Makalah Tauhid 9

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH ILMU TAUHID

Tauhid Menurut Aliran Mu’tazilah: Sifat Allah, Melihat Allah dan Kalam
Allah

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstuktur pada Mata Kuliah
Ilmu Tauhid Dosen Pengampu: Drs. H. Karsidi Diningrat, M.Ag

Disusun Oleh :

Rohimah Nurbaeti : 1224020138

Syahrani Khasyifa : 1224020155

Umar Biliqoillah : 1224020160

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM / D / II


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Segala puja dan puji hanya milik Allah Swt. Tuhan Semesta alam.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. Atas limpahan dan
rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu. Dalam rangka
memenuhi tugas terstruktur Mata kuliah Ilmu Tauhid yang berjudul “Tauhid Menurut Aliran
Mu’tazilah: Sifat Allah, Melihat Allah dan Kalam Allah”.
Penyusun ucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. H. Karsidi Diningrat, M.Ag
selaku dosen pengampu Ilmu Tauhid yang telah membimbing. Tidak lupa penyusun juga
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang membantu mengumpulkan data dari
media internet.

Makalah ini disusun agar para pembaca dapat menambah ilmu tentang macam macam
tauhid yang penyusun dapatkan dari banyak sumber. Semoga makalah ini bisa memperluas
wawasan dan menjadi sumbangsih pemikiran bagi pembaca.

Penyusun sadar penuh bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak
kekurangan. Untuk itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi
baiknya penulisan dimasa yang akan datang.

Bandung, 27 Mei 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN............................................................................................1

A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................1
C. Tujuan ...................................................................................................................2

BAB II : PEMBAHASAN...............................................................................................3

A. Asal Mula Penyebutan Mu’tazilah........................................................................3


B. Latar Belakang Terbentuknya Aliran Mu’tazilah..................................................3
C. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazilah...........................................................................4
D. Ajaran-Ajaran Pokok Aliran Mu’tazilah...............................................................6
E. Sifat-Sifat Allah Menurut Aliran Mu’tazilah…………………………… ……..11
F. Melihat Allah Dalam Pandangan Mu’tazilah : Al-Qadi ‘Abd Al-Jabar… ….....13

BAB III: PENUTUP .....................................................................................................16

A. KESIMPULAN.........................................................................................….....16
B. DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………... …17

ii
BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Tauhid, konsep keesaan Allah dalam Islam, merupakan dasar utama bagi keyakinan
Muslim. Berbagai aliran pemikiran dalam Islam memiliki pemahaman yang berbeda-beda terkait
tauhid. Salah satu aliran yang memiliki pendekatan rasional dan filsafat dalam pemahaman
tauhid adalah aliran Mu'tazilah.

Aliran Mu'tazilah muncul pada abad ke-8 Masehi dan mengedepankan akal dalam
memahami ajaran agama. Mereka menolak pendekatan literalistik dan lebih memilih
menggunakan akal untuk merumuskan konsep tauhid. Pemikiran Mu'tazilah tentang tauhid
mencakup berbagai aspek, termasuk sifat Allah, melihat Allah, dan kalam Allah.

Makalah ini akan mengulas pemahaman Mu'tazilah terhadap tauhid, dengan fokus pada sifat
Allah, melihat Allah, dan kalam Allah. Pertama, akan dijelaskan pengertian tauhid dalam
perspektif Mu'tazilah, termasuk penolakan terhadap anthropomorfisme dan penekanan pada sifat-
sifat abstrak dan transenden Allah. Selanjutnya, akan dibahas pandangan Mu'tazilah tentang
melihat Allah, termasuk kritik terhadap pemahaman harfiyah dan interpretasi metaforis. Selain
itu, pemahaman Mu'tazilah tentang kalam Allah juga akan dijelaskan, dengan penolakan
terhadap pemahaman harfiyah dan penekanan pada makna transendental dan ilahi.

1
B.Rumusan Masalah

1.Bagaimana Asal Mula Penyebutan Nama Mu’tazilah ?

2.Apa Latar Belakang Terbentuknya Aliran Mu’tazilah ?

3.Siapa Saja Tokoh Aliran Mu’tazilah ?

4.Apa Saja Aliran Pokok Pemikiran Mu’tazilah ?

5.Bagaimana Sifat Allah Menurut Aliran Mu’tazilah ?

6.Bagaimana Pendapat Aliran Mu’tazilah Tentang Melihat Allah ?

