Ringkasan Buku Landasan Pendidikan Konse-Dikonversi
Ringkasan Buku Landasan Pendidikan Konse-Dikonversi
Ringkasan Buku Landasan Pendidikan Konse-Dikonversi
Dengan dasar diatas, seorang pendidik perlu pandangan yang luas, sehingga
memiliki pemahaman yang mendalam terkait dengan beragam konsep
pendidikan. Peristiwa memilah, memilih, dan menerapkan beragam teori
pendidikan menjadi bagian yang kerap dilakukan oleh seorang pendidik. Selain
itu, mengkaji dan menentukan keberpihakan pada beragam aliran dari
beberapa tokoh pendahulu juga merupakan bagian yang senantiasan dilakukan
oleh seorang pendidik yang berkeinginan memberikan layanan yang terbaik
bagi peserta didiknya.
Semua yang disebutkan di atas menjadi perhatian utama buku ini. Penyusunan
bab demi bab telah disesuiakan dengan kaidah-kaidah Tekonologi Pendidikan,
sehingga aneka materi yang disajikan menjadi mudah dipahami. Dengan
demikian tidak hanya kalangan akademisi yang dapat mengambil manfaat,
melainkan juga masyarakat luas yang peduli pendidikan mampu mendapatkan
gambaran dan menuai kandungan pengetahuan yang ada di dalamnya.
HAKIKAT PENDIDIKAN
A. Pendidikan
Ringkasan Bab I Untuk memahami pendidikan, ada dua istilah yang dapat mengarahkan pada
pemahaman hakikat pendidikan, yakni kata paedagogie dan paedagogiek.
Pandagogie bermakna pendidikan, sedangkan paedagogiek berarti ilmu
pendidikan (Purwanto, 1995:3).
Secara estimologik, perkataan paedagogie berasal dari bahasa yunani, yaitu
paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak. Paidagogos adalah hamba
atau orang yang pekerjaannya menghantar dan mengambil budak-budak pulang
pergi atau antar jemput sekolah.
Perkataan untuk pedagogi yang juga berasal dari bahasa yunani kuno juda
dapat dipahami dari kata “paid” yang bermakna anak, dan “ogogos” yang
berarti membina atau membimbing. Apa yang dipraktikkan dalam pendidikan
selama ini adalah konsep pedagogi, yang secara harfiah adalah seni mengajar
atau seni mendidik anak-anak (Muis Sad Imam, 2004:5).
B. Mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka
Kata sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan
mendidik dan kebahagian setinggi-tingginya.
adalah kata Untuk memahami makna mendidik dapat dibandingkan langsung dengan
kunci dari makna mengajar. Kata mengajar yang kita kenal dapat dimaknai sebagai
pendidik. menyajikan bahan ajar tertentu berupa seperangkat pengetahuan, nilai, dan
Mengingat hal atau deskripsi keterampilan kepada seseorang atau sekumpulan orang dengan
itu, sangat maksud agar pengetahuan yang diperlukannya sekarang atau untuk pekerjaan
penting untuk yang akan dijalaninya tumbuh, sehingga ia dapat mengembangkan atau
dipahami meningkatkan inteligensinya secara intelektual.
hakikat Adapun mendidik memerlukan tanggung jawab lebih besar daripada
mendidik yang mengajar. Mendidik ialah membimbing pertumbuhan anak, jasmani maupun
bermakna
luhur dalam
proses
pendidikan.
Mendidik
menurut
Langeveld
adalah
mempengaru
hi dan
membimbing
anak dalam
usahanya
mencapai
kedewasaan.
Menurut
tokoh
pendidikan
yang tidak
asing lagi bagi
Indonesia,
yaitu Ki Hajar
Dewantara
mengatakan,
mendidik
rohani dengan sengaja, bukan saja untuk kepentingan pengajaran sekarang
melainkan utamanya untuk kehidupan seterusnya di masa depan (Rasyidin,
2007:34).
D. Tujuan Pendidikan
Plato mengatakan bahwa tujuan pendidikan sesungguhnya adalah
penyadaran terhadap self knowing dan self realization kemudian inquiry dan
reasoning ang logic. Jadi, di sini jelas bahwa tujuan pendidikan memberikan
penyadaran terhadap apa yang diketahuinya, kemudian pengetahuan tersebut
harus direalisasikan sendiri dan selanjutnya mengadakan penelitian serta
mengetahui hubungan kausal, yaitu alasan dan alur pikirnya.
