Bab Ii

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 22

10

BAB II
KAJIAN TEORI

A. Mekanisme

Mekanisme berasal dari kata dalam Bahasa Yunani yaitu mechane yang

memiliki arti instrumen, mesin pengangkat beban, perangkat, peralatan untuk

membuat sesuatu dan dari kata mechos yang memiliki arti sarana dan cara

menjalankan sesuatu. Mekanisme menurut Moenir adalah suatu rangkaian kerja

atau alat yang digunakan untuk menyelesaikan sebuah masalah yang berkaitan

dengan proses kerja yang bertujuan untuk menghasilkan pekerjaan yang

maksimal dan mengurangi kegagalan (definisimenurutparaahli.com,2021).

B. Pengawasan

1. Pengertian Pengawasan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata pengawasan secara

bahasa berasal dari kata awas yang artinya dapat melihat baik-baik, tajam

tiliknya, memperhatikan dengan baik, hati-hati. Kemudian mendapat imbuhan

peng- pada awal kata dan mendapat akhiran –an menjadi pengawasan yang

artinya penilikan (pemeriksaan) dan penjagaan, penilikan dan pengarahan

kebijakan jalannya perusahaan (Departemen Pendidikan Nasional, 2007:79).

Kemudian menurut istilah yang dikemukakan oleh Ibrahim Lubis,

pengawasan adalah kegiatan yang mengusahakan agar pekerjaan- pekerjaan

terlaksana sesuai dengan rencana yang betapapun baiknya akan gagal sama

sekali bilamana manajer tidak melakukan pengawasan, agar pekerjaan-

10
11

pekerjaan sesuai dengan rencana atau maksud yang telah ditetapkan maka ia

harus melakukan kegiatan pengawasan (Ibrahim Lubis, 1985: 154).

Pengawasan dapat diartikan sebagai proses untuk “menjamin” bahwa

tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai. Pengertian ini menunjukan

adanya hubungan yang sangat erat antara perencanaan dan pengawasan

(Handoko, 2014: 357). Kemudian pengawasan juga diartikan adalah kegiatan

penilaian terhadap organisasi atau kegiatan dengan tujuan agar organisasi atau

kegiatan tersebut melaksanakan fungsinya dengan baik dan dapat memenuhi

tujuannya yang telah ditetapkan (Anwar,2008: 129) .

Schermorhorn yang dikutip dalam buku Erni Tisnawati (2005:317),

Pengantar Manajemen menyatakan bahwa pengawasan merupakan “sebagai

proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan tindakan yang dapat

mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang telah

ditetapkan tersebut”. Kemudian Stoner mempersingkat definisi pengawasan

namun tidak merubah apa yang telah disampaikan sebelumnya oleh para alhli

di atas dan hanya memperjelas dengan mendefinisikan bahwa “pengawasan

sesuai dengan apa yang telah direncanakan”(Erni Tisnawati, 2005:317-318).

Jika pengawasan menurut pandangan para ahli merupakan sebuah

penilaian dan diperlukan koreksi agar tujuan dapat tercapai maka dapat

disimpulkan bahwa pengawasan adalah suatu proses penilaian, penilikan atau

pemeriksaan yang diusahakan agar pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana

dan standar yang sudah ditetapkan agar setiap bidang melaksanakan tugas dan
12

fungsinya dengan baik, juga merupakan proses untuk menjamin sebuah kegiatan

yang telah direncanakan untuk meminimalisir penyimpangan agar sesuai dengan

apa yang telah direncanakan hingga tujuan tercapai dengan efektif dan efisien.

2. Peran Pengawasan

Secara umum ada beberapa manfaat yang diperoleh dengan

diberlakukannya pengawasan pada suatu organisasi, yaitu:

a. Pengawasan memiliki peran penting terutama dalam memastikan

setiap pekerjaan terlaksana sesuai dengan yang direncanakan

b. Membangun manajer dalam mengawal dan mewujudkan keinginan

visi dan misi perusahaan dan tidak terkecuali telah menempatkan

manajer sebagai pihak yang memiliki wewenang sentral di suatu

organisasi.

c. Pengawasan bernilai positif dalam membangun hubungan yang baik

antara pimpinan dan karyawan

d. Pengawasan yang baik memiliki peran dalam menumbuh kembangkan

keyakinan para stakeholders’ pada organisasi (Fahmi, 2012: 85-86).

