Makalah Penginderaan Jauh Mitigasi Bencana Erupsi Gunungapi
Makalah Penginderaan Jauh Mitigasi Bencana Erupsi Gunungapi
Makalah Penginderaan Jauh Mitigasi Bencana Erupsi Gunungapi
UNIVERSITAS TADULAKO
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK SIPIL
PROGRAM STUDI S1 TEKNIK GEOLOGI
DIBUAT OLEH :
PALU
2020
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................i
BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................1
3.1. Kesimpulan........................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA
i
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
DASAR TEORI
2
tipe gunungapi aktif, yaitu tipe Tambora 1815 (letusan kaldera), Merapi (kubah
lava), Agung (kawah terbuka), Papandayan (runtuhan dinding kawah), Batur
(pascakaldera), Sangeangapi (aliran lava), dan Anak Krakatau (gunung api bawah
laut). Penjelasan masing-masing tipe adalah sebagai berikut:
1. Letusan kaldera (Gunung Tambora, Tahun 1815), Diperlukan waktu yang
cukup panjang(ratusan tahun) untuk perulangan letusan dengan karakter yang
sama (kaldera). Letusan kaldera biasanya disertai dengan aliran awan
piroklastika dalam jumlah besar (beberapa km3). Aliran piroklastik (awan
panas letusan) merupakan ancama paling merusak dan membunuh karena
terjadi bersamaan dengan letusan gunungapi dan mempunyai tenaga mekanik
(hempas) yang sangat besar, ditunjang oleh gaya gravitasi (meluncur di
lereng), hingga mencapai kecepatan lebih dari 60 km/jam serta mempunyai
suhu mencapai 8000C (magmatik).
2. Pasca letusan kaldera, letusan tipe ini umumnya menghasilkan lontaran bom
volkanik bertekstur scoria (tipe Stromboli) yang tersebar dalam radius yang
tidak terlalu luas dan membentukkerucut scoria atau kerucut sinder (cinder-
cone). Periode letusan umumnya relatif pendek, kurang dari 10 tahun.
3. Runtuhan dinding kawah, contoh gunung api yakni Gunung Papandayan
tahun 1772 dan 2002, memiliki bahaya awan panas letusan.
4. Danau kawah, dengan acuan kejadian letusan Gunung Kelud tahun 1919.
Dengan potensi bahaya letusan awan panas, lahar letusan dan lahar hujan.
5. Guguran lava pijar, umumnya tipe ini mempunyai volume pasokan magma
dalam jumlah tertentu, sehingga akan terjadi erupsi periodic, selaras dengan
volume pasokan magma. Gunung Merapi di Jawa Tengah mewakili tipe
guguran lava pijar. Letusan tipe Merapi mampu membangun system kubah
lava, yang bisa menimbulkan guguran awan panas/ kubah lava.
6. Kawah terbuka, diwakili erupsi Gunung Agung tahun 1963, yang merupakan
tipe erupsi gunung api strato komposit yang mempunyai kawah terbuka.
Sebelum terjadi letusan telah terbentuk leleran lava atau kawah gunung api
telah dipenuhi oleh lava. Ancaman bahaya berupa awan panas, lahar letusan,
dan lahar hujan.
3
7. Letusan lava, gunung Sangeangapi tahun 1985 yang membentuk leleran lava,
tipe ini memiliki ancaman awan panas letusan dan aliran lava.
8. Pulau gunung api & gunung api bawah laut, memperlihatkan potensi ancaman
bahaya letusan yang signifikan mengacu pada letusan Gunung Krakatau dan
lahirnya Gunung Anak Krakatau tahun 1928. Dalam kondisi tertentu tipe ini
dapat memicu terjadinya gelombang tsunami akibat adanya runtuhan tubuh
gunung api.
Klasifikasi gunung api ini diharapkan akan dapat lebih memperjelas
perbedaan karakteristik gunung api aktif di Indonesia, sehingga dapat
dipergunakan untuk mendukung mitigasi ancaman bencana gunung api,
penelitian, dan pengembangan ilmu kegunungapian dan juga meningkatkan
pemahaman masyarakat terhadap gunung api aktif di Indonesia.