Ahli filasat lain seperti Aristoteles mengatakan bahwa tujuan pendidikan
penyadaran terhadap self realization, yaitu kekuatan efektif (virtue) kekuatan
untuk menghasilkan (efficacy) dan potensi untuk mencapai brpikir rasional.
Menurut Dewey, tujuan pendidikan ialah mengembangkan seluruh potensi yang
dimiliki oleh peserta didik sehingga dapat berfungsi secara induvidual dan
berfungsi sebagai anggota masyarakat melalui penyelenggaraan pendidikan
dan pengajaran yang bersifat aktif, ilmiah, dan memasyarakat serta berdasarkan
kehidupan nyata yang dapat mengembangkan jiwa, pengetahuan, rasa
tanggung jawab, keterampilan, kemauan, kehausan budi pekerti.
A. Empirisme
Aliran empirisme merupakan aliran yang mementingkan stimulasi eksternal
dalam perkembangkan manusia. Aliran ini menyatakan bahwa perkembangan
anak tergantung pada lingkungan, sedangkan pembawaan yang dibawanya dari
semenjak lahir tidak dipentingkan.
Tokoh utama aliran ini adalah filsuf Inggris bernama John Lock yang
menggembangkan paham Rasionalisme pada abad ke-18. Teori ini mengatakan
bahwa anak yang lahir ke dunia dapat diumpamakan seperti kertas putih yang
kosong yang belum ditulisi atau dikenal dengan istilah “tabularasa” (a blank
sheet of paper).
Menurut pandangan Empirisme (atau dikenal juga sebagai
environmentalisme), pendidikan memegang peranan yang sangat penting sebab
pendidik menyediakan lingkungan yang sangat ideal kepada anak-anak.
Aliran Empirisme dipandang sebagai aliran yang sangat optimis terhadap
pendidikan, sebab aliran ini hanya mementingkan peranan pengalaman yang
diperoleh dari lingkungan. Aliran ini masih menggangap manusia sebagai
manusia sebagai makhluk yang pasif, mudah dibentuk atau direkayasa, sehingga
lingkungan pendidikan dapat menentukan segalanya.
B. Nativisme
Paham ini menentang paham Empirisme yang dikemukakan John Lock. Nativ
(dari bahasa latin) memiliki arti terlahir. Menurut paham ini, dengan tokohnya
seorang filsuf Jerman Schopenhauer (1788-1860), dikatakan bahwa anak-anak
yang lahir ke dunia sudah memiliki pembawaan atau bakatnya yang akan
berkembang menurut arahnya asing-masing. Pembawaan tersebut ada yang
baik dan ada pula yang buruk.
Pendidikan yang tidak sesuai bakat dan pembawaan anak didik tidak akan
berguna untuk perkembangan anak itu sendiri. Singkatnya, aliran Nativisme
menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan,
termasuk faktor pendidikan kurang berpengaruh terhadap pendidikan anak.
Dengan kata lain, pendidikan, lingkungan masyarakat, dan orang tua tidak
berpengaruh terhadap perkembangan anak karena setiap anak akan
berkembang sesuai pembawaannya, bukan oleh kekuatan_kekuatan dari luar.
C. Naturalisme
Paham Naturalisme dipelopori oleh seorang filsuf Prancis J.J. Rousseaue yang
muncul pada abad ke-18. Nature dalam bahasa latin memiliki makna Alam.
Berbeda dengan Schopenhaeuer, Rousseaue berpendapat setiap anak yang
baru dilahirkan pada hakikatnya memiliki pembawaan baik. Namun pembawaan
baik yang terdapat pada setiap anak itu akan berubah sebaliknya karena
dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan tersebut dapat berupa, lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah, atau lingkungan masyarakat di sekitar dimana
anak tumbuh dan berkembang.
Dengan demikian, menurut Rousseauer agar seorang anak dapat tumbuh dan
berkembang menjadi anak yang baik, baik tersebut harus diserahkan kepada
alam. Kekuatan alam yang akan mengajarkan kebaikan-kebaikan yang terlahir
secara alamiah sejak kelahiran anak tersebut.