3. Tujuan dan Fungsi Pengawasan

Tujuan pengawasan yakni agar hasil pelaksanaan pekerjaan

diperoleh secara berdaya guna (efektif) dan berhasil guna (efisien) sesuai

dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.

Fungsi pengawasan meliputi beberapa hal berikut ini:


13

a. Mempertebal rasa dan tanggung jawab terhadap pejabat yang diserahi

tugas dan wewenang dalam melaksanakan pekerjaan.

b. Mendidik para pejabat agar mereka melaksanakan pekerjaan sesuai

prosedur yang telah ditentukan.

c. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan penyelewengan, kelalaian

dan kelemahan agar tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan.

d. Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan agar pelaksanaan

pekerjaan tidak mengalami hambatan dan pemborosan (Maringin Masry,

2004: 62).

4. Jenis-Jenis Pengawasan

a. Waktu Pengawasan

Berdasarkan waktu pengawasan, pengawasan dibedakan atas dua

hal yaitu pengawasan preventif dan pengawasan repressip. Pengawasan

prefentif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum terjadi

penyimpangan, kesalahan atau dengan kata lain diadakan langkah- langkah

pencegahan sebelum terjadinya kesalahan-kesalahan. Sedangkan

pengawasan repressif adalah pengawasan yang dilakukan setelah rencana

sudah dilaksanakan, yaitu dengan mengukur hasil- hasil yang dicapai.

b. Objek Pengawasan

Dilihat dari objek pengawasannya, pengawasan terdiri dari

pengawasan personal, uang, waktu dan materi (kualitas / kuantitas).

c. Subjek Pengawasan
14

Dilihat dari subjeknya, pengawasan dapat dibagi menjadi

pengawasan intern dan ekstern. Pengawasan intern adalah pengawasan

yang dilakukan oleh atasan dari petugas yang bersangkutan, pengawasan

macam ini disebut juga dengan pengawasan formal, karena yang

melakukan pengawasan adalah orang yang memiliki wewenang dalam

organisasi atau lembaga terkait. Sedangkan yang dimaksud dengan

pengawasan ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang- orang

yang di luar organisasi atau lembaga terkait. Pengawasan macam ini biasa

disebut dengan pengawasan sosial (social control) atau pengawasan

informal.

d. Cara Pengumpulan Fakta-Fakta Guna Pengawasan

Dilihat dari pengukuran fakta-fakta guna pengawasan, pengawasan

ini terdiri dari pengawasan pribadi, interview, laporan tertulis dan laporan

tidak tertulis dan pengawasan kepada hal-hal yang bersifat istimewa

(pengawasan berdasarkan pengecualian) (M. Manullang, 1996:130)

5. Bentuk dan Metode Pengawasan

Menurut Hadari Nawawi (2005: 120) bentuk pengawasan ada dua

macam, pengawasan internal dan pengawasan eksternal. Pengawasan

internal yaitu kegiatan pengawasan dilakukan oleh pimpinan manajer

puncak atau pimpinan unit/satuan. Pengawasan eksternal yaitu

pengawasan yang dilakukan oleh organisasi kerja dari luar organisasi kerja
15

yang diawasi dalam menjalankan tugas pokoknya.

Metode Pengawasan terbagi menjadi:

a. Pengawasan langsung, yakni kegiatan pengawasan yang dilakukan

dengan mendatangi personil dan atau unit kerja yang diawasi.

Kegiatannya dapat dikumpulkan dengan mengumpulkan dan

mempelajari dokumen-dokumen, melakukan observasi, wawancara,

pengujian sampel dan lain-lain.

b. Pengawasan tidak langsung, yakni kegiatan pengawasan yang

dilakukan dengan mengevaluasi laporan baik tertulis maupun lisan.

Pengawasan ini disebut juga dengan pengawasan jarak jauh.

6. Langkah-langkah Pengawasan

Langkah-langkah pengawasan menurut George Terry yang

dikutip Ibrahim Lubis meliputi:

a. Penetapan ukuran atau standar. Sebelum melakukan pengawasan,

pelaku pengawasan sudah seharusnya mempunyai standar atau tolak

ukur karena dalam pengawasan harus ada sebuah pedoman sebagai

penilaian atas kinerja atau kegiatan yang terjadi.

b. Penilaian atau pengukuran kegiatan dengan standar yang sudah

ditetapkan untuk mengetahui penyimpangan yang terjadi.

c. Perbaikan atau pembetulan terhadap penyimpangan yang terjadi

(Ibrahim Lubis, 1985: 160).


16

Jika dalam buku Pengantar Manajemen karya Ismail Solihin hal

ini merupakan salah satu dari tindakan manajerial. Dalam buku itu ditulis bahwa ,

tindakan manajerial setelah melakukan evaluasi terhadap kinerja yang telah dicapai

organisasi meliputi tiga hal:

a. Tindakan perbaikan

Tindakan perbaikan dilakukan agar penyimpangan yang terjadi

tidak akan dilakukan secara terus menerus dalam kegiatan berikutnya.

b. Revisi standar

Selain melakukan perbaikan kinerja, yang perlu dilakukan

manajerial yakni tindakan koreksi terhadap standar karena bisa jadi

penyimpangan yang terjadi akibat ketidakrelevanan sebuah standar.

c. Tidak melakukan apa-apa

Selain kedua tindakan di atas, dapat juga manajerial

membiarkan penyimpangan tersebut terjadi. Asalkan penyimpangan

tersebut tidak berdampak terlalu besar terhadap perusahaan/organisasi

(Solihin, 2009: 195).

7. Pengawasan yang Efektif

Untuk menjadi efektif, sistem pengawasan harus memenuhi

kriteria tertentu. Kriteria-kriteria utama adalah bahwa sistem

seharusnya mengawasi kegiatan-kegiatan yang benar, tepat waktu,

dengan biaya yang efektif, tepat-akurat dan dapat diterima oleh yang

bersangkutan. Semakin dipenuhinya kriteria-kriteria tersebut semakin


17

efektif sistem pengawasan. Karakteristik-karakterstik pengawasan

yang efektif menurut Indra Iman dan Siswandi ini dapat lebih

diperinci sebagai berikut:

a. Akurat. Informasi tentang pelaksanaan kegiatan harus akurat. Data

yang tidak akurat dari sistem pengawasan dapat menyebabkan

organisasi mengambil tindakan koreksi yang keliru atau bahan

menciptakan masalah yang sebenarnya tidak ada.

b. Tepat waktu. Informasi harus dikumpulkan, disampaikan dan

dievaluasi secepatnya bila kegiatan perbaikan harus dilakukan

segera.

c. Objektif dan menyeluruh. Informasi harus mudah difahami dan

bersifat objektif serta lengkap.

d. Terpusat pada titik-titik pengawasan strategik. Sistem pengawasan

harus memusatkan perhatian pada bidang-bidang di mana

penyimpangan dari standar paling sering terjadi atau yang akan

mengakibatkan kerusakan paling fatal.

e. Realistik secara ekonomis. Biaya pelaksanaan pengawasan harus

lebih rendah atau paling tidak sama dengan kegunaan yang

diperoleh dari sistem tersebut.

f. Realistik secara organisational. Sistem pengawasan harus cocok

atau harmonis dengan kenyataan-kenyataan organisasi.

g. Terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi. Informasi


18

pengawasan harus terkordinasi dengan aliran kerja organisasi

karena setiap tahap dari proses pekerjaan dapat epengaruhi sukses

atau kegagalan keseluruhan operasi dan informasi pengawasan

harus sampai pada seluruh personalia yang memerlukannya.

h. Fleksibel. Pengawasan harus mempunyai fleksibelitas untuk

memberikan tanggapan atau reaksi terhadap ancaman ataupun

kesempatan dari lingkungan.

i. Bersifat sebagai petunjuk dan operasional. Sistem pengawasan

efektif harus menunjukkan baik deteksi atau deviasi dari standar,

tindakan koreksi apa yang seharusnya diambil

j. Diterima para anggota organisasi. Sistem pengawasan harus

mampu mengarahkan pelaksanaan kerja para anggota organisasi

dengan mendorong perasaan otonomi, tanggungjawab dan

berprestasi (Indra Iman dan Siswandi, 2009: 207-208).

k. Pengawasan yang efektif harus memberi petunjuk tentang

kemungkinan adanya deviasi/penyimpangan (Siagan, 2007: 130)

