Case Study Matra Laut

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 84

LAPORAN STUDY CASE

EFEKTIFITAS TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK PADA

PASIEN DIABETES MELITUS DENGAN ULKUS

DIABETIKUM

DISUSUN OLEH:

NERS ANGKATAN X

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH

TANJUNGPINANG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Diabetes melitus (DM) menjadi fenomena di tingkat global terutama di

negara berkembang seperti Indonesia, karena morbiditas dan mortalitas DM

yang masih tinggi. Di Indonesia, DM menjadi salah satu penyakit dengan

beban biaya pelayanan medis tertinggi setelah penyakit jantung dan stroke

(Kemenkes, 2016). Pencegahan dan pengendalian penyakit DM sudah banyak

diketahui, akan tetapi masih banyak dijumpai DM dengan komplikasi yang

menjadi penyebab kematian tertinggi ketiga di Indonesia. Diantara komplikasi

kronik DM, ulkus kaki diabetik (UKD) merupakan komplikasi menahun yang

paling ditakuti bagi penderita DM, baik ditinjau dari lama perawatan maupun

tingginya biaya yang diperlukan (Langi, 2011). Proses penyembuhan dan

pengobatan yang cukup lama membuat timbulnya perasaan negatif seperti

perasaan pasrah dan putus asa (Maskuri et al., 2014).

Data dari Global status report on Noncommunicable Diseases (NCD)

World Health Organization (WHO) DM menempati peringkat ke-6 sebagai

penyebab kematian. International Diabetes Federation (IDF)

memperhitungkan angka kejadian DM di dunia pada tahun 2012 adalah 371

juta jiwa, tahun 2013 meningkat menjadi 382 juta jiwa dan diperkirakan pada

tahun 2035 DM akan meningkat menjadi 592 juta jiwa (Triyanisya, 2013). Di

Indonesia angka kejadian DM termasuk urutan terbesar ke-7 dunia yaitu

sebesar 7,6 juta jiwa sedangkan angka kejadian penderita UKD sebesar 15%
dari penderita DM. Bahkan angka kematian dan amputasi masih tinggi yaitu

sebesar 32,5% dan 23,5% (Prastica, 2013).

Kemajuan teknologi dalam ilmu pengetahuan kedokteran menghasilkan

metode-metode baru dalam upaya penyembuhan penyakit, termasuk penyakit

diabetes. Salah satu pengembangan teknologi tersebut adalah terapi oksigen

hiperbarik. Telah banyak penelitian yang dilakukan terhadap metode

pengobatan terapi hiperbarik dalam bidang medis.

Terapi oksigen hiperbarik diperkenalkan pertama kali oleh Behnke pada

tahun 1930. Saat itu angkatan laut Amerika Serikat (US Navy) memulai

penelitian terhadap terapi hiperbarik untuk mengobati penyakit dekompresi

dan emboli udara pada arteri yang dialami oleh para penyelam militer.

Terapi oksigen hiperbarik hanya diberikan kepada para penyelam untuk

menghilangkan gejala penyakit dekompresi yang timbul akibat perubahan

tekanan udara saat menyelam, sehingga fasilitas terapi tersebut sebagian besar

hanya dimiliki oleh beberapa Rumah Sakit TNI AL dan Rumah Sakit yang

berhubungan dengan pertambangan (Nuh Huda, 2010).

Terapi hiperbarik oksigen adalah terapi dimana penderita harus berada

dalam suatu ruangan bertekanan tinggi dan bernafas dengan oksigen

murni (100%) pada tekanan udara lebih besar daripada udara atmosfir

normal, yaitu sebesar 1 ATA (Atmosfir Absolut) sama dengan 760 mmHg.

Pemberian oksigen tekanan tinggi untuk terapi dilaksanakan dalam chamber

atau RUBT (Ruang Udara Bertekanan Tinggi) (Lakesla, 2009 dalam T Nuh

Huda, 2010).
Konsentrasi O2 yang digunkan dalam terapi oksigen hiperbarik berbeda

dengan O2 yang digunakan dalam tabung oksigen yang biasa karena pada

pemberian O2 di hiperbarik disertai tekanan tinggi yaitu 2,4 atm yang akan

membantu distribusi O2 dengan cepat dan terpenuhi dengan baik pada organ

tubuh. Sedangkan O2 dalam tabung oksigen tidak disertai tekanan tinggi.

Tahun 2010 Rady dwipayana, dkk meneliti tentang efek hiperbarik

pada cedera otot pada tikus putih dan hasilnya hiperbarik oksigen

meningkatkan terjadinya jaringan granulasi dan proliferasi fibroblas

pada penyembuhan cedera otot fleksor pada tikus putih. Pada tahun yang

sama T. Nuh Huda meneliti tentang pengaruh hiperbarik oksigen terhadap

perfusi perifer luka gangren penderita diabetes melitus, hasilnya ada

perubahan menjadi lebih baik pada luka tetapi tidak signifikan. Mayor

Laut (K) Tituk Harnanik, dokter dan Kepala Subdepartemen Faal

Penyelaman TNI AL Armada Timur mengatakan, terapi hiperbarik oksigen

mampu mempercepat kesembuhan dan mengurangi dosis obat yang

diminum penderita diabetes.

Secara teori terapi OHB dapat meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap

insulin dan menimbulkan hipoglikemik pada penderita diabetes melitus, di

mana terapi HBO pada 2,4 atmofir absolut menimbulkan penurunan kadar gula

darah (Ishihara, 2007).


B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang di atas maka rumusan masalah yang ditetapkan adalah

adanya efektifitas terapi oksigen hiperbarik pada pasien diabetes melitus

dengan ulkus diabetikum

C. TUJUAN

1. Mengetahui konsep dasar diabetes melitus

2. Mengetahui konsep dasar ulkus kaki diabetikum

3. Mengetahui konsep dasar hiperbarik oksigen (HBO)

4. Mengetahui asuhan keperawatan terapi hiperbarik oksigen pada pasien

diabetes melitus dengan ulkus diabetikum

D. MANFAAT

1. Teoritis

Hasil penelitian ini akan memberikan sumbangsih pengetahuan terkait

efektifitas terapi oksigen hiperbarik pada pasien diabetes melitus dengan

ulkus diabetikum

2. Praktis

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pelayanan kesehatan

dalam meningkatkan pengelolaan pemberian hiperbarik oksigen yang dapat

berperan dalam penyembuhan pasien diabetes melitus dengan ulkus

diabetikum
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

I. Konsep Dasar Teori Diabetes Mellitus

A. Definisi Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolik karena adanya

masalah pada pengeluaran insulin, aksi insulin atau keduanya

(Ignatavicus et al., 2016).

DM atau yang sering isbut kencing manis adalah suatu penyakit

kronik yang terjadi ketika tubuh tidak dapat memproduksi cukup

insulin atau tidak dapat menggunakan insulin (resistensi insulin), dan

didiagnosa melalui pengamatan kadar glukosa di dalam arah. Insulin

merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas yang

berperan dalam meamsukkan glukosa dari aliran darah ke sel-sel tubuh

untuk digunakan sebagai sumber energi (IDF, 2015).

B. Anatomi dan Fisiologi

Pankreas manusia secara anatomi letaknya menempel pada

duodenum dan terdapat kurang lebih 200.000 – 1.800.000 pulau

Langerhans. Dalam pulau langerhans jumlah sel beta normal pada

manusia antara 60% - 80% dari populasi sel Pulau Langerhans.

Pankreas berwarna putih keabuan hingga kemerahan. Organ ini

merupakan kelenjar majemuk yang terdiri atas jaringan eksokrin dan

jaringan endokrin. Jaringan eksokrin menghasilkan enzim-enzim

pankreas seperti amylase, peptidase dan lipase, sedangkan jaringan


endokrin menghasilkan hormon-hormon seperti insulin, glukagon dan

somatostatin (Dolensek, Rupnik & Stozer, 2015).

Pulau Langerhans mempunyai 4 macam sel yaitu (Dolensek,

Rupnik & Stozer, 2015) :

1. Sel Alfa  sekresi glukagon

2. Sel Beta  sekresi insulin

3. Sel Delta  sekresi somatostatin

4. Sel Pankreatik

Hubungan yang erat antar sel-sel yang ada pada pulau

Langerhans menyebabkan pengaturan secara langsung sekresi

hormon dari jenis hormon yang lain. Terdapat hubungan umpan

balik negatif langsung antara konsentrasi gula darah dan kecepatan

sekresi sel alfa, tetapi hubungan tersebut berlawanan arah dengan

efek gula darah pada sel beta. Kadar gula darah akan

dipertahankan pada nilai normal oleh peran antagonis hormon

insulin dan glukagon, akan tetapi hormon somatostatin


menghambat sekresi keduanya (Dolensek, Rupnik & Stozer,

2015).

1. Insulin

Insulin (bahasa latin insula, “pulau”, karena diproduksi di

pulau-pulau Langerhans di pankreas) adalah sebuah hormon

yang terdiri dari 2 rantai polipeptida yang mengatur

metabolisme karbohidrat (glukosa  glikogen). Dua rantai

dihubungkan oleh ikatan disulfida pada posisi 7 dan 20 di

rantai A dan posisi 7 dan 19 di rantai B (Guyton & Hall, 2012).

a. Fisiologi

Peningkatan kadar glukosa darah dalam tubuh akan

menimbulkan respons tubuh berupa peningkatan sekresi

insulin. Bila sejumlah besar insulin disekresikan oleh

pankreas, kecepatan pengangkutan glukosa ke sebagian

besar sel akan meningkat sampai 10 kali lipat atau lebih

dibandingkan dengan kecepatan tanpa adanya sekresi

insulin. Sebaliknya jumlah glukosa yang dapat berdifusi ke

sebagian besar sel tubuh tanpa adanya insulin, terlalu

sedikit untuk menyediakan sejumlah glukosa yang

dibutuhkan untuk metabolisme energi pada keadaan

normal, dengan pengecualian di sel hati dan sel otak

(Guyton & Hall, 2012).


Pada kadar normal glukosa darah puasa sebesar 80-90

mg/100ml, kecepatan sekresi insulin akan sangat minimum

yakni 25mg/menit/kg berat badan. Namun ketika glukosa

darah tiba-tiba meningkat 2-3 kali dari kadar normal maka

sekresi insulin akan meningkat yang berlangsung melalui 2

tahap (Guyton & Hall, 2012) :

1) Ketika kadar glukosa darah meningkat maka dalam

waktu 3-5 menit kadar insulin plasama akan meningkat

10 kali lipat karena sekresi insulin yang sudah

terbentuk lebih dahulu oleh sel-sel beta pulau

langerhans. Namun, pada menit ke 5-10 kecepatan

sekresi insulin mulai menurun sampai kira- kira

setengah dari nilai normalnya.

2) Kira-kira 15 menit kemudian sekresi insulin mulai

meningkat kembali untuk kedua kalinya yang

disebabkan adanya tambahan pelepasan insulin yang

sudah lebih dulu terbentuk oleh adanya aktivasi


beberapa sistem enzim yang mensintesis dan

melepaskan insulin baru dari sel beta.

C. Klasifikasi

Tipe DM berdasarkan etiologi atau faktor penyebabnya. American

Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa secara umum DM

dibagi menjadi DM tipe 1 dan DM tipe 2 (Lewis et al., 2014). Berikut

penjelasannya:

1. DM tipe 1 terjadi karena kelainan autoimun dimana sel β pakkreas

hancur pada orang yang rentan secara genetik dan tidak

menghasilkan insulin (Ignatavicus et al., 2016). ADA menyatakan

bahwa DM tipe 1 biasanya didiagnosa pada anak-anak dan dewasa

muda yang sebelumnya disebut sebagai diabetes juvenile. Black

dan Hawks (2014) mengatakan bahwa DM tipe 1 diturunkan secara

heterogen, sifat multigenik, dimana risiko terkena penyakit ini

adalah 25-50% pada kembar identik, 6% pada saudara kandung,

dan 5% kepada anak cucu. Gejala yang timbul pada DM tipe 1

adalah poliuri, polidipsi, polifagi, dan kehilangan berat badan yang

tidak dapat dijelaskan (Khadori, 2016).

2. DM tipe 2 adalah masalah pada tubuh karena menurunnya

kemampuan sel untuk menerima insulin yang disebut resistensi

insulin (Ignatavicus et al., 2016). Pada orang dewasa, DM tipe2

ditemukan 90% dari semua kasus diabetes (Centers for Control

Disease Pervention, 2014). Biasanya terdiagnosis setelah usia 40

tahun dan lebih umum diantara dewasa tua, dewasa obesitas, dan
etnik serta populasi ras tertentu (Black dan Hawks, 2014). DM tipe

2 terjadi karena faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik

berhubungan dengan sekresi insulin dan retensi insulin, sedangkan

faktor lingkungan berhubungan dengan obesitas, makan berlebih,

kurang olahraga dan stress serta penuaan (Kaku, 2010).

D. Etiologi

Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association

2013 (ADA 2013) :

Tabel 2.1 Etiologi Diabetes Mellitus

Klasifikasi Etiologi

Diabetes Mellitus Tipe I 1. Adanya destruksi sel beta

pankreas karena auotoimun.

2. Menentukan seksresi insulin

sedikit aau tidak sama sekali

dapat menggunakan level

protein c-peptida yang

jumlahnya sedikit atau tidak

terdeteksi sama sekali.

3. Manifestasi klinik pertama

dari DM tipe 1 adalah

ketoasidosis

Diabetes Mellitus Tipe II 1. Terjadi hiperinsulinemia yang

merupakan menurunnya

kemampuan insulin untuk


merangsang pengambilan

glukosa oleh jaringan perifer

dan untuk menghambat

produksi glukosa oleh hati.

2. Sel beta pankreas mengalami

desensitisasi terhadap adanya

glukosa.

3. Onset DM tipe 2 terjadi

perlahan-lahan sehingga

gejalanya asimptomatik dan

biasanya terdiagnosis setelah

terjadi komplikasi.

Diabetes Mellitus Tipe Lain 1. Defek genetik fungsi sel beta

2. Defek genetik kerja insulin

3. Penyakit eksokrin pankreas

4. Penyakit metabolik endokrin

lain

5. Latrogenik

6. Infeksi virus

7. Penyakit autoimun

8. Kelaonan genetik

Diabetes Mellitus Gestasional 1. Terjadi selama kehamilan

dimana intoleransi glukosa

didapati pertama kali pada


masa kehamilan (trimester

2&3)

2. Meningkatnya komplikasi

perinatal

3. Memiliki resiko lebih besar

untuk menderita DM yang

menetap dalam jangka waktu

5-10 tahun setelah melahirkan

E. Manifestasi Klinis

DM sering muncul dan berlangsung tanpa timbulnya tanda dan

gejala klinis yang mencurigakan, bahkan kebanyakan orang tidak

merasakan adanya gejala. Akibatnya, penderita baru mengetahui

menderita DM setelah timbulnya komplikasi. DM tipe 1 yang dimulai

paa usia uda memberikan tanda-tanda yang mencolok seperti tubuh

kurus, hambatan pertumbuhan, retardasi mental (Agoes, 2013).

Berbeda dengan DM tipe 2 yang kebanyakan mengalami penurunan

berat badan, penderita DM tipe 2 seringkali peningkatan berat badan.

Hal ini disebabkan terganggunya metabolisme karbohidrat karena

hormon lainnya terganggu (Mahenra et al., 2008).

Tiga serangkai yang klasik tentang gejala DM adalah poliuri

(sering kencing), polidipsi (sering merasa kehausan) dan polifagi

(sering merasa lapar). Gejala awal tersebut berhubungan dengan efek

langsung dari kadar gula darah yang tinggi. Jika kadar gula lebih tinggi
dari normal, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan

sejumlah besar glukosa yang hilang. Oleh karena ginjal menghasilkan

air kemih dalam jumlah yang berlebihan, penderita sering berkemih

dalam jumlah yang banyak (poliuri). Akibat lebih lanjut adalah

penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum

(polidipsi). Selain itu, penderita mengalami penurunan berat badan

karena sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih. Untuk

mengkompensasi hal tersebut, penderita seringkali merasakan lapar

yang luar biasa sehingga banyak makan atau polifagi (Kisnatuti et al.,

2014).

Kadang-kadang penderita DM tidak menunjukkan gejala klasik

tetapi penderita tesebut baru menunjukkan gejala sesudah beberapa

bulan atau beberapa tahun mengidap DM. gejala ini disebut gejala

kronik atau menahun. Gejala kronik ini yang paling sering membawa

penderita DM berobat pertama kali. Gejalanya berupa kesemutan, kulit

terasa panas, terasa tebal di kulit sehingga bila berjalan seperti di atas

bantal atau kasur, kram, mudah mengantuk, mata kabur, gatal disekitar

kemaluan terutama wanita, seta gigi mudah goyah dan mudah lepas

(Tjokroprawiro, 2011).

F. Patofisiologi

Gangguan-gangguan patofisiologi DM dikaitkan dengan

ketidakmampuan tubuh untuk merombak glukosa menjadi energi

karena tidak ada atau kurangnya produksi insulin di dalam tubuh.

Insulin adalah suatu hormon pencernaan yang dihasilkan oleh kelenjar


pankreas dan berfungsi untuk memasukkan gula ke dalam sel tubuh

untuk digunakan sebagai sumber energi. Pada penderita DM, insulin

yang dihasilkan tidak mencukupi sehingga menumpuk dalam darah

(Agoes, 2013).

Patofisiologi DM tipe 1 terdiri atas autoimun dan non-imun. Pada

autoimun- mediated DM, faktor lingkungan dan genetik diperkirakan

menjai faktor pemicu kerusakan sel β pancreas. Tipe ini disebut tipe

1A, sedangkan tipe non-imun lebih umum daripada autoimun. Tipe

non-imun tejadi sebagai akibat sekunder dari penyakit lain seperti

pankreatitis atau gangguan idiopatik (Brashers et al., 2014).

DM tipe 2 adalah hasil dari gabungan resistensi dan sekresi insulin

yang tidak adekuat, hal tersebut menyebabkan predominan resistensi

insulin sampai dengan predominan kerusakan sel β. Kerusakan sel β

yang ada bukan suatu autoimun mediated. Pada DM tipe 2 tidak

ditemukan pertanda autontibodi. Pada resistensi insulin, konsentrasi

insulin yang beredar mungkin tinggi tetapi pada keadaan gangguan

fungsi sel β yang berat kondisinya dapat rendah. Pada dasarnya

resistensi insulin dapat terjadi akibat perubahan yang mencegah insulin

mencapai reseptor perubahan dalam pengikatan insulin atau transduksi

sinyal oleh reseptor, atau perubahan dalam salah satu tahap kerja

insulin pra reseptor. Semua kelainan yang menyebabkan gangguan

transpor glukosa dan resistensi insulin akan menyebabkan

hiperglikemia sehingga menimbulkan manifestasi DM (Rustama et al.,

2010).
G. Komplikasi
Hiperglikemia yang terjadi dari waktu ke waktu dapat

menyebabkan kerusakan berbagai sistem tubuh terutama syaraf dan

pembuluh arah. Khan et al., (2015) menyatakan bahwa masalah yang

mengancam kehidupan orang dengan DM yang tidak terkontrol adalah

hiperglikemia dengan ketoasidosis atau sindrom hiperglikemia

hiperosmolar nonketosis (hyperglycemic hyperosmolat nonketotic

syndrome). Ketoasidosis merupakan gangguan metabolik paling serius

pada DM tipe 1 dan terjadi paling sering pada remaja dan lansia,

sedangkan HHNS terjadi pada lansia dengan DM tipe 2 (Black dan

Hawks, 2014). Beberapa penyakit lanjutan dari DM secara umum

(Kemenkes RI, 2014) adalah:

1. Meningkatnya risiko penyakit jantung dan stroke

2. Neuropati atau kerusakan syaraf paa kaki sehingga terjadi ulkus

kaki, infeksi bahkan amputasi kaki

3. Retinopati diabetikum sebagai penyebab utama kebutaan karena

rusaknya pembuluh darah kecil pada retina mata

4. Penyebab utama gagal ginjal

5. Risiko kematian pda penderita DM dua kali lipat dibandingkan

dengan yang tidak menderita DM.

H. Pemeriksaan Penunjang

DM didiagosis menggunakan tes laboratorium dengan mengukur

level glukosa darah (Hannon et al., 2010). Tes glukosa darah tersebut

menurut Willias dan Hopper, (2015) yaitu:


1. Glukosa Darah Puasa (GDP)

ADA menyampaikan bahwa normal gluosa darah adalah

kurang dari 100 mg/dl. Pasien didiagnosa dengan DM apabila nilai

GDP 126 mg/dl atau lebih, yang diambil minimal 18 jam puasa.

Jika GDP antara 100-126 mg/dl maka pasien mengalami glukosa

puasa terganggu dan prediabetes.

2. Glukosa Darah Acak (GDA)

GDA disebut juga sebagai Gula Darah Sewaktu (GDS).

Pemeriksaan GDS bertujuan untuk mengetahui kadar gluosa darah

pasien dan ketentuan program terapi medik tanpa ada persiapan

khusus ataupun bergantung pada waktu makan pasien. DM

ditegakkan apabila nilai GDS 200 mg/dl atau lebih dengan gejala

diabetes.

3. Tes Toleransi Glukosa Oral atau Oral Glucose Tolerance Test

(OGTT)

OGTT dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis DM pada

pasien yang memiliki kadar gula darah dalam batas normal-tinggi

atau sedikit meningkat. OGTT mengukur glukosa darah pada

interval setelah pasien minum minuman karbohidrat terkonsentrasi.

DM ditegakkan bila level GD adalah 200 mg/dl atau lebih setelah 2

jam, jika GD 140-199 mg/dlsetelah 2 jam didiagnosa dengan IFG

dan prediabetes.

4. Glycohemoglobin test
Glycohemoglobin disebut juga sebagai glycosylated

hemoglobin (HbA1c) atau hemoglobin A1c. HbA1c adalah 4%

hingga 6%, dikatakan DM apabila HbA1c adalah 6.5% atau lebih,

sementara nilai HbA1c 6% hingga 6.5% berisiko tinggi

mempunyai diabetes (pradiabetes).

I. Penatalaksanaan

Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di

Indonesia 2011, penatalaksanaan dan pengelolaan DM menitikberatkan

pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu (Ndraha, 2014):

1. Edukasi

2. Terapi gizi medis

3. Latihan jasmani

4. Intervensi farmakologis

II. Konsep Dasar Teoritis Ulkus Kaki Diabbetikum

A. Definisi UKD

Ulkus kaki diabetik adalah luka yang dialami oleh penderita

diabetes pada area kaki dengan kondisi luka mulai dari luka
superficial, nekrosis kulit, sampai luka dengan ketebalan penuh (full

thickness), yang dapat meluas kejaringan lain seperti tendon, tulang

dan persendian, jika ulkus dibiarkan tanpa penatalaksanaan yang baik

akan mengakibatkan infeksi atau gangrene. UKD disebabkan oleh

berbagai faktor diantaranya kadar glukosa darah yang tinggi dan tidak

terkontrol, neuropati perifer atau penyakit arteri perifer. UKD

merupakan salah satu komplikasi utama yang paling merugikan dan

paling serius dari diabetes melitus, 10% sampai 25% dari pasien

diabetes berkembang menjadi ulkus kaki diabetik dalam hidup mereka

(Fernando et al., 2014).

B. Klasifikasi

Berbagai macam pengklasifikasian derajat ulkus digunakna oleh

ahli. Sumpio et al., (2005) dan Sigh et al., (2013) mengatakan bahwa

pengklasifikasikan derajat ulkus yang popular dan mudah

diaplikasikan adalah metode pengklasifikasian berdasarkan Wagner

dan Texas University.

Tabel 2.2. Klasifikasi Ulkus Kaki Diabetik Wagner Meggitt

Grade Deskripsi

0 Tidak terdapat luka, gejala hanya seperti nyeri

1 Ulkus dangkal atau superficial

2 Ulkus dalam mencapa tendon

3 Ulkus dngan kedalaman mencapai tulang


4 Terdapat gangren pada kaki bagian depan

5 Terdpat gangrene pada seluruh kaki

Klasifikasi pada Tabel 2.2 telah dikembangkan pada tahun 1970-

an, dan telah menjadi sistem penilaian yang paling banyak diterima

secara universal dan digunakan untuk ulkus kaki diabetik (Mark and

Warren, 2007).

Tabel 2.3. Klasifikasi Ulkus Kaki menurut University of Texas

Grade 0 Grade 1 Grade 2 Grade 3

Stage A Pre/post Luka Luka Luka

ulserasi menembus

dengan superfissial, ke tendon menembus

jaringan atau ke

epitel yang tidak kapsul tulang atau

melibatkan tulang

lengkap tendon atau sendi

tulang

Stage B Infeksi Infeksi Infeksi Infeksi

Stage C Iskemia Iskemia Iskemia Iskemia

Stage D Infekasi Infeksi Infek Infeksi

dan dan sidan dan

iskemia iskemi iske iskemi

a mia a
Klasifikasi University of Texas merupakan kemajuan dalam

pengkajian kaki diabetes. Sistem ini menggunakan empat nilai,

masing-masing yang dimodifikasi oleh adanya infeksi (Stage B),

iskemia (Stage C), atau keduanya (Stage D). Sistem ini telah

divalidasi dan digunakan pada umumnya untuk mengetahui tahapan

luka dan memprediksi hasil dari luka yang bisa cepat sembuh atau

luka yang berkembang kearah amputasi (James, 2008).

C. Faktor Resiko UKD

The American Diabetes Association mengatakan bahwa seseorang

dengan DM memiliki resiko tinggi mengalami ulkus kaki diabetik.

Adapun faktor risiko tersebut antara lain laki-laki, klien dengan kontrol

glukosa yang buruk, sudah mengalami diabetes melitus>10 tahun, atau

klien DM yang telah mengalami komplikasi kardiovaskular, retina atau

ginjal/renal (Sumpio et al., 2005).

Mengenal faktor risiko yang dapat menyebabkan ulkus pada kaki

diabetik merupakan salah satu hal yang penting dilakukan sebagai

upaya pencegahan. Faktor risiko tersebut antara lain gangguan saraf,

kelainan bentuk kaki, peningkatan tekanan atau beban pada kaki,

kelainan tulang-tulang kaki, gangguan pembuluh darah, riwayat luka

pada kaki, kelainan pertumbuhan kuku, tingkat pendidikan dan

lingkungan sosial, dan pemakaian sepatu yang tidak sesuai

(Darmowidjojo, 2009).

Dua faktor yang berperan penting dalam kejadian ulkus kaki

diabetik antara lain gaya gesekan dan gaya tekanan. Gaya gesekan
terjadi akibat adanya sentuhan kulit dengan permukaan benda seperti

sepatu saat berjalan. Sedangkan gaya tekanan terjadi akibat proporsi

berat badan, semakin tinggi berat badan maka tekanan yang dihasilkan

oleh kaki maka semakin tinggi pula. Hal ini ditambah dengan

kelainan- kelainan yang terdapat pada kaki diabetik seperti adanya

kalus, bentuk kaki yang menonjol, tulang jari kaki atau kaki yang

miring sehingga akan memudahkan untuk terjadi sobekan pada

permukaan kulit kaki.

Tekanan dan gesekan pada kulit akan merusak integritas jaringan

kulit yang awalnya lesi pra-ulkus (pendarahan dalam kalus, kulit

melepuh, lecet, dsb). Jika hal ini tidak disadari oleh klien maka luka

akan menjadi luas dan melebar sehingga sangat berisiko untuk

terjadinya infeksi sehingga harus diamputasi.

D. Fase Penyembuhan UKD

Proses penyembuhan luka adalah proses restorasi alami luka yang

melibatkan sebuah proses yang kompleks, dinamis dan terintegrasi

pada sebuah jaringan karena adanya kerusakan. Dalam kondisi normal

proses tersebut dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu:

1. Fase Hemostasis

2. Fase Inflamasi

3. Fase Proliferasi

4. Fase Remodeling (Suriadi, 2015).

Proses penyembuhan luka pada ulkus kaki diabetik pada dasarnya

sama dengan proses penyembuhan luka secara umum, tetapi proses


penyembuhan ulkus kaki diabetik memerlukan waktu yang lebih lama

pada fase- fase tertentu karena terdapat berbagai macam penyulit

diantaranya: kadar glukosa darah yang tinggi, infeksi pada luka dan

luka yang sudah mengarah dalam keadaan kronis. Hal tersebut

memperpanjang fase inflamasi penyembuhan luka karena zat inflamasi

dalam luka kronis lebih tinggi dari pada luka akut (Syabariyah, 2015).

Hemostasis adalah fase pertama dalam proses penyembuhan luka,

setiap kejadian luka akan melibatkan kerusakan pembuluh darah yang

harus dihentikan. Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi

akibat respon dari cedera yang terjadi, cedera jaringan menyebabkan

pelepasan tromboksan A2 dan prostaglandin 2-alpha ke dasar luka

yang diikuti adanya pelepasan platelet atau trombosit. Tidak

terkontrolnya kadar glukosa dalam darah menyebabkan adanya

gangguan pada dinding endotel kapiler, hal ini dikarenakan oleh

adanya respon vasodilatasi yang terbatas dari membran basal endotel

kapiler yang menebal pada penderita diabetes. Kadar glukosa darah

yang tinggi juga berpengaruh pada fungsi enzim aldose reduktase yang

berperan dalam konversi jumlah glukosa yang tinggi menjadi sorbitol

sehingga menumpuk pada sel yang menyebabkan tekanan osmotik

mendorong air masuk ke dalam sel dan mengakibatkan sel mengalami

kerusakan. Penebalan membrane kapiler yang disebabkan oleh

tingginya kadar glukosa darah menyebabkan peningkatan viskositas

darah dan berpengaruh pada penebalan membran kapiler tempat

menempelnya eritrosit, trombosit dan leukosit pada lumen pembuluh


darah. Hal-hal tersebut dapat menjadi penyebab gangguan dari fase

inflamasi yang memperburuk proses penyembuhan luka (Syabariyah,

2015).

Fase proliferasi pada proses penyembuhan ulkus kaki diabetik juga

mengalami perubahan dan perbedaan dengan fase proliferasi

penyembuhan pada luka normal, pada luka normal fase proliferasi

berakhir dengan pembentukan jaringan granulasi dan kontraktur yang

sudah terjadi, pembuluh darah yang baru menyediakan titik masuk ke

luka pada sel-sel seperti makrofag dan fibroblast. Epitelisasi akan

menjadi fase awal dan diikuti makrofag yang terus memasok faktor

pertumbuhan merangsang angiogenesis lebih lanjut dan fibroplasia

proses angiogenesis, granulasi dan kontraksi pada luka. Pada fase

proliferasi ulkus kaki diabetik mengalami pemanjangan fase yang

menyebabkan terjadinya pembentukan granulasi terlebih dahulu pada

dasar luka, granulasi akan mengisi celah yang kosong dan epitelisasi

akan menjadi bagian terakhir pada fase ini. Hal ini juga disebabkan

karena kekurangan oksigen pada jaringan, oksigen berperan sebagai

pemicu aktivitas dari makrofag. Epitelisasi pada luka ini juga

mengalami gangguan migrasi dari keratinosit yang nantinya akan

membentuk lapisan luar pelindung atau stratum korneum sehingga

mengakibatkan kelembapan dari luka akan berkurang yang membuat

proses penyembuhan akan sangat lambat. Karena terjadi gangguan

pada tahap penyembuhan luka maka luka menjadi kronis yang

menyebabkan fase proliferasi akan memanjang yang berakibat pada


fase remodeling berlangsung selama berbulan-bulan dan dapat

berlangsung hingga bertahun-tahun (Sinno and Prakash, 2013).

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan

ulkus, antara lain:

Tabel 2.4. Faktor-faktor penyembuhan ulkus

No. Faktor Efek pada penyembuhan

luka

1. Lingkungan luka 1) Memacu pertumbuhan jaringan lebih

yang lembab cepat.

2) Memungkinkan sel-sel epitel untuk

bermigrasi ke permukaan luka.

3) Kering pada permukaan luka akan

menghilangkan

cairan fisiologis yang mendukung.


2. Stres 1) Stress menyebabkan terjadinya

hambatan substansial dalam proses

penyembuhan luka.

2) Stress memicu tubuh untuk

melepaskan katekolamin yang

menyebabkan vasokontriksi.

3. Kurang 1) Perbaikan dan laju pembelahan sel

tidur/istirahat dapat ditingkatkan dengan

tidur/istirahat yang cukup dan


berkualitas.

2) Tidur adalah periode dimana sel-sel

melakukan perbaikan, termasuk

hormon yang aktif saat tidur.

4. Obat-obatan 1) Menyebabkan kerusakan sel-sel dan

yang jaringan dalam perbaikan luka.

mengandung 2) Bersifat toksik pada fibroblast, sel

darah merah dan sel darah putih.

antiseptik

(iodine,

peroksida,

alkohol, dsb)

5. Sel debris, jaringan 1) Menghambat penutupan luka.

mati dan benda 2) Meningkatkan respon inflamasi.

asing 3) Menghambat proses proliferasi luka.

6. Infeksi 1) Meningkatkan respon inflamasi.

2) Meningkatkan kerusakan jaringan.

3) Infeksi yang berkelanjutan pada

luka akan

memperburuk kondisi luka dan dapat

menyebabkan sepsis.

7. Stress mekanik 1) Tekanan yang menetap pada luka

(gesekan, tekanan mengakibatkan aliran darah


dan pergeseran) terganggu dan berdampak pada

penyembuhan luka.

2) Gesekan akan mengikis, merusak

jaringan granulasi dan epitel yang

baru terbentuk.

3) Memperpanjang fase inflamasi dari

luka.

8. Radiasi 1) Menghambat aktivitas fibrilastik dan

pembentukan kapilaria.

2) Bisa menyebabkan nekrosis jaringan.

9. Anemia Mengurangi suplai oksigen

kedalam jaringan.

10. Usia Penuaan dapat menyebabkan perubahan

yang mempengaruhi

kemampuan kulit dalam penyembuhan dan

regenerasi.

11. Sistem imun 1) Sistem imun yang optimal

diperlukan untuk penyembuhan luka.

2) Individu yang berubah

sistemkekebalan tubuhnya akan

mengalami peningkatan resiko

infeksi.

12. Rokok 1) Merokok dapat membatasi suplai

darah melalui pembuluh darah yang


menyebabkan agregat trombosit, dan

bekuan darah.

2) Karbon monoksida dapat mengikat

haemoglobin yang mengakibatkan

menurunnya kadar oksigen untuk

jaringan.

(Maryunani, 2013; Suriadi, 2015)

Selain beberapa faktor diatas terdapat beberapa faktor lain yang

mempengaruhi penyembuhan luka yaitu:

1. Vaskularisasi perifer

Gangguan sirkulasi akan menghambat aktivitas neutrophil dan

makrofag untuk melawan bakteri. Status vaskular yang buruk akan

mengurangi suplai nutrisi dan oksigen pada area luka serta dapat

menghambat respon inflamasi pada area luka. Pemeriksaan

sirkulasi dan vaskularisasi dapat dilakukan dengan diagnostik non-

invasif dengan menilai ankle brachial index (ABI). Untuk

mendapatkan nilai ABI dapat dilakukan dengan perhitungan: nilai

tekanan sistolik pergelangan kaki dibagi dengan tekanan sistolik

brakialis.

2. Kadar glukosa darah

Kondisi hiperglikemi dapat menghambat sintesa kolagen,

menganggu sirkulasi dan pertumbuhan kapilaria. Hiperglikemia

juga mengganggu proses fagositosis. Pada pasien diabetes melitus


terdapat hambatan sekresi insulin yang mengakibatkan peningkatan

gula darah, sehingga nutrisi tidak dapat masuk kedalam sel.

3. Status gizi dan nutrisi

Status gizi dan nutrisi yang buruk merupakan faktor utama

dalam penundaan penyembuhan luka serta dapat mengganggu

proses epitelisasi. Penilaian status nutrisi pasien dapat dilihat dari

analisa biologis dan fisiologis pada tingkat seluler. Penilaian kadar

hemoglobin dan albumin dalam darah dapat merepresentasikan

status nutrisi seseorang, kekurangan protein dapat mengganggu

proses perbaikan dan regenerasi pada tingkat seluler. Selain dengan

pemeriksaan laboratorium cara sederhana untuk mengetahui status

gizi seseorang adalah dengan mengukur Indeks Massa Tubuh

(IMT). Pengukuran IMT melibatkan komposisi dari berat badan

(BB) dan tinggi badan (TB) seseorang.

E. Penatalaksanaan

Standar penatalaknsaan ulkus kaki diabetik dilakukan dalam tim

dari multidisiplin ilmu. Penatalaksanaan ini bertujuan untuk

memastikan kontrol glukosa darah, perfusi adekuat, perawatan luika

dan debridemen, mengurangi beban tekanan (offloading), serta kontrol

infeksi dengan antibiotik yang sesuai dan penggantian balutan, serta

tindakan operasi atau bedah untuk mencegah komplikasi dan

mempercepat proses penyembuhan (Sigh et al., 2013).

1. Debridemen
Penyembuhan luka lebih cepat terjadi jika kondisi luka terbas

dari jaringan mati/nekrotik serta material yang menghambat

pertumbuhan jaringan baru. Luka tidak akan sembuh apabila masih

didapatkan jaringan nekrotik, debris, callus, fistula/rongga yang

memungkinkan kuman berkembang. Penatalaksanaan ulkus kaki

diabetik ini salah satunya dengan debridemen. Debridemen

berfungsi untuk menghilangkan jaringan mati atau nekrotik dan

benda asing serta dapat mengoptimalkan kondisi lingkungan

sekitar luka (Sumpio et al., 2005). Debridemen tidak hanya

dilakukan melalui proses pembedahan. Metode lain yang dilakukan

adalah debridemen dengan menggunakan balutan basah-kering

(wet to dry dressing), debridemen memggunakan enzim seperti

kolagen sebagai salep, dan ada juga autolitik debridemen dengan

menggunakan balutan yang mempertahankan kelembaan (moisture

retaining dressing) (Sigh et al., 2013). Dari berbagai macam

debridemen, debridemen bedah merupakan jenis debridemen yang

paling cepat dan efisien. Tujuan debridemen bedah:

a. Mengevakuasi bakteri kontaminasi

b. Mengangkat jaringan nekrotik sehingga dapat mempercepat

penyembuhan

c. Menghilangkan jaringan kalus

d. Mengurangi risiko infeksi lokal

2. Balutan/dressing
Prinsip perawatan luka diabetes saat ini menekankan pada

kelembapan luka (moist wound heailng). Kondisi luka yang

lembap dan bersih dapat merangsang percepatan proses granulasi

(Sumpio et al., 2005). Tindakan dressing merupakan salah satu

komponen penting dalam mempercepat penyembuhan luka. Prinsip

dressing adalah bagaimana menciptakan suasana dalam keadaan

lembab sehingga dapat meminimalisasi trauma. Beberapa faktor

yang harus diperhatikan dalam memilih dressing yang akan

digunakan, yaitu tipe ulkus, ada atau tidaknya eksudat, ada

tidaknya infeksi, kondisi kulit sekitar dan biaya.

3. Mengurangi beban (offloading)

Pada saat seseorang berjalan maka kaki mendapatkan beban

yang besar. Neuropati yang terjadi pada penderita DM sangat

rentan terjadi luka akibat beban dan gesekan yang terjadi pada

kaki. Pada penderita DM luka menjadi sulit untuk sembuh. Salah

satu hal yang sangat penting dalam perawatan kaki diabetik adalah

mengurangi atau menghilangkaan beban pada kaki (offloading).

Upaya offloading berdasarkan penelitian terbukti dapat

mempercepat kesembuhan ulkus. Metode offloading yang sering

digunakan adalah mengurangi kecepatan saat berjalan kaki,

istirahat (bed rest), kursi roda, alas kaki, removable cast walker,

total contact cast, walker, sepatu boot ambulatory (Sigh et al.,

2013). Prinsip dari berbagai metode yang dipakai adalah untuk


mengurangi tekanan dan memberikan tekanan yang merata tidak

hanya pada tumit dan ujung kaki.

4. Penatalaksanaan dengan operasi (Surgical Manajement)

a. Penutupan luka (Skin Graft)

Skin graft adalah tindakan memindahkan sebagian atau

seluruh tebalnya kulit dari satu tempat ke tempat lain, dan

dibutuhkan revaskularisasi untuk menjamin kelangsungan

hidup kulit yang idpindahkan tersebut. Luka ulkus yang terlihat

tendon, ligament dan tulang membutuhkan penatalaksanaan

skin graft (Attinger et al., 2012 dalam Singh et al., 2013). Skin

graft dapat diambil dari kulit sendiri maupun donor. Bagian

kulit yang biasa digunakan untuk skin graft adalah kulit bagian

atas vastus lateralis dan rektus abdominis (Singh et a.l, 2013).

b. Revascularization surgery

Revaskularisasi dapat menurunkan risiko amputasi pada

klien dengan iskemik perifer. Prosedur revaskularisasi meliputi

bypass grafting atau endovascular techniques (angioplasty

dengan atau tanpa stent). Komplikasi yang harus diperhatikan

dalam melakukan revaskularisasi berkaitan dengan adanya

trombolisis (Singh et al., 2013).

c. Amputasi

Amputasi merupakan tindakan paling terakhir jika berbagai

macam cara telah gagal dan tidak menunjukkan perbaikan.

Pasien DM dengan ulkus kaki 40-60% mengalami amputasi


ekstremitas bawah (Singh et al., 2013). Amputasi pada diabetes

ini menyebabkan seseorang cacat dan kehilangan

kemandiriannya (Wounds International, 2013). Indikasi

amputasi meliputi:

1) Iskemik jaringan yang tidak dapat diatasi dengan tindakan

revaskularisasi.

2) Infeksi kaki yang mengancam dengan perluasan infeksi

yang tidak terukur.

3) Terdapatnya ulkus yang semakin memburuk sehingga

tindakan pemotongan menjadi lebih baik untuk keselamatan

pasien.

III. Konsep Dasar Hiperbarik Oksigen (HBO)


A. Batasan HBO

Terapi dengan pemberian oksigen 100% dengan tekanan tinggi (>

1 ATA) di dalam Ruang Udara Bertekanan Tinggi (RUBT). Terapi ini

telah digunakan untuk menanggulangi berbagai macam penyakit, baik

penyakit penyelaman maupun penyakit non-penyelaman (Sahni, 2003).

Tidak terdapat definisi yang pasti akan tekanan dan durasi yang

digunakan untuk sesi terapi HBO. Umumnya tekanan minimal yang

digunakan adalah sebesar 2,4 atm selama 90 menit. Biasanya sesi

terapi tergantung pada kondisi pasien dengan rentang satu sesi untuk

keracunan ringan karbon monoksida hingga enam puluh sesi atau lebih

untuk lesi diabetik pada kaki (Hanabe, 2004).

Terapi HBO dilakukan dalam 10 hari untuk 1 sesi. Penentuan

frekuensi terapi yang dilakukan pasien sesuai dengan pemeriksaan

pada pasien setelah terapi. Apabila hasil pemeriksaan sudah sesuai

target penyembuhan penyakit, maka terapi dapat dihentikan. Terapi

oksigen hiperbarik dilakukan pada tekanan 2,4 atm selama 90 menit.

Tiap 30 menit, pasien diberikan waktu istirahat selama 5 menit. Hal ini

dilakukan untuk menghindari keracunan oksigen pada pasien (Lakesla,

2009).

Oksien 100% diberikan dengan menggunakan masker, sementara

gas sekitar tubuh merupakan udara normal yang terkompensasi pada

tekanan yang sama. Di dalam RUBT (Ruang Udara Bertekaan Tinggi)

posisi penderita bisa duduk atau tiduran (Mahdi, 1999 dalam

Samsudin, 2003). RUBT merupakan satu tabung yang terbuat dari plat
baja yang dibuat sedemikian rupa sehingga mampu diisi udara tekan

mulai dari 1 ATA sampai beebrapa ATA, tergantung jenis dan

penggunaan (Mahdi, 1999 dalam Samsudin, 2003).

B. Fisiologoi HBO

Aspek fisiologi dari terapi HBO mencangkup beberapa hal yaitu

sebagai berikut:

1. Fase respirasi

Fase-fase respirasi dari pertukaran gas terdiri dari fase

ventilasi, transportasi, utilisasi, dan difusi. Denga kondisi tekanan

oksigen yang tinggi, diharapkan matriks seluler yang menopang

kehidupan suatu organisme mendapatkan kondisi yang optimal.

Efek fisiologis dapat dijelaskan melalui mekanisme oksigen yang

terlarut di dalam plasma. Pengangkutan oksigen ke jaringan

meningkat seiring dengan peningkatan oksigen terlarut dalam

plasma (Mahdi, 2009).

Seperti diketahui, kekurangan oksigen pada tingkat sel

menyebabkan terjadinya gangguan kegiatan basal yang pokok

untuk hidup suatu organisme.

2. Fase ventilasi

Fase ini merupakanpenghubung antara fase transportasi dan

lingkungan gas dari luar fungsi dari saluran pernafasan adalah

memberikan O2 dan membuang CO2 yang tidak diperlukan dalam

metabolisme. Gangguan yang terjadi dalam ase ini akan

menyebabkan hipoksiajaringan. Gangguan tersebut meliputi


gangguan membran alveoli, atelektasis, penambahan ruang rugi,

ketidakseimbangan ventilasi alveolar dan perfusi kapiler paru

(Pennefather, 2002).

3. Fase transportasi

Fase ini merupakan penghubung antara lingkungan luar dengan

organ-organ (sel dan jaringan). Fungsinya adalah menyediakan gas

yang dibutuhkan dan membuang gas yang dihasilkan oleh proses

metabolisme. Gangguan dapat terjadi pada aliran darah lokal atau

umum, haemoglobin dan shunt anatomis atau fisiologis. Hal ini

dapat diatasi dengan merubah tekanan gas di saluran pernafasan

(Kindwall and Whelan, 1999).

4. Fase utilisasi

Pada fase utilisasi terjadi metabolisme seluler, fase ini dapat

terganggu apabila terjadi gangguan pada fase ventilasi maupun

transportasi. Gangguan ini dapat diatasi dengan HBO, kecuali

gangguan itu disebabkan oleh pengaruh biokimia, enzim, dan cacat

atau keracunan (Kindwall and Whelan, 1999).

5. Fase difusi

Fase ini adalah fase pembatas fisik antara ketiga fase tersebut

dan dianggap pasif, namun gangguan pada pembatas ini akan

mempengaruhi pertukaran gas.

6. Pada fase transportasi dan utilisasi oksigen

a. Efek kelarutan oksigen dalam plasma


Tekanan barometer normal oksigen larut dalam plasma

sangat sedikit. Namun pada tekanan oksigen yang aman 3

ATA, dimana PO2 arterial mencapai ±2000 mmHg, tekanan

oksigen meningkat 10-13 kali dari normal dalam plasma.

Oksigen yang larut dalam plasma sebesar ± 6 vol % (6 ml O2

per 100 ml plasma) yang cukup untuk memberi hidup

meskipun tidak ada darah (Grim et al., 2009).

b. Hemoglobin

1 gr Hb dapat mengikat 1,34 ml O2 sedangkan konsentrasi

normal dari Hb adalah ± 15 gr per 100 ml darah. Bila saturasi

Hb 100% maka 100 ml darah dapat mengangkut 20,1 ml O2

yang terikat pada Hb (20,1 vol %). Pada tekanan normal

setinggi permukaan laut, dimana PO2 alveolar dan arteri ± 100

mmHg, makan saturasi Hb dengan ± 97% dimana kadar O2

dalam darah adalah 19,5 vol %. Saturasi Hb akan mencapai

100% pada PO2 arteri antara 100-200 mmHg (Grim et al.,

2009).

Saat terapi HBO, hemoglobin pada pembuluh darah vena

juga tersaturasi penuh sehingga tekanan oksigen meningkat

pada pembuluh darah. Difusi oksigen tergantung pada

perbedaan tekanan sehingga oksigen dialirkan ke jaringan dari

pembuluh darah (Hanabe, 2004).

Oksigen dalam darah diangkut dalam bentuk larut dalam

cairan plasma dan bentuk ikatan dengan haemoglobin. Bagian


terbesar berada dalam bentuk ikatan dengan haemoglobin dan

hanya sebagian kecil dijumpai dalam bentuk larut. Dalam

HBO, oksigen bentuk larut menjadi amat penting, hal ini

disebabkan sifat dari oksigen bentuk larut lebih mudah

dikonsumsi oleh jaringan lewat difusi langsung dari pada

oksigen yang terikat lewat sistem haemoglobin (Guritno,

2005).

1) Utilisasi O2

Ultilisasi O2 rata-rata tubuh manusia dapat diketahui

dengan mengukur perbedaan antara jumlah O2 yang ada

dalam darah arteri waktu meninggalkan paru-paru dan

jumlah O2 yang ada dalam vena di arteri pulmonalis. Darah

arteri mengandung ±20% oksigen, sedangkan darah vena

mengandung ±14% volume oksigen sehingga 6 vol %

oksigen dipakai oleh jaringan (Lakesla, 2009 dalam Huda,

2010).

2) Efek kardiovaskuler

HBO menyebabkan penurunan curah jantung sebesar

10-20 % yang disebabkan oleh terjadinya bradikardi.

Tekanan darah umumnya tidak mengalami perubahan

selama pemberian HBO. Pada jaringan yang normal HBO

dapat menyebabkan vasokontriksi sebagai akibat naiknya

PO2 arteri. Efek vasokontriksi ini kelihatannya merugikan,

namun perlu diingat bahwa pada PO2 ±2000 mmHg,


oksigen yang tersedia dalam tubuh adalah 2 kali lebih besar

daripada biasanya. Pada keadaan dimana edema, efek

vasokontriksi yang ditimbulkan oleh HBO dikehendaki

karena dapat mengurangi edema (Hanabe, 2004).

C. Prosedur Penatalaksanaan

Prosedur penatalaksanaan hiperbarik oksigen adalah sebagai

berikut (Lakesla, 2009):

1. Sebelum Terapi Hiperbarik Oksigen

Dokter jaga HBO dan perawat (tender) melaksanakan:

a. Anamnesis

Identitas, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit

dahulu, kontra indikasi absolut dan relative untuk terapi HBO.

b. Indikasi HBO

Beberapa indikasi penyakit yang bisa diterapi HBO adalah

penyakit dekompresi, emboli udara, keracunan gas CO, HCN,

H2S, infeksi seperti gangren, osteomyelitis, lepra, mikosis,

pada bedah plastik dan rekonstruksi seperti luka yang sulit

sembuh, luka bakar, operasi re-implantasi dan operasi cangkok

jaringan. Keadaan trauma seperti crush injury, compartment

syndrome dan cidera olahraga. Gangguan pembuluh darah tepi

berupa syok, MCI, operasi bypass jantung dan nyeri tungkai

iskemik, bedah ortopedi seperti facture non-union, cangkok

sclerosis, migrain, edema cerebri, multi infrak demensia,

cedera medulla spinalis, abses otak dan neuropati perifer.


Asfiksi seperti tenggelam, inhalasi asap, tercekik. Kondisi masa

rehabilitasi seperti hemiplegi spastik stroke, paraplegi, miokard

insusfisiensi kronik dan penyakit pembuluh darah tepi.

Kontraindikasi absolut, yaitu penyakit pneumothorak yang

belum ditangani. Kontra indikasi relatif yaitu meliputi keadaan

umum lemah, tekanan darah sistolik >170 mmHg atau <90

mmHg. Diastole >110 mmHg atau <60 mmHg. Demam tinggi

>380C, ISPA (infeksi saluran pernafasan atas), sinusitis,

Claustropobhia (takut pada ruangan tertutup), penyakit asma,

emfisema dan retensi CO2, infeksi virus, infeksi aerob seperti

TBC, lepra, riwayat kejang, riwayat neuritis optik, riwayat

operasi thorak dan telinga, wanita hamil, penderita sedang

kemoterapi seperti terapi adriamycin, bleomycin.

c. Pemeriksaan fisik lengkap.

d. X-foto thorak PA

e. Pemeriksaan tambahan bila dianggap perlu yaitu:

1) EKG

2) Bubble detector untuk kasus penyelaman

3) Perfusi da PO2 transcutanes

4) Laboratorium darah

5) Konsultasi dokter spesialis

f. Menerangkan manfaat, efek samping, proses dan program

terapi HBO, yaitu:


1) Terapi dilaksanakan di dalam Ruang Udara Bertekanan

tinggi.

2) Cara adaptasi terhadap perubahan tekanan yaitu mannuver

valsava atau equalisasi.

3) Bernafas menghirup O2 100% melalui masker selama 3 x

30 menit untuk table terapi Kindwall atau sesuai table

terapi kasus penyelaman.

4) Efek samping: barotrauma, intoksikasi oksigen.

5) Selama terapi didampingi oleh seorang perawat.

6) Menandatangani inform consent.

g. Selama Terapi Hiperbarik Oksigen

1) Selama proses kompresi, tender membantu adaptasi peserta

terapi HBO terhadap peningkatan tekanan lingkungan.

2) Selama proses menghirup O2 100%

a) Observasi tanda-tanda intoksikasi oksigen seperti pucat,

keringat dingin, twitching, mual, muntah dan kejang.

Bila terjadi hal demikian maka perawat akan

memberitahukan kepada petugas diluar baahwa terapi

dihentikan sementara sampai menunggu kondisi

penderita baik, kemudian penderita dikeluarkan dan

diberikan perawatan sampai kondisi adekuat.

b) Observasi tanda-tanda vital dan keluhan peserta terapi

HBO
c) Untuk kasus penyelaman, observasi sesuai keluhan,

yaitu: gangguan motorik dan sensorik, rasa nyeri.

3) Selama proses dekompresi perawat membantu adaptasi

peserta terapi HBO terhadap pengurangan tekanan

lingkungan dengan valsava maneuver, menelan ludah atau

minum air putih.

4) Setelah Terapi Hiperbarik Oksigen

Dokter dan perawat jaga HBO melaksanakan anamnesis

setelah terapi, evaluasi penyakit, evaluasi ada tidaknya efek

samping. Bila kondisi baik maka pasien akan dikembalikan

ke ruang perawatan seperti semula.

D. Prinsip Kerja HBO Terhadap UKD

Prinsip kerja Oksigen Hiperbarik diawali dengan pemberian

oksigen 100% tekanan 2-3 atm. Tahap selanjutnya dilanjutkan dengan

pengobatan decompression sickness. Kondisi ini akan memicu

meningkatnya fibroblas dan angiogenesis yang menyebabkan

neovaskularisasi jaringan luka, sintesis kolagen, dan peningkatan efek

fagositik leukosit. Kemudian akan terjadi peningkatan dan perbaikan

aliran darah mikrovaskular. Densitas kapiler meningkat sehingga

daerah yang mengalami iskemia akan mengalami reperfusi. Sebagai

respon, akan terjadi peningkatan nitrit oksida (NO) hingga 4-5 kali

dengan diiringi pemberian oksigen hiperbarik 2-3 ATA selama 2 jam.

Pada sel endotel ini, oksigen juga meningkatkan intermediet

vascular endothelial growth factor (VEGF). Melalui siklus Krebs akan


terjadi peningkatan nikotinamid adenin di nukleotida hidrogen

(NADH) yang memicu peningkatan fibroblas. Fibroblas diperlukan

untuk sintesis proteoglikan dan bersama dengan VEGF akan memacu

sintesis kolagen pada proses remodelling, salah satu tahapan dalam

penyembuhan luka. Oksigen penting dalam hidroksilasi lisin dan

prolin selama proses sintesis kolagen dan penyatuan serta pematangan

kolagen. Kekurangan oksigen dalam jumlah yang signifikan akan

menyebabkan gangguan sintesis kolagen. (Figen et al., 2013)

Luka dapat mengakibatkan bagian tubuh mengalami edema dan

infeksi. Di bagian edema ini terdapat radikal bebas dalam jumlah yang

besar. Daerah edema ini mengalami kondisi hipooksigenasi karena

hipoperfusi. Peningkatan fibroblas sebagaimana telah disinggung

sebelumnya akan mendorong terjadinya vasodilatasi pada daerah

edema tersebut. Jadilah kondisi daerah luka tersebut menjadi

hipervaskular, hiperseluler, dan hiperoksia. Dengan pemaparan

oksigen tekanan tinggi, terjadi peningkatan IFN-γ, i-NOS dan VEGF.

IFN- γ menyebabkan TH-1 meningkat yang berpengaruh pada sel β

sehingga terjadi peningkatan Ig-G. Dengan meningkatnya Ig-G, efek

fagositosis leukosit juga akan meningkat. Oksigen hiperbarik

meningkatkan pembentukan radikal bebas oksigen, kemudian

mengoksidasi protein dan lipid membran bakteri, menghancurkan

DNA, dan menghambat fungsi metabolik bakteri. Enzim superoksid

dismutase, katalase, glutation, dan glutation reduktase menyebabkan

penghambatan pembentukan radikal bebas oksigen sampai nantinya


kadar oksigen melebihi kadar konsentrasi enzim-enzim tersebut.

Sehingga pada akhirnya, oksigen akan mengaktifkan peroksidase yang

akan menghancurkan bakteri. (Sourabh et al., 2012).