D. Konvergensi
Konvergensi artinya titik pertemuan. Pelopor aliran Konvergensi adalah
William Stern (1871-1939), seorang ahli ilmu jiwa berkebangsaan Jerman. Ia
mengatakan bahwa seseorang terlahir dengan pembawaan baik dan juga
dengan pembawaan buruk. Aliran ini menyampaikan bahwa bakat dibawa pada
waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya lingkungan yag
sesuai dengan perkembangan bakat itu. Sebaliknya, lingkungan yang baik pun
sulit menggembangkan potensi anak secara optimal apabila tidak terdapat
bakat yang diperlukan bagi perkembangan yang diharapkan anak tersebut.
Dengan demikian, paham ini menggabungkan antara pembawaan sejak lahir
dan lingkungan yang menyebabkan anak mendapatkan pengalaman.
William Stern menjelaskan pemahamannya tentang pentingnya pembawaan
dan lingkungan itu dengan perumpamaan dua garis yang menuju ke satu titik
pertemuan.
Ringkasan Bab TEORI PENDIDIKAN
III
A. Behaviorisme
Behaviorisme adalah posisi fiosofis yang mengatakan bahwa untuk menjadi
ilmu pengetahuan, psikologi harus memfokuskan perhatiannya pada sesuatu
yang bisa diteliti lingkungan dan perilaku daripada fokus pada apa yang tersedia
dalam individu persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, berbagai citra, perasaan-
perasaan , dan sebagainya.
Aliran behavioris didasarkan pada perubahan tingkah laku yang dapat
diamati. Dalam klasikal yang membentukgerak refleks dimulai dengan stimulus yang belum
aliran ini menjadi kebiasaan (unconditioned stimulus) dan respons yang belum menjadi
tingkah laku kebiasaan (unconditioned response). itulah menurut Pavlov sebaga gerak refleks.
dalam belajar Kemudian, Pavlov menjelaskan bahwa pada bagian berikutnya seseorang
akan berubah yang telah memiliki gerak resfleks itu menggabungkannya dengan stimulus
kalau ada netral dengan cara mempresentasikannya bersama stimulus yang belum
stimulus dan menjadi kebiasaan .setelah melakukan sejumlah pengulangan, stimulus netral
respons. Dalam dengan sendirinya akan mendapat respons. Pada titik ini stimulus netral
aliran behavior, dinamakan kembali menjadi stimulus yang sudah menjadi kebiasaan
faktor lain yang (conditioned stimulus) dan respons disebut respons yang sudah menjadi
penting adalah kebiasaan (conditioned respons).
reinforcerment Perangkat istilah lain yang berasal dari Pavlov adalah sistem sinyal pertama
(penguatan), dan kedua. Sistem sinyal pertama terjadi pada saat stimulus yang sudah
yaitu menjadi kebiasaan (sebuah bel) bertindak sebagai “sinyal” pada peristiwa
penguatan penting yang terjadi, yakni stimulus yang tidak menjadi kebiasaan (daging).
yang dapat sistem sinyal kedua terjadi ketika simbol-simbol yang berubah-ubah datang
memperkuat menghasilkan stimulis, sebagaimana yang terjadi dalam bahasa manusia.
respons. Tokoh 2. Burrhus Frederic Skinner
aliran Asas operant conditioning B.F Skinner dimulai dalam tahun 1930-an yakni
Behaviorisme
sebagai berikut
:
1. Ivan
Petrovich
Pavlov
Untuk
menjelaskan
pemahaman
konsepnya,
penjelasan
sederhana
konsepnya
dapat
dijelaskan
sebagai
berikut.
Pengondisian
Pavlov atau
pada waktu keluarnya teori-teori Stimulus-Respons (S-R).
Skinner tidak sependapat dengan pandangan S-R dan penjelasan refleks
bersyarat yang menyebutkan “stimulus terus memiliki sifat-sifat kekuatan yang
tidak mengendur.
Skinner menjalankan prosedur yang ketat untuk mempelajari tingkah laku. Ia
berpendirian, psikologi dapat menjadi suatu ilmu hanya melalui studi tingkah
laku.
Dengan dasar pemahaman tentang belajar, tingkah laku, serta hubungannya
yang erat dengan lingkungan, Skinner menyampaikan asumsi-asumsinya
membentuk landasan untuk operant conditioning yang kemudian dijadikan
sarana menggugat kondisionig klasik, Pavlov.
