Perjanjian Tanpa Nama

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 9

Penanganan Kasus Wanprestasi dalam Perjanjian Leasing Sebagai Perjanjian Tidak

Bernama

Gem Dogruyol

20210610142

A. Latar Belakang

Perjanjian merupakan hal yang biasa terjadi dalam kehidupan masyarakat,


terdapat banyak jenis perjanjian. Banyaknya jenis perjanjian bisa dilakukan karena
menurut pasal 1338 KUHPer, seseorang dapat dengan bebas membuat perjanjiannya
antara satu dengan yang lain. Kebebasan yang dibeberikan oleh Undang-Undang
berkembang seiring dengan berjalannya masa, sampai saat ini terdapat banyak jenis
perjanjian yang apabila dibagi menjadi garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu
perjanjian Bernama dan perjanjian tidak Bernama. Perjanjian Bernama adalah jenis-
jenis perjanjian yang dilakukan dalam masyarakat yang diatur dalam Undang-
Undang, sedangkan perjanjian tidak Bernama adalah perjanjian yang terjadi dalam
masyarakat tapi tidak diatur secara jelas oleh Undang-Undang.

Kehidupan sehari-hari masyarakat tidak bisa dilepaskan dari kegiatan


ekonomi. Kegiatan ekonomi adalah kegiatan yang melibatkan lebih dari satu pihak
untuk saling berinteraksi sehingga menimbulkan terjadinya transaksi ekonomi.
Perkembangan ekonomi mendorong masyarakat bersaing untuk memenuhi
kebutuhannya dalam menjalankan roda perekonomian. Tentunya dalam menjalankan
roda perekonomian tersebut menuntut adanya kecepatan mobilitas di dalamnya. Salah
satu hal yang bisa mendukung kecepatan mobilitas masyarakat adalah kendaraan
bermotor. Kendaraan bermotor dapat membawa manusia ataupun barang dari satu
tempat ke tempat lain dengan cepat dan dalam jumlah yang banyak. Secara umum
jenis kendaraan bermotor yang digunakan ada dua jenis, yaitu sepeda motor dan
mobil. Sepeda motor mempunyai harga yang lebih murah daripada mobil, akan tetapi
mempunyai muatan yang lebih sedikit. Di lain pihak, mobil mempunyai muatan yang
lebih banyak, namun harganya lebih mahal. Perkembangan ekonomi yang berjalan
dengan cepat terkadang tidak sejalan dengan taraf kehidupan masyarakat, tidak sedikit
orang yang menggunakan leasing untuk menopang kebutuhan hidupnya.
Kebutuhan hidup yang makin banyak, tidak sebanding dengan pendapatan
yang dihasilkan oleh masyarakat sehingga mendorong mereka untuk mencari jalan
keluar demi tetap bisa melanjutkan hidup. Leasing digunakan oleh alternatif
masyarakat untuk bisa memenuhi kebutuhannya dalam membeli kendaraan bermotor
yang digunakan sehari-hari, tidak hanya dalam kehidupan masyarakat pada umumnya,
tapi juga dikenal dalam ruang lingkup perusahaan, karena memiliki keunggulan
sebagai alrternatif pembiayaan diluar system perbankan. Pada dasarnya, pada
perjanjian Leasing terdapat tiga pihak yang terkait, yaitu:

1) Lessor (perusahaan leasing) sebagai pemilik barang atau pihak yang


menyewakan;
2) Lessee (perusaahaan/ nasabah) sebagai pemakai barang atau pihak
penyewa;
3) Supplier (vendor/ leveransir) sebagai penjual barang; dimana setiap pihak
memilik hak dan kewajiban dengan kepentinngan masing-masing.

Perjanjian Leasing yang dikenal di masyarakat adalah salah satu contoh perjanjian
yang tidak diatur dalam KUHPer, perjanjian ini bisa terjadi karena adanya asas
kebebasan berkontrak yang diatur dalam pasal 1338 KUHper dan tunduk pada pasal
1319 KUHPer yang menyatakan bahwa semua perjanjian baik yang Bernama atau
tidak Bernama, tunduk pada peraturan umum yang termuat di bab ini atau bab lalu.

Kebebasan yang diberikan oleh Undang-Undang ini terkadang dilaksanakan


dengan lalai oleh pihak-pihak terkait, ini terjadi karena tidak adanya hukum yang
secara terang-terangan menjelaskan tentang prosedur pemberlakuan perjanjian
leasing. Dalam tulisan kali ini, akan menjelaskan tentang penanganan wanprestasi
yang dilakukan oleh pihak Lessee dalam perjanjian Leasing.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Dasar Hukum Perjanjian Leasing?
2. Bagaimana penyelesaian kasus wanprestasi dalam perjanjian Leasing?
C. Pembahasan
1. Ketentuan Dasar Hukum Perjanjian Leasing
Perjanjian Leasing adalah perjanjian yang ketentuannya tidak dijelaskan
didalam KUHPerdata, sehingga pengertian dan dasar hukum yang terjadi di dalam
masyarakat didasarkan pada kebijaksanaan yang tidak bertentangan dengan Surat
Keputusan Menteri. Keputusan Menteri tahun 1974 tentang Leasing dikeluarkan
khusus untuk membahas perjanjian Leasing yang terjadi di Indonesia, terutama yang
bersifat administratif dan bersifat memaksa. Menurut surat Pasal 1 Keputusan
Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan dan Industri Republik
Indonesia No. KEP 122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/2/1974, dan Nomor
30/KPB/I/1974 tanggal Februari 1974 adalah:
“Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang
modal untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara
berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-
barang modal yang bersangkutan dan memperpanjang jangka waktu leasing
berdasarkan nilai serta uang telah disepakati bersama”1.

Di sisi lain, menurut pasal 1 angka 5 Perpres No. 9 tahun 2009 tentang Lembaga
pembiayaan, menyatakan bahwa pengertian dari Leasing adalah:
“kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa
Guna Usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak
opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama
jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran”2
Sebuah perjanjian Leasing memiliki sebuah ciri-ciri, seperti:

1) Adanya hubungan tertentu antara jangka waktu dengan unsure ekonomis


barang yang menjadi objek perjanjian;
2) Adanya pemisahan kepentingan atas benda yang menjadi objek perjanjian,
Hak milik secara yuridis tetap berada pada pihak lessor (pihak yang
menyewakan) dan hak menikmati benda diserahkan kepada lesse
(penyewa);

1
Moris Pantow, ANALISIS TERHADAP PERJANJIAN LEASING MENURUTKITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PERDATA, Lex Privatum Vol. IX/No. 3
2
Silvi Triadita Sari, TINJAUAN HUBUNGAN HUKUM PERJANJIAN LEASING KENDARAAN
BERMOTOR, Privat Law Volume 9 Nomor 1
3) Adanya kewajiban untuk memberikan penggantian atas kenikmata yang
diperoleh.

Terdapat beberapa pihak yang harus ada dalam sebuah perjanjian Leasing, beberapa
diantaranya adalah:

1) Lessor yaitu pihak yang menyediakan barang-barang modal untuk lessee,


merupakan perusahaan pembiayaan yang mendapat izin dari Departemen
Keuangan;
2) Lessee yaitu pihak yang mendapatkan pembiayaan dari lessor atau pihak-
pihak yang membutuhkan/memakai barang-barang modal.
3) Objek leasing yaitu barang-barang yang menjadi objek perjanjian leasing
yang meliputi segala macam barang modal mulai dari yang berteknologi
tinggi hingga teknologi menengah ataupun keperluan kantor.
4) Pembayaran uang sewa yaitu secara berkala dalam jangka waktu tertentu
yang bisa dilakukan setiap bulan, setiap kuartal, atau setiap setengah tahun
sekali.
5) Nilai sisa (residual value) yang ditentukan sebelum kontrak dimulai.
6) Adanya hak opsi bagi lessee pada akhir masa leasing, yang dalam hal ini
lessee mempunyai hak untuk menentukan apakah lessee ingin membeli
barang tersebut dengan harga sebesar nilai sisa atau mengembalikan pada
lessor.
7) Lease Term adalah suatu periode perjanjian leasing

Dalam sebuah perjanjian, setiap pihak memilik hak dan kewajibannya masing-
masing. Kewajiban lessor adalah menyerahkan uang sebagai biaya barang yang dibeli
kepada supplier. Untuk itu lessor mempunyai hak untuk mendapatkan pengembalian
dari biaya yang telah dikeluarkannya itu dan mendapatkan bunga atas jasanya dari
biaya yang telah dikeluarkannya. Selain itu, hak lessor adalah apabila lessee tidak
dapat membayar biaya lease, maka lessor dapat menuntut kembali barangnya yang
belum dibayar oleh lessee dalam tenggang waktu yang telah disepakati (biasanya 30
hari).3

3
Rusdi, TINJAUAN HUKUM PERJANJIAN LEASING KENDARAAN BERMOTOR PADA
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, No.5 Vol. 3
Selain itu, pihak Supplier memiliki kewajiban untuk:

1) Menyerahkan barang kepada Lessee, yang artinya memindahkan barang


yang dijual kepada si pembeli sewa.
2) Untu barang yang harus dibalik nama, harus mengurus balik nama atas
barang yang di Lease.
3) Khusus untuk kendaraan bermotor, supplier mempunyai kewajiban
memberpanjang STNK kendaraan selama dalam masa Leasing4

2. Penyelesaian Kasus Wnaprestasi Yang Terjadi dalam Perjanjian Leasing

Sebuah perjanjian yang sudah memenuhi syarat sah suatu perjanjian, tapi
tidak terlaksana sebagaimana mestinya perjanjian tersebut, maka perjanjian
tersebut bisa dikatakan perjanjian yang wanprestasi, dimana artinya salah satu
pihak dalam perjanjian tidak bisa memenuhi hal yang sudah diperjanjikan baik
karena kesalahan atau karena kelalaian. Secara umum terdapat empat wanprestasi
yang dilakukan seorang debitur:

1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;


2) Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya

Dalam perjanjian Leasing, hubungan antara lessor denga lessee adalah sebuah
hubungan timbal balik yang menyangkut pelaksanaan hak dan kewajiban. Dari
pihak lessor, keuntungan yang ingin didapatkan dalam perjanjian Leasing
bertumpu pada adanya kepastian hukum tentang oembayaran yang dilakukan
lessee atas penggunaan barang yang menjadi objek perjanjian, termasuk
pengakuan Lessee tentang penguasaan obyek oleh Lessee yang kepemilikannya
tetap dipegang oleh Lessor, sehingga melahirkan hak secara hukum bagi Lessor,
bila terjadi wanprestasi oleh Lessee untuk menjual atau menyita obyek lease.

4
Ibid, hlm. 3
Terjadinya wanprestasi dalam perjanjian Leasing disebabkan oleh pihak lessee
yang lalai dengan pembayaran uang sewa atau pembayaran lainnya yang sudah
disepakati dan menjadi kewajiban lessee atau melanggar larangan-larangan yang
dibuat antara pihak-pihak yang ada dalam perjanjian. Hal-Hal yang bisa
menimbulkan wanprestasi adalah5:

1) Lessee menunda-nunda pembayaran sewa yang seharusnya dibayar


atau baru membayar sekian hari setelah tanggal tertentu, ataupun ia
melakukan pembayaran, tetapi tidak sebagaimana yang
diperjanjikan;
2) Tidak membayar denda atas keterlambatanya membayar uang sewa
itu atau terlambat membayar denda itu;
3) Dalam keadaan tidak mampu atau tidak mau lagi membayar uang
sewa, hal ini terjadi dengan kemungkinan pihak lessee jatuh pailit
sehingga tidak mampu membayar sewa barang yang dileasednya
atau memang dengan sengaja lessee tidak membayar sewa yang
sudah jatuh tempo pembayarannya;
4) Melakukan tindakan-tindakan yang dengan nyata melanggar
perjanjian leasing itu sendiri, misalnya lessee dengan tanpa seizin
lessor (secara tertulis) mengalihpakaikan barang yang dileasednya
kepada pihak lain, menjadikan barang itu sebagai jaminan terhadap
hutangnya; atau menjual barang tersebut dengan tujuan antara lain
melepaskan diri dari pembayaran sewa yang dilanggarnya; atau
menghilangkan label barang dan sebagainya.

Apabila dalam perjanjian Leasing sebuah perusahaan penyedia barang berperan


sebagai Lessor dalam perjanjian, maka ada beberapa hal yang bisa diterapkan untuk
mencegah terjadinya wanprestasi dalam perjanjian yang dibuat. Pencegahan bisa
dilakukan dengan membuat kebijakan-kebijakan yang harus dituruti oleh Lessee
apabila ingin menjalin hubungan perjanjian, beberapa contoh kebijakan yang bisa
dibuat adalah:

5
I. Ratumbanua, Marco, 2017, PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN LEASING DALAM HAL
TERJADINYA INGKAR JANJI (WANPRESTASI), Lex Privatum Vol. V/No. 1
1) Perusahaan sebagai pihak Lessor melakukan reschedule atau penjadwalan
ulang dengan mengundur hari atau jatuh tempo yang ditentukan
sebelumnya;
2) Memberi kesempatan overcredit atau penggantian debitur baru yang
bersedia menggantikan kewajiban debitur lama dengan persetujuan
perusahaan, debitur lama, dan debitur baru;
3) Melakukan pengalihan hak kebendaan bergerak tak berwujud yang
biasanya berupa hutang atas nama kepada pihak ketiga dan menjual hak
tagihannya kepada orang lain sehingga pihak ketiga sebagai kreditur baru
memiliki hak untuk menagih hutang;
4) Penyelesaian secara sukarela dengan cara menyerahkan objek jaminan atas
dasar kerelaan debitur.

Ada kemungkinan walaupun sudah melakukan pencegahan wanprestasi dengan


membuat kebijakan-kebijakan yang meringankan Lessee dalam memenuhi
kewajibannya tetap akan terjadi wanprestasi. Terjadinya wanprestasi tentu sangat
merugikan salah satu pihak, dalam hal ini pihak yang dirugikan adalah pihak Lessor
karena pihak Lessee tidak bisa memenuhi kewajibannya. Apabila memang sudah
demikian, maka pihak Lessor harus bertindak karena sudah dirugikan dalam
perjanjian yang dibuat. Secara garis besar masalah wanprestasi bisa diselesaikan
dengan beberapa cara seperti dengan berdamai, lewat pengadilan negeri atau
melakukan arbitrase.

1) Damai, berarti kedua pihak yaitu pihak Lessor dan pihak Lessee
mangadakan penyelesaian sendiri dengan berdamai. Apabila kedua pihak
setuju untuk berdamai maka barang yang awalnya dikuasai Lessee akan
diambil oleh Lessor. Harus digaris bawahi apabila berdamai, maka kedua
belah pihak harus menaati perjanjian yang dibuat dan apabila salah satu
pihak tidak menaatinya, maka permasalahannya masih harus diajukan ke
pihak pengadilan.
2) Pengadilan Negeri, jalur ini digunakan apabila proses pengembalian
barang dari Lessee kepada Lessor tidak berjalan dengan lancar. Pihak
Lessor bisa membuat aduan ke pengadilan berwenang untuk bisa
mendapatkan haknya kembali.
3) Arbitrase, alternatif ini dipilih karena apabila melakukan gugatan ke
pengadilan negeri banyak syarat-syarat formal yang harus dipenuhi dan
waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan putusan membutuhkan
banyak waktu, belum lagi apabila hasil putusan dirasa tidak adil dan
dilakukan banding, ini akan memakan waktu lebih lama lagi. Oleh
karenanya, arbitrase dipilih menjadi solusi jalan keluar karena arbitrase
dinilai jauh lebih efisien ketimbang jalur pengadilan negeri.

D. Kesimpulan

Perjanjian Leasing adalah salah satu perjanjian yang ada karena adanya
kebebasan dalam pembuatan perjanjian yang ada di masyarakat. Kebebasan yang
diberikan oleh negara dan hukum postif ini mengembangkan perjanjian-perjanjian
yang bahkan prosedurnya tidak banyak diatur didalam Undang-Undang. Perjanjian ini
dinamakan perjanjian tidak Bernama dan perjanjian Leasing termasuk kedalamnya.
Tidak adanya peraturan yang dengan jelas mengatur tentang perjanjian ini
menimbulkan spekulasi bahwa apabila perjanjian tidak diatur dalam Undang-Undang,
maka tidak akan ada aturan yang mengikat secara jelas. Kenyataannya tidak
demikian, walaupun sebuah perjanjian dikatakan sebagai perjanjian tidak Bernama,
perjanjian ini tetap tunduk pada peraturan yang ada sehingga membuat perjanjian
Leasing memiliki hak dan kewajibannya sendiri-sendiri tergantung pihak yang
berperan didalamnya. Dalam sebuah perjanjian Leasing tentu bisa ditemukan kasus-
kasus wanprestasi, yang bisa dilakukan oleh pihak Lessee yang terlibat dalam
perjanjian ini. Dalam menyelesaikannya, bisa ditempuh beberapa jalur untuk
menemukan jalan keluarnya. Beberapa jalur yang bisa ditempuh adalah dengan cara
berdamai dan mengembalikan objek barang yang dimiliki Lessee kepada Lessor, atau
dengan jalur hukum melalui pengadilan dengeri atau arbitrase.
DAFTAR PUSTAKA

1. Pantow, M. (2021). Analisis Terhadap Perjanjian Leasing Menurut Kitab


Undang-Undang Hukum Perdata. Lex Privatum, 9(3).
2. Sari, S. T., & Suryono, A. Tinjauan Hubungan Hukum Perjanjian Leasing. Jurnal
Privat Law, 9(1), 192-201.
3. Badriyah, S. M. (2012). Pemuliaan (Breeding) Asas-Asas Hukum Perjanjian
Dalam Perjanjian Leasing di Indonesia. Yustisia Jurnal Hukum, 1(2).
4. Rusdi, Rusdi.(2015). Tinjauan Hukum Perjanjian Leasing Kendaraan Bermotor
Pada Perusahaan Pembiayaan. Legal Opinion, vol. 3, no. 5.
5. Dirkareshza, R., Taupiqqurrahman, T., & Azaria, D. P. (2021). Optimalisasi
Hukum Terhadap Lessee Yang Melakukan Wanprestasi Dalam Perjanjian
Leasing. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 8(2), 160-173.
6. Ratumbanua, M. I. (2017). Penyelesaian Sengketa Perjanjian Leasing Dalam Hal
Terjadinya Ingkar Janji (Wanprestasi). Lex Privatum, 5(1).

Anda mungkin juga menyukai