Aliran Kalam Asy'ariyah
Aliran Kalam Asy'ariyah
Aliran Kalam Asy'ariyah
ALIRAN AS’ARIYAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perkembangan Pemikiran dalam Islam
OLEH:
MUHAMMAD RIDWAN EFENDI, S.Pd (20123010)
DOSEN PENGAMPU:
Bismillahirrohmanirrohim,,,
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Maha suci Allah yang
telah mencurahkan segala karunia-Nya pada seluruh umat manusia. Sholawat serta salam semoga
tetap tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, beserta para sahabatnya, beliaulah sosok
yang telah memperbaiki buruknya peradaban manusia di zaman jahiliyah. Beliau juga sebagai
pemimpin umat Islam yang wajib kita contoh dan ikuti ajarannya. Para sahabatnya, dan para
pengikutnya hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah SWT. Akhirnya penulisan tugas makalah ini
berhasil diselesaikan, penulis menyadari bahwa adanya kekurangan yang terjadi baik dalam
penulisan maupun kata-kata yang penulis uraikan dalam makalah ini. Dengan demikian, penulis
tetap mengharapkan kritik serta saran sebagai koreksian untuk mendapatkan pengalaman
pembuatan makalah yang lebih baik lagi. Penulis tetap bersyukur karena dapat menyelesaikan
tugas ini dengan baik. Tak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada bapak dosen
pembimbing mata kuliah Paradigma Pemikiran dalam Al-Qur`an.
PENULIS
1
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan .............................................................................................. 22
B. Saran ......................................................................................................... 22
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beragam aliran teologi yang tumbuh subur memiliki historisasi yang cukup panjang,
semuanya tidak terlepas dari para pendirinya dan latar belakang yang menyertai sampai pada
para pengikutnya yang memilki loyalitas terhadap aliran tersebut. Makalah ini akan membahas
tentang aliran Asy‟ariyah. Aliran ini merupakan salah satu aliran yang muncul atas reaksi
terhadap Muktazilah sebagai paham yang memprioritaskan akal sebagai landasan dalam
beragama.
Ketidaksepakatan terhadap doktrindoktrin Mu‟tazilah tersebut memunculkan aliran
Asy‟ariyah yang dipelopori oleh Abu alHasan al-Asy‟ari. Doktrin-doktrin yang dikemukan
beliau dan para pengikutnya merupakan penengah diantara aliran-aliran yang ada pada saat itu.
Pada perkembangan selanjutnya aliran ini banyak dianut oleh mayoritas umat Islam karena
dianggap sebagai aliran Sunni yang mampu mewakili cara berpikir yang diharapkan umat Islam
di tengah-tengah pergolakan hati akibat beberapa aliran yang datang lebih dulu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang masalah yang telah dikemukakan maka dapat dirumuskan
masalahnya sebagai berikut :
1. Bagaimana Sejarah munculnya Aliran Asy’ariyah ?
2. Siapa Tokoh dibalik Aliran Asy’ariyah ?
3. Bagaimana pemikiran dan Argumen Aliran Asy’ariyah ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkna rumusan masalah diatas maka tujuan dari penulisan makalah ini sebagai
berikut:
1. Untuk Mengetahui sejarah munculnya Aliran Asy’ariyah
2. Untuk Mengetahui tokoh-tokoh dibalik Aliran Asy’ariyah
3. Untuk Mengetahui Pemikiran dan Argumen Aliran Asy’ariyah
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lahirnya Asy’ariyah
Aliran Asy'ariyah adalah aliran teologi Islam yang lahir pada dasawarsa kedua abad ke-10
(awal abad ke-4). Pengikut aliran ini, bersama pengikut Maturudiyah dan Salafiyah, mangaku
termasuk golongan ahlus sunnah wal jama‟ah.1. Nama Asy‟ariyah sebagai suatu aliran dalam
ilmu kalam berasal dari nama tokoh Iman Abu al-Hasan Ali Ibn Isma‟il alAsy‟ari. Ia lahir di
kota basrah (Irak) pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M. Dengan nama
al-Asy‟ari di belakang namanya, benarlah bahwa Imam Abu Hasan alAsy‟ari mempunyai
hubungan darah dengan Abu Musa al-Asy‟ari, seorang sahabat yang menjadi hakam (perantara)
dalam sangketa antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu‟awiyah bin Abi Sufyan. Pada usia remaja
Abu Hasan al-Asy‟ari berguru pada seorang tokoh Muktazilah bernama Abu Ali al-Jubbai. Oleh
sebab itu ajaran-ajaran Muktazilah sungguh telah didalami oleh al-Asy‟ari sampai ke akar-
akarnya. Malah dikatakan Abu Hasan al-Asy‟ari menggeluti paham yang terdapat dalam
Muktazilah selama lebih kurang 40 tahun.2 Pada 300 H, yaitu ketika beliau mencapai umur 40
tahun, dia menyatakan keluar dari Mu‟tazilah dan membentuk aliran teologi sendiri yang
kemudian dikenal dengan nama Asy'ariyah.
Ada beberapa teori yang menjelaskan kemunculan dan perkembangan Asy'ariyah sebagai
sebuah aliran Kalam, yang notabene sempalan pada awal kemunculannya hingga menjadi aliran
teologi yang dianut oleh mayoritas umat Islam di berbagai belahan dunia hingga hari ini.
Beberapa teori tersebut, sebagai berikut.
Pertama, Adanya momentum kehancuran aliran Mu'tazilah akibat pemaksaan paham
keagamaannya kepada masyarakat. Adalah usaha keras yang dilakukan kalangan Mu'tazilah
dalam menyiarkan mazhabnya menyebabkan aliran ini relatif cepat berkembang. Menurut
catatan Ibn Al-Murtadha, pemimpin Mu'tazilah, Wasil bin Atha mengirim murid-muridnya ke
berbagai tempat, seperti Khurasan, Armenia, Yaman, Maroko dan lain-lain. Tidak kurang dari 30
ribu orang penduduk Maroko menjadi pengikut aliran Kalam yang dibangun Wasil bin Atha.
Mulai tahun 100 H atau 718 M, kaum Mu'tazilah perlahan-lahan mendapat tempat di masyarakat
Islam. Pengaruh itu mencapai puncaknya, ketika para khalifah Dinasti Abbasiyah mengakui
aliran Mu'tazilah dan menjadikannya sebagai mazhab yang dianut oleh Negara.
1
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 131
4
Salah satu prinsip dasar mazhab Mu'tazilah, yaitu Amar ma'ruf Nahy munkar, mengajak
kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Berbeda dengan ajaran Qadariyah yang
diadopsinya yang menganjurkan kebebasan manusia dalam berpikir dan berbuat, para pemuka
Mu'tazilah cenderung memakai kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajarannya. Salah satu ajaran
yang ditonjolkan adalah paham Al-Qur'an sebagai tidak Qadim, tetapi baru (hädits) dan
diciptakan. Bagi kaum Mu'tazilah, paham sebaliknya yaitu Al-Qur'an Qadim memaksa adanya
yang Qadim di samping Tuhan, dan itu berarti menduakan Tuhan. Perbuatan menduakan Tuhan
adalah syirik yang dipandang sebagai dosa besar dan tak dapat diampuni Tuhan.
Bagi khalifah Al-Ma'mun, orang yang mempunyai paham syirk tidak dapat dipakai untuk
menempati posisi penting dalam pemerintahan. Oleh karenanya, khalifah mengintruksikan
kepada para Gubernurnya tidak dapat dipakai untuk mengadakan ujian terhadap para pejabat,
para hakim, dan pemuka-pemuka agama yang berpengaruh di masyakarat. Dari sinilah timbul
apa yang disebut dengan mihnah (inquisition), yang dalam sejarah Islam dikategorikan sebagai
fitnah kedua (setelah fitnah pertama dalam perang Jamal dan Siffin). Konsekuensi dari
penerapan dakwah model ini adalah orang yang mengakui Al-Qur'an sebagai Qadim, ia tidak
bisa diangkat menjadi hakim, dan tidak bisa menjadi saksi dalam persidangan di mahkamah. 2
Di antara orang-orang yang diuji terdapat pemuka agama yang sangat popular, yaitu
Imam Ahmad bin Hanbal dan Muhammad binuh. Tetapi kedua tokoh kharismatik ini tidak mau
menerima paham Mu'tazilah dan bersikeras menyatakan pendapat kebalikannya, yaitu Al-Qur'an
sebagai Qadim. Salah satu dialog antara Ishaq bin Ibrahim (Gubernur Irak) dengan Imam Ahmad
bin Hanbal adalah sebagai berikut:
Ishaq : Apa pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ibn Hanbal : Sabda Tuhan
Ishaq : Apakah ia diciptakan?
Ibn Hanbal : Sabda Tuhan. Saya tidak dapat mengatakan lebih dari itu.
Ishaq : Apa arti ayat "Allah Maha Mendengar" (al-Sami') dan Maha Melihat (al-
Bashir)? Di sini Ishaq ingin menguji paham antropomorfisme sekaligus.
Ibn Hanbal : Tuhan menafsirkan diri-Nya dengan kata-kata itu.
Ishaq : Apa artinya?
2
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Kairo: an-Nahdhah, t.th., Vol III, hlm. 92.
5
Ibn Hanbal : "Tidak tahu, Tuhan adalah sebagaimana Dia sifatkan atas diri-Nya. 3
3
Teks dialog Ishak dan Ibnu Hanbal dimuat dalam Tarikh al-Thabari, Volume VIII, hlm. 639; Lihat Juga,
Harun, Teologi…. Hlm. 62.
6
tersebut guru tak dapat menjawab pertanyaan sang murid. Salah satu perdebatan itu adalah
perdebatan mengenai nasib anak kecil di akhirat, sebagai berikut:
Al-Asy'ari : Bagaimana menurut pendapatmu tentang tiga orang yang meninggal dalam
keadaan berlainan, Mukmin, kafir, dan anak kecil.
Al-Jubai : Orang Mukmin adalah Ahli Surga, orang kafir masuk neraka, dan anak kecil
selamat dari neraka.
Al-Asy'ari : Apabila anak kecil itu ingin meningkat masuk surga, artinya sesudah
meninggalnya dalam keadaan masih kecil, apakah itu mungkin?
Al-Jubai : Tidak mungkin bahkan dikatakan kepadanya bahwa surga itu dapat dicapai
dengan taat kepada Allah, sedangkan engkau (anak kecil) belum beramal
seperti itu.
Al-Asy'ari : Seandainya anak itu menjawab memang aku tidak taat. Seandainya aku
dihidupkan sampai dewasa, tentu aku beramal taat seperti amalnya orang
Mukmin.
Al-Jubbai : Allah menjawab: "Aku mengetahui bahwa seandainya engkau sampai umur
dewasa, niscaya engkau bermaksiat dan engkau disiksa. Karena itu Aku
menjaga kebaikanmu. Aku mematikan sebelum engkau mencapai umur
dewasa.
Al-Asy'ari : Seandainya si kafir itu bertanya: "Engkau telah mengetahui keadaanku
sebagaimana juga mengetahui keadaannya, mengapa engkau tidak menjaga
kemashlahatanku, seperti anak kecil tadi? Maka Al-Jubai diam saja, tidak
meneruskan jawabannya. 4
Perdebatan yang hanya berlangsung lebih kurang tiga menit tersebut mampu memorak-
porandakan tesis-tesis Muktazilah yang sudah lama berakar dalam pikiran Asy‟ari sendiri.5 Dari
kasus ini (dan beberapa kasus lainnya), Abu Hasan al-Asy'ari kemudian keluar dari Mutazilah,
ber-uzlah mengasingkan diri, dan kemudian mengproklamirkan aliran baru. Dari sisi lain kita
melihat jawaban-jawaban kaum Mu'tazilah dipandang tidak lagi memuaskan dan menyelesaikan
4
Ahmad Mahmud Subhi, Fi ilm al-Kalam, Kairo: Dar al-Kutub al-Jami’ah, 1969, hlm. 182
5
Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: Dari Khawarij ke Buya HAMKA Hingga
Hasan Hanafi, Kharisma Putra Kencana, Jakarta. 2014, hlm 91
7
masalah yang dihadapi umat saat itu. Tentunya ini memberi ruang terbuka bagi aliran lainnya,
seperti Asy'ariyah dan Maturidiyah, dua aliran Kalam yang berseberangan dengan Mu'tazilah.
Alasan lain adalah kondisi pasca dibekukannya mazhab Mu'tazilah sebagai mazhab
negara yang membuat lawan-lawan Mutazilah mendapat tempat dan dihormati, seperti Ibn
Hanbal dan tokoh Fikih vang kebanyakan tidak bermazhab Mu'tazilah. Pada akhirnya
masyarakat tidak lagi terbebani oleh pemikiran dan manuver kaum Mutazilah, dan mereka
kemudian berpaling kepada aliran lain, yang salah satunya adalah Asy'ariyah.
Kemudian menarik untuk dicatat bahwa Al-Asy'ari menganut mazhab fiqih al-Syafi’i.
