Ekonomi Sumber Daya Alam

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 10

Nama : Dwie Belcha Nanda Damanik

Nim : 7213240022

Identitas jurnal

1. Judul artikel : KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN


DAMPAKNYA TERHADAP PENEGAKAN HUKUM
LINGKUNGAN INDONESIA

2. Pengarang : Ida Nurlinda


3. Nama Jurnal : Provided by Bina Hukum Ligkungan(E-journal bina
hukum
lingkungan indonesia)
4. Kota terbit : Bandung
5. Penerbit : Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran
6. Tahun terbit : 24-10-2016
7. ISSN : 2541-2353

8. Volume : Volume 1, Nomor 1,


9. Jumlah halaman : 9
ANALISI JURNAL

Hasil Review Jurnal

A. Abstrak
Kegiatan pembangunan di Indonesia, telah membawa dampak buruk pada kuantitas dan
kualitas SDA itu sendiri. Secara normatif, Indonesia telah memiliki UU-PPLH sudah lebih
komprehensif mengatur kaidah-kaidah perlindungan dan pengelolaan lingkungan
dibandingkan dengan aturan- aturan sebelumnya. Namun, lemahnya tataran implementasi
peraturan perundangan di bidang lingkungan tersebut pada kenyataannya menimbulkan
sejumlah konflik sosial dan/atau sengketa hukum. Hasil penelitian menunjukan pemerintah
perlu mengoptimalkan instrumen-instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 UU-PPLH. Hal tersebut menjadi
penting dalam upaya penegakan hukum sebagai tanggung jawab pemerintah dan pemerintah
daerah dalam mewujudkan perlindungan dan pengelolaan lingkungan bagi kepentingan
generasi yang akan datang.

B. Latar Belakang

Kegiatan pembangunan Indonesia yang selama ini menggunakan konsep


pendekatan pertumbuhan (developmentalism), telah membawa dampak buruk pada
kuantitas dan kualitas SDA itu sendiri, karena SDA dieksplorasi dan dieksploitasi untuk
membiayai kegiatan pembangunan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah perlindungan
dan pengelolaan lingkungan. sebagaimana diketahui, kaidah-kaidah tersebut merupakan
upaya sistematis terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan dan mencegah terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Kaidah-kaidah tersebut saat ini diatur dalam
UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU-
PPLH) dan berbagai peraturan perlaksanaannya. Secara normatif, UU-PPLH sudah lebih
komprehensif dalam mengatur kaidah- kaidah perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dibandingkan dengan aturan-aturan sebelumnya, karena UU-PPLH merupakan
penyempurnaan dari peraturan-peraturan lingkungan sebelumnya, dan memasukan juga
berbagai prinsip/asas terkait lingkungan yang berkembang di tingkat internasional.
Namun pada tataran implementasi, banyak hal yang masih menjadi kendala
khususnya dalam hal penegakan hukumnya. Hal ini disebabkan begitu banyaknya
perundangan-undangan di Indonesia baik pada tingkatan yang sama yaitu undangundang
maupun pada tingkatan yang tatarannya lebih rendah dari undang-undang, yang
bersinggungan dan/atau tumpang tindih, baik
secara langsung maupun tidak, dengan aturan dalam hukum lingkungan itu sendiri.
Selain dari peraturan perundangundangannya, permasalahan juga muncul dari sisi
lembaga dan proses implementasi peraturan perundang-undangan itu sendiri. Pada
akhirnya permasalahan- permasalahan tersebut menimbulkan konflik dan/atau sengketa,
yang berujung pada timbulnya kerugian pada masyarakat dan rusaknya kualitas SDA dan
lingkungan itu sendiri.
Selain menimbulkan kerusakan hutan dan menurunnya kualitas lingkungan,
lemahnya tataran implementasi peraturan perundangan di bidang lingkungan tersebut
pada kenyataannya menimbulkan sejumlah konflik sosial dan/atau sengketa hukum.
Misalnya, pada tahun 2013 konflik terkait dengan lahan tercatat sebanyak 369 konflik
dengan luasan lahan mencapai 1.281.660.09 hektar (Ha) dan melibatkan 139.874 Kepala
Keluarga (KK).2 Permasalahan- permasalahan sebagaimana telah diuraikan di atas, pada
akhirnya mempengaruhi tingkat keberhasilan penegakan hukum lingkungan dan
peraturanperaturan lainnya yang terkait dengan pengelolaan (terutama pemanfaatan)
SDA.
C. Hasil analisis dan pembahasan

