Perang Dagang

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 20

A.

Latar Belakang

Amerika Serikat merupakan negara dengan tingkat ekonomi dan teknologi


paling kuat di dunia dengan GDP per kapita mencapai US$ 19,39 triliun pada tahun
2017, yang merupakan seperempat dari GDP nominal dunia. Pendapatan per kapita
Amerika sendiri merupakan pendapatan per kapita tertinggi di dunia. Amerika Serikat
juga merupakan negara produsen untuk minyak bumi yang terbesar ketiga dan juga
produsen gas alam terbesar kedua di dunia. Sedangkan China memiliki GDP perkapita
mencapai US$ 12,24 triliun pada tahun 2017 dibawah Amerika Serikat.

Namun sebagai negara tujuan yang prospektif dalam kurun waktu 2017- 2019
Amerika Serikat merupakan negara terbesar setelah Republik Rakyat China. Mata
uang AS, yakni Dollar AS (US$) yang merupakan cadangan mata uang utama di
dunia, bahkan sekitar 60% cadangan mata uang dunia telah diinvestasikan ke dalam
bentuk US$, sementara 24% diinvestasikan ke dalam mata uang Euro.

Dalam kurun beberapa tahun terakhir, China memiliki tingkat pertumbuhan


ekonomi yang terhitung pesat. Bahkan China berkembang menjadi negara dengan
perekonomian terbesar kedua di dunia. Amerika Serikat berusaha menjalin kerjasama
dengan tujuan untuk menyeimbangkan keadaan ekonomi global dan menghilangkan
hambatan dagang antar keduanya serta meningkatkan nilai investasi bilateral diantara
kedua negara. Amerika Serikat berusaha mendorong China agar dapat membuka pasar
dan peluang investasi yang baru bagi bisnis internasional. Akhirnya China bersedia
untuk bergabung dengan World Trade Organization (WTO) pada bulan Desember
2001.

Dengan bergabungnya China dengan WTO merupakan strategi untuk


meningkatkan hubungan dagang antara China dan Amerika Serikat. Ekspor produk
Amerika ke China meningkat sebanyak 81% dalam periode tiga tahun pertama
keanggotaan China di WTO, dibandingkan hanya sejumlah 34% pada tiga tahun
terakhir sebelum China bergabung dengan WTO. Di lain sisi, import dari China
meningkat 92% dalam tiga tahun pertama keanggotaan China di WTO yang
sebelumnya hanya berjumlah 46% di tiga tahun sebelumnya.

Eksistensi Amerika Serikat sebagai negara super power dapat terancam


khususnya oleh China. Hal ini bermula ketika Amerika Serikat mengalami defisit
yang semakin membesar, China merupakan negara penyumbang defisit terbesar
Amerika Serikat. Amerika Serikat sendiri berupaya mengurangi defisit
perdagangannya dengan China yang naik menjadi US$ 375,2 miliar pada tahun 2017
dari US$ 347 miliar pada tahun 2016. Sebelumnya di pemerintahan presiden Barack
Obama, defisit perdagangan Amerika Serikat terhadap China pada tahun 2013 sebesar
US$ 319 miliar; pada tahun 2014 naik menjadi US$ 345 miliar; pada tahun 2015
semakin naik menjadi US$ 367 miliar; dan pada tahun 2016 defisit perdagangan bisa
ditekan menjadi US$ 347 miliar.

Namun di tahun pertama Presiden Donald Trump, defisit perdagangan


tersebut kembali naik menjadi US$ 375 miliar.Oleh karena itu, guna mengurangi
defisit Amerika Serikat yang semakin tinggi, Presiden Donald Trump melancarkan
proteksionisme dari Tiongkok sebagai realisasi kampanyenya “US first, Make
America Great Again”.

Sejak masa kampanye Presiden AS Donald Trump telah mengindikasikan


akan mengarahkan perekonomian AS kepada proteksionisme. Hal tersebut semakin
terlihat dengan memburuknya hubungan ekonomi AS-China yang mengarah pada
perang dagang. Perang dagang merupakan konflik ekonomi yang terjadi ketika suatu
negara memberlakukan atau meningkatkan tarif atau hambatan perdagangan lainnya
sebagai balasan terhadap hambatan perdagangan yang ditetapkan oleh pihak yang lain

Perang dagang juga terjadi karena ketika satu negara membalas dengan
negara lain dengan menaikkan tarif impor atau menempatkan pembatasan lain pada
impor negara lawan. Tarif adalah pajak atau bea yang dikenakan pada barang yang
diimpor ke suatu negara.

