Laporan Kasus TTH Rahma Eka Fauziyyah 712019063

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 40

i

Laporan Kasus

INFREQUENT EPISODIC TENSION TYPE HEADACHE


DENGAN PERICRANIAL TENDERNESS

Oleh:
Rahma Eka Fauziyyah, S.Ked
712019063

Pembimbing:
dr. Yesi Astri, Sp. N, M.Kes

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Laporan Kasus dengan judul

INFREQUENT EPISODIC TENSION TYPE HEADACHE


DENGAN PERICRANIAL TENDERNESS

Dipersiapkan dan disusun oleh


Rahma Eka Fauziyyah, S.Ked
712019063

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang

Palembang, Februari 2022


Pembimbing

dr. Yesi Astri, Sp.N., M.Kes

ii
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya bisa menyelesaikan laporan kasus ini. Penulisan
laporan kasus ini dilakukan dalam rangka memenuhi syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Penyaki Saraf Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, dari masa kepaniteraan klinik sampai pada penyusunan laporan kasus ini,
sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan laporan kasus ini. Oleh karena itu,
saya mengucapkan terima kasih kepada:
1) dr. Yesi Astri, Sp.N., M.Kes selaku pembimbing yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan
laporan kasus ini;
2) Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral; dan
3) Rekan sejawat serta semua pihak yang telah banyak membantu saya dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga laporan kasus ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.

Palembang, Februari 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................i


HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ii
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH..........................iii
DAFTAR ISI...................................................................................................iv
BAB I STATUS PENDERITA NEUROLOGI
1.1 Identitas.......................................................................................1
1.2 Anamnesa....................................................................................1
1.3 Pemeriksaan ...............................................................................9
1.4 Rencana Pemeriksaan Penunjang................................................10
1.5 Diagnosa......................................................................................10
1.6 Tatalaksana..................................................................................12
1.7 Prognosa......................................................................................12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi..................................................................13
2.2.Definisi.........................................................................................17
2.3 Epidemiologi.................................................................................17
2.4 Etiologi.........................................................................................17
2.5 Klasifikasi.....................................................................................18
2.6 Patofisiologi..................................................................................19
2.7 Gejala Klinis.................................................................................22
2.8 Pemeriksaan Fisik.........................................................................23
2.9 Pemeriksaan Penunjang................................................................24
2.10 Diagnosis....................................................................................24
2.11 Diagnosis Banding......................................................................24
2.12 Tatalaksana.................................................................................25
BAB III ANALISA KASUS...........................................................................27
BAB IV KESIMPULAN.................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................33

iv
1

BAB I
STATUS PENDERITA NEUROLOGI

1.1 Identifikasi
Nama : Tn. A
Umur : 25 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Plaju, Palembang
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta

1.2 Anamnesa
Pasien datang ke poli Saraf Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang
dengan keluhan nyeri kepala seperti ditekan benda berat.
Keluhan muncul sejak 3 hari yang lalu. Keluhan dirasakan hilang
timbul dengan durasi hanya beberapa detik hingga 1 menit. Nyeri dirasakan
diseluruh bagian kepala. Saat merasakan nyeri, pasien beberapa kali masih
dapat menahan dan melanjutkan pekerjaan, meskipun kadang harus
menghentikannya. Pasien lebih nyaman ketika berada di ruangan yang
gelap. Keluhan tidak disertai mual muntah, tidak disertai pandangan mata
kabur, mata silau atau pandangan ganda, dan tidak disertai keluhan telinga
berdenging. Tidak ada keluhan penurunan kesadaran, kelumpuhan sesisi
tubuh, mulut mengot dan bicara pelo, dan gangguan sensibilitas.
Keluhan nyeri kepala telah dialami pasien sejak 2 tahun terakhir
karena pasien sedang deadline menyelesaikan pekerjaannya. Tidak ada
riwayat trauma kepala atau terjatuh. Pasien tidak memiliki riwayat stroke
dan sakit pada telinga. Dikeluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan
serupa.

1.3 Pemeriksaan
Status Praesens
2

Kesadaran : GCS (E4V5M6)


2

Gizi : Baik
Suhu Badan : 37°C
Nadi : 72 x/m reguler
Pernapasan : 20 x/m
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Skala Nyeri : 4-5

Status Internus
Jantung : BJ I & II normal, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Anggota Gerak : Akral hangat, pucat (-), edema (-)
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Status Psikiatrikus
Sikap : Kooperatif Ekspresi Muka : Wajar
Perhatian : Ada Kontak Psikis : Ada

Status Neurologikus
A. Kepala
Bentuk : Brachiocephali
Ukuran : Normochepali
Simetris : Simetris
Palpasi : Pericranial Tenderness (+)
3

B. Leher
Sikap : Lurus Deformitas : Tidak ada
Torticolis : Tidak ada Tumor : Tidak ada
Kaku kuduk : Tidak ada Pembuluh darah : Tidak ada pelebaran

C. Saraf – Saraf Otak


1. N. Olfaktorius Kanan Kiri
Penciuman Baik Baik
Anosmia Tidak ada Tidak ada
Hyposmia Tidak ada Tidak ada
Parosmia Tidak ada Tidak ada

2. N.Opticus Kanan Kiri


Visus Normal Normal

Campus visi

Anopsia Tidak ada Tidak ada


Hemianopsia Tidak ada Tidak ada
Fundus Oculi
- Papil edema Tidak diperiksa Tidak diperiksa
- Papil atrofi Tidak diperiksa Tidak diperiksa
- Perdarahan retina Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Nistagmus spontan Positif, horizontal Positif, horizontal

3. Nn. Occulomotorius, Trochlearis, dan Abducens


Diplopia Tidak ada Tidak ada
Celah mata Menutup sempurna Menutup sempurna
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Sikap bola mata
- Strabismus Tidak ada Tidak ada
4

- Exophtalmus Tidak ada Tidak ada


- Enophtalmus Tidak ada Tidak ada
- Deviation Tidak ada Tidak ada
conjugae
- Gerakan bola Baik ke segala arah Baik ke segala arah
mata
Pupil
- Bentuk Bulat Bulat
- Diameter 3 mm 3 mm
- Isokor/anisokor Isokor Isokor
- Midriasis/miosis Normal Normal
- Reflek cahaya
- Langsung Positif Positif
- Konsekuil Positif Positif
- Akomodasi Positif Positif
- Argyl Robetson Negatif Negatif

4. N.Trigeminus Kanan Kiri


Motorik
- Menggigit Kuat Kuat
- Trismus Tidak ada Tidak ada
- Reflek kornea Positif Positif
Sensorik
- Dahi Normal Normal
- Pipi Normal Normal
- Dagu Normal Normal