Masalah yang terjadi pada kondisioning Tipe S ini ilah rentangan tingkah laku
yang dihasilkan itu terbatas. Stimulus yang berkaitan dengan tingkah laku yang
kompleks seperti melukis atau menyanyikan lagu tidak dapat ditemukan.
Tingkah laku semacam itu tidak keluar oleh stimulus tertentu. Tingkah laku yang
demikian dinamakan respons emisi (emitted responses). Sementara respons ini
bertindak mengenai lingkungan dan menghasilkan konsekuensi berupa pujian,
tepuk tangan, atau uang. Respons semacam ini beroperasi terhadap lingkungan
dan dinamakan operant.
3. John Broadus Watson
Menurut pandangan Watson, Behaviorisme harus menerapkan teknik-teknik
penyelidikan binatang, yaitu conditioning untuk mempelajari manusia. Watson
juga percaya bahwa kepribadian orang itu berkembang melalui conditioning
berbagai refleks. Ia berpendirian bahwa manusia waktu lahir hanya memiliki
tiga respons emosi , yaitu takut, marah, dan sayang. Setelah itu, bergantung
pada usia; anak kecil akan menangis, terjatuh, atau kabur. Dalam lingkungan
yang wajar, respons takut dapat disaksikan setelah bunyi ribut yang keras; atau
pada bayi yang tiba-tiba kehilangan topanganyang mendukungnya. Dengan
demikian, menurut Watson, kehidupan emosi yang kompleks dari manusia
dewasa itu merupakan hasil dari conditioning tiga respons dasar tersebut pada
pelbagai keadaan. Dalam gaya persuasifnya, ia memberikan pernyataan tentang
conditioning.
4. Clark Leonard Hull
Konsep sentral dalam teorinya berkisar pada kebutuhan biologis dan
pemuasan kebutuhan, hal yang penting bagi kelangsungan hidup. Oleh Hull,
kebutuhan dikonsepkan sebagai dorongan (drive) seperti lapar, haus, tidur,
hilangnya rasa nyeri, dan sebagainya. Stimulus yang disebut stimulus dorongan
(SD) dikaitkan engan dorongan primer dan karena itu mendorong timbulnya
tingkah laku.
Penguatan tingkah laku juga dimasukkan dalam teori, tetapi penguatan
merupakan kondisi biologis. Pemuasan kebutuhan biologis disebut reduksi
dorongan (drive reduction) memperkuat pautan antara stimulus dorongan dan
respons.
Teori Hull dikarakteristikkan dengan operasionalisasi sangat ketat terhadap
berbagai variabel dan presentasi matematis yang terkenal.
5. Edwin Ray Guthrie
Guthrie membedakan gerakan dengan tindakan. Gerakan ialah pengurutan
urat, sedangkan tindakan adalah gabungan dari gerakan-gerakan.
Mengenai penguatan tingkah laku, itu bukan faktor yang penting. Belajar
terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus dan
tidak ada respons lain yang dapat terjadi.
Guthrie mendapati pentingnya hukuman dalam mengubah tingkah laku. Jika
diberikan secara tepat bersama dengan stimulus yang menimbulkan tingkah
laku yang tidak patut , maka hukuman dapat menyebabkan subjek berbuat
sesuatu yang lain.
Mengasosiasi stimulus-respons secara tepat itu merupakan inti dari saran
Guthrie kepada guru. Siswa harus dibimbing melakukan apa yang dipelarinya.
Dalam mengelola kelas, guru diperingatkan agar tidak ,memberikan tugas
atau perintah mungkin akan diabaikan anak.
6. Edward Lee Thorndike
Landasan teori Thorndike mula-mula diletakkan dalam eksperimen-
eksperimen yang dilakukannya dengan binatang. Penelitian dirancang untuk
menentukan apakah binatang itu memecahkan masalah dengan jalan berpikir
ataukah melalui suatu proses yang begitu mendasar sifatnya.
Terkait dengan belajar, Thorndike menyampaikan tiga hukum belajar yang
utama dan itu diturunkan dari hasil penelitian. Ketiga hukum tersebut dalam
hukum efek, hukum latihan, dan hukum kesiapan.