Pemerintahan Presiden Donald Trump mengenakan tarif impor sebesar


US$50-US$60 miliar untuk sejumlah produk China yang masuk ke Amerika dalam
upaya memperbaiki perekonomian dalam negeri dan mengurangi defisit neraca
perdagangan kedua negara. Presiden Trump mengumumkan menaikkan tarif impor
hingga 15% untuk baja dan 10% untuk aluminium. Selain pengenaan tarif impor, AS
juga berencana untuk membatasi investasi dan mengambil tindakan untuk China di
Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/ WTO) karena
menganggap negara tersebut bersikap tidak adil dalam perdagangan bilateral.
Pemerintah China membalas tindakan AS dengan menaikkan tarif impor hingga 25%
terhadap produk impor AS dan akan membawa masalah ini juga ke WTO.

Di tingkat global, perang dagang dua negara berpengaruh ini dapat memicu
pelemahan ekonomi dunia dan berimplikasi pada Indonesia. Bagaimana implikasi
perang dagang AS-China terhadap ekonomi global dan Indonesia akan dijabarkan
dalam tulisan di bawah ini

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kondisi ekonomi Indonesia yang dianggap buruk akibat terkena dampak
perang dagang Amerika dan China?

2. Apakah perang dagang Amerika dan China mengakibatkan pertumbuhan ekonomi


dunia yang makin lambat?

3. Apakah perang dagang Amerika dan China mengakibatkan struktural ekonomi


Indonesia yang lemah?

4. Apakah perang dagang Amerika dan China mengakibatkan masalah karena besaran
utang pemerintah yang mengakibatkan pelemahan ekonomi Indonesia

C. Tujuan Pembahasan

Tujuan dari makalah ini yaitu untuk mengetahui apakah perang dagang antara
Amerika dan China berdampak buruk atau tidak terhadap pertumbuhan ekonomi
dunia, pertumbuhan perekonomian di Indonesia, struktural ekonomi indonesia serta
besaran utang pemerintah yang mengakibatkan pelemahan ekonomi Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Implikasi perang dagang Amerika dan China terhadap ekonomi Global

Perkembangan ekonomi dunia akhir ini kurang supportif terhadap


perkembangan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi global tahun 2019
kemungkinan akan lebih rendah dibandingkan tahun 2018. Seperti International
Monetary Fund (IMF) juga memperkirakan pertumbuhan tahun 2019 sebesar 3,2
persen, lebih rendah dibandingkan tahun 2018 yaitu sebesar 3,6 persen. Selain itu,
prospek ekonomi global ke depan terus dibayangi dengan ketidakpastian akibat
perang dagang antara Amerika Serikat dengan China yang terus berlanjut. Perang
dagang antar dua raksasa ekonomi dunia tersebut akan berdampak negatif terhadap
ekonomi global karena akan menurunkan volume perdagangan dunia, yang pada
akhirnya bisa menekan pertumbuhan ekonomi dunia.
Adapun salah satu faktor dampak melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia
disebabkan oleh ekonomi Tiongkok yang melemah akibat perang dagang Amerika
Serikat dan China, padahal ekonomi dunia sudah berhasil tumbuh pada tahun 2017
setelah mengalami perlambatan sejak 2015 (Badan Pusat Statistik,2018). Oleh karena
itu pertumbuhan ekonomi global pada 2018 menurun hanya 3,6 persen. Padahal
sebelumnya pada rilis WEO April 2018, akselerasi ekonomi yang terjadi pada 2017
diperkirakan mampu memacu percepatan ekonomi tahun 2018 di level 3,9 persen.
Ekonomi yang melambat pada 2018 diperkirakan terus berlanjut hingga awal 2019
dan berdampak pada penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2019 (IMF,
2019).

Tabel 1.1 menunjukkan tren pertumbuhan ekonomi negara-negera di dunia


selama kurun waktu lima tahun terakhir. Ekonomi di negara maju melambat pada
2018 dibandingkan tahun sebelumnya. Pada awal 2018, IMF memproyeksikan
ekonomi negara maju tahun 2018 tumbuh 2,5 persen. Hal ini berarti proyeksi awal
tahun 2018 sedikit melenceng dengan kondisi yang terjadi pada keseluruhan 2018.
Faktor penyebab perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia tersebut juga salah
satunya karena konflik perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok (ADB,
2019) dan didukung dengan faktor lainya seperti kebijakan fiskal dan moneter yang
kurang akomodatif.

