Makalah Hukum Keluarga Islam

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH HUKUM KELUARGA ISLAM

Dengan Judul
“KEDUDUKAN PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM”

Diajukan Untuk MemenuhiTugas Akhir Semester (UAS)


Pada Mata Kuliah “Bahasa Indonesia Karya Tulis Ilmiah”
Dosen Pengampu: Amalia Fajriyyatin Najichah, M.Pd.

Disusun Oleh :
AFIFA NUR AISYAH HENDRI
NIM 2102016171
KELAS HKI D1

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


UIN WALISONGO SEMARANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pernikahan dalam islam merupakan anjuran bagi kaum
muslimin. Dalam undang-undang No.1 Tahun 1974 dinyatakan
bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang
wanita dan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Sedang dalam komplikasi Hukum Islam “Perkawinan yang
menurut hukum islam merupakan pernikahan, yaitu hukum akad
yang kuat atau mitsaqon ghalidzan untuk menaati perintah allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Dari pernikahan diatas, merupakan memiliki tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal. Sehingga baik suami maupun
istri harus saling melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan material. Hal ini sejalan dengan
firman allah:
َ َ‫َو ِم ْن ٰا ٰيتِ ٖ ٓه اَ ْن خَ ل‬
‫ ةً ۗاِ َّن‬B‫ َل بَ ْينَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّو َرحْ َم‬B‫ا َو َج َع‬Bَ‫ ُكنُ ْٓوا اِلَ ْيه‬B‫ق لَ ُك ْم ِّم ْن اَ ْنفُ ِس ُك ْم اَ ْز َواجًا لِّت َْس‬
َ ِ‫فِ ْي ٰذل‬
ٍ ‫ك اَل ٰ ٰي‬
َ‫ت لِّقَوْ ٍم يَّتَفَ َّكرُوْ ن‬

21. Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia


menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri,
agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia
menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar-Rum:21)

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad


yang sangat kuat atau mitsaqan ghaliza untuk menaati perintah
allah Dan melaksanakannya merupakan ibadah.  Perkawinan
menurut ilmu fiqih, disebut dengan istilah nikah yang
mengandung dua arti yaitu (1) arti menurut bahasa adalah
perkumpulan atau bersetubuh dan yang (2) arti menurut hukum
adalah akad atau perjanjian dengan lafal tertentu antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup bersama
sebagai suami istri.
Perkawinan dalam Islam bukan semata-mata hubungan atau
kontrak keperdataan biasa, tetapi mempunyai nilai ibadah,
sebagaimana dalam KHI ditegaskan bahwa perkawinan
merupakan akad yang sangat kuat untuk menaati peraturan
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah Sesuai
dengan pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.
Ibadah sendiri merupakan indonesiaan dari ibadah, yang artinya
pengabdian, ketaatan, menghinakan atau merendahkan diri dan
doa. Ibadah merupakan suatu bagian dari syariat islam, ibadah
merupakan tugas hidup manusia di dunia, karena itu manusia
yang beribadah kepada Allah disebut Abdullah atau hamba.
Bahwa pada hakikatnya ibadah mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia, sehingga ibadah bisa dibagi menjadi ibadah
dalam arti khusus dan Ibadah dalam arti umum.
Ibadah dalam arti khusus yaitu ibadah yang macam dan cara
melaksanakannya telah ditentukan oleh syariat (ketentuan dari
Allah dan Rasulullah), bersifat mutlak manusia tidak ada
wewenang, merubah, menambah, mengurangi atau membuat
cara sendiri dalam beribadah dikenal dengan ibadah mahdah.
Ibadah dalam arti umum atau ibadah ghairu mahdhah yaitu
menjalani kehidupan untuk memperoleh keridhaan Allah
subhanahu wa ta'ala dengan menaati syariatnya. Bentuk dan
macam ibadah ini tidak ditentukan secara terperinci, karena itu
apa saja kegiatan seorang muslim dapat bernilai ibadah asalkan
kegiatan tersebut bukan perbuatan yang dilarang oleh Allah dan
rasulnya syariat serta diniatkan untuk mencari ridha Allah.
Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku
pada semua makhluk tuhan, baik  kepada manusia, hewan
maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan cara yang
dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak pinak,,
berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-
masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam
mewujudkan tujuan pernikahan.
Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang
hidup bebas menuruti nalurinya dan berhubungan secara anarki
tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat
kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan
martabatnya sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan
diatur secara terhormat dan merasakan rasa saling meridhoi.
Dalam Persyaratan nikah adalah Alquran sunnah dan ijma.
Namun Sebagian ulama berpendapat hukum asal melakukan
perkawinan adalah mubah (boleh). Hukum tersebut bisa berubah
menjadi sunnah, wajib, makruh dan haram tergantung kepada
illat hukum, yaitu:
1. Hukum nikah menjadi sunnah Apabila seseorang dipandang dari
segi pertumbuhan jasmaniah wajah dan cenderung Ia
mempunyai keinginan untuk menikah dan sudah mempunyai
penghasilan yang tetap.
2. Hukum menjadi wajib apabila seseorang dipandang dari segi
dewasa dan ia telah mempunyai penghasilan yang tetap serta ia
sudah sangat berkeinginan untuk menikah sehingga apabila ia
tidak menikah dikhawatirkan terjerumus kepada perbuatan zina.
3. Hukum nikah menjadi makhluk Apabila seseorang secara
jasmani atau umur telah cukup kalau belum terlalu mendesak
titik tetapi belum mempunyai penghasilan tetap sehingga bila ia
kawin akan membawa kesengsaraan hidup bagi anak dan
istrinya.
4. Hukum nikah menjadi haram apabila seseorang mengawini
seorang wanita dengan maksud untuk menganiayanya atau
mengolok-ngolok nya atau untuk balas dendam.

