Dimas - Tugas Uas Tentang Hukum Lingkungan

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 23

TUGAS UAS TENTANG HUKUM LINGKUNGAN

“Penegakan Hukum Lingkungan Di Indonesia Dalam Perspektif


Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”

Disusun Oleh :

Nama : Dimas Vigo Winata

NPM : 2174201080

Mata Kuliah : Hukum Lingkungan

Dosen Pengampu :

Hendri Sastra Padmi,S.H.,M.H

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU
2023
A. Pengertian Penegakan Hukum Lingkungan

Penegakan hukum lingkungan merupakan bagian integral “legislative


framework” dan tahapan terakhir “regulatory chain”. Tema penegakan hukum
lingkungan telah menarik perhatian publik termasuk menjadi topik utama dalam
“Fifth International Conference on Environmental Compliance and Enforcement”
di Monterey, California, Amerika Serikat (USA), 16-20 November 1998.
Konferensi ini bermaksud untuk memberikan pengertian dasar penegakan hukum
lingkungan dan mengembangkannya dalam jalinan kerjasama antar bangsa,
khususnya mengenai “transboundary compliance issues”.

Kata “penegakan hukum lingkungan” (“environmental law enforcement”


atau “handhaving van milieurecht”) memiliki pengertian yang mengandung
karakter keterpaduan lintas disiplin (ilmu) hukum.G.A. Biezeveld mendefinisikan:

Environmental law enforcement can be defined as the application of legal


governmental powers to ensure compliance with environmental regulations by
means of:

a. administrative supervision of the compliance with environmental


regulations (inspection) (mainly preventive activity);
b. administrative measures or sanctions in case of non compliance (corrective
activity);
c. criminal investigation in case of presumed offences (repressive activity);
d. criminal measures or sanctions in case of offences (repressive activity);
e. civil action (law suit) in case of (threatening) non compliance (preventive
or corrective activity).

Penegakan hukum lingkungan dapat didefinisikan sebagai penerapan


kekuatan hukum pemerintah untuk memastikan kepatuhan dengan peraturan
lingkungan dengan cara:

a. Sebuah supervisi administratif kepatuhan dengan peraturan lingkungan


(inspeksi) (terutama kegiatan pencegahan);
b. tindakan administratif atau sanksi dalam kasus ketidakpatuhan (aktivitas
korektif);
c. investigasi pidana dalam kasus dugaan pelanggaran (aktivitas represif);
d. tindakan atau sanksi pidana jika terjadi pelanggaran (aktivitas represif);
e. aksi sipil (gugatan hukum) dalam hal (mengancam) ketidakpatuhan
(aktivitas preventif atau korektif).

Penegakan hukum lingkungan dalam rangka pengendalian pencemaran


lingkungan dapat dibedakan dalam tiga aspek: (i) penegakan hukum lingkungan
administratif oleh aparatur pemerintah, (ii) penegakan hukum lingkungan
kepidanaan yang dilakukan melalui prosedur yuridis peradilan, dan (iii) penegakan
hukum lingkungan keperdataan serta “environmental disputes resolution ” yang
ditempuh secara litigasi maupun nonlitigasi.

Pembidangan penegakan hukum lingkungan dalam tiga rumpun disiplin


hukum merupakan konsekuensi logis dari kedudukan hukum lingkungan sebagai
matakuliah hukum fungsional (“functionele rechtsvakken”).

Penegakan hukum lingkungan dalam konteks pengendalian pencemaran


lingkungan berarti mendayagunakan sarana hukum (“legal means”) yang tersedia
di bidang penegakan hukum lingkungan administratif, kepidanaan dan keperdataan
(penyelesaian sengketa lingkungan) untuk melakukan perlindungan hukum dalam
rangka menjamin kualitas lingkungan bersih dan sehat berkelanjutan. Penegakan
hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan
warga masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan. Kemampuan aparatur
penegak hukum lingkungan disinyalir belum banyak mengalami kemajuan, bahkan
terdapat pihak yang tidak mengerti “siapakah yang dimaksud dengan aparatur
penegak hukum lingkungan ”.

Aparatur penegak hukum lingkungan tidak hanya mencakup: hakim, polisi,


jaksa dan pengacara, tetapi juga pejabat/instansi yang berwenang memberi izin.
Bahkan dikonsepkan bahwa organ pemerintah yang berwenang memberi izin
merupakan aparatur penegak hukum lingkungan yang utama sedasar prinsip:
“pejabat yang berwenang memberi izin (lingkungan) bertanggung jawab terhadap
penegakan hukum lingkungan administratif”.
Penegakan hukum lingkungan dalam konstalasi pengendalian pencemaran
(dan/atau perusakan) lingkungan bersentuhan pula dengan segmen “penyelesaian
sengketa lingkungan” melalui prosedur: “the litigation process and other tools for
resolving environmental disputes (proses litigasi dan alat-alat kelengkapan lain
untuk menyelesaikan perselisihan lingkungan). Penyelesaian sengketa lingkungan
tentang pengendalian pencemaran lingkungan dengan proses litigasi dipandang
sebagai langkah terakhir; sedangkan jalur berperkara di luar pengadilan lebih
diprioritaskan.