Suatu kebetulan paham-paham Al-Asy'ari bersesuaian dengan pendapat Imam Al-Syafi’i,
sehingga banyak di antara para ulama yang mengembangkan paham Asy'ariyah, seperti Al-Baqil
lani, Ibn Faurak, al-Isfirayini, AI-Qusyairī, Al-Juwaini, dan al-Ghazali.6
B. Perkembangan Pemikiran Asriyah
Pikiran-pikiran Imam al-Asy'ari, merupakan jalan tengah antara golongan-golongan
berlawanan atau antara aliran rasionalis dan tekstualis. Dalam mengemukakan dalil dan alasan, ia
juga memakai dalil-dalil akal dan naqli bersama-sama. Sesudah ia mempercayai isi al-Qur'an dan
al-Hadits, ia mencari alasan-alasan dari akal pikiran untuk memperkuatnya. Jadi ia tidak
menganggap akal pikiran sebagai hakim atas nash-nash agama untuk mena‟wilkan dan
melampaui ketentuan arti lahirnya, melainkan dianggapnya sebagai pelayan dan penguat arti
lahir nash tersebut. Ia tidak meninggalkan cara yang lazim dipakai oleh ahli filsafat dan logika,
sesuai dengan alam pikiran dan selera masanya. Meskipun demikian, Imam al-Asy'ari tetap
menyatakan kesetiaanya kepada Imam Ahamd bin Hanbal atau aliran ahlus sunnah yaitu suatu
aliran yang menentang aliran Mu‟tazilah sebelum al-Asy'ari, bahkan ia mengikuti jejak ulama
salaf yaitu sahabat-sahabat dan tabi‟in-tabi‟in, terutama dalam menghadapi ayat-ayat
mutasyabihat, di mana mereka tidak memerlukan pena‟wilan, pengurangan atau melebihkan atau
melebihkan arti lahirnya.7
Pemikiran al-Asy‟ari dapat diketahui lewat karyanya seperti Maqalat al-Islamiyyin wa
Ikhtilah al-Muslim, Kitab al-Luima‟ fi al-Radd „ala Ahl al-Ziyagh wa al-Bida‟ dan al-Ibanah
„an al-Ushul al-Diyanah. Lewat buku-buku tersebut dan dilanjutkan oleh murid-muridnya seperti
al-Bagillani dan al-Juwaini, tesis-tesis baru yang dikembangkan oleh Imam Abu alHasan Asy‟ari
6
Prof.Dr.h. Nunu Burhanudin, Lc, Ma,Ilmu Kalam Dari Tauhid Menuju Keadilan,Depok: Prenada Media
Grup,2018, Cet Ke II, Hlm, 113-117
7
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Pustaka al-Husna Baru, Jakarta, 2003., hlm. 152
8
berkembang menjadi aliran baru yang dikenal dengan nama Asy‟ariyah. Sebagai pemikir dengan
latar belakang pendidikan aliran Muktazilah. Asy‟ari tampil ke depan dengan tesis-tesis
bandingannya terhadap paham-paham keagamaan yang dikembangkan oleh Muktazilah.8
Akan tetapi aliran Asy'ariyah sepeninggal pendirinya sendiri mengalami perkembangan dan
perubahan yang cepat karena pada akhirnya, aliran Asy'ariyah lebih condong kepada segi aliran
mendahulukannya sebelum nash dan memberikan tempat yang lebih luas daripada tempat untuk
nash-nash itu sendiri. Al-Juwaini sudah berani memberikan ta‟wilan terhadap ayat-ayat
mutasyabihat. Bahkan menurut al-Ghazali, pertalian antara dalil akal dengan dalil syara‟ (naqli)
ialah kalau dalil akal merupakan fondamen bagi sesuatu bangunan, maka dalil syara‟ merupakan
bangunan itu sendiri. Fondamen tidak akan ada artinya, kalau tidak ada bangunan di atasnya,
sebagaimana bangunan tidak akan kokoh senantiasa tanpa fondamen. Buku al-Ghazali yang lain,
yaitu al-Iqtishad, dimaksudkannya untuk memberikan kepercayaan (aqidah) yang tengah-tengah
antara golongan yang terlalu memegangi akal, yaitu golongan filosof dan Mu‟tazilah, sehingga
pikiran-pikiran mereka berlawanan dengan nas-nas yang sudah pasti. Kedua macam sifat tersebut
yang hanya memihak kepada salah satu segi, tidak dapat dibenarkan, sebab sebenarnya
sebagaimana halnya dengan orang yang melihat dengan baik memerlukan mata yang sehat dan
sinar matahari bersama-sama. Namun buku itu sendiri, yaitu al-Iqtihad, yang berarti metode rate
(jalan tengah) cukup menunjukkan aqidah yang ditempuh oleh pengarangnya, suatu aqidah dari
ahlussunnah. Jadi aliran Asy'ariyah pada akhir perkembangannya mendekati aliran Mu‟tazilah,
karena kedua aliran tersebut memegangi prinsip yang mengatakan bahwa:
“pengetahuan yang didasarkan atas unsur-unsur naqli (tradisional) tidak memberikan
keyakinan kepada kita”. Mereka memandang bahwa pengetahuan tersebut tidak mempunyai nilai
kebenaran mutlak (absolut), kecuali dalam hal-hal yang bertalian dengan amalan-amalan syara‟
(fiqih), sedang untuk masalah aqidah hanya bisa mencapai nilai sekunder. Karena itu hanya dalil-
dalil akal pikiran saja yang memungkinkan kita mencapai keyakinan.9
Kecenderungan inilah yang menyebabkan mengapa orang-orang pengikut madzhab Hanbali
(ahlussunnah) merasa tidak puas terhadap aliran Asy'ariyah dan mengadakan perlawanan yang
sengit terhadap mereka, seperti yang pernah dilakukannya terhadap aliran Mu‟tazilah, dan
puncak perlawanannya terjadi pada masa Ibnu Taimiah. Biar bagaimanapun juga prinsip yang
8
Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: Dari Khawarij ke Buya HAMKA Hingga
Hasan Hanafi, Kharisma Putra Kencana, Jakarta. 2014, hlm 93
9
Yusuf Musa, et al, al-Aqidah Wasyari‟ah fil Islam, Cet. 2, Dar al-Kutub al-Haditsh, 1959, hlm. 128.
9
dipegangi oleh aliran Asy'ariyah, namun aliran ini dapat menggantikan aliran Mu‟tazilah dan
dipeluk oleh kebanyakan kaum muslimin sampai sekarang.
Al-Asy'ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu‟tazilah, tidak dapat menjauhkan
diri dari pemakaian akal dan argumentasi pikiran. Ia menentang dengan kerasnya mereka yang
mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal-soal agama atau membahas soal-soal
yang tidak pernah disinggung-singgung oleh rasul merupakan suatu kesalahan. Sahabat-sahabat
nabi sendiri, sesudah beliau wafat, banyak membicarkan soal-soal baru dan meskipun demikian
mereka tidak disebut orang-orang yang sesat (bid‟ah). Ia menentang keras orang yang
berkeberatan membela agama dengan ilmu kalam (teologi Islam) dan argumentasi pikiran,
keberatan mana tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan Hadits. Di samping itu, ia juga
mengingkari orang-orang yang berlebihan menghargai akal pikiran yaitu aliran Mu‟tazilah.