5. N.Facialis Kanan Kiri


Motorik
- Mengerutkan dahi Simetris
- Menutup mata Simetris
- Menunjukkan gigi Simetris
5

- Lipatan nasolabialis Simetris


- Bentuk muka
- Istirahat Simetris
- Berbicara/bersiul Simetris
Sensorik
- 2/3 depan lidah Normal
Otonom
- Salivasi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- Lakrimasi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- Chvostek sign Negatif Negatif

6. N. Cochlearis Kanan Kiri


Suara bisikan Normal Normal
Detik arloji Normal Normal
Tes Weber Normal Normal
Tes Rinne Normal Normal

7. N. Glossopharingeus dan N. Vagus


Kanan Kiri
Arcus pharingeus Simetris Simetris
Uvula Ditengah Ditengah
Gangguan menelan Tidak ada Tidak ada
Suara serak/sengau Tidak Ada Tidak Ada
Denyut jantung BJ I/II normal, reguler
Reflek
- Muntah Normal
- Batuk Normal
- Okulokardiak Normal
- Sinus karotikus Normal
Sensorik
- 1/3 belakang lidah Tidak dilakukan pemeriksaan
6

8. N. Accessorius Kanan Kiri


Mengangkat bahu Normal
Memutar kepala Tidak ada tahanan

9. N. Hypoglossus Kanan Kiri


Menjulurkan lidah Tidak terjadi deviasi
Fasikulasi Tidak ada
Atrofi papil Tidak ada
Disartria Tidak ada

D. Columna Vertebralis
Kyphosis : Tidak ada kelainan
Scoliosis : Tidak ada kelainan
Lordosis : Tidak ada kelainan
Gibbus : Tidak ada kelainan
Deformitas : Tidak ada kelainan
Tumor : Tidak ada kelainan
Meningocele : Tidak ada kelainan
Hematoma : Tidak ada kelainan
Nyeri ketok : Tidak ada

E. Badan Dan Anggota Gerak


FUNGSI MOTORIK
Lengan Kanan Kiri
Gerakan Cukup Cukup
Kekuatan 5 5
Tonus Eutoni Eutoni
Reflek fisiologis
- Biceps Normal Normal
- Triceps Normal Normal
- Periost radius Normal Normal
- Periost ulna Normal Normal
7

Reflek patologis
- Hoffman Tromner Negatif Negatif
- Trofik Negatif Negatif

Tungkai Kanan Kiri


Gerakan Cukup Cukup
Kekuatan 5 5
Tonus Eutoni Eutoni
Klonus
- Paha Negatif Negatif
- Kaki Negatif Negatif
Reflek fisiologis
- KPR Normal Normal
- APR Normal Normal
Reflek patologis
- Babinsky Negatif Negatif
- Chaddock Negatif Negatif
- Oppenheim Negatif Negatif
- Gordon Negatif Negatif
- Schaeffer Negatif Negatif
- Rossolimo Negatif Negatif
- Mendel Bechtereyev Negatif Negatif
Reflek kulit perut
- Atas Normal
- Tengah Normal
- Bawah Normal
Trofik Normal

Sensorik
Tida ada kelainan
8

G. Gejala Rangsang Meningeal


Gejala Pada penderita ditemukan gejala
 Kaku kuduk Tidak ada
 Kernig Tidak ada

 Lasseque Tidak ada

 Brudzinsky Tidak ada


Tidak ada
 Neck
Tidak ada
 Cheeck
Tidak ada
 Symphisis
Tidak ada
 Leg I
Tidak ada
 Leg II
Jadi, gejala rangsang meningeal (-)

H. Gait Dan Keseimbangan


Gait
Ataxia : tidak ada
Hemiplegic : tidak ada
Scissor : tidak ada
Propulsion : tidak ada
Histeric : tidak ada
Limping : tidak ada
Steppage : tidak ada
Astasia-abasia : tidak ada
Keseimbangan
Romberg : negatif
Dysmetri :
- Jari-jari : negatif
- Jari hidung : negatif
- Tumit-tumit : negatif
- Dysdiadochokinesia : negatif
9

I. Gerakan Abnormal
Tremor : Tidak ada
Chorea : Tidak ada
Athetosis : Tidak ada
Ballismus : Tidak ada
Dystoni : Tidak ada
Myoclonic : Tidak ada

J. Fungsi Vegetatif
Miksi : Normal
Defekasi : Normal
Ereksi : Tidak diperiksa

K. Fungsi Luhur
Afasia motorik : Tidak ada
Afasia sensorik : Tidak ada
Afasia nominal : Tidak ada
Apraksia : Tidak ada
Agrafia : Tidak ada
Alexia : Tidak ada

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Pada tanggal 31 Januari 2022.
 Darah
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL
Hb 13 g/dl 12-14
Leukosit 5.200 ul 5,000-10,000
Trombosit 254.000 uL 150,000-440,000
Hematokrit 41 % 40-45
Neutrofil 55 % 50-70
Limfosit 30 % 20-40
Monosit 5,6 % 2-8
10

KIMIA
Glukosa Sewaktu 108 mg/dL <140
Cholestrol Total 129 mg/dL 125-200
HDL 46 mg/dL 45-100
LDL 75 mg/dL <100
Trigliserida 100 mg/dL 72-172
Creatinin 0,7 mg/dL 0.6-1,2
Ureum 21 mg/dL 10-50
SGOT 23 u/L 0-35
SGPT 12 u/L 0-35
Asam urat 3,2 Mg/dL 2,0-7,0
Natrium 136 mEq/L 135-148
Kalium 3,5 mEq/L 3,5-5,5

 Rontgen Foto Thoraks (31 Januari 2022)

Pada pemeriksaan foto Rontgen didapatkan :


 Cor normal
 Corakan bronkovaskular normal
 Tidak tampak infiltrat
 Diafragma kanan dan kiri licin
 Sinus kostofrenikus kanan dan kiri lancip
11

 Tulang-tulang intak
 Soft tissue baik
Kesan : Tidak tampak kelainan thorax

 EKG (31 Januari 2022)

Didapatkan:
• Irama Sinus
• HR : 108 x/menit
• Normal
• Gelombang P normal : tinggi <1mm, lebar <0,12 sec
• PR interval normal: 3 kotak kecil
• Durasi QRS normal: 0,04 detik
• Morfologi QRS normal
• Deviasi segmen ST: (-)
• Morfologi gelombang T: normal
• Morfologi gelombang U: normal
Kesan : Normal EKG
12

 CT Scan Kepala

Interpretasi:
 Sulci/fissura sylvii baik. Differensiasi gray and white matter
kanan jelas
 Ventrikel baik
 Tak tampak pergeseran struktur garis tengah
 Infratentorial cerebellum pons/CPA baik
 SPN/pneumatisasi air cell mastoid kanan kiri baik
 Bulbus oculi dan ruang tretroorbita kanan kiri baik
Kesimpulan: Tidak ada kelainan kepala

1.5 Diagnosa Banding


 Infrequent Episodic Tension Type Headache dengan Pericranial
Tenderness
 Migraine
 Trigeminal Autonomic Cephalgia (Cluster Headache)

1.6 Diagnosa
13

 Diagnosa Klinik : Infrequent Episodic Tension Type Headache


dengan Pericranial Tenderness
Diagnosa Topik : Myofacial
Diagnosa Etiologi : Idiopatik

1.7 Tatalaksana
 Non Farmakologi

 Bed rest
 Mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam
 Edukasi keluarga mengenai penyakit
 Farmakologi
 Aspirin 1000 mg/ hari per oral

1.8 Prognosa
Quo ad Vitam : bonam
Quo ad Functionam : bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
14
14

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


Myofascial Trigger Points
Myofascial trigger points merupakan suatu titik yang berlokasi di struktur
otot atau fascia yang menegang, apabila ditekan akan menyebabkan nyeri lokal.
Penyebab nyeri myofascial secara umum dapat berupa trauma langsung dan tidak
langsung, kondisi patologis tulang belakang, paparan terhadap tegangan yang
berulang dan kumulatif, atau posisi/postur tubuh yang tidak sesuai khususnya
pada saat manusia bekerja. Hampir semua manusia mungkin pernah memiliki
trigger point selama hidupnya.1
Nyeri myofascial dapat bersifat lokal atau regional, biasanya pada tubuh
bagian leher bahu, punggung atas dan bawah. Nyeri otot ini dapat menetap dengan
variasi dari tingkatan ringan hingga berat. Myofascial trigger points merupakan
respon dari cedera atau kelebihan beban otot yang dapat terjadi di berbagai otot-
otot dalam tubuh manusia. Myofascial trigger points dapat bersifat aktif atau
laten.1
Myofascial trigger points aktif dapat menimbulkan rasa nyeri yang akan
mencegah pemanjangan otot maksimal, menyebabkan otot melemah, memediasi
respon kedutan lokal bila distimulasi, dan menyebabkan nyeri alih di area nyeri
yang bersangkutan. Sedangkan myofascial trigger points laten menyebabkan nyeri
hanya apabila diberi stimulasi eksternal dan dapat teraktivasi jika otot tegang,
lelah, atau cedera.1
Neuron dan Axon
Pada dasarnya, mekanisme nyeri mengalami tiga peristiwa yaitu
transduksi, transmisi dan modulasi ketika ada rangsangan berbahaya. Misalnya,
transduksi terjadi di sepanjang jalur nosiseptif mengikuti urutan berikut: (1)
peristiwa stimulus diubah menjadi jaringan kimia; (2) jaringan kimia dan
peristiwa celah sinaptik kemudian diubah menjadi peristiwa listrik di neuron; dan
(3) peristiwa listrik di neuron ditransduksi sebagai peristiwa kimia di sinapsis.
Setelah transduksi selesai, mekanisme berikut adalah transmisi. Transmisi terjadi

14
15

dengan mentransmisikan peristiwa listrik di sepanjang jalur saraf, sementara


neurotransmiter di celah sinaptik mengirimkan informasi dari terminal pasca-
sinaptik satu sel ke terminal pra-sinaptik dari yang lain. Sementara itu, peristiwa
modulasi terjadi di semua tingkat jalur nosiseptif melalui neuron aferen primer
dan pusat otak yang lebih tinggi dengan regulasi naik atau turun. Semua ini
mengarah ke satu hasil akhir, dan jalur rasa sakit telah dimulai dan diselesaikan,
sehingga memungkinkan kita untuk merasakan sensasi nyeri yang dipicu oleh
stimulus.2
Neuron dikenal sebagai komponen utama yang menghubungkan,
menerima, dan memproses semua informasi nosiseptif yang dihasilkan dari tiga
peristiwa yang dibahas di SSP tadi. Tiga jenis neuron yang ada dalam tubuh kita
adalah neuron sensorik (neuron aferen), interneuron (berfungsi untuk
menyampaikan sinyal antara neuron aferen dan eferen) dan neuron motorik
(neuron eferen). Semua neuron dapat dirangsang secara elektrik dan terdiri dari
bagian yang sama: soma, akson(baik bermielin atau tidak bermielin) dan dendrit.
Neuron terhubung satu sama lain untuk membentuk jaringan saraf kompleks di
tubuh kita, di mana sinyal kimia dan listrik ditransmisikan melalui koneksi khusus
yang disebut sinapsis. Sinyal sinaptik yang dikirim dari neuron diterima oleh
dendrit dan soma (transmisi sinaptik) dari neuron lain, dan sinyal-sinyal ini dapat
bersifat penghambatan atau rangsang, ditentukan oleh efek farmakologis yang
dihasilkan dari sinyal tersebut. Setelah menerima sinyal melalui dendrit atau
soma, sinyal ditransmisikan dalam neuron oleh akson. Hal ini menyebabkan aliran
yang dihasilkan dalam neuron, yang dikenal sebagai potensial aksi, yang
menyebar dari dendrit, berjalan di sepanjang akson untuk mengaktifkan sinapsis,
dan kemudian dikirim ke neuron lain, bertindak sebagai jalur untuk membawa
sinyal dari sumbernya ke sumsum tulang belakang atau otak, di mana respons
pada akhirnya ditafsirkan.2
Ada dua klasifikasi utama dari neuron khusus: neuron sensorik dan
neuron motorik. Neuron sensorik yang terletak di dermis dan epidermis yang
berfungsi untuk bereaksi terhadap sentuhan seperti rangsangan, mengirimkan
sinyal-sinyal ini bersama ketika stimulus hadir, sedangkan tugas utama neuron
motorik adalah menerima sinyal dari otak dan sumsum tulang belakang diikuti
16

dengan menghasilkan respons yang menyebabkan kontraksi otot, dan


mempengaruhi output kelenjar, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. Tanpa
kehadiran neuron di dalam sistem saraf untuk mengirimkan sinyal, tubuh kita
tidak dapat bereaksi terhadap rangsangan berbahaya dari lingkungan.2

Gambar 2.1 Transmisi Nyeri pada Sinaps.2

Akson juga dikenal sebagai serabut saraf, yang merupakan komponen


utama neuron yang berfungsi untuk menghantarkan potensial aksi dalam arah
unilateral dari dendrit ke terminal aksonal seperti dari satu neuron ke neuron
lainnya. Akson bisa dalam bentuk mielin atau tidak bermielin. Kehadiran
selubung mielin akson, yang dikenal sebagai nodus Ranvier, meningkatkan
kecepatan penghantaran impuls, saat mereka berjalan di sepanjang serat mielin
melalui konduksi saltatori (pembentukan aksi) potensial pada setiap simpul
17

Ranvier dan bertindak sebagai isolator untuk mencegah impuls listrik


meninggalkan akson selama transmisi. Untuk serat tidak bermielin, impuls
bergerak terus menerus dalam jauh lebih lambat, dibandingkan dengan yang
bermielin. Untuk neuron aferen primer, serat Aδ adalah bermielin, sedangkan
serat C tidak bermielin. Untuk neuron eferen, sebagian besar neuron praganglion
neuron bermielin. Selain itu, ada celah kecil antara node Ranvier. simpul dari
Ranvier mengandung K+ dan Na+ saluran, yang bertindak sebagai cadangan
untuk menyimpan energi neuron selama transmisi potensial aksi.2

2.2 Definisi Tension Type Headache


Tension Type Headache (TTH) adalah nyeri kepala yang disebabkan oleh
tegangnya otot pada wajah, leher atau kulit kepala. Disebut juga muscle-
contraction headache. TTH merupakan sakit kepala yang paling sering terjadi.
Internasional Headache Society (IHS) mendefinisikan sebagai sesuatu yang
bilateral dan memiliki kualitas tekanan atau pengetatan dengan keparahan ringan
sampai sedang. TTH ini timbul karena adanya kontraksi yang terus menerus dari
otot-otot kepala, wajah, kuduk dan bahu. Kontraksi yang terus menerus ini akan
menimbulkan nyeri otot yang di “referred” ke kepala (“muscle contraction
headache”). “Muscle contraction” ini timbul oleh karena adanya ketegangan jiwa
anxietas, tension, atau depresi).3

2.3 Epidemiologi
Tension Type Headache dapat menyerang segala usia. Usia terbanyak adalah
25-30 tahun, namun puncak prevalensi meningkat di usia 30-39 tahun. Sekitar
40% penderita TTH memiliki riwayat keluarga dengan TTH. Perbandingan antara
laki-laki dan perempuan untuk menderita nyeri kepala ini adalah 3:1. TTH
episodik adalah nyeri kepala primer yang paling umum terjadi, dengan prevalensi
1-tahun sekitar 38–74%. Rata-rata prevalensi TTH 11-93%. Satu studi
menyebutkan prevalensi TTH sebesar 87%.4
Sekitar 93% laki-laki dan 99% perempuan pernah mengalami nyeri kepala.
TTH dan nyeri kepala servikogenik adalah dua tipe nyeri kepala yang paling
sering dijumpai. TTH adalah bentuk paling umum nyeri kepala primer yang
18

mempengaruhi hingga dua pertiga populasi. Sekitar 78% orang dewasa pernah
mengalami TTH setidaknya sekali dalam hidupnya. TTH episodik adalah nyeri
kepala primer yang paling umum terjadi, dengan prevalensi 1-tahun sekitar 38–
74%. Rata-rata prevalensi TTH 11-93%. Satu studi menyebutkan prevalensi TTH
sebesar 87%. Prevalensi TTH di Korea sebesar 16,2% sampai 30,8% di Kanada
sekitar 36% di Jerman sebanyak 38,3%, di Brazil hanya 13%. Insiden di Denmark
sebesar 14,2 per 1000 orang per tahun. Suatu survei populasi di USA menemukan
prevalensi tahunan TTH episodik sebesar 38,3% dan TTH kronis sebesar 2,2%.
TTH dapat menyerang segala usia. Usia terbanyak adalah 25-30 tahun, namun
puncak prevalensi meningkat di usia 30-39 tahun. Sekitar 40% penderita TTH
memiliki riwayat keluarga dengan TTH, 25% penderita TTH juga menderita
migren. Prevalensi seumur hidup pada perempuan mencapai 88%, sedangkan pada
laki-laki hanya 69%. Rasio perempuan:laki-laki adalah 5:4. Onset usia penderita
TTH adalah dekade ke dua atau ke tiga kehidupan, antara 25 hingga 30 tahun.
Meskipun jarang, TTH dapat dialami setelah berusia 50-65 tahun.5

2.4. Etiologi
Stres, kurang tidur dan tidak makan tepat waktu adalah pencetus sakit kepala
paling umum yang dilaporkan oleh pasien TTH. Kadang-kadang alkohol dan
menstruasi juga telah dilaporkan sebagai pencetus sakit kepala oleh beberapa
pasien dengan TTH. Buruknya upaya kesehatan diri sendiri (poor self-related
health), tidak mampu relaks setelah bekerja, gangguan tidur, tidur beberapa jam
setiap malam dan usia muda adalah faktor risiko TTH. Pencetus TTH antara lain
kelaparan, dehidrasi, pekerjaan/beban yang terlalu berat (overexertion), perubahan
pola tidur, caffeine withdrawal dan fluktuasi hormonal wanita. Stress dan konflik
emosional adalah pemicu tersering TTH. Gangguan emosional berimplikasi
sebagai faktor risiko TTH, sedangkan ketegangan mental dan stres adalah faktor-
faktor tersering penyebab TTH. Asosiasi positif antara nyeri kepala dan stres
terbukti nyata pada penderita TTH.8
19

2.5. Klasifikasi
Menurut International Headache Society Classification, TTH terbagi atas 4
bagian yaitu: 3

 Infrequent episodic tension-type headache


Paling tidak terdapat 10 episode serangan dalam <1 hari/bulan
(atau <12 hari/ tahun), nyeri kepala berakhir dalam 30 menit – 7 hari
bilateral, menekan mengikat, tidak berdenyut, mild atau moderate, tidak
ada mual/ muntah, mungkin ada fonofobia/fotofobia, sama sekali tidak
ada hubungannya dengan penyakit nyeri kepala lain.
 Frequent episodic tension-type headache
Paling tidak terdapat 10 episode serangan dalam 1-15 hari/bulan
dalam waktu paling tidak selama 3 bulan (atau 12 -180 hari
pertahunnya), nyeri kepala berakhir dalam 30 menit-7 hari, bilateral,
menekan, mengikat, tidak berdenyut, mild or moderate, tidak ada mual/
muntah, mungkin ada fonopobia/ fotopobia, sama sekali tidak ada
hubungannya dengan penyakit nyeri kepala lain.
 Chronic tension-type headache
Nyeri kepala yang berasal dari TTH yang timbul >15
hari/bulannya dalam waktu > 3 bulan (atau >180 hari/tahun).
 Probable tension-type headache
Dijumpai memenuhi kriteria TTH akan tetapi kurang satu
kriteria untuk TTH bercampur dengan salah satu kriteria probable
migrane. Nyeri kepala berlangsung >15 hari/bulan selama > 3 bulan
(atau > 180 hari/tahun), nyeri kepala berlangsung selama sekian jam
atau terus menerus kontinyu, bilateral, rasa menekan/mengikat,
intensitas mild or moderate, tidak ada severe nausea atau vomiting,
mungkin ada fotopobia/ fonopobia, tidak ada hubungannya dengan
penyakit kepala lainnya, paling tidak masa 2 bulan terakhir.
20

2.6. Patofisiologi
Iskemi dan meningkatnya kontraksi otot-otot di kepala dan leher diduga
penyebab TTH, tetapi kadar laktat otot penderita TTH kronis normal selama
berolahraga (static muscle exercise). Aktivitas EMG (electromyography)
menunjukkan peningkatan titik-titik pemicu di otot wajah (myofascial trigger
points). Riset terbaru membuktikan peningkatan substansi endogen di otot
trapezius penderita tipe frequent episodic TTH. Juga ditemukan nitric oxide
sebagai perantara (local mediator) TTH. Menghambat produksi nitric oxide
dengan agen investigatif (L-NMMA) mengurangi ketegangan otot dan nyeri yang
berkaitan dengan TTH.8
Mekanisme myofascial perifer berperan penting pada TTH episodik,
sedangkan pada TTH kronis terjadi sensitisasi central nociceptive pathways dan
inadequate endogenous antinociceptive circuitry. Jadi mekanisme sentral berperan
utama pada TTH kronis. Sensitisasi jalur nyeri (pain pathways) di sistem saraf
pusat karena perpanjangan rangsang nosiseptif (prolonged nociceptive stimuli)
dari jaringan-jaringan miofasial perikranial tampaknya bertanggung-jawab untuk
konversi TTH episodik menjadi TTH kronis. TTH episodik dapat berevolusi
menjadi TTH kronis: A. Pada individu yang rentan secara genetis, stres kronis
menyebabkan elevasi glutamat yang persisten. Stimulasi reseptor NMDA
mengaktivasi NFκB, yang memicu transkripsi iNOS dan COX-2, di antara enzim-
enzim lainnya. Tingginya kadar nitric oxide menyebabkan vasodilatasi struktur
intrakranial, seperti sinus sagitalis superior, dan kerusakan nitrosative memicu
terjadinya nyeri dari beragam struktur lainnya seperti dura. B. Nyeri kemudian
ditransmisikan melalui serabut-serabut C dan neuron-neuron nociceptive Aδ
menuju dorsal horn dan nukleus trigeminal di TCC (trigeminocervical complex),
tempat mereka bersinap dengan second-order neurons. C. Pada beragam sinap ini,
terjadi konvergensi nosiseptif primer dan neuron-neuron mekanoreseptor yang
dapat direkrut melalui fasilitasi homosinaptik dan heterosinaptik sebagai bagian
dari plastisitas sinaptik yang memicu terjadinya sensitisasi sentral.9
21

Gambar 2.2 Patofisiologi Tension Type Headache.10

Pada tingkat molekuler, sinyal nyeri dari perifer menyebabkan pelepasan


beragam neuropeptida dan neurotransmiter (misalnya: substansi P dan glutamat)
yang mengaktivasi reseptor-reseptor di membran postsynaptic, membangkitkan
potensial-potensial aksi dan berkulminasi pada plastisitas sinaptik serta
menurunkan ambang nyeri (pain thresholds). Sirkuit spinobulbospinal muncul
dari RVM (rostroventral medulla) secara normal melalui sinyal-sinyal pain yang
bermula dari perifer, namun pada individu yang rentan, disfungsi dapat
memfasilitasi sinyal-sinyal nyeri, serta membiarkan terjadinya sensitisasi sentral.
E. Pericranial tenderness berkembang seiring waktu oleh recruitment serabut-
serabut C dan mekanoreseptor Aβ di sinap-sinap TCC, membiarkan
perkembangan allodynia dan hiperalgesia. F. Intensitas, frekuensi, dan pericranial
tenderness berkembang seiring waktu, berbagai perubahan molekuler di pusat
lebih tinggi seperti thalamus memicu terjadinya sensitisasi sentral dari neuron-
neuron tersier dan perubahan-perubahan selanjutnya pada persepsi nyeri.
Konsentrasi platelet factor 4, betathromboglobulin, thromboxane B2, dan 11-
22

dehydrothromboxane B2 plasma meningkat signifikan di kelompok TTH episodik


dibandingkan dengan di kelompok TTH kronis dan kelompok kontrol (sehat).10
Pada penderita TTH episodik, peningkatan konsentrasi substansi P jelas
terlihat di platelet dan penurunan konsentrasi beta-endorphin dijumpai di sel-sel
mononuklear darah perifer. Peningkatan konsentrasi metenkephalin dijumpai pada
CSF (cairan serebrospinal) penderita TTH kronis, hal ini mendukung hipotesis
ketidakseimbangan mekanisme pronociceptive dan antinociceptive pada TTH.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa TTH adalah proses multifaktorial yang
melibatkan baik faktor-faktor miofasial perifer dan komponen-komponen sistim
saraf pusat.10

2.7. Gejala Klinis


TTH dirasakan di kedua sisi kepala sebagai nyeri tumpul yang menetap atau
konstan, dengan intensitas bervariasi, juga melibatkan nyeri leher. Nyeri kepala
ini terkadang dideskripsikan sebagai ikatan kuat di sekitar kepala. Nyeri kepala
dengan intensitas ringan–sedang (nonprohibitive) dan kepala terasa kencang.
Kualitas nyerinya khas, yaitu: menekan (pressing), mengikat (tightening), tidak
berdenyut (non-pulsating). Rasa menekan, tidak enak, atau berat dirasakan di
kedua sisi kepala (bilateral), juga di leher, pelipis, dahi. Leher dapat terasa kaku.
TTH tidak dipengaruhi aktivitas fisik rutin. Dapat disertai anorexia, tanpa mual
dan muntah. Dapat disertai photophobia (sensasi nyeri/tidak nyaman di mata saat
terpapar cahaya) atau phonophobia (sensasi tak nyaman karena rangsang suara).10
TTH terjadi dalam waktu relatif singkat, dengan durasi berubah-ubah (TTH
episodik) atau terus-menerus (TTH kronis). Disebut TTH episodik bila nyeri
kepala berlangsung selama 30 menit hingga 7 hari, minimal 10 kali, dan kurang
dari 180 kali dalam setahun. Disebut TTH kronis bila nyeri kepala 15 hari dalam
sebulan (atau 180 hari dalam satu tahun), selama 6 bulan. Penderita TTH kronis
sangat sensitif terhadap rangsang. Berdasarkan analisis multivariat karakteristik
klinis, kriteria diagnostik TTH yang memiliki nilai sensitivitas tinggi adalah tidak
disertai muntah (99%), tidak disertai mual (96%), lokasi bilateral (95%), tidak
disertai fotofobia (94%). Sedangkan yang memiliki nilai spesifi sitas tinggi adalah
intensitas ringan (93%), kualitas menekan atau mengikat (86%), tidak disertai
23

fonofobia (63%), kualitas tidak berdenyut (57%). Pengaruh nyeri kepala pada
kehidupan penderita dapat diketahui dengan kuesioner Headache Impact Test-6
(HIT-6).10

