Hasbullah 2010. Moderasi Beragama 1
Hasbullah 2010. Moderasi Beragama 1
Hasbullah 2010. Moderasi Beragama 1
Oleh : Hasbullah
Abstract:
Confession to religion pluralism in a social community promise placing
forward of principle of inclusive - a principle majoring accomodation and
non conflict - among them. Because, basically the each religion have various
claim of truth of which wish to be upheld to continue, while heterogeneous
proven existing society reality culturally and is religion. Tradition differ
opinion among people, if managed better will yield something that very
useful. With different idea tradition, we becoming not easy to feel most real
correct by self. At different idea tradition which finish of a dialogued, there
is a nuance each other criticizing of each weakness utilize improve it later
on day. Governmental and Indonesia society have to will esteem and
execute principle of pluralism religious and latitudinarian. Its problem,
confession and freedom of diversity represent very potency good to
awakening this country from tyranny a group of rampant corruption and
people. Freedom principle, equation, and social justice must be upheld is
abysmal of faction partitions, religion, and religious understanding.
Pendahuluan
Sebagai negara yang majemuk Indonesia sudah tidak diragukan lagi jika
dalam persoalan keberagaman suku, ras, bahasa dan agama yang bersatu dalam
semboyan bhineka tunggal ika. Keberagaman (multikultural) ini merupakan peristiwa
alami karena bertemunya berbagai budaya. Interaksi berbagai individu dan
kelompok dengan membawa perilaku budaya masing-masing sehingga memiliki
cara hidup berlainan dan spesifik.
Berkaitan dengan hubungan beragama nenek moyang bangsa Indonesia
mewariskan semangat toleransi penuh kedamaian serta mengakui pluralisme
keberagaman. Hal ini menjadi akar historis yang membentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Pancasila sebagai titik temu peradaban Indonesia serta
keberagaman budaya (Culture) dan kearifan lokal.
Tak jarang perbedaan pandangan dalam agama terjadi akibat gesekan dan
difraksi perbedaan cara pandang beragama. Terlebih adanya truth claim dari
seseorang yang merasa paling benar, sehingga seringkali memperlihatkan wajah
yang terkesan kurang bersahaja dan berkerahmatan. Sehingga, bangsa dapat
tertimpa permasalahan yang menyangkut kemasyarakatan beragama berbentuk
konflik sosial (Islam, 2020).
Salah satu konflik sosial berkedok agama seperti pada 17 Juli 2015 saat
masjid di Tilikara, Papua dibakar oleh sekelompok Pemuda Gereja Injil di Indonesia
(GIDI) atau tiga bulan setelahnya terjadi di kabupaten Singkil, Nanggroe Aceh
Darusslam diamana dua gereja di hancurkan dan dibakar oleh sekelompok muslim
(Islam, 2020). Peristiwa tersebut merupakan contoh dari isu pluralitas agama di
Indonesia, dimana hal itu merupakan sikap intoleransi terhadap kelompok agama
lainnya.
dalam konsensus tujuan hidup bersama dengan jaminan tak akan ada negasi terhadap
salah satu unsur. Ketika terjadi pengingkaran terhadap salah satu unsur,
“pemberontakan nilai” akan terlihat lewat berbagai ekspresi yang fenomenannya kini
nampak di Indoensia.
Pluralitas agama sebenarnya bukan fenomena baru bagi bangsa Indonesia.
Selama Orde Baru saja, secara de jure diakui oleh pemerintah eksistensi lima agama
dan bahkan puluhan, atau bahkan mungkin ratusan aliran kepercayaan 3. Setiap
penduduk Indonesia menghadapi kenyataan pluralitas agama dalam kehidupan
sehari-hari. Bertetangga, bekerja, dan bersekolah dengan orang yang berlainan agama
adalah suatu kenyataan yang dengan mudah ditemui dalam aktivitas kehidupan
keseharian. Pluralitas agama telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari apa
artinya menjadi penduduk atau bangsa Indonesia. Menyangkal kenyataan ini adalah
sebuah kenaifan atau bertentangan dengan sunnatullah.
Pluralitas agama menyimpan potensi sekaligus bahaya tersendiri.
Kemajemukan agama itu bisa menjadi potensi yang kuat (integrasi), apabila
kemajemukan tersebut dihargai dan diterima dengan bijaksana oleh segenap unsur
masyarakat yang ada. Apabila hal ini terjadi, maka akan terbentuk sebuah mozaik
kehidupan yang indah dan nyaman untuk dinikmati. Di sisi lain, kemajemukan itu
menyimpan potensi untuk menimbulkan masalah yang besar (konflik). Perberdaan-
perbedaan ajaran agama, apabila tidak ditanggapi dengan bijaksana, maka dapat
memicu sebuah pertikaian yang mendalam dan meluas. Tampaknya itu yang telah dan
sedang terjadi pada bangsa ini. Berbagai konflik sosial yang bernuansa agama telah
meletus di beberapa wilayah di tanah air yang tentu saja berdampak pada integrasi
bangsa4.
Mengingat pluralitas agama merupakan keniscayaan sosiologis, maka perlu
ditingkatkan kedewasaan dalam menerima perbedaan dan memperluas wawasan
paham keagamaan, agar perbedaan yang ada bukannya menambah potensi konflik
melainkan menjadikan pluralitas sebagai aset budaya dan politik5. Dalam
pembangunan bidang politik, mestinya tokoh-tokoh agama berdiri paling depan
dalam memperjuangkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia, karena mereka paling
sadar akan hakikat kemanusiaan dan paling siap menerima perbedaan. Sayangnya,
kadangkala agama, baik tokoh dan lembaganya, terperangkap pada kecenderungan
sikap eksklusif sehingga akhirnya mereka bukannya sebagai problem solver, tetapi
sebagai problem maker.
�
"Dan bagi tiap-
tiap umat Telah kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka
menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang Telah direzkikan Allah
kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, Karena itu
berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-
orang yang tunduk patuh (kepada Allah)".
"Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah
berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui".
Kesimpulan
Pada dasarnya, pluralisme adalah sebuah pengakuan akan hukum Tuhan yang
menciptakan manusia yang tidak hanya terdiri dari satu kelompok, suku, warna kulit,
dan agama saja. Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar mereka bisa saling
belajar, bergaul, dan membantu antara satu dan lainnya. Pluralisme mengakui
perbedaan-perbedaan itu sebagai sebuah realitas yang pasti ada di mana saja. Justru,
dengan pluralisme itu akan tergali berbagai komitmen bersama untuk
memperjuangkan sesuatu yang melampaui kepentingan kelompok dan agamanya.
Kepentingan itu antara lain adalah perjuangan keadilan, kemanusiaan, pengentasan
kemiskinan, dan kemajuan pendidikan. Maka, pendefinisian pluralisme sebagai
sebuah relativisme adalah sebuah kesalahan yang fatal. Sebab, pluralisme sendiri
mengakui adanya tradisi iman dan keberagamaan yang berbeda antara satu agama
dengan agama lainnya.
Pluralisme tidaklah dapat hanya dipahami dengan mengatakan bahwa
masyarakat adalah majemuk, penuh dengan keanekaragaman dan terdiri dari banyak
nilai-nilai, yang tentu saja akan mendorong kita untuk menangkap kesan fragmentasi
yang kental. Tetapi pluralisme juga tidak bisa dipahami hanya sekedar sebuah
“Kebaikan Negatif” belaka, yang mencoba menyingkirkan fanatisme dan ortodoksi
yang lainnya. Dan karenanya pluralisme harus dipahami sebagai jalan hidup yang
memaknai sebuah pertalian sejati keberagamaan dalam suatu peradaban. Yang
tentunya berakhir pada jalan keselamatan bersama umat manusia, dengan
mendasarkan dirinya pada persaudaraan, kesetaraan, pengawasan dan perimbangan
guna memelihara keutuhan peradaban manusia. Oleh karena itu, pluralisme
menginginkan keharmonisan dari interaksi yang dibangun di atas landasan keragaman
dan perbedaan dengan meminimalisir konflik. Karena adanya perbedaan agama-
agama, maka pluralisme lebih mencoba untuk menekankan pentingnya mengelola
berbagai perbedaan tersebut. Sebab apabila perbedaan itu tidak dapat dikelola, akan
melahirkan konflik yang berasal dari berbagai kesalahpahaman antar manusia.