4
Airways Volcano Watch (IAVW). Analisa pola dan reverse absorption
menggunakan data GMS-5/VISSR, MODIS dan AVHRR menunjukkan bahwa
teknik reverse absorption satelit geostasioner GMS-5 secara signifikan
mempertajam kemampuan untuk memonitor awan abu vulkanik di wilayah
tersebut.
Penggunaan data penginderaan jauh satelit membawa tantangan tersendiri
untuk diaplikasikan dalam memahami obyek gunungapi dan dan gejala-gejala
vulkanisme yang menyertainya. Sensor satelit memiliki kemampuan untuk
merekam suatu daerah, obyek dan fenomena yang ada di permukaan bumi.
Gunungapi merupakan suatu entitas di permukaan bumi yang terbentuk secara
alami, menempati suatu wilayah dan menunjukkan gejala-gejala yang unik &
spesifik (vulkanisme). Vulkanisme berkaitan dengan segala peristiwa pergerakan
magma dari dalam menuju permukaan bumi melalui saluran sentral (diatrema)
atau retakan-retakan pada kerak bumi. Produk-produk ekstrusif akibat erupsi
vulkanik, yang seringkali menimbulkan bencana, dapat direkam oleh sensor
satelit.
Skoring (Kridalaksana, 2011) merupakan kegiatan pemberian nilai tertentu
terhadap kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Pemberian nilai pada masing-
masing kelas yang dibuat berbeda antara satu kelas dengan kelas yang lainnya.
Skoring merupakan tahapan sebelum melakukan overlay.
Nilai (scoring) setiap jenis penggunaanlahan ditentukan berdasarkan adanya
jumlah jiwa dan nilai ekonomi pada setiap penggunaan lahan (Gunadhi, 2009).
Penilaian skoring tutupanlahan biasanya berbeda tergantung pada jenis
penggunaanya.
Skoring pada tingkat bahaya bencana diambil dari Peraturan Kepala Bidang
Penanggulangan Bencana 2012 tentang pengkajian umum resiko bencana nomor
02 tahun 2012.
Kawasan Rawan Bencana gunungapi (Peraturan Menteri ESDM, 2012)
dibagi menjadi 3 (tiga) kawasan, yaitu :
Kawasan rawan bencana I merupakan kawasan yang berpotensi terlanda
lahar, tertimpa jatuhan berupa hujan abu, dan atau air dengan keasaman tinggi.
5
Apabila letusan membesar, kawasan ini berpotensi terlanda perluasan awan panas
dan material jatuhan berupa hujan abu lebat serta lontaran batu pijar.
Kawasan rawan bencana II merupakan kawasan yang berpotensi terlanda
awan panas intesintas sedang jika ada perluasan, aliran lava, lontaran batupijar,
guguran lava, hujan abu lebat, hujan lumpur panas, aliran lahar, dan atau gas
beracun dengan intensitas sedang.
Kawasan rawan bencana III merupakan kawasan yang sangat berpotensi
terlanda awan panas intensitas tinggi, aliran lava, hujan lumpur, hujan abu lebat,
lontaran batu pijar, dan atau gas beracun dengan intensitas tinggi.
Sudah banyak penelitian terkait dengan pemanfaatan data penginderaan jauh
untuk pemantauan, pemetaan, maupun pengukuran gejala-gejala vulkanisme,
khususnya erupsi, dengan menggunakan data penginderaan jauh, baik dengan
obyek gunungapi di wilayah Indonesia maupun di belahan dunia lainnya.
Beberapa penelitian yang kami telusuri dari beberapa tulisan yang rangkum dalam
uraian di bawah ini.
Spampinato dkk. (2011) meneliti bagaimana kemampuan teknik
penginderaan jauh menggunakan kamera infrared untuk mendeteksi anomali dan
prekursor letusan, serta memantau letusan gunung berapi yang sedang
berlangsung. Cara ini tentu lebih aman untuk teknik in situ terutama selama
aktivitas gunungapi meningkat dan tergolong berbahaya.