Pada negara berkembang, laju pertumbuhan ekonomi melambat pada 2018


sebesar 4,5 persen, lebih rendah dibandingkan proyeksi IMF awal tahun 2018 sebesar
4,9 persen. Kondisi ini lebih banyak dipengaruhi penurunan pertumbuhan ekonomi di
Tiongkok seiring memburuknya hubungan perdagangan antara Tiongkok dan
Amerika Serikat. Hal ini berimbas pada aktivitas perdagangan luar negeri dengan
negara mitra di Asia dan Eropa. Disamping itu, kondisi pasar keuangan global juga
turut berkontribusi terhadap perlambatan ekonomi di negara berkembang. Namun,
berbeda dengan India yang berhasil mencatatkan pertumbuhan positif di tahun 2018
dengan kenaikan laju pertumbuhan dibandingkan tahun sebelumnya, begitu pula
dengan kawasan SubSahara Afrika dan Negara-negara Persemakmuran.

Jika diihat dari Laju inflasi, laju inflasi dunia mengalami peningkatan sejak
2016 dan pada 2018 berada pada level 3,6 persen. Capaian inflasi dunia tahun 2018
sedikit lebih tinggi dibandingkan proyeksi awal tahun 2018 oleh IMF sebesar 3,5
persen. Peningkatan laju inflasi dunia diikuti kenaikan laju inflasi di negara maju dan
berkembang. Inflasi negara maju sempat menurun pada 2015, kemudian naik lagi
hingga 2018 di level 2,0 persen atau tepat sesuai prediksi IMF pada awal tahun. Laju
inflasi di negara maju tetap rendah seiring penurunan harga komoditas yang terjadi.
Hal ini menunjukkan bahwa stabilitas harga di negara maju lebih terjaga.

Negara berkembang menunjukkan tren laju inflasi yang lebih halus, dari 4,7
persen pada 2014 menjadi 4,8 persen pada 2018. Pada range ini, inflasi masih
dianggap aman yaitu di bawah 10 persen. Laju inflasi negara berkembang tahun 2018
lebih tinggi dibandingkan perkiraan sebelumnya sebesar 4,6 persen. Untuk negara-
negara ASEAN, terjadi penurunan laju inflasi yang cukup signifikan dari 4,1 persen
pada 2014 menjadi 2,7 persen pada 2018. Laju inflasi ini lebih rendah dibandingkan
proyeksi ADB pada awal 2018 sebesar 3,0 persen.
Jika ditinjau dari anggota negara maju, tampak bahwa Amerika Serikat, Jepang,
Kanada, dan rata-rata negara maju di kawasan Eropa mencatatkan laju inflasi yang
meningkat pada 2018. Sementara itu, Inggris dan Korea menunjukkan hal yang
sebaliknya dimana inflasi turun pada 2018. Inflasi di Amerika Serikat pada 2018
meningkat sejalan peningkatan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut.
Pertumbuhan yang melambat di kawasan Eropa membuat inflasi tetap terkendali dan
cenderung meningkat.

Konflik perdagangan antara China dan Amerika Serikat apabila masih


berlangsung dan bahkan memburuk tentu dapat merusak investasi dan pertumbuhan
ekonomi di negara-negara berkembang di Asia. Untuk negara-negara di kawasan
Asia, pertumbuhan ekonomi diperkirakan menurun dari 6,4 persen pada 2018 menjadi
6,3 persen pada 2019-2020. Hal ini dipengaruhi perlambatan ekonomi di China dan
Indonesia, terlebih sebagai akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan
Tiongkok (BPS, 2019)

IMF juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun depan menjadi


3,4%, turun 0,2% dari proyeksi pada April lalu. Pertumbuhan ekonomi terus melemah
akibat meningkatnya hambatan perdagangan dan meningkatnya ketegangan
geopolitik," kata Kepala Ekonom IMF. Perlambatan pertumbuhan ekonomi didorong
penurunan tajam dalam aktivitas manufaktur dan perdagangan global yang
menyebabkan tarif yang lebih tinggi. Selain itu, ketidakpastian kebijakan perdagangan
yang berlangsung lama merusak investasi dan permintaan barang modal. Selain itu,
ketegangan perdagangan antara AS dan Tiongkok juga akan menekan pertumbuhan
Produk Domestik Bruto (PDB) global sebesar 0,8% pada 2020. Pertumbuhan di
sejumlah negara berkembang juga dipengaruhi oleh tingkat produktivitas yang
rendah, sedangkan pertumbuhan di negara maju dipengaruhi demografi penduduk
yang menua.

Adapun Negara-negara Timur Tengah diperkirakan mengalami penurunan


prospek pertumbuhan tahun 2019 yang dipengaruhi pertumbuhan PDB minyak yang
menurun di Arab Saudi, penyesuaian makroekonomi di Pakistan, sanksi oleh Amerika
Serikat kepada Iran, serta ketegangan dan konflik politik di beberapa negara seperti
Irak, Siria, dan Yaman. Sementara itu, harga minyak yang melemah merupakan beban
bagi prospek pertumbuhan Rusia yang diperkirakan memengaruh pertumbuhan
ekonomi Negara-negara Persemakmuran pada 2019 dan 2020 (ADB, 2019).

B. Dampak perang dagang Amerika dan China terhadap perekonomian di


Indonesia

Perekonomian di Indonesia berhasil mencatatkan kenaikan pertumbuhan


ekonomi pada 2018 saat ekonomi global melambat. Pertumbuhan positif ini ditopang
oleh investasi dan konsumsi domestik yang menguat. Permintaan domestik didorong
untuk mengimbangi kinerja ekspor yang lemah sehingga pertumbuhan ekonomi tetap
menunjukkan tren positif. Oleh sebab itu, Indonesia kini bergerak ke arah
pemanfaatan industri 4.0 guna mewujudkan potensi pertumbuhan nasional.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 sebesar 5,2 persen merupakan yang
tercepat sejak 2013. Hal ini ditopang oleh investasi domestik dan konsumsi domestik
yang lebih kuat. Investasi yang menguat didorong oleh kebutuhan pembangunan
proyek infrastruktur publik transportasi dan energi. Investasi swasta di sektor
pertanian dan perkebunan menunjukkan geliat pemulihan pada 2018 setelah sempat
melambat pada 2017. Hal ini merupakan dampak dari program Biodiesel 20 yang
dikeluarkan oleh pemerintah dimana seluruh kendaraan diesel dan alat berat
disyaratkan untuk menggunakan campuran biofuel setidaknya 20 persen (BI, 2019).

Di Indonesia, impor melesat cukup tajam pada 2018 sehingga neraca


perdagangan luar negeri yang tadinya surplus pada 2017, menjadi sedikit defisit pada
2018. Ekspor masih menunjukkan kinerja dengan ditopang peningkatan pendapatan
sektor pariwisata, layanan telekomunikasi, dan remitan dari tenaga kerja Indonesia
yang bekerja di luar negeri. Pendapatan pemerintah didorong pula dari keberhasilan
tax amnesty dan harga komoditas yang lebih tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang
positif berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan, pengangguran, dan
ketimpangan. Daya beli masyarakat terjaga sejalan dengan inflasi yang tetap rendah
dan terkendali. Belanja pemerintah dalam rangka menghadapi tiga kegiatan besar
pada 2018 juga memberi andil besar dalam perekonomian, seperti Asian Games,
pertemuan tahunan IMF-World Bank, dan pemilihan legislatif (BI, 2019).

Dari sisi lapangan usaha, ekonomi Indonesia masih ditopang dari pertumbuhan
lapangan usaha Perdagangan seiring impor yang tumbuh kuat. Belanja pemerintah
untuk meningkatkan taraf pendidikan masyarakat juga mendorong lapangan usaha
Administrasi Pemerintahan dan Jasa Pendidikan tumbuh signifikan. Lapangan usaha
konstruksi juga tumbuh kuat sejalan pembangunan infrastruktur yang masih
berlangsung. Sementara itu, lapangan usaha industri pengolahan sebagai kontributor
utama perekonomian nasional masih mencatatkan pertumbuhan yang cenderung stabil
(BI, 2019).

Adanya perang dagang antara Amerika Serikat dan China juga memiliki
dampak negatif yang kecil terhadap penurunan kinerja ekspor melalui penurunan
harga-harga komoditas. Yang mana berdasarkan data, harga minyak Kelapa sawit
(Crude Palm Oil/CPO) belakangan ini terus tertekan ke tingkat harga sekitar 500 dolar
AS (USD) per ton, padahal harga rata-rata tahun 2017 sebesar USD 648 per ton dan
tahun 2018 turun lagi menjadi USD 556 per ton. Hal yang sama juga terjadi pada
harga batubara, yang terus menurun akhir-akhir ini ketingkat harga USD 65 per ton,
padahal harga rata-rata tahun 2017 diatas USD 100 per ton dan tahun 2018 sebesar
USD 88,3 per ton. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Deputi Gubernur BI
bahwa pada kuartal II investasi turun siginifikan, terutama investasi swasta yang
hanya mampu tumbuh 3,07%, padahal biasanya bisa tumbuh di atas 7%. Ia menilai ini
bukan hanya menjadi tantangan bagi Indonesia tapi juga negara berkembang lainnya

Namun demikian, meskipun tantangan ekonomi global semakin besar, akan


tetapi stabilitas ekonomi nasional masih terjaga, dengan pertumbuhan yang relative
masih lebih baik Seperti yang diketahui dari data Badan Pusat Statistika (BPS), pada
kuartal II tahun 2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,05 persen,
sementara pertumbuhan ekonomi kuartal I tahun 2019 sebesar 5,07 persen.
Pertumbuhan terjadi hampir di seluruh komponen PDB pengeluaran, kecuali
Komponen Ekspor Barang dan Jasa yang terkontraksi sebesar 0,79 persen.
Pertumbuhan tertinggi didorong oleh Komponen PK-P yang tumbuh sebesar 36,28
persen.

Grafik 1

Pertumbuhan Komponen PDB

Table: Badan Pusat Statistika (2019)

Memandang bahwa stabilitas ekonomi nasional masih terjaga, dengan


pertumbuhan yang relative masih lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara
emerging markets atau jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN maka
Indonesia masih memiliki kerugian yang sedikit.

Tabel: Bank OCBC


Dari tabel diatas menunjukkan bahwa skor yang ditetapkan berkisar dari 1-10
(semakin tinggi skor, semakin tinggi dampak potensial yang dapat ditimbulkan oleh
ketegangan perdagangan miliki di negara) maka Malaysia dan Singapura memiliki
dampak yang perang dagang Amerika dan China yang paling signifikan terhadap
pertumbuhan ekonominya.

Tabel IMF

Grafik diatas merupakan grafik GDP indonesia selama 3 tahun terakhir yang

mana GDP pada tahun 2018 meningkat di setiap quartal dan hanya menurun sedikit

saja, ini dapat dikatakan bahwa GDP di Indonesia masih dalam kategori stabil

Tabel IMF

Dari tabel diatas menunjukkan CPI indonesia selama sembilan tahun terakhir

dimana CPI meningkat dan menurun pada setiap tahun nya.

Jika dilihat dari Inflasi, Inflasi di Indonesia tahun 2018 lebih rendah
dibandingkan tahun 2017, namun defisit transaksi berjalan semakin lebar karena
impor meningkat untuk proyek infrastruktur besar. Meskipun melambat, laju inflasi
Indonesia cukup terkendali dan sesuai dengan proyeksi Bank Indonesia pada awal
2018 yaitu sebesar 3,5±1 persen. Perlambatan laju inflasi disebabkan persediaan
makanan yang cukup, hasil dari pertanian berkelanjutan dan harga bahan bakar dan
listrik yang stabil hasil subsidi pemerintah.

C. Besaran utang pemerintah menyebabkan kelemahan ekonomi Indonesia

Hingga saat ini, penerimaan negara belum mampu memenuhi besaran


pengeluaran negara, sehingga terjadi defisit anggaran dan pembiayaan kekurangan
tersebut tergantung pada utang. Pembiayaan utang dalam postur APBN selain
berperan dalam membiayai defisit anggaran juga berperan untuk pembiayaan
investasi dan pemberian pinjaman kepada BUMN dan Pemda. Utang yang dilakukan
pemerintah dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan yang sifatnya produktif dan
investasi dalam jangka panjang seperti membangun infrastruktur, membiayai
pendidikan dan kesehatan yang dalam jangka panjang akan menghasilkan dampak
berlipat untuk generasi mendatang.

