K Lokal
K Lokal
K Lokal
Perbesar
Dilihat dari sejarahnya tradisi uang panai atau Doe’ Panai atau Doe’Paenre bermula dari
seorang putri bangsawan Bugis yang menarik perhatian seorang pria Belanda. Ketertarikan
tersebut membawa keinginan si pria asal Belanda tersebut untuk menikahi sang putri raja.
Ikatan pernikahan menjadi suatu proses sakral untuk menuju kehidupan baru. Banyak
prosesi yang harus dilakoni sang calon pengantin, baik sebelum acara pernikahan hingga saat
pernikahan. Umumnya, sebelum pernikahan dilaksanakan ada proses meminang.
Di setiap suku, ada tradisi masing-masing dalam menjalankan lamaran. Salah satunya dari Suku
Bugis yang disebut dengan Uang Panai.
Uang tersebut adalah uang hantaran yang diserahkan pihak laki-laki kepada keluarga calon
mempelai perempuan. Nominal uang panai berkisar puluhan juta hingga miliaran rupiah.
Omar Mohamad Sahar, seorang prial asal Bone, Sulawesi Selatan ini sempat viral lantaran
memberikan uang panai yang cukup fantastis. Omar memberikan uang panai senilai Rp3 miliar
kepada istrinya, seorang perempuan bugis bernama Aqila Nadya yang berprofesi sebagai dokter.
Kabarnya penentuan jumlah uang panai yang diberikan didasarkan pada tingkat pendidikan asal
keturunan pihak perempuan. Tak jarang jumlah yang harus diberikan cukup membebani pihak
laki-laki. Namun, tentunya suatu tradisi dilaksanakan karena ada makna di dalamnya. Apakah
sebenarnya makna dari uang panai tersebut?
Makna uang panai
Dilihat dari sejarahnya tradisi uang panai atau Doe’ Panai atau Doe’Paenre bermula dari
seorang putri bangsawan Bugis yang menarik perhatian seorang pria Belanda. Ketertarikan
tersebut membawa keinginan si pria asal Belanda tersebut untuk menikahi sang putri raja.
Semakin tinggi gelar calon istri, maka uang yang harus disediakan calon suami semakin besar. ©
Rahmat Effendi/Shutterstock
Namun, rencana tersebut ditentang oleh Raja. Syarat pun diberikan oleh Raja jika ia hendak
melamar sang putri. Syarat itulah yang kini disebut dengan uang panai.
Uang tersebut menjadi simbol penghargaan pihak laki-laki kepada pihak perempan yang dicintai.
Untuk membuktikannya, ia harus rela melakukan apapun syarat termasuk memberikan uang
panai yang seharusnya tidak menjadi beban karena pihak laki-laki ikhlas dan berusaha keras
dalam memenuhi syarat demi bisa hidup bersama orang yang dicintainya.
Sebagai bentuk berharganya seorang anak perempuan, masyarakat Bugis di zaman dahulu
menempatkan anak perempuannya di lantai dua rumah. Beras dan sumber makanan lainnya di
simpan dilantai itu.
Sedangkan anak laki-laki berada di bagian tengah rumah. Menandakan bahwa seorang
perempuan sangat dijaga oleh keluarga dan ketika hendak menikah, calon yang akan
meminangnya harus benar-benar matang secara ekonomi.
Rahmat Muhammad, Sosiolog dari Universitas Hasanuddin Makassar, dikutip dari detik.com,
berpendapat bahwa pada dasarnya uang panai adalah perlambang penghormatan suku Bugis-
Makassar terhadap kaum perempuan yang diwujudkan secara spesifik. Kewibawaan dan
lambang keseriusan pihak laki-laki kepada perempuan yang ingin dia nikahi juga menjadi simbol
diberikannya uang panai tersebut.
Prosesi dan besaran uang panai
Besaran uang panai akan ditentukan saat prosesi mappetuada (prosesi lamaran) setelah
sebelumnya telah dilaksanakan prosesi Ma’manuk-manuk yaitu kunjungan pihak laki-laki ke
pihak perempuan untuk menyatakan perjodohan dan prosesi Mappassio atau pertunangan.
Jumlah uang panai yang diberikan berdasarkan status sosial sang perempuan. Mulai dari paras,
keturunan, pekerjaan, dan pendidikan. Dalam tingkat pendidikan, seorang perempuan lulusan
SMA, uang panainya berkisar Rp50 juta rupiah, untuk lulusan sarjana strata satu (S1) naik
menjadi Rp70 juta hingga Rp100 juta.
Begitupun untuk tingkat pendidikan selanjutnya, jumlah uang panai akan semakin naik.
Sedangkan untuk perempuan keturunan bangsawan, maka nilai uang panai mencapai miliaran
rupiah.
Namun, jumlah uang panai sendiri akan tetap didiskusikan oleh keluarga pihak laki-laki dan
perempuan. Pihak keluarga laki-laki akan menyampaikan kesanggupan bersama pihak mempelai
perempuan. Dalam proses inilah biasanya terjadi perdebatan.
Menurut Ramli AT, Sosiolog Unhas, dikutip dari detik.com, Tingginya angka uang panai juga
dapat menyiratkan sikap asli calon mertua terhadap anak laki-laki calon menantunya.
Calon mertua yang kurang setuju dengan calon laki-laki, biasanya akan menetapkan nominal
panai yang tinggi. Tujuannya agar calon menantunya mengurungkan niat menikahi anak
perempuannya.
