Laporan Pendahuluan App

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN APPENDISITIS DI RUANGAN MAWAR


RUMAH SAKIT TK II PELAMONIA KOTA MAKASSAR

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas


Stase Keperawatan Medikal Bedah 1I

OLEH :

HARDIANTI
14420221006

Preeceptor Lahan Preeceptor Institusi

(…………………) (…………………)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2022
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP MEDIS

1. Definisi

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis,

dengan mula gejala akut yang ditandai adanya nyeri pada kuadran abdomen

kanan bagian bawah, nyeri lepas alih, spasme otot diatasnya, dan

hiperestesia kulit, yang apabila sudah kronik maka akan ditandai adanya

penebalan fibrotik dinding organ apendiks vermiformis tersebut, apendiks

vermiformis memiliki panjang yang bervariasi dari 7 sampai 15 cm.

Apendisitis merupakan salah satu kasus tersering dalam bidang bedah

abdomen yang menyebabkan nyeri abdomen akut dan memerlukan tindakan

bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya

(Amalina, et al. 2018)

2. Etiologi

Penyebab terjadinya apendisitis dapat terjadi karena adanya makanan

keras yang masuk ke dalam usus buntu dan tidak bisa keluar lagi. Setelah isi

usus tercemar dan usus meradang timbulah kuman-kuman yang dapat

memperparah keadaan tadi.

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteri. berbagai hal sebagai faktor

pencetusnya:

a. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai

faktor pencetus disamping hyperplasia jaringan limfe, tumor apendiks

dan cacing askaris.


b. Penyebab lain penyebab apendiks karena parasit seperti E. hystolitica.

c. Penelitian Epidemiologi mengatakan peran kebiasaan makan makanan

yang rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya

apendisitis. Konstipasi akan menarik bagian intrasekal, yang berakibat

timbulnya tekanan intrasekal dan terjadi penyumbatan sehingga

meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon (R Tsamsuhidajat &

Wim De jong, 2010).

Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada

factor prediposisi yaitu:

a. Factor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya

obstruksi ini terjadi karena:

1) Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab

terbanyak.

2) Adanya fekolit dalam lumen appendiks

3) Adanya benda asing seperti biji-bijian

4) Striktur lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.

b. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan

Streptococcus..

c. Tergantung pada bentuk apendiks:

1) Appendiks yang terlalu panjang

2) Massa appendiks yang pendek

3) Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks

4) Kelainan katup di pangkal appendiks (Krismanuel, H., 2012).


Jadi, berdasarkan referensi diatas yang menyebabkan terjadinya apendisitis

yaitu disebabkan oleh adanya obstruksi yang diakibatkan juga karena gaya

hidup manusia yang kurang dalam mengkomsumsi makanan tinggi serat

3. Patofisiologi

Apendik belum diketahui fungsinya dan merupakan bagian dari sekum.

Penyebab utama apendisitis adalah obstruksi penyumbatan yang dapat

disebabkan oleh hyperplasia dari folikel limfoid merupakan penyebab

terbanyak, adanya fekalit dalam lumen apendiks. Adanya benda asing

seperti cacing, striktura karena akibat peradangan sebelumnya, sebab lain

misalnya keganasan (karsinoma karsinoid).

Obstruksi apendiks itu menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa

terbendung, makin lama mucus yang terbendung makin banyak dan

menekan dinding apendiks oedem serta merangsang tunika serosa

peritonium visceral. Oleh karena itu persyarafan apendiks sama dengan usus

yaitu torakal X maka rangsangan itu dirasakan sebagai rasa sakit disekitar

umbilicus.

Mucus yang terkumpul itu lalu terinfeksi oleh bakteri menjadi nanah

kemudian timbul gangguan aliran vena, sedangkan arteri belum terganggu,

peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium parietal setempat,

sehingga menimbulkan rasa sakit dikanan bawah abdomen, keadaan ini

disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian arteri terganggu

maka timbul allergen dan ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila

dinding apendik akut itu telah pecah, dinamakan apendisitis perforasi.


Bila omentum usus yang berdekatan dapat mengelilingi apendik yang

meradang atau perforasi akan timbul suatu masa lokal, keadaan ini disebut

sebagai apendisitis abses (Dermawan & Rahayuningsih, 2017). Jadi dapat

disimpulkan, peradangan pada apendik dapat terjadi oleh adanya ulserasi

dinding mukosa atau obstruksi lumen (biasanya oleh fecalit / feses yang

keras). Penyumbatan pengeluaran secret mucus mengakibatkan

perlengketan, infeksi dan terhambatnya aliran darah. Dari keadaan hipoksia

menyebabkan gangren atau dapat terjadi ruptur dan pecah dalam waktu 24 –

36 jam. Bila proses ini berlangsung secara terus – menerus maka organ

disekitar dinding apendik terjadi perlengketan dan akan menjadi abses

(kronik). Apabila proses infeksi sangat cepat (akut) dapat menyebabkan

peritonitis. Peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius. Infeksi

kronis dapat terjadi pada apendik, tetapi hal ini tidak selalu menimbulkan

nyeri didaerah abdomen.

4. Manifestasi Klinik

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah

nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrum di sekitar umbilikus atau

periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan

terkadang muntah, dan pada umunya nafsu makan menurun. Kemudian

dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik

Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga

merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan

adanya nyeri di daerah epigastrum, tetapi terdapat konstipasi sehingga


penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap

berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang

apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5-38,5º C

5. Pathway

6. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada klien apendisitis menruut Dermawan

dan Rahayu (2010) adalah sebagai berikut.


a. Perforasi apendisitis Perforasi jaringan terjadi dalam 8 jam

pertama,observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut. Tanda-

tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut

kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang

jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses

telah terjadi sejak pasien pertama kali datang, diagnosis dapat

ditegakkan dengan pasti.

b. Peritonitis Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan

adalah operasi untuk menutup asal perforasi. Bila berbentuk abses

apendik akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung

menggelembung kearah rectum atau vagina. Peritonitis merupakan

peradangan peritonium (lapisan membrane serosa rongga abdomen) dan

organ didalamnya. Tanda – tanda dari peritonitis yaitu:

1) Nyeri pada abdomen yang hebat

2) Dinding perutterasa tegang

3) Demam tinggi

c. Dehidrasi

d. Sepsis

e. Eleketrolit darah tidak seimbang

7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaaan penunjang pada apendisitis adalah sebagai berikut.

Pemeriksaan fisik (Huda & Kusuma, 2015).

a. Inspeksi tampak adanya pembengkakan (swelling) rongga perut


dimana dinding perut tampak mengencang.

b. Palpasi Didaerah perut kanan bawah jika ditekan akan terasa nyeri

dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri yang mana

merupakan kunci dari apendik akut.

c. Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat atau tungkai

diangkat tinggi-tinggi, maka terasa nyeri prut semakin parah.

d. Pada apendisitis terletak pada retro sekal maka uji psoas akan positif

dan tanda perangsangan peritonium tidak begitu jelas, sedangkan

bila apendik terletak di rongga pelvis maka obturator sign akan

positif dan tanda perangsangan peritonium akan lebih menonjol.

e. Pemeriksaan laboratorium

f. Kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga sekitar 10.000-

18.000/mm3. Jika terjadi peningkatan yang lebih dari itu maka

kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi (pecah).

g. Pemeriksaan radiologi

1) Tampak distensi sekum pada apendisitis akut

2) USG: menunjukan densitas kuadran kanan bawah atau kadar

aliran udara terlokalisasi

3) Kasus kronik dapat dilakukan rontgen foto abdomen dan

apendikogram.

8. Penatalaksanaan

Keterlambatan dalam tatalaksana dapat memperparah perforasi.

Tatalaksana yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut


a. Sebelum operasi

1) Observasi Setelah munculnya keluhan dalam 8-12 jam perlu

diobservasi ketat karena tanda dan gejala apendisitis belum jelas.

Pasien diminta tirah baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh

diberikan bila dicurigai adanya apendisitis. Diagnosis ditegakkan

dengan lokasi nyeri pada kuadran kanan bawah setelah timbulnya

keluhan

2) Antibiotik Apendisitis ganggrenosa atau apendisitis perforasi

memerlukan antibiotik, kecuali apendisitis tanpa komplikasi tidak

memerlukan antibiotik. Penundaan tindakan bedah sambil

memberikn antibiotik dapat engakibatkan abses atau perforasi.

b. Operasi

Menurut (Brunner & Suddarth, 2010) Operasi atau pembedahan

untuk mengangkat apendiks yaitu apendiktomi. Apendiktomi harus

segera dilakukan untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi

dapat dilakukan dibawah anestesi umum dengan pembedahan abdomen

bawah atau laparoskopi. Apendiktomi dapat dilakukan dengan

menggunakan dua metode pembedahan, yaitu secara teknik terbuka

(pembedahan konvensional laparatomi) atau dengan teknik laparoskopi

yang merupakan teknik pembedahan minimal invasive dengan metode

terbaru yang sangat efektif. Menurut (Brunner & Suddarth, 2010),

laparatomi adalah prosedur vertical pada dinding perut kedalam rongga

perut. Prosedur ini memungkinkan dokter melihat dan merasakan organ


dalam untuk menegakkan diagnosa. Laparatomi dilakukan apabila

terjadi masalah kesehatan yang berat pada area abdomen. Bila pasien

mengeluh nyeri hebat dan gejala-gejala lain dari masalah internal yang

serius dan kemungkinan penyebabnya tidak terlihat seperti usus buntu.

Laparatomi dapat berkembang menjadi pembedahan yang besar diikuti

oleh transfusi darah dan perawatan intensif .

c. Setelah operasi

Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya

perdarahan didalam, hipertermia, syok atau gangguan pernafasan.

Baringkan pasien dalam posisi semi fowler. Pasien dikatakan baik

apabila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama itu pasien

dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal. Satu hari setelah

dilakukan operasi pasien dianjurkan duduk tegak ditempat tidur selama

2 x 30 menit. Hari kedua dapat dianjurkan untuk duduk. Hari ketujuh

dapat diperbolehkan pulang (Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran,

2012).

9. Prognosis

Prognosis appendicitis umumnya baik. Komplikasi yang paling sering

terjadi pasca apendektomi pada pasien appendicitis perforasi adalah infeksi

tempat pembedahan, seperti infeksi luka atau abses panggul. Resolusi

spontan pada appendicitis yang terkonfirmasi pencitraan juga pernah

dilaporkan. Apendektomi merupakan prosedur pembedahan yang tergolong

cukup aman. Mortalitas dan morbiditas dipengaruhi oleh tingkat keparahan


penyakit dan ada atau tidaknya perforasi. Komplikasi yang paling umum

setelah appendicitis adalah infeksi situs bedah. Infeksi luka dan abses

panggul yang dilaporkan adalah 3-10%. Keduanya biasanya terjadi pada

pasien dengan appendicitis perforasi dan sangat jarang pada mereka dengan

appendicitis sederhana. Penggunaan antibiotik perioperatif telah terbukti

dapat menurunkan tingkat infeksi luka pasca operasi.

Resolusi spontan appendicitis yang dikonfirmasi secara radiologis telah

dilaporkan berkisar 4% hingga 20%. Namun, resolusi spontan dan risiko

rekurensi appendicitis tetap menjadi isu yang diperdebatkan di antara ahli

bedah. Perawatan standar saat ini untuk appendicitis adalah apendektomi

untuk mencegah potensi komplikasi appendicitis yang tidak diobati. Terapi

konservatif dengan pemberian antibiotik tanpa intervensi bedah dapat

dipertimbangkan pada pasien yang tidak dapat menjalani atau menolak

pembedahan.
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian keperawatan

a. Data demografi Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status

perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor

register.

b. Riwayat kesehatan

1) Keluhan utama : Nyeri pada daerah abdomen kanan bawah.

2) Riwayat kesehatan sekarang

Klien mengatakan nyeri pada daerah abdomen kanan bawah yang

menembus kebelakang sampai pada punggung dan mengalami demam

tinggi

3) Riwayat kesehatan dahulu Apakah klien pernah mengalami operasi

sebelumnya pada colon.

4) Riwayat kesehatan keluarga Apakah anggota keluarga ada yang

mengalami jenis penyakit yang sama.

c. Pemeriksaan fisik

1) Kedaan umum : kesadaran composmentis, wajah tampak menyeringai,

konjungtiva anemis.

2) Sistem kardiovaskuler : ada distensi vena jugularis, pucat, edema, TD

>110/70mmHg; hipertermi.
3) Sistem respirasi : frekuensi nafas normal (16-20x/menit), dada

simetris, ada tidaknya sumbatan jalan nafas, tidak ada gerakan cuping

hidung, tidak terpasang O2, tidak ada ronchi, whezing, stridor.

4) Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang merupakan

tanda adanya infeksi dan pendarahan.

5) Sistem urogenital : ada ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit

pinggang serta tidak bisa mengeluarkan urin secara lancer.

6) Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan dalam pergerakkan karena

proses perjalanan penyakit.

7) Sistem Integumen : terdapat oedema, turgor kulit menurun, sianosis,

pucat.

8) Abdomen : terdapat nyeri lepas, peristaltik pada usus ditandai dengan

distensi abdomen.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai respon klien

terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik

yang berlangsung aktual maupun potensial (PPNI, 2017). Berdasarkan pada

semua data pengkajian diagnosa keperawatan utama yang dapat muncul

antara lain :

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologi (inflamasi

appendicitis).(D.0077)

b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik(Prosedur oprasi).

(D.0077)
c. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (Infeksi pada

appendicitis). (D.0130)

d. Risiko Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan secara aktif

(muntah). (D.0034)

e. Resiko hipovolemia ditandai dengan efek agen farmakologis (D.0034)

f. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi (D.0080)

g. Resiko Infeksi ditandai dengan efek prosedur infasive (D.0142).

h. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan


3. Intervensi (Perencanaan Keperawatan)
a. Pre Operatif
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen nyeri (I.08238).
dengan agen pencedera diharapkan tingkat nyeri (L.08066) dapat Observasi :
fisiologi (inflamasi menurun dengan Kriteria Hasil : 1. Identifikasi lokasi , karakteristik, durasi,
appendicitis).(D.0077) 1. Keluhan nyeri menurun. frekuensi, kulaitas nyeri, skala nyeri,
2. Meringis menurun intensitas nyeri
3. Sikap protektif menurun. 2. Identifikasi respon nyeri non verbal.
4. Gelisah menurun 3. Identivikasi factor yang memperberat dan
memperingan nyeri.
Terapeutik :
4. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
5. Fasilitasi istirahat dan tidur.
6. Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri.
Edukasi :
7. Jelaskan strategi meredakan nyeri
8. Ajarkan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri .
Kolaborasi :
9. Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu
2. Hipertermia berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen hipertermia (I.15506).
dengan proses penyakit diharapkan termoregulasi (L.14134) membaik Observasi :
(Infeksi pada appendicitis). dengan Kriteria Hasil : 1. Identifikasi penyebab hipertermia.
(D.0130) 1. Menggigil menurun. 2. Monitor suhu tubuh.
2. Takikardi menurun. 3. Monitor haluaran urine.
3. Suhu tubuh membaik. Terapeutik :
4. Suhu kulit membaik. 4. Sediakan lingkungan yang dingin.
5. Longgarkan atau lepaskan pakaian.
6. Berikan cairan oral
Edukasi :
7. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
8. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu
3. Risiko Hipovolemia Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen hypovolemia (I.03116).
berhubungan dengan Status cairan (L.0328) membaik dengan Observasi :
kehilangan cairan secara Kriteria Hasil : 1. Periksa tanda dan gejala hipovolemia.
aktif (muntah). (D.0034) 1. Kekuatan nadi meningkat. 2. Monitor intake dan output cairan.
2. Membrane mukosa lembap. Terapeutik :
3. Frekuensi nadi membaik. 3. Berikan asupan cairan oral
4. Tekanan darah membaik. Edukasi :
5. Turgor kulit membaik. 4. Anjurkan memperbanyak asupan cairan
oral.
5. Anjurkan menghindari perubahan posisi
mendadak.
Kolaborasi :
6. Kolaborasi peberian cairan IV
4. Ansietas berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Reduksi ansietas (I.09314).
dengan kurang terpapar tingkat ansietas (L.01006) menurun dengan Observasi :
informasi (D.0080) Kriteria Hasil 1. Identivikasi saat tingkat ansietas berubah.
1. Verbalisasi kebingungan menurun. 2. Monitor tanda tanda ansietas verbal non
2. Verbalisasi khawatir akibat menurun. verbal.
3. Prilaku gelisah menurun. 3. Temani klien untuk mengurangi
4. Prilaku tegang menurun. kecemasan jika perlu.
4. Dengarkan dengan penuh perhatian.
5. Gunakan pendekatan yang tenang dan
meyakinkan.
6. Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang
mungkin dialami.
7. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama
klien, jika perlu.
8. Anjurkan mengungkapkan perasaan dan
persepsi.
9. Latih teknik relaksasi.
10. Kolaborasi pemberian obat
antiansietas jika perlu.

b. Post Operatif
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen nyeri (I.08238)
dengan agen pencedera tingkat nyeri (L.08066) menurun dengan Observasi :
fisik(Prosedur operasi). Kriteria Hasil : 1. Identifikasi lokasi , karakteristik,
(D.0077) 1. Keluhan nyeri menurun. durasi,frekuensi, kulaitas nyeri, intensitas
2. Meringis menurun. nyeri, skala nyeri.
3. Sikap protektif menurun. 2. Identifikasi respon nyeri non verbal.
4. Gelisah menurun. 3. Identivikasi factor yang memperberat dan
5. Frekuensi nadi membaik. memperingan nyeri.
Terapeutik :
4. Berikan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
5. Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri.
6. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri.
Edukasi :
7. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri.
8. Jelaskan strategi meredakan nyeri
9. Ajarkan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi
10. Kolaborasi pemberian analgetik bila
perlu.
2. Risiko hipovolemia ditandai Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen hypovolemia (I.03116).
dengan efek agen Status cairan (L.0328) membaik dengan Observasi :
farmakologis (D.0034) Kriteria Hasil : 7. Periksa tanda dan gejala hipovolemia.
6. Kekuatan nadi meningkat. 8. Monitor intake dan output cairan.
7. Membrane mukosa lembap. Terapeutik :
8. Frekuensi nadi membaik. 9. Berikan asupan cairan oral
9. Tekanan darah membaik. Edukasi :
10.Turgor kulit membaik. 10. Anjurkan
memperbanyak asupan cairan oral.
11. Anjurkan menghindari
perubahan posisi mendadak.
Kolaborasi :
12. Kolaborasi peberian
cairan IV
3. Risiko Infeksi ditandai Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pencegahan infeksi (I.14539)
dengan efek prosedur tingkat infeksi (L.14137) dengan Kriteria Observasi :
infasive (D.0142). Hasil : 1. Monitor tanda dan gejala infeksi local dan
1. Kebersihan tangan meningkat. sistemik.
2. Kebersihan badan meningkat. 2. Berikan perawatan kuli pada area edema.
3. Demam, kemerahan, nyeri, bengkak 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
menurun. dengan klien dan lingkungan klien.
4. Kadar sel darah putih meningkat. 4. Pertahankan teknik aseptic pada klien
beresiko tinggi.
Edukasi :
5. Jelaskan tanda dan gejala infeksi.
6. Ajarkan cara mencuci tangan dengan
benar.

4. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Identifikasi defisit tingkat aktivitas
berhubungan dengan diharapkan intoleransi aktivitas meningkat 2. Identifikasi tanda-tanda vital
kelemahan dengan kriteria hasil: Tingkat keletihan 3. sediakan lingkungan yang nyaman dan
(L.05046) Kriteria Hasil : aman
1. Kemampuan melakukan aktivitas rutin 4. fasilitasi duduk disisi tempat tidur,jika
meningkat tidak dapat berpindah atau berjalan
2. motivasi meningkat 5. anjurkan posisi nyaman
3. Verbalisasi lelah meningkat 6. anjurkan menghubungi perawatan jika
tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang
4. Implementasi (pelaksanaan tindakan)

Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana

rencana keperawatan dilaksanakan melaksanakan intervensi/aktivitas yang

telah ditentukan, pada tahap ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi

dan aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan klien. Agar

implementasi perencanaan dapat tepat waktu dan efektif terhadap biaya,

pertama-tama harus mengidentifikasi prioritas perawatan klien, kemudian bila

perawatan telah dilaksanakan, memantau dan mencatat respons klien terhadap

setiap intervensi dan mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedia

perawatan kesehatan lainnya. Kemudian, dengan menggunakan data, dapat

mengevaluasi dan merevisi rencana perawatan dalam tahap proses keperawatan

berikutnya (Wilkinson.M.J, 2012).

5. Evaluasi

Tujuan dari evaluasi adalah untuk mengetahui sejauh mana perawatan

dapat dicapai dan memberikan umpan balik terhadap asuhan keperawatan yang

diberikan (Tarwoto & Wartonah, 2011). Tehnik Pelaksanaan SOAP:

a. S (Subjective) adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari klien

setelah tindakan diberikan.

b. O (Objective) adalah informasi yang didapat berupa hasil pengamatan,

penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan

dilakukan.

c. A (Analisis) adalah membandingkan antara informasi subjective dan

objective dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil kesimpulan


bahwa masalah teratasi, teratasi sebahagian, atau tidak teratasi.

d. P (Planning) adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan

berdasarkan hasil analisa.


DAFTAR PUSTAKA
Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.
Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.

Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius


FKUI

Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second
Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.

NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.

Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner &
suddart. Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC

PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta


Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Wilkinson.M.J. (2012). Rencana Asuhan Keperawatan dan Dokumentasi


Keperawatan : Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai