Fashya Halepi Sahasika - H1401221105 - Hikmah Video "The Meaning of Life - Azham AVI"

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 2

Nama : Fashya Halepi Sahasika

NIM : H1401221105

Hikmah Video “The Meaning of Life – Azham AVI”

Manusia memiliki keterbatasan dalam memahami makna hidup. Pada umumnya, manusia
tidak mengetahui banyak hal tentang sesuatu, yang mereka ketahui hanyalah realitas yang nampak
saja (Q.S 30: 6-7). Tidak ada seorang pun yang tahu berapa lama ia akan hidup, di mana ia akan mati,
(Q.S 31: 34) dalam keadaan apa ia akan mati, dan dengan cara apa ia akan mati, sebagian manusia
menyangka bahwa hidup ini hanya satu kali dan setelah itu mati ditelan bumi. Mereka meragukan dan
tidak percaya bahwa mereka akan dibangkitkan kembali setelah mati (Q.S An-Naml: 67). Adapun
mengenai kepercayaan adanya kehidupan setelah mati pandangannya sangat beragam tergantung
pada agama dan kepercayaan yang dipeluk dan diyakini.

Islam menjelaskan makna hidup yang hakiki melalui perbandingan dua ayat yang sangat
kontras, seperti dicontohkan di dalam Alquran. Seorang yang telah mati menurut mata lahir kita,
bahkan telah terkubur ribuan tahun, jasadnya telah habis dimakan cacing dan belatung lalu kembali
menjadi tanah, namanya sudah hampir dilupakan orang. Tetapi yang mengherankan, Allah SWT
memandangnya masih hidup dan mendapat rezeki di sisi-Nya serta melarang kepada kita menyebut
mati kepada orang tersebut. Hal ini dapat kita lihat dalam (Q.S 3: 169).

“Janganlah kalian menyangka orang-orang yang gugur di jalan Allah itu telah mati, bahkan
mereka itu hidup dan mendapat rezeki di sisi Allah.” Sebaliknya ada orang yang masih hidup menurut
mata lahir kita, masih segar-bugar, masih bernapas, jantungnya masih berdetak, darahnya masih
mengalir, matanya masih berkedip, tetapi justru Allah menganggapnya tidak ada dan telah mati,
seperti disebutkan dalam firmannya “Tidak sama orang yang hidup dengan orang yang sudah mati.
Sesungguhnya Allah SWT mendengar orang yang dikehendaki-Nya, sedangkan kamu tidak bisa
menjadikan orang-orang yang di dalam kubur bisa mendengar,” (QS Al-Fathir 22). Maksud ayat ini
menjelaskan Nabi Muhammad tidak bisa memberi petunjuk kepada orang-orang musyrikin yang telah
mati hatinya.

Dua ayat ini memberikan perbandingan yang terbalik, di satu sisi orang yang telah mati
dianggap masih hidup, dan di sisi lain orang yang masih hidup dianggap telah mati. Lalu apa hakikat
makna hidup menurut Islam?

Hidup dalam pandangan Islam adalah kebermaknaan dalam kualitas secara


berkesinambungan dari kehidupan dunia sampai akhirat, hidup yang penuh arti dan manfaat bagi
lingkungan. Hidup seseorang dalam Islam diukur dengan seberapa besar ia melaksanakan kewajiban-
kewajiban sebagai manusia hidup yang telah diatur oleh Dienull Islam. Ada dan tiadanya seseorang
dalam Islam ditakar dengan seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh umat dengan kehadiran
dirinya. Sebab Rasul pernah bersabda “Sebaik-baiknya manusia di antara kalian adalah yang paling
banyak memberikan manfaat kepada orang lain. (Alhadis). Oleh karena itu, tiada dipandang berarti
(dipandang hidup) ketika seseorang melupakan dan meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah
diatur Islam.

Dengan demikian, seorang muslim dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas hidup
sehingga eksistensinya bermakna dan bermanfaat di hadapan Allah SWT, yang pada akhirnya
mencapai derajat Al-hayat Al-thoyyibah (hidup yang diliputi kebaikan). Untuk mencapai derajat
tersebut maka setiap muslim diwajibkan beribadah, bekerja, berkarya berinovasi atau dengan kata
lain beramal saleh. Sebab esensi hidup itu sendiri adalah bergerak (Al-Hayat) kehendak untuk
mencipta (Al-Khoolik), dorongan untuk memberi yang terbaik (Al-Wahhaab) serta semangat untuk
menjawab tantangan zaman (Al-Waajid).

Makna hidup yang dijabarkan Islam jauh lebih luas dan mendalam dari pada pengertian hidup
yang dibeberkan Descartes dan Marx. Makna hidup dalam Islam bukan sekadar berpikir tentang
realita, bukan sekadar berjuang untuk mempertahankan hidup, tetapi lebih dari itu memberikan
pencerahan dan keyakinan bahwa. Hidup ini bukan sekali, tetapi hidup yang berkelanjutan, hidup yang
melampaui batas usia manusia di bumi, hidup yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan sang
Kholik. Setiap orang beriman harus meyakini bahwa setelah hidup di dunia ini ada kehidupan lain yang
lebih baik, abadi dan lebih indah yaitu alam akhirat (Q.S. Adl-dluha: 4).

Setiap muslim yang aktif melakukan kerja nyata (amal saleh), Allah menjanjikan kualitas hidup
yang lebih baik seperti dalam firmannya “Barang siapa yang melakukan amal saleh baik laki-laki
maupun wanita dalam keadaan ia beriman, maka pasti akan kami hidupkan ia dengan al-hayat al-
thoyibah (hidup yang berkualitas tinggi).” (Q.S. 16: 97). Ayat tersebut dengan jelas sekali menyatakan
hubungan amal saleh dengan kualitas hidup seseorang.

Salah satu kebutuhan manusia yang paling mendasar adalah pengakuan dari komunitas
manusia yang disebut masyarakat. Betapa menderitanya seseorang, sekalipun umpamanya ia seorang
kaya raya, berkedudukan, mempunyai jabatan, namun masyarakat di sekitarnya tidak mengakui
keberadaannya bahkan menganggapnya tidak ada, antara ada dan tiada dirinya tidak berpengaruh
bagi masyarakat. Dan hal ini adalah sebuah fenomena yang terjadi pada masyarakat muslim. Terlebih
rugi lagi jika keberadaan kita tidak diakui oleh Allah SWT, berarti alamat sebuah kemalangan yang akan
menimpa. Ketika usia kita tidak menambah kebaikan terhadap amal-amal, ketika setiap amal
perbuatan tidak menambah dekatnya diri dengan Sang Pencipta, berarti hidup kita sia-sia belaka. Allah
menganggap kita sudah mati sekalipun kita masih hidup.

Oleh karena itu, seorang muslim “diwajibkan” untuk mengaktualisasikan dirinya dalam
segenap karya nyata (amal saleh) dalam kehidupan.

Anda mungkin juga menyukai