Sistem Penegakan Hukum Lingkungan


Ketentuan hukum lingkungan dikatakan telah efektif serta mencapai tujuannya manakala
aspek- aspek penegakan hukumnya berjalan dengan baik. Penegakan hukum lingkungan
merupakan bagian terpenting dari hukum lingkungan itu sendiri, karena dari melalui
penegakan hukum dapat dilihat tingkat kepatuhan masyarakat dan pelaku usaha dalam
melaksanakan ketentuan dan kebijakan (perizinan) yang berlaku melalui instrumen
pengawasan dan penerapan sanksi, baik sanksi administasi, sanksi pidana maupun sanksi
perdata. Hal ini sejalan dengan pembidangan hukum lingkungan itu sendiri, yang oleh
Drupsteen dimasukan ke dalam bidang hukum fungsional (functionele rechtsvakken), yaitu
bidang hukum yang mengandung terobosan antara berbagai disiplin ilmu hukum klasik
(tradisional)3 . Mengacu pada pendapat Drupsteen tersebut, Daud Silalahi berpendapat bahwa
penegakan hukum lingkungan di Indonesia mencakup penaatan dan penindakan (compliance
and enforcement) yang terdiri atas bidang hukum administrasi, hukum pidana dan hukum
perdata4 . Namun demikian, meskipun hukum lingkungan sebagai genus merupakan cabang
ilmu tersendiri, namun bagian terbesar substansinya merupakan ranting dari hukum
administrasi.
Demikian juga dalam hal penegakan hukum lingkungan, hukum administrasi
menjadi salah satu “warna” dominan, yang berisi kaidah kewenangan, perintah, larangan, izin
dan dispensasi. Kaidah-kaidah tersebut mengikat pemerintah untuk mengatur penaatan dan
penegakan hukum lingkungan, serta mengikat masyarakat dan/atau pelaku usaha untuk
melindungi dan memelihara lingkungan. Beberapa pakar (H.B. Jacobini, Rene Seerden Frits
Stroink, Philipus M. Hadjon) bahkan mengkategorikan penegakan hukum lingkungan
administrasi sebagai bagian hukum administrasi negara itu sendiri. Penegakan hukum
lingkungan administrasi secara substansi meliputi pengawasan terhadap lingkungan
(sebagaimana diatur dalam Pasal 71 s.d Pasal 75 UU- PPLH) dan penerapan sanksi
administratif (sebagaimana diatur dalam Pasal 76 s.d Pasal 83 UUPPLH). Ketentuann dalam
penegakan hukum lingkungan administrasi dalam UU-PPLH tersebut ditindaklanjuti dengan
Permen LH No. 2 tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di bidang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengawasan dan perizinan merupakan
dua instrumen penegakan hukum lingkungan administrasi yang memiliki
sifat preventif, sedangkan pengenaan sanksi merupakan instrumen penegakan hukum
administrasi yang bersifat represif. Dalam prakteknya, kedua instrumen itu tidak dapat
dipisahkan secara tegas. Pengawasan dan perizinan yang bersifat preventif, menjadi syarat
bagi dijatuhkannya penerapan sanksi yang bersifat represif. Penerapan sanksi administratif
lebih ditujukan untuk menghentikan (dampak) pelanggaran atau memulihkan lingkungan
pada keadaan semula. Dengan demikian, penegakan hukum lingkungan administrasi
memiliki peran utama dalam penegakan hukum lingkungan secara keseluruhan, lebih
mengedepankan unsur preventif sebagai instrumen penegakan hukum lingkungan daripada
unsur represif, dengan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan akibat kerusakan
dan/atau pencemaran lingkungan.

Alasan lain diperlukannya penguatan (empowering) peran masyarakat sebagai


bagian dari instrumen pengawasan adalah karena penegakan hukum lingkungan selama ini
belum menimbulkan efek jera. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh lemahnya
transparansi pengawasan dalam penegakan hukum, misalnya dalam hal penataan pelaku
usaha di mana kegiatan/usahanya berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan. Hingga
saat ini, pemerintah belum dapat menyediakan data base yang dengan mudah dapat diakses
masyarakat untuk memantau pemberian izin yang telah diberikan kepada setiap pengusaha,
terutama yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting bagi lingkungan. Hal ini
penting karena selama ini, penegakan hukum atas pelanggaran hukum lingkungan seringkali
hanya sebatas pengenaan sanksi semata tanpa melihat aspek sosial, hukum selanjutnya.
Misalnya, bagaimana masyarakat dan lingkungan sosial di wilayah tersebut kemudian
dibangun kembali setelah terjadinya kerusakan dan/ atau pencemaran lingkungan. Dalam
Pasal 97 UU-PPLH ditegaskan bahwa tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam
UU-PPLH, dikualifikasikan sebagai delik kejahatan. Kualifikasi ini menunjukkan bahwa
penerapan sanksi pidana lingkungan merupakan upaya terakhir (ultimum remedium), setelah
sanksi hukum lainnya dirasa tidak adil dalam penegakannya. Namun demikian, UU-PPLH
mengandung perdebatan tersendiri mengenai penerapan sanksi hukum pidana sebagai
ultimum remedium tersebut.

Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam


Perbaikan tata kelola SDA dan lingkungan harus dimulai dengan transparansi dan integritas
pengelolaan SDA itu sendiri. Transparansi diawali dari tahapan proses perizinan, sebagai
instrumen preventif dalam penegakan hukum lingkungan. Masalah perizinan yang akhir-
akhir ini menjadi pintu terjadinya tindak pidana korupsi di sektor SDA, perlu mendapat
perhatian khusus terkait dengan implementasi kaidah-kaidah hukum pidana lingkungan,
tidak sematamata kaidah
hukum pidana sebagai genus. Selanjutnya, pada sektor kehutanan misalnya, tata kelola dilakukan
dengan meningkatkan kapasitas Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai kawasan hutan yang
batas-batasnya dipetakan dan dikelola untuk tujuan-tujuan rencana pengelolaan hutan yang telah
ditetapkan dengan memperhatikan aspek pelestarian hutan dan lingkungan. Untuk mendukungnya
maka kebijakan satu peta tematik hutan perlu dilaksanakan. Dengan demikian, penegakan hukum
lingkungan dapat ditingkatkan kapasitasnya. Pencegahan dan pemulihan akibat pencemaran dan
perusakan lingkungan, lebih difokuskan pada upaya penurunan dan pemulihan kualitas lingkungan
yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan serta mengurangi luasan kebakaran hutan itu
sendiri. Demikian juga halnya dengan pemulihan kualitas lingkungan yang diakibatkan oleh
kegiatan pertambangan. Perlu penguatan aturan-aturan khususnya dalam bentuk perda-perda yang
mengatur mengenai tambang inkonvensional karena pertambangan inkonvensional telah menjadi
penyumbang terbesar kerusakan lahan dan hutan11. Perda-perda yang mendukung penegakan
hukum lingkungan dibutuhkan mengingat dampaknya yang cukup luas. Misalnya pencemaran air
sungai karena penggunaan bahan kimia sebagai bahan pencucian bahan tambang, di samping juga
merusakan tatanan kehidupan sosial masyarakat sekitar lokasi tambang. Kegiatan pertambangan
haruslah dilakukan menurut kaidah-kaidah pertambangan yang benar, antara lain memperhatikan
lingkungan fisik dan kimia, memperhatikan lingkungan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar,
memperhatikan lingkungan pasca tambang12. Untuk itu diperlukan penegakan hukum lingkungan
hidup yang komprehensif, yang mencakup seluruh aspek dan unsur yang menjadi penyebab
terjadinya pelanggaran kaidah-kadiah hukum SDA dan lingkungan. Pasal 12 UU-PPLH
menyatakan bahwa, pemanfaatan SDA dilakukan berdasarkan Rencana Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). RPPLH sendiri disusun dengan memperhatikan
keragaman karakter dan fungsi ekologis, sebagaran penduduk, sebaran potensi SDA, kearifan
lokal, aspirasi masyarakat dan perubahan iklim. Dengan demikian, persyaratan dalam penyusunan
RPPLH sudah sejalan dengan arah yang terkandung dalam Ketetapan MPR tentang Pembanruan
Agraria dan Pengelolaan SDA, bahkan termasuk aspek perubahan iklim. Dengan demikian, dalam
kaitannya dengan penegakan hukum lingkungan hidup, kaidah-kaidah yang terdapat dalam
UUPPLH sudah cukup mumpuni, tidak terbatas hanya izin lingkungan semata sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 36 UU-PPLH jo PP No. 27 tahun 2012. Hanya saja diperlukan keseriusan
pemerintah termasuk pemerintah daerah untuk mengimplementasikan berbagai instrumen
penaatan secara lebih intensif.
D. KESIMPULAN
Kedepan, masalah-masalah lingkungan yang timbul akan semakin kompleks, mengingat semakin
terbatasnya ketersediaan SDA dan kualitas dari SDA itu sendiri yang semakin menurun. Untuk
itu, instrumeninstrumen pencegahan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan sebagaimana
yang tertera dalam Pasal 14 UU-PPLH, perlu dioptimalkan. Selama ini instrumen pencegahan
belum ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan yang sistematis dalam satu sistem hukum
lingkungan yang komprehensif dan harmonis diantara berbagai peraturan perundang-undangan
yang terkait baik secara horizontal maupun secara vertikal. Paling tidak, ke-12 instrumen
pencegahan yang terdapat dalam Pasal 14 UUPPLH dimaksud harus menjadi alat utama dalam
penegakan hukum lingkungan, dan karenanya, pembuatan peraturan pelaksanaan dari ke-12
instrumen pencegahan menjadi tugas penting bagi pemerintah (termasuk Pemda) untuk
menjalankan penegakan hukum lingkungan berbasis penaatan hukum.
E. Kelebihan dan Kekurangan Artikel
Kelebihan
 Menggunakan bahasa yang mudah di pahami
 pembahasan dari jurnal tersebut lengkap sehingga mudah di pahami isinya
 terdapat ayat UUD yang jelas sehingga pembaca mudah memahami kajian materi dalam jurnal
tersebut

Kekurangan

 tidak terdapat metode penelitian dalam jurnal sehingga pembaca binggung memahami metode
apa yang dilakukan peneliti untuk mendapatkan hasil pembahasan jurnal
 Todak adanya kajian teori dalam jurnal
Daftar Pustaka

Arief Budiman, Kekuasaan dan Penguasaan SDA: Studi Kasus Penambangan imah di
Kepulauan Bangka, Indonesian for Sustainable Development, Jakarta, 2007. Kementerian
Hukum dan HAM, Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup,
Laporan Kerjasama Kementerian Hukum dan HAM, UKP4 dan BP REDD+, Jakarta, 2015.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Warisan Buruk Masalah Agraria Di Bawah Kekuasaan
SBY, Laporan Akhir Tahun 2013 Konsorsium Pembaruan Agraria, 2014. M. Daud Silalahi,
Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia melalui Pendekatan Kesadaran Hukum dan
Lingkungan, Orasi Ilmiah pada Dies Natalis ke-34 Universitas Padjadjaran, Bandung, 1991. -----
-------------------------, Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia: Harapan dan Kenyataan
Diuji Berdasarkan Putusan Hakim, Orasi Ilmiah dalam rangka Memperingati Ulang Tahun ke-70
Prof. Dr. M. Daud Silalahi, SH., Universitas Padjadjaran Bandung, 2006.

Anda mungkin juga menyukai