2.8. Diagnosis
Anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis
komprehensif adalah kunci evaluasi klinis TTH dan dapat menyediakan petunjuk
potensial terhadap penyebab penyakit (organik, dsb) yang mendasari terjadinya
TTH. Pada TTH juga dijumpai variasi TrPs, yaitu titik pencetus nyeri otot (muscle
trigger points). Baik TrPs aktif maupun laten dijumpai di otot-otot leher dan bahu
penderita TTH. TrPs berlokasi di otot-otot splenius capitis, splenius cervicis,
semispinalis cervicis, semispinalis capitis, levator scapulae, upper trapezius, atau
suboccipital. TrPs di otot-otot superior oblique, upper trapezius, temporalis, sub
occipital, dan sternocleidomastoid secara klinis relevan untuk diagnosis TTH
episodik dan kronis.11

2.9. Pericranial Tenderness


Pericranial tenderness dapat ditemukan pada palpasi manual gerakan
memutar kecil dan tekanan kuat dengan jari ke dua dan ke tiga di daerah frontal,
temporal, masseter, pterygoid, sternocleidomastoid, splenius, dan otot-otot
trapezius.12

Gambar 2.3 Lokasi Pericranial Tenderness.12


24

Pericranial muscle tenderness berkembang seiring waktu oleh recruitment


serabut-serabut C dan mekanoreseptor Aβ di sinap-sinap TCC, membiarkan
perkembangan allodynia dan hiperalgesia. Pada individu yang rentan secara
genetis, stres kronis menyebabkan elevasi glutamat yang persisten. Stimulasi
reseptor NMDA mengaktivasi NFκB, yang memicu transkripsi iNOS dan COX-2,
di antara enzim-enzim lainnya. Tingginya kadar nitric oxide menyebabkan
vasodilatasi struktur intrakranial, seperti sinus sagitalis superior, dan kerusakan
nitrosative memicu terjadinya nyeri dari beragam struktur lainnya seperti dura.
Nyeri kemudian ditransmisikan melalui serabut-serabut C dan neuron-neuron
nociceptive Aδ menuju dorsal horn dan nukleus trigeminal di TCC
(trigeminocervical complex.), tempat mereka bersinap dengan second-order
neurons.11
Pada beragam sinap ini, terjadi konvergensi nosiseptif primer dan neuron-
neuron mekanoreseptor yang dapat direkrut melalui fasilitasi homosinaptik dan
heterosinaptik sebagai bagian dari plastisitas sinaptik yang memicu terjadinya
sensitisasi sentral. Pada tingkat molekuler, sinyal nyeri dari perifer menyebabkan
pelepasan beragam neuropeptida dan neurotransmiter (misalnya: substansi P dan
glutamat) yang mengaktivasi reseptor-reseptor di membran postsynaptic,
membangkitkan potensial-potensial aksi dan berkulminasi pada plastisitas sinaptik
serta menurunkan ambang nyeri (pain thresholds). Sirkuit spinobulbospinal
muncul dari RVM (rostroventral medulla) secara normal melalui sinyal-sinyal
fine-tunes pain yang bermula dari perifer, namun pada individu yang rentan,
disfungsi dapat memfasilitasi sinyal-sinyal nyeri, serta membiarkan terjadinya
sensitisasi sentral.11
Pericranial tenderness berkembang seiring waktu oleh recruitment
serabut-serabut C dan mekanoreseptor Aβ di sinap-sinap TCC, membiarkan
perkembangan allodynia dan hiperalgesia. F. Intensitas, frekuensi, dan pericranial
tenderness berkembang seiring waktu, berbagai perubahan molekuler di pusat-
pusat lebih tinggi seperti thalamus memicu terjadinya sensitisasi sentral dari
neuron-neuron tersier dan perubahan-perubahan selanjutnya pada persepsi nyeri.11
Pericranial tenderness dicatat dengan Total Tenderness Score. Menurut
referensi lain, prosedurnya sederhana, yaitu: delapan pasang otot dan insersi
25

tendon (yaitu: otot-otot masseter, temporal, frontal, sternocleidomastoid,


trapezius, suboccipital, processus coronoid dan mastoid) dipalpasi. Palpasi
dilakukan dengan gerakan rotasi kecil jari kedua dan ketiga selama 4-5 detik.
Tenderness dinilai dengan empat poin (0,1,2, dan 3) di tiap lokasi (local
tenderness score); nilai dari kedua sisi kiri dan kanan dijumlah menjadi skor
tenderness total (maksimum skor 48 poin).11

Gambar 2.4 Score Pericranial Tenderness.13

Penderita TTH diklasifikasikan sebagai terkait (associated) (skor


tenderness total lebih besar dari 8 poin) atau tidak terkait (not associated) (skor
tenderness total kurang dari 8 poin) dengan pericranial tenderness.13

2.10. Pemeriksaan Penunjang


Diagnostik penunjang TTH adalah pencitraan (neuroimaging) otak atau
cervical spine, analisis CSF, atau pemeriksaan serum dengan laju endap darah
atau uji fungsi tiroid. Neuroimaging terutama direkomendasikan untuk: nyeri
kepala dengan pola atipikal, riwayat kejang, dijumpai tanda/gejala neurologis,
penyakit simtomatis seperti: AIDS, tumor, atau neurofi bromatosis. Pemeriksaan
funduskopi untuk papilloedema atau abnormalitas lainnya penting untuk evaluasi
nyeri kepala sekunder.11
26

2.11. Diagnosis Banding


Tabel 2.1. Dianosis banding Tension Type Headache
Tension Type Migraine Trigeminal
Headache Autonomic
Cephalgia
(Cluster
Headache)
Lateralisasi Diffuse bilateral 60% unilateral Unilateral orbital,
menyebar ke supraorbital atau
samping temporal
Lokasi Diffuse Frontal, periorbital, Unilateral orbital
temporal
Frekuensi 1-30 kali perbulan 1-4 kali perbulan 1-8 hari
Keparahan Ringan-sedang Sedang-berat Berat
Durasi Sepanjang hari 4-72 jam 15 menit – 3 jam
Karakteristik Timpa beban berat Pulsasi, berdenyut Tertusuk dan terasa
panas
nyeri
Pencetus Multipel, Multipel, Alkohol,
pergerakan leher pergerakan leher nitrogliserin
Gejala Penurunan nafsu Mual, muntah, Rhinorrhea, edema
makan, fotofobia pengelihatan kabur, kelopak mata,
penyerta
atau fonofobia fotofobia, miosis/ptosis,
fonofobia gelisah/agitasi

Trigeminal Autonomic Cephalgia (TAC) terdiri dari Cluster Headache


(CH), Paroksismal Hemikrania (PH) dan Short Lasting Unilateral Neuralgiform
Headache Attacks with Conjunctival Injection and Tearing (SUNCT). TAC terdiri
dari serangan sakit kepala parah disertai dengan gejala otonom oculocephalic
yang menonjol. TAC terjadi di kedua bentuk episodik dan kronis, di mana bentuk
episodik paling sering terjadi pada CH dibandingkan dengan dominasi PH kronis
dan SUNCT kronis. Ketiga TAC dapat dibedakan dari satu sama lain sesuai
dengan durasi serangan, frekuensi serangan dan perawatan terapeutik. CH
memiliki durasi serangan terlama dengan frekuensi harian terendah. PH memiliki
durasi dan frekuensi serangan menengah, sedangkan SUNCT memiliki durasi
serangan terpendek dan frekuensi serangan harian tertinggi. CH jauh lebih umum
daripada PH dan SUNCT serta ditandai dengan serangan nokturnal yang lebih
27

sering serta periodisitas tahunan. CH dapat dipicu oleh alkohol dan nitrogliserin
selama periode cluster. Berbeda dengan CH dan PH, SUNCT sangat sering dipicu
oleh rangsangan kulit.14

2.12. Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan adalah reduksi frekuensi dan intensitas nyeri
kepala (terutama TTH) dan menyempurnakan respon terhadap terapi abortive.
Terapi dapat dimulai lagi bila nyeri kepala berulang. Masyarakat sering mengobati
sendiri TTH dengan obat analgesik yang dijual bebas, produk berkafein, pijat,
atau terapi chiropractic. Terapi TTH episodik pada anak: parasetamol, aspirin, dan
kombinasi analgesik. Parasetamol aman untuk anak. Asam asetilsalisilat tidak
direkomendasikan pada anak berusia kurang dari 15 tahun, karena kewaspadaan
terhadap sindrom Reye. Pada dewasa, obat golongan anti-inflamasi non steroid
efektif untuk terapi TTH episodik. Hindari obat analgesik golongan opiat
(butorphanol). Pemakaian analgesik berulang tanpa pengawasan dokter, terutama
yang mengandung kafein atau butalbital, dapat memicu rebound headaches.14
Beberapa obat yang terbukti efektif yaitu aspirin (1000 mg), ibuprofen
(400 mg), parasetamol (1000 mg), ketoprofen (25 mg). Ibuprofen lebih efektif
daripada parasetamol. Kafein dapat meningkatkan efek analgesik. Analgesik
sederhana, nonsteroidal anti-infl ammatory drugs (NSAIDs). Suntikan botulinum
toxin (Botox) diduga efektif untuk nyeri kepala primer, seperti: tension-type
headache, migren kronis, nyeri kepala harian kronis (chronic daily headache).
Botulinum toxin adalah sekelompok protein produksi bakteri Clostridium
botulinum. Mekanisme kerjanya adalah menghambat pelepasan asetilkolin di
sambungan otot, menyebabkan kelumpuhan flaksid. Botox bermanfaat mengatasi
kondisi di mana hiperaktivitas otot berperan penting. Riset tentang Botox masih
berlangsung.15
Intervensi nonfarmakologis misalnya: latihan relaksasi, relaksasi progresif,
terapi kognitif, biofeedback training, cognitive-behavioural therapy, atau
kombinasinya. Solusi lain adalah modifikasi perilaku dan gaya hidup. Misalnya:
istirahat di tempat tenang atau ruangan gelap. Peregangan leher dan otot bahu 20-
30 menit, idealnya setiap pagi hari, selama minimal seminggu. Hindari terlalu
28

lama bekerja di depan komputer, beristirahat 15 menit setiap 1 jam bekerja,


berselang-seling, iringi dengan instrumen musik alam/klasik. Saat tidur, upayakan
dengan posisi benar, hindari suhu dingin. Bekerja, membaca, menonton TV
dengan pencahayaan yang tepat. Menuliskan pengalaman bahagia. Pendekatan
multidisiplin adalah strategi efektif mengatasi TTH. Edukasi baik untuk anak dan
dewasa, disertai intervensi nonfarmakologis dan dukungan psikososial amat
diperlukan.15
29

BAB III
ANALISA KASUS

Pasien datang ke poli Saraf RS Muhammadiyah Palembang karena


mengalami keluhan nyeri kepala seperti ditekan beban berat sejak 3 hari yang lalu.
Menurut teori Tension Type Headache adalah nyeri kepala bilateral yang menekan
(pressing/squeezing), mengikat, tidak berdenyut, tidak dipengaruhi dan bersifat
ringan hingga sedang.
Nyeri dirasakan diseluruh bagian kepala. Saat merasakan nyeri, pasien
beberapa kali masih dapat menahan dan melanjutkan pekerjaan, meskipun kadang
harus menghentikannya. Pasien lebih nyaman ketika berada di ruangan yang
gelap. Keluhan tidak disertai mual muntah, tidak disertai pandangan mata kabur,
mata silau atau pandangan ganda, dan tidak disertai keluhan telinga berdenging.
Berdasarkan teori gejala klinis pasien dengan TTH dapat berupa nyeri kepala
bilateral yang menekan, tidak disertai (atau minimal) mual dan/atau muntah, serta
disertai fotofobia (sensasi nyeri/tidak nyaman di mata saat terpapar cahaya) atau
fonofobia (sensasi tak nyaman karena rangsang suara).
Keluhan nyeri kepala telah dialami pasien sejak 2 tahun terakhir karena
pasien sedang deadline menyelesaikan pekerjaannya. Tidak ada riwayat trauma
kepala atau terjatuh. Pasien tidak memiliki riwayat stroke dan sakit pada telinga.
Dikeluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Menurut teori,
pencetus TTH antara lain: pekerjaan/ beban yang terlalu berat (overexertion),
perubahan pola tidur serta stress dan konflik emosional menjadi pemicu tersering
TTH.
Pada pemeriksaan neurologi didapatkan pericranial tenderness (+). Menurut
teori, pada palpasi manual gerakan memutar kecil dan tekanan kuat dengan jari ke
dua dan ke tiga di daerah frontal, temporal, masseter, pterygoid,
sternocleidomastoid, splenius, dan otot-otot trapezius, dijumpai pericranial
muscle tenderness, dapat dibantu dengan palpometer.
30