C. Penyelenggaraan Haji di Indonesia dari Masa Ke Masa

Sejarah penyelenggaraan haji di Indonesia mengalami masa yang

panjang, dimulai sejak masuknya agama Islam ke Indonesia, masa penjajahan,

masa orde lama, masa orde baru hingga sekarang. Dari masa ke masa

penyelenggaraan haji banyak mengalami dinamika yang bermuara pada persoalan


19

pokok, yaitu peraturan yang menyangkut hubungan bilateral antara dua negara

yang memiliki perbedaan sosio-budaya, bentuk pemerintahan dan status

kenegaraan, Indonesia yang menganut sistem Republik dan Saudi Arabia yang

berbentuk Kerajaan. Pada masa penjajahan, permasalahan utamanya adalah

keamanan dan terbatasnya fasilitas. Kini pada saat dunia telah aman dan fasilitas

semakin canggih, besarnya jumlah jamaah haji terkait dengan keterbatasan kuota

dan kemampuan sarana dan prasarana menjadi persoalan utama.

1. Penyelenggaraan Haji pada masa Pasca Kemerdekaan

Pada tahun 1945, Syekh Hasyim Asyhari dari Masyumi,

mengeluarkan fatwa kepada seluruh umat Islam Indonesia bahwa “haram

bagi umat Islam meninggalkan tanah airnya dalam keadaan melakukan

perang melawan agama; tidak wajib pergi haji, dimana berlaku fardhu ‘ain

bagi umat Islam melakukan peran melawan penjajah bangsa dan agama”.

Pada tahun 1948 pemerintah Indonesia mengirimkan misi haji, yang terdiri

dari K.R.H. Moh. Adnan, H. Ismail Banda, H. Saleh Suady dan H. Samsir

Sutan Ameh, ke Makkah menghadap Raja Arab Saudi, misi tersebur

mendapat sambutan hangat dari Baginda Raja Ibnu Saud dan pada tahun itu

juga bendera Merah Putih pertama kali dikibarkan di Arafah. Upaya-upaya

yang telah dilakukan oleh pemerintah tersebut semakin mendorong ke arah

penyelenggaraan haji yang lebih baik sehingga calon jamaah haji yang

berangkat tahun 1949 cukup banyak. Pada waktu itu jamaah haji yang

berhasil diberangkatkan oleh Pemerintah mencapai 9.892 orang, sedangkan


20

yang wafat sebanyak 320 orang atau 3,23%-nya, sedangkan panitia yang

dilibatkan guna membantu jamaah haji dalam bidang administrasi dan

pengurusan di tanah suci sebanyak 27 orang, adapun tim kesehatan yang juga

ikut diberangkatkan sebanyak 14 orang.

Kemudian pada tahun 1950-an, kaum muslimin Indonesia yang

mampu melaksanakan ibadah haji sebanyak 10.000 orang, (memang hanya

daerah-daerah tertentu yang penduduknya hampir mayoritas beragama Islam,

dan berpenghasilan dari sumber daya alam seperti bertani dan nelayan yang

pada waktu itu memiliki kesempatan perdagangan yang lebih luas, sehingga

memungkinkan mereka untuk melaksanakan ibadah haji). Di samping 10.000

orang yang berangkat haji, pemerintah memiliki data lain yaitu jamaah haji

yang berangkat secara mandiri sebanyak 1.843 orang, wafat 42 orang atau

2,28%, sedangkan petugas administrasi 6 orang, tim kesehatan 15 orang.

Pada awal kemerdekaan penyelenggaraan ibadah haji dilakukan oleh

Penyelenggara Haji Indonesia (PHI) yang berada pada setiap keresidenan

atau pemerintahan daerah. Dalam perkembangan selanjutnya, Badan

Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) mendirikan sebuah yayasan yang

secara khusus menangani ibadah haji yaitu Panitia Perbaikan Perjalanan

Haji Indonesia (PPHI) yang diketuai oleh K.H.M. Sudjak. Kedudukan PPHI

semakin kuat tatkala Menteri Agama mengeluarkan Surat Kementerian

Agama RIS No. 3170 Tahun 1950 dan Surat Edaran Menteri Agama RIS No.

A. III/I/648 Tahun 1950 yang menunjuk PPHI sebagai lembaga yang sah di
21

samping pemerintah untuk mengurus dan menyelenggarakan Ibadah Haji di

Indonesia. Pada masa itu salah satu langkah penting pembenahan

penyelenggaraan Ibadah Haji oleh pemerintah dalam hal ini Departemen

Agama adalah dialihkannya transportasi laut ke transportasi udara yang lebih

modern agar mengurangi penderitaan jamaah haji apabila menaiki kapal laut

yang penuh dengan bahaya. Pada masa tahun 1950-an tersebut penanganan

haji secara langsung tidak dilakukan oleh Departemen Agama melainkan

oleh panitia haji.

Hampir setiap tahun umat Islam yang berminat untuk menunaikan

ibadah haji tidak pernah surut, bahkan laju perkembangannya menunjukkan

grafik yang meningkat walaupun biaya yang ditetapkan oleh pemerintah

selalu menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan setiap tahunnya, yaitu

sejak tahun 1949 sebesar Rp. 3.395,14 meningkat dua kali lipat pada tahun

1950 dan tahun 1951 sebesar Rp. 6.487,25 atau sekitar 52,3%. Biaya

perjalanan ibadah haji justru mengalami kenaikan hanya sekitar 10%, yaitu

pada tahun 1951 sebesar Rp. 6.487,25. Jumlah jamaah haji Indonesia

mencapai puncaknya pada tahun 1951 sebanyak 9.502 orang, petugas haji

Indonesia 20 orang, jamaah haji yang wafat sebanyak 384 orang atau 4,04%

Membaiknya kehidupan perekonomian negara dan kemajuan

teknologi yang melanda dunia berpengaruh pula terhadap pengelolaan

perhajian di Indonesia sehingga mulai tahun 1952 transportasi jamaah haji

pemerintah menyediakan kesempatan kepada calon jamaah haji untuk


22

mempergunakan transportasi udara. Tentunya terdapat perbedaan tarif

angkutan haji yang cukup besar, hampir dua kali lipat, yaitu untuk tarif haji

udara sebesar Rp. 16.691, sedangkan haji laut sebesar Rp. 7.500.

Dengan adanya transportasi jamaah haji udara maka pada tahun 1952

jumlah jamaah haji meningkat sebanyak 14.324 orang, dengan perincian

yang menggunakan kapal laut sebanyak 14.031 orang, pesawat udara 293

orang, jumlah jamaah haji yang wafat 278 orang atau 1,94%, sedangkan

petugas haji yang diberangkatkan sebanyak 32 orang, tim kesehatan haji

sebanyak 28 orang (Nidjam dan AHanan , 2006: 37)

Pada tahun 1964 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 122 tahun

1964 yang berisi tentang upaya mengatasi pengangkutan jamaah haji (laut)

dari Indonesia, maka pada tanggal 1 Desember 1964 berdirilah PT. Arafat

yang bergerak di bidang pelayanan ibadah haji dengan kapal laut. Tujuan

didirikannya PT. Arafat adalah:

a) Menyelenggarakan pengangkutan para jamaah haji (laut);

b) Menjalankan segala upaya dalam rangka membantu usaha

pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung yang

berkenaan dengan bidang pelayanan.

c) Armada kapal laut yang digunakan untuk pengangkutan jamaah

haji antara lain KM. Gunung Jati, KM. Tjut Nyak Dien, KM.

Ambulombo, KM. Pasific Abeto, KM. Belle Abetto, KM. Le

Havre Abeto dan KM. La Grande Abeto. Kapal laut untuk


23

pengangkutan jamaah haji ini termasuk kapal laut yang memiliki

keunggulan teknologi pada saat itu dan dapat berlayar untuk

jangka waktu satu bulan. Di kapal ini seluruh calon jamaah haji

Indonesia melakukan kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan

masalah manasik haji dan pengkajian agama secara mendalam

(Nidjam dan AHanan , 2006: 4-43) .

2. Penyelenggaraan Haji pada Masa Orde Baru

Tugas awal penguasa orde baru sebagai pucuk pimpinan

Negara pada tahun 1966 adalah membenahi dan menormalkan sistem

kenegaraan yang porak-poranda akibat G 30S PKI dan kekuasaan orde

lama. Pembenahan sistem pemerintahan ini berpengaruh pula terhadap

penyelenngaraan haji dengan dibentuknya Departemen Agama,

selanjutnya mengubah struktur dan tata kerja organisasi Menteri

Usaha haji dan mengalihkan tugas penyelenggaraan ibadah haji di

bawah wewenang Direktur Jenderal Urusan Haji, termasuk besarnya

biaya, sistem manajerial dan bentuk organisasi yang kemudian

ditetapkan dalam keputusan Dirjen Urusan Haji Nomor 105 tahun

1966. Pada tahun itu ditetapkan pula biaya perjalanan ibadah haji

dalam tiga kategori, yaitu haji dengan kapal laut sebesar Rp. 27.000,

haji berdikari sebesar Rp. 67.500, haji dengan pesawat udara sebesar

Rp. 110.000. Jumlah jamaah haji yang diberangkatkan seluruhnya

mencapai 15.983 orang, yaitu dengan kapal laut sebanyak 15.610


24

orang, dengan pesawat udara 373 orang, sedangkan jumlah haji kapal

laut yang wafat 114 orang, dan 2 orang jamaah haji udara, atau 0,73%

(Nidjam dan AHanan , 2006: 44-45).

Pemerintah ikut bertanggung jawab secara penuh dalam

penyelenggaraan ibadah haji, sejak penentuan biaya hingga

pelaksanaan serta hubungan antara dua negara yang mulai

dilaksanakan pada tahun 1970. Dengan keputusan tersebut, maka

rakyat merasa diperhatikan langsung oleh pemerintah. Dalam rangka

mengefisienkan pelaksanaan penyelenggaraan haji, maka pada tahun

tersebut biaya perjalanan ibadah haji ditetapkan oleh presiden

berdasarkan kriteria penggunaan transportasi melalui Keputusan

Presiden Nomor 11 tahun 1970, yaitu biaya perjalanan pesawat

terbang sebesar Rp. 380.000, sedangkan berdikari sebesar Rp.

336.000. Secara resmi pemerintah tidak menetapkan biaya haji

dengan kapal laut karena jumlah calon jamaah haji yang

menggunakan kapal laut mengalami penurunan yang signifikan.

Sekalipun demikian, pemerintah memberikan kebebasan kepada

jamaah haji berdikari tetap menggunakan kapal laut. Sesuai data tahun

tersebut jamaah haji berdikari yang menggunakan kapal laut sebanyak

12.845 orang, sedangkan yang menggunakan pesawat terbang

sebanyak 1.229 orang. Dalam tahun-tahun berikutnya, antara tahun

1971- 1973 penyelenggaraan ibadah haji tidak banyak mengalami


25

perubahan- perubahan kebijakan.

Pada tahun 1974, sebuah peristiwa besar menghentikan

sanubari bangsa Indonesia dan mengejutkan dunia ketika pesawat

udara Martin Air yang mengangkut jumlah haji mengalami kecelakaan

di Colombo. Kecelakaan ini menewaskan 1.126 orang dan merupakan

peristiwa besar yang tak terlupakan dalam sejarah perhajian Indonesia.

Penyebab kecelakaan tersebut tidak diketahui secara pasti, yang jelas

pesawat tersebut menabrak gunung. Ada pula kejadian yang berada di

luar perhitungan pemerintah sebanyak 79 orang jamaah melahirkan.

Dengan kejadian tersebut pemerintah semakin selektif alat transportasi

udara yang akan dipergunakan untuk menyelenggarakan haji, dan

diharapkan kejadian tersebut tidak terulang kembali. Pada tahun 1974,

Keputusan Presiden menetapkan biaya perjalanan ibadah haji

berdikari sebesar Rp. 556.000, dan pesawat terbang sebesar Rp.

560.000. Pada waktu itu jumlah ibadah haji berdikari kapal laut

sebanyak 15.396 orang dan pesawat udara sebanyak 53.752 orang.

(Nidjam dan AHanan , 2006: 47-48)

Banyaknya problema perjalanan haji dengan kapal laut yang

tidak dapat diselesaikan, termasuk pailitnya PT. Arafat, mulai tahun

1979 pemerintah melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor:

SK- 72/OT.001/Phb79, memutuskan untuk meniadakan pengangkutan

jamaah haji dengan kapal laut dan menetapkan bahwa


26

penyelenggaraan angkutan haji dilaksanakan dengan menggunakan

pesawat udara.

Pada awal penghapusan jamaah haji laut, bangsa Indonesia

kembali ditimpa kedukaan yang luar biasa akibat terjadinya

kecelakaan pesawat udara yang mengangkut jamaah haji untuk kedua

kalinya. Kecelakaan ini juga terjadi di Colombo yang disebabkan oleh

kesalahan navigasi pesawat Loft Leider. Jamaah haji yang wafat

seluruhnya 960 orang, termasuk yang wafat bukan karena kecelakaan

ini. Dengan banyaknya pengalaman dalam penyelenggaraan ibadah

haji pada tahun- tahun sebelumnya, maka pemerintah, dalam hal ini

Menteri Agama, mengkaji ulang penyelenggaraan ibadah haji agar

lebih terjamin. Pada tahun 1979, bersama Menteri Kehakiman,

Menteri Agama mengeluarkan Keputusan tentang penyelenggaraan

Umroh, peraturan ini merupakan cikal bakal dari peraturan

penyelenggaraan ibadah haji. Pada saat itu banyak di antara para

jamaah haji yang mencari jalan pintas akibat gagal melaksanakan

ibadah haji, yakni melaksanakan ibadah umroh lebih dulu kemudian

tinggal sementara untuk menunggu waktu haji tiba. Hal ini banyak

menimbulkan persoalan bagi pemerintah Arab Saudi. Banyak di antara

jamaah haji yang kemudian tidak bisa kembali ke kampung halaman

karena kehabisan bekal (biaya). (Nidjam dan AHanan , 2006: 50-51)

Dasawarsa 1980-an terjadi perkembangan menarik dimana


27

pemerintah mulai memberi peluang (kembali) swasta dalam

penyelenggaraan urusan haji, khususnya untuk pelayanan eksklusif

yang dikenal dengan nama program ONH Plus. Pihak swasta sendiri

menyebut kegiatan itu merupakan sub-sistem atau bagian dari

penyelenggaraan haji oleh pemerintah. Disebut subsistem karena

otoritas mengenai ketentuan perusahaan mana saja, kuota, dan harga

paket ONH Plus masih di tangan pemerintah hingga kini. Selain

melibatkan perusahaan yang bergerak di bidang ONH Plus,

pemerintah juga memberi kesempatan kepada berbagai yayasan,

majelis ta’lim, ormas, milik masyarakat mengorganisir jamaah haji di

lingkungannya. Kegiatan itu tidak lepas dari kontrol pemerintah dan

tetap tergabung dalam paket penyelenggaraan urusan haji yang

dikelola pemerintah (http://www.hamline.edu , 2021) .

Meningkatnya jamaah haji setiap tahunnya dapat dijadikan

sebagai parameter peningkatan pembangunan manusia seutuhnya

dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan beragama. Besarnya

jumlah jamaah haji ini mengakibatkan makin berat pula beban

pemerintah karena penyelanggaraan ibadah haji merupakan kegiatan

yang terus- menerus rutin, teknis dan fungsional, apalagi

meningkatnya taraf hidup dan daya kritis masyarakat akan

menimbulkan tuntutan yang makin tinggi terhadap kualitas pelayanan

ibadah haji.
28

Bertambahnya jumlah jamaah haji menimbulkan suatu

permasalahan tersendiri karena tempat atau wilayah peribadatan haji

di Arab Saudi tetap yaitu Makkah, Mina, Arafah, Muzdalifah dan

Madinah. Wilayah ini juga tidak mungkin akan mampu menampung

jumlah jamaah haji yang terus bertambah dari negara-negara lain. Hal

ini jelas akan membebani masing-masing jamaah haji secara fisik,

seperti kelelahan, kebisingan, serta kemacetan, dan bahkan

kemungkinan besar dapat mengganggu kekhusyukan jamaah haji

dalam melaksanakan ibadah hajinya (Nidjam dan AHanan , 2006: 59-

60).