Karena aliran ini tidak mengakui sifat-sifat Tuhan, maka dikatakannya telah sesat, sebab mereka
telah menjauhkan Tuhan dari sifat-sifat-Nya dan menempatkan-Nya dalam bentuk yang tidak
dapat diterima akal, selain karena mereka mengingkari kemungkinan terlihat Tuhan dengan mata
kepala. Apabila pendapat ini dibenarkan, maka akan berakibat penolakan hadits- hadits nabi
yang merupakan salah satu tiang agama.10
Dengan demikian jelaslah kedudukan Imam al-Asy'ari, seperti yang dilukiskan oleh
pengikut- pengikutnya sebagai seorang muslim yang ikhlas membela kepercayaan dan
mempercayai isi al-Qur'an dan al-Hadits, dengan menempatkannya sebagai dasar (pokok), di
samping menggunakan akal pikiran, di mana tugasnya tidak lebih daripada memperkuat nasnas
tersebut.11
Al-Asy'ari sesungguhnya dari segi intelektual dan pahamnya adalah seorang Mu‟tazilah,
karena kecewa oleh beberapa pemikiran Mu‟tazilah yang tidak dapat memuaskan pikirannya,
maka ia meninggalkan Mu‟tazilah dan mengembangkan aliran yang dikenal dengan namanya
Asy'ariyah. Sebagai bekas seorang Mu‟tazilah ia tetap menggunakan metode filsafat dan ilmu
kalam serta argumentasinya, sehingga seringkali masih mencurigakan bagi kebanyakan umat.
Salah satu risalahnya yang terkenal Risalah fi Istihsan Ahaudel fi Illmi Kalam memberikan
gambaran kepada kita betapa al-Asy'ari membela diri dari berbagai serangan dan bagaimana
dalam perjuangannya mengkonsolidasi faham kaum suni itu di mana ia menyerukan pentingnya
10
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Pustaka al-Husna Baru, Jakarta, 2003., hlm. 132.
11
Hanna al-Fachuri dan Khalil al-Jarr, op.cit, hlm. 178-179
10
mempelajari merode ilmu kalam yakni disiplin berpikir. Dalam hubungannya keterangannya di
atas Nur Cholis Majid menguingkapkan: Reformasi al-Asy'ari tercatat sebagai salah satu yang
amat sukses, jika bukan yang paling sukses dalam sejarah pemikiran Islam. Pertama, ia berhasil
melumpuhkan gerakan Mu‟tazilah dengan menggunakan logika mereka sendiri. Kemudian
dengan sistem teologinya itu ia menjadi pendekar umat dalam menjawab tantangan gelombang
hellenisme. Boleh dikata bahwa ia bukan saja telah mengukuhkan paham suni, tetapi bahkan
menyelamatakan Islam sendiri dari bahaya hellenisme total.12
Dalam banyak hal, al-Asy'ari berusaha untuk mencari jalan tengah13 di antara pendapat-
pendapat yang bertentangan pada waktu itu. Meskipun tidak semua pendapatnya, seperti dia
sendiri penganut madzhab Syafi‟i serta mengikuti dan menerima pendapat Imam Ahmad ibn
Hanbal tokoh ahlul hadits (tekstualis) dengan segala keikhlasan tanpa diubah dan ditanyakan
bagaimana caranya. Sebagai contoh antara lain pendapat al-Asy'ari pada masalahmasalah sebagai
berikut:
1.Masalah Dosa Besar
Al-Asy'ari berpendapat, orang mukmin yang mengEsakan Tuhan, tetapi fasiq maka
persoalannya diserahkan kepada kehendak Allah. Dia dapat mengampuni-Nya serta memasukkan
ke dalam surga atau Dia memasukkannya terlebih dahulu ke dalam neraka, kemudian
memasukkannya ke dalam surga.
Tampknya Khawarij dan Mu‟tazilah memasukkan amal sebagai salah satu komponen iman.
Sedangkan Asy'ariyah dan Maturidiyah tidak menganggap amal sebagai salah satu
komponennya. Oleh kerena itu orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari iman,
sekalipun amalnya tetap dihisab dan ia tetap mendapat siksa, serta Allah dapat saja mencurahkan
rahmat kepadanya. Itulah sebabnya al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kekal
dineraka, sekalipun ia meninggal dunia tanpa bertaubat. Berkenaan dengan hal ini ia mengatakan
bahwa Allah telah menetapkan dalam al-Qur'an bahwa Dia tidak akan membalas kejahatan
kecuali dengan kejahatan yang serupa. Allah berfirman dalam surah alan‟am (Qs 6 : 160)
12
Nur Cholis Majid, Khazanah Intelektual Islam, (Bulan Bintang; Jakarta 1984)., hlm. 28-30
13
Fazlurrahman, Islam, Perpustakaan Salman ITB, Bandung, 1984, hlm. 126
11
Artinya: Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat
amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan
melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
(dirugikan).(Qs.al-An‟am:160).14
2. Masalah melihat Tuhan
Ada suatu ayat yang menjelaskan tentang bahwa Allah dapat dilihat, seperti firman Allah
dibawah ini (QS Al-Qiyamah : 22-23) :
Artinya : “Wajah-wajah (orang-orang mu‟min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah
mereka melihat. (Al-Qiyamah :22-23).2115
Berdasarkan firman tersebut,sebagaimana Al-Asy'ari menetapkan bahwa Allah dapat
dilihat pada Hari Kiamat. Mu'tazilah manafikannya, sebab perbuatan melihat memerlukan ruang
bagi yang bagi yang melihat, dan hal ini jelas mengandung konsekuensi bahwa Allah bertempat
pada suatu ruang, padahal Allah Maha suci dari berada pada suatu tempat dan dipengaruhi oleh
perubahan waktu.
3. Masalah Kekuasaan Tuhan Dan Perbuatan Manusia
Mengenai perbuatan manusia, al-Asy‟ari berpendapat juga bahwa perbuatan manusia itu
diciptakan oleh Tuhan. Ini bertolak belakang dengan pendapat al-Muktazilah yang mengatakan
bahwa perbuatan manusia diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Untuk menggambarkan
hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, al-Asy‟ari
menggunakan istilah al-kasb (acquistion, perolehan). Al-Kasb adalah suatu yang timbul dari al-
muktasib. Yang dimaksud dengan kasb disini ialah”berbarengan kekuasaan manusia dengan
perbuatan Tuhan”.16
14
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Departemen
Agama, 1986, hlm. 216.
15
Yayasan Penyelenggara penterjemah/penafsir al-Qur‟an, op.cit, hlm. 999
16
M. Amin Nurdin,Dkk, Sejarah Pemikiran Islam, cet ke3, Amzah: Jakarta, 2015, hal 108.
12
Al-Asy‟ari mengemukakan arti al-iktisab adalah suatu terjadi dengan perantara daya
yang diciptakan, dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan
dayanya perbuatan itu timbul.
Kasb atau perolehan mengandung arti keaktifan dan dengan demikian manusia
bertanggung jawab atas perbuatannya. Tetapi karena kasb adalah ciptahan Tuhan, ini
menghilangkan arti keaktifan itu sendiri sehingga manusia bersifat pasif dalam perbuatannya.
Dasar al-Asy‟ari mengatakan kasb itu ciptahan Tuhan adalah firman Allah dalam surah
al-Shaffat (37) ayat 96 :
Artinya : padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”
(Wamaa Ta’malun) Diartikan oleh al-Asy‟ari dengan “apa yang kamu perbuat” bukan
“apa yang kamu buat”. Jadi, arti tersebut adalah Allah yang menciptakan kamu dan
perbuatanperbuatan kamu. Dengan demikian, menurut al-Asy‟ari perbuatan-perbuatan manusia
diciptakan oleh Tuhan.17
Dalam paham al-Asy‟ari, untuk terwujudnya perbuatan diperlukan adanya dua daya,
yaitu daya Tuhan dan daya Manusia; tetapi daya Tuhanlah yang berpengaruh dalam perwujudan
perbuatan itu.
Beberapa pokok pemikiran Asy'ariyah antara lain :
Kita wajib percaya bahwa Tuhan adalah wajib al-wujud, karena adanya berita wahyu dan
perintah Tuhan dan hal itu dapat ditangkap oleh akal pikiran kita. Bukti wujudnya Tuhan adalah
adanya alam semesta ini pasti ada yang menciptakannya, yaitu Allah SWT. karena Tuhan itu
wujud, maka pastilah dapat dilihat oleh manusia.
Tuhan sebagai Zat yang Wajibul Wujud yang Qodim mempunyai sifat yang Qodim pula,
karena Sifatnya adalah Zatnya, dimana antara sifat dan zat tidak bisa dipisahkan. Ini bukan
berarti“mutaaddidul qudama” (berbilangnya yang qodim), karena sifatnya adalah juga zatnya.
Menurut al-Asy‟ari, memang benar bahwa sifat-sifat Tuhan seperti yang banyak disebut baik di
dalam al-Qur‟an maupun hadits, akan tetapi sifat-sifat itu adalah sifat yang sesuai bagi zat Tuhan
sendiri dan sama sekli tidak menyerupai sifat makhluk. Tuhan mendengar tetapi tidak seperti kita
mendengar. Bagaimana Tuhan mendengar maupun melihat dan sebagainya. Seorang Islam wajib
17
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, sejarah, Analisa perbandingan, UI Press, Jakarta, 1972, hal
105-107
13
percaya dan menerimanya tanpa menanyakan bagaimana caranya dan sebagainya. Konsepsi sifat
Tuhan ini kemudian dikembangkan sehingga menjadi akidah Ahlussunnah Wal-Jamaah, dimana
Tuhan mempunyai sifat Jamal (keindahan), Jalal(kebesaran) dan Kamal(kesempurnaan).
Selanjutnya sifat-sifat Tuhan tersebut dibagi menjadi sifat yang wajib, mustahil dan jaiz.
Sehingga ada 20 sifat yang wajib dan mustahil bagi Tuhan, yang wajib diketahui oleh setiap
muslim. Konsep sifat 20 ini adalah konsepsi As-Sanusi18, tokoh Ay'ariyah.
Adapun sifat jaiz bagi Tuhan adalah menunjukkan kemutlakan kekuasaan Tuhan untuk
berbuat atau tidak berbuat. Tidak ada sesuatupun yang mewajibkan bagi Tuhan untuk berbuat
baik atau buruk. Tuhan yang Maha Kuasa mempunyai wewenang untuk memerintah dan
melarang. Bahkan kehendak Tuhan tidak dapat dibagi, kekal meliputi segala hal, keseluruhan
tunduk kepada kemauannya, baik tindakan sendiri maupun tindakan makhlukNya bahkan Tuhan
juga menghendaki segala sesuatu dalam arti moril, baik dan buruk, menguntungkan atau
merugikan dan karena ia mengetahui dan berkehendak, sebagaimana telah ditentukan sejak
semula. Tuhan memerintah sebagai Raja, ia melakukan apa yang ia kehendaki dan menentukan
sebagaimana yang Ia sukai, sehingga jika Ia memasukkan semua orang ke dalam surga, hal itu
bukan suatu kezaliman, dan apabila memasukkan mereka ke dalam neraka,
Sebagai seorang yang pernah mengikuti paham Mu'tazilah, al- Asy‟ari juga menghargai
akal. Tetapi akal manusia hanya mampu mengetahui adanya Tuhan dan fungsi akal hanya
sebagai saksi penguat yang membenarkan apa yang disampaikan oleh wahyu. Akal tidak boleh
menghakimi wahyu. Apabila bertemu nash yang tidak sesuai dengan akal, maka diterima apa
adanya dan tidak boleh ditakwilkan. Mereka beranggapan bahwa karena akal manusia sangat
terbatas, sehingga tidak mampu memahami wahyu secara lengkap dan sempurna. Tetapidalam
perkembangan selanjutnya ternyata mereka juga menggunakan ta‟wil, sebagaimana yang
dilakukan oleh Al-Juwaini27, mena‟wilkan ayat “Yadun” dengan kekuasaan Tuhan.
18
(http://www.pejalanruhani.com/2013/01/syaikh-muhammad-ali-as-sanusi.html)
19
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen
Agama, 1986, hlm. 421.
14
Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-
orang yang mendapat petunjuk.
Riwayat Hidup Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Thayyib bin Muhammad bin
Ja'far bin al-Qasim, yang lebih dikenal dengan alQadhi Abu Bakr al-Baqillani, di samping
sebagai mutakkalim, beliau juga ahli ushul fikih, lahir di Bashrah dan menetap di Baqdad,
tentang tahun kelahirannya tidak ada sumber yang pasti menyebutnya. 20 Al-Baqillani berguru
dari sejumlah ulama di berbagai disiplin ilmu, antara lain: Abu Abdullah bin Muhammad bin
Ya'kub bin Mujahid al-Thaiy al-Malikiy (sahabat dan murid al-Asy‟ariy), Abu Bakar Ahmad bin
Ja'far bin Malik al-Qathi'iy, Abu Bakr Muhammad bin Abdullah al-Abhariy" seorang ahim faqih
bermazhab Malikiy.
Adapun karya beliau, Ibn Katsir menyebutkan, bahwa beliau tidak tidur setiap malam,
kecuali setelah menulis 20 lembar,21 dan tercatat hasil karya beliau antara lain; kitab al-
Tabshirah, Daqaiq al-Haqaiq, al-Tamhid fi Ushul al-Fiqh, Syarh al-Ibanah, dan lain-lain.
AlQadhiy 'Ayyadh menyebutkan bahwa karya al-Baqillani ada 99 kitab dalam masalah teologi,
ushul, fikih, dan I'jaz al-Qur'an, tapi yang ada sampai saat ini hanya sebagian kecil.37
AlBaqillani wafat pada tahun 403 H di Baqdhad dan dimakamkan di samping makam Ahmad bin
Hambal di pekuburan Bab al-Harb.
Teori al-Ahwal
20
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen
Agama, 1986, hlm. 36.
21
Ibnu Katsir.. al-Bidayah wa al-Nihayah. juz VII. Cet. I.1996 Beirut: Dar al-Fikr hal 111-112
22
Al-Baqillani, 'Imad al-Din Ahmad al-Haidar dalam Abu Bakr bin Thayib. 1986, al-Inshaf,Tahqiq „Imad al-
Din Ahmd al-Haidar, Cet. I. Beirut : 'Alam al-Kutub,hal 43-48
15
Harun Nasution berpendapat bahwa al-Baqillani termasuk orang yang menetapkan alhal
sebagai pengganti sifat, sebagaimana Abu Hasyim al-Jubaiy dari Mu'tazilah.39 Pendapat Harun
Nasution masih perlu diteliti, apakah benar al-hal yang dimaksud oleh al-Baqillani sama dengan
yang dimaksud oleh Abu Hasyim al-Jubaiy, karena kitab al-Baqillani, khususnya al-Tamhid,
justru membantah Abu Hasyim tentang teori al-hal. Selanjutnya Ramdhan menambahkan, bahwa
mungkin orang yang menganggap bahwa al-Baqillani termasuk yang menetapkan al-hal telah
membaca kitab-kitab al-Baqilani yang ditulis setelah kitab al-Tamhid, tetapi kitab-kitab tersebut
tidak ditemukan, hanya al-Iman al-Haramain yang menyebut bahwa al-Baqillani pernah ragu
antara menetapkan dan menolak al-hal.23
Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa al-Baqillani menetapkan sifat bagi Allah
disamping menetapkan juga al-hal, adapun Abu Hasyim sebagai pengikut Mu'tazilah tetap
menafikan sifat, dan istilah ini beliau menggantinya dengan istilah al-hal.
Teori al-Kasab
Teori al-kasab walaupun prinsipnya telah disebutkan oleh alAsy‟ariy, tapi dalam
pandangan al-Baqillani makna teori ini sedikit mengalami perubahan, yang menurut Ahmad
Mahmud Shubhi; alBaqillani "mengembangkan" teori ini yang sebelumnya al-Asy‟ariy tidak
menyinggung masalah pengaruh kuasa manusia yang baharu terhadap perbuatan manusia
(alkasab), tapi al-Baqillani menetapkan bahwa kuasa manusia yang baharu mempunyai pengaruh
dalam perbuatan manusia.24
23
Nasution, Harun.. Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Cet. V. Jakarta:
Universitas Indonesia, 1986, hal 71
24
Muhammad Ramadhan Abdullah, al-Baqillani wa Arauhu alKalamiah. Baghdad: Mathba'ah al-Ummah
1986 hal 490-491
25
Ahmad Mahmud Shubhi, Fi 'Ilm al-Kalam. juz 2. Alexandaria: Muassasah al-Tsaqafah al-Jami'iyah 1992
hal 157
16
Al-Iman Al-Haramaen Al-Juwaini
Riwayat Hidup Al-Iman al-Juwaini yang juga dikenal dengan nama Iman alHaramaeni,
mempunyai nama lengkap Abu al-Ma'aliy Abd al-Malik bin Abu Muhammad Abdullah bin
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Hayyuyah al-Juwaini. Seorang ahli ushul dan
fikih, beliau bermazhab Syafi'iy. Namun, al-Juwaini dinisbahkan pada satu tempat yang ada di
Naisabur, beliau bergelar Dhiya al-Din dan disebut Imam alHaramen karena beliau pernah
menetap di Mekah dan Medinah selama empat tahun untuk belajar, berfatwa dan mengumpulkan
metode-metode masbab. Beliau dilahirkan pada tanggal 18 Muharram 419 H. 26 Al-Iman al-
Juwaini belajar dari sejumlah ulama, antara lain dari ayahnya sendiri Abu Muhammad Abdullah
bin Yusuf al-Juwaini, seorang ulama al-Syafi'iy dan belajar hadis dari ulama-ulama besar yang
ada saat itu. Ketika ayahnya meninggal tahun 438 H, beliau menggantikan ayahnya sebagai
mufti, di samping juga tetap belajar, dan selalu menghadiri pengajian al-Isfarayaini (wafat tahun
452 H) dan alKhabbany (wafat tahun 449 H). Disaat terjadinya fitnah antara Ahl alSunnah dan
Syi'ah di Naisabur pada tahun 446 H beliau pergi meninggalkan negeri ini menuju Baghdad dan
kemudian ke Hijaz. Di Hijaz inilah tinggal selama empat tahun. Dan masalah inilah yang akan
dibahas dalam pandangan teologi al-Juwaini, yaitu sifat-sifat Allah, teori al-ahwal dan al-kasab.
1. Sifat-sifat Allah
Al-Iman al-Juwaini membagi sifat-sifat yang wajib bagi Allah kepada dua bagian yaitu
sifat-sifat nafsiyah dan sifat-sifat ma'nawiyah. Sifat nafsiyah adalah semua sifat Allah yang harus
ada, tidak pernah berpisah baik tidak mempunyai sebab (ghair al- mu'allah), dan sifat
ma'nawiyah adalah sifat-sifat al-ahkam yang ada, tapi keberadaannya disebabkan (mu'allalah)
dengan sebab-sebab ('illa-'illah).27
Oleh karena itu, maka dapat dipahami bahwa pandangan alJuwaini mengenai
anthropomorphism, hanya merujuk pada kitab alIrsyad ila Qawati' al-Adillah, yang belum
merupakan pendapat final dari al-Juwaini. Sifat-sifat ma'nawiyah seperti al-'ilm, al-hayah, al-
26
Ibnu Katsir.. al-Bidayah wa al-Nihayah. juz VII. Cet. I.1996 Beirut: Dar al-Fikr hal 601
27
Ahmad Mahmud Shubhi, Fi 'Ilm al-Kalam. juz 2. Alexandaria: Muassasah al-Tsaqafah al-Jami'iyah 1992
hal 157
28
Mushtafa Helmi, Manhaj Ulama al-Hadits wa al-Sunnah fi Ushul al-Din, "Ilm al-Kalam". Cet. II;
Alexandaria: Dar alDa'wah, 1992, hal 157
17
iradah, alqudrah, al-sam" dan al-bashar kesemuanya adalah sifat-sifat qadim dan azaliy yang
dalam pembagian sifat-sifat menurut al-Baqillani termasuk dalam sifat al-af'al.
2. Teori al-Ahwal
Seperti halnya al-Baqillani dan Abu Hasyim al-Jubbaiy, alImam al-Juwaini termasuk
yang berpendapat bahwa sifat-sifat al-af'al berkaitan erat dengan teori al-ahwal, salah satu contoh
penafsirannya yaitu menafsirkan al-ahwal dengan sifat bagi al-maujud yang tidak bersifat ada
atau tidak, artinya keberadaan Allah tidak bisa dibuktikan, karena terkait dengan waktu dan
ruang. Ketidakadaannyapun tidak bisa dibuktikan karena pada hakekatnya Allah itu ada. Dalil
beliau menetapkan al-hal adalah bahwa pengetahuan tentang adanya aljauhar belum berarti
mengetahui bahwa al-jauhar telah menempati sesuatu, kemudian mengetahui bahwa al-jauhar
telah bertempat, maka pengetahuan yang pertama tidak mutlak ada bersamaan dengan
pengetahuan kedua, dan pengetahuan kedua adalah pengetahuan tambahan atas pengetahuan
pertama. Beliau sependapat dengan Abu Hasyim bahwa al-ahwal tidak diketahui, karena hal-hal
yang diketahui (al-ma'lumat) terbagi dua, yaitu ada dan tidak ada, al-Imam al-Juwaini
menjadikan penghubung antara ada dan tidak ada adalah sifat dari alwujud dan inilah yang
dimaksud dengan "al-hal."29
3. Teori al-Kasab Al-Juwaini memandang teori al-kasab seperti yang disebutkan oleh
Muhammad alSayyid al-Julined berangkat dari pandangan beliau bahwa kewajiban-kewajiban
agama (altakalif al-syar'iyah) tidak logis bila ditanggung oleh manusia tanpa ada kuasa untuk
melaksanakannya, demikian juga kuasa yang Allah berikan pada manusia tidak berarti bila tidak
berpengaruh dalam mewujudkan perbuatannya, sama dengan menafikan kuasa itu sendiri.
Sehingga menisbatkan perbuatan pada manusia adalah penisbahan yang hakiki, tetapi tidak
berarti bahwa manusia yang menciptakan perbuatannya, karena sifat pencipta hanya milik Allah
semata.48 Penisbahan perbuatan pada manusia menurut Al-Juwaini adalah karena kuasa manusia
yang mewujudkan perbuatan tersebut.
Riwayat Hidup Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-
Ghazali, beliau bergelar Hujjat al-Islam dan Zain al-Din alThusiy dan dipanggil dengan Abu
Hamid, beliau lahir di Thus tahun 450 H. Beliau hidup dalam keluarga yang sangat sederhana
tapi teguh dalam prinsip-prinsip Islam. Dari Thus beliau mulai belajar dari salah seorang ulama
besar Thus yaitu al-Iman Ahmad bin Muhammad al-Razkani, kemudian beliau merantau ke
Jurjan, di sini beliau belajar dari Nashr al-Ismailiy. Kemudian beliau kembali ke Thus dan
menetap selama tiga tahun, merenung, berpikir, dan menghafal apa yang telah diperolehnya dari
Thus. Kemudian beliau ke Naisabur dan berguru pada Imam al-Haramain, disinilah produktivitas
beliau sebagai seorang ilmuan nampak, dengan menulis berbagai masalah. Sehingga al-Imam
29
Jalal Muhammad Abd al-Hamid Musa,. Nasy 'at al-Asy‟ariyah wa Tathawwuruhaha. Cet. Beirut: Dar al-
Kitab al-Lubnaniy, 1975, hal 391-392
18
alHaramain memberi julukan pada beliau dengan "Lautan yang menenggelamkan.".30
Sepeninggal al-Imam al-Haramain, al-Ghazali berangkat ke Askar menemui al-wazir Nizham al-
Mulk. Wazir ini sangat menghormatinya lalu memberikan kepercayaan pada beliau untuk
mengajar di sekolahnya di Baghdad pada tahun 484 H. beliau mengajar sampai tahun 488 H.
Mulai bulan Rajab tahun 488 H kehidupan rohani beliau mulai bergejolak, dan ini berlangsung
selama enam bulan atau sampai pada awal tahun 489 H.
Dari sinilah kehidupan sufi mulai dijalaninya dengan beribadah, kehidupan sufi ini beliau
jalani dengan alasan yang sangat logis, sebagaimana yang dikatakan dalam kitabnya al-Munqiz
min al-Dhalal.31 Hubungannya dengan teologi al-Asy‟ariyah, Ahmad Mahmud Shubhi
berpendapat bahwa banyak penganut al-Asy‟ariyah bahkan ada tokoh pemikir dalam bidang
theology al-Asy‟ariyah tidak lagi mengenal Abu Hasan al-Asy'ari sebagai pendiri aliran ini, tapi
hanya mengenal al-Ghazali dan kitabnya "Ihya ulum al-Din." Hal ini disebabkan karena
kesempurnaan dan kemapanan teologi alAsy‟ariyah berada pada pemikiran teologi alGhazali.
Maka sesuatu yang wajar bila pemikiran al-Ghazali dijadikan rujukan utama bila hendak
mengkaji pemikiran-pemikiran teologi al-Asy‟ariyah. Pandangan-pandangan Teologi al-Ghazali
Al-Ghazali sebagai tokoh terpenting dalam teologi alAsy‟ariyah, paham-paham yang
dikembangkannya tidak dijumpai perbedaan dengan paham-paham al-Asy‟ariy sebagai tokoh
pendiri. Kesamaan pendapat al-Ghazali dan al-Asy‟ariy dalam teologi Harun Nasution
memberikan contoh pandangan-pandangan al-Ghazali seperti yang dikutip dari kitab beliau al-
Iqtishad fi al-I'tiqad meliputi bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik
dengan zat-Nya dan mempunyai wujud diluar zat, Alquran bersifat qadim dan bukan makhluk,
perbuatan dan daya manusia Tuhanlah yang menciptakannya.
Ru'yatullah dapat terwujud, karena sesuatu yang mempunyai wujud dapat dilihat,
keadilan Tuhan, tidak dapat diukur dengan keadilan hamba (manusia), serta sifat-sifat Tuhan
yang lain, al-qudrah, aliradah, al-'Ilm.
Selain dalam kitab al-Iqtishad fi al-I'tiqad, pandangan teologi beliau juga dijumpai dalam
Ihya Ulum al-Din. Dalam pembahasan "Qawa'id alAqaid" pandanganpandangan al-Ghazali
tentang hal-hal tersebut, merupakan perbedaan yang sangat mendasar antara al-Asy‟ariyah dan
Mu'tazilah, sesuatu yang wajar bila hal-hal tersebut al-Ghazali sependapat dengan al-Asy‟ariy.
Hukum causalitas Pandangan al-Ghazali yang berhubungan dengan theologi adalah tentang
hukum causalitas. Masalah ini mulai dikembangkan oleh alBaqillani dan al-Juwaini, dan
kesempurnaannya baru berada di tangan al-Ghazali. Karena teori tentang hukum ini bersumber
dari premis-premis filsafat Aristoteles dan dikritisi oleh alGhazali, hasil dari kritikan teori ini
sangat berpengaruh dalam pembahasan tentang al-wujud dalam teologi al-Asy‟ariyah
selanjutnya. Al-Ghazali berpendapat bahwa menghubungkan antara apa yang diyakini dalam hal
30
Muhammad al-Sayyid Al-Julained,. Qadhiyyah al-Khair Wa alSyarr, Cet. II. Cairo: Mathba'ah alHalabiy,
1981, hal 307
31
Ahmad Mahmud Shubhi, Fi 'Ilm al-Kalam. juz 2. Alexandaria: Muassasah al-Tsaqafah al-Jami'iyah 1992
hal 274-275
19
yang biasa antara sebab dan yang disebabkan tidaklah mesti, dan menetapkan salah satunya tidak
berarti menetapkan yang lain begitupun sebaliknya, karena semuanya telah diawali dengan takdir
Allah, memberi contoh antara lain bahwa kenyang tidak mutlak harus dengan makan, tapi Allah
bisa mentakdirkan bahwa seseorang bisa kenyang tanpa melalui makan.32 Bantahan al-Ghazali
tentang teori causality merupakan salah satu sumbangsih terbesar al-Ghazali dalam
perkembangan pemikiran theologi al-Asy‟ariyah.
32
al-Imam Al-Ghazali. al-Iqtshad fi al-I'tiqad, Taqdim, Ta'liq dan Syarah, Abd al-Aziz Saif al-Nashr. Cet. I.
Cairo: 1988, hal 239
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hasil dari tulisan ini dapat diambil kesimpulan bahwa Asy'ari berpendapat cara
pelaksanaan amar ma‟ruf nahi munkar itu telah diberikan oleh Tuhan pedoman garis-garis
besarnya, seperti yang disebutkan dalam al-Qur'an Surat al-Nahl : 125. Pada ayat tersebut
ditegaskan tiga jalan yang harus ditempuh yaitu: Bijaksana. Maksudnya, dengan ilmu dan
hikmat. Pengajaran yang baik. Maksudnya yaitu pengajaran-pengajaran yang di dasarkan kepada
pertimbangan baik buruk, mudarat, dan manfaat, baik untuk diri maupun untuk masyarakat.
Diskusi. Maksudnya yaitu mengadakan pertukaran-pertukaran pikiran dengan cara yang baik dan
sopan, menggunakan rasio, mengadu dalil dengan argumentasi, dan dengan hati terbuka.
Demikian pendapat Asy'ari.
Adapun kelebihan Asy'ariyah di antaranya: kaum muslimin pada waktu itu sudah bosan
menghadapi dan mendengarkan perbedaan serta bertentangan sekitar persoalan alQur'an
khususnya yang dicetuskan oleh aliran Mu‟tazilah dan yang berakibat ketidak senangan mereka
terhadapa aliran tersebut. Imam Asy'ari sendiri seorang yang ulung dalam perdebatan dan
mempunyai ilmu yang cukup mendalam terkanal pula sebagai seorang yang saleh dan taqwa,
sehingga ia bisa menarik orang banyak dan mendapat kepercayaan mereka.
21
1. Al-Baqillani al-Juwaini, dan Al-Ghazali adalah tokoh-tokoh alAsy‟ariyah yang
berperan mengembangkan metode dan obyek, dengan memasukkan pembahasan dan metode
berfilsafat dalam pembahasan teologi al-Asy‟ariyah, dengan tetap mengikuti prinsip umum
teologi al-Asy'ari, yaitu menetapkan sifat bagi Tuhan dan teori tentang al-kasab, namun
penjabaran dari prinsip umum ini para tokoh tersebut berbeda.
2. Al-Baqillani dalam menetapkan sifat bagi Tuhan lebih rasionil dengan membedakan
antara al-shifat dan al-wash serta memberi makna tersendiri tentang teori al-hal yang berbeda
dengan teori Abu Hasyim dari Mu'tazilah. Beliau juga memberi arti yang jelas tentang teori al-
kasab al-Asy‟ariy dengan memberikan peranan yang efektif bagi kuasa manusia dalam
mewujudkan perbuatannya.
3. Al-Juwaini melanjutkan apa yang telah dirintis oleh al-Baqillani dengan menyusun
metode yang lebih sistematis dalam pembahasan theologi. Teori al-hal lebih jelas
kecendrungannya pada pendapat abu Hasyim. Beliau juga lebih memperjelas teori alkasab
dengan hukum causalitasnya yang menekankan pada pengaruh yang efektif kuasa manusia dalam
mewujudkan perbuatannya.
B. Saran
22
DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Husayn Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn al-Khayyat, 1964. Development of Muslim
Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, Lahore.
Abu Zahrah, Imam Muhammad, 1996. Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, terj. Abd.
Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Logos, Jakarta
Amin, Ahmad, 1936. Dhuhal Islam III, Maktabah al-Misriyah, Qahiroh
Al-Asy‟ari, abu al-Hasan Ibn Ismail, Kitab al-Ibanah „an Ushul al-Diyanah, Hyderabad, tt
Al-Baqillani, 'Imad al-Din Ahmad al-Haidar dalam Abu Bakr bin Thayib. 1986. al-Inshaf.
Tahqiq „Imad al-Din Ahmd al-Haidar. Cet. I. Beirut : 'Alam al-Kutub
Al-Ghazali, al-Imam. 1988. al-Iqtshad fi al-I'tiqad, Taqdim, Ta'liq dan Syarah, Abd al-Aziz Saif
al-Nashr. Cet. I. Cairo: t.p
Al-Julained. Muhammad al-Sayyid. 1981. Qadhiyyah al-Khair Wa alSyarr, Cet. II. Cairo:
Mathba'ah al-Halabiy
Al-Juwaini, Imam al-Haramin. 1979. l-Kafiyah fi al-Jadal. Tahkik Fauqiyah Husein Mahmud.
Cairo: Isa al-Babiy al-Halabiy wa Syurakauhu
Al-Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim. 1986. alMilal wa al-Nihal. Tahqiq
Muhammad Sayid al-Kailani. juz 1, Beirut: Dar Sh'ab.
Al-Taftazaniy al-Imam Mas'ud bin Umar bin Adullah Sa'd al-Din. 1989. Syarh al-Maqashid.
Tahqiq Abd al-Rahman 'Umairah, juz IV. Cet. I; Beirut: 'Alam al-Kutub
Hanafi, Ahmad. 2003. Pengantar Teologi Islam, Pustaka al-Husna Baru, Jakarta. ____________,
1993.Teologi Islam (Ilmu Kalam), Bulan Bintang, Jakarta.
Helmi, Mushtafa. 1992. Manhaj Ulama al-Hadits wa al-Sunnah fi Ushul al-Din, "Ilm alKalam".
Cet. II; Alexandaria: Dar alDa'wah
Ibnu Katsir. 1996. al-Bidayah wa al-Nihayah. juz VII. Cet. I. Beirut: Dar al-Fikr Ibn Khaldun.
t.th. al-Muqaddimah. Beirut: Dar al-Jeil.
Mahmud, Abd al-Halim. 1988. Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Munkiz min al-Dhalal. Cet. III.
Cairo: Dar al Ma'arif
Majid, Nurcholis, Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.
Muhammad ibn „Abd Al-Karim Ahmad Al-Syahrastani, 2004. al-Milal wa al-Nihal AliranAliran
Teologi dalam Islam, terj. Syuaidi Asy‟ari, PT.Mizan, Pustaka Anggota IKAPI
Bandung.
23
Musa, Jalal Muhammad Abd al-Hamid. 1975. Nasy 'at al-Asy‟ariyah wa Tathawwuruhaha. Cet.
Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnaniy.
Prof.Dr.h. Nunu Burhanudin, Lc, Ma. 2018. Ilmu Kalam Dari Tauhid Menuju Keadilan. Cet Ke
II. Depok: Prenada Media Grup.
24