Diagnosis banding yaitu migraine dan Trigeminal Autonomic Cephalgia


(TAC) yang terdiri dari Cluster Headache (CH), Paroksismal Hemikrania (PH)
dan Short Lasting Unilateral Neuralgiform Headache Attacks with Conjunctival
Injection and Tearing (SUNCT). TAC terdiri dari serangan sakit kepala parah
disertai dengan gejala otonom oculocephalic yang menonjol. Migraine adalah
sakit kepala yang terasa berdenyut dan biasanya terjadi pada salah satu sisi kepala.
Migrain dapat berlangsung selama beberapa jam atau bahkan beberapa hari.
Menurut hasil penelitian WHO, dari total kelompok usia 18–65 tahun yang pernah
menderita sakit kepala, 30 persen di antaranya adalah penderita migrain.
Umumnya, gejala migrain pertama kali muncul pada masa pubertas, kemudian
memburuk saat memasuki usia 35–45 tahun. Nyeri kepala cervicogenic
merupakan nyeri kepala yang mirip dengan migraine. Biasanya terjadi unilateral
dan tidak menyebar ke daerah parietal.

Tabel 3.1. Diagnosis Banding


Tension Type Migraine Trigeminal
Headache Autonomic
Cephalgia
(Cluster
Headache)
Lateralisasi Diffuse bilateral 60% unilateral Unilateral orbital,
menyebar ke supraorbital atau
samping temporal
Lokasi Diffuse Frontal, periorbital, Unilateral orbital
temporal
Frekuensi 1-30 kali perbulan 1-4 kali perbulan 1-8 hari
Keparahan Ringan-sedang Sedang-berat Berat
Durasi Sepanjang hari 4-72 jam 15 menit – 3 jam
Karakteristik Timpa beban berat Pulsasi, berdenyut Tertusuk dan terasa
panas
nyeri
Pencetus Multipel, Multipel, Alkohol,
pergerakan leher pergerakan leher nitrogliserin
Gejala Penurunan nafsu Mual, muntah, Rhinorrhea, edema
makan, fotofobia pengelihatan kabur, kelopak mata,
penyerta
atau fonofobia fotofobia, miosis/ptosis,
fonofobia gelisah/agitasi
31

Tatalaksana yang diberikan berupa non farmakologi dan farmakologi. Untuk


non farmakologi dilakukan bed rest, mengajarkan Teknik relaksasi nafas dalam,
edukasi resiko jatuh, edukasi keluarga mengenai penyakit. Sedangkan
farmakologi diberikan Aspirin 1000 mg/hari per oral. Aspirin merupakan
golongan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID). Farmakodinamik aspirin
bekerja melalui inhibisi enzim siklooksigenase 1 dan 2 (COX-1 dan COX-2)
secara ireversibel, sehingga menurunkan produksi prostaglandin dan derivatnya,
yaitu thromboxan A2. Efek yang diperoleh adalah efek antipiretik, antiinflamasi
dan antiplatelet. Dosis awal 300–900 mg, dosis dapat diulang setelah 4–6 jam jika
dibutuhkan. Dosis maksimal 4.000 mg per hari.
32

BAB IV
KESIMPULAN

1. Tension Type Headache (TTH) adalah nyeri kepala bilateral yang


menekan (pressing/squeezing), mengikat, tidak berdenyut, tidak
dipengaruhi dan bersifat ringan hingga sedang, tidak disertai (atau
minimal) mual dan/atau muntah, serta disertai fotofobia atau fonofobia
2. Etiologi akibat ketegangan berlebih pada otot, tidak mampu relaks setelah
bekerja, gangguan tidur, tidur beberapa jam setiap malam dan usia muda.
3. Klasifikasi yaitu Infrequent episodic tension-type headache, frequent
episodic tension-type headache, chronic tension-type headache, probable
tension-type headache
4. Tatalaksana pemberian NSAID berupa aspirin 1000 mg serta modifikasi
gaya hidup.
33

DAFTAR PUSTAKA

1. Hutasoit. 2019. Gambaran Kejadian Myofascial Pain Syndrome Pada


Pemetik Kopi di Ladang Parsaulian Desa Tapian Nauli Kecamatan
Lintongnihuta Tahun 2019. Medan: Universitas Sumatera Utara.
2. Yam, Loh, Tan, et al. 2018. General Pathways of Pain Sensation and the
Major Neurotransmitters Involved in Pain Regulation. International
Journal of Mollecular Sciences.
3. Sjahrir H, Suharjanti I, Basir H, dkk. 2013. Diagnostik dan
Penatalaksanaan Nyeri Kepala. Consensus Nasional IV Kelompok Studi
Nyeri Kepala PERDOSSI. Surabaya: Airlangga University Press.
4. Merikangas KR, Cui L, Richardson AK, et al. 2011. Magnitude, Impact
And Stability Of Primary Headache Subtye: 30 Years Prospective Swiss
Cohort Study. BMJ.
5. Ravishankar K, Chakravarty A, Chowdhury D, et al. 2011. Guidelines On
The Diagnosis And The Current Management Of Headache and Related
Disorders. Ann Indian Academy Neurology.
6. Harsono. 2005. Buku ajar Neurologi Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia. Jakarta: Gajah Mada University Press.
7. Kaniecki RG. 2012. Tension-Type Headache. Continuum Lifelong
Learning Neurology.
8. Bendtsen L, Fernández-de-la-Peñas C. 2011. The Role Of Muscles In
Tension-Type Headache. Curr Pain Headache Rep Dec
9. Chen Y. 2009. Advances in the Pathophysiology of Tension-type
Headache: From Stress to Central Sensitization. Current Pain & Headache
Reports.
10. Pacheva I, Milanov I, Ivanov I, et al. 2012. Evaluation of diagnostic and
prognostic value of clinical characteristics of Migraine and Tension type
headache included in the diagnostic criteria for children and adolescents
in International Classifi cation of Headache Disorders–second edition.
International Journal Clinical Practicioner.

33
34

11. Frishberg BM, Rosenberg JH, et al. 2013. Evidence-Based Guidelines In


The Primary Care Setting: Neuroimaging In Patients With Nonacute
Headache.
12. Kolding, Do, Ewertsen, et al. 2018. Muscle Stiffness in Tension-Type
Headache Patients With Pericranial Tenderness: A Shear Wave
Elastography Study. SAGE Publishing.
13. Chen Y. 2009. Advances in the Pathophysiology of Tension-type
Headache: From Stress to Central Sensitization. Current Pain & Headache
Reports.
14. Schytz1, Tassorelli, Ashina. 2015. How Cluster Headache and Other
Trigeminal Autonomic Cephalalgias Present. ResearchGate.
15. Loder E, Rizzoli P. 2008. Tension Type Headache. BMJ.

Anda mungkin juga menyukai