Ilustrasi perempuan dalam pernikahan adat suku bugis © Rahmat Effendi/Shutterstock
Dalam menentukan calon mempelai sendiri, masyarakat Bugis memegang prinsip eppa
sulappa atau empat sisi yaitu menentukan calon mempelai pengantin dengan melihat pendidikan,
akhlak, pekerjaan, dan keturunan. Tiga aspek pertama adalah yang paling utama.
Silariang sebagai dampak uang panai
Besarnya uang panai membawa fenomena baru yaitu kawin lari atau disebut juga silariang.
Pihak laki-laki akan membawa lari pihak perempuan. Keluarga dari pihak perempuan akan
sangat malu jika hal tersebut terjadi karena berkaitan dengan malu atau siri’ dan menjadi aib
serta beban keluarga sepanjang hidup.
Konsekuensi dari adanya Silariang adalah diaoppangi tana atau telah ditelungkupi dengan tanah.
Pelaku kawin lari dianggap telah mati, tidak perlu adanya negosiasi dan rekonsiliasi selama ia
hidup. Parahnya lagi, beberapa generasi tidak akan diterima lagi untuk menjadi bagian dari
keluarga untuk selama-lamanya.
Menurut penuturan dari Nurhayati Rahman, Budayawan Sulawesi Selatan, melalui Kompas.com,
biasanya pelaku akan pergi merantau dan membuang diri. Mereka tidak akan kembali lagi
seumur hidupnya bahkan ketika sudah memiliki anak dan cucu.
Tradisi tersebut masih ada hingga saat ini dan tak jarang menjadi beban bagi laki-laki. Pasalnya
uang panai bukan satu-satunya biaya yang dikeluarkan. Uang tersebut berbeda dengan uang
mahar dan seserahan. Sehingga biaya pernikahan tidak berhenti di uang panai saja. Masih ada
kebutuhan untuk prosesi pernikahan selanjutnya.
B.PANDANGAN ISLAM TERKAIT UANG PANAI BUGIS MAKASAR
Walaupun ini sudah dilakukan secara turun temurun sebetulnya tokoh agama disana
kurang setuju dengan adat tersebut anak-anak mereka biasanaya kalau hendak menikah tidak
diminta uang panaik. Hal ini dikarenakan menurut mereka uang panaik dianggap memberatkan
dan dapat menganggu anjuran agama yaitu surat An-Nuur(24) ayat 32:
ٰ ص ِل ِحيْنَ ِم ْن ِعبَا ِد هك ْم َواِ َم ۤا ِٕى هك ْم ا ِْن يَّ هك ْونه ْوا فهقَ َر ۤا َء يه ْغنِ ِه هم
ّللاه ٰ َوا َ ْن ِك هحوا ْاْلَيَامٰ ى ِم ْن هك ْم َوال
ع ِليْم
َ ّللاه َوا ِسعٰ ض ِله َوْ َِم ْن ف
Artinya: Dan kawinlah orang-orang yang sendirian diantara kamu. Dan orang- orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan
Allah maha luas (pemberiaNya) lagi maha mengetahui.
Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa Islam menganjurakan unuk seseorang yang
pria atau pun wanita yang sudah layak dalam hal ini baik dari segi umur mental dan rezeki
dianjurkan unuk segera menikah dan bagi keluarga atau orang-orang terdekatnya untuk
membantu agar orang-orang tersebut segera menikah. Jadi apabila sudah layak untuk menikah
segerelah dinikahkan tak perlu ditambahkan sayarat-syarat yang berlebihan atau hal-hal yang
memberatkan lainya.
siapa yang menyusahkan orang lain, Allah akan menyusahkannya pula”. (HR. Tirmidzi)
Juga dalam penggalan Ayat Al-Qura‟an surat At-Talaq Ayat 6 yaitu:
ُّٰي َب ِن ْي ٰادَ َم هخذه ْوا ِز ْينَت َ هك ْم ِع ْندَ هك ِل َمس ِْجد َّو هكله ْوا َوا ْش َرب ْهوا َو َْل تهس ِْرفه ْوا اِنَّه َْل ي ِهحب
َْال همس ِْرفِيْن
Artinaya: Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan
dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A‟raf 7:31)
Juga dalam riwayatnya dari „Amr bin Syu‟aib, Rasulullah saw bersabda: “hendaklah kalian
makan dan minum dan bersedekah tanpa berlebihan dan sombong. Sesungguhnya Allah
menyukai melihat nikmatNya pada hambaNya yang diberi nikmat”. [HR al-Hakim]
Berlebih-lebihan dalam Islam merupakan perilaku yang tercela dan dilarang oleh syariat
Islam, hal ini dikarenakan tidak akan menimbulkan kebaikan sama sekali dan bahakan akan
menimbulkan berbagai macam halhal buruk seperti mendatangkan sifat riya bagi yang
melakukan dan menimbulkan sifat iri dan dengki bagi orang yang melihat.
REFERENSI:
-Thobroni, M & Aliyah A. Munir. 2010. Meraih Berkah dengan Menikah. Yokyakarta:
Pustaka Marwa.
-Thalib. M. 1993. 20 Petunjuk Muhammad saw. Untuk Berkeluarga. Solo: CV.
Ramadhani
-Al-Qur‟an dan Hadist