Materi KUA Tengaran
Materi KUA Tengaran
Materi KUA Tengaran
A. Pengertian Perkawinan
1
*Penyusun adalah Penghulu Ahli Madya/Kepala KUA Tengaran
1
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap), (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010), hal. 7
2
Sayyid Sabiq, Fiqhu Sunnah, (Bandung: Penerbit al Ma’arif,1990), hlm. 10
2
3
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Op. Cit. Hlm. 8-9
4
Imam Muhammad bin Ismail al Kahlany, Subul as Salaam, Semarang: Percetakan Thoha Putra, t.t. Juz.
3, hlm. 110
3
5
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan), (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 21
4
C. Tujuan Perkawinan
Perkawinan merupakan sunnatullah, hukum alam di dunia ini, dan
pada dasarnya adalah mubah tergantung kepada tingkat maslahatnya. Dan
Allah mensyari’atkan perkawinan ini tidak lain untuk menjaga kehormatan dan
martabat kemuliaan manusia.6
Dalam Al Quran tujuan pernikahan telah jelas digambarkan oleh Allah
SWT sebagaimana firman-Nya dalam surat Ar Ruum (30) : 21;
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
6
Sayyid Sabiq, Loc. cit.
5
7
H..M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Op. cit., hal. 15-16
6
8
Sulaiman AL Mufarraj, Bekal Pernikahan, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair, Wasiat, Kata Mutiara, Alih
bahasa Kuais Mandiri Cipta Persada, Jakarta: Qisthi Press, 2003, hlm. 51
7
c. Undang-undang ini
menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan karena hukum agama dari yang bersangkutan
mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.
Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari
seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai
persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
d. Undang-undang ini
menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa
raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat
diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada
perceraian dan mendpat keturunan yang baik dan sehat.
Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri
yang masih di bawah umur.
Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan. Ternyata bahwa batas umur lebih rendah bagi
seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.
Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan bahwa
untuk kawin baik bagi pria maupun wanita ialah 19 (sembilan belas)
tahun untuk pria dan 16 (enam belas) tahun untuk wanita.
e. Karena tujuan perkawinan
adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan
sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk
mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan
perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan
di depan sindang pengadilan.
f. Hak dan kedudukan istri
adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat,
sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat
dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
9
Amir Syarifuddin, Op. cit., hal. 26
8
Yang dimaksud dengan syarat, ialah segala sesuatu yang mesti ada
yang menentukan sah tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi seuatu itu
tidah termasuk dalam rangkaian pekerjaan, seperti menutup aurat untuk
shalat, atau juga menurut Islam calon pengantin laki-laki dan perempuan
harus beragama Islam10.
Syarat-syarat yang perlu dipenuhi seseorang sebelum melangsungkan
perkawinan menurut R. Abdul Djamali yang dikutip dalam bukunya Hukum
Islam, ada enam yaitu :
a. Persetujuan kedua belah pihak tanpa paksaan
b. Dewasa
c. Kesamaan agama Islam
d. Tidak dalam hubungan nasab
e. Tidak ada hubungan rodhoah
f. Tidak semenda (mushoharoh)
Syarat-syarat untuk melaksanakan perkawinan di Indonesia,
sebagaimana diatur dalam Bab II Pasal 6 ayat (1-6) dan 7 ayat (1-3), Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu sebagai berikut :
Pasal 6 :
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin
kedua orang tua
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
memperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang
disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang
atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya,
maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang
yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang
tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar
orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
10
H..M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Op. cit., hlm. 12
9
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini
berlaku sepanjang hukum masing-masingnya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain.
Pasal 7 :
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat
meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau
kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) undang-
undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi
tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang
dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
11
Ibid. hal. 46-47
10
F. Hikmah perkawinan
Hadirnya syariat atau ketentuan tentang perkawinan adalah untuk
memberikan jalan manusia melakukan hubungan seksuil atau memenuhi
kebutuhan biologisnya dengan jalan yang mulia, oleh karena itu adanya
syariat perkawinan mempunyai beberapa hikmah.
Menurut Abu Bakar Jabir Al Jazairi dalam bukunya Minhajul Muslim,
memberikan gambaran hikmah melaksanakan perkawinan itu diantaranya :
a. Melestarikan manusia dengan perkembangan biak yang
dihasilkan nikah.
b. Kebutuhan suami-istri kepada pasangannya untuk
menjaga kemaluannya dengan melakukan hubungan seks yang fitriyah.
12
Dedi Junaedi, Op. Cit. hlm. 96-97
11
15
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Op. Cit., hlm. 19-20
13
A. PERNIKAHAN DINI
Pernikahan dini yang dialami remaja berusia di bawah 20 tahun masih
menjadi fenomena di beberapa daerah di Indonesia. Meski angka Badan
Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya penurunan dari tahun 2019 ke
tahun 2020 dari 10,82 persen menjadi 10,18 persen, praktik pernikahan
dini masih tinggi.
Di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan kasus
pernikahan dini terbanyak kedua setelah Kamboja dan peringkat ke-8 di
dunia. Hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat pemerintah telah mengatur
dengan jelas batas minimal perkawinan menjadi 19 tahun, dan memperketat
aturan dispensasi perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perkawinan.
BKKBN menentukan batas usia ideal untuk menikah pada
perempuan yaitu 21 tahun dan pada laki-laki 25 tahun. Ditinjau dari aspek
kesehatan, perempuan usia 21 tahun, organ reproduksinya secara
psikologis sudah berkembang secara baik dan kuat serta siap
melahirkan. Sedangkan dari aspek ekonomi, laki-laki umur 25 tahun sudah
siap untuk menopang kehidupan keluarganya.
Penyebab pernikahan dini biasanya adalah faktor budaya dan
sosioekonomi. Beberapa orangtua beranggapan bahwa anak dapat menjadi
penyelamat keuangan keluarga saat menikah karena anak yang belum
menikah akan menjadi beban keluarga.
Ada pula yang beranggapan, anak akan memiliki kehidupan yang lebih
baik setelah menikah. Padahal, bila anak tersebut putus sekolah, justru akan
memperpanjang rantai kemiskinan serta hak dasar anak seperti sekolah
terampas. Dampak lain pernikahan dini adalah merugikan perekonomian
negara karena sebanyak 1,7 persen pendapatan negara bisa hilang.
14
yaitu sejak masa remaja. Tujuannya, agar dapat melahirkan anak yang sehat
dengan tumbuh kembang yang baik. Stunting bisa menyebabkan dampak
buruk pada kesehatan fisik, dan kesehatan mental anak.
Pernikahan dini berdampak juga pada masalah sosial, seperti masalah
perekonomian yang menyebabkan ketidakharmonisan dalam keluarga. Hal ini
disebabkan emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir
yang belum matang, akhirnya terjadi rawan perceraian. Kasus perceraian
tertinggi menimpa kelompok usia 20 – 24 tahun dengan usia pernikahan
belum genap lima tahun.
Dampak lainnya menyebabkan kesehatan mental wanita terganggu.
Ancaman pada wanita muda yang rentan menjadi korban kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) dan mereka belum tahu caranya terbebas dari situasi
tersebut serta belum adanya kesiapan mental pasangan. Selain istri, anak
juga berisiko menjadi korban KDRT. Anak-anak yang menjadi saksi mata
KDRT akan tumbuh dengan berbagai kesulitan, seperti kesulitan belajar,
terbatasnya keterampilan sosial, anak kerap menunjukkan perilaku nakal,
berisiko depresi atau gangguan kecemasan berat.