Sebagaimana diyakini bahwa hukum keseimbangan antar manusia adalah sebuah
anugerah Tuhan yang paling besar sehingga mampu menghindarkan alam semesta
dari kehancurannya. Merupakan suatu keharusan untuk dapat mempertahankan
potensi-potensi pada seluruh umat manusia dengan seimbang dan serasi serta
menjamin kebebasan beragama bagi setiap manusia. Jalan keselamatan ada pada tiap-
tiap agama, karena agama manapun pasti mempercayai adanya Tuhan dan kehidupan
setelah kematian serta sama-sama ingin mencari kebaikan dan keselamatan di
dalamnya.
Catatan Akhir:
1
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 27-40.
2
Heru Nugroho, “Konstruksi SARA, Kemajemukan dan Demokrasi” dalam Jurnal
UNISIA No. 40/XXII/IV. (Yogyakarta : UII, 1999), hlm. 129.
3
Robert Hardaniwarya, Dialog Umat Kristiani dengan Umat Pluri-Agama/Kepercayaan
di Nusantara, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 27-45.
4
Beberapa contoh dari pertikaian yang bernuansa religius di tanah air dasawarsa terakhir
ini dapat dilihat dalam Moh. Soleh Isre (ed.), Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer,
(Jakarta: Depag RI., 2003).
5
Nurcholish Madjid, "Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan
Kemungkinan", Pengantar dalam Ahmad Baso, Civil Society Versus Masyarakat Madani,
(Bandung: Pustaka Hidayah 1999), hlm. 23-24.
6
H.A. Mukti Ali, Alam Pemikiran Modern di Indonesia, (Yogyakarta : Yayasan
“NIDA, 1971), hlm 14; Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 5.
7
I Victor Tanja, Pluralisme Agama dan Problema Sosial, (Cides, Jakarta, 1998), hlm.
xix-xx.
8
Amy L. Freedman, “The Effect of Government Policy and Institutions on Chinese
Overseas Acculturation: The Case of Malaysia.” Journal of Modern Asian Studies. Volume 35
Number (2001), hlm. 441-440.
9
Fazlur Rahman menunjukkan misintepretasi yang dilakukan oleh para mufassir klasik
ketika memahami kandungan makna esensial dari al-Qur’an, 2: 62 dan 5: 48. Mayoritas para
mufassir dengan sia-sia berusaha menolak maksud yang jelas, yang dinyatakan dalam dua ayat al-
Qur’an tersebut, bahwa mereka yang beriman, dari kaum apapun, yang percaya kepada Allah dan
hari akhirat serta melakukan kebajikan akan memperoleh keselamatan. Para mufassir itu
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang Yahudi, Nasrani dan Sabi’in dalam ayat
tersebut adalah mereka yang telah menjadi Muslim. Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur'an
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 233-245.
10
Menurut Rahman, logika di balik pengakuan kebaikan universal dan kesempatan yang
sama dalam meraih surga Tuhan bagi agama selain Islam, sepanjang mereka memegang teguh ide
keselamatan tersebut, memposisikan umat Islam pada kesejajaran dengan umat lain dalam
mencapai kebenaran. Bagi Rahman, kaum Muslim bukanlah satu-satunya dari sekian banyak
kompetitor yang berlomba dalam mencapai kebenaran. Ibid., hlm. 239-240.
11
Pada ayat ini, Asad menafsirkan secara harfiah, ungkapan shir’ah berarti jalan ke
tempat pengairan. Hal ini digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa sistem hukum
dibutuhkan bagi keselamatan masyarakat. Istilan minhaj merupakan jalan terbuka, sebagai jalan
hidup. Dalam maknanya, kedua istilah tersebut lebih terbatas daripada istilah din, yang
mengandung arti tidak hanya terdiri dari hukum-hukum yang berkaitan dengan fakta agama,
tetapi juga dasar tentang kebenaran spiritual yang tidak berubah, yang menurut al-Qur’an telah
diajarkan oleh setiap rasul Allah, disebarkan dan direkomendasikan kepada umatnya, dengan
keragaman yang sesuai dengan urgensi waktu dan setiap perkembangan budaya masyarakat. Salah
satu tema terpenting dari doktrin Islam adalah kontinuitas historis yang berkaitan dengan berbagai
bentuk dan fase kewahyuan Ilahi. Kontinuitas dimaksud juga menyangkut esensi dari semua ajaran
agama yang identik. Dengan kata lain semua agama memproklamirkan kepercayaan yang sama.
Muhammad Asad, The Message of the Quran, (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), hlm. 167-168.
12
Issa J. Boullata, “Fa-stabiqu al-Khayrat: A Quranic Principle of Interfaith”, dalam
Yvonne Haddad dan Wadi Z. Haddad (eds.), Christian-Muslim Encounters, (Gainesville:
University of Florida Press, 1995), hlm. 43-53.
13
Nurcholis Madjid, “Dialog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme Islam,”
dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF. (eds.), Passing Over: Melintas Batas Agama,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 5-20. Lihat juga M. Ilham Masykuri Hamdie,
Pluralisme Agama Menuju Dialog Antar Agama (Telaah Dimensi Sufistik Pemikiran Nurcholish
Madjid), (Banjarmasin: Antasari Press, 2006).
14
Fritjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-Agama (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1987).
15
Th. Sumartana, “Demokrasi dalam Kehidupan Beragama” dalam Jurnal UNISIA, NO.
34, (Yogyakarta: UII, 1999), hlm. 23.
16
Amin Abdullah, Op. Cit., hlm. 6.
17
Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, (Jakarta: Rajawali Press, 1992),
hlm. 42-43.
18
Barbara Hargrove, The Sociology of Religion; Classical and Contemporary
Approaches, (Illinois: Harlan Davidson, 1979), hlm. 137.
19
Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: Rajawali Press,
1990), hlm. 139.
20
Dalam Syamsul Arifin, “Beragama Untuk Konflik ? dalam Republika, 9 Januari 1999.
21
Syamsul Arifin, "Konstruksi Wacana Pluralisme Agama di Indonesia", Internet, 4
Januari 2010.
22
Ibid.
23
Budhi Munawar Rachman, "Pluralisme dan Inklusivisme dalam Wacana
Keberagamaan: Upaya Mencegah Konflik Antaragama", dalam Syifaul, dkk (eds.), Melawan
Kekerasan Tanpa Kekerasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
24
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, (Yogyakarta: SI.
Press, 1994), hlm. 33.
25
Th. Sumartana, Op. Cit., hlm. 130-131.
26
Dalam Syamsul Arifin, Op. Cit.
27
Sudirman Tebba, Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1993).
28
Tobroni dan Syamsul Arifin, Op. Cit. hlm. 34-35.
29
Harold Coward, Pluralisme Tantangan Agama-Agama, (Yogyakarta : Kanisius, 1989).
30
Budhi Munawar Rachman, "Pluralisme dan Inklusivisme dalam Wacana
Keberagamaan: Upaya Mencegah Konflik Antaragama", dalam Syifaul, dkk (eds.), Melawan
Kekerasan Tanpa Kekerasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 109-110.
BIOGRAFI PENULIS