Zakat Vis To Vis Pajak Sebagai Lembaga Keuangan Publik: Kholid Hidayatullah

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 28

Zakat Vis To Vis Pajak Sebagai Lembaga Keuangan Publik 303

ZAKAT VIS TO VIS PAJAK


SEBAGAI LEMBAGA KEUANGAN PUBLIK

Kholid Hidayatullah
STIS Muhammadiyah Pringsewu Lampung
[email protected]

Siti Zulaikha
IAIN Metro
[email protected]

Abstract

Tax and zakat is one of the instruments of public finance institutions


that are inseparable in the fulfillment of obligations both in the life
of the state and religion. In the struggle of Islamic economic law in
Indonesia, synergy or integration between zakat and tax is a new
conversation which over the last few years has become more frequently
discussed and discussed both in terms of positive law and Islamic law.
From the economic side, taxes and zakat are not much different, but
the theological side is clearly not the same. Zakat is a form of worship
that is a form of worship involving property (maliyah) in it while
taxes are purely economic value. The most crucial difference lies in
the basis of zalcat management which is considered to have elements
different from the tax. In the related formulation of the relationship
between zakat and taxes there are at least three discourses available,
namely: a) Zakah is tax; which was stated by Fazlul Rahman; 2) tax
is zakat; expressed by Masdar F. Mas’udi; and 3) non-zakah tax and
vice versa; delivered by Yusuf Qaradawi, all of which have logical and
academically acceptable reasons.

Keywords: Tax , zakat, integration

Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 05 Nomor 2


304 Kholid Hidayatullah & Siti Zulaikha
Abstrak

Pajak dan zakat merupakan salah satu instrumen lembaga keuangan


publik yang tidak terpisahkan dalam kegiatan pemenuhan kewajiban
baik dalam kehidupan bernegara maupun beragama. Dalam pergulatan
pemikiran hukum ekonomi Islam di Indonesia, baik sinergitas ataupun
integrasi zakat dan pajak merupakan perbincangan baru yang selama
beberapa tahun terakhir menjadi lebih sering di perbincangkan dan
dibahas baik dalam kacamata hukum positif maupun hukum Islam.
Dari sisi ekonomi, pajak dan zakat tidak jauh berbeda, tapi dari sisi
teologis jelas tidak sama. Zakat merupakan satu bentuk ibadah yaitu
bentuk peribadatan yang melibatkan harta benda (maliyah) didalamnya
sedangakan pajak adalah murni bernilai ekonomis. Perbedaan yang
paling krusial terletak pada dasar pengelolaan zakat yang dianggap
memiliki unsur-unsur yang berbeda dengan pajak. Dalam formulasi
terkait relasi antara zakat dan pajak setidaknya ada tiga wacana yang
tersedia, yaitu: a) zakat adalah pajak; yang dikemukakan oleh Fazlul
Rahman; 2) pajak adalah zakat; yang diutarakan oleh Masdar F.
Mas’udi ; dan 3) pajak bukan zakat dan begitu pula sebaliknya; yang
disampaikan Yusuf Qaradhawi, kesemuanya memiliki alasan yang
logis dan dapat diterima secara akademis.

Kata Kunci: pajak, zakat, integrasi

Pendahuluan

Dari sudut pandang syari’ah Islam, zakat merupakan salah satu


rukun Islam yang sangat potensial untuk meningkatkan kualitas
kehidupan umat muslim, karena dalam zakat terdapat dua esensi
nilai yang luhur, yaitu esensi nilai ibadah dan esensi nilai sosial.
Esensi nilai ibadah bermakna bahwa zakat adalah terkait dengan
hubungan vertikal dengan Tuhan (habl min Allah), yang dengannya
seorang hamba dapat meningkatkan kualitas keimanannya,
membersihkan dan menyucikan jiwanya. Sedangkan esensi zakat
sebagai nilai sosial adalah bahwa zakat terkait dengan hubungan
horizontal (habl min an-Nas) yang merupakan salah satu jalan
untuk membantu orang lain yang memiliki kemampuan finansial
di bawah rata-rata, sehingga zakat sendiri sangat potensial untuk
mengentaskan problem  kemiskinan.

ADZKIYA SEPTEMBER 2017


Zakat Vis To Vis Pajak Sebagai Lembaga Keuangan Publik 305

Di samping selaku umat Muslim, selaku warga negara


Republik Indonesia juga kita diharuskan untuk membayar
pajak yang mana telah diposisikan sebagai salah satu sumber –
bahkan yang terbesar– bagi pendapatan negara yang kemudian
dialokasikan untuk membiayai negara dalam melaksanakan
program-program kegiatan untuk kepentingan negara dan
warganya, seperti dalam bidang perekonomian, pendidikan,
perdagangan, dan yang lainnya. Dengan demikian, setiap warga
negara Indonesia yang beragama Islam memiliki dua kewajiban
terkait harta yang mereka miliki, yaitu membayar zakat (selaku
umat Islam) dan membayar pajak (selaku warga negara).
Sebagian orang Muslim mungkin menganggap hal
ini sebagai “pengurasan” harta yang miliknya, karena double-
duties yang harus dijalani setiap tahunnya yang mana hal ini
berbeda dengan non-Muslim yang hanya dibebani dengan
satu kewajiban saja, yakni pajak. Maka dari itu, para pemerhati
–khususnya dari kalangan Muslim– baik yang berada dalam
lembaga pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) atau
non- pemerintahan (ulama, cendikiawan, dan para ahli ekonomi)
mencoba untuk mencari formulasi yang tepat terkait relasi antara
zakat dan  pajak.
Pemerintah sendiri telah mengambil kebijakan
bahwasanya zakat dapat mengurangi biaya pembayaran
pajak seseorang yang mana hal tersebut telah ditetapkan
sebagai undang-undang.1 Namun hal ini masih sebatas berlaku
dalam permasalahan zakat profesi, akan tetapi hal tersebut dapat
mewakili posisi pemerintah mengenai masalah relasi antara
zakat dan pajak ini. Berbeda dengan pemerintah, masalah ini
merupakan tema yang masih menjadi perdebatan antara para
cendikiawan muslim di seluruh dunia dan dapat dikatakan
“belum usai” karena ada yang pendapatnya selaras dengan apa
yang diputuskan oleh pemerintah, adapula yang tidak. Maka dari
1
Beberapa undang-undang yang menyatakan bahwa zakat dapat
mengurangi pembayaran pajak adalah UU No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat; UU No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU
No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; UU No. 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983; dan UU No. 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat.

Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 05 Nomor 2


306 Kholid Hidayatullah & Siti Zulaikha

itu, penulis mencoba untuk melihat geliat pemikiran dari beberapa


pihak yang mengemukakan pendapatnya akan permasalahan
relasi zakat dengan pajak ini. Yang pada gilirannya akan dicoba
untuk ditelaah mana yang sekiranya lebih sesuai untuk dijadikan
qaul rajih, walaupun nantinya hanya bersifat subjektif.
Zakat Dan Pajak; Sebuah Pengantar
1. Studi Komparatif

Ditinjau dari segi etimologi, kata zakat merupakan kata dasar


(masdar) dari zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik.
Sesuatu zaka, berarti tumbuh dan berkembang, dan seseorang itu
zaka, berarti orang itu baik. Sedangkan dari sisi terminologinya,
Abdurrahman al-Jaziri menyatakan bahwa zakat adalah
memberikan harta tertentu sebagai milik kepada orang yang
berhak menerimanya dengan syarat-syarat yang ditentukan.2
Dalam redaksi lain disebutkan pula bahwa zakat adalah
mengeluarkan atau memberikan sebagian harta benda yang
sudah mencapai batas minimal (nishab) dan rentang waktu satu
tahun (haul) kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiq
zakat) dengan syarat-syarat tertentu.3
Masih banyak lagi para pakar yang memberikan definisi
mengenai zakat, meskipun para ulama mengemukakannya
dengan redaksi yang berlainan, tetapi pada prinsipnya sama,
bahwa zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan
tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya,
untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan
persyaratan tertentu pula, dengan harapan dapat memperoleh
beberapa kebaikan dan dapat mensucikan jiwa dari sifat kikir.
Beranjak dari definisi tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa zakat memiliki tiga segi, pertama, segi ibadah; pada sisi ini
disyaratkan niat menurut sebagian para ulama, dan amal bertujuan
untuk melaksanakan perintah Allah swt. kedua, segi sosial; ketika

2
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Juz 1,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1972), hlm.501.
3
Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual dari Norma ke Pemaknaan Sosial,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),hlm. 259

ADZKIYA SEPTEMBER 2017


Zakat Vis To Vis Pajak Sebagai Lembaga Keuangan Publik 307

masyarakat dari sebagian keluarga, terutama mereka fakir miskin,


yang mempunyai hak zakat tersebut. Mereka membutuhkan
bantuan dari masyarakat lainnya yang berkecukupan. Ketiga, segi
ekonomi; yang merupakan sisi pelengkap dari zakat. Walaupun
masalah ekonomi merupakan pembahasan yang sudah sering
dilakukan dalam usaha mengembangkan keuangan, tetapi kajian
ekonomi zakat sangat jarang dilakukan.4
Kemudian pajak sendiri dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah
sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang
dan lain sebagainya.5 Lebih lanjut menurut Prof. Dr. PJA.
Andriani yang dikutip oleh Bohari dalam bukunya Pengantar
Hukum Pajak mengutarakan bahwa definisi pajak adalah iuran
kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan
tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk,
dan yang gunanya adalah membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum berhubung dengan tugas pemerintahan.6
Berbeda dengan beberapa definisi di atas yang terlihat
memakai term pajak secara global, Abdul Qadim Zallum mencoba
memberikan definisi pajak dengan melalui tinjauan syari’ah, yang
mana ia mengutarakan bahwa “pajak adalah harta yang diwajibkan
Allah swt kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan
dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada
kondisi baitul mal tidak ada uang/harta.” 7
Dari definisi masing-masing antara zakat dan pajak di
atas, ada beberapa titik perbedaan mendasar antara keduanya,
di antaranya adalah yang paling esensial bahwa kewajiban
menunaikan zakat bersumber dari Allah swt, pembuat syari’ah

4
Abdul Hamid Mahmud, Ekonomi Zakat, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2006), hlm. 3-4
5
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed.
III, (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2005), hlm. 812
6
Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1995), hlm. 19
7
Abdul Qadim Zallum, al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, terj. Ahmad S,
dkk, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah,
2002), hlm. 138

Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 05 Nomor 2


308 Kholid Hidayatullah & Siti Zulaikha

yang hakiki, sedangkan pajak diwajibkan atas dasar ijtihad ulil


amri (pemerintah). Walaupun Zallum menyatakan bahwa pajak
diwajibkan oleh Allah, akan tetapi menurut hemat penulis
sebenarnya tidak secara langsung diwajibkan oleh Allah, akan
tetapi Allah swt sendiri mewajibkan kita untuk menta’ati ulil
amri, yang berarti secara tidak langsung pula kita telah melakukan
kewajiban yang diperintahkan oleh Allah swt. Di samping itu,
perbedaan antara pajak dan zakat juga dapat dilihat dari kata
asal bahasa Arabnya, zakat berasal dari kata kerja zaka
yang berarti ketenangan jiwa, sedangkan pajak menurut syari’ah
berasal dari kata dharaba yang berarti memberatkan manusia.8
Kedua term ini pada gilirannya akan menimbulkan tujuan dan
konsekuensi yang berbeda antara satu sama lain.
Dari perbedaan mendasar ini, maka muncul perbedaan
pendapat di antara kalangan ulama mengenai kewajiban
melaksanakan keduanya, hal ini dirasa sangat wajar karena
dengan adanya double duties tentu akan memberatkan terhadap
kaum muslim itu sendiri. Dalam masalah ini, secara garis besar
terdapat dua pendapat, yaitu:
Pendapat pertama, mengatakan bahwa zakat adalah
satu-satunya kewajiban kaum muslim atas harta. Pendapat ini
berpegang pada beberapa dalil;
1. Hadits yang berbunyi:

ِ ٍ ِ ِ
ِ ‫الر ْأ‬
‫ ُي ْس َم ُع‬، ‫س‬ َّ ‫ َثائ ُر‬، ‫َجا َء َر ُج ٌل إِ ىَل َر ُسول اللهَِّ –ﷺ – م ْن َأ ْه ِل ن َْجد‬
‫ال ِم‬
َ ‫اإل ْس‬ِ ‫ َفإِ َذا ُه َو َي ْس َأ ُل َع ِن‬، ‫ول َحتَّى َدنَا‬ ُ ‫ َوالَ ُي ْف َق ُه َما َي ُق‬، ‫َد ِو ُّى َص ْوتِ ِه‬
‫ َف َق َال‬. » ‫ات ىِف ا ْل َي ْو ِم َوال َّل ْي َل ِة‬
ٍ ‫خس ص َلو‬
َ َ ُ ْ َ‫ول اللهَِّ – – ﷺ – « م‬ ُ ‫َف َق َال َر ُس‬
–‫للهَّ – ﷺ‬ ِ ‫ول ا‬ ُ ‫ َق َال َر ُس‬. » ‫ إِالَّ َأ ْن َت َط َّو َع‬، َ‫َه ْل َع ىَ َّل َغ رْ ُي َها َق َال « ال‬
‫ َق َال‬. » ‫ إِالَّ َأ ْن َت َط َّو َع‬، َ‫ َق َال َه ْل َع ىَ َّل َغ رْ ُي ُه َق َال « ال‬. » ‫ان‬ َ ‫«و ِص َيا ُم َر َم َض‬ َ
َّ‫ إِال‬، َ‫ َق َال َه ْل َع ىَ َّل َغ رْ ُي َها َق َال « ال‬. ‫الزكَا َة‬ َّ – ‫ول اللهَِّ – ﷺ‬ ُ ‫َو َذك ََر َل ُه َر ُس‬

8
Gazi Inayah, Teori Komprehensif Tentang Zakat dan Pajak, (Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 24.

ADZKIYA SEPTEMBER 2017


Zakat Vis To Vis Pajak Sebagai Lembaga Keuangan Publik 309

َ‫ول َواللهَِّ الَ َأ ِزيدُ َع ىَل َه َذا َوال‬ َّ ‫ َق َال َف َأ ْد َب َر‬. » ‫َأ ْن َت َط َّو َع‬
ُ ‫الر ُج ُل َو ُه َو َي ُق‬
» ‫ول اللهَِّ – ﷺ – « َأ ْف َل َح إِ ْن َصدَ َق‬ ُ ‫ َق َال َر ُس‬. ‫ص‬ ُ ‫َأ ْن ُق‬
Seorang lelaki yang beruban kepalanya dari Ahli Najd datang kepada
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam.  Kami dapat mendengar
gema suaranya tapi tidak memahami apa yang ia katakan, sampai
ia berada dekat dengan beliau.Ternyata ia bertanya tentang Islam,
maka Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab, “Islam
itu mengerjakan shalat lima waktu sehari semalam.” Laki-laki
tersebut bertanya lagi, “Apakah ada kewajiban lain selain itu untukku?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak, kecuali
engkau ingin menambah dengan yang sunnah.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan lagi, “Islam juga mengerjakan puasa
di bulan Ramadhan.” Laki-laki tersebut bertanya lagi, “Apakah ada
kewajiban lain selain itu untukku?”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Tidak, kecuali engkau ingin menambah dengan
yang sunnah.” Thalhah melanjutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyebutkan lagi tentang masalah zakat. Laki-laki tersebut bertanya
lagi, “Apakah ada kewajiban lain selain itu untukku?” Rasulullah  shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak, kecuali engkau ingin menambah
dengan yang sunnah.” Lalu lelaki tersebut berbalik pergi lalu berkata,
“Demi Allah, aku tidak akan menambahkan dan juga mengurangi sedikit
pun darinya.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata,
“Beruntunglah orang tersebut jika ia jujur.”  (HR.  Bukhari dari Thalhah);9

2. Hadits yang berbunyi,

‫َأ َّن َأ ْع َرابِ ًّيا َأتَى النَّبِ َّى – ﷺ – َف َق َال ُد َّلنِى َع ىَل َع َم ٍل إِ َذا َع ِم ْل ُت ُه َد َخ ْل ُت‬
ِ ِ ِ ْ‫ َق َال « َتعبدُ اللهََّ الَ ت ر‬. ‫النَّ َة‬
، ‫ال َة ا مَْل ْكتُو َب َة‬
َ ‫الص‬ َّ ‫يم‬ ُ ‫ َوتُق‬، ‫ُش ُك بِه َش ْي ًئا‬ ُْ َ ْ‫ج‬
‫ َق َال َوا َّل ِذى َن ْف ِسى بِ َي ِد ِه‬. » ‫ان‬ َ ‫ َوت َُصو ُم َر َم َض‬، ‫وض َة‬ َ ‫الزكَا َة ا مَْل ْف ُر‬
َّ ‫َوت َُؤ ِّدى‬
‫س ُه َأ ْن َينْ ُظ َر إِ ىَل‬ ِ
َّ َ‫ َف َل اَّم َو ىَّل َق َال النَّبِ ُّى – ﷺ– « َم ْن ر‬. ‫الَ َأزيدُ َع ىَل َه َذا‬
» ‫الن َِّة َف ْل َينْ ُظ ْر إِ ىَل َه َذا‬ ِ
َ ْ‫َر ُج ٍل م ْن َأ ْه ِل ج‬

Bukhari, Shahih Bukhori, cet IV, Kitab Iman, hadits no 46, bab az-Zakh
9

min al-Islam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004), hlm. 24,

Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 05 Nomor 2


310 Kholid Hidayatullah & Siti Zulaikha
“Ada seorang Arab Badui datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku amal yang
jika aku lakukan, aku dapat masuk surga.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Engkau menyembah Allah semata, tidak berbuat syirik
pada Allah sedikit pun juga; engkau mengerjakan shalat wajib; engkau
menunaikan zakat yang wajib; juga engkau berpuasa di bulan Ramadhan.”
Arab Badui tersebut berkata, “Demi Dzat yang jiwaku berada pada tangan-
Nya, aku tidak akan menambahkan selain itu.”Ketika orang tersebut berbalik
pulang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang
senang melihat seseorang dari ahli surga, maka lihatlah orang ini.” (HR.
Bukhori dari Abu Harairah);10

3. Hadits yang berbunyi:

‫إذا أديت زكاة مالك‬ ‫فقد قضيت ما عليك‬


“Rasulullah saw bersabda: “Apabila engkau menunaikan zakat untuk
hartamu, maka hak-hak (yang wajib) atasmu untuk harta itu telah
ditunaikan.” (HR. Hakim dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).11

Pendapat kedua, mengatakan bahwa, “ada hak lain atas harta selain
zakat”, hak lain ini termasuk di dalamnya adalah pajak. Dalil-
dalil yang dikemukakan adalah:
1. QS. al-Baqarah [2] ayat 177

‫ﭒﭓ ﭔﭕﭖﭗﭘﭙﭚ ﭛﭜﭝﭞ‬


‫ﭟﭠﭡﭢ ﭣﭤﭥﭦﭧﭨ‬
‫ﭩﭪ ﭫﭬﭭﭮﭯﭰﭱ‬
‫ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸﭹ ﭺ ﭻ ﭼ‬
‫ﭽ ﭾ ﭿﮀ ﮁ ﮂ ﮃﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ‬
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,

10
Ibid., Kitab Zakat, hadits no 1397, bab Wajibu az-Zakah, hlm. 256,
11
Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, kitab az-Zakah, hadits no 1788,
(Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyahm, 2003), hlm. 286

ADZKIYA SEPTEMBER 2017


Zakat Vis To Vis Pajak Sebagai Lembaga Keuangan Publik 311
hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan
harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat,
dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan
dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan
mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”.

Ayat ini memerintahkan kaum muslim untuk memberikan


harta selain zakat. Pendapat ini didukung antara lain oleh Abu
Zahrah, Imam al- Ghazali, Sa’id Hawwan, Sayyid Sabiq.12
2. Kedua, QS. al- Anaam [6] ayat 141

‫ﮞﮟ ﮠ ﮡﮢﮣﮤﮥﮦ ﮧ‬
‫ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭﮮ ﮯ ﮰ‬
‫ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘﯙ ﯚ ﯛﯜ ﯝ ﯞ ﯟ‬
‫ﯠﯡ‬
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang
tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam
buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak
sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila
Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan
disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”.

Pendapat ini didukung oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya al-


Muhalla.13
3. Ketiga, hadits Rasulullah SAW :

‫يف املال حق سوى الزكاة‬


12
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunah, kitab az-Zakah, (Dar al-Hadits, 2004),
hlm. 282
13
Ibnu Hazm, Kitab al-Muhalla, kitab Zakah, (Kairo: Maktabah Dar al-
Turats, 2005), hlm. 241

Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 05 Nomor 2


312 Kholid Hidayatullah & Siti Zulaikha
“di dalam harta terdapat hak-hak yang lain di samping zakat”. (HR. Tirmidzi
dan Ibnu Majah dari Fathimah binti Qais)14

Dari uraian di atas, tampak ada dua pendapat yang berlawanan.


Oleh sebab itu, sebagian ulama memberikan pendapat yang
menengahi perbedaan tersebut, di antaranya adalah Ibnu Taimiyah
yang mengatakan: “tidak ada pertentangan dalam dua hadits ini
(dua hadits yang dimaksud adalah hadits yang dikemukakan
oleh masing-masing pihak), karena zakat dan kewajiban lain
selain zakat (pajak) disebabkan oleh alasan yang berbeda. Alasan
ditetapkannya zakat adalah karena memiliki harta di atas batas
maksimum (nishab), sedangkan alasan ditetapkannya pajak
(dharibah) bukan kerena memiliki kelebihan harta, tetapi karena
munculnya kebutuhan mendesak dalam masyarakat”.15 Dengan
demikian maka keduanya, zakat dan pajak merupakan sebuah
kewajiban yang harus ditunaikan, walaupun esensi dan entitas
dari keduanya tidaklah serupa.
Kemudian dalam permasalahan barang-barang atau objek
yang dapat dikenai zakat dan pajak pun akan berbeda karena
didasari dari sumber pengambilan mengenai definisi dan term
yang berbeda. Dalam objek zakat sendiri sebenarnya terdapat
berbagai pendapat di kalangan ulama mengenai harta yang wajib
dikeluarkan zakatnya, di antaranya adalah:
Pertama, Abdurrahman al-Jaziri mengatakan bahwa harta
yang wajib dikeluarkan zakatnya ada lima macam, yaitu hewan
ternak (onta, sapi dan kambing), emas dan perak, barang dagangan,
barang tambang dan rikaz (barang temuan), serta tanam-tanaman
dan buah-buahan. Kedua, Sayyid Sabiq mengatakan bahwa harta
yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah emas, perak, hasil
tanaman, buah-buahan, barang-barang perdagangan, binatang
ternak, barang tambang, dan barang temuan (harta karun).
Ketiga, Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa harta yang
wajib dizakati ada 5 (lima), yaitu an-nuqud (emas, perak, dan

14
Imam Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, kitab az-Zakah, bab 27, hadits no
659-660, (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah, 2003), hlm 188.
15
Ibnu Taimiyah, Majmu’at al-Fatawa, Cet. III, Bab Iman, Al-Kabir, Jilid
7, (Dar al-Wafa, 2005), hlm. 316

ADZKIYA SEPTEMBER 2017


Zakat Vis To Vis Pajak Sebagai Lembaga Keuangan Publik 313

surat-surat berharga), barang tambang dan barang temuan,


barang perdagangan, tanam-tanaman dan buah-buahan, dan
hewan ternak (onta, sapi, dan kambing). Kemudian Wahbah
juga mengutip pendapat Abu Hanifah yang mewajibkan kuda
untuk  dizakati.16
Dengan adanya perbedaan pendapat mengenai objek
zakat ini tidaklah menjadi sebuah problem yang patut untuk
diperselisihkan antara satu dengan yang lain, akan tetapi jika
dilihat dari sisi positifnya hal ini menunjukan bahwa objek zakat
dapat dikembangkan dan dikontekstualisasikan sesuai dengan
kondisi zaman, yang pada gilirannya akan melengkapi pendapat-
pendapat yang telah dikemukakan oleh para ulama terdahulu.
Maka dari itu, tidak menutup kemungkinan bahwa objek zakat
bisa saja dipersamakan dengan objek pajak, yang mana di antara
jenis- jenisnya adalah: 1) pajak penghasilan (income taxes); 2)
pajak penghasilan atas karyawan (employment taxes); 3) pajak atas
kekayaan (wealth taxes); 4) pajak atas perpindahan kekayaan (wealth
transfer taxes); 5) pajak atas transaksi (transactiontaxes); 6) bea dan
cukai (exice taxes); 7) pajak lainnya (other miscellaneous  taxes).17
Persamaan antara harta yang dapat dizakati dengan
objek pajak mungkin dapat kita lihat dalam penyamaan
sebagai  berikut:
1. Zakat profesi pertanian, produksi hewani, barang tambang
dan hasil laut sama dengan pajak atas penghasilan (Income
taxes)
2. Zakat binatang ternak, emas perak dan surat berharga,
dan lain-lain sama dengan pajak atas kekayaan (wealth
taxes)
3. Zakat perdagangan dapat disamakan dengan pajak
atas transaksi (transaction taxes).18

16
Fakhruddin, Membumikan Zakat dari Ta’abbudi Menuju Ta’aqquli,
(Jurisdictie, Jurnal Hukum dan Syari’ah, Vol. 1, No. 2, Desember 2010), hlm. 3
17
Akhyar Rusli, Pajak = Zakat; Kajian Hermeneutik terhadap Ayat-Ayat
Zakat dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Renada, 2005), hlm. 75
18
Walaupun penyamaan ini masih membutuhkan penyempurnaan dan
penelaahan lebih lanjut, akan tetapi secara logika hal tersebut tidak mustahil

Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 05 Nomor 2


314 Kholid Hidayatullah & Siti Zulaikha

2. Studi Historis

Pada pembahasan ini penulis akan lebih banyak membicarakan


sejarah pajak dalam Islam, yang mana dalam Islam telah dikenal
beberapa sumber pendapatan dan keuangan negara (al-mawarid
al-maliyah li ad-dawlah). Sebagiannya bersifat rutin (dawriyyah)
yakni zakat, kharaj (pajak bumi), jizyah (pajak jaminan keamanan
atas non muslim), dan ‘usyur (pajak ekspor dan impor); sedangkan
bagian yang lain bersifat isidental (ghayr dawriyyah) yakni
seperlima harta rampasan perang (ghanimah dan fay’), seperlima
hasil tambang (ma’adin) dan harta karun (rikaz), harta peninggalan
orang yang tidak mempunyai ahli waris, harta temuan dan segala
bentuk harta yang tidak diketahui secara pasti siapa pemiliknya.19
Kemudian ada pula pembagian yang menjadi sumber keuangan
Negara dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:20
1. Pajak yang dipungut dari muslim. Yang termasuk jenis
pajak ini adalah: a) zakat; b) usyr;21 c) rubu’u al-usyr;22 d)
dharaib,23 dan e) kharaj al-ard (pajak tanah).24
2. Pajak yang dipungut dari orang yang bukan Islam (non
Muslim). Ada tiga jenis pungutan pajak yang dikenakan
kepada orang yang bukan Islam, yaitu:

untuk dilakukan atau bahkan ditetapkan.


19
‘Abd al-Wahab Khallaf, as-Siyasah asy-Syar’iyyah, (al-Munirah:
Mathba’ah at-Taqadum, 1977), hlm. 114
20
Amir Hasan Shiddiqi, Studies in Islamic History, Terj. M.J. Irawan,
(Bandung: PT. al-Ma’arif, 1985), hlm. 149-151
21
Usyur ialah pungutan yang dipungut dari para muslim pemilik tanah
sejumlah 10% sekira tersedia sarana alam untuk pengairan, jika tidak maka 5%.
22
Rub’u al-Usyur adalah kewajiban atas import, dikenakan atas semua
pedagang. Pungutan ini dikenakan hanya sekali dalam setahun dan atas barang-
barang yang melampaui nilai 200 dirham. Jumlah kewajiban ini dari seorang
pedagang muslim adalah 2,5%
23
Dharaib ialah pungutan luar biasa yang dikenakan atas harta para
muslim kaya untuk menanggulangi biaya negara dalam keadaan darurat.
24
Kharaj al-ardialah pendapatan yang diperoleh dari tanah-tanah yang
dipergunakan untuk pengolahan dengan sewa tahunan tertentu.

ADZKIYA SEPTEMBER 2017


Zakat Vis To Vis Pajak Sebagai Lembaga Keuangan Publik 315

3. Jizyah (pajak kepala); 25


b) Kharaj (pajak tanah);26 dan c)
Usyr.
Walaupun dalam prakteknya bahwa zakat dipungut dari kaum
Muslim dan pajak dari kalangan bukan Muslim tidak berarti
bahwa zakat adalah pajak religious, sedangkan jizyah dan kharaj
adalah pajak sekuler, karena negara Islam bukanlah suatu negara
sekuler dalam pengertian istilah modern. Islam menjadikan
agama sebagai dasar untuk menetapkan pajak bagi masyarakat.
Dengan demikian, zakat, jizyah, kharaj mempunyai dasar
yang sesuai dengan ajaran agama Islam baik dalam al-Qur’an
maupun Hadits. Perintah pajak tersebut merupakan tindakan
religious menurut pandangan Islam, dengan demikian tujuan
di balik kegiatan perpajakan dalam negara Islam adalah untuk
menciptakan kesejahteraan umat.
Suatu hal yang sudah cukup dipahami ialah bahwa
tidaklah semua sumber pendapatan itu ditetapkan berdasarkan
nash-nash syara’ yang sharih, melainkan sebagiannya ditetapkan
berdasarkan ijtihad, sejalan dengan perkembangan dan tuntutan
kehidupan pada setiap masa.27 Sebagai contoh pemungutan
‘usyur yang ditetapkan Umar bin Khattab melalui musyawarah
dengan para sahabat Nabi, yang kemudian merekapun menerima
kebijakan yang diambil Umar bin Khattab tersebut.28 Dengan
perkembangan zaman yang semakin maju dan kompleksitas
kehidupan yang ada, juga pergolakan politik, muncul pula
bentuk-bentuk pungutan di luar apa yang telah disebutkan, yang
kemudian dikenal dengan term pajak (dharibah).
Hal tersebut seperti yang terjadi pada masa pemerintahan
Bani Umayyah yang mana ketika itu pemerintah menetapkan

25
Jizyah ialah pungutan pajak yang dibebankan kepada orang non Islam
sebagai imbalan akan jaminan bagi perlindungan hidup, milik, tata upacara
keagamaan dan kemerdekaan berpendapat, dan hak-hak dasar lain serta bebas
dari kewajiban militer.
26
Kharaj ialah pajak bumi yang dipungut dari orang non Muslim yang
mengerjakan tanah-tanah yang sudah ditaklukan oleh tentara Islam.
27
‘Abd al-Wahab Khallaf, as-Siyasah asy-Syar’iyyah, hlm. 102-103
28
Al-Qadhi Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1979),
hlm. 135

Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 05 Nomor 2


316 Kholid Hidayatullah & Siti Zulaikha

pajak yang dikenakan kepada perahu-perahu yang melintas


dan pajak perikanan. Kendatipun hal itu dilakukan dengan
bentuk-bentuk kekejaman dan intimidasi, namun ternyata
tidak bermanfaat dalam menjaga kestabilan moneter, bahkan
sebaliknya justru semakin menanamkan rasa antipasti di kalangan
rakyat. Akan tetapi ketika pucuk kepemimpinan dipangku oleh
khalifah Umar bin Abdul Aziz, berbagai koreksi dan perbaikan
terhadap sistem pemerintahan generasi tua pendahulunya pun
dilakukan, baik dalam hal macam-macam pajak yang dipungut,
cara pemungutannya dan cara Pembelanjaannya. 29
Pada masa pemerintahan umar bin Abdul aziz, pemasukan
kas Negara dari segi kharaj sangat tinggi. Bertambahnya
pemasukan kas negara dari kharaj ini disebabkan reformasi
perpajakan yang dicanangkan oleh umar. Berbeda dengan masa
sebelum Umar bin Abdul Aziz memerintah, sistem perpajakan
ini sangat amburadul, dan banyak kekayaan ini didapatkan dari
penindasan kepada masyarakat kecil dan para konglomerat
dibebaskan dari perpajakan. Maka Umar bin Abdul Aziz
menerapkan keadilan dan menempatkan kebijakan perpajakan
sesuai dengan porsinya. Umar menghapuskan segala macam
pajak yang zalim yang sebelumnya sangat mengganggu produksi
pertanian rakyatnya.30
Kemudian pada masa pemerintahan Bani Abbasiyyah,
stabilitas keuangan negara mulai membaik, hal ini karena ketika
itu pengawasan terhadap para petugas pajak khususnya, dan
para pejabat dibidang keuangan negara umumnya, dilakukan
secara ketat agar tidak berbuat sewenang-wenang. Sehingga pada
masa khalifah Harun as-Rasyid, khalifah meminta pada qadhi-
nya, Abu Yusuf, untuk menyusun suatu tata aturan syar’i yang
adil dalam pemungutan kharaj, ‘usyur dan shadaqah (zakat), yang
tidak sewenang-wenang terhadap para pemilik harta, tapi juga
tidak mengabaikan kepentingan umum. Dalam rangka itulah
Abu Yusuf –yang dikenal sebagai shahib al-Imam Abi Hanifah–

29
‘Abd al-Wahab Khallaf, as-Siyasah asy-Syar’iyyah, hlm. 144-148
30
Ali Muhammad Ash Shalabi, Umar bin Abdul aziz Khalifah pembaharu
dari Bani Umayyah, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2014). hlm. 444

ADZKIYA SEPTEMBER 2017


Zakat Vis To Vis Pajak Sebagai Lembaga Keuangan Publik 317

menyusun kitab monumentalnya, al-Kharaj, yang oleh Khallaf


digambarkan sebagai khair asas li nidham mal ‘adl.31
Zakat Dan Pajak; Wacana Sinergisasi

Adanya dualitas kewajiban pembayaran antara zakat dan pajak


tentunya menyebabkan umat Islam memikul kewajiban yang
lebih berat daripada warga negara non-Muslim lainnya. Untuk
menyikapi hal ini, setidaknya ada tiga macam sikap yang
ditempuh umat Islam. Pertama, dengan membayar kewajiban
zakat dan pajak sekaligus dengan resiko jumlah yang dikeluarkan
menjadi lebih besar. Kedua, dengan menyamakan begitu saja
pajak dengan zakat, dalam artian pajak yang mereka bayar
dianggap/diniatkan sebagai pembayaran zakat. Ketiga, dengan
hanya membayar zakat tanpa pajak, dengan resiko harus
melanggar peraturan perundang-undangan negara.32 Untuk lebih
jelasnya, ada baiknya dilihat beberapa wacana yang digaungkan
oleh para ilmuan muslim terkait relasi antara zakat dan pajak ini.
Salah satu pakar yang mencoba menelaah permasalahan
ini adalah Fazlul Rahman dengan konsep “zakat adalah pajak”
yang diusungnya. Wacana yang ditawarkannya ini banyak
terisnpirasi oleh tindakan-tindakan kebijaksanaan Umar bin
Khattab yang kreatif dan inovatif. Sepintas lalu tindakan-
tindakannya itu seakan-akan merupakan penyimpangan, namun
sebenarnya ia menghidupkan ruh al-Qur’an dan sunnah.33
Seperti contoh kebijaksanaan penerapan kharaj dan usyur yang
mana hal tersebut merupakan hasil ijtihad mandiri Umar bin
Khattab ketika itu. Di samping itu, salah satu kebijakannya yang
menuai kontroversi adalah tidak dibagikannya zakat kepada
muallaf, padahal dalam Qur’an telah ditegaskan bahwa mereka
mendapatkan zakat. Di antara alasan Umat melakukan hal itu
adalah atas pertimbangan bahwa Islam sudah kuat dan orang-
orang yang baru masuk Islam sudah tidak perlu diperlakukan

31
‘Abd al-Wahab Khallaf, as-Siyasah asy-Syar’iyyah, hlm. 149
32
Nuruddun M. Ali, Zakat Sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 23
33
Fazlul Rahman, Islam Modern Tantangan Pembaruan Islam, Terj. Rusdi
Karim & Hamid Basyaib, Cet. I, (Yogyakarta: Salahuddin Press, 1987), hlm. 4.

Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 05 Nomor 2


318 Kholid Hidayatullah & Siti Zulaikha

secara Istimewa.34
Berkaitan dengan tema yang diungkapkan oleh Fazlul
Rahman bahwa zakat sebagai pajak, disana terlihat adanya usaha
beliau untuk meramu metode baru, namun sebenarnya metode
pembaharuan hukum Islam yang disampaikan Fazlul Rahman
merupakan kelanjutan dari sebuah proses kesinambungan
pemikiran klasik. Metode yang digunakan olehnya dalam
penetapan zakat sebagai pajak yaitu dengan menarwarkan
metode tafsir dengan perangkat double movement, yang secara
praktis memiliki dua tahapan. Pertama, memahami ungkapan-
ungkapan al-Qur’an untuk digeneralisasikan kepada prinsip-
prinsip moral sosial dengan cara mengaitkan ungkapan-
ungkapan spesifik al-Qur’an beserta latar belakang sosio-historis
dan dengan mempertimbangkan ‘illat al-hukmi yang dinyatakan
dalam ungkapan-ungkapan tersebut. Kemudian tahapan kedua
adalah merumuskan prinsip-prinsip umum tersebut ke dalam
konteks sosio-historis sekarang ini.35
Langkah awal yang dilakukan Fazlul Rahman adalah
dengan menafsirkan QS. at- Taubah ayat 60 yaitu mengenai
kategori-kategori distribusi zakat, ia menganggap bahwa
dalam ayat tersebut zakat memiliki cakupan yang luas termasuk
kesejahteraan sosial yang terdiri dari membantu orang-orang
yang terjerat hutang, gaji pegawai administrative (pengumpulan
pajak), pengeluaran diplomasi (untuk menarik hati orang-
orang terhadap Islam), pertahanan, pendidikan, kesehatan dan
komunikasi. Kategori- kategori tersebut sedemikian luasnya
hingga mencakup seluruh aktifitas negara sebagaimana yang
diungkapkan oleh Fazlul Rahman.36 Hal tersebut merupakan
kontekstualisasi penafsiran dari makna yang terkandung dalam
ayat tersebut yang berarti menunjukan bahwa zakat sebenarnya
dapat mengakomodasi setiap bidang kehidupan. Dengan demikian

34
Masdar F. Mas’udi, Pajak itu Zakat; Uang Allah untuk Kemashlahatan
Rakyat, (Bandung, PT. Mizan Pustaka, 2010), hlm. 121.
35
Fazlul Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition, (Chicago: The University of Chicago, 1982), hlm. 5
36
Fazlul Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, Terj. Anas Muhyiddin, (Bandung:
Penerbit Pustaka, 1995), hlm.60-61

ADZKIYA SEPTEMBER 2017


Zakat Vis To Vis Pajak Sebagai Lembaga Keuangan Publik 319

perlu diikuti dengan adanya langkah penyesuaian (readjustment)


tarif zakat selaras dengan kebutuhan kontemporer yang dapat
diaplikasikan sebagai pengganti pajak-pajak sekuler di negara-
negara Islam. Ini sekaligus akan memberi motivasi religius
kepada para wajib pajak.37 Kesimpulan yang diambil oleh Fazlul
Rahman ini dapat dikatakan merupakan sebuah upaya agar zakat
tidak tergerus atau tergusur oleh pajak yang merupakan hasil dari
pemikiran kaum sekuler. Yang pada akhirnya diharapkan satu
sistem pengelolaan perekonomian masyarakat, khususnya umat
Muslim, terfokus pada optimalisasi dan kontekstualisasi konsep
zakat yang merupakan trademark dalam perekonomian Islam.
Pemikiran Fazlul Rahman mengenai zakat sebagai
pajak, berlainan dengan pemikiran Masdar Farid Mas’udi yang
mengatakan “pajak itu zakat”. Tentang pelaksanaan zakat, Masdar
mengatakan bahwa seperti halnya ruh dan badan, zakat dan pajak
memang berbeda, tetapi bukan terpisah. Zakat adalah ruh dan
pajak adalah badannya sebagai konsep keagamaan, zakat bersifat
ruhaniah dan personal, sementara konsep kelembagaan dari zakat
itu sendiri yang bersifat sosial, tidak lain pada apa yang kita kenal
selama ini dengan sebutan pajak. Dalam pandangan Masdar,
zakat sesungguhnya adalah ajaran moral atau etika trasendental
untuk pajak serta pembelanjaannya yang pada gilirannya juga
untuk negara.38 Menurut analisis penulis,pendapat Masdar
lebih menekankan untuk pembayaran pajak, dengan alasan
bahwa pajak itu zakat; uang Allah untuk kemashlahatan rakyat.
Sedangkan Fazlul Rahman memposisikan zakat sebagai pajak
yang didasarkan pada al-Qur’an.
Mengembalikan ruh keadilan-kerakyatan zakat ke dalam
pajak adalah merupakan sebuah obsesi dari risalah ajaran
Masdar, dengan tajdid besar-besaran atas aspek teknis dan
kelembagaan yang sepadan dengan kondisi material dan sosial
modern. Yang dimaksud dengan aspek teknis kelembagaan
adalah menyangkut  soal;

37
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas (Studi atas
Pemikiran Hukum Fazlur Rahman),(Bandung: Mizan, 1989), hlm. 218
38
Masdar F. Mas’udi, Menggagas Ulang Zakat sebagai Etika Pajak dan
Belanja Negara untuk Rakyat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2005), hlm. 70

Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 05 Nomor 2


320 Kholid Hidayatullah & Siti Zulaikha

1. Tarif zakat/pajak (miqdar)


2. Objeknya (mal zakawy), dan
3. Penjabaran dari asnaf 8 (masharif).39
4.
Salah satu tawaran yang diberikan Masdar adalah distribusi dana
zakat tidak bersifat statis, akan tetapi dinamis sehingga dapat
dialokasikan untuk program-program berikut ini; kesehatan
rakyat miskin, pendidikan membebaskan dan pembangunan
perumahan untuk tuna wisma (fakir/miskin), rehabilitasi
kemanusiaan untuk para napi atau mereka yang terlibat narkoba
(muallaf al-qulub), pelatihan administrasi dan control kebijakan
public (amil), advokasi buruh dan penguatan masyarakat marjinal
(riqab), perlindungan keamanan warga, penegakan hukum dan
peningkatan kualitas kemanusiaan (fi sabilillah), dan penyantunan
para pengungsi, anak jalanan dan gelandangan (ibnn sabil).40 Hal
ini bisa dikatakan hampir menyerupai apa yang ditawarkan
oleh Fazlul Rahman seperti dalam pembahasan yang telah lalu.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hubungan
antara zakat sebagai konsep keagamaan (kerohanian) di satu
sisi, dan pajak di sisi lain bukanlah dua buah entitas yang harus
dipertentangkan secara dikotomis, melainkan saling berkaitan
secara dialektis, yaitu dengan cara memasukan spirit ajaran
zakat ke dalam lembaga pajak. Zakat sebagai ruhnya pajak
sebagai badannya, zakat sebagai komitmen spiritual moral,
pajak sebagai wujud kelembagaan yang hendak menjadi ajang
pengejewantahannya.41 Dalam hal ini, zakat sebagai sandaran
filosofis bagi pajak. Sebaliknya, pajak menjadi bentuk pelaksanaan
zakat itu sendiri.42 Sehingga pada akhirnya diharapkan
39
Masdar F. Mas’udi, dkk. Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS Menuju
Efekitvitas Pemanfaatan Zakat Infaq dan Sedekah, (Jakarta: Piramedia, 2004),
hlm.  43
40
Ibid., hlm. 94
41
Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam,
(Jakarta: P3M, 1993), hlm.100-104
42
Nuruddun M. Ali, Zakat Sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal, hlm.
81-83

ADZKIYA SEPTEMBER 2017


Zakat Vis To Vis Pajak Sebagai Lembaga Keuangan Publik 321

kewajiban seorang muslim terhadap agama dan negara berjalan


secara  simultan.

Dari penjelasan kedua tokoh tersebut, maka proses sinergi


antara zakat dan pajak dapat dimungkinkan dan dibenarkan
menurut penelaahannya masing-masing baik itu zakat adalah
pajak atau pajak adalah zakat. Sebenarnya, wacana kemungkinan
terjadinya penyatuan antara zakat dan pajak sudah ada semenjak
ulama klasik, di antaranya adalah apa yang diungkapkan oleh
Imam Nawawi. Ia berpendapat bahwa pemungutan kharaj dari
tanah itu 1/10, sedangkan kewajiban zakatnya adalah 1/10.
Oleh karena pembayaran kharaj 1/10 itu dianggap sebagai ganti
pembayaran zakat yang besarnya juga 1/10 dan baik kharaj
maupun zakat keduanya adalah kepentingan umum.43 Dari sini
dapat dikatakan bahwa Imam Nawawi termasuk ulama yang
mengatakan bahwa zakat dan pajak adalah satu (sama) dan
tidak terpisah, sama seperti apa yang diungkapkan kedua tokoh
sebelumnya, bahkan bisa jadi mereka mencoba menggulirkan
kembali wacana Imam Nawawi tersebut.
Berbeda dengan ketiga tokoh di atas, Yusuf Qaradhawi
berpendapat bahwa kedua hal tersebut tidak dapat dipersatukan,
akan tetapi harus berdiri sendiri-sendiri. Untuk relasi antara
zakat dan pajak, Yusuf Qardhawi mengingatkan bahwa zakat itu
harus memenuhi tiga syarat, yaitu:

1. Harus dalam jumlah tertentu yang ditetapkan oleh


syari’at, yaitu 1/10, 1/20, sampai 1/40.
2. Harus menggunakan niat tertentu, yaitu berniat
mendekatkan diri kepada Allah dan mengikuti perintah-
Nya, dengan membayar zakat yang diperintahkan kepada
hamba-Nya.
3. Harus diberikan kepada sasaran tertentu, yaitu delapan
asnaf yang ditentukan dalam al-Qur’an. 44

43
Imam Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzzab, Juz V (Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 2033), hlm. 541-542
44
Yusuf Qaradhawi, Fiqh al-Zakah, Juz II, (Beirut: Muassasah ar-Risalah,

Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 05 Nomor 2


322 Kholid Hidayatullah & Siti Zulaikha

Kemudian Qaradhawi melandaskan pemikirannya


terhadap relasi keduanya kepada dalil al-Qur’an QS. al-Mu’min
ayat 65:

‫ال ْمدُ للِهَِّ َر ِّب‬ َ ‫ال ُّي ال إِ َل َه إِال ُه َو َفا ْد ُعو ُه خُم ْ ِل ِص‬
َ ْ‫ني َل ُه الدِّ ي َن ح‬ َ ْ‫ُه َو ح‬
‫ني‬َ ِ‫ا ْل َعا مَل‬
“Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan
dia; Maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. segala
puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”

Terhadap dalil di atas, Qaradhawi mengkiyaskan zakat dengan


ibadah. Menurutnya dalam ibadah disyaratkan ikhlas dalam
mengerjakannya, sedangkan niat ibadah dalam pajak terkadang
tidak murni. Karena itu zakat tidak sama dengan pajak dan
akhirnya pajak tidak bisa mengganti zakat. Kedudukan
keduanya berdiri sendiri- sendiri.45 Dalam catatannya, beberapa
ulama mendukung pengintegrasian zakat dan pajak, tetapi baru
pada batas niat saja. Imam Nawawi dari madzhab Syafi’I, Imam
Ahmad, dan Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa membayar pajak
dengan niatan zakat dibolehkan, dan karenanya kaum muslim
cukup membayar pajak. Sementara Ibn Hajar al-Hasyimi dari
madzhab Syafi’I, Ibn Abidin dari madzhab Hanafi, dan Syeikh
Ulaith dari madzhab Maliki berpendapat sebaliknya, zakat dan
pajak adalah dua hal yang berbeda dan karenanya pembayaran
atas pajak tidak menggugurkan kewajiban zakat.46 Dengan
demikian maka Yusuf Qaradhawi memposisikan dirinya sebagai
pendukung terhadap kalangan yang kedua ini.
Zakat Dan Pajak; Sebuah Analisis

Pada bagian ketiga ini, penulis akan mencoba memilah-milah


konsep relasi antara zakat dengan pajak yang sesuai dengan
kondisi dan situasi di Indonesia, dengan melandaskan kepada
pembahasan yang telah lalu mengenai hakikat dan sejarah

1991), hlm. 1107


45
Ibid
46
Yusuf Qaradhawi, Fiqh al-Zakah, hlm. 1109

ADZKIYA SEPTEMBER 2017


Zakat Vis To Vis Pajak Sebagai Lembaga Keuangan Publik 323

zakat dan pajak, dengan dibarengi penelaahan terhadap wacana


sinergisasi keduanya yang digulirkan oleh beberapa tokoh Islam.
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu diketahui bahwa
permasalahan zakat ini masih terjadi perdebatan di dalamnya
terkait apakah ia merupakan bagian dalam bidang ta’abbudi
atau ta’aqquli. Jika zakat diposisikan dalam bidang ta’abbudi,
maka zakat kemudian dianggap sebagai bidang yang jauh dari
pemikiran (ijtihad), yang berarti pembahasan zakat menjadi
statis dan tidak menerima “diskusi”. Dengan demikian, zakat
menjadi kehilangan peran vitalnya untuk kemanusiaan. Sebagai
ibadah maliyah ijtima’iyyah, zakat mestinya bisa mengangkat
status seseorang muslim dari faqir miskin menjadi mampu
atau menurut konsep zakat dari mustahiq menjadi muzakki. Oleh
karena itu, sudah seyogyanya zakat ditempatkan bukan hanya
di bidang ibadah, akan tetapi dimasukkan pula ke dalam bidang
muamalah. Dengan demikian, maka peluang untuk melakukan
ijtihad semakin terbuka lebar.
Hal tersebut dapat dikatakan wajar, karena dalam al-
Qur’an, ayat-ayat yang menjelaskan kewajiban zakat hampir
semuanya menggunakan lafad amwal yang merupakan bentuk
plural dari kata mal. Dalam QS. at-Taubah ayat 103, disebutkan
bahwa zakat diambil dari harta-harta (amwal) umat Islam untuk
membersihkan dan mensucikan mereka dengan zakat tersebut.
Selanjutnya Zuhaili mengatakan, lafad amwal dalam ayat tersebut
merupakan lafad ‘am (umum) yang berarti mencakup seluruh
macam harta, tidak dijelaskan macam harta yang diambil dan
ukuran serta takarannya, maka secara dzahir menuntut untuk
diambil dari setiap macam tersebut sebagiannya, karena lafad
min amwalihim menuntut tab’idh (sebagian), maka ayat tersebut
menunjukkan bahwa ukuran yang diambil adalah sebagian
harta, walaupun “sebagian” di sini tidak disebutkan secara jelas.
Oleh karena itu dibutuhkan sunnah dan ijma untuk menjelaskan
ukuran yang diambil, nishab dan haulnya.47
Berdasarkan lafadz amwal tersebut, Mustaha Ahmad

47
Wahbah al-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, Juz VI, (Damaskus: Dar al-Fikr,
2003), hlm. 33

Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 05 Nomor 2


324 Kholid Hidayatullah & Siti Zulaikha

Zarqa menyatakan bahwa zakat dikeluarkan dari harta konkret


yang bernilai dalam pandangan manusia dan dapat digunakan
menurut kebiasaannya. Dengan demikian, segala harta yang
secara konkret belum terdapat contohnya di zaman Nabi tetapi
dengan perkembangan perekonomian modern sangat berharga
dan bernilai, maka termasuk kategori harta yang apabila
memenuhi syarat-syarat kewajiban zakat sebagaimana disebutkan
di atas, harus dikeluarkan zakatnya.48 Sedangkan masalah nishab
(kadar zakat), perlu juga diadakan penyesuaian dengan kondisi
yang tengah dihadapi oleh masing-masing individu dalam
kehidupan beragama dan bernegara seperti yang dikemukakan
oleh Fazlul Rahman.
Dengan kedua alasan tersebut, maka merupakan sebuah
kewajaran jika penulis menganggap bahwa dimungkinkan
adanya rekonstruksi atau bahkan dekonstruksi terhadap sistem
perzakatan selama ini, agar lebih optimal dalam mengangkat
derajat kaum muslimin di kemudian hari.
Terkait dengan relasi antara zakat dengan pajak, penulis
melihat bahwa ketiga wacana yang tersedia, yaitu: 1) zakat adalah
pajak (Fazlul Rahman); 2) pajak adalah zakat (Masdar F. Mas’udi)
; dan 3) pajak bukan zakat dan begitu pula sebaliknya (Yusuf
Qaradhawi), kesemuanya memiliki alasan yang logis dan dapat
diterima secara akademis. Penulis sendiri lebih condong kepada
hasil pemikiran dari Yusuf Qaradhawi namun dengan metode
penelaahan yang digunakan oleh Fazlul Rahman dan Masdar
F.  Mas’udi.
Maksud dari posisi penulis tersebut adalah bahwa
sebenarnya zakat dan pajak itu memiliki esensi yang sangat
berbeda yang pada gilirannya berpengaruh terhadap entitas dan
eksistensi keduanya dalam kehidupan. Perbedaan tersebut tidak
hanya terletak dalam segi sumbernya saja, tapi mulai dari sebab,
syarat, dan proses pendistribusiannya juga berbeda. Hal itu
pun berdasarkan rekaman sejarah periode Islam awal yang
menunjukkan bahwa aktivasi pajak adalah ketika tidak adanya

48
Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema
Insani Pressm 2004), hlm. 17

ADZKIYA SEPTEMBER 2017


Zakat Vis To Vis Pajak Sebagai Lembaga Keuangan Publik 325

harta di baitul mal. Kemudian dalam perjalanan selanjutnya


pajak dan zakat tetap tidak disamakan, namun keduanya menjadi
sumber keuangan negara yang tetap. Maka dari itu, zakat dan
pajak harus berdiri masing-masing.
Kemudian penulis juga setuju atas preseden yang
dilontarkan oleh Fazlul Rahman dan Masdar F. Mas’udi yang
menyatakan bahwa diperlukan penyesuaian sistem per-zakat-
an di daerah yang berbeda, khususnya di Indonesia ini. Dalam
artian bahwa zakat perlu dikembangkan lagi baik dari objek,
tarif, dan penerima zakatnya, karena seperti yang telah dibahas
sebelumnya bahwa zakat seyogyanya tidak hanya dimasukan ke
dalam bidang ibadah saja, akan tetapi dapat diposisikan ke dalam
bidang muamalah juga.
Pengembangan objek zakat sendiri, merupakan sebuah
keniscayaan jika kita melihat sejarahnya yang mana terlihat dari
objek zakat yang setiap waktu ada pembaharuan, semisal Wahbah
Zuhaili yang memasukkan surat-surat berharga termasuk ke dalam
objek zakat seperti emas dan perak yang mana itu tidak pernah
ada pada periode-periode sebelumnya. Dengan pertimbangan itu,
maka pengembangan zakat pun bukan merupakan sebuah unsur
yang negatif untuk dilakukan. Semisal memunculkan term zakat
ekspor impor atau zakat transaksi pembelian barang mewah.
Sedangkan mengenai tarif zakat sendiri, penulis setuju
dengan pendapatnya Fazlul Rahman yang menyatakan
diperlukan adanya penyesuaian tarif zakat, karena dengan
mempertimbangkan rasa keadilan bagi umat Muslim. Seperti
dalam masalah zakat pertanian yang seakan-akan “memberatkan”
para petani Indonesia yang mayoritas tidak menerima surplus yang
cukup, bahkan terkadang menjadi minus. Berbeda kondisinya
dengan para pedagang, pengusaha, pejabat, pengacara, dan yang
lainnya. Kemudian pada penerima zakat diharapkan para tokoh
untuk melebarkan dan mengkontekstualisasikan makna yang
ada dalam nash-nash syari’at seperti yang dilakukan oleh Fazlul
Rahman dan Masdar F. Mas’udi di atas.
Kemudian jika ketiga aspek tersebut dapat
dikontekstualisasikan dan akhirnya bersinggungan dengan

Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 05 Nomor 2


326 Kholid Hidayatullah & Siti Zulaikha

pajak, maka tetap saja zakat dan pajak tidak dapat disatukan,
seperti halnya apa yang diutarakan oleh Imam Nawawi dalam
permasalahan kharaj. Akan tetapi penulis memiliki pemikiran
sendiri terhadap kondisi tersebut dengan melihat aspek haul
dan nishab dari objek zakat tersebut, walaupun pemikiran masih
bersifat subjektif, yaitu dapat kita urai permasalahan tersebut ke
dalam dua kategori:
Kategori pertama, adalah jika persinggungan tersebut
terjadi pada objek pajak yang memliki haul dinamis, yaitu objek
zakat yang waktu pengeluaran zakatnya kondisional, semisal
pertanian, profesi, transaksi, dan bea cukai, maka posisi zakat
tersebut mengurangi beban pajak yang ditanggungnya. Hal ini
dicontohkan layaknya pajak dan zakat profesi yang ditetapkan
oleh pemerintah dalam UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat; UU No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU
No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; UU No. 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983; dan
UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Kategori kedua, adalah jika persinggungan tersebut terjadi
pada objek pajak yang memiliki haul statis, yaitu objek zakat yang
waktu pengeluarannya setelah satu tahun, seperti zakat hewan
ternak, barang berharga, emas perak, dan perdagangan, maka
posisi zakat dan pajak bisa saling mengurangi. Dalam pengertian
jika waktu batas haul tersebut lebih dahulu daripada batas waktu
jatuh tempo, maka zakat dapat mengurangi beban biaya pajak
yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak. Sedangkan jika batas
waktu jatuh tempo pembayaran pajak itu lebih dahulu, maka
pengeluaran pajak tersebut dapat mengurangi pengeluaran beban
zakat, hal ini dikarenakan setelah mengeluarkan pajak tersebut
nishab dari harta yang dimiliki tentunya akan berkurang. Bisa
jadi yang tadinya berjumlah dua nishab namun telah dibayarkan
pajak terlebih dahulu maka sisanya hanya mencukupi satu nishab
saja, atau bahkan bisa jadi yang tadinya sudah mencapai satu
nishab akan tetapi harus membayar pajak terlebih dahulu maka
keutuhan satu nishab itu pun hilang.
Simpulan

ADZKIYA SEPTEMBER 2017


Zakat Vis To Vis Pajak Sebagai Lembaga Keuangan Publik 327

Dari pemaparan di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat


diambil, di antaranya yaitu:

1. Zakat dan pajak memiliki esensi yang sangat berbeda


yang pada gilirannya berpengaruh terhadap entitas dan
eksistensi keduanya dalam kehidupan. Perbedaan tersebut
tidak hanya terletak dalam segi sumbernya saja, tapi
mulai dari sebab, syarat, dan proses pendistribusiannya
juga berbeda. Namun keduanya dapat dikembangkan
yang disesuaikan dengan kondisi, situasi dan kebutuhan
zaman.
2. Dalam formulasi terkait relasi antara zakat dan pajak
setidaknya ada tiga wacana yang tersedia, yaitu: a) zakat
adalah pajak; yang dikemukakan oleh Fazlul Rahman; 2)
pajak adalah zakat; yang diutarakan oleh Masdar F. Mas’udi
; dan 3) pajak bukan zakat dan begitu pula sebaliknya; yang
disampaikan Yusuf Qaradhawi, kesemuanya memiliki
alasan yang logis dan dapat diterima secara akademis.
3. Penulis lebih condong kepada hasil pemikiran dari
Yusuf Qaradhawi namun dengan metode penelaahan
yang digunakan oleh Fazlul Rahman dan Masdar F.
Mas’udi. Yang berarti bahwa kedua entitas tersebut tidak
dapat disatukan atau dipersamakan akan tetapi tetap
diperlukan pengembangan-pengembangan yang inovatif
guna mencukupi kebutuhan dan tuntutan zaman.

Daftar Pustaka

Abu Yusuf, Al-Qadhi. Kitab al-Kharaj. (Beirut: Dar al-Ma’rifah.


1979)
Al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah.
Juz 1. (Beirut: Dar al-Fikr. 1972)
Al-Zuhaili, Wahbah. at-Tafsir al-Munir. Juz VI. (Damaskus: Dar al-
Fikr. 2003)

Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 05 Nomor 2


328 Kholid Hidayatullah & Siti Zulaikha

Ali, Nuruddun M. Zakat Sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal.


(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2006)
Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas (Studi atas
Pemikiran Hukum Fazlur Rahman). (Bandung: Mizan. 1989)
Ash-Shalabi, Muhammad Ali, 2014, Umar bin Abdul Aziz
khalifah pembaharu dari Bani Umayyah, Jakarta Timur:
Pustaka  Pelajar
Bukhari. Shahih Bukhori. cet IV. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
2004)
Bohari. Pengantar Hukum Pajak. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
1995)
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Ed. III. (Jakarta: PT. Balai Pustaka. 2005)
Fakhruddin. Membumikan Zakat dari Ta’abbudi Menuju Ta’aqquli.
(Jurisdictie. Jurnal Hukum dan Syari’ah. Vol. 1. No. 2.
Desember 2010)
Hafiduddin, Didin. Zakat dalam Perekonomian Modern. (Jakarta:
Gema Insani Press. 2004) Ibnu Hazm. Kitab al-Muhalla.
(Kairo: Maktabah Dar al-Turats. 2005)
Ibnu Majah, Imam. Sunan Ibnu Majah. (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyahm. 2003)
Inayah, Gazi. Teori Komprehensif Tentang Zakat dan Pajak.
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 2003)
Khallaf, ‘Abd al-Wahab. as-Siyasah asy-Syar’iyyah. (al-Munirah:
Mathba’ah at-Taqadum.1977)
Mahmud, Abdul Hamid. Ekonomi Zakat. (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. 2006)
Mas’udi, Masdar F. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam
Islam. (Jakarta: P3M. 1993)
. Menggagas Ulang Zakat sebagai Etika Pajak dan Belanja
Negara untuk Rakyat. (Bandung: PT. Mizan Pustaka. 2005)
. Pajak itu Zakat; Uang Allah untuk Kemashlahatan Rakyat.
(Bandung, PT. Mizan Pustaka. 2010)
. dkk. Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS Menuj
Efekitvitas Pemanfaatan Zakat Infaq dan Sedekah. (Jakarta:
ADZKIYA SEPTEMBER 2017
Zakat Vis To Vis Pajak Sebagai Lembaga Keuangan Publik 329

Piramedia. 2004)
Nawawi, Imam. al-Majmu’ Syarh al-Muhadzzab. Juz V (Dar al-Kutub
al-Ilmiyah. 2003) Qaradhawi, Yusuf. Fiqh al-Zakah. Juz II.
(Beirut: Muassasah ar-Risalah. 1991)
Rahman, Fazlul. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition. (Chicago: The University of Chicago. 1982)
. Islam Modern Tantangan Pembaruan Islam. Terj.
Rusdi Karim & Hamid Basyaib. Cet. I. (Yogyakarta:
Salahuddin Press. 1987)
. Tema Pokok al-Qur’an. Terj. Anas Muhyiddin. (Bandung:
Penerbit Pustaka. 1995)
Rofiq, Ahmad. Fiqih Kontekstual dari Norma ke Pemaknaan Sosial.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004)
Rusli, Akhyar. Pajak = Zakat; Kajian Hermeneutik terhadap Ayat-Ayat
Zakat dalam Al-Qur’an. (Jakarta: Renada. 2005)
Sabiq, Sayyid. Fiqh as-Sunah. (Dar al-Hadits. 2004)
Shiddiqi, Amir Hasan. Studies in Islamic History. Terj. M.J. Irawan.
(Bandung: PT. al-Ma’arif. 1985)
Taimiyah, Ibnu. Majmu’at al-Fatawa. Cet. III. (Dar al-Wafa. 2005)
Tirmidzi, Imam. Sunan Tirmidzi. (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah. 2003)
Zallum, Abdul Qadim. al-Amwal fi Daulah al-Khilafah. terj. Ahmad
S. dkk. Sistem Keuangan di Negara Khilafah. (Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah. 2002).

Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 05 Nomor 2


330 Kholid Hidayatullah & Siti Zulaikha

ADZKIYA SEPTEMBER 2017

Anda mungkin juga menyukai