Bab Ii Tinjauan Pustaka

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Higenitas Peralatan Makan

Tahapan dalam higiene sanitasi makanan adalah tahap dalam penyajian

makanan yaitu penggunaan alat makan. Higiene dan sanitasi peralatan makan

merupakan hal yang penting dilakukan oleh setiap orang yang melakukan proses

produksi, penyimpanan, pengangkutan, serta peredaran makanan. Perlu diadakan

pengawasan higiene dan sanitasi terhadap peralatan makan yang digunakan untuk

mengolah atau menyajikan makanan untuk mendapatkan makanan yang baik serta

memenuhi syarat kesehatan (Marisdayana dkk., 2017).

Faktor peralatan seperti alat makan merupakan salah satu faktor yang

memegang peran penting dalam penularan penyakit, sebab alat makan yang tidak

bersih dan mengandung mikroorganisme dapat menularkan penyakit melalui

makanan, sehingga proses pencucian alat makan dengan penerapan metode

pencucian yang tepat sangat penting dalam upaya penurunan jumlah angka kuman

(Marisdayana dkk., 2017).

Teknik pencucian merupakan faktor yang mempengaruhi jumlah bakteri

atau mikroorganisme pada peralatan makan, teknik pencucian yang salah dapat

meningkatkan resiko tercemarnya makanan oleh bakteri atau mikrooganisme.

Akibat yang ditimbulkan jika konsumen tidak memiliki daya tahan tubuh yang

cukup adalah dapat menyebabkan keracunan. Peralatan yang kontak langsung

dengan makanan yang siap disajikan sesudah pencucian tidak boleh mengandung

angka kuman atau 0 koloni/cm².

7
Menurut Menteri Kesehatan RI (2011), tempat pencucian peralatan dan

bahan makan yang baik dan benar meliputi :

1. Tersedia tempat pencucian peralatan jika memungkinkan terpisah dari tempat

pencucian bahan pangan.

2. Pencucian peralatan harus menggunakan bahan pembersih atau detergen.

3. Pencucian bahan makanan yang tidak dimasak atau dimakan mentah harus

dicuci dengan menggunakan larutan Kalium Permanganat (KMnO4) dengan

konsentrasi 0,02% selama 2 menit atau dicelupkan ke dalam air mendidih

(suhu 80ºC-100ºC) selama 1-5 detik.

4. Peralatan dan bahan makanan yang telah dibersihkan disimpan dalam tempat

yang terlindung dari pencemaran serangga, tikus, dan hewan lainnya.

Persyaratan peralatan makan menurut Menteri Kesehatan RI, (2011) yaitu:

Penyimpanan peralatan harus memenuhi ketentuan :

1. Peralatan yang kontak dengan makanan.

a. Peralatan masak dan peralatan makan harus terbuat dari bahan tara pangan

(food grade) yaitu peralatan yang aman dan tidak berbahaya bagi kesehatan.

b. Lapisan permukaan peralatan tidak larut dalam suasana asam/basa atau garam

yang lazim terdapat dalam makanan dan tidak mengeluarkan bahan berbahaya

dan logam berat beracun seperti :

1) Timah Hitam (Pb)

2) Arsenikum (As)

3) Tembaga (Cu)

4) Seng (Zn)

5) Cadmium (Cd)

8
6) Antimon (Stibium)

7) dan lain-lain

c. Talenan terbuat dari bahan selain kayu, kuat dan tidak melepas bahan beracun.

d. Perlengkapan pengolahan seperti kompor, tabung gas, lampu, kipas angin

harus bersih, kuat dan berfungsi dengan baik, tidak menjadi sumber

pencemaran dan tidak menyebabkan sumber bencana (kecelakaan).

2. Wadah penyimpanan makanan

a. Wadah yang digunakan harus mempunyai tutup yang dapat menutup

sempurna dan dapat mengeluarkan udara panas dari makanan untuk mencegah

pengembunan (kondensasi).

b. Terpisah untuk setiap jenis makanan, makanan jadi/masak serta makanan

basah dan kering.

3. Peralatan bersih yang siap pakai tidak boleh dipegang di bagian yang kontak

langsung dengan makanan atau yang menempel di mulut.

4. Kebersihan peralatan harus tidak ada kuman Eschericia coli dan kuman

lainnya.

5. Keadaan peralatan harus utuh, tidak cacat, tidak retak, tidak gompal dan

mudah dibersihkan.

Menurut Permenkes RI No. 1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang

persyaratan higiene sanitasi jasa boga adalah syarat peralatan makan yang

digunakan khususnya para pedagang makanan tidak boleh mengandung koloni

bakteri atau 0 koloni/cm2 permukaan dan harus tidak ada kuman Eschericia coli

dan kuman lainnya.

9
Berdasarkan Undang-undang Pangan No.18 tahun 2012, keamanan

pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari

kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,

merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Keamanan makanan sangat

erat kaitannya dengan bahaya biologi, fisik, dan kimia.

Bahaya biologis atau mikrobiologis terdiri dari parasit, virus dan bakteri

patogen yang dapat tumbuh dan berkembang di dalam bahan pangan sehingga

menyebabkan infeksi dan keracunan pada manusia. Pada beberapa bakteri dapat

menyebabkan toksin pada saat mengkonsumsi yang berakibat intoksikasi dimana

toksin sudah terbentuk di dalam makanan atau bahan pangan meskipun bakteri

sudah tidak terdapat dalam makanan (Arisman, 2009).

Bahaya kimia umumnya disebabkan oleh adanya bahan kimia yang dapat

menimbulkan terjadinya intoksikasi. Terdapat pada cemaran logam berat yang

berasal dari industri, residu pestisida, dan antibiotik. Kontaminan kimiawi adalah

berbagai macam bahan atau unsur kimia yang menimbulkan pencemaran atau

kontaminasi pada bahan makanan. Berbagai jenis bahan dan unsur kimia

berbahaya dapat berada dalam makanan melalui beberapa cara, antara lain:

pertama yaitu terlarutnya lapisan alat pengolah, karena digunakan untuk

mengolah makanan yang dapat melarutkan zat kimia dalam pelapis. Kedua logam

yang terakumulasi pada produk perairan. Ketiga sisa antibiotik, pupuk,

insektisida, pestisida atau herbisida pada tanaman atau hewan keempat bahan

pembersih atau sanitaiser kimia pada peralatan pengolah makanan yang tidak

bersih pembilasannya.

10
Bahaya fisik terdiri dari serpihan kayu, batu, logam, rambut dan kuku

yang kemungkinan berasal dari bahan baku yang tercemar dari pekerja penjamah

makanan. Bahaya fisik dapat sebagai pembawa bakteri patogen dan mengganggu

nilai keamanan pangan (Slamet, 2014).

B. Higiene Penjamah Makanan

Berdasarkan (Depkes, 2000:1), Higiene adalah upaya untuk

mengendalikan faktor makanan, orang, tempat dan perlengkapannya yang dapat

atau mungkin dapat menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan. Apabila

ditinjau dari kesehatan lingkungan pengertian higiene adalah usaha kesehatan

yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia,

upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh faktor lingkungan

(Fathonah, 2005:1).

Higiene perorangan adalah sikap bersih perilaku penjamah atau

penyelenggara makanan agar makanan tidak tercemar. Berkaitan dengan hal

tersebut, higiene perorangan yang terlibat dalam pengolahan makanan perlu

diperhatikan untuk menjamin keamanan makanan dan mencegah terjadinya

penularan penyakit melalui makanan. Purnawijayanti (2001:41) mengemukaan

25% dari semua penyebaran penyakit melalui makanan disebabkan penjamah

makanan yang terinfeksi dan higiene perorangan yang buruk.

Dalam Kepmenkes RI No. 1098 tahun 2003 penjamah makanan adalah

orang yang secara langsung berhubungan dengan makanan dan peralatan mulai

dari tahap persiapan, pembersihan, pengolahan, pengangkutan sampai dengan

penyajian. Penjamah makanan yang menangani bahan makanan sering

menyebabkan kontaminasi mikrobiologis. Mikroorganisme yang hidup di dalam

11
maupun pada tubuh manusia dapat menyebabkan penyakit yang ditularkan

melalui makanan, yang terdapat pada kulit, hidung, mulut, saluran pencernaan,

rambut, kuku dan tangan. Selain itu, penjamah makanan juga dapat bertindak

sebagai carrier (pembawa) penyakit infeksi seperti, demam typoid, hepatitis A,

dan diare (Fathonah, 2005:10).

Makanan yang berada di rumah makan, restoran atau dipinggiran jalan

akan menjadi media tempat penularan penyakit patogen apabila tidak diolah dan

ditangani dengan baik karena dalam penanganan makanan dapat memasukkan dan

menyebarkan mikroorganisme patogen. Penularan penyakit tersebut dapat terjadi

secara langsung maupun tidak langsung. Kebersihan penjamah makanan dalam

istilah populernya disebut higiene perorangan, merupakan kunci kebersihan dalam

pengolahan makanan yang aman dan sehat. Dengan demikian, penjamah makanan

harus mengikuti prosedur yang memadai untuk mencegah kontaminasi pada

makanan yang ditanganinya. Prosedur yang penting bagi pekerja pengolahan

makanan adalah pencucian tangan, kebersihan dan kesehatan diri (Purnawijayanti,

2001:41).

C. Bakteri Escherichia coli

1. Klasifikasi bakteri

Klasifikasi bakteri Escherichia coli menurut Kuswiyanto, (2014), yaitu

Kingdom : Bacteria

Phylum : Protobacteria

Kelas : Gammaproteobacteria

Ordo : Enterobacteriales

Famili : Enterobacteriaceae

12
Genus : Escherichia

Spesies : Escherichia coli

Gambar 1. Bakteri Escherichia coli (Sumber: Bakteriologi 2: Buku Ajar Analis

Kesehatan, 2014)

2. Morfologi

Escherichia coli adalah bakteri gram negatif berbentuk batang pendek,

berukuran 0,4-0,7 x 1,4 mikron, tidak memiliki spora, bergerak aktif dengan

flagel peritrik dan beberapa strain memiliki kapsul.

Gambar 2. Escherichia coli Beserta Flagel Peritrik (Sumber: Bakteriologi 2: Buku


Ajar Analis Kesehatan, 2014)

Escherichia coli tumbuh baik pada media dengan pH 7,2. Bakteri ini dapat

tumbuh pada suhu 10-40oC dengan suhu optimal 37,5oC. Escherichia coli

mengurai glukosa menjadi asam dan gas, memfermentasi laktosa dan manitol,

13
tergolong indol-positif, membentuk koloni yang khusus pada media selektif,

beberapa jenis dapat menghemolisis, dan tumbuh pada suasana aerob dan anaerob

(Kuswiyanto, 2014).

3. Struktur antigen

Escherichia coli mempunyai antigen O, H, dan K. Saat ini, telah

ditemukan sekitar 150 tipe antigen O, 90 tipe antigen K, dan 50 tipe antigen H.

Berdasarkan sifat fisiknya, antigen K data dibedakan menjadi 3 tipe yaitu, L, A

dan B (Radji, 2009).

4. Faktor virulensi

a. Antigen Permukaan

Escherichia coli memiliki sedikitnya 2 jenis tipe fimbria, yaitu sebagai

tipe manosa sensitif (pili) dan tipe manosa resisten (Colonization Factor Antigen,

CFA I dan II). Kedua tipe fimbria ini penting sebagai faktor kolonisasi, yaitu

untuk pelekatan sel bakteri pada sel hospes. Contohnya, CFA I dan II melekat

pada Escherichia coli enteropatogenik pada sel epitel usus. Enteropatogenik

berarti dapat menimbulkan penyakit pada saluran intestin.

Antigen kapsul KI sering ditemukan pada Escherichia coli yang diisolasi

dari penderita bakteremia dan bayi penderita meningitis. Antigen KI berperan

menghalangi proses fagositosis sel bakteri oleh leukosit.

b. Enterotoksin

Bakteri ini memiliki 2 jenis toksin (enterotoksin) yaitu yang termolabil

(LT) dan termostabil (ST). Produksi kedua jenis toksin ini diatur oleh plasmid.

Plasmid dapat pindah dari satu sel bakteri ke sel bakteri lainnya. Escherichia coli

14
memiliki dua jenis plasmid, yaitu plasmid yang menjadi pembentukan toksin LT

dan ST dan plasmid yang menjadi pembentukan toksin ST saja (Radji, 2009).

Toksin LT (termolabil) yang menyebabkan penderita mengalami diare,

akibat cara kerjadinya yang bersifat merangsang enzim adenilat siklase pada

mukosa usus halus. Toksin ST (termostabil) berperan dalam merangsang aktifnya

enzim guanilat siklase yang berperan dalam pembentukan guanosin monofosfat

siklik yang berakibat terjadinya gangguan klorida (Cl -) dan natrium (Na+) serta

dapat menurunkan motilitas usus halus (Radji, 2016).

c. Hemolisin

Pembentukan hemolisin diatur oleh plasmid. Hemolisin merupakan

protein yang bersifat toksik terhadap sel pada biakan jaringan. Peranan hemolisin

pada proses infeksi Escherichia coli belum diketahui dengan jelas. Akan tetapi,

galur Escherichia coli hemolitik ternyata lebih patogen daripada galur yang

nonhemolitik.

5. Reproduksi

Reproduksi bakteri dapat berlangsung secara aseksual maupun seksual.

Reproduksi secara seksual dilakukan melalui pembelahan yang ditandai dengan

peleburan material kromosom dari dua kuman sehingga lahir sel-sel bakteri

dengan sifat yang berasal dari kedua sel induknya. Reproduksi semacam ini hanya

terjadi antara kuman sejenis atau satu famili. Cara seksual dapat dilakukan dengan

cara:

a. Pembelahan

15
Umumnya bakteri berkembang biak secara antitosis dengan membelah

diri menjadi dua (binary division). Waktu antara pembelahan tersebut berbeda-

beda untuk setiap jenis bakteri, variasi antara 20 menit dan 15 jam.

b. Pembentukan tunas atau cabang

Bakteri membentuk tunas, dan tunas tersebut akan lepas dan membentuk

bakteri baru. Reproduksi dengan pembentukan cabang diketahui dengan

pembentukan tunas yang tumbuh menjadi cabang dan akhirnya melepaskan diri.

c. Pembentukan filamen

Pada proses pembentukan filamen, sel mengeluarkan serabut panjang

filamen yang tidak bercabang. Bahkan kromosom kemudian masuk ke dalam

filamen. Filamen tersebut kemudian terputus-putus menjadi beberapa bagian.

Setiap bagiannya membentuk bakteri baru (Kuswiyanto, 2014).

Gambar 3. Pembelahan Bakteri Escherichia coli (Sumber: Bakteriologi 2: Buku


Ajar Analis Kesehatan, 2014)

6. Patogenis dan tanda klinis

Menurut Kuswiyanto, (2014), galur atau strain bakteri Escherichia coli

dapat menyebabkan wabah diare atau muntaber, terutama pada anak-anak. Bakteri

penyebab penyakit yang cukup bahaya ini diklasifikasikan berdasarkan

16
karakteristik sifat-sifat virulensinya. Setiap kelompok dapat menyebabkan

penyakit diare melalui mekanisme yang berbeda-beda.

a. Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC)

Bakteri ini merupakan penyebab diare terpenting pada bayi, terutama di

negara berkembang. Mekanismenya adalah dengan cara melekatkan dirinya pada

sel mukosa usus kecil dan membentuk filamentous actin pedestal sehingga

menyebabkan diare cair yang dapat sembuh dengan sendirinya atau berlanjut

menjadi kronis. Dapat disembuhkan dengan memberikan antibiotik.

b. Enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC)

Bakteri ini merupakan penyebab diare umum diare pada bayi di Negara

berkembang seperti Indonesia. Berbeda dengan EPEC, Escherichia coli jenis ini

memproduksi beberapa eksotoksin yang tahan maupun tidak tahan panas di

bawah kontrol genetik plasmid. Eksotoksin yang dihasilkan bekerja dengan

merangsang sel epitel usus untuk menyekresi banyak cairan sehingga terjadi

diare.

c. Enterohaemoragic Escherichia coli (EHEC) dan galur yang memproduksi

verotoksin (VTEC)

Salah satu strain bakteri EHEC adalah Escherichia coli O157 dengan

serotip Escherichia coli O157:H7, yang merupakan bakteri patogen dan dapat

menyebabkan hemorrhagic colitis dan hemolytic uremic syndrome (HUS).

VTEC menyebabkan sejumlah kejadian luar biasa (KLB) diare dan colitis

hemoragik. Penyakit ini bersifat akut dan dapat sembuh secara spontan. Penyakit

ini ditandai dengan nyeri pada abdomen dan diare disertai darah.

d. Enteroinvasive Escherichia coli (EIEC)

17
Bakteri ini menyebabkan penyakit yang mirip dengan penyakit yang

disebabkan oleh bakteri Shigella sp. Penyakit ini paling banyak terjadi pada anak-

anak di negara berkembang. Bakteri ini memiliki kemampuan dalam menginvasi

sel epitel mukosa usus.

e. Enteroaggregative Escherichia coli (EAEC)

Bakteri ini menyebabkan diare akut dan kronik pada penduduk di Negara

berkembang. Penyakit ini ditandai dengan pola perlekatan yang khas pada sel

usus manusia.

Sejumlah kecil bakteri Escherichia coli juga dapat menyebabkan sakit

perut ringan sampai berat dengan beberapa mekanisme infeksi yang berbeda.

Bakteri Escherichia coli strain O157:H7 sering juga disebut sebagai bakteri

Enterohaemoragic Escherichia coli (EHEC). Timbulnya gejala diare, kram perut,

demam, serta muntah darah perlu diwaspadai sebagai gejala penyakit yang

disebabkan bakteri yang sangat virulen.

Gejalanya bisa terjadi 2-4 hari, bahkan dapat mencapai 8 hari setelah

Escherichia coli strain O157:H7 menginfeksi sel tubuh manusia. Kebanyakan

orang dapat sembuh sendirinya dalam 5-10 hari. Pemberian obat anti diare seperti

loperamide dan antibiotik juga sebaiknya dihindari karena dapat meningkatkan

produksi toksin dan dapat meningkatkan penyerapan pada kedua organ tersebut.

Jadi, tindakan yang bisa dilakukan adalah berusaha memulihkan keseimbangan

elektrolit tubuh (Kuswiyanto, 2015).

7. Dampak Escherichia coli

Penyakit yang sering ditimbulkan oleh Escherichia coli adalah diare.

Gejala diare atau mencret adalah tinja yang encer dengan frekuensi empat kali

18
atau lebih dalam sehari, yang kadang disertai: muntah, badan lesu atau lemah,

panas, tidak nafsu makan, ditemukan darah dan lendir dalam kotoran. Diare bisa

menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit (misalnya natrium dan kalium),

sehingga bayi menjadi rewel atau terjadi gangguan irama jantung maupun

perdarahan otak. Diare sering kali disertai oleh dehidrasi (kekurangan cairan).

Dehidrasi ringan hanya menyebabkan bibir kering. Dehidrasi sedang

menyebabkan kulit keriput, mata dan ubun-ubun menjadi cekung (pada bayi yang

berumur kurang dari 18 bulan). Dehidrasi berat bisa berakibat fatal, biasanya

menyebabkan syok. Akibat dari bakteri Escherichia coli adalah gangguan sistem

pencernaan, gangguan pada ginjal, serangan jantung, dan tekanan darah tinggi.

Selain diare, Escherichia coli juga dapat menyebabkan beberapa penyakit yang

bisa juga disebabkan beberapa bakteri lain seperti infeksi saluran kemih, sepsis

dan meningitis (Jawetz dkk., 2010).

D. Angka Kuman

Perhitungan angka kuman dapat dilakukan dengan membiakan kuman

yang akan dihitung pada media agar. Pada penghitungan angka kuman ini tidak

dibedakan macam koloni. Tiap koloni berasal darisatu bakteri, sehingga tiap

koloni dianggap satu bakteri.

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengukur atau

menghitung jumlah jasat renik, yaitu:

1. Perhitungan jumlah sel, antara lain: hitungan mikroskopik, hitung cawan, dan

MPN (Most Probable Number).

2. Perhitungan massa sel secara langsung, antara lain: cara volumetrik, cara

gravimetrik, turbidimetri (kekeruhan).

19
3. Perhitungan massa sel secara tidak langsung, antara lain: analisis komponen

sel (protein, AND, ATP, dan sebagainya), analisis produk katabolisme, analisis

konsumsi nutrient (Waluyo, 2016).

Perhitungan massa sel secara langsung maupun perhitungan massa sel

secara tidak langsung jarang digunakan dalam menguji jumlah mikroba pada

bahan, tetapi juga sering digunakan untuk mengukur pertumbuhan sel selama

proses fermentasi. Dalam perhitungan massa sel secara langsung, jumlah

mikroorganisme dapat dihitung jika medium pertumbuhan tidak akan

mengganggu pengukuran (Waluyo, 2016).

Metode volumetrik dan gravimetrik, pengukuran volume dan berat sel

dilakukan terlebih dahulu dengan menyaring mikroorganisme tersebut, oleh

karena itu bila substrat tumbuhnya banyak mengandung padatan, misalnya bahan

pangan, sel mikroorganisme tidak dapat diukur dengan menggunakan metode

volumetrik maupun turbidimetri. Perhitungan massa sel secara tidak langsung

sering digunakan dalam mengamati ertumbuhan sel selama proses fermentasi,

dimana komponen substrat atau bahan yang difermentasi dapat diamati dan

diukur (Waluyo, 2016).

Menurut Waluyo, (2016), adapun cara hitungan mikroskopik adalah

sebagai berikut:

1. Metode petroff-Hauser

Dalam metode ini, hitungan mikroskopik dilakukan dengan kotak-kotak

skala, dimana dalam setiap ukuran skala seluas satu mm 2 terdapat 25 buah kotak

besar dengan luas 0,04 mm2, dan setiap kotak besar terdiri dari 16 kotak-kotak

kecil. Tinggi sampel yang terletak diantara kaca benda dan kaca penutup adalah

20
0,02 mm2. Jumlah sel dalam beberapa kotak besar dapat dihitung, kemudian

dihitung jumlah sel rata-rata dalam kotak besar. Jumlah sel per ml sampel dapat

dihitung sebagai berikut:

Jumlah sel per ml sampel = jumlah sel perkotak besar x 25 kotak x 1/0,002 x 103

Jumlah sel per ml sampel = jumlah sel perkotak besar x 25 x 50 x 10 3

Jumlah sel per ml sampel = jumlah sel perkotak besar x 1,25 x 10 6

Jika didapatkan jumlah mikroba yang mau dihitung 12 sel mikroba, maka jumlah

sel per sampel adalah 12 x 1,25 x 106 = 1,5 x 107 sel/ml. Hitungan mikroskopik

merupakan metode yang cepat dan murah, tetapi mempunyai kelemahan sebagai

berikut:

a. Sel-sel mikroba yang telah mati tidak dapat dibedakan dari sel yang hidup,

oleh karena itu keduanya terhitung.

b. Sel-sel yang berukuran kecil sukar dilihat dibawah mikroskop, sehingga kalau

tidak diteliti tidak terhitung.

c. Untuk mempertinggi ketelitian, jumlah sel di dalam suspense harus cukup

tinggi, minimal untuk bakteri 106 sel/ml. Hal ini disebabkan dalam setiap

bidang pandang yang diamati harus terdapat sejumlah sel yang dapat dihitung.

d. Tidak dapat digunakan untuk menghitung sel mikroba di dalam bahan yang

banyak mengandung ekstrak makanan, karena hal tersebut akan mengganggu

dalam perhitungan sel (Waluyo, 2016).

2. Metode Breed

Hitungan mikroskopik dengan metode Breed sering digunakan untuk

menganalisis susu yang diperoleh dari sapi yang terkena mastitis, yakni susu

suatu penyakit infeksi yang menyerang kelenjar susu sapi, cara ini merupakan

21
suatu cara cepat, yaitu dengan menghitung bakteri langsung dengan menggunakan

mikroskop. Metode Breed memiliki kelamahan yaitu tidak dapat dilakukan

terhadap susu yang dipasteurisasi karena secara mikroskopik tidak dapat

dibedakan antara sel-sel bakteri yang masih hidup atau yang telah mati karena

perlakuan pasteurisasi.

Metode Breed luas area pandang mikroskop yang akan digunakan harus

dihitung terlebih dahulu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengukur diameter

area pandang dengan menggunakan mikrometer yang dapat dilihat melalui lensa

minyak imersi. Objek yang mempunyai skala terkecil 0,01 mm. Area pandang

mikroskop biasanya mempunyai ukuran diameter area pandang lebih dari 0,18

mm. Luas area pandang mikroskop dapat dihitung dengan rumus:

Luas area pandang mikroskop = pr2 mm2 = pr2/100 cm2

Dimana, r adalah jari-jari (mm) area pandang. Karena sampel susu disebarkan

pada kaca benda seluas satu cm2 sebanyak 0,01 ml, maka:

Jumlah susu per area pandang mikroskop = πr2/100 x 0,01 ml

Jumlah bakter per ml = 10.000/πr2 x jumlah bakteri per area pandang

Untuk mendapatkan satu ml sampel susu dapat diperoleh dari 10.000/pr 2

disebut juga faktor mikroskopik (FM), dan dapat digunakan untuk mengubah

jumlah bakteri per area pandang mikroskop menjadi jumlah bakteri per ml.

Jumlah bakteri per area pandang mikroskop dihitung dari rata-rata

pengamatan area pandang. Jumlah area pandang harus diamati tergantung dari

jumlah rata-rata bakteri per area pandang, dan ditentukan sebagai berikut

(Waluyo, 2016):

22
Tabel 1
Jumlah Rata-Rata Bakteri Per Area Pandang

Jumlah rata-rata bakteri per area Jumlah area pandang yang harus
pandang diamati
< 0,5 50
0,5-1 25
1-10 10
10-30 5
>30 Dilaporkan sebagai TBUD (terlalu
banyak untuk dihitung)

3. Metode hitung cawan

Pada uji angka lempeng total, metode yang sering digunakan, yaitu hitung

cawan. Prinsip dari metode hitung cawan adalah sel mikroba yang masih hidup

ditumbuhkan pada medium agar, kemudian sel mikroba tersebut akan berkembang

biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dan kemudian dihitung

tanpa menggunakan mikroskop (Radji, 2016).

Metode ini merupakan cara paling sensitif untuk menentukan jumlah jasad

renik dengan alasan:

a. Hanya sel mikroba yang hidup yang dapat dihitung.

b. Beberapa jasad renik dapat dihitung sekaligus.

c. Dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi mikroba, karena koloni yang

terbentuk berasal dari mikroba yang mempunyai penampakan spesifik.

Kelebihan dari penggunaan metode hitung cawan yaitu sensitif untuk

menghitung jumlah mikroba dikarenakan hanya sel yang masih hidup yang

dihitung, beberapa jenis mikroba dapat dihitung sekaligus, serta dapat digunakan

23
untuk isolasi dan identifikasi mikroba karena koloni yang terbentuk mungkin

berasal dari mikroba yang mempunyai penampakan spesifik (Waluyo, 2016).

Sedangkan kekurangan dari penggunaan metode hitung cawan meliputi

(Cappuccino dan Sherman, 2009):

1. Hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel mikroba yang sebenarnya,

karena beberapa sel yang berdekatan mungkin membentuk satu koloni.

2. Medium dan kondisi inkubasi yang berbeda mungkin menghasilkan nilai yang

berbeda pula.

3. Mikroba yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada medium padat dan

membentuk koloni yang kompak dan jelas, tidak menyebar.

4. Memerlukan persiapan dan waktu inkubasi beberapa hari sehingga

pertumbuhan koloni dapat dihitung.

5. Memerlukan inkubasi selama 24 jam sebelum koloni-koloni terbentuk pada

permukaan agar.

6. Menggunakan peralatan gelas yang lebih banyak untuk melakukan teknik ini

serta prosedur yang lebih banyak dapat menimbulkan kesalahan penghitungan

akibat kesalahan pada pengenceran.

Metode hitung cawan dapat dibedakan atas dua cara, yaitu metode tuang

(pour plate) dan metode permukaan (surface/spread plate).

1. Metode sebar (spread plate)

Metode ini biasanya digunakan untuk memisahkan mikroorganisme yang

terkandung dalam volume sampel kecil, sehingga menghasilkan pembentukan

koloni diskrit yang didistribusikan secara merata di seluruh permukaan. Selain itu,

dapat mempermudah menghitung jumlah koloni yang tumbuh (Sanders, 2012).

24
2. Metode tuang (pour plate)

Metode ini sering digunakan untuk menghitung jumlah mikroorganisme

dalam sampel campuran, yang ditambahkan ke media agar cair sebelum media

memadat. Proses ini menghasilkan koloni yang tersebar merata di seluruh medium

padat (Sanders, 2012).

Laporan dari hasil menghitung dengan cara hitungan cawan menggunakan

standar yang disebut dengan Standard Plate Counts sebagai berikut:

a. Cawan yang dipilih dan hitung adalah yang mengandung jumlah koloni

antara 30-300.

b. Beberapa koloni yang bergabung menjadi satu merupakan satu kumpulan

koloni yang besar dimana jumlah koloninya diragukan dapat dihitung sebagai

satu koloni.

c. Satu deretan rantai koloni yang terlihat sebagai suatu garis tebal dihitung

sebagai satu koloni.

4. Metode MPN (Most Probable Number)

Metode hitung cawan menggunakan medium padat, tetapi pada metode

MPN dengan menggunakan medium cair di dalam tabung reaksi. Perhitungan

MPN berdasarkan pada jumlah tabung tabung reaksi yang positif, yakni yang

ditumbuhi oleh mikroba setelah inkubasi pada suhu dan waktu tertentu.

Pengamatan tabung positif yang dapat dilihat dengan timbulnya kekeruhan atau

terbentuknya gas di dalam tabung durham yang diletakkan pada posisi terbalik,

yaitu jasad renik yang membentuk gas. Setiap pengenceran pada umumnya

25
dengan menggunakan tiga atau lima seri tabung. Lebih benyak tabung yang

digunakan menunjukan ketelitian yang lebih tinggi, tetapi tabung reaksi yang

digunakan lebih banyak (Waluyo, 2016).

E. Media Identifikasi Bakteri Escherichia coli

1. Chromocult Coliform Agar

Media chromocult coliform agar sangat spesifik untuk identifikasi

Escherichia coli. Menurut ISO 9308-1 (2014) Chromocult Coliform Agar adalah

media kultur kromogenik selektif dan diferensial untuk analisis mikrobiologis

sampel air. Dalam 24 jam media ini memungkinkan deteksi, diferensiasi dan

penghitungan simultan bakteri Escherichia coli dan coliform (Chairani dan

Harianto, 2019).

Medium CCA mengandung Salmon-GAL dan X-Glucuronide. Kelompok

bakteri dari famili Enterobacteriaceae dapat dibedakan berdasarkan kenampakan

koloni yang tumbuh. Bakteri yang memiliki gen pengkode sintesis enzim β-

galaktosidase dapat menggunakan substrat Salmon-GAL untuk tumbuh dan

berkembang membentuk koloni. Kelompok bakteri tersebut adalah genus

Enterobacter sp., Citrobacter sp., dan Klebsiella sp. Bakteri dari kelompok

positif β-galaktosidase memberikan kenampakan yang berbeda dari genus lainnya

yaitu pertumbuhan koloninya merah salmon. Sedangkan genus yang tidak mampu

menggunakan subtrat Salmon-Gal tetapi mampu mengekspresikan β-

glukoronidase dapat menggunakan substrat X-Glucuronide akan memberikan

kenampakan koloni biru terang. Untuk kelompok yang positip β-galaktosidase

dan β-glukoronidase akan memberikan kenampakan koloni biru gelap atau violet,

yaitu Escherichia coli (Zega dan Hasruddin, 2018).

26
Formulasi CCA mengandung sodium heptadecylsulfate (mis. Tergitol® 7)

sebagai penghambat bakteri Gram-positif tanpa efek negatif pada pertumbuhan

bakteri coliform yang ditargetkan yaitu Escherichia coli. Agar Chromocult

sebagai alternatif untuk agar MacConkey untuk identifikasi dan penghitungan

Enterobacteriaceae tanpa perlu melakukan tes biokimia lebih lanjut untuk

konfirmasi identitas. Chromocult agar memungkinkan penentuan cepat

Enterobacteriaceae feses dan memiliki keunggulan dibandingkan media

MacConkey (Chairani dan Harianto, 2019).

2. Media SIM

a. Uji Sulfur (Hidrogen Sulfida)

Prinsip dari uji ini adalah mikroorganisme dapat membentuk hydrogen sulfida

(H2S) dengan menggunakan dua jalur fermentasi utama sebagai berikut :

1) Jalur I :

Gas H2S dapat dihasilkan dari reduksi (hidrogenasi) sulfur organic dalam

asam amino sistein. Asam amino ini akan kehilangan atom sulfurnya dengan

adanya enzim sistein desulfurase, kemudian direduksi dengan penambahan

hydrogen dari air untuk membentuk gas hydrogen sulfida.

2) Jalur II :

Gas H2S dapat dihasilkan dari reduksi senyawa anorganik seperti tiosulfat,

sulfat, atau sulfit. Media yang digunakan mengandung natrium tiosulfat yang

dapat direduksi oleh beberapa mikroorganisme menjadi sulfit yang disertai dengan

pelepasan hydrogen sulfide (H2S) (Cappuccino dan Sherman, 2009).

b. Uji indol

27
Prinsip dari uji ini adalah kemampuan dalam menghidrolisis triptofan menjadi

produk-produk metabolik dimediasi oleh enzim triptofanase yang disertai dengan

produksi indol dideteksi dengan penambahan pereaksi Kovac yang ditandai

dengan terbentuknya lapisan berwarna merah ceri (Cappuccino dan Sherman,

2009).

c. Uji Motilitas

Motilitas dikenali apabila pertumbuhan biakan (kekeruhan) organisme

berflagelum tidak hanya tampak pada garis inokulasi. Pertumbuhan organisme

nonmotil terbatas pada garis inokulasi (Cappuccino dan Sherman, 2009).

28

Anda mungkin juga menyukai