Ular Bukan Katak Bukan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 4

Pelatihan TM 3 matakuliah Bahasa Indonesia

Minggu ke-3

Nama Mahasiswa :
NIM :
Prodi :

Untuk mengembangkan kemampuan membaca pemahaman, di bawah ini


disajikan sebuah wacana untuk dipahami. Bacalah dan kemudian kerjakan
tugas/pelatihan berikut: (1) Tulislah secara ringkas isi wacana tersebut! (2)
Sebutkan maksud dan tujuan penulis! (3) Sebutkan topik utama wacana
tersebut. (4) Bagaimana sikap Anda terhadap isi bacaan tersebut?

Ular Bukan Katak Bukan

Hampir seluruh lembaga pendidikan tinggi yang mengelola disiplin


seni, rata-rata dosennya memiliki latar belakang kesenian. Kebanyakan para
dosen tersebut lulusan pendidikan tinggi seni yang berada di Yogyakarta,
sekarang lebih dikenal Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan
Surakarta yang disebut Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta. Dua
lembaga pendidikan tinggi seni ini memiliki umur tua dibanding dengan
pendidikan tinggi seni lain di Indonesia.
Semangat belajar dari para mahasiswa dan dosen perguruan tinggi
tersebut pada awalnya lebih condong ke jalur kesenimanan. Dengan
demikian produk kelulusannya pun banyak yang memiliki sifat keahlian di
bidang kesenimanan. Setelah dibutuhkan kesejajaran lulusan perguruan
tinggi tersebut dengan lainnya, keilmuan menjadi syarat yang tidak bisa
dielakkan, dan pada saat itu pula dibuka program strata satu (S-1). Dengan
begitu statusnya naik menjadi Institut dan Sekolah Tinggi.
Walaupun lembaga tersebut telah mencetak program kesarjanaan
strata satu, sampai saat ini tidak semua lulusannya menunjukkan mental
kesarjanaan, masih banyak juga yang memiliki mental kesenimanan. Ciri
mental tersebut bisa diketahui dari produk kekaryaannya, biasanya mereka
lebih merasa mantap memiliki produk karya seni dibanding karya tulis.

Bagi yang masih memiliki mental kesenimanan, persoalan yang


muncul kemudian ketika mereka meniti kariernya sebagai dosen di
perguruan tinggi (seni atau nonseni) yang memiliki paradigma baru dalam
mengembangkan seni sebagai sebuah disiplin ilmu. Bagi mereka yang
mengajar di lingkungan perguruan tinggi seni seperti ISI, STSI, IKJ,
mungkin persoalan tersebut tidak begitu terasa karena lingkungan perguruan
tingginya masih mengondisikan mereka untuk menciptakan karya seni
sebagai produk kekaryaannya; berbalik dengan mereka yang berada dalam
lingkungan berbeda (yang menganggap karya seni ‘belum dapat’ disejajarkan
dengan karya ilmiah) akan mengalami kendala cukup serius.
Tuntutan-tuntutan kerja kesehariannya dalam pengajaran, studi
lanjut pascasarjana (yang kesasar), sistem pengumpulan angka kredit
kepangkatan yang cenderung mengacu pada karya-karya ilmiah, sikap apatis
akibat kondisi narima setelah diangkat sebagai dosen atau pegawai negeri
yang ‘merasa’ gajinya cukup untuk kehidupan keluarga, dan sebagainya,
disadari atau tidak semuanya itu akan menjebak mereka dalam kondisi
perubahan.
Setidaknya ada tiga dampak yang dapat mempengaruhi kondisi
perubahan tersebut, yaitu:
1. Masih tetap konsisten atas profesi kesenimanannya dengan
memperkaya pengetahuan lewat persoalan baru yang dihadapi.
Kelompok ini adalah kelompok yang tergolong produktif, mampu
melahirkan karya-karya seni lebih kreatif, inovatif dengan
memperdalam pemahaman makna dari fenomena yang dihadapi
tersebut untuk diangkat sebagai referensi karya-karya yang dilahirkan.
Pada akhirnya kemantapan dan kematangan konsep kesenian semakin
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
2. Meningkatkan kebiasaan berkarya seni dengan
mengalihkan karya-karya dalam bentuk karya ilmiah yang bermutu.
Kelompok ini tidak lagi memproduksi karya lewat karya seni, mereka
lebih tertarik hal baru yang mereka temukan atas fenomena yang
dihadapi. Karena merupakan pendalaman awal dari kebiasaannya,
maka hasil yang diperoleh secara kualitas biasanya relatif belum
banyak memuaskan pihak lain, kecuali bagi yang memang memiliki
kekuatan dan kemauan keras.
3. Kelompok ketiga melanda lingkungan kita, apakah yang
harus kita perbuat? Mungkin, sebaiknya kita harus cepat-cepat
mengambil langkah represif guna menangkal ‘virus’ tersebut, sehingga
tidak seperti yang dikatakan dalam peribahasa ular bukan katak pun
bukan, kita telah kehilangan identitas diri. Betulkah kita kehilangan
identitas profesi? (dikutip dari Jurnal Prasasti: Peni Puspita, 2002).

Jawaban:
1. Hampir seluruh lembaga pendidikan tinggi yang mengelola disiplin
seni, rata-rata dosennya memiliki latar belakang kesenian.
Kebanyakan para dosen tersebut lulusan pendidikan tinggi seni
Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (STSI) Surakarta. Semangat belajar dari para mahasiswa
dan dosen perguruan tinggi tersebut lebih condong ke jalur
kesenimanan. Walaupun lembaga tersebut telah mencetak program
kesarjanaan strata satu, sampat saat ini tidak semua lulusannya
menunjukkan mental kesarjanaan, masih banyak juga yang
memiliki mental kesenimanan. Bagi yang masih memiliki mental
kesenimanan, persoalan yang muncul kemudian ketika mereka
meniti karirnya sebagai dosen di perguruan tinggi.
Tuntutan-tuntutan kesehariannya dalam pengajaran, studi lanjut
pascasarjana (yang kesasar), sistem pengumpulan angka kredit
kepangkatan yang cenderung mengacu pada karya-karya ilmiah,
sikap apatis akibat kondisi narima setelah diangkat sebagai dosen
atau pegawai negeri yang ‘merasa’ gajinya cukup untuk kehidupan
keluarga, dan sebagainya, disadari atau tidak semuanya itu akan
menjebak mereka dalam kondisi perubahan.
Setidaknya ada tiga dampak yang dapat mempengaruhi kondisi
perubahan tersebut, yaitu:
a.       Masih tetap konsisten atas profesi kesenimananyadengan
memperkaya pengetahuan lewat persoalan baru yang dihadapi.
b.      Meningkatkan kebiasaan berkarya seni dengan mengalihkan
karya-karya dalam bentuk karya ilmiah yang bermutu.
c.       Melanda lingkungan kita, apakah yang harus kita perbuat?

2. Penulis membuat wacana tersebut untuk membahas tentang


mahasiswa lulusan lembaga pendidikan tinggi seni yang kesulitan
dalam menentukan identitas diri(sebagai seorang seniman) dan
identitas profesi(sebagai seorang guru seni) mereka dalam
kehidupan pasca-kuliah. Sehingga penulis mengaitkan ini dengan
peribahasa ular bukan katak bukan.
3. Topik utama wacana tersebut adalah lembaga pendidikan tinggi
seni yang kesulitan dalam menentukan identitas diri(sebagai
seorang seniman) dan identitas profesi(sebagai seorang guru seni)
mereka dalam kehidupan pasca-kuliah.

4. Menurut saya, para lulusan pendidikan tinggi seni bisa saja akan
merasa kesulitan dan kebingungan mengenai krisis identitas
mereka. Ya, identitas mereka sebagai seorang yang berjiwa seniman
dan juga seorang pengajar seni. Ini bukanlah suatu hal yang mudah
bagi mereka, karena mereka harus melakukan adaptasi-adaptasi
baru terhadap diri mereka sendiri. Seni itu sifatnya bebas dan
terbuka, namun dalam pembelajaran tentang seni tentu saja agar
sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka harus ditetapkan
batasan-batasan dalam pembelajarannya(kurikulum,dsb). Sebagai
seorang seniman mereka akan membuat suatu karya, namun
sebagai seorang pengajar seni mereka akan membantu membuat
suatu karya. Hal tersebut tentulah membuat perbedaan yang sangat
signifikan bagi mereka yang berjiwa seniman. Dan tentu saja akan
sangat sulit bagi mereka jika mereka tidak mempunyai jiwa
seniman yang dibarengi dengan adanya mental kesarjanaan.

Anda mungkin juga menyukai