Makalah Kewarisan Kel. 7 Hijab, Mamnu', Dan Ghairu Waris
Makalah Kewarisan Kel. 7 Hijab, Mamnu', Dan Ghairu Waris
Makalah Kewarisan Kel. 7 Hijab, Mamnu', Dan Ghairu Waris
Dosen Pengampu:
Dr. H. Muhammad Ufuqul Mubin, M. Ag
Disusun Kelompok 7:
Wahidah Yumna Ramadani (C93219112)
Hanim Surayya Niam (C93219080)
Salman Alfarisi (C93219107)
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi kami kekuatan dan petunjuk untuk
menyelesaikan tugas makalah ini. Tanpa pertolonganNya kami sekelompok tidak akan bisa
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah
kepada Rasulullah Muhammad s.a.w., beserta keluarga dan para sahabatnya.
Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas
Hukum Kewarisan Islam dengan judul “Hijab, Mamnu’, dan Ghairu Waris”. Disamping itu,
kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kamu
selama pembuatan makalan ini berlangsung sehingga dapat tereselesaikanlah makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya
dapat kami perbaiki. Karena kami sadar, makalah yang kami buat ini masih banyak terdapat
kekurangannya.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan
manusia. Setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa penting yang merupakan
peristiwa hukum dan lazim yang disebut meninggal dunia. Jika peristiwa itu terjadi yaitu
meninggalnya seseorang, maka akan menimbulkan akibat hukum yaitu tentang
pengurusan hak-hak kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia tersebut. Dalam hal
ini hukum kewarisan, himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana
caranya pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia oleh ahli
waris atau badan hukum lainnya sangat penting adanya.
Umat manusia dalam menjalankan kehidupan dunia ini tidak akan lepas dari
barang-barang dunia, baik itu berupa tanah, bangunan ataupun uang yang akan berperan
sebagai alat pertahanan hidupnya dan sarana ibadah kepada Tuhannya. Setelah mengalami
kematian seseorang tidak akan membawa harta itu tapi akan meninggalkannya untuk ahli
warisnya untuk dimanfaatkan atau dikelola lebih lanjut. Masing-masing ahli waris itu
memiliki bagian-bagian tersendiri dan dalam Islam diatur oleh Hukum Kewarisan Islam
atau ilmu waris yang semuanya dijelaskan dalam Al-qur’an dan Sunnah Nabi.
Pada prinsipnya setiap orang yang telah memiliki sebab-sebab dan telah
memenuhi syarat-syarat untuk menjadi ahli waris seperti adanya ikatan pernikahan,
pertalian nasab, pembebasan budak maka ia berhak untuk mendapatkan harta warisan
namun tidak semua ahli waris bisa menerima harta peninggalan itu dikarenakan adanya
penghalang atau telah melakukan suatu Tindakan yang mengakibatkan keluarnya ia dari
ahli waris. Dan penghalang-penghalang ini mengurangi bagiannya atau menghabiskannya
sama sekali sehingga ia tidak mendapatkan sedikitpun dari harta warisan tersebut.
B. Rumusan Masalah
4
BAB II
PEMBAHASAN
Secara bahasa, hijab berasal dari kata al-man’u dan al-satru yang berarti
penghalang dan disebut juga “penjaga pintu”, karena menghalangi seseorang untuk
memasuki tempat tertentu1. Sedangkan secara terminologi hijab berarti:
Dari definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan hijab
adalah terhalangnya seorang ahli waris yang mempunyai sebab-sebab pewarisan atas ahli
waris lainnya yang mempunyai sebab-sebab pewarisan seluruh atau sebagiannya, baik
dalam keadaan menerima bagian maupun dalam keadaan terhijab pula5.
Bentuk isim fa’il (subjek) untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim maf’ul
(objek) adalah mahjub yang artinya al-hajib adalah orang yang menghalangi orang lain
1
Darmawan, Hukum Kewarisan Islam, (Surabaya: Imtiyaz, 2018). Hlm. 125.
2
Mohammad Ali al-Sabuniy, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
1995). Hlm.75.
3
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1994), Hlm. 441.
4
Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Raja Grafindo,1998), Hlm. 568.
5
Usman H Suparman, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), Hlm. 95.
5
untuk mendapatkan warisan dan mahjub berarti orang yang terhalang oleh ahli waris lain
untuk mendapat harta warisan.
1. Al-hujub bi al-wasfi (sifat/ julukan), yaitu ahli waris terhalang mendapat harta warisan
secara keseluruhan karena adanya predikat tertentu yang melekat padanya seperti
pembunuh atau murtad. Hijab ini biasa disebut dengan mamnu’ atau mahrum.
2. Al-hujub bi al-shakhsi (karena orang lain), yaitu ahli waris terhalang karena ada ahli
waris lain yang lebih berhak menerima warisan. Hijab ini terbagi menjadi 2 macam
yaitu:
a. Hijab hirman (hijab penuh)
Seseorang yang terhalang sama sekali dari mendapatkan harta warisan
karena ada yang lebih berhak (kuat) atau lebih kuat hubungannya dari yang
meninggal. Seperti cucu laki-laki dari anak laki-laki tidak mendapat bagian selama
ada anak laki-laki. Disebutkan beberapa ahli waris yang tidak terkena hijab
hirman, yaitu:
1) Anak laki-laki
2) Anak perempuan
3) Ayah
4) Ibu
5) Suami
6) Istri
6
5) Cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, akan terhalangi oleh adanya anak laki-
laki. Demikian juga para cucu akan terhalangi oleh cucu yang lebih dekat.
6) Keponakan laki-laki (anak saudara kandung laki-laki), akan terhalangi dengan
adanya ayah dan kakek, anak laki-laki, cucu kandung laki-laki serta oleh
saudara laki-laki seayah
7) Keponakan laki-laki (anak dari saudara laki-laki seayah), akan terhalangi
dengan adanya orang-orang yang menghalangi keponakan (dari anak saudara
kandung laki-laki), ditambah dengan adanya keponakan (anak laki-laki dari
keturunan saudara kandung laki-laki)
8) Paman kandung (saudara laki-laki ayah), akan terhalangi oleh anak laki-laki
dari saudara laki-laki, juga terhalangi oleh adanya sosok yang menghalangi
keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
9) Paman seayah, akan terhalangi dengan adanya sosok yang menghalangi paman
kandung, dan juga dengan adanya paman kandung.
10) Sepupu kandung laki-laki (anak paman kandung), akan terhalang oleh adanya
paman seayah, dan juga sosok yang menghalangi paman seayah.
11) Sepupu laki-laki (anak paman seayah), akan terhalangi dengan adanya sepupu
laki-laki (anak paman kandung) dan dengan adanya sosok yang menghalangi
sepupu laki-laki (anak paman kandung).
12) Nenek (baik ibu dari ibu ataupun dari bapak), akan terhalangi dengan adanya
sang ibu.
13) Cucu perempuan (keturunan anak laki-laki), akan terhalang oleh adanya anak
laki-laki, baik cucu itu hanya seorang ataupun lebih. Selain itu, juga akan
terhalangi oleh adanya dua orang anak perempuan atau lebih, kecuali jika ada
‘asabah.
14) Saudara kandung perempuan, akan terhalangi oleh adanya ayah, anak, cucu,
cicit dan seterusnya (semuanya laki-laki).
15) Saudara perempuan seayah, akan terhalangi oleh adanya saudara kandung
perempuan jika ia menjadi ‘asabah ma’a al-ghayr. Selain itu, juga terhalang
oleh adanya ayah dan keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya khusus
kalangan laki-laki) serta terhalang oleh adanya 2 orang audara kandung
perempuan bila keduanya menyempurnakan bagian 2/3, kecuali bila adanya
‘asabah.
16) Saudara perempuan seibu akan terhalangi oleh adanya pokok laki-laki (ayah,
kakek, dan seterusnya) baik laki-laki atau perempuan.
7
Dalam KHI seorang anak perempuan mempunyai kekuatan untuk
menghijab hirman saudara/saudari kandung atau sebapak atau seibu. (KHI pasal
181 dan 182):
Pasal 181: “Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka
saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat
seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka
bersama-sama mendapat sepertiga bagian”.
Pasal 182: “Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah,
sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia
mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama
dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka
mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan
tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka
bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan”.
Orang yang terhalang mewarisi disebut dengan mamnu’ atau mahrum. Istilah
tersebut harus dibedakan dengan istilah mahjub yang juga mempunyai arti sama dengan
mamnu’ atau mahrum. Perbedaan keduanya terletak pada kemutlakan tidak memperoleh
harta warisan. Mahjub adalah ahli waris yang terhalang mendapat warisan karena adanya
ahli waris lain yang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris. Ahli waris yang mahjub
sifatnya hanya sementara karena apabila ahli waris yang menghalanginya sudah tidak ada
maka ia akan tampil sebagai ahli waris. Adapun mamnu’ atau mahrum adalah ahli waris
yang terhalang karena kedudukannya yang diharamkan oleh Islam dan ini berlaku
selamanya.
6
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz x, (Dmsyk: Dar al-Fikr, 1997), hal 7710.