Untuk mencegah bahaya kesehatan akibat pernikahan dini, pendidikan
bisa menjadi salah satu hal yang berperan penting. Pendidikan dapat
memperluas wawasan anak dan remaja serta membantu meyakinkan mereka
bahwa menikah haruslah dilakukan di saat dan usia yang tepat. Menikah
bukanlah sebuah paksaan dan juga bukan sebuah jalan untuk terbebas dari
kemiskinan. Pendidikan dapat memberi informasi mengenai tubuh dan sistem
reproduksi diri sendiri ketika nanti akan menikah.
B. PERNIKAHAN HAMIL
Menikah adalah salah satu sunnah Rasulullah SAW yang merupakan
ibadah seumur hidup. Menikah juga merupakan cara untuk menjaga
kehormatan diri dan keturunan dari perbuatan zina yang dilarang oleh Allah
SWT. Namun, ada kalanya seseorang menikah karena hamil duluan akibat
zina dengan pacarnya. Lantas, bagaimana hukum menikah hamil duluan
dalam Islam. Apakah pernikahan tersebut sah. Dan bagaimana nasib anak
yang lahir di luar nikah.
16
Mengenai hukum pernikahan beda agama, dalam ajaran Islam wanita maupun
laki-laki tidak boleh menikah dengan yang tidak beragama Islam (Q.S. Al
Baqarah [2]: 221).
tidak beragama Islam. Begitu pula ditegaskan dalam Pasal 44 KHI bahwa
seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang
pria yang tidak beragama Islam.
Selain itu, Fatwa MUI 4/2005 juga menegaskan bahwa perkawinan beda
agama adalah haram dan tidak sah (hal. 477).
D. PERNIKAHAN ONLINE
Majelis Ulama Indonesia (MUI) memutuskan jika akad nikah yang digelar
secara online hukumnya tidak sah. Terutama jika tidak dapat memenuhi salah
satu syarat sah ijab-kabul akad pernikahan. Jadi akad nikah secara online
hukumnya tidak sah, jika tidak memenuhi salah satu syarat sah ijab-kabul
akad pernikahan. (Ketua Fatwa MUI Asrorum Niam Soleh di Hotel Sultan,
Jakarta Pusat, Kamis (11/11/2021).
Pernikahan harus dilaksanakan secara ittihadu al-majlis (berada dalam
satu majelis), dengan lafaz yang sharih (jelas), dan ittishal (bersambung
antara ijab dan kabul secara langsung).
Jadi jika calon mempelai pria dan wali tidak bisa berada dalam satu
tempat secara fisik, ijab-kabul dalam pernikahan dapat dilakukan dengan cara
tawkil atau mewakilkan. Sementara karena sesuatu hal para pihak tidak bisa
hadir dan atau tidak mau mewakilkan, pelaksanaan akad nikah secara online
dapat dilakukan dengan beberapa syarat. Di antaranya, adanya ittihadul
majlis, lafaz yang jelas dan tersambung antara ijab dan kabul secara
langsung.
Syarat ittihadul majlis, lafaz yang sharih dan ittishal ditandai dengan
beberapa hal :
1. Wali nikah, calon pengantin pria, dan dua orang saksi dipastikan terhubung
melalui jejaring virtual meliputi suara dan gambar;
2. Harus dalam waktu yang sama;
3. Terdapat jaminan kepastian tentang benarnya keberadaan para pihak.
E. PERCERAIAN
Pembubaran (putusnya) perkawinan dengan sebab-sebab yang dapat
dibenarkan itu dapat terjadi dalam dua peristiwa :
1. Kematian salah satu pihak
19
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen Bimas Islam, 2008, Pedoman Akad Nikah, Jakarta, Departemen Agama RI.
Sasmono, Sudarmono dan Eri Marawijaya, 2004, Tuntunan Kelaurga sakinah Bagi
Usia Nikah, Jakarta: Ditjen Bimas Islam Depag RI.
Tihami, H.M.A., dan Sohari Sahrani, 2010, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah
Lengkap), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Perundang-undangan :
Disusun oleh: