Materi KUA Tengaran

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 22

HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

Oleh: Huda Muttaqin*

A. Pengertian Perkawinan

Menurut Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,


memberikan definisi, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi tentang
perkawinan atau pernikahan yang disampaikan oleh beberapa ulama fiqih,
yang diantaranya adalah:
Menurut H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani mendefinisikan nikah
menurut bahasa adalah al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul, kemudian
makna nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij, yang artinya akad
nikah. Jadi nikah adalah akad atau ikatan karena dalam suatu proses
pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan
qabul (pernyataan penerimaan dari pihak laki-laki).1
Adapun menurut Sayyid Sabiq mendefinisikan pernikahan adalah
sunnatullah yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan yang
diatur secara terhormat dan berdasarkan saling ridha-meridhai, dengan
upacara ijab qabul sebagai lambang dari adanya rasa ridha-meridhai, dan
dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kalau kedua pasangan laki-laki
dan perempuan itu telah saling terikat.2
Dari beberapa definisi yang dikemukakan penulis di atas, dapat
diketahui bahwa perkawinan atau pernikahan adalah merupakan suatu akad
atau ikatan yang membolehkan seorang laki-laki dan seorang perempuan
untuk melakukan hubungan seksual, yang dilandasi dengan tujuan untuk
membentuk suatu mahligai rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketentuan-ketentuan syari’at Islam dan hukum negara yang
berlaku.

1
*Penyusun adalah Penghulu Ahli Madya/Kepala KUA Tengaran
1
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap), (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010), hal. 7
2
Sayyid Sabiq, Fiqhu Sunnah, (Bandung: Penerbit al Ma’arif,1990), hlm. 10
2

B. Dasar-dasar Hukum Perkawinan


Hukum perkawinan adalah hukum yang mengatur hubungan antara
manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis
antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat
perkawinan tersebut.3
Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup
berjodoh adalah naluri segala makhluk Allah SWT termasuk manusia agar
berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya. Hal
ini sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa’ (4) ayat 1, yang berbunyi:
        
         
          
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.

Hal ini juga disebutkan dalam surat An Nahl ( ) ayat 72 :


         
       
    
”Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu,
dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"

Selain dasar hukum perkawinan yang terdapat dalam Al Qur’an


tersebut, juga didasarkan pada sabda Rasulullah Muhammad SAW, bahwa
perkawinan merupakan sunnah Rasulullah SAW, dan seseorang yang
membenci sunnah (Rasulullah), maka tidak akan digolongkan umatnya.
Sebagaimana dinyatakan dalam satu sabdanya:
... )‫ ( ُم ّت فٌق َع َلْيه‬."‫ َف َم ْن َر ِغ َب َع ْن ُس َّن تي َف َلْيس مني‬، ‫وَأَت زَّو ُج الّنساَء‬

”... dan aku menikahi wanita-wanita, barangsiapa yang benci terhadap


sunnahku, maka ia bukan termasuk ummatku”. (HR. Bukhori dan
Muslin dari Anas bin Malik)4

3
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Op. Cit. Hlm. 8-9
4
Imam Muhammad bin Ismail al Kahlany, Subul as Salaam, Semarang: Percetakan Thoha Putra, t.t. Juz.
3, hlm. 110
3

Demikian dasar-dasar hukum perkawinan dalam hukum Islam yang


telah dipaparkan di atas, bahwa perkawinan merupakan landasan
berkesinambungannya kehidupan manusia yang harus diatur untuk mencapai
tujuan yang mulia dan menghindari kemaksiatan-kemaksiatan manusia dari
pelampiasan hawa nafsu seksual dalam hidupnya.
Selain itu karena kita hidup di negara Indonesia yang merupakan
negara hukum, tentu saja kita juga harus mematuhi peraturan perundang-
undangan tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia. Ada beberapa
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu sebagai berikut :
1. Undang-Undang Republik
Indonesia No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk;
2. Undang-Undang Republik
Indonesia No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-
Undang RI tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 Tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak & Rujuk di seluruh Daerah Luar Jawa & Madura;
3. Undang-Undang Republik
Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
4. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia no. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU RI No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan;
5. Peraturan Menteri Agama
Republik Indonesia No. 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim;
6. Peraturan Menteri Agama
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan nikah.
Di samping peraturan perundang-undangan negara yang disebutkan di
atas, dimasukkan pula dalam pengertian Undang-Undang Perkawinan atau
dasar hukum perkawinan dalam bahasan ini aturan atau ketentuan yang ecara
efektif telah dijadikan hakim di Pengadilan Agama sebagai pedoman yang
harus diikuti dalam penyelesaian perkara perkawinan, yaitu Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia yang penyebarluasannya dilakukan melalui Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam.5

5
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan), (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 21
4

Dasar-dasar hukum perkawinan di atas, baik yang ada dalam Al


Qur’an, Al Hadits, maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, kesemuanya itu dalam rangka untuk mengatur peri kehidupan
manusia dalam berumah tangga, untuk mencapai tujuan hidup yang damai
dan tenteram serta sejahtera.

C. Tujuan Perkawinan
Perkawinan merupakan sunnatullah, hukum alam di dunia ini, dan
pada dasarnya adalah mubah tergantung kepada tingkat maslahatnya. Dan
Allah mensyari’atkan perkawinan ini tidak lain untuk menjaga kehormatan dan
martabat kemuliaan manusia.6
Dalam Al Quran tujuan pernikahan telah jelas digambarkan oleh Allah
SWT sebagaimana firman-Nya dalam surat Ar Ruum (30) : 21;
        
          
 
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

Adapun tujuan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun


1974 tentang Perkawinan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1, bahwa
perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedang dalam
Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, dinyatakan bahwa: ”Perkawinan bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah”.
Menurut Zakiyah Darajat dalam bukunya H.A.M. Tihami, menjelaskan
bahwa ada 5 (lima) tujuan perkawinan, yaitu
1) Untuk mendapatkan dan melangsungkan keturunan;
2) Untuk memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya;
3) Untuk memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari
kejahatan dan kerusakan;

6
Sayyid Sabiq, Loc. cit.
5

4) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab


menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk
memperoleh harta kekayaan yang halal; serta
5) Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.7
Sulaiman Al Mufarraj, dalam bukunya ”Bekal Pernikahan”,
menjelaskan ada 15 (lima belas) tujuan perkawinan, yaitu:
a. Sebagai ibadah dan mendekatkan diri pada Allah SWT,
karena melaksanakan nikah berarti taat kepada Allah dan Rasul-Nya;
b. Unutk ’iffah, (menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang,
ihsan (membentengi diri), dan muba’dho’ah (dapat berhubungan intim);
c. Memperbanyak umat Muhammad SAW;
d. Menyempurnakan agama;
e. Menikah termasuk sunnahnya para utusan Allah;
f. Melahirkan anak yang dapat memintakan pertolongan
Allah untuk ayah dan ibunya saat masuk surga;
g. Menjaga masyarakat dari keburukan, runtuhnya moral,
dan perzinaan;
h. Legalitas untuk melakukan hubungan intim, menciptakan
tanggung jawab bagi suami dalam memimpin rumah tangga, memberikan
nafkah dan membantu istri di rumah;
i. Mempertemukan tali keluarga yang berbeda sehingga
memperkokoh lingkungan keluarga;
j. Saling mengenal dan menyayangi;
k. Sebagai pilar untuk membangun rumah tangga Islam
yang sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya;
l. Menjadikan ketenangan kecintaan dalam jiwa suami dan
istri;
m. Suatu tanda kebesaran Allah SWT, kita melihat orang
yang sudah menikah, awalnya mereka tidak saling mengenal satu sama
lainnya, tetapi dengan melangsungkan tali pernikahan hubungan keduanya
bisa saling mengenal dan sekaligus mengasihi;

7
H..M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Op. cit., hal. 15-16
6

n. Memperbanyak keturunan umat Islam dan


menyemarakkan bumi melalui proses pernikahan; dan
o. Untuk mengikuti panggilan iffah dan menjaga pandangan
kepada hal-hal yang diharamkan.8
Dari beberapa pandangan tentang tujuan perkawinan di atas, bahwa
pada prinsipnya tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan sejahtera lahir batin, serta terbina keluarga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah.

D. Asas-asas dan Prinsip-prinsip Perkawinan


Asas-asas dan prinsip-prinsip perkawinan menurut agama Islam ada
beberapa yang perlu diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti
dalam hidup manusia guna melaksanakan tugasnya mengabdi pada Allah
SWT.
Adapun asas-asas dan prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam
menurut Abdul Rahman Ghozali, antara lain :
1. Memenuhi dan melaksanakan perintah Agama
2) Kerelaan dan persetujuan
3) Perkawinan untuk selamanya
Sedangkan asas-asas dan prinsip-prinsip perkawinan yang berlaku
di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pada Penjelasan Umum UU ini, yaitu sebagai berikut :
a. Tujuan perkawinan adalah
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri
perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan materiil.
b. Dalam undang-undang ini
dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,
dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang
misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat
keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

8
Sulaiman AL Mufarraj, Bekal Pernikahan, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair, Wasiat, Kata Mutiara, Alih
bahasa Kuais Mandiri Cipta Persada, Jakarta: Qisthi Press, 2003, hlm. 51
7

c. Undang-undang ini
menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan karena hukum agama dari yang bersangkutan
mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.
Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari
seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai
persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
d. Undang-undang ini
menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa
raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat
diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada
perceraian dan mendpat keturunan yang baik dan sehat.
Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri
yang masih di bawah umur.
Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan. Ternyata bahwa batas umur lebih rendah bagi
seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.
Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan bahwa
untuk kawin baik bagi pria maupun wanita ialah 19 (sembilan belas)
tahun untuk pria dan 16 (enam belas) tahun untuk wanita.
e. Karena tujuan perkawinan
adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan
sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk
mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan
perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan
di depan sindang pengadilan.
f. Hak dan kedudukan istri
adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat,
sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat
dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.

Dalam bahasa sederhana asas dan prinsip perkawinan di atas dapat


dirinci sebagai berikut:
1) Asas sukarela
2) Partisipasi keluarga
3) Perceraian dipersulit
4) Poligami dibatasi secara ketat
5) Kematangan calon mempelai
6) Memperbaiki derajat kaum wanita.9

E. Syarat-syarat dan Rukun Perkawinan

9
Amir Syarifuddin, Op. cit., hal. 26
8

Yang dimaksud dengan syarat, ialah segala sesuatu yang mesti ada
yang menentukan sah tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi seuatu itu
tidah termasuk dalam rangkaian pekerjaan, seperti menutup aurat untuk
shalat, atau juga menurut Islam calon pengantin laki-laki dan perempuan
harus beragama Islam10.
Syarat-syarat yang perlu dipenuhi seseorang sebelum melangsungkan
perkawinan menurut R. Abdul Djamali yang dikutip dalam bukunya Hukum
Islam, ada enam yaitu :
a. Persetujuan kedua belah pihak tanpa paksaan
b. Dewasa
c. Kesamaan agama Islam
d. Tidak dalam hubungan nasab
e. Tidak ada hubungan rodhoah
f. Tidak semenda (mushoharoh)
Syarat-syarat untuk melaksanakan perkawinan di Indonesia,
sebagaimana diatur dalam Bab II Pasal 6 ayat (1-6) dan 7 ayat (1-3), Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu sebagai berikut :
Pasal 6 :
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin
kedua orang tua
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
memperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang
disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang
atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya,
maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang
yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang
tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar
orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
10
H..M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Op. cit., hlm. 12
9

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini
berlaku sepanjang hukum masing-masingnya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain.
Pasal 7 :
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat
meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau
kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) undang-
undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi
tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang
dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

Adapun rukun perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Kompilasi


Hukum Islam pada BAB IV Pasal 14, bahwa untuk melaksanakan perkawinan
harus ada :
a. Calon suami;
b. Calon istri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi; dan
e. Ijab dan qabul
Jumhur ulama bersepakat bahwa rukun dalam perkawinan itu harus
terdiri atas:
a. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
c. Adanya dua orang saksi.
d. Adanya sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh
wali atau wakilnya dari pihak wanita dan dijawab oleh calon pengantin laki-
laki.11
Khusus untuk calon suami dan calon istri, menurut Dedi Junaedi harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Calon mempelai laki-laki, harus memenuhi syarat :
1) Beagama Islam

11
Ibid. hal. 46-47
10

2) Terang prianya (tidak khuntsa/banci)


3) Tidak dipaksa
4) Tidak beristri empat orang
5) Bukan mahrom bagi calon istri
6) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu
dengan calon istrinya
7) Mengetahui calon istrinya tidak haram dinikahi
8) Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.
b. Calon mempelai wanita, harus memenuhi syarat :
1) Beragama Islam
2) Terang wanitanya (bukan waria)
3) Telah memberi ijin kepada walinya untuk
dinikahkan
4) Tidak bersuami dan tidak dalam masa iddah
5) Bukan mahrom bagi calon suami
6) Belum pernah di li’an oleh calon suami
7) Diketahui orangnya
8) Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.12
Jadi sah dan tidaknya suatu perkawinan tergantung adanya atau
terpenuhinya, atau tidak terpenuhinya syarat dan rukun perkawinannya yang
telah ditetapkan dalam syariat agama Islam dan tentu saja peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

F. Hikmah perkawinan
Hadirnya syariat atau ketentuan tentang perkawinan adalah untuk
memberikan jalan manusia melakukan hubungan seksuil atau memenuhi
kebutuhan biologisnya dengan jalan yang mulia, oleh karena itu adanya
syariat perkawinan mempunyai beberapa hikmah.
Menurut Abu Bakar Jabir Al Jazairi dalam bukunya Minhajul Muslim,
memberikan gambaran hikmah melaksanakan perkawinan itu diantaranya :
a. Melestarikan manusia dengan perkembangan biak yang
dihasilkan nikah.
b. Kebutuhan suami-istri kepada pasangannya untuk
menjaga kemaluannya dengan melakukan hubungan seks yang fitriyah.
12
Dedi Junaedi, Op. Cit. hlm. 96-97
11

c. Kerjasama suami-istri dalam mendidik anak dan


menjaga kehidupannya.
d. Mengatur hubungan laki-laki dengan wanita berdasarkan
asas pertukaran hak dan saling kerjasama yang pruduktif dalam suasana
cinta kasih dan perasaan saling menghormati yang lain.13
Menurut Moh. Rifai dalam bukunya Jawahirul Fiqih, mengatakan
bahwa hikmah perkawinan ada dua secara garis besar, yaitu :
a. Hikmah perkawinan bagi yang menjalani,
meliputi :
1) Untuk memenuhi hajat kebutuhan
biologis. Karena pada prinsipnya perkawinan itu dapat memelihara diri
seseorang dari terjerumus kedalam kerusakan akhlak dan keburukan-
keburukan yang dapat merugikan masyarakat.
2) Perkawinan menghasilkan kesenangan
hubungan seksual laki-laki dan erempuan secara sah dan membuat
ketenangan bagi diri seseorang, bagi suami istri dengan jalan yang halal.
3) Menghasilkan keturunan anak yang
sah, yang akan meneruskan keturunan seseorang.
4) Perkawinan dapat menentramkan jiwa
dan raga seseorang.
b. Hikmah perkawinan bagi masyarakat
1) Untuk menyempurnakan agama.
2) Perkawinan untuk memelihara
ketinggian martabat wanita.
3) Hasil yang diperoleh dari perkawinan
berupa hubungan antara keluarga dan eratnya ikatan kasih sayang
diantara keluarga khususnya dan diantara masyarakat Islam pada
umumnya.14
Menurut HMA. Tihami dan Sohari Sahrani dalam bukunya yang
berjudul Fikih Munakahat, hampir sama dengan pendapat di atas, menyatakan
bahwa Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karena akan berpengaruh
baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia. Adapun
hikmah pernikahan sebagai berikut:
13
Abu Bakar Jabir Al Jazairi, Op. Cit. hlm. 574-575
14
Moh. Rifai, Op. Cit. hlm. 867-869
12

a. Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai


untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks, dengan kawin badan jadi
segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan
perasaan tenang menikmati barang yang berharga.
b. Nikah adalah jalan terbaik untuk membuat anak-anak
menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia,
serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan sekali.
c. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling
melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula
perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang
menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
d. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung
anak-anak menimbulkan sifat rajin dan sungguh-sungguh dalam mencari
nafkah. Ia akan cekatan bekerja, karena dorongan tanggung jawab dan
memikul kewajibannya sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari
penghasilan, dan mendorong usaha mengeksploitasi kekayaan alam yang
dikaruniakan Allah bagi kepentingan hidup manusia.
e. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi rumah
tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas
tanggung jawab antara suami-istri dalam menangani tugas-tugasnya.
f. Perkawinan dapat membuahkan di antaranya: tali
kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan
memperkuat hubungan masyarakat yang memang oleh Islam sangat
dianjurkan. Karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling
menyayangi merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia.15
Jadi hikmah perkawinan begitu luas dan sangat bermanfaat bagi
keberlangsungan kehidupan setiap manusia yang hidup di dunia ini, dalam
rangka mengemban amanah Allah SWT sebagai khalifah fil ard (khalifah di
bumi), dan mengemban tugas sebagai hamba dari Sang Khaliq.

15
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Op. Cit., hlm. 19-20
13

PROBLEM DAN ISU SEPUTAR PERNIKAHAN

A. PERNIKAHAN DINI
Pernikahan dini yang dialami remaja berusia di bawah 20 tahun masih
menjadi fenomena di beberapa daerah di Indonesia. Meski angka Badan
Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya penurunan dari tahun 2019 ke
tahun 2020 dari 10,82 persen menjadi 10,18 persen, praktik pernikahan
dini masih tinggi.
Di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan kasus
pernikahan dini terbanyak kedua setelah Kamboja dan peringkat ke-8 di
dunia. Hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat pemerintah telah mengatur
dengan jelas batas minimal perkawinan menjadi 19 tahun, dan memperketat
aturan dispensasi perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perkawinan.
BKKBN menentukan batas usia ideal untuk menikah pada
perempuan yaitu 21 tahun dan pada laki-laki 25 tahun. Ditinjau dari aspek
kesehatan, perempuan usia 21 tahun, organ reproduksinya secara
psikologis sudah berkembang secara baik dan kuat serta siap
melahirkan. Sedangkan dari aspek ekonomi, laki-laki umur 25 tahun sudah
siap untuk menopang kehidupan keluarganya.
Penyebab pernikahan dini biasanya adalah faktor budaya dan
sosioekonomi. Beberapa orangtua beranggapan bahwa anak dapat menjadi
penyelamat keuangan keluarga saat menikah karena anak yang belum
menikah akan menjadi beban keluarga.
Ada pula yang beranggapan, anak akan memiliki kehidupan yang lebih
baik setelah menikah. Padahal, bila anak tersebut putus sekolah, justru akan
memperpanjang rantai kemiskinan serta hak dasar anak seperti sekolah
terampas. Dampak lain pernikahan dini adalah merugikan perekonomian
negara karena sebanyak 1,7 persen pendapatan negara bisa hilang.
14

Masyarakat di beberapa daerah masih memiliki pemahaman berbeda


tentang perjodohan karena faktor adat dan budaya. Para orangtua masih
memiliki kekhawatiran anaknya tidak kunjung menikah dan menjadi perawan
tua.
Anak-anak yang sedang masa pubertas, sangat rentan melakukan
perilaku seksual sebelum menikah. Untuk mencegahnya banyak para orang
tua menikahkan anak mereka. Untuk mengantisipasi terjadinya pergaulan
bebas pada anak maka orang tua harus memberikan pemahaman akibat dari
pernikahan dini dan kesehatan reproduksi remajanya.
Hal ini bisa diperoleh dengan mengikuti kelompok Bina Keluarga Remaja
(BKR). Manfaat BKR adalah agar para orang tua remaja dan anggota
keluarga lain mengetahui tahap pertumbuhan dan perkembangan anak dan
remaja serta mampu memenuhi kebutuhan asah, asih, dan asuh.
Begitupun dengan anak harus disibukkan dengan kegiatan berkreasi dan
berprestasi agar terhindar dari hal-hal yang menyebabkan pernikahan dini.
Anak-anak yang belum cukup umur sangat rentan mengalami eksploitasi
ataupun penganiayaan setelah menikah. Anak remaja bisa mengikuti kegiatan
di wilayahnya seperti Pusat Informasi dan Konsultasi Remaja (PIKR), dimana
mereka mendapatkan informasi tentang pernikahan dini, seks bebas, dan
narkoba.
Perkawinan dini akan berdampak multi-dimensional, karena dapat
membawa implikasi besar terhadap pembangunan, khususnya terkait kualitas
dan daya saing sumber daya manusia di masa mendatang.
Dampak negatif pernikahan dini dirasakan oleh ibu maupun anak yang
dilahirkan. Terjadi resiko buruk saat melahirkan karena kondisi fisik alat
reproduksi belum sempurna, panggul ibu yang sempit dan tidak tercukupinya
asupan gizi saat hamil. Akibat lainnya berpotensi mengalami robek mulut
rahim yang menyebabkan pendarahan, penyakit preeklamsia, tensi darah
naik, kaki bengkak, kejang saat persalinan, anemia, Bayi Lahir Prematur dan
BBLR dan kematian ibu saat melahirkan.
Adanya hubungan antara usia ibu saat melahirkan dengan
angka stunting. Semakin muda usia ibu, makin besar kemungkinannya
melahirkan anak stunting. Stunting bisa dimulai sejak pembuahan, sehingga
seorang wanita perlu melakukan upaya untuk mencegahnya sedini mungkin,
15

yaitu sejak masa remaja. Tujuannya, agar dapat melahirkan anak yang sehat
dengan tumbuh kembang yang baik. Stunting bisa menyebabkan dampak
buruk pada kesehatan fisik, dan kesehatan mental anak.
Pernikahan dini berdampak juga pada masalah sosial, seperti masalah
perekonomian yang menyebabkan ketidakharmonisan dalam keluarga. Hal ini
disebabkan emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir
yang belum matang, akhirnya terjadi rawan perceraian. Kasus perceraian
tertinggi menimpa kelompok usia 20 – 24 tahun dengan usia pernikahan
belum genap lima tahun.
Dampak lainnya menyebabkan kesehatan mental wanita terganggu.
Ancaman pada wanita muda yang rentan menjadi korban kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) dan mereka belum tahu caranya terbebas dari situasi
tersebut serta belum adanya kesiapan mental pasangan. Selain istri, anak
juga berisiko menjadi korban KDRT. Anak-anak yang menjadi saksi mata
KDRT akan tumbuh dengan berbagai kesulitan, seperti kesulitan belajar,
terbatasnya keterampilan sosial, anak kerap menunjukkan perilaku nakal,
berisiko depresi atau gangguan kecemasan berat.
Untuk mencegah bahaya kesehatan akibat pernikahan dini, pendidikan
bisa menjadi salah satu hal yang berperan penting. Pendidikan dapat
memperluas wawasan anak dan remaja serta membantu meyakinkan mereka
bahwa menikah haruslah dilakukan di saat dan usia yang tepat. Menikah
bukanlah sebuah paksaan dan juga bukan sebuah jalan untuk terbebas dari
kemiskinan. Pendidikan dapat memberi informasi mengenai tubuh dan sistem
reproduksi diri sendiri ketika nanti akan menikah.

B. PERNIKAHAN HAMIL
Menikah adalah salah satu sunnah Rasulullah SAW yang merupakan
ibadah seumur hidup. Menikah juga merupakan cara untuk menjaga
kehormatan diri dan keturunan dari perbuatan zina yang dilarang oleh Allah
SWT. Namun, ada kalanya seseorang menikah karena hamil duluan akibat
zina dengan pacarnya. Lantas, bagaimana hukum menikah hamil duluan
dalam Islam. Apakah pernikahan tersebut sah. Dan bagaimana nasib anak
yang lahir di luar nikah.
16

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu mengetahui


syarat-syarat sahnya perkawinan dalam Islam. Menurut Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya. Selain itu, perkawinan juga harus dicatatkan oleh pejabat
yang berwenang sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
Bagi yang beragama Islam, perkawinan dicatatkan oleh pejabat Kantor
Urusan Agama (KUA) dan diterbitkan buku nikah sebagai bukti pencatatan
perkawinan.
Dari syarat-syarat tersebut, dapat disimpulkan bahwa menikah hamil
duluan tidak membatalkan sahnya perkawinan, asalkan dilakukan sesuai
dengan hukum agama dan dicatatkan oleh pejabat yang berwenang. Hal ini
sesuai dengan Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan
bahwa seorang wanita yang hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria
yang menghamilinya tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Dengan demikian, tidak diperlukan nikah ulang setelah anak yang dikandung
lahir.
Namun demikian, menikah hamil duluan memiliki beberapa konsekuensi
hukum terkait dengan nasib anak yang lahir di luar nikah. Ada empat hal yang
harus diperhatikan mengenai anak di luar nikah dalam Islam, yaitu:
1. Anak di luar nikah tidak boleh memakai bin nama bapaknya, tetapi
harus menggunakan bin ibunya, meskipun sang bapak sudah menikahi
ibunya. Hal ini karena anak di luar nikah tidak memiliki hubungan nasab
dengan bapaknya.
2. Anak di luar nikah yang laki-laki tidak bisa menjadi wali bagi adik-adik
perempuannya. Hal ini karena wali adalah orang yang sedarah
sebapak dan seagama.
3. Anak di luar nikah yang perempuan tidak bisa dinikahkan oleh
bapaknya, tetapi harus dinikahkan oleh hakim yang dulu menikahkan
ibunya. Hal ini karena bapaknya tidak memiliki hak wali atas anaknya.
4. Anak di luar nikah tidak bisa mendapatkan harta warisan dari
bapaknya. Hal ini karena warisan hanya berlaku bagi orang-orang yang
memiliki hubungan nasab.
17

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum menikah hamil


duluan dalam Islam adalah sah, asalkan dilakukan sesuai dengan syarat-
syarat perkawinan dan dicatatkan oleh pejabat yang berwenang.

C. PERNIKAHAN BEDA AGAMA


Hukum nikah beda agama, berdasarkan pada syarat sahnya perkawinan
sebagaimana tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
pada Pasal 2 yakni:

1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama


dan kepercayaannya; dan
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.

Jadi sesuai UU Perkawinan di Indonesia, perkawinan dilakukan sesuai


dengan agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat
(1) UU Perkawinan tersebut di atas. Hal ini berarti UU Perkawinan
menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing.

Mengenai hukum pernikahan beda agama, dalam ajaran Islam wanita maupun
laki-laki tidak boleh menikah dengan yang tidak beragama Islam (Q.S. Al
Baqarah [2]: 221).

         


       
         
        
      
 

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka


beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran”

Kemudian Pasal 40 huruf c KHI menegaskan bahwa dilarang


melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang
18

tidak beragama Islam. Begitu pula ditegaskan dalam Pasal 44 KHI bahwa
seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang
pria yang tidak beragama Islam.

Selain itu, Fatwa MUI 4/2005 juga menegaskan bahwa perkawinan beda
agama adalah haram dan tidak sah (hal. 477).

