FIQIH PUASA KITAB TAQRIROT SADIDAH - Oleh Ustadz Muhammad Rifqi Arriza

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 51

FIQIH PUASA

KITAB TAQRIROT SADIDAH

Oleh :

Ustadz Muhammad Rifqi Arriza


Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

KAJIAN FIQIH PUASA

KITAB “TAQRIROT SADIDAH FIL MASAIL MUFIDAH”

Karya Syeikh Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaff

beserta tambahan faedah dari referensi lainnya

Definisi, Dalil dan Waktu Disyariatkan Puasa Ramadhan

✓ Definisi Puasa:
Secara bahasa, puasa (as-syiyam) artinya menahan (al-imsak).
Secara syariat, puasa (as-syiyam) artinya menahan diri dari semua hal yang membatalkan
puasa sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari dengan niat tertentu.

✓ Dalil Kewajiban Puasa

َ ‫ب ع َََل ا َّل ِذي َن ِم ْن َق ْبلِك ُْم َل َع َّلك ُْم َتتَّ ُق‬


.183 :‫ البقرة‬‫ون‬ ِ
َ ‫الص َيا ُم ك َََم كُت‬
ِ ِ
َ ‫ َيا َأ ه َُّيا ا َّلذي َن آ َمنُوا كُت‬
ِّ ‫ب َع َل ْيك ُُم‬

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana diwajibkan
puasa atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. QS: al-Baqarah: 183.

✓ Kapan Puasa Ramadhan Mulai Diwajibkan


Puasa Ramadhan mulai diwajibkan bagi umat Islam di tahun ke-2 Hijriyah pada bulan
Sya`ban. Semasa hidupnya, Rasulullah saw sudah berpuasa 9 kali Ramadhan, di setiap
Ramadhan tersebut jumlahnya 29 hari, kecuali 1 bulan Ramadhan yang berjumlah 30 hari.

Keutamaan Berpuasa

1. Diberi ampunan oleh Allah dan pahala yang amat besar.

‫ات َأعَدَّ اَّللَُّ ََل ُ ْم َمغ ِْف َر ًة َو َأ ْج ًرا‬


ِ ‫الذاكِر‬ ِ ََّ ‫الذاكِ ِرين ا‬
َ َّ ‫َّلل كَث ًريا َو‬ َ
ِ ‫اْلافِ َظ‬
َّ ‫ات َو‬ َ ْ ‫وج ُه ْم َو‬
ِ ِ ْ ‫تو‬
َ ‫اْلافظنيَ ُف ُر‬
ِ ِ
َ َ ‫الصائ ََم‬
ِِ
َّ ‫الصائمنيَ َو‬
َّ ‫ َو‬

.35 :‫ األحزاب‬‫عَظِ ًيَم‬

“... laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah swt telah
menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. QS: al-Ahzab: 35.
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

2. Pahala puasa ditentukan khusus oleh Allah.

‫الصيَا َم َف ُه َو ِل َو َأ َنا َأ ْج ِز ِب ِه‬ ِ ِ ِ


ِّ ‫ َإ َّّل‬،‫ش َأ ْمثَاَل َا إِ َىل َسبْ ِع مئَة ض ْعف‬
ِ ْ ‫ ُك هل َح َسنَة ِب َع‬ ‫يف اْلديث القديس عن اَّلل تعاىل أنه قال‬

‫رواه اإلمام مالك والبخاري‬

“Setiap kebaikan – akan diberi balasan – 10 kali lipatnya, - dan dapat terus bertambah –
hingga - 700 kali lipat, kecuali puasa, maka ia sejatinya adalah untuk-Ku, dan Aku sendiri
yang akan membalasnya (memberikan ganjaran)”. HR. Bukhari dan Malik.

3. Seseorang yang berpuasa mendapat kegembiraan; di dunia dan di akhirat.

.‫ رواه البخاري ومسلم‬‫ إِ َذا َأ ْف َط َر َف ِر َح َوإِ َذا َل ِق َي اَّللَ َف ِر َح بِ ِص َي ِام ِه‬:‫َان‬


ِ ‫لِلصائِ ِم َفرحت‬  ‫قال رسول اَّلل‬
َ ْ َّ

“Bagi seorang yang berpuasa dua kegembiraan, yaitu saat ia berbuka, ia akan gembira
(dengan makanannya), dan ketika ia ‘bertemu’ Allah – di yaumul hisa b-, ia gembira dengan –
pahala – puasanya”. HR. Bukhari dan Muslim.

4. Diampuni semua dosanya yang telah lalu.

.‫ رواه البخاري‬‫احتِ َسا ًبا غ ُِف َر َل ُه َما َت َقدَّ َم ِم ْن َذن ِْب ِه‬
ْ ‫ان إِ َيَمنًا َو‬
َ ‫ َم ْن َصا َم َر َم َض‬  ‫قال رسول اَّلل‬

“Barang siapa berpuasa Ramadan, - hanya - karena iman (keyakinan) dan pengharapan yang
tulus (kepada pahala dari Allah), maka ia akan diampuni segala dosanya yang telah lalu”. HR.
Bukhari

5. Pelindung dari maksiat dan dari api neraka.

ِ ‫ني ِم َن الن‬
.‫ رواه اإلمام أمحد‬‫َّار‬ ٌ ْ ‫الص َيا ُم ُجنَّ ٌة َو ِح ْص ٌن َح ِص‬
ِّ   ‫قال رسول اَّلل‬

“Puasa adalah perisai (dari maksiat), dan benteng yang kokoh dari api neraka”. HR. Ahmad.

6. Semua perbuatan yang dilakukan saat berpuasa dinilai ibadah.


ِ ِ
.‫ أخرجه الديلمي يف مسند الفردوس‬‫ف‬ ٌ ‫ َو ُد َعاؤُ ُه ُم ْستَ َج‬،‫ َو َن ْو ُم ُه ع َبا َد ٌة‬،‫الصائ ِم َت ْسبِ ْي ٌح‬
ٌ ‫ َوعَ َم ُل ُه ُم َضا َع‬،‫اب‬ َّ ‫ت‬ُ ‫ َص ْم‬

“Diamnya seseorang yang berpuasa adalah tasbih. Tidurnya adalah ibadah. Doanya
mustajab. Dan amalanya – mendapatkan pahala - berlipat-lipat”. HR. Dailumi.
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

✓ Imam Ghazali berkata:

Puasa ada 3 tingkatan:

- Puasa level awam: menahan diri dari dari hal yang membatalkan puasa.

- Puasa level khawas: menahan diri dari maksiat.

- Puasa level khawasul khawas: menahan diri dari (memikirkan) hal selain Allah swt.

(Keterangan)

1- Pada hadis kedua, karena “nominal” pahala puasa adalah hak preogatif Allah swt, maka bisa
saja Dia memberikan hanya sedikit pahala saja, bahkan tanpa pahala (pembahasan tentang
sebab-sebab hangusnya pahala puasa menyusul). Atau sebaliknya, Allah akan memberikan
pahala yang berlipat-lipat, jauh lebih besar dari 700 kali lipat. Tentu, itu semua sesuai
dengan kadar dan kualitas puasa kita. Atau sebagaimana klasifikasi Imam Ghazali, apakah
level kita hanya puasanya orang awam, ataukah puasanya khawash, bahkan khawasul
khawash.

2- Hadis ketiga, ia berkaitan dengan hadis sebelumnya, juga dengan ayat no 1 yaitu tentang
kegembiraan saat ‘bertemu’ Allah di yaumul hisab kelak. Karena dia akan terkejut dan tidak
percaya, tentang pahala puasa yang diberikan Allah kepadanya. Semoga kita semua
termasuk yang seperti itu, amin3x.
3- Pada hadis ke-empat, batasan imanan wa ihtisaban sangatlah penting. Yaitu beriman dan
percaya kepada Allah dan pahala-pahala ukhrawi-Nya. Dan ihitisaban, berarti benar-benar
hanya mengharap ridha-Nya, tidak lainnya. Bukan mengharap amplop ceramah buka
bersama, mengharap restu calon mertua, atau hal-hal duniawi lainnya yang hina.
Nauzubillah min zalik.
4- Tentang hadis ke-lima, puasa dapat menjadi junnah (perisai) dari maksiat. Karena secara
fitrah manusia, orang yang lagi lemas tidak bernafsu kepada hal-hal yang ‘sekunder’, dia
fokus pada kebutuhan biologisnya; makan dan minum, dan itu harus menunggu azan
maghrib. Dengan latihan puasa pada siang harinya, diharapkan dapat terbiasa melawan hawa
nafsu di malam harinya, dan di hari-hari biasa saat tidak berpuasa. Dan orang yang
dijauhkan dari maksiat lahir maupun batin, dijanjikan surga oleh Allah swt. Wallahu alam.
5- Pada hadis ke-enam, bisa dikatakan bahwa seluruh kegiatan seorang yang berpuasa
berpotensi menjadi ibadah. Diam, karena seorang yang berpuasa tidak banyak merespon
permusuhan orang, sebagaimana dalam hadis lain. Jikapun dia tidur, karena lemas, insya
Allah akan jadi ibadah, karena dalam rangka menahan lapar yang diperintahkan Allah.
Doanya mustajab, dari sejak awal mulai puasa sampai sesaat setelah berbuka.
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

Dan pahala amal salihnya berlipat-lipat, banyak sekali hadis tentang ini. Tentang memberi
makanan berbuka, dapat pahala puasa, menjadi dobel jika dia juga berpuasa. Bahkan dalam
hadis riwayat Salman al-Farisi ra, yang juga disebutkan Syeikh Yusri dalam tarhibnya
bahwa amalan sunah di bulan ramadan setara dengan pahala amalan wajib di bulan lain. Dan
amalan wajib di bulan ramadan, pahalanya setara dengan 70x amalan wajib di bulan lain.

Tentunya ayat dan hadis tentang keutamaan puasa di atas baru menyebutkan sedikit saja,
masih sangat banyak sekali teks al-Quran dan hadis yang berbicara tentang keutamaan puasa
dan ibadah lainnya di bulan Ramadan.
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

Hukum-hukum Puasa

 Puasa wajib, ada 6:

1. Puasa di bulan Ramadhan.

2. Puasa qadha (yaitu bagi yang meninggalkan puasa di bulan Ramadhan maka ia wajib
menggantinya/qadha di bulan lain).

3. Puasa kafarah/ penebus dosa (yaitu kafarah dhihar, kafarah qatl, kafarah bagi yang
berjimak di siang hari bulan Ramadhan).

4. Puasa saat haji dan umroh untuk mengganti penyembelihan domba (fidyah), sebagaimana
disebutkan dalam al-Quran:

‫اْل ِّج َو َس ْب َع ٍة إِ َذا‬ ِ


َ ْ ‫ام َث ََل َثة َأ َّيا ٍم ِِف‬
ِ ِ ‫اْلج َفَم اس َتي‬
ُ ‫َس م َن ْاْلَدْ ِي َف َم ْن ََل ْ ََيِدْ َفص َي‬ ِ ِ ِ ِ
َ َ ْ ْ َ ِّ َ ْ ‫ َفإ َذا َأمنْت ُْم َف َم ْن ََتَت ََّع بِا ْل ُع ْم َرة إ ََل‬

ِ ‫رجعتُم تِ ْل َك َع ََش ٌة ك‬
.691 :‫ سورة البقرة‬،‫َام َل ٌة‬ َ ْ ْ َ َ

“Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah
sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah
didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib
berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang
kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna”, QS: al-Baqarah: 196.

5. Puasa saat istisqa` (meminta hujan), jika diperintahkan hakim.

6. Puasa nadzar.

 Puasa sunah:

1. Puasa sunah tahunan: seperti puasa di hari Arafah (9 Dzhulhijjah), puasa Tasu`a (9
Muharam), puasa Asyura (10 Muharam), puasa 11 Muharam, puasa 6 hari di bulan
Syawal, puasa di bulan-bulan haram (yaitu di bulan Dzulqo`dah, Dzulhijjah, Muharam dan
Rajab), puasa di 10 hari terakhir bulan Dzulhijjah.

 Keutamaan puasa Arafah: “puasa hari Arafah menghapus dosa yang telah lalu dan
yang akan datang”, HR. Tirmidzi dan Muslim.

 Puasa 6 hari di bulan Syawal lebih utama jika dilakukan 1 hari setelah hari raya Idul
Fitri, dan dilaksanakan 6 hari berturut-turut. “Barang siapa berpuasa Ramadhan
kemudian diikuti dengan puasa 6 hari bulan Syawal maka bagaikan orang yang
berpuasa setahun penuh”, HR. Muslim.
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

2. Puasa sunah bulanan: puasa ayyam bidh (tanggal 13, 14 dan 15 di setiap bulan Hijriyah),
puasa hari suud (tanggal 28, 29 dan 30 di setiap bulan Hijriyah). Jika bulan Hijriyahnya
hanya sampai 29 maka puasanya digenapkan di tanggal 1 bulan selanjutnya.

3. Puasa sunah mingguan: yaitu puasa senin kamis.

4. Puasa sunah yang paling utama adalah puasa Nabi Dawud as. (yaitu sehari puasa sehari
berbuka, dan begitu seterusnya).

 Puasa makruh:

1. Yaitu mengkhususkan hari Jumat saja untuk berpuasa, atau hari Sabtu saja, atau hari
Minggu. Karena hari Jumat adalah hari raya bagi umat Muslim, hari Sabtu adalah hari raya
bagi umat Yahudi, dan hari Minggu adalah hari raya umat Nasrani. Tidak makruh jika
puasanya dilakukan 2 hari (Jumat dan Sabtu, atau Sabtu dan Minggu).

2. Puasa setiap hari sepanjang tahun penuh, dikhawatirkan membahayakan baginya, atau
menyebabkan hak-hak sunah terabaikan.

 Puasa haram:

a. Haram tapi puasanya sah: yaitu puasanya istri tanpa izin suami.

b. Haram dan puasanya tidak sah:

o Puasa di hari raya Idul Fitri (1 Syawal).

o Puasa di hari raya Idul Adha (10 Dzulhijjah).

o Puasa di hari Tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijjah).

o Puasa 15 hari terakhir di bulan Sya`ban (16, 17 hingga akhir bulan Sya`ban).

o Puasa di hari syaq (1 hari sebelum Ramadhan), yaitu tanggal 30 Sya`ban (jika orang-
orang sudah berbicara tentang rukyah hilal, atau seorang yang tidak diterima
kesaksiannya bersaksi bahwa ia sudah melihat hilal (perempuan/anak kecil).

Keterangan: Diperbolehkan berpuasa di 15 hari terakhir bulan Sya`ban dan di hari


syaq (30 sya`ban) dalam keadaan seperti berikut:

 Jika berpuasa wajib (seperti puasa qadha, kafarah, atau nadzar).

 Jika memiliki kebiasaan puasa sunah (puasa senin kamis).

 Jika sebelum puasa di 15 terakhir Sya`ban bersambung dengan puasa sebelum 15,
contoh sudah puasa di tanggal 15 maka ia boleh melanjutkan puasa di tanggal 16
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

nya, jika tidak berpuasa di tanggal 17 maka ia tidak boleh lagi puasa di tanggal 18
hingga akhir bulan.

 Bolehkah puasa sunah enam hari bulan Syawal sekaligus disertai niat mengganti (qadha)
puasa Ramadan yang tertinggal?

Jawaban Maulana Syaikh Ali Jum’ah dalam al-Fātāwā ar-Ramadhāniyah:

Banyak para ulama yang berpendapat bahwa jika waktu puasa wajib bersamaan dengan waktu
puasa sunah, maka cukup dengan melaksanakan puasa wajib saja bisa memberi keutamaan puasa
sunah ini kepada sang pelaku puasa wajib.

Namun ia tidak boleh berniat ganda, yaitu dengan menggabungkan niat puasa sunah dengan niat
puasa wajib qadha’ Ramadan, karena setiap amal ibadah memiliki niatnya tersendiri. Maka tidak
boleh mengumpulkan niat puasa sunah dengan puasa wajib dalam satu niat.

Oleh karena itu seorang muslimah boleh mengganti puasa Ramadannya pada bulan Syawal, dan
secara otomatis ia mendapat pahala puasa sunah Syawal, sekali pun tanpa diniatkan. Ya, dia telah
dinyatakan puasa enam hari bulan Syawal dan mendapat keutamaannya hanya dengan
melaksanakan enam hari atau lebih dari puasa Ramadan yang wajib ia ganti, karena ia telah mengisi
enam hari puasa syawal (puasa qadha).

Dalil pendapat ini adalah qiyas, yaitu menyamakan puasa sunah Syawal dengan shalat sunah
tahiyatul masjid (shalat sunah karena masuk masjid). Orang yang masuk masjid lalu mendirikan
shalat wajib atau shalat sunah rawātib, secara otomatis ia telah mendapat pahala shalat sunah
tahiyatul masjid meski tanpa diniatkan, karena ia telah shalat di masjid sebelum ia duduk, dan shalat
ini cukup sebagai tahiyatul masjid.

Syekh al-Bujairami, salah seorang tokoh ulama mazhab Syafii berkata:

“Shalat sunah tahiyatul masjid bisa didapatkan keutamaanya dengan melakukan shalat lain, dua
rakaat atau lebih, baik shalat wajib atau sunah, baik disertakan niatnya bersamaan shalat lain, atau
tidak, sesuai hadis: (Jika kamu masuk masjid maka janganlah duduk sebelum shalat dua rakaat).
Hal ini karena maksud utama tahiyatul masjid ialah mendirikan shalat sebelum duduk, dan tujuan
ini terwujud meski dengan shalat lain. Juga, tujuan tahiyatul masjid adalah mengisi ruang masjid
dengan shalat, dan tentunya tujuan ini terealisasi meski dengan shalat selain tahiyatul masjid”.

Begitu pun dengan puasa sunah Syawal, tujuannya adalah mengisi waktu bulan Syawal dengan
puasa. Dan hal ini telah terwujud dengan adanya qadha’ puasa wajib Ramadan pada bulan Syawal.
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

Rukun Puasa:

1. Niat, baik dalam puasa wajib maupun sunah.

2. Meninggalkan hal yang membatalkan puasa.

Jika melakukan hal yang membatalkan puasa karena lupa, dipaksa, atau ketidaktauan yang
ma`dzur (ditolerir), maka puasanya tetap sah.

Ketidaktauan yang ma`dzur adalah ketidaktauannya tentang fikih puasa, karena ia hidup jauh
dari ulama atau karena ia seorang mualaf yang baru masuk Islam.

Perbedaan niat puasa wajib dan sunnah:

Niat dalam puasa wajib Niat dalam puasa sunah

Waktu berniat dimulai sejak terbenam


Waktu berniat dimulai sejak terbenam
matahari hingga sebelum zawal (masuknya
matahari hingga terbit fajar, di malam hari ia
waktu dhuhur), tidak wajib niat malam
wajib berniat (tabyit).
hari.

Tidak wajib mengkhususkan niat puasa


Wajib mengkhususkan niat puasa “niat puasa
kecuali puasa pada hari tertentu seperti
Ramadhan” “niat puasa kafarah” (ta`yin).
puasa hari Arafah.

Tidak boleh berniat 2 puasa wajib dalam satu Boleh berniat 2 puasa sunah dalam satu
hari. hari.

 Tidak cukup hanya meninggalkan makan dan minum di siang hari saja tanpa ada niat khusus
untuk berpuasa.

 Tidak cukup hanya melakukan sahur jika tanpa terbesit sama sekali dalam hatinya ingin
melakukan puasa esok hari.

 Siapapun yang tidak berniat di malam hari – baik sengaja maupun lupa – maka puasanya
tidak sah dan harus qadha di hari lain jika puasanya wajib, namun ia tetap wajib imsak yaitu
menahan diri dari hal yang membatalkan puasa hingga matahari terbenam.

 Kenapa wajib mengulang niat puasa setiap hari? Karena setiap hari adalah satu ibadah
sendiri maka tidak cukup niat satu kali di awal bulan.

 Menurut pendapat muktamad dalam mazhab Syafii niat puasa 1x untuk 1 bulan penuh di
awal Ramadhan hukumnya sunah. Faedahnya:
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

- puasa seseorang yang lupa berniat di malam harinya dianggap sah, menurut madzab
Imam Malik.

- mendapat pahala utuh jika ia meninggal sebelum menuntaskan puasa 1 bulan penuh,
karena niatnya di awal bulan tersebut.

 Jika seseorang memiliki kebiasaan puasa sunah – seperti terbiasa puasa senin kamis –,
kemudian di hari senin depan ia lupa berniat maka puasanya sah jika:

- teringat sebelum zawal (masuknya waktu dhuhur).

- belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa.

Tambahan faedah:

 Syeikh Yusri menyebutkan: saat masuk 1 Ramadhan seorang muslim melakukan niat (dengan
hati yang benar-benar sadar dan lebih utama dilafalkan dengan lisan):

1. Niat puasa 1 bulan penuh, dilakukan 1x di malam hari awal bulan Ramadhan dengan niat
ikut Imam Malik.

2. Niat puasa Ramadhan esok hari dan diulang setiap malam selama bulan Ramadhan.

Jika di pertengahan Ramadhan kebetulan lupa niat di malam hari, maka puasanya tetap sah
karena sudah berniat di awal Ramadhan mengikuti Imam Malik.

(Berniat setiap malam selama Ramadhan khuruj minal khilaf (keluar dari perbedaan pendapat
dan berhati-hati lebih selamat), karna jumhur sepakat harus mengulang niat. Ikut mazhab Malik
niat 1x untuk 1 bulan, sebagai antisipasi agar sah puasa bagi yang kebetulan lupa – bukan
disengaja – berniat di malam hari, kaedahnya man ubtuliya bi syain fa qollid man ajaz (siapa
yang diuji dengan suatu kondisi yang sulit maka boleh mengikuti pendapat yang
membolehkan). Jadi tetep berupaya mengulang niat setiap malam bukan mencukupkan diri
dengan 1x niat di awal bulan).

 Lafal niat puasa:1

- Paling minimimal yang dianggap cukup (sah), mengucapkan dalam hati dengan sadar:

َ‫نَوَيَتََصَوَمََغ ٍدَعنَرَمَضَان‬

"Saya niat puasa esok hari di bulan Ramadhan".

- Paling sempurna mengucapkan di dalam hati dan melafalkan dengan lisan:

1
Nihayah Zein, 1/185.
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

َ‫نَوَيَتََصَوَمََغَ ٍَدَعَنََأَدَاءََفَرَضََرَمَضَانََهَذَهََالسَنةََهللَتَعَال‬

"Aku niat berpuasa esok hari melaksanakan kewajiban puasa Ramadhan tahun ini karena
Allah Ta'ala".

 Disebutkan Syeikh Ali Jumah dan dan dinukil oleh Syeikh Yusri agar mudah mengingat,
hendaknya setiap berbuka puasa langsung melafalkan 2 hal:
1. Doa berbuka puasa di hari itu, lalu makan dan minum untuk berbuka puasa.
2. Niat puasa keesokan harinya, (tidak mengapa makan minum kembali setelah berniat
puasa).

 Niat dalam puasa ada syarat-syaratnya:2

a. Al-Jazm: Yakin, tidak boleh menggantungkan niat. (Contoh: jika besok tidak ada makanan aku
puasa, jika besok ada makanan aku tidak puasa).

b. At-Ta`yin: Menentukan atau memberikan spesifikasi. Contoh: niat puasa Ramadhan, atau niat
puasa nadzar, dan lain-lain. Karena puasa adalah ibadah yang berkaitan dengan waktu tertentu,
maka harus ditentukan niatnya untuk membedakannya dari yang lain.

c. At-Tabyit: Mengukuhkan niat tersebut di malam hari – dari setelah tenggelam matahari hingga
sebelum terbit fajar – . Sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah saw bersabda “siapa
yang tidak berniat puasa di malam hari, maka tidak ada puasa baginya”, HR. Nasa’i, Ibn Majah
dan Ahmad.

d. At-Tajdid: Mengulang niat setiap hari selama bulan Ramadhan. Karena setiap hari ibadah
tersendiri, jika puasa batal 1 hari maka tidak merusak ke-sah-an puasa di hari lain.

2
Mausuah Fiqihiyyah Kuwaitiyyah, 28/22-26.
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

Syarat Wajib Puasa

Artinya: jika syarat-syarat di bawah ini ada pada seseorang, maka ia wajib berpuasa, (sebaliknya
jika ada 1 satu saja dari syarat di bawah ini yang tidak terpenuhi, maka ia tidak wajib berpuasa).

1. Islam, seorang kafir tidak diwajibkan baginya puasa,1 sedangkan murtad wajib baginya
meng-qadha semua puasa yang ditinggalkan ketika ia masuk Islam kembali.

2. Mukalaf, yaitu baligh dan berakal. Diwajibkan bagi wali anak kecil untuk menyuruhnya
berpuasa di usia 7th dan memukulnya jika di usia 10th ia menolak puasa padahal mampu.

3. Mampu berpuasa, pengertian mampu ada 2 yaitu secara fisik dan secara syariat:
Secara fisik: orang jompo/tua renta dan orang sakit yang tidak ada harapan sembuh tidak
wajib puasa.
Secara syariat: wanita yang sedang haid dan nifas tidak wajib puasa (bahkan haram).

4. Sehat, seseorang yang sedang sakit tidak wajib puasa.

o jika sakitnya sudah ada sejak sebelum terbit fajar maka ia tidak wajib niat puasa esok hari
o jika sakitnya belum muncul sebelum terbit fajar maka ia wajib berniat puasa esok hari,
jika di siang hari kembali sakit maka ia boleh berbuka.

Seseorang yang sakit boleh mengambil rukhsah tidak berpuasa jika memenuhi syarat berikut:
o ditakutkan menyebabkan meninggal,
o menyebabkan sembuhnya lebih lama,
o bertambah parah penyakitnya jika berpuasa.

5. Muqim (tidak sedang bepergian).


Musafir boleh tidak berpuasa, jika memenuhi syarat berikut:
- safarnya lebih dari 82 km
- safar dalam hal mubah bukan untuk maksiat.
- Sudah mulai perjalanannya sejak sebelum terbit fajar.

Lebih utama bagi musafir (yang memenuhi 3 syarat di atas) untuk berpuasa jika ia mampu
sebagai mana yang disebutkan dalam surah al-Baqarah: 184, namun jika berpuasa
menyulitkan/membahayakannya maka lebih utama baginya tidak berpuasa.

1
Jika nanti masuk Islam maka ia tidak wajib meng-qadha puasa yang ditinggalkan saat kafir, namun di akhirat ia akan
diazab karena kekafirannya dan karena ketetapan syariat yang tidak ia laksanakan, seperti puasa dan lain-lain,
kaidahnya “al-kufar mukhatabun bi furu` syariah”.
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

Syarat Sah Puasa

Artinya: jika syarat-syarat di bawah ini terpenuhi maka sah puasanya, (sebaliknya, jika ada 1 hal
saja dari syarat di bawah yang tidak terpenuhi maka puasanya tidak sah).

1. Islam, jika tengah puasa murtad – wal iyadzu billah – maka puasanya tidak sah.

2. Berakal, yaitu sadar sepanjang hari selama berpuasa:


o Jika di tengah puasa ia gila meski hanya sebentar maka puasanya tidak sah.
o Pingsan atau mabuk membatalkan puasa jika tidak tersadar sepanjang hari.

3. Suci dari haid dan nifas.

o Jika di siang hari kedatangan haid – meskipun 5 menit menjelang magrib – maka puasa
hari itu tidak sah dan wajib qadha,

o Jika ia bersuci dari haid di siang hari maka disunahkan baginya imsak (menahan diri dari
hal yang membatalkan puasa) hingga waktu berbuka dan tetap meng-qadha hari tersebut.

o (jika seorang wanita suci dari haid/nifas sebelum fajar, namun belum mandi wajib hingga
subuh puasanya sah, asal sudah berniat sebelum fajar).

4. Mengetahui bahwa hari yang diniatkan untuk berpuasa, bukan termasuk hari yang
diharamkan berpuasa.
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

Hal-hal Yang Membatalkan Puasa

Hal yang membatalkan puasa terbagi menjadi 2 yaitu: Muhbithat dan Mufathirat.

a. Muhbithat, yaitu hal yg membatalkan pahala puasa (puasa sah dan tidak wajib qadha, tapi
tidak dapat pahala):

 Ghibah, yaitu membicarakan tentang keburukan saudara sesama muslim meski perkataan
tersebut benar.1

 Namimah,mengadu domba.

 Berbohong, (termasuk menyebar berita hoax).

 Melihat kepada sesuatu yang haram, juga sesuatu yang halal, tapi dengan pandangan penuh
syahwat, dan ia menikmati pandangan tersebut.

 Sumpah palsu.

 Perkataan dan perbuatan dusta.

ِ ‫ ا ْلك َِذب وا ْل ِغوب ُة والن َِّموم ُة والنَّ َظر بِ َشهو ٍة وا ْلو ِمن ا ْلك‬:‫َخس ي ْػطِر َن الصائِم‬
‫ رواه الديلمي يف الػردوس‬.‫َاذ َب ُة‬ ُ َ َ َْ ُ َ َ ْ َ َْ َ ُ َ َّ ْ ُ ٌ َْ

“5 hal yang membatalkan pahala puasa: kebohongan, ghibah, adu domba, melihat dengan
syahwat dan sumpah palsu”, HR. Dailumi.

ِِ ِ ِ ِ ِ
ُ ْ ‫ك َْم م ْن َصائ ٍم َل ْو َس َل ُه م ْن ص َوامه إِ ََّّل‬  ‫َق َال‬
.‫ رواه أمحد وابن ماجه‬‫اْل ْو ُع َوا ْل َع َط ُش‬

Rasulullah Saw bersabda: “betapa banyak orang yang berpuasa tapi hanya mendapatkan
rasa lapar dan haus karena puasanya (tanpa mendapat pahala)”, HR. Ahmad dan Ibn
Majah.

b. Mufathirat, yaitu hal yang membatalkan puasa (puasa tidak sah dan wajib qadha):

 Murtad, keluar dari Islam dengan niat, perkataan atau perbuatan, meski hanya sebentar.

 Haid dan Nifas, meski hanya sebentar.

 Gila, meski sebentar.

1
Faedah dari Syeikh Yusri: ghibah termasuk dosa besar jika dilakukan ahli al-Quran dan ahli ilmu, dan dosa kecil jika
dilakukan orang awam, hanya pantas jika dilakukan orang fasik.
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

 Mabuk atau pingsan. Menurut Imam Romli: jika tak sadarkan diri sehari penuh, maka
membatalkan puasa. Tapi jika tersadar sebentar, maka tidak batal. Menurut Ibn Hajar: jika
mabuk-pingsannya disengaja, maka batal, meski hanya sebentar.

 Jimak (berhubungan badan) jika sengaja, tau keharamannya, dan tidak dipaksa.

 Masuknya benda (`ain: sesuatu yang bisa terlihat kasat mata)2 melalui manfadz maftuh
(lubang alami pada organ tubuh manusia) ke jauf (dalam tubuh).

Manfadz maftuh yaitu: mulut, hidung, telinga, qubul dan dubur dengan sengaja. Mata,
menurut Imam Syafii tidak termasuk manfadz maftuh.

Masuknya benda ini tidak membatalkan jika: lupa, dipaksa atau ketidaktauan yang ditolerir
(karena hidup jauh dari ulama/ baru masuk Islam).

 Mengeluarkan mani dengan sengaja.

 Muntah dengan sengaja.

Keterangan lebih lanjut tentang hal-hal yang membatalkan puasa:

I. Seseorang yang melakukan jimak di siang hari Ramadhan, dengan sengaja, tau
keharamannya, dan tidak dipaksa, maka baginya:

- Mendapat dosa yang besar.

- Wajib menahan diri (imsak) dari hal yang membatalkan puasa hingga terbenam
matahari.

- Ta`zir, yaitu hukuman dari hakim, yaitu jika tidak mau bertaubat.

- Wajib qadha puasa.

- Wajib membayar kafarah udzma, yaitu memilih antara 3 hal berikut (wajib urut, sesuai
kemampuan):

 memerdekakan hamba sahaya, jika tidak mampu

 berpuasa setiap hari selama 2 bulan berturut-turut tanpa terputus, jika tidak mampu

 memberi makan 60 orang miskin setiap orang 1 mud. Kafarah ini diwajibkan bagi
laki-laki bukan wanita. Kafarah berlipat ganda jika melakukan jimak lebih dari 1
hari.

2
Dengan redaksi ini, angin tidak termasuk „ain.
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

II. Istimna` (mengeluarkan mani dengan sengaja)3

Batal jika:

- Karena masturbasi, dengan cara apapun.


- Karena bersentuhan kulit dengan istrinya tanpa penghalang.

Tidak batal jika:

- Keluar mani tanpa bersentuhan kulit, seperti karena melihat (alam nyata, film, mimpi
dan lain sebagainya) atau fikiran (fantasi).
- Keluar mani karena bersentuhan kulit dengan perempuan, tapi dengan penghalang.

III. Berciuman
Haram (berdosa) jika dapat membangkitkan syahwat.

Tidak haram jika tidak membangkitkan syahwat, namun lebih baik tidak dilakukan (khilaf
awla).

Ciuman tidak membatalkan puasa, kecuali jika menyebabkan keluar mani.

IV. Muntah

Membatalkan puasa jika disengaja, dan tidak membatalkan puasa jika tidak disengaja.
Walaupun hanya muntah sedikit.

Muntah adalah makanan atau minuman yang sudah masuk kerongkongan, lalu keluar lagi,
meskipun bentuk, warna dan rasanya tidak berubah, meskipun muntahnya berupa cairan.

Muntah termasuk benda najis, maka setelah muntah (baik sedang puasa maupun tidak) wajib
membersihkan mulut dan berkumur sebanyak mungkin, sampai seluruh mulut tersucikan.
Berkumur dalam konteks ini, walaupun sifatnya berlebihan, dan bahkan jika ada air yg
masuk tenggorakan tanpa sengaja, maka tidak membatalkan puasa. Karena menghilangkan
najis adalah perintah agama.

3
Mani adalah air yg keluar dari alat vital, dengan ladzah (rasa nikmat).
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

II. Masuknya benda ke dalam melalui lubang tubuh saat berpuasa

Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu hal yang membatalkan puasa
adalah masuknya benda (`ain) ke dalam tubuh (jauf) melalui mulut, telinga, hidung, qubul dan
dubur (manfadz maftuh), tidak termasuk mata.1

Benda yang masuk ini tidak membatalkan puasa jika: lupa, ketidaktauan yang ditolerir (jauh
dari ulama/ baru masuk Islam), atau karena dipaksa bukan karena kemauannya.

Ada keterangan lebih rinci sekaligus perbedaan ulama terkait hal ini.

1. Suntik (injeksi) atau infus


Melakukan suntik atau infus saat puasa diperbolehkan karena darurat. Namun ada
perbedaan pendapat mengenai batal tidaknya puasa karenanya:

Pendapat pertama: batal, karena termasuk hal yang masuk ke dalam tubuh (jauf).

Pendapat kedua: tidak batal (karena masuknya bukan lewat manfadz maftuh).2

Pendapat ketiga (paling shahih menurut penulis kitab Taqrirot Sadidah): tidak batal jika
tidak menggantikan makanan dan masuknya tidak langsung ke pembuluh darah.

2. Menelan dahak dan riak:


Dahak yang dikeluarkan dari dada kemudian ditelan kembali maka:

Batal: jika sudah melewati tenggorokan makhroj kho` (‫)خ‬

Tidak batal: jika masih berada pada makhroj ha` (‫)هـ‬

Jika melewati makhroj ha (‫)ح‬, batal menurut Imam Nawawi, tidak batal menurut Imam
Rafii.

3. Menelan ludah
Tidak batal bila masih murni, suci dari najis dan belum keluar mulut, batal apabila:

- Bercampur dengan hal lain (misalnya bekas air kumur yang belum dikeluarkan, sisa
makanan).

- Terkena najis, misal darah dari gusi atau sisa muntah. Disebutkan Ibn Hajar: jika
darahnya gusi susah dihindari (misal karena penyakit radang gusi) maka tidak batal.

- Sudah keluar sampai menyentuh merahnya bibir


1
Syeikh Yusri: Tetes mata tidak membatalkan puasa menurut Syafiiyyah, dan membatalkan menurut Malikiyah, maka
lebih baik dihindari khuruj min khilaf) dan karena menurut medis mata termasuk manfadz maftuh, (kecuali jika dalam
keadaan darurat seperti punya penyakit mata dst).
2
Pendapat ini diambil oleh Syeikh Yusri.
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

4. Kemasukan air ketika mandi


Tidak batal jika mandi wajib atau mandi sunah (contoh mandi sebelum shalat jumat) dan
dilakukan dengan menyiramkan air ke badan.

Batal jika mandi wajib atau mandi sunah yang dilakukan dengan menyelam.

Batal meskipun tidak sengaja jika bukan mandi wajib atau mandi sunah (mandi untuk
membersihkan badan), baik dilakukan dengan menyiramkan air maupun dengan
menceburkan diri ke dalam kolam/ bak air.

5. Air yang tertelan saat berkumur (madhmadhah) dan membersihkan hidung


(istinsyaq).
Batal jika saat berwudhu berlebih-lebihan dalam berkumur dan membersihkan hidung.
Karena berlebih-lebih dalam hal ini hukumnya makruh bagi orang yang berpuasa.

Tidak batal jika berhati-hati saat berwudhu.

Jika kumur dan membersihkan hidung selain untuk wudhu atau untuk basuhan ke-4 x
(yang disunahkan dalam wudhu hanya 3x), maka air yang tertelan membatalkan wudhu
meski ia tidak berlebihan.

6. Hal-hal lain yang tidak membatalkan puasa:

- Ludah yang tercampur dengan sisa makanan yang terselip di sela-sela gigi, dan sulit
dibersihkan.

- Debu jalan yang tertelan atau terhirup.

- Serbuk tepung yang beterbangan.

- Lalat atau hewan lain yang terbang masuk ke dalam, meskipun disengaja membuka
mulut.
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

Hal-hal yang Sunah dikerjakan Saat Puasa

1. Menyegerakan berbuka puasa jika yakin sudah magrib, jika masih ragu maka ia wajib
menunda demi kehatian-hatian.

2. Sahur meski hanya minum segelas air, waktu sahur dimulai sejak pertengahan malam.

3. Mengakhirkan sahur, jika yakin waktunya cukup untuk makan minum hingga sebelum fajar,
dan disunahkan menghentikan makan dan minum sebelum masuk waktu subuh dengan
perkiraan waktu cukup untuk membaca 50 ayat al-Quran (kurang lebih 15 menit sebelum
fajar yaitu yang masyhur di Indonesia dengan waktu imsak).

4. Hendaknya mengawali berbuka dengan ruthab (kurma basah) dalam jumlah ganjil, jika tidak
ada maka bisa menggantinya sesuai urutan berikut:

- Busr, (kurma mentah yang sudah layak dimakan).

- Tamr, (kurma matang yang sudah kering).

- Air zam-zam

- Air putih

- Hulwi, yaitu makanan manis/ alami yang tidak melalui proses pengolahan, seperti madu
dan anggur.

- Hulwa, yaitu makanan manis yang sudah melalui proses pengolahan dengan api.

5. Berdoa saat berbuka:

َّ.‫ َّذَّهَّبَّ َّالظَّمَّيَّ َّوَّابَّتَّلَّتَّ َّالَّعَّرَّوَّقَّ َّوَّثَّبَّتَّ َّالَّجَّرَّ َّإَّنَّ َّشَّاءَّ َّاهلل‬.َّ‫اللَّهَّمَّ َّلَّكَّ َّصَّمَّتَّ َّوَّبَّكَّ َّآمَّنَّتَّ َّوَّعَّلَّ ََِّّزَّقَّكَّ َّأَّفَّطَّرَّت‬

.َّ‫ّنَّأَّسَّيَّلَّكََّّبَّرَّحَّتَّكََّّالَّتَّيََّّوَّسَّعَّتََّّكَّلََّّشَّوَّئََّّأَّنََّّتَّغَّػَّرََّّل‬
َّ ِ َّ‫َّاللَّهَّمََّّإ‬.َّ‫الَّمَّدََّّهللَّالَّذَّيََّّأَّعَّاىَّنَّيََّّفَّصَّمَّتََّّوََِّّزَّقَّنَّيََّّفَّيَّفَّطَّرَّت‬

Kemudian berdoa apa saja karena doanya orang yang berbuka puasa mustajab.

6. Memberi makan orang untuk berbuka puasa, karena pahalanya sangat besar, disebutkan
dalam hadis:

َّ.‫َِّواهَّالرتمذيَّوغيه‬‫مَّنََّّفَّطَّرََّّصَّائَّ ً َّم كَّانََّّلَّهََّّمَّثَّلََّّأَّجَّرَّهََّّغَّيََّّأَّىَّهََّّلََََّّّنَّؼَّصََّّمَّنََّّأَّجَّرََّّالصَّائَّمََّّشَّوَّ ًَّئا‬

“Barang siapa memberi buka seorang yg berpuasa, maka baginya seperti pahala orang yg
berpuasa tersebut, tanpa berkurang sedikit pun pahala puasanya (jika pemberi bukanya
berpuasa)” (HR. Tirmizi)
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

7. Bersuci jika junub sebelum terbit fajar – khuruj minal khilaf (menghindar dari perdebatan
ulama antara yang mewajibkan mandi sebelum fajar dan yang membolehkan mandi
setelahnya) – dan agar memulai puasanya dalam keadaan suci.

8. Mandi setiap bakda magrib selama bulan Ramadhan, agar bersemangat saat melaksanakan
shalat tarawih.

9. Istiqamah melaksanakan shalat tarawih dari awal Ramadhan hingga akhir Ramadhan.
Rasulullah Saw bersabda:

.‫َِّواهَّالبخاِيَّومسلم‬َّ‫مَّنََّّقَّامَََِّّّمَّضَّانََّّإَََّّمَّ ًَّىاَّوَّاحَّتَّسَّا ًَّباَّغَّػَّرََّّلَّهََّّمَّاَّتَّؼَّدَّمََّّمَّنََّّذَّىَّبَّه‬

“Barang siapa melakukan qiyam Ramadan, dengan penuh keimanan dan pengharapan
(pahala dari Allah Swt), akan diampuni dosa-dosanya yg telah lalu”, HR. Bukhari &
Muslim.

Yang dimaksud dengan Qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih.

10. Istiqamah melaksanakan shalat witir, shalat witir Ramadhan memiliki 3 kekhususan:

a. Disunahkan berjamaah,

b. Disunahkan membaca al-Fatihah dan surat dalam shalat secara jahr (suara keras),

c. Membaca qunut di 15 hari terakhir bulan Ramadhan.

11. Memperbanyak membaca al-Quran dengan tadabur, dalam sebuah riwayat disebutkan
“Ramadhan adalah bulan al-Quran”.

12. Memperbanyak amalan sunah: shalat rawatib, shalat dhuha, shalat tasbih, shalat awabin.

13. Memperbanyak amal baik: shadaqah, silaturahmi, menghadiri majlis ilmu, i`tikaf,
menghidupkan masjid, umroh, mendekatkan diri kepada Allah dengan menjaga jiwa raga
dari maksiat, membaca doa ma`tsurat.

14. Menghidupkan 10 malam terakhir di bulan Ramadhan dengan banyak beribadah dan
berusaha mendapatkan Lailatul Qadr khususnya di malam-malam ganjilnya (21, 23, 25, 27,
dan malam 29).

15. Berusaha memastikan kehalalan makanan berbuka puasa.

16. Memberi kelapangan nafkah bagi keluarga.

17. Meninggalkan perkataan dusta dan saling mengolok, jika ia dihina orang hendaknya
mengingat dalam hatinya “saya sedang berpuasa”. Disunahkan baginya untuk mengucapkan
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

hal tersebut kepada orang yang menghina jika tidak takut riya` dan untuk mengingatkanya
dengan dosa.

Hal-hal yang Makruh dikerjakan Saat Puasa

1. Menguyah makanan meskipun tidak sampai masuk ke kerongkongan.

2. Mencicipi masakan (dengan lidah) tanpa ada hajat meskipun tidak sampai masuk
kerongkongan, jika karena ada hajat maka tidak makruh.

3. Berbekam dan membekam, karena menyebabkan tubuh lemas dan karena permasalahan ini
diperselisihkan hukumnya antar ulama.

4. Meludahkan air yang sudah diminum saat berbuka, karena di dalam air tersebut ada
keberkahan.

5. Mandi – termasuk mandi wajib – dengan cara menceburkan diri ke dalam kolam air.

6. Bersiwak setelah masuknya waktu dhuhur, karena menyebabkan hilangnya bau mulut,
(disebutkan dalam Hadis yang diriwayatkan Imam Muslim “Bau mulut orang yang berpuasa
lebih harum di sisi Allah daripada minyak kasturi”). Namun Imam Nawawi mengatakan
tidak makruh bersiwak.

7. Banyak makan (saat sahur dan berbuka) dan banyak tidur, dan mengisi hari-hari puasa
dengan hal yang tidak berfaedah.

8. Bersenang-senang dengan hal-hal yang mubah; baik dalam hal yang dilihat didengar, dihirup
maupun dinikmati pandangannya, (karena lebih utama baginya untuk memperbanyak amalan
sunah).
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

Qadha dan Fidyah dalam Puasa

(Di bawah ini adalah golongan yang tidak berpuasa Ramadhan, namun ada yang diwajibkan
menggantinya dengan puasa di hari lain (qadha), ada yang diwajibkan menggantinya dengan fidyah,
ada yang diwajibkan menggantinya dengan qadha dan fidyah. Klasifikasinya sebagai berikut):

a. Wajib qadha dan fidyah

- Meninggalkan puasa karena takut akan keselamatan orang lain: seperti ibu hamil atau ibu
menyusui yang takut akan keselamatan bayinya (padahal ibu tersebut mampu berpuasa).

- Seseorang yang belum membayar hutang qadha puasa Ramadhan hingga datang Ramadhan
selanjutnya:

- Jika tanpa ada udzur syar`i (seperti: sakit, hamil, menyusui, lupa bukan karena meremehkan)
maka wajib qadha dan fidyah.

- Jika belum dibayar hingga Ramadhan selanjutnya lagi tanpa ada udzur syar`i, maka fidyahnya
berlipat ganda.

b. Wajib qadha tanpa fidyah

- Ibu hamil atau menyusui yang takut akan keselamatan dirinya sendiri.

- Ibu hamil atau menyusui yang takut akan keselamatan dirinya sekaligus orang lain.

- Pingsan seharian saat berpuasa.

- Lupa berniat puasa di malam hari.

- Orang yang melakukan hal yang membatalkan puasa dengan sengaja selain jimak (dan ia
berdosa karenanya).

c. Wajib fidyah tanpa qadha

- Kakek/nenek tua renta

- Seseorang yang punya penyakit kronis dan tidak ada harapan sembuh

d. Tidak wajib qadha dan tidak wajib fidyah

- Orang gila yang kehilangan akal tanpa di sengaja di siang Ramadhan

e. Jika seorang muslim meninggal dunia dan meninggalkan hutang puasa Ramadhan:

- Jika di masa hidupnya ia tidak mampu qadha karena udzur syar`i, maka tidak wajib dikeluarkan
fidyah dan tidak wajib dibayarkan qadha puasanya.
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

- Jika di masa hidupnya ia mampu dan berkesempatan meng-qadha maka bagi walinya (kerabat
terdekat) mengeluarkan fidyah baginya.

Fidyah adalah: satu mud 1 hari dari makanan pokok masyarakat daerah, (7 ons sebagaimana yang
ditetapkan oleh Kementrian Agama).

Tambahan Faedah

Fiqih Puasa Bagi Wanita Hamil dan Menyusui

Ibu hamil dan menyusui mendapatkan rukhsah dan boleh tidak berpuasa saat Ramadhan dengan
syarat ada kekhawatiran bahwa puasa ini akan membahayakan dirinya atau janinnya.

ْ ‫ َو َع ِن‬،‫إِن اهللَ َعز َو َجل َو َض َع َع ِن ادُْ َسافِ ِر الص ْو َم َو َشطْ َر الص َل ِة‬  ‫والدلقل قوله‬
‫ رواه‬.‫الَ ْؿ ِل َوادُْ ْر ِض ِع الص ْو َم‬

.‫أمحد وأصحاب السـن عن أكس بن مالك‬

Artinya: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla mengangkat dari musafir (keringanan) kewajiban
puasa dan setengah solat (jamak qashar), dan dari ibu hamil dan menyusui kewajiban puasa”, HR.
Ahmad dan Ashab Sunan.

Dalam Mazhab Syafii, kewajiban Ibu hamil dan menyusui bila meninggalkan puasa Ramadhan: 1

1. Jika ia tidak puasa karna takut terjadi apa-apa pada dirinya, maka hanya wajib qadha puasa saja.

2. Jika ia tidak puasa karna takut terjadi apa-apa pada bayinya, maka wajib qadha dan fidyah.

3. Jika ia tidak puasa karna takut terjadi apa-apa pada dirinya dan bayinya, maka wajib qadha saja.

Syeikh Ali Jum'ah2 dan juga Syeikh Wahbah Zuhaili3 menjelaskan maksud dari 'kekhawatiran
terhadap diri ibu maupun janin' yang menjadi tanda bolehnya mengambil rukhsah adalah:

1. Pernah mencoba puasa dan merasa dirinya lemah.

2. Menurut pendapat dokter spesialis muslim yang adil.

1
Al-Majmu` Syarh Muhadzab, 6/ 267 – 269.
2
https://youtu.be/Sa9EIp6vGWw.
3
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 3/1700.
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

Jumhur ulama fiqih (Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyyah dan Hanabilah) sepakat, bahwa ibu hamil
dan menyusui yang meninggalkan puasa Ramadhan, tidak diperbolehkan baginya hanya membayar
fidyah saja tanpa qadha.

Karena yang boleh membayar fidyah saja tanpa qadha puasa itu adalah orang berpenyakit kronis
dan tidak ada harapan untuk sembuh. Sedangkan hamil dan menyusui seperti sakit yang ada
harapan sembuh, ada waktu dimana proses hamil dan menyusui akan berakhir.

Dar Ifta Mesir menyatakan bahwa wanita yang meninggalkan puasa karena hamil, lalu hingga
Ramadhan selanjutnya ia belum mampu qadha karena masih menyusui, maka ia boleh membayar
qadha puasa setelah proses menyusui selesei. Bahkan jika kemudian ia hamil lagi, maka qadha
puasa boleh ditunda setelah hamil dan menyusui anak kedua selesei, dan tidak ada dosa baginya. Ia
juga tidak diwajibkan membayar fidyah. 1 Yaitu tidak bayar fidyah ta`khir -karena mengakhirkan
qadha puasanya-, tapi tetap bayar fidyah jika tidak puasa karena khawatir janinnya menurut
pendapat ashah dalam mazhab Syafii). 2

Berapa jumlah fidyah dan diberikan kepada siapa? 3

- 1 mud = 7 ons (sebagaimana yg ditetapkan oleh Kementrian agama).

- Diberikan kepada Fakir - Miskin.

Bolehkah mengikuti pendapat yang membolehkan fidyah saja bagi ibu hamil dan menyusui?

Perkara yang sudah disepakati oleh empat madzhab, bagi kami telah selesai. Tidak membutuhkan
untuk dibahas atau diutak-atik lagi. Jika ada pendapat yang menyelisihinya, maka abaikan saja.
Karena menyelisihi kesepakatan empat madzhab itu seperti menyelisihi ijma’.

Ibn Hajar al-Haitami menukil perkataan Imam Subki dalam Fatawa Fiqhiyyah Kubro:

ِْ ‫ف‬ِ ِ‫اهب ْاْلَربع َة كَؿ َخال‬


ِ َ ‫ َو َما َخا َل‬:‫الس ْبؽِ ّي‬
4
.‫ْجا ِع‬
َ ْ ‫اْل‬ ُ َ َ ْ َ ‫ف ادَْ َذ‬ ُّ ‫َق َال‬

Al-Alamah Sayyid Alawi as-Saqqaf dalam Fawaid Makiyyah pun menyebutkan:

1
https://web.facebook.com/EgyptDarAlIfta/videos/1563308070365636/UzpfSTE2NTUyOTgzMzM6MTAyMDY1OD
MxNTk0MTE3NzM/?q=dar%20ifta%20fidyah&epa=SEARCH_BOX.
2
Disebutkan juga di Mausuah al-Kuwaitiyyah, 32/70.
3
Al-Muhadzab li Syairazi dan Nihayatul Muhtaj 3/197-198.
4
Fatawa Fiqhiyyah Kubra, 2/211.
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

‫ و عؾؾوا ذلك بعدم الثؼة بـسبتفا إىل أرباهبا لعدم‬، ‫فؼد رصح ْجع من أصحابـا بلكه ٓ جيوز تؼؾقد غر اْلئؿة اْلربعة‬

‫اْلساكقد اداكعة من التحريف و التبديل بخلف ادذاهب اْلربعة فإن أئؿتفا بذلوا أكػسفم يف حترير اْلقوال و بقان ما ثبت‬

1
.‫عن قائؾه وما مل يثبت فلمن أهؾفا من كل تغقر و حتريف و عؾؿوا الصحقح من الضعقف‬

Bukankah kebolehan membayar fidyah saja bagi ibu hamil dan menyusui adalah pendapat Ibn
Abbas dan Ibn Umar?

Disebutkan Imam Baihaqi dalam Makrifah Sunan wal Atsar:

ِِ ٍ ‫ و َأبو س ِع‬،‫ و َأبو َزك َِريا‬،‫َأ ْخزكَا َأبو بؽ ٍْر‬


َ َ ‫ َأ ْخ‬:‫زكَا الشافع ُّي َق َال‬
‫زكَا‬ ُ ِ‫زكَا الرب‬
َ َ ‫ َأ ْخ‬:‫قع َق َال‬ َ َ ‫ َأ ْخ‬:‫اس َق َال‬
ِ ‫ َحد َثـَا َأ ُبو ا ْل َعب‬:‫ َقا ُلوا‬،‫قد‬ َ ُ َ ُ َ َ ُ ََ

:‫َان ك ُِّل َي ْو ٍم ِم ْسؽِقـًا‬


َ ‫ َو ُت ْط ِع ُم َمؽ‬،‫ " ُت ْػطِ ُر‬:‫ َف َؼ َال‬،‫ إِ َذا َخا َف ْت َع َذ َو َل ِد َها‬،‫ال ِام ِل‬ ِ ِ ِ ِ
َ ْ ‫ ُسئ َل َع ِن ادَْ ْر َأة‬،‫ َأن ا ْب َن ُع َؿ َر‬:ٍ‫ َع ْن كَافع‬،‫َمال ٌك‬

،]472:‫ُمدًّ ا ِم ْن ِحـْ َط ٍة " [ص‬

‫ َحد َثـَا ا ْب ُن َأ ِِب‬:‫ َحد َثـَا ا ْب ُن ادُْ َثـى َق َال‬:‫ َحد َثـَا َأ ُبو َد ُاو َد َق َال‬:‫زكَا َأ ُبو َبؽ ِْر ْب ُن َد َاس َة َق َال‬ ِ ‫الرو ْذ َب‬ ِ
َ َ ‫ َأ ْخ‬:‫ار ُّي َق َال‬ ُّ ‫زكَا َأ ُبو َع ٍِّل‬
َ َ ‫َأ ْخ‬

َ ِ‫ام ِم ْسؽ‬
‫ي‬ ِ ِ
ُ ‫ين ُيط ُقؼو َك ُه فدْ َي ٌة َص َع‬
ِ
َ ‫ َو َع َذ الذ‬ :‫اس‬
ِ ‫ َعن س ِع‬،َ‫ َعن ُعروة‬،َ‫ َعن َقتَادة‬،‫قد‬
ٍ ‫ َع ِن ا ْب ِن َعب‬،‫قد ْب ِن ُج َب ْ ٍر‬ َ ْ َ ْ ْ َ ْ
ٍ ‫ َعن س ِع‬،‫َع ِدي‬
َ ْ ِّ

ِِ ِ ِ ْ ‫وَتا ِيف‬ ِ ِ َ ‫ال ِد‬


َ ‫الام ِل َوادُْ ْرض ِع إِ َذا َخا َفتَا َع َذ َأ ْو َٓد‬
.‫ِها َأ ْف َط َر َتا َو َأ ْص َع َؿتَا‬ َ َ َ ‫ َو َذك ََر فقه ُث ُب‬،‫يث‬ َ ْ ‫ َف َذك ََر‬،]482 :‫[البؼرة‬

Riwayat ini seakan menyatakan, bahwa ibu hamil dan menyusui boleh fidyah saja tanpa qadha.
Padahal tidak, konteksnya Ibn Abbas dan Ibn Umar ditanya: klo ada seorang ibu, dirinya sendiri
kuat berpuasa tapi tidak bisa berpuasa karena orang lain yaitu janinnya, apa yg harus dia lakukan?
Lalu Ibn Abbas dan Ibn Umar menjawab: bayarkan fidyah (karena tidakpuasa demi jiwa lain).

Jadi, kewajiban fidyah itu dikarenakan ia tidak berpuasa karena janin, saat dirinya mampu berpuasa.
Maka dari itu riwayat ini tidak menjatuhkan kewajiban qadha sebagaimana yang tertera di dalam al-
Quran surah al-Baqarah: 184. Otomatis, jawaban Ibn umar ini adalah tambahan dari dzahir ayat,

1
Fawaid Makiyyah, 165.
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

bukan menghapus dzahir ayat. Jadi jangan kita katakan cukup fidyah (zhan) dan menafikan qadha
di dalam alquran (yakin) karena hal ini.

‫ فاخلوف عذ أكػسفام ماكع من وجوب الػدية‬،‫ إذا اجتؿع ماكع ومؼتض غؾب اداكع عذ ادؼتيض‬:‫ْلن الؼاعدة تؼول‬

1
.‫واخلوف عذ صػؾفام مؼتض له فغؾب اْلول فل فدية عؾقفام مع وجوب الؼضاء‬

Oleh karena itu, Imam Baihaqi menyebutkankan 2 riwayat tersebut di atas dalam sub bab:

»‫«الامل وادرضع إذا خافتا عذ ولدهيام‬

Kemudian setelah itu beliau menambahkan:

‫ َو َأ ْه ُل ا ْل ِع ْؾ ِم َي َر ْو َن َع َؾ ْق َفا َم َع َذل ِ َك ا ْل َؼ َضا َء‬:‫ َق َال َمال ِ ٌك‬:‫ َق َال الشافِ ِع ُّي‬:‫قد ِيف ِر َوا َيتِ ِه‬
ٍ ‫ َزاد َأبو س ِع‬-
َ ُ َ

.]482 :‫ [البؼرة‬‫يضا َأ ْو َع َذ َس َػ ٍر َف ِعد ٌة ِم ْن َأيا ٍم ُأ َخ َر‬


ً ‫َان ِمـْؽ ُْم َم ِر‬ ُ ‫ ِْلَن اهللَ َت َع َاىل َي ُؼ‬:‫ َق َال َمال ِ ٌك‬8713 -
َ ‫ َف َؿ ْن ك‬ :‫ول‬

Dan ternyata, beberapa kalangan salafi pun mengambil pendapat tetap wajib qadha dan tidak boleh
fidyah saja.

Disebutkan dalam Fatwa Abdul Aziz bin Baz dalam fiqih puasa:

،‫ وعؾقفام الؼضاء عـد الؼدرة عذ ذلك‬،‫ إذا شق عؾقفام الصوم رشع هلام الػطر‬،‫" الامل وادرضع حؽؿفام حؽم ادريض‬

،‫ وهو قول ضعقف مرجوح‬،‫ إصعام مسؽي‬:‫ وذهب بعض أهل العؾم إىل أكه يؽػقفام اْلصعام عن كل يوم‬،‫كادريض‬

2
."‫والصواب أن عؾقفام الؼضاء كادسافر وادريض‬

Hal senada juga disebutkan dalam fatwa Syeikh Utsaimin.

1
Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah, 456.
2
Min Fatawa Aimmatil Islam fi Shiyam, 417 – 418.
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

Maka riwayat Ibn Abbas dan Ibn Umar tersebut harus dikompromikan dengan ayat al Baqarah 184
yang mewajibkan qadha bagi yang tidak berpuasa, tidak bisa langsung diambil hukum hanya
berdasarkan satu riwayat itu saja. Begitu pula dengan riwayat Ibn Umar atau nash2 manapun, harus
digabungkan satu sama lain. Tidak boleh mengambil hukum berdasarkan satu dalil saja. Oleh
karena itu ambil saja 'produk' hukum yang sudah jadi dari salah satu mazhab melalui jalur keilmuan
yang valid. Empat mazhab tidak ada satupun yang menyatakan boleh fidyah saja tanpa qadha.

Wallahu Ta'ala A'la wa A'lam.

TABEL QADHA DAN FIDYAH . . .


Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

TABEL QADHA DAN FIDYAH

Golongan yang Tidak Berpuasa Qadha Fidyah

1. Anak kecil (belum baligh) X X

2. Gila yang tidak disengaja X X

3. Pingsan sehari penuh di siang hari √ X

4. Lupa berniat di malam hari √ X

5. Membatalkan puasa dengan sengaja (selain jimak) √ X

6. Orang yang bepergian (musafir) √ X

7. Haid √ X

8. Nifas √ X

9. Wanita hamil atau menyusui:

a. Jika khawatir akan dirinya √ X

b. Jika khawatir akan bayinya √ √

c. Jika khawatir akan dirinya dan bayinya √ X

10. Sakit kronis tidak ada harapan sembuh X √

11. Sakit ada harapan sembuh √ X

12. Orang tua renta X √

13. Belum membayar hutang puasa tahun lalu hingga


masuk Ramadhan selanjutnya:
√ √
a. Tanpa udzur syar`i.
√ X
b. Dengan udzur syar`i
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah
Hal-hal lain yang berkaitan dengan Fiqih Puasa

(Imsak yang dimaksud di sini dalam hal di bawah ini adalah menahan diri dari hal yang
membatalkan puasa hingga waktu berbuka tiba, meskipun puasa di hari itu tetap wajib diqadha)

a. Anak kecil yang menjadi baligh, musafir yang sudah muqim, orang sakit yang sembuh,
dalam keadaan berpuasa, maka mereka wajib imsak dan haram membatalkan puasa hingga
waktu berbuka.

b. Jika wanita yang haid atau nifas telah suci, orang yang gila telah sadar, kafir yang telah
masuk Islam di siang Ramadhan maka disunahkan bagi mereka imsak, bagi orang gila dan
kafir tidak wajib qadha puasa hari itu.

c. Merupakan kesalahan besar saat berpuasa adalah melanjutkan makan dan minum saat adzan
subuh berkumandang, barang siang yang melakukannya maka puasanya batal dan wajib
meng-qadha jika puasanya wajib. Karena adzan hanya dikumandang ketika sudah terbit
fajar. Dan tidak ada seorang ulama pun yang membenarkan perbuatan tersebut.

(jika terdengar adzan saat sedang makan, maka wajib memuntahkan apa yang ada di mulut
dan kerongkongan bagian luar, lalu segera mencuci bersih mulutnya).

d. Boleh membatalkan puasa sunah, meski tanpa udzur (meski hukumnya makruh dan
disunahkan meng-qadhanya di hari lain).
Tidak boleh membatalkan puasa wajib, kecuali karena udzur syar`i yang membolehkannya
berbuka.

e. Diharamkan puasa wishal: puasa dua hari berturut-turut dan seterusnya tanpa diselingi
berbuka (makan-minum) sama sekali.

f. Wajib langsung membayar qadha puasa yang ditinggalkan tanpa ada udzur syar`i.
Boleh menunda qadha-nya jika tidak puasa karena udzur syar`i: sakit, berpergian, lupa niat,
dll (maksimal sampai sebelum masuk Ramadhan tahun depan).

g. Jika melihat orang yang berpuasa makan di siang Ramadhan disunahkan mengingatkannya
jika orang tersebut termasuk orang baik dan bertakwa, jika orang tersebut termasuk orang
yang sering menyepelekan perintah agama maka hukumnya wajib mengingatkannya.
Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

TABEL GOLONGAN YANG WAJIB ATAU SUNAH IMSAK

Imsak yang dimaksud di bawah ini adalah menahan diri dari hal yang membatalkan puasa hingga
waktu berbuka tiba, untuk menghormati kesucian bulan Ramadan. Meskipun puasanya di hari itu
tidak sah (secara fiqh), baik harus qadha di hari lain atau tanpa qadha.
WAJIB
GOLONGAN WAJIB IMSAK SUNAH IMSAK
QADHA

1. Sengaja membatalkan puasa: √ √

2. Lupa niat di malam hari √ √

3. Makan sahur karna mengira belum


√ √
terbit fajar, ternyata sudah terbit.
4. Terburu berbuka puasa karna mengira
sudah tenggelam matahari, ternyata √ √
belum masuk waktu magrib.
5. Mengira masih 30 Sya`ban, ternyata
√ √
sudah masuk 1 Ramadhan.
6. Bagi yang tertelan air saat puasa
(bukan mandi wajib dan bukan √ √
basuhan wudhu yang masyru`).

7. Orang yang sembuh dari sakit, dan


musafir yang menjadi muqim,
a. Dalam keadaan puasa √ X

b. Dalam keadaan tidak puasa


√ √

8. Anak kecil yang menjadi baligh:


a. Dalam keadaan puasa √ X

b. Dalam keadaan tidak puasa √ -

9. Suci dari haid/nifas √ √

10. Sadar dari kegilaan √ X

11. Kafir yang masuk Islam √ X


Kajian Fiqih Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah
No 7 dan 8: Orang sakit, musafir dan anak kecil:

- Jika dari awal dia berpuasa (tidak mengambil rukhsah) kemudian uzurnya (safar, sakit dan shiba –
belum taklif -) hilang di tengah hari, maka wajib imsak, puasa sah maka tidak wajib qadha.

- Jika dari awal sudah tidak puasa (mengambil rukhsah) lalu di tengah hari uzurnya hilang, maka
disunahkan imsak dan wajib qadha bagi musafir dan orang sakit, tetapi sunah bagi anak kecil untuk
qadha puasanya.
Kajian Ramadhan 1441 H – bughyah salikin

Solat Tarawih, Sebuah Ringkasan

Definisi

Kata tarawih adalah bentuk plural dari tarwih/tarwihah, ia bermakna memberikan (waktu) istirahat.
Solat malam di bulan Ramadan disebut tarawih, karena ada istirahat di sela-sela rakaat pelaksanaan
solat, baik yg 8+3 rakaat, apalagi yg 20+3 rakaat.

Uniknya, tidak ada satu pun hadis Nabi maupun atsar sahabat yg secara sharih (jelas) menyebut
kata tarawih sebagai nama bagi solat malam di bulan Ramadan. Semua hadis tentang solat malam
tidak jauh dari kata “qama-yaqumu”, biasa kita sebut qiyamul lail, yg secara leterlijk berarti: solat
malam.

Yang paling masyhur dan sering diulangi para penceramah adalah hadis berikut:

‫احتِ َسَ ًبَ غُ ِف َر َل ُه َمَ ت ََقدَّ َم ِم ْن َذىْبِ ِه‬


ْ ‫َن إِ َيَمىًَ َو‬
َ ‫َم َر َم َض‬ َ ‫َع ْن َأبِى ُه َر ْي َر َة َأ َّن َر ُس‬
َ ‫ول اَّللَِّ صذ اَّلل علوه وسلم َق ََل َم ْن َق‬

“Barang siapa melakukan qiyam (solat di malam) bulan ramadan, dengan penuh keimanan dan
pengharapan (pahala), akan diampuni dosa-dosa (kecil) nya yg telah lalu” (HR. Bukhari)

Hemat saya, premis ini amat sangat penting untuk mendudukkan permasalahan yg sebenarnya
(tahrir mahallin niza’) atas perdebatan yg sering berulang dalam pelaksanaan solat tarawih atau
solat malam di bulan ramadan. Debat dan diskusi baik saja sebenarnya, yaitu bagi kalangan
ulama/santri, di dalamnya banyak pertukaran informasi dan argumentasi. Tapi jika kalangan awam
ikut debat, yg terjadi malah debat kusir tiada habisnya, persaudaraan renggang, isinya menang-
menangan, saling mengklaim tarawihnya yg paling benar secara fiqh. Hasbunallah wa nikmal
wakil.

Semoga dari ulasan singkat ini, kita dapat lebih memahami konsep solat tarawih dengan jernih dan
proporsional.

Cakupan Makna Qiyamul Lail

Dengan redaksi hadis yg jelas: qiyamul lail, seharusnya kita sudah bisa memahami cakupan kata
tersebut. Ringkasnya, qiyamul lail tidak hanya solat tarawih sebagaimana yg kita biasa dapati, ia
Kajian Ramadhan 1441 H – bughyah salikin

lebih umum dari itu. Qiyamul lail juga mencakup solat tahajud, solat witir, dan solat sunah lainnya
yg dilakukan pada malam hari.
Agar mudah, saya coba jelaskan hubungan (nisbah) antara qiyamul lail, solat tarawih, dan solat
tahajud. Karena tiga hal ini yg sering tertukar.
1- Setiap solat tarawih adalah qiyamul lail.
2- Setiap solat tahajud adalah qiyamul lail.
3- Tapi, tidak setiap qiyamul lail adalah solat tarawih.
4- Juga, tidak setiap qiyamul lail adalah solat tahajud.
5- Karena, solat tarawih bukan solat tahajud. Juga sebaliknya.

No 1-4, dalam ilmu mantiq disebut umum wa khusus mutlaq. Setiap A pasti B, tapi tidak setiap B
itu A. Sedangkan no 5 disebut dengan al-tabayun atau al-taghayur, bahwa keduanya memang
berbeda, tidak sama.

Jadi, seluruh solat sunah di malam hari setelah isya sampai sebelum azan subuh, masuk kategori
qiyamul lail. Cakupan makna ini tidak boleh dipersempit, kecuali dengan narasi afdhaliyah
misalnya, itu beda pembahasan. Adapun menegasikan praktik kelompok lain, yang sama-sama solat
malam di bulan Ramadan, hemat kami adalah sikap yg kurang tepat.

Antara Solat Tarawih dan Solat Tahajud

Sebagaimana telah kami singgung di atas, solat tarawih bukanlah solat tahajud. Juga sebaliknya.
Keduanya berbeda satu sama lain.

Diantara perbedaannya adalah solat tarawih dapat dilakukan langsung setelah isya, tidak harus tidur
dulu sebelumnya. Adapun tahajud, maka harus tidur dulu. Karena Nabi tidak pernah melaksanakan
solat tahajud setelah isya langsung atau sebelum tidur, semua riwayat tentang solat tahajud
menunjukkan bahwa beliau solat tahajud setelah didahului tidur setelah isya.

Tapi apakah solat tarawih boleh dilakukan setelah tidur? Tentu boleh saja. Bahkan jika misalnya
diniati dua solat sunah sekaligus, solat tarawih dan solat tahajud, boleh saja. Tidak masalah.
Sebagaimana kaidah fiqh: boleh mengumpulkan dua niat kesunahan atau lebih dalam satu amalan.
Solat malam di bulan ramadan (tarawih) juga sempat dilakukan para sahabat setelah tidur dulu
bakda isya.
Kajian Ramadhan 1441 H – bughyah salikin

Lebih jauh lagi, kembali ke awal pembahasan, bahkan penamaan tarawih juga sebenarnya tidak ada
dalam teks hadis, yg ada adalah qiyamul lail. Nama tarawih, hemat saya, lebih kepada nama yg
muncul karena kebiasaan salaf untuk istirahat di sela-sela solat malam di bulan Ramadan.

Sejarah Singkat Qiyamul Lail Ramadan

Sejarah singkat tarawih ini saya intisarikan dari karya ust Ahmad Zarkasih, salah satu ustad Rumah
Fiqh Indonesia. Jadi yg ingin membaca lebih detil, bisa merujuk kepada karya beliau.

Kronologi pensyariatan dan budaya qiyamul lail dan solat tarawih di bulan ramadan:
1) Terucap sabda Nabi tentang fadhilah qiyamul lail di bulan ramadan

2) Para sahabat mendirikan solat malam secara random; sendiri-jamaah, jumlah rakaat, di rumah-di
masjid, bahkan di masjid pun, tidak satu jamaah. Praktis, Nabi tidak ikut solat di masjid, tapi di
rumah, sebagaimana afdhaliyah solat sunah.

3) Nabi qiyamul lail ramadan di masjid Nabawi. Walhasil, para sahabat ikut berjamaah di belakang
beliau.

4) Awalnya Nabi tidak ngeh ada yg jamaah bersama beliau. Tapi saat tau, beliau masuk rumah,
solat di dalam.

5) Pada akhir ramadan, Nabi solat di masjid Nabawi, dan berjamaah dgn para sahabat. Ini pun
hanya 3 hari saja, tgl 23, 25, dan 27 ramadan. Setelah itu, tidak ada lagi solat jamaah qiyam
ramadan satu komando di masjid Nabawi.

6) Di masa sy Abu Bakar, fenomenanya mirip seperti di zaman Nabi. Tidak ada solat jamaah
qiyam ramadan di masjid Nabawi. Tapi beberapa riwayat menyatakan, bahwa ada jamaah qiyam
ramadan, tapi di rumah masing-masing sahabat.

7) Di masa sy Umar bin Khattab, mulai banyak jamaah qiyam ramadan di masjid Nabawi, tapi
tidak satu komando, suasana jadi rame dan bising, tidak beraturan. Bahkan ada fenomena
banyak2an jamaah antar imam, sehingga lomba bagus2an bacaan qurannya.

8) Melihat ini, sy Umar memutuskan utk menyatukan jamaah dalam satu komando, sehingga
terucaplah ungkapan masyhur beliau: ni’matil bid’atu hadzihi.

9) Imam yg ditunjuk sy Umar adalah sy Ubay bin Kaab, kemudian juga ditunjuk sy Tamim al-
Dari. Bacaan Ubay sangat panjang per rakaatnya. Diriwayatkan solat malam baru selesai
beberapa waktu sebelum azan subuh. Uniknya saat itu diadakan jamaah khusus wanita, tapi
tidak dilaksanakan di masjid Nabawi.
Kajian Ramadhan 1441 H – bughyah salikin

10) Kemudian semakin hari, semakin ringan bacaan imam qiyam ramadan. Sempat 50-60 ayat,
kemudian turun lagi 40, 30, dan 20 ayat per rakaat, bahkan turun lagi sampai hanya 5-6 ayat
saja. Pada riwayat ini lah, derivate dari kata tarawih pertama kali disebutkan, yg mana bisa
disinyalir sebagai awal penamaan “solat tarawih” bagi solat malam di bulan ramadan. Yaitu
sebagai berikut:

ِ َ ‫ َف َكَ ُى ْوا َينََ ُم ْو َن ُر ْب َع ا َّلل ْو ِل َو َي ُق ْو ُم ْو َن ُر ْب َع ْو ِه َو َين‬،‫َن‬


‫َْص ُف ْو َن بِ ُر ْب ٍع‬ َ ‫َب َأ َم َر ُأ َبوَ َف َي َّم ُه ْم ِف َر َم َض‬
ِ ‫ال َّط‬
َ ْ ‫ َأ َّن ُع َم َر ْب َن‬:‫ال َس ِن‬
َ ْ ‫َو َع ِن‬

ِ ٍ ٍ ِ ٍ َ ‫ َوك‬،‫ل ِ َس ُح ْو ِر ِه ْم َو َح َوائِ ِج ِه ْم‬


َ َ ‫يل ِِبِ ْم َث ََمى َو َة َع‬
‫َ ََ ْف ًعَ ُي َس ِّل ُم ِف ك ُِّل‬ ْ َ ‫ََن َي ْق َر ُأ ِِبِ ْم‬
ِّ ‫ َو ُي َص‬،‫ َوس َّت آ َيَت ِف ك ُِّل َر ْك َعة‬،‫َخ َس آ َيَت‬

ِ ِ ْ ‫َر ْك َعت‬
َ ‫ َو ُي َر ِّو ُح ُه ْم َقدْ َر َمَ َيت ََو َّض ُي ادُْت ََو ِّض ُئ َو َي ْقٍ َح‬،‫َْي‬
‫َج َت ُه‬

“Dari al-Hasan rh: Umar ra. memerintahkan Ubai ra untuk menjadi imam pada Qiyam Ramadhan,
dan mereka tidur di seperempat pertama malam. Lalu mengerjakan shalat di 2/4 malam setelahnya.
Dan selesai di ¼ malam terakhir, mereka pun pulang dan sahur. Mereka membaca 5 sampai 6 ayat
pada setiap rakaat. Dan shalat dengan 18 rakaat yang salam setiap 2 rakaat, dan memberikan
mereka istirahat sekedar berwudhu dan menunaikan hajat mereka”

Tapi uniknya, riwayat lengkap ini tidak disebutkan dalam kitab-kitab hadis. Riwayat ini hanya
disampaikan oleh al-Marwazi (w. 294 H) dalam kitabnya Qiyam Ramadhan. Karena keterbatasan
kami, kami belum menemukan riwayat sejenis di referensi lain. Riwayat lebih pendek memang
disebutkan oleh Abdur Rozaq dalam mushannaf nya, tapi keyword penting wa yurawwihuhum
malah belum disebutkan dalam riwayat beliau.

11) Jumlah rakaat qiyam ramadan pada masa sy Umar ini cukup beragam, artinya tidak satu bentuk
saja. Setidaknya ada lima “formasi” yg dilaksanakan saat itu; 8+3 witir, 13+witir, 18+witir, 23
rakaat (20+3 witir), dan 41 rakaat (36+5 witir).
12) Lima formasi tarawih ini, disesuaikan dengan panjang-pendek bacaan imam. Tambah pendek
bacaan imam, tambah banyak pula rakaat tarawihnya.
13) Di masa sy Usman bin Affan ra, beliau melanjutkan tradisi qiyam ramadan berjamaah yg
dilakukan di masa sy Umar bin Khattab ra. Tapi ada satu bidah hasanah yg dilakukan di masa
sy Usman ini, yaitu doa khatam quran dalam solat. Teknisnya, doa dibaca setelah tilawah imam
surat al-Nas, dibaca sebelum ruku’.
14) Di masa sy Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda dari 3 khalifah pendahulunya. Hanya
saja, ada satu hal yg menjadi kebijakan beliau dalam konteks solat tarawih ini. Yaitu
pengurangan jumlah tarwih nya (istirahat) dari 20 rakaat. Jika sebelumya ada 10 istirahat,
artinya setiap 2 rakaat ada waktu jeda sebentar untuk istirahat. Maka di masa beliau, dikurangi
Kajian Ramadhan 1441 H – bughyah salikin

menjadi 5 kali istirahat. Artinya tiap 4 rakaat (2+2), baru ada jeda istirahat. Adapun tiap 2 rakaat
nya, maka imam langsung berdiri setelah salam, tanpa jeda istirahat.
15) Di masa sy Umar bin Abdul Aziz. Masa kepimimpinan beliau kami sebutkan di sini, karena
ada hal lain yg terjadi di masa beliau dalam konteks pembahasan kita. Yaitu ditambahnya
bilangan rakaat tarawih, yg biasanya dilakukan 20 rakaat (+3 witir), maka di zaman sy Umar bin
Abdul Aziz menjadi 36 rakaat (+3 witir). Hal ini disinyalir banyak ulama, karena beliau di
Madinah dan iri melihat penduduk Makkah yg melakukan tawaf 7x mengelilingi Kakbah di
setiap jeda istirahat tarawih. Maka untuk “mengimbangi” hal itu, sy Umar bin Abdul Aziz
memerintahkan penambahan jumlah rakaat tarawih bagi penduduk Madinah.

Demikian sejarah singkat kronologi pensyariaatan qiyam ramadan alias solat malam di bulan
ramadan, yg sejak lama dilabeli sebagai “solat tarawih”. Dan hal ini, lantas menjadi budaya qiyam
ramadan umat Islam di seluruh dunia, hingga saat ini.

Polemik Jumlah Rakaat

Jumlah 20 rakaat didapati sebagai jumlah yang sangat ideal dalam pelaksanaan shalat malam di
masjid Nabawi oleh Umar r.a. yang akhirnya itulah yang dikenal sebagai warisan Umar r.a. pada
perkembangan khazanah peribadatan Islam. 4 Madzhab Menjalankan Warisan Umar tersebut dan
menjadikan 20 rakaat sebagai jumlah ideal
dalam fatwa masing-masing madzhab yang mereka sepakati dalam kitab-kitab mereka.

a) Mazhab Al-Hanafiyah

Al-Kasani (w. 587 H) yang juga merupakan salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan di
dalam kitabnya, Badai’Ash-Shana’i’ fi Tartib AsySyarai' sebagai berikut:

‫ وهذا قول عَمة العلَمء‬،‫ كل تسلومتْي تروحية‬،‫وأمَ قدرهَ فعَون ركعة ِف عَ تسلوَمت ِف ََخس تروحيَت‬

Adapun jumlahnya 20 rakaat dengan 10 salam dan 5 kali istirahat. Tiap dua kali salam ada
istirahat. Demikian pendapat kebanyakan ulama

b) Mazhab Al-Malikiyah

Mazhab Maliki pada umumnya menyebutkan bahwa jumlah rakaat shalat tarawih
adalah 20 rakaat. An-Nafarawi (w. 1126 H) yang juga ulama mazhab Maliki menuliskan dalam
kitabnya Al-Fawakih Ad-Dawani ala Risalati Ibni Abi Zaid Al-Qairuwani sebagai berikut :
Kajian Ramadhan 1441 H – bughyah salikin

‫الطَب رىض اَّلل عنه وبِيمره‬ َ ‫(وكَن السلف الصَلح) وهم الصحَبة رىض اَّلل عنهم (يقومون فوه) ِف زمن‬
ْ ‫خلفة عمر بن‬

‫ والعمل علوه اآلن ِف سَئر األمصَر‬،‫وأحد‬


َ ‫كَم تقدم ( ِف ادسَجد بعَين ركعة) وهو اختوَر أيب حنوفة والشَفعي‬

“Para salafusshalih yaitu para shahabat radhiyallahu anhum menjalankan di masa khilafah Umar
bin Al-Khattab radhiyallahuanhum atas perintahnya di dalam masjid sebanyak 20 rakaat . Dan
itulah pilihan Abu Hanifah, Asy-Syafi'i dan Ahmad, serta yang dijalankan sekarang di seluruh
dunia”

c) Mazhab Al-Syafiiah

Semua ulama mazhab Asy-Syafi'iyah kompak menyebutkan bahwa shalat tarawih itu 20 rakaat. An-
Nawawi (w. 676 H) salah satu muhaqqiq dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam
kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut:

‫فصلة الرتاويح سنة بٌِ َجَع العلَمء ومذهبنَ َّأّنَ عَون ركعة بعَ تسلوَمت‬
َ

“Shalat tarawih hukumnya sunnah dengan ijmak ulama. Dan menurut mazhab kami jumlahnya 20
rakaat dengan 10 kali salam”

d) Mazhab Al-Hanabilah

Ibnu Qudamah (w. 620 H) menuliskan dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut:

‫وأول من سنهَ رسول اَّلل‬ َ ‫عَون ركعة يعن ِى‬


ُ ‫صلة الرت ّاويح وهي سنة ُمًكدة‬ ُ ‫وقو َُم َْهر رمضَن‬

“Dan qiyam bulan Ramadhan 20 rakaat yaitu shalat tarawih. Hukumnya sunnah muakkadah. Dan
orang yang pertama kali melakukannya adalah Rasulullah SAW”

Ada hal penting menurut kami untuk diperhatikan dalam konteks jumlah rakaat ini. Bahwa narasi
para imam 4 mazhab ini adalah jumlah ideal, paling afdhal. Tentunya yg dipertimbangkan adalah
solat malam, sebagaimana amalan sunah lainnya, lebih banyak rakaat, lebih baik. Juga hal lain,
bahwa 20+3 rakaat telah diamalkan turun temurun dari zaman sy Umar bin Khattab ra. Artinya ia
diapresiasi, disukai, dan dibudayakan oleh ulama lintas zaman, lintas mazhab, sejak zaman sahabat,
tabiin, tabiut tabiin, hingga zaman sekarang.

Tapi tentu saja, dua hal di atas tidak lantas menjadi kewajiban yg harus dipegang erat, digigit dgn
gigi geraham. Seolah kita akan berdosa besar jika tidak mengamalkannya. Karena pada dasarnya, ia
adalah kesunahan, maka paling minimal adalah dua (2) rakaat saja, sebagaimana ditegaskan oleh
Kajian Ramadhan 1441 H – bughyah salikin

mualif al-Taqrirat al-Sadidah. Bahkan tidak harus berjamaah, boleh saja dilakukan secara pribadi di
rumah.

4-4-3 vs 20+3 (2-2+(2-1))

Setelah melihat seluruh premis di atas, tentunya kita tidak boleh lagi saling menegasikan dan saling
menyalahkan terkait formasi qiyam ramadan yg berlajan di masyarakat.

Jika warga Nahdliyin setia dengan formasi 20+3, dengan bentuk 2-2, maka hal itu adalah ideal. Kita
semua berharap hal itu dilaksanakan dengan sempurna, berkualitas (secara bacaan dan
kekhusyuan/khidmat), dan tidak terburu-buru.

Sedangkan sebagian jamaah Muhammadiyah, ada yg mempraktikkan formasi 4-4-3, sebagaimana


disampaikan oleh hadis ibunda Aisyah ra. walaupun harus diakui bahwa formasi tersebut tidak
masuk kategori tarawih, karena jeda istirahatnya menjadi hanya dua (2) kali saja, secara bahasa
hanya tarwihataini belum tarawih, tapi pada akhirnya ia tetap masuk kategori qiyam ramadan,
sebagaimana dibolehkan Imam Abu Hanifah, meski memang tidak dirajihkan oleh ulama hanafiah
dalam tahrir mazhab mereka. Pendapat Abu Hanifah tersebut direkam oleh al-Sarakhsi dalam
kitabnya al-Mabsuth.

