Tugas Resume Formulasi Kebijakan Publik

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 12

TUGAS RESUME

FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK

MIRAZ TIARA SUNUSI


B10221053

PROGRAM STUDI S2
ADMINISTRASI PUBLIK
KEBIJAKAN PUBLIK DALAM PERSPEKTIF
TEORITIS

A. Konsep Kebijakan Publik

Kebijakan publik (public policy) dalam dimensi proses,


lingkungan kebijakan, hirarki dan aktor kebijakan publik
khususnya dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan
Republik Indonesia, merupakan hal penting untuk diketahui
sebagai pijakan dasar dalam memahami lebih mendalam
terhadap disiplin ilmu tersebut, tak kecuali kebijakan publik
sebagai ilmu yang mesti diketahui sejak awal, khususnya
tentang konsepsi kebijakan publik.

Keban (2004:55) menjelaskan bahwa: “Public Policy dapat dilihat


sebagai konsep filosofis, sebagai suatu produk, sebagai suatu proses,
dan sebagai suatu kerangka kerja. Sebagai suatu konsep filosofis,
kebijakan merupakan serangkaian prinsip, atau kondisi yang diinginkan;
sebagai suatu produk, kebijakan dipandang sebagai serangkaian
kesimpulan atau rekomendasi; dan sebagai suatu proses, kebijakan
dipandang sebagai suatu cara dimana melalui cara tersebut suatu
organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya, yaitu
program dan mekanisme dalam mencapai produknya; dan sebagai
suatu kerangka kerja, kebijakan merupakan suatu proses tawar
menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan metode
implementasinya”.
Setiap produk kebijakan haruslah memperhatikan substansi dari
keadaan sasaran kebijakan, melahirkan sebuah rekomendasi yang
memperhatikan berbagai program yang dapat dijalankan dan
diiimplementasikan sebagaimana tujuan dari kebijakan tersebut. Untuk
melahirkan sebuah produk kebijakan, dapat pula memahami konsepsi
kebijakan menurut Abdul Wahab yang dipertegas oleh Budiman Rusli
(2000:51-52) lebih jauh menjelaskan sebagai berikut:
1. Kebijakan harus dibedakan dari keputusan.Paling tidak ada tiga
perbedaan mendasar antara kebijakan dengan keputusan, yakni : (i)
ruang lingkup kebijakan jauh lebih besar daripada keputusan; (ii)
pemahaman terhadap kebijakan yang lebih besar memerlukan
penelaahan yang mendalam terhadap keputusan; dan (iii) kebijakan
biasanya mencakup upaya penelusuran interaksi yang berlangsung
diantara begitu banyak individu, kelompok dan organisasi.
2. Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari
Administrasi.Perbedaan antara kebijakan dengan administrasi
mencerminkan pandangan klasik. Pandangan klasik tersebut kini
banyak dikritik, karena model pembuatan kebijakan dari atas
misalnya, semakin lama semakin tidak lazim dalam praktik
pemerintahan sehari-hari. Pada kenyataannya, model pembuatan
kebijakan yang memadukan antara top-down dengan bottom-up
menjadi pilihan yang banyak mendapat perhatian dan pertimbangan
yang realistis.
3. Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari
Administrasi. Langkah pertama dalam menganalisis perkembangan
kebijakan negara ialah melalui perumusan apa yang sebenarnya
diharapkan oleh para pembuat kebijakan. Pada kenyataannya cukup
sulit mencocokkan antara perilaku yang senyatanya dengan harapan
para pembuat keputusan.
4. Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya
tindakan.Perilaku kebijakan mencakup pula kegagalan melakukan
tindakan yang tidak disengaja, serta keputusan untuk tidak berbuat
yang disengaja (deliberate decisions not to act). Ketiadaan keputusan
tersebut meliputi juga keadaan di mana seseorang atau sekelompok
orang yang secara sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja
menciptakan atau memperkokoh kendala agar konflik kebijakan
tidak pernah tersingkap di mata publik.
5. Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai, yang
mungkin sudah dapat diantisipasikan sebelumnya atau mungkin
belum dapat diantisipasikan. Untuk memperoleh pemahaman yang
mendalam mengenai pengertian kebijakan perlu pula kiranya
meneliti dengan cermat baik hasil yang diharapkan ataupun hasil
yang senyatanya dicapai. Hal ini dikarenakan, upaya analisis
kebijakan yang sama sekali mengabaikan hasil yang tidak diharapkan
(unintended results) jelas tidak akan dapat menggambarkan praktik
kebijakan yang sebenarnya.
6. Kebijakan kebanyakan didefinisikan dengan memasukan perlunya
setiap kebijakan melalui tujuan atau sasaran tertentu baik secara
eksplisit ataupun implisit.Umumnya, dalam suatu kebijakan sudah
termaktub tujuan atau sasaran tertentu yang telah ditetapkan jauh
hari sebelumnya, walaupun tujuan dari suatu kebijakan itu dalam
praktiknya mungkin saja berubah atau dilupakan paling tidak secara
sebagian.
7. Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang
waktu. Kebijakan itu sifatnya dinamis, bukan statis. Artinya setelah
kebijakan tertentu dirumuskan, diadopsi, lalu diimplementasikan,
akan memunculkan umpan balik dan seterusnya.
8. Kebijakan meliputi baik hubungan yang bersifat antar organisasi
ataupun yang bersifat intra organisasi.
Pernyataan ini memperjelas perbedaan antara keputusan dan
kebijakan, dalam arti bahwa keputusan mungkin hanya ditetapkan
oleh dan melibatkan suatu organisasi, tetapi kebijakan biasanya
melibatkan berbagai macam aktor dan organisasi yang setiap harus
bekerja sama dalam suatu hubungan yang kompleks.
9. Kebijakan negara menyangkut peran kunci dari lembaga pemerintah,
walaupun tidak secara ekslusif. Terhadap kekaburan antara sektor
publik dengan sektor swasta, disini perlu ditegaskan bahwa
sepanjang keoijakan itu pada saat perumusannya diproses, atau
setidaknya disahkan atau diratifikasi oleh lembaga-lembaga
pemerintah, maka kebijakan tersebut disebut kebijakan negara.
10. Kebijakan dirumuskan atau didefinisikan secara subjektif. Hal ini
berarti pengertian yang termaktub dalam istilah kebijakan seperti
proses kebijakan, aktor kebijakan, tujuan kebijakan serta hasil akhir
suatu kebijakan dipahami secara berbeda oleh orang yang
menilainya, sehingga mungkin saja bagi sementara pihak ada
perbedaan penafsiran mengenai misalnya tujuan yang ingin dicapai
dalam suatu kebijakan dan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan
tersebut.
TINJAUAN ATAS FORMULASI DAN IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PUBLIK

A. Formulasi Kebijakan

Formulasi kebijakan menurut Thomas R.Dye (1995) merupakan


usaha pemerintah melakukan inervensi terhadap kehidupan publik
sebagai solusi terhadap setiap permasalahan di masyarakat. Intervensi
yang dilakukan dapat memaksa publik, karena pemerintah diberi
kewenangan otoritatif.

Kewenangan otoritatif pemerintah itulah yang berdampak pada adanya


produk kebijakan publik yang justru terlahir bukan untuk kepentingan
publik semata, namun terkadang hanya untuk legitimasi kepentingan
kelompok dan golongan tertentu. Begitu banyak kebijakan yang tidak
memecahkan masalah kebijakan, bahkan hanya menciptakan masalah-
masalah baru (new problems). Beberapa contoh kebijakan yang menuai
masalah, kebijakan kenaikan harga BBM pada masa pemerintahan
Megawati, SBY, dan Jokowi termasuk kenaikan tarif dasar listrik,
penghapusan subsidi BBM, dan penghapusan subsidi listrik. Disinilah
diperlukan analisa kebijakan yang tepat, karena sebagian besar
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pasti tidak memuaskan. Akan
tetapi juga kita tidak dapat memungkirinya, bahwa setiap kebijakan
bermuara pada sebuah keputusan, dan setiap keputusanpun bermuara
pada dua hal, yakni: kepuasan dan keputus-asaan publik.
Jika demikian, apa makna analisa kebijakan? Carl W.Patton
menjelaskan bahwa analisa kebijakan adalah tindakan yang diperlukan
untuk dibuatnya sebuah kebijakan, baik kebijakan yang baru sama
sekali, atau kebijakan yang baru sebagai konsekuensi dari kebijakan
yang ada.

Aktivitas analisa kebijakan inilah yang diperankan oleh yang


namanya Analis Kebijakan. Analis kebijakan merupakan profesi yang
sangat dibutuhkan oleh setiap pemimpin publik di berbagai lembaga
administrasi publik, pada setiap jenjang dan level organisasi. Analis
kebijakan bekerja dalam sebuah lingkungan yang serba terbatas: waktu,
informasi, bahkan pengetahuan.

Eksistensi dan peran analis kebijakan tidak lagi dipandang atau


dianggap tidak penting, justru perannya dibutuhkan dalam level dan
stratifikasi kebijakan publik baik secara nasional maupun di daerah.
Analis kebijakan tidak lagi didominasi oleh para Profesor atau akademisi
dari kalangan Perguruan Tinggi, tapi para praktisi kebijakan dari bidang
tugas lainnya turut mewarnai proses kebijakan di Indonesia saat ini.

Formulasi Kebijakan (Policy Formulation) disebut juga sebagai


tahapan yang turut menentukan dari kebijakan publik, dalam tahap
inilah dirumuskan batas-batas kebijakan itu sendiri. Untuk itu, harus
disadari beberapa hal yang hakiki dari kebijakan publik, adalah:
Pertama, bahwa kebijakan publik ditujukan untuk melakukan
intervensi terhadap kehidupan dan kepentingan publik dalam kerangka
meningkatkan kapasitas publik itu sendiri.Karena itu, substansi inti dari
kebijakan publik adalah intervensi.Mengapa demikian? Meskipun
kebijakan publik adalah apa yang dipilih untuk dikerjakan dan tidak
dikerjakan oleh pemerintah, namun sebenarnya yang menjadi focus
adalah apa yang dikerjakan dan diperankan oleh pemerintah karena
bersifat aktif.
Paradigma kegiatan pemerintah bersifat interventif dikenal sejak akhir
tahun 1930-an ketika Keynes memperkenalkan kebijakan pemerintah
untuk mengatasi economic malaise yang dialami oleh Amerika Serikat
di tahun 1932. Kebijakan Keynes pada intinya adalah bahwa
pemerintah harus melakukan intervensi-intervensi melalui kebijakan-
kebijakan publik untuk menjaga kesinambungan kehidupan bersama,
khususnya yang menjadi fokus Keynes dan para pengikutnya dibidang
ekonomi. Oleh karena fokusnya adalah intervensi, maka yang harus
diambil menjadi perhatian dari kebijakan publik adalah kebijakan publik
yang mengarah kepada tindakan-tindakan yang dapat dilakukan pada
wilayah-wilayah yang memang pantas dan dapat di intervensi.
Kedua, keterbatasan kemampuan sumber daya manusia. Tidak
sedikit kebijakan publik yang baik akhirnya tidak dapat dilaksanakan
karena tidak didukung oleh ketersediaan SDM yang memadai.
Ketiga,keterbatasan kelembagaan, sejauhmana kualitas praktek
manajemen profesional dan proporsional di dalam lembaga pemerintah
dan lembaga masyarakat, baik yang bergerak di bidang profit maupun
non-profit. Keempat, adalah keterbatasan yang klasik tetapi tidak kalah
penting, yakni keterbatasan dana atau anggaran. Kebijakan tidak dapat
dilakukan jika tidak ada dana. Dan Kelima, adalah keterbatasan yang
bersifat teknis, yakni berkenaan dengan kemampuan teknis menyusun
kebijakan itu sendiri.
Untuk menghasilkan kebijakan yang efektif, seorang leader harus
memiliki: 1) Power Introspection, melihat secara mendalam keadaan
dan kekuatan serta kewenangan dari pejabat yang akan melaksanakan
kebijakan tersebut, 2) Power Retrospection, melihat hal-hal yang telah
terjadi untuk mempelajari masalah yang identik pada masa lalu, dan 3)
Feasibility, melihat kedepan dan membuat konfigurasi keadaan yang
diinginkan berdasarkan data, konsep serta realita yang ada.

MODEL TBI-Approach DALAM FORMULASI


KEBIJAKAN

Penulis menawarkan model formulasi kebijakan yang disebut


dengan model TBI-Approach, yang dapat diilustrasikan pada gambar
berikut ini:
[T]

Gambar 4.1. Model Formulasi Kebijakan Menurut YK (Model TBI-Approach)

Model TBI-Approach memiliki formula sebagai berikut:


Top Down-Approach + Bottom Up-Approach = Integrated-Approach)

Dimana :
O Top Down-Approach : Pendekatan dari atas ke bawah
O Bottom Up-Approach : Pendekatan dari bawah ke atas
O Integrated-Approach : Pendekatan yang terpadu
TBI-Approach ini sebagai model pendekatan dalam perspektif lokal
ke-Indonesia-an, setelah mengkaji berbagai model formulasi kebijakan,
maka penulis mencoba menawarkan model TBI-Approach ini.
Untuk menghasilkan produk kebijakan publik yang memiliki : (i)
keberterimaan publik, (ii) daya dukung masyarakat, dan (iii)
keberlanjutan yang handal, maka membutuhkan pendekatan yang
terpadu (Integrated-Approach) sebagai upaya mewujudkan : (i)
Sinergisitas, dan (ii) Kemitraan yang bermakna, dan tentunya hal ini
bisa tercapai ketika terjadi pertemuan ideal antara Top Down-Approach
dan Bottom Up-Approach.
a. Dimensi Top Down-Approach
Dalam dimensi ini eksistensi Government (penyelenggara
pemerintahan daerah) yaitu: Eksekutif dan Legislatif, sebagaimana
ditegaskan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 pasal 57 bahwa :
“Penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi dan kabupaten/kota
terdiri atas kepala daerah dan DPRD dibantu oleh Perangkat Daerah”.
Tegaslah, bahwa pemerintah dimaksud disini adalah Kepala Daerah
(Eksekutif) dan DPRD (Legislatif).
Sebagai intitusi yang didalamnya terdapat public figur yang dalam
kapasitas elitnya berada dalam level sebagai Top Leader, yang secara
faktapun sebagai regulator kebijakan, maka tidak dapat dipungkiri
kenyataannya masih terjebak pada pendekatan Top Down (Top
Down-Approach), namun demikian sebagai pemerintah sudah
seharusnya tampil sebagai figur yang memiliki : (i) sikap keteladanan,
(ii) jiwa yang menjunjung tinggi konsistensi,
(iii) komitmen terhadap kepentingan rakyat, dan (iv) Mindset
(perubahan pola pikir yang lebih positif)
b.Dimensi Bottom Up-Approach
Dimensi ini menjelaskan tentang eksistensi dari Private Sector
(kalangan Enterpreneur) dan Civil Society (masyarakat sipil), yang
secara praktik adalah : (i) kalangan perguruan tinggi/akademisi, (ii)
aktivis Non Government Organization atau LSM yang benar-benar
independent dan kredibel, (iii) insan pers, dan (iii) komunitas
masyarakat lainnya.
Dalam kapasitasnya Civil Society bagaimana dapat tergugah dalam
meningkatkan : (i) partisipasi, (ii) sebagai pihak yang selalu berada di
garda terdepan dalam menunjukkan ekspektasi nyata terhadap
kebijakan pemerintah, (iii) yang tidak kalah pentingnya adalah upaya
kalangan Civil Society dalam mempengaruhi kebijakan sekaligus
mendobrak dan melakukan penolakan (resistensi) terhadap setiap
kebijakan publik pemerintah yang tidak berpihak kepada Civil Society,
dan (iv) tingkat pendidikan (edukasi) masyarakat dalam memahami
dan mengetahui betapa pentingnya keterlibatan masyarakat dalam
setiap sendi kehidupan masyarakat.
c. Dimensi Integrated-Approach
Dimensi ini menegaskan bahwa formulasi kebijakan publik untuk
menjadi sebuah produk kebijakan publik yang terterima dan memiliki
daya dukung serta akan berlanjut pada tahapan berikutnya adalah, jika
secara ideal bertemunya level Top Down-Approach dengan Bottom Up-
Approach yang hasilnya terwujudnya pendekatan yang terpadu
(Integrated-Approach), yang dalam hal ini terciptanya sinergitas,
kemitraan dan kesetaraan antara Government dengan Civil Society
dalam merumuskan dan melahirkan produk kebijakan, yang pada
muara akhirnya kembali kepada publik, dan jika keterpaduan itu
terwujud maka dipastikan pula setiap produk kebijakan publik akan
terterima dan beroleh dukungan secara berkelanjutan dari masyarakat
secara luas. Dan yang tentunya pula haruslah disadari bahwa dalam
proses perumusan kebijakan publik melalui model TBI-Approach,
sampai melahirkan produk kebijakan publik yang ideal, dipastikan
berada pada lingkungan global maupun lingkungan mikro sebagai
sistem dan sub sistem yang tidak bisa terhindarkan dalam proses
formulasi kebijakan publik yang se ideal apapun.
Tegasnya, bahwa Model TBI-Approach lebih menekankan bahwa tidak
pada tempatnya lagi di era demokratisasi saat ini, jika pemerintah
masih mengandalkan pendekatan Top Down (Top Down-Approach)
dalam merumuskan setiap kebijakan, tapi seharusnya memberikan
ruang gerak yang lebih leluasa lagi untuk tumbuh berkembanganya
daya dukung dan partisipasi aktif dari kalangan private sector dan civil
society melalui pendekatan bottom up (Bottom Up-Approach), sehingga
secara ideal pula kedua level ini akan mewujudkan pendekatan yang
terpadu bersinergitas dalam kemitraan dan kesetaraan yang kokoh
(Integrated-Approach), dalam kerangka merumuskan dan melahirkan
produk kebijakan publik yang memiliki keberterimaan publik, dan
beroleh dukungan yang kuat dari masyarakat serta dijamin
keberlanjutan kebijakanuntuk kemaslahatan rakyat itu sendiri.
Dalam rangkaian proses dan tahapan Model TBI-Approach semestinya
memperhatikan apa yang menjadi Inputs, Process, Outputs, dan
Outcomes, demikian juga pengaruh langsung atau tidak langsung dari
Lingkungan Mikro dan
Lingkungan Global.

Anda mungkin juga menyukai