STP 3
STP 3
STP 3
FAJAR RETNOWATI
062120702
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah seminar tinjauan pustaka ini dengan judul “Optimasi
Jenis dan Konsentrasi Koagulan Dalam Pengolahan Limbah Cair Tahu”
dengan baik. Makalah seminar tinjauan pustaka ini merupakan salah satu syarat
mencapai gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia pada Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan.
Selain itu, dalam penyusunan makalah ini, penulis di bantu dan dibimbing oleh
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-
besarnya kepada :
(1) Asep Denih, M.Sc., Ph.D selaku Dekan FMIPA, Universitas Pakuan Bogor.
(2) Dr. Ade Heri Mulyati, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia Universitas
Pakuan.
(3) Seluruh dosen dan staf FMIPA Universitas Pakuan Bogor atas ilmu yang
diberikan.
(4) Keluarga saya atas dukungan, bantuan serta doanya yang diberikan.
(5) Seluruh pihak yang membantu penyusunan Seminar Tinjauan Pustaka (STP)
ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
menyangkut materi penyusunan, penyajian maupun pembahasannya. Oleh karena
itu, diperlukan saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun dan
menjadikan makalah ini lebih sempurna dan berbobot. Penulis berharap semoga
makalah ini dapat berguna bagi semua pihak. Baik secara langsung maupun tidak
langsung. Serta dapat bermanfaat di masa sekarang maupun di masa depan
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
tidak mengolah limbah hasil pembuatan tahu dikarenakan biaya yang cukup mahal
dan kurangnya pengetahuan dalam pengelolaan limbah (Yudhistira et al., 2016).
Oleh karena itu, limbah cair tahu sebelum dibuang ke lingkungan perlu diolah
terlebih dahulu untuk mengurangi konsentrasi kandungan pencemar yang
menyertai limbah tersebut.
Teknik pengolahan limbah cair dibagi menjadi tiga metode yaitu pengolahan
secara fisika, kimia, dan biologi. Pengolahan limbah cair secara kimia merupakan
metode pengolahan yang sangat luas diaplikasikan karena mudah dilakukan,
sederhana, biaya rendah, dan mampu menurunkan kadar pencemar limbah hingga
memenuhi baku mutu (Liang et al., 2014). Salah satu proses dalam pengolahan
limbah secara kimia yaitu dengan menggunakan metode koagulasi-flokulasi.
Koagulasi-flokulasi adalah suatu rangkaian proses pengolahan air limbah yang
menggunakan pembubuhan bahan kimia (koagulan). Koagulan ditambahkan untuk
menetralkan keadaan atau mengurangi partikel kecil yang tercampur dalam limbah
cair melalui pengendapan. Akibat dari proses tersebut, terbentuklah flok-flok kecil.
Setelah terbentuk flok, dilanjutkan dengan proses flokulasi, yakni dengan
penggabungan inti flok menjadi flok berukuran yang lebih besar yang dapat
memungkinkan partikel mengendap. Penggabungan flok kecil menjadi flok besar
terjadi akibat proses tumbukan antarflok (Umah et al., 2018).
Koagulan yang digunakan bisa koagulan kimia ataupun koagulan alami.
Umumnya, koagulan kimia yang digunakan ialah Poly Aluminium Chloride (PAC)
dan [Al2(SO4)3] atau dikenal sebagai tawas. Menurut Husaini et al. (2018) koagulan
PAC dapat menurunkan pencemar kekeruhan hingga 97.69% dari nilai awal
kekeruhan pada limbah cair. Sedangkan koagulan tawas dapat memperbaiki
kualitas limbah cair industri tahu dengan efektivitas penurunan kekeruhan sebesar
94.98% (Nurlina et al., 2015). Penurunan nilai kekeruhan dapat sebanding dengan
penurunan pencemar lainnya seperti nilai jumlah Total Suspended Solid (TSS),
Total Dissolved Solid (TDS), dan Chemical Oxygen Demand (COD) (Siregar
2018). Kelemahan dari kedua koagulan kimia ini adalah relatif mahal, dan
penggunaan koagulan kimia pada akhir proses pengolahan menghasilkan endapan
yang lebih sulit ditangani, serta terdapat monomer beberapa polimer organik
sintetik seperti PAC dan alum yang memiliki sifat neurotoksisitas. Namun
3
penggunaan koagulan kimia ini lebih efektif dibanding koagulan alami dalam
menurunkan bahan pencemar pada limbah pengolahan tahu (Hendrawati et al.,
2013).
Adapula koagulan alami yang sering digunakan dalam pengolaham limbah cair
tahu yaitu biji asam jawa (Tamarindus indica) dan biji kelor (Moringa oleifera L).
Memang potensinya tidak sefektif koagulan kimia dalam meminimalisir bahan
pencemar pada limbah tahu namun koagulan alami ini ramah lingkungan, dan
menghasilkan endapan yang tidak sulit untuk diolah kembali, dan masyakarat
setempat dapat membudidayakan biji tanaman tersebut sehingga dapat melestarikan
alam (Wati 2014). Penelitian terdahulu menyatakan bahwa biji asam jawa efektif
menurunkan kekeruhan pada limbah cair tahu sebesar 81.40% (Enrico, 2008).
Sedangkan biji kelor dapat menurunkan kekeruhan sebesar 70.20% (Haslinah,
2016). Berdasarkan hal-hal tersebut maka dilakukan penelitian terhadap
penggunaan jenis dan konsentrasi koagulan yaitu PAC, tawas, biji asam jawa, dan
biji kelor dalam menurunkan berbagai pencemar pada limbah cair tahu sehingga
diperoleh jenis dan kondisi koagulan yang terbaik pada pengolahan limbah cair tahu
secara kimia yang ditinjau dari segi parameter pH, kekeruhan, TSS, TDS, dan COD.
3. Koagulan yang paling efektif diantara kedua koagulan (koagulan kimia dan
alami) dalam menurunkan bahan pencemar pada limbah cair tahu ialah biji
asam jawa
5
6
Limbah padat tahu berasal dari proses penyaringan serta penggumpalan tahu.
Umumnya limbah padat tahu belum dirasakan dampaknya terhadap lingkungan
karena dapat dimanfaatkan untuk tempe gembus, kerupuk ampas tahu, pakan
ternak, serta diolah menjadi tepung ampas tahu. Sedangkan, limbah tahu yang
berbentuk cair jika dibuang ke perairan akan mengakibatkan dampat buruk bagi
kualitas air (Yudhistira et al. 2016). Limbah cair tahu adalah air buangan yang
dihasilkan selama proses pembuatan tahu. Pada produksi tahu, limbah cair yang
dihasilkan berasal dari air buangan sisa proses perendaman, pembersihan kedelai,
pembersihan peralatan produksi, penyaringan, pengepresan atau pencetakan tahu
dan apabila dibuang langsung ke perairan akan berbau busuk dan mencemari
lingkungan (Kaswinarni, 2008).
Limbah cair tahu sebagian besar merupakan cairan kental yang terpisah dari
gumpalan tahu yang disebut dengan air dadih (whey). Limbah cair tahu memiliki
kandungan senyawa-senyawa organik diantaraya berupa protein sebesar 40-60%,
karbohidrat 25-50%, dan lemak sebesar 10% (Pujiastuti, 2009). Kandungan bahan
organik tersebut dapat mempengaruhi kadar COD. Selain itu limbah cair tahu juga
mengandung gas seperti oksigen terlarut (O2), hidrogen sulfida (H2S),
karbondioksida (CO2), dan amoniak (NH3). Gas-gas ini apabila melebihi standar
maka akan berpengaruh terhadap kehidupan biota perairan. Menurut Agung dan
Winata (2011), limbah tahu yang mengandung COD dan bahan organik tinggi akan
berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan (Pagoray et al. 2021).
Limbah cair tahu memiliki kecenderungan bersifat asam dengan pH 3-4, hal
ini dikarenakan dalam proses pembuatan tahu dilakukan penambahan asam cuka
(CH3COOH) sebagai bahan penggumpal. Suhu limbah cair tahu berkisar 40-60oC.
Suhu tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan suhu rata-rata lingkungan.
Limbah cair tahu yang tidak dikelola dengan baik serta dibuang langsung ke badan
sungai dapat menyebabkan pencemaran air karena senyawa-senyawa organik yang
ada pada limbah membusuk. Limbah cair tahu yang tidak diolah akan keruh
berwarna kuning muda keabu-abuan yang apabila dibiarkan akan berubah menjadi
hitam dan berbau busuk (Rolia dan Amran, 2015). Limbah cair tahu tanpa
pengolahan terlebih dahulu dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi manusia
7
seperti gatal, diare, kolera, radang usus, gangguan pernapasan, dan penyakit lainnya
(Kaswinarni, 2008).
2.2.1 Koagulasi
Koagulasi adalah metode untuk menghilangkan bahan-bahan limbah dalam
bentuk koloid dengan menambahkan koagulan. Koagulan adalah bahan kimia yang
dibutuhkan untuk membantu proses pengendapan partikel-partikel kecil yang tidak
dapat mengendap secara gravimetri. Tujuan dari koagulasi adalah mengubah
partikel padatan dalam air limbah yang tidak bisa mengendap menjadi mudah
mengendap. Hal ini karena adanya proses pencampuran koagulan ke dalam air
limbah sehingga menyebabkan partikel padatan yang mempunyai berat ringan dan
ukurannya kecil menjadi lebih berat dan ukurannya besar (flok) yang mudah
mengendap (Susanto, 2008). Koagulan yang digunakan dalam koagulasi bisa
berupa koagulan kimia maupun koagulan alami. Berikut ini beberapa jenis
koagulan kimia dan koagulan alami yang sering digunakan untuk pengolahan air
limbah.