B. Penerapan Hukum Administratif dalam Penegakan Hukum


Lingkungan di Indonesia.
Penegakan hukum lingkungan administratif bertujuan untuk menghentikan
pencemaranlingkungan langsung pada sumbernya sesuai dengan prinsip
pengawasan dan penerapan sanksi administrasi. Pengawasan secara periodik
dilakukan terhadap kegiatan yang memiliki izin lingkungan sebagai upaya
pemantauan penaatan persyaratan perizinan oleh instansi yang berwenang memberi
izin lingkungan. Dasar hukum umum pengawasan sebagai sarana penegakan
hukum lingkungan administratif dalam pengendalian pencemaran (lingkungan) di
Indonesia adalah Pasal 71-75 UU PPLH. Pasal 74 (1) UUPPLH menetapkan
beberapa kewenangan pengawas, yaitu: melakukan pemantauan, meminta
keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang
diperlukan, memasuki tempat tertentu, memotret, membuat rekaman audio visual,
mengambil sampel, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat
transportasi, dan menghentikan pelanggaran tertentu.

Sarana pengawasan di bidang pengendalian pencemaran lingkungan


ternyata belum diatur secara komprehensif. Kenyataan ini meneguhkan pandangan
bahwa penegakan hukum lingkungan administratif dalam rangka pengendalian
pencemaran lingkungan melalui sarana yuridis yang bersifat preventif belum
berjalan optimal. Penguasaan metode dan teknik pengendalian pencemaran
lingkungan di kalangan aparatur penegak hukum lingkungan administratif masih
terbatas. Terdapat perbedaan (bahkan kekeliruan) pemahaman tentang substansi
dan mekanisme pengawasan penaatan persyaratan perizinan lingkungan.
Penerapan sanksi administrasi merupakan konsekuensi lanjutan dari
tindakan pengawasan Sanksi administrasi mempunyai "fungsi instrumental":
pengendalian perbuatan terlarang dan terdiri atas:

a. Paksaan pemerintahan atau tindakan paksa (“bestuursdwang” atau


“executive coercion ”);
b. Uang paksa (“publiekrechtelijke dwangsom” atau “coercive sum”);
c. Penutupan tempat usaha (“sluiting van een inrichting”);
d. Penghentian kegiatan mesin perusahaan (“buitengebruikstelling van een
toestel”);
e. Pencabutan izin (“intrekking van een vergunning”) melalui proses: teguran,
paksaan pemerintahan, penutupan dan uang paksa.

Dasar hukum utama penerapan sanksi administrasi di bidang pengendalian


pencemaran lingkungan terdapat dalam Pasal 76-83 UU PPLH yang mengatur
empat jenis sanksi administrasi: teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan
izin lingkungan, atau pencabutan izin lingkungan. Terhadap badan usaha yang
melanggar baku mutu emisi maupun persyaratan lingkungan lainnya. Penetapan
sanksi ini tidak boleh kurang dari nilai ekonomik yang telah dinikmati pelanggar
selama tidak mentaati persyaratan perizinan lingkungan.

Diketemukan beberapa varian sanksi administrasi yang diterapkan oleh


instansi yang berwenang menerbitkan izin lingkungan, yaitu: teguran, peringatan,
penyegelan, pemanggilan dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa instansi
yang berwenang menerbitkan “izin lingkungan” kurang menguasai peraturan
perundang-undangan yang mengatur jenis sanksi administrasi. Penerapan sanksi
administrasi juga belum dikaitkan dengan pelanggaran persyaratan perizinan
lingkungan dan ada pula yang lebih menekankan kepada pelaksanaan Amdal.

Pengkajian ini memaparkan realita betapa terbatasnya penuangan sarana


penegakan hukum lingkungan administratif, bahkan ada yang keliru rumusannya
dan rancu penerapannya. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa penegakan
hukum lingkungan administratif belum efektif dan berdaya guna sebagai instrumen
hukum pengendalian pencemaran lingkungan. untuk menjamin penaatan terhadap
peraturan perundang-undangan (pengendalian pencemaran lingkungan). Namun,
penerapan sanksi paksaan pemerintahan dikaitkan dengan sanksi pidana dan
perdata sebagaimana halnya dengan setiap penyelesaian yuridis permasalahan
lingkungan pada umumnya. Sanksi pencabutan izin dijadikan alternatif terakhir
guna mendorong penaatan terhadap persyaratan perizinan ataupun peraturan
perundang-undangan setelah melalui tahapan pengenaan denda dan sanksi pidana.

Penegakan hukum lingkungan administratif yang memiliki arti penting bagi


pengendalian pencemaran lingkungan di Indonesia diantaranya terlaksana dalam
kasus kebakaran hutan tahun 1997. Kasus ini dipandang World Wide Fund for
Nature (WWF) sebagai bencana nasional dengan implikasi internasional. Kabut
asap kebakaran hutan yang membubung tinggi melintasi batas-batas wilayah
Indonesia dipastikan jauh lebih berbahaya daripada pencemaran lingkungan
perkotaan. Pencemaran lingkungan akibat asap kebakaran hutan (saat itu) telah
menjadikan lingkungan di kawasan Asia Tenggara memburuk. Menurut Derek
Elson, klimatolog dari Oxford Brookes University:

“kabut asap tersebut membawa risiko kesehatan yang lebih serius ... Tingkat
polusi udara yang pernah mencapai indeks 781 adalah tujuh kali lipat lebih besar
dari standar kelayakan internasional. Angka 300-400 sudah dianggap berbahaya.
Lebih dari 500 bisa menyebabkan bahaya yang signifikan. Tingkat pencemaran
lingkungan di Mexico City, Athena, Kairo dan Sao Paulo (yang dianggap sebagai
kota-kota yang paling terpolusi di dunia) pada hari yang paling buruk sekalipun
sangat jarang mencapai angka 500 ...”.

