Kedatangan Tentara Sekutu Diboncengi Oleh NICA
Kedatangan Tentara Sekutu Diboncengi Oleh NICA
Kedatangan Tentara Sekutu Diboncengi Oleh NICA
Semenjak Jepang menyerah kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 secara hukum tidak
lagi berkuasa di Indonesia. Pada tanggal 10 September 1945 Panglima Bala Tentara Kerajaan
Jepang di Jawa mengumumkan bahwa pemerintahan akan diserahkan kepada Sekutu dan tidak
kepada pihak Indonesia. Pada tanggal 14 September 1945 Mayor Greenhalgh datang di Jakarta.
la merupakan perwira Sekutu yang pertama kali datang ke Indonesia. Tugas Greenhalgh adalah
mempelajari dan melaporkan keadaan di Indonesia menjelang pendaratan rombongan Sekutu.
Pada tanggal 29 September 1945 pasukan Sekutu mendarat di Indonesia antara lain bertugas
melucuti tentara Jepang. Tugas ini dilaksanakan Komando Pertahanan Sekutu di Asia Tenggara
yang bernama South East Asia Command (SEAC) di bawah pimpinan Lord Louis Mountbatten
yang berpusat di Singapura. Untuk melaksanakan tugas itu, Mountbatten membentuk suatu
komando khusus yang diberi nama Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI) di bawah
Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Pasukan AFNEI mulai mendarat di Jakarta pada tanggal 29 September 1945 yang terdiri dari tiga
divisi yaitu :
1. Divisi India ke-23, di bawah pimpinan Mayor Jendral D.C. Hawthorn yang bertugas untuk
daerah Jawa Barat;
2. Divisi India ke-5, di bawah pimpinan Mayor Jenderal E.C. Marsergh yang bertugas untuk
daerah Jawa Timur;
3. Divisi India ke-26, di bawah pimpinan Mayor Jenderal H.M. Chambers yang bertugas untuk
daerah Sumatra.
Pasukan-pasukan AFNEI hanya bertugas di Sumatera dan Jawa, sedangkan untuk daerah
Indonesia lainnya diserahkan tugasnya kepada angkatan perang Australia. Pada mulanya
kedatangan Sekutu disambut dengan senang hati oleh bangsa Indonesia. Hal ini karena mereka
mengumandangkan perdamaian. Akan tetapi, setelah diketahui bahwa Sekutu secara diam-diam
membawa orang-orang Netherland Indies Civil Administration (NICA), yakni pegawai-pegawai
sipil Belanda maka bangsa Indonesia curiga dan akhirnya menimbulkan permusuhan.
NICA berusaha mempersenjatai kembali KNIL (Koninklijk Nerderlands Indisch Leger, yaitu
Tentara Kerajaan Belanda yang ditempatkan di Indonesia). Orang-orang NICA dan KNIL di
Jakarta, Surabaya dan Bandung mengadakan provokasi sehingga memancing kerusuhan. Sebagai
pimpinan AFNEI, Christison menyadari bahwa untuk kelancaran tugasnya diperlukan bantuan
dari Pemerintah Republik Indonesia. Oleh karena itu diadakanlah perundingan dengan
pemerintah RI. Christison mengakui pemerintahan de facto Republik Indonesia pada tanggal 1
Oktober 1945. la tidak akan mencampuri persoalan yang menyangkut status kenegaraaan
Indonesia. Dalam kenyataannya pasukan Sekutu sering membuat hura-hara dan tidak
menghormati kedaulatan bangsa Indonesia. Gerombolan NICA sering melakukan teror terhadap
pemimpin-pemimpin kita. Dengan demikian bangsa Indonesia mengetahui bahwa kedatangan
Belanda yang membonceng AFNEI adalah untuk menegakkan kembali kekuasaannya di
Indonesia. Oleh karena itu bangsa kita berjuang dengan cara-cara diplomasi maupun kekuatan
senjata untuk melawan Belanda yang akan menjajah kembali. Konflik antara Indonesia dengan
Belanda ini akhirnya melibatkan peran dunia intemasional untuk menyelesaikannya.
Jika tahap pertama ini dapat berhasil maka tahap berikutnya adalah meng-hancurkan RI secara
total. Ibu kota RI pada waktu itu terkepung sehingga hubungan ke luar sulit dan ekonomi RI
mengalami kesulitan karena daerah-daerah penghasil beras jatuh ke tangan Belanda. Akan tetapi
untuk menghancurkan TNI mengalami kesulitan sebab TNI menggunakan siasat perang rakyat
semesta dengan bergerilya dan bertahan di desa-desa. Dengan demikian Belanda hanya
menguasai dan bergerak di kota-kota besar dan jalan-jalan raya, sedangkan di luar itu masih
dikuasai TNI.
Dalam Agresi Militer pertama ini walaupun Belanda berhasil menduduki beberapa daerah
kekuasaan RI akan tetapi secara politis Republik Indonesia naik kedudukannya di mata dunia.
Negara-negara lain merasa simpati seperti Liga Arab yang sejak 18 November 1946 mengakui
kemerdekaan Indonesia. Pemerintah Arab Saudi yang semula ragu-ragu mengakui kemerdekaan
Indonesia kemudian mengakui pula. Agresi militer Belanda terhadap Indonesia mengakibatkan
permusuhan negara-negara Arab terhadap Belanda dan menjadi simpati terhadap Indonesia.
Dengan demikian dapat menguatkan kedudukan RI terutama di kawasan penting secara politik
yaitu Timur Tengah. Dengan adanya agresi militer pertama maka Dewan Keamanan PBB ikut
campur tangan dengan membentuk Komisi Tiga Negara. Melalui serangkaian perundingan yakni
Perundingan Renville dan Perundingan Kaliurang merupakan upaya untuk mengatasi konflik.
Sebagai negara yang cinta damai Indonesia bersedia berunding, namun Belanda menjawab lagi
dengan kekerasan yakni melakukan agresinya yang kedua.
Salah satu bentuk perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan adalah
perjuangan diplomasi, yakni perjuangan melalui meja perundingan. Ketika Belanda ingin
menanamkan kembali kekuasaannya di Indonesia temyata selalu mendapat perlawanan dari
bangsa Indonesia. Oleh karena itu pemimpin Sekutu berusaha mempertemukan antara pemimpin
Indonesia dengan Belanda melalui
perundingan-perundingan sebagai berikut :
Pertemuan antara wakil-wakil Belanda dengan para pemimpin Indonesia diprakarsai oleh Pang
lima AFNEI Letnan Jenderal Sir Philip Christison pada tanggal 25 Oktober 1945. Dalam
pertemuan tersebut pihak Indonesia diwakili oleh Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad
Sobardjo, dan H. Agus Salim, sedangkan pihak Belanda diwakili Van Mook dan Van Der Plas.
Pertemuan ini merupakan pertemuan untuk menjajagi kesepakatan kedua belah pihak yang
berselisih. Presiden Soekamo mengemukakan kesediaan Pemerintah Republik Indonesia untuk
berunding atas dasar pengakuan hak rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri.
Sedangkan Van Mook mengemukakan pandangannya mengenai masalah Indonesia di masa
depan bahwa Belanda ingin menjalankan untuk Indonesia menjadi negara persemakmuran
berbentuk federal yang memiliki pemerintah sendiri di lingkungan kerajaan Belanda. Yang
terpenting menurut Van Mook bahwa pemerintah Belanda akan memasukkan Indonesia menjadi
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tindakan Van Mook tersebut disalahkan oleh Pemerintah
Belanda terutama oleh Parlemen, bahkan Van Mook akan dipecat dari jabatan wakil Gubernur
Jenderal Hindia Belanda (Indonesia).
Pertemuan ini dilaksanakan pada tanggal 17 November 1945 bertempat di Markas Besar Tentara
Inggris di Jakarta ( Jalan Imam Bonjol No.1). Dalam pertemuan ini pihak Sekutu diwakili oleh
Letnan Jenderal Christison, pihak Belanda oleh Dr. H.J. Van Mook, sedangkan delegasi
Republik Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Sebagai pemrakarsa
pertemuan ini, Christison bermaksud mempertemukan pihak Indonesia dan Belanda di samping
menjelaskan maksud kedatangan tentara Sekutu, akan tetapi pertemuan ini tidak membawa hasil.
Selanjutnya pada tanggal 12 Maret 1946 Sjahrir menyampaikan usul balasan yang berisi antara
lain sebagai berikut.
(1) Republik Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas
Hindia Belanda.
(2) Federasi Indonesia-Belanda akan dilaksanakan pada masa tertentu dan urusan luar negeri dan
pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang terdiri atas orang-orang Indonesia dan
Belanda.
Usul dari pihak Indonesia di atas tidak diterima oleh pihak Belanda dan selanjutnya Van Mook
secara pribadi mengusulkan untuk mengakui Republik Indonesia sebagai wakil Jawa untuk
mengadakan kerja sama dalam rangka pembentukan negara federal dalam lingkungan Kerajaan
Belanda. Pada tanggal 27 Maret 1946 Sutan Sjahrir mengajukan usul baru kepada Van Mook
antara lain sebagai berikut.
(1) Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto Rl atas Jawa dan Sumatera.
(2. Supaya RI dan Belanda bekerja sama membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).
(3) RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, Curacao, menjadi peserta dalam ikatan
negara Belanda.
Perundingan ini dilaksanakan pada tanggal 14 - 25 April 1946 di Hooge Veluwe (Negeri
Belanda), yang merupakan kelanjutan dari pembicaraan-pembicaraan yang telah disepakati
Sjahrir dan Van Mook. Para delegasi dalam perundingan ini adalah:
(1) Mr. Suwandi, dr. Sudarsono, dan Mr. A.K. Pringgodigdo yang mewakili pihak pemerintah
RI;
(2) Dr. Van Mook, Prof. Logemann, Dr. Idenburgh, Dr. Van Royen, Prof. Van Asbeck, Sultan
Hamid II, dan Surio Santosa yang mewakili Belanda, dan
(3) Sir Archibald Clark Kerr mewakili Sekutu sebagai penengah.
Perundingan yang berlangsung di Hooge Veluwe ini tidak membawa hasil sebab Belanda
menolak konsep hasil pertemuan Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta. Pihak Belanda tidak
bersedia memberikan pengakuan de facto kedaulatan RI atas Jawa dan Sumatra tetapi hanya
Jawa dan Madura serta dikurangi daerah-daerah yang diduduki oleh Pasukan Sekutu. Dengan
demikian untuk sementara waktu hubungan Indonesia-Belanda terputus, akan tetapi Van Mook
masih berupaya mengajukan usul bagi pemerintahannya kepada pihak RI.
5. Perundingan Linggajati
Walaupun Perundingan Hooge Veluwe mengalami kegagalan akan tetapi dalam prinsipnya
bentuk-bentuk kompromi antara Indonesia dan Belanda sudah diterima dan dunia memandang
bahwa bentuk-bentuk tersebut sudah pantas. Oleh karena itu pemerintah Inggris masih memiliki
perhatian besar terhadap penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda dengan mengirim Lord
Killearn sebagai pengganti Prof Schermerhorn. Pada tanggal 7 Oktober 1946 Lord Killearn
berhasil mempertemukan wakil-wakil pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja perundingan
yang berlangsung di rumah kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta. Dalam perundingan ini
masalah gencatan senjata yang tidak mencapai kesepakatan akhirnya dibahas lebih lanjut oleh
panitia yang dipimpin oleh Lord Killearn. Hasil kesepakatan di bidang militer sebagai berikut:
(l). Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar
kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.
(2). Dibentuk sebuah Komisi bersama Gencatan Senjata untuk masalah-masalah teknis
pelaksanaan gencatan senjata.
Dalam mencapai kesepakatan di bidang politik antara Indonesia dengan Belanda diadakanlah
Perundingan Linggajati. Perundingan ini diadakan sejak tanggal 10 November 1946 di
Linggajati, sebelah selatan Cirebon. Delegasi Belanda dipimpin oleh Prof. Scermerhorn, dengan
anggotanya Max Van Poll, F. de Baer dan H.J. Van Mook. Delegasi Indonesia dipimpin oleh
Perdana Menteri Sjahrir, dengan anggotaanggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Amir Sjarifoeddin,
Mr. Soesanto Tirtoprodjo, Dr. A.K. Gani, dan Mr. Ali Boediardjo. Sedangkan sebagai
penengahnya adalah Lord Killearn, komisaris istimewa Inggris untuk Asia Tenggara. Hasil
Perundingan Linggajati ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk (sekarang
Istana Merdeka) Jakarta, yang isinya adalah sebagai berikut.
(1) Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang
meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus sudah meninggalkan daerah de facto paling
lambat tanggal 1 Januari 1949.
(2) Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia
Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah
Republik Indonesia.
(3) Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan
Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Meskipun isi perundingan Linggajati masih terdapat perbedaan penafsiran antara Indonesia
dengan Belanda, akan tetapi kedudukan Republik Indonesia di mata Internasional kuat karena
Inggris dan Amerika memberikan pengakuan secara de facto.
6. Perundingan Renville
Perbedaan penafsiran mengenai isi Perundingan Linggajati semakin memuncak dan akhirnya
Belanda melakukan Agresi Militer pertama terhadap Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947. Atas
prakasa Komisi Tiga Negara (KTN), maka berhasil dipertemukan antara pihak Indonesia dengan
Belanda dalam sebuah perundingan. Perundingan ini dilakukan di atas kapal pengangkut pasukan
Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville” yang sedang berlabuh di pelabuhan Tanjung
Priok, Jakarta.
Perundingan Renville ini dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 di mana pihak Indonesia
mengirimkan delegasi yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin, sedangkan pihak Belanda
dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda. Hasil
perundingan Renville baru ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 yang intinya sebagai
berikut.
(1) Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda sampai pada waktu
yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda untuk mengakui Negara Indonesia Serikat (NIS).
(2) Akan diadakan pemungutan suara untuk menentukan apakah berbagai penduduk di daerah-
daerah Jawa, Madura, dan Sumatera menginginkan daerahnya bergabung dengan RI atau negara
bagian lain dari Negara Indonesia Serikat.
(3) Tiap negara (bagian) berhak tinggal di luar NIS atau menyelenggarakan hubungan khusus
dengan NIS atau dengan Nederland.
Akibat dari perundingan Renville ini wilayah Republik Indonesia yang meliputi Jawa, Madura,
dan Sumatera menjadi lebih sempit lagi. Akan tetapi, RI bersedia menandatangani perjanjian ini
karena beberapa alasan di antaranya adalah karena persediaan amunisi perang semakin menipis
sehingga kalau menolak berarti belanda akan menyerang lebih hebat. Di samping itu juga tidak
adanya jaminan bahwa Dewan Keamanan PBB dapat menolong serta RI yakin bahwa
pemungutan suara akan dimenangkan pihak Indonesia.
7. Persetujuan Roem-Royen
Ketika Dr. Beel menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia, ia mempunyai
pandangan yang berbeda dengan Van Mook tentang Indonesia. Ia berpendirian bahwa di
Indonesia harus dilaksanakan pemulihan kekuasaan pemerintah kolonial dengan tindakan militer.
Oleh karena itu pada tanggal 18 Desember 1948 Dr. Beel mengumumkan tidak terikat dengan
Perundingan Renville dan dilanjutkan tindakan agresi militernya yang kedua pada tanggal 19
Desember 1948 pada pukul 06.00 pagi dengan menyerang ibu kota Rl yang berkedudukan di
Yogyakarta. Dengan peristiwa ini Komisi Tiga Negara (KTN) diubah namanya menjadi Komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesian atau
UNCI). Komisi ini bertugas membantu melancarkan perundingan-perundingan antara Indonesia
dengan Belanda. Pada tanggal 7 Mei 1949 Mr. Moh. Roem selaku ketua delegasi Indonesia dan
Dr. Van Royen selaku ketua delegasi Belanda yang masing-masing membuat pernyataan sebagai
berikut.
1). Pernyataan Mr. Moh Roem.
a. Mengeluarkan perintah kepada “Pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan
perang gerilya.
b. Bekerja sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
c. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat
“penyerahan” kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat,
dengan tidak bersyarat.
2). Pernyataan Dr. Van Royen
a. Menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
b. Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan pembebasan semua tahanan politik.
c. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang berada di daerah-daerah yang
dikuasai RI sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah
dengan merugikan Republik
d. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
e. Berusaha dengan sungguh-sungguh agar Konferensi Meja Bundar segera diadakan setelah
Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.
Salah satu pernyataan Roem-Royen adalah segera diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Sebelum dilaksanakan KMB diadakanlah Konferensi Inter - Indonesia antara wakil-wakil
Republik Indonesia dengan BFO (Bijjenkomst voor Federaal Overleg) atau Pertemuan
Permusyawarahan Federal. Konferensi ini berlangsung dua kali yakni tanggal 19 - 22 Juli 1949
di Yogyakarta dan pada tanggal 31 Juli - 2 Agustus 1949 di Jakarta. Salah satu keputusan
penting dalam konferensi ini ialah bahwa BFO menyokong tuntutan Republik Indonesia
atas penyerahan kedaulatan tanpa ikatanikatan politik ataupun ekonomi. Pada tanggal 23 Agustus
sampai 2 November 1949 diadakanlah Konferensi Meja Bundar di Den Haag (Belanda). Sebagai
ketua KMB adalah Perdana Menteri Belanda, Willem Drees. Delegasi RI dipimpin oleh Drs.
Moh. Hatta, BFO di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, dan delegasi Be1anda
dipimpin Van Maarseveen sedangkan dari UNCI sebagai mediator dipimpin oleh Chritchley.
Pada tanggal 2 November 1949 berhasil ditandatangani persetujuan KMB. Isi dari persetujuan
KMB adalah sebagai berikut.
1. Belanda mengakui kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada akhir bulan Desember
1949.
2. Mengenai Irian Barat penyelesaiannya ditunda satu tahun setelah pengakuan kedaulatan.
3. Antara RIS dan kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia - Belanda yang akan
diketuai Ratu Belanda.
4. Segera akan dilakukan penarikan mundur seluruh tentara Belanda.
5. Pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya.
Dari hasil KMB itu dinyatakan bahwa pada akhir bulan Desember 1949 Indonesia diakui
kedaulatannya oleh Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 27 Desember 1949 diadakanlah
penandatanganan pengakuan kedaulatan di negeri Belanda. Pihak Belanda ditandatangani oleh
Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. AM . J.A
Sassen. Sedangkan delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Pada waktu yang sama di
Jakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tertinggi Mahkota AH.J. Lovink
menandatangani naskah pengakuan kedaulatan. Dengan diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda
ini maka Indonesia berubah bentuk negaranya berubah menjadi negara serikat yakni Republik
Indonesia Serikat (RIS).
1. Pertempuran Surabaya
Pada tanggal 25 Oktober 1945 Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A W.S. Mallaby
mendarat di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Brigade ini merupakan bagian dari Divisi India
ke-23, dibawah pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn. Mereka mendapat tugas melucuti tentara
Jepang dan menyelamatkan tawanan Sekutu. Pasukan ini berkekuatan 6000 personil di mana
perwira-perwiranya kebanyakan orang-orang Inggris dan prajuritnya orang-orang Gurkha dari
Nepal yang telah berpengalaman perang. Rakyat dan pemerintah Jawa Timur di bawah pimpinan
Gubernur R.M.T.A Suryo semula enggan menerima kedatangan Sekutu. Kemudian antara wakil-
wakil pemerintah RI dan Birgjen AW.S. Mallaby mengadakan pertemuan yang menghasilkan
kesepakatan sebagai berikut.
1). Inggris berjanji mengikutsertakan Angkatan Perang Belanda.
2). Disetujui kerja sama kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketenteraman.
3). Akan dibentuk kontak biro agar kerja sama berjalan lancar.
4). Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang.
Pada tanggal 26 Oktober 1945 pasukan Sekutu melanggar kesepakatan terbukti melakukan
penyergapan ke penjara Kalisosok. Mereka akan membebaskan para tawanan Belanda di
antaranya adalah Kolonel Huiyer. Tindakan ini dilanjutkan dengan penyebaran pamflet yang
berisi perintah agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata-senjata mereka. Rakyat Surabaya dan
TKR bertekad untuk mengusir Sekutu dari bumi Indonesia dan tidak akan menyerahkan senjata
mereka. Kontak senjata antara rakyat Surabaya melawan Inggris terjadi pada tanggal 27 Oktober
1945. Para pemuda dengan perjuangan yang gigih dapat melumpuhkan tank-tank Sekutu dan
berhasil menguasai objek-objek vital. Strategi yang digunakan rakyat Surabaya adalah dengan
mengepung dan menghancurkan pemusatan-pemusatan tentara Inggris kemudian melumpuhkan
hubungan logistiknya. Serangan tersebut mencapai kemenangan yang gemilang walaupun di
pihak kita banyak jatuh korban. Pada tanggal 29 Oktober 1945 Bung Karno beserta Jenderal
D.C. Hawthorn tiba di Surabaya. Dalam perundingan antara pemerintah RI dengan Mallaby
dicapai kesepakatan untuk menghentikan kontak senjata. Kesepakatan ini dilanggar oleh pihak
Sekutu. Dalam salah satu insiden, Jenderal Mallaby terbunuh. Dengan terbunuhnya Mallaby,
pihak Inggris menuntut pertanggungjawaban kepada rakyat Surabaya. Pada tanggal 9 November
1945 Mayor Jenderal E.C. Mansergh sebagai pengganti Mallaby mengeluarkan ultimatum
kepada bangsa Indonesia di Surabaya. Ultimatum itu isinya agar seluruh rakyat Surabaya beserta
pemimpin-pemimpinnya menyerahkan diri dengan senjatanya, mengibarkan bendera putih, dan
dengan tangan di atas kepala berbaris satu-satu. Jika pada pukul 06.00 ultimatum itu tidak
diindahkan maka Inggris akan mengerahkan seluruh kekuatan darat, laut dan udara. Ultimatum
ini dirasakan sebagai penghinaan terhadap martabat bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan. Oleh karena itu rakyat Surabaya
menolak ultimatum tersebut secara resmi melalui pernyataan Gubernur Suryo. Karena penolakan
ultimatum itu maka meletuslah pertempuran pada tanggal 10 Nopember 1945. Melalui siaran
radio yang dipancarkan dari Jl. Mawar No.4 Bung Tomo membakar semangat juang arek-arek
Surabaya. Kontak senjata pertama terjadi di Perak sampai pukul 18.00. Pasukan Sekutu di bawah
pimpinan Jenderal Mansergh mengerahkan satu Divisi infantri sebanyak 10.000 - 15.000 orang
dibantu tembakan dari laut oleh kapal perang penjelajah “Sussex” serta pesawat tempur
“Mosquito” dan “Thunderbolt”.
Dalam pertempuran di Surabaya ini seluruh unsur kekuatan rakyat bahu membahu, baik dari
TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR maupun TKR laut di bawah
Komandan Pertahanan Kota, Soengkono. Pertempuran yang berlangsung sampai akhir
November 1945 ini rakyat Surabaya berhasil mempertahankan kota Surabaya dari gempuran
Inggris walaupun jatuh korban yang banyak dari pihak Indonesia. Oleh karena itu setiap tanggal
10 November bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Hal ini sebagai penghargaan atas
jasa para pahlawan di Surabaya yang mempertahankan tanah air Indonesia dari kekuasaan asing.
2. Pertempuran Ambarawa
Kedatangan Sekutu di Semarang tanggal 20 Oktober 1945 dibawah pimpinan Brigadir lenderal
Bethel semula diterima dengan baik oleh rakyat karena akan mengurus tawanan perang. Akan
tetapi, secara diam-diam mereka diboncengi NICA dan mempersenjatai para bekas tawanan
perang di Ambarawa dan Magelang. Setelah terjadi insiden di Magelang antara TKR dengan
tentara Sekutu maka pada tanggal 2 November 1945 Presiden Soekarno dan Brig.Jend. Bethel
mengadakan perundingan gencatan senjata.
Pada tanggal 21 November 1945 pasukan Sekutu mundur dari Magelang ke Ambarawa. Gerakan
ini segera dikejar resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel M. Sarbini dan
meletuslah pertempuran Ambarawa. Pasukan Angkatan Muda di bawah Pimpinan Sastrodihardjo
yang diperkuat pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta menghadang Sekutu di
desa Lambu. Dalam pertempuran di Ambarawa ini gugurlah Letnan Kolonel Isdiman, Komandan
Resimen Banyumas. Dengan gugurnya Letnan Kolonel Isdiman, komando pasukan dipegang
oleh Kolonel Soedirman, Panglima Divisi di Purwokerto. Kolonel Soedirman mengkoordinir
komandan-komandan sektor untuk menyusun strategi penyerangan terhadap musuh. Pada
tanggal 12 Desember 1945 pasukan TKR berhasil mengepung musuh yang bertahan di benteng
Willem, yang terletak di tengah-tengah kota Ambarawa. Selama 4 hari 4 malam kota Ambarawa
di kepung. Karena merasa terjepit maka pada tanggal 15 Desember 1945 pasukan Sekutu
meninggalkan Ambarawa menuju ke Semarang.
Berita Proklamasi Kemerdekaan baru sampai di Medan pada tanggal 27 Agustus 1945. Hal ini
disebabkan sulitnya komunikasi dan adanya sensor dari tentara Jepang. Berita tersebut dibawa
oleh Mr. Teuku M. Hassan yang diangkat menjadi Gubernur Sumatra. Ia ditugaskan oleh
pemerintah untuk menegakkan kedaulatan Republik Indonesia di Sumatera dengan membentuk
Komite Nasional Indonesia di wilayah itu. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan Sekutu
mendarat di Sumatera Utara di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly. Serdadu
Belanda dan NICA ikut membonceng pasukan ini yang dipersiapkan mengambil alih
pemerintahan. Pasukan Sekutu membebaskan para tawanan atas persetujuan Gubernur Teuku M.
Hassan. Para bekas tawanan ini bersikap congkak sehingga menyebabkan terjadinya insiden di
beberapa tempat.
Achmad Tahir, seorang bekas perwira tentara Sukarela memelopori terbentuknya TKR Sumatra
Tirnur. Pada tanggal l0 Oktober 1945. Di samping TKR, di Sumatera Timur terbentuk Badan-
badan perjuangan dan laskar-laskar partai. Pada tanggal 18 Oktober 1945 Brigadir Jenderal
T.E.D. Kelly memberikan ultimatum kepada pemuda Medan agar menyerahkan senjatanya.
Aksi-aksi teror mulai dilakukan oleh Sekutu dan NICA. Pada tanggal 1 Desember 1945 Sekutu
memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut
pinggiran kota Medan. Bagaimana sikap para pemuda kita? Mereka dengan gigih membalas
setiap aksi yang dilakukan pihak Inggris dan NICA. Pada tanggal 10 Desember 1945 pasukan
Sekutu melancarkan serangan militer secara besar-besaran dengan menggunakan pesawat-
pesawat tempur. Pada bulan April 1946 pasukan Inggris berhasil mendesak pemerintah RI ke
luar Medan. Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota RI pindah ke Pematang Siantar. Walaupun
belum berhasil menghalau pasukan Sekutu, rakyat Medan terus berjuang dengan membentuk
Lasykar Rakyat Medan Area.
Selain di daerah Medan, di daerah-daerah sekitarnya juga terjadi perlawanan rakyat terhadap
Jepang, Sekutu, dan Belanda. Di Padang dan Bukittinggi pertempuran berlangsung sejak bulan
November 1945. Sementara itu dalam waktu yang sama di Aceh terjadi pertempuran melawan
Sekutu. Dalam pertempuran ini Sekutu memanfaatkan pasukan-pasukan Jepang untuk
menghadapi perlawanan rakyat sehingga pecah pertempuran yang dikenal dengan peristiwa
Krueng Panjol Bireuen. Pertempuran di sekitar Langsa/Kuala Simpang Aceh semakin sengit
ketika pihak rakyat dipimpin langsung oleh Residen Teuku Nyak Arif. Dalam pertempuran ini
pejuang kita berhasil mengusir Jepang. Dengan demikian di seluruh Sumatera rakyat bersama
pemerintah membela dan mempertahankan kemerdekaan.