Perjanjian Tanpa Nama
Perjanjian Tanpa Nama
Perjanjian Tanpa Nama
Bernama
Gem Dogruyol
20210610142
A. Latar Belakang
Perjanjian Leasing yang dikenal di masyarakat adalah salah satu contoh perjanjian
yang tidak diatur dalam KUHPer, perjanjian ini bisa terjadi karena adanya asas
kebebasan berkontrak yang diatur dalam pasal 1338 KUHper dan tunduk pada pasal
1319 KUHPer yang menyatakan bahwa semua perjanjian baik yang Bernama atau
tidak Bernama, tunduk pada peraturan umum yang termuat di bab ini atau bab lalu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Dasar Hukum Perjanjian Leasing?
2. Bagaimana penyelesaian kasus wanprestasi dalam perjanjian Leasing?
C. Pembahasan
1. Ketentuan Dasar Hukum Perjanjian Leasing
Perjanjian Leasing adalah perjanjian yang ketentuannya tidak dijelaskan
didalam KUHPerdata, sehingga pengertian dan dasar hukum yang terjadi di dalam
masyarakat didasarkan pada kebijaksanaan yang tidak bertentangan dengan Surat
Keputusan Menteri. Keputusan Menteri tahun 1974 tentang Leasing dikeluarkan
khusus untuk membahas perjanjian Leasing yang terjadi di Indonesia, terutama yang
bersifat administratif dan bersifat memaksa. Menurut surat Pasal 1 Keputusan
Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan dan Industri Republik
Indonesia No. KEP 122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/2/1974, dan Nomor
30/KPB/I/1974 tanggal Februari 1974 adalah:
“Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang
modal untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara
berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-
barang modal yang bersangkutan dan memperpanjang jangka waktu leasing
berdasarkan nilai serta uang telah disepakati bersama”1.
Di sisi lain, menurut pasal 1 angka 5 Perpres No. 9 tahun 2009 tentang Lembaga
pembiayaan, menyatakan bahwa pengertian dari Leasing adalah:
“kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa
Guna Usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak
opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama
jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran”2
Sebuah perjanjian Leasing memiliki sebuah ciri-ciri, seperti:
1
Moris Pantow, ANALISIS TERHADAP PERJANJIAN LEASING MENURUTKITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PERDATA, Lex Privatum Vol. IX/No. 3
2
Silvi Triadita Sari, TINJAUAN HUBUNGAN HUKUM PERJANJIAN LEASING KENDARAAN
BERMOTOR, Privat Law Volume 9 Nomor 1
3) Adanya kewajiban untuk memberikan penggantian atas kenikmata yang
diperoleh.
Terdapat beberapa pihak yang harus ada dalam sebuah perjanjian Leasing, beberapa
diantaranya adalah:
Dalam sebuah perjanjian, setiap pihak memilik hak dan kewajibannya masing-
masing. Kewajiban lessor adalah menyerahkan uang sebagai biaya barang yang dibeli
kepada supplier. Untuk itu lessor mempunyai hak untuk mendapatkan pengembalian
dari biaya yang telah dikeluarkannya itu dan mendapatkan bunga atas jasanya dari
biaya yang telah dikeluarkannya. Selain itu, hak lessor adalah apabila lessee tidak
dapat membayar biaya lease, maka lessor dapat menuntut kembali barangnya yang
belum dibayar oleh lessee dalam tenggang waktu yang telah disepakati (biasanya 30
hari).3
3
Rusdi, TINJAUAN HUKUM PERJANJIAN LEASING KENDARAAN BERMOTOR PADA
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, No.5 Vol. 3
Selain itu, pihak Supplier memiliki kewajiban untuk:
Sebuah perjanjian yang sudah memenuhi syarat sah suatu perjanjian, tapi
tidak terlaksana sebagaimana mestinya perjanjian tersebut, maka perjanjian
tersebut bisa dikatakan perjanjian yang wanprestasi, dimana artinya salah satu
pihak dalam perjanjian tidak bisa memenuhi hal yang sudah diperjanjikan baik
karena kesalahan atau karena kelalaian. Secara umum terdapat empat wanprestasi
yang dilakukan seorang debitur:
Dalam perjanjian Leasing, hubungan antara lessor denga lessee adalah sebuah
hubungan timbal balik yang menyangkut pelaksanaan hak dan kewajiban. Dari
pihak lessor, keuntungan yang ingin didapatkan dalam perjanjian Leasing
bertumpu pada adanya kepastian hukum tentang oembayaran yang dilakukan
lessee atas penggunaan barang yang menjadi objek perjanjian, termasuk
pengakuan Lessee tentang penguasaan obyek oleh Lessee yang kepemilikannya
tetap dipegang oleh Lessor, sehingga melahirkan hak secara hukum bagi Lessor,
bila terjadi wanprestasi oleh Lessee untuk menjual atau menyita obyek lease.
4
Ibid, hlm. 3
Terjadinya wanprestasi dalam perjanjian Leasing disebabkan oleh pihak lessee
yang lalai dengan pembayaran uang sewa atau pembayaran lainnya yang sudah
disepakati dan menjadi kewajiban lessee atau melanggar larangan-larangan yang
dibuat antara pihak-pihak yang ada dalam perjanjian. Hal-Hal yang bisa
menimbulkan wanprestasi adalah5:
5
I. Ratumbanua, Marco, 2017, PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN LEASING DALAM HAL
TERJADINYA INGKAR JANJI (WANPRESTASI), Lex Privatum Vol. V/No. 1
1) Perusahaan sebagai pihak Lessor melakukan reschedule atau penjadwalan
ulang dengan mengundur hari atau jatuh tempo yang ditentukan
sebelumnya;
2) Memberi kesempatan overcredit atau penggantian debitur baru yang
bersedia menggantikan kewajiban debitur lama dengan persetujuan
perusahaan, debitur lama, dan debitur baru;
3) Melakukan pengalihan hak kebendaan bergerak tak berwujud yang
biasanya berupa hutang atas nama kepada pihak ketiga dan menjual hak
tagihannya kepada orang lain sehingga pihak ketiga sebagai kreditur baru
memiliki hak untuk menagih hutang;
4) Penyelesaian secara sukarela dengan cara menyerahkan objek jaminan atas
dasar kerelaan debitur.
1) Damai, berarti kedua pihak yaitu pihak Lessor dan pihak Lessee
mangadakan penyelesaian sendiri dengan berdamai. Apabila kedua pihak
setuju untuk berdamai maka barang yang awalnya dikuasai Lessee akan
diambil oleh Lessor. Harus digaris bawahi apabila berdamai, maka kedua
belah pihak harus menaati perjanjian yang dibuat dan apabila salah satu
pihak tidak menaatinya, maka permasalahannya masih harus diajukan ke
pihak pengadilan.
2) Pengadilan Negeri, jalur ini digunakan apabila proses pengembalian
barang dari Lessee kepada Lessor tidak berjalan dengan lancar. Pihak
Lessor bisa membuat aduan ke pengadilan berwenang untuk bisa
mendapatkan haknya kembali.
3) Arbitrase, alternatif ini dipilih karena apabila melakukan gugatan ke
pengadilan negeri banyak syarat-syarat formal yang harus dipenuhi dan
waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan putusan membutuhkan
banyak waktu, belum lagi apabila hasil putusan dirasa tidak adil dan
dilakukan banding, ini akan memakan waktu lebih lama lagi. Oleh
karenanya, arbitrase dipilih menjadi solusi jalan keluar karena arbitrase
dinilai jauh lebih efisien ketimbang jalur pengadilan negeri.
D. Kesimpulan
Perjanjian Leasing adalah salah satu perjanjian yang ada karena adanya
kebebasan dalam pembuatan perjanjian yang ada di masyarakat. Kebebasan yang
diberikan oleh negara dan hukum postif ini mengembangkan perjanjian-perjanjian
yang bahkan prosedurnya tidak banyak diatur didalam Undang-Undang. Perjanjian ini
dinamakan perjanjian tidak Bernama dan perjanjian Leasing termasuk kedalamnya.
Tidak adanya peraturan yang dengan jelas mengatur tentang perjanjian ini
menimbulkan spekulasi bahwa apabila perjanjian tidak diatur dalam Undang-Undang,
maka tidak akan ada aturan yang mengikat secara jelas. Kenyataannya tidak
demikian, walaupun sebuah perjanjian dikatakan sebagai perjanjian tidak Bernama,
perjanjian ini tetap tunduk pada peraturan yang ada sehingga membuat perjanjian
Leasing memiliki hak dan kewajibannya sendiri-sendiri tergantung pihak yang
berperan didalamnya. Dalam sebuah perjanjian Leasing tentu bisa ditemukan kasus-
kasus wanprestasi, yang bisa dilakukan oleh pihak Lessee yang terlibat dalam
perjanjian ini. Dalam menyelesaikannya, bisa ditempuh beberapa jalur untuk
menemukan jalan keluarnya. Beberapa jalur yang bisa ditempuh adalah dengan cara
berdamai dan mengembalikan objek barang yang dimiliki Lessee kepada Lessor, atau
dengan jalur hukum melalui pengadilan dengeri atau arbitrase.
DAFTAR PUSTAKA