Kesimpulan

1- Qiyam Ramadan sangat dianjurkan oleh Nabi, banyak pahala disuguhkan.


2- Nabi tidak pernah mengajarkan bentuk tertentu dalam pelaksanaan Qiyam Ramadan. Sendiri
atau jamaah, jumlah rakaat, di rumah atau di masjid, semuanya tidak ada penegasan dari beliau.
3- Qiyam Ramadan tidak hanya dalam bentuk solat tarawih yg kita ketahui, tapi juga mencakup
semua jenis solat malam, bahkan jika hanya dilakukan 2 rakaat saja. Boleh saja.
4- Fatwa 4 mazhab hanya menyampaikan jumlah ideal dalam pelaksanaan qiyam ramadan,
ranahnya adalah afdhaliyah. Bukan ranah sah-batal nya solat.
5- Qiyamul Ramadan jangan sampai ditinggalkan, sebagaimana targhib kanjeng Nabi. Ini jg
ditekankan sekali oleh Habib Zain bin Sumaith dlm ceramah tarhib ramadan nya.
Jika tidak sempat ikut jamaah di masjid, karena satu kesibukan, bisa dilakukan sendiri di
rumah. Tidak harus 8+3 atau 20+3 rakaat, bahkan hanya 2 rakaat pun cukup. Sebagaimana
ditegaskan oleh murid Habib Zain, Syeh Hasan al-Kaaf, dlm bukunya al-Taqrirat al-Sadidah.
Dengan itu, semoga kita mendapatkan fadhilah "man qama ramadhana", dgn asumsi
ramadhana berarti satu bulan penuh.
Kajian Ramadhan 1441 H – bughyah salikin

6- Jika msh tdk sempat juga menjaga solat malam satu bulan penuh, paling minimal bisa
mendirikan solat isya dan subuh secara berjamaah. Dalam hadis disebutkan, barang siapa
menghadiri solat isya berjamaah, seakan ia telah solat 1/2 malam suntuk, dan barang siapa -
juga- solat subuh berjamaah, maka seolah ia telah solat semalam suntuk (aw kama qola
Rasulullah Saw.)

Hadza, Wallahu ta’ala a’la wa a’lam. []

Oleh: Muhammad Rifqi Arriza


Kajian Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

Fiqih Iktikaf

Definisi & Fadilah

Iktikaf secara bahasa adalah terus membersamai sesuatu.

Adapun secara syariat: berdiam diri secara khusus, bagi orang-orang tertentu, di tempat tertentu,
dengan niat tertentu.

Fadilah iktikaf, Imam Baihaqi meriwayatkan dalam bukunya Syu‟abul Iman:

ِ ْ ‫َْي َو ُع ْم َرت‬
‫َْي‬ ِ ْ ‫َح َّجت‬ َ ‫ْشا ِيف َر َم َض‬
َ ‫ان ك‬
َ ‫َان ك‬ َ ‫َم ْن اِ ْع َتك‬
ً ْ ‫َف َع‬

“Barang siapa beriktikaf selama 10 hari di bulan ramadan, baginya –pahala- seperti dua haji dan
dua umrah”

Hukum Iktikaf

1) Wajib, jika menjadi nazar.


2) Sunah. Ini adalah hukum asal iktikaf, dan pada bulan ramadan, khususnya 10 hari terakhir, ia
lebih utama.
3) Makruh. Yaitu iktikaf seorang perempuan yg berparas cantik dan aman dari fitnah, walaupun
diizinkan oleh suaminya.
4) Haram, ia ada dua:
a. Tetap sah. Yaitu iktikaf seorang perempuan yg ditakutkan terjadi fitnah, sama saja apakah
dapat izin suaminya atau tidak.
b. Tidak sah. Yaitu iktikaf seorang junub atau perempuan haid.

Rukun Iktikaf

Ada empat: niat, berdiam diri, tempat iktikaf, dan seorang yg beriktikaf.

Syarat Iktikaf

1. Niat
2. Bertempat di Masjid yg murni sebagai masjid. Maka tidak sah dikerjakan di mushola (tempat
kecil yg biasa dipakai untuk solat dalam satu bangunan) atau ribath (tempat yg dikhususkan
Kajian Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

untuk zikir).1 Juga tidak boleh di masjid yg status wakafnya belum 100% untuk dijadikan
masjid.
3. Berdiam diri melebihi kadar tumakninah dalam solat (berhenti sejenak). Maka tidak sah iktikaf
bagi seseorang yg hanya lewat ke dalam masjid.
4. Suci dari hadas besar.
5. Berakal. Maka tidak sah iktikaf seorang gila, walaupun cuma sebentar.
6. Islam. 2

Sunah-Sunah Iktikaf

1- Bertempat di masjid jamik, yaitu yg biasa digunakan solat jumat. Agar tidak perlu keluar masjid
untuk solat jumat, juga sebagai khuruj minal khilaf (keluar dari perbedaan pendapat ulama) bagi
yg mewajibkan iktikaf di masjid jamik.
2- Durasi sehari penuh. Lebih utama tidak hanya di malam hari, tapi juga disambung dengan
siangnya.
3- Dalam keadaan puasa, juga sebagai khuruj minal khilaf.
4- Memperbanyak doa, zikir, dan ibadah.
5- Menjauhi hal makruh dan perbuatan melalaikan.
6- Menazarkan iktikafnya, agar mengangkat status pahalanya menjadi pahala faridhah (amalan
wajib). Tentu ia harus menazarkan dulu di hati sebelum mulai iktikaf, kemudian mulai
iktikafnya dengan niat iktikaf nazar/wajib.

Beberapa Permasalahan Niat Iktikaf

1) Seseorang masuk masjid dan berniat iktikaf, kemudian keluar dari masjid, lalu masuk lagi,
apakah harus niat iktikaf lagi atau cukup niatnya yg pertama?
a. Jika ia niat iktikaf secara mutlak, tanpa pengkhususan waktu:
1- Jika keluar masjid tanpa ada azam (kehendak kuat) untuk kembali, maka wajib berniat
lagi untuk iktikaf.
2- Jika keluar dengan azam di hati untuk kembali, tidak wajib berniat iktikaf lagi.
b. Jika niat iktikafnya mengkhususkan waktu tertentu, misal: 1 hari, 3 hari, atau sebulan (tidak
disyaratkan berturut-turut), kemudian keluar dari masjid:
1- Jika keluar karena hajat (kencing atau BAB), tidak harus berniat lagi saat kembali,
walaupun cukup lama keluarnya.

1
Pendapat Abu Hanifah: boleh menjadikan mushola rumah (tempat khusus untuk solat di satu bagian rumah) sebagai
tempat iktikaf, khusus bagi perempuan.
2
Maka seorang kafir tidak boleh masuk masjid, kecuali: a) dengan izin seorang muslim (takmir masjid misalnya) b)
aman dari fitnah. Kecuali masjidil haram, maka tidak boleh dimasuki kafir secara mutlak.
Kajian Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

2- Jika bukan karena hajat, dengan azam akan kembali, maka tidak wajib berniat lagi. Tapi
jika tanpa azan untuk kembali, maka harus berniat lagi.
2) Seseorang masuk masjid, lupa niat iktikaf, apakah boleh berniat iktikaf saat solat?
Iya, boleh niat iktikaf di hatinya saat solat, tapi ia tidak boleh melafalkan niat tersebut dengan
lisan. 3

Pembatal Iktikaf

1- Gila dan pingsan, jika disengaja. 4


2- Mabuk yg disengaja.
3- Haid
4- Murtad
5- Junub yg membatalkan puasa, karena jimak maupun masturbasi
6- Keluar dari masjid tanpa uzur, yaitu keluar dengan seluruh badan. Tentu dengan tahu
(hukumnya), sengaja, dan tidak terpaksa.

Beberapa Permasalahan Iktikaf Yang Berturut-turut

1) Jika bernazar iktikaf dalam durasi waktu yg berturut-turut, maka wajib baginya melakukan
iktikaf tersebut berturut-turut (tatabu‟). Dan jika terpotong tidak berturut-turut, maka harus
mengulangnya dari awal.
2) Hal-hal yg memotong tatabu‟ (waktu berturut-turut)
a. Mabuk
b. Kekafiran
c. Jimak yg disengaja
d. Sengaja keluar masjid tanpa hajat. Termasuk hajat: sakit, mandi, membersihkan najis,
makan-minum, buang hajat, dan solat jenazah (tanpa menunggu).
3) Uzur yg tidak memotong tatabu‟
Maka jika keluar masjid karena uzur berikut ini, tidak wajib baginya memperbarui kembali niat
iktikafnya saat kembali.
a. Gila dan pingsan, jika dia tetap di masjid, tidak keluar. Kecuali jika keluar karena darurat.
b. Terpaksa (dipaksa)
c. Haid

3
Pelafalan niat iktikaf membatalkan solat menurut Imam Ramli, tapi tidak membatalkan menurut Ibnu Hajar al-
Haitami. Begitu juga zikir dan doa lainnya.
4
Gila tidak disengaja juga membatalkan iktikaf. Durasi iktikaf saat gila dan berada di dalam masjid, tidak dihitung.
Adapun pingsan, maka dihitung.
Kajian Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

d. Azan, yaitu bagi seorang muazin rutin yg harus ke menara masjid (zaman dulu), dan itu di
luar masjid.
e. Memberlakukan had (hukuman), yg terbukti tanpa pengakuannya.
f. Iddah, jika bukan disebabkan olehnya (seorang istri).
g. Persaksian (di pengadilan), yg sifatnya fardhu „ain baginya, dan tidak mungkin dilakukan di
masjid.
4) Seseorang bernazar iktikaf secara tatabu‟, tapi juga mensyaratkan (dalam nazarnya) keluar dari
masjid saat iktikaf. Bagaimana hukum syarat ini?
Ada rinciannya:
a. Jika mensyaratkan keluar masjid karena sesuatu yg mubah dan bertujuan, juga tidak
menafikan iktikaf (membatalkan iktikaf), maka syaratnya sah (dan harus dilaksanakan). Dan
jika menentukan sesuatu dalam syaratnya, misal: mengunjungi kerabat, maka ia tidak boleh
melebihi kadar/sesuatu tersebut.
Dan jika ia tidak menentukan sesuatu dari syarat tersebut (secara mutlak), maka boleh
baginya keluar dengan segala alasan, bahkan jika berupa urusan mubah duniawi, seperti
bertemu penguasa dan lainnya.
b. Jika mensyaratkan keluar masjid tanpa alasan, misal: lagi pingin keluar, atau karena alasan
yg diharamkan (ex: mencuri), atau tanpa tujuan (ex: jalan-jalan cari angin), atau
membatalkan iktikaf (ex: jimak), maka syaratnya tidak sah dan tidak boleh dilaksanakan.

Sumber: Taqrirat Sadidah hal. 460-466


Kajian Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

Lailatul Qadr

Bulan Ramadhan adalah bulan yang paling mulia di antara bulan Hijriyah lainnya. Salah satunya
karena di salah satu malamnya ada Malam Lailatul Qadr. Dinamakan Lailatul Qadr (Malam
Kemuliaan) karena besarnya kemuliaan malam ini, Allah Swt memberikan kemuliaan Lailatul
Qadr ini hanya diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad Saw.

 Kapan terjadinya Lailatul Qadr

Ulama berbeda pendapat tentang kapan terjadinya Lailatul Qadr:

1. Imam Syafii berkata bahwa Lailatul Qadr terjadi pada 21 atau 23 Ramadhan.

2. Jumhur ulama: 27 Ramadhan.

3. Sebagian ulama mengatakan bahwa Lailatul Qadr waktunya berubah-ubah – setiap tahun – di
10 hari terakhir Ramadhan.

 Hikmah Dirahasiakan Lailatul Qadr


Agar umat muslim bersemangat untuk beribadah di setiap hari di bulan Ramadhan, khususnya
10 hari terakhir.

 Keutamaan Lailatul Qadr


- Amalan yang dikerjakaan saat itu lebih utama dari amalan 1000 bulan yang dikerjakan di
malam lain.
- Dibukakan beberapa hal tentang keajaiban alam malakut (gaib).
- Tidak ada janin seorang kafir yg terbuahi hari itu.
 Tanda-tanda Lailatul Qadr
- Cuaca tenang dan hampir tidak ada angin.
- Di pagi harinya matahari terbit dengan cahaya putih, tidak banyak sinar yang menyilaukan.

Disunnah bagi yang mengetahui terjadinya malam ini untuk menyembunyikannya dari
orang lain, dan menghidupkan siangnya (dengan ibadah dan mal solih) sebagaimana
menghidupkan malamnya dengan ibadah.

 Amalan di Malam Lailatul Qadr


- Paling Utama: menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah: shalat, membaca al-Quran,
memperbanyak doa, khusunya ‫اللهم إنك عفو كريم حتب العفو فاعف عني‬

- Pertengahan: menghidupkan sebagian besar malamnya dengan ibadah.

- Minimalnya: menghidupkan malamnya dengan shalat isya dengan berjamaah dan berniat
kuat untuk shalat subuh berjamaah.
Kajian Ramadhan 1441 H – bughyah salikin

Kontroversi Hisab-Rukyat; Sebuah Catatan

Sebentar lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan, bulan yang dinanti seluruh umat Islam, karena
keberkahan dan kesakralannya. Umat Islam di setiap negara sering kali mempunyai ciri khas
tersendiri dalam menyambutnya, tak terkecuali dengan umat Islam Indonesia. Ada satu hal unik
menjelang Ramadhan dari negara berpenduduk muslim terbesar didunia ini, yang sayangnya
berkonotasi negatif, yaitu perbedaan awal Ramadhan.

Entah siapa yang memulai, hampir setiap tahun kita akan berbusa-busa adu dalil dan argumentasi
untuk menguatkan pendapat yang kita yakini dalam hal ini. Khususnya di era sosial media seperti
sekarang ini. Memang tahun ini tidak begitu terdengar, karena tentu kalah rating dengan perhatian
kita kepada virus covid19, yang bahkan berpotensi membuat Ramadhan tidak sesemarak biasanya.
Hanya para pakar dan pemerhati ilmu falak-astronomi saja yang masih memperhatikan
permasalahan ini.

Tiga Level Pembahasan

Menurut hemat penulis, ada tiga level pembahasan yang harus ditempuh oleh setiap orang yang
ingin meneliti masalah ini; pertama tentang kesyariahan rukyat (masyru’iyyah al-ru’yah), kedua
tentang kesyariahan dan validitas hisab, dan ketiga tentang taat kepada ulil amri.

Seluruh ulama berijmak tentang hal pertama; kesyariahan rukyat. Bagaimana tidak, nash hadis Nabi
dengan amat sangat jelas menyebutnya, “Suumu li rukyatihi wa afthiru li rukyatihi”. Sudah
undebatable.

Adapun tentang hal kedua, yaitu posisi hisab dalam fikih, mayoritas ulama melarangnya untuk
digunakan sebagai tolok ukur penentuan awal bulan kamariah. Sebagian lagi membolehkannya,
seperti Ibnu Subki dari ulama Syafiiyah, yaitu jika memang tidak dapat ditempuh dengan rukyat
(saat tertutup awan).

Hemat kami, hal itu bisa jadi kembali kepada kukuhnya ulama kita memegang zahir nash yang ada,
atau karena belum validnya keputusan hisab, atau kembali kepada masih tercampurnya ilmu
astronomi dan astrologi (tanjim, perdukunan) di zaman itu. Setelah keputusan semakin valid dan
dapat dipertanggungjawabkan, dan telah terpisahnya astronomi dan astrologi, kita mendapati
banyak ulama yang mendukung dan melegalkannya untuk menentukan awal bulan kamariah,
Kajian Ramadhan 1441 H – bughyah salikin

khususnya ulama kontemporer. Sebut saja syekh Ahmad Syakir (Ulama Mesir, Pentahqiq banyak
kitab), syekh Mustofa Zarqa‟ (Ulama Syiria), hingga syekh Yusuf Qaradawi. Bahkan syeh Ali
Jumah dalam satu wawancara menyatakan; sudah waktunya kita menggunakan hisab dalam
menentukan awal bulan kamariah, karena kalo hanya pake rukyat saja, bisa-bisa kita istikmal terus,
karena polusi udara, psikis perukyat, dan banyak faktor lainnya yg membuat praktik rukyat hilal
sulit terjadi.

Win-Win Sollution

Menurut hemat penulis, jalan tengah dari perdebatan dalam penggunaan hisab dan rukyat dalam
penentuan awal bulan kamariah adalah kaidah yg digunakan Dar el-Ifta‟ el-Mishriyyah (MUI nya
Mesir) terkait hal ini. Yaitu bahwa hisab dapat menafikan (yanfi, memustahilkan) rukyat dan
hasilnya, tapi tidak dapat menentukan masuknya bulan baru. Bahasa arabnya: al-hisab yanfi wa la
yutsbit.

Maksudnya adalah bahwa hisab dapat menjadi tolok ukur untuk menolak semua hasil rukyat yang
ada, jika perhitungan ilmu falak menunjukkan bahwa hilal masih di bawah ufuk. Dan sebaliknya,
jika perhitungan hisab menunjukkan bahwa hilal sudah di atas ufuk dan mungkin untuk dilihat,
maka hisab tak dapat menjadi satu-satunya tolok ukur masuknya bulan baru. Ia masih tetap
membutuhkan rukyat untuk melegalkan keputusan masuknya awal bulan.

Ternyata kaidah yg digaungkan oleh Dar el-Ifta Mesir di atas adalah kaidah yg ditaqrir habis-
habisan oleh Imam Subki. Walaupun jumhur ulama Syafiiyah lebih condong untuk tetap menerima
kesaksian rukyat, meski dinafikan oleh hisab.

Melihat hal ini, Syeh Hitou lebih cenderung kepada pendapat Imam Subki, dan taqrir beliau sangat
muqni' (memuaskan) dan logis. Monggo bisa dibaca di buku beliau Fikih Siyam. Ringkasnya, hisab
dapat menolak hasil rukyat, karena ia dalam penafian ini sifatnya qathi (pasti), bahwa hilal belum di
atas ufuk misalnya. Adapun dalam penentuan masuknya bulan baru, maka ia bersifat zhanni (belum
pasti). Kriteria masuknya awal bulan saja masih diperdebatkan hingga saat ini, setiap negara punya
kriteria masing-masing, ada yg minimal 7 derajat, 5 derajat, dst.
Kajian Ramadhan 1441 H – bughyah salikin

Konteks Indonesia

Indonesia dan negara yg tergabung dalam MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunai Darussalam,
Indonesia, Malaysia, dan Singapura) sudah lama bersepakat bahwa imkan rukyat (hilal mungkin
dilihat) adalah jika hilal berada 2 o di atas ufuk. Secara logika, jikapun sedang tertutup awan,
harusnya jika hilal secara astronomi telah berada 2 derajat di atas ufuk, maka besoknya telah masuk
bulan baru. Sayang, pada praktiknya banyak ketidak konsisten-an dalam memakai kaidah imkan
rukyat ini. Walhasil ia menjadi “sasaran tembak” bagi para pengusung hisab dalam penentuan awal
bulan kamariah.

Berani berbeda, ormas besar Muhammadiyah dengan mantap menegaskan akan mengambil
perhitungan hisab untuk menentukan kalender dan tanggal awal bulan kamariah, tanpa sama sekali
menunggu hasil rukyat di akhir Sya`ban, akhir Ramadhan, dan akhir Zulqadah. Uniknya kriteria
hisab Muhammadiyah adalah berapa derajat pun hilal di atas ufuk secara hitungan astronomi, maka
ia telah masuk bulan baru. Biasa mereka sebut dengan hisab wujudul hilal, dan ufuk (horizon) nya
biasa disebut dengan ufuk hakiki (selain ufuk mar`i yang terwakili oleh kriteria-kriteria imkan
rukyat itu).

Biasanya Muhammadiyah sudah jauh-jauh hari telah menghitung secara hisab tanggal awal bulan
Ramadhan, Syawal dan Zulqadah. Hasil penghitungan itu kemudian dibagikan kepada seluruh
jamaah Muhammadiyah, sekaligus dihimbau untuk mengikuti hasil putusan tersebut.

Taat Ulil Amri

Level pembahasan terakhir adalah taat kepada ulil amri. Idealnya, semua kelompok Islam harus
ikhlas mengikuti apa yang ditetapkan oleh pemerintah dalam penentuan awal Ramadhan. Karena
diakui atau tidak, ada hal yang lebih penting dari benar-tidaknya argumen kedua kubu yang
berseteru, yaitu persatuan. Ada satu kaidah fikih yang sangat relevan dengan hal ini, yaitu; hukmul
hakim yarfa’ul khilaf (penetapan hukum oleh seorang hakim akan menghilangkan perbedaan).

Maka jika pemerintah sudah memutuskan untuk mengambil satu ketetapan terkait hal ini, sudah
seharusnya semua kelompok Islam dapat mengikutinya. Yang paling disayangkan adalah
perdebatan ini dipelopori oleh dua ormas Islam terbesar negeri ini. Tidak hanya Muhammadiyah yg
terkesan „ngeyel‟ gak mau ikut keputusan Sidang Itsbat Pemerintah, tapi NU juga pernah berada di
Kajian Ramadhan 1441 H – bughyah salikin

posisi itu, saat Menteri Agama dipegang oleh seorang Muhammadiyah, di awal 90-an kalo tidak
salah, sayang saya juga lupa nama menterinya.

Memang ada beberapa kelompok kecil yang mempunyai kriteria tersendiri, tetapi massa mereka tak
banyak, bukan mayoritas. Walaupun penting juga untuk diingatkan untuk menertibkan diri, dan
mengikuti keputusan pemerintah.

Satu dalam Beda

Sering sekali muncul apologi saat kita tidak bisa memulai awal Ramadhan bersama bahwa kita tetap
bisa saling menghargai dalam perbedaan. Pertanyaanya, apakah sampai segitu saja level kita?
Kapan kita mau naik kelas untuk bisa bersatu dalam hal ini? Untuk kita ketahui, Indonesia adalah
satu-satunya negara muslim yang „bisa‟ berbeda dalam penentuan Ramadhan dan dua hari raya.
Unik sekaligus ironis. Padahal negara muslim lainnya tidak kalah banyak kelompoknya, toh mereka
bisa bersatu dalam hal ini. Sama-sama menghormati otoritas pemerintah dalam menentukan awal
Ramadhan.

Sudah waktunya kita sikapi perbedaan pendapat dengan mengedepankan hal yang lebih penting,
first thing first. Tidak malah nesu-nesunan (red: ngambek), tapi juga tidak boleh gagah-gagahan.
Gagah-gagahan jika salah satu dari kelompoknya sedang „memimpin‟ otoritas, sehingga mengebiri
pihak lain yang berbeda pendapat. Tapi juga tidak lantas nesu dan ngambek saat merasa „dianak tiri
kan‟, dengan tidak mau mengikuti keputusan pemerintah. Jangan-jangan banyak ulama Indonesia
dalam permasalahan ini sedang melakukan „ijtihad gengsi‟, bukan murni ijtihad. Walhasil, umatnya
yang jadi korban, bingung tahunan. Karena para panutannya sedang memikirkan ego mereka
sendiri, ingin menang sendiri.

Pada akhirnya, kuncinya menurut hemat saya adalah bersepakat dalam kriteria. Tentu hal itu dapat
didiskusikan lebih lanjut oleh para pakar dan cendekia yang punya ilmu tentang falak dan
astronomi. Diskusi tersebut hendaknya secepatnya mengkongkritkan hasil yang dituju, tidak
berlarut-larut, selalu tenggelam dalam gengsi, gengsi kelompok maupun pribadi. Diskusi juga
seyogyanya tidak menjadi penghalang untuk bersatu dalam mengikuti keputusan pemerintah, agar
syiar persatuan umat lebih terasa gaungnya.
Kajian Ramadhan 1441 H – bughyah salikin

Mari kita lekas move on dari hanya sekedar “menghormati dalam perbedaan”, untuk menuju kepada
“bersatu dalam perbedaan”. Walaupun masih berbeda pendapat, kita harus tetap bersatu dan
bersama dalam momentum yg sakral ini.

Wallahu A'lam bi al-Shawwab

Oleh: Muhammad Rifqi Arriza


Kajian Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

Fiqih Zakat Fitrah

 Hukumnya: wajib

َ»َ‫َوَطَعَمَةََلَلَفَقَرَاءََوَالَسَاكَي‬،َ‫«زَكَاةََالَفَطَرََطَهَرَةََلَلصَائَمََمَنََالرَفَث‬

 Siapa saja yang wajib berzakat?

Bagi setiap muslim merdeka yang memiliki kelebihan makanan/ harta pada hari raya Idul Fitri dan
malamnya, baik laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa, merdeka maupun
hamba sahaya. Maksudnya memiliki kelebihan dari yang diperlukan untuk diri sendiri dan orang-
orang yang wajib ia nafkahi. Baik kelebihan itu berupa makanan, uang atau nilai uang (seperti
hutang yang belum dibayar).1

 Waktu mengeluarkannya:

o Waktu wajib: menemui sebagian dari bulan Ramadhan dan sebagian dari bulan Syawwal.
Ket: orang yang meninggal malam 1 Syawwal tetap wajib dizakati.
Bayi yang lahir setelah magrib malam Idul Fitri tidak wajib dizakati.
o Waktu yang paling utama: pagi hari 1 Syawwal setelah terbit fajar sebelum shalat Ied.
o Waktu mubah/jawaz: mulai 1 Ramadhan.
o Waktu makruh: mengakhirkannya hingga setelah shalat Ied sampai terbenam matahari,
kecuali untuk menunggu agar bisa diberikan kepada saudara/ fakir yang shalih.
o Waktu haram: mengakhirkannya hingga setelah hari raya Ied (setelah tenggelamnya
matahari 1 Syawwal) kecuali karena udzur (karena uangnya belum ada atau tidak ada yang
menanggung pembayaran zakatnya) maka tidak ada dosa baginya, dan baginya meng-
qadha pembayaran zakat tersebut.

 Berapa kadar yang wajib dikeluarkan?

1 sha` bagi setiap orang = 4 mud dg mud Nabi = sekitar 2,75 kg – 3 kg.2

*jika hanya mampu mengeluarkan ½ dari kadar wajib, maka tetap wajib dikeluarkan.

 Berupa apa zakat yang dikeluarkan?

Bahan makanan pokok daerah tersebut.3

1
Maksud dari kelebihan disini adalah kelebihan di luar kebutuhan pokok. Maka barang yang menjadi kebutuhan sehari-
hari, seperti rumah, pakaian, dll tidak dihitung dan harta benda ini tidak wajib dijual guna mengeluarkan zakat.
2
Hendaknya kadar zakat fitrah dilebihkan, ditakutkan ada campuran pasir dan hal-hal lain dalam makanan pokok yang
hendak dikeluarkan zakatnya, [Tanwirul Qulub].
3
Zakat fitrah tidak boleh dipindahkan ke daerah lain/ harus diberikan di tempatnya orang yang dizakati, [Tanwirul
Qulub juz 1 hal 465].
Kajian Ramadhan Kitab Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah

 Tanggungan zakat:

o Setiap orang yang wajib dinafkahi, maka wajib baginya membayarkan zakat fitrahnya:

1. Zakat istri menjadi tanggungan suami, suami yang miskin tidak wajib membayarkan zakat
istri bahkan zakat fitrahnya sendiri.
2. Zakat anak (belum baligh) menjadi tanggungan bapak.
3. Zakat orang tua yang miskin menjadi tanggungjawab anaknya, dan seterusnya.

o Jika mengeluarkan zakat untuk orang yang tidak wajib ditanggung nafkahnya, seperti orang tua
yang mampu, anak-anak yang sudah baligh, saudara, dst maka disyaratkan harus mendapatkan
izin dari orang-orang tersebut.

o Golongan yang wajib dinafkahi tapi tidak wajib dibayarkan zakat fitrahnya, yaitu:
1. Istri dari bapak (ibu tiri).
2. Hamba sahaya
3. Kerabat
4. Istri non muslim

o Golongan yang tidak wajib dinafkahi tapi wajib dibayarkan zakatnya, yaitu:

Hamba sahaya yang melarikan diri, wajib bagi tuannya membayarkan zakatnya.

Taqrirot Sadidah fil Masail Mufidah, 418 – 420.

Tambahan Faedah:

1. Harus diniati mengeluarkan zakat untuk membedakannya dari sedekah biasa.


2. Diberikan kepada 8 golongan yang berhak menerima zakat sebagaimana yang disebutkan
dalam al-Quran.

Anda mungkin juga menyukai