D. PERNIKAHAN ONLINE
Majelis Ulama Indonesia (MUI) memutuskan jika akad nikah yang digelar
secara online hukumnya tidak sah. Terutama jika tidak dapat memenuhi salah
satu syarat sah ijab-kabul akad pernikahan. Jadi akad nikah secara online
hukumnya tidak sah, jika tidak memenuhi salah satu syarat sah ijab-kabul
akad pernikahan. (Ketua Fatwa MUI Asrorum Niam Soleh di Hotel Sultan,
Jakarta Pusat, Kamis (11/11/2021).
Pernikahan harus dilaksanakan secara ittihadu al-majlis (berada dalam
satu majelis), dengan lafaz yang sharih (jelas), dan ittishal (bersambung
antara ijab dan kabul secara langsung).
Jadi jika calon mempelai pria dan wali tidak bisa berada dalam satu
tempat secara fisik, ijab-kabul dalam pernikahan dapat dilakukan dengan cara
tawkil atau mewakilkan. Sementara karena sesuatu hal para pihak tidak bisa
hadir dan atau tidak mau mewakilkan, pelaksanaan akad nikah secara online
dapat dilakukan dengan beberapa syarat. Di antaranya, adanya ittihadul
majlis, lafaz yang jelas dan tersambung antara ijab dan kabul secara
langsung.
Syarat ittihadul majlis, lafaz yang sharih dan ittishal ditandai dengan
beberapa hal :
1. Wali nikah, calon pengantin pria, dan dua orang saksi dipastikan terhubung
melalui jejaring virtual meliputi suara dan gambar;
2. Harus dalam waktu yang sama;
3. Terdapat jaminan kepastian tentang benarnya keberadaan para pihak.

E. PERCERAIAN
Pembubaran (putusnya) perkawinan dengan sebab-sebab yang dapat
dibenarkan itu dapat terjadi dalam dua peristiwa :
1. Kematian salah satu pihak
19

2. Putus akibat perceraian


Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dinyatakan bahwa
perkawinan dapat putus karena :
1. kematian
2. perceraian, dan
3. atas keputusan pengadilan.
Ketentuan tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 39 UU
Perkawinan yang menentukan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di
depan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Adapun untuk melakukan
perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan
dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Putusnya perkawinan karena perceraian ini akan menimbulkan akibat
hukum yang akan mempengaruhi hak dan kewajiban antara mantan suami
dan mantan istri serta anak yang lahir dari perkawinan yang sah tersebut.
Demikian juga mengenai harta bersama yang diperoleh sepanjang
perkawinan maupun harta bawaan dari masing-masing suami istri. Persoalan
tersebut akan menjadi lebih rumit ketika harta bawaan masing-masing suami
dan istri yang sudah tercampur dengan harta bersama yang diperoleh
sepanjang perkawinan tersebut berlangsung dan hal tersebut akan menjadi
sengketa.
20

DAFTAR PUSTAKA

Al Kahlany, Imam Muhammad bin Ismail, t.t., Subul as Salaam, Semarang:


Percetakan Thoha Putra, Juz. 3.

Al Mufarraj, Sulaiman, 2003, Bekal Pernikahan, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair,


Wasiat, Kata Mutiara, Alih bahasa Kuais Mandiri Cipta Persada,
Jakarta: Qisthi Press.

Dirjen Bimas Islam, 2008, Pedoman Akad Nikah, Jakarta, Departemen Agama RI.

Dirjen Bimas Islam, 2007, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, Departemen


Agama RI.

Ghazali, Abdul Rahman, 2008, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana.

Junaedi, Dedi, 2003, Bimbingan Perkawinan (Membina Keluarga Sakinah Menurut


Al Qur’an dan As Sunnah), Jakarta: Akademi Pressindo.

Sabiq, Sayyid, 1990, Fiqhu Sunnah, Bandung: Penerbit Al Ma’arif

Sasmono, Sudarmono dan Eri Marawijaya, 2004, Tuntunan Kelaurga sakinah Bagi
Usia Nikah, Jakarta: Ditjen Bimas Islam Depag RI.

Syarifudin, Amir, 2007, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh


Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan), Jakarta: Kencana.

Tihami, H.M.A., dan Sohari Sahrani, 2010, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah
Lengkap), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Perundang-undangan :

Undang-Undang RI Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang RI Nomor : 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-


undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Pertauran Pemerintah RI Nomor : 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-


Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Instuksi Presiden RI Nomor : 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di


Indonesia
21

Peraturan Menteri Agama RI Nomor : 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Nikah

HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

Disusun oleh:

HUDA MUTTAQIN, S.Ag., M.H.

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA


22

KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN SEMARANG


KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) KEC. TENGARAN
Jalan Masjid Besar No. 13 Tengaran Telp. (0298) 3434921
TAHUN 2023

Anda mungkin juga menyukai