Kerugian ekologis dan ekonomis akibat kebakaran hutan ditaksir sangat


besar. Hasil penelitian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
menunjukkan bahwa. kerugian material akibat kebakaran hutan tersebut telah
mencapai Rp. 11.753 triliun.10 Terhadap kasus ini Departemen Kehutanan pada
tanggal 15 dan 17 September 1997 telah mengumumkan 176 perusahaan yang
diduga melakukan pembakaran hutan di Propinsi: Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Timur.
Terhadap 176 perusahaan yang disinyalir terlibat pembakaran hutan telah
diadakan pengkajian mendalam sebagai tindak lanjut pengawasan yang dilakukan
Departemen Kehutanan. Akhirnya berdasarkan berbagai pertimbangan faktual dan
yuridis, pada tanggal 3 Oktober 1997 Menteri Kehutanan mencabut IPK (Izin
Pemanfaatan Kawasan atau Izin Pemanfaatan Kayu) bagi 29 perusahaan dari 176
perusahaan. Pelaksanaan penegakan hukum ini terlaksana dalam lingkup
berlakunya: (i) Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan, (ii) Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 tentang Hak
Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan, (iii) Peraturan Pemerintah
No. 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan, dan (iv) Peraturan Pemerintah
No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan. Ke-29 perusahaan yang terbukti
membakar hutan tersebut telah menerima penerapan sanksi administrasi
"pencabutan IPK" dari Menteri Kehutanan tanpa "reserve". Tindakan Menteri
Kehutanan mencabut IPK perusahaan pembakar hutan dinilai positif bagi
pengendalian pencemaran lingkungan. Kabut asap akibat pembakaran hutan yang
mencapai indeks 781 amat berbahaya. Menurut Keputusan MENLH No. Kep-
45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemar Lingkungan dan Keputusan
Kepala Bapedal No. Kep-107/KabapedaI/11/1997 tentang Pedoman Teknis
Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemar Lingkungan
indeks sebesar 300 saja sudah sangat berbahaya.

Namun, tragedi asap kebakaran hutan tahun 1997 belum menjadi pelajaran
yang berharga. Penegakan hukum lingkungan administratif yang dilakukan Menteri
Kehutanan ternyata kurang efektif. Setiap musim kemarau tiba pembakaran (lahan)
hutan terus marak di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Realita ini seyogianya
semakin mendorong dilakukannya penegakan hukum lingkungan administratif
berlandaskan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU
Kehutanan).13 Pasal 80 ayat (2) UU Kehutanan menyatakan:

“Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan


jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau izin pemungutan hasil
hutan yang diatur dalam undang- undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar
ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi
administrasi”.
Bertumpu pada Penjelasannya: sanksi administrasi yang dapat dijatuhkan
meliputi: “denda, pencabutan izin, penghentian kegiatan dan/atau pengurangan
areal”. Penerapan sanksi administrasi yang dirumuskan dalam UU Kehutanan
bersifat kumulatif dan akan diuji efektivitasnya pada tataran praktis kasus
pencemaran lingkungan akibat asap pembakaran hutan. UU PTUN merupakan
dasar hukum pengajuan gugatan administrasi atas KTUN perizinan (seperti
misalnya: Izin HO, Izin Usaha Industri, IPLM, Izin Lokasi, Izin Usaha Angkutan,
Izin Trayek, Izin Operasi Angkutan maupun Surat Izin Mengemudi) yang dianggap
"onrechtmatig" dan dapat menimbulkan terjadinya pencemaran lingkungan.
Bertolak dari Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 1 angka 4 UU PTUN: izin lingkungan
dapat digugat di lembaga Peradilan Administrasi yang berisi tuntutan (petitum) agar
KTUN (izin lingkungan) yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah
dengan tujuan untuk menghentikan pencemaran lingkungan atas dasar prinsip
“abatement at the source ”.

Keberadaan Peradilan Administrasi di Indonesia kurang didayagunakan


sebagai jalur hukum penyelesaian sengketa lingkungan. Sejak berlakunya UU
PTUN baru ditemukan dua sengketa lingkungan “monumental" yang telah
diselesaikan melalui mekanisme Peradilan Administrasi: Kasus Dana Reboisasi
(1994-2000) dan Kasus PT Freeport Indonesia Company (PT FIC) (1995-2000).
Dengan segala kekurangan dan kelemahannya, proses hukum kedua kasus tersebut
merupakan langkah apresiatif terhadap eksistensi dan fungsi Peradilan
Administrasi.

C. Penerapan Hukum Pidana dalam Penegakan Hukum Lingkungan di


Indonesia

Investigasi untuk menentukan apakah suatu perbuatan mencemarkan (atau


merusak) lingkungan dapat dipidana diperlukan perumusan "delik lingkungan
(pencemaran lingkungan)" berdasarkan "asas legalitas" yang tertuang dalam Pasal
1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP): “nullum delictum nulla
poena sine praevia lege poenali ”. UUPPLH mengatur "ketentuan pidana" dalam
Pasal 97-120, namun, UUPPLH tidak memformulasikan pengertian "delik
lingkungan” ("milieudelicten").
Masalah perumusan delik lingkungan pencemaran lingkungan dapat
diselesaikan dengan memahami pengertian yuridis pencemaran lingkungan
(lingkungan) dan rumusan sanksi pidana. Bertumpu pada Pasal 1 angka 14
UUPPLH dan Pasal 97-120 UUPPLH dapat diformulasikan pengertian delik
lingkungan pencemaran lingkungan:

Delik (lingkungan) pencemaran lingkungan adalah perbuatan yang


dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan yang mengakibatkan masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa delik lingkungan pencemaran


lingkungan adalah: "perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau karena
kealpaan yang menimbulkan pencemaran lingkungan". Mengacu pada Pasal 97120
UU PPLH diketahui: "subyek delik lingkungan pencemaran lingkungan" yang
memikul pertanggungjawaban pidana adalah “setiap orang" (baik individu maupun
badan hukum). Perumusan delik lingkungan tersebut memiliki dua elemen dasar:
"perbuatan" dan "akibat yang ditimbulkan". Kedua elemen ini dapat digunakan
sebagai pedoman pengkualifikasian delik lingkungan pencemaran lingkungan
sebagai "delik materiil" ataukah "delik formal". Delik materiil berorientasi pada
“akibat” konstitutifnya, sedangkan delik formal menekankan pada “perbuatannya”.

Penetapan delik lingkungan sebagai delik materiil ataukah delik formal


membawa konsekuensi hukum yang berkaitan dengan kemampuan “penyajian alat
bukti (pembuktian)" dan "penentuan hubungaan kausal (kausalitas)" antara
perbuatan pencemar dengan tercemarnya lingkungan. Dalam rumusan delik
materiil dituntut pembuktian yang lebih rumit dibandingkan dengan rumusan delik
formal yang tidak memerlukan pembuktian akibat dari perbuatan pencemar. Delik
formal tidak membuktikan akibat melainkan (hanya) mem- buktikan (terjadinya)
"perbuatan" (berbuat atau tidak berbuat).

Substansi pembuktian berorientasi pada pemaparan dan evaluasi fakta untuk


mendasari konstruksi putusan hakim secara meyakinkan. Fungsi utama investigasi
maupun penuntutan delik lingkungan (pencemaran lingkungan) dan proses
perkaranya di pengadilan adalah memeriksa fakta dan bukan hukumnya. Kebenaran
fakta harus ditemukan dalam mekanisme peradilan pidana agar hakim dapat
memilih hukum yang tepat ("in abstracto") untuk membuat putusan ("in concreto")
yang "executable".

Pembuktian dalam mekanisme peradilan delik lingkungan pencemaran


lingkungan merupakan keharusan sedasar: Undang-undang No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. Undang-undang
No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan
Kehakiman) dan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Jenis alat bukti yang sah menurut Pasal 6 ayat (2) UU Kekuasaan
Kehakiman dan Pasal 183 KUHAP diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu:
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Peranan investigator dalam delik lingkungan sangat penting, karena


bertugas mengumpulkan fakta dan alat bukti yang seringkali bersifat ilmiah
("scientific") terutama bagi pencemaran lingkungan di perkotaan yang terjadi
secara kumulatif. Gagasan praduga hubungan kausal merupakan temuan kreatif
untuk mengatasi problematika pembuktian (dan) kausalitas dalam delik lingkungan
(pencemaran lingkungan) yang menimbulkan bahaya seketika terhadap nyawa dan
kesehatan publik.keruwetan pembuktian dan kausalitas dengan menetapkan asas
"presumption of causation" merupakan temuan hukum yang layak dipikirkan dalam
rangka penyusunan RUU KUHP-RUU KUHAP yang telah dipersiapkan
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.16 Langkah ini diharapkan segera
dapat ditempuh dengan dasar pertimbangan bahwa kelemahan dalam pembuktian
dan penentuan kausalitas delik lingkungan pencemaran lingkungan membawa
konsekuensi yuridis yang fatal: "pembebasan" maupun "pemidanaan (penerapan
sanksi pidana) tanpa bukti ”.

Pemidanaan pencemar lingkungan merupakan reaksi atas delik lingkungan


yang secara filosofis bertujuan memberikan perlindungan hukum terhadap kualitas
lingkungan bagi masyarakat. Sanksi pidana kurang efektif dalam pengendalian
pencemaran lingkungan mengingat ia hanya memberikan nestapa kepada pelaku
dan bukannya pada perbuatan. Beragam perumusan sanksi pidana tersebut
membutuhkan banyak pemikiran dalam rangka efektivitas implementasi
pemidanaan. Pertanggungjawaban pidana terhadap delik lingkungan dapat
dibebankan kepada perseorangan maupun badan hokum, Sanksi pidana yang
lazimnya bersifat individual (personalitas) pada akhirnya dapat diterapkan pula
kepada badan hukum yang melakukan delik lingkungan pencemaran lingkungan.

Pertanggungiawaban pidana "badan hukum" sejalan dengan konsep badan


hukum sebagai subyek hukum. Meijers mengemukakan: "badan hukum ... meliputi
sesuatu yang menjadi pendukung hak dan kewajiban". Logemann berpendapat:
"badan hukum merupakan suatu personifikatie, suatu bestendigheid (perwujudan,
penjelmaan) hak dan kewajiban. Pemidanaan badan hukum dilakukan dengan
menjatuhkan sanksi pidana "denda" dan untuk individu pengurus badan hukum
diterapkan sanksi pidana berupa "penjara" (maupun "denda"). Maka unsur
”barangsiapa” dalam delik lingkungan atas dasar UU PPLH mengandung muatan
bahwa “orang" yang menjadi "pelaku delik" menjangkau "individu" dan "badan
hukum".