9
Adapun ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyebutkan hanya ada tiga penghalang
kewarisan yaitu perbudakan, perbedaan agama, dan pembunuhan. Namun, ada beberapa
ulama Syafi ’iyah yang menambahkan tiga lagi penghalang kewarisan yaitu pertama,
perbedaan kekafiran antara kafir dzimmi dan kafir harabah (kafir dzimmi dan kafir
harabah tidak saling mewarisi karena putusnya tali perwalian antara mereka). Kedua,
riddah.7 Orang yang murtad tidak bisa mewarisi harta orang yang muslim ataupun kafir,
harta yang dimilikinya pun tidak bisa diwarisi dan diserahkan kepada baitul mal.
Pada dasarnya, halangan mewarisi yang disepakati oleh fuqaha ada tiga macam
yaitu perbudakan, berbeda agama, dan pembunuhan. Perbudakan menjadi halangan
mewarisi bukanlah karena status kemanusiannya, tetapi semata-mata karena status
formalnya sebagai hamba sahaya (budak). Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak
terhalang untuk menerima warisan karena ia dianggap tidak cakap melakukan perbuatan
hukum. 17
Sebagaimana firman Allah dalam surah An- Nahl ayat 75 yang dijadikan petunjuk
umum dari suatu nash yang sharih yang menafi kan kecakapan bertindak seorang hamba
sahaya dalam segala bidang yaitu sebagai berikut:
ب هّٰللا ُ َمثَاًل َع ْب ًدا مَّمْ لُ ْو ًكا اَّل َي ْق ِد ُر َع ٰلى َشيْ ٍء َّو َمنْ رَّ َز ْق ٰن ُه ِم َّنا ِر ْز ًق ا َح َس ًنا َف ُه َو ُي ْنفِ ُق ِم ْن ُه
َ ض َر
َ
سِ ًّرا وَّ َجهْرً ۗا َه ْل َيسْ َت ٗو َن ۚ اَ ْل َحمْ ُد هّٰلِل ِ ۗ َب ْل اَ ْك َث ُر ُه ْم اَل َيعْ لَم ُْو َن
“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang
tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang kami beri rezki yang baik
dari kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara
terang-terangan, Adakah mereka itu sama? segala puji Hanya bagi Allah, tetapi
kebanyakan mereka tiada mengetahui”
Seorang hamba sahaya atau budak tidak dapat bertindak terhadap sesuatu apapaun
karena ia berada di bawah kekuasaan tuannya. Ia tidak cakap mengurusi hak milik
kebendaan dengan jalan apa saja. Dalam soal pusaka mempusakai terjadi di satu pihak
melepaskan hak milik kebendaan dan di satu pihak yang lain menerima hak milik
kebendaan. Oleh karena itu, terhalangnya budak dalam pusaka mempusakai dapat ditinjau
dari dua jurusan yaitu mempusakai harta peninggalan dari ahli warisnya dan
mempusakakan harta peninggalan kepada ahli warisnya.8
7
Fa’il dari riddah adalah murrtad yaitu orang yang meninggalkan agama Islam dan memeluk
agama lain atau tidak beragama sama sekali yang biasanya disebut istilah atheis.
8
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1975), hal 84
10
Seorang budak tidak mempusakai harta peninggalan ahli warisnya karena pertama,
ia dipandang tidak cakap mengurusi harta milik, dan kedua, status kekeluargaannnya
terhadap kerabatkerabatnya sudah putus karenanya ia sudah menjadi orang asing bagi
keluarganya. Oleh karena itu, apabila seorang hamba sahaya meninggal dan mempunyai
harta peninggalan, maka hartanya itu tidak dapat diwariskan kepda ahli warisnya sendiri
karena ia dianggap melarat dan tidak mempunyai harta peninggalan sedikitpun. Pada
dasarnya, segala sesuatu yang dimiliki oleh seorang budak adalah milik tuannya sehingga
ia tidak mewarisi ataupuan mewariskan apa yang ada padanya.
Secara yuridis, hamba sahaya dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum
karena hak-hak kebendaannya ada pada tuannya sehingga ia tidak bisa menerima bagian
warisan dari tuannya. Sebagai “harta” milik tuannya tentu ia tidak bisa memiliki dan
dimiliki karena yang memiliki hanyalah yang berstatus merdeka yaitu tuannya. Bahkan,
hubungan kekerabatan budak dengan saudaranya atau kerabatnya sendiri terputus karena
statusnya sebagai hamba sahaya tersebut.9
Seorang muslim tidak bisa mewarisi harta dari seorang yang kafir dan sebaliknya
walaupun ada hubungan kekerabatan atau perkawinan. 10 Petunjuk umum terkait hal ini
ada pada surah an-Nisa: 141 yang berbunyi:
َولَنْ يَّجْ َع َل هّٰللا ُ ل ِْل ٰكف ِِري َْن َعلَى ْالم ُْؤ ِم ِني َْن َس ِب ْياًل
“…dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
mengalahkan orang-orang yang beriman”
افرMMرث الكMMافر واليMMؤمن الكMMرث المMMلم اليMMه وسMMلى هلل عليMMول هلل صMMال رسMMال قMMعن أسامة ابن زيد ق
المؤمن.