Didalam telah terjadinya perkawinan baik istri maupun suami


kadang membawa harta yang didapat sebelum mereka menikah
serta terdapat harta yang didapat mereka setelah melangsungkan
pernikahan sehingga harta mereka tercampur dan tidak lagi
terukur berapa besarnya harta masing-masing dari masing-
masing pihak karena harta tersebut merupakan harta bersama.
Secara bahasa, harta bersama adalah 2 kata yang terdiri dari
kata-kata dan persamaan kritik menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia “harta dapat berarti barang-barang (uang dan
sebagainya) dalam menjadi kekayaan dan dapat berarti kekayaan
berwujud dan tidak berwujud yang bernilai titik harta bersama
berarti harta yang yang dipergunakan (dimanfaatkan) bersama-
sama”. Tetapi di dalam Islam sendiri sebenarnya tidak mengenal
adanya harta bersama, Tanggung jawab seorang suami hanya
sebatas kebutuhan hidup mereka beserta anak yang masih
menjadi tanggungan. Sehingga Seorang Istri pun tidak boleh
menuntut lebih dari kebutuhan hidup yang dipandang sudah
layak. Dengan adanya hal tersebut maka seorang Istri pun juga
berhak untuk memperoleh harta selain nafkah dari seorang
suami, misalnya saja melalui berdagang, bekerja dan
sebagainya.
Adanya prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam itu ialah:
memenuhi dan melaksanakan perintah agama. Sebagaimana
telah diterangkan bahwa Perkawinan adalah sunnah nabi, itu
berarti bahwa melaksanakan perkawinan itu pada hakekatnya
merupakan pelaksanaan dari ajaran agama. Agama mengatur
perkawinan itu, memberi batasan rukun dan syarat-syarat yang
perlu dipenuhi. Apabila rukun dan syarat-syarat tidak dipenuhi,
batal atau fadsilah perkawinan itu. Demikian pula agama
memberi ketentuan lain di samping rukun dan syarat seperti
harus adanya mahar dalam perkawinan, dan juga harusnya
kemampuan. Perkawinan merupakan suatu hal yang sakral yang
begitu melembaga bagi negara Indonesia yang pluralis Dari segi
budaya, adat maupun agama. Didalam perkawinan tidak sedikit
halnya terjadi permasalahan didalamnya, entah itu pada waktu
masih di dalam perkawinan atau setelah putusnya perkawinan,
maka didalam perkembangannya lahirnya perjanjian
perkawinan. Perjanjian perkawinan tersebut sering juga disebut
dengan perjanjian pra nikah atau prenuptial agreement yaitu
perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan
mengikat kedua belah pihak calon pengantin pria dan wanita
yang akan menikah tersebut.
Perjanjian perkawinan di Indonesia diatur di dalam undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan titik
sedangkan menurut pasal 1 undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan, yang dimaksud dengan Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Bila membaca Definisi perkawinan yang
termuat di dalam pasal 1 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa
Perkawinan adalah suatu hak adalah bersifat sakral yang
menyatukan seorang pria dan Seorang wanita secara lahir
maupun batin dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa dan untuk memperoleh keturunan dari pasangan
suami istri tersebut.
Perjanjian perkawinan dapat dimasukkan dalam pengertian
suatu akad yang mengidentifikasikan sebagai perjanjian kedua
belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri
dengan sukarela secara timbal balik balik terhadap perjanjian
yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang harus sesuai
dengan kehendak syariat (hukum Islam). Artinya bahwa seluruh
perikatan yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak atau lebih
baru dianggap sah apabila secara keseluruhan tidak bertentangan
dengan syariat Islam (hukum Islam).
Sebenarnya Alquran tidak mengajarkan perjanjian perkawinan,
karena perkawinan sendiri merupakan akad (perjanjian) yang
sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Di Indonesia, perjanjian perintah perkawinan
diajarkan atau mendapatkan pengaruh dari masyarakat Barat.
Ulang tahun perkawinan dimaknai sebagai hubungan
keperdataan saja dengan kata lain perjanjian perkawinan hanya
mengatur hubungan hidup manusia dengan manusia. Perjanjian
perkawinan bukan merupakan budaya dari masyarakat
Indonesia, bahkan perjanjian perkawinan dapat dinilai
menyimpang dari kondisi masyarakat indonesia baik lahir
maupun batin. Tetapi di Indonesia tetap melegalkan perjanjian
perkawinan hal tersebut terbukti di dalam pasal 29 undang-
undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang mengatur
mengenai perjanjian perkawinan.
Perjanjian perkawinan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan
dan isinya pada umumnya mengatur tentang bagaimana harta
kekayaan suami istri akan dibagi jika terjadi perceraian,
kematian dari salah satu pasangan. Perjanjian ini juga pada
umumnya memuat bagaimana semua urusan keuangan keluarga
akan diatur atau ditangani selama pernikahan berlangsung.
Secara umum perjanjian perkawinan berisi tentang pengaturan
harta kekayaan calon suami istri, atau dengan kata lain
perjanjian perkawinan dibuat dengan tujuan untuk mengatur
akibat-akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan.

Perjanjian perkawinan lahir disebabkan oleh beberapa hal


diantaranya adalah:
1. Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar
pada salah satu pihak dari pihak yang lain.
2. Kedua belah pihak masing-masing membawa harta bawaan
yang cukup besar.
3 Masing-masing mempunyai usaha sendiri sehingga apabila
salah satu jatuh pailit yang lain tidak ikut menanggung
kepailitan tersebut.
4. Karena adanya hutang hutang yang mereka buat sebelum
dilangsungkannya perkawinan sehingga masing-masing atau
bertanggung jawab atas utang piutang secara pribadi.

Perjanjian perkawinan tersebut dibuat berdasarkan


pengaturannya yaitu di dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah menyebutkan
bahwa "Perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana
melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan”. Sebagai
umat muslim tentunya dalam membuat perjanjian perkawinan
harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku di dalam
hukum Islam, hal-hal apa saja yang boleh dan hal-hal yang tidak
boleh dilakukan di dalam perjanjian perkawinan. Mengapa
penulis ingin menjelaskan lebih jauh mengenai “Perjanjian
Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam”

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang
masalah maka penulis akan merumuskan permasalahan yang
diajukan antara lain sebagai berikut:
1. Apakah boleh melakukan perjanjian perkawinan menurut
hukum Islam?
2. Apa saja hal-hal yang boleh untuk diperjanjikan dalam
perjanjian perkawinan menurut hukum Islam?
3. Apa saja hal-hal yang tidak boleh untuk diperjanjikan dalam
perjanjian perkawinan menurut hukum?

1.3 Tujuan Penulisan


 Untuk mengetahui dan menganalisis boleh atau tidaknya
melakukan perjanjian perkawinan di dalam Islam.
 Untuk mengetahui hal-hal yang boleh untuk diperjanjikan dalam
perjanjian perkawinan berdasarkan hukum Islam.
 Untuk mengetahui hal-hal yang tidak boleh untuk diperjanjikan
dalam perjanjian perkawinan berdasarkan hukum Islam.
 Untuk menambah wawasan dan pengetahuan khususnya
dibidang hukum perdata terkait dengan pelaksanaan perjanjian
perkawinan.
 Penyusun makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas UAS
pada mata kuliah Bahasa Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Melakukan Perjanjian Perkawinan Menurut Hukum


