Laporan Kasus GERD
Laporan Kasus GERD
Laporan Kasus GERD
Disusun oleh:
Tutor:
dr. Erlina Marfianti, Sp. PD., M. Sc.
IDENTITAS
Nama Nyonya MN
Umur 43 tahun
Jenis kelamin Perempuan
Agama Islam
Suku bangsa Jawa
Pendidikan -
Pekerjaan Swasta
Status perkawinan Menikah
Pasien datang Datang sendiri
sendiri/rujukan
Waktu kunjungan awal -
Alamat Sleman
RIWAYAT PENYAKIT
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DIAGNOSIS KERJA
PENATALAKSANAAN
BAB III
PEMBAHASAN
Beberapa hal yang akan dianalisis dari kebiasaan pasien adalah dari usia,
jenis makanan yang dikonsumsi, dan frekuensi olahraga. Masalah genetik dan
ekonomi tidak disebutkan dalam kasus sehingga tidak dilakukan analisis.
Usia pasien telah memasuki usia rentan terjadinya refluks, yang umumnya
terjadi di atas 40 tahun (Kumar et al., 2010). Pasien tidak memiliki risiko lain
yaitu kehamilan. Kejadian refluks dan gejala terkait terjadi secara seimbang
antara wanita dan pria, sehingga kemungkinan risiko pasien dalam kasus terkena
penyakit ini adalah karena hal selain jenis kelamin (McNally, 2010).
Jenis makanan dan minuman yang sering dikonsumsi pasien adalah sambal
dan juga teh. Sambal atau makanan pedas dapat mengiritasi mukosa esofagus
bagian bawah secara langsung melalui transient receptor potential vanilloid 1
(TRPV 1) (Patcharatrakul et al., 2020). Apabila mukosa telah mengalami
inflamasi sebelumnya, maka makanan pedas akan menyebabkan eksarsebasi
gejala seperti heartburn. Selain iritasi langsung, kandungan capsaicin pada
makanan seperti sambal dapat menyebabkan tertundanya pengosongan lambung
dan meningkatkan akomodasi lambung. Hal ini dapat memprovokasi kejadian
refluks (Choe et al., 2017).
Efek teh terhadap gejala heartburn (nyeri ulu hati dengan sensasi terbakar)
maupun refluks masih diperdebatkan. Secara teori, kandungan teofilin dalam the
dapat menurunkan tonus lower esophageal sphincter (LES) dan meningkatkan
refluks pada dewasa. Risiko erosi pada esofagus pun lebih tinggi pada peminum
teh. Beberapa penelitian menyatakan sebaliknya, yaitu tidak ada kaitan antara
konsumsi teh dengan gejala refluks (Cao et al., 2019).
Gambar 1. Mekanisme nyeri ulu hati atau heartburn (Barlow dan Orlando, 2015).
Perasaan gelisah dapat muncul karena gejala nyeri yang terus menerus namun
juga dapat memperparah gejala yang telah ada. Ketika nyeri dirasakan secara
berkelanjutan, kondisi psikologis pasien dapat terganggu karena stress yang
dialami akibat penyakitnya. Stress yang berujung pada kegelisahan justru dapat
meningkatkan kerusakan sel epitel esofagus dan menurunkan tekanan lower
esophageal sphincter sehingga memicu kejadian refluks untuk terulang. Siklus
ini perlu diputus dengan tatalaksana yang sesuai (Choi et al., 2018).
Gejala lain seperti sulit menelan atau disfagia dapat terjadi karena mekanisme
refleks kontraksi esofagus sebagai pertahanan dari kerusakan epitel yang telah
terbentuk. Kontraksi dan penyempitan esofagus jika terjadi dalam jangka panjang
dapat menimbulkan disfagia, khususnya jika makanan yang dikonsumsi
merupakan makanan padat dan kasar seperti roti atau daging. Naiknya asam
lambung ke bagian bawah esofagus juga dapat menyebabkan rasa yang pahit dan
tidak enak hingga dapat menyebabkan pasien mual dan muntah (McNally, 2010).
Gejala-gejala ini terasa lebih berat saat berbaring karena paparan terhadap refluks
meningkat. Peningkatan ini terjadi akibat tidak adanya gravitasi yang mendorong
asam lambung untuk turun ke lambung. Risiko migrasi ke arah proksimal juga
meningkat saat berbaring, bahkan dapat berujung pada komplikasi pernapasan
(Herbella dan Patti, 2010).
Pasien telah diberikan paracetamol dan ranitidin sebelumnya untuk
meredakan nyeri yang dikeluhkan. Ranitidin merupakan obat golongan antagonis
reseptor H2 yang berfungsi memblokade reseptor pada sel parietal lambung.
Asam lambung dapat berkurang hingga 60%. Pada kasus pasien, ranitidin hanya
memperbaiki gejala secara sementara. Hal ini dapat dikarenakan sifat obat yang
tidak memblokade asam lambung secara sempurna, maupun karena pola hidup
pasien yang tetap tidak diubah (konsumsi makanan dan aktivitas fisik) (Waller et
al., 2014).
Riwayat penyakit dahulu Nyonya MN memiliki hubungan dengan keluhan
yang diderita sekarang. Pasien memiliki riwayat maag yang dipengaruhi pikiran
yang banyak dan makan yang tidak teratur. Keluhan maag akan membaik setelah
diberi antasida. Maag atau gastritis merupakan inflamasi lambung yang
seringkali disebabkan oleh bakteri H. pylori. Kaitan antara kedua penyakit masih
diperdebatkan dan tergantung pada lokasi gastritis. Gastritis yang dominan di
antrum dapat meningkatkan kejadian GERD sehingga penting untuk dilakukan
eradikasi H. pylori. Sebaliknya, eradikasi H. pylori pada gastritis di bagian
korpus justru dapat meningkatkan sekresi asam lambung dan kejadian GERD
(Setiati et al., 2014; Waller et al., 2014).
C. Analisis pemeriksaan fisik dan penunjang
D. Analisis diagnosis
E. Analisis Terapi
Terapi yang diberikan sudah sesuai dengan standar yang ada yaitu pemberian
obat golongan PPI selama 8 minggu. Apabila setelah 8 minggu pasien tidak
mengalami perubahan yang bermakna, maka dapat dinaikkan dosis PPI menjadi
dua kali sehari. Setelah dilakukan peningkatan dosis, apabila tidak terlihat
perubahan, maka dapat dilakukan pilihan terapi bedah maupun endoskopi. (Tanto,
2014; Saputera & Budianto, 2017)
Terapi non farmakologis serta edukasi yang diberikan kepada pasien sudah
tepat, yaitu dengan meninggikan kepala saat posisi berbaring. Hal tersebut akan
menurunkan aliran retrograd yang akan terjadi sehingga meminimalisasi
timbulnya gejala pada pasien (Tanto, 2014; Saputera & Budianto, 2017). Selain
itu, penghindaran makanan tertentu serta pengaturan jadwal makan malam akan
bermaanfaat dikarenakan akan memengaruhi produksi dari asam lambung (Setiati
et al., 2014; Tanto, 2014).
F. Analisis Prognosis
Sebagian besar pasien GERD memiliki prognosis yang baik, begitu pula pada
Nyonya MN. Namun, kekambuhan dapat terjadi pada pasien sehingga
membutuhkan terapi pemeliharaan jangka panjang. Apabila kekambuhan terjadi
terus menerus dan kondisi mendukung, dapat dilakukan intervensi bedah maupun
endoskopi. (Tanto, 2014)
BAB IV
A. Kesimpulan
B. Saran
1. Sebaiknya tetap dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk menegakkan
kondisi pasien.
2. Dilakukan pemantauan terapi terhadap pemberian PPI untuk
meningkatkan dosis atau penggantian terapi pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Fuzi, S. F. et al. 2017. ‘A 1-h time interval between a meal containing iron
and consumption of tea attenuates the inhibitory effects on iron absorption: A
controlled trial in a cohort of healthy UK women using a stable iron isotope’,
American Journal of Clinical Nutrition, 106(6).
Djärv, T. et al. 2012. ‘Physical activity, obesity and gastroesophageal reflux disease
in the general population’, World Journal of Gastroenterology, 18(28).
IDI. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia.
Kumar, V. et al. 2010. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Eight Edit.
Philadelphia: Elsevier Inc.
Li, Z. T. et al. 2018. ‘The role of gastroesophageal reflux in provoking high blood
pressure episodes in patients with hypertension’, Journal of Clinical
Gastroenterology, 52(8).
Patcharatrakul, T. et al. 2020. ‘Acute effects of red chili, a natural capsaicin receptor
agonist, on gastric accommodation and upper gastrointestinal symptoms in
healthy volunteers and gastroesophageal reflux disease patients’, Nutrients,
12(12).
Saputera, M. D. dan Budianto, W. 2017. ‘Diagnosis dan tatalaksana gastroesophageal
reflux disease (GERD) di pusat pelayanan kesehatan primer’, Journal
Continuing Medical Education, 44(5), pp. 329–332.
Setiati, S. et al. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. VI. Jakarta:
InternaPublishing.
Tanto, C. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. 4th edn. Jakarta: Media Eusclapius.
Waller, D. G. et al. 2014. Medical Pharmacology & Therapeutics. Fourth Edi. China:
Saunders Elsevier.