C.Tujuan Penulisan

1.Untuk Mengetahui Asal Mula Penyebutan Nama Mu’tazilah

2.Untuk Mengetahui Latar Belakang Terbentuknya Aliran Mu’tazilah

3.Untuk Mengetahui Siapa Saja Tokoh Aliran Mu’tazilah

4.Untuk Mengetahui Aliran Pokok Pemikiran Mu’tazilah

5.Untuk Mengetahui Sifat Allah Menurut Aliran Mu’tazilah

6.Untuk Mengetahui Pendapat Aliran Mu’tazilah Tentang Melihat Allah

2
BAB II

Pembahasan

A.Asal mula penyebutan Mu'tazilah

Sebutan Mu‟tazilah yang diberikan kepada mereka berasal dari kata i‟tazala, yang berarti
mengasingkan (memisahkan) diri. Menurut teori ini, sebutan Mu‟tazilah, yang diciptakan oleh
orang yang tidak sefaham dengan doktrin teologis mereka, diberikan atas dasar ucapan Hasan
alBashri, setelah dia menyaksikan Washil bin Atha‟ melakukan pemisahan diri dari
kelompoknya. Hasan al-Bashri diriwayatkan memberikan komentar sebagai berikut: i‟tazala
„anna (dia Washil bin Atha‟ mengasingkan atau memisahkan diri dari kita). Orang-orang yang
mengasingkan diri itulah yang kemudian disebut Mu‟tazilah, dan sejak peristiwa itu pula sebutan
Mu‟tazilah mulai dipergunakan dan dipopulerkan. Tindakan mengasingkan diri di sini bisa
bermakna ganda, memisahkan diri dalam artian dari forum (majlis) Hasan al-Bashri, atau
mengasingkan diri dari pandangan umum yang berkembang pada saat itu yakni Khawarij yang
menjustifikasi Muslim pelaku dosa besar sebagai kafir dan Murji‟ah yang tetap mengapresiasi
Muslim pelaku dosa besar sebagai tetap menjadi orang mukmin.

B.Latar belakang terbentuknya aliran mu'tazilah

Ada beberapa pendapat mengenai latar belakang munculnya aliran Mu'tazilah ini,
diantaranya sebagai berikut :

 Menurut As-Syahrastani, kata Mu'tazilah muncul dari peristiwa yang terjadi antara Wasil bin
Atha‟ bersama temannya Amr Ibn Ubaid dan Hasan Basri di Basrah. Wasil selalu aktif
mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Hasan Basri di Masjid Basrah. Pada suatu hari
salah seorang yang mengikuti pengajian bertanya kepada Hasan Basri tentang kedudukan orang
yang berbuat dosa besar. Mengenai orang yang berbuat dosa besar, kaum Khawarij memandang
mereka itu kafir, sedangkan kaum Murji‟ah memandang mereka tetap mukmin. Sementara
Hasan Basri sedang berfikir, Wasil bin Atha mengemukakan pendapatnya bahwa orang yang
melakukan dosa besar bukanlah kafir dan bukan pula mukmin. Setelah itu ia berdiri menjauhkan
diri dari Hasan Basri lantaran mereka tak sependapat dengannya, lalu pergi ke tempat lain.

3
Di sana ia membentuk pengajian sendiri dan mengulangi pendapatnya. Atas peristiwa ini, Hasan
Basri berkata: “Wasil menjauhkan diri dari kita (i‟tazala‟anna). Kemudian mereka disebut
Mu'tazilah, artinya orang yang menjauhkan diri.

 Ahmad Amin, sebutan Mu'tazilah sudah ada kurang lebih 100 tahun sebelum terjadinya
perselisihan pendapat Wasil bin Atha dengan Hasan Basri di masjid Basrah. Golongan yang
disebut Mu'tazilah pada waktu itu adalah mereka yang tidak ikut melibatkan diri dalam
pertikaian sepeninggal khalifah Utsman bin Affan wafat. Kelompok yang bertikai yaitu Thalhah
dan Zubair di satu pihak dengan khalifah Ali bin Abi Thalib di lain pihak, juga antara Ali dengan
Mua‟wiyah. Perselisihan itu muncul karena pembunuhan atas diri khalifah Utsman bin Affan,
dan karena pro dan kontra terhadap pengangkatan Ali sebagai khalifah. Meskipun persoalan itu
bersifat politik, namun mempunyai corak agama, sebab dalam Islam persoalan hidup sosial,
ekonomi, politik, dan sebagainya bercorak agama. Golongan yang tidak ikut pertikaian itu
mengatakan, “Kebenaran tidak mesti ada pada salah satu pihak yang bertikai, melainkan kedua-
duanya bisa salah, sekurang kurangnya tidak jelas siapa yang benar. Sedangkan agama hanya
memerintahkan memerangi orang-orang yang menyeleweng. Kalau keduanya golongan
menyeleweng, maka kami harus menjauhkan diri (i‟tazalna).Golongan yang menjauhkan diri ini
memang dijumpai dalam buku-buku sejarah. Al-Tabari umpamanya menyebut-kan bahwa
sewaktu Qais Ibn Sa‟ad sampai di Mesir sebagai Gubernur pada zaman khalifah Ali bi Abi
Thalib, ia menjumpai pertikaian di sana, satu golongan turut padanya, dan satu golongan lagi
melarikan diri ke Kharbita (i‟tazalat ila Kharbita). Dalam suratnya yang ia kirimkan kepada
khalifah, Qais menamai mereka Mu‟tazilin. Kalau al-Tabari menyebut nama Mu‟tazilin, Abu al-
Fida menyebutnya Mu'tazilah.