Islam
Perjanjian perkawinan diatur di dalam pasal 29 ayat(1)
undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Pada waktu, sebelum
dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah
pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian
tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau
notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut. Aturan tersebut menjadi dasar
dibolehkannya calon pasangan suami-istri atau pasangan suami
istri untuk membuat perjanjian perkawinan.
  Perjanjian dapat dibuat baik sebelum perkawinan
dilangsungkan (prenuptial agreement) maupun selama dalam
ikatan perkawinan (postnuptial agreement).
   Sebelum membahas lebih jauh mengenai kedudukan perjanjian
perkawinan dalam hukum Islam, perlu diketahui bahwa setiap
perbuatan di dalam hukum Islam dapat ditentukan hukumnya
dalam suatu penggolongan. Hubungan ini dikenal dengan istilah
al-Ahkam Al-khamsah (penggolongan hukum yang). 
    Imam Syafi'i, yang dikutip dalam buku Sayuti Thalib, hukum
kekeluargaan Indonesia berlaku bagi umat Islam (hal.17)
menggolongkan al-ahkam al-khamsah sebagai berikut: 
a. Fardhu atau wajib, adalah perbuatan yang dilakukan atas perintah
titik apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila
ditinggalkan mendapat dosa. 
b. Sunah/mandub adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar
anjuran titik apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila
ditinggalkan tidak mendapat dosa.
c. Ibahah atau mubah, adalah kebolehan. Suatu perbuatan boleh
dikerjakan dan boleh juga tidak dikerjakan. Baik dikerjakan atau
tidak, tidak mendapat pahala atau dosa. 
d. Makruh atau larangan ringan adalah perbuatan yang dilarang
untuk dilakukan, namun bila dilakukan tidak diancam dengan
hukuman atau dosa. Apabila perbuatan tersebut ditinggalkan,
maka mendapat pahala. 
e. Haram atau larangan, adalah perbuatan yang apabila dilakukan
mendapat dosa dan apabila ditinggalkan maka mendapat pahala. 

   Perjanjian Perkawinan adalah salah satu bentuk dari perjanjian


yang dibuat antara satu pihak dengan pihak lainnya. Sebagai
suatu perjanjian, maka perjanjian perkawinan termasuk kedalam
aspek muamalah. Dalam hal muamalah, pada dasarnya para pihak
bebas melakukan perbuatan apa saja, selama perbuatan tersebut
tidak dilarang menurut hukum Islam. Hal ini sesuai dengan
kaidah fikih muamalah kontemporer bahwa hukum asal praktik
muamalah adalah boleh dilakukan hingga ada dalil yang
menunjukkan hukum kebaikannya. Merujuk pada penggolongan
hukum di atas, kegiatan membuat perjanjian perkawinan
hukumnya adalah mubah atau boleh, selama tidak melanggar
asas-asas perjanjian dalam hukum Islam.
2.2 Hal-Hal Yang Boleh Untuk Diperjanjikan Dalam
Perjanjian Perkawinan Menurut Hukum Islam
  Perjanjian perkawinan dalam hukum Islam 
Terdapat dua bentuk perjanjian perkawinan yang dimungkinkan
dalam Islam, yaitu taklik talak dan perjanjian lain yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
1. Taklil talak
Menurut Pasal 1 huruf e KHI, yang dimaksud dengan taklik
talak adalah perjanjian yang diucapkan calon pembelian pria
setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah
berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan
tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. 
Dalam hal taklik talak terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan, diantaranya: 
 Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
  Apabila keadaan yang terdapat dalam taklik talak terjadi, maka
bukan berarti telah jatuh dengan sendirinya. istri harus
mengajukan ke pengadilan agama untuk menjatuhkan talak
tersebut.
  Perjanjian taklik talak bukan hal yang wajib diadakan.
  Apabila suami telah membuat taklik talak, maka taklik talak
tersebut tidak dapat dicabut kembali.