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian yaitu penggunaan kamera termal
dalam lingkungan vulkanik telah memungkinkan:
(1) pengukuran variabel dari jarak yang aman dalam keadaan berbahaya,
(2) deteksi fitur suhu tinggi, dan
(3) data kuantitatif untuk menggambarkan dan pemodelan fenomena letusan.
Aplikasi kamera termal pada pemantauan gunungapi telah menunjukkan
bahwa perangkat ini dapat digunakan untuk mendeteksi, menyelidiki dan
mengukur berbagai proses erupsi diantaranya pelacakan proses vulkanik yang
paling jelas seperti peristiwa eksplosif dan efusif. Citra termal telah
memungkinkan studi tentang evolusi bidang fraktur, danau lava, kawah puncak
terhalang bidang fumarol, dan kubah lava.
6
Lombardo dkk. (2004) mencoba mengkaji perbedaan aliran lava
berdasarkan struktur termal Landsat TM selama erupsi puncak dan lereng di
Gunungapi Etna. Di sini, metode dual-band telah diterapkan untuk serangkaian
waktu letusan Gunung Etna. Distribusi frekuensi dari wilayah pecahan dari
komponen terpanas menunjukkan perbedaan spesifik antara aliran lava di puncak
dan lereng. Bentuk fungsi kepadatan menunjukkan tren yang konsisten dengan
distribusi Gaussian dan menunjukkan hubungan antara saat-saat distribusi dan
lingkungan emplacement.
Hasil analisis menunjukkan distribusi frekuensi fh diperoleh dari TM
gambar aliran lava aktif dapat digunakan sebagai penciri untuk membedakan lava.
Setiap distribusi menunjukkan tren Gaussian seperti, yang memungkinkan kita
untuk menggambarkan arus yang berbeda dalam hal rata-rata, skewness, dan
kurtosis, dimana distribusi frekuensi fh berbeda untuk puncak danletusan di
lereng. Kemiringan topografi berperan dalam mempengaruhi modus distribusi fh.
Perbedaan rata-rata kemiringan, yang jauh lebih tinggi di daerah kawah daripada
di sisi gunung berapi, mungkin salah satu (tapi bukan satu-satunya) faktor yang
membantu menghasilkan yang berbeda distribusi fh antara puncak dan letusan
lateral. Karena analisis menunjukkan bahwa topografi bukan satu-satunya elemen
yang mempengaruhi distribusi fh, sehingga berencana untuk memverifikasi
pengaruh faktor-faktor lain di penelitian lanjutan. Secara khusus, berencana untuk
menganalisis dinamika arus dengan penekanan pada tingkat efusi massa.
Bignami dkk. (2013) melaksanakan penelitian tentang perkiraan volume dan
kepadatan aru piroklastik setelah erupsi Gunung Merapi tahun 2010 menggunakan
X-band SAR. Curah hujan yang tinggi yang terjadi pada daerah dengan endapan
piroklastik akan memicu lahar (lumpur vulkanik) yang akan berdampak pada
daerah permukiman pada jarak yang cukup jauh dari gunungapi, bahkan bertahun-
tahun setelah letusan.
Ebmeier dkk. (2012) melakukan pengukuran perubahan topografi besar
dengan InSAR yaitu ketebalan lava, tingkat ekstrusi dan tingkat subsidence di
Gunung Santiaguito, Guatemala. Aliran lava dapat menghasilkan perubahan
topografi sekitar 10 - 100 meter. Perubahan volume yang dihasilkan memberikan
7
bukti tentang dinamika letusan. Penggunaan delay fase dari diferensial InSAR,
adalah mungkin untuk memperkirakan perbedaan ketinggian antara topografi saat
ini dan model elevasi digital (DEM). Hal ini tidak memerlukan citra SAR pra
erupsi, sehingga tidak bergantung pada koherensi fase interferometrik selama
letusan dan pergeseran. Tes sintetis memprediksi bahwa kita bisa memperkirakan
ketebalan lava sesedikit ~ 9 m, dengan minimal lima interferogram dengan
pemisahan orbital baseline yang sesuai.
Dalam kasus gerakan kontinyu, seperti subsidence aliran lava, kita
membalikkan fase interferometrik secara bersamaan untuk perubahan topografi
dan perpindahan. Peneliti menerapkan ini untuk gunung api Santiaguito,
Guatemala, dan mengukur peningkatan ketebalan lava hingga 140 m antara tahun
2000 dan 2009, sebagian besar terkait dengan aktivitas antara tahun 2000 dan
2005. Peneliti menemukan tingkat ekstrusi rata-rata 0.43 ± 0,06 m3/s, yang
terletak dalam batas-batas kesalahan dari tingkat ekstrusi jangka panjang antara
tahun 1922 dan 2000. Bagian yang tebal dan termuda dari endapan aliran
menunjukkan penurunan rata-rata ~ -6 cm/tahun. Ini adalah pertama kalinya
ketebalan aliran dan subsidence diukur secara bersamaan. Peneliti berharap
pendekatan ini cocok untuk pengukuran tanah longsor dan endapan aliran massa
lainnya serta aliran lava.
Pinel dkk. (2011) mencoba mengkaji tantangan dalam pengambilan data
perubahan dari data InSAR untuk gunungapi stratoPopocatepetl dan Colima di
Mexico. Meskipun kemampuan radar aperture sintetis (SAR) interferometri untuk
mengukur gerakan tanah dengan highresolution, penerapan teknik penginderaan
jarak jauh ini untuk memantau gunungapi strato andesit masih terbatas. Kondisi
akuisisi spesifik mencirikan gunungapi strato andesit, terutama daerah-daerah
bervegetasi dengan rentang ketinggian yang besar, mendorong koherensi sinyal
rendah serta artefak troposfer yang kuat yang menghasilkan kecil rasio signal-to-
noise. Peneliti mengusulkan di sini cara untuk mengurangi kesulitan dan
meningkatkan pengukuran SAR. Peneliti menurunkan gerakan tanah untuk dua
dari Meksiko stratovolcano paling aktif: Popocatepetl dan Colima Volcano, dari
time series data SAR diperoleh dari Desember 2002 sampai Agustus 2006. Data
8
SAR diproses menggunakan metode yang menggabungkan kedua scatterers gigih
dan pendekatan dasar kecil . Penundaan troposfer Stratified diperkirakan untuk
setiap interferogram menggunakan masukan dari atmosfer Model Narr global,
hingga maksimal 10 rad / km. Penundaan ini divalidasi dengan data spektrometer,
serta korelasi antara fase dibungkus dan elevasi. Efek troposfer dihapus dari fase
dibungkus dalam rangka meningkatkan proses unwrapping. Pada Popocatepetl,
kita amati tidak ada deformasi yang signifikan. Colima daerah puncak
menunjukkan tingkat penurunan konstan lebih dari 1 cm / tahun berpusat pada
puncak tapi disempurnakan (mencapai lebih dari 2 cm / tahun) di sekitar aliran
lava 1998. Model subsidence ini mengingat kedua sumber magma mengempis
pada kedalaman dan efek dari letusan deposito beban.
9
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan, dapat didapatkan kesimpulan sebagai
berikut :
1. Terdapat delapan tipe gunungapi aktif, yaitu tipe Tambora 1815 (letusan
kaldera), Merapi (kubah lava), Agung (kawah terbuka), Papandayan
(runtuhan dinding kawah), Batur (pascakaldera), Sangeangapi (aliran
lava), dan Anak Krakatau (gunung api bawah laut). Pratomo dkk. (2006)
2. Indonesia mempunyai jalur gunung api yang rawan erupsi di sepanjang
ring of fire mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi-
Banda, Maluku hingga Papua (USGS,1999).
3. Penggunaan data penginderaan jauh satelit membawa tantangan tersendiri
untuk diaplikasikan dalam memahami obyek gunungapi dan dan gejala-
gejala vulkanisme yang menyertainya. Sensor satelit memiliki kemampuan
untuk merekam suatu daerah, obyek dan fenomena yang ada di permukaan
bumi.
10
DAFTAR PUSTAKA