()رواه البخارى
“Dari Usamah ibn Zaid berkata: Rasulullah saw bersabda ‘orang Islam tidak mewarisi
harta orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam’”. HR. Bukhari.
9
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal 39
10
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz x (Dmsyk: Dar al-Fikr, 1997), hal 7719
11
اليتوارث اهل الملتين شتى
“Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda-beda”
Pembunuhan adalah suatu tindak pidana kejahatan yang di dalam istilah agama
disebut dengan maksiat, sedangkan hak kewarisan merupakan nikmat, maka dengan
sendirinya maksiat tidak boleh dipergunakan sebagai suatu jalan untuk mendapatkan
nikmat. Membunuh muwarrisnya disinyalir ada indikasi untuk mempercepat terjadinya
proses kewarisan.
Ahli waris ini ingin mempercepat memperoleh harta warisan dengan cara yang
sangat tidak dibenarkan oleh hukum manapun baik hukum agama maupun hukum yang
dibuat oleh manusia. Jumhur ulama telah sepakat untuk menetapkan bahwa pembunuhan
itu pada prinsipnya menjadi penghalang mempusakai bagi si pembunuh terhadap harta
peninggalan orang yang telah dibunuhnya.8 Sesuai dengan sabda Nabi yang berbunyi:
يراثMMال من المMMعن عمرو بن شعيب عن ابيه عن جده قال قال رسول هلل صلى هلل عليه وسلم ليس للقت
شيء
“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata ia: berkata Rasulullah saw:
“Tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi”12
Selain itu, Ibnu Abbas juga meriwayatkan sebuah hadis yang berbunyi:
من قتل قتيال فإنه اليرثه وان لم يكن له وارث غيره وان كان له ولده فليس لقاتل ميراث
11
Suhrawardi K. Lubis & Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis),
(Jakarta: Sinar Grafika, 1999), hal 55-56.
12
Abi Bakar bin Husein bin Ali Al-Baihaki, Sunanul Qubra, juz 6 (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hal
220.
12
bapaknya atau anaknya, maka bagi pembunuh tidak berhak menerima harta
peninggalan”
Pembunuhan sebagai halangan mewarisi adalah salah satu cara untuk mencegah
seseorang yang ingin mempercepat proses pembagian warisan dengan cara tersebut.
Jumhur ulama sepakat pembunuhan merupakan salah satu penghalang kewarisan, namun
terdapat perbedaan pendapat mengenai jenis dan macam yang menjadi penghalang
tersebut.
Pendapat terkuat adalah dari ulama Hanabilah karena pendapat mereka selaras
dengan dalil-dalil yang menegaskan pembunuhan menjadi penghalang mewarisi di
samping pendapat tiga mazhab yang lain.
Ghairu warith adalah ahli waris asabah, dimana ahli waris lain yang mendapat
bagian pasti sudah menghabiskan harta peninggalan sehingga ahli waris asabah tadi tidak
mendapat sedikitpun harta peninggalan mayit.
13
H.A. Dzajuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006), hal 106.
13
Perbedaan antara Mahjub, Mamnu‘ dan ghoiruwarith :14
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
14
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal 441.
14
3. Dari segi ketiadaan menerima harta peninggalan:
Pada mahjub, terhalangnya menerima harta peninggalan karena terwujudnya
ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya dari padanya
Pada mamnu‘ karena adanya salah satu mawani’ul irthi, bukan karena adanya
pewaris yang lebih dekat kekerabatannya.
Pada ghairu warith karena kehabisan harta peninggalan untuk memenuhi
bagian ahli waris utama.
4. Dari segi kedudukannya
Pada mahjub, ahli waris tetap dianggap ada meskipun ia tidak mendapat harta
warisan, sehingga ia dapat mempengaruhi pem-bagian ahli waris lain.
Misalnya, 3 orang saudara bersama-sama ayah dan ibu. 3 orang saudara
terhijab oleh ayah namun ia masih dianggap ada dan bisa mengurangi bagian
ibu dari 1/3 menjadi 1/6.
Pada mamnu‘, sifat terhalangnya bersifat menyeluruh. Ia dianggap tidak ada
sehingga selain tidak mendapat harta warisan dia juga tidak bisa
mempengaruhi pembagian ahli waris lain. Seperti anak laki-laki yang berbeda
agama atau dia adalah pembunuh si mayit.
Pada ghairu warith kedudukannya sama dengan mahjub.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Baihaki, A. B. (n.d.). Sunamul Qubra juz 6. Beirut: Dar al-Fikr.
al-Sabuniy, M. A. (1995). Pembagian Waris Menurut Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
16