Makalah Standar Nasional KLP 2
Makalah Standar Nasional KLP 2
Makalah Standar Nasional KLP 2
OLEH :
KELOMPOK 2
ANGGOTA : SARAH RIZKY (21101131005)
FARAUMAINA (21101131006)
ASMAUL HUSNA (21101131007)
MUHAMMAD ABRAL (21101131008)
DOSEN PEMBIMBING :
Dr. Ilyas, M.Pd
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah
ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
Kelompok 2
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................4
3.1 KESIMPULAN............................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
melalui pengembangan sumber daya manusia sehingga pembuat kebijakan
menaikkan ekspektasi mereka terhadap performansi pendidikan.”
Bangsa yang maju harus didukung oleh SDM yang berdaya tahan dan
tangguh, cerdas, kreatif dan bermoral baik. Investasi di bidang pendidikan
memberi jaminan bagi bangsa menjadi lebih produktif, karena akumulasi
pengetahuan, kecakapan, serta sikap dan moral yang baik, pada gilirannya akan
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Pembangunan dan kemajuan pendidikan, dipandang sebagai fungsi
pertumbuhan ekonomi negara, dan sebaliknya pengembangan pendidikan
dilakukan untuk memacu pembangunan ekonomi nasional. Pendidikan nasional
suatu bangsa menjadi satu unsur pemersatu, pengikat, penumbuh dan pengarah
cita-cita nasional, bahkan menjadi indikator pengukur tingkat kesejahteraan
bangsa. (Djaali, 2005)
Di Indonesia, persoalan pendi- dikan yang dihadapi bangsa sangat
kompleks. Paul Suparno dalam Drost J., (2005, hal : ix) meringkas
kompleksitas masalah itu dalam 3 aspek, yaitu mutu pendidikan, pemerataan
pendidikan dan manajemennya. Dari aspek mutu pendidikan, beberapa indikator
penting yang sangat mempengaruhi adalah kurikulum, konten pendidikan, proses
pembelajaran dan evaluasi, mutu guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta
buku. Dalam hal pemerataan pendidikan terdapat kesenjangan mencolok di antara
anak-anak bangsa. Contoh kesenjangan itu adalah data Depdiknas yang
menunjukkan masih ada sekitar 4,9 juta anak usia belajar yang belum berkesem-
patan memperoleh pendidikan dasar dan menengah. Sementara itu beberapa anak
Indonesia mampu meraih medali Olimpiade Fisika (Kompas, 5 April 2005).
Pada aspek manajemen, pendidikan diperhadapkan dengan soal otonomi,
pembiayaan, birokrasi dan regulasi yang juga terkait dengan politik, ideologi,
ekonomi dan bisnis.
Di tengah bentangan masalah- masalah pendidikan yang kompleks ini,
pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP). BSNP adalah badan mandiri dan independen bertugas mengembangkan
2
memantau pelaksanaan dan mengevaluasi SNP. SNP bertujuan menjamin mutu
pendidikan nasional dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat (Kompas, 17 Mei 2005 & Draft
Final : RPP SNP, Balitbang-Depdiknas, 2005). Uraian berikut membahas
sistem indikator pendidikan, fungsi dan relevansinya maupun keberadaan sistem
indikator pendidikan dalam SNP, serta fungsi dan tugas BSNP di Indonesia.
Berbagai usaha pemerintah diupayakan untuk mengatasi persoalan-
persoalan pendidikan sebagai bagian dari usaha untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Salah satu usaha itu adalah mempersiapkan Standar Nasional
Pendidikan dan BSNP. Apakah SNP dan BNSP efektif sebagai solusi yang relevan
dengan situasi kesenjangan pendidikan saat ini merupakan hal yang perlu
dicermati. Demikian pula muncul pertanyaan macam apakah standar pendidikan
yang dimaksud? Sejauhmana standar tersebut mengatur dan mengendalikan
pendidikan dengan mempertimbangkan besarnya kesenja- ngan pendidikan?
Makalah ini bermaksud mengupas tentang indikator pendidikan yang
menjadi acuan dalam perumusan standar pendidikan, teori-teori dan hasil penelitian
yang terkait dengan sistem indikator dan standar pendidikan. Selain itu,
membahas materi standar pendidikan nasional yang tersaji dalam Peraturan
Pemerintah (PP) nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(SNP).
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Indikator-indikator standar sarana dan prasarana hendaknya disesuaikan
dengan kondisi dan kemampuan masing-masing satuan pendidikan. Namun
persyaratan minimal sarana dan prasarana yang mendukung proses belajar-
mengajar berlangsung menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat secara
bersama-sama.
5
E. Dasar Hukum Standar Sarana dan Prasarana
Pada jenis pendidikan umum, pendidikan kejuruan, dan pendidikan luar biasa
diatur pada peraturan menteri yang berbeda. Berikut ini peraturan menteri yang
menjadi dasar hukumnya untuk setiap jenis pendidikan.
Standar sarana dan prasarana Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI),
Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah
Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) diatur dalam Peraturan Pendidikan
Nasional Nomor 24 Tahun 2007.
Standar sarana dan prasarana untuk Sekolah Menengah Kejuruan dan
Madrasah Aliyah Kejuruan diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 40 Tahun 2008.
Standar sarana dan prasarana untuk Sekolah Luar Biasa diatur dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 33 Tahun 2008.
6
pemerintah daerah, standar pengelolaan oleh pemerintah (pusat). Pembagian
wewenang pengelolaan pendidikan ini seiring dengan kiat desentralisasi
pemerintahan yang juga melibatkan pengelolaan pendidikan. UU No. 32 Tahun
2004 tentang Otonomi Daerah (pasal 13 ayat 1 : f) melimpahkan sebagian
wewenang pengelolaan pendidikan di daerah kepada pemerintahan daerah.
Kebijakan ini memberikan kesempatan kepada daerah mengelola dan
mengembangkan sektor pendidikan sesuai potensi dan kondisi masing-masing
daerah. Di satu sisi, dapat memacu tumbuh berkem- bangnya dunia pendidikan
nasional (untuk daerah yang berkemampuan finansial dan SDM memadai),
namun pada pihak lain dapat berdampak semakin mundurnya mutu dan
pengelolaan pendidikan di daerah lain. Dengan demikian, dapat berakibat
semakin lebarnya kesenjangan pendidikan di antara sesama anak bangsa.
Granheim, M., et.al., (1990) mempertanyakan “Bagaimana bisanya
pemerintah memanfaatkan evaluasi sebagai pengendalian dan pengarah
pendidikan, sementara itu usaha desentralisasi terus digulirkan, baik aspek
administrasi maupun konten pedagogik?” Kaitan antara desentralisasi dan
modernisasi pendidikan pada dasarnya adalah usaha menembus birokrasi
terpusat. Lundgren, menjelaskan bahwa evaluasi dapat saja menjadi dimensi
ke-empat pemerintah yang dijadikan pengatur sistem hukum, ekonomi dan
kontrol ideologi. Desentralisasi berperan dalam konflik pengelolaan dan memberi
kekuatan baru bagi legitimasi politik pemerintah.
Manajemen pendidikan yang baik dan optimal dibutuhkan untuk
mendukung sinergisnya proses pembela- jaran merupakan pokok pengelolaan pada
tingkat satuan pendidikan. Namun kebutuhan daerah dan nasional juga
menghendaki hubungan kerjasama demi pemenuhan kebutuhan bersama.
Persoalan dalam aspek pengelolahan pendidikan yang dihadapi adalah
kelambatan birokratis dan kurang jelasnya pola hubungan interaksi antar tiap
jenjang manajemen. Satuan pendidikan (sekolah) mempunyai otonomi “semu”
sebab manajemen yang dilakukan lebih banyak merupakan implementasi
kebijakan “top-down”. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan usaha
mengembangkan otonomi pendidikan di tingkat satuan pendidikan. Tetapi
7
menjadi pertanyaan apakah ada demokrasi dan independensi disitu? Yang jelas
MBS merupakan kebijakan pusat. Namun tanggung-jawab dan beban yang
dilimpahkan bagi setiap satuan pendidikan semakin besar. Pertanyaan
sejaumanakah kesiapan di tingkat unit tersebut? Otonomi daerah (termasuk
otonomi pendidikan) merupakan kebijakan desentralisasi manajemen pendidikan,
yang menurut Drost, J., (2005 hal 116) “sudah kebablasan” sehingga mematikan
perkembangan-perkembangan baru dari Jakarta dan merugikan sekolah swasta.
Otonomi daerah dan otonomi pendidikan atau desentralisasi dapat berdampak pada:
Apa yang dilaksanakan di Jakarta akan semakin jauh dan berbeda dengan yang
dilakukan di daerah.
8
D. Manfaat Standar Pengelolaan
Manfaat standar pengelolaan adalah mampu menciptakan lingkungan sekolah
yang kondusif dan terstruktur karena semua bisa dikelola sesuai bidangnya masing-
masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9
dibiayai pemerintah?) sebagai kewajiban pemerintah memenuhi tuntutan konstitusi.
(Kompas 5 Mei, 2005)
Pembiayaan pendidikan yang diusahakan pemerintah masih terbatas pada
bantuan biaya investasi penyediaan sarana dan fasilitas serta peralatan pendidikan,
serta biaya operasional penyelenggaraan pendidikan yang mendukung
terselenggaranya proses pembelajaran yang baik dan berhasil. Satu faktor
penting yang terlewati atau “dilupakan” atau “belum terjangkau” adalah biaya
personal yang langsung dapat menjamin kesiapan peserta didik untuk terlibat
dalam aktivitas pembelajaran. Kesiapan belajar siswa tergantung pada kesiapan
fisik dan mental, kemudian pada kesiapan alat pendukung instruksional.
Pembiayaan pendidikan ke depan perlu mempertimbangkan prioritas kebutuhan
yang berbasis pada penciptaan kondisi kesiapan anak untuk belajar. Analisis
standar pembiayaan pendidikan sewa- jarnya melibatkan ketiga macam
pembiayaan pendidikan. Alokasi dana pendidikan pemerintah hendaknya
memperhatikan kebutuhan standar minimal per peserta didik, di samping prinsip-
prinsip pemerataan dan keadilan. Kebijakan dan kemampuan pemerintah dalam
hal pembiayaan terbatas pada dukungan biaya operasional penyeleng- garaan
pendidikan yang banyak terdapat “kebocoran”, gaji guru dan tenaga
kependidikan yang belum memadai, mempengaruhi pencapaian mutu.
Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya
personal. Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud di atas meliputi
biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan
modal kerja tetap.
Biaya personal sebagaimana dimaksud pada di atas meliputi biaya pendidikan
yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran
secara teratur dan berkelanjutan.
Contoh biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud di atas
meliputi:
Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat
pada gaji,
Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan
10
Biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi,
pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi,
pajak, asuransi, dan lain sebagainya
11
untuk inferensi kualita pendidikan membutuhkan kehati-hatian pertim- bangan,
sebab di samping ada konsekuensi terhadap kebijakan, para penentu kebijakan
sangat tergantung pada hasil penilaian dalam usaha mendukung dan
meningkatkan praksis pendidikan.
Penilaian pendidikan digunakan juga sebagai instrumen reformasi yang
sejauh ini terpercaya. Menurut National Council on Education Standard and
Testing (NCEST), standar nasional dan sistem asesmen merupakan mekanisme
layak untuk menaikkan ekspektasi dan revitalisasi pembelajaran, menyegarkan
usaha reformasi pendidikan. Jadi NCEST mendukung adopsi standar tinggi dan
pengembangan sistem penilaian untuk mengukur standar tersebut. (Robert Linn,
1993, p. 4) Fungsi utama sistem standar asesmen nasional melalui ujian
nasional adalah tujuannya sebagai penggerak motivasi. Ujian menantang siswa
dan guru untuk melakukan yang terbaik, membuka peluang baru bagi siswa,
dan merangsang peningkatan mutu sekolah.
Penilaian berbasis kinerja (performance-based asesment) : Asumsi penting
dalam kritisasi terhadap sistem ujian adalah “efek-deleterious” dari sistem
asesmen sebelumnya yang menerapkan akuntabilitas berbasis ujian. Untuk
mengatasi persoalan tersebut, penilaian berbasis performansi menjadi alternatif
yang erat kaitannya dengan kerangka kerja kurikulum. “The current approach to
assessment of student achievement which relies on multiple choice student
response must be abandoned because of its deleterious effect on the educational
process. An assessment which measure student achievement on performance-
based measure is essential for driving the needed reform toward a thinking
curriculum in which students are actively engaged and successful in achieving
goals in and beyond school.”(p.8-9)
Berkaitan dengan validitas asesmen yang dilakukan, apabila validitas
menjadi persoalan serius, maka argumen Cronbach bahwa “validator mempunyai
kewajiban untuk membahas atau memberikan penjelasan apakah konsekuensi
yang muncul cocok dengan praksis individu siswa dan lembaga pendidikan dan
khususnya menghindari dampak negatifnya. Dampak yang diharapkan seperti
memacu usaha siswa dan guru harus dijadikan pusat dan tujuan sistem
12
penilaian. Jika demikian persepsi negatif terhadap sistem ujian yang sangat
bergantung pada tes pilihan ganda menjadi alasan kritis bahwa asesmen harus
menerapkan pendekatan pengukuran berbasis performansi yang diyakini dapat
menghasilkan sasaran bagi pembelajaran yang lebih baik.
Masalah “Fairness” : ketepatan dan keadilan dalam asesmen. Penilaian
berbasis performansi siswa seringkali diasumsikan kebal (imun) dari persoalan bias
dan hasil yang bertentangan dengan tujuannya. Besarnya perbedaan kesem- patan
memperoleh pendidikan, cenderung menghasilkan perbedaan performansi. Hal
tersebut akan sangat merugikan kelompok minoritas yang kesempatan belajarnya
kurang, dan bahkan berakibat pada kegagalan dalam peningkatan mutu
pendidikan untuk semua. Standar peformansi siswa harus dilengkapi dengan
standar sistem pelayanan sekolah. Standar pelayanan dilengkapi instrumen untuk
mengukur apakah sekolah melakukan layanan belajar materi standar bagi
“opportunity to learn” siswa dengan baik.
Ujian Nasional merupakan satu- satunya instrumen yang berfungsi
mengukur indikator pendidikan standar secara nasional oleh pemerintah atau
lembaga independen. Hal ini dibutuhkan sebagai alat pengendali mutu pendidikan
bangsa Indonesia. Taraf kesejahteraan dan kemajuan suatu bangsa juga diukur
oleh indeks indikator pendidikan. Indeks indikator pendidikan menurut Bryk &
Hermanson (AERA, 1993: 452) bahwa “indicators are promoted as efficacious
instruments with which to monitor educational system, evaluate its programs,
diagnose its troubles, guide policy formulation, and hold school personnel
accountable for the results”.
Tujuan penilaian adalah agar peserta didik terbantu dengan informasi
terukur, menyangkut baik kemampuan dan kelemahannya terhadap taraf
pencapaian tujuan belajar. Melaksanakan evaluasi, menentukan nilai siswa
merupakan pekerjaan guru yang paling berat. Nilai siswa berguna dalam
berbagai hal, bahkan punya implikasi bagi masa depan. Mochtar Buchory
mengatakan “Test-score manipulation damages students’ future” (The Jakarta
Post, July 26, 1996, Notes on Education in Indonesia, h. 98-100). Manipulai
nilai/skor tes merupakan praktek yang telah lama berlangsung pada persekolahan
13
di Indonesia, bukan untuk tujuan tambahan uang tetapi karena adanya perbedaan
persepsi guru terhadap kemampuan anak-anak didiknya. Menetapkan nilai hasil
belajar merupakan pekerjaan berat yang tak dapat disepelehkan oleh guru. Ebel
(1988 : 252) berpendapat “Marking systems are frequent subjects of educational
controversy because the process of grading is difficult, because different
educational philosophies call for different marking systems, and because the
task is sometimes disagreeable.”
Munawar Soleh (2005, hal. 34) mengemukanan :“Salah satu jalan untuk
mendongkrak mutu pendidikan nasional ke arah yang lebih baik, diperlukan
keberanian untuk mengambil kebijakan strategis dan perubahan cara pandang
yang terlalu formal. Salah satunya adalah dengan membenahi sistem ujian
sekaligus. Untuk mengevaluasi kelulusan di tengah tingginya disparitas kualitas
pendidikan dapat ditempuh jalan lain. Salah satunya dengan membuat semacam
rumpun sekolah atau jaringan sekolah dan lembaga independen lain yang
mengkaji mengenai mutu dan syarat kelulusan”
Evaluasi kinerja pendidikan, baik proses, output, institusi penyelengara
yang dilakukan berorientasi pada akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan
perlu dilakukan bagi oleh satuan pendidikan melalui evaluasi diri, atau lembaga
evaluasi mandiri. Evaluasi terhadap pengelolaan pendidikan perlu dilakukan
secara periodik sesuai kebutuhan, dan perlu mempertim- bangkan komponen
input, proses, dan output. Metode penilaian kinerja yang sesuai dan banyak
diterapkan saat ini dalam dunia usaha dan relevan juga dalam bidang pendidikan
dikenal dengan “Benchmarking”. Menurut Bengt Karlof & Svante Ostblom (1994;
hal:35), bahwa metode benchmarking merupakan instrumen untuk analisis
terhadap kualitas, produktivitas dan waktu. Metode ini dapat dilakukan dalam
kategori penetapan kriteria secara internal, external dan fungsional pada suatu
institusi.
Sistem monitoring kinerja (performansi) merupakan pendekatan evaluasi
“top-down”. Pendekatan lain yang mungkin adalah melibatkan “stakeholder
(guru-guru, penilik sekolah, komite sekolah dan wakil permerhati pendidikan)
sebagaimana dilakukan pada tingkat negara bagian di Virginia AS. Keterlibatan
14
kelompok stakeholder ini membawa dampak positif terhadap sistem monitoring
tersebut. Kelompok yang disebut EPR (Educational Performance Recognition)
mengajukan 3 komponen sistem monitoring: indikator hasil belajar dan
kemajuan belajar, penetapan sistem standar kinerja melalui komparasi kinerja antar
sekolah, distrik, daerah.
Akreditasi dan Sertifikasi dilaksanakan bagi setiap jenjang dan satuan
pendidikan diperlukan sebagai akuntabilitas publik yang objektif, adil,
terpercaya, transparan. Mekanisme dan prosedur akreditasi dan sertifikasi
memerlukan instrumen yang valid dan terpercaya untuk memberikan jaminan
akuntabilitas publik terhadap prosedur justifikasi, kualifikasi yang baik dan adil.
Persoalan terkait standar akreditasi dan sertifikasi sangat dibutuhkan sebagai alat
kontrol sistem pendidikan menghadapi persoalan maraknya ijazah palsu maupun
pemanfaatan ijazah dan referensi hasil akreditasi yang kurang mendapat
tanggapan yang baik dari masyarakat. Sistem akreditasi dan sertifikasi perlu
diarahkan objektivitas yang valid guna membangun sistem dan nilai masyarakat
secara adil.
15
C. Fungsi Standar Penilaian Pendidikan
Adapun fungsi standar penilaian adalah sebagai berikut.
1. Sebagai acuan atau pedoman untuk tenaga pendidik dalam menjalankan
penilaian pembelajaran peserta didik.
2. Menciptakan penilaian yang transparan, sistematis, dan komprehensif.
3. Menjadi acuan dalam menjalankan prinsip-prinsip penilaian.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kualitas SDM ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Pendidikan
merupakan salah satu bentuk investasi modal manusia (human investment) yang
jika dikelola dengan benar akan berdampak pada peningkatan kesejah- teraan
manusia itu sendiri. Di Indonesia, persoalan pendidikan sangat kompleks. Ada 3
aspek persoalan pendidikan di Indonesia yaitu aspek: mutu pendidikan,
pemerataan pendidikan dan manajemen- nya. Dari aspek mutu pendidikan,
beberapa indikator penting yang sangat mempengaruhi adalah kurikulum, konten
pendidikan, proses pembelajaran dan evaluasi, mutu guru, sarana dan prasarana
pendidikan, serta buku. Di tengah bentangan masalah pendidikan yang kompleks
ini, pemerintah menetapkan PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP) dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). BSNP
adalah badan mandiri dan independen bertugas mengembang- kan dan
memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi SNP.
Berdasarkan PP No. 19/2005 tentang SNP meliputi standar: 1) isi
kurikulum, 2) Proses, 3) Kompetensi Lulusan, 4) Pendidik dan Tenaga
Kependidikan, 5) Sarana dan Prasarana, 6) Pengelolaan, 7) Pembiayaan, dan 8)
Standar Penilaian Pendidikan : Evaluasi, Akreditasi, Sertifikasi, Penjaminan Mutu.
Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai
kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Proses
pendidikan merupakan kunci berlangsungnya proses belajar, dimana program
pendidikan diimplementasikan. Mutu pendidikan turut ditentukan dan diukur
melalui kualitas lulusan yang dihasilkan oleh institusi pendidikan tertentu, dan
kualitas lembaga pendidikan sebaliknya dinilai pula dari kualitas lulusan yang
dihasilkannya. Guru adalah tenaga pendidik, merupakan satu keahlian profesional
yang berkompetensi dalam bidang pendidikan. Dalam proses globalisasi dimana
perubahan terjadi sangat pesat guru dituntut untuk senantiasa menyesuaikan
kompetensinya dengan perkembangan tersebut. Standar sarana dan prasarana
17
pendidikan mencakup ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah,
perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan
berekreasi, dan sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, serta
fasilitas belajar-mengajar lainnya. Manajemen pendidikan dalam SNP menata
jenjang pengelolaan pendidika dalam : standar pengelolaan tingkat satuan
pendidikan, standar pengelolaan oleh pemerintah daerah, standar pengelolaan
oleh pemerintah (pusat). Pembiayaan pendidikan dapat berupa biaya investasi,
biaya operasi dan biaya personal. Beban Pemerintah untuk mengongkosi
pendidikan anak bangsa menurut aturan UU sangat besar dan saat ini belum dapat
terpenuhi. Penilaian pendidikan berfungsi sebagai barometer mutu pendidikan
nasional digunakan sebagai dasar perbaikan dan untuk reformasi pendidikan dari
keterbatasan dan kelemahannya.
18
DAFTAR PUSTAKA
19
https://www.quipper.com/id/blog/info-guru/standar-pendidik-dan-tenaga-
kependidikan/
https://www.quipper.com/id/blog/info-guru/standar-proses/
Jurnal Antropologi Indonesia & TIFA Foundation, Editor :Sunarto, K., dkk.,
Multicultural Education in Indonesia : Stepping into the Unfamiliar,
Depok, 2004
Klein M.F., The Politics of Curriculum Decision-Making : Issues in
Centralizing the Curriculum, SUNY Press, 1991, Albany - (AERA,
EEPA, Vol.14, #1, 1992
Kompas, 15 Februari 2005 : Sekolah Pungut Iuran untuk UN.
Kompas, 17 Mei 2005 : PP BNSP Akhirnya ditandatangani Presiden,
Kumaniora, hal 9.
Kompas, 3 Mei 2005 : Dana Wajib Belajar untuk Negeri-Swasta, Humaniora,
h.9
Madaus, et al Issues In Educational Research, Vol 14, 2004
Munawar, S. Politik Pendidikan : Membangun SDM dengan Peningkatan
Kualitas Pendidikan, Grafindo, Jakarta, 2005.
Nitko, A.J., Educational Assessment of Students, 3rd ed., Merrill Prentice Hall,
Columbus, 2001
Ouston J., dkk., OFSTED Inspection : The Early Experience., David Fulton
Publishers, London, 1996
Tilaar, H.A.R., Manajemen Pendidikan Nasional : Kajian Pendidikan Masa
Depan, RosdaKarya, Bandung, 2004.
Tuckman B.W., Evaluating Instructional Programs, 2nd ed., Bacon & Allyn,
Newton, 1985.
20