat ijab

qabul melainkan dalam menjalani hidup berkeluarga, sedangkan monogamy

berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu isteri pada

jangka waktu tertentu.

Yang asli didalam perkawinan adalah monogamy, sedangkan poligami

datang belakangan sesuai dengan perkembangan akal pikiran manusia dari zaman

ke zaman. Namun dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih

dari satu dengan batasan, dibolehkan hanya sampai empat wanita saja, tetapi

Islam membolehkan pologami dengan syarat terjaminnya keadilan (Chuzaemah T.

Yanggo, 1994 : 106)

4. Sejarah Permulaan Poligami

Sebenarnya poligami sudah meluas berlaku pada banyak bangsa sebelum

Islam sendiri datang. Dan tidak benar, jika dikatakan bahwa Islamlah yang mula-

mula membawa sistem poligami. Sebenarnya sistem poligami ini hingga dewasa

ini masih tetap tersebar pada beberapa bangsa yang tidak beragama Islam, seperti :

Penduduk asli Afrika, Hindu, Cina dan Jepang.

Bangsa Mesir Kuno juga mengenal poligami, bangsa-bangsa India.

Demikian juga bangsa arab jahiliah sebelum Islam juga mengenal poligami; ada

orang yang beristeri sepuluh orang bahkan ada yang beristeri tujuh puluh orang.

306
Banyak sahabat Nabi ketika masuk Islam mempunyai isteri lebih dari empat

orang. Setelah ayat Al Qur'an yang membatasi jumlah isteri dalam perkawinan

poligami hanya sampai empat orang, maka Nabi memerintahkan agar mereka

memilih empat orang saja di antara isterinya itu (Ahmad Azhar Basyir, 1989 : 34)

5. Permulaan Diperbolehkannya Poligami Dalam Islam

Bermula dari perintah Allah perihal "memperlakukan anak yatim dengan

adil" seperti menjaga harta anak yatim.

"Dan berikanlah kepada anak-anak yatim [yang sudah baligh] harta

mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu

makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan

[menukar dan memakan] itu, adalah dosa yang besar" (Q.S. An-Nisa: 2)

Disusul ayat berikutnya mengenai "larangan menikahi anak yatim dengan

mahar yang rendah." "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil

terhadap [hak-hak] wanita yatim [bilamana kamu mengawininya], maka

kawinilah wanita-wanita [lain] yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.

Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka [kawinilah]

seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah

lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya" (Q.S. An-Nisa: 3).

Imam Bukhari meriwayatkan dari 'Aisyah r.a. bahwasanya ada seorang

pria yang memiliki tanggungan wanita yatim, lalu dinikahinya, sedangkan wanita

itu memiliki sebuah pohon korma yang berbuah. Pria ini menahannya (tidak mau

menceraikanya, dan tidak senang jika dinikahi orang lain), sedangkan wanita itu

307
tidak mendapatkan sesuatupun dari pria itu. Maka turunlah ayat ini (Q.S.An-

Nisa:3). Imam Bukhari juga meriwayatkan dari 'Urwah bin az-Zubair bahwa ia

bertanya kepada 'Aisyah r.a. tentang firman Allah pada An-Nisa ayat 4

ini. 'Aisyah menjawab: "Wahai anak saudariku, anak yatim wanita yang dimaksud

adalah wanita yatim yang berada pada pemeliharaan kafilnya (orang yang ditunjuk

mengurus dan merawatnya) yang bergabung atau menjadi sekutu dalam hartanya,

sedangkan si kafil menyukai harta dan kecantikannya, lalu ia ingin mengawininya

tanpa berbuat adil dalam maharnya, hingga memberikan mahar yang sama dengan

mahar yang diberikan oleh orang lain kepadanya (jika orang lain itu

menikahinya). Maka jika demikian, mereka dilarang untuk menikahinya, kecuali

mereka dapat berbuat adil kepada wanita-wanita tersebut dan memberikan mahar

yang terbaik untuk mereka. (Sebagai gantinya) mereka diperintahkan untuk

menikahi wanita-wanita lain yang mereka sukai (selain anak yatim yang dalam

pemeliharaannya itu)."

Diceritakan dalam suatu riwayat, Ali bin Abu Thalib bermaksud

hendak memadu Fatimah, putri Rasulullah saw. Tetapi Fatimah menolak keras

dan mengancam akan minta cerai. Kemudian Ali menemui Rasulullah

saw. (mertuanya) hendak meminta izin untuk menikah lagi tersebut. Abdullah bin

Abi Mulaikah meriwayatkan bahwa Musawwir bin Mahramah bercerita

kepadanya yang ia pernah mendengar Rasulullah saw. berkhutbah di atas mimbar:

"Sesungguhnya Bani Hisyam bin Mughirah meminta izin kepadaku untuk

mengawinkan anak perempuannya dengan Ali bin Abi Thalib, tetapi aku tidak

mau mengizinkan. Kemudian aku tidak mau mengizinkan dan tidak akan

308
mengizinkan, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib lebih dulu menceraikan anak

perempuanku, lalu kawin dengan anak perempuan mereka. Sebab anak

perempuanku adalah darah dagingku. Kalau ia dibuat tidak senang berarti aku pun

dibuat tidak senang, dan kalau ia disakiti berarti manyakiti aku."

Dalam riwayat lain dikatakan: "Sesungguhnya Fatimah adalah darah

dagingku, dan aku menghawatirkan dia akan terganggu agamanya." Kemudian

beliau menyebutkan salah seorang menantunya dari bani Abdi Syams, dengan

memuji perkawinannya dengan anaknya dan dinilainya baik, lalu sabdanya:

"Menantu saya kalau omong dengan saya jujur, kalau janji dengan saya dipenuhi.

Dan sesungguhnya saya tidaklah mengharamkan yang halal atau menghalalkan

yang haram. Tetapi, demi Allah, puteri Rasulullah tidaklah boleh berkumpul sama

sekali dengan puteri musuh Allah pada satu tempat."

6. Syarat-Syarat Poligami

Islam tidak menjadikan poligami sebagai sebuah kewajiban atau hal yang

disunahkan bagi kaum muslimin, tetapi hanya menjadikannya sebagai sesuatu

yang mubah, yakni boleh dilakukan jika memang dipandang perlu. Menurut H.

Masyfuk Zuhdi, mengatakan bahwa poligami hanya dibolehkan dalam keadaan

darurat, misalnya isteri ternyata mandul, karena menurut Islam anak itu

merupakan salah satu human investment yang sangat berguna bagi manusia

setelah meninggal dunia (H. Masyfuk Zuhdi, 1993 :12)

Karena poligami merupakan hukum syariah yang tercantum di dalam al-

Quran dan Hadis Nabi SAW secara jelas, maka penentangan atau penolakan

terhadap kebolehan hukum poligami sebenarnya merupakan penentangan terhadap

309
hukum Allah SWT, dan inilah yang sebenarnya terjadi. Peradaban kapitalis dan

propaganda barat sendiri terus berupaya menjadikannya sebagai senjata untuk

menyerang Islam. Mereka telah menggambarkan hukum tentang poligami

sebagaimana hukum Islam yang lain seperti jihad dengan gambaran yang keji dan

busuk.

Kebolehan untuk melakukan poligami tentu tidak serta merta seorang

suami bebas melakukan poligami tanpa memperhatikan aturan-aturan yang mesti-

dipenuhinya. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 58 ayat (1) bahwa suami

yang akan beristeri lebih dari seorang harus memperoleh izin Pengadilan Agama,

harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 UU No. 1 tahun

1974, yaitu:

a. Adanya persetujuan isteri. b. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin

keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Khozin Abu Faqih mengatakan bahwa poligami harus memenuhi syarat-

syarat sebagai berikut :

a. Mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dalam pembagian malam, Surat

An-Nisa : 3. Ayat ini menegaskan ; jika kamu hendak berpoligami namun

kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhdap isteri, maka kamu tidak

boleh melakukan poligami, tetapi hendaklah kamu mencukupkan diri

dengan satu isteri.

b. Memiliki kemampuan financial, yaitu kemampuan memberi nafkah secara

adil kepada isteri. Sebab kalau seseorang tidak memiliki kemampuan

memberi nfkah, maka ia akan menelantarkan hak-hak orang lain, S. An-

310
Nur : 33. Ayat ini menegaskan bahwa orang yang hendak menikah harus

berfikir panjang dan mendalam, hingga mendapatkan harta untuk

memenuhi kebutuhan hidup keluarga yang standar (Khozin Abu Faqih,

2006 : 104)

Adapun dalam syari'at Islam, syarat bagi seorang suami harus berlaku adil

sebagaimana firman Allah :

"Dan jika takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap wanita-wanita

yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain)

yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak

dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu

miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (S. An-Nisa :

3).

Di antara keagungan ayat ini tampak jelas bahwa bolehnya poligami dan

pembatasannya dengan empat orang datang dengan dibarengi kekhawatiran

berlaku zhalim kepada perempuan yatim.

Berkenaan dengan ayat ini, ada beberapa hal yang perlu dipahami.

Pertama: ayat ini diturunkan kepada Nabi SAW, pada tahun kedelapan

hijriah, yaitu untuk membatasi jumlah istri pada batas maksimal empat orang

saja. Sebelum ayat ini diturunkan, jumlah istri bagi seorang pria tidak ada

batasannya. Ayat tersebut juga memerintahkan agar seorang suami yang

berpoligami berlaku adil diantara isteri-isterinya. Namun demikian, ayat tersebut

lebih menganjurkan agar membatasi jumlah isteri pada bilangan satu orang, jika

311
memang ada kekhawatiran tidak dapat berlaku adil. Sikap semacam ini harus

dimiliki oleh setiap muslim.

Kedua: perlu digarisbawahi bahwa keadilan menjadi syarat bagi

kebolehan untuk melakukan poligami. Hukum ini wajib dimiliki oleh seorang

suami dalam kehidupan berpoligami, di samping merupakan dorongan untuk

membatasi jumlah istri pada satu wanita saja, jika memang ada kekhawatiran

tidak dapat berlaku adil. Patut ditegaskan, dalam Fiqh Islam, istilah syarat itu

digunakan untuk menunjuk pada kondisi atau perbuatan yang menjadi bagian dari

perbuatan yang dipersyaratkan.

Ketiga: pengertian adil dalam ayat di atas berbentuk umum, yakni

mencakup setiap bentuk keadilan. Akan tetapi, kata bersifat umum ini kemudian

ditaksis (diperlakukan secara khusus), yaitu bahwa keadilan yang dimaksud hanya

yang berada dalam batas-batas kemampuan manusia. Sebagai mana arti surat An-

Nisa ayar 29 yang berbunyi "Dan sekali-kali tidak akan berlaku adil diantara

istri-istrimu walaupun sangat ingin berbuat demikian."

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 57 bahwa Pengadilan Agama

hanya memberikan izin kepada seseorang suami yang akan beristeri (poligami)

lebih seorang apabila :

1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri;

2. Isteri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;

3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

312
Atas dasar ketentuan di atas, tentu sedikit berbeda dengan ketentuan

poligami yang berlaku dalam Islam, di mana Islam hanya mensyaratkan adil

sebagai syarat melakukan poligami.

Keadilan yang diwajibkan atas seorang suami adalah bersikap seimbang

di antara para istrinya sesuai dengan kemampuannya, yaitu dalam hal bermalam

atau memberi makan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain, bukan dalam masalah

cinta dan kasih sayang yang memeng berada di luar kemampuan manusia.

Bersikap adil sebagai syarat utama dalam poligami tidak mudah, karena dalam

perkawinan poligami terdapat hak dan kewajibanyang harus dipenuhi oleh suami

kepada istrinya yang lebih dari satu tersebut. Hal ini tidak akan mudah terpenuhi

apabila suami tidak memiliki sifat dan sikap ysng cukup layak untuk melakukan

poligami.

7. Hak Isteri yang Dipoligami

Poligami merupakan syari'at Islam yang akan berlaku sepanjang zaman.

Firman Allah swt :

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya) , maka kawinilah wanita-

wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu

takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-

budak yang kamu miliki. Yang demikian itu dalah lebih dekat kepada berbuat

aniaya."(S. An-Nisa : 3)

Berdasarkan hal ini maka adil antar para isteri adalah menyamakan hak

yang ada pada para isteri dalam perkara-perkara yang memungkinkan untuk

313
disamakan didalamnya. Dengan kata lain adil adalah memberikan sesuatu kapada

seseorang sesuai dengan haknya.

Bagi suami yang telah melakukan poligami, maka ia diwajibkan untuk

memenuhi hak-hak istrinya. Adapun di antara hak setiap istri yang dipoligami

adalah sebagai berikut:

a. Adil adanya kediaman sendiri

Setiap istri memiliki hak untuk mempunyai kediaman sendiri. Allah SWT

berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 33, yang artinya, "Menetaplah kalian

(wahai isteri-isteri Nabi) di kediaman kalian." Dalam ayat dapat dipahami bahwa

rumah beliau tidak hanya satu.

Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari, Aisyah Radiallahuanha,

menceritakan bahwa ketika Nabi saw sakit menjelang wafatnya, beliau bertanya,

"Dimana aku besok ? kediaman siapa ?" . Nabi saw menginginkan ditempat

Aisyah Radhiyallahu anha, oleh karena itu semua isteri menginginkan untuk

dirawat dimanapun mereka mnenginginkannya, maka dirawat dirumah Aisyah

sampai Akhir wafat disisi Aisyah. Nabi saw meninggal dihari giliran Aisyah.

Allah mencabut ruhnya dalam keadaan kepala beliau bersandar di dada Aisyah

Radhiyallahu 'anha. Ibnu Qudamah Rahimahullah menjelaskan dalam kitab Al

Mughni bahwasanya tidak pantas seorang suami mengumpulkan dua orang istri

dalam satu rumah tanpa ridha dari keduanya.

Hal ini dikarenakan dapat menjadi penyebab kecemburuan dan

permusuhan di antara keduannya. masing-masing istri dimungkinkan masing-

masing istri dimungkinkan untuk mendengar desahan suami yang sedang

314
menggauli istrinya atau bahkan melihatnya. Namun jika para istri ridha apabila

mereka dikumpulkan dalam satu rumah, maka tidaklah mengapa. bahkan jika

keduanya ridha jika suami mereka tidur diantara kedua istrinya dala satu selimut

tidak mengapa. namun seorang suami tidaklah boleh menggauli yang satu

dihadapan istri yang lain meskipun ada keridhaan diantara keduanya.

b. Adil Masalah Giliran

Setiap isteri harus mendapat jatah giliran yang sama. Imam Muslim

meriwayatkan Hadist yang artinya Anas bin Malik menyatakan bahwa Nabi saw

memeiliki sembilan isteri. Kebiasaan Rasulullah saw bila menggilir isteri-

isterinya, beliau mengunjungi semua isterinya dan baru berhenti (berakir) dirumah

istri yang mendapat gniliran saat itu.

Ketika dalam bepergian, jika seorang suami akan mengajak seorang

isterinya, maka dilakukan undian untuk menentukan siapa yang akan ikut serta

dalam perjalanan. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah Radhiyallahu

Anha' menyatakan bahwa apabila Nabi saw hendak safar, beliau mengundi

beberapa istrinya siapa yang akan Rasulullah saw sertakan dalam safarnya.

Rasulullah SAW, biasa menggilir setiap isterinya pada hari dan malamnya,

kecuali Zaudah binti Zam'ah karena jatahnya tela diberikan kepada Aisyah

Radhiyallahu anha'. Imam Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa seorang suami

diperbolehkan untuk masuk kerumah semua istrinya, pada hari giliran salah

seorang dari mereka, namun suami tidak boleh menggauli istri yang bukan waktu

gilirannya.

315
Seorang isteri yang sedang sakit maupun haid tetap mendapat jatah giliran

sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw sebagai mana yang

diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Aisyah Radhiyyallahu anha'

menyatakan jika Rasulullahu saw ingin bermesraan dengan isterinya namun saat

itu isteri Rasulullah sedang haid, beliau menyuruh menutupi kemaluannya.