3. Penyelenggaraan Haji pada Masa Reformasi

Pada masa reformasi tepatnya pada tahun 1999 akhirnya

dimulailah era baru pada penyelenggaraan haji di Indonesia dengan

keluarnya UU No. 17 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah

Haji. Dengan keluarnya Undang-Undang ini diharapkan

Penyelenggaraan Ibadah Haji di Indonesia dapat dilakukan dengan

lebih berkualitas. Pasal 5 UU No. 17 Tahun 1999 mengatur bahwa

”Penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan

pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang sebaik-baiknya melalui

sistem dan manajemen penyelenggaraan yang baik agar pelaksanaan

ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar, dan nyaman

sesuai dengan tuntunan agama serta jemaah haji dapat melaksanakan


29

ibadah secara mandiri sehingga diperoleh haji mabrur” inilah hal yang

dituju dalam Undang-Undang tersebut dalam hal penyelenggaraan

Ibadah Haji, yaitu memberikan pembinaan, pelayanan, dan

perlindungan yang sebaik-baiknya melalui sistem dan manajemen

penyelenggaraan yang baik. Tetapi, apa yang dicanangkan dalam

Undang-Undang ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dari

tahun ke tahun tidak ada gebrakan pembenahan sistem dan manajemen

penyelenggaraan Ibadah Haji yang lebih baik. Hal tersebut diperparah

oleh kejadian pada musim haji tahun 2006 Masehi/1427 Hijriyah

dimana terjadi kelaparan pada jamaah haji reguler disebabkan

keterlambatan yang amat sangat lama dalam menyediakan dan

membawa makanan oleh pihak penyedia katering makanan bagi

jamaah haji reguler.

Dengan berbagai pertimbangan diatas UU nomor 17/1999

di revisi dengan UU nomor 13/2008 yang menegaskan bahwa

Pemerintah dalam hal ini Depag masih menjadi Operator

penyelenggaraan ibadah haji Indonesia. Hal itu tertuang jelas dalam

Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi “Pemerintah sebagai penyelenggara

Ibadah Haji berkewajiban mengelola dan melaksanakan

Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Untuk pencapaian kualitas dalam pelayanan

penyelenggaraan operasional haji, maka dibutuhkan


30

karyawan/pegawai atau dengan kata lain sumber daya manusia yang

professional (mampu bersaing era globalisasi) dan berdedikasi

(mempunyai naluri inovasi, motivasi, pro aktif) yang tinggi, adanya

sistem dan manajemen yang tersusun rapih serta dibutuhkannya

metode pengawasan terhadap institusi terkait yang dilaksanakan

secara efektif.

Di samping itu, terciptanya hubungan kerja yang baik di

antara beberapa unit terkait dalam penyelenggaraan ibadah haji, yaitu

Departemen Agama Pusat, kantor Wilayah Departemen Agama,

Kantor Departemen Kabupaten/Kota, kemudian dengan instansi lain

di luar Departemen Agama seperti Departemen Kehakiman dan HAM,

Departemen Luar Negeri, Departemen Perhubungan, Departemen

Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kesehatan,

lembaga keuangan dan unsur-unsur pemerintahan daerah serta

kedutaan besar Kerajaan Arab Saudi dalam hal ijin masuk (visa) ke

Negara Arab Saudi dan ketentuan tentang penyelenggaraan haji yang

ditetapkan oleh Pemerintah Arab Saudi.

Pelaksanaan Haji di Indonesia pada masa Pandemi

mengalimi dua kali pembatalan yaitu pada tahun 2020 pada masa

Meteri Agama Fachrul Razi, pembatalan ini tertuang pada Keputusan

Menteri Agama Nomor 494 Tahun 2020, serta pembatalan kedua

terjadi pada tahun 2021 melalui keputusan Menteri Agama Yaqut


31

Cholil Qoumas pada 3 Juni 2021. Pembatalan haji yang tertuang

dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 660 Tahun 2021 ini diambil

karena kondisi pandemi Covid-19 yang masih membahayakan (www.

Kompas.co.id, 2021)

D. Kerangka Pikir

Selanjutnya peneliti menyusun kerangka pikir yang berkenaan dengan

judul penelitian ini yaitu: “Mekanisme Pengawasan Ibadah Haji Serta Dampaknya

Terhadap Pembiayaan Dan Pelayanan Haji Di Indonesia

”. Pengawasan Ibadah
Haji

Pembiayaan Pelayanan Haji

Penyelenggaran Haji
Yang Optimal

Gambar. 1 Mekanisme Pengawasan Ibadah Haji Serta Dampaknya


Terhadap Pembiayaan Dan Pelayanan Haji Di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai