Tindak Pidana Khusus07

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 5

Nama : Elanda

NIM : 031079695
Mata Kuliah :
Semester :6
Pokja : Curup
Tugas : TINDAK PIDANA KHUSUS/HKUM4309

Tugas 3 berikut ini.

1. Setelah konferensi lingkungan hidup 1972 di Stockholm Swedia 1972, Indonesia


membentuk UU No. 4 tahun 1982 dan UU ini telah beberapa kali mengalami
perubahan/penggantian. Apa yang menjadi dasar atau latar belakang dari setiap
perubahan atau penggantian UU tersebut dan bagaimana pengaruhnya tindak pidana
di bidang lingkungan hidup?

Jawaban:
Deklarasi Stockholm 1972 yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
pada dasarnya mengandung 26 prinsip/kaidah yang dapat dikategorikan menjadi
beberapa topik utama. Topik-topik utama tersebut sebagaimana kami kutip
dari Nancy K. Kubasek - Gary S. Silverman, dalam buku Environmental Law (hal.
259), yaitu hak asasi manusia (Prinsip 1); pengelolaan sumber daya manusia (Prinsip
2 sampai dengan Prinsip 7); hubungan antara pembangunan dan lingkungan (Prinsip 8
sampai dengan Prinsip 12); kebijakan perencanaan pembangunan dan
demografi (Prinsip 13 sampai dengan Prinsip 17); ilmu pengetahuan dan
teknologi (Prinsip 18 sampai dengan Prinsip 20); tanggung jawab negara (Prinsip 21
sampai dengan 22); kepatuhan terhadap standar lingkungan nasional dan semangat
kerjasama antar negara (Prinsip 23 sampai dengan Prinsip 25); dan ancaman senjata
nuklir terhadap lingkungan (Prinsip 26).
 
Setelah berlangsungnya Deklarasi Stockholm 1972, Indonesia mengambil beberapa
langkah untuk memperbaiki sistem pengelolaan lingkungan hidup dan mulai disusun
peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup.
Di Indonesia implementasinya dimulai dengan peraturan mengenai lingkungan hidup
dalam UU RI No.4 tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UULH 1982).
Dasar diubahnya UU No.4 tahun 1982 yaitu
 Perubahan pada bidang hukum tidak diikuti perubahan secara konsisten pada
kebijakan pembangunan
 Politik pengelolaan sumber daya alam didasari pada kepentingan kebutuhan
investasi dalam pemulihan kondisi ekonomi
 Fasilitas yang diberikan oleh seluruh kebijakan yang terkait dengan
penanaman modal dibidang sumber daya alam berlanjut terus tanpa
memperhitungkan aspek kerentanan (vulnerability) serta keterbatasan daya
dukung sumber daya alam
 Tidak berhasilnya UULH 1982 menciptakan tujuan yang digariskan yaitu
memahami sumber daya alam bukan hanya sebagai komoditas ekonomi.

Setelah evaluasi maka UULH diganti dengan UU RI No. 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 1997).

Pengaruhnya tindak pidana di bidang lingkungan hidup yaitu ketentuan hukum


pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang  Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120.
Ketentuan Pasal 45 UUPLH, mengatur bahwa terhadap orang yang memberi
perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan atau orang yang bertindak
sebagai pemimpin dalam tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh, untuk,
atau atas nama badan usaha, ancaman pidana berupa penjara dan denda diperberat
dengan sepertiga. Penegakan hukum pidana di bidang lingkungan saat ini belum
mencapai tujuan yang diharapkan

2. Apa subjek hukum dan bagaimana sistem pertanggungjawaban hukum pidana


terhadap pelaku tindak pidana di bidang  lingkungan hidup

Jawaban:
Subjek hukum dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009disebutkan pada Pasal 1
angka 32 yaitu “Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. Apabila diterjemahkan lebih
jauh bahwa subjek hukum dimaksud dalam Pasal 1 angka 32 Undang-Undang No. 32
Tahun 2009 ini adalah orang, badan hukum, dan tidak berbadan hukum. Berbadan
hukum dan tidak berbadan hukum maksudnya adalah korporasi.

Sistem pertanggungjawaban hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana di bidang 


lingkungan hidu yaitu tindak pidana lingkungan hidup, mencakup perbuatan disengaja
maupun yang tidak disengaja. Pasal 97 UndangUndang No. 32 Tahun 2009,
disebutkan bahwa, “Tindak pidana dalam UndangUndang ini merupakan kejahatan”.
Ketentuan Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, di dalam penjelasannya
dipertegas dengan maksud dikatakan bertanggung jawab itu. Bahwa yang dimaksud
dengan bertanggung jawab di sini adalah peratnggungjawaban mutlak atau lebih
dikenal dengan asas strict liability. Pertanggungjawaban demikian dalam pasal ini
adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar
pembayaran ganti rugi. Berdasarkan ketentuan Pasal 88 Undang-Undang No. 32
Tahun 2009 di atas, jelaslah bahwa dalam lingkungan hidup dibebankan
peratnggungjawaban dengan asas baru ini yaitu strict liability. Dimana Pencemaran
dan perusakan terhadap lingkungan, adalah tanggung jawab (liability) terhadap
perusak/pelaku kerusakan atas lingkungan hidup itu sudah semestinya dibebankan,
apa dan siapapun subjek hukumnya, baik jumlah dalam skala kecil maupun besar,
baik rakyat, pemerintah maupun perusahaan, dan lain-lain.

3. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi pekerja/buruh dan faktor apa yang
menyebabkan masih terjadinya unjuk rasa oleh pekerja/buruh.

Jawab:
Bentuk perlindungan tenaga kerja menurut UU No. 13 Tahun 2003 meliputi:
Pertama: Perlindungan atas hak-hak dalam hubungan kerja; Perlindungan atas hak-
hak dasar pekerja untuk berunding dengan pengusaha dan mogok kerja; Perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja; Perlindungan khusus bagi pekerja/buruh
perempuan, anak dan penyandang cacat; Perlindungan tentang upah, kesejahteraan,
dan jaminan sosial tenaga kerja dan Perlindungan atas hak pemutusan hubungan
tenaga kerja.

Kedua: bentuk perlindungan buruh/pekerja menurut hukum ketenagakerjaan


mencakup beberapa aturan yaitu; keselamatan dan kesehatan kerja yang tercantum di
dalam pasal 86 dan 87 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menyatakan;
setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas
keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai
dengan harkat dan martabat manusia serta nilai- nilai agama (pasal 86 ayat 1).

Faktor penyebab unjuk rasa oleh pekerja/buruh yaitu:


 Faktor pertama yaitu adanya gelombang PHK besar-besaran.
 Faktor kedua yang mendorong aksi unjuk rasa ini yaitu menurunnya daya beli
masyarakat akibat kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu.
 Faktor ketiga yaitu masuknya tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia.

4. Bagaimana tata cara pemberhentikan terhadap  pegawai negeri yang melakukan


tindak pidana, apakah dapat yang bersangkutan dapat  diberhentikan dengan tidak
hormat meskipun belum ada putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
berikan dasar hukum dan contoh kasus serta analisis atas kasus dimaksud.
Contoh kasus:
Pemberhentian PNS Karena Melakukan Tindak Pidana/Penyelewengan diatur dalam
Peraturan BKN 3 tahun 2020 tentang Juknis Pemberhentian PNS dalam pasal 17 dan
18.

Berdasarkan pertanyaan dan kasus diatas apakah pegawai negeri yang melakukan
tindak pidana dapat diberhentikan dengan tidak hormat meskipun belum ada putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka, jawabannya tidak.

Sesuai dengan Pasal 17 ayat 1 berbunyi:

“PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana”

Sesuai dengan pasal 17 ayat 10 berbunyi:

PNS diberhentikan dengan tidak hormat apabila:

a. melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. dipidana dengan pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan


pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana kejahatan Jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada
hubungannya dengan Jabatan;

c. PNS menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau

d. dipidana dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah


memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan
hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang
dilakukan dengan berencana.
Tata Cara Pemberhentian PNS Karena Melakukan Tindak Pidana/Penyelewengan

Sesuai dengan Pasal 18

Tata Cara Pemberhentian karena melakukan tindak pidana/penyelewengan, dilakukan sebagai


berikut:

a. Pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat PNS yang melakukan tindak
pidana/penyelewengan diusulkan oleh:

1. PPK kepada Presiden bagi PNS yang menduduki JPT utama, JPT madya, dan
JF ahli utama; atau

2. PyB kepada PPK bagi PNS yang menduduki JPT pratama, JA, JF selain JF
ahli utama.

b. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian dengan hormat atau tidak
dengan hormat sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada huruf a, dengan mendapat
hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c. Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada huruf b, ditetapkan paling


lama 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah usul pemberhentian secara lengkap
diterima.

d. Usul Pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat sebagai PNS dari PPK
kepada Presiden atau dari PyB kepada PPK sebagaimana dimaksud pada huruf a,
disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Angka 16 Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

e. Keputusan Pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat sebagai PNS
sebagaimana dimaksud pada huruf a, disusun sesuai dengan format sebagaimana
tercantum dalam Angka 17 Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Badan ini.

f. Dalam hal PNS yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pada huruf a memenuhi
syarat diberikan jaminan pensiun maka PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada
huruf d menyampaikan usul pemberhentian PNS kepada Presiden atau PPK dengan
tembusan kepada Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

g. Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN atas dasar usul pemberhentian dari
PPK atau PyB sebagaimana dimaksud pada huruf f, memberikan Pertimbangan
Teknis Pensiun PNS dan janda/duda kepada Presiden atau PPK.

h. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberian pensiun setelah mendapatkan


pertimbangan teknis Kepala BKN atau Kepala Kantor Regional BKN.

Anda mungkin juga menyukai