C . Tokoh-tokoh aliran Mu'tazilah

Diantara biografi tokoh-tokoh mu„tazilah yang terkenal adalah :

1.Wasil bin Atha„ bin Atha

Adalah teolog dan filsuf muslim terkemuka pada zaman dinasti Bani Umayyah. Pada mulanya
ia belajar pada Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad al-Hanafiyah. Selanjutnya, ia banyak
menimba ilmu pengetahuan di Mekkah dan mengenal ajaran Syi„ah di Madinah. Ia kemudian
melanjutkan perjalanan ke Bashrah dan berguru pada Hasan al-Bashri. Pengikut madzhab ini

4
berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang paling utama adalah akal. Sedangkan wahyu
berfungsi mendukung kebenaran akal. Menurut mereka apabila terjadi pertentangan antara
ketetapan akal dan ketentuan wahyu maka yang diutamakan adalah ketetapan akal. Adapaun
ketentuan wahyu kemudian dita'wilkan sedemikian rupa supaya sesuai dengan ketetapan akal,
atas dasar inilah orang berpendapat bahwa timbulnya aliran Mu'tazilah merupakan lahirnya
aliran rasionalisme di dalam Islam. Dialah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran
Muktazilah yang saat ini dikenal dengan 5 ajaran pokok tersebut.

2. Abu Huzail al-Allaf Al-Allaf (135 – 235) H).

Nama lengkapnya adalah Abdul Huzail Muhammad Abu AlHuzail Al-Allaf. Disebut Al-
Allaf karena ia tinggal di kampung penjual makanan binatang (allaf = makanan binatang). Ia
sebagai pemimpin Mu'tazilah yang kedua di Basrah. Ia banyak mempelajari filsafat Yunani.
Pengetahuannya tentang filsafat memudahkan baginya untuk menyusun dasar-dasar ajaran
Mu'tazilah secara teratur. Pengetahuannya tentang logika, membuat ia menjadi ahli debat.
Lawan-lawannya dari golongan zindiq (orang yang pura-pura masuk Islam), dari kalangan
Majusi, zoroaster, dan ateis tak mampu membantah argumentasinya. Menurut riwayat, 3000
orang masuk Islam di tangannya. Puncak kebesarannya dicapai pada masa khalifah Al-Ma‟mun,
karena khalifah ini pernah menjadi muridnya.

3. Ishaq Ibrahim Sayyar al-Nazhzham

Nama sebenarnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazzham. Ia adalah murid Abul
Huzail Al-Allaf. Ia juga bergaul dengan para filosof. Pendapatnya banyak berbeda dengan aliran
Mu'tazilah lainnya. An-Nazzham memiliki ketajaman berfikir yang luar biasa, antara lain tentang
metode keraguan (method of doubt) dan metode empirika yang merupakan cikal bakal
renaissance (pembaharuan) Eropa.

4. Abu Ali al-Jubba’i

Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad ibn Abdul Wahhab Al-Jubba‟i. Sebutan alJubba‟i
diambil dari mana tempat kelahirannya, yaitu satu tempat bernama Jubba, di propinsi Chuzestan-
Iran. Al-Jubbai‟ adalah guru imam Al-Asyari, tokoh utama dalam aliran Asy`ariyah. Ketika al-
Asy'ari keluar dari barisan Mu'tazilah dan menyerang pendapatnya, ia membalas serangan Al-
Asy‟ari tersebut. Pikiran-pikirannya tentang tafsiran Al-Qur‟an banyak diambil oleh Az-

5
Zamakhsyari. Al-Jubba‟i dan anaknya yaitu Abu Hasyim Aljubbai mencerminkan akhir
kejayaan aliran mu'tazilah.

5. Al- Jahiz

Al-Jahiz, dalam tulisan-tulisannya dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan


hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa
perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri,
malainkan ada pengaruh hukum alam.

6. Mu’ammar bin Abbad

Mu„ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. Pendapatnya tentang
kepercayaan pada hukum alam sama dengan pendapat al-Jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan
hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-arad atau accidents (sesuatu yang datang
pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke
dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari
batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.

7. Bisyr al-Mu„tamir

Ajarannya yang penting menyangkut pertanggung-jawaban perbuatan manusia. Anak kecil


baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum
mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa
besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu

D.Ajaran-Ajaran Pokok Aliran Mu’tazilah

Aliran Mu’tazilah mempunyai lima pokok ajaran yang tertuang dalam usulul khamsah atau
dasar yang lima, yaitu :

1.At-Tauhid

At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari dalam ajaran Mu’tazilah.
Orang orang Mu’tazilah dikatakan ahli tauhid karena mereka berusaha semaksimal mungkin
mempertahankan prinsip ketauhidannya. Ketauhidan golongan Mu’tazilah adalah:

6
1). Tuhan tidak bersifat qadim, kalau sifat Tuhan qadim berarti Allah berbilang bilang, sebab ada
dua zat yang qadim yaitu Allah dan sifat-Nya, sedangkan Allah Maha Esa. (Q.S.Asy-Syura 42 :
9)

2). Mereka menafikan (meniadakan) sifat sifat Allah sebab jika Allah bersifat dan sifatnya itu
bermacam macam pasti Allah itu berbilang.

3). Allah bersifat Aliman, Qadiran, Hayyan, Sami’an, Basyiran dan sebagainya adalah dengan
zat-Nya, tetapi ini bukan keluar dari zat Allah yang berdiri sendiri. Artinya Mu’tazilah menolak
konsep Tuhan memiliki sifat sifat, menggambarkan fisik Tuhan. (Q.S.Al An’am :103) yang
artinya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
penglihatan itu dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.

4). Allah tidak dapat diterka dan dilihat mata walaupun di akhirat nanti.

5). Mereka menolak aliran Mujassimah, Musyabihah, Dualisme dan Trinitas.

6). Tuhan itu bukan benda dan tidak berlaku tempat pada-Nya.

7) . Alqur’an itu baru (diciptakan) ; Al Qur’an adalah manifestasi kalam Tuhan, Alqur’an terdiri
atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang satunya mendahului yang lainnya.

Bagi Mu’tazilah Tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala
sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhan tidak ada satupun yang menyamai-
Nya. Tuhan mengetahui dengan ilmu dan ilmu itu dadalah tuhan sendiri, Tuhan berkuasa dengan
kekuasaan dan kekuasaan itu adalah Tuhan sendiri, yaitu zat dan esensi Tuhan bukan sifat yang
menempel pada zat-Nya. Bagi kaum Mu’tazilah bahwa tidak ada satupun yang dapat menyamai
Tuhan begitu juga dengan sebaliknya Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Segala yang
mengesankan adanya kejisiman Tuhan tidak dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil.
Maha suci Tuhan dari menyerupai yang diciptakan-Nya. (Q. S. Asy-Syura :42:11)

2. Al-Adlu (keadilan)

Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adlu yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil
merupakan hal untuk menunjukkan kesempurnaan-Nya. Karena Tuhan maha sempurna Dia pasti
maha adil. Manusia memiliki kebebasan dalam segala perbuatannya. Karena kebebasan itulah
manusia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya, Jika perbuatan manusia itu baik

7
maka Allah memberi kebaikan dan kalau perbuatannya salah Tuhan akan memberi siksaan.
Inilah yang dimaksud oleh Mu’tazilah keadilan Tuhan. Mereka berpendapat :

1) Tuhan menguasai kebaikan serta tidak menghendaki keburukan.

2) Manusia bebas berbuat dan kebebasan itu karena qudrat (kekuasaan) yang dijadikan Tuhan
pada diri manusia.

3) Makhluk diciptakan Tuhan atas dasar hikmah kebijaksanaan.

4) Tuhan tidak melarang atas sesuatu kecuali terhadap yang dilarang dan tidak menyuruh kecuali
yang diperintahkan-Nya.

5) Kaum Mu’tazilah tidak mengakui bahwa manusia itu memiliki qudrat dan iradat, tetapi qudrat
dan iradat itu hanya merupakan pinjaman belaka.

6) Manusia dapat dilarang atau dicegah untuk melakukan qudrat dan iradat.

Ajaran tentang keadilan ini berkaitan dengan:

a) Perbuatan manusia, yang menurut Mu’tazilah manusia melakukan dan menciptakan


perbuatannya sendiri terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan baik secara langsung
dan tidak langsung. Manusia benar benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya;
baik atau buruk. Sedangkan Tuhan hanya menyuruh atau menghendaki yang baik bukan
yang buruk. Adapun yang disuruh Tuhan pastilah baik dan apa yang dilarangnya pastilah
buruk. Tuhan terlepas dari perbuatan yang buruk. Konsep ini merupakan konsekwensi
logis dari keadilan Tuhan, artinya apapun yang diterima manusia nanti di akhirat
merupakan balasan dari perbuatan manusia di dunia. Kebaikan akan dibalas dengan
kebaikan dan kejahatan akan diganjar dengan siksaan, itulah merupakan bentuk keadilan
Tuhan karena manusia berbuat atas kehendaknya sendiri bukan kehendak Tuhan
b) Berbuat baik dan terbaik, maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik kepada
manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya terhadap manusia karena hal itu akan
menimbulkan kesan bahwa Tuhan jahat dan berlaku aniaya, sesuatu yang tidak layak bagi
Tuhan.
c) Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan alasan:

8
- Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu sulit terwujud kecuali dengan
mengutus Rasul kepada manusia.

- Al-Qur’an secara tegas mengatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih
kepada manusia. Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan mengutus Rasul. (Q.S.
Asy-Syu’ara (26) : 29).

- Tujuan diciptakannya manusia untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil
adalah dengan mengutus Rasul sebagai penyampai ajaran Tuhan.

3. Al-wa’du wal wa’id (janji dan ancaman)

Prinsip janji dan ancaman yang difahamkan kaum Mu’tazilah adalah untuk membuktikan
keadilan Tuhan sehingga manusia dapat merasakan balasan Tuhan atas segala perbuatannya.
(Q.S. Az Zalzalah (99) : 7-8). Ajarannya adalah :

1) Orang mukmin yang berdosa besar lalu wafat sebelum tobat ia tidak akan mendapat
ampunan Tuhan.

2) Di akhirat tidak akan ada syafaat sebab syafaat berlawanan dengan wa’ad dan wa’id (janji
dan ancaman).

3) Tuhan akan membalas kebaikan manusia yang telah berbuat baik dan akan menjatuhkan
siksa terhadap manusia yang melakukan kejahatan.8 (Q.S Al Humazah (104): 1-9) Ajaran ke
tiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran ke dua, janji dan ancaman menunjukkan
bahwa Tuhan maha adil dan maha bijaksana, Tuhan tidak akan melanggar janji-Nya sendiri,
yaitu dengan memberi pahala surga bagi orang orang yang berbuat baik dan mengancam
dengan siksa neraka atas orang yang durhaka. Begitu juga dengan janji Tuhan untuk
mengampuni bagi orang orang yang berbuat dosa tetapi ia bertaubat. Hal ini sesuai dengan
prinsip keadilan siapapun berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan dan siapapun bernuat
jahat akan dibalas dengan siksaan yang sangat pedih.

4. Al-Manzilah bain al-manzilatain (tempat diantara dua tempat)

Sebagaimana yang telah penulis uraikan terdahulu bahwa yang dimaksud dengan
almanzilah bain al-manzilatain (tempat diantara dua tempat), adalah posisi menengah bagi
orang mukmin yang telah melakukan dosa besar selain dosa musyrik maka orang tersebut

9
ditempatkan satu tempat diantara dua tempat yaitu antara mukmin dan kafir, ia dikatakan
bukan kafir karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Rasul-Nya tetapi bukanlah mukmin
karena imannya tidak lagi sempurna. Karena ia bukan mukmin maka ia tidak dapat masuk
surga karena ia bukan kafir maka ia tidak mesti masuk neraka. Ia seharusnya ditempatkan di
luar surga dan di luar neraka. Inilah sebenarnya keadilan Tuhan. Tetapi karena di akhirat
tidak ada tempat selain surga dan neraka maka pembuat dosa besar harus dimasukkan ke
dalam salah satu tempat ini. Adapun penentuan tempat itu banyak hubungannya dengan
faham Mu’tazilah tentang iman. Iman bagi mereka digambarkan bukan hanya oleh
pengakuan dan ucapan lisan tetapi juga dimanifestasikan melalui perbuatan perbuatan.
Dengan demikian pembuat dosa besar tidak beriman dan oleh karena itu tidak dapat masuk
surga. Tempat satu satunya ialah neraka. Tetapi tidak adil kalau ia dalam neraka mendapat
siksaan yang sama berat dengan kafir, oleh karena itu pembuat dosa besar betul masuk
neraka tetapi mendapat siksaan yang lebih ringan.

Inilah menurut Mu’tazilah yang dimaksud dengan posisi menengah antara mukmin dan
kafir. Menurut Mu’tazilah orang mukmin yang berbuat dosa besar digolongkan kepada orang
fasik dan orang ini tidak akan keluar dari neraka yang agak dingin dan tidak akan masuk ke
surga yang penuh kenikmatan.

Ajaran inilah yang mula mula menyebabkan penamaan aliran ini dengan nama
Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa
besar. Seperti yang tercatat dalam sejarah bahwa kaum Khawarij menganggap orang tersebut
kafir bahkan musyrik. Sedangkan Murji’ah menganggap bahwa orang itu tetap mukmin dan
dosanya dan tempatnya diserahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Bisa saja dosa tersebut
diampuni atau tidak terserah kepada Tuhan.

Adapun pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan belum
tobat maka ia bukan lagi mukmin atau kafir tetapi fasik. Pelaku dosa besar tidak dapat
dikatakan mukmin secara mutlak karena itu keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada
Tuhan tidak cukup dengan pengakuan dan pembenaran saja, maka berdosa besar bukanlah
kepatuhan melainkan kedurhakaan. Oleh sebab itu pelakunya tidak dapat dikatakan kafir
secara mutlak karena ia masih percaya kepada Tuhan, Rasul-Nya dan dapat mengerjakan
pekerjaan yang baik di lain waktu.

10
5. Amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh kebaikan dan melarang keburukan)

Ajaran dasar yang ke lima adalah menyuruh kabajikan dan melarang kemungkaran (amar
ma’ruf nahi munkar), ajaran ini menekankan manusia untuk berpihak kepada kebenaran
dkebaikan. Hal ini merupakan konsekwensi logis dari keimanan seseorang, pengakuan
keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik dengan menyuruh orang berbuat baik dan
mencegah dari kejahatan. Dasar yang ke lima ini berkenaan dengan amalan lahir,sebab
menurut mereka “ Orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus
dibenarkan serta diluruskan.” Kewajiban ini harus dilaksanakan oleh setiap muslim untuk
menegakkan agama serta memberi petunjuk kepada orang yang sesat. Mereka berpegang
kepada ayat Tuhan dalam surat al Imran : 104. yang artinya : Dan hendaklah ada di antara
kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang munkar merekalah orang orang yang beruntung. Prinsip ini harus
dijalankan oleh setiap ummat Islam untuk penyiaran agama dan memberi petunjuk kepada
orang orang yang sesat Aliran Mu’tazilah berpusat di dua tempat yaitu di Basrah dan di
Baghdad. Dalam perkembangan selanjutnya aliran Mu’tazilah berpecah belah menjadi lebih
dari dua puluh aliran diantaranya:

1. Aliran Huzail, Pengikut Abu Huzail al-Allaf.

2. Aliran Nazzam, Pengikut Ibrahim an-Nazzam.

3. Aliran Jahiz, Pengikut Al-Jahiz.

4. Aliran Jubba’i, Pengikut Al-Jubba’i.

Namun semua aliran ini masih berprinsip kepada lima ajaran tersebut. Hingga sekarang
aliran Mu’tazilah secara fisik telah tenggelam. Namun namanya masih dikenang dan
pemikiran pemikirannya masih menjelma pada pemikiran pemikiran manusia yang
mengedepankan akal/rasio.

E.Sifat Sifat Allah Menurut Aliran Mu’tazilah

Permasalahan yang muncul dalam hal sifat-sifat Allah yaitu apakah Allah memiliki sifat
atau tidak. Keyakinan umat Islam, sebelum timbulnya permasalahan ini adalah bahwa Allah
memiliki sifat-sifat azali tanpa mempermasalahkan tentang keberadaan sifat-sifat itu. Namun,

11
setelah Abu Muhriz Jahm ibn Shafwan (w. 128 H/745 M), tokoh paham jabariyyah,
membawa pemikiran yang menafikan sifat-sifat bagi Allah, umat Islam pun terbagi kepada
dua golongan; pertama, shifatiyyah yaitu golongan yang mengakui keberadaan sifat-sifat
bagi Allah dan kedua, mu’aththilah yaitu golongan yang menafikan keberadaan sifat-sifat
bagi-Nya.

Mu’tazilah berpandangan bahwa Allah tidak memiliki sifat yang berdiri sendiri. Paham
ini didasarkan pada tauhid, yakni mensucikan Allah dari syirik. Aliran ini menafikan sifat-
sifat-Nya yang berdiri sendiri, sebab dengan adanya sifat bagi Allah, maka hilanglah
keesaan-Nya. Dalam hal ini tidak bisa diartikan bahwa Mu’tazilah tidak mengakui Allah
yang Qadir, 'Alim, dan sebagainya. Tetapi, mereka menolak eksistensi sifat-sifat Allah
sebagai sesuatu yang kekal (Qadim) di samping dzat-Nya yang kekal. Aliran ini
mengemukakan dua pengertian yang muncul dari adanya sifat bagi Allah, yaitu sifat tersebut
kekal (qadim) dan sifat itu diciptakan (muhdats). Pcngertian pertama, rnengakibatkan ada
banyak yang kekal (ta'addud al-qudama') yang membawa kepada paham syirik. Pengertian
kedua, jika sifat diciptakan, maka harus ada yang menciptakan. Permasalahan yang muncul
adalah siapakah yang menciptakan sifat-sifat bagi Allah. Jawaban untuk permasalahan ini
dapat ditemukan dua macam: pertama, dzat Allah yang kekal yang menciptakan sifatsifat
bagi diri-Nya; kedua, adanya kekuasaan lain yang menciptakan sifat-sifat bagi diri-Nya.
Dalam hal ini, ‘Abd al-Jabbar menegaskan ketidakmungkinan terjadinya dua hal tersebut.

Diskursus tentang sifat-sifat Allah berkembang sampai pada persoalan sifat jasmani yang
dimiliki-Nya sebagaimana yang digambarkan oleh nash, yang menyatakan Allah memiliki
tangan, wajah, kursi, bertahta dan sebagainya. Ayatayat yang demikian termasuk ke dalam
ayat-ayat yang samar-samar maknanya (mutasyabihah), yang dapat membawa kepada paham
tasybih atau antropomorfisme. Kaum Mu’tazilah menggunakan takwil terhadap nash yang
menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat jasmani, sehingga tidak tergambar ada tasybih pada
nash tersebut. Kata al-yad (tangan) yang terdapat dalam surah al-Dzariyat/51: 47, ditakwil
dengan kata al-quwwah atau al-qudrah yang menunjuk kepada arti kekuasaan atau kekuatan .

Aliran Asy’ariah bcrpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat. Adanya sifat-sifat tersebut
menurut Abu al-Hasan al-Asy’ari dapat diamati melalui kejadian alam semesta dan
penciptaan manusia itu sendiri. Perbuatan Allah di alam ini adalah bukti dari adanya sifat-

12
sifat-Nya. Semua sifat Allah bersifat kekal (qadim). Ia berada pada dzat Allah dan menjadi
sifat dzat-Nya. Al-Ghazali memperjelas adanya sifat bagi Allah dengan menyatakan bahwa
semua sifat Allah bersifat kekal dan tidak mungkin pada dzat yang kekal berada sifat yang
tidak kekal.

Berangkat dari hal di atas, dapat dipahami bahwa Asy’ariah dalam memahami sifat-sifat
Allah tidak sesuai dengan mu’aththilah. Artinya, sifat- sifat Allah diakui keberadaannya.
Sebab, hal ini merupakan kelanjutan dari paham kekuasaan dan kehendak mutlak Allah
dimana teologi tradisional terpasung pada arti tekstual yang pada gilirannya mereka tidak
menerima takwil kecuali menyerahkan hakikat ayat-ayat mutasyabihah hanya kepada Allah
semata tanpa mempertanyakan lebih dalam lagi bagaimana hakikatnya). Pandangan ini
hampir sama dengan pemikiran kaum Salaf. Golongan Salaf menerima adanya sifat-sifat bagi
Allah apa adanya sebagaimana dinyatakan oleh nash tanpa tasybih dan tanpa melakukan
takwil.

F.Melihat Allah Dalam Pandangan Mu’tazilah : Al-Qadi ‘Abd Al-Jabar

A.Definisi Melihat Allah

Melihat Allah bagi kaum Asy‘ariyah disebut dengan istilah Ru‘yah Allāh. Ru’yah berasal dari
kata ‫رى – رأى‬SS‫ة – رأي – ي‬SS‫ رؤي‬yang berarti melihat, meyakinkan, mengira, menyangka.1 Kata
Ru’yah bisa juga diartikan dengan ”Annazar bil aini au bil-qalbi” (melihat dengan mata atau
dengan hati). Adapun Allah adalah nama Tuhan yang paling banyak disebut di dalam al-Qur’an
yaitu sebanyak 2799 kali.Ru‘yah Allāh bisa diartikan dengan melihat Tuhan dengan penglihatan
mata atau penglihatan hati. Adapun kaum Mu‘tazilah menggunakan istilah idrāk (kemampuan
melihat).

Kata rā’a (‫ ) رأى‬berarti naẓara (‫ )نظر‬yaitu melihat.Termasuk ini dapat dijumpai di dalam al-
Qur’an Surat Al-Qiyamah ayat 22-23

ِ َ‫اِ ٰلى َربِّ َها ن‬٢٢ ۙ ٌ‫اض َرة‬


٢٣ ۚ ٌ‫اظ َرة‬ ِ َّ‫ُو ُج ۡوهٌ يَّ ۡو َم ِٕٮ ٍذ ن‬

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri (22). Kepada Tuhannyalah
mereka melihat.” (23)

13
Kata naẓara ilā pada ayat tersebut menurut Al-Juwainī berarti melihat dengan mata fisik.
Adapun Mu‘tazilah mengartikannya dengan menunggu (intiẓār) atau mendekat (taqarrub). Al-
Juwainī menolak pendapat tersebut dengan menjelaskan bahwa dalam bahasa Arab, kata naẓara
mempunyai beberapa arti. Apabila kata naẓara dimaksudkan untuk menunggu atau mendekat,
pemakaiannya tanpa ṣilah (penghubung) huruf fī. Selanjutnya apabila kata naẓara dimaksudkan
untuk penanda kasihan (taraḥḥum), maka ṣilah (penghubung) yang digunakan adalah li. Akan
tetapi, jika yang dimaksudkan arti melihat dengan mata fisik, maka ṣilah (penghubung) yang
digunakan adalah ilā, sebagaimana disebutkan dalam Surah al-Qiyāmah ayat 22-23, kata naẓara
harus berarti melihat dengan mata fisik.

Pendapat itu pun ditolak oleh Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, dengan mengatakan bagaimana
mungkin mereka bisa mengatakan, bahwa naẓara harus berarti melihat? Orang Arab
membedakan antara naẓara dengan rā’a. Mereka mengatakan ”naẓartu ilā al-hilāli falam arahu”
yang artinya Aku memandang bulan, tetapi aku tidak melihatnya. Ucapan tersebut tidak bisa
berarti ra’aitu al-hilāla famā ra’aitu yaitu Aku melihat bulan, tetapi aku tidak melihatnya.
Mereka menjadikan ru’yah (melihat) sebagai tujuan akhir dari memandang. Mereka juga
mengatakan Jika naẓara berarti rā’a, maka kalimat di atas akan berarti ( Aku malihat sampai aku
bisa melihat). Hal ini menurut Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār adalah tidak mungkin.

B.Melihat Allah dalam Pandangan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār

Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang secara sepintas memberikan pengertian bahwa Allah
bertempat, yang mengisyaratkan bahwa Dia mempunyai mata, wajah, dan tangan. Ini memberi
konsekuensi bahwa Dia adalah jisim atau wujud materi, karena yang dapat mengambil tempat
hanyalah jisim. Dikatakan bahwa setelah menciptakan untuk manusia semua yang ada di bumi,
Allah ‫ السماء على استوى‬Yang berarti “duduk di atas langit”, sementara duduk hanya dapat berlaku
untuk jisim. Ayat ini juga menunjukkan bahwa Dia berpindah dari bumi ke langit, padahal
pindah hanya dapat terjadi pada wujud materil. Pengertian seperti ini tidak diterima oleh kaum
Mu‘tazilah, dan karenanya Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menerangkan bahwa pengertian seperti itu
salah. Hal ini terkait dengan penolakannya terhadap kemungkinan melihat Tuhan

Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menolak pemahaman seperti itu dan menjelaskan bahwa ayat tersebut
mestilah dipahami dengan: Allah menciptakan untuk kita apaapa yang ada di bumi, lalu Dia
menciptakan untuk kita juga langit-langit dan menjadikannya sama; sehingga dengan penciptaan-

14
Nya, menjadi sempurnalah nikmat-nikmat-Nya atas kita dari segi-segi yang tak terhitung
banyaknya.

Ayat lain yang menyatakan bahwa Allah ada di langit dan di bumi.Oleh Al-Qāḍī ‘Abd al-
Jabbār dijelaskan bahwa secara harfiah ayat ini memberi pengertian bahwa Allah ada di langit
dan di bumi dalam waktu yang sama. Ayat ini sebagai bukti bahwa Tuhan bukan jisim, karena
mustahil jisim ada dalam dua tempat yang berbeda pada waktu yang sama. Penyebutan bahwa
Allah ada di langit dan di bumi sekaligus, berarti bahwa Dia tidak menjadikan langit dan bumi
sebagai tempat bagi-Nya, karena hal itu mustahil bagi sesuatu yang bisa bertempat. Oleh karena
itu, ayat ini harus ditakwilkan dengan pengertian bahwa Allah menjadikan langit-langit dan bumi
sebagai wadah (zarf) bagi pengaturan dan kekuasaan-Nya serta pengelolaan-Nya atas keduanya
sesuai dengan kehendak-Nya. Dia ada dimana-mana. Maksudnya, bahwa tak sesuatu pun yang
lepas dari pengetahuan-Nya. Karena pengetahuan-Nya meliputi kedunya (di langit dan di bumi).

Mengenai ayat-ayat yang menunjukkan penyerupaan Allah dengan makhluk dengan adanya
wajah, mata, dan tangan bagi Allah, Al-Qāḍī ‘Abd alJabbār menjelaskan bahwa jika kata wajah
dipakai sehubungan dengan sesuatu yang tidak terbagi menjadi bagian-bagian, maka yang
dimaksud adalah zatnya. Mengenai penisbatan wajah kepada Tuhan, terdapat salah satu ayat
yang menyatakan bahwa: “dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah.”Kata wajah ditakwilkan dengan ZatNya, sehingga yang
dimaksud dengan wajah Allah adalah kekuasaan Allah yang meliputi seluruh alam; sebab itu di
mana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan
Allah.

Adapun mengenai penisbatan mata dan tangan kepada Allah, Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār
menempuh cara yang sama untuk menolak penisbatan tersebut. Mata Allah tidak dapat dipahami
menurut pengertian lahiriah, yang dimaksud dengan mata Allah adalah penglihatan batin dan
pengetahuan yang diberikan Allah. Sedangkan penisbatan tangan kepada Allah dapat diartikan
dengan pemberian atau nikmat. Terbukanya tangan Allah melambangkan bahwa Dia Maha
Pemurah. Selain itu, tangan Tuhan dapat juga dipahami dengan kekuasaan-Nya.

15
BAB III

KESIMPULAN

1. Aliran Mu'tazilah muncul kira-kira pada permulaan abad pertama Hijriah di kota Basrah
(Irak).

2. Kata Mu'tazilah muncul dari peristiwa Wasil dengan Hasan Basri mengenai kedudukan orang
yang berbuat dosa besar, yang berakhir Wasil menjauhkan diri dari tempat Hasan Basri. Menurut
Pendapat Al-Mas‟udi bahwa ke-mu‟tazilahan itu mula-mula muncul merupakan sifat dari orang
yang berbuat dosa besar (jauh dari golongan mukmin dan kafir), yang kemudian sifat atau nama
itu diberikan kepada golongan yang berpendapat demikian. Sedangkan menurut Ahmad Amin,
sebutan Mu'tazilah muncul di sekitar pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu‟awiyah.
Golongan yang tidak ikut bertikai mengatakan bahwa orang-orang yang bertikai telah
menyeleweng dan harus dijauhi (i‟tazalna).

3. Tokoh-tokoh aliran Mu'tazilah antara lain: Wasil bin Atha, Abu Huzail bin Huzail Al-Allaf,
Bisyir bin Al-Mu‟tamar, Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazzham, Abu Ali Muhammad bin
Ali Jubba‟i, Abu Husein Al-Khayyat, Al-Qadhi Abd al-Jabbar, dan Jarullah Abdul Qasim
Muhammad bin Umar Az-Zamakhsyari.

16
4. Ajaran-ajaran pokok aliran Mu'tazilah adalah: At-Tauhid (Ke-Mahaesaan Tuhan), Al-Adl
(Keadilan), Al-Wa‟d wal Wa‟id (Janji dan Ancaman), Al-Manzilah bain al-Manzilatain (Posisi
diantara dua posisi), dan Amar ma‟ruf Nahi Munkar (Menyuruh Berbuat Baik dan melarang
berbuat jahat.

5. Aliran Mu'tazilah dalam pendapatnya berpegang kuat pada akal pikiran (rasio). Oleh sebab itu
mereka hanya mau menerima dalil naqli yang sesuai dengan dalil-dalil akal pikiran. 6. Aliran ini
mencapai puncak kejayaannya pada masa khalifah Al-Ma‟mun dan mulai menurun pada masa
khalifah Al-Mutawakkil.

DAFTAR PUSTAKA

17

Anda mungkin juga menyukai