Analisis Cerpen
Analisis Cerpen
Analisis Cerpen
Pendahuluan
“Baju” merupakan judul sebuah cerita pendek karangan Ratna Indraswari Ibrahim.
Cerita ini mengisahkan tentang seorang permaisuri di negeri Hastinapuri bernama Drupadi
yang dijadikan sebagai bahan taruhan judi oleh suami-suaminya (Pandawa) dengan
musuh-musuh mereka (Kurawa). Kehormatan Drupadi ditukar dengan pengembalian
wilayah Hastinapura yang diduduki oleh Kurawa. Kekalahan Pandawa dalam permainan
judi dengan Kurawa yang berbau kecurangan itu mengakibatkan Drupadi harus dilucuti
pakaiannya di arena tempat perjudian itu, disaksikan oleh seluruh peserta permainan judi.
Para suami drupadi tidak bisa berbuat apa-apa hanya menahan marah, tangis dan terdiam.
Atas pertolongan Krisna, tindakan pelucutan pakaian dimuka umum tersebut berhasil
digagalkan.
Cerpen ini akan dianalis dengan pendekatan objektif dan analisis struktural yaitu
menganalis unsur-unsur pembentuk struktur cerita ini dan bagaimana kaitan antara unsur-
unsur ini berfungsi tanpa mengaitkan dengan unsur di luar teks atau cerita ini seperti
sejarah, biografi pengarang, kebudayaan dan lain-lain.
Stanton dalam An Introduction to Fiction (1965) menguraikan unsur fiksi menjadi fakta
cerita yang meliputi tokoh, alur (plot) dan latar. Sarana cerita yang meliputi judul, sudut
pandang, gaya bahasa serta tema (wiyatmi,2006).
II. Analisis Struktur dan Tema
Tokoh utama dalam cerita ini bernama Drupadi dan bercerita dengan menggunakan
sudut pandang akuan sertaan (first person central).
Aku Drupadi dilahirkan dengan puja-pujian orangtuaku kepada Dewa Shiva selama
beberapa tahun lamanya.
Aku permaisuri yang anak raja. Jadi, bagaimana mungkin mereka bisa mencampakkan
harga diriku di bawah budak-budak istana? Padahal mereka satria unggulan, karena itu aku
memilihnya!”
Sedangkan tokoh lain dalam cerita ini adalah para suami drupadi yaitu : Bima, Arjuna,
Yudistira dan Nakula serta Sadewa yang merupakan golongan satria pandawa, Krisna
(dewa), sesepuh Hastina: Eyang Bisma, Widuri dan Raja Hastina Destarata, dan tokoh jahat
dari Kurawa: Dursosono. Informasi peran para tokoh ini dan identitasnya disebutkan
secara terpisah dalam beberapa bagian paragraf sehingga memerlukan waktu khusus bisa
untuk mencerna pemetaan peran para tokohnya. Hal ini bisa jadi karena drupadi yang
sedang bercerita beranggapan bahwa sesungguhnya pemikiran mereka (para lelaki) sama
meskipun watak mereka berbeda karena itu tidak terlalu penting untuk menceritakan
secara detil satu persatu watak dan peran tokoh dari para lelaki tersebut.
Aku tidak percaya, tapi suami-suamiku bilang kalau perempuan selalu berbicara dengan
perasaan tidak dengan otak. "Bersenang-senanglah di kaputren melihat taman yang indah
yang akan menjadi milik kita kembali Dinda!" Aku lupa siapa yang bilang begitu. Suami-
suamiku memang memiliki satu pemikiran sekalipun watak mereka berbeda.
Sebagai tokoh utama drupadi merupakan tokoh dengan tingkat sosial terhormat dan
memiliki watak yang mulia kemudian ditempatkan oleh suami-suaminya pada situasi yang
hina dina dimana dia dipaksa merelakan kehormatan yang sangat dijaganya demi aturan
main yang telah dibuat secara sepihak para suaminya dan kurawa. Paragraf awal cerpen ini
sudah dimulai dengan suara gugatan dan kemarahan drupadi.
"Saya kira ini kejahatan yang luar biasa, bukan saja datang dari pihak Hastinapura, juga
dari suami-suamiku, yang dengan gegabah mempertaruhkan diriku sebagai taruhan di
meja judi. Ini penghinaan yang luar bisa, aku bukan budak atau selir! Aku permaisuri yang
anak raja. Jadi, bagaimana mungkin mereka bisa mencampakkan harga diriku di bawah
budak-budak istana? Padahal mereka satria unggulan, karena itu aku memilihnya!"
Unsur perempuan di dalam cerita ini, yaitu drupadi, digambarkan begitu lemahnya di
hadapan para suami dan lelaki lain sehingga bisa dijadikan barang taruhan. Meskipun dia
berkedudukan mulia dan terhormat sebagai permaisuri tapi ternyata tidak ada artinya dan
harus tunduk dibawah aturan yang dibuat oleh para suami atau lelaki. Sedangkan para
suami atau lelaki meskipun satria unggulan lebih memilih tunduk pada hukum atau aturan
main yang dibuatnya sendiri dari pada membela kehormatan istri.
Aku memilihnya sebagai suamiku dan sekarang yang terlihat adalah ketika seluruh bajuku
ditanggalkan oleh Dursosono, suami-suamiku cuma diam-diam saja. Apakah harga diri
perempuan yang permaisuri ini di bawah norma hukumnya? Kalau aku tanyakan
peristiwa ini, mereka pasti akan menjawab: seorang kesatria harus menepati janjinya?
Tokoh aku (drupadi) memiliki status sosial yang tinggi sebagai permaisuri dan juga
putri raja, bahkan ia mendapatkan hak istimewa dari ayahnya untuk memilih suaminya
sendiri memalui sayembara.
Sekalipun kerajaan orangtuaku tidak sebesar Hastinapura, aku Drupadi yang diberi
kebebasan oleh Romo untuk memilih sendiri suami-suami lewat sayembara.
Meskipun drupadi berasal dari keluarga berstatus sosial tinggi namun ia wanita yang
memiliki watak tulus, setia pada suami dan tidak berorintasi pada pangkat dan harta.
Kupilih satria yang berbaju brahmana. Aku tidak pernah tahu kalau kangmas Arjuna yang
memenangkan lomba membengkokkan busur itu adalah putra Kunti, sebuah kerajaan yang
paling adikuasa. Jadi jelas aku tidak memilih suami-suamiku karena dia keturunan raja-raja
Hastinapura. Bersama suami-suamiku aku tinggal di hutan, (ketika mereka diasingkan kami
masih pengantin baru). Apakah ini bukan sebuah cinta yang tulus?
Tubuh perempuanku adalah ekspresi dari seluruh jiwa ragaku. Aku selalu menuntut
mereka memperlakukan aku dengan perasaan yang saling menghormati ketika kita
bercinta. Suami-suamiku kuajari menyentuh dengan keindahan dan saling menghormati
Sejak kecil ibu sering berkata, "Hormatilah tubuhmu sendiri." Oleh karena itu, sejak kecil
aku mesti memperlakukan setiap bagian tubuhku dengan rasa sayang dan hormat. Dan
sebagai permaisuri Hastinapura aku mengajari perempuan di sekelilingku, untuk
mengekspresikan dengan hormat, dan indah, tubuhnya sendiri maupun tubuh suami
mereka.
Sosok drupadi yang begitu terhormat, dengan watak mulia yang dimilikinya dan
penghormatanya yang begitu tinggi dijungkirbalikan dengan kenyataan bahwa ia ternyata
diperlakukan hina tak ubahnya pelacur atau budak kerajaan.
Duh Gusti.........., mereka membuka bajuku, sepertinya aku ini budak atau pelacur. Tidak
pernah aku diperlakukan seperti ini.
Para satria unggulan sebagai suami ternyata tak berdaya di bawah hukum yang
berlaku ketika mestinya menjaga kehormatan dan perasaan istrinya.
Air mata yang ada di sudut mata kangmas Yudistira atau kemarahan yang ditahan-tahan
oleh Bima tidak bisa menolongku pada saat itu. Arjuna lelaki yang peka (lelaki yang paling
kucintai) tidak berbuat apa pun dengan anak panahnya. Si kembar Nakula dan Sadewa
cuma bisa menangis dalam hatinya, Destarata tidak juga berbuat banyak ketika
kusimpuhkan diriku untuk meminta sikapnya. Juga eyang Bisma, paman Widuri yang
terkenal bijak, juga tidak berbuat apa-apa. Dalam hal ini mereka menganggap semuanya
harus mengikuti aturan main hukum yang berlaku!
Tokoh-tokoh utama dalam cerpen ini melakukan peran oposisi biner antara aku yang
perempuan dan para sastria yang lelaki dan oposisi biner terhadap diri sendiri. Sebuah
sikap paradok. Bertolak berlakang antara status yang menempel dengan kenyataan
tindakan dan perlakukan yang semestinya selaras dengan fungsi sosiologisnya. Drupadi
yang permaisuri namun diperlakukan seperti pelacur. Para satria yang gagah ternyata
hanya bisa diam dan menahan tangis tanpa berbuat apa-apa. Tokoh yang masih setia pada
perannya adalah Dursosono sebagai tokoh jahat dan krisna sebagai dewa baik hati yang
menolong drupadi.
“Satria-satriaku, tahukah kamu waktu itu, aku lebih tidak menyukaimu daripada
Dursosono yang memang tokoh jahat (Krisna tahu karena keperempuananku Krisna tidak
membiarkan aku telanjang di muka penjahat-penjahat itu)."
Secara hierarki struktur, tokoh drupadi ditempatkan di bagian bawah atau sebagai
infrastruktur sedangkan tokoh lelaki diletakkan sebagai suprastruktur yang terletak di atas
infrastruktur. Supra struktur menekan infra struktur.
Drupadi marah. Drupadi kecewa dan akhirnya muncul gugatan mengenai keberadaan
dirinya.
Suara kemarahan, kekecewaan dan gugatan itu disampaikan drupadi hanya dalam
benaknya sendiri yang berbicara sebagai aku pada dirinya sendiri. Tidak dalam bentuk
gugatan yang langsung diucapkan pada suami dan dursosono. drupadi hanya bisa pingsan
saat dursosono berusaha melucuti bajunya dan kemudian terbangun lagi. Ia hanya bisa
menyesali bahwa ia masih hidup
Aku menyesal ketika aku terbangun dan melihat Dursosono masih mencoba menarik-
narik busanaku sedangkan suamiku dan sesepuh Hastinapura sudah kehilangan akal
untuk menghentikan kejadian ini.
Gaya bahasa yang digunakan adalah gaya bahasa bertutur dengan lebih banyak
monolog dari tokoh utama sebagai aku. Sehingga keterkaitan hubungan dan fungsi peran
antara drupadi sebagai aku dan para tokoh lainnya djelaskan dari sudut pandang (aku)
drupadi. Dengan demikian fungsi aku sebagai pencerita merupakan sentral dari
keseluruhan narasi ini. Aku (perempuan) sebagai sentral yang menjelaskan fungsi peran
tokoh-tokoh lainnya (lelaki).
Secara alur cerita, cerpen ini menggunakan alur tertutup atau sudah jelasnya akhiran
cerita. Penempatan informasi tentang gagalnya pelucutan baju drupadi oleh dursosono
sudah ditempatkan di bagian-bagian awal cerita ini (paragraph ke 4).
Aku menangis, sakit hati, bukan saja kepada Dursosono tetapi juga kepada suami-
suamiku. Ini bukan cinta kalau mereka tidak berbuat apa pun kepada kekasihnya.
Tiba-tiba aku merasa iri kepada Shinta yang direbut kembali oleh Rama dari
Rahwana dengan segala perjuangan dan penderitaannya, sementara diriku
mereka biarkan begitu saja. Kalau aku tidak ditolong oleh para Dewa, sudah dari
tadi seluruh tubuhku ditonton oleh mereka, dilecehkan dengan nafsu hewaninya
di muka suami-suamiku.
Sehingga terlihat bahwa masalah yang disampaikan bukanlah masalah jadi atau
tidaknya baju drupadi dilucuti tetapi yang menjadi masalah sesungguhnya dalam cerpen
ini adalah jeritan hati drupadi yang berisi kemarahan dan kekecewaan terhadap para
suami yang merendahkan dirinya untuk dijadikan bahan taruhan permainan dadu dan
akhirnya menimbulkan pertanyaan tentang arti perempuan itu sendiri
Kurebut mimpiku sebagai perempuan. Apakah suami-suamiku dengan caranya masih bisa
disebut sebagai satria? Sementara itu, di sisi lain, aku masih menjadi bagian dari mereka,
tak secuil pun yang akan menjadi milikku? Jadi, setelah aku berikan seluruh jiwa dan
ragaku kepada Pandawa tanpa secuil pun yang jadi milikku, aku jadi bertanya-tanya,
"Siapakah diriku?"
Suara kemarahan dan gugatan drupadi terhadap ketidakadilan dan arti keberadaan
perempuan dalam kehidupan merupakan tema besar cerita ini. Judul “baju” merupakan
simbol ungkapan sinis dan paradok terhadap kenyataan bahwa baju sebagai cerminan
status sosial dan penjaga kehormatan tubuh untuk wanita tidak berarti apa-apa dibawah
aturan main dan hukum yang ditetapkan para lelaki.
Alur atau rangkaian peristiwa dalam cerita ini tidak dibangun berdasarkan urutan
kejadian atau urutan temporal tetapi menggunakan alur (plot) regresif yaitu menggunakan
teknik sorot balik (flash back). Peralihan dari peristiwa satu ke peristiwa lainnya ditandai
dengan gaya penuturan dari aku (drupadi) sebagai tokoh utama dalam melihat suatu
masalah. Praktisnya, peralihan ini ditandai oleh tanda tiga bintang (***) untuk setiap
pergantian peristiwa. Teknik penceritaan ini berhasil untuk memperkuat curahan hati dan
pikiran drupadi yang dilanda kemarahan. Kekacauan dan riuhnya suasana peristiwa yang
merupakan latar peristiwa cerita ini juga cukup terbangun dengan teknik regeresif dan
flash back seperti ini.
III. Kesimpulan
Cerita pendek ini dibangun dengan unsur-unsur yang membuat tema cerita menjadi
menonjol dan kuat. yaitu suara kemarahan, kekecewaan dan gugatan istri terhadap para
suami akibat perlakuan sewenang-wenang dan tidak yang diterima dan pertanyaan
tentang arti keberadaan perempuan dalam kehidupan.
Mengingat analisa teks ini dilakukan dengan pendekatan objektif sehingga cukup sulit
untuk menghindari analisa yang bebas dari pengaruh memori lama mengenai legenda
pandawa-kurawa yang sudah lebih dulu dikenal dan tertanam dalam memori pikiran.
Daftar Pustaka