Definisi Gagal Nafas Akut
Definisi Gagal Nafas Akut
Definisi Gagal Nafas Akut
Penyebab gagal nafas akut biasanya tidak berdiri sendiri dan merupakan kombinasi dari
beberapa keadaan dimana penyebab utamanya adalah :
1. Gangguan Ventilasi
Obstruksi akut, misalnya disebabkan fleksi leher pada pasien tidak sadar, spasme larink
atau oedem larink.
Obstruksi kronis, misalnya pada emfisema, bronkritis kronis, asma, bronkiektasis,
terutama yang disertai sepsis.
Penurunan compliance, compliance paru atau toraks, efusi pleura, edema paru,
atelektasis, pneumonia, kiposkoloisis, patah tulang iga, pasca operasi toraks/ abdomen,
peritonitis, distensi lambung, sakit dada, dan sebagainya.
Gangguan neuromuskuler, misalnya pada polio, “guillain bare syndrome”, miastenia
grafis, cedera spinal, fraktur servikal, keracuan obat/ zat lain.
Gangguan / depresi pusat pernafasan, misalnya pada penggunaan obat narkotik /
barbiturate/ trankuiliser, obat anestesi, trauma / infak otak, hipoksia berat pada susunan
saraf pusat dan sebagainya.
2. Gangguan Difusi Alveoli Kapiler
Oedem paru, ARDS, fibrosis paru, emfisema, emboli lemak, pneumonia, “post
perfusion syndrome”, tumor paru, aspirasi.
3. Gangguan Kesimbangan Ventilasi Perfusi (V/Q Missmatch)
Peningkatan deadspace (ruang rugi) misalnya pada trombo emboli, enfisema,
bronchektasis dsb.
Peninggian “intra alveolar shunting”, misal pada atelektasis, ARDS, pneumonia edema
paru, dan lain sebagainya.
C. Patway
D. Klasifikasi
Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi menjadi 3 tipe.
1. Tipe I merupakan kegagalan oksigenasi atau hypoxaemia arteri ditandai dengan tekanan
parsial O2 arteri yang rendah.
2. Tipe II yaitu kegagalan ventilasi atau hypercapnia ditandai dengan peningkatan tekanan
parsial CO2 arteri yang abnormal (PaCO2 > 46 mm Hg), dan diikuti secara 9 simultan
dengan turunnya PAO2 dan PaO2, oleh karena itu perbedaan PAO2 - PaO2 masih tetap
tidak berubah.
3. Tipe III adalah gabungan antara kegagalan oksigenasi dan ventilasi ditandai dengan
hipoksemia dan hiperkarbia penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2.
F. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
Takipnue dan takikardi yang merupakan gejala nonspesifik
Batuk yang tidak adekuat, penggunaan otot bantu napas, dan pulsus paradoksus dapat
menandakan risiko terjadinya gagal napas
Pada funduskopi dapat ditemukan papil edema akibat hiperkapnia atau vasodilatasi
cerebral
Pada paru ditemukan gejala yang sesuai dengan penyakit yang mendasari.
Bila hipoksemia berat, dapat ditemukan sianosis pada kulit dan membran mukosa.
Sianosis dapat diamati bila konsentrasi hemoglobin yang mengalami deoksigenasi pada
kapiler atau jaringan mencapai 5 g/Dl
Disapnue dapat terjadi akibat usaha bernapas, reseptor vagal, dan stimuli kimia akibat
hipoksemia atau hiperkapnia
Kesadaran berkabut dan somnolen dapat terjadi pada kasus gagal napas. Mioklonus dan
kejang dapat terjadi pada hipoksemia berat
Polisitemia merupakan komplikasi lanjut dari hipoksemia
Hipertensi pulmoner biasanya terdapat pada gagal napas kronik
Hipoksemia alveolar yang disebabkan oleh hiperkapnia menyebabkan konstriksi arteriol
pulmoner
G. Diagnosis
1. Hitung darah lengkap ( CBC ) dapat menunjukkan anemia, yang dapat berkontribusi
terhadap hipoksia jaringan, sedangkan polisitemia mungkin menunjukkan kegagalan
pernafasan hipoksemia kronis. Kelainan fungsi ginjal dan hati mungkin juga
memberikan petunjuk etiologi kegagalan pernafasan atau mengingatkan dokter untuk
komplikasi yang terkait dengan kegagalan pernafasan.
2. Kelainan pada elektrolit seperti kalium, magnesium, dan fosfat dapat memperburuk
kegagalan pernapasan dan fungsi organ lainnya.
3. Serum creatine kinase dengan fraksinasi dan troponin I membantu mengecualikan infark
miokard pada pasien dengan gagal napas. Tingkat creatine kinase meningkat dengan
tingkat troponin I yang normal dapat menunjukkan myositis, yang kadangkadang dapat
menyebabkan kegagalan pernafasan pada gagal napas hiperkapnia kronis, tingkat serum
thyroid- stimulating hormone ( TSH ) harus diukur untuk mengevaluasi kemungkinan
hipotiroidisme, yang berpotensi menyebabka kegagalan pernapasan.
4. Foto rontgen dada sangat penting. Echocardiography tidak rutin dilakukan tetapi kadang
kadang berguna. Tes fungsi paru jika memungkinkan, dapat membantu.
Elektrokardiografi (EKG) harus dilakukan untuk mengevaluasi kemungkinan penyebab
kardiovaskular sebagai kegagalan pernafasan, tetapi juga dapat mendeteksi disritmia
akibat hipoksemia berat atau asidosis.
H. Penatalaksanaan
1. Pemberian Oksigen
Memelihara ventilasi dan oksigenasi yang adekuat selama periode kritis hipoksemia
berat dan mengatasi penyebab yang mengawali terjadinya distress pernapasan.
3. Terapi suportif liannya
B. Diagnosa
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas dibuktikan
dengan Penurunan ekspasi paru, dispnea, pengguanaan otot bantu napas, takipnea,
hiperventilasi, pernapasan kusmaul (D.0005)
2. Risiko gangguan sirkulasi spontan dibuktikan dengan Hipoksia (D.0010)
3. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbagan ventilasi pefusi d.d PO2 menurun ,
PCO2 meningkat spo2 menurun, dispnea, takikardi, pola napas abnormal (D.0003)
C. Intervensi
1 Pola napas tidak Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan Napas (1.01011)
efektif berhubungan keperawatan selama 1 x 24
Observasi
dengan hambatan
Pola napas (L.14134)
upaya napas membaik dengan kriteria Monitor pola napas
dibuktikan dengan. hasil;
(D.0149): Terapeutik
Dispnea menurun
DS:- Posisikan semi-fowler atau fowler
Penggunaan otot bantu Berikan oksigen, jika perlu
DO: napas menurun
dyspnea, Dukungan Ventilasi (I.01002)
Pernapasan cuping hidung
penggunaan otot menurun
Observasi
bantu pernapasan
Identifikasi adanya kelelahan otot bantu
pola napas Frekuensi napas membaik napas
abnormal Monitor status respirasi dan oksigenasi
pernapasan cuping Terapeutik
hidung Pertahankan kepatenan jalan napas
Kaloborasi
Kaloborasi pemberian bronkodilator
Dewi, Dewa Ayu Mas Shanty . 2017. Diagnosis dan penatalaksanaan gagal
napas akut. https://erepo.unud.ac.id/id