Proposal Penelitian Farinda
Proposal Penelitian Farinda
Proposal Penelitian Farinda
PROPOSAL PENELITIAN
Disusun Oleh :
FARINDA LIANISYA
SK.519.013
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah
satu penyakit yang sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan bagi
masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia (Riskesdas, 2018).
ISPA merupakan penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian atau
lebih saluran pernafasan yang dapat mengakibatkan berbagai macam
penyakit mulai dari infeksi ringan hingga berat (Putra, 2019). ISPA adalah
penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia.
Hamper empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahunnya, selain
itu ISPA merupakan penyebab utama konsultasi atau rawat inap di fasilitas
pelayanan kesehatan terutama pada bagian perawatan anak. Hal yang
serupa juga terjadi di Indonesia (Maharani, 2017). World Health
Organization (WHO) menyebut insiden Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) dengan angka kematian balita diatas 40 per 1000 kelahiran hidup
atau 15% - 20% pertahun pada balita. Di Indonesia kasus ISPA masih
menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan
balita dengan prevalensi 25% morbiditas gizi kurang 14,9% (Sulastini,
2018).
Kasus kematian tertinggi umumnya terjadi pada usia balita yang
rentan terhadap penyakit. Statistic menunjukkan bahwa lebih dari 70%
kematian balita disebabkan oleh ISPA (pneumonia), diare, campak,
malaria dan malnutrisi (WHO, 2007). Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) merupakan kondisi umum yang menyerang sebagian masyarakat
dalam waktu tertentu dan menjadi penyakit utama penyebab kematian bayi
dan balita di Indonesia. Beberapa hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) diketahui bahwa 80-90% dari seluruh kasus kematian ISPA
disebabkan pneumonia (Depkes, 2012). Berdasarkan data dari profil
kesehatan Indonesia tahun 2010, ISPA termasuk salah satu dari 10
penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit. Berdasarkan
Daftar Tabulasi Dasar (DTD) menunjukkan bahwa ada 291.356 kasus
ISPA yaitu laki-laki dengan kasus 147.410 kasus dan perempuan 143.946
kasus dan untuk pasien rawat inap yaitu laki-laki dengan kasus 9.737 dan
perempuan 8.818 kasus yang meninggal ada 589 pasien dengan persentase
3,29% dengan jumlah kasus yang ditemukan 291.356 kasus dan jumlah
kunjungan rawat jalan sebanyak 433.354 kasus (Kemenkes, 2011).
World Health Organization (2007) menyatakan kematian balita
akibat penyakit ISPA mencapai 12,4 juta pada balita golongan umur 0-4
tahun setiap tahun diseluruh dunia, dimana dua pertiganya adalah bayi
yaitu golongan 0-1 tahun dan sebanyak 80,3% kematian ini terjadi di
negara berkembang. Indonesia merupakan negara berkembang juga
menunjukan prevalensi kejadian ISPA yang cukup tinggi yaitu dalam
rentang tahun 2005-2011, sebanyak 66% balita di Indonesia dating ke
fasilitas kesehatan dengan keluhan berupa gejala ISPA (Syaputra, 2012).
Prevalensi ISPA di Indonesia berdasarkan riset kesehatan dasar Riskesdas
2010 yaitu sebesar 35% tertinggi terjadi pada balita. ISPA pada balita
disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah kemampuan
keluarga (Depkes, 2001).
Menurut profil kesehatan provinsi Jawa Tengah, dalam tiga tahun
terakhir provinsi Jawa Tengah tidak bias mencapai target penderita
pneumonia balita. Pada tahun 2010 persentase cakupan penemuan dan
penanganan penderita pneumonia balita sebesar 40,63%, pada tahun 2011
sebesar 25,5%, dan pada tahun 2012 sebesar 24,74%. Sebagian besar
kabupaten atau kota (91,42%) yang ada di provinsi Jawa Tengah tidak bias
mencapai target cakupan penemuan penderita pneumonia balita yang telah
ditetapkan (Dinkes Prov. Jateng, 2013). Prevalensi ISPA pada balita di
Provinsi Jawa Tengah berdasarkan hasil Riskesdas 2018 ditemukan sekitar
10.551 kasus yaitu 9,7% menurut diagnosis oleh tenaga kesehatan dan
13,8% menurut diagnosis atau gejala yang pernah dialami oleh responden.
Adapun cakupan penemuan dan penanganan ISPA pada balita di Provinsi
Jawa Tengah tahun 2020 sebesar 53,7%, menurun dibandingkan capaian
tahun 2019 yaitu 67,7%. Salah satu kasus ISPA tertinggi pada tahun2020
terdapat di kabupaten Banjarnegara yaitu sebesar 2.826 (3,65%) kasus dari
77,441 jumlah perkiraan kasus ISPA pada balita di Provinsi Jawa Tengah
(Dinkes Jateng, 2021).
Antibiotik merupakan obat yang paling banyak digunakan pada
infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Berbagai studi menemukan bahwa
sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat antara lain untuk
penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik
(Permenkes RI, 2017). Masalah resistensi bakteri terhadap antibiotik
bukanlah masalah pribadi suatu negara saja, tetapi sudah menjadi masalah
kesehatan diseluruh dunia (problem globlal). Masalah global yang sedang
kita alami ini perlu ditanggulangi bersama. Salah satu cara mengatasinya
ialah dengan menggunakan antibiotik secara rasional, melakukan
monitoring dan evaluasi penggunaan antibiotik secara rasional, melakukan
monitoring dan evaluasi penggunaan antibiotik dirumah sakit secara
sistematis, terstandar dan dilaksanakan secara teratur di rumah sakit
maupun di pusat-pusat kesehatan masyarakat, dan melakukan intervensi
untuk mengoptimalkan penggunaan antibiotik (Novi, 2009).
Pemilihan antibiotik yang tepat sangat diperlukan dalam proses
penyembuhan infeksi saluran pernafasan atas. Pemilihan obat yang tepat
yang sesuai dengan pedoman pengobatan yakni berdasarkan ketetapan
yaitu tepat indikasi, tepat obat, dan tepat pasien dan tepat dosis sangat
diperlukan dalam keberhasilan pengobatan (Muharni dkk, 2014).
Kusumana dkk (2014) melakukan penelitian tentang Pola
Pengobatan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pasien pediatrik rawat
inap di RSUD Karanganyar bulan November 2013-2014. Pada penelitian
ini terapi antibiotic yang didapatkan dari analisis dan catatan rekam medis
didapatkan sebanyak 6 jenis antibiotic yang digunakan dalam pengobatan
ISPA pediatrik ini. Antibiotic tersebut terdiri dari golongan penisilin
(ampicillin dan amoxicillin), sefalosporin (cefotaxime, cefadroxil,
ceftriaxone, dan cefixime), dan aminoglokosida (gentamycin). Pengobatan
terapi ISPA pediatrik rawat inap di RSUD Karanganyar yang meliputi
terapi antibiotic dan terapi suportif dan obat simtomatik sudah memenuhi
standar pedoman penatalaksanaan dari WHO : Model Formulary for
Children 2010 dan Depkes RI : Pharmaceutical Care untuk Penyakit
Infeksi Saluran Pernapasan 2005.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dirumuskan masalah penelitian yaitu Penatalaksanaan Terapi Pengobatan
ISPA pada Balita Di Rumah Sakit Islam Muhammadiyah Kendal Periode
2022 ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana Gambaran Penatalaksanaan
Pengobatan ISPA Balita di Instansi Rawat Jalan Rumah Sakit Islam
Muhammadiyah Kendal Periode 2022.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengidentifikasi karakteristik balita yaitu umur, jenis
kelamin, diagnosa, dan obat yang digunakan.
b. Untuk mengidentifikasi Pengetahuan Penatalaksanaan
Pengobatan ISPA pada Balita di Instansi Rawat Jalan Rumah
Sakit Islam Muhammadiyah Kendal Periode 2022.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi Peneliti
a) Keterampilan dalam penulisan karya ilmiah dan melakukan
penelitian dilapangan.
b) Peneliti dapat memperoleh ilmu dan pengalaman dalam melakukan
riset dan menerapkan ilmu medik maupun non medik yang telah
diperoleh.
c) Menambah pengalaman, pengetahuan dan wawasan penelitian
mengenai karakteristik tatalaksana pengobatan ISPA pada Balita.
2. Etiologi ISPA
ISPA terdiri dari 300 jenis bakteri virus dan riketsia. Secara umum
terdapat 3 faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan faktor
individu anak, serta faktor perilaku. ISPA dapat disebabkan oleh virus
maupun bakteri. Virus pernafasan merupakan penyebab ISPA. Infeksi
virus memberikan gambaran klinik yang khas akan tetapi sebaliknya
beberapa jenis virus bersama-sama dapat pula memberikan gambaran yang
hampir sama (Libianimgsih et al., 2014)
3. Patofisiologi ISPA
Saluran pernafasan selama hidup selalu terpapar dengan dunia luar
sehingga dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efisien dari
sistem saluran pernafasan ini. Ketahanan saluran pernafasan terhadap
infeksi maupun partikel dan gas yang ada di udara sangat tergantung pada
3 unsur alamiah yang selalu terdapat pada orang sehat, yaitu: utuhnya
epitel mukosa dan gerak mukosilia, makrofag alveoli, dan antibodi
setempat. Infeksi saluran pernafasan akut dapat terjadi menjadi jalan
masuk bagi virus.
Hal ini dapat terjadi pada kondisi yang penuh sesak. Setelah itu kuman
mengilfitrasi lapisan epitel, jika epitel terkikis maka jaringan inofoid
superficial bereaksi sehingga terjadi pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit polimor fonuklear. Jadi yang terjadi kerusakan adalah
lapisan epitel dari saluran nafas sebagai akibat dari radang.
5. Klasifikasi ISPA
1) Klasifikasi penyakit ISPA dibagi menjadi 2 kelompok umur 2 bulan dan
kelompok umur 2-5 tahun (Depkes RI, 2000) yakni :
a) Pneuomonia Berat, bila batuk disertai nafas cepat ( >60 kali/menit)
dengan atau tanpa tarikan dada bagian bawah ke dalam yang kuat.
Disamping itu ada beberapa tidak klinis yang dapat dikelompokan
sebagai tanda bahaya seperti kurang mampu minum, kejang, kesadaran
menurun, stridor, wheezing dan demam.
b) Bukan pneumonia, bila batuk pilek tanpa disertai nafas cepat ( < 60
kali/menit) dan tanpa tarik dinding dada bagian bawah kedalam.
2) Kelompok umur 2 bulan – 5 tahun, terdiri dari 3 jenis yaitu :
a) Pneumonia berat, jika batuk disertai nafas sesak yaitu adanya tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas.
b) Pneumonia biasa, batuk dengan tanda-tanda tidak ada tarikan dinding
dada bagian ke dalam, namun disertai nafas cepat ( >50 kali/menit
untuk umur 2-12 bulan, dan > 40 kali/menit untuk umur 12 bulan – 5
tahun).
c) Bukan pneumonia, batuk pilek biasa dan tidak ditemukan tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam dan tidak ada nafas cepat.
6. Faktor Risiko ISPA
Menurut (Edza, 2009), pada umumnya Infeksi Saluran Pernafasan
Atas bisa terjadi apabila seseorang mengalami kekebalan tubuh lemah dan
risiko mengalami infeksi yang juga dapat disebabkan dari buruknya
sanitasi lingkungan seperti : asap hasil pembakaran untuk bahan bakar
untuk memasak. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
ISPA, sebagai berikut :
1. Faktor Intrinsik
a) Umur
Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya
ISPA. Faktor risiko tertinggi kejadian ISPA terjadi pada bayi dan balita.
Balita (bayi dibawah umur lima tahun) merupakan anak yang berusia 0-
59 bulan. Oleh sebab itu kejadian ISPA pada bayi dan balita akan lebih
tinggi jika dibandingkan dengan orang dewasa. Kejadian ISPA pada
bayi dan balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih berat dan
jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan anak balita
umumnya merupakan kejadian infeksi pertama serta belum
terbentuknya secara optimal proses kekebalan tubuh secara alamiah dan
dipengaruhi oleh faktor usia anak. Dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh (Nasution, 2009) di Rukun Warga (Rw) 04 Pulo Gadung Jakarta
menunjukkan bahwa < 36 bulan beresiko tinggi untuk menderita ISPA
dibandingkan dengan balita berumur ≥ 36 bulan. Karena pada anak
yang berusia < 36 bulan kemungkinan disebabkan karena pada usia
tersebut seorang anak lebih banyak melakukan aktivitas dalam rumah.
Meskipun demikian, control orang tua terhadap aktivitas anak masih
kurang, khususnya dalam hal kontak anak dengan sesuatu yang dapat
menjadi sumber penyakit, misalnya asap kayu bakar dan asap rokok
dalam rumah. Sebaliknya, anak yang berusia ≥ 36 bulan sudah mulai
mandiri sehingga ketergantungan terhadap orang tua sudah mulai
berkurang. Selain itu, pada usia tersebut, seorang anak akan lebih
banyak melakukan aktivitas diluar rumah sehingga risiko untuk
terpapar dengan sumber faktor risiko ISPA akibat polusi dalam rumah
tangga, seperti asap rokok dan asap kayu bakar lebih rendah.
b) Status Gizi
Menjaga status gizi yang baik, sebenarnya bisa juga mencegah
atau terhindar dari penyakit terutama penyakit ISPA. Missal dengan
mengkonsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna dan memperbanyak
minum air putih, olah raga yang teratur serta istirahat yang cukup.
Keadaan gizi yang buruk merupakan faktor risiko yang penting untuk
terjadinya ISPA. Balita dengan status gizi lebih atau gemuk mempunyai
daya tahan tubuh yang lebih baik dari balita dengan status gizi kurang
maupun status gizi buruk. Hasil penelitian (Astuti, 2012) ini
menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara
Status Gizi dengan kejadian ISPA. Karena kejadian ISPA juga dapat
disebabkan karena daya tahan tubuh yang lemah, dan dengan tubuh
yang sehat maka kekebalan tubuh akan semakin meningkat, sehingga
dapat mencegah virus (bakteri) yang akan masuk kedalam tubuh.
c) Status Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang
terhadap penyakit menular agar kebal dan terhindar dari penyakit
infeksi tertentu. Penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi. Dalam penurunan angka kejadian
ISPA dengan memberikan imunisasi lengkap pada anak balita.
Imunisasi terbagi atas imunisasi dasar yang wajib dan imunisasi yang
penting. Sebelum berusia diatas lima tahun kelengkapan imunisasi
dasar harus dipenuhi. Anak balita dikatakan status imunisasinya
lengkap apabila telah mendapat imunisasi secara lengkap menurut umur
dan waktu pemberian. Status imunisasi ini juga merupakan faktor risiko
ISPA. Pemberian imusisasi menunjukkan konsistensi dalam memberi
pengaruh terhadap kejadian ISPA. Berdasarkan penelitian sebelumnya
(Sukmawati, 2010) di Maros dan penelitian (Nasution, 2009) di Jakarta
menunjukkan bahwa balita yang tidak mendapat imunisasi sesuatu
dengan umur beresiko menderita ISPA dan ada hubungan bermakna
antara pemberian imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita. Karena
kebanyakan kasus ISPA terjadi disertai dengan komplikasi campak
yang merupakan faktor risiko ISPA yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Jadi, imunisasi campak dan difteri yang diberikan bukan
untuk memberikan kekebalan tubuh terhadap ISPA secara langsung,
melainkan hanya untuk mencegah faktor yang memacu terjadinya
ISPA.
d) Jenis kelamin
Bila dibandingkan antara orang laki-laki dan perempuan, laki-
laki lah yang banyak terserang penyakit ISPA. Dari hasil penelitian
yang dilakukan oleh (Marlina, 2014) di Wilayah Kerja Puskesmas
Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014 berdasarkan
proporsi anak balita, jenis kelamin lebih banyak ditemukan pada laki-
laki yaitu 52 orang (52%), sedangkan pada perempuan yaitu 38 orang
(38%). Karena mayoritas orang laki-laki merupakan perokok dan sering
berkendaraan, sehingga mereka sering terkena polusi udara.
2. Faktor Ekstrinsik
a) Lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi risiko
terjadinya ISPA seperti diantaranya :
1) Ventilasi
Ventilasi merupakan tempat daur ulang udara yaitu tempatnya
udara masuk dan keluar. Ventilasi yang dibutuhkan untuk
penghawaan didalam rumah yakni ventilasi yang memiliki luas
minimal 10% dari luas lantai rumah (WHO, 2007). Ventilasi rumah
mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama adalah menjaga agar
aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O 2 tetap
terjaga, karena kurangnya ventilasi menyebabkan kurangnya O2 yang
berarti kadar CO2 menjadi racun. Fungsi yang kedua untuk
membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri
patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap dalam kelembaban yang
optimum dengan adanya ventilasi yang baik maka udara segar dapat
dengan mudah masuk kedalam rumah sehingga kejadian ISPA akan
semakin berkurang.
Penelitian yang dilakukan oleh (Marhamah, 2013) ini menemukan
bahwa anak balita yang ventilasi rumah memenuhi syarat Kesehatan
terdapat sebanyak 12 (41,4%) yang menderita ISPA sedangkan anak
balita yang tidak ventilasi rumah tidak memenuhi syarat kesehatan
terdapat 45 (45,9%) yang menderita ISPA. Dengan demikian
disimpulkan bahwa ada hubungan ventilasi rumah dengan kejadian
ISPA pada balita di Desa Bontongan. Kurangnya ventilasi akan
menyebabkan O2 (oksigen) di dalam rumah yang berarti kadar CO 2
(karbondioksida) yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi
meningkat. Tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban
udara didalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan dari
kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang
baik untuk bakteri-bakteri, patogen (bakteri-bakteri penyebab
penyakit).
ISPA
Rawat Jalan
Rekam Medik
Penatalaksanaan Terapi
Pengobatan ISPA pada Balita
Penatalaksanaan Terapi
Pengobatan ISPA pada Balita
D. Hipotesis
Dari uraian diatas dan berdasarkan rumusan masalah yang telah
diuraikan dapat ditarik hipotesis penulisan yaitu :
Ada pola peresepan antibiotik pasien balita penyakit ISPA di Instansi
Rawat Jalan Periode 2022 berdasarkan rekam medik.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat observasional (non eksperimental) yang
dilakukan secara retrospektif dan dianalisis dengan metode analisis
deskriptif terhadappasien ISPA data rekam medis di Rawat Jalan Rumah
Sakit Islam Muhammadiyah Kendal Periode 2022.
2) Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien anak
penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang terdata pada buku
registrasi Rumah Sakit Islam Muhammadiyah Kendal Periode 2022.
3) Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah pasin balita penderita Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di Instansi Rawat Jalan Rumah Sakit
Islam Muhammadiyah Kendal Periode 2022.
D. Variabel
Variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variable Bebas (Independent Variabel)
Independent Variabel yaitu suatu variabel yang variasinya
mempengaruhi variabel lain. Dapat pula dikatakan bahwa variabel
bebas adalah variabel yang pengaruhnya terhadap variabel lain yang
ingin diketahui, diamati dan diukur (Azwar, 2007 : 62).
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Terapi Pengobatan ISPA di
Rumah Sakit Islam Muhammadiyah Kendal.
2. Variabel Terikat (Dependent Variabel)
Dependent Variabel adalah variable penelitian yang diukur untuk
mengetahui besarnya efek atau pengaruh variabel lain. Besar efek
tersebut diamati dari data tidaknya, timbul hilanya, besar kecilnya atau
berubahnya variabel lain. (Azwar, 2007 : 62).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah Identifikasi
Penatalaksanaan pada Terapi ISPA.
E. Devinisi Operasional
1) Rumah sakit yang digunakan sebagai tempat penelitian adalah Rumah
Sakit Islam Muhammadiyah Kendal.
2) Pasien adalah pasien penderita ISPA yang menjalani rawat jalan di
Rumah Sakit Islam Muhammadiyah Kendal.
3) Obat ISPA adalah obat yang digunakan untuk penderita strok pada
pasien rawat jalan di Rumah Sakit Islam Muhammadiyah Kendal
sesuai yang tercatat dalam rekam medik.
4) Tepat indikasi adalah ketetapan penggunaan obat ISPA pada pasien
berdasarkan diagnosis.
F. Alur Penelitian Instrumen
Gambar skema jalannya penelitian dapat dilihat pada gambar 1.1
Ijin Penelitian
Rekam Medik
Resep
Pengelompokan Data
Pengolahan Data
Pembahasan
I. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang didapatkan dari rekam medik pasien. Selanjutnya data akan dicatat
pada lembar pengumpulan data.
J. Analisis Data
Analisis data dilakukan menggunakan program Microsoft Exel
2010 Data yang telah terkumpul dicatat, diolah dan dianalisis secara
kualitatif dan kuantitatif untuk mengetahui persentase ketetapan
penggunakan obat ISPA pada Balita. Hasil penelitian ini disajikan secara
deskriptif dalam bentuk tabel.
DAFTAR PUSTAKA
Maharani D, Yani FF. Artikel Penelitian Profil Balita Pasien Infeksi Saluran
Nafas Akut Atas Di RSUD dr. M. Djamil Padang. 2013; 6 (1) : 152 – 7
Sulastini. (2018), Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Di Puskesmas Mekarwangi Garut Tahun
2018.
WHO, 2007, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Yang Cendederung Menjadi
Epidemi dan Pandemi. http:///www.acetiforum.or.id
Departemen Kesehatan RI, 2021, Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
Tahun 2011. Jakarta.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2011), Pedoman Pengendalian
Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Jakarta : Direktorat Jendral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Dinkes Prov. Jateng, 2013, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2012, Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang.
WHO 2007, Buku Pedoman Pencegahan dan Pengendalian, Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) Yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Pedoman Interem WHO, 2007.
http://apps.who.int/iris/bitsream
Syaputra, H, Sabrina, F & Utomo, W, 2013, Perbandingan Kejadian ISPA Balita
Pada Keluarga Yang Merokok Dalam Rumah Dengan Keluarga Yang Tidak
Merokok, Journal ACC. http://repository.ac.id
Departemen Kesehatan RI, (2001), Buku Ajaran ISPA Program D-III
Keperawatan, Ditjen PPM PL-Pusat Diknakes, Jakarta.