Makalah Minipro
Makalah Minipro
Makalah Minipro
2020-2021
LEMBAR PENGESAHAN MINI PROJECT
Disusun oleh :
NIP :197605222007012005
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut data World Health Organization (WHO), masalah gangguan kesehatan jiwa
adalah masalah yang sangat serius. Pada tahun 2001 WHO menyatakan, paling tidak ada
satu dari empat orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. WHO memperkirakan
ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. Menurut data
Riskesdas tahun 2018, prevalensi rumah tangga dengan anggota rumah tangga gangguan
jiwa skizofrenia atau psikosis naik dari 1,7% menjadi 7%. Prevalensi tertinggi DI
Yogyakarta 10,4 per 1.000 rumah tangga yang mempunyai ART mengidap
skizofrenia/psikosis. Kulon Progo menunjukan data tertinggi DIY yaitu sebesar 19,37 %
dari 4,47% data Riskesdas 2013.
Puskesmas merupakan unit pelayanan kesehatan tingkat pertama yang memiliki fungsi
memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat. Sebagai sarana pelayanan kesehatan
dasar yang paling dekat dengan masyarakat, peran Puskesmas sangat menentukan kinerja
Kabupaten untuk mewujudkan masyarakat sehat di wilayahnya. Prinsip penyelenggaraan
yang diterapkan di Puskesmas adalah upaya kesehatan yang menyeluruh, terpadu,
terjangkau dan bermutu. Program pembangunan kesehatan di Indonesia diprioritaskan pada
upaya peningkatan derajat kesehatan, utamanya pada kelompok yang rentan kesehatan dan
terjadinya masalah sosial salah satu contohnya adalah Gangguan Jiwa.
Upaya Kesehatan Jiwa adalah setiap kegiatan yang berfungsi untuk mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diselenggarakan secara menyeluruh,
terpadu dan berkesinambungan. Upaya kesehatan jiwa pun diharapkan dapat berkerjasama
dengan masyarakat agar dapat turut membangun sistem kesiagaan masyarakat dalam upaya
mengatasi situasi gawat darurat dari aspek non klinis terkait Kesehatan Jiwa. Dalam
pengertian ini tercakup pula pendidikan kesehatan kepada keluarga, masyarakat, pemuka
masyarakat, serta melakukan kemitraan dengan masyarakat serta pembinaan kesehatan
jiwa akan dilakukan oleh pemerintah. Tingginya angka penderita ganguan jiwa dapat
dipengaruhi oleh masih rendahnya pengetahuan masyarakat dalam perawatan kesehatan
jiwa serta pengenalan tanda-tanda gangguan jiwa. Peran aktif petugas kesehatan jiwa
sangat mempengaruhi keberhasilan program kesehatan jiwa.
Penyuluhan tentang kesehatan jiwa sudah banyak dilakukan melalui konsultasi per
orangan atau kasus per kasus yang diberikan petugas kesehatan jiwa. Namun demikian,
kegiatan tersebut terkadang tidak dapat dilaksanakan dengan optimal. Oleh karena itu
diperlukan upaya – upaya yang inovatif demi tercapainya peningkatan derajat kesehatan
Jiwa, terutama dalam mengkaji kasus jiwa dan memonitoring terapi yang diberikan agar
dapat meningkatkan derajat kualitas kesehatan jiwa di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Galur II.
B. Rumusan Masalah
1. Berapa prevalensi orang dengan gangguan jiwa di Kalurahan Nomporejo?
2. Berapa angka kepatuhan berobat penderita gangguan jiwa berat di Kalurahan
Nomporejo?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan jiwa untuk mengatasi masalah kesehatan pada
penderita gangguan jiwa sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui prevalensi orang dengan gangguan jiwa di Kalurahan Nomporejo
wilayah kerja Puskesmas Galur II.
b. Mengetahui angka kepatuhan berobat penderita gangguan jiwa berat di Kalurahan
Nomporejo wilayah kerja Puskesmas Galur II.
D. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Manfaat bagi penulis
Menambah informasi dan wawasan penulis mengenai prevalensi dan angka kepatuhan
berobat penderita gangguan jiwa berat di Kalurahan Nomporejo wilayah kerja Puskesmas
Galur II.
2.2 Scizofrenia
2.2.1 Pengertian
Scizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo yang artinya terbagi
atau terpecah dan phrenia yang berarti pikiran. Jadi, scizofrenia merupakan jiwa yang
terpecah-belah, adanya keretakan atau ketidakharmonisan antara proses berpikir,
perbuatan, dan perasaan.
Scizofrenia merupakan salah satu diagnose medis dari gangguan jiwa yang paling
banyak ditemukan, dan merupakan gangguan jiwa berat (Sarni, 2018). Scizofrenia
merupakan suatu sindrom klinis atau proses penyakit yang mempengaruhi kognisi,
persepsi, emosi, perilaku dan fungsi sosial individu. Penyebab scizofrenia belum
dapat diketahui dengan pasti, namun terdapat beberapa factor yang diperkirakan
menjadi penyebab kondisi scizofrenia, yaitu factor biologis, psikologis, dan
lingkungan.
Faktor biologis disebabkan oleh gangguan umpan balik di otak sehingga
mengakibatkan gangguan proses informasi. Faktor psikologis diantaranya toleransi
terhadap frustasi yang rendah, koping individu yang tifak efektif, impulsi dan
membayangkan secara nyata, tubuh kehidupan, yang menjadikan pasien berperilaku
maladaptive rendah diri, perilaku kekerasan serta kesalahan mempresepsikan
stimulus. Sedangkan factor lingkungan yang mempengaruhi antara lain factor sosial
ekonomi, nutrisi tak memadai, tidak adanya sumber daya untuk menangani stress dan
merasa putus asa untuk mengubah gaya hidup. (Sarni, 2018)
2.2.2 Manifestasi Klinis
Beberapa manifestasi klinis yang dapat muncul pada pasien scizofrenia, adalah :
1. Penampilan dan Perilaku Umum
Penampilan tidak terlalu khas pada pasien scizofrenia. Beberapa pasien
bahkan bisa berpenampilan dan berperilaku seperti orang normal. Namun, pada
pasien scizofrenia kronis biasanya cenderung menelantarkan penampilannya.
Kerapian dan kebersihan diri juga terabaikan. Mereka pun biasanya seringkali
menarik diri secara sosial.
2. Gangguan Pembicaraan
Pada pasien dengan scizofrenia terdapat gangguan pada proses pikir, yang
terganggu adalah asosiasi. Pembicaraan yang sering terjadi adalah berbicara
kalimat yang tidak saling berhubungan, kadang satu ide belum selesai sudah
lompat di ide yang lain, membentuk kata kata baru (neologisme), blocking,
ataupun penggunaan arti simbolik atau terdapat asosiasi bunyi (clang
association).
3. Gangguan Perilaku
Pada pasien dengan scizofrenia biasanya juga terdapat gangguan perilaku,
misalnya penderita diam dan membentuk postur tertentu, tidak mau digerakkan,
tidak mau makan minum, tidak mau berbicara, tidak mau merespon (stupor),
mengamuk (gaduh-gelisah), melakukan hal yang berlawanan dengan apa yang
disuruh (negativisme), meniru kata kata yang diucapkan orang lain (ekholali),
meniru gerakan orang lain (ekhopraksi) ataupun mempertahankan posisi untuk
waktu yang lama (gejala katalepsi).
4. Gangguan Afek
Penderita scizofrenia memiliki kedangkalan respon emosi sehingga
menjadi acuh tak acuh terhadap hal-hal penting untuk dirinya. Selain itu, bisa
terjadi ketidaksesuaian perasaan dengan ekspresi yang muncul, apa yang
seharusnya menimbulkan perasaan gembira, pada penderita timbul rasa sedih
(parathimi). Penderita merasa senang dan gembira, tetapi penderita menangis
(paramimi).
5. Gangguan Persepsi
Pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran. Halusinasi
yang paling sering terjadi adalah halusinasi pendengaran, misalnya mendengar
suara orang, benda, atau siulan yang sebenarnya tidak ada.
6. Gangguan Pikiran
Pasien schizophrenia dapat merakan waham yang tak logis dan aneh.
Waham adalah sesuatu yang salah dan sangat diyakini benar oleh penderita
gangguan jiwa dan diyakini tidak bisa diubah oleh apapun. Waham yang terjadi
dapat berupa waham kebesaran, waham nihilistic, waham kejar, waham dosa, dan
lain sebagainya.
(Maramis et al, 2009)
Skizofrenia jenis ini mempunyai perjalanan penyakit yang cenderung konstan jika
dibandingkan dengan skizofrenia jenis lainnya. Janis skizofrenia ini sering mulai
sesudah 30 tahun. Kepribadian penderita sebelum sakit biasanya tipe skizoid. Mereka
mudah tersinggung, suka menyendiri, agak sombong, dan kurang percaya pada orang
lain. Scizofrenia paranoid biasanya ditandai dengan adanya waham kejar, waham
kebesaran, adanya halusinasi serta perilaku agresif dan bermusuhan.
2. Skizofrenia Hebefrenik
3. Skizofrenia Katatonik
a. Mutisme (tak mau bicara sama sekali), muka tanpa mimik, seperti topeng.
b. Stupor (tak bergerak sama sekali dalam jangka waktu yang lama)
c. Negativisme (menentang bila posisinya diganti)
d. Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga terkumpul di mulut dan
meleleh keluar, air seni dan feses ditahan.
e. Terdapat grimas atau katalepsi
4. Skizofrenia Simpleks
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utaman skizofrenia ini
adalah kedangkalan emosi atau kemunduran kemauan. Gangguan berpikir, waham
dan halusinasi jarang ditemukan. Pada tahap awal penderita mungkin mulai tidak
memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan. Semakin lama
dia makin mundur dari pekerjaannya atau pelajarannya dan akhirnya menjadi
pengangguran. Bila tidak ada yang menolongnya, ia dapat menjadi pengemis ataupun
penjahat.
5. Skizofrenia Residual
Jenis ini adalah keadaan yang kronis dari skizofrenia dengan riwayat minimal satu
episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang ke arah gejala negatif yang
lebih menonjol. Gejala negatif terdiri dari kelambatan gerak, penurunan aktivitas,
perasaan yang tumpul, pasif dan tidak ada inisiatif, jarang berbicara, ekspresi
nonverbal menurun, serta buruknya perawatan diri dan fungsi sosial.
2.2.4 Penatalaksanaan
Terdapat berbagai macam tatalaksana yang dapat diberikan kepada pasien dengan
scizofrenia. Tatalaksana yang diberikan dapat berupa kombinasi satu sama lainnya
dan membutuhkan jangka waktu yang relatif lama. Terapi scizofrenia dapat dengan
pemberian farmakoterapi (antipsikotik) ataupun rehabilitasi psikososial. (Hawari,
2009)
Antipsikotik bekerja dengan memblokir reseptor D2. Antipsikotik generasi
pertama efektif menangani gejala-gejala positif. Sedangkan antipsikotik generasi
kedua efektif dalam menangani gejala negatif. Antipsikotik generasi kedua diketahui
memiliki risiko efek samping ekstrapiramidal yang lebih rendah dibandingkan
antipsikotik generasi pertama (Sinuraya, 2018).
Pada terapi rehabilitasi psikososial dapat berupa terapi individu, terapi kelompok,
terapi keluarga, rehabilitasi psikiatri, latihan ketrampilan sosial ataupun manajemen
kasus (Hawari, 2009). Terapi kognitif dan SST (Social Skills Training) atau pelatihan
keterampilan sosial merupakan komponen penting dalam proses pemulihan serta
dapat berguna untuk menilai stabilitas gejala dan fungsi sosial pada penderita
skizofrenia (Sinuraya, 2018).
WHO merekomendadikan 4 level untuk penanganan masalah gangguan jiwa,
berbasis masyarakat ataupun pada tatanan kebijakan seperti puskesmas dan rumah
sakit.
1. Level keempat adalah penanganan kesehatan jiwa di keluarga.
2. Level ketiga adalah dukungan dan penanganan kesehatan jiwa di masyarakat
3. Level kedua adalah penanganan kesehatan jiwa melalui puskesmas
4. Level pertama adalah pelayanan kesehatan jiwa komunitas.
BAB III
METODE
3.1. Metode
1. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu suatu metode yang digunakan untuk meneliti
pada populasi atau sampel tertentu.
4. Variabel Penelitian
a. Variabel bebas : Anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa.
b. Variabel terikat : Angka kepatuhan berobat.
Episode Bipolar
depresi berat 4%
12%
Skizofrenia
84%
Berdasarkan diagram pie diatas, persentase gangguan jiwa berdasarkan diagnosis adalah
84% skizofrenia, 21% Episode depresi berat, 4% Bipolar. Skizofrenia mempunyai persentase
tertinggi di bandingkan dengan penyakit lainnya.
Skizofrenia dapat menyebabkan hilangnya produktivitas keluarga, gangguan pada ritme
aktivitas keluarga, stigma yang dibebankan masyarakat pada keluarga pasien. Stigma yang
kepada anggota keluarga dan pasien skizofrenia akan memperburuk komunikasi antar anggota
keluarga. Hal ini akan semakin memperberat keluhan yang terjadi (Phillips et al., 2002).
Selain memulihkan pasien, penangangan scizofrenia juga juga bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan keluarga yang
berhubungan dengan proses perjalanan penyakit serta kekambuhan penyakit. Diharapkan
keluarga dapat berperan aktif dalam usaha pencegahan gangguan jiwa. Peran keluarga
diharapkan akan menurunkan kekambuhan atau rawat inap ulang hingga 20% (Syamsulhadi,
2004).
Kurangnya peran keluarga, petugas kesehatan dan masyarakat dapat memperberat
masalah kesehatan jiwa yang terjadi. Masalah kesehatan jiwa dapat menimbulkan dampak sosial
seperti meningkatnya angka kekerasan di rumah tangga, penganiayaan anak, mengurangi
produktivitas, kriminalitas, ataupun penyalahgunaan NAPZA (narkotika psikotropika dan zat
adiktif lainnya). Untuk mencegah hal tersebut, UPTD Puskesmas Galur II mengelompokan kasus
yang mengambil obat rutin di Puskesmas.
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
Berobat Rutin di Rujukan ke Rumah Tidak Berobat Rutin Tidak pernah kontrol
Puskesmas Sakit Rutin di Puskesmas
Berdasarkan grafik diatas, jumlah pasien ODGJ yang berobat di UPTD Puskesmas Galur
II sebanyak 25 orang. 9 orang rutin mengambil obat di Puskesmas, 4 orang rujukan rutin setiap
bulan ke Rumah Sakit bertermu dengan dokter spesialis, 3 orang tidak rutin mengambil obat di
Puskesmas, sedangkan 9 orang tidak pernah kontrol ke RS. Di antara 13 orang pasien yang
mengambil obat rutin ke Puskesmas Galur II, terdapat 4 orang yang terakhir dirujuk dan bertemu
dengan dokter spesialis pada tahun 2020 dan melanjutkan pengobatan di Puskesmas Galur II
karena takut berobat ke rumah sakit. Terdapat 3 orang pasien yang berobat ke Puskesmas Galur
II hanya bila gejala muncul, namun tidak berobat bila tidak bergejala dan merasa sudah sehat.
Terdapat 9 orang pasien yang tidak pernah kontrol ke Puskesmas Galur II karena kurangnya
dukungan keluarga.
Keluarga merupakan lingkungan terdekat dengan penderita scizofrenia. Keluarga yang
tidak dapat beradaptasi dengan penderita scizofrenia akan stress, sehingga tidak dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Kurangnya pengetahuan mengenai gejala dan penyebab
skizofrenia dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya kepedulian keluarga
terhadap kondisi penderita. Hal inilah yang menyebabkan keluarga membutuhkan banyak
informasi mengenai gangguan scizofrenia dan cara mengatasi kekambuhan. Salah satu tujuan
psikoedukatif keluarga adalah dengan menstabilkan lingkungan keluarga dan mendukung
keluarga menggunakan mekanisme yang efektif dalam pendekatan kepada pasien ODGJ.
(Syamsulhadi, 2004)
Keluarga merupakan pendukung utama pasien berperan penting dalam perawatan pasien
scizofrenia. Keluarga mempunyai peran penting sebagai coping resources alami. Seringkali
pasien dipulangkan dalam keadaan remisi parsial dan keluargalah yang setiap hari merawat
pasien. Oleh karena itulah peran keluarga sangat penting dalam membantu pengobatan pasien
skizofrenia. Pengetahuan keluarga mengenai gejala dan apa yang harus dilakukan kepada pasien
scizofrenia sangat penting. Peningkatan pengetahuan akan memaksimalkan peran keluarga agar
dapat mendukung kesehatan pasien. Namun, peran keluarga belum secara optimal dikembangkan
sebagai penangkal stres dalam pelayanan kesehatan jiwa masyarakat di Indonesia (Meichenbaum
& Cameron, 1982; Syamsulhadi, 2004).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Kesimpulan pelakasanaan miniproject di Kalurahan Nomporejo 3Pusat Pelayanan
Kesehatan Primer UPTD Puskesmas Galur II ini adalah
5.2 SARAN
1. KIE pentingnya minum obat secara rutin dan teratur pada ODGJ dan keluarga dan
pemberian instrument pemantauan obat.
2. KIE cara berperilaku dan bersikap terhadap ODGJ serta bagaimana pengenalan dan
penanganan terhadap kekambuhan.
3. Pembentukan UPTD Puskesmas Galur II membentuk tim kegawatdaruratan jiwa
untuk mengakomodir berbagai laporan yang berkaitan dengan ODGJ yang
meresahkan masyarakat.
4. Merencanakan rujuk balik ke dokter spesialis jiwa untuk evaluasi terapi yang
diberikan khususnya ODGJ yang tidak pernah control dan yang berobat tidak teratur.
TINJAUAN PUSTAKA
Hawari 2009. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Edisi I. Salemba: Jakarta
Meichenbaum, D. & Cameron, R., 1982,’Stress inoculation training: toward a general paradigm
for training coping skills’, in Meichenbaum & Jaremko (eds) Stress Reduction and
Prevention, Plenum: New York.
Saputra, F.R., Ranimpi, Y.Y., Pilakoannu, R.T., 2015, Kesehatan Mental dan Koping Strategi di
Kudangan, Kecamtan Delang, Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah: Suatu Studi
Sosisodemografi. Humanits. 2(1):63-74
Sarni, 2018. Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Strategi Koping Pada Pasien
Scizofrenia Di Kota Sungai Penuh Tahun 2017. Indonesia Journal for Health Sciences.
2(1):26-45
Ulfah, 2015, Evaluasi Program Art Therapy Bagi Pasien Dual Diagnosis (NAPZA_Skizofrenia)
di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta. JUrnal Ilmu Kesejahteraan Sosial.
4(1): 56-77
Wardani, I.Y., dewi, F.A., 2018. Kualitas Hidup Pasien Skizofrenia Dipersepsikan Melalui
Stigma Diri. Jurnal Keperawatan Indonesia. 21(1):17-26
Zaini, 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa Masalah Psikososial Di Pelayanan Klinis Dan
Komunitas. Deepublish : Sleman
LAMPIRAN I
LAMPIRAN II
REKOMENDASI RENCANA TINDAK LANJUT