B. Kognitivisme
Kerangka kerja atau dasar pemikiran dari teori pendidikan kognitivisme
adalah dasarnya rasional. Teori kognitivisme berusaha menjelaskan dalam
belajar bagaimana orang-orang berpikir. Oleh karena itu, dalam aliran
kognitivisme lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu
sendiri.
1. Jean Piaget
Terkait dengan penelitiannya, Jean Piaget pernah mengatakan bahwa sejak
usia balita seseorang telah memiliki kemampuan tertentu untuk menghadapi
objek-objek yang ada disekitarnya. Kemampuan ini memang sangat sederhana ,
yakni dalam bentuk kemampuan sensor-motorik, namun dengan kemampuan
inilah balita tadi akan mengeksplorasi lingkungannya dan menjadikannya dasar
bagi pengetahuan tentang dunia yang akan dia peroleh kemudian , serta akan
berubah menjadi kemampuan-kemampuan yang lebih maju dan rumit.
Kemampuan sdisebut piaget sebagai skema.
Dalam penelitiannya terhadap anak-anak, piaget mencatat adanya periode
dimana asimilasi lebih dominan, periode dimana akomodasi lebih dominan, dan
periode dimana keduanya mengalami keseimbangan.
2. Jerome Bruner
Seperti halnya John Dewey, Bruner menggambarkan orang yang
berpengetahuan itu sebagai seseorang yang terampil dalam memecahkan
masalah. Artinya , orang yang berpengetahuan itu mampu berinteraksi dengan
lingkungan delam menguji hipotesis dan menarik generalisasi.
Menurut Bruner, derajat perkembangan kognitif itu ada tiga tahap. Tahap
pertama, enaktif, merupakan representasi pengetahuan dalam melakukan
tindakan. Tahap kedua, ikonik, yakni perangkuman bayangan visual. Tahap
ketiga dan yang paling maju adalah refresentasi simbolik. Pada bagian ini
digunakan kata-kata dan lambang-lambang lain untuk melukiskan pengalaman.
Dengan dasar itu pula, Bruner menyampaikan struktur yang mendasar dari
mata ajaran yang disebut konsep-konsep penatur harus diindentifikasi dan
digunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum.
C. Konstruktivisme
Kaitannya dengan pembelajaran , menurut teori konstruktivisme yang
menjadi dasar bahwa siswa memperoleh pengetahuan adalah karena keaktifan
siswa itu sendiri. Konsep pembelajran menurut teori konstruktivisme adalah
suatu proses pembelajaran yang mengondisikan siswa untuk melakukan proses
aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru
berdasarkan data.
D. Teori Belajar Humanistik
Teori belajar yang humanistik pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk
memanusiakan manusia. Dengan kata lain, si pembelajar dalam proses
belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai mencapai
aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
1. Tokoh-tokoh Teori Belajar Humanistik
a. Arthur W. Combs
Makna adalah konsep dasar yang sering digunakan dalam teori belajar
humanistik. Dengan demikian, belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu.
Guru tidak dapat memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan
dengan kehidupan mereka.
Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi
bahwa siswa mau belajar apabila materi pelarannya disusun dan sajikan
sebagaimana mestinya.
b. Abraham Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua
hal: (1) suatu usaha yang positif untuk berkembang dan , (2) kekuatan untuk
melawan atau menolak perkembangan itu. Maslow mengemukakan bahwa
individu berprilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat
hierarkis.
c. Carl Rogers
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan
experiential (pengalaman atau signifikansi). Experiential Learning menunjuk
pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential
learning mencakup: keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi
oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.
Menurut Rogers, yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah
pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dalam pembelajaran.
2. Aplikasi Teori Belajar Humanistik
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada roh atau spirit selama proses
pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru
dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa
dengan memberikan motivasi terkait dengan kesadaran mengenai makna
belajar dalam kehidupan siswa. Guru memberikan fasilitas pengalaman balajar
siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaraan.
B. Pemahaman Multikultural
Multikultural berarti beranega ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan
(2002), akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan
yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia.
Berdasarkan observasi, untuk menanamkan kecintaan budaya lokal miliknya
sendiri cukup sulit. Telah ada mata pelajaran Muatan Lokal yang memuat cerita-
cerita rakyat daerah setempat, namun dirasakan juga kurang efektif untuk
menanamkan cinta budaya sendiri.
Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri dibangun dalam beragam
perbedaan suku dan bahasa. Yang menjadikan negara ini kaya akan kebudayaan
dan punya karakteristik dibandingkan negara-negara lain.
Namun disayangkan, kondisi yang terjadi sekarang adalah degradasi akan rasa
kebangsaan dan kebanggaan itu sendiri.
C. Multikulturalisme
Apabila dikaitkan dengan pendidikan multikultural (multicultural education),
multikulturalisme merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan
keragaman latar kebudayaan dari peserta didik sebagai salah satu kekuatan
untuk membentuk sikap multikultural.
Untuk dapat menghargai keragaman etnis, budaya, dan agama diperlukan
beberapa prasyarat. Komarudin Hidayat (2004) menyampaikan setidaknya ada
lima hal yang perlu diperhatikan agar sikap bijak terkait pemahaman
keragaman ini bisa capai.
Pertama, secara teologis-filosofis diperlukan kasadaran dan kayakinan bahwa
setiap individu dan kelompok etnis itu unik, sehingga tumbuh pula keyakinan
bahwa dalam keunikannya masing-masing memiliki kebaikan universal yang
terbungkus dalam wadah budaya, bahasa, dan agama yang beragam dan
bersifat lokal.
Kedua, oarang secara psikologis memerlukan pengondisian agar mempunyai
sikap inklusif dan positif terhadap orang lain atau kelompok yang berbeda.
Ketiga, desain kurikulum pendidikan dan kultur sekolah harus dirancang
sedemikian rupa, sehingga anak didik mangalami secara langsung makna
multikultural dengan panduan guru yang siap dan matang.
Keempat, pada tahap awal hendaknya diutamakan untuk mencari persamaan
dan nilai-nilai universal dari keragaman budaya dan agama yang ada, sehingga
aspek-aspek yang dianggap sensitif dan mudah menimbulkan konflik tidak
menjadi isu yang dominan.
Kelima, dengan pelbagai metode kreatif dan inovatif hendaknya nilai-nilai
luhur pancasila disegarkan kembali dan ditanamkan kepada masyarakat, dan
peserta didik khususnya agar sense of citizenship dari sebuah negara-negara
semakin kuat.
D. Pendidikan Toleransi Sebagai Wahana Rekonsiliasi Sosial
Secara psikologis, pendidikan toleransi dan empati mampu memperhalus
sensibilitas manusia, membuatnya menyadari eksistensi dirinya sebagai bagian
kecil dari sistem sosial dan kosmos yang lebih besar. Dengan demikia, melalui
toleransi dan empati, manusia menyerap perasaan dan pengalaman kehidupan
orang lain yang berasal dari ranah geopolitik, geopolitik, geokultural, dan
geoetnis berbeda.
E. Sekolah Berorientasi Multikultural
Komarudin Hidayat (2004) mengajukan prinsip yang harus dipahami guru
untuk mengarahkan sekolah dengan kultur yang berorientasi multikultural,
sebagai berikut.
1. Setiap Anak adalah Istimewa
Guru harus memandang setiap peserta didik adalah unik, istimewa,dan
terlahir dengan bakat yang berbeda-beda.
2. Pendekatan “Multi-Intelligences”
Sekolah yang ideal adalah sekolah yang mendukung multi-intelligences
peserta didik.
3. “Active Learning”
Jika peserta didik terlatih bersikap asertif dan komunikatif, maka proses
dialog antarsesama teman akan tumbuh tanpa harus brsikap agresif dan
menyakiti yang lain.
4. Universalitas Agama
Isu perbedaan agama sangat sensitif, sementara perkembangan sosial justru
semakin kepada pluralitas pemeluk agama.
5. Semangat Kemanusian dan Keindonesiaan
Untuk menjaga identitas diri tanpa harus bersikap eksklusif sejak dini peserta
didik hedaknya diperkenankan dan dibiasakan memahami dan menghayati nilai-
nilai kemanusiaan serta cinta bangsa.
Dari apa yang diuraikan di atas, salah satu kuncinta adalah bagaimana
mambangun kultur sekolah (school culture) yang mendorong pada kesadaran
anak untuk berpihak pada saudara-saudaranya.
Ringkasan Bab MUTU PENDIDIKAN
V
Tanda tangan
Murti Sari
16004058