Pasal 1 angka 32 UU PPLH berbunyi:

"Orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum.”

Berdasarkan Pasal 116 UU PPLH disebutkan bahwa apabila tindak pidana


lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan
pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:

a. Badan usaha;
b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau
orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana
tersebut.

Pertanggungjawaban pidana terhadap (para) pengurus atau pimpinan suatu


badan hukum yang melakukan delik lingkungan Selain dalam UU PPLH, peraturan
perundang-undangan lingkungan yang secara tegas mengatur tentang pertanggung-
jawaban pidana badan hukum misalnya adalah:
a. Pasal 52 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria/UUPA
b. Pasal 31 UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan
c. Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1973 Tentang Landasan Konti- nen Indonesia
d. Pasal 15 UU No. 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan
e. Pasal 16 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Ekslusif
(ZEE) Indonesia
f. Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1984 Ten-tang Perindustrian
g. Pasal 24 UU No. 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan
h. Pasal 40 UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya
i. Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
j. Pasal 94 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 95 ayat (1) dan (2) UU No. 7 Tahun 2004
Tentang Sumber Daya Air.

Upaya penegakan hukum lingkungan hidup melalui hukum pidana adalah


bagaimana tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana ini dituangkan dalam
undang-undang yang sedikit banyak mempunyai peran untuk melakukan rekayasa
sosial yaitu yang meliputi perumusan tindak pidana (criminal act),
pertanggungjawaban pidana, dan sanksi (sanction) baik pidana maupun tata-tertib.
Sesuai dengan tujuan yang tidak hanya sebagai alat ketertiban, hukum lingkungan
mengandung pula tujuan pembaharuan masyarakat (social engineering). Hukum
sebagai alat rekayasa sosial sangat penting dalam hukum lingkungan.17.

Tindak pidana lingkungan hidup dalam KUHP diatur dalam Bab XV, yang
terdiri dari 23 pasal, dimulai dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH.
Dalam Pasal 97 disebutkan, bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Bab
XV itu adalah kejahatan. Dengan demikian, mengenai kejahatan terhadap
lingkungan hidup di- atur dalam bab tersebut. Di samping dalam UUPPLH,
kejahatan terhadap lingkungan hidup juga diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), misalnya dalam Pasal 187, Pasal 188, Pasal 202, Pasal
203, Pasal 502, dan Pasal 503 KUHP.
D. Penerapan Hukum Perdata dalam Penegakan Hukum Lingkungan di
Indonesia.

Dalam penegakan lingkungan hidup melalui pendekatan hak gugat perdata,


dikarenakan pihak penggugat tidak hanya menderita kerugian materiil akan tetapi
dapat pula dirugikan atas rusaknya lingkungan hidup di sekitar tempat tinggalnya.
Pada beberapa putusan perdata di bidang lingkungan hidup ditemukan adanya
putusan yang merupakan hal yang baru dalam perkembangan hukum lingkungan di
Indonesia. Dalam hal hak gugat, Pengadilan Negeri Samarinda telah mengakomodir
hak gugat warga negara yang dikenal juga dengan citizen lawsuit (action
popularis). Apabila gugatan diajukan oleh pemerintah melalui Kementrian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) maka perkembangannya mengarah
pada pro natura yaitu sistem pembuktian yang menerapkan konsep strict liability
sehingga KLHK sebagai penggugat tidak perlu lagi membuktikan tentang adanya
kesalahan tergugat. Namun demikian tidak seluruh putusan tersebut diikuti dengan
hukuman untuk memulihkan lingkungan yang telah rusak dan/atau tercemar, Pasal
88 UUPPLH mengatur tentang tanggung jawab mutlak (strict liability) bagi setiap
orang yang tindakan, usaha, dan/atau kegiatan menggunakan B3, menghasilkan
dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi
tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Dalam penjelasan Pasal 88 UUPPLH
diuraikan pengertian tanggung jawab mutlak sebagai berikut:

"bertanggung jawab mutlak" atau strict liability adalah unsur kesalahan


tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran
ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan
tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti
rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan
hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang
dimaksud dengan "sampai batas waktu tertentu" adalah jika menurut
penetapan peraturan perundangundangan ditentukan keharusan asuransi
bagi usaha dan/atau kegiatanyang bersangkutan atau telah tersedia dana

lingkungan hidup.
Ketentuan tentang tanggung jawab mutlak merupakan hal baru dan
menyimpang dari ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek
(BW) tentang perbuatan melanggar hukum(onrechtmatige daad). Sudah dijelaskan
bahwa kegiatan atau usaha yang berlaku strict liability yang memakai bahan
berbahaya dan beracun, jika terjadi perbuatan merusak atau mencemari lingkungan
di luar itu maka jalan yang harus dipilih adalah berpaling kepada Pasal 1365
KUHPerdata mengenai persyaratan, seperti adanya kesalahan (schuld).
Penyelesaian sengketa lingkungan melalui instrumen hukum perdata, menurut Mas
Achmad Santosa, bahwa untuk menentukan seseorang atau badan hukum
bertanggungjawab terhadap kerugian yang diakibatkan oleh pencemaran atau
perusakan lingkungan, penggugat dituntut membuktikan adanya pencemaran, serta
kaitan antara pencemaran dan kerugian yang diderita.

Membuktikan berarti memberikan kepastian kepada hakim akan kebenaran


peristiwa konkrit yang disengketakan. Penegakan hukum lingkungan hidup dengan
menggunakan sarana hukum perdata selama ini seringkali terkendala pada kesulitan
pembuktian. Pembuktian perkara lingkungan hidup membutuhkan sumber daya
manusia dan teknologi yang tinggi, sehingga penyelesaian perkara lingkungan
hidup menjadi rumit, mahal dan berlangsung lama. Dalam penanganan perkara
perdata lingkungan hidup sering ditemukan permasalahan-permasalahan hukum
yang tidak terjangkau oleh undang- undang maupun ketentuan yang ada. Hal ini
dikarenakan pembuktian dalam kasus-kasus pencemaran sering kali ditandai oleh
sifat-sifat khasnya, antara lain:

1. Penyebab tidak selalu dari sumber tunggal, akan tetapi berasal dari berbagai
sumber (multisources).
2. Melibatkan disiplin-disiplin ilmu lainnya serta menuntut keterlibatan pakar-
pakar di luar hukum

sebagai saksi ahli.

Di Indonesia, penyelesaian sengketa lingkungan diatur dalam Bab XIII UU


PPLH, yakni dibagi menjadi penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan
dan penyelesaian sengketa lingkungan melalui pengadilan. Gugatan lingkungan
baru dapat dilakukan setelah mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan di luar
pengadilan tidak dapat tercapai. Penegakan hukum lingkungan melalui jalur hukum
perdata di Indonesia kurang disenangi karena proses yang berlarut-larut di
pengadilan karena hamper semua kasus perdata diupayakan ke pengadilan yang
tertinggi untuk kasasi bahkan dilanjutkan pula ke peninjauan kembali. Sesudah ada
putusan itu masih juga sering sulit untuk dilaksanakan. Menurut ketentuan Pasal 84
UUPPLH, sengketa (perdata) lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan
atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersangkutan.
Jika usaha di luar pengadilan yang dipilih itu tidak berhasil maka oleh salah satu
atau para pihak dapat ditempuh jalur pengadilan.

Dalam penjelasan Pasal 88 UUPPLH diuraikan pengertian tanggung jawab


mutlak atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak
penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex
specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
Menurut UUPPLH, wakil yang berwenang mengajukan gugatan ganti rugi atas
pencemaran dan atau perusakan lingkungan adalah Pemerintah dan Pemerintah
Daerah, Masyarakat, serta Organisasi Lingkungan Hidup.

Terdapat 2 (dua) macam cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan


sengketa lingkungan hidup. Pertama, penyelesaian sengketa melalui mekanisme
penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Kedua, penyelesaian sengketa melalui
pengadilan. Setiap pihak bebas menentukan apakah dia akan memilih penyelesaian
di luar atau melalui pengadilan. Apabila pihak yang bersengketa memilih
penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dia tidak dapat menempuh penyelesaian
melalui pengadilan sebelum adanya pernyataan bahwa mekanisme itu tidak berhasil
oleh salah satu pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
tidak dapat dipergunakan untuk menyelesaikan tindak pidana lingkungan.

Apabila usaha di luar pengadilan yang dipilih itu tidak berhasil maka oleh
salah satu atau para pihak dapat ditempuh jalur pengadilan. Gugatan melalui
pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak
yang bersengketa. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai:
(a) bentuk dan besar ganti rugi;
(b) tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;
(c) tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulang pencemaran dan/atau
perusakan: dan/atau
(d) tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan
hidup.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak


pidana lingkungan hidup. Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu
menyelesaikan sengketa lingkungan hidup. Hak gugat (standing/standing to sue)
dapat diartikan secara luas, yaitu akses orang perorangan, kelompok/organisasi
ataupun institusi pemerintah di pengadilan sebagai pihak penggugat untuk
menuntut pemulihan atas hak-haknya yang telah dilanggar oleh tergugat, ataupun
ganti kerugian atas apa yang dideritanya. UUPPLH memberikan jaminan akses hak
gugat bagi beberapa pihak, yaitu:

(1) hak gugat orang perorang (individual);


(2) hak gugat organisasi lingkungan hidup (NGO);
(3) hak gugat perwakilan kelompok (class action);
(4) hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah; dan
(5) hak gugat warga negara (citizen lawsuit).

UUPPLH mengamanatkan adanya perintah ganti rugi atau melaksanakan


perbuatan lainnya guna memulihkan lingkungan yang rusak atau tercemar. Dalam
UUPPLH 2009 prinsip pencemar membayar terdapat dalam Pasal 2, yang kemudian
dijabarkan dalam Pasal 14 huruf h, Pasal 42 dan 43. Pengaturan prinsip tersebut
antara lain berupa ketentuan mengenai internalisasi biaya lingkungan, dana jaminan
pemulihan lingkungan, pajak dan retribusi lingkungan. Asas tanggung jawab yang
didasarkan pada kesalahan didasarkan pada adagium bahwa tidak ada tanggung
jawab apabila tidak terdapat unsur kesalahan (no liability without fault), Tanggung
jawab demikian, disebut pula dengan "tortious liability."

Pada umumnya ketentuan ganti kerugian ini mempunyai tujuan:

1. Untuk pemulihan keadaan semula akibat tindakan tersebut;


2. Untuk pemenuhan hak seseorang, di mana suatu peraturan perundang-
undangan menentukan bahwa seseorang berhak atas suatu ganti kerugian
apabila telah terjadi sesuatu yang dilarang;
3. Ganti kerugian sebagai sanksi hukum;
4. Sebagai pemenuhan ketentuan undang-undang, dalam arti bahwa undang-
undang tidak merumuskannya sebagai hak seseorang, namun undang-
undang menyatakannya sebagai kewajiban.

Kedua konsep tanggung jawab yaitu tanggung jawab berdasarkan kesalahan


(liability based on fault) dan tanggung jawab seketika (strict liability) juga dianut
dalam UUPPLH khususnya Pasal 87 dan Pasal 88. Pasal 87 mengatur mengenai
tanggung gugat pencemaran lingkungan hidup pada umumnya yang didasarkan
pada perbuatan melawan hukum sedangkan Pasal 88 mengatur mengenai tanggung
gugat pencemaran lingkungan hidup yang bersifat khusus, yaitu tanggung jawab
mutlak Berdasarkan penjelasan Pasal 88 UUPPLH, yang dimaksud dengan
“bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu
dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan
ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar
hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap
pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai
batas tertentu. Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika
menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi
bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan
hidup.

Penyelesaian sengketa lingkungan melalui sarana hukum pengadilan


dilakukan dengan mengajukan “gugatan lingkungan” berdasarkan Pasal 34 UUPLH
jo. Pasal 1365 BW tentang “ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum”
(onrechtmatigedaad). Atas dasar ketentuan ini, masih sulit bagi korban untuk
berhasil dalam gugatan lingkungan, sehingga kemungkinan kalah perkara besar
sekali. Kesulitan utama yang dihadapi korban pencemaran sebagai penggugat
adalah antara lain : pertama pembuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal
1365 BW, terutama unsur kesalahan (“schuld") dan unsur hubungan kausal. Kees
van Durn, sebagaimana dikutip oleh Andri Wibisana, mengutarakan bahwa
kesalahan dalam PMH secara obyektif memiliki dua karakter yang harus
dibuktikan. Pertama adalah kemungkinan adanya pengetahuan (possiblity of
knowledge) tentang resiko, yaitu pengetahuan bahwa sebuah perbuatan dapat
menimbulkan akibat tertentu. pengetahuan ini sifatnya umum, dalam arti
pengetahuan umum yang tidak harus merupakan pengetahuan yang benar-benar
dimiliki oleh pelaku.

Penyelesaian sengketa diluar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai


kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi atau mengenai tindakan
tetentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatidf
terhadp lingkungan hidup. Dalam penyelesian sengketa diluar pengadilan

dapat digunakan jasa orang ketiga baik yang tidak memiliki kewenangan
mengambil keputusan untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup,
dengan cara:

a) Pemerintah dan atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa


pelayananpenyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan
tidak berpihak.
b) Ganti rugi setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran atau
perusakan lingkungan hidup yang menimbulakan kerugian pada orang lain
atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan untuk membayar ganti rugi dan atau melakukan tindakan tertentu.
Selain untuk pembemanan melukan tindakan tertentu, hakim dapat
menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterklambatan
penyelesaian tindakan tertentu tersebut.
c) tanggung jawab mutlak

Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau


melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang
merugikan perikehidupan masyarakat. Jika diketahui bahwa masyarakat menderita
karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa
sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak
untuk kepentingan masyarakat. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan
hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan
hidup. Hak mengajukan gugatan tersebut terbatas pada tuntutan untuk hak
melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau
pengeluaran riil.

Dalam hukum lingkungan keperdataan tidak selalu terdapat sengketa


lingkungan antar individu, tetapi juga atas nama kelompok masyarakat dengan
kepentingan yang sama melalui gugatan kelompok. Class Action pada intinya
adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan ganti kerugian) yang
diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak, misalnya satu atau
dua orang saja) sebagai perwakilan kelas (Class Representative) mewakili
kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau tibuan orang
lainnya yang juga sebagai korban. Orang-orang yang diwakili ini disebut dengan
Class Members.

Gugatan Class Action ini terdapat dalam UU PPLH 2009, UU Perlindungan


Konsumen, UU Kehutanan dan tersumbernya dari Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) RI No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Dalam Pasal 1 huruf a ditentukan bahwa :

“Gugatan Perwakilan Kelompok (class action), merupakan tata cara


pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok
mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok
orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum
antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud”

Gugatan Class Action memopunyai manfaat yang cukup besar ketika


pengadilan harus menghadapi penggugat dengan jumlah yang cukup besar,
sementara memiliki kepentingan yang sama. Misalnya dalam kasus Lapindo,
jumlah korban yang sangat banyak, sehingga tidaklah praktis jika gugatan diajukan
satu per satu atau sekaligus dalam gugatan. Suatu gugatan class action tidak sama
dengan hak gugat organisasi lingkungan (legal standing organisasi lingkungan)
karena konsep penerapan class action lebih banyak berkembang di negara-negara
penganut sistem anglo-saxon, maka di Indonesia class action merupakan konsep
yang sangat baru dan belum banyak dipahami oleh para penegak hukum maupun
praktisi hukum publik di negara ini, dan oleh karenanya tidak sedikit pengertian
class action dicampur dengan konsep hak gugat oraganisasi lingkungan.

Gugatan Class Action dalam Lingkungan Hidup belum mendapat


pengaturan dalam UULH 1982, prosedur ini baru diatur dalam UU PLH 1997 dan
kemudian UU PPLH 2009 pada Pasal 91 yang menentukan :

1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk


kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila
mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup.
2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa,
dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota
kelompoknya.
3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan

Organisasi lingkungan hidup juga berhak mengajukan gugatan apabila


memenuhi persyaratan: berbentuk badan hukum atau yayasan, dalam anggaran
dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas
bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian
fungsi lingkungan hidup, telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya. Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh
orang, masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum
Acara Perdata yang berlaku. Pengakuan secara tegas mengenai legal standing
organisasi lingkungan semula terdapat dalam Pasal 38 UUPLH 1997, ketentuan ini
diatur kembali dalam Pasal 92 UU PPLH 2009 yang menentukan :

1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan


lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan
untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan
tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran
riil.
3) Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi
persyaratan:
4) berbentuk badan hukum;
5) menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut
didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
6) telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling
singkat 2 (dua) tahun.

Tidak semua dapat digugat oleh organisasi lingkungan. Dalam pasal ini
membatasi yang dapat digugat terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan
tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran
riil. Meskipun tidak ada penjelasan mengenai biaya atau pengeluaraan riil, tentunya
yang dimaksud adalah biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan telah dikeluarkan
oleh organisasi lingkungan hidup. Perkembangan baru di bidang hukum
lingkungan, bahwa sekarang gugatan lingkungan dapat diajukan oleh pemerintah
dan pemerintah daerah. Ketentuan ini diatur dalam PAsal 90 UU PPLH 2009, yang
menetukan :

1) Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di


bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan
tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan
kerugian lingkungan hidup.
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Menurut Pasal 87
(1) UUPPLH 2009 ada dua jenis ganti rugi, yaitu (1) ganti rugi kepada orang
yang menderita akibat kerusakan atau pencemaran lingkungan (2) ganti rugi
kepada lingkungan hidup itu sendiri. Selain kewajiban membayar ganti rugi,
dapat pula dikenakan tindakan hukum tertentu untuk :
a) memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga
limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan;
b) memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan/atau
c) menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Dalam kaitan dengan pembebanan untuk melakukan tindakan hukum
tertentu, dalam Pasal 87 (3) dan (4) UU PPLH 2009 ditentukan bahwa pengadilan
dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas
pelaksanaan putusan pengadilan. Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan
peraturan perundang-undangan melalui pengadilan. Dalam UU PPLH 2009 tidak
dinyatakan bagaimana bentuk, jenis, dan besarnya ganti rugi yang dapat digugat.
Untuk itu sebagai perbandingan menurut Yurisprudensi di Jepang bahwa bantuan
terhadap korban pencemaran tidak hanya terbatas pada biaya perawatan medic,
melainkan meliputi rasa sakit atau cacat. Bahkan menurut yurisprudensi kasus
nigata dan komoto, ganti kerugian yang dapat dituntut berupa hilangnya
kesempatan untuk menikah, hilangnya mata pencaharian, dan terhaap keluarga
yang ditinggal oleh penderita yang meninggaldunia dapat dituntut bantuan
kekurangan pada anak yang masih ditanggung, suami/istri, orang tua dan anak yang
belum dewasa, tunjangan anak, wanita hamil yang terganggu kandungannnya dan
sebagainya.

Selanjutnya tindakan tertentu untuk pelestarian fungsi lingkungan


hidupnya, misalnya membuat atau memperbaiki unt pengelolaan limbah, menebar
kembali (restocking) bibit ikan, melakukan penanaman pohon di sekitar areal
perusahaan, dan lain sebagainya yang sifatnya untuk memulihkan ingkungan hidup
atau menghilangkan penyebab pencemara dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Kesimpulan

Beragam permasalahan lingkungan baik kerusakan maupun pencemaran


yang terjadi di satu sisi oleh sebagian kalangan dianggap sebagai bencana alam (act
of God/force major). Padahal dalam kondisi-kondisi realistis hal tersebut
sesungguhnya merupakan bencana lingkungan dan kemanusiaan yang dalam
konteks kebijakan amat sangat jelas penyebabnya. Berbagai permasalahan
lingkungan yang terjadi secara beruntun dalam sisi ekologis menjadi titik terang
adanya ketidaksungguhan pemegang otoritas publik untuk mengarusutamakan
kepentingan lingkungan dalam agenda kebijakan negara.
Banyaknya alternatif mekanisme dalam penegakan hukum lingkungan, baik
secara administratif, kepidanaan maupun keperdataan belum mampu menjamin
semakin berkurangnya permasalahan lingkungan. Dalam konteks penegakan
hukum kepidanaan juga belum mampu memberikan efek yang signifikan bagi
perlindungan lingkungan. Terhadap tindak pidana lingkungan ini jelas dibutuhkan
langkah-langkah hukum yang ditangani secara profesional oleh aparatur kepolisian,
PPNS, kejaksaan dan hakim yang bersertifikasi lingkungan. Administrasi keadilan
melalui langkah membangun aparaturpenegak hukum lingkungan yang
berwawasan lingkungan dengan memperkuat diklat serta proses sertifikasi penegak
hukum lingkungan akan memiliki implikasi praktis menuntaskan kasus kejahatan
lingkungan sesuai dengan makna hukum lingkungan kepidanaan. Pembentukan
institusi penegak hukum 97 lingkungan kepidanaan dalam semangat keterpaduan
harus didorong demi terbangunnya penegakan hukum terhadap kejahatan
lingkungan secara terpadu. Keterpaduan ini penting guna membuka ruang akses
keadilan bagi rakyat yang dapat teradministrasikan secara baik dalam konteks good
environmental enforcement berdasarkan prinsip-prinsip good environmental
governance.

Anda mungkin juga menyukai