1. Poly Aluminium Chloride (PAC)
PAC adalah garam khusus pada pembuatan aluminium klorida yang
mampu memberikan daya koagulasi dan flokulasi yang kuat. Kegunaan
dari PAC adalah sebagai koagulan atau flokulan untuk menguraikan larutan
8
maka zat aktif dari biji kelor tersebut akan semakin banyak karena luas
permukaan biji kelor semakin besar (Bangun et al., 2013). Bahan koagulan
lain dalam biji kelor adalah protein kationik bertegangan rapat
(polielektrolit kationik) dengan berat molekul sekitar 6.5 kdalton yang larut
dalam air, serta mengandung hingga 6 asam-asam amino terutama asam
glutamat, metionin, dan arginin. Potensial zeta larutan 5% biji kelor tanpa
kulit adalah +6mV. Hal ini menunjukan bahwa larutan biji kelor
didominasi oleh tegangan positif (bermuatan positif). Prinsip utama
mekanisme koagulasi adalah adsorpsi dan netralisasi tegangan protein
tersebut. Dalam proses koagulasinya, biji kelor memberikan pengaruh yang
kecil terhadap derajat keasaman dan konduktifitas (Coniwanti et al., 2013).
Prinsip koagulasi adalah adalah pencampuran koagulan ke dalam air dengan
pengadukan secara cepat untuk mendestabilisasi koloid dan padatan tersuspensi
yang halus, kemudian membentuk jonjot mikro atau mikro flok (Rahimah, 2016).
Flok sendiri merupakan endapan yang dihasilkan dari pembubuhan koagulan
sedangkan mikro merupakan sesuatu yang berukuran kecil, jadi mikro flok
merupakan endapan yang berukuran kecil yang dihasilkan dari pembubuhan
koagulan. Partikel-partikel yang tersuspensi dalam air mempunyai muatan listrik
pada permukaannya. Muatan ini disebabkan oleh adsorpsi ion-ion oleh partikel
seperti hidroksida (OH-) dari dalam air (Susanto, 2008).
Muatan listrik yang sama pada partikel-partikel tersebut saling tolak-
menolak sehingga membuat partikel-partikel atau koloid kecil tersebut terpisah satu
sama lain. Koagulasi dilakukan untuk menurunkan atau menetralkan muatan listrik
pada koloid dan partikel tersuspensi (Ancela, 2020). Koagulasi ini akan
menyebabkan partikel-partikel koloid akan saling tarik-menarik dan menggumpal
membentuk flok. Proses destabilisasi koloid dalam limbah cair dengan
menambahkan koagulan yang mempunyai muatan berlawanan dengan muatan
partikel-partikel koloid yang menyebabkan terjadinya gaya tarik-menarik yang
dapat mengikat dan menggumpalkan partikel-partikel koloid (Al Hidayah, 2018).
Berikut ini proses pengikatan partikel koloid oleh koagulan.
11
2.2.2 Flokulasi
Flokulasi merupakan proses kelanjutan dari proses koagulasi, dimana
mikroflok hasil koagulasi mulai menggumpalkan partikel-partikel koloid menjadi
flok-flok yang lebih besar (makroflok) yang dapat diendapkan dan proses ini
dibantu dengan pengadukan lambat (Setyawati et al., 2018). Flok yang besar akan
mempermudah proses penyaringan karena flok yang besar akan mudah tersaring
dan tidak menutup lubang pori saat penyaringan (Siregar, 2018). Pada proses ini,
digunakan flokulan yang merupakan bahan kimiawi, biasanya bahan organik yang
ditambahkan untuk meningkatkan proses flokulasi. Mekanisme flokulasi dapat
12
Gambar 5. Proses pengikatan koloid oleh flokulan (Al Hidayah, 2018) (Risdianto,
2007)
Penambahan polimer pada flokulasi akan mempengaruhi kestabilan
molekul dari agregat yang terbentuk, sehingga ketika molekul dalam keadaan tidak
stabil maka polimer akan mudah untuk berikatan dengan agregat yang nantinya
akan membentuk agregasi baru atau flok. Flok-flok tersebut akan saling bergabung
membentuk flok yang lebih besar. Flok-flok yang terbentuk mempunyai berat
molekul yang lebih besar dari molekul air akibat penambahan polimer, sehingga
flok tersebut akan mudah mengendap (Eckenfelder dan Wesley, 2000). Berikut ini
terdapat informasi mengenai jenis dan batasan dosis optimal untuk flokulan sebagai
13
referensi dalam menentukan jenis flokulan yang akan digunakan serta batasan dosis
optimalnya sebagai langkah awal penelitian.
Tabel 1. Penerapan dosis flokulan
Rentang
Proses kimia dosis pH Keterangan
(mg/L)
Untuk koagulasi koloid atau
Polimer Tidak untuk menambah koagulasi
2-5
kationik berubah dengan logam. Pembentukan zat
inert harus dihindari
dan pada saat hubungan itulah terjadi pembentukkan partikel yang lebih
besar dan selanjutnya terus menumpuk.
2. Flokulasi ortokinetik
Merupakan penggumpalan yang diakibatkan oleh gradien kecepatan
dalam cairan. Proses ini membutuhkan pergerakan yang lambat dari
partikel di dalam air. Partikel akan dianggap bertubrukan bila jarak mereka
dekat atau berada dalam daerah yang masih mempunyai pengaruh terhadap
partikel lain. Pada proses ini kecepatan pengendapan dari partikel
diabaikan. Untuk itu dibutuhkan pergolakan air atau gradien kecepatan
untuk menaikkan tumbukan antarpartikel.
3. Pengendapan diferensial
Merupakan terjadinya flokulasi akibat dari kecepatan pengendapan yang
berbeda karena adanya perbedaan ukuran partikel. Partikel besar akan
lebih cepat mengendap dibandingkan partikel kecil. Hal ini akan
membantu flokulasi ortokinetik karena gradien kecepatan yang dihasilkan
menyebabkan penggumpalan lebih lanjut. Pada pengendapan ini, partikel-
partikel besar menarik partikel-partikel kecil membentuk partikel-partikel
yang lebih besar.
Jar test digunakan untuk mengetahui kinerja koagulasi dan flokulasi secara
simulasi di laboratorium dan menentukan dosis optimum koagulan serta flokulan
yang digunakan. Prinsip dari jar test ini ialah proses pengolahan air skala kecil
(Sabilina et al., 2018). Pengujian koagulasi dan flokulasi dengan jar test
berpedoman pada SNI 19-6449-2000.
Pelarutan koagulan pada jar test dilakukan melalui dua tahap yaitu
pengadukan cepat dan pengadukan lambat untuk membentuk flok-flok. Setelah
proses koagulasi flokulasi dilanjutkan dengan proses pengendapan mikroflok dan
makroflok. Dosis optimum koagulan ditentukan berdasarkan ukuran flok yang lebih
besar dan kecepatan flok tersebut mengendap di dasar beaker glass (Lolo et al.,
2020). Apabila percobaan dilakukan secara tepat, informasi yang berguna akan
diperoleh untuk membantu operator IPAL dalam mengoptimalkan proses-proses
koagulasi, flokulasi, dan penjernihan. Jar test memberikan data mengenai kondisi
optimum untuk parameter-parameter proses seperti dosis koagulan dan koagulan
pembantu, pH, metode pembubuhan bahan kimia, kecepatan larutan kimia, waktu
dan intensitas pengadukan cepat (koagulasi) dan pengadukan lambat (flokulasi)
serta waktu penjernihan (Husaini et al., 2018).
2.3.1 Nilai pH
Derajat keasaman atau pH merupakan intensitas keasaman suatu cairan dan
menunjukkan tinggi rendahnya konsentrasi ion hidrogen (Kartike, 2018). pH
mempunyai peran yang sangat penting dalam proses kehidupan di sistem perairan.
pH juga menggambarkan tingkat pencemaran yang terjadi di lingkungan perairan
yang nilainya diukur menggunakan pH meter terkalibrasi (BSN, 2004). Derajat
16
keasaman (pH) dipengaruhi oleh aktivitas biologi yang terdiri dari proses
fotosintesis dan respirasi organisme, suhu, dan kondisi ion-ion di dalam perairan.
Selain itu, pH sangat penting untuk menentukan sifat korosif air. Nilai pH
yang rendah menunjukkan tingkat korosif air yang tinggi (Okbah et al., 2017).
Tinggi rendahnya pH di perairan dapat disebabkan oleh seberapa besar kadar O2
dan CO2 di dalam air. CO2 dan O2 berkaitan dengan proses fotosintesis di dalam
perairan. Jika proses fotosintesis menghasilkan O2 yang banyak, maka pH air akan
semakin naik, sebaliknya jika nilai pH rendah maka akan menurunkan kadar O2
terlarut dalam perairan yang akan mengakibatkan kematian biota yang ada di
perairan tersebut. Tinggi rendahnya nilai derajat keasaman atau pH di suatu
perairan dipengaruhi oleh banyaknya limbah organik maupun limbah anorganik
yang masuk ke dalam badan air (Zharifa et al., 2019).
Semakin tinggi limbah tahu akan berpengaruh terhadap pH air. Air limbah
industri tahu sifatnya cenderung asam, pada keadaan asam ini akan terlepas zat-zat
yang mudah menguap. Hal ini mengakibatkan limbah cair industri tahu
mengeluarkan bau busuk (Simanjuntak, 2015). Menurut Mardhia dan Abdullah
(2018) pH industri tahu yang masuk ke perairan berkisar 3.62-5.56. Sedangkan
menurut Hamzani dan Syarifudin (2020), menyatakan bahwa pH air timbah tahu
berada pada kisaran 4.3-5.33. Air limbah tahu apabila masuk ke badan air
berpotensi menurunkan pH air dan berpengaruh terhadap biota perairan (organisme
perairan) (Mardhia dan Abdullah, 2018). Sedangkan penurunan kadar zat pencemar
(kontaminan) oleh tumbuhan akan mengakibatkan pH semakin meningkat. Nilai
pH penting untuk dipertimbangkan karena dapat memperngaruhi proses dan
kecepatan reaksi kimia di dalam air (Karim, 2007).
2.3.2 Kekeruhan
Kekeruhan merupakan suatu ukuran biasan cahaya dalam perairan.
Kekeruhan bisa disebabkan oleh partikel koloid yang tersuspensi baik senyawa-
senyawa organik maupun anorganik yang masuk ke dalam air. Kekeruhan air
mengacu pada jumlah bahan yang tersuspensi yang mengganggu penetrasi cahaya
di kolom air. Penyebab terjadinya kekeruhan adalah terjadinya erosi tanah (seperti
endapan lumpur dan tanah liat), limbah industri (seperti limbah cair pengolahan,
partikulat), bahan organik (seperti mikroorganisme, tumbuhan dan hewan yang
17
membusuk, bensin, solar atau minyak dari jalan) (Kale, 2016). Jika kekeruhan air
tinggi, hal ini dapat menyebabkan terhalangnya cahaya matahari yang masuk ke
dalam perairan. Jika cahaya matahari yang masuk terhalang, maka dapat
menyebabkan berkurangnya produksi oksigen di dalam air yang berpengaruh
terhadap keberlangsungan hidup biota air. Selain itu, semakin tinggi suspended
solid di dalam perairan maka akan menyebabkan kekeruhan semakin tinggi (Riza
et al., 2015).
Tingkat kekeruhan air (turbidity) dapat diketahui menggunakan
turbidimeter. Metode pengukuran tingkat kekeruhan zat cair dibedakan menurut
intensitas cahaya mana yang diukur, cahaya yang diteruskan, cahaya yang
dihamburkan atau kedua-duanya. Umumnya terdapat dua metode yaitu
absorptiometri yaitu pengukuran penyerapan (pelemahan) dari cahaya yang
melewati suatu larutan. Kedua, nefelometri yaitu pengukuran hamburan cahaya
yang melewati suatu larutan (Faisal et al., 2016). Metode yang sering digunakan
ialah nefelometri dengan satuan NTU (Nephelometric Turbidity Unit) (BSN, 2005).
Berikut ini teknik pengukuran tingkat kekeruhan air.
cahaya yang dipancarkan terhalang oleh kotoran, dalam hal ini adalah flok atau
gumpalan yang terbentuk dari kumpulan butiran-butiran lumpur (Arifiani dan
Muchtar, 2006). Pengukuran dilakukan dengan membandingkan intensitas cahaya
yang dihamburkan oleh sampel dengan intensitas cahaya yang dihamburkan oleh
larutan standar dalam keadaan sama. Sebagai standar kekeruhan digunakan larutan
polimer formazin dengan satuan FTU (Formazin Turbidity Unit) atau sama dengan
satuan NTU (Nephelometric Turbidity Unit) (Susanto, 2008).
Pengukuran kekeruhan air dengan turbidimeter memanfaatkan prinsip
hukum Lambert-Beer. Hukum Lambert-Beer menjelaskan hubungan pelemahan
intensitas cahaya terhadap sifat-sifat material yang dilewati oleh berkas cahaya.
Bila suatu berkas cahaya monokromatik melewati medium transparan, maka
intensitas cahaya yang diteruskan berkurang dengan bertambahnya ketebalan
medium yang mengabsorpsi. Selain itu intensitas cahaya yang diteruskan berkurang
secara eksponensial dengan bertambahnya konsentrasi spesimen yang menyerap
cahaya tersebut (Faisal et al., 2016).
seperti ikan dan zooplankton lainnya karena terjadi penyumbatan insang dan
berpengaruh terhadap perilaku ikan (Pagoray et al. 2021).
Pengukuran TSS dapat dilakukan secara filtrasi dan gravimetri dalam satuan
mg/L zat tersuspensi. Padatan tersuspensi akan tertahan oleh suatu penyaringan
berdiameter 2 µm atau lebih kecil (0.45 µm), kemudian zat padat yang tertahan
pada filter dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 103°C - 105°C hingga
bobot konstan (BSN, 2004). Sebelum dilakukan uji TSS, filter atau penyaring
dikeringkan dalam oven dan ditimbang terlebih dahulu. Selanjutnya air dengan
volume tertentu dituang melalui sebuah filter. Berat filter awal akan dibandingkan
dengan berat filter akhir, yaitu setelah dialirkan air limbah dan dikeringkan di dalam
oven pengering. Berat filter akhir akan bertambah dibanding berat filter awal karena
adanya partikel-partikel tersuspensi yang terperangkap dalam filter tersebut
(Mawaddah et al., 2014).
kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologi maupun yang sukar
didegradasi menjadi CO2 dan H2O. Banyak zat organik yang tidak mengalami
penguraian biologis secara cepat berdasarkan BOD lima hari, tetapi senyawa-
senyawa organik tersebut juga menurunkan kualitas air. Bakteri dapat
mengoksidasi zat organik menjadi CO2 dan H2O. Kalium dikromat dapat
mengoksidasi lebih banyak lagi, sehingga menghasilkan nilai COD yang lebih
tinggi dari BOD untuk air yang sama. Di samping itu bahan-bahan yang stabil
terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD.
Sebesar 96% hasil uji COD yang selama 10 menit, kira-kira akan setara dengan
hasil uji BOD selama lima hari (Kristanto, 2002).
Warna larutan air lingkungan yang mengandung bahan buangan organik
sebelum reaksi oksidasi adalah kuning. Setelah reaksi oksidasi selesai maka akan
berubah menjadi hijau. Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk reaksi oksidasi
terhadap bahan buangan organik sama dengan jumlah K2Cr2O7. Makin banyak
K2Cr2O7 yang dipakai pada reaksi oksidasi berarti makin banyak oksigen yang
diperlukan. Ini berarti air lingkungan makin tercemar oleh bahan buangan organik
(Ashar, 2020).
Penentuan nilai COD dapat dilakukan dengan refluks tertutup secara
spektrofotometri sesuai SNI 6989.2:2009. Metode ini digunakan untuk pengujian
kebutuhan oksigen kimiawi (COD) dalam air dan air limbah dengan reduksi Cr2O72-
secara spektrofotometri. Pada kisaran nilai COD 100 mg/L sampai dengan 900
mg/L pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 600 nm dan untuk nilai COD
lebih kecil atau sama dengan 90 mg/L pengukuran dilakukan pada panjang
gelombang 420 nm (Aji, 2015). Persamaan yang digunakan dalam uji COD sebagai
berikut.
!"#"$%&
Organik + Cr2O72- + 8H+ #⎯⎯⎯% CO2 + 2Cr3+ + 4H2O
Gambar 4. Reaksi oksidasi dalam uji COD (Ashar, 2020)
Berdasarkan reaksi oksidasi dalam uji COD bahwa bahan buangan organik
yang dioksidasi oleh K2Cr2O7 tidak hanya menghasilkan gas CO2 dan H2O namun
juga menghasilkan sejumlah ion Cr3+. Intensitas pembentukan Cr3+ akan diketahui
sebagai pengaruh dari determinasi COD. Prinsip penentuan COD secara
spektrofotometri UV-Vis adalah senyawa organik dan anorganik, terutama organik
22
pada sampel dioksidasi oleh Cr2O72- dalam refluks tertutup menghasilkan Cr3+.
Jumlah oksidan yang dibutuhkan dinyatakan dalam ekuivalen oksigen (O2 mg/L)
diukur pada panjang gelombang 420 nm atau 600 nm. Cr2O72- kuat mengabsorpsi
pada panjang gelombang 420 nm, dan Cr3+ kuat mengabsorpsi pada panjang
gelombang 600 nm (BSN, 2009). Berikut ini menunjukan skema kerja dari
spektrofotometri.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2004. Cara Uji Derajat Keasaman (pH)
dengan Menggunakan Alat pH Meter. SNI 06-6989.11-2004. Jakarta (ID):
Badan Standardisasi Nasional
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2004. Cara Uji Padatan Tersuspensi Total
(Total Suspended Solid, TSS) Secara Gravimetri. SNI 06-6989.3-2004.
Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2005. Cara Uji Kadar Padatan Terlarut
Total Secara Gravimetri. SNI 06-6989.27-2005. Jakarta (ID): Badan
Standardisasi Nasional
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Cara Uji Kebutuhan Oksigen Kimiawi
(Chemical Oxygen Demand/COD) dengan Refluks Tertutup Secara
Spektrofotometri. SNI 6989.2:2009. Jakarta (ID): Badan Standardisasi
Nasional
Agung RT, Winata HS. 2011. Pengolahan air limbah industri tahu dengan
menggunakan teknologi plasma. Jurnal Ilmiah Teknik Kimia. 2(2): 19-28
Aji PB. 2015. Penurunan nilai COD air limbah pabrik tahu menggunakan reagen
fenton secara batch [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Negeri Semarang
Al Hidayah HN. 2018. Pengolahan limbah cair industri tempe untuk menurunkan
kadar Chemical Oxygen Demand (COD) dengan metode koagulasi
24
menggunakan Poly Aluminium Chloride (PAC) dan aluminium sulfat
[skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Islam Indonesia
Ancela W. 2020. Pemanfaatan serbuk biji asam jawa (Tamarindus indica) sebagai
biokoagulan untuk menurunkan kadar TSS, COD, dan kekeruhan dalam
limbah cair tahu [skripsi]. Bekasi (ID): Universitas Pelita Bangsa
Ashar YK. 2020. Analisis kualitas (BOD, COD, DO) air Sungai Pesanggrahan,
Desa Rawadenok, Kelurahan Rangkepan Jaya Baru, Kecamatan Mas, Kota
Depok [laporan penelitian]. Medan (ID): Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara Medan
Atima W. 2015. BOD dan COD sebagai parameter pencemaran air dan baku mutu
air limbah. Jurnal Biology Science & Education. 4(1): 83-93
Bangun AR, Aminah S, Hutahean RS, Ritonga MY. 2013. Pengaruh kadar air,
dosis, dan lama pengendapan koagulan serbuk biji kelor sebagai alternatif
pengolahan limbah cair industri tahu. Jurnal Teknik Kimia USU. 2(1): 7-13
Eckenfelder Jr, Wesley W. 2000. Industrial Water Pollution Control 3th Ed.
Singapore (SG): Mc Graw Hill Book Co
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta (ID): Kanisius
Enrico B. 2008. Pemanfaatan biji asam jawa (Tamarandus indica) sebagai koagulan
alternatif dalam proses penjernihan limbah cair industri tahu [tesis]. Medan
(ID): Universitas Sumatera Utara
25
Faisal M, Harmadi, Puryanti D. 2016. Perancangan sistem monitoring tingkat
kekeruhan air secara realtime menggunakan sensor TSD-10. Jurnal Ilmu
Fisika. 8(1): 9-16
Husaini, Cahyono SS, Suganal, Hidayat KN. 2018. Perbandingan koagulan hasil
percobaan dengan koagulan komersial menggunakan metode jar test.
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara. 14(1): 31-45
Ilyas NI, Nugraha WD, Sumiyati S. 2013. Penurunan kadar TDS pada limbah tahu
dengan teknologi biofilm menggunakan media biofilter kerikil hasil letusan
gunung merapi dalam bentuk random (studi kasus: industri tahu Jomblang
Semarang). Jurnal Teknik Lingkungan. 2(3): 1-10
Indrawati N, Yunitasari T. 2016. Efektivitas serbuk biji kelor dan serbuk biji asam
jawa sebagai koagulan organik [laporan penelitian]. Malang (ID): Institut
Teknologi Nasional Malang
Kafadi NM. 1990. Memproduksi Tahu Secara Praktis. Surabaya: Karya Anda
Surabaya
26
compensate effects of temperature on measurement. Turkish Journal of
Electrical Engineering & Computer Sciences. 24: 2589-2608
Karim MY. 2007. Pengaruh salinitas dan bobot terhadap konsumsi kepiting bakau
(Scylla serrata forsskal). Jurnal Sains dan Teknologi. 7(2): 85-92
Kartika YSW. 2018. Pengaruh kitosan limbah cangkang bekicot (Achatina fulica)
sebagai biokoagulan terhadap kualitas limbah cair tahu [skripsi]. Malang
(ID): Universitas Muhammadiyah Malang
Kaswinarni F. 2008. Kajian teknis pengolahan limbah padat dan cair industri tahu.
Majalah Ilmiah Lontar. 22(2): 1-20
Kristijarti AP, Suharti I, Marieanna. 2013. Penentuan jenis koagulan dan dosis
optimum untuk meningkatkan efisiensi sedimentasi dalam instalasi
pengolahan air limbah pabrik jamu X [laporan penelitian]. Bandung (ID):
Universitas Katolik Parahyangan
Liang CZ, Sun SP, Li FY, Ong YK, Shung TS. 2014. Treatment of highly
concentrated wastewear containing multiple synthetic dyes by a combined
process of coagulation/flocculation and nanofiltration. Journal of
Membrane Science. 469: 306-315
Lolo EU, Pambudi YS, Gunawan RI, Widianto. 2020. Pengaruh koagulan PAC dan
tawas terhadap surfaktan dan kecepatan pengendapan flok dalam proses
koagulasi flokulasi. Serambi Engineering. 5(4): 1295-1305
Mawaddah D, Titin AZ, Gusrizal. 2014. Penurunan bahan organik air gambut
menggunakan biji asam jawa (Tamarindus indica Linn). Jurnal MIPA. 3(1):
27-31
27
Nadeak R. 2019. Penentuan kadar Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolved
Solid (TDS), dan klor bebas pada air limbah di Balai Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKLPP) [skripsi]. Medan (ID):
Universitas Sumatera Utara
Nurlina, Zahara TA, Gusrizal, Kartika ID. 2015. Efektivitas penggunaan tawas dan
karbon aktif pada pengolahan limba cair industri tahu. Prosiding
SEMIRATA 2015 Bidang MIPA BKS-PTN Barat. Pontianak (ID):
Universitas Tanjungpura. p 690-699
Okbah MA, El-Halim AMA, El-Regal MAA, Nassar ME. 2017. Water quality
assessment of Lake Edku using physicochemical and nutrients salts, Egypt.
Chemistry Research Journal. 2(4): 104-117
Oktarian N. 2016. Analisis dampak pembuangan limbah cair industri tahu terhadap
sifat fisis air Sungai Sumber Wayuh, Kota Blitar [skripsi]. Jember (ID):
Universitas Jember
Pagoray H, Sulistyawati, Fitriyani. 2021. Limah cair industri tahu dan dampaknya
terhadap kualitas air dan biota perairan. Jurnal Pertanian Terpadu. 9(1): 53-
65
Rahayu I. 2007. Cara Menanggapi Air Kotor Menjadi Air Bersih. Jakarta (ID):
Erlangga
Rinawati, Hidayat D, Suprianto R, Dewi PS. 2016. Penentuan kandungan zat padat
(total Dissolved solid dan total suspended solid) di perairan Teluk
Lampung. Analit: Analytical and Environmental Chemistry. 1(1): 36-45
28
Risdianto D. 2007. Optimasi proses koagulasi flokulasi untuk pengolahan air libah
industri jamu (studi kasus PT. Sido Muncul) [tesis]. Semarang (ID):
Universitas Diponegoro
Sabilina PE, Setiawan A, Adiuddin AE. 2018. Studi penggunaan dosis koagulan
PAC (Poly Aluminium Chloride) dan flokulan polymer anionic pada
pengolahan limbah cair industri tahu. Conference Proceeding on Waste
Treatment Technology. ISSN No. 2623-1727.
Setyawati H, Sinaga EJ, Wulandari LS, Sandy F. Efektifitas biji kelor dan tawas
sebagai koagulan pada peningkatan mutu limbah cair industri tahu. Jurnal
Teknik Kimia. 12(2): 47-51
Simanjuntak DS. 2015. Peningkatan mutu limbah cair tahu (BOD, COD, TSS, pH)
degan menggunakan rumput vetiver (Vetiveria zizanoides L) pada beberapa
konsentrasi limbah [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara
Siregar MR. 2018. Optimasi jenis dan konsentrasi koagulan terhadap penurunan
pencemar limbah cair industri [tugas akhir]. Bogor (ID): Institur Pertanian
Bogor
Umah NR, Joko T, Dangiran HL. 2018. Efektivitas dosis ferri klorida (FeCl3)
dalam menurunkan Chemical Oxygen Demand (COD) pada limbah pabrik
tahu di Tempelsari Kalikajar Wonosobo. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
6(6): 279-289
29
Wardani FA, Agung T. 2016. Pemanfaatan biji asam jawa (Tamarandus indica)
sebagai koagulan alternatif dalam proses pengolahan air sungai. Jurnal
Ilmiah Teknik Lingkungan. 7(2): 85-91
Wati DA. 2014. Keefektifan penambahan koagulan biji asam awa (Tamarandus
indica) untuk menurunkan kadar Total Suspended Solid (TSS) pada limbah
cair tahu [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Muhammadiyah Surakarta
Weber-Scannel PK, Duffy LK. 2017. Effect of total Dissolved solids on aquatic
organisms: a review of literature and recommendation for salmonid species.
American Journal of Enviromental Sciences. 3(1): 1-6
Wulandari EA. 2017. Penentuan warna dan angla serapan madu lokal menggunakan
spektrofotometer UV-Visible [skripsi]. Jember (ID): Unibersitas Jember
Zharifa A, Fachrul MF, Hendrawan DI. 2019. Evaluasi kualitas air Situ Parigi, Kota
Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Prosiding Seminar Nasional
Pembangunan Wilayah dan Kota Berkelanjutan. Jakarta (ID): Universitas
Trisakti. p 177-186
30