BAB III

LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA

A. Pengkajian

1. Identitas Diri Klien

Nama : Tn. JS Peguyangan Kaja

Tanggal Masuk RS : 06 April 2021

Alamat : Griya Utama Permai Blok D/7 Banjar Peguyangan Kaja

Tempat/Tanggal Lahir : Sleman, 22/08/1967 Sumber Informasi : pasien

Umur : 53 tahun Agama : Islam

Jenis Kelamin : laki Status Perkawinan menikah

Pendidikan : sarjana Suku : Jawa

Pekerjaan : swasta Lama Bekerja : 30 tahun

Identitas Penanggung :

Nama : Ny. FR

Umur : 47 tahun

Hub. Pasien : istri

Pekerjaan : PNS

Alamat : Griya Utama Permai Blok D/7 Banjar


2. RIWAYAT PENYAKIT:

a. Keluhan utama :

Mengeluh kebas dan nyeri pada kaki, luka di pergelangan kaki kiri

lama tidak sembuh

b. Riwayat penyakit sekarang :

Pada tanggal 6 April 2021 pasien datang ke poliklinik Hiperbarik,

kiriman dari poliklinik Neurologi. Pasien mau melakukan terapi

hiperbarik dengan biaya sendiri. Dari dokter hiperbarik pasien

disarankan untuk melengkapi pemeriksaan sebagai syarat untuk

melakukan terapi oksigen hiperbarik, seperti pemeriksaan darah

lengkap, swab antigen Covid-19 dan thorax foto. Setelah semua

pemeriksaan lengkap, tanggal 7 April 2021 pasien mulai menjalani

terapi oksigen hiperbarik sesi I sebanyak 5 kali terapi berturut-turut

atau bisa disesuaikan dengan waktu pasien. Hasil pemeriksaan vital

sign, tensi 160/90 mmHg, nadi 86 x/menit , respirasi 18 x/menit.

c. Riwayat penyakit dahulu

Pasien mengatakan menderita diabetes melitus ketahuan sejak 2

tahun yang lalu, pasien mulai menyadari dirinya menderita diabetes

melitus karena mengeluh terasa panas di kaki, kesemutan dan kalau

luka lama sembuhnya. Kemudian disarankan oleh saudaranya seorang

dokter untuk mengecek laboratoriumnya. Setelah cek laboratorium di

salah satu lab di Denpasar didapatkan hasil gula darah sewaktu 290
mg/dL. Pasien kemudian konsultasi ke dokter internis, dapat terapi

metpormin 1x500 mg, setelah itu pasien rutin berobat , gula darah

terkontrol antara 150-180 mg/dL. Pada saat ketahuan menderita

diabetes melitus, tekanan darah masih dalam batas normal. Mulai

awal bulan Januari 2021,pasien sering mengeluh pusing , nyeri dan

terasa kaku pada kepala belakang. Awal bulan Maret 2021 pasien

merasa lemas pada sebagian tubuh, kemudian pasien berobat ke

dokter, ternyata tekanan darah sudah meningkat, kemudian pasien

opname di RS Surya Husada karena menderita Stroke Non Hemoragic

(SNH) selama 5 hari pada tanggal 12 Maret 2021.

d. Riwayat penyakit keluarga

Pasien bersaudara 6 orang, 4 saudaranya menderita diabetes

melitus, baik yang laki maupun yang perempuan, cuma ketahuannya

beragam. Ibu pasien menderita diabetes melitus, nenek dari pihak ibu

juga menderita diabetes melitus. Pasien mendapat informasi tentang

terapi oksigen hiperbarik dari keluarganya yang menderita DM tipe 2

dengan keluhan yang sama dan telah menjalani terapi oksigen

hiperbarik di RSAL dr Ramelan Surabaya. Dari informasi

keluarganya tersebut dikatakan bahwa keluhannnya sudah sangat

berkurang, sehingga pasien mau mencoba melakukan terapi ini

DIAGNOSA MEDIS : Diabetes Melitus Tipe +SNH Therapi :

 Metpormin 1 x 500 mg

 Miniaspi 1 x 80 mg (Acetylsalicylic acid 80 mg)

 Etoricoxib 90 mg kalau perlu


 Micobalamin 1 x 500 mg

 Gabapentin 1 x 500 mg

 Citicoline 2 x 500 mg

3. Pengkajian Data Bio-Psiko-Sosial Budaya-Spiritual

a. Pola Bernafas : tidak ada masalah ditemukan pada pola pernafasan,

sesak nafas tidak ada, prekuensi nafas 18 x/menit

b. Pola Mutrisi : pasien biasa makan 3 x sehari, jenis makanan

terdiri dari nasi, lauk sayur dan buah. Pasien tidak mempunyai

makanan pantangan, makanan yang disukai saat

c. Pola eleminasi : tidak ada masalah dalam pola eleminasi Bab

rutin setiap pagi, bak 5-6 kali sehari, rata-rata 1.200 -1.600 cc

per hari, warna urine kuning

d. Pola istirahat dan tidur : pasien mengatakan sering kurang tidur

karena kesibukan pekerjaan. Pasien terpaksa sering bergadang.

Biasanya tidur lewat jam 23.00 bangun jam 05.00 wita. Pasien

mengatakan agak sulit diawal tidur, karena sering banyak

pikiran, siang hari jarang dapat tidur siang.

e. Pola aktivitas dan latihan : sebelum sakit pasien rutin

berolahraga. Karena rutin berolah raga, pasien mengatakan

terdiagnosa diabetes melitus di umur paling tua, dibanding

saudaranya. Semenjak keluar dari RS karena stroke, pasien

sudah berkurang kegiatan olah raganya. Pada saat waktu luang

biasanya pasien rekresi bersama keluarganya.


f. Pola kerja : pasien bekerja sebagai dosen di STIKOM Bali,

pasien juga sebagai konsultan IT, sehingga waktu pasien tidak

tentu jumlah dan jam kerjanya.

4. Riwayat Keluarga Genogram :

Gambar 2 Genogram Keluarga

Keterangan genogram :

- Warna biru : Tidak menderita diabetes

- Warna kuning : Menderita diabetes

- Tanda panah : Pasien kelolaan

5. Riwayat Lingkunan : pasien tinggal di perumahan yang cukup nyaman,

jauh dari kebisingan, tidak ada bahaya maupun polusi di sekitar tempat

tinggalnya.
6. Aspek Psikologis

a. Pola pikir dan persepsi

Pasien menyadari betapa berharganya kesehatan, pasien akan merubah

pola hidup ke arah yang lebih sehat, persepsi indra penglihatan,

pendengaran, peraba dan penciuman baik.

b.Persepsi diri

Pasien berharap keluhannya bisa berkurang, seperti yang dialami oleh

saudaranya yang pernah menjalani terapi oksigen hiperbarik. Pasien

mengatakan saat sakit sekarang ini baru menyadari betapa berharganya

kondisi sehat.

c. Suasana hati

Pasien tampak tenang dan mensyukuri masih ada jalan untuk

mendapatkan kesehatan pulih kembali.

d.Hubungan komunikasi

Pasien bicara menggunakan bahasa Indonesia, tata bahasanya relevan

dan mampu mengekpresikan perasaannya dan mampu mengerti orang

lain.

e. Kebiasaan seksual

Tidak mengalami gangguan.

f. Pertahanan koping

Sebagai kepala keluarga, pasien sebagai pengmbil keputusan

dalam keluarga. Saat masih muda life style masih hura-hura dan

makan sesuka hati, sekarang pasien ingin hidup lebih sehat. Pada

saat mengalami masalah, pasien biasanya menyendiri untuk


menemukan solusi.

g.Sistem nilai-kepercayaan

Pasien menganut agama Islam, rajin menunaikan ibadah sesuai

ajaran agamanya.

7. Pemeriksaan fisik :

a. Vital sign :

 Tensi : 160/90 mmHg

 Nadi : 84 x/menit

 Pernafasan 18 x/menit

 Suhu 36

b. Kesadaran : compos mentis, GCS : E4V5M6

c. Keadaan umum : nyeri skala NRs 3, lokasi kaki,status gizi normal BB

70 kg, TB 167 cm, sikap tenag, personal hygiene bersih, orientasi

tempat/waktu dan orang baik

d. Pemeriksaan fisik Head To Toe

1) Kepala : normochepale, tidak tampak adanya luka/lesi,

2) Rambut warna hitam sudah tampak adanya uban

3) Mata : tidak ada kelainan pada mata, penglihatan normal,

sklera tidak ada ikterik, konjungtiva tidak anemis, pupil

isokor, pasien menggunakan kaca mata baca + 2 ½

4) Hidung : pengidu normal, tidak ada polip, darah maupun

sekret, tidak ada tarikan cuping hidung

5) Telinga : pendengaran normal, tidak tampak adanya sekret ataupun


darah

6) Mulut dan gigi : bibir lembab, mulut dan tenggorokan

norma, gigi sudah ada yang dicabut pada geraham bawah

karena berlubang

7) Leher : tidak ada pembesaran thyroid, lesi tidak ada, nadi

karotis teraba, tidak ada pembesaran limfoid

8) Thorax :

a) Jantung : nadi 84 x/menit,kuat, irama teratur

b) Paru : frekuensi nafas teratur, kwalitas normal, suara

nafas vesikuler,batuk tidak ada, tidak ada sumbatan

jalan nafas

c) retraksi dada tidak ada

9) Abdomen : peristaltik usus normal, tidak ada ascites, nyeri tekan

dan kembung tidak ada, peristaltik usus normal

10) Genatalia : tidak ada kelainan pada genetalia

11) Kulit : turgor kulit elastis, tidak tampak adanya laserasi, tampak

bekas-bekas luka yang sudah menghitam pada kaki, luka pada

pergelangan kaki kiri, warna kulit sawo matang.

12) Ektremitas :

ROM penuh, tidak ada plegi/paresa, hanya parastesia pada

kedua kaki, akral agak dingin, capilary refil <3detik, tida ada

edema

8. Pemeriksaan penunjang
a. Thorax foto AP ( Asimetris )

Soft tissue : tidak tampak kelainan

Tulang-tulang : tidak tampak kelainan

Sinus pleura kanan kiri tajam Diaphragma kanan kiri normal

Cor : besar dan bentuk kesa norma, CTR 45 %

Pulmo : tak tampak konsolidasi/nodul.

Corakan bronchovaskular normal Kesan :Cor dan pulmo tak tampak

kelainan

Pemeriksaan laboratorium Antigen SAR-CoV-2 Rapid Tes : Negative

b. Program terapi :

Terapi hiperbarik tabel Australia sesi I sebanyak 5 kali Obat–obat dari

bagian neurologi dan endokrin lanjut


B. Masalah Keperawatan/Analisa Data
Data Focus Analisis Masalah

DS: Usia, genetik Risiko Perfusi perifer tidak Efektif

Parestesia ↓

Nyeri ektremitas Jumlah sel pranceas menurun

DO :

Penyembuhan luka di area kaki lambat ↓

Luka pada pergelangan kaki kiri Defisiensi insulin

Akral agak dingin

Faktor risiko: Hiperglikemia

Kondisi klinis: Diabetes

Hiperglikemia

Pleksibitas darah merah

Hipoksia perifer


Tabel 4 MMasalah Keperawatan/ Analisa Data Pasien Tn. JS dengan Risiko Perfusi Perifer Tidak Efektif pada DM Tipe 2

C. Diagnosa Keperawatan Dan Prioritas Masalah

1. Risiko Perfusi Perifer Tidak Efektif berhubungan dengan faktor risiko hiperglikemia.
D. Perencanaan

Tabel 5 Perencanaan Pasien Tn. JS dengan Risiko Perfusi Perifer

Tidak Efektif pada DM Tipe 2

No Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Rasional

dan Tujuan

1 (D.0015) Setelah Perawatan Sirkulasi Perawatan

Risiko dilakukan (I.14569) Observasi : Sirkulasi

Perfusi tindakan (I.14569)


1. Idientfikasi
Perifer keperawatan Observasi :
faktor risiko
Tidak 10 kali terapi
gangguan 1. Memantau faktor
Efektif oksigen
sirkulasi (mis. risiko gangguan
dibuktikan hiperbarik
diabetes, sirkulasi (mis.
dengan diharapkan
perokok, orang diabetes,
adanya Perfusi
tua. hipertensi perokok, orang
faktor Perifer
dan kadar tua. hipertensi
risiko (L.02011)
kolesterol tinggi) dan kadar
hiperglike meningkat
2. Monitor kolesterol tinggi)
mia dengan kriteria
Panas 2. Memantau
hasil :
kemerahan, kemerahan,
1. Penye
nyeri, atau nyeri, atau
mbuh
bengkak pada bengkak
an
luka ekstremitas pada ekstremitas

menin

gkat

2. Sensasi

meningkat

3. Nyeri

ekstremi

tas

menuru

4. Parastesia

menurun

5. Kram otot

menurun

Terapeutik : Terapeutik :

3. Hindari pergukuran 3. menghindari

tekanan darah pada pergukuran

ekstremitas

dengan tekanan darah

keterbatasan perfusi
paekstremitas
Edukasi :

1. Ajurkan Menggunakan

obat

penurun tekanan darah,

anntikoagulan dan penurun

kolestrol jika perlu

2. Anjurkan minum obat

pengontrol tekanan darah

secara leratur

3. Anjurkan melakukan

perawatan kulit yang


dengan keterbatasan
Tepat (mis melembabkan
perfusi
kulit kering pada kaki).
Edukasi :

1. Agaar tekanan darah

tetap terkontrol,

aliran darah tetap

lancar, dan

mengurangi

terjadinya endapan

lemak pada
4. Informasikan tanda dan 4. Informasikan

gejala darurat yang tanda dan gejala

harus dilaporkan (mis. darurat yang harus

rasa sakit yang tidak dilaporkan (mis. rasa

hilang saat istirahat sakit yang lidak

luka tidak sembuh, hilang saat istirahat

hilangnya rasa) luka tidak sembuh,

hilangnya rasa).

Kolaborasi Kolaborasi

5. Terapioksigen 5. Untuk

hiperbarik meningkatkan

sirkulasi oksigen ke

jaringan perifer

Manajemen Manajemen Sensasi

Sensasi Perifer Perifer (I.06195)

(I.06195) Observasi

Observasi 1. Memantau penyebab

1. Identifikasi perubahan sensasi


penyebab 2. Memantau perbedaan

perubahan sensasi tajam atau

sensasi tumpul

2. Periksa 3. Memantau terjadinya

parastesia, jika perlu dan


perbedaan
tromboemboli vena

sensasi tajam

atau tumpul

3. Monitor

terjadinya

parestesia, jika

perlu.
Terapeutik Terapeutik

Hindari pemakaian Agar tidak

benda- benda yang memperburuk

berlebihan suhunya kondisi pasien

(terialu panas atau

dingin)

Edukasi

Edukasi
Anjurkan memakai

sepatu lembut dan Agar kaki merasa

bertumit rendah aman


E. PELAKSANAAN

Tabel 6 Pelaksanaan Pasien Tn. JS dengan Risiko Perfusi

Perifer Tidak Efektif pada DM Tipe 2

No Tgl Implementasi Respon Paraf

ja

1 7/4/21 1. Mengidentifikasi faktor risiko DS : pasien mengatakan ada Sariani

10.00 gangguan sirkulasi (mis. diabetes, riwayat diabetes melitus

perokok, orang tua. hipertensi dan DO : gula darah terkontrol

kadar kolesterol tinggi) dengan obat

2.Monitor panas kemerahan, nyeri atau


DS : pasien mengatakan neyri
bengkak pada ekstremitas.
pada kaki

DO :skala nyeri 3
10.15 3. Hindari pengukuran tekanan darah

pada ekstremitas dengan keterbatasan


DS :
perfusi.
DO : tensi 140/90 mmhg, nadi
10.20 Kolaborasi pemberian terapi oksigen
84 x/menit
Hiperbarik
Sebelum masuk chamber

1. Menjelaskan prosedur, tujuan dan

lamanya terapi.

2. Mengganti pakaian dengan pakaian

khusus dari RS

3. Minta pasien menyimpan barang-

barang yang tidak diperkenankan

dibawa masuk (jam tangan, alat-alat

eletronik) di loker

4. Menganjurkan pasien ke toilet

5. sebelum masuk chamber

Mendemontrasikan cara ekualisasi


Pasien paham
(menelan ludah, menguap, menutup
Pakaian sudah diganti
hidung kemudian mendorong udara
Barang-barang pasien sudah
keluar dari telinga, minum
tersimpan di loker
permen,minum air)

6. Menganjurkan pasien membawa

air/permen

10.43 Mulai penekanan Pasien sudah ke toilet


DS : pasien mengatakan
Evaluasi setelah terapi
merasa agak takut
2

1. Tanyakan perasaan pasien menjalani terapi

DO : pasien menanyakan

2. Ganti baju proses selanjutnya yang

harus dilakukan

3. Mencatat semua hasil kegiatan

pada

rekam medis Hasil sudah tercatat di rekam

Medis

8/4/21 1. Hindari pergukuran tekanan darah DS : -

12.30 pada ekstremitas dengan DO : tensi 140/90 mmhg, nadi

keterbatasan perfusi 78 x/menit

2. Monitor terjadinya parestesia, jika DS : pasien mengatakan masih

perlu kesemutan, belum

berkurang

DO : -

12.45 4.Menginformasikan tanda dan gejala DS : pasien mengatakan paham

darurat yang harus dilaporkan (misal

rasa sakit yang tidak hilang saat komplikasi dari diabetes


istirahat, luka tidak sembuh, melitus yang dideritanya

hilangnya rasa) DO : -

DS : pasien mengatakan sudah

12.50 5.Kolaborasi pemberian terapi oksigen mulai adaptasi dengan

hiperbarik tindakan terapi yang

diberikan

DO : selama di dalam chamber

tidak ada masalah

Pakaian sudah diganti


Sebelum masuk chamber
Pasien sudah ke toilet
1.Mengganti pakaian dengan pakaian

khusus dari RS
Pasien sudah membawa
2.Menganjurkan pasien ke toilet
air/permen
sebelum masuk chamber

3.Menganjurkan pasien membawa

air/permen
DS : Pasien mengatakan
Evaluasi setelah terapi masih kesemutan
1.Tanyakan perasaan pasien

2.Ganti baju

3.Mencatat semua hasil kegiatan pada

rekam medis

9/4/21 4.Menghindari pergukuran tekanan

12.30 darah pada ekstremitas dengan


DO : tensi 130/90 mmhg, nadi
keterbatasan perfusi
78 x/menit
5.Menganjurkan menggunakan obat

penurun tekanan darah, antikoagulan

dan penurun kolesterol,jika perlu

12.45 6.Kolaborasi pemberian terapi oksigen

hiperbarik

Sebelum masuk chamber

1.Mengganti pakaian dengan pakaian


Pakaian sudah diganti
khusus dari RS

2.Menganjurkan pasien ke toilet Pasien sudah ke toilet

sebelum masuk chamber

3.Menganjurkan pasien Pasien sudah membawa


membawa air/permen air/permen
Evaluasi setelah terapi

1.Tanyakan perasaan pasien


DS : Pasien mengatakan

2.Ganti baju
kesemutan berkurang

3.Mencatat semua hasil kegiatan pada

rekam medis

16/4/21 1.Menghindari pergukuran tekanan DS : pasien minta pengukuran

13.00 darah pada ekstremitas dengan dilakukan di lengan kanan

keterbatasan perfusi DO : 140/90 mmhg, nadi 80

x/menit

DS : pasien mengatakan kulit


2.Menganjurkan melakukan
kaki agak kering, bekas
perawatan kulit yang tepat (mis
luka masih kehitaman,
melembabkan kulit kering pada
dan sudah memakai
kaki)
pelembab kulit

DO : tampak banyak bekas

luka berwarna hitam

terutama di area kaki

3.Kolaborasi pemberian terapi


13.30 oksigen hiperbarik

Sebelum masuk chamber


1.Mengganti pakaian Pakaian sudah diganti

dengan pakaian khusus

dari RS

2.Menganjurkan pasien ke toilet Pasien sudah ke toilet

sebelum masuk chamber

3.Menganjurkan pasien
Pasien sudah membawa air
membawa air minum/permen
minum

Evaluasi setelah therapi

1.Tanyakan perasaan pasien Pasien sudah sangat

beradaptasi dengan therapi


2.Ganti baju

3.Mencatat semua hasil kegiatan


Hasil dicatat dalam rekam
pada rekam medis
medis
4.Menghindari pergukuran tekanan

19/4/21 darah pada ekstremitas dengan


DS : -
13.30 keterbatasan perfusi
DO : 140/90 mmhg, nadi 80
5.Kolaborasi pemberian terapi
x/menit
oksigen hiperbarik

Sebelum masuk chamber

1.Mengganti pakaian

dengan pakaian khusus


dari RS

2.Menganjurkan pasien ke

toilet sebelum masuk chamber

3.Menganjurkan pasien

membawa air minum/permen

4.Evaluasi setelah therapi

5.Tanyakan perasaan pasien

6.Ganti baju

7.Mencatat semua hasil kegiatan Pakaian sudah diganti

pada rekam medis Pasien sudah ke toilet

Pasien sudah membawa air

minum
F. Evaluasi

Tabel 7 Evaluasi Pasien Tn. JS dengan Risiko Perfusi Perifer Tidak

Efektif pada DM Tipe 2

No Tgl / Evaluasi Paraf

jam

1 19/4/21 S : pasien mengatakan kesemutan/parastesia , nyeri sariani

pada kaki berkurang, luka di pergelangan kaki

kiri kering

O : skala nyeri NRs 1, luka di pergelangan kaki kiri

sudah kering

A : Risiko perfusi perifer tidak efektif dibuktikan

dengan adanya faktor risiko hiperglikemi tidak

memberat.

P : pertahankan kondisi, lanjutkan melakukan

terapi hiperbarik lagi 1 sesi ( 5 kali terapi)


BAB IV

PEMBAHASAN

Asuhan keperawatan pada Tn. Js dengan diagnosa medis Diabetes Mellitus

Tipe 2 di ruang Hiperbarik RSUP Sangalah Denpasar pada tanggal 06 April 2021.

Pada pembahasan ini penulis akan membahas mengenai kesenjangan teori dan

kenyataan yang diperoleh sebagai hasil pelaksanaan studi kasus. Dengan diagnosa

medis Diabetes Mellitus Tipe 2 kami dapat mengerti konsep dasar diagnosa

tersebut mulai dari definisi sampai komplikasi. Di mana resiko terburuk dari

penyakit tersebut adalah kematian.

Pada kasus pasien ini melalui pengkajian didapatkan bahwa faktor penyebab

Diabetes Mellitus Tipe 2 berdasarkan pemeliharaan kesehatan pasien sebelum

sakit. Pasien mengatakan menderita diabetes melitus ketahuan sejak 2 tahun yang

lalu, pasien mulai menyadari dirinya menderita diabetes melitus karena mengeluh

terasa panas di kaki, kesemutan dan kalau luka lama sembuhnya. Kemudian

disarankan oleh saudaranyaseorang dokter untuk mengecek laboratoriumnya.

Setelah cek laboratorium di salah satu lab di Denpasar didapatkan hasil gula darah

sewaktu 290 mg/dL. Pasien kemudian konsultasi ke dokter internis, dapat terapi

metformin 1x500 mg, setelah itu pasien rutin berobat , gula darah terkontrol

antara 150-180 mg/dL. Pada saat ketahuan menderita diabetes melitus, tekanan

darah masih dalam batas normal. Mulai awal bulan Januari 2021,pasien sering

mengeluh pusing , nyeri dan terasa kaku pada kepala belakang. Awal bulan Maret

2021 pasien merasa lemas pada sebagian tubuh, kemudian pasien berobat ke

dokter, ternyata tekanan darah sudah meningkat, kemudian pasien opname di RS


Surya Husada karena menderita Stroke Non Hemoragic (SNH) selama 5 hari pada

tanggal 12 Maret 2021.

Dari hasil keseluruhan pengkajian didapatkan diagnosa utama keperawatan

selanjutnya dilakukan implementasi sampai tahap evaluasi, yaitu:

A. Risiko Perfusi Perifer Tidak Efektif Berhubungan dengan Resiko

Hiperglikemia (D.0015)

Risiko perfusi perifer tidak efektif berisiko mengalami penurunan

sirkulasi pada level darah kapiler yang dapat mengganggu metabolisme tubuh

(SDKI, 2016). Proses hiperglikemia dari proses penyakit diabetes mellitus

mengakibatkan produksi insulin menurun sampai menimbulkan manifestasi

klinis. Salah satu masalah tersebut adalah ketidakefektifan perfusi jaringan

perifer merupakan msalah utama yang muncul pada pasien diabetes mellitus.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Rismawati (2018) yang berjudul

Asuhan Keperawatan Pada Klien Yang Mengalami Diabetes Mellitus Dengan

Masalah Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer implementasi keperawatan

pda klien 1 dan klien 2 terdapat perbedaan dengan pemberian terapi klien 1

mendapatkan reguler insulin 6x6 unit dan klien 2 mendapatkan reguler insulin

3x8 unit serta mendapatkan viccilin 350 mg 3x1. Dari evaluais keperawatan

selama 3 hari pada 2 klien, menunjukkan bahwa klien satu belum dikatakan

sembuh dengan ditandai adanya peningkatan pus, kulit kemerahan, kulit

kering, turgor kulit >2 detik dan kadar glukosa darah kurang dari normal.

Berbeda dengan klien 2 masih di dapatkan kadar glukosa dalam batas normal,

keadaan umum cukup, turgor kulit membaik. Menurut peneliti pada catatan

perkembangan klien 1 belum dikatakan sembuh.


Pada studi kasus ini Risiko perfusi perifer tidak efektif menjadi masalah

keperawatan utama pada Tn. Js Saat melakukan pengkajian ditemukan data

obyektif klien tampak meringis kesakitan karena nyeri dengan skala 3, TD

140/ 90 mmHg, nadi 84x/ menit dan gula darah terkontrol dengan normal.

Menurut Slki (2016) beberapa kriteria hasil yang didapatkan setelah

dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam, yaitu denyut nadi perifer

meningkat, penyembuhan luka meningkat, warna kulit pucat menurun, edema

perifer menurun, nyeri ekstremitas menurun, parastesia menurun, kelemahan

otot menurun, kram otot menurun, bruit fermoralis menurun, nekrosis

menurun, turgor kulit membaik.

Implementasi yang dilakukan pada tanggal 07 April 2021

mengidentifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi (mis. Diabetes, perokok,

orang tua, hipertensi dan kadar kolestrol tinggi), memonitor panas kemerahan,

nyeri atau bengkak pada ekstremitas, berkolaborasi pemberian terapi oksigen

hiperbarik sebelum masuk chamber menjelaskan prosedur, tujuan dan lamanya

terapi.

Adapun hasil tindakan yang dilakukan pada Tn. Js 19 April 2021 pasien

mengatakan parastesia nyeri pada kaki berkurang, luka dipergelakan kaki kiri

kering dan skala nyeri 1. Resiko perifer tidak efektif dibuktikan dengan

adanya faktor resiko hiperglikemia tidak memberat serta menganjurkan pada

pasien untuk mempertahankan kondisi dan lanjutkan melakukan terapi

hiperbarik lagi 1 sesi (5 kali terapi).


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. HBO memberikan pengaruh terhadap kualitas hidup dari domain kesehatan

fisik, dimana pemberian HBO menunjukan perbaikan derajat luka dan

karakteristik luka, sehingga mengurangi kesakitan dan kebutuhan medis

penderita ulkus kaki diabetik.

2. HBO memberikan pengaruh terhadap kualitas hidup dari domain psikologis,

dimana pemberian HBO memberikan harapan yang besar seiring perbaikan

derajat luka dan berkurangnya rasa sakit menyebabkan penderita ulkus kaki

diabetik termotivasi untuk terus bangkit dan mengurangi kecemasan terkait

kondisi yang dialami.

3. HBO memberikan pengaruh terhadap kualitas hidup dari domain hubungan

sosial, dimana penyembuhan luka yang cepat dengan HBO menimbulkan

persepsi positif sehingga meningkatkan dukungan interpersonal,

kepercayaan diri di lingkungan sosial serta memberikan perubahan persepsi

dalam menjalani hidup.

4. HBO memberikan pengaruh terhadap kualitas dari domain lingkungan,

dimana HBO sebagai penunjang kesehatan dalam proses penyembuhan luka

meningkatkan persepsi kongnitif penderita UKD dalam memaknai kualitas

hidupnya.

5. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa terdapat peningkatan

kualitas hidup sebelum dan setelah dilakukan HBO dari keempat domain.
B. Saran

1. Bagi Pelayanan Kesehatan

Menganjurkan kepada penderita UKD dengan finansial yang memadai untuk

melakukan HBO sebagai terapi adjuvant yang dapat meningkatkan kualitas

hidup.

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Melakukan penelitian dengan metode yang lebih obyektif mencangkup aspek

lain yang diidentifikasi terkait kualitas hidup.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, S, Maryam, K, & Heidari, M 2014, ‘Diseases Treated With Hyperbaric

Oxygen Therapy’, Med Hyp Discov Innov Interdisciplinary.

Bani-Issa, W 2011. ‘Evaluation of the health-related quality of life of Emirati

people with diabetes: integration of sociodemographic and disease-related

variables’, Eastern Mediterranean Health J, 17(11):825- 830.

Benjamin, AL, & Anthony, RB 2010, ‘Hyperbaric Oxygen Therapy For Diabetic

Foot Wounds’, Diabetes Care, 33 (5): 1143-5.

Black, J, M., & Hawk, J, H 2014, Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen

Klinis untuk Hasil yang Diharapkan, 8th Edisi, Elsevier, Singapore.

Centers for Disease Control and Prevention, National Diabetes Statistics Report.

2014, National Center for Clinic Disease Prevention and Health Promotion ,

Diakses pada 21 Agustus 2018, < web.pdf>

Chuan, F, Tang, K, & Jiang, P 2015, ‘Reliability and Validity of the Perfusion,

Extent, Depth, Infection and Sensation (PEDIS) Classification System and

Score in Patients with Diabetic Foot Ulcer’, PLoS ONE 10(4): e0124739.

doi:10.1371/journal.pone.0124739, diakses pada 24 September

2018,<http://proquest.umi.com/>
Darmowidjojo, B 2009, Hidup sehat dengan diabetes: panduan bagi penyandang

diabetes, keluarga, dan petugas kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, Jakarta.

Ferawati, I 2014, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Ulkus

Diabetikum Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rsud Prof. Dr. Margono

Soekarjo Purwokerto, Skripsi, Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan

Universitas Jenderal Soedirman Fakultas Kedokteran Dan Ilmu-Ilmu

Kesehatan, Purwokerto.

Fernando, M, E, Crowther, R, G, & Pappas, E 2014, ‘Plantar Pressure in

Diabetic Peripheral Neuropathy Patients with Active Foot Ulceration,

Previous Ulceration and No History of Ulceration: A Meta-Analysis of

Observational Studies’. PLoS ONE 9(6): e99050. doi:10.1371/journal.pone.

0099050, diakses pada 27 September 2018, <http://proquest.umi.com/>

Figen A, Ahmet K, Levent K, Mert K, Ahmet I, & Hasan K 2013, ‘IGF-1

Increases with Hyperbaric Oxygen Therapy and Promotes Wound Healing in

Diabetic Foot Ulcers’. Journal of Diabetes Research; 26:1-6.

Fitria, E 2017, Karakteristik Ulkus Diabetikum pada Penderita Diabetes Mellitus

di RSUD dr. Zainal Abidin dan RSUD Meuraxa Banda Aceh. Diakses pada

27 September 2018, <media.neliti.com/media/publications/197276-ID

karakteristik-ulkus-diabetikum-pada-pend.pdf>
Fryberg, R, G, Zgonis, T, & Armstrong, D, G 2006, ‘Diabetic foot Disorders: A

Clinical Practice Guideline (2006 Revision)’, The Journal of Foot and Ankle

Surgey 45(5, supplement): S1-S66

Grim, P, S, Gottlieb, L, J, & Boddie, A 2009, Hyperbaric Oxygen Therapie,

Diakses pada 03 September 2018,

<http://www.hbotofaz.org/research/hbot.htm.>

Guritno, M 2005, ‘A Hyperbaric Oxygen Therapi in Treatment of Diabetic Foot.

The Indonesian Orthopaedic Association’, Mataram, 50th Continuing

Orthopadeic Association.

Gurkova, E 2013, ‘Self-Care Behaviour, Treatment Satisfaction, And Quality Of

Life In People On Intensive Insulin Treatment’, Biomed Pap Med Fac Univ

Palacky Olomouc Czech Repub, Vol. 157: 1-7.

Hanabe, I 2004, Society for Safety of Hiperbaric Medicine in ECHM Proceeding

of the 1st European Consensus Conference on Hyperbaric Medicine, Lille.

Hannon, R, A, Pooler, C, & Porth, C, M 2010, Porth Pathophysiology: Consepts

of Altered Helath States (1th Ed), Lippincott Williams & Wilkins.),

Philadelphia.
Huda, N 2010, Pengaruh Hiperbarik Oksigen (HBO) Terhadap Perfusi Perifer

Luka Gangren Pada Penderita DM di RSAL Dr. Ramelan Surabaya, Fak.

Keperawatan UI, Jakarta.

Hung, M, C, Killingworth, A, & Nolan, P 2012, ‘A Critique of The Conncept of

Quality of Life’, International Care Quality Assurance, 80-84. ISSN 0952-

6862.

Ignatavicius, D, D, Workman, M, L, & Winkelman, C 2016, Medical-Surgical

Nursing: Patient-Centered Collaborative Care (8th Ed.), Elsevier, St. Louis,

Missouri.

James, W, B 2008, ‘Classification of foot lesions in Diabetic patients’, Levin and

O’Neals The Diabetic Foot, 9:221-226

Kaku, K 2010, Pathophysiology of Type 2 Diabetes and Its Treatment Policy,

Japan Medical Association, 53(1), 41-46. Diakses pada 23 Agustus 2018,

<https://www.med.or.jp/english/journal/pdf/2010_01/041_046.pdf>

Kementerian Kesehatan Repbulik Indonesia 2014, Infodatin: Situasi dan Analisis

Diabetes, Kemenkes RI, Diakses pada 21 Agustus 2018,

<http://www.depkes.go.id/resource/download/pusdatin/infodatin/infodatin-

diabetes.pdf.>
Khardori, R 2016, Type 2 Diabetes Mellitus. Practice Essentials, Diakses pada 21

Agustus 2018, <http://emedicine.medscape.com/article/117739-overview>.

Kindwall, E, P, & Whelan, H, T 1999, The Physiologic Effect of The Hyperbaric

Oxygen, Hyperbaric Medicine Practice 2nd, Best Publishing Co.

Lestari, A, I, Russeng, S, S, Wahyu, A 2013, Faktor yang Berhubungan dengan

Kapasitas Paru Tenaga Kerja di PT Eastern Pearl Flour Mills Kota Makassar.

Jurnal Kesehatan dan Keselamatan Kerja, FKM UNHAS, Makassar.

Lewis, S, L, Dirksen, S, R, Heitkemper, M, M, & Bucher, L 2014, Medical-

Surgical: Assesment and management of clinical problems, , Elsevier/Mosby,

St. Louis, Missouri.

Mabsusah, M 2016, Kualitas Hidup (Quality Of Life) Pasien Diabates Mellitus Di

Rsud. Dr. H. Slamet Martodirdjo Kabupaten Pamekasan Madura.

Undergraduate thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, Surabaya.

Mahdi, H 2009, Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik, Lakesla, Surabaya.

Mahdi, H 1999, Ilmu Kesehatan Bawh Air dan Hiperbarik, Lembaga

Kesehatan

Keangkatan Lautan (Lakesla) , Surabaya.

Mariyani, L 2014, Hubungan Stadium Ulkus Dengan Kualitas Hidup Pada Pasien

DM Tipe II. Diakses pada 25 Desember 2018,


<https://media.neliti.com/media/publications/186669-ID-hubungan- stadium-

ulkus-dengan-kualitas-h.pdf>

Maryunani, A 2013, Perawatan Luka Modern (Modern Wound Care) Terkini dan

Terlengkap Sebagai Bentuk Tindakan Keperawatan Mandiri, In Media,

Jakarta.

Mark, A, K, & Warren, S, J 2007, ‘Update of treatment of diabetic foot infection

’, Clin Podiatr Med Surg, 24:383-396. Diakses pada 2 Oktober 2018,

<http://www.ncbi.nml.nih.gov/pubmed>.

Melina, D, K 2011, ’Peran Stresor Harian, Optimesme dan Regulasi Diri

terhadap Kualitas Hidup Individu dengan Diabetes Mellitus dari Tipe 2’,

PSOKOISLAMIKA,Jurnal Psikologi Islam, Vol.8. no. 1

Mollon, E, P 2012, ‘Analysis research Quality of Life’ , Edusen European

Commision.

Anda mungkin juga menyukai