2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum


Islam
Pasal 47 ayat (1) KHI mendeskripsikan frasa ‘perjanjian lain
yang tidak bertentangan dengan hukum Islam’ sebagai berikut: 
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua
calon pembeli dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan
pegawai pencatat nikah mengenai kedudukan harta dalam
perkawinan.
Bentuk-bentuk perjanjian perkawinan dalam hukum Islam:
a. Percampuran harta pribadi
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 47 ayat (1) dan( 2)
KHI yang mengatur sebagai berikut: 
1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua Calon
pemilih dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai
Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
2)  perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran
harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing
sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
  Pada dasarnya, perkawinan tidak menimbulkan adanya
percampuran harta antara suami-istri karena harta di dalam
hukum Islam bersifat individual. Hal ini sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 86 ayat (1) KHI: Pada dasarnya tidak ada
percampuran antara harta suami dan harta istri karena
perkawinan. 
Namun apabila kedua pihak yang ingin melakukan pencampuran
harta pribadi maka hal tersebut dibolehkan. Dengan catatan, apa
yang diatur di dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan
dengan hukum Islam.
 b. Pemisahan harta pencaharian
Merujuk pada pasal 47 ayat (2) di atas, kedua pihak juga dapat
mengatur mengenai pemisahan harta pencaharian masing-masing
selama dalam ikatan perkawinan. Menurut Sayuti Thalib dalam
buku hukum kekeluargaan Indonesia (hal. 83) yang dimaksud
dengan harta pencaharian adalah harta yang diperoleh oleh suami
istri setelah mereka berada dalam perkawinan karena usaha, baik
usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka.
Dalam hal pemisahan harta pencaharian, isi perjanjian tersebut
tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga. 
Hal ini sebagaimana yang diatur dalam pasal 48 ayat (1) KHI:
Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan
harta bersama atau harta Syarikat maka perjanjian tersebut
tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga. 
c. Kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan
hipotik atas harta pribadi dan harta bersama 
Selain itu, kedua pihak juga dapat mengadakan ikatan hipotik
atas harta pribadi dan harta bersama. hal ini sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 47 ayat (3) KHI: Di samping ketentuan
dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu
menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan
ikatan hipotek atas harta pribadi dan harta bersama atau harta
Syarikat. 
Selain mengatur mengenai harta menurut kami, perjanjian
perkawinan juga dapat mengatur hal-hal tambahan seperti hak
dan kewajiban suami istri, pengaturan poligami, Hak asuh anak,
dan lain-lain. 

2.3 Hal-Hal Yang Tidak Boleh Untuk Diperjanjikan Dalam


Perjanjian Perkawinan Dalam Hukum Islam
Apabila merujuk pada Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan,
dijelaskan bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat dipisahkan
apabila melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
 Hal serupa juga dijelaskan dalam Pasal 47 ayat (2) KHI.  Pasal
47 ayat (2) perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi
percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencarian
masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan
hukum islam. dengan demikian, bagi umat Islam, isi perjanjian
perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. 
   Dari perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan
hukum Islam. Selain mengatur mengenai harta, perjanjian
perkawinan juga dapat mengatur hal-hal tambahan, seperti
mengenai hak dan kewajiban suami istri, pengaturan poligami,
hak asuh anak, serta poin-poin perjanjian lainnya yang
dikehendaki oleh kedua belah pihak. 
    Ketentuan yang tidak boleh dijadikan persyaratan dalam
perjanjian perkawinan yaitu dalam pasal 139-142 KUHP Perdata,
yang antara lain:
1. Tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau dengan
ketertiban umum (Pasal 139 KUHPerdata).
2. Tidak boleh memuat syarat-syarat yang menghilangkan status
suami sebagai kepala keluarga, dan juga ketentuan yang membuat
janji bahwa istri akan tinggal secara terpisah dalam tempat
tinggal kediaman sendiri dan tidak mengikuti tempat tinggal
suami (Pasal 140 KUHPerdata). 
3. Tidak boleh membuat perjanjian yang melepaskan diri dari
ketentuan undang-undang tentang pusaka bagi keturunan mereka,
juga tak boleh mengatur sendiri pusaka keturunan mereka itu.
Tidak boleh diperjanjikan salah satu pihak diharuskan akan
menanggung lebih besar hutang dari keuntungan yang diperoleh
dari kekayaan bersama. (Pasal 141 KUHPerdata). 
4. Tidak boleh membuat perjanjian-perjanjian yang bersifat kalimat-
kalimat yang umum, bahwa perkawinan mereka akan diatur oleh
Undang-Undang. 

  
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perkawinan merupakan salah satu perkataan suci yang menganut
kedaulatan tersebut dilandasi dengan ikatan lahir batin dalam
undang-undang perkawinan ikatan lahir batin tersebut dilakukan
oleh laki-laki dan wanita yang bertujuan untuk membentuk
keluarga yang dilandaskan oleh Ketuhanan Yang Maha Esa.
Terjadinya ikatan perkawinan selama masa perkawinan dapat
menimbulkan harta kekayaan yang diperoleh selama masa
perkawinan yang disebut harta gono-gini dalam mempertahankan
dan melindungi harta yang diperoleh pada masa perkawinan
sehingga tidak menjadi harta bersama suami istri dapat
melakukan perjanjian kawin sebelum perkawinan berlangsung
Sesuai dengan pasal 29 undang-undang perkawinan agar terjadi
pemisahan harta pada masa perkawinan, namun dengan adanya
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/ PUU-XIII/2015
Perjanjian kawin tidak hanya dibuat sebelum masa perkawinan
tetapi juga dapat dibuat pada masa perkawinan. Sehingga akibat
adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berdampak
merugikan bagi pihak ketiga yang telah terikat perjanjian dengan
industri tersebut. 
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan:
1. Perjanjian Perkawinan adalah salah satu bentuk dari perjanjian
yang dibuat antara satu pihak dengan pihak lainnya. Perjanjian
dapat dibuat baik sebelum perkawinan dilangsungkan (prenuptial
agreement) maupun selama dalam ikatan perkawinan (postnuptial
agreement). kegiatan membuat perjanjian perkawinan hukumnya
adalah mubah atau boleh, selama tidak melanggar asas-asas
perjanjian dalam hukum Islam.
2. Terdapat dua bentuk perjanjian perkawinan yang
dimungkinkan dalam Islam, yaitu taklik talak dan perjanjian lain
yang tidak bertentangan dengan hukum Islam: a. Taklik talak. b.
Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
3. Perjanjian tidak dapat disahkan apabila melanggar batas-
batas hukum, agama, dan kesusilaan.Dengan demikia, bagi umat
islam, isi perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan
hukum islam.
Rekomendasi
Berdasarkan hasil kesimpulan penulisan pada bab penutup ini,
yang menyatakan bahwa perjanjian dalam pernikahan itu boleh di
lakukan dan dilaksanakan setelah akad nikah berlangsung,
penulis mencoba untuk memberikan beberapa saran atau
rekomendasi sebagai berikut:
a. Dengan adanya putusan KUHPerdata diharapkan untuk dapat
dibentuk peraturan pelaksana yang mana mengatur proses
tahapan pembuatan perjanjian kawin pada masa perkawinan,
karena hingga saat ini masih belum mampu memberi kepastian
hukum bagi semua pihak dalam hal memenuhi prestasi yang
timbul dari suatu perjanjian, baik suami istri, pihak ketiga dan
pejabat yang berwenang dalam melakukan proses pembuatan
perjanjian kawin pada masa perkawinan. 
b. Menghimbau masyarakat yang menginginkan untuk membuat
perjanjian kawin pada masa perkawinan dengan adanya putusan
KUHPerdata diharapkan untuk tidak memanfaatkan celah dari
peraturan yang ada, yaitu menjadikan dasar itikad baik dalam
pembuatan perjanjian kawin, sehingga perjanjian kawin yang
dibuat tidak merugikan semua pihak yang terikat dalam
perjanjian di kemudian hari.
c. Perlunya merencanakan aset yang dimiliki selama perkawinan
agar pembagian harta perkawinan dapat secara jelas dan yang
terpenting kesepakatan para pihak, agar di kemudian hari tidak
ada pihak yang dirugikan. 
DAFTAR PUSTAKA

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1988, hlm.104

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Graha


Ilmu,Yogyakarta, 2011, hlm 12

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan


kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1995,
hlm 342

Mike Dina Danareksa, Perjanjian Pranikah Di Tinjau dari Undang-Undang No. 1


Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bumi Aksara, Bandung, 2006, hlm. 15

K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004,


hlm. 15

Yulies Tiena Masriani, Perjanjia Perkawinan Dalam Pandangan Hukum Islam, Jurnal
Ilmiyah, 2013, Universitas Tujuh Belas Agustus, Semarang, hlm.129

Heppy Susanto, Pratek Pelaksanaan Perjanjian Perkawinan, Prenada Media, Jakarta,


2008, hlm. 25

Ahmad Rofiq, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Raja Grafindo Persada,


Jakarta, 2006, hlm. 160

Soetojo Prawirohsmidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di


Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2003, hlm. 39

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 2014.

Anda mungkin juga menyukai