Dengan dampak dan resiko yang cukup besar tersebut, maka kebijakan
pembiayaan utang dilakukan dengan prinsip (a) kehati-hatian, yaitu menjaga rasio
utang terhadap PDB dan diusahakan menurun; (b) produktivitas, yaitu utang untuk
mendukung pencapaian target pembangunan; (c) efisiensi, yaitu biaya utang pada
tingkat risiko yang terkendali dan mendukung kesinambungan fiskal; dan (d)
keseimbangan untuk menjaga komposisi utang dalam batas terkendali
Meskipun utang negara meningkat namun pembiayaan utang telihat cenderung
menurun. Pembiayaan utang mulai terlihat menurun sejak tahun 2017, dimana pada
tahun tersebut kondisi perekonomian global sedang tidak stabil yang ditandai dengan
adanya tren peningkatan suku bunga The Fed dan terjadinya depresiasi mata uang
nasional terhadap Dolar Amerika Serikat. Berdasarkan pertimbangan keseimbangan
fiskal dan peningkatan utang negara maka dalam APBN tahun 2019, pembiayaan
utang negara dianggarkan menurun 2,23 persen dari realisasi tahun 2018. Pemerintah
menganggarkan pembiayaan utang di tahun 2019 sebesar Rp 359,3 triliun.

Risiko pembayaran utang yang harus dilakukan dalam jangka waktu pendek (1-
3 tahun) atau dikenal dengan refinancing risk Pemerintah, sebenarnya cukup kecil dan
masih aman. Sebagaimana data dalam 5 tahun terakhir, rata-rata utang yang jatuh
tempo dalam waktu 1-3 tahun masih di bawah 36% dari jumlah utang yang jatuh
tempo, dimana pada tahun 2017 dan 2018 masing-masing sebesar 35,5%. Dengan
rendahnya refinancing risk tersebut, kemampuan Pemerintah untuk membayar utang
masih terjaga, termasuk juga untuk melakukan roll-over utangnya.

Oleh karena itu pernyataan yang menyatakan ekonomi Indonesia melemah


karena utang adalah salah, karena pemerintah Pemerintah harus berhutang karena
ketertinggalan infrastruktur dan masalah konektivitas menimbulkan tingginya biaya
ekonomi yang harus ditanggung oleh masyarakat hingga rendahnya daya saing
nasional. Inilah yang menjadi dasar pemerintah mengakselerasi pembangunan
infrastruktur demi mengejar ketertinggalan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Rasio utang Pemerintah saat ini masih aman, jauh dari batas yang ditetapkan
dalam undang-undang keuangan Indonesia bahkan Uni Eropa juga menerapkan batas
yg sama dengan Indonesia. Dan Pemerintah selalu menjaga agar pertambahan utang
atau defisit tidak melebihi batas amannya setiap tahun.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

 Menurut saya dampak perang dagang yang terjadi antara Amerika dan China
salah satu faktor yang menyebabkan ekonomi global menurun seperti yang terjadi
di negara maju dan berkembang. Namun ada negara yang ketika terjadinya
penurunan ekonomi global tetapi tidak berdampak ke negara tersebut seperti
Amerika Serikat dan Australia mampu menunjukkan tren positif dalam
pertumbuhan ekonomi saat negara maju lainnya mengalami perlambatan.
Ekonomi Amerika Serikat tetap bertahan ditopang dari pasar tenaga kerja dan
pertumbuhan konsumsi yang kuat (IMF, 2019).

 Ekonomi negara-negara berkembang Asia pada 2018 tetap kuat meski melambat
dibandingkan tahun 2017. Pertumbuhan yang melambat tahun 2018 disebabkan
pertumbuhan yang melemah di Tiongkok, Ekonomi di Tiongkok melemah akibat
pengetatan peraturan di pasar keuangan, kinerja ekspor dan investasi yang
melemah. Disamping itu, intermediasi keuangan juga dibatasi sehingga
memperlambat investasi domestik (IMF, 2019). Sebaliknya, India berhasil
mencatatkan pertumbuhan positif di tahun 2018 dengan kenaikan laju
pertumbuhan dibandingkan tahun sebelumnya, begitu pula dengan kawasan
SubSahara Afrika dan Negara-negara Persemakmuran.

 Faktor melemahnya ekonomi di negara lain selain faktor perang dagang adalah
resesi yang terjadi di Turki, akumulasi kinerja ekonomi yang melemah pada akhir
2018, dan kontraksi yang semakin dalam di Iran. Tiongkok mencatatkan
pelemahan pertumbuhan dari 6,9 persen pada 2017 menjadi 6,6 persen pada
2018. Jadi, pernyataan yang mengatakan bahwa dampak perang dagang antara
China dan Amerika membuat ekonomi secara global melemah adalah benar,
terutama negara bagian Asia yang dikarenakan melemahnya ekonomi China
kalah dari perang dagang oleh Amerika berdampak pada negara yang Di Asia

 Di Perekonomian di Indonesia bisa dikatakan sangat sedikit dampak dari perang


dagang yang membuat ekonomi indonesia menjadi buruk, akan tetapi ekonomi di
Indonesia masih terjaga kestabilitasnya meskipun perang dagang antara Amerika
dan China terjadi, karena jika dilihat dari data pencatatan perekonomian di
Indonesia tumbuh akibat dari investasi dan konsumsi domestik yang menguat.
Permintaan domestik didorong untuk mengimbangi kinerja ekspor yang lemah
sehingga pertumbuhan ekonomi tetap menunjukkan tren positif. Jadi , pernyataan
yang menyatakan bahwa kondisi ekonomi Indonesia dan struktural ekonomi
indonesia melemah adalah salah.

 Pemerintah harus berhutang karena ketertinggalan infrastruktur dan masalah


konektivitas menimbulkan tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung oleh
masyarakat hingga rendahnya daya saing nasional. Inilah yang menjadi dasar
pemerintah mengakselerasi pembangunan infrastruktur demi mengejar
ketertinggalan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, salah
jika ada pernyataan ekonomi Indonesia melemah karena besaran utang
pemerintah

B. Saran

Menurut saya masalah ekonomi Indonesia yang paling menonjol yang harus dicari
permasalahannya atau terus ditingkatkan cara mengatasi permasalahanya adalah
Poverty atau kemiskinan. Di Indonesia Poverty adalah salah satu hal yang harus
diperhatikan selalu oleh pemerintah. Kaerna untuk meningkatkan perekonomian
indonesia adalah dengan mengatasi poverty dengan cara meningkatkan sumber daya
manusia nya, adapaun cara meningkatkan sumber daya manusia adalah dengan
mencapai pendidikan yang lebih tinggi bukan hanya sekedar sampai 9 tahun yang
diterapkan pemerintah Indonesia. Jika sumber daya manusia di Indonesia sudah
bagus, maka kedepannya Indonesia akan menjadi salah satu negara maju.

DAFTAR PUSTAKA

Focus Economics, 2019, Economic Forecast from the world’s leading economic
https://www.focus-economics.com/countries/indonesia

Indonesia Investment, 2019. Indonesia Investment https://www.indonesia-


investments.com/finance/macroeconomic-indicators/item16
The World Bank, 2019. The World Bank Indonesia GDP
https://data.worldbank.org/country/indonesia

The World Bank, 2019, Global Economics Prospects.


https://www.worldbank.org/en/publication/global-economic-prospects#data

Merdeka Com ,2019. Bank Mandiri Paparkan Dampak Buruk Perang Dagang ke
Ekonomi RI. https://www.merdeka.com/uang/bank-mandiri-paparkan-dampak-buruk-
perang-dagang-ke-ekonomi-ri.html

Kompas, 2019. Ketegangan Perang Dagang China -As kian Tekan Ekonomi Dunia
https://money.kompas.com/read/2019/08/06/175142926/bi-ketegangan-perang-
dagang-china-as-kian-tekan-ekonomi-dunia

Oke Finance, 2019. Perang Dagang AS-China berdampak Negatif pada Harga Sawit
dan Batu Bara RI https://economy.okezone.com/read/2019/09/09/20/2102564/perang-
dagang-as-china-berdampak-negatif-pada-harga-sawit-dan-batu-bara-ri

OCBC, 2019, Trade Tarrifs and its Impact on ASEAN


https://www.ocbc.com/assets/pdf/special%20reports/trade%20tensions%20and%20its
%20impact%20on%20asean%20(jul18).pdf

International Monetary Fund, 2019. World Economic Outlook


https://www.imf.org/en/Publications/WEO/Issues/2019/10/01/world-economic-
outlook-october-2019

Badan Pusat Statistik, 2019.Pelaporang perekonomian Indonesia


https://www.bps.go.id/

Bank Indonesia, 2018. Pelaporan Perekonomian Indonesia 2018.

CNN Indonesia, 2019. Utang Indonesia Tembus Rp. 4570 triliun per Juni 2019
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190717103015-532-412842/utang-
pemerintah-tembus-rp4570-triliun-per-juni-2019

Anda mungkin juga menyukai