Seorang suami tidak boleh keluar untuk menuju rumah isterinya yang lain

yang bukan gilirannya pada malam hari kecuali keadaan darurat. larangan ini

disimpulkan dari hadiat yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menceritakan

bahwa ketika Rasulullahu dirumah Aisyah Radhiyyallahu anha', tidak lama

setelah beliau berbaring, beliau bangkit dan keluar menuju kuburan Baqi

sebagaimana diperintahkan oleh Jibril alahi wa sallam. Aisyah RAdhiyyalahu

anha' kemudian mengikuti beliau karena menduga bahwa Rasululahu saw akan

pergi kerumah istri yang lain. Ketika Rasulullahu saw pulang dan mendapatkan

Aisyah Radhiyyahu anha dalam keadaan terengah-engah, Rasulullah saw,

bertanya kepada Aisyah Radhiyyallahu anha, "Apakah engkau menyangka bahwa

Allah dan Rasulnya akan berbuat tidak adil padamu ?"

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah menyatakan tidak dibolehkannya

masuk rumah isteri yang lain di malam hari kecuali deadaan darurat. misalnya si

isteri sedang sakit. jika suami menginap di rumah isteri yang bukan gilirannya

tersebut, maka ia harus menganti isteri yang hak gilirannya di ambil malam itu.

apabila tidak menginap, maka tidak perlu menggantinya.

Rasulullah Saw, dalam hal tersebut dikembalikan kepada 'urf, yaitu

kebiasaan yang dianggap wajar oleh daerah setempat. Jika mendatangi salah satu

316
isteri tidak pada waktu gilirannya, baik waktu siang atau mmalam tidak di anggap

suatu ke zaliman dan ketidakadilan, maka hal tersebut tidak apa-apa, dalam hal

tersebut urf sebagai penentu karena masalah tersebut tidak ada dalilnya.

c. Adil menyamakan nafkah

Setiap isteri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri-sendiri hal ini

berkonsekuensi bahwa mereka makan sendiri-sendiri, namun bila isteri isteri

tersebut ingin berkumpul untuk makan bersama dengan keridhaan mereka maka

tidak apa-apa.

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa sikap adil dalam nafkah dan pakaian

menurut pendapat yang kuat, merupakan suatu kewajiban bagi seorang suami.

Imam ahmad meriwayatkan bahwa anas bin malik radhiyyahu anhu mengabarkan

bahwa ummu sulaim mengutusnya menemui Rasulullah shalallau alaihi wa sllam

dengan bahwa kurma sebagai hadiah untuk Rasulullah saw, kemudian kurma

tersebut untuk dibagi-bagikan kepada istri-istri beliau segenggam-segenggam.

C. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan dan uaraian di atas, maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut :

1. Hukum poligami dalam perspektif Islam diperbolehkan dengan

catatan suami mampu bertindak adil terhadap isteri-isterinya, hal ini

merujuk pada Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 3.

2. Makna keadilan sebagai syarat poligami yang bersifat lahir dan batin,

sebagaimana di isyaratkan oleh ayat 129 dan latar belakang sebab

317
turunnya ayat poligami (An-Nisa ayat 3), yang harus dimiliki suami

ketika hendak berpoligami.

3. Melalui surat An-nisa ayat 3 dan 129 serta pandangan para ulama

mengenai keagungan dan kesucian perkawinan, bahwa Islam lebih

mengutmakan sistem monogamy (karena inilah yang mendekati

keadilan) tetapi pada waktu yang sama membolehkan poligami dalam

keadaan-keadaan tertentu. Hal ini menegashkan bahwa hukum

perkawinan Islam tidak ketat atau kaku tetapi wajar dan manusiawi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdur Rahman Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Rineka Cipta, Jakarta,
1992.

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII, Yogyakarta, 1989.

A. Zubaidi, Pelaksanaan Hukum Antar Islam dan Kristen, Bahagia, Pekalongan,


1995.

Hamid Zahry, Pokok-Pokok Perkawinan Islam dan UUP Indonesia, Bina Cipta,
Yogyakarta, 1978.

H. Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Cv Haji Agung, Jakarta, 1993.

H. Chuzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer II, LSIK,


Jakarta, 1994.

Khozin Abu Faqih, Poligami Solusi atau Masalah, Al I'tishom Cahaya Umat,
Jakarta, 2006.

Rusli dan Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Pioner Jaya,
Bandung, 1986.

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan UUP No. 1 tahun 1974, Liberty,
Yogyakarta, 1986